Pemeliharaan irigasi

43
MAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN T.A. 2006 EVALUASI KINERJA OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DAN UPAYA PERBAIKANNYA Oleh: Sumaryanto Masdjidin Siregar Deri Hidayat M. Suryadi

Transcript of Pemeliharaan irigasi

Page 1: Pemeliharaan irigasi

MAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN T.A. 2006

EVALUASI KINERJA OPERASI DAN PEMELIHARAAN JARINGAN IRIGASI DAN

UPAYA PERBAIKANNYA

Oleh:

SumaryantoMasdjidin Siregar

Deri HidayatM. Suryadi

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN2006

Page 2: Pemeliharaan irigasi

EVALUASI KINERJA JARINGAN IRIGASIDAN UPAYA PERBAIKANNYA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa salah satu kendala terpenting

yang dihadapi untuk memacu pertumbuhan produksi pangan khususnya padi adalah

turunnya kapasitas lahan. Turunnya kapasitas lahan merupakan akibat dari sindroma

over-intensifikasi pada lahan sawah dan penurunan kualitas irigasi (Simatupang, 2000).

Sindroma over-intensifikasi terkait dengan intensitas tanam yang tinggi dengan dosis

pemupukan yang cenderung melebihi kabutuhan optimal (Adiningsih, 1997),

sedangkan turunnya kualitas irigasi merupakan akibat dari degradasi kinerja irigasi

(Arif, 1996, Sumaryanto dkk, 2003).

Lebih dari 80 persen produksi padi di Indonesia berasal dari lahan irigasi. Oleh

karena itu degradasi kinerja irigasi merupakan ancaman nyata terhadap masa depan

pasokan pangan nasional1. Dampak kemunduran kinerja irigasi bersifat langsung dan

tidak langsung. Dampak langsung adalah turunnya produktivitas, turunnya intensitas

tanam, dan meningkatnya risiko usahatani. Dampak tidak langsung adalah melemahnya

komitmen petani untuk mempertahankan ekosistem sawah karena buruknya kinerja

irigasi mengakibatkan lahan tersebut kurang kondusif untuk usahatani padi.

Penyebab turunnya kinerja irigasi terkait dengan: (1) disain jaringan irigasi

tidak tepat, (2) sistem operasi dan pemeliharaan (O & P) irigasi buruk, dan (3)

kombinasi dari keduanya (Osmet, 1996). Ketidak tepatan disain jaringan irigasi

merupakan salah satu ekses dari: (1) pendekatan yang terlalu menitik beratkan aspek

teknis, (2) lemahnya kontrol pelaksanaan pembangunan irigasi, dan (3) ketidak

sesuaian pola pikir perencana pembangunan jaringan irigasi dengan pola pikir petani

(Arif, 1996). Ini dapat disimak misalnya dari hasil penelitian Arif (1996). Sedangkan

sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang buruk terkait dengan: (1) sistem

manajemen operasi dan pemeliharaan irigasi tidak sesuai dengan tuntutan teknis disain

jaringan irigasi. Terutama di level tertier (yang merupakan tanggung jawab petani),

1 Degradasi kinerja irigasi merupakan fenomena yang dihadapi oleh sebagaian besar negara berkembang, dan merupakan salah satu ancaman paling potensial terhadap masa depan keberlanjutan kecukupan pangan di negara-negara berkembang (World Bank, 1993; Oi, 1997; Rosegrant et al, 2002).

1

Page 3: Pemeliharaan irigasi

penyebab utamanya terkait dengan kegagalan mengembangkan kelembagaan

pengelolaan irigasi partisipatif, (2) dana yang tersedia untuk O&P irigasi sangat

terbatas sehingga sebagian besar (60 – 80 persen) habis untuk membayar gaji pegawai

dan biaya administrasi dan yang teralokasikan untuk pemeliharaan prasarana hanya

sekitar 15 – 40 persen (Syarief, 2002).

Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa degradasi kinerja jaringan

irigasi memang terjadi di semua level, tetapi yang paling menonjol dan banyak

ditemukan adalah di level tertier (Pusposutardjo, 1997; Rochdiyanto dan Arif, 1997;

Napitupulu, 1997; Sumaryanto dkk, 2002, Sumaryanto dkk, 2003). Oleh karena itu

perbaikan kinerja operasi dan pemeliharaan pada level tertier merupakan masalah yang

membutuhkan pemecahan segera.

1.2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya kinerja jaringan irigasi merupakan resultante dari kinerja

manajemen operasi dan pemeliharaan irigasi dan kondisi fisik jaringan irigasi secara

simultan. Antar keduanya terdapat hubungan timbal balik: kondisi fisik jaringan irigasi

yang rusak mengakibatkan pengoperasiannya tidak optimal; di sisi lain jika operasi dan

pemeliharaannya tidak memenuhi ketentuan teknis yang dipersyaratkan maka kondisi

fisik jaringan irigasi juga tidak akan berfungsi optimal.

Penyebab rendahnya kualitas fisik jaringan irigasi dapat dipilah menjadi dua

kategori: (1) adanya kerusakan prasarana, (2) akibat salah disain. Kategori (1) terkait

dengan terbatasnya sumberdaya yang tersedia untuk melakukan pemeliharaan dan atau

perbaikan; atau akibat dari terjadinya perubahan lingkungan sekitarnya atau di wilayah

hulunya sehingga jaringan irigasi di wilayah tersebut rusak. Kategori (2) terkait dengan

sistem pembangunan prasarana fisik yang tidak dilaksanakan dengan prosedur yang

benar. Secara empiris, kasus-kasus yang terkait dengan kategori (1) lebih banyak

ditemukan daripada kategori (2).

Kinerja (operasi dan pemeliharaan) jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan

luas areal sawah yang irigasinya baik berkurang. Secara umum, kinerja jaringan irigasi

yang buruk mengakibatkan meningkatnya water stress yang dialami tanaman (baik

akibat kekurangan ataupun kelebihan air) sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif

tanaman tidak optimal. Kerugian yang timbul akibat water stress tidak hanya berupa

2

Page 4: Pemeliharaan irigasi

produktivitas tanaman sangat menurun, tetapi mencakup pula mubazirnya sebagian

masukan usahatani yang telah diaplikasikan (pupuk, tenaga kerja, dan lain-lain).

Jaringan irigasi merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem irigasi dalam

pengertian perangkat keras maupun perangkat lunaknya. Evaluasi dan upaya perbaikan

yang terkait dengan kondisi perangkat keras mungkin lebih mudah dilakukan karena

parameternya lebih jelas dan mudah diamati. Berbeda dengan itu, evaluasi dan upaya

perbaikan dalam konteks perangkat lunak relatif lebih sulit karena melibatkan pula

aspek-aspek yang sifatnya intangible. Implikasinya, evaluasi kinerja jaringan irigasi

dan upaya perbaikannya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan sistematis.

Dalam konteks itu, harus diperhitungkan pula persoalan-persoalan yang terkait dengan

implikasi dari perubahan pola manajemen irigasi dari PP 23/1982 ke PP 77/2001 dan

kemudian juga berubah lagi agar sesuai dengan UU No. 7 Th. 2004.

