STEP 7 Sken 2 Repro
Transcript of STEP 7 Sken 2 Repro
STEP 7
1. Pre eklampsia dan Eklampsia
FAKTOR RISIKO
Terdapat banyak factor risiko untuk terjadinya hiperttensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan dalam factor risiko sabagai berikut :
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeclampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Penyebab Hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori
telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah :
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada sel-sel trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami
distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokontriksi, dan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun,
dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
· Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga
radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau
atom/molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan
penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan
pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah, maka dulu hipertensi dalam
kehamian disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak
selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus, dan protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi
dengan produksi anti oksidan.
Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi
dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak
yang relative tinggi. Perksidan lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini
akan beredar diseuruh tubuh daam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel.
Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena
letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal
hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel,
yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.
Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam
desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinaya reaksi inflamasi.
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor,
dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya daya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehinggapembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipert ensi dalam kehamilan
sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan
menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
5. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di
inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum
pecahnya Perang Dunia ke II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan
perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termaksud minyak hati halibut dapat
mengurangi risiko preeclampsia.
6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga msih dalam batas
normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana ada preeklampsia
terjadi peningkatan stresoksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas
juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada
hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif kan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofobls juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam
darah ibu menjadi juh lebih besar, dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal.
Respons inflamasi ini akan mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang
lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala
pada preeklampsia pada ibu
PREEKLAMPSIA RINGAN
Pre eklampsia ringan adalah sindrom spesifik kehamilan dengan penurunan perfusi pada organ-
organ akibat vasospasme dan aktivasi endothel.
Kriteria diagnostik pre eklampsia ringan :
1. Desakan darah 140/90 – 160/110 mmHg; kenaikan darah sistolik 30 mmHg atau lebih dan
kenaikan darah diastolik 15 mmHg atau lebih, tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik
pre eklampsia tetapi perlu observasi yang cermat.
2. Proteinuria 300 mg/24 jam atau lebih jumlah urin atau dipstick +1 atau lebih.
3. Edema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali anasarka.
PREEKLAMPSIA BERAT
Pre eklampsia berat ialah preeclampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam. Diagnosis ditegakkan berdasar
kriteria preeclampsia, bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg. Tekanan
darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah
menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif
Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
Kenaikan kadar kreatinin plasma
Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan
kabur
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson)
Edema paru-paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik.
Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular) : peningkatan kadar alanine dan
aspartate aminotransferase
Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
Sindrom HELLP
Pembagian preeclampsia berat dibagi menjadi (a) preeclampsia berat tanpa impending eclampsia
dan (b) preeclampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila
preeclampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus,
muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.
EKLAMPSIA
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeclampsia, yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeclampsia, eklampsia dapat timbul pada ante,
intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam
pertama setelah persalinan.
Pada penderita preeclampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau
tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang.
Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut sebagai impending
eclampsia atau imminent eclampsia.
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah
mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi
kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik.
Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini
akan terjadi pada kelopak mata, otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami
kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang
begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila
tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini dapat
berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah
dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik
penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas panjang,
dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang
pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang
ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.
Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma
setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya
segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus – kasus yang berat, keadaan
koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih
kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti
dengan koma yang lama bahkan kematian.
Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50
kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan
yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada
susunan saraf pusat.
Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis
sebagai eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi, ensefalitis,
meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan
eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis sebagai
eklampsia sampai terbukti bukan.
2. Penatalaksanaan secara sistematis
Hipertensi Kronis
Tujuan pengelolaan hipertensi kronis dalam kehamilan adalah meminimalkan atau
mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri ataupun akibat
obat-obat antihipertensi.
Secara umum ini berarti mencegah terjadinya hipertensi yang ringan menjadi lebih berat
(pregnancy aggravated hypertension), yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau
perubahan pola hidup : diet, merokok, alcohol, dan substance abuse.
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa
memandang status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA, infark miokard,
serta disfungsi jantung dan ginjal.
Anti hipertensi diberikan :
Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipertensi, yaitu pada stage I
hipertensi tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg, tekanan diastolic ≥ 90 mmHg,
Bila terjadi disfungsi end organ.
