STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IRIGASI …fisip-unipas.com/asset/user_file/20170912124035_naskah...
-
Upload
truongkiet -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IRIGASI …fisip-unipas.com/asset/user_file/20170912124035_naskah...
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 2
STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IRIGASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Dr. Gede Sandiasa, S.Sos, M.Si1
1 staf edukatif pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Panji Sakti
Abstraksi
Sistem irigasi berbasis kearifan lokal, peran dan fungsi ―subak” sebagai sosio agraris religius mengalami degradasi dan kinerja sistem irigasi subak penting menjadi perhatian bagi kebijakan pemerintah dengan melaksanakan prinsip-prinsip good governance, dalam mendorong potensi dan keterlibatan kelembagaan subak, guna meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan masyarakat petani. Keberhasilan dalam mencapai tujuan kebijakan irigasi adalah menyangkut kemampuan dalam menyusun strategi kebijakan antara lain 1) membentuk Subak Gede dan menyusun awig-awig (peraturan subak) dengan berlandaskan pada Trihita Karana; 2) memperkuat awig-awig; (3) melaksanakan rapat evaluasi rutin; dan 4) melakukan pengembangan organisasi dan usaha pendukung. Di samping itu juga dipengaruhi oleh kemampuan kelembagaan subak dalam menjawab tantangan dan hambatan dihadapi dalam sistem irigasi yaitu: 1) tingkat pendidikan petani yang rendah berpengaruh pada upaya pemeliharaan dan manajemen sistem irigasi, serta pengembangan usaha ekonomi pertanian, 2) menurunnya sinergitas pemerintah akibat ditiadakannya fungsi sedahan agung yang berfungsi menangani permasalahan-permasalahan subak dan 3) alih fungsi tanah yang tidak dapat dikendalikan. Refleksi terhadap kebijakan publik di masa mendatang, adalah terwujudnya kebijakan yang berbasis harmoni, yaitu harmoni manusia pada keyakinan dan kepercayaannya, harmoni hubungan manusia dengan manusia, harus dipahami sebagai gerakan moral, upaya mengangkat martabat manusia dan harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamiah, bahwa seluruh tujuan kebijakan ditujukan pada upaya penyelamatan lingkungan hidup dan alamiah, yang dapat memberi kemanfaatan bagi seluruh kehidupan manusia dan mahluk lainnya Kata-kata Kunci: Kebijakan, sistem irigasi, subak, kearifan lokal 1. Pendahuluan
Kebijakan menjadi acuan dan pedoman dalam upaya melakukan perbaikan
dan mencari solusi terhadap sejumlah persoalan masyarakat. Namun seringkali
produk kebijakan publik, tidak dapat menyentuh akar persoalan yang dihadapi dan
diinginkan oleh masyarakat, tetapi lebih nampak pada upaya mengisi kekosongan
politik dan mengandung muatan-muatan politik, yang sebenarnya semata-mata
bertujuan untuk mempertahankan konstituen dan menempatkan kelompok di atas
kepentingan publik. Parsons (1981) mengungkapkan bahwa ilmu kebijakan adalah
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 3
pengetahuan dari masyarakat yang mempersiapkan cara-cara hidup yang lebih baik
―a way of making it better‖. Proses merajut pengalaman-pengalaman kebijakan
sebagai dasar untuk mereformulasi kebijakan akan melahirkan kebijakan publik
dengan cara pandang baru, semangat baru, antusiasm baru, optimistik yang
berorientasi pada masa depan, kreatifitas baru dan menambah komitmen pada
publik (Indiahono, 2009). Selanjutnya keberhasilan suatu kebijakan disebabkan oleh
dua faktor yaitu: (1) kualitas dari kebijakan yang dapat dilihat dari substansi
kebijakan yang dirumuskan dan (2) adanya dukungan strategi kebijakan yang
dirumuskan (Abidin, 2012). Di samping itu sinergitas di antara para aktor yang
terlibat juga berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan kebijakan, seperti
pendapat Anderson bahwa:, ―redistributive policies involve deliberative effort by the
government to shift the allocation of wealth, income, property, or rights among broad
classes or groups of the population” (Anderson, 1979). Hal ini memungkinkan
terjadinya penciptaan jaringan di seluruh sektor-sektor yang menghasilkan nilai
publik (Morse, 2007), serta mendorong kebijakan yang memungkinkan pihak swasta
dan lainnya terlibat dalam menangani masalah-masalah yang ditangani kebijakan.
―Democracy of local government...in term of (local) governance refers to a more or
less polycentric system in which a variety of actors are engaged in local public
decision making process” (Stoker et al.,2011).
Reformasi kebijakan di bidang pertanian di Indonesia telah dilakukan melalui
berbagai kebijakan penting baik langsung maupun tidak langsung menangani
pertanian, yang mana kebijakan ini mendukung asumsi bahwa sektor pendukung
utama pembangunan dan perekonomian bangsa Indonesia adalah hasil pertanian.
Namun demikian keberuntungan tidak selalu berpihak kepada masyarakat petani,
dan hasil reformasi di segala bidang belum mampu mensejahterakan serta memberi
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat sebagai citizen‟s. Bahkan menurut
Mollingga menyebutkan bahwa bangunan kebijakan pertanian disebutkan “dominate
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 4
as a form of production and merchant capital continued to „drink the blood of the
peasant”(Mollinga, 2010). Demikian juga di Bali pembangunan hotel dan perluasan
airport, peningkatan sampah plastik, limbah dan polusi udara; salinasi pada air
bawah tanah; pengambilan air pertanian untuk dijual ke hotel dan lapangan golf;
konversi lahan produktif – seringkali lewat tekanan dan intimidasi menjadi fasilitas
pariwisata; dan keterlibatan pemerintah dalam memfasilitasi proyek‖ (Warren,
1996). Dalam RPJPD Provinsi Bali Tahun 2005-2025 diakui beberapa persoalan
yang dihadapi petani Bali, yaitu: luas lahan rata-rata yang diusahakan oleh petani
sangat sempit yaitu di bawah 0,38 ha, berpengaruh pada rendahnya pendapatan
Rumah Tangga petani, terjadinya penurunan lahan pertanian pertahun mencapai 28
ha, 80 % tingkat pendidikan petani adalah sekolah dasar berdampak pada
rendahnya penguasaan teknologi pertanian, selanjutnya meningkatnya masalah
kelangkaan air untuk irigasi, bahkan hampir di semua kabupaten di Bali (Sutantra,
2009).
