STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA
Transcript of STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA
STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA
(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA
ALFIYANTI SHOLIHAH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA
(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ALFIYANTI SHOLIHAH
11160950000039
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA
(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ALFIYANTI SHOLIHAH
11160950000039
Menyetujui:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si
NIP. 19690317 200312 2 001 NIDN. 0331107403
Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si
NIP. 19750526 200012 2 001
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Strategi Konservasi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus É.
Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa” yang ditulis oleh Alfiyanti Sholihah, NIM
11160950000039 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 4 Juni 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi..
Menyetujui:
Penguji I, Penguji II,
Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si Dr. Dasumiati, M.Si
NIP. 19720322 200212 2 002 NIP. 19730923 199903 2 002
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si
NIP. 19690317 200312 2 001 NIDN. 0331107403
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi
Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D Dr. Priyanti, M.Si
NIP. 197106082005011005 NIP. 19750526 200012 2 001
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2021
Alfiyanti Sholihah
11160950000039
vi
ABSTRAK
Alfiyanti Sholihah. Strategi Konservasi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus
É. Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2021. Dibimbing oleh Fahma Wijayanti dan Narti Fitriana.
Nycticebus javanicus merupakan satwa endemik Pulau Jawa dengan kategori
Critically Endangered IUCN dan Appendix I CITES. Seiring berjalannya waktu
populasi kukang jawa terus menurun akibat berbagai tekanan, sehingga strategi
konservasi kukang jawa diperlukan dalam upaya konservasinya agar tercipta
populasi kukang jawa yang stabil di habitat alaminya. Tujuan penelitian ini adalah
membuat rumusan strategi konservasi kukang jawa di Pulau Jawa melalui analisis
dari penelitian-penelitian kukang jawa yang telah dilakukan. Metode penelitian
yang digunakan berupa studi literatur dengan mengumpulkan literatur mengenai
kukang jawa, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian dengan cara
analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan distribusi kukang jawa hanya
terdapat pada 4 Provinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur. Sebagian besar kukang jawa di habitat alaminya tersebar di
kawasan non konservasi, permasalahan yang ditemukan adalah adanya gap
vegetasi pada habitat, tingkat keberhasilan pelepasliaran kukang jawa masih
rendah, pakan di kandang yang kurang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya, dan
kelemahan hukum yang berlaku dalam membantu konservasi kukang jawa.
Sehingga perlu diciptakan kawasan (konservasi/non) yang ramah terhadap kukang
jawa, pengembangan ekowisata berbasis kukang jawa, pergantian menu pakan
yang sesuai kebutuhan nutrisinya, edukasi kepada pemburu dan penjual, serta
penegakkan hukum yang tegas.
Kata kunci: kukang jawa, pulau jawa, pustaka, strategi konservasi
vii
ABSTRACT
Alfiyanti Sholihah. Conservation Strategy for the Javan Slow Loris
(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) in Java. Undergraduate Thesis.
Department of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised by Fahma Wijayanti
and Narti Fitriana.
Nycticebus javanicus is an endemic species of Java Island with the category of
Critically Endangered IUCN and Appendix I CITES. As time goes by, the Javan
slow loris population continues to decline due to various pressures, so that a
Javan slow loris conservation strategy is needed in its conservation efforts to
create a stable Javan slow loris population in its natural habitat. The purpose of
this study was to formulate a conservation strategy for the Javan slow loris in
Java Island through an analysis of the studies of the Javan slow loris that have
been conducted. The research method used is a literature study by collecting
literature on the Javan slow loris, reading, taking notes, and processing research
materials employing descriptive analysis. The results showed that the distribution
of the Javan slow loris was only found in 4 provinces on the island of Java,
namely Banten, West Java, Central Java, and East Java. Most of the Javan slow
lorises in their natural habitat are scattered in non-conservation areas, the
problems found are the presence of vegetation gaps in the habitat, the success
rate of release of the Javan slow loris is still low, feed-in cages that are not per
their nutritional needs, and the weakness of applicable laws in assisting slow loris
conservation. Java. So it is necessary to create (conservation/non) areas that are
friendly to the Javan slow loris, develop ecotourism based on Javan slow lorises,
change the diet according to their nutritional needs, educate hunters and sellers,
and enforce strict laws.
Keywords: conservation strategy, java island, javan slow loris, references
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan nikmat
dan rahmat-Nya serta ilmu yang sangat luas sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Konservasi Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa”. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi S-1 di Program Studi Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si, M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi, serta dosen penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah
memberikan saran bagi penulis.
3. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran bagi penulis.
4. Khohirul Hidayah, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal dan seminar
hasil yang telah memberikan saran bagi penulis.
5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Dr. Dasumiati, M.Si selaku dosen
penguji sidang skripsi.
6. Mistaji, S.E dan Sandra Wati, S.Pd selaku kedua orang tua penulis yang selalu
sabar dan memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
7. Bang Meidiyanto selaku alumni Biologi yang turut membantu serta
memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Semua pihak yang berkenan membantu penulis dalam menyelesaikan
pembuatan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga niat baik
semua pihak yang terlibat mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah
SWT. Amin.
ix
Penulis mengerahkan kemampuan terbaik dalam pembuatan skripsi ini
sehingga berikut adalah karya yang dapat penulis persembahkan. Tetapi penulis
meyakini tidak ada yang sempurna di dunia ini selain-Nya, sehingga tidak
menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik membangun dari pembaca. Penulis
berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya para pembaca.
Jakarta, Juni 2021
Penulis ..
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 2
1.5. Kerangka Berpikir .................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
2.1. Kukang Jawa ............................................................................................ 4
2.1.1. Distribusi dan Habitat 6
2.1.2. Pakan 6
2.2. Status Konservasi dan Strategi Konservasi .............................................. 7
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 12
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................... Error! Bookmark not defined.
3.2. Rancangan Penelitian ............................................................................. 12
3.3. Cara Kerja ............................................................................................... 12
3.4. Analisis Data .......................................................................................... 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 14
4.1. Karakteristik kukang jawa ...................................................................... 14
4.2. Ekologi kukang jawa .............................................................................. 15
4.3. Konservasi in situ ................................................................................... 24
4.4. Konservasi ek situ................................................................................... 27
4.5. Penegakan Hukum .................................................................................. 31
xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 33
7.1. Kesimpulan ............................................................................................. 33
7.2. Saran ....................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian strategi konservasi kukang jawa
di Pulau Jawa......................................................................................... 3
Gambar 2. Kukang jawa (Nycticebus javanicus) .................................................... 4
Gambar 3. Pantulan cahaya berwarna jingga .......................................................... 5
Gambar 4. Struktur kategori RedList IUCN ............................................................ 7
Gambar 5. Prediksi distribusi kukang jawa........................................................... 15
Gambar 6. Peta distribusi kukang jawa di Pulau Jawa.......................................... 17
Gambar 7. Pemanfaatan ruang horizontal dan vertikal oleh kukang jawa.
a) dekat batang pohon; b) bagian tepi pohon; c) atas tajuk; d)
bawah tajuk ......................................................................................... 21
Gambar 8. Perbedaan perilaku harian dalam skala mikrohabitat di Cipaganti. .... 23
Gambar 9. Bekas gigitan kukang yang berada di dalam kandang ........................ 28
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kepadatan populasi kukang jawa pada tipe habitat berbeda ................... 17
Tabel 2. Lokasi tidur kukang jawa ........................................................................ 19
Tabel 3. Pohon pakan kukang jawa....................................................................... 20
Tabel 4. Variasi pakan kukang jawa ..................................................................... 22
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kukang jawa (Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) merupakan satwa
endemik di Pulau Jawa, hasil survei sebelumnya melaporkan bahwa kukang jawa
ditemukan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,
Gunung Slamet, Gunung Dieng, Gunung Masigit Kareumbi, Taman Nasional
Meru Betiri, Gunung Putang, Gunung Tilu, Gunung Simpang, dan Gunung Sawal
(Arismayanti, 2014; Lehtinen, 2015; Nekaris, Pambudi, Susanto, Ahmad, &
Nijman, 2014; Reinhardt, Wirdateti, & Nekaris, 2016; Rosidah, Santoso, &
Zayadi, 2019; Voskamp et al., 2014; Wirdateti, Aziza, & Handayani, 2019;
Wirdateti, Dahrudin, & Sumadijaya, 2010). Kukang jawa juga ditemukan di
daerah non-konservasi seperti pada talun di Cipaganti, Tasikmalaya, Ciamis, dan
Sumedang (Putri, 2014; Widiana, Sulaeman, & Kinasih, 2013; Winarti, 2011).
Berkembangnya teknologi membuat informasi mengenai kukang untuk
dijadikan hewan peliharaan mulai tersebar melalui media sosial (Withaningsih et
al., 2019). Ketertarikan yang tinggi untuk memelihara kukang membuat
perdagangan ilegal terus meningkat, hal tersebut sejalan dengan perburuan liar
yang ikut meningkat untuk memenuhi permintaan konsumen. Selain itu
penurunan populasi kukang jawa didukung oleh deforestasi dan perubahan
penggunaan lahan.
Saat ini kukang jawa menduduki status Critically Endangered (IUCN) dan
Appendix I (CITES). Kukang jawa juga termasuk ke dalam ’25 primata paling
terancam punah di dunia 2014–2016’ versi IUCN. Perlindungan terhadap kukang
jawa di Indonesia juga sudah diatur di dalam peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor P.106/MENLHK/SETJEN/
KUM.1/12/2018. Status kukang sebagai primata yang paling terancam punah serta
dilindungi secara hukum tidak membuat populasi kukang jawa membaik, hal ini
ditandai dengan perubahan status konservasi dari endangered menjadi critically
2
2
endangered pada tahun 2013 menurut IUCN. Kukang jawa yang merupakan
predator pertama dalam rantai makanan memiliki peran penting di dalam
ekosistem, yaitu membantu menyeimbangkan populasi serangga, membantu
penyebaran dan penyerbukan tumbuhan (Nekaris et al., 2017).
Banyaknya ancaman bagi kukang serta kemampuan reproduksi kukang yang
rendah, membuat populasi kukang semakin menurun. Apabila tidak dilakukan
tindakan konservasi, penurunan populasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan
kepunahan seiring berjalannya waktu. Dalam proses konservasi, diperlukan
strategi agar dapat dilakukan langkah yang tepat dalam proses tersebut, sehingga
penelitian ini diperlukan untuk membantu membentuk strategi konservasi kukang
jawa di Pulau Jawa, melalui berbagai kajian dari penelitian-penelitian yang telah
dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana rumusan strategi
konservasi kukang jawa di Pulau Jawa berdasarkan penelitian-penelitian yang
telah dilakukan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah membuat rumusan strategi konservasi
kukang jawa di Pulau Jawa melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam proses
perencanaan strategi konservasi kukang jawa di Pulau Jawa, serta dapat menjadi
nilai tambah pengetahuan ilmiah dalam konservasi primata nokturnal.