Obat antihipertensi
α-Metildopa : suatu α2 – reseptor agonis. Dosis awal 500 mg 3 x per hari, maksimal 3
gram per hari
Calcium – channel – blockers : Nifedipin dosis bervariasi antara 30-90 mg per hari
Diuretik thiazide : tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga
mengganggu aliran darah utero-plasenta
Evaluasi janin : untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik,
perlu dilakukan Nonstress Test dan pemeriksaan ultrasonografi bila curiga terjadinya fetal
growth restriction atau terjadi superimposed preeclampsia.
Preeklampsia Ringan
Tujuan utama penanganan Preeklampsia ialah :
1. Mencegah terjadinya kejang
2. Mencegah terjadinya perdarahan intra kranial
3. Mencegah terjadinya gangguan fungsi organ vital
4. Melahirkan bayi sehat atau janin hidup
5. Melahirkan janin dengan trauma dengan sekecil-kecilnya
Pada dasarnya penanganan Preeklampsia ringan terdiri atas pengobatan medik dan
penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang
optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan. Akan tetapi sudah cukup matur untuk
bayi hidup di luar uterus. Waktu optimal tidak selalu dapat di capai pada penanganan
Preeklampsia, terutama bila janin masih sangat premature. Dalam hal ini di usahakan dengan
tindakan medis untuk dapat menunggu selama mungkin, agar janin lebih matur.
Penanganan Preeklampsia dapat dilakukan dengan cara :
a. Dirawat di rumah sakit (rawat inap)
1. Banyak istirahat (berbaring/tidur miring) yakni 2 jam pada siang hari dan lebih dari 8
jam pada malam hari.
2. Diet : cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
3. Kalau tidak bisa istirahat berikan sedative ringan yaitu tablet phenobabital 3×2 mg
per oral atau tablet diazepam 3×2 mg per oral selama 7 hari.
4. Roborantia
5. Kunjungan ulang setiap 1 minggu.
Disamping itu lakukan juga pemeriksaan penunjang, seperti : Urine lengkap, Hb, hematokrit,
asam urat, darah, trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
b. Perawatan obstetric ( terutama sikap terhadap kehamilan)
1. Pada kehamilan preterm (37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset
persalinan atau di pertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada “Taksiran
Tanggal Persalinan”.
2. Bila pasien sudah inpartu, perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman atau
partograf WHO
3. Cara persalinan, persalinan dapat di lakukan secara spontan, bila perlu
memperpendek skala II.
Preeklampsia Berat
Perawatan preeclampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan
saat yang tepat untuk persalinan.
Monitoring selama di rumah sakit. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi
harian tentang tanda-tanda klinik berupa : nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium,
dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan,
pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan USG dan NST.
Perawatan preeclampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,
dibagi menjadi dua unsur :
o Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obatan atau terapi medisinalis
Penderita preeclampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Perawatan yang penting pada preeclampsia berat ialah pengelolaan cairan karena
penderita preeclampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi factor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme,
kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary
wedge pressure.
Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output
cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara
tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan
yang diberikan dapat berupa (a) 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah
tetesan : < 125 cc/jam atau (b) Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan
infus Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila
produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko
aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak, dan garam
Pemberian obat antikejang
o Obat antikejang adalah :
MgSO4
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang :
Diazepam
Fenitoin
Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsy telah banyak dicoba pada
penderita eklampsia.
Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk
jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena.
Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kgBB dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian Fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin,
berdasar Cochrane Review terhadap enam uji klinik, yang melibatkan 897
penderita eklampsia.
Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO47H2O).
Magnesium Sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular. Transmisi
neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeclampsia atau eklampsia. Banyak cara pemberian Magnesium
sulfat.
Cara pemberian :
Magnesium sulfat regimen
Loading dose : initial dose
4 gram MgSO4 : intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.
Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam; atau diberikan 4 atau 5
gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4 :
.Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10 % = 1 g (10 % dalam 10 cc) diberikan IV 3 menit.
.Refleks patella (+) kuat
.Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distress napas
Magnesium sulfat dihentikan bila : ada tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam
pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
o Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8 – 8,4 mg/dl
o Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
o Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
o Terhentinya jantung >30 mEq/liter > 36 mg/dl
Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan
didapatkan 50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat
berikut : thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin.