Namun kondisi yang demikian, tidak membuat terpuruk sektor pertanian di
Bali secara drastik, hal ini disebabkan oleh daya dukung kelembagaan sistem irigasi
yang dikenal dengan sebutan subak. Subak sebagai alat keirigasian yang nampak
sangat sederhana, adalah merupakan salah satu organisasi petani pemakai air
yang paling canggih di seluruh dunia Ambler (1990). Fungsi utama subak secara
tradisional adalah distribusi air ke sawah dan pemeliharaan kuil serta persembahan
pada Tuhan (Parker, 2003). Subak sebagai kearifan lokal keberadaannya perlu
diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan salah satu produk kebijakan
publik, soal mengatur tentang irigasi, di mana secara nasional mendapat pengakuan
dalam UU No. 2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No. 11 tahun 1974 tentang
pengairan, yang menghargai kearifan budaya lokal (UU No. 41 2009, tentang
PLPPB), termasuk pengakuan secara langsung bahwa subak adalah masyarakat
hukum adat yang bersifat sosio agraris religius, pada PP No. 23 tahun 1982 tentang
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 5
irigasi, serta penguatan juga dilakukan melalui Perda No. 2/PD/DPRD/1972,
tentang Sistem Irigasi Bali, yang telah diperbaharui dengan Perda No. 9 tahun 2012,
tentang subak. Dengan demikian subak telah menjadi bagian dari kepentingan
pemerintah daerah Bali, sehingga penting membuat aturan dalam bentuk kebijakan
publik, yang ditujukan untuk memperkuat keberadaan dan eksistensi subak sebagai
lembaga yang menjalankan tatakelola sistem irigasi serta meningkatkan
kemampuan dalam melayani kepentingan masyarakat petani.
2. Kebijakan Publik
Hadirnya UU Otonomi daerah 22 tahun 1999 sampai dengan UU 25/2099
tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, adalah upaya pemerintah untuk dapat mempercepat
pelaksanaan pembangunan dan upaya pemberdayaan secara merata di seluruh
daerah, hal ini diperkuat oleh pendapat Andrisani ―upaya memperkuat dan
pemberdayaan yang lebih luas dari pemerintah daerah untuk mengatasi masalah-
masalah lokal dan mulai menawarkan isu-isu kebijakan" (Andrisani, 2002 p.11).
Kewenangan untuk mengelola potensi daerah secara maksimal makin terbuka,
namun demikian tantangan yang dihadapi daerah tidaklah begitu mudah untuk
dapat memenuhi kepentingan daerah, dengan berbagai persoalan di daerah,
kepentingan personal, kepentingan berskala daerah, kepentingan keseimbangan
dengan kemajuan kompetititor di daerah lain turut menjadi perhitungan dalam
mengelola daerah. Kinerja pemerintahan daerah dapat terlihat dari upaya gigih
pemerintah daerah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, melalui kewenangan
dalam menyusun kebijakan, sebagai instrumen dalam mencapai tujuan bersama,
instrumen dalam mewujudkan tingkat kepatuhan aktor-aktor kebijakan. Pembuatan
kebijakan adalah merupakan kombinasi dari keputusan-keputusan dasar, komitmen-
komitmen dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh mereka yang memegang
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 6
posisi pemerintahan atau berpengaruh (Gerston, 2002). Dengan demikian arah dan
tujuan kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik adalah bagaimana dapat
mewujudkan pemberdayaan pada masyarakat, sehingga mampu meningkatkan
kapasitas kelembagaan mereka dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama.
Menurut Edward III, Friedrick mendefinisikan kebijakan publik sebagai
―serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pejabat pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatan-
hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-
kesempatan) terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu (Islamy, 2014). Di sisi lain David Easton memberikan
pengertian kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai secara paksa dan
sah kepada seluruh anggota masyarakat (Santosa, 2008). Kalau disimak dari
beberapa pengertian di atas eksistensi dari kebijakan pemerintah terjadi apabila apa
yang dihasilkan output maupun outcome dari kebijakan pemerintah mampu
mencerminkan agregasi nilai yang ada di masyarakat, dan pengalokasiannya dapat
diterapkan dengan nyata demi kepentingan semua kelompok, individu maupun
pemerintah, berkenaan dengan permasalahan yang diselesaikan. Hal tersebut
senada dengan pendapat Anderson (1979) yang menyatakan bahwa, semua
kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perilaku
manusia dalam beberapa cara, untuk mendorong orang untuk bertindak sesuai
dengan aturan yang amanatkan pemerintah atau tujuan negara.
3. Kearifan Lokal dalam Menjamin Ketertiban dan Harmoni dalam Masyarakat
Kearifan lokal adalah adat kebiasaan dalam masyarakat yang merupakan
perwujudan dari nilai-nilai budaya berdasarkan hasil inovasi lokal, yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal dan diarahkan secara positif dalam berbagai bentuk
dan upaya untuk mengatasi persoalan (Supadi, 2009). Di samping itu kearifan lokal
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 7
akan tetap membimbing masyarakat sepanjang zaman (Hidayat & Vidjanarko, 2008
h. 548). Sebuah kearifan lokal biasanya mencakup perawatan ketertiban dalam
kehidupan di antara manusia dengan penguasa tunggal, di antara manusia dengan
para arwah leluhurnya, di antara sesama, di antara manusia dengan alam bumi
dengan segala isinya, dan di antara manusia dengan cakrawala yang melingkupi
bumi. Dengan demikian sebuah kearifan lokal merupakan rumusan jati diri (identify)
masyarakatnya. Jati diri ini mencakup visi, misi, dan nilai-nilai dalam kehidupannya,
nilai-nilai itu pulalah yang dapat dipetik untuk upaya kelanjutan berkehidupan dan
berpenghidupan dengan sesama dan sekaligus sebagai upaya pemeliharaan
lingkungan hidup berbasis kearifan lokal yang memiliki makna universal. Ketertiban
(cosmos) pada suatu sistem akan memancarkan nilai keindahan yang didukung dan
dibentuk oleh suatu keteraturan. Keindahan itu menyimpan banyak informasi,
sehingga pola-pola interaksi di antara beragam subsistem dengan ukuran dapat
berlangsung secara proporsional, seimbang, serasi dan harmonis (Sulistyo, dkk.,
2010 h. 13).