Urgensi perbaikan kinerja jaringan irigasi terkait dengan beberapa faktor

berikut. Pertama, peningkatan produksi padi merupakan program nasional yang

strategis sementara itu dalam jangka pendek kemampuan pemerintah untuk melakukan

peningkatan luas tanam padi melalui perluasan lahan sawah baru (new construction)

sangat terbatas. Kedua, perbaikan kinerja jaringan irigasi tidak hanya potensial untuk

meningkatkan produktivitas lahan sawah untuk memproduksi padi tetapi juga potensial

untuk meningkatkan pendapatan petani. Ketiga, dalam batas-batas tertentu perbaikan

kinerja jaringan irigasi kondusif untuk mengerem laju konversi lahan sawah ke

penggunaan lainnya. Keempat, perbaikan kinerja jaringan irigasi terutama di level

tertier dengan menempatkan petani sebagai pelaku utamanya adalah merupakan salah

satu bentuk pembelajaran yang relevan dengan implementasi kebijakan pengelolaan

irigasi yang baru. Kelima, perbaikan kinerja jaringan irigasi merupakan salah satu cara

untuk menekan kemubaziran investasi pembangunan sistem irigasi.

Perbaikan kinerja jaringan irigasi mencakup perangkat lunak maupun perangkat

kerasnya. Secara normatif, monitoring dan evaluasi kinerja jaringan di level primer dan

sekunder telah dilakukan oleh instansi terkait dan program rehabilitasinya telah pula

dirumuskan. Di sisi lain, meskipun selama ini telah banyak penelitian empiris yang

dilakukan dan merekomendasikan perlunya perbaikan pola O&P irigasi tetapi fakta di

lapangan menunjukkan bahwa proses degradasi kinerja jaringan irigasi, terutama di

level tertier masih terus berlanjut. Mengingat bahwa perbaikan kinerja jaringan irigasi

3

Page 5: Pemeliharaan irigasi

membutuhkan sumberdaya (anggaran, waktu, tenaga kerja) yang besar dan

keberhasilannya ditentukan oleh partisipasi petani maka perumusan kebijakan dan

program rehabilitasi kinerja jaringan irigasi membutuhkan masukan yang didasarkan

atas kajian empiris. Dalam konteks itulah penelitian ini sangat dibutuhkan.

1.3. Tujuan

Sasaran penelitian ini adalah menghasilkan data, informasi, dan rekomendasi

kebijakan untuk memperbaiki kinerja jaringan irigasi. Tujuan penelitian adalah:

(1) Mengevaluasi kinerja jaringan irigasi dengan penekanan pada aspek operasi dan

pemeliharaannya.

(2) Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya degradasi kinerja jaringan

irigasi.

(3) Mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi dalam perbaikan kinerja

jaringan irigasi.

II. METODE PENELITIAN

2.1. Kerangka Pemikiran

Kemunduran kinerja irigasi yang terjadi pada sistem irigasi teknis sangat

menonjol, terutama di level tertier. Oleh karena itu ruang lingkup evaluasi diarahkan

pada sistem irigasi teknis terutama di level tertier dan substansinya difokuskan pada

aspek operasi dan pemeliharaannya.

Fungsi terpenting jaringan irigasi adalah sebagai prasarana pendukung dalam

sistem penyaluran, distribusi, dan pembuangan (drainage). Kinerja jaringan irigasi

merupakan resultan dari kinerja fisik jaringan dan sistem OP irigasi secara simultan.

Kondisi fisik jaringan irigasi yang optimal tidak menjamin kinerja irigasi yang optimal.

Sebaliknya, kinerja operasi dan pemeliharaan yang baik juga belum tentu menghasilkan

manfaat optimal jika tidak ditunjang oleh kinerja fisik jaringan yang memadai.

Selain harus hadir bersama, antara kedua faktor tersebut saling mempengaruhi.

Kondisi fisik jaringan yang buruk sehingga kinerjanya rendah merupakan salah satu

sebab rendahnya partisipasi petani untuk mengelola irigasi ikut berkontribusi terhadap

rendahnya dan melemahkan motivasi petani untuk mengoperasikan dan

4

Page 6: Pemeliharaan irigasi

memeliharanya. Kondisi fisik jaringan cukup baik dan sistem operasi dan

pemeliharaannya juga baik, reliabilitas pasokannya belum tentu baik jika ternyata

kinerja akuisisi dan penyimpanan buruk. Oleh karena itu, dalam mengevaluasi kinerja

jaringan irigasi, konstelasi hubungan antar sub sistem tersebut harus dipahami dengan

baik agar determinan kinerja jaringan irigasi diketahui.

2.2. Evaluasi Kinerja Jaringan Irigasi.

Kinerja jaringan irigasi tercermin dari kemampuannya untuk mendukung

ketersediaan air irigasi pada areal layanan irigasi (command area) yang kondusif untuk

penerapan pola tanam yang direncanakan. Kinerja irigasi ditentukan secara simultan

oleh kondisi fisik jaringan dan kinerja O&P.

Tolok ukur yang diterapkan untuk mengevaluasi kinerja O&P irigasi mencakup

aspek-aspek berikut:

1. Tolok ukur keluaran O&P jaringan irigasi sebagai penyedia, penyalur, dan

distribusi air. Terdapat empat indikator yang terkait dengan aspek ini:

Kehandalan penyampaian air (Reliability of Delivery – KPA):

Kemerataan penjatahan air antar petak tertier (Water Allocation Equity – WAE):

Kemampuan untuk melakukan drainase yang baik (tercermin dari perbandingan antara kondisi aktual dengan yang direncanakan).

Ketersediaan dana O & P irigasi, baik dari swadaya petani maupun dari pemerintah.

2. Tolok ukur menurut sudut pandang petani. Ini dapat dinilai melalui:

Tingkat kecukupan, yakni perbandingan tebal (depth) pemberian air irigasi aktual terhadap tebal air yang diinginkan petani (P3A).

Ketepatan waktu, yakni perbandingan antara waktu pemberian air menurut kondisi akutal terhadap jadwal yang diinginkan petani (P3A). Dalam konteks ini difokuskan pada ketepatan waktu kedatangan pasokan air irigasi meskipun sebenarnya dimensinya juga mencakup durasinya.

Kehandalan penerimaan air irigasi (KPI), yakni kombinasi KN dengan KW.

2.3. Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Degradasi Kinerja OP Jaringan Irigasi.

5

Page 7: Pemeliharaan irigasi

Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya degradasi kinerja OP jaringan

irigasi difokuskan pada jaringan tertier. Secara garis besar, faktor penyebab terjadinya

degradasi kinerja (operasi dan pemeliharaan) jaringan irigasi di level tertier dipilah

menjadi 2 kategori:

(1) Eksternal: perubahan kondisi wilayah yang mengakibatkan jaringan irigasi tidak

dapat berfungsi optimal atau bahkan rusak.

(2) Internal: P3A tidak berfungsi sehingga tidak berhasil membangun aksi kolektif

untuk melakukan OP irigasi dengan baik.

2.4. Identifikasi Potensi dan Kendala yang Dihadapi Dalam Perbaikan Kinerja Jaringan Irigasi.

Pada level tertier, potensi dan kendala yang dihadapi dalam perbaikan kinerja

jaringan irigasi diidentifikasi melalui pendekatan tidak langsung dengan cara mengkaji

faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam OP irigasi. Secara garis

besar bentuk partisipasi dipilah menjadi tiga kategori: (1) berpartisipasi dalam bentuk

pemenuhan kewajiban finansial saja, (2) berpartisipasi dalam bentuk tenaga kerja saja,

(3) berpartisipasi dalam pemenuhan kewajiban finansial maupun tenaga kerja. Kualitas

partisipasi juga dikelompokkan menjadi tiga tingkatan: (1) tidak berpartisipasi, (2)

tingkat partisipasi sedang, dan (3) berpartisipasi penuh.

2.5. Pengambilan Contoh

Kajian dilakukan pada sistem irigasi teknis di Daerah Irigasi Brantas (Provinsi

Jawa Timur), Daerah Irigasi Way Sekampung (Provinsi Lampung), dan Daerah Irigasi

Wawotobi (Sulawesi Tenggara). Daerah Irigasi Brantas dipilih untuk mewakili suatu

sistem irigasi di Jawa yang paling maju dan pola tanamnya paling dinamis. Daerah

Irigasi Way Sekampung dipilih untuk mewakili wilayah irigasi di Luar Jawa di

kawasan barat, sedangkan Daerah Irigasi Wawotobi dipilih untuk mewakili ekosistem

pesawahan di luar Jawa di kawasan timur.