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan
dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
Pemberian antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa Negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi.
Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan
MAP ≥ 126 mmHg
- Antihipertensi lini pertama
Nifedipin
Dosis 10-20 mg per oral, diulang setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24
jam
- Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside : 0,25 µg IV/kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5
menit
Diazokside : 30-60 mg IV/5 menit; atau IV infus 10 mg/menit/ dititrasi
- Antihipertensi lini ketiga
Calcium channel blockers : isradipin, nimodipin
Serotonin reseptor antagonis : ketan serin
o Sikap terhadap kehamilannya adalah :
Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan; maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi :
1. Perawatan Aktif (agresif) : sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
- Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini :
o Ibu
Umur kehamilan ≥ 37 minggu
Adanya tanda-tanda/gejala-gejala Impending Eclampsia
Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu : keadaan klini dan
laboratorik memburuk
Diduga terjadi solusio plasenta
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
o Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
Terjadinya oligohidramnion
o Laboratorik
Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat
- Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan
obstetric pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum
2. Perawatan Konservatif
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa
disertai tanda-tanda Impending eclampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan
secara aktif. Di Bagian Kebidanan RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada perawatan
konservatif preeclampsia, loading dose MgSO4 tidak diberikan secara IV, cukup IM
saja. Selama perawatan konservatif; sikap terhadap kehamilannya ialah hanya
observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeclampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada
perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan
harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-
gejala atau tanda-tanda preeclampsia ringan.
3. Penyulit Ibu
- Sistem saraf pusat
Perdarahan intracranial, thrombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema
serebri, edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks.
- Gastrointestinal-hepatik : subscapular hematoma hepar, rupture kapsul hepar
- Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
- Hematologik : DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi
- Kardiopulmonar : edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau
arrest, pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium
- Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan
4. Penyulit janin
Penyulit yang dapat terjadi pada janin adalah intrautrerine fetal growth restriction,
solusio plasenta, prematuritas, sindroa distress napas, kematian janin intrauterine,
kematian neonatal perdarahan intraventrikular, necrotizing enterocolitis, sepsis,
cerebral palsy.
Eklampsia
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital
dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk
melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus
eklampsia. Prinsip – prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
2. Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing, Circulation
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat
diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara
loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk
menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan
yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105
mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.
5. Koreksi hipoksemia dan asidosis
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada
kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan.
Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan
eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.
A. Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
a. Initial dose :
Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang -
kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis
tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB
IV perlahan-lahan.
b. Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam
atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.
Tekanan darah diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah
maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah,
mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
- Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
- Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
- Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
- Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna
menghindari fraktur.
- Pemberian oksigen.
- Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma
memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “. Perlu diperhatikan pencegahan
dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan
melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan
iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
B. Pengobatan Obstetrik :
1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan
dan keadaan janin.
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme ibu,
yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
· Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
· Setelah kejang terakhir.
· Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
· Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3....Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.
6. 5. Anemia
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari
12 gr% (Wiknjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu
dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr%
pada trimester II (Saifuddin, 2002). Anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena
kekurangan zat besi, jenis pengobatannya relatif mudah, bahkan murah.
Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau
Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah
sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah
dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam
kehamilan antara 32 dan 36 minggu (Wiknjosastro, 2002). Secara fisiologis, pengenceran
darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya
kehamilan.
Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan
akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi (Safuddin, 2002). Menurut Mochtar
(1998) penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Kurang gizi( malnutrisi)
2. Kurang zat besi dalam diit
3. Malabsorpsi
4. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain
5. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain
GEJALA ANEMIA PADA IBU HAMIL
Gejala Yang Sering Terjadi
Kelelahan dan kelemahan umum dapat merupakan satu-satunya gejala kapasitas oksigen.
Banyak pasien asimtomatik, bahkan dengan anemia derajat sedang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu anemia refrakter, sering infeksi atau kolelitiasis atau riwayat
keluarga anemia menggambarkan kemungkinan Hemoglobinopati genetik.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum : Takikardi, takipnea, dan tekanan nadi yang melebar merupakan
mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah dan pengangkutan oksigen ke
organ utama. Ikterus dapat dilihat pada anemia hemolitik. Gambaran fisik lain yang
menyertai anemia berat meliputi kardiomegali, bising, hepatomegali dan splenomegali.