3
1.5. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini terdapat pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian strategi konservasi kukang jawa di Pulau
Jawa
Kukang jawa
Pulau Jawa
Populasi menurun
Perlu dikonservasi
Karakteristik Ekologi Ancaman Konservasi
Studi literatur
Strategi konservasi kukang jawa
di Pulau Jawa
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kukang Jawa
Lima spesies dari genus Nycticebus tersebar di benua Asia, yaitu Nycticebus
bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis, dan N. javanicus. Tiga
diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu N. coucang (kukang malaya), N.
menagensis (kukang borneo), dan N. javanicus (kukang jawa). Nycticebus
javanicus biasa dikenal sebagai javan slow loris atau kukang jawa merupakan
primata nokturnal yang termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata,
kelas Mammalia, ordo Primates, famili Lorsidae, genus Nycticebus, dan
Nycticebus javanicus.
Gambar 2. Kukang jawa (Nycticebus javanicus) (Fransson, 2018)
Kukang jawa (Gambar 2) termasuk primata primitif yang bersifat nokturnal
(aktif di malam hari), arboreal (menghabiskan waktu di atas pohon), soliter, dan
quadrupedal (berjalan dengan empat alat gerak). Primata ini memiliki retikulum
khusus dalam tangan dan kakinya yang menghasilkan asam laktat sehingga
memungkinkan mereka untuk mencengkeram dahan pohon dengan tangan dan
kakinya selama berjam-jam (Nowak, 1999).
Kukang jawa memiliki warna rambut bervariasi yang menutupi seluruh
tubuhnya, mulai dari coklat muda hingga coklat tua dan sedikit warna putih,
5
terdapat garis berwarna coklat tua di pangkal ekor hingga dahi, garis tersebut
bercabang ke mata dan telinga sehingga membentuk pola garpu (Groves, 2001).
Kukang jawa dikenal sebagai primata tak berekor karena panjang ekornya hanya
10–20 mm (Angeliza, 2014). Kukang jawa dewasa memiliki bobot tubuh paling
besar jika dibandingkan kukang sumatera dan kukang kalimantan, dengan berat
sekitar 750–1.150 g serta panjang tubuh sekitar 30 cm, sedangkan kukang remaja
dan infant masing-masing memiliki berat tubuh 250–750 g dan lebih ringan dari
250 g (Fransson, 2018; Rode-Margono, Nijman, & Nekaris, 2014).
Gambar 3. Pantulan cahaya berwarna jingga (Arismayanti, 2014)
Penelitian terhadap kukang jawa pada umumnya dilakukan pada malam hari
karena merupakan hewan nokturnal, sehingga mudah ditemukan apabila matanya
terkena sorot cahaya karena kukang memiliki tapetum lucidum yang akan
memantulkan cahaya berwarna jingga (Gambar 3) hingga jarak 200 m. Tapetum
lucidum merupakan lapisan bagian belakang retina yang sensitif terhadap cahaya,
lapisan ini membantu penglihatan kukang yang aktif di malam hari (Wiens, 2002).
Kukang memiliki 36 buah gigi, empat diantaranya disebut tooth comb, yang
terdiri dari empat gigi seri pada rahang bawah yang arah tumbuhnya lebih
horizontal, tooth comb berfungsi untuk menyisir rambutnya (grooming) dan
melukai batang pohon untuk mengeluarkan getahnya. Toilet claw merupakan
cakar kuku yang panjang di jari kedua pada alat gerak bagian belakang, toilet claw
juga digunakan untuk grooming (Ankel-Simons, 2007a).
Kukang juga memiliki rhinarium atau moncong (ujung hidung) yang selalu
lembap dan basah, rhinarium berfungsi untuk membantu daya penciumannya
dalam mengenali jejak bau yang ditinggalkan kukang lain. Kukang jawa memiliki
6
kelenjar brakialis yang terdapat di bagian siku tangan, apabila kukang merasa
terancam akan mengeluarkan sekresi dan hasil sekresi tersebut berbahaya apabila
bercampur dengan saliva (Ankel-Simons, 2007b; Nekaris, 2014).
2.1.1. Distribusi dan Habitat
Distribusi kukang jawa hanya tersebar di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa.
Sebelumnya persebaran kukang jawa dianggap terbatas di bagian barat dan tengah
pulau, tapi hasil survei terbaru telah mengkonfirmasi kehadirannya di bagian
timur (Aryanti, Hartono, Ramadhan, & Pahrurrobi, 2018). Kukang jawa dapat
ditemukan di ketinggian 220 m dpl hingga 1.600 m dpl (Nekaris et al., 2014;
Winarti, 2011), pada tipe habitat yang bervariasi seperti hutan primer, hutan
sekunder, talun, agroforestri kopi, hutan lindung, maupun perkebunan
(Arismayanti, 2014; Pambudi, 2008; Putri, 2014; Sari, Budiadi, & Imron, 2020;
Winarti, 2011; Wirdateti, 2012).
Habitat kukang jawa memiliki kerapatan vegetasi yang cukup tinggi.
Kukang jawa di alam tidak membuat sarang untuk beristirahat, melainkan
menggunakan percabangan pohon sebagai lokasi tidur. Karakteristik lokasi tidur
kukang adalah tumbuhan dengan tutupan tajuk 68%, tinggi 10–22m, rata-rata
DBH 0,44 m, dan rata-rata jarak antar tumbuhan tingkat pohon terdekat 5,4 m,
TBC 8,99 m, dan keliling batang sebesar 1,39 m (Arismayanti, 2014; Nurcahyani,
2015).
2.1.2. Pakan
Kukang jawa merupakan hewan omnivora, lebih tepatnya primata
exsudatiovorus. Makanan kukang jawa di habitat alaminya adalah getah (70,24%),
nektar (16,67%), serangga (11,9%), dan bunga (1,19%) dengan konsumsi paling
tinggi terhadap getah. Kukang di alam juga mengkonsumsi telur burung, burung
kecil, buah-buahan, sadapan nira aren, getah karet (gum), moluska, daun, kulit
kayu, bambu, dan jamur (Nekaris et al., 2017; Nurcahyani, 2015; Rode-Margono
et al., 2014).
Berbeda dengan pakan di habitat alaminya, pola pakan di penangkaran telah
ditentukan oleh pengelolanya. Kukang jawa di pusat penyelamatan maupun
7
penangkaran diberikan makan berupa duku, jangkrik, pisang, burung bulbul, kiwi,
ulat hongkong, kaki seribu, ngengat, telur ayam mentah, jeruk, anggur ungu, dan
susu formula bayi (Streicher, Wilson, Collins, & Nekaris, 2013).
2.2. Status Konservasi dan Strategi Konservasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, mendeskripsikan bahwa konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya.
Status konservasi suatu spesies merupakan indikator kemungkinan spesies
tersebut terus bertahan hidup baik saat ini maupun di masa depan. Status
konservasi dapat dikeluarkan oleh pemerintah maupun suatu lembaga. Dua
lembaga yang menetapkan status konservasi dan digunakan secara global antara
lain IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora).
Gambar 4. Struktur kategori RedList IUCN (IUCN, 2019)
Red List IUCN adalah indikator kritis kesehatan keanekaragaman hayati
dunia dengan memberikan informasi tentang jangkauan, ukuran populasi, habitat
8
dan ekologi, penggunaan dan/atau perdagangan, ancaman, dan tindakan
konservasi yang akan membantu menginformasikan keputusan konservasi yang
diperlukan. IUCN menetapkan sembilan kategori status konservasi (Gambar 4)
(IUCN, 2019):
1. Extinct (EX), Takson Punah jika tidak ada keraguan yang masuk akal bahwa
individu terakhir telah mati. Takson dianggap punah ketika survei menyeluruh
di habitat yang diketahui dan/atau diharapkan, pada waktu yang tepat (diurnal,
musiman, tahunan), sepanjang rentang historisnya gagal mencatat individu.
Survei harus dilakukan dalam jangka waktu yang sesuai dengan siklus hidup
takson dan bentuk kehidupan.
2. Extinct In The Wild (EW), Takson Punah di Alam Liar jika diketahui hanya
bertahan hidup dalam budidaya, di penangkaran, atau sebagai populasi yang
dinaturalisasi jauh di luar rentang masa lalu. Takson dianggap punah di alam
liar ketika survei menyeluruh di habitat yang diketahui dan/atau diharapkan,
pada waktu yang tepat (diurnal, musiman, tahunan), sepanjang rentang
historisnya gagal mencatat individu. Survei harus dilakukan dalam jangka
waktu yang sesuai dengan siklus hidup takson dan bentuk kehidupan.
3. Critically Endangered (CR), Takson Sangat Terancam Punah jika bukti
terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A
hingga E untuk Terancam Punah, dan oleh karena itu dianggap menghadapi
risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar.
4. Endangered (EN), Takson Terancam Punah jika bukti terbaik yang tersedia
menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A hingga E untuk
Terancam Punah, dan oleh karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan
yang sangat tinggi di alam liar.
5. Vulnerable (VU), Takson adalah Rentan jika bukti terbaik yang tersedia
menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A hingga E untuk
Rentan, dan oleh karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan yang
tinggi di alam liar.
6. Near Threatened (NT), Takson Hampir Terancam bila telah dievaluasi
berdasarkan kriteria tetapi tidak memenuhi syarat untuk Terancam Punah, atau
9
Rentan sekarang, tetapi mendekati kualifikasi atau kemungkinan memenuhi
syarat untuk kategori terancam dalam waktu dekat.
7. Least Concern (LC), Takson Sedikit Dikhawatirkan ketika telah dievaluasi
berdasarkan kriteria dan tidak memenuhi syarat untuk Terancam Punah,
Rentan, atau Hampir Terancam Punah. Takson yang tersebar luas dan
melimpah sering kali termasuk dalam kategori ini.
8. Data Deficient (DD), Takson Kekurangan Data ketika tidak ada informasi
yang memadai untuk membuat penilaian langsung, atau tidak langsung, risiko
kepunahannya berdasarkan distribusi dan/atau status populasinya. Takson
dalam kategori ini mungkin dipelajari dengan baik, dan secara biologis
diketahui dengan baik, tetapi data yang sesuai tentang kelimpahan dan/atau
distribusinya masih kurang. Oleh karena itu, Kekurangan Data bukanlah
kategori ancaman. Pencatatan taksa dalam kategori ini menunjukkan bahwa
lebih banyak informasi diperlukan dan mengakui kemungkinan bahwa
penelitian di masa mendatang akan menunjukkan bahwa klasifikasi terancam
sudah sesuai.
9. Not Evaluated (NE), Takson Tidak Dievaluasi bila belum dievaluasi terhadap
kriteria.
Lima kriteria yang ditetapkan oleh IUCN dalam menetapkan status
konservasi, diantaranya (IUCN, 2019):
1. Kriteria A, Pengurangan ukuran populasi (dulu, sekarang dan/atau
diproyeksikan).
2. Kriteria B, Ukuran jangkauan geografis, dan fragmentasi, beberapa lokasi,
penurunan atau fluktuasi.
3. Kriteria C, Ukuran dan fragmentasi populasi yang kecil dan menurun,
fluktuasi, atau sub populasi yang sedikit.
4. Kriteria D, Populasi sangat kecil atau distribusinya sangat terbatas.
5. Kriteria E, Analisis kuantitatif risiko kepunahan (misalnya, analisis kelayakan
populasi).
CITES merupakan kesepakatan internasional antar pemerintah yang
bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen hewan
10
dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. Terdapat tiga
kategori status konservasi yang ditetapkan oleh CITES (CITES, 2015):
1. Appendix I, berisi daftar spesies yang paling terancam punah di antara hewan
dan tumbuhan yang terdaftar di CITES. CITES melarang perdagangan
internasional spesimen spesies ini kecuali jika tujuan impornya tidak untuk
komersial, misalnya untuk penelitian ilmiah. Dalam kasus-kasus luar biasa ini,
perdagangan dapat terjadi asalkan diizinkan oleh pemberian izin impor dan
izin ekspor (atau sertifikat ekspor ulang).