Responden dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori yaitu (a) lembaga atau

organisasi yang secara langsung menangani operasi dan pemeliharaanirigasi dan (b)

pengguna air irigasi. Butir (a) terdiri dari dua sub kategori yaitu: (i) lembaga yang

secara langsung menangani operasi dan pemeliharaan irigasi pada level primer dan

6

Page 8: Pemeliharaan irigasi

sekunder yakni aparat dinas pengairan, dan (ii) organisasi petani pengguna air irigasi

(Perkumpulan Petani Pemakai Air – P3A). Pengguna air irigasi adalah petani

penggarap lahan sawah.

Pemilihan responden kategori (a) mengacu pada unit analisis wilayah untuk

lokasi penelitian yang terpilih, sedangkan pemilihan responden kategori (b)

menggunakan prosedur random sampling. Prosedur pemilihan contoh di masing-

masing Propinsi dapat disimak pada Gambar 1, sedangkan jumlah responden tertera

pada Tabel Lampiran 1.

Keterangan:A = Blok Tertier dengan kinerja O&P jaringan irigasi kurang/tidak baik B = Blok Tertier dengan kinerja O&P jaringan irigasi baikP = Petani responden

Gambar 1. Prosedur pemilihan contoh.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Deskripsi Umum

Sistem irigasi yang dijadikan lokasi penelitian mempunyai peranan yang

penting di masing-masing Propinsi. Total luas lahan irigasi di DAS Brantas adalah

sekitar 309 ribu hektar atau sekitar 34.05 % dari total luas lahan irigasi Propinsi Jawa

Timur. Dari seluruh lahan irigasi yang termasuk dalam Daerah Irigasi Brantas itu,

sekitar 242.5 ribu hektar atau 78 % beririgasi teknis. Angka ini sekitar 33.37 persen

7

P

P

P

P

P

P

P

P

A

B

A

B

A

B

A

B

Hulu

Hilir

Hulu

Hilir

Hulu

Hilir

Satu sistem Daerah Irigasi

Page 9: Pemeliharaan irigasi

dari total lahan Irigasi Teknis Propinsi Jawa Timur. Sistem irigasi Sekampung

melayani areal irigasi seluas 45.110 hektar atau sekitar 44 persen terhadap total luas

lahan irigasi teknis di Propinsi Lampung. Sedangkan sistem irigasi Wawotobi

melayani luas areal irigasi sekitar 7.000 hektar, yang berarti sekitar 29 persen dari

total luas areal irigasi teknis di Propinsi Sulawesi Tenggara. Potensi peningkatan

peranannya masih sangat terbuka karena dari air yang tersedia di bendung maupun

lahan yang potensial dikembangkan sebenarnya sistem irigasi Wawotobi mampu

melayani areal irigasi seluas 16.255 hektar.

Berbeda dengan sistem distribusi air di Brantas maupun Wawotobi, di sistem

irigasi Way Sekampung dilakukan pola pergiliran tahunan. Hal ini disebabkan

kapasitas rata-rata volume air irigasi yang tersedia dari debit andalan Argoguruh

maupun suplesi dari Waduk Batutegi hanya cukup untuk mengairi sekitar 58 persen

dari total luas lahan sawah yang harus dilayani (command area). Oleh karena itu,

dilakukan pembagian menjadi dua wilayah:

Golongan I (masa awal garap akhir Oktober) – III (masa awal garap awal

Desember) pada tahun ganjil memperoleh gadu.

Golongan IV (mulai garap pertengahan Desember) – IV (mulai garap pertengahan

Januari) tidak memperoleh jatah pasokan air MT II (jatah gadu), kecuali Golongan

IV dari Saluran Sekunder Bekri-2 (2400 Ha).

Sebagaimana umumnya pada sistem irigasi di Indonesia, awal masa tanam padi

MT I sangat terkait dengan datangnya musim hujan. Ini berlaku pula pada sistem irigasi

teknis karena volume reservoir dipengaruhi oleh curah hujan. Awal masa garap

usahatani padi MT I di Brantas pada umumnya adalah pertengahan Oktober – awal

Desember, sedangkan di Sekampung pertengahan Nopember – pertengahan Januari. Di

Wawotobi, awal masa garap usahatani padi MT I pada umumnya berlangsung pada

pertengahan Januari – awal Maret.

Terkait dengan teknologi usahatani yang diterapkan petani, produktivitas

usahatani padi yang tertinggi adalah di Brantas sedangkan yang terendah di Wawotobi.

Di Brantas, produktivitas pada musim kemarau cenderung lebih rendah, sedangkan di

Way Sekampung maupun Wawotobi adalah sebaliknya. Secara umum, pola tanam

yang paling berdiversifikasi adalah di Brantas, sedangkan yang cenderung monokultur

8

Page 10: Pemeliharaan irigasi

adalah di Wawotobi. Komoditas utama di luar padi adalah jagung, kedele dan tebu.

Jagung diusahakan pada MT II dan atau III, sedangkan kedele pada umumnya pada MT

III. Sebagian besar usahatani tebu adalah sistem keprasan dengan frekuensi kepras

antara 6 – 8 kali. Indeks pertanaman pada sistem irigasi teknis Sekampung, Brantas,

dan Wawotobi masing-masing adalah sekitar 2.14, 2.65, dan 1.52.

Tabel 1. Deskripsi umum pemanfaatan lahan sawah irigasi teknis dalam lima tahun terakhir.

Sistem irigasiBrantas Sekampung Wawotobi

1. Awal garap lahan untuk usahatani padi MT I Okt/Des Nop/Jan Jan/Mar

2. Proporsi luas tanam padi (%)

- MT I 87 98 93

- MTII 65 48 56

- MTIII 4 2 -

3. Produktivitas usahatani padi (ton GKP/ha):

- MT I 5.6 5.1 4.5

- MTII 5.4 5.3 4.7

4. Diversifikasi usahatani ke tanaman non padi pada MT II dan atau MT III

tinggi sedang sangat rendah

5. Intensitas tanam 2.65 2.14 1.52

6. Rata-rata luas pemilikan lahan sawah (Ha) 0.34 0.71 1.35

7. Kontribusi pendapatan usahatani sawah terhadap pendapatan rumah tangga petani (%)

58.7 68.2 76.4

Sumber: Analisis Data Primer

Rata-rata pemilikan lahan sawah di Brantas adalah sekitar 0.34 hektar/petani,

sedangkan di Way Sekampung dan Wawotobi masing-masing adalah sekitar 0.71 dan

1.95 hektar/petani. Hal itu berimplikasi pada peranan usahatani di lahan sawah terhadap

ekonomi rumah tangga petani. Terkait pula dengan perkembangan perekonomian

wilayah maka kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total

pendapatan rumah tangga petani di Brantas, Way Sekampung, dan Wawotobi masing-

masing adalah sekitar 59, 68 dan 76 persen. Di Brantas dan Way Sekampung, sumber

pendapatan utama di luar usahatani sawah adalah dari aktivitas non pertanin, sedangkan

di Wawotobi adalah dari usahatani di lahan kering (kelapa, pisang, kakao, dan kayu).

3.2. Pola Umum Distribusi Pasokan Air Irigasi

9

Page 11: Pemeliharaan irigasi

Pola umum distribusi temporal pasokan air irigasi didekati dengan metode

indeks (PUDT)1. Data yang digunakan adalah debit air irigasi yang dilepas dari saluran

induk atau debit bendung. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum distribusi

temporal air irigasi paling stabil adalah di Brantas, sedangkan yang paling berfluktuasi

adalah di Way Sekampung (Gambar 2).