Tes Laboratorium
Hitung sel darah merah dan asupan darah : untuk tujuan praktis maka anemia selama
kehamilan dapat didefinisikan sebagai Hb < 10,00 atau 11,00 gr% dan hemotokrit <
30,00-33,00%. Asupan darah tepi memberikan evaluasi morfologi, eritrosit, hitung jenis
leukosit dan perkiraan kekuatan trombosit (Taber, 1994).
KLASIFIKASI ANEMIA DALAM KEHAMILAN.
Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Mochtar (1998), adalah sebagai berikut:
1. Anemia Defisiensi Besi
Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah.
Pengobatannya yaitu, keperluan zat besi untuk wanita hamil, tidak hamil dan dalam
laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi.
Terapi Oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero sulfat, fero
glukonat atau Na-fero bisirat. Pemberian preparat 60 mg/ hari dapat menaikan kadar Hb
sebanyak 1 gr%/ bulan. Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi
dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis anemia (Saifuddin, 2002).
Terapi Parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan zat besi per
oral, dan adanya gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan atau masa
kehamilannya tua (Wiknjosastro, 2002). Pemberian preparat parenteral dengan ferum
dextran sebanyak 1000 mg (20 mg) intravena atau 2 x 10 ml/ IM pada gluteus, dapat
meningkatkan Hb lebih cepat yaitu 2 gr% (Manuaba, 2001).
Untuk menegakan diagnosa Anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
anamnesa. Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata
berkunang-kunang dan keluhan mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan
pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sachli, dilakukan minimal 2
kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil pemeriksaan Hb dengan sachli
dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Hb 11 gr% : Tidak anemia
2. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
3. Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang
4. Hb < 7 gr% : Anemia berat
Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekatai 800 mg. Kebutuhan ini
terdiri dari, sekitar 300 mg diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi
digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal. Kurang lebih 200 mg lebih
akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan ibu hamil setiap 100 kalori akan
menghasilkan sekitar 8–10 mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori
akan menghasilkan sekitar 20–25 mg zat besi perhari. Selama kehamilan dengan
perhitungan 288 hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga
kebutuhan zat besi masih kekurangan untuk wanita hamil (Manuaba, 2001).
2. Anemia Megaloblastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folik, jarang sekali karena
kekurangan vitamin B12.
Pengobatannya :
a. Asam folik 15 – 30 mg per hari
b. Vitamin B12 3 X 1 tablet per hari
c. Sulfas ferosus 3 X 1 tablet per hari
d. Pada kasus berat dan pengobatan per oral hasilnya lamban sehingga dapat diberikan
transfusi darah.
3. Anemia Hipoplastik
Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah
merah baru. Untuk diagnostik diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan diantaranya adalah
darah tepi lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal dan pemeriksaan retikulosi.
4. Anemia Hemolitik
Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah
yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-
kelainan gambaran darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi
kelainan pada organ-organ vital.
Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik serta penyebabnya. Bila
disebabkan oleh infeksi maka infeksinya diberantas dan diberikan obat-obat penambah
darah. Namun pada beberapa jenis obat-obatan, hal ini tidak memberi hasil. Sehingga
transfusi darah berulang dapat membantu penderita ini.
Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO yang dikutip dalam buku Handayani W, dan
Haribowo A S, (2008) :
1. Ringan sekali Hb 10,00 gr% -13,00 gr%
2. Ringan Hb 8,00 gr% -9,90 gr%
3. Sedang Hb 6,00 gr% -7,90 gr%
4. Berat Hb < 6,00 gr%
Pembagian anemia berdasarkan pemeriksaan hemoglobin menurut Manuaba (2007), adalah :
1. Tidak anemia : Hb 11,00 gr%
2. Anemia ringan : Hb 9,00-10,00 gr%
3. Anemia sedang : Hb 7,00-8,00 gr%
4. Anemia berat : Hb < 7,00 gr%
EFEK ANEMIA PADA IBU HAMIL, BERSALIN DAN NIFAS
Anemia dapat terjadi pada setiap ibu hamil, karena itulah kejadian ini harus selalu
diwaspadai. Anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I akan dapat mengakibatkan:
Abortus, Missed Abortus dan kelainan kongenital. Anemia pada kehamilan trimester II dapat
menyebabkan : Persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim, asfiksia aintrauterin sampai kematian, BBLR, gestosis dan mudah terkena
infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa mengakibatkan kematian. Saat inpartu, anemia dapat
menimbulkan gangguan his baik primer maupun sekunder, janin akan lahir dengan anemia,
dan persalinan dengan tindakan yang disebabkan karena ibu cepat lelah. Saat post partum
anemia dapat menyebabkan: tonia uteri, rtensio placenta, pelukaan sukar sembuh, mudah
terjadi febris puerpuralis dan gangguan involusio uteri.
KOMPLIKASI ANEMIA DALAM KEHAMILAN
Komplikasi anemia dalam kehamilan memberikan pengaruh langsung terhadap janin,
sedangkan pengaruh komplikasi pada kehamilan dapat diuraikan, sebagai berikut :
Bahaya Pada Trimester I
Pada trimester I, anemia dapat menyebabkan terjadinya missed abortion, kelainan
congenital, abortus / keguguran.
Bahaya Pada Trimester II
Pada trimester II, anemia dapat menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan
ante partum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai
kematian, gestosis dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian
ibu.
Bahaya Saat Persalinan
Pada saat persalinan anemia dapat menyebabkan gangguan his primer, sekunder, janin
lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi karena ibu cepat lelah
dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operatif (Mansjoer dkk, 2008).
KEBUTUHAN TABLET BESI PADA KEHAMILAN
Kebutuhan tablet besi pada kehamilan menurut Jordan (2003), dijelaskan bahwa : Pada
kehamilan dengan janin tunggal kebutuhan zat besi terdiri dari : 200-600 mg untuk
memenuhi peningkatan massa sel darah merah, 200-370 mg untuk janin yang bergantung
pada berat lahirnya, 150-200 mg untuk kehilangan eksternal, 30-170 mg untuk tali pusat dan
plasenta, 90-310 mg untuk menggantikan darah yang hilang saat melahirkan.
Dengan demikian kebutuhan total zat besi pada kehamilan berkisar antara 440-1050 mg
dan 580-1340 mg dimana kebutuhan tersebut akan hilang 200 mg (Walsh V, 2007) melalui
ekskresi kulit, usus, urinarius. Untuk mengatasi kehilangan ini, ibu hamil memerlukan rata-
rata 30,00-40,00 mg zat besi per hari. Kebutuhan ini akan meningkat secara signifikan pada
trimester terakhir, yaitu rata-rata 50,00 mg / hari pada akhir kehamilan menjadi 60,00 mg /
hari. Zat besi yang tersedia dalam makanan berkisar 6,00 sampai 9,00 mg / hari, ketersediaan
ini bergantung pada cakupan diet.
Karena itu, pemenuhan kebutuhan pada kehamilan memerlukan mobilisasi simpanan zat
besi dan peningkatan absorbsi.
PENATALAKSANAAN ANEMIA KEHAMILAN
Menurut Setiawan Y (2006), dijelaskan bahwa pencegahan dan terapi anemia pada
kehamilan berdasarkan klasifikasi anemia adalah sebagai berikut :
Anemia Zat Besi Bagi Wanita Hamil
Saat hamil zat besi dibutuhkan lebih banyak daripada saat tidak hamil. Pada kehamilan
memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan
membentuk sel darah merah janin dan plasenta, kebutuhan zat besi pada setiap trimester
berbeda. Terutama pada trimester kedua dan ketiga wanita hamil memerlukan zat besi
dalam jumlah banyak, oleh karena itu pada trimester kedua dan ketiga harus
mendapatkan tambahan zat besi. Oleh karena itu pencegahan anemia terutama di daerah-
daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi sebaiknya wanita hamil diberi sulfas
ferrossus atau glukonas ferrosus, cukup 1 tablet sehari, selain itu wanita dinasihatkan pula
untuk makan lebih banyak protein dan sayur-sayuran yang banyak mengandung mineral
serta vitamin. Terapinya adalah oral (pemberian ferro sulfat 60 mg / hari menaikkan
kadar Hb 1,00 gr% dan kombinasi 60 mg besi + 500 mcg asam folat) dan parenteral
(pemberian ferrum dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2 x 50 ml gr
diberikan secara intramuskular pada gluteus maksimus dapat meningkatkan Hb relatif
lebih cepat yaitu 2,00 gr% (dalam waktu 24 jam). Pemberian parentral zat besi
mempunyai indikasi kepada ibu hamil yang terkena anemia berat). Sebelum pemberian
rencana parenteral harus dilakukan test alergi sebanyak 0,50 cc / IC.