Kerangka kerja subak mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
kearifan lokal. ―the local wisdom subscribed by the Balinese, that life must be I
accordance with the changing environment, and that happiness can only be
achieved if the life is in balance, a concept locally known as „Tri hita karana” (Pitana,
2010 p. 139). Berbagai konsep nilai dan budaya mewarnai pelaksanaan aktivitas
subak, agar dapat terlaksana dengan baik, dan mampu meningkatkan upaya
pencapaian kesejahteraan petani, perlu memiliki strategi yang tepat. Menurut
Schneider & Barsoux (2003) proses strategi berkaitan dengan budaya adalah
meliputi membangun tim (building a team); memilih tehnik komunikasi yang tepat
(choosing how to communicate); memperkuat partisipasi (eliciting participation);
penanganan konflik (resolving conflict); dan evaluasi kinerja (evaluating
performance). Strategi ini, sangatlah tepat dipergunakan dalam melakukan kajian
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 8
pada implementasi kebijakan pemerintah pada subak yang memiliki kekentalan
dalam dimensi kebudayaan. Selain itu subak juga melaksanakan fungsi ekonomi
dan manajemen organisasi yang sangat luas, seperti pandangan Geertz sebagai
berikut: “the subak organized the economic resources of company of peasants-land,
labor, water, technical know-how, and, to a rather limited extent, capital equipment-
into an astonishingly effective productive apparatus‖ (Geertz, 1980 p. 50). Dengan
berbagai pemahaman di atas dapat disampaikan bahwa subak sebuah organisasi
irigasi yang dapat ditinjau dari lima dimensi, yaitu (1) dimensi sosial, religius dan
budaya, yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan irigasi penuh nilai spiritual
keagamaan, sebagai basis dari berkembangnya budaya yang dilaksanakan dalam
suasana sosial yang harmonis dan dinamis, (2) dimensi ekonomi bahwa
kelembagaan subak ini selain berbasis ekonomi pertanian, juga melaksanakan
kegiatan ekonomi dan pengelolaan keuangan mikro, (3) dimensi politik, bahwa
proses pengaturan dan manajemen pengelolaan sistem irigasi dan pengairan
melibatkan proses demokrasi deliberasi yang dapat menghasilkan politik
pengaturan air dan sumberdaya manusia dalam mengelola sistem irigasi (4) hukum
dan kepercayaan adalah menyangkut penerapan sanksi dan distribusi air
berdasarkan kepercayaan dan hukum lokal yang diterapkan oleh pengurus subak
(kelian subak) berdasarkan persetujuan bersama dan (5) dimensi ekologi dan
agraris, bahwa dalam mengelola sistem pertanian dan irigasi selalu berupaya
menjaga lingkungan dan keberlangsungan sistem pertanian, melalui cara-cara
pengelolaan alamiah dan ramah lingkungan.
4. Strategi Implementasi Kebijakan Irigasi Berbasis Kearifan Lokal
Kemampuan mentransfer komitmen dalam pelaksanaan kebijakan, yang
didukung oleh kemampuan dalam memahami data kebutuhan, adanya pembagian
tanggungjawab yang jelas dan sistem pemantauan, didukung oleh pelaporan yang
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 9
baik, para pemegang kebijakan penuh tanggungjawab dan akuntabel, menurut
Gerston (2002), dapat berpengaruh besar dalam implementasi kebijakan publik.
Dengan demikian penyusunan strategi dalam upaya pelaksanaan kebijakan subak
menjadi penting, yang telah disusun secara bottom up, dan dilaksanakan pula
dengan cara yang sama, sehingga rasa memiliki dan tanggungjawab bersama
menjadi kental sebagai ciri dari kebijakan subak ini.
Menurut Brinkerhoff dan Crosby (2002), menyebutkan bahwa strategi adalah
menyangkut 4 hal, yaitu (1) pengembangan kesepakatan dan sejumlah sasaran
kebijakan; (2) evaluasi internal dan eksternal, (3) mengembangkan opsi-opsi dan
strategi; (4) melaksanakan dan monitoring. Subak dapat menunjukkan keadaan
bahwa adanya konsistensi dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan,
yaitu melalui keputusan bersama yang di ambil dengan model musyawarah mufakat
―deliberasi” (Habermas dalam Hardiman, 2009, Winarno, 2007, & Rostboll 2008),
melalui media paruman, dan pelaksanaan serta monitoring dilakukan dengan
sangkepan rutin setiap 35 hari, untuk penanganan hal-hal tertentu dapat dilakukan
sangkepan secara insidental menurut kebutuhan, seperti jadwal pembinaan dari
pemerintah, pelaksanaan lomba, perbaikan-perbaikan saluran yang bersifat urgen
dll.
Strategi pertama, yang dikembangkan oleh subak adalah mengatur
pembagian air melalui Subak Gede (gabungan subak) dan menyusun awig-awig
(peraturan subak) yang berlandasakan tri hita karana, yaitu (1) ―parhyangan” yaitu
harmoni hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersangkutan dengan
persembahan dan tempat suci, yang dapat berfungsi pengendalian perilaku petani
melalui proses religius spiritual dan keagamaan, (2) ―pawongan” adalah harmoni
hubungan manusia dengan manusia dalam hal ini berkaitan dengan keanggotaan
subak, dan (3) ―palemahan”, yakni harmoni manusia dengan lingkungan alamiah,
yaitu wilayah sistem irigasi dan lahan sawah yang menjadi garapan. Proses
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 10
pengaturan dan distribusi air ini, lepas dari pengaruh intervensi Negara, di mana
masyarakat petani mengawali dengan mencari sumber air, membuat saluran dan
mengawasi serta memelihara saluran irigasi, bentuk bangunan sebagian besar
adalah semi teknis.