Gambar 2. Pola distribusi temporal pasokan air irigasi di reservoir utama.Sumber: Analisis Data Primer

Terkait dengan data yang tersedia, pembandingan pola temporal antara wilayah

hulu dan hilir hanya dapat diperlakukan sistem irigasi Brantas. Hasil estimasi dari data

selama kurun waktu 18 tahun (1979 – 1996) di Brantas diperoleh kesimpulan bahwa

rata-rata pasokan air per bulan di Hulu (Molek) adalah sekitar 63.50 m3/dt, sedangkan

di Hilir (agregat Voor Canal-1 dan Voor Canal-2) adalah sekitar 50.95 m3/dt. Secara

umum, pasokan di wilayah hulu lebih stabil daripada di Hilir (Gambar Lampiran 1).

Untuk memperoleh pola umum distribusi air irigasi di pintu tertier maka angka

tersebut dikoreksi dengan intake efficiency (IEF) dan system operation efficiency

(SOEF) yang diperoleh dari hasil penelitian lain di wilayah yang bersangkutan. IEF

merefleksikan intake aktual yang diterima di salah satu saluran berikutnya terhadap

volume intake yang direncanakan pada saluran di level atasnya (main canal). Disain

jaringan (dari saluran induk – tertier) irigasi yang kurang terkonsolidasi merupakan

1 dimana Qi adalah debit pada bulan ke-i, sedangkan adalah rata-rata debit

10

Page 12: Pemeliharaan irigasi

salah satu faktor yang menentukan IEF. Sedangkan SOEF adalah ratio antara volume

alir yang diterima di inlet di lapangan terhadap inflow pada saluran utama (main canal).

Faktor yang paling menentukan SOEF adalah kebocoran dan evaporasi selama

penyaluran dan kehilangan air akibat kesalahan dalam pengoperasian fasilitas kontrol

distribusi air irigasi (Armitage, 1999).

Hasil penelitian Tim studi ASPS II (1992) menunjukkan bahwa Intake

efficiency (IEF) dan System operation efficiency (SOEF) di wilayah hulu adalah sekitar

89 dan 76 persen, sedangkan di wilayah hilir (dengan urutan yang sama) adalah sekitar

71 dan 58 persen (Tim Studi SAPS II, 1992). Dengan asumsi bahwa tingkat efisiensi

tersebut tidak banyak berubah, hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata pasokan air

di pintu tertier di wilayah Hulu adalah sekitar 0.79 Lt/dt/Ha dengan koefisien variasi

0.44, sedangkan di Hilir sekitar 0.76 Lt/dt/Ha dengan koefisien variasi 0.49 (Tabel

Lampiran 2).

3.3. Kinerja Jaringan Irigasi

Estimasi tolok ukur kuantitatif yang menunjukkan keluaran O&P jaringan

irigasi sebagai penyedia, penyalur, dan distribusi (KPA dan WAE) hanya dapat

dilakukan pada sistem irigasi Brantas. Di Way Sekampung (Lampung) meskipun

pemantauan kondisi fisik jaringan dilakukan secara rutin akan tetapi pencatatannya

kurang tertib sehingga data series yang reliable sulit diperoleh. Sedangkan di

Wawotobi, bukan hanya pencatatannya yang tidak dilakukan secara rutin, pemantauan

kondisi fisik jaringan irigasinyapun kurang memadai akibat sangat terbatasnya tenaga

dan anggaran yang tersedia untuk melakukan OP irigasi. Dapat ditambahkan bahwa

sejak masa pengoperasiannya (tahun 1992), praktis hanya dua tahun sistem OP irigasi

Wawotobi dilaksanakan sesuai prosedur standard. Setelah itu, kondisinya secara

berangsur mengalami degradasi. Sejak tahun 2003 mulai dilakukan upaya revitalisasi

dengan merehabilitasi jaringan irigasi (pada saat ini Nippon Koei tengah mengkaji

proyek rehabilitasi irigasi Wawotobi).

Estimasi tolok ukur kuantitatif jaringan irigasi sebagai penyedia, penyalur, dan

pendistribusi (KPA dan WAE) pada sistem irigasi Brantas dapat dilihat pada Tabel 2

11

Page 13: Pemeliharaan irigasi

dan Tabel 3. Mengacu pada nilai KPA (Tabel 2) dapat disimpulkan bahwa: (1) pada

umumnya tingkat kehandalan jaringan irigasi di Brantas dalam penyampaian (reliability

of delivery) air irigasi adalah sekitar 80 persen, dan (2) secara relatif kondisi yang

terjadi di wilayah Hulu adalah lebih baik daripada di Hilir. Hal ini terkait dengan

banyak faktor. Selain konfigurasi jaringan maupun ketepatan disain, juga terkait kinerja

pemeliharaan saluran irigasi di wilayah yang bersangkutan.

Tabel 2. Hasil estimasi keandalan penyampaian KPA di lokasi penelitian di sistem irigasi Brantas

Wilayah Sub Wilayah Rata-rata Maks Min STD

Hulu Hulu 0.849 1.244 0 0.388Hilir 0.817 1.326 0 0.427

Hilir Hulu 0.822 1.328 0 0.402Hilir 0.807 1.477 0 0.451

Sumber: Analisis Data Primer

Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi tolok ukur kuantitatif yang merefleksikan

tingkat pemerataan distribusi air irigasi. Tampak bahwa secara umum tingkat distribusi

air irigasi di bagian Hulu (baik di Wilayah Hulu maupun Wilayah Hilir) cenderung

lebih merata. Ini konsisten dengan pengamatan di tingkat petani yang menunjukkan

bahwa keluhan tentang "tidak kebagian air" di bagian hilir, pada umumnya lebih

banyak ditemukan dibanding di bagian hulu.

Tabel 3. Nilai WAE di Wilayah Hulu dan Wilayah Hilir di sistem irigasi Brantas.

Wilayah Sub Wilayah Rata-rata Nilai WAE Tingkat kemerataan:

Hulu Hulu 1.177 Sedang – tinggiHilir 1.392 Rendah – sedang

Hilir Hulu 1.239 Rendah – sedang Hilir 2.016 Rendah

Sumber: Analisis Data Primer

Selain aspek penyaluran dan distribusi, kemampuan jaringan irigasi dalam

menekan kelebihan air (drainase) merupakan bagian penting dari kinerja jaringan

irigasi. Fungsi drainase menjadi sangat menonjol pada wilayah layanan irigasi yang

elevasinya relatif rendah. Kondisi drainase yang baik bukan hanya diperlukan untuk

12

Page 14: Pemeliharaan irigasi

mendukung pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tetapi juga berperan penting

untuk menghindari kehilangan hasil.

Data kuantitatif yang mencerminkan unjuk kerja saluran pembuang tidak

tersedia. Oleh karena itu evaluasi didasarkan atas penilaian kualitatif. Dengan

pendekatan ini kinerja jaringan irigasi dalam hal drainase dipilah menjadi 3 kategori:

(1) baik, (2) sedang, dan (3) tidak/kurang baik. Kriteria tersebut didasarkan atas

penilaian petani atas kemampuan drainase pada musim penghujan untuk usahatani padi.

Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dilihat bahwa secara umum kemampuan

jaringan irigasi untuk melakukan drainase yang terbaik adalah di Brantas, sedangkan

yang terburuk adalah di Wawotobi. Di Brantas, sekitar separuh persen kondisinya baik

dan sekitar sepertiga sedang. Sebaliknya, di Wawotobi lebih dari dua pertiga adalah

tidak/kurang baik dan hanya sekitar 10 persen yang fungsi drainasenya baik. Di Way

Sekampung unjuk kerja drainase yang termasuk kategori baik adalah sekitar 25 persen

dan yang termasuk kategori sedang adalah 50 persen (Tabel 4).