Anemia Megaloblastik
Pencegahannya adalah apabila pemberian zat besi tidak berhasil maka ditambah dengan
asam folat, adapun terapinya adalah asam folat 15-30 mg / hari, vitamin B12 1,25 mg /
hari, sulfas ferrosus 500 mg / hari, pada kasus berat dan pengobatan per oral lambat
sehingga dapat diberikan transfusi darah.
Anemia Hipoplastik
Anemia hipoplastik ini dianggap komplikasi kehamilan dimana pengobatan adalah
tranfusi darah.
Anemia Hemolitik
Pengobatan adalah tranfusi darah.
Anemia Lain
Dengan pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada
trimester I dan III. Dengan pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil mengalami
anemia, maka dilakukan pemberian tablet besi sebanyak 90 tablet pada ibu hamil di
Puskesmas, artinya ibu hamil setiap hari mengkonsumsi 1 tablet besi.
7. 6. Kehamilan resiko tinggi
Kehamilan resiko tinggi adalah kehamilan yang akan menyebabkan terjadinya bahaya
dan komplikasi yang lebih besar baik terhadap ibu maupun terhadap janin yang
dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas bila dibandingkan dengan
kehamilan persalinan dan nifas normal.
Secara garis besar, kelangsungan suatu kehamilan sangat bergantung pada keadaan dan
kesehatan ibu, plasenta dan keadaan janin. Jika ibu sehat dan didalam darahnya terdapat zat-
zat makanan dan bahan-bahan organis dalam jumlah yang cukup, maka pertumbuhan dan
perkembangan bayi dalam kandungan akan berjalan baik.
Dalam kehamilan, plasenta akan befungsi sebagai alat respiratorik, metabolik, nutrisi,
endokrin, penyimpanan, transportasi dan pengeluaran dari tubuh ibu ke tubuh janin atau
sebaliknya. Jika salah satu atau beberapa fungsi di atas terganggu, maka janin seperti
“tercekik”, dan pertumbuhannya akan terganggu.
Demikian juga bila ditemukan kelainan pertumbuhan janin baik berupa kelainan bawaan
ataupun kelainan karena pengaruh lingkungan, maka pertumbuhan dan perkembangan janin
dalam kandungan dapat mengalami gangguan.
Menurut penelitian telah diketahui bahwa umur reproduksi sehat pada seorang wanita
berkisar antara 20-30 tahun, artinya ; melahirkan setelah umur 20 tahun jarak persalinan
sebaiknya 2-3 tahun dan berhenti melahirkan setelah umur 30 tahun. Berarti anak cukup 2-3
orang. Telah dibuktikan bahwa kelahiran ke empat dan seterusnya akan meningkatkan
kematian ibu dan janin.
Abortus ( keguguran ), prematuritas dan dismaturitas ( bayi kecil untuk masa kehamilan )
dan postdatisme ( kehamilan lewat waktu ) kadang-kadang masih sulit di deteksi dengan
baik. Dengan pengenalan dan penanganan dini, gangguan dan penyulit kehamilan dapat
dikurangi.
Penyakit yang diderita ibu baik sejak sebelum hamil ataupun sesudah kehamilan, seperti :
penyakit paru, penyakit jantung sianotik, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit kelenjar
endokrin ( gondok , diabetes mellitus, penyakit hati ), penyakit infeksi ( virus, bakteri
parasit ), kelainan darah ibu-janin ataupun keracunan obat dan bahan-bahan toksis, juga
merupakan penyabab yang mengakibatkan terjadinya gangguan dan penyulit pada kehamilan.
