Strategi Kebudayaan Korea Selatan

17
Strategi Kebudayaan Korea Selatan Reza Lukmanda Hallyu pada dasarnya bukan sebuah strategi yang sudah direncanakan. Hallyu merupakan efek kelanjutan dari dampak globalisasi yang dirasakan Korea Selatan dan juga dari strategi kebudayaan yang dilakukan Korea Selatan sebelumnya. Melalui kedua proses tersebut, Korea Selatan dapat mempertahankan budayanya saat berhadapan dengan dominasi budaya global. 1 Berikut akan dipaparkan pengaruh globalisasi yang menciptakan proses liberalisasi media film dan musik yang akhirnya menciptakan fenomana hallyu, dan strategi kebudayaan pemerintah dalam meningkatkan konten budaya lokal didalam dan luar negeri. Pengaruh Globalisasi Dalam Proses Terbentuknya Hallyu Adalah Yi Jong-hwan, seorang jurnalis Cina yang pertama kali menyadari fenomena hallyu dan melaporkannya pada akhir tahun 1990- an. Dalam laporannya yang diberi judul No End In Sight for the Korean Wave in China, ia melihat suatu fenomena baru di Cina tentang kepopuleran budaya pop Korea Selatan: The Korean Ministry of Culture and Tourism has declared October “the Month of Korean Culture,” and is currently meeting with Chinese officials to set up a tour of large cities for groups including H.O.T., Baby Vox, and the National Ballet Company. The stars of the “2001 version of Korean Wave” are expected to 1 S. Doboo, ‘Hybridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia’, Media Culture Society, vol. 28, no. 1, 2006, p. 31.

description

Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Transcript of Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Page 1: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Reza Lukmanda

Hallyu pada dasarnya bukan sebuah strategi yang sudah direncanakan. Hallyu merupakan

efek kelanjutan dari dampak globalisasi yang dirasakan Korea Selatan dan juga dari strategi

kebudayaan yang dilakukan Korea Selatan sebelumnya. Melalui kedua proses tersebut, Korea

Selatan dapat mempertahankan budayanya saat berhadapan dengan dominasi budaya global.1

Berikut akan dipaparkan pengaruh globalisasi yang menciptakan proses liberalisasi media film

dan musik yang akhirnya menciptakan fenomana hallyu, dan strategi kebudayaan pemerintah

dalam meningkatkan konten budaya lokal didalam dan luar negeri.

Pengaruh Globalisasi Dalam Proses Terbentuknya Hallyu

Adalah Yi Jong-hwan, seorang jurnalis Cina yang pertama kali menyadari fenomena

hallyu dan melaporkannya pada akhir tahun 1990-an. Dalam laporannya yang diberi judul ’No

End In Sight for the Korean Wave in China’, ia melihat suatu fenomena baru di Cina tentang

kepopuleran budaya pop Korea Selatan:

The Korean Ministry of Culture and Tourism has declared October “the Month of Korean Culture,” and is currently meeting with Chinese officials to set up a tour of large cities for groups including H.O.T., Baby Vox, and the National Ballet Company. The stars of the “2001 version of Korean Wave” are expected to include Park Jin-young (Bak, Jin-yeong), who scored big in China with his song “Honey,” and Kim Min-jong, who became a star among Chinese teenagers with the Chinese telecast of the Korean TV drama “Mister Q.” The Chinese were captivated when Korean ballads and dramas started airing on TV. Popular Korean dramas . . . in what has become known as “Korea Mania”.2

1 S. Doboo, ‘Hybridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia’, Media Culture Society, vol. 28, no. 1, 2006, p. 31.

2 Yi Jong-Hwan, ‘No End in Sight for the Korean Wave in China’, Dong-a Ilbo, 12 February 2001, sebagaimana dikutip dalam Cho, p. 150.