2. Appendix II, berisi daftar spesies yang sekarang tidak terancam punah tetapi
mungkin akan punah kecuali perdagangan dikontrol secara ketat. Ini juga
termasuk apa yang disebut "spesies yang mirip", yaitu spesies yang
spesimennya dalam perdagangan terlihat seperti spesies yang terdaftar untuk
alasan konservasi. Perdagangan internasional spesimen spesies Appendix-II
dapat disahkan dengan pemberian izin ekspor atau sertifikat re-ekspor. Tidak
ada izin impor yang diperlukan untuk spesies ini di bawah CITES (meskipun
izin diperlukan di beberapa negara yang telah mengambil tindakan yang lebih
ketat daripada yang disyaratkan CITES). Izin atau sertifikat hanya boleh
diberikan jika otoritas terkait yakin bahwa kondisi tertentu dipenuhi, di atas
semua itu perdagangan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies di
alam liar.
3. Appendix III, berisi daftar spesies yang dimasukkan atas permintaan suatu
pihak yang telah mengatur perdagangan spesies dan yang membutuhkan kerja
sama negara lain untuk mencegah eksploitasi yang tidak berkelanjutan atau
ilegal. Perdagangan internasional spesimen spesies yang tercantum dalam
kategori ini hanya diperbolehkan dengan menunjukkan izin atau sertifikat
yang sesuai.
Status konservasi kukang jawa (N. javanicus) dalam Red List IUCN adalah
Sangat Terancam Punah (Critically Endangered), artinya memiliki resiko
kepunahan yang sangat tinggi di alam liar. Lain halnya dengan CITES yang
menetapkan seluruh spesies dari genus Nycticebus masuk ke dalam Appendix I.
11
Strategi konservasi adalah pendekatan yang fokus pada konservasi sumber
daya makhluk hidup dan memberikan panduan kebijakan tentang bagaimana hal
ini dapat dilakukan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
menetapkan strategi konservasi dalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.7/KSDAE-SET/2015 tentang
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem Tahun 2015-2019. UU No. 5 Tahun 1990 menetapkan tiga kegiatan
dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, antara lain:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian.
Menggunakan sumber pustaka yang berkaitan dengan kukang jawa di Pulau Jawa,
dan sumber pustaka yang berkaitan dengan proses konservasi. Sumber pustaka
yang digunakan berupa e-book, web artikel, tesis, dan jurnal yang didapatkan
melalui kunjungan perpustakaan dan pencarian secara daring dengan
menggunakan kata kunci kukang jawa, javan slow loris, Nycticebus sp,
Nycticebus javanicus, konservasi, dan conservation.
3.2. Cara Kerja
Hasil penelitian kukang jawa ditelusuri melalui kunjungan pustaka secara
langsung dan pencarian daring melalui ScienceDirect, google scholar, dan
springerlink. Literatur yang telah dikompilasi, diperiksa keabsahannya, jurnal
dengan standar nasional minimal memiliki nilai sinta 4. Selanjutnya jurnal yang
telah sesuai standar kembali disaring berdasarkan kesesuaian isinya untuk
digunakan sebagai sumber literatur penelitian. Jurnal yang membahas mengenai
taksonomi, ekosistem, populasi, distribusi, perilaku, dan ancaman konservasi bagi
kukang jawa akan dipilih untuk dijadikan sebagai literatur.
Sebanyak 65 literatur memenuhi kriteria untuk dijadikan sumber literatur,
kriteria yang dibutuhkan antara lain literatur yang membahas mengenai kukang
jawa di Pulau Jawa. Literatur dirangkum, dicari permasalahan yang sekiranya
belum terjawab, selanjutnya dijawab atau diberikan solusi maupun saran melalui
analisis penulis yang didukung oleh literatur lainnya. Sehingga terbentuk rumusan
strategi konservasi bagi kukang jawa melalui studi literatur yang mencangkup
rencana, penetapan kawasan perlindungan, dan evaluasi terhadap konservasi
kukang jawa.
13
Peta distribusi persebaran kukang jawa di habitat aslinya dibuat dengan
mengumpulkan titik koordinat perjumpaan kukang jawa dari beberapa literatur.
Titik koordinat yang telah didapatkan selanjutnya dirapikan dan disusun ke dalam
Microsoft Microsoft Excel dengan satuan koordinat geografi berupa Degree
Minute Second (DMS). File kumpulan titik koordinat perjumpaan kukang dengan
format excel diubah menjadi format shp menggunakan aplikasi ArcMap versi
10.8, selanjutnya peta Pulau Jawa yang didapatkan melalui website lapakgis.com
dengan format shp diinput ke dalam ArcMap versi 10.8, lalu ditambahkan layer
berupa file shp titik koordinat perjumpaan kukang jawa. Peta Pulau Jawa yang
telah dilengkapi dengan titik koordinat distribusi kukang jawa, ditambahkan
informasi judul peta, skala, arah mata angin, legenda, sumber peta, dan nama
author keterangan tambahan pada peta.
3.3. Analisis Data
Analisis dilakukan berdasarkan data sekunder yang berasal dari berbagai
literatur, pembagian literatur tersebut dikelompokkan berdasarkan topik
penelitian, yaitu: morfologi, genetik, dan ekologi untuk mempermudah analisis.
Hasil analisis data dikembangkan untuk membuat rencana strategi konservasi
kukang jawa.
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Strategi konservasi merupakan cara yang digunakan untuk melestarikan
suatu spesies dari jalan menuju kepunahan dengan cara merancang strategi
tertentu untuk membuat spesies tersebut tetap hidup dengan populasi yang tidak
mengkhawatirkan. Strategi konservasi terhadap satwa secara langsung umumnya
dilakukan secara in situ dan ek situ, diikuti dengan konservasi secara tidak
langsung seperti memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai satwa yang
dikonservasi maupun proses penegakan hukum yang berlaku. Rencana konservasi
in situ dan ek situ harus saling terintegrasi agar proses konservasi kukang jawa
berjalan dengan maksimal. Dalam penyusunan strategi konservasi satwa
diperlukan ulasan mengenai spesies tersebut seperti taksonomi, distribusi,
populasi, habitat, pakan, perilaku, hingga ancaman bagi satwa tersebut.
4.1. Karakteristik kukang jawa
Sebelumnya kukang jawa memiliki nama ilmiah N. c. javanicus yang
merupakan subspesies dari Nycticebus coucang. Hingga pada tahun 2004 kukang
jawa ditetapkan sebagai spesies terpisah dengan nama Nycticebus javanicus
(Brandon-Jones et al., 2004). Penetapan kukang jawa menjadi spesies terpisah
dengan menimbang perbedaan morfologi dan genetik yang ada terhadap kukang
sumatera. Perbedaan kukang jawa dengan kukang sumatera dapat ditemukan
melalui pola garpu pada wajah kukang jawa, warna rambut kukang jawa yang
lebih gelap, serta ukuran tubuh kukang jawa yang lebih besar (Chen et al., 2006;
Nekaris & Jaffe, 2007; Nekaris & Munds, 2010). Selain itu populasi kukang di
Jawa dan Sumatera menunjukkan haplotipe yang berbeda berdasarkan gen
mitokondria 12S rRNA (Wirdateti, Okayama, & Kurniati, 2006).
Primata dari genus Nycticebus menjadi satu-satunya primata yang berbisa.
Kelenjar brakialis pada kukang jawa memproduksi eksudat yang jika bercampur
dengan saliva dapat menjadi racun. Racun yang terdapat pada tubuh kukang
digunakan untuk berburu, selain itu menjadi bentuk perlindungan diri dari
ektoparasit maupun kompetisi intraspesifik. Sebagian besar ektoparasit dari
15
Famili Arthropoda mati akibat terkena campuran air liur dengan sekresi kelenjar
brakial kukang jawa, namun efektivitas racun dalam membunuh ektoparasit
tergantung kepada spesies Arthropoda dan individu kukang yang mengeluarkan
racun (Grow, Wirdateti, & Nekaris, 2015). Kompetisi intraspesifik pada kukang
jawa digunakan untuk melindungi wilayah dan pasangannya, kompetisi
intraspesifik yang terjadi hanya menimbulkan luka pada kukang jawa, namun
tidak menyebabkan kematian (Nekaris et al., 2020).
Menjadi satu-satunya primata yang berbisa dan populasinya selalu
menurun, analisis genetika kukang jawa telah dilakukan untuk membantu
konservasi kukang jawa supaya tidak terjadi kepunahan. Keragaman genetik
dilihat melalui control region (D-loop) mitokondrial DNA (mtDNA), hasil
analisis menunjukkan variasi genetik pada kukang jawa sangat rendah. Hanya
terdapat lima situs yang berbeda di antara individu (0,3%) dan populasi monomorf
sebanyak 42,69% (Wirdateti et al., 2019). Rendahnya variasi genetik pada kukang
jawa dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada spesies tersebut apabila
variasi genetik menurun secara berkelanjutan.
4.2. Ekologi kukang jawa
Habitat alami kukang jawa hanya terdapat di Indonesia khususnya Pulau
Jawa, sehingga hanya terdistribusi di Pulau Jawa. Hal ini membuat kukang jawa
menjadi yang lebih rentan terhadap aktivitas antropogenik dibandingkan dengan
dua spesies kukang lain yang ada di Indonesia. Gambar 5 menunjukkan prediksi
persebaran kukang jawa, warna abu-abu menunjukkan prediksi distribusi kukang
jawa tanpa membatasi ketinggian dan vegetasi, sedangkan warna hitam
menunjukkan prediksi distribusi sisa kukang jawa yang lebih pasti (Thorn,
Nijman, Smith, & Nekaris, 2009).
Gambar 5. Prediksi distribusi kukang jawa (Thorn et al., 2009)
16
Persebaran kukang jawa menurut Red List IUCN hanya terdapat di daerah
Ujung Kulon. Namun penelitian lain yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
kukang jawa tersebar di bagian Barat hingga Timur Pulau Jawa (Gambar 6).
Distribusi kukang jawa berada di dalam maupun di luar kawasan konservasi,
meliputi daerah Ujung Kulon, Kabupaten Lebak, Gunung Gede Pangrango,
Gunung Halimun Salak, Desa Cipaganti, Desa Dayeuh Luhur, Desa Kidang
Pananjung, Desa Sindulang, Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Hutan Lindung
Kondang Merak/RPH Sumbermanjing Kulon, Meru Betiri, Gunung Tilu, Gunung
Simpang, Gunung Sawal, Cisokan, dan Hutan Kemuning (Arismayanti, 2014;
Aryanti et al., 2018; Jaya, 2016; Lehtinen, 2015; Nekaris et al., 2014; Nekaris,
2014; Pambudi, 2008; Putri, 2014; Sari et al., 2020; Triandhika, Salsabila,
Sukmaningrum, & Utami, 2020; Voskamp et al., 2014; Widiana et al., 2013;
Winarti, 2011; Wirdateti, 2012; Wirdateti et al., 2010).