Tabel 4. Kemampuan jaringan irigasi untuk melakukan drainase (dalam persen)

Kategori Way Sekampung Brantas Wawotobi

Baik 25.0 50.0 12.5

Sedang 50.0 37.5 25.0

Kurang/tidak baik 25.0 12.5 67.5

Sumber: Analisis Data Primer

Kondisi fisik jaringan sangat dipengaruhi oleh operasi dan pemeliharaannya

yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan ketersediaan dana untuk

melaksanakan aktivitas tersebut. Anggaran dari pemerintah sangat terbatas. Sebagai

ilustrasi, anggaran OP 2005 di Way Sekampung, Brantas, Wawotobi masing-masing

adalah sekitar Rp.66.500, Rp.29.400, dan Rp.78.000 /hektar. Di sisi lain, di Brantas

kebutuhan dana menurut “angka kebutuhan nyata operasi dan pemeliharaan” (AKNOP)

dari perhitungan PU Pengairan Jawa Timur adalah sekitar Rp 100.000 per hektar per

tahun. Di Sulawesi Tenggara (agregat Propinsi), dengan kondisi jaringan seperti saat ini

adalah sebesar Rp150.000/ha/tahun; dan khusus untuk Sistem Irigasi Wawotobi adalah

sekitar Rp. 161.000/ha/tahun.

13

Page 15: Pemeliharaan irigasi

Sebagian besar dari anggaran OP dari pemerintah ternyata teralokasikan untuk

honor dan gaji pegawai pengairan untuk menjalankan tugas tersebut. Bahkan untuk

honor sebagian petugas pengairan seringkali terjadi keterlambatan pembayaran - tidak

hanya satu atau dua bulan tetapi lebih dari tiga bulan. Kasus-kasus ini ditemui baik di

Wawotobi maupun di Brantas. Implikasinya, kegiatan operasi tidak optimal dan

pemeliharaan juga tidak memadai sehingga berdampak umur dan mutu jaringan

menjadi lebih rendah.

Di level tertier keswadayaan petani untuk menyediakan anggaran OP juga

sangat terbatas. Dalam konteks ini penilaian apakah ketersediaan dana swadaya

tersebut cukup ataukah tidak cukup adalah relatif karena sangat terkait dengan tingkat

kerusakan jaringan irigasi di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu evaluasi

terhadap tingkat ketersediaan dana OP irigasi didekati dengan penilaian petani dan

pengurus P3A berdasarkan kebutuhan biaya OP di wilayah masing-masing. Dalam

kajian ini tingkat ketersediaan dana OP swadaya petani (diorganisasikan oleh P3A)

dipilah menjadi empat kategori: (1) cukup, (2) kurang, (3) sangat kurang, dan (4) tidak

ada dana yang tersedia.

Sebagaimana tampak pada Tabel 5, P3A yang menyatakan bahwa dana OP

swadayanya cukup untuk membiayai OP irigasi di wilayah kerjanya hanya ditemukan

di Way Sekampung (12.5 %) dan Brantas (25 %). Bahkan di Wawotobi proporsi P3A

yang tidak mempunyai dana untuk OP irigasi di wilayah kerjanya lebih dari sepertiga.

Tabel 5 Tingkat ketersediaan dana OP irigasi swadaya petani (dalam persen)

Kategori Way Sekampung Brantas Wawotobi

Cukup 12.5 25.0 -

Kurang 37.5 50.0 37.5

Sangat kurang 37.5 25.0 25.0

Tidak ada 12.5 - 37.5

Sumber: Analisis Data Primer

Penilaian petani terhadap kinerja air irigasi pada akhirnya bermuara pada

persoalan volume dan ketepatan waktu. Dari sudut pandang petani, penilaian terhadap

tingkat kecukupan air irigasi yang diterima di lahan sawahnya (volume) untuk

usahatani padi dapat didekati melalui pembandingan antara rata-rata tinggi genangan

14

Page 16: Pemeliharaan irigasi

aktual dengan yang secara normatif digunakan sebagai pedoman petani setempat.

Dalam penelitian ini tingkat kecukupan tersebut dipilah menjadi 3 kategori: (1)

berlebih, (2) cukup, dan (3) kurang. Penilaian dilakukan terhadap kondisi air irigasi

untuk usahatani padi pada MT II. Dengan pendekatan ini diperoleh kesimpulan bahwa

secara umum air irigasi yang diterima petani di lahan sawah di Way Sekampung dan

Brantas lebih langka daripada di Wawotobi (Tabel 6).

Tabel 6. Kuantitas pasokan air irigasi di petak tertier contoh (dalam persen)

Kategori Way Sekampung Brantas WawotobiBerlebih 15.0 7.5 27.5Cukup 52.5 60.0 57.5Kurang 32.5 32.5 15.0Sumber: Analisis Data Primer

Tentang jadwal kedatangan pasokan air, di Way Sekampung maupun Brantas

lebih dari separuh mengalami keterlambatan. Ini berbeda dengan di Wawotobi dimana

yang tidak mengalami keterlambatan ternyata lebih dari separuh (Tabel 7). Gambaran

lebih rinci tentang kombinasi antara volume dan jadwal dapat disimak pada Tabel

Lampiran 3.

Tabel 7. Ketepatan waktu pasokan air irigasi di petak tertier contoh (dalam persen)

Kategori Way Sekampung Brantas WawotobiTidak terlambat 45.0 47.5 60.0Sering terlambat 55.0 52.5 40.0Sumber: Analisis Data Primer

3.4. Penyebab Degradasi Kinerja Jaringan dan OP Irigasi

Sebagaimana dikemukakan di muka, kajian tentang penyebab degradasi kinerja

jaringan dan OP irigasi ini difokuskan pada kinerja jaringan dan OP irigasi di tingkat

tertier. Penyebabnya memang sangat kompleks dan saling berkaitan. Dari penelitian ini

teridentifikasi bahwa penyebab utama yang sifatnya eksternal (di luar kendali

petani/P3A) terkait dengan lima aspek berikut: (1) anggaran OP irigasi dari pemerintah,

(2) jumlah petugas dan fasilitas pendukungnya, (3) pembinaan P3A, (4) koordinasi

15

Page 17: Pemeliharaan irigasi

antar lembaga terkait, dan (5) perubahan kawasan yang mendorong terjadinya konversi

lahan sawah ke penggunaan lain. Hasil identifikasi adalah sebagai berikut.

Sebagian besar petani berpendapat bahwa keterbatasan anggaran OP irigasi

merupakan penyebab dari terjadinya degradasi kinerja OP irigasi di tingkat tertier1.

Proporsi petani yang berpendapat bahwa anggaran OP irigasi dari pemerintah cukup

ternyata kurang dari 10 persen. Proporsi petani yang berpendapat bahwa anggaran yang

tersedia sangat kurang hampir mencapai 60 persen, sedangkan yang berpendapat

kurang adalah sekitar 20 persen (Tabel 8).