Sebagai strategi kedua adalah memperkuat fungsi awig-awig, berdasarkan
pengalaman dan perjalanan panjang masyarakat melakukan pengaturan dan
pembatasan perilaku individu dalam batas-batas kesopanan dan norma yang bisa
diterima oleh individu maupun kelompok lainnya. Sebagai bentuk budaya dan
pengetahuan yang dimiliki dan dilindungi, selalu dikembangkan agar masyarakat
lokal memiliki poisisi tawar yang kuat terhadap negara, maka nilai-nilai yang
terkandung dalam pengetahuan itu dibakukan dan dirumuskan dalam bentuk
peraturan-peraturan dalam rangka mengelola sumberdaya, agar memperoleh
manfaat yang adil dan saling menguntungkan, memerlukan keterlibatan para pemilik
pengetahuan lokal tersebut, hal ini dapat mendukung hasil penelitian Talaat, dkk
(2012). Melalui metode acces and benefit sharing (ABS) masyarakat melakukan 1)
menetapkan identifikasi nilai-nilai dan otoritas yang berlaku, 2) menginventarisasi
pengetahuan lokal dan 3) membentuk pengaturan dan prosedur yang tepat.
Pengaturan dalam bentuk awig-awig ini tidak dapat berjalan secara otomatis, dan
berlanjut apabila tidak ada upaya-upaya yang mengarah pada pemberlakuan dan
penguatan awig-awig. Dalam hal penguatan awig-awig dilakukan beberapa
langkah, yaitu: (1) menempuh proses formal yaitu pengesahan dari pejabat daerah,
dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi dan penguatan secara hukum yang tidak
saja dapat diberlakukan pada anggotanya, tetapi hendaknya juga diketahui dan
dipahami oleh masyarakat secara umum, yang dapat bersentuhan langsung dan
memiliki kepentingan akan keberadaan subak. Penguatan kedua adalah adanya
sinkronisasi aturan subak dengan subak lainnya, dan dengan subak gede, dengan
demikian dalam penerapan aturan adanya kemiripan pelaksanaan bagi subak-
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 11
subak yang bersinggungan, atau yang akan melaksanakan kerjasama dalam skala
yang lebih besar. Langkah ketiga adalah penerapan awig-awig, evaluasi
pelaksanaan dan penyesuaian-penyesuaian, yang dapat dilaksanakan melalui
media pertemuan rutin, yang disebut dengan sangkepan. Adanya pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan oleh anggota, maupun pihak lain, ketidaksinkronan
aturan dengan perkembangan permasalahan yang ada dievaluasi setiap 35 hari,
yang dapat melakukan penerapan sanksi dan revisi-revisi guna mengarahkan
bentuk aturan yang tidak kaku dan dapat disesuaikan dengan perkembangan
permasalahan yang ada, serta bertujuan menghasilkan kebijakan yang lebih baik di
masa mendatang.
Strategi Ketiga, melaksanakan rapat evaluasi secara rutin, pelaksanaan
paruman atau sangkepan secara rutin setiap 35 hari, memberi manfaat antara lain:
terjadi proses pengambilan keputusan secara langsung dan demokrasi, melalui
proses pembelajaran publik, dan upaya meningkatkan rasa memiliki serta
tanggungjawab yang tinggi dari para anggotanya, mengatur keterlibatan tingkat
lokal dalam pengelolaan air secara berkelanjutan (Heer & Jenkins, 2012). Hal ini
disukung oleh hasil penelitian Hoogesteger (2012), di mana para pengguna air,
bekerja secara efektif melalui demokrasi dalam manajemen air, dengan
menggunakan kekuatan aktor-aktor pada grassroot. Keterlibatan semua anggota
dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka implementasi dan monitoring
awig-awig sebagai instrumen utama kebijakan subak dapat dipahami sebagai
langkah pemberdayaan public, dalam rangka membangun kapasitas anggota, yang
dapat mendukung kegiatan subak maupun pengelolaan sistem pertanian yang
mereka geluti. Terdapat beberapa prinsip yang dilaksanakan oleh subak dalam
melaksanakan aktivitas membangun kapasitas ini, yang dapat diambil dari pendapat
Eade 1997 (dalam Bevir 2011) antara lain:
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 12
1) Meskipun menjadi komunitas terpinggirkan selalu memiliki cara dan kapasitas
dalam menangani berbagai persoalan yang dapat dikembangkan.
2) Dapat mengidentifikasi kebutuhannya sendiri, memiliki aspirasi dan kemampuan
untuk memilih masalah untuk diselesaikan dengan cara mereka sendiri.
3) Mampu menempatkan setiap komponen pendukung sebagai agen perubahan,
dengan memanfaatkan potensi dan kemampuan anggota.
4) Membangun kolaborasi dan kerjasama dengan pihak yang diinginkan dengan
metode partisipasi, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
5) Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan guna dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan yang dihadapi.
6) Segala proses pengembangan kapasitas dilakukan untuk memungkinkan setiap
individu dapat mengembangkan potensi, berada dalam proses belajar untuk ikut
bertanggungjawab mengembangkan modal sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat, melalui pengembangan jejaring sosial, ekonomi dan budaya yang
ada.