Peta distribusi persebaran kukang jawa di Pulau Jawa hasil prediksi Thorn
et al. (2009) tidak berbeda jauh dengan peta yang dibuat dengan mengumpulkan
titik-titik koordinat perjumpaan kukang jawa di Pulau Jawa yang dikumpulkan
melalui berbagai sumber literatur. Kukang jawa paling banyak terdistribusi di
Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat disebabkan karena habitat yang sesuai untuk
kukang jawa dengan tingkat gangguan yang rendah maupun ramah terhadap
kukang jawa terdapat di Provinsi Jawa Barat. Kukang jawa dapat dijumpai pada
kawasan konservasi maupun non konservasi di Provinsi Jawa Barat.
17
Gambar 6. Peta distribusi kukang jawa di Pulau Jawa
Setiap kawasan distribusi kukang jawa terdiri dari tipe habitat yang
berbeda. Terdapat perbedaan kepadatan populasi yang signifikan pada tipe habitat
yang berbeda. Tipe habitat talun sempurna menjadi habitat dengan kepadatan
populasi kukang jawa tertinggi (Tabel 1) dibandingkan dengan tiga tipe habitat
lain (talun kebun, hutan primer, dan hutan sekunder). Talun sempurna merupakan
habitat di luar kawasan konservasi, hal ini sejalan dengan penelitian Voskamp et
al. (2014) yang menyatakan bahwa sebanyak 86,5% kukang jawa ditemukan di
luar kawasan lindung seperti kawasan pertanian dan hutan tanaman dengan
kebisingan antropogenik dan penebangan yang tinggi, karena tersedianya pohon
pakan dan lokasi tidur yang cukup bagi kukang jawa di habitat tersebut.
Tabel 1. Kepadatan populasi kukang jawa pada tipe habitat berbeda (Pambudi,
2008; Winarti, 2011)
Tipe habitat Kepadatan populasi (individu/km2)
Hutan primer 4,29
Hutan sekunder 15,29
Talun kebun 24,03
Talun sempurna 28,24
18
Perbedaan kepadatan populasi kukang jawa tidak hanya berbeda pada tipe
habitat, namun perbedaan tersebut juga terjadi pada tahun yang berbeda.
Kelimpahan populasi kukang jawa berbeda setiap tahunnya di Desa Dayeuh
Luhur. Pada tahun 2015 terdapat sebanyak 0,216 individu/ha dan menurun pada
tahun 2017 menjadi 0,133 individu/ha akibat terjadinya perburuan terhadap
kukang jawa yang tinggi, tahun selanjutnya pada 2018 kelimpahan populasi
kukang jawa mengalami peningkatan menjadi 0,200 individu/ha (Triandhika et
al., 2020).
Habitat hutan menjadi tempat tinggal yang sesuai bagi kukang jawa karena
jauh dari tempat beraktivitas manusia dan jauh dari kebisingan. Kukang jawa juga
memiliki karakteristik habitat dengan tutupan tajuk dan konektivitas yang tinggi
karena merupakan satwa arboreal yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk beraktivitas di atas pohon, habitat yang terletak di lereng yang curam dan
tingkat gangguan habitat yang rendah juga disukai kukang jawa (Fransson, 2018;
Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, & Imron, 2019b). Matriks hutan merupakan habitat
yang paling sesuai bagi kukang jawa di Kabupaten Temanggung, namun
perjumpaan kukang jawa di habitat dengan tingkat aktivitas manusia yang tinggi
maupun di dekat pemukiman seperti di daerah rencana pembangunan PLTA
Cisokan dan hutan Kemuning yang memilih hidup di dekat pemukiman karena
tersedia sumber pakan yang banyak (Ayundari, Megantara, Withaningsih,
Parikesit, & Husodo, 2017; Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, & Imron, 2019a), area
pembangunan PLTA Cisokan dan agroforestri kopi menandakan terjadinya
adaptasi pada kukang jawa terhadap lingkungannya (Ardian & Haryono, 2018;
Ayundari et al., 2017; Sari et al., 2020). Meskipun habitat kukang jawa
sebelumnya harus jauh dari kebisingan aktivitas manusia, kini kukang jawa telah
beradaptasi dengan habitat yang digunakannya meskipun terdapat aktivitas
manusia di dalamnya, namun harus tersedianya lokasi tidur dan pohon pakan yang
cukup di habitat tersebut. Adaptasi kukang jawa di habitatnya merupakan salah
satu cara kukang jawa untuk bertahan hidup, sehingga perlu diciptakan area
garapan yang ramah terhadap satwa untuk membantu melestarikan kukang jawa.
19
Pada umumnya satwa memilih habitat yang terdiri dari vegetasi yang dapat
memenuhi kebutuhan kukang jawa untuk bertahan hidup, seperti ketersediaan
lokasi tidur dan pohon pakan. Lokasi tidur (sleeping site) kukang jawa dapat
berupa bambu, pohon, dan liana. Tabel 2 menunjukkan spesies pohon yang
digunakan sebagai lokasi tidur oleh kukang jawa.
Tabel 2. Lokasi tidur kukang jawa (Arismayanti, 2014; Iqbal, 2011; Sari et al.,
2020; Winarti, 2011; Wirdateti, 2012)
Spesies Famili Lokasi
Arenga pinnata Arecaceae TTC
Pinanga coronata Arecaceae TNGHS
Aphananthe cuspidata Cannabaceae AK
Mallotus peltatus Euphorbiaceae TNGHS
Archidendron pauciflorum Fabaceae AK
Calliandra calothyrsus Fabaceae TNGHS
Quercus gemelliflora Fagaceae TNGHS
Millettia sericea Leguminosae TTC
Lagerstroemia speciosa Lythraceae TTC
Manglietia glauca Magnoliaceae TNGHS
Magnolia lilifera Magnoliaceae TNGHS
Melastoma malabathricum Melastomataceae TNGHS
Artocarpus elasticus Moraceae AK
Rhodamnia cinerea Myrtaceae TNGHS
Bambusa vulgaris Poaceae PC
Dendrocalamus asper Poaceae TTC
Gigantochloa apus Poaceae TTC, PC
G. pseudoarundinaceae Poaceae TTC. PC
G. gigantae Poaceae TTC
Gigantochloa atter Poaceae PC
Euodia latifolia Rutaceae TNGHS
Schima wallichii Theaceae TNGHS
Amomum lappaceum Zingiberaceae TNGHS Keterangan: TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis, PC = Perkebunan Desa Cipaganti,
TNGHS = Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, AK = Agroforestri Kopi
Lokasi tidur kukang jawa didominasi dari Famili Poaceae, lebih tepatnya
berasal dari tumbuhan bambu. Hal ini karena bambu memiliki kerapatan yang
tinggi sehingga dapat melindungi kukang jawa dari bahaya ketika sedang istirahat.
Selain itu, Voskamp et al. (2014) juga mengungkapkan bahwa kelimpahan bambu
di sebuah transek mempengaruhi perjumpaan kukang jawa di habitat alaminya.
20
Tersedianya pohon pakan menjadi salah satu faktor penting bagi kukang
jawa dalam memilih habitat. Selain berfungsi sebagai konektivitas, pohon pakan
dapat memenuhi kebutuhan primer makhluk hidup untuk melengkapi nutrisi yang
dibutuhkan oleh tubuh. Tabel 3 berisi spesies pohon pakan yang dimanfaatkan
oleh kukang jawa.
Tabel 3. Pohon pakan kukang jawa (Pambudi, 2008; Sari et al., 2020; Winarti,
2011; Wirdateti, 2012)
Spesies Famili Lokasi
Altingia excelsa
Altingiaceae B
Spondias pinnata
Anacardiaceae AK
Calamus sp.
Arecaceae B
Arenga pinnata
Arecaceae TTC
Aphananthe cuspidata
Cannabaceae AK
Carica papaya
Caricaceae PC
Garcinia dulcis
Clusiaceae PC
Garcinia celebica
Clusiaceae AK
Diospyros kaki
Ebenaceae PC
Macaranga rhizinoides
Euphorbiaceae B
Calliandra calothyrsus
Fabaceae B, PC
Paraserianthes falcataria
Fabaceae TTC
Parkia speciosa
Fabaceae TTC
Quercus lineata
Fagaceae B
Persea americana
Lauraceae PC
Sterculia urceolata
Malvaceae AK
Sandroricum koetjape
Meliaceae PC
Dysoxylum gaudichaudianum
Meliaceae AK
Swietenia mahagoni
Meliaceae TTC
Artocarpus heterophyllus
Moraceae PC, TTC, AK
Ficus sundaica
Moraceae AK
Ficus superba
Moraceae AK
Musa sp.
Musaceae PC
Musa paradisiaca
Musaceae TTC
Psidium guajava
Myrtaceae PC
Passiflora ligularis Passifloraceae PC
Pinus merkusii Pinaceae B
Eriobotrya japonica Rosaceae PC Keterangan: B = Hutan Bodogol, PC = Perkebunan Desa Cipaganti,
TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis, AK = Agroforestri Kopi
21
Artocarpus heterophyllus atau yang biasa dikenal dengan pohon nangka,
digunakan kukang jawa sebagai pohon pakan di tiga habitat yang berbeda.
Kukang jawa memanfaatkan getah pohon nangka untuk dikonsumsi. Kukang jawa
menggunakan pohon pakan untuk dimanfaatkan buah, bunga, daun, maupun
sebagai tempat mencari makanan berupa serangga. Pada setiap satu spesies
tumbuhan kukang jawa umumnya hanya memanfaatkan satu bagian dari
tumbuhan tersebut, baik daun muda, bagian mesocarp buah, maupun getah
(Francis Cabana, Dierenfeld, Wirdateti, Donati, & Nekaris, 2017).
Sebagian besar vegetasi yang dimanfaatkan oleh kukang jawa berada pada
tingkat tiang, dengan ukuran tubuh dan genggaman kukang jawa yang kecil
membuatnya menggunakan tipe substrat yang kecil pula. Kukang jawa
menggunakan tipe substrat ranting dan cabang berukuran 5–10 cm dalam
beraktivitas (Pambudi, 2008). Meski demikian, terdapat perbedaan antara jantan
dan betina dalam posisi memanfaatkan pohon secara vertikal dan horizontal.
Betina lebih banyak menggunakan bagian tepi pohon dan bawah tajuk untuk
beraktivitas, sedangkan jantan lebih banyak menggunakan bagian dekat batang
pohon dan atas tajuk (Sari et al., 2020).
Gambar 7. Pemanfaatan ruang horizontal dan vertikal oleh kukang jawa. a) dekat
batang pohon; b) bagian tepi pohon; c) atas tajuk; d) bawah tajuk (Sari
et al., 2020)
a b
c
d
22
Tingginya kukang dalam mengkonsumsi getah membuat kukang
digolongkan menjadi primata exudativorous. Morfologi kukang jawa tidak seperti
hewan pemakan getah pada umumnya, karena kukang jawa tidak memiliki kuku
yang tajam untuk mencungkil lapisan batang pohon dan bertahan pada posisi
vertikal pada batang pohon. Namun kukang jawa memiliki tooth comb yang
terdiri dari gigi seri dan taring, digunakan untuk grooming dan mencungkil
lapisan batang pohon, selain itu morfologi tangan, tungkai, dan kakinya
digunakan untuk mempertahankan postur ketika mencungkil (Nekaris, Moore,
Rode, & Fry, 2013; Poindexter & Nekaris, 2017).