Disamping itu, kehamilan sendiri dapat menyebabkan terjadinya penyakit pad ibu hamil.
Penyakit yang tergolong dalam kelompok ini antara lain : toksemia gravidarum ( keracunan
hamil ), perdarahan hamil tua yang disebabkan karena plasenta previa ( plasenta menutupi
jalan lahir ), dan solusio plasenta ( plasenta terlepas sebelum anak lahir ). Penyebab kematian
ibu bersalin di Indonesia masih di dominasi oleh perdarahan, infeksi dan toksemia
gravidarum.
Seperti diuraikan sebelumnya, lingkungan dimana ibu hamil bertempat tinggal secara
tidak langsung juga berperan dalam timbulnya penyulit pada kehamilan. Tempat tinggal yang
pengap, kurang udara segar, lingkungan yang kotor, ibu yang tidak dapat beristirahat cukup
dan gizi yang jelek dapat merupakan faktor penyebab.
Dalam kehamilan, pertumbuhan dan perkembangan janin sebaiknya harus dapat diikuti
dengan baik. Adanya kelainan pertumbuhan janin seperti KMK ( kecil untuk masa kehamilan
), BMK ( besar untuk masa kehamilan ), kelainan bawaan seperti hidrosefalus, hidramnion,
kehamilan ganda ataupun adanya kelainan letak janin sedini mungkin harus segera dapat di
deteksi. Bila keadaan ini baru di diagnosa pada kehamilan lanjut, maka penyulit pada
kehamilan dan persalinan akan sering dijumpai.
Kemiskinan, kebodohan, ketidaktahuan, dan budaya diam wanita Indonesia, ditambah
lagi oleh transportasi yang sulit dan ketidakmampuan membayar pelayanan yang baik akan
menyebabkan pelayanan antenatal di Indonesia masih kecil cakupannya.
Pada ibu hamil pemeriksaan antenatal memegang peranan penting dalam perjalanan
kehamilan dan persalinannya. Penelitian pada ibu hamil di Jawa Tengah pada tahun 1989 –
1990 menemukan bahwa ibu hamil dan bersalin yang tidak memeriksakan kehamilannya
pada tenaga medis akan mengalami resiko kematian 3-7 kali dibandingkan dengan ibu yang
memeriksakan kehamilannya. Menurut Hanafiah pada penelitiannya di RS. Dr. Pirngadi
Medan, ditemukan kematian maternal pada 93,9% kelompok tidak terdaftar. Sedangkan
Tobing pada tahun 1984-1989 menemukan kematian maternal pada 67,9% kelompok tidak
terdaftar.
Yang dimaksud dengan kelompok tidak terdaftar adalah kelompok ibu hamil yang
memeriksakan dirinya kurang dari 4 kali selama kehamilannya. Akibat kurangnya
pemeriksaan antenatal yang dilakukan oleh tenaga medis terlatih ( bidan – dokter dan dokter
ahli ) banyak kasus dengan penyulit kehamilan tidak terdeteksi. Hal ini tentu saja akan
menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih besar dalam perjalanan kehamilan dan
persalinannya sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
lebih besar pada ibu dan janin.
Disamping itu karena pelayanan obstetri di lini terdepan masih sangat terbatas
cakupannya dan belum mampu menanggulangi kasus gawat darurat, ditambah dengan
transportasi yang masih sulit dan tidak mampu membayar pelayanan yang baik, banyak kasus
rujukan yang diterima di Rumah Sakit sudah sangat terlambat dan gawat sehingga sulit
ditolong.
8. 7. Komplikasi
Komplikasi Pre Eklampsia Berat dan Eklampsia
1. kematian ibu dan janin
2. solutio plasenta
3. hipofibrinogenemia
4. hemolisis
5. perdarahan otak
6. kelainan mata (kehilangan penglihatan sementara)
7. edem paru-paru
8. nekrosis hati
9. kelainan ginjal
10. komplikasi lain spt lidah tergigit, trauma dan fraktur krn jatuh akibat kejang, pneumonia
aspirasi
11. prematuritas, dismaturitas, kematian janin intra uterin
7. Sindrom HELLP
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama
dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay
1972). Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II, MacKennan dkk.
menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi, sedangkan penulis lain
menyebutkannya sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi. Pada
1982, Weinstein melaporkan 29 kasus preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi
trombositopeni, kelainan sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia menyatakan
bahwa kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan
membentuk satu istilah: Sindrom HELLP;H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver
Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.