Page 2: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Kepopuleran budaya Korea ini juga diiringi dengan kegemaran masyarakat Cina terhadap

produk-produk Korea Selatan. Hal yang sama juga terjadi di Jepang dan negara-negara Asia

Tenggara. Masuknya budaya pop Korea Selatan menjadi pemicu utama digemarinya produk-

produk Korea Selatan, begitu juga dengan fesyen, makanan dan model penampilan para bintang

Korea Selatan. Hanliu, begitu orang Cina memberikan nama kepada fenomena ini, yang

akhirnya disebut dengan hallyu (sesuai dengan sebutan di Korea). Hallyu sendiri menjelaskan

fenomena perkembangan budaya Korea Selatan ke dunia internasional. Hallyu, yang pada

awalnya hanya berupa kegemaran akan budaya pop Korea Selatan, semakin melebar menjadi

kegemaran akan serial drama Korea Selatan. Lebih jauh, hallyu diikuti dengan banyaknya

perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film, serta

turut mempromosikan bahasa dan budaya Korea Selatan ke berbagai negara.3

Kepopuleran hallyu sendiri dimulai dari dijadikannya budaya sebagai suatu industri

penting yang perlu dipertahankan di Korea Selatan dalam hubungannya dengan fenomena

globalisasi. Bagi negara ini, globalisasi merupakan pemicu munculnya hallyu dan sekaligus alat

dalam menyebarkannya. Seorang peneliti Korea Selatan, Shim Doobo, menyebutkan bahwa

globalisasi mengakibatkan erosi budaya Korea Selatan, yang artinya semakin berkurangnya

minat masyarakat Korea Selatan terhadap budaya mereka sendiri. Konsekuensinya, Korea

Selatan melakukan segala upaya untuk memperkuat industri budaya mereka.4 Erosi budaya ini

disebabkan masuknya budaya modern dari dunia Barat, misalnya produk Hollywood yang

mengakibatkan kalahnya industri budaya lokal di Korea Selatan. Atas dasar globalisasi inilah

Korea Selatan berusaha membangkitkan kembali industri budayanya. Globalisasi telah

mendorong masyarakat lokal untuk menemukan kembali budaya mereka yang telah terabaikan di

perjalanan menuju modernisasi Barat selama dekade terakhir.5 Dengan ini dapat dipahami bahwa

hallyu merupakan suatu konsep dari masyarakat Korea Selatan yang mempertahankan identitas

lokal dalam konteks global dan memanfaatkan konteks global tersebut untuk menjadi budaya

modern serta menyebarkannya ke dunia internasional.

3 Passport to Korean Culture, pp. 46-53.

4 D. Shim, ‘Korean Wave in Southeast Asia’, New Kyoto Review of Southeast Asia (online), 8 January 2011, <kyotoreviewsea.org/KCMS/>, diakses 25 Mei 2011.

5 M. Featherstone, ‘Global and local cultures’, dalam J. Bird, et.al (eds.), Mapping the futures: local cultures, global change, Routledge, London, 1993, pp. 169-187.

Page 3: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Aspek lain yang berperan setelah globalisasi dalam penyebaran hallyu adalah media.

Dalam hal ini, media menyampaikan nilai-nilai yang dibawa hallyu kepada publik internasional.

Sung Sang-Yeon menyebut bahwa nilai-nilai yang dibawa hallyu pada awalnya adalah nilai dari

kehidupan Asia yang sebenarnya, yaitu konfusianisme.6 Hal inilah yang juga menjadi nilai lebih

drama dan film Korea Selatan dibandingkan yang berasal dari Barat. Bagi masyarakat Asia

Timur dan Tenggara khususnya, budaya Barat patut dikritik karena tidak realistik bagi

masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran. Dalam konteks inilah, media

berperan penting dalam proses masuknya hallyu ke dalam budaya global. Kebebasan media

dalam mengekspresikan hallyu menjadi foktor utama sukses atau tidaknya hallyu dalam

persaingan global. Tidak ada tekanan dari pihak manapun bagi media dalam peranannya

menyebarkan pengaruh hallyu. Kecanggihan teknologi saat ini memungkinkan peran media yang

semakin besar dalam menyampaikan berbagai berita atau peristiwa kepada publik. Dengan

berkembangnya teknologi informasi, media akhirnya tidak hanya menjelaskan bagaimana hallyu

berkembang, tetapi juga mampu membentuk konsepsi tentang apa hallyu itu. Oleh karenanya,

tidak mengherankan apabila pada akhirnya persepsi mengenai hallyu di dalam publik

internasional sendiri tidak jauh berbeda satu sama lain. Setidaknya ada beberapa persamaan

ketika publik internasional mendefinisikan dan memahami hallyu, yaitu sebuah proses

penyebaran budaya Korea Selatan ke luar negeri. Untuk melihat dampak dari globalisasi tersebut

dapat ditemui pada liberalisasi industri budaya film dan musik Korea Selatan berikut.