Tabel 8. Faktor-faktor yang mem-pengaruhi degradasi kinerja OP irigasi di level tertier (dalam persen)

Aspek yang dinilai Pendapat petani Sekampung Brantas Wawotobi Rata-rata1. Anggaran OP dari

pemerintahTidak ada 11.1 14.3 21.1 15.6 Sangat kurang 55.6 68.6 52.6 58.7 Kurang 30.6 11.4 18.4 20.2 Cukup 2.8 5.7 7.9 5.5

2. Jumlah petugas & fasilitas pendukung

Sangat kurang 30.8 10.3 44.7 28.4 Kurang 51.3 69.2 44.7 55.2 Cukup 17.9 20.5 10.5 16.4

3. Pembinaan P3A Sangat kurang 21.1 10.8 36.8 23.0 Kurang 42.1 45.9 42.1 43.4 Cukup 36.8 43.2 21.1 33.6

4. Kualitas koordinasi antar lembaga terkait

Sangat buruk 23.7 17.1 45.7 28.7 Buruk 39.5 40.0 42.9 40.7 Cukup baik 36.8 42.9 11.4 30.6

5. Kecenderungan konversi lahan sawah

Tidak ada 13.3 2.9 14.7 10.2 Rendah 73.3 44.1 82.4 66.3 Sedang 10.0 47.1 2.9 20.4 Tinggi 3.3 5.9 - 3.1

Sumber: Analisis Data Primer

Keterbatasan anggaran berkaitan dengan jumlah petugas dan fasilitas

pendukung petugas pengairan untuk melaksanakan kegiatannya. Dalam hal ini ternyata

pendapat petani konsisten. Lebih dari separuh menyatakan bahwa jumlah petugas

pengairan dan fasilitas pendukungnya termasuk kategori kurang. Implikasinya berlanjut

pada kegiatan pembinaan P3A oleh petugas. Oleh karena fasilitas pendukungnya sangat

terbatas maka aktivitas aparat pengairan untuk melakukan pembinaan P3A mengalami

1 Disadari bahwa adanya peluang bahwa terbentuknya persepsi tersebut dipengaruhi pula oleh pernyataan/alasan yang dikemukakan oleh petugas pengairan pada saat yang bersangkutan berinteraksi dengan petani. Akan tetapi jika dikaitkan fenomena saat ini dimana keterbukaan dan keberanian petani untuk menyampaikan pendapatnya cukup tinggi maka peluang bahwa persepsi tersebut dibentuk oleh petugas pengairan tampaknya sangat kecil.

16

Page 18: Pemeliharaan irigasi

hambatan. Proporsi petani yang menyatakan bahwa pembinaan P3A cukup memadai

hanya sekitar sepertiga.

Dalam kondisi seperti itu persoalan yang dihadapi menjadi semakin kompleks

karena koordinasi antar lembaga terkait tampaknya juga tidak menunjukkan kinerja

yang memadai. Kerjasama yang sistematis dan produktif antara aparat pemerintah

daerah, petugas pengairan, dan PPL di lapangan belum melembaga. Kecenderungan

yang sering terjadi adalah adanya sejumlah P3A yang sangat sering dikunjungi dan

dibina, di sisi lain cukup banyak pula P3A yang sangat jarang disentuh. Tolok ukur

keberhasilan pembinaan dan atau kegiatan oleh petugas, dimana keberhasilan itu

diukur dari besarnya partisipasi masyarakat setempat untuk ikut dalam kegiatan terkait

semakin memperparah kesenjangan pembinaan antar P3A tersebut. Petugas cenderung

memilih masyarakat yang lebih kooperatif dalam berpartisipasi dalam kegiatan

dibanding masyarakat yang kurang kooperatif.

Faktor lain adalah pengaruh dari perubahan kawasan, terutama yang

berimplikasi pada kecenderungan petani untuk mengkonversi lahan sawahnya.

Sebagian besar petani memang berpendapat bahwa kecenderungan seperti itu masih

relatif rendah. Akan tetapi implikasi dari konversi lahan sawah terhadap kinerja

jaringan dan OP irigasi sangat serius. Secara empiris sangat jarang ditemui lahan sawah

yang telah dikonversi ke penggunaan lain kemudian (dapat) difungsikan sebagai sawah

(irreversible).

Kasus-kasus konversi lahan sawah yang terjadi di ketiga sistem irigasi yang

dikaji berbeda, baik motivasi maupun bentuk konversinya. Di Way Sekampung kasus-

kasus konversi adalah menjadi lahan kering untuk tanaman palawija/sayuran. Di

Brantas, selain menjadi lahan kering untuk usahatani sayuran adalah untuk perumahan.

Keduanya sangat berbeda dengan di Wawotobi. Di wilayah ini sebagian besar kasus

konversi adalah untuk usahatani tanaman perkebunan. Ini terutama terjadi di areal

persawahan yang berada jauh dari pintu-pintu saluran irigasi dan umumnya dimiliki

penduduk lokal. Perpaduan faktor kecukupan air, tingginya biaya tenaga kerja,

dukungan mekanisasi pertanian yang rendah, dan budaya bertani masyarakat

merupakan penyebab yang salih berkaitan laju konversi lahan ini.

Faktor penyebab terjadinya degradasi jaringan dan OP irigasi yang sifatnya

internal adalah kinerja P3A. Kinerja P3A merupakan komposit dari keberadaan

17

Page 19: Pemeliharaan irigasi

pengurus, pembagian tugas yang jelas antar pengurus, kemampuan mendorong petani

untuk berpartisipasi dalam pemeliharaan jaringan tertier dan kuarter, keterbukaan

dalam penggunaan iuran irigasi, dan keterampilan mencegah/memecahkan konflik

internal organisasi P3A ataupun dengan pihak lain.

Secara umum sebagian besar petani berpendapat bahwa kinerja P3A adalah

rendah – sedang. Bahkan di Wawotobi, proporsi yang menyatakan sangat rendah dan

rendah masing-masing mencapai 24 dan 49 persen (Tabel 9).

Tabel 9. Kinerja organisasi P3A dalam mengelola OP irigasi (dalam persen)

Pendapat responden Sekampung Brantas Wawotobi Rata-rataSangat rendah 8.6 3.0 24.3 12.4Rendah 31.4 27.3 48.6 36.2Sedang 42.9 63.6 27.0 43.8Tinggi 14.3 6.1 0.0 6.7Sangat tinggi 2.9 0.0 0.0 1.0Sumber: Analisis Data Primer

3.5. Potensi dan Kendala yang Dihadapi Dalam Memperbaiki Kinerja OP Irigasi di Level Tertier

Kendala yang dihadapi dalam memperbaiki kinerja OP irigasi tampaknya justru

terletak pada kebijakan pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan antisipasi

terhadap dinamika budaya dan perkembangan wilayah. Ini berkaitan dengan paradigma

dan inkonsistensi kebijakan. Paradigma yang dianut terlalu menitik beratkan pada

aspek fisik dan keteknikan. Pada awal pembangunannya cenderung menggunakan

pendekatan top–down, dan disisi lain terjadi kooptasi kelembagaan lokal yang

sebenarnya semula telah berjalan. Akibatnya kemandirian petani tak terbentuk. Upaya

untuk mentransformasi sistem irigasi dari protektif menjadi sistem irigasi produktif

sulit diwujudkan. Oleh karena konstelasi persoalannya sangat kompleks maka upaya

perbaikan sistem irigasi (OP irigasi merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan

irigasi) di Indonesia memang membutuhkan reformasi (Pasandaran, 2005).

Inkonsistensi kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap penurunan

kinerja OP jaringan irigasi. Kebijakan pengelolaan sumber daya air terkadang tidak

didukung atau bahkan tidak sejalan dengan kebijakan dibidang yang lain. Kebijakan

pemerintah dalam mengendalikan alih fungsi lahan sawah sampai saat ini tidak efektif

karena implementasi tata ruang tidak konsisten; padahal alih fungsi lahan sawah

18

Page 20: Pemeliharaan irigasi

berimplikasi serius terhadap kondisi jaringan irigasi pada lahan-lahan sawah di

sekitarnya.