Sibai dkk. menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam hal terminologi, insidens,
penyebab, diagnosis dan penatalaksanaan sindrom ini. Insidens dilaporkan sekitar 2-12%,
kisaran ini menggambarkan perbedaan kriteria diagnosis dan metode yang digunakan. Ada
perbedaan besar mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat kelainan laboratorium yang
digunakan untuk mendiagnosis sindrom ini. Ada yang mendiagnosis jika pasien saat masuk
sudah ada kelainan, ada yang jika kelainannya timbul selama penanganan konservatif; yang
lain jika kelainannya muncul post partum. Bukti adanya hemolisis telah dilaporkan pada
beberapa studi dan definisi trombositopeni berkisar dari <75.000/mm sampai < 150.000/mm.
Belum ada konsensus mengenai peranan tes fungsi hati untuk mendiagnosis sindrom HELLP.
Banyak penulis mendukung agar nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin dimasukkan
untuk mendiagnosis sindrom ini.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit
multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai
sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir
dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan
selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati
pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah
tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells. Peningkatan kadar
enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di
sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat
terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal
dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit.
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated
intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu
prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara
klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A,
fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun
tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC
dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan
fibrin split product > 40 µg/ml. Semua pasien sindrom HELLP mungkin mempunyai
kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari
yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi
yang tidak menderita sindrom HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%),
yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat
malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan
akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna
dengan udem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160
mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada
penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5%
bertekanan darah diastolik 90 mmHg.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13 pasien)
mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP
dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis,
dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis,
gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.
Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial menjadi komplikasi yang fatal
pada kehamilan trimester ke tiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan sukar
dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP mempunyai gejala khas berupa : mual,
muntah, nyeri abdomen, dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai dengan
peningkatan tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP peningkatannya cenderung lebih
besar. PT dan PTT biasanva memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP .
Pemeriksaan mikroskopik hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP.
Panlobular microvesicular fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran
patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi pengakhiran kehamilan segera, atasi
hiperglikemi atau koagulopati bila timbul.
DIAGNOSIS
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim
hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat
dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis.
Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai
normal di masing-masing rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan
nilai potong > 3 SD.
Kriteria Diagnosis sindrom HELLP (University of Tanesse, Memphis)
Hemolisis Kelainan apusan darah tepi Total bilirubin > 1,2 mg/dl Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah Hitung trombosit < 100.000/mm
DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang
tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis,
diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan. Diagnosis banding pasien
sindrom HELLP meliputi :
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis
- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura trombotik
- Sindrom hemolitik uremia
- Ensefalopati dengan berbagai etiologi
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
KLASIFIKASI
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan
jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP
parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada).
Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC,
dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien
sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya
yang parsial dapat diterapi konservatif.
Klasifikasi ke dua berdasarkan jumlah trombosit (Martin dkk.) Sindrom HELLP kelas I
jika jumlah trombosit < 50.000/mm. Jumlah trombosit antara 50.000 - 100.000/mm
dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000 - 150.000/mm.
Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post
partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan
kelas III.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer A, dkk, 2008, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Acsulapius
Prawirhardjo, sarwono. Ilmu kebidanan. 2010. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Berkowits RL. Hypertension in pregnancy. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL eds. Obstetrics
normal & problem pregnancies. 3rd ed. New York : Churchill Livingstone, 1998; 947-53.
Sibai BM, Rodriquest JJ. Preeclampsia : diagnosis and management. In : Norbert G ed.
Principles and practice of medical therapy in pregnancy.2nd ed. California Appleton and
Lange, 1991; 878-9
Manuaba IBG, 2007, Pengantar Kuliah Obstetri, Jakarta : EGC
Manuaba IBG, 2003, Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetri dan Ginekologi, Jakarta : EGC
Varney H, 2006, Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Jakarta : EGC
Wasnidar, 2007, Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan Penatalaksanaan, Jakarta :
Trans Info Media