Proses Liberalisasi dan Perkembangan Film Korea Selatan

Periode tahun 80-an sampai akhir 90-an merupakan periode penting bagi

perkembangan film Korea Selatan. Tahun 1988, di bawah tekanan Amerika Serikat, Korea

Selatan membuka pasarnya terhadap industri raksasa perfilman Hollywood. Pembukaan

pasar ini secara umum mempengaruhi runtuhnya industri perfilman lokal Korea Selatan

dengan menurunkan pertumbuhan dari 40% pada tahun 1980-an menjadi 15,9% pada tahun

1993 dan akhirnya perlahan film produksi dalam negeri mulai ditinggalkan oleh masyarakat

lokal. Sebuah laporan dari Presidential Advisory Board On Science And Technology tahun

1994 menyebutkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari film Hollywood yang berjudul

Jurassic Park, misalnya, senilai dengan penjualan 1,5 juta mobil Hyundai pada masa itu.

6 Sung Sang-Yeon, ‘The High Tide of the Korean Wave III: Why do Asian prefer Korean Pops Culture’, Asiamedia (online), 2008, <http://asiamedia.ucla.edu/article>, diakses 6 Juni 2011.

Page 4: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Menyadari keuntungan yang diperoleh Amerika Serikat melalui Hollywood-nya,

pemerintah Korea Selatan terdorong untuk membuat industri budaya sebagai strategi

nasional dengan melakukan liberalisasi media sebagai sebuah kesempatan untuk

meningkatkan daya saing industri budaya Korea Selatan di level internasional.7 Pemerintah

berusaha menyadarkan masyarakat tentang pentingnya industri budaya bagi ekonomi

nasional.

Dalam usahanya untuk menciptakan industri budaya film, pemerintah berusaha

mengikuti ‘gaya’ Amerika. Dengan slogan ‘Learning from Hoolywood’, Korea Selatan

berusaha menciptakan industri media yang komersil bagi pasar. Untuk itu Korea Selatan

membutuhkan pembiayaan yang cukup besar. Untuk memenuhi hal tersebut, pemerintah

mengeluarkan kebijakan agar korporasi mau memberikan dukungan finansial.8 Kebijakan

tersebut membuat chaebol seperti Samsung, Hyundai dan Daewoo masuk ke dalam industri

tersebut.

Namun, bantuan ini tidak berlangsung lama seiring dengan krisis ekonomi yang

dialami Korea Selatan akhir 1997. Krisis ini menyebabkan keluarnya sektor swasta

pendukung industri budaya Korea Selatan. Kondisi ini menyebabkan melemahnya industri

budaya karena kekurangan dana dalam pembangunannya dan AS melalui Hollywood-nya

kembali menguasai pasar perfilman Korea Selatan melalui film Titanic yang mendatangkan

1.971.780 orang untuk menontonnya. Namun, hal ini tidak berlangsung lama ketika di tahun

1999 film Korea yang berjudul Shiri kembali membangkitkan industri perfilman negara

tersebut. Film yang berhasil mendatangkan 2.448.399 penonton ini menjadi awal dari sebuah

rangkaian kesuksesan film Korea Selatan dan untuk selanjutnya film-film Korea Selatan

selalu menempati urutan teratas dalam level domestik. Bila sebelum tahun 1999 film-film

Korea Selatan hanya mendapatkan pembagian pasar domestik sebesar 25%, setelah tahun

1999 presentase tersebut meningkat hingga memperoleh bagian tertinggi pada tahun 2004

sebesar 54,2%. Sejak saat itu industri film Korea Selatan selalu menjadi mayoritas dalam

box office domestik. Pada Februari 2004, Silmido, sebuah film yang menceritakan tentang

7 D. Shim, ‘Globalization and Cinema Regionalization in East Asia’, The International Journal of Cultural Policy, vol. 14, no. 3, 2006, p. 242.

8 C.Kim, “Movie We Need to Focus on Competitive Sector , 1996, dalam D.Shim , ‘Hybridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia’p.32.

Page 5: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

proyek rahasia pembunuhan pemimpin Korea Utara Kim Il Sung pada tahun 1970

mendapatkan box office dengan menarik 10 juta penonton. Selain itu juga ada TaeGukGi:

The Brotherhood of War yang menceritakan kakak beradik yang berperang bersama dalam

perang Korea yang menarik 11,09 juta penonton.

