Step 1-7 Sken 2 Daru

34
BAB I KLARIFIKASI ISTILAH 1.1. Stroke Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986). 1.2. Trigliserida Trigliserida merupakan salah satu jenis lemak netral yang terdapat dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh, yang setiap molekulnya tersusun dari sebuah inti gliserol dan rantai samping tiga asam lemak (Guyton & Hall, 2014). 1.3. LDL LDL (Low Density Lipoprotein) sering disebut dengan istilah kolesterol jahat adalah kolesterol yang mengangkut paling banyak kolesterol dan lemak di dalam darah. Kadar LDL yang tinggi akan menyebabkan kolesterol lebih banyak melekat pada dinding pembuluh darah pada saat transportasi dilakukan. Kolesterol yang melekat itu perlahan-lahan akan mudah membentuk tumpukan yang mengendap, seperti plak pada dinding

description

fk ump

Transcript of Step 1-7 Sken 2 Daru

Page 1: Step 1-7 Sken 2 Daru

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari

24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh

gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena

trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986).

1.2. Trigliserida

Trigliserida merupakan salah satu jenis lemak netral yang terdapat dalam

darah dan berbagai organ dalam tubuh, yang setiap molekulnya tersusun dari

sebuah inti gliserol dan rantai samping tiga asam lemak (Guyton & Hall, 2014).

1.3. LDL

LDL (Low Density Lipoprotein) sering disebut dengan istilah kolesterol

jahat adalah kolesterol yang mengangkut paling banyak kolesterol dan lemak di

dalam darah. Kadar LDL yang tinggi akan menyebabkan kolesterol lebih banyak

melekat pada dinding pembuluh darah pada saat transportasi dilakukan. Kolesterol

yang melekat itu perlahan-lahan akan mudah membentuk tumpukan yang

mengendap, seperti plak pada dinding pembuluh darah. Akibatnya saluran darah

terganggu yang bisa meningkatkan resiko penyakit pada tubuh seseorang seperti

stroke, jantung koroner, dan lain sebagainya (Pagano & Strait, 2009).

1.4. HDL

HDL (High Density Lippoprotein) sering disebut dengan istilah kolesterol

baik adalah HDL kolesterol yang berfungsi membuang kelebihan kolesterol yang

dibawa oleh LDL dengan membawanya kembali kehati dan kemudian diurai

kembali. Dengan membawa kelebihan koletserol yang dibawa oleh LDL, maka

HDL membantu mencegah terjadinya pengendapan dan mengurangi terjadinya

plak dipembuluh darah yang dapat mengganggu peredaran darah. (Pagano &

Strait, 2009).

Page 2: Step 1-7 Sken 2 Daru

BAB II

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mengapa pasien mengeluh sakit kepala, nyeri leher dan sulit tidur?

2. Apa hubungan sifat emosional dan pemarah dengan keluhan pasien?

3. Apa hubungan kebiasaan pribadi (jarang olahraga/latihan fisik dan sering

pergi keluar untuk makan malam) dengan keluhan pasien ?

4. Apa hubungan ayahnya yang menderita stroke dengan penyakit pasien?

5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?

6. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang?

Page 3: Step 1-7 Sken 2 Daru

BAB III

ANALISIS MASALAH

3.1. Keluhan sakit kepala, nyeri leher dan sulit tidur

Menurut Mohani (2015) dan Depkes RI (2006) keluhan sakit kepala

merupakan gejala kerusakan organ pada otak akibat hipertensi. Pada penderita

hipertensi terjadi kerusakan lapisan endotel pembuluh darah di otak. Dengan

demikian terjadilah pembekuan pada trombosit yang merangsang keluarnya

hormon serotonin dan adregenik yang berlebih. Kedua hormon ini merangsang

terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah. Karena penyempitan pembuluh

darah ini aliran darah menjadi menurun dari intrakranial, kemudian terjadi

defisiensi darah (iskemik). Karena terjadinya iskemik ini volume darah menjadi

menurun sehingga pada arteri karotis interna tidak mendapat asupan darah baru

dari jantung yang mengandung oksigen baru. Hal ini menyebabkan terjadinya

vasodilatasi serebral yang kemudian mennyebabkan neurogenik inflamasi.

Neurogenik inflamasi ini merangsang saraf untuk menjadi sakit kepala sebagai

tanda adanya kerusakan pada salah satu organ.

Hipertensi

Kerusakan endotel pembuluh darah di otak

Agregasi trombosit

Melepas serotonin dan adregenik berlebih

Vasokonstriksi

Aliran darah turun dari intrakranial

iskemik

Vasodilatasi serebral

Page 4: Step 1-7 Sken 2 Daru

3.2. Hubungan sifat emosional dan pemarah dengan keluhan pasien

Stres psikologikal atau emosional dan pemarah, dapat menyebabkan

impuls dilepaskan dari korteks serebri kemudian dikirim melalui sistem limbik ke

nukleus di hipotalamus dimana corticotropin-releasing factor (CRF) dan arginine

vasopressin disintesa. Hormon CRF berjalan menuju kelenjar pituitari anterior

yang kemudian memberi respon berupa pelepasan adrenocorticotropic hormone

(ACTH) yang kemudian menstimulasi korteks adrenal untuk memproduksi

glukokortikosteroid. Glukokortikosteroid akan membebaskan katekolamin.

Arginine vasopressin juga mengaktivasi sekresi ACTH yang dilepaskan oleh

kelenjar pituitari posterior. Bersama dengan norepinefrin dan epinefrin yang

dihasilkan oleh sistem saraf simpatis, bahan-bahan kimiawi tersebut merupakan

hormon stres utama yang secara sistemik akan mengaktifkan sistem

kardiovaskular. Stimulasi sistem saraf simpatis juga akan mengaktivasi aparatus

juxtaglomerular di ginjal, sehingga merangsang respon dari sistem renin-

angiotensin dimana timbul reaksi enzimatik yang selanjutnya terjadi

vasokonstriksi sistemik dan peningkatan tekanan darah (Black & Garbutt, 2002).

Dengan demikian sifat emosional dan pemarah berhubungan erat dengan

peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi.

3.3. Hubungan kebiasaan pribadi (jarang olahraga/latihan fisik dan sering

pergi keluar untuk makan malam) dengan keluhan pasien

Infodatin (2015) dan Mohani (2015) menyatakan bahwa