Konsumsi getah yang tinggi oleh kukang jawa disebabkan karena terdapat
kandungan serat terlarut pada getah, pakan dengan kandungan serat yang tinggi
sangat penting dalam fisiologi pencernaan kukang jawa, selain itu getah juga tidak
bersifat musiman sehingga kukang jawa tidak akan kekurangan sumber makan
pada musim tertentu. Demi memenuhi kebutuhan nutrisi lainnya, kukang jawa di
habitat alaminya juga mengkonsumsi pakan lain (Tabel 4) seperti serangga,
nektar, bunga, buah, dan daun muda.
Tabel 4. Variasi pakan kukang jawa (Francis Cabana et al., 2017; Romdhoni,
Komala, Sigaud, Nekaris, & Sedayu, 2018; Winarti, 2011)
Spesies Bagian yang dimakan Lokasi
Acacia decurrens Getah TC
Arenga pinnata Nira TTC
Artocarpus heterophyllus Buah, Getah TC, TTC
Calliandra calothyrsus Nektar TC
Diospyros kaki Buah TC
Eucalyptus spp. Bunga TC
Gigantochloa cf. atter Daun muda TC
Melaleuca leucadendra Bunga TC
Musa paradisiaca Nektar TTC
Paraseserianthes falcataria Getah TTC
Parkia speciosa Buah TTC
Serangga Seluruh bagian TC Keterangan: TC = Talun Desa Cipaganti, TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis
Habitat perifer (tepi) sangat disukai oleh kukang jawa, karena bagian tepi
dan tengah hutan memiliki iklim mikro yang berbeda yang disebabkan oleh
23
keberadaan angin dan cahaya matahari. Cahaya matahari dapat masuk hingga
lantai hutan pada bagian tepi sehingga suhu menjadi lebih hangat dan disukai oleh
hewan ektoterm seperti serangga dan reptil yang menjadi makanan kukang jawa.
Angin berperan dalam persebaran tumbuhan, sehingga vegetasi di tepi hutan dan
di tengah hutan akan berbeda (Pambudi, 2008). Kukang jawa memilih habitat
secara selektif dalam skala mikrohabitat. Sehingga perilaku yang berbeda juga
akan ditemukan pada mikrohabitat yang berbeda, seperti pada perbedaan
ketinggian habitat (Gambar 8).
Gambar 8. Perbedaan perilaku harian dalam skala mikrohabitat di Cipaganti
(Reinhardt et al., 2016)
Perbedaan iklim pada ketinggian berbeda seperti suhu dan kelembapan
membuat perbedaan vegetasi, kecepatan pertumbuhan pohon yang hidup pada
habitat tersebut, dan perbedaan energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
suhu tubuhnya. Pada habitat dengan ketinggian terendah, persentase perilaku
kukang jawa tertinggi pada bepergian dan terendah pada makan, sedangkan pada
habitat dengan ketinggian tertinggi, persentase perilaku kukang jawa tertinggi
pada mencari makan dan terendah pada istirahat. Tingginya perilaku mencari
makan pada ketinggian 1430–1570 m dpl berhubungan dengan tingginya %RH
yang menyebabkan aktivitas arthropoda meningkat, sehingga kukang jawa lebih
banyak menghabiskan waktu untuk mencari makan dan menurunkan aktivitas
istirahat (Reinhardt et al., 2016). Suhu dingin di ketinggian tertinggi
mempengaruhi vegetasi dan pertumbuhan bunga, menyebabkan berkurangnya
sumber pakan berupa nektar bunga dan membuat kukang jawa lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mencari makan dan bepergian (Reinhardt, 2015).
Perbedaan ketinggian habitat secara tidak langsung mempengaruhi perbedaan
05
1015202530
Istirahat Makan Mencarimakan
Bepergian
Pe
rsen
tase
(%
)
1275-1395 m dpl
1330-1479 m dpl
1430-1570 m dpl
24
persentase jenis pakan yang dikonsumsi oleh kukang jawa akibat iklim yang
berbeda.
Primata nokturnal ini memulai aktivitasnya pada pukul 18.00 WIB atau
saat matahari terbenam, dan mengakhiri aktivitasnya pada pukul 06.00 WIB atau
saat matahari terbit. Kukang jawa akan mulai beraktivitas dengan menunjukkan
perilaku aktif, makan, mencari makan, dan menyelisik pada pukul 18.00–19.00
WIB. Selanjutnya perilaku makan kukang jawa meningkat pada pukul 20.00–
21.00 WIB dan menurun pada pukul 22.00–23.00 WIB. Setelah terjadi penurunan
perilaku makan kukang jawa, kukang jawa mencari makan selama pukul 01.00–
02.00 WIB untuk memenuhi cadangan energi ketika tidur di siang hari. Perilaku
aktif menurun pada pukul 05.00–06.00 WIB yang menandakan kukang sudah
mulai beristirahat (Hendrian, Hendrayana, & Supartono, 2020). Perilaku sosial
dan perilaku abnormal sangat jarang terjadi pada kukang jawa di habitat alaminya.
Perilaku abnormal meliputi mondar-mandir dan berputar di satu tempat, serta
memutar kepala (rolling head) (YIARI, 2013 dalam Angeliza, 2014).
4.3. Konservasi in situ
Konservasi in situ merupakan teknik konservasi di habitat alaminya, seperti
pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang menjadi salah satu habitat
dari kukang jawa. Rencana konservasi in situ memiliki tujuan jangka panjang
untuk meningkatkan populasi di habitat alaminya, agar tujuan tersebut dapat
tercapai diperlukan pengelolaan yang tepat bagi habitat kukang jawa. Peraturan
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor
P.14/KSDAE/SET/KSA.1/12/2017 menetapkan bahwa evaluasi terhadap strategi
konservasi yang meliputi perubahan vegetasi, perilaku, luas jelajah, hingga
populasi kukang jawa harus dilakukan paling lama 5 tahun sekali.
Distribusi kukang jawa di habitat alaminya hanya tersebar di empat
provinsi Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Titik distribusi kukang jawa paling banyak tersebar di Provinsi Jawa Barat dan di
luar kawasan konservasi, khususnya talun dan perkebunan. Deforestasi hutan
yang tinggi membuat menurunnya populasi kukang jawa di habitat alaminya
(Higginbottom, Collar, Symeonakis, & Marsden, 2019). Selain itu sebesar 93,2%
25
habitat yang sesuai bagi kukang jawa di Jawa Tengah berada di luar kawasan
lindung, karena kawasan konservasi dianggap kurang dapat mempertahankan
populasi kukang jawa (Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, Tafrichan, & Imron, 2020).
Ancaman lain bagi kukang jawa di kawasan konservasi seperti pada tipe
habitat hutan adalah predasi. Predasi merupakan suatu interaksi antara predator
dengan mangsanya, dimana kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) dan macan
tutul (Panthera pardus melas) menjadi predator bagi kukang jawa. Peristiwa
predasi terjadi kepada masing-masing satu individu kukang jawa jantan dan betina
yang berhasil bertahan hidup selama 330 hari dan 90 hari di Gunung Sawal
setelah dilepasliarkan ke alam, namun kedua individu diduga dimangsa oleh
kucing kuwuk, ditandai dengan ditemukannya bagian tubuh kukang jawa berupa
tulang, rambut, dan organ dalam serta jejak kaki kucing kuwuk. Satu individu
jantan dan betina lain pun diduga dimangsa oleh macan tutul jawa saat masih di
dalam kandang habitat sementara di Gunung Sawal sebelum sempat
dilepasliarkan ke Gunung Sawal, ditandai dengan rusaknya kandang, hilangnya
kukang jawa dalam kandang, tanda cakaran dari macan tutul, jejak kaki macan
tutul, serta ditemukannya rambut macan tutul di permukaan dalam kandang
(Huda, Moore, & Sanchez, 2018). Predasi terhadap kukang jawa yang
dilepasliarkan akan menjadi masalah baru bagi kukang jawa, sehingga perlu
dilakukan kajian lokasi pelepasliaran yang tepat bagi kukang jawa agar proses
pelepasliaran kukang jawa tidak menjadi sia-sia. Tidak hanya menyesuaikan
dengan karakteristik habitat kukang jawa, lokasi pelepasliaran juga harus
mempertimbangkan keberadaan predator alami kukang jawa, agar upaya rencana
konservasi in situ untuk mempertahankan populasi kukang jawa di habitat
alaminya berjalan seperti yang diharapkan.
Tingginya perjumpaan kukang jawa di luar kawasan konservasi sangat
disayangkan jika tidak diperhatikan dan dijaga. Habitat yang terfragmentasi
memiliki gap pada vegetasinya, hal ini menjadi suatu masalah bagi kukang jawa
yang merupakan primata arboreal. Solusi dari keberadaan gap adalah membuat
kanopi alami dengan menanam pohon, atau membuat jembatan kanopi buatan.
Jembatan kanopi dapat dibuat dengan pipa air yang dililitkan ke kawat, atau
26
dengan karet yang dililit kawat untuk menjaga stabilitasnya (Birot, Campera,
Imron, & Nekaris, 2020). Kukang jawa juga memanfaatkan bambu yang
digunakan untuk menyangga kebun labu siam sebagai jembatan untuk berpindah
tempat (Nekaris et al., 2017). Pembuatan jembatan kanopi menciptakan akses ke
area baru yang dapat dihuni, sumber pakan baru, dan mendorong penyebaran
(Birot et al., 2020). Konservasi satwa liar di luar kawasan lindung/konservasi juga
dapat dilakukan dengan cara pendekatan pengembangan ekowisata satwa liar
khususnya berbasis kukang, hal tersebut diharapkan mendukung konservasi
kukang jawa dan memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap pentingnya
kukang jawa dalam suatu ekosistem, selain itu dapat mendorong perekonomian
masyarakat sekitar (Maccoll & Tribe, 2017).
Kawasan konservasi memiliki peluang yang lebih tinggi bagi kukang jawa
untuk hidup, merupakan tempat yang cocok dalam konservasi jangka panjang
bagi kukang jawa karena telah memiliki rencana pengelolaannya sendiri. Seperti
menegaskan batas kawasan konservasi, menjalankan hukum yang berlaku,
melakukan pengayaan vegetasi, mencegah terjadinya perburuan dan penebangan
liar, hingga melakukan pendekatan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan konservasi. Kawasan konservasi juga kemungkinan memiliki tingkat
gangguan manusia yang lebih rendah jika dibandingkan habitat di luar kawasan
konservasi seperti perkebunan atau talun yang merupakan area garapan. Beberapa
proses reintroduksi atau pelepasliaran kukang jawa telah dilakukan di kawasan
konservasi seperti Suaka Margasatwa Gunung Sawal, hutan Telaga Bodas, hutan
lindung Kondang Merak, kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS), dan lainnya (Gunawan, 2019; Hermansyah, 2019;
Rochman, 2017; Saudale, 2017; Widyaningrum, 2019).
Lokasi yang sesuai dengan habitat kukang jawa harus dijaga dengan baik,
habitat yang berada di kawasan konservasi maupun non konservasi. Terdapat
beberapa faktor yang paling sesuai bagi habitat kukang jawa, antara lain penutup
lahan berupa hutan, kerapatan vegetasi (70%), suhu (20–25°C), jarak pohon tidur
(0–250), kepadatan pakan (12–16 ind/ha), jarak dari jalan utama (>1000 m), dan
kelerengan (15–25%) (Ardian & Haryono, 2018; Robyantoro, 2014).