Sebagai strategi keempat adalah melakukan pengembangan organisasi dan
usaha. Era keterbukaan dalam mengelola sumberdaya alam, pada sektor agraria
dan khusus manjemen pengelolaan air, tidak saja dapat diarahkan pada upaya
pengelolaan air pertanian yang efisien dan efektif, tetapi juga mengarah pada
kegiatan masyarakat lokal dalam membentuk ketahanan pangan, menjaga kualitas
lingkungan dan sumber penghidupan (Mahapatra & Mitra, 2012). Dalam hal ini
subak tidak saja melakukan kegiatan yang bersangkutpaut dengan distribusi air,
tetapi sudah meluas pada sumber-sumber atau peluang kehidupan yang lebih luas,
dalam rangka menjaga kualitas lingkungan dan kehidupan petani. Adanya berbagai
kelompok, baik yang dibentuk langsung oleh subak seperti tempekan (bagian
terkecil dari subak), kelompok ternak, KWT (kelompok wanita tani), Simantri
(system pertanian terintegrasi), Gapoktan (gabungan kelompok tani) dan Koperasi
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 13
Tani, maupun kelompok yang dibentuk oleh perkumpulan anggota sendiri, seperti
suka-duka (kelompok sosial), skaa manyi (kelompok panen), skaamula (kelompok
tanam), skaa santhi (kelompok paduan suara) adalah upaya untuk dapat
mempercepat tercapainya peningkatan usaha dan kesejahteraan petani di segala
bidang. Kelompok-kelompok ini menghadirkan dimensi ―ekonomi dan sosial‖ yang
memungkinkan rumah tangga petani menghasilkan “income‖ yang cukup
mendukung peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian (Lorenzen &
Lorenzen, 2011), serta dapat menggali potensi dan memberikan akses yang cukup
kepada keluarga petani, dalam bidang ekonomi dan pelayanan sosial
kemasyarakatan. Berbagai kegiatan ekonomi dapat dilakukan oleh organisasi-
organisasi ini, seperti simpan-pinjam, pengelolaan ternak, pengolahan pupuk,
saprodi dan lain-lain kebutuhan yang bersifat konsumtif, sangat membantu
kebutuhan keluarga petani. Hal ini sesuai dengan pendapat Todaro dengan
menyebutnya sebagai ―complimentary imputs”, seperti irigasi, pemupukan,
penanganan hama ―insecticides”, kredit dan pengembangan pertanian lainnya
(1990) dan Geertz menyebutnya sebagai ―capital equipment” (1980, p. 50). Di
bidang pelayanan sosial kemasyarakatan tidak kalah pentingnya, dalam
penyelenggaraan tenaga gotong-royong, yang dapat berupa tenaga dan material
untuk kebutuhan upacara keagamaan, senantiasa berjalan secara
berkesinambungan dalam bentuk kelompok yang dinamakan skaa suka-duka.
5. Awig-Awig Sebagai Refleksi Pola Pengaturan layanan Secara Komprehensif
Selanjutnya di dalam kebijakan subak dalam bentuk awig-awig (peraturan
subak) peraturan pemerintah baik dari pemerintah pusat, menyangkut tatakelola air
dan berkaitan dengan hak ulayat, serta esensi dari kebijakan daerah terakomodasi
dan dituangkan dalam isi dari awig-awig subak yang juga merupakan cerminan dan
implementasi dari kebijakan pemerintah, yang berlandaskan kearifan lokal
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 14
masyarakat petani. Awig-awig memiliki landasan pelaksanaan kebijakan yang kuat,
dan spesifik di mana dalam setiap perumusan kebijakan melalui proses sangkepan
(musyawarah mufakat), implementasi dan berbagai proses lainnya, selalu
mengedepankan 1) harmoni antara petani dengan Tuhannya dalam rangka
meningkatkan keyakinan dan sujud bhakti pada yang pencipta, yang dapat
mendorong rasa percaya diri, sikap jujur dan tanggungjawab terhadap semua
mahluk, termasuk keselamatan tanaman dan ternak peliharaannya; 2) harmoni
antara manusia dengan manusia yang menghadirkan sikap tolong menolong,
kerjasama dan gotong royong, dan 3) harmoni dengan lingkungannya, yang
menghadirkan tata kelola lingkungan yang bersih, lestari dan menjaga keselamatan
wilayah irigasi dan lahan. Prinsip tatakelola kebijakan dalam keberimbangan dan
harmoni ini dikenal dalam masyarakat Bali sebagai Trihita Karana (Yuliana, 2010).
Keberdayaan subak yang secara politik memiliki otonomi yang luas dalam
mengatur pola hidup dan kewilayahan perlu dipertahankan dan dilestarikan, yang
dapat mendorong kehidupan masyarakat yang harmoni dalam dimensi ruang, waktu
dan rasa bhaktinya terhadap Sang Pencipta alam semesta. Penerapan awig-awig
(peraturan subak) bagi pelanggarnya selalu dikaitkan dengan pendekatan spiritual
dan sanksi pengurangan hak terhadap penggunaan air. Dimensi-dimensi yang
dapat ditampilkan dan dijamin dalam awig-awig adalah (1) nama dan batas-batas
wilayah, (2) maksud dan tujuan dari dibentuknya organisasi subak dan juga
merupakan sasaran dan tujuan kebijakan subak yang telah ditetapkan melalui
mekanisme pengambilan keputusan deliberasi dan model bottom up; (3)
menyangkut tata kelola keanggotaan meliputi cara pengambilan keputusan,
rekruitmen dan pemberhentian anggota, pengangkatan/penetapan dan
tanggungjawab pengurus, pola penyampaian informasi dan komunikasi, asset dan
sarana subak yang harus di pertangungjawabkan dan dirawat oleh anggota; (4)
penyelenggaraan kegiatan keagamaan, menyangkut tanggungjawab terhadap
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 15
sejumlah pura, pelaksanaan upacara di pura yang ada, dan penyelenggaraan
upacara keagamaan lainnya termasuk upacara yang diselenggarakan secara
pribadi di rumah masing-masing anggota, yang memerlukan keterlibatan dari
seluruh unsur subak.