Lebih jauh, hingga saat ini ekspor film-film Korea Selatan selalu meningkat dari

tahun ke tahun. Menurut laporan Global Entertainment and Media Outlook tahun 2004,

Korea Selatan sudah berada di urutan kesepuluh dalam daftar negara yang sukses

mengekspor budayanya setelah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Cina,

Italia, Spanyol, dan Kanada.9 Hingga tahun 2004, Korea Selatan telah mengekspor 164 film

dan memberikan pendapatan sebesar US$ 30.979.000. Dari keseluruhan regional ekspor film

Korea Selatan, wilayah Asia adalah pengimpor terbanyak dengan jumlah mencapai 60

persen dari total ekspor pada tahun tersebut.10

Kesuksesan ini disebutkan karena film-film Korea Selatan dikatakan memiliki

sensasi yang berbeda dari apa yang dimiliki Hollywood. Film-film Korea Selatan memiliki

ciri-ciri dan sentimen yang kuat sehingga kebanyakan negara Asia dapat dengan mudah

memahami dan menyerapnya. Misalnya, cara mereka mengendalikan isu sensitif antara

Korea Utara dan Korea Selatan yang ditampilkan dalam film-film tersebut.

Perkembangan Industri Musik Pop Korea Selatan

Sampai dengan tahun 80-an, musik Korea Selatan masih didominasi oleh musik

ballads dan ppongjjak. Musik ballads tersebut dipengaruhi oleh budaya musik barat

sedangkan pponjjak merupakan sebutan bagi musik yang terpengaruh gaya musik Jepang.

Secara keseluruhan, industri musik Korea Selatan saat itu sama sekali tidak digemari karena

masyarakat lebih memilih musik pop AS pada masa itu.11

Musik Korea Selatan mulai mengalami transformasi melalui tren globalisasi dan

reformasi demokrasi. Seiring dengan pertumbuhan yang dialami Korea Selatan pada awal

9 Kofic Annual Data, Global Entertainment and Media Outlook Report (online), 2006, <www.law.kyushu-u.ac.jp/programsinenglish/cspasymposium2009/....>

10 A. Leong, Korean cinema: The New Hongkong, 2003.

11 S. Doboo, p. 35.

Page 6: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

tahun 1990-an, pendapatan masyarakat turut serta meningkat. Pada masa itu banyak

masyarakat Korea Selatan yang menggunakan pendapatan tersebut untuk membeli satelit

parabola untuk menangkap siaran Star TV. Terhadap latar belakang ini, masyarakat Korea

Selatan mulai mempelajari tren musik global saat itu. Melalui hal tersebut juga yang akhirnya

menghasilkan grup musik Seo Taiji yang menggabungkan antara musik rap dan underground

bass. Grup ini yang akhirnya menjadi gebrakan bagi musik Korea Selatan yang sebelumnya

dibuat jenuh oleh musik ballads dan ppongjjak. Seo Taiji menjadi sangat diminati karena

mencampurkan berbagai genre musik seperti rap, dance, rock, soul bahkan ppongjjak.

Perkembangan berikutnya, musik Korea Selatan mulai disesuaikan dengan selera

Asia. Adalah Lee Suman, pendiri SM Entertainment yang berperan dalam penciptaan

bintang-bintang K-Pop (Korean Pop). Lee mulai melakukan inovasi dengan menciptakan

grup vokal yang dianggapnya sesuai dengan selera masyarakat berdasarkan penelitiannya.

Salah satunya yang paling berhasil adalah H.O.T yang telah menjual 10 juta album di pasar

lokal.12 Berikutnya untuk merambah pasar global, Lee bahkan mengirim para talent-nya

untuk belajar bahasa asing. Hal ini dianggap mampu memberikan sensasi yang lebih tinggi

terhadap musik pop Korea Selatan di luar negeri.13

Perkembangan hallyu baik di dalam dan luar negeri mencerminkan dijadikannya industri

budaya sebagai alat dalam hubungan luar negeri Korea Selatan. Untuk mendukung

perkembangan industri tersebut, pemerintah berkerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat

menjadikan beberapa sektor industri visual seperti film sebagai salah satu konten utama strategi

kebudayaan tersebut. Pemerintah juga membentuk institusi dan kebijakan yang terkait dengan

perkembangan industri budaya Korea Selatan guna mempertahankan dan menyebarluaskan

hallyu.