27
4.4. Konservasi ek situ
Konservasi ek situ merupakan teknik konservasi di luar habitat alaminya,
seperti pada kebun binatang, taman safari, maupun tempat rehabilitasi. Kebun
binatang maupun taman safari diharapkan dapat membantu proses konservasi
dengan menjadi media informasi untuk edukasi dan kampanye konservasi kukang
jawa. Kukang jawa yang berada di konservasi ek situ dapat ditemukan di Pusat
Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung, Yayasan International Animal Rescue
(IAR) Indonesia, Ciapus Primate Center (CPC), Penangkaran Mamalia Kecil,
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi–LIPI, serta beberapa kebun binatang
dan taman safari seperti Kebun Binatang Ragunan, Batu Secret Zoo, dan Taman
Safari Prigen.
Southeast Asian Zoos and Aquariums Association (SEAZA) telah
menetapkan standar perawatan satwa di kebun binatang atau lembaga konservasi
untuk perlindungan kesejahteraan satwa. Standar perawatan satwa di dalam
kandang menurut SEAZA diantaranya, 1) kandang satwa harus dibuat sesuai
habitat alaminya dan tidak melebihi kapasitas kandang; 2) memiliki menu pakan
yang sesuai dan seimbang bagi setiap satwa; 3) melakukan pengayaan lingkungan
untuk mendorong perilaku normal dan meminimalisir perilaku abnormal; 4)
melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan satwa secara teratur; dan 5)
menjaga kebersihan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit. Selain itu staf
yang bekerja harus memiliki kemampuan dalam penanganan dan kesejahteraan
satwa, hal positif yang dilakukan dapat membuat satwa bahagia dan menghindari
satwa dari perasaan takut dan tertekan (SEAZA, 2019).
Kukang jawa di dalam kandang biasanya lebih banyak diberi makan buah
dan sayur, karena keduanya mudah ditemukan dan tersedia sepanjang waktu.
Pemberian pakan berupa serangga juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
proteinnya. Pakan tambahan lainnya berupa merbah cerukcuk, telur ayam mentah,
dan susu formula (Streicher et al., 2013; Wahyuni, 2011). Pemberian pakan yang
didominasi dengan buah-buahan dapat memberikan dampak negatif bagi kukang
jawa terutama pada kesehatan mulut dan pencernaan, karena tingginya konsumsi
karbohidrat larut sedangkan kandungan mineral dan serat yang rendah (Cabana,
28
Dierenfeld, Wirdateti, Donati, & Nekaris, 2017). Perbedaan pakan antara kukang
jawa liar dan yang berada di dalam kandang membuat perbedaan mikrobioma di
dalam usus keduanya. Keanekaragaman mikrobioma dalam usus kukang jawa di
penangkaran yang telah diberi pola makan seperti di alam lebih tinggi
dibandingkan kukang jawa liar, hal ini menunjukkan pentingnya pola makan
tinggi serat (Cabana et al., 2019). Pergantian pola makan yang didominasi oleh
buah dapat diganti dengan pola makan tinggi serat seperti getah arab (gum
arabic), serangga, dan sayuran perlu dilakukan untuk kesehatan mulut dan
pencernaan kukang jawa, mencegah terjadinya obesitas pada kukang jawa, serta
meminimalisir perilaku abnormalnya. Menurut Gray, Wirdateti, & Nekaris
(2015), pola pakan dengan rendah kalori dan tinggi energi juga dapat
mempengaruhi kesehatan gigi kukang jawa yang masih memiliki gigi dengan
lengkap.
Gambar 9. Bekas gigitan kukang yang berada di dalam kandang (Wahyuni, 2011)
Pemberian pakan sesuai pakan di habitatnya dapat memberikan dampak
positif bagi kukang jawa yang berperilaku abnormal. Perilaku abnormal dapat
ditemukan pada kukang jawa di penangkaran Ciapus Primate Center (CPC) yang
berasal dari hasil sitaan (Moore, Cabana, & Nekaris, 2015). Pemberian pakan
berupa eksudat dapat meminimalisir perilaku stereotip (abnormal) dari kukang
jawa, karena kukang jawa akan berperilaku seperti di habitat alaminya dengan
mencungkil menggunakan toothcomb dan mengkonsumsi eksudat pohon (Gray et
al., 2015). Meski tidak diberi makan eksudat, kukang jawa di PPS Lampung tetap
melakukan perilaku mencungkil meski tidak terdapat getah di batang pohon
29
tersebut, perilaku mencungkil tersebut menghasilkan lubang berdiameter rata-rata
2,5 cm dengan kedalaman 0,6 cm (Streicher et al., 2013).
Pakan yang dikonsumsi kukang jawa di dalam kandang telah disediakan
oleh manusia, sehingga kukang jawa tidak dapat memilih pakan yang dia mau
seperti di habitat alaminya. Pemberian pakan tambahan berupa biskuit bertabur
gula, monkey chow, dan biskuit kentang di Penangkaran Mamalia Kecil, Bidang
Zoologi, Pusat Penelitian Biologi–LIPI memberikan dampak positif terhadap
pertumbuhan dan kebutuhan nutrisi kukang jawa. Biskuit dan monkey chow dapat
meningkatkan performa pertumbuhan kukang jawa, khususnya peningkatan bobot
tubuh pada kukang jawa yang masih dalam masa pertumbuhan (Farida, Astuti, &
Sari, 2014). Pemberian pakan berupa biskuit kentang juga dapat meningkatkan
asupan bahan kering, nutrisi dan energi yang dicerna (Farida, Sari, & Astuti,
2016).
Pusat rehabilitasi merupakan tempat singgah sementara bagi kukang jawa
yang berhasil diselamatkan dari perdagangan ilegal maupun serahan langsung dari
warga. Pusat rehabilitasi menjadi salah tempat konservasi ek situ, standar
pengelolaan konservasi ek situ yang terintegrasi dengan konservasi in situ telah
diterbitkan oleh IUCN mencangkup proses 3R, yaitu rescue, rehabilitation, dan
reintroduction. Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia juga telah
memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam melakukan 3R tersebut.
Kukang jawa yang berhasil diselamatkan akan dilakukan pemeriksaan medis, jika
memiliki kecacatan akan direhabilitasi hingga memungkinkan untuk
dikembalikan ke habitat alaminya, sedangkan bagi yang sehat akan dimasukkan
ke tempat rehabilitasi untuk segera dikembalikan ke habitat alaminya (YIARI
dalam Aztianti, 2015).
Tidak semua kukang jawa yang berada di pusat rehabilitasi dapat
dikembalikan ke habitat alaminya. Sebagian besar kukang jawa (80%) hasil sitaan
memiliki gigi yang tidak sempurna (Moore et al., 2015). Pemotongan gigi depan
secara paksa pada kukang jawa dilakukan oleh pemburu maupun pedagang
dengan tujuan agar tidak membahayakan manusia ketika hendak dijadikan hewan
peliharaan, pemotongan gigi secara paksa dan tanpa obat bius dengan
30
menggunakan gunting kuku, cutter, maupun tang (Nekaris et al., 2013; IAR,
2021). Kukang jawa yang tidak memiliki gigi yang sempurna kemungkinan besar
tidak dapat dikembalikan ke habitat alaminya. Hilangnya gigi kukang jawa
menyebabkan kukang jawa tidak bisa mengkonsumsi makanan berupa getah
maupun hewan kecil, hal ini karena kukang jawa tidak dapat mencungkil dengan
giginya dan tidak dapat menghasilkan racun untuk membuat mangsanya pingsan
(Sanchez, 2008).
Perdagangan ilegal dan gangguan antropogenik juga dapat memberikan
dampak negatif bagi kesehatan kukang jawa. Kukang jawa yang terinfeksi
ditemukan di pusat rehabilitasi. Infeksi ektoparasit berhasil ditemukan berupa
ruam, dan parasit gastrointestinal diantaranya cacing tambang (Necator spp.),
cacing kremi (Lemuricola spp.), dan Trichostrongylus berupa telur dan bentuk
dewasa (Rode-Margono, Albers, Wirdateti, & Nekaris, 2015).
Setelah dilakukan penyelamatan terhadap kukang jawa, selanjutkan akan
dilakukan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi meliputi pemeriksaan medis secara
menyeluruh, perawatan satwa, pengayaan lingkungan, dan observasi perilaku.
Kukang yang memenuhi persyaratan untuk dilepasliarkan akan dimasukkan ke
kandang pre-habituasi dan dipasangkan collar, setelah kukang nyaman
menggunakan collar akan dipindahkan ke kandang habituasi (YIARI dalam
Aztianti, 2015).
Sebelum melakukan pelepasliaran ke habitat alaminya, perlu dilakukan
analisis mengenai habitat dan kesehatan kukang baik secara fisik maupun
psikologisnya, kukang harus berperilaku normal dengan minimal perilaku
stereotipik kurang dari 10%. Analisis habitat sebelum dilakukan pelepasliaran
diperlukan untuk mengetahui potensi lokasi tersebut sebagai tempat pelepasliaran.
Analisis tersebut meliputi kelimpahan kukang jawa, pohon pakan, dan lokasi
tidurnya, hal ini dilakukan untuk meminimalisir kompetisi intraspesifik pada
kukang jawa sebagai hewan teritori, selain itu agar kebutuhan kukang jawa dapat
terpenuhi dengan baik di alam. Proses monitoring dilakukan setelah kukang jawa
berhasil dilepasliarkan untuk memantau perkembangan adaptasi di habitat
alaminya. Monitoring meliputi data perilaku, pakan, tempat tidur, daerah jelajah,
31
dan interaksi kukang. Kegiatan monitoring dilakukan hingga kukang
menunjukkan kondisi yang stabil, berperilaku normal, dan memiliki daerah jelajah
(YIARI dalam Aztianti, 2015).
4.5. Penegakan Hukum
Perdagangan ilegal menjadi salah satu permasalahan dalam penurunan
populasi kukang jawa di alam. Setelah perubahan status Nycticebus ke CITES I,
sudah jarang ditemukan perdagangan kukang di pasar terbuka, bahkan kenyataan
di lapangan dengan data yang dilaporkan berbeda. Umumnya pemburu
mengetahui bahwa kukang jawa merupakan satwa yang dilindungi, namun tidak
membuat perburuan liar yang dilakukan berhenti begitu saja (Nijman & Nekaris,
2014). Edukasi yang lebih mendalam tentang pentingnya kukang jawa di dalam
suatu ekosistem perlu dilakukan kepada pemburu maupun pedagang ilegal satwa
liar.
Tindakan penyitaan terhadap proses perdagangan ilegal merupakan salah
satu bentuk tindakan pemerintah dalam meminimalisir tingkat perdagangan ilegal
terutama pada satwa yang dilindungi. Indonesia telah memiliki regulasi yang jelas
dalam menangani perdagangan ilegal, hal ini ditunjukkan dengan bergabungnya
Indonesia menjadi anggota CITES dan menggunakan peraturan yang dibuat oleh
CITES untuk menangani, mengendalikan, dan mencegah terjadinya perdagangan
ilegal kukang jawa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem menjadi dasar hukum untuk menindak
pelaku perdagangan ilegal dan menjadi salah satu cara Indonesia mematuhi aturan
CITES (Adi, 2017). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Tahun 2018 nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/-
2018 tentang spesies satwa dan tumbuhan yang dilindungi, serta Fatwa MUI
Nomor 4 Tahun 2014 tentang pelestarian satwa langka untuk menjaga
keseimbangan ekosistem juga menjadi peraturan yang turut serta mendukung
dalam konservasi kukang jawa. Banyaknya hukum yang mendukung dalam
konservasi kukang jawa menandakan pemerintah sudah mengetahui keadaan
kukang jawa yang perlu dilindungi.