Contoh inkonsistensi kebijakan yang lain adalah terjadinya perubahan-

perubahan aturan pengelolaan sumber daya air yang cenderung kurang memperhatikan

prospek implementasinya di lapangan. Ini terlihat misalnya dari persoalan yang

dihadapi dalam mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 2004. Salah satu implikasi dari

undang-undang ini adalah tentang pembagian tanggung jawab OP irigasi antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten. Sampai saat ini

tindak lanjut undang-undang ini baru sampai pada tingkat PP sedangkan petunjuk

teknisnya masih dalam tahap penyempurnaan. Akibatnya pada tahun ini terjadi

kerancuan dalam realisasi biaya operasi, pemeliharaan, dan terutama rehabilitasi irigasi.

Dalam batas-batas tertentu potensi dan kendala yang dihadapi P3A dalam

memperbaiki OP irigasi dapat dibaca dari partisipasi petani dalam membayar iuran

irigasi dan partisipasi untuk berkontribusi tenaga kerja (gotong rorong) dalam

memeliharan saluran irigasi. Partisipasi dalam membayar iuran irigasi mencerminkan

apresiasinya terhadap nilai ekonomi air irigasi, sedangkan partisipasi dalam gotong

royong mencerminkan persepsinya terhadap nilai aksi kolektif.

Secara umum proporsi petani yang tidak berpartisipasi membayar iuran irigasi

relatif rendah (kurang dari 10 persen, bahkan di Way Sekampung kurang dari 5 persen),

kecuali di Wawotobi mencapai lebih dari 30 persen. Proporsi petani yang membayar

penuh di Di Way Sekampung, Brantas, dan Wawotobi masing-masing adalah 63, 37,

dan 16 persen (Tabel 10).

Tabel 10. Tingkat partisipasi dalam membayar iuran irigasi (dalam persen)

Sekampung Brantas Wawotobi Rata-rata

Tidak membayar 2.9 7.9 34.4 14.3

Membayar, tidak penuh 34.3 55.3 50.0 46.7

Membayar, penuh 62.9 36.8 15.6 39.0

Sumber: Analisis Data Primer

Iuran irigasi yang harus dibayar petani terutama terdiri atas IPAIR dan Iuran

P3A (sejak era reformasi sebagian besar P3A tidak lagi memberlakukan IPAIR). Jika

membayar penuh, rata-rata nilai iuran irigasi yang harus dibayar petani di Brantas

19

Page 21: Pemeliharaan irigasi

adalah sekitar Rp. 260 000/hektar/tahun (dua kali tanam padi), atau sekitar 4 % dari

total biaya usahatani. Di Way Sekampung, nilainya sedikit lebih rendah yaitu sekitar

Rp. 215 000/ hektar/tahun ( 3.6 persen dari total biaya usahatani), sedangkan di

Wawotobi adalah sekitar Rp. 150 000/hektar/tahun (2.7 persen dari total biaya

usahatani) (Tabel 11).

Tabel 11. Penerimaan, Biaya, dan Keuntungan Usahatani Padi di Lokasi Penelitian (Ribu Rupiah/Ha)

Uraian Daerah IrigasiBrantas Sekampung Wawotobi

MT I: Total penerimaan 8 700.6 7 907.5 4 943.8 Total Biaya 3 283.3 3 046.3 2 637.4 Keuntungan 5 417.3 4 861.2 2 306.3

MT II Total penerimaan 8 643.8 8 087.5 6 055.0 Total Biaya 3 303.2 2 943.8 2 891.7 Keuntungan 5 340.6 5 143.7 3 163.3

Biaya Irigasi: IPAIR (Rp./Ha/Th) 14.7 10.0 25.0 Iuran P3A (Rp./Ha/Musim) 124.3 102.6 61.6 Total (Rp./Ha/Th) 263.2 215.2 148.3 Proporsi terhadap total biaya

usahatani (%) (4.00) (3.59) (2.68) Sumber: Analisis Data Primer

Partisipasi petani dalam gotong royong memelihara saluran irigasi yang

tertinggi adalah di Sekampung, sedangkan yang terendah di Wawotobi. Secara umum

prosentase petani yang tidak/sangat jarang berpartisipasi dalam gotong royong adalah

sangat kecil (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran petani terhadap aksi

kolektif relatif tinggi dan menunjukkan potensi perbaikan kinerja petani dalam OP

jaringan irigasi masih terbuka.

Tabel12. Proporsi pendapat petani terhadap tingkat partisipasi dalam gotong royong memelihara saluran irigasi

Kualitas partisipasi Sekampung Brantas Wawotobi Rata-rata

Tidak/sangat jarang berpartisipasi 2.7 5.1 2.7 3.5

Sering berpartisipasi 24.3 43.6 64.9 44.2

Selalu berpartisipasi 73.0 51.3 32.4 52.2

Sumber: Analisis Data Primer

20

Page 22: Pemeliharaan irigasi

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum kendala yang

dihadapi dalam memperbaiki OP irigasi di level tertier sebenarnya dapat diatasi. Akan

tetapi dalam konteks ini perlu diperhitungkan adanya kecenderungan bahwa pada

umumnya partisipasi yang relatif tinggi adalah terjadi pada petak-petak tertier yang

kondisinya "moderat". Partisipasi petani di petak-petak tertier yang pasokan airnya

selalu cukup, atau sebaliknya yang selalu langka cenderung rendah. Kecederungan

tersebut terlihat di tiga propinsi lokasi kajian, terutama di Wawotobi (Sulawesi

Tenggara).

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

A. Kesimpulan

1. Dari evaluasi diperoleh kesimpulan bahwa degradasi kinerja irigasi terjadi akibat

pengaruh simultan dari degradasi kondisi fisik jaringan dan rendahnya kinerja

operasi dan pemeliharaan. Sebagian besar degradasi kondisi fisik jaringan terkait

dengan kerusakan saluran irigasi, banyaknya pintu-pintu air yang rusak, dan

sedimentasi saluran-saluran pembuang, terutama di level tertier. Rendahnya

kinerja operasi dan pemeliharaan irigasi terkait dengan sangat terbatasanya

anggaran OP irigasi dari pemerintah yang jauh dari mencukupi; sementara itu

keswadayaan petani dalam memupuk dana OP irigasi sangat terbatas.

2. Tingkat kehandalan jaringan irigasi maupun tingkat pemerataan distribusi air

irigasi termasuk kategori rendah – sedang. Di Way Sekampung dan Brantas, hal

itu lebih banyak disebabkan oleh debit air irigasi yang cenderung semakin

menurun, sedangkan di Wawotobi terutama disebabkan oleh banyaknya jaringan

irigasi yang rusak.

3. Pada level tertier penyebab degradasi kinerja jaringan irigasi yang bersifat

eksternal (di luar kendali petani/P3A) terkait dengan lima aspek berikut: (1)

anggaran OP irigasi dari pemerintah yang sangat terbatas sehingga hanya dapat

dimanfaatkan di sebagian jaringan sekunder dan tertier, (2) jumlah petugas dan

fasilitas pendukung yang tidak mencukupi, (3) pembinaan P3A yang kurang

memadai (terutama di Wawotobi), (4) koordinasi antar lembaga terkait yang

21

Page 23: Pemeliharaan irigasi

lemah dan tumpang tindih, dan (5) perubahan kawasan yang mendorong terjadinya

konversi lahan sawah ke penggunaan lain.