Sebagai hal yang terpenting yang diatur dalam awig-awig adalah persoalan
tentang tata kelola persubakan, tata kelola wilayah kerja dan hubungan antar
wilayah sawah yang berdekatan, pembagian dan pengaturan air, penanaman dan
aturan tanam, upaya pengendalian hama penyakit dan aturan-aturan yang
menyangkut pemeliharaan ternak yang berada di wilayah persawahan, yang intinya
tidak merusak tanaman, atau mengganggu lingkungan yang lain di wilayah lahan
pertanian. Berbagai permasalahan baik yang akan timbul dan maupun sudah terjadi
juga menjadi bahan terapan di dalam awig-awig, penanganan terhadap berbagai
pelanggaran terhadap aturan, melalui penerapan sanksi dan proses penanganan
permasalahan tertera dengan jelas dalam awig-awig. Dimensi motivasi dan bentuk
dorongan moril bagi para menganutnya, senantiasa dirumuskan dan diakui dalam
awig-awig, hal ini memberi dampak pada meningkatnya motivasi kerja dan fungsi
awig-awig dengan menumbuhkan goodwill pada pada petani dan dapat menghindari
denda (Ricoer, 2003). Aspek yang ingin disampaikan dan diterapkan dalam awig-
awig ini adalah (1) terjadi jaminan kepastian tentang pola pembagian hak dan
kewajiban bagi setiap anggota yang terlibat; (2) adanya pedoman untuk bertindak
dan melakukan kegiatan di subak maupun pola kehidupan sehari-hari dalam kaitan
pengelolaan lahan pertanian, yang selalu mengacu pada kepentingan bersama dan
berlandaskan pada keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa;
(3) sebagai langkah kemajuan persyaratan untuk melakukan kerjasama dan
kemitraan dengan pihak luar maupun dalam mengakses berbagai program yang
dikembangkan oleh pemerintah. Dan (4) Membangun tingkat kepatuhan pada
semua anggota maupun pengurus, bahkan pihak lain yang meyakini bahwa proses
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 16
yang terjadi dan dilakukan subak selalu mengkaitkan dengan kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Aturan-aturan subak secara tertulis maupun tidak tertulis
yang masih diberlakukan, merupakan rasionalisasi dari berbagai aturan secara
turun-temurun yang mendapatkan penyesuaian-penyesuaian selama kurun waktu
berjalan. Dalam hal ini disebut sebagai ―powerful institutional rules” (Powell &
DiMaggio, 1991), merupakan manisfestasi mitos atau keyakinan yang selalu
berusaha dirasionalisasi dalam kehidupan kelompok, terutama yang terlibat di lahan
pertanian basah.
6. Tantangan dan Hambatan Kebijakan Subak di Masa Mendatang
Kendala yang pertama dihadapi subak dan anggotanya adalah: tingkat
pendidikan dan usia petani yang tidak mendukung kebertahanan petani. Mindsite
para petani sulit dikembangkan dan beradaptasi pada setiap program yang
dikembangkan pemerintah, bantuan pemerintah berupa sarana-prasarana untuk
mendukung kemajuan subak tidak bisa dikelola secara mandiri dan maksimal. Hal
ini dapat berpengaruh pada melemahnya berbagai aktivitas yang ditujukan untuk
mengangkat kesejahteraan petani, yang dapat disebabkan beberapa hal berikut:
1) Lemahnya kemampuan sumberdaya pengurus, baik dari sisi manajemen
keuangan maupun manajemen anggota, keterbatasan waktu pengurus (kerja
paruh waktu).
2) Keinginan belajar anggota terhadap berbagai kegiatan seperti sekolah lapang
pertanian, kegiatan berkoperasi masih sangat rendah;
3) Rendahnya kemampuan lembaga-lembaga bentukan subak seperti sekaa,
koperasi dan gapoktan dalam melayani anggota.
4) Pengetahuan dan kesadaran anggota tentang perkoperasian masih rendah;
5) Banyaknya penyedia layanan jasa keuangan yang bersaing dengan koptan
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 17
6) Sumberdana yang dimiliki anggota terbatas, dan bertumpu pada kegiatan-
kegiatan non produktif, seperti piodalan, dan bangunan fisik.
Dengan demikian kebijakan yang telah disusun untuk menopang kebijakan
sistem irigasi melalui pengembangan berbagai kegiatan di subak, belum efektif dan
berpotensi menimbulkan persoalan baru, seperti penanganan kredit macet, yang
dapat menambah beban kerja pengurus subak, di sisi lain berbagai kegiatan
pengembangan subak belum tersurat dalam awig-awig subak. Ketersentuhan rasa
dan tanggungjawab sosial serta ekonomi masyarakat petani menjadi penting, ketika
pemerintah melaksanakan sosialisasi program-program pembangunan. Rasa
memiliki, keterkaitan antara kebutuhan yang dirasakan oleh petani, tingkat
pemahaman akan program, dan pendekatan teknologi, yang dipahami oleh petani
tidak dijauhkan dari pola kerja yang telah digeluti selama ini, mesti menjadi bahan
kajian dalam setiap program pemerintah. Masyarakat memiliki pemikiran dan
tindakan yang rasional yang tidak melibat pada persoalan yang rumit, tapi
sederhana dapat dijangkau dan tidak menjauhkan petani dengan lingkungan
kerjanya. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan
memberi dampak positif bagi anggota, antara lain:
a) anggota subak diberikan kesempatan untuk dapat berdiskusi langsung,
berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi,
b) dapat memperoleh informasi langsung dari sumbernya, baik dari tenaga
penyuluh maupun dari pengurus,
c) dilibatkan dalam pembagian tugas dalam rangka melaksanakan kegiatan rutin,
keagamaan, dan pelaksanaan program pemerintah dan gotong-royong;
d) merencanakan penggunaan dana, suku bunga uang dan lain sebagainya.
Model deliberasi pengambilan keputusan melalui sangkepan yang merupakan
―outonomous managerial decision” (King & Stiver, 1998), memungkinkan setiap
orang untuk terlibat, saling tukar menukar informasi, terjadinya saring pendapat
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 18
bahkan resources, di samping itu dapat menimbulkan rasa kepercayaan yang tinggi
dan rasa memiliki terhadap sistem yang telah mereka bangun sebagai ―local
committee system” (Anderson, 1979).