Perkembangan Industri Budaya Korea Selatan

Pentingnya membangun strategi dalam industri kebudayaan sudah banyak dipahami oleh

banyak negara di dunia. Ini merupakan suatu dampak dari dipahaminya kebudayaan sebagai

sumber kekuatan suatu negara dalam menanamkan pengaruhnya di negara lain. Sebagai contoh,

12 K. Howard, ‘Exploding Ballads: The Transformation of Korean Pop Music’, dalam S. Doboo, p. 38.

13 S. Jeon, ‘It Takes 10 Million Won a Month to Make a Star, Dong-A Ilbo, 8 December 2003, p.C8.

Page 7: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Jepang yang sudah lama menjadikan budaya sebagai sumber soft power mereka. Melalui konten

budaya visual seperti game, anime, manga (komik), Jepang mengekspresikan budaya mereka dan

dapat diterima dengan baik oleh negara lain. Korea Selatan, meskipun terbilang baru dalam hal

ini, juga tidak ketinggalan. Usaha pemerintah Korea Selatan dalam mendukung strategi ini sudah

berlangsung sejak lama. Berikut adallah beberapa usaha pemerintah Korea dalam meningkatkan

konten budaya lokal guna mempertahankan hallyu.

Pembangunan KOCCA (Korean Culture and Content Agency) sebagai Institusi Publik

KOCCA didirikan sebagai sebuah institusi publik pada masa pemerintahan Kim Dae-

Jung pada tahun 2001. Bekerjasama dengan Kementerian Budaya dan Pariwisata, KOCCA

didirikan sebagai agen kebijakan Kim yang menjadikan budaya sebagai prioritasnya, dengan

tujuan untuk mempromosikan industri budaya Korea Selatan dan mengembangkan pasar di

luar negeri.14 Sebagai institusi publik, KOCCA mencerminkan kerja sama antara pemerintah

dan sektor swasta, mengingat staf yang direkrut berasal dari sektor-sektor industri budaya

tersebut. KOCCA bertanggung jawab dalam mengekspor produk budaya Korea Selatan,

memberikan pendidikan kreasi konten budaya, serta menciptakan terknologi yang

berhubungan dengan pembuatan arsip sejarah budaya dalam bentuk digital.

Sebagai bentuk dukungan bagi penyebaran hallyu dan promosi budaya Korea

Selatan, KOCCA memahami diperlukannya pembangunan industri budaya Korea Selatan di

berbagai lokasi. Oleh karena itu, hingga saat ini KOCCA telah memiliki empat kantor utama

di luar negeri, yaitu di Tokyo, Beijing, London, dan Los Angeles. Sementara itu, untuk

membangun sumber dayanya KOCCA membuat Cultural Content Academy baik secara

online maupun offline guna memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai produksi dan

pemasaran produk budaya Korea. KOCCA bekerja sama dengan pihak universitas di negara-

negara host untuk melakukan penelitian mengenai teknologi sumber daya dan seni budaya.

Pembentukan CT (Culture Technology)

Dalam prosesnya, KOCCA membangun hubungan antara budaya dan teknologi

sebagai kekuatan baru bagi industri budaya Korea Selatan, yang dikenal dengan Culture

14 R.M. James, Pop Goes Korea: Behind The Revolution in Movies, Music and Internet Culture, Stone Bridge Press, Berkeley, 2008, p. 122.

Page 8: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Technology (CT). Konsep CT dirancang oleh Profesor Wong Kyan- yeon di KAIST (Korea

Advace Institute of Science and Technology) pada tahun 2001. CT dipahami sebagai

teknologi yang kompleks dan sangat dibutuhkan untuk memberi nilai tambah bagi produk-

produk budaya, mulai dari sumber daya manusia, desain dan seni Korea Selatan.

CT menjadi sangat diperlukan oleh Korea Selatan dalam kebijakan industri

budayanya, karena citra tentang budaya nasional Korea Selatan dianggap masih kurang

dalam tiga hal, yaitu tidak unik, tidak familiar, dan tidak kuat untuk membangun sebuah

identitas dan brand nasional yang baik.15 Untuk itu, CT sebagai teknologi pendukung dalam

memberikan nilai tambah bagi budaya Korea Selatan memiliki peran penting untuk

menciptakan budaya khas yang memiliki nilai-nilai yang unik dan berbeda dari negara-

negara lainnya, khususnya budaya Cina dan Jepang yang juga dicirikan oleh Konfusianisme.