4. Faktor internal yang mempengaruhi kinerja jaringan irigasi adalah kinerja P3A.

Secara umum kinerja P3A termasuk kategori rendah – sedang; bahkan cukup

banyak ditemukan adanya petak-petak tertier yang irigasinya tidak dikelola secara

sistematis dalam wadah P3A (P3A hanya sekedar nama). Ini dapat disimak dari

keberadaan pengurus, kejelasan pembagian tugas antar pengurus, kemampuan

untuk mendorong partisipasi petani dalam pemeliharaan jaringan tertier dan

kuarter, kemampuan mengumpulkan dan keterbukaan dalam penggunaan iuran

irigasi, dan keterampilan mencegah/memecahkan konflik internal organisasi P3A

ataupun dengan pihak lain.

5. Kendala yang dihadapi dalam memperbaiki kinerja OP irigasi tampaknya justru

terletak pada kebijakan pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan antisipasi

terhadap dinamika budaya dan perkembangan wilayah, serta konsistensi dalam

pengembangan dan pendayagunaan irigasi.

6. Peluang untuk menggalang aksi kolektif petani dalam operasi dan pemeliharaan

irigasi sangat bervariasi, akan tetapi secara umum masih terbuka untuk dilakukan

perbaikan. Di sisi lain, meskipun peluang untuk meningkatkan partisipasi petani

dalam membayar iuran irigasi juga masih terbuka akan tetapi jumlah iuran yang

dapat dikumpulkan diperkirakan tidak cukup untuk mempertahankan fungsi irigasi

secara optimal.

7. Adanya kecenderungan bahwa partisipasi yang relatif tinggi hanya terjadi pada

petak-petak tertier yang kondisinya "moderat" dan pada lokasi-lokasi tertentu

dalam jangka panjang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka peningkatan

fungsi pembinaan mengingat sistem irigasi adalah sistem yang tidak bisa berdiri

sendiri.

B. Saran dan Implikasi Kebijakan

1. Upaya meningkatkan kinerja operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi harus

dimulai dengan pemahaman paradigma dan konsistensi kebijakan sumber daya air

baik oleh pemerintah pusat dan daerah sehingga kebijakan yang dikeluarkan telah

22

Page 24: Pemeliharaan irigasi

mampu mempertimbangan (kendala dan potensi) kelembagaan pengelola jaringan

irigasi di daerah, dinamika masyarakat dan dapat berjalan dengan arah yang tepat

serta konsisten.

2. Sangat diperlukan adanya peningkatan kemampuan keswadayaan petani dalam

operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Simultan dengan itu, dalam jangka

pendek sangat dibutuhkan adanya peningkatan anggaran untuk operasi dan

pemeliharaan irigasi dan biaya rehabilitasi irigasi. Ini diperlukan bukan hanya di

level Pemerintah Pusat akan tetapi juga di tingkat Propinsi dan Kabupaten.

Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan

irigasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 2004 harus secepatnya

ditindak lanjuti dalam bentuk Petunjuk Teknis yang jelas dan siap dioperasionalkan

agar degradasi kinerja jaringan irigasi tidak terus berlanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, J.S. 1997. Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swasembada pangan. Hlm. 65 – 85. Prosiding Simposium Nasional dan Konggres VI Peragi. Perhimpunan Agronomi Indonesia, Jakarta.

Arif, S. S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancangbangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman (Crop Diversification): Studi Kasus di Daerah Irigasi (DI) Cikuesik, Cirebon.

Napitupulu, M. 1997. Penyempurnaan Sarana Irigasi Untuk Menunjang Pengembangan Agroindustri dan Agribisnis. Dalam S.S. Arif dan S. Rochdyanto (Penyunting). Prosiding Lokakarya: Rancangbangun dan Manajemen Irigasi Untuk Mendukung Sistem Usahatani Rakyat yang Berorientasi Agribisnis dan Agroindustri. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Oi. S. 1997. Introduction to Modernization of Irrigation Schemes. Dalam Modernization of irrigation schemes: past experience and future options. Water report 12. FAO. Rome.

Osmet. 1996. Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan. Dalam. Hermanto et.al.(Ed.).1996. Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Dengan Ford Foundation. PSE. Bogor.

Pasandaran, E. 2005. Reformasi Irigasi Dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air. Naskah Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

23

Page 25: Pemeliharaan irigasi

Pusposutardjo, S. 1997. Perbaikan Manajemen Irigasi Untuk Mendukung Usahatani Agroindustri Berkelanjutan. Dalam S.S. Arif dan S. Rochdyanto (Penyunting). Prosiding Lokakarya: Rancangbangun dan Manajemen Irigasi Untuk Mendukung Sistem Usahatani Rakyat yang Berorientasi Agribisnis dan Agroindustri. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Rosegrant, M.W., X. Cai, and S. S. Cline. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute, Washington.

Simatupang, P. 2000. Fenomena perlambatan dan instabilitas pertumbuhan produksi beras Nasional: Akar penyebab dan kebijakan pemulihannya. Makalah disampaikan pada Praseminar Nasional Sektor Pertanian Tahun 2002: Kendala, Tantangan dan Prospek, Bogor 4 Oktober 2000, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sumaryanto dkk. 2003. Penentuan Alokasi Beban Pembiayaan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial ekonomi Pertanian, Bogor.

World Bank. 1993. Water resources management: a World Bank policy paper. World Bank, Washington.

24

Page 26: Pemeliharaan irigasi

Tabel Lampiran 1. Jumlah responden

Sistem Irirgasi

Lembaga / organisasi (unit)PetaniContoh

Supra struktur P3A Level Tertier (P3A)

Level Primer

Level Sekunder

Way Sekampung (Prop. Lampung) 2 4 8 40Brantas (Prop. Jawa Timur) 2 4 8 40Wawotobi (Sulawesi Tenggara) 2 4 8 40Total 6 12 24 120

Gambar 2. Fluktuasi volume air yang dilepas dari reservoir utama

Tabel Lampiran 2. Estimasi rata-rata debit air di saluran induk dan di pintu tertier diwilayah hulu dan hilir DI Brantas*)

Bulan Hulu (Molek) Hilir (V.Canal-1 dan V. Canal-2)M3/dt Lt/dt/ha M3/dt Lt/dt/ha

Oct 4.93 0.28 31.11 0.22Nov 5.56 0.46 41.37 0.48Dec 6.16 0.88 56.41 0.91Jan 7.26 1.03 63.58 1.01Feb 7.60 1.18 65.20 1.28Mar 7.57 1.18 65.47 1.17Apr 7.13 1.11 62.27 1.02May 6.92 0.97 56.54 0.94Jun 6.47 0.94 53.41 0.88Jul 6.11 0.81 45.48 0.72Aug 5.44 0.48 39.04 0.32Sep 5.03 0.21 31.51 0.17Rata-rata 6.35 0.79 50.95 0.76Koefisien variasi 0.15 0.44 0.25 0.49Sumber: Perum Jasa Tirta I dan Dinas Pengairan Jawa Timur.*) Dihitung dari data tahun 1979 - 1996 Luas layanan irigasi (command area) Molek 3994 Ha, Delta Brantas 27362 Ha.

25

Basis: rata-rata debit di masing-masing wilayah

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

Hulu 0.78 0.88 0.97 1.14 1.20 1.19 1.12 1.09 1.02 0.96 0.86 0.79

Hilir 0.61 0.81 1.11 1.25 1.28 1.29 1.22 1.11 1.05 0.89 0.77 0.62

Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep

Page 27: Pemeliharaan irigasi

Tabel Lampiran 3. Penilaian terhadap kuantitas dan jadwal pasokan air irigasi

Kuantitas Waktu Way Sekampung

Brantas Wawotobi

Berlebih Tidak terlambat 10.0 5.0 20.0Sering terlambat 5.0 2.5 7.5

Cukup Tidak terlambat 22.5 25.0 37.5Sering terlambat 30.0 35.0 20.0

Kurang Tidak terlambat 12.5 17.5 2.5Sering terlambat 20.0 15.0 12.5

Sumber: Analisis Data Primer

26