Sebagai permasalahan kedua, adalah tergerus dan menurunnya peran
pemerintah akibat ditiadakannya fungsi sedahan agung (lembaga pemerintah yang
menangani berbagai persoalan subak) berdasarkan Perda No. 2/PD/DPRD/1972,
tentang Sistem Irigasi Bali. Kewenangan sedahan agung ini, juga menyangkut
pengusulan anggaran, baik yang dipergunakan untuk kepentingan tugas Sedahan
Agung, maupun kepentingan para subak yang ada di wilayahnya, dengan demikian
peran Sedahan Agung bagi kepentingan subak adalah sangat penting, dan lengkap
serta satu pintu. Sedangkan realitas pengelolaan subak sekarang ditangani secara
terpisah, dari dinas-dinas yang ada di kabupaten, yang membawa konskwensi
sebagai berikut:
1) Terdapat permasalahan yang lepas tidak tertangani oleh lembaga pemerintah
secara baik, seperti potensi konflik dengan pemukiman maupun para
pengembang; potensi konflik dengan pengguna saluran air penduduk baik
perorangan maupun kelompok;
2) Membawa dampak secara administrasi yang memerlukan kemampuan lebih,
dalam hal pengusulan program, melakukan komunikasi dengan dinas-dinas dan
sistem pertanggungjawaban yang rumit, dan bervariasi menurut dinas yang
mengeluarkan program;
3) Tumpang tindih pelaksanaan program, yang kadang tidak menyesuaikan
terhadap alokasi waktu yang dimiliki oleh subak, maupun anggotanya;
4) Menurunnya daya dukung masyarakat petani, yang tergabung dalam subak
terhadap program pemerintah, akibat menurunnya intensitas komunikasi yang
dibangun oleh dinas terkait, di luar dinas pertanian;
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 19
5) Menurunnya kemampuan subak dalam memenuhi kebutuhan petani, berkaitan
dengan tanggungjawab keberlanjutan sistem irigasi, karena kebuntuan saluran
aspirasi yang biasanya dikembangkan dan diajukan melalui sedahan, sebab
fungsi sedahan saat ini lebih banyak berkaitan dengan pemungutan pajak.
Dengan berbagai konskwensi di atas dapat diprediksi, mempengaruhi tingkat
kemampuan dan kepercayaan petani terhadap lembaga subak maupun pemerintah,
hal ini diperparah lagi dengan menurunnya tingkat kemampuan produksi pertanian
dan menurunnya harapan kesejahteraan dari hasil pertanian padi.
Persoalan yang terakhir, adalah alih fungsi tanah setiap tahun bertambah,
terutama menjadi pemukiman atau tanah kapling, menyebabkan keanggotaan
subak menjadi berkurang yang dapat berakibat, pada kemampuan pengumpulan
anggaran dan tenaga yang dapat diberdayakan dalam mengelola kebutuhan subak.
Tanggungjawab bersama dalam mengelola, wilayah dan sumberdaya air melalui
tanggung renteng (pikul bersama), menjadi berat tatkala jumlah petani yang aktif
dalam melaksanakan kewajiban gotong-royong maupun berkontribusi terhadap
anggaran menjadi berkurang. Kebijakan subak hanya berlaku pada areal terbatas,
artinya tidak mampu menjangkau ketika berhadapan dengan areal publik, seperti
kasus dengan tanah kaplingan, batas rumah penduduk, batas di luar area subak,
pengguna air yang tidak menjadi anggota subak, anggota terikat karena tanah
garapan, tapi bila tanah garapan sudah hilang apa yang bisa dilakukan oleh subak,
hutang-hutang bekas anggota subak dari tanah yang beralih fungsi tidak terbayar,
karena kesulitan menerapkan sanksi subak.
Simpulan
Pelaksanaan kebijakan sistem irigasi subak, berlandaskan pada tri hita
karana, tiga penyebab kesejahteraan, yang berlandaskan pada harmoni hubungan
manusia dengan Hyang Pencipta, harmoni hubungan antara manusia dengan
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 20
manusia, yang dimulai dari perumusan kebijakan melalui penentuan tujuan bersama
dalam proses deliberasi yang melibatkan beberapa aktor kebijakan, yaitu subak
dengan anggotanya, subak gede, Pemerintah, Desa Pakraman dan Lembaga
Perkreditan Desa maupun pihak swasta. Namun sisnergitas swasta dan pemerintah
dengan subak belum dapat dilaksanakan secara maksimal, masih perlu ditingkatkan
dan perlunya program-program pemerintah yang berkepentingan menyentuh
program pertanian, lebih banyak di rumuskan dan dikerjakan berdasarkan
pendekatan bottom-up. Landasan yang ketiga adalah harmony antara manusia
dengan lingkungannya, bahwa pengembangan sistem irigasi subak, tidak saja
ditujukan pada upaya peningkatan fungsi sistem irigasi guna mendukung
peningkatan kesejahteraan petani, tetapi lebih mengedepankan kelestarian dan
memelihara tata wilayah pertanian, baik dari sisi kesuburan tanah, tata kelola
wilayah mengandung unsur keselamatan dan keindahan alam, pengembangan
pertanian berbasis lingkungan. Refleksi terhadap kebijakan publik di masa
mendatang, adalah terwujudnya kebijakan yang berbasis harmoni, yaitu harmoni
manusia pada keyakinan dan kepercayaannya, yang dapat menumbuhkan rasa
senang, ketenangan bathin, percaya diri, tingkat kepatuhan yang hakiki menyangkut
moral spiritual. Didukung oleh harmony hubungan manusia dengan manusia, harus
dipahami sebagai gerakan moral yang berlandaskan pada pengembangan modal
sosial dan kebudayaan, berdimensi saling menghormati, gotong-royong, kerjasama
dan hidup menghargai martabat manusia, yang ditujukan untuk mencapi harmony
ketiga, yaitu hubungan manusia dengan lingkungan alamiah, bahwa seluruh tujuan
kebijakan ditujukan pada upaya penyelamatan lingkungan hidup dan alamiah, yang
akan selalu dapat menunjukkan kemanfaatan bagi seluruh kehidupan manusia dan
mahluk lainnya.
