Strategi Pembelajaran Efektif

download Strategi Pembelajaran Efektif

If you can't read please download the document

description

Pembelajaran

Transcript of Strategi Pembelajaran Efektif

BAB I

1

MAKALAH

DASAR-DASAR DAN PROSES PEMBELAJARAN

Strategi pembelejaran Afektif

DISUSUN OLEH KELOMPOK 13

NAMA:

ABDUL BASYIR (06081011002)BOBI (06081011009)

DOSEN PENGASUH

M. YUSUF, S.Pd, M.Pd

2010

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

2010

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

Pendahuluan

Kemampuan berpikir merupakan ranah kognitif yang meliputi kemampuan menghapal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi. Kemampuan psikomotor, yaitu keterampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar dan memasang peralatan, dan sebagainya. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.

Selain itu, Ada orang yang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh karena itu, yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun pendidikan. Namun, oleh karena strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam naskah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai objek belajar, yang kemudian akan kita gunakan istilah Strategi pembelajaran afektif.

A. Hakikat Pembelajaran Nilai dan Afektif

Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Sanjaya (2007:272). Nilai pada dasarnya adalah standar perilaku, ukuran menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik indah dan tidak indah, layak dan tidak layak dan sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai prilaku seseorang. Pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Sanjaya, 2007:272)

Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek; berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/berguna ( sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternative (Winkel, 2004, dalam Sanjaya, 2007: 275)

Hasil belajar menurut Bloom (dalam Idonbiu,2009) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen (dalam Idonbiu, 2009) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.

Menurut Popham (dalam Idonbiu, 2009), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.

Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.

B. Model Strategi Pembelajaran Afektif

Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual danketerampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Ada beberapa model pembelajaran afektif.

Menurut sanjaya (2007: 277-283) model strategi pemelajaran afektif ada 3 yaitu: Model konsiderasi, model pengembangan kognitif dan teknik pengklarifikasian nilai.

Model Konsiderasi

Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc.Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moraltidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan pada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian .pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu siswa agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain (tepo seliro)

Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahap-tahap pembelajaran seperti dibawah ini.

Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tetapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut dan kepentingan orang lain.Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa.Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.Mengajak siswa unuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Model Pengembangan kognitif

Model Pengembangan Kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.

Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Tingkat ini terdiri atas dua tahap.

Tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan

Pada tahap ini perilaku anak didasarkan pada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatnkan hukuman.

Tahap 2 orientasi instrumental-relatif

Pada tahap ini perilaku anak didasarkan pada rasa adil berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik.

Tingkat konvensional

Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada rasa keadilan belaka akan tetapi apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Tingkat ini mempunyai 2 tahap.

Tahap 1 Keselarasan interpersonal

Pada tahap ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk berprilaku sesuai dengan harapannya.

Tahap 2 Sistem sosial dan kata hati

Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat.

Tingkat Postkonvesional

Pada tingkat ini, perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didaari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.

Tahap 1 kontrak sosial

Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui masyarakat. Kesadaran berprilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial.

Tahap 2 prinsip etis yang universal

Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain, tanpa memandang siapa yang kita tolong. Pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada alas an subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.

Teknik Mengklarifikasi Nilai

Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. (Sanjaya, 2007:281)

Setiap proses pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru.

Menurut Sanjaya (2007:281) salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran oral VCT bertujuan:

Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu halMembina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat..

C. Tingkatan Ranah Afektif

Menurut Krathwohl bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Dalam pembelajaran sains, misalnya, di dalamnya ada komponen sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.

1. Tingkat receiving

Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.

2. Tingkat responding

Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.

3. Tingkat valuing

Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.

4. Tingkat organization

Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Misalnya pengembangan filsafat hidup.

5. Tingkat characterization

Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.

D. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif

Menurut Sanjaya (2007:284) Kesulitan yang dialami dalam proses pembelajaran afektif adalah sebagai berikut:

Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik tingkat sekolah, tingkat wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan pada kemampuan anak menguasai materi pelajaran.Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan.Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang sukup panjang.Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak

Kesimpulan

Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.

Menurut sanjaya (2007: 277-283) model strategi pembelajaran afektif yaitu model konsiderasi, model pengembangan kognitif dan teknik pengklarifikasian nilai

Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.

Menurut Sanjaya (2007:284) Kesulitan yang dialami dalam proses pembelajaran afektif ada beberapa hal diantaranya adalah Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual, Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang, Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera dan sebagainya.

Daftar Pustaka

diakses 17 Desember 2010" http://www.idonbiu.com/2009/05/hakikat-pembelajaran-afektif.html diakses 17 Desember 2010.

http://hadikomarapurkoni.blogspot.com/2009/08/strategi-pembelajaran.html diakses 17 Desember 2010.

Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.

SDN Tlogohaji II. 2009. Model Pembelajaran Afektif (online), http://sdntlogohaji2.blogspot.com/2009/04/model-pembelajaran-afektif.html diakses 17 desemeber 2010.