Reorganisasi Ministry of Culture and Tourism

Ministry of Culture and Tourism (MCT) adalah kementerian yang berdiri pada tahun

1998 dan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang berhubungan dengan budaya dan

pariwisata Korea Selatan. Dalam proses awal, MCT tidak bertujuan khusus menangani

budaya dan pariwisata, namun ada beberapa tahapan utama dalam struktur organisasi yang

telah dilaluinya. MCT tercatat telah mengalami tiga kali perubahan struktur organisasi

hingga bentuknya saat ini. Perubahan ini terjadi agar MCT dapat beradaptasi terhadap

perubahan yang terjadi dalam lingkungan internasional.16

Perubahan pertama berlangsung pada institusi Ministry of Culture and Information

yang didirikan tahun 1968, yang diubah menjadi Ministry of Culture pada tahun 1990.

Selanjutnya dengan memasukkan bidang olahraga, Ministry of Culture berubah menjadi

Ministry of of Culture and Sports pada tahun 1993. Ketika urusan budaya menjadi lebih

berhubungan dengan industri pariwisata, maka pemerintah Korea Selatan mengalihkan

urusan budaya menjadi tugas Ministry of Culture and Tourism pada tahun 1998. Di bawah

MCT, pemerintah Korea Selatan juga mendirikan The Korean National Tourism

15 SAIS US-KOREA Yearbook, 2008.

16 K. Dinnie, ’Repositioning the Korea Brand to a Global Audience: Challenges, Pitfalls, and Current Strategy’, Korea Economic Institute Academic Paper Series (online), 2009, www.keia.org/Publications/AcademicPaperSeries/2009/APS.

Page 9: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

Organization (KNTO) dan The Korean Tourism Research Institute (KTRI) serta sejumlah

divisi lain yang saling bekerja sama untuk mempromosikan industri budaya dan pariwisata

Korea Selatan.

Pada pemerintahan Roh Moo-Hyun, perubahan MCT kembali dilakukan menjadi

Ministry of Culture, Sport and Tourism (MCST). Pada masa itu, pemerintah Korea Selatan

melihat taekwondo sebagai olahraga beladiri Korea Selatan yang cukup populer dan harus

dipromosikan kepada publik internasional karena membawa nilai-nilai budaya tradisional

Korea di dalamnya. Lebih jauh, pemerintah bahkan membangun Sports International

Cooperation Institution untuk mendukung program tersebut. Pemerintahan Roh menekankan

pada pembangunan identitas nasional Korea Selatan di level internasional. Oleh karena itu,

MCST bekerjasama dengan KOCCA membentuk strategi untuk meningkatkan citra positif

Korea Selatan di tingkat global. Strategi ini memfokuskan pada upaya meningkatkan daya

saing industri konten Korea Selatan, seperti permainan komputer, drama televisi, film, musik

pop, dan animasi. Di dalam produksinya, berbagai konten tersebut menggunakan materi-

materi tradisional Korea Selatan seperti sejarah, mitos, dongeng, cerita rakyat dan legenda-

legenda tradisional lainnya. Hal tersebut membuat produk-produk konten ini sarat dengan

identitas budaya Korea Selatan dan akan sangat mudah ditemukan oleh penontonnya saat

ditampilkan secara visual.

Pemerintah Korea Selatan menyadari untuk mencapai kebudayaan tersebut

dibutuhkan dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan yang dikeluarkan MCST

tidak hanya berfokus kepada penanganan masalah budaya dan pariwisata, tetapi juga ke arah

pendidikan masyarakat Korea Selatan untuk menjadi masyarakat budaya yang kreatif,

dinamis serta mampu mengekspresikan identitas budaya di tiap-tiap daerah yang ada di

negeri ini.

Han Style

Han Style merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan Kim Dae

Jung. Melalui MCT, Han Style dirancang untuk mentransformasikan budaya tradisional

Page 10: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

masyarakat Korea menjadi suatu budaya global.17 Budaya tradisional yang dimaksud adalah

enam pilar budaya Korea, yaitu:

Han gul, abjad untuk menulis dalam bahasa Korea. Han Gul diciptakan oleh Raja Se-

Jong Yang Agung, raja keempat dari kerajaan Lee atau kerajaan terakhir dalam sejarah

bangsa Korea pada masa dinasti Joseon. Rancangan abjad ini diresmikan pada tanggal 9

Oktober 1446. Hingga saat ini tanggal 9 Oktober dijadikan hari libur nasional yang

bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada Raja Se-Jong.