Daftar Pustaka
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 21
Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Salemba Humanika. Jakarta Anderson, James. 1979. Public Policy Making. Rinehart and Winston. New York Anderson, James. 1979. Public Policy Making. Rinehart and Winston. New Y Andrisani, Paul J., et al., (eds.). 2002. The New Public Management Lessons From
Innovating Governors and Mayors. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Bevir, 2011.Governance.Sage Publications. London. Brinkerhoff, Deric W & Benjamin L Crosby. 2002. Managing Policy Reform:
Concepts and Tools for Decision Makers in Developing and Transitioning Countries. Kumarian Press Ins, Blue Hills Avenue. USA.
Brinkerhoff, Deric W & Benjamin L Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision Makers in Developing and Transitioning Countries. Kumarian Press Ins, Blue Hills Avenue. USA.
Geertz, Clifford. 1980. Negara The Theatre State In Nineteenth-century Bali. Princeton University Press. New Jersey.
Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York.
Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York.
Gerston, Larry N. 2002. Public Policy Making in a Democratic Society. M.E Sharpe. New York.
Hardiman, 2009. Demokrasi Deliberatif. Kanisius. Yogyakarta. Heer, Jaap M. de & Andrew Jenkins. 2012. ―Practices of Cross Cultural
Collaboration in Sustainable Water Management in Bangladesh‖. In International Journal of Business Anthropology vol. 3(1) 2012. (p. 15-38).
Hidayat, Komaruddin & Putut Widjanarko. 2008. Reinventing Indonesia Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Mizan.Jakarta Selatan.
Hoogesteger, Jaime. 2012. ―Democratizing Water Governance from The Grassroots: The Development of Interjuntas-Chimborazo in The Ecuadorian Andes”. In Democratizing Water Governance from the Grassroots: The Development Human Organization; Spring 2012; 71, 1; ProQuest. (P. 76-86).
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis. Gava Media. Yogyakarta.
Islamy, M. Irfan. 2014. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.
King, Simrell & Camilla Stivers. 1998. Government Is Us: Public Administration in an Anti Government Era. Sage Publication Inc. California.
Lorenzen, Rachel P. & Stephan Lorenzen. 2011. ―Changing Realities—Perspectives on Balinese Rice Cultivation‖. In Hum Ecol (2011) 39:29–42, Springer Science+Business Media. LLC 2011.
Mahapatra, Sushanta & Sudip Mitra, 2012. ―Managing Land and Water under Changing Climatic Conditions in India: A Critical Perspective‖. In Journal of Environmental Protection, 2012, 3, 1054-1062 doi:10.4236/jep.2012.39123 Published Online September 2012 (http://www.SciRP.org/journal/jep).
Mollinga, Peter P. 2010.―The Material Conditions of a Polarized Discourse: Clamours and Silences in Critical Analysis of Agricultural Water UseinIndia‖in Journal of Agrarian Change, Vol. 10 No. 3, July 2010, pp. 414–436. Blackwell Publishing Ltd.
Morse, Ricardo S., et al., edt. 2007. Transforming Public Leadership for the 21st Century. M.E.Sharpe Armonk. New York and London.
Parker, Lyn. 2003. From Subjects to Citizens: Balinese Villagers in The Indonesian Nation State. Nias Pres. Nias.
Prosiding Seminar : Local Genius dalam Perspektif Kebijakan Publik, Hukum, Manajemen, Pertanian
dan Pendidikan Oktober 2015 P.2-22. P3M UNIPAS Singaraja. ISBN 978-979-17637-1-4 | 22
Pitana, I Gde. 2010. ―Tri Hita Karana-The Local Wisdom of the Balinese in Managing Development‖. In Roland Conrady and Martin Buck, eds. 2010.Trends and Issues in Global Tourism 2010.Springer & ITB Library. London.
Powell, Walter W, & Paul J DiMaggio. 1992. The New Institutionalism in Organizational Analysis. The University of Chicago Press. Chicago.
Ricoeur, Paul, 2003. ―Citizen of the world: business ethics and social responsibility‖ in Schneider & Jean-Lois Barsoux. 2003. Managing Across Cultures. Prentice Hall. England.
Santosa, Panji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Refika Aditama. Bandung.
Sulistyo, Budi, Ninok Leksono, & Odie Perdanakusuma. 2010. MDGs sebentar Lagi: Sanggupkah kita Menghapus Kemiskinan di Dunia. Kompas Media Nusantara. Jakarta Selatan
Supadi. 2009. Model Pengelolaan Irigasi Memperhatikan Kearifan Lokal. Hibah Bersaing Universitas Pasca Sarjana, Universitas Di Penegoro. Semarang.
Sutantra, Nyoman. 2009. ―Harapan Mensinergikan Pariwisata dan Pertanian di Bali‖.ajegbali.org/taxonomy/term09/25/2009.
Talaat, W I A W, Norhayati Moh Tahir & Mohd Lokman Husain. 2012. ―Traditional Knowledge on Genetic Resources: Safeguarding the Cultural Sustenance of Indigenous Communities”. In Asian Social Science Vol. 8, No. 7; June 2012.
Todaro, Michael P. 1990. Economic For A Developing World. Logman Group. England.
Warren, Caroll. 1996. Menari Diatas Pijakan Rapuh (Refleksi Keterdesakan Bali Dari Ekspansi Industri Pariwisata).Http://taman65.wordpress.Com /2008/08/30/menari-diatas-pijakan-rapuh-refleksi-keterdesakan-bali-dari-ekspansi -industri-pariwisata
Winarno, 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. PT Buku Kita, Jakarta Yuliana, E Dewi, 2010.Transformasi Pertanian (Tinjauan dari Proses dan Bentuk).
Paramita, Surabaya