32
Banyaknya peraturan yang berlaku masih belum berhasil dilaksanakan
sepenuhnya untuk menekan tindakan kriminal seperti perdagangan ilegal.
Maraknya aktivitas perdagangan ilegal dalam negeri, maupun untuk diekspor ke
berbagai negara dengan tujuan diperjualbelikan secara ilegal masih menjadi
masalah yang belum terselesaikan dalam proses konservasi kukang jawa (Adi,
2017). Sehingga perlu dilakukan kajian ulang terkait cara penegakkan hukum
yang berlaku serta menerapkan peraturan yang lebih ketat, hal ini bertujuan untuk
menekan angka perdagangan ilegal yang terjadi.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, terdapat hukuman bagi siapapun
yang melanggar. Hukum pidana bagi orang yang menangkap, melukai,
membunuh, memelihara, memiliki bagian tubuhnya, memperjualbelikan kukang
jawa baik hidup maupun mati mendapatkan pidana penjara 5 tahun dan denda
paling banyak Rp.100,000,000,-.
Disisi lain, keterbatasan pendanaan seringkali menjadi hambatan dalam
upaya konservasi. Pendanaan diperlukan dalam implementasi strategi konservasi
kukang jawa guna menjamin efektifitas pengelolaan konservasi kukang jawa.
Sumber pendanaan dapat berasal dari pemerintah, LSM, maupun swasta untuk
menjamin keberlangsungan proses konservasi kukang jawa baik secara in situ
maupun
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Kukang jawa memiliki karakteristik habitat yang paling sesuai dengan
kerapatan vegetasi yang tinggi, jarak lokasi tidur yang dekat, kepadatan pakan
tinggi, jauh dari jalan utama, kelerengan kelerengan 15–25%, serta suhu 20–25°C.
Perjumpaannya yang tinggi di kawasan non konservasi menjadi salah satu bentuk
adaptasi kukang jawa, sehingga perlu diciptakan lahan yang ramah terhadap
kukang jawa, pengembangan ekowisata berbasis kukang dapat membantu
mengedukasi masyarakat untuk turut serta dalam konservasi kukang jawa dan
dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Lokasi pelepasliaran
kukang jawa harus berjarak jauh dari predator alaminya supaya kukang jawa
memiliki kesempatan untuk beradaptasi dan hidup lebih lama di habitat alaminya.
Penerapan peraturan yang lebih tegas dan ketat, serta edukasi kepada pemburu
dan penjual dilakukan untuk menekan tingkat perburuan dan perdagangan ilegal
terhadap kukang jawa.
8.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kepastian jumlah populasi
dan distribusi kukang jawa di Pulau Jawa, habitat yang baik bagi kukang jawa,
waktu serta lokasi pelepasliaran yang tepat bagi kukang jawa. Hal tersebut
dilakukan agar dapat terciptanya strategi dan rancangan aksi konservasi yang tepat
bagi kukang jawa.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adi, W. P. (2017). Implementasi CITES (convention on international trade in
endangered species of wild fauna and flora) dalam menangani perdagangan
kukang ilegal di Indonesia. Journal of International Relations, 3(4), 21–31.
Angeliza, R. (2014). Perilaku harian kukang jawa (Nycticebus javanicus E.
Geoffroy,1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
(Skripsi). Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ankel-Simons, F. (2007a). Chapter 7 - Teeth. In F. Ankel-Simons (Ed.), Primate
Anatomy (Third Edition) (Third Edit, pp. 223–281).
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-012372576-9/50009-7
Ankel-Simons, F. (2007b). Primate Anatomy (3rd Editio). Retrieved from
https://www.elsevier.com/books/primate-anatomy/ankel-simons/978-0-12-
372576-9
Anne-Isola Nekaris, K., Moore, R. S., Rode, E. J., & Fry, B. G. (2013). Mad, bad
and dangerous to know: The biochemistry, ecology and evolution of slow
loris venom. Journal of Venomous Animals and Toxins Including Tropical
Diseases, 19(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/1678-9199-19-21
Ardian, F., & Haryono, E. (2018). Karakteristik struktur ekologi bentanglahan
untuk kesesuaian habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Kabupaten
Temanggung. Jurnal Bumi Indonesia, 7(1), 1–10.
Arismayanti, E. (2014). Daerah jelajah dan penggunaan ruang kukang jawa di
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi). Biologi, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Aryanti, N. A., Hartono, N. A., Ramadhan, F., & Pahrurrobi. (2018). Hubungan
antara aktivitas manusia dan keberadaan kukang jawa (Nycticebus javanicus)
di Kawasan Hutan Lindung di RPH Sumbermanjing Kulon, Jawa Timur.
Journal of Tropical Biology, 6(3), 83–88.
https://doi.org/10.21776/ub.biotropika.2018.006.03.02
Ayundari, A., Megantara, E. N., Withaningsih, S., Parikesit, & Husodo, T. (2017).
Studi populasi kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) dan
upaya perlindungan oleh masyarakat lokal di daerah rencana pembangunan
PLTA Cisokan, Jawa Barat. Biotika, 15(2), 21–29.
Aztianti, R. A. (2015). Keberhasilan pelepasliaran kukang jawa (Nycticebus
javanicus Geoffroy, 1812) ditinjau dari aspek aktivitas harian di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi). Konservasi Sumber Daya Hutan
dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
35
Birot, H., Campera, M., Imron, M. A., & Nekaris, K. A. I. (2020). Artificial
canopy bridges improve connectivity in fragmented landscapes: The case of
Javan slow lorises in an agroforest environment. American Journal of
Primatology, 82(4), 1–10. https://doi.org/10.1002/ajp.23076
Brandon-Jones, D., Eudey, A. A., Geissmann, T., Groves, C. . P., Melnick, D. . J.,
Morales, J. C., … Stewart, C.-B. (2004). Asian Primate Classification.
International Journal of Primatology, 25(1), 97–164.
https://doi.org/10.1023/B
Cabana, F., Clayton, J. B., Nekaris, K. A. I., Wirdateti, W., Knights, D., &
Seedorf, H. (2019). Nutrient-based diet modifications impact on the gut
microbiome of the javan slow loris (Nycticebus javanicus). Scientific
Reports, 9, 1–11. https://doi.org/10.1038/s41598-019-40911-0
Cabana, F, Dierenfeld, E., Wirdateti, W., Donati, G., & Nekaris, K. A. I. (2017).
Trialling nutrient recommendations for slow lorises (Nycticebus spp .) based
on wild feeding ecology. Journal of Animal Physiology and Animal Nutritio,
102(1), 1–10. https://doi.org/10.1111/jpn.12694
Cabana, Francis, Dierenfeld, E., Wirdateti, W., Donati, G., & Nekaris, K. A. I.
(2017). The seasonal feeding ecology of the javan slow loris (Nycticebus
javanicus). American Journal of Physical Anthropology, 162(4), 768–781.
https://doi.org/10.1002/ajpa.23168
Chen, J. H., Pan, D., Groves, C., Wang, Y. X., Narushima, E., Fitch-Snyder, H.,
… Zhang, Y. P. (2006). Molecular phylogeny of Nycticebus inferred from
mitochondrial genes. International Journal of Primatology, 27(4), 1187–
1200. https://doi.org/10.1007/s10764-006-9032-5
CITES. (2015). Appendices I, II, and III. Retrieved February 14, 2021 from
https://cites.org/eng/app/appendices.php
Farida, W. R., Astuti, W. D., & Sari, A. P. (2014). Performa pertumbuhan kukang
jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy,1812) yang diberi tambahan biskuit
dan monkey chow dalam pakan. Jurnal Biologi Indonesia, 10(2), 315–326.
Farida, W. R., Sari, A. P., & Astuti, W. D. (2016). The addition of potato biscuit
in the feed of sumatran slow loris (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) and
javan slow loris (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812): The effects on
digestibility and feed efficiency. Jurnal Biologi Indonesia, 12(2), 185–193.
Fransson, L. (2018). Fine scale habitat and movement patterns of javan slow loris
(Nycticebus javanicus) in Cipaganti, West Java, Indonesia (Master's thesis).
Ecology and Genetics/Animal Ecology, Uppsala University, Uppsala.
Gray, A. E., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015). Trialling exudate-based
enrichment efforts to improve the welfare of rescued slow lorises Nycticebus
36
spp. Endangered Species Research, 27(1), 21–29.
https://doi.org/10.3354/esr00654
Groves, C. P. (2001). Primate Taxonomy. Washington, DC: Smithsonian
Institution Press.
Grow, N. B., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015). Does toxic defence in
Nycticebus spp. relate to ectoparasites? the lethal effects of slow loris venom
on arthropods. Toxicon, 95, 1–5.
https://doi.org/10.1016/j.toxicon.2014.12.005
Gunawan, I. (2019). 30 Ekor Kukang Jawa Dilepas di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Retrieved October 14, 2020, from pojokjabar.com website:
https://jabar.pojoksatu.id/sukabumi/2019/12/20/30-ekor-kukang-jawa-
dilepas-di-taman-nasional-gunung-halimun-salak/
Hendrian, A., Hendrayana, Y., & Supartono, T. (2020). Aktivitas harian kukang
jawa (Nycticebus javanicus) pasca habituasi di Suaka Margasatwa Gunung
Sawal Ciamis. Prosiding Seminar Nasional, 1(1), 37–44.
Hermansyah, D. (2019). Melihat Proses 10 Kukang Jawa Dilepasliarkan di
Gunung Sawal Ciamis. Retrieved October 14, 2020, from detikNews
website: https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4801697/melihat-proses-
10-kukang-jawa-dilepasliarkan-di-gunung-sawal-ciamis
Higginbottom, T. P., Collar, N. J., Symeonakis, E., & Marsden, S. J. (2019).
Deforestation dynamics in an endemic-rich mountain system: Conservation
successes and challenges in West Java 1990 – 2015. Biological
Conservation, 229, 152–159. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2018.11.017
Huda, R., Moore, R., & Sanchez, K. L. (2018). Predation accounts of translocated
slow lorises, Nycticebus coucang and N. javanicus, in Sumatra and Java.
Journal of Indonesian Natural History, 6(1), 24–32.
IAR. (2021). The Truth Behind the Slow Loris Pet Trade. Retrieved April 15,
2021, from International Animal Rescue website:
https://www.internationalanimalrescue.org/truth-behind-slow-loris-pet-
trade?utm_source=CP&utm_medium=website&utm_campaign=tickling_is_t
orture&utm_content=chtfom_imagebutton
Iqbal, M. (2011). Pemilihan lokasi tidur (sleeping sites) kukang jawa (Nycticebus
javanicus E. Geoffroy, 1812) yang dilepasliarkan di kawasan Hutan Gunung
Salak Bogor, Jawa Barat (Skripsi). Biologi, Universitas Indonesia, Depok.
IUCN. (2019). Guidelines for using the IUCN red list categories and criteria.