Han sik, istilah untuk berbagai masakan Korea Selatan. Sebagian besar masakan Korea

Selatan adalah hasil fermentasi seperti kimchi dan juga ikan asin. Cara ini sudah

dilakukan masyarakat Korea Selatan sejak lama, karena dipercaya dapat memberikan

manfaat kesehatan. Makanan Korea Selatan juga menggambarkan karakteristik dari

musim dan daerah yang berbeda-beda di negara ini.

Han bok, pakaian adat tradisional Korea Selatan yang terdiri dari jeogori (jaket) dan

baji (celana). Gaya ini memiliki kemiripan dengan gaya suku nomaden yang berada di

Cina selatan. Wujud dari Han bok dipengaruhi oleh sifat geografis dan iklim di

semenanjung Korea.

Han ok, bentuk arsitektur tradisional Korea yang dibedakan dari material atap yang

digunakan, seperti keramik, kulit kayu, kayu split atau batu datar. Han ok dianggap

sebagai rumah yang mampu menyimpan kehidupan orang-orang yang tinggal di

dalamnya. Han ok merupakan arsitektur dengan konten yang sangat komprehensif

karena berbagai material yang digunakannya merefleksikan waktu pembuatannya.

Han ji, kertas Korea yang menggambarkan aset budaya yang penting, yaitu kegigihan

masyarakat Korea terhadap budaya tulis pada jaman dahulu. Han ji memiliki bahan

dasar batang pohon dan daun mulberry. Dengan bahan dasar tersebut, han ji dikenal

sebagai kertas paling tahan lama di dunia.

Hangeuk-Eumak, musik yang dibuat masyarakat Korea dengan alat musik tradisional.

Dibuat untuk mengekspresikan etos orang Korea, hangeuk-eumak dibagi menjadi dua

17 M. Russel, Korean Pop Wars (online), 12 Januari 2007, <www.koreapopwars.com/2007/01/han-style.html> diakses 5 Juni 2011.

Page 11: Strategi Kebudayaan Korea Selatan

kategori, yaitu yang murni musik tradisional (gugak) dan musik nasional yang

dikomposisikan dengan musik masa kini (changiak gugak).18

Keenam pilar budaya Korea tersebut menjadi pendukung dari kepopuleran hallyu di

luar negeri. Melalui MCT, Han Style dirancang untuk mengembangkan budaya tradisional

Korea menjadi sebuah brand global. Di sini Han Style mendukung kegemaran akan hallyu

melalui budaya tradisional Korea, artinya Han Style memfasilitasi keinginan publik

internasional untuk mengenal budaya tradisional Korea. Salah satu contoh peranan Han

Style dalam penyebaran hallyu adalah didirikannya sekolah Hangeul dan sekolah musik

tradisional Korea di beberapa negara, seperti China, Mongolia dan Rusia. Di Indonesia,

salah satu cara Han Style melengkapi penyebaran hallyu adalah dengan menggelar kegiatan

yang menampilkan keenam pilar tersebut, contohnya adalah seminar kebudayaan tentang

Hangeul yang diadakan oleh KCCI (Korean Cultural Center Indonesia) tahun 2011, dan

masih banyak lagi kegiatan lain terkait dengan Han Style.

Melalui pemaparan diatas, perlu dipahami bahwa perkembangan industri budaya di Korea

Selatan merupakan akibat dipahaminya budaya sebagai aset yang dapat memenuhi kepentingan

nasional. Pembentukan berbagai institusi serta kebijakan tersebut adalah upaya Korea Selatan

dalam ekspansi budaya mereka ke negara lain. Selain itu, ini juga membuktikan keseriusan

pemerintah dalam mendukung pengembangan hallyu baik di dalam maupun luar negeri.

Keberhasilan tindakan ini dinilai dari ketertarikan yang lebih besar terhadap budaya lokal

dibandingkan budaya asing yang masuk oleh masyarakat Korea Selatan, serta besarnya animo

masyarakat luar negeri terhadap kebudayaan Korea Selatan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima ekspansi budaya tersebut.

Walaupun perkembangannya tidak secepat yang terjadi di negara-negara Asia Timur, di

Indonesia kegemaran akan budaya Korea ini semakin meluas seiring dengan dukungan dari

pemerintah Korea Selatan, dan akan terus meluas sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

18 Korea Tourism Organization, Han Style, Korea the Sense (online), <www.han-style.com/english/>, diakses 22 Agustus 2011.