IUCN Standards and Petitions Committee, (Version 14), 1–60. Retrieved
from
http://intranet.iucn.org/webfiles/doc/SSC/RedList/RedListGuidelines.pdf
37
Jaya, A. (2016). Potensi habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy,
1812) dengan Maxent di Desa Kidang Pananjung Bandung Barat, Jawa Barat
(Skripsi). Biologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Lehtinen, J. (2015). Distribution of the Javan slow loris (Nycticebus javanicus):
assessing the presence in East Java, Indonesia. Journal of MSc in Primate
Conservation, 15(2), 8–9.
Maccoll, M., & Tribe, A. (2017). Wildlife tourism and conservation: the hidden
vale project. In Wildlife Tourism, Environmental Learning and Ethical
Encounters (p. 36). Retrieved from http://link.springer.com/10.1007/978-3-
319-55574-4
Moore, R. S., Cabana, F., & Nekaris, K. A. I. (2015). Factors influencing
stereotypic behaviours of animals rescued from Asian animal markets : A
slow loris case study. Applied Animal Behaviour Science, 166, 131–136.
https://doi.org/10.1016/j.applanim.2015.02.014
Nekaris, K. A. I., Pambudi, J. A. A., Susanto, D., Ahmad, R. D., & Nijman, V.
(2014). Densities, distribution and detectability of a small nocturnal primate
(Javan slow loris Nycticebus javanicus) in a montane rainforest. Endangered
Species Research, 24(2), 95–103. https://doi.org/10.3354/esr00585
Nekaris, K. A. I. (2014). Extreme primates: Ecology and evolution of Asian
lorises. Evolutionary Anthropology, 23, 177–187.
https://doi.org/10.1002/evan.21425
Nekaris, K. A. I., Campera, M., Nijman, V., Birot, H., Rode-Margono, E. J., Fry,
B. G., … Imron, M. A. (2020). Slow lorises use venom as a weapon in
intraspecific competition. Current Biology, 30(20), R1252–R1253.
https://doi.org/10.1016/j.cub.2020.08.084
Nekaris, K. A. I., & Jaffe, S. (2007). Unexpected diversity of slow lorises
(Nycticebus spp.) within the Javan pet trade: Implications for slow loris
taxonomy. Contributions to Zoology, 76(3), 187–196.
https://doi.org/10.1163/18759866-07603004
Nekaris, K. A. I., & Munds, R. (2010). Using Facial Markings to Unmask
Diversity : The Slow Lorises (Primates : Lorisidae : Nycticebus spp .) of
Indonesia. 383–396. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-1560-3
Nekaris, K. A. I., Poindexter, S., Reinhardt, K. D., Sigaud, M., Cabana, F.,
Wirdateti, W., & Nijman, V. (2017). Coexistence between javan slow lorises
(Nycticebus javanicus) in a dynamic agroforestry landscape in West Java,
Indonsia. International Journal of Primatology, 38(2), 303–320.
https://doi.org/10.1007/s10764-017-9960-2
38
Nijman, V., & Nekaris, K. A. I. (2014). Traditions, taboos and trade in slow
lorises in Sundanese communities in southern Java , Indonesia. Endangered
Species Research, 25, 79–88. https://doi.org/10.3354/esr00610
Nowak, R. M. (1999). Walker’s Primates of the World. Baltimore: Johns Hopkins
University Press.
Nurcahyani, A. (2015). Aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa
(Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi).
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Pambudi, J. A. A. (2008). Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa
(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Thesis). Biologi, Universitas
Indonesia, Depok.
Poindexter, S. A., & Nekaris, K. A. I. (2017). Vertical clingers and gougers:
Rapid acquisition of adult limb proportions facilitates feeding behaviours in
young javan slow lorises (Nycticebus javanicus). Mammalian Biology.
https://doi.org/10.1016/j.mambio.2017.05.007
Putri, P. R. (2014). Aktivitas harian dan penggunaan habitat kukang jawa
(Nycticebus javanicus) di Talun Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat (Skripsi).
Biologi, Universitas Indonesia, Depok.
Reinhardt, K. (2015). Adaptations in a changing environment: relationship
between climate, disturbance and Nycticebus javanicus behaviour in
Cipaganti, West Java. Journal of MSc in Primate Conservation, 15(2), 14–
15.
Reinhardt, K. D., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2016). Climate-mediated activity
of the javan slow loris, Nycticebus javanicus. AIMS Environmental Science,
3(2), 249–260. https://doi.org/10.3934/environsci.2016.2.249
Robyantoro, A. (2014). Pemodelan spasial kesesuaian habitat kukang jawa
(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut.
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Rochman, A. (2017). 8 Javan slow lorises released into natural habitat. Retrieved
October 14, 2020, from The Jakarta Post website:
https://www.thejakartapost.com/news/2017/11/09/8-javan-slow-lorises-
released-into-natural-habitat.html#:~:text=Eight Javan slow lorises
seized,during separate operations in July.
Rode-Margono, E., Albers, M., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015).
Gastrointestinal parasites and ectoparasites in wild javan slow loris
39
(Nycticebus javanicus), and implications for captivity and animal rescue.
Journal of Zoo and Aquarium Research, 3(3), 80–86.
Rode-Margono, E. J., Nijman, V., & Nekaris, K. A. I. (2014). Ethology of
critically endangered javan slow loris Nycticebus javanicus É. Geoffroy.
Asian Primates Journal, 4(2), 27–41.
Romdhoni, H., Komala, R., Sigaud, M., Nekaris, K. A. I., & Sedayu, A. (2018).
Studi pakan kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) di Talun
Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat. Al-Kauniyah, 11(1), 9–15.
Rosidah, N. I., Santoso, H., & Zayadi, H. (2019). Konsumsi pakan kukang jawa
(Nycticebus javanicus) di kandang sebelum dilepasliarkan di Kondang Merak
Kabupaten Malang. Biosaintropis, 4(2), 34–39.
Sanchez, K. L. (2008). Indonesia’s slow lorises suffer in trade. IPPL News, p. 10.
Sari, D. F., Budiadi, & Imron, M. A. (2020). The utilization of trees by
endangered primate species javan slow loris (Nycticebus javanicus) in shade-
grown coffee agroforestry of Central Java. IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science, 449, 1–12. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/449/1/012044
Saudale, V. (2017). 10 Kukang Dilepas ke Habitat Gunung Sawal Ciamis.
Retrieved October 14, 2020, from Berita Satu website:
https://www.beritasatu.com/feri-awan-hidayat/archive/415203/10-kukang-
dilepas-ke-habitat-gunung-sawal-ciamis
SEAZA. (2019). SEAZA Standard on Animal Welfare. Retrieved December 29,
2020, from Southeast Asian Zoos and Aquariums Association website:
http://www.seaza.asia/wp-content/uploads/2020/03/SEAZA-Standard-on-
Animal-Welfare-Bahasa-Indonesia.pdf
Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., & Imron, M. A. (2019a). Okupansi
kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy 1812) di Hutan Tropis
dataran rendah di Kemuning. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13, 15–27.
Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., & Imron, M. A. (2019b). Resource
selection by javan slow loris Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812
(Mammalia: Primates: Lorisidae) in a lowland fragmented forest in Central
Java, Indonesia. Journal of Threatened Taxa, 11(6), 13667–13679.
https://doi.org/10.11609/jott.4781.11.6.13667-13679
Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., Tafrichan, M., & Imron, M. A.
(2020). Better providers of habitat for javan slow loris (Nycticebus javanicus
E. Geoffroy 1812): A species distribution modeling approach in Central Java,
Indonesia. Biodiversitas, 21(5), 1890–1900.
https://doi.org/10.13057/biodiv/d210515
40
Streicher, U., Wilson, A., Collins, R. L., & Nekaris, K. A. I. (2013). Exudates and
animal prey characterize slow loris (Nycticebus pygmaeus, N. coucang and
N. javanicus) diet in captivity and after release into the wild. In J. Masters,
M. Gamba, & F. Génin (Eds.), Leaping Ahead: Advances in Prosimian
Biology (pp. 165–172). https://doi.org/10.1007/978-1-4614-4511-1_19
Thorn, J. S., Nijman, V., Smith, D., & Nekaris, K. A. I. (2009). Ecological niche
modelling as a technique for assessing threats and setting conservation
priorities for Asian slow lorises (Primates: Nycticebus). Diversity and
Distributions, 15(2), 289–298. https://doi.org/10.1111/j.1472-
4642.2008.00535.x
Triandhika, K., Salsabila, M., Sukmaningrum, A. P., & Utami, S. S. (2020).
Population dynamics of java slow loris Nycticebus javanicus E . Geoffroy,
1812 in Dayeuh Luhur Village, Ganeas Sub-District, Sumedang District,
West Java. Indonesian Journal of Biotechnology and Biodiversity, 4(1), 27–
33.
Voskamp, A., Rode, E. J., Coudrat, C. N. Z., Wirdateti, Abinawanto, Wilson, R.
J., & Nekaris, K. A. I. (2014). Modelling the habitat use and distribution of
the threatened Javan slow loris Nycticebus javanicus. Endangered Species
Research, 23, 277–286. https://doi.org/10.3354/esr00574
Wahyuni, H. (2011). Pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang
jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal
Rescue (IAR) Indonesia (Skripsi). Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Widiana, A., Sulaeman, S., & Kinasih, I. (2013). Studi populasi dan distribusi
kukang jawa (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) di Talun Desa
Sindulang Kecamatan Cimanggung Sumadang Jawa Barat. Jurnal, 7(1), 242.
Widyaningrum, G. L. (2019). Upaya Pelestarian, Pertamina Lepasliarkan Kukang
Jawa Kembali ke Habitatnya. National Geographic Indonesia. Retrieved
from https://nationalgeographic.grid.id/read/131864357/upaya-pelestarian-
pertamina-lepasliarkan-kukang-jawa-kembali-ke-habitatnya?page=all
Wiens, F. (2002). Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus
coucang): Social organization, infant care system, and diet. University of
Bayreuth.
Winarti, I. (2011). Habitat, populasi, dan sebaran kukang jawa (Nycticebus
javanicus Geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat
(Thesis). Primatologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wirdateti. (2012). Sebaran dan habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di
Area perkebunan sayur, Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Berita
41
Biologi, 11(1), 111–216.
Wirdateti, Aziza, H., & Handayani. (2019). Keragaman genetik kukang jawa
(Nycticebus javanicus) menggunakan control region (D-loop) DNA
mitokondria (mtDNA). Jurnal Veteriner, 20(3), 360–368.
https://doi.org/10.19087/jveteriner.2019.20.3.360
Wirdateti, Dahrudin, H., & Sumadijaya, A. (2010). Sebaran dan habitat kukang
jawa (Nycticebus javanicus) di lahan pertanian (Hutan Rakyat) wilayah
Kabupaten Lebak (Banten) dan Gunung Salak (Jawa Barat). Zoo Indonesia,
20(1), 17–25.
Wirdateti, Okayama, T., & Kurniati, H. (2006). Genetic diversity of slow loris
(Nycticebus coucang) based on mitochondrial DNA. Tropics, 15(4), 377–
381. https://doi.org/10.3759/tropics.15.377
Withaningsih, S., Parikesit, Ayundari, A., Prameswari, G., Megantara, E. N., &
Husodo, T. (2019). Distribution and habitat of javan slow loris (Nycticebus
javanicus E. Geoffroy, 1812) in non-conservation area. Scientific Reports, 9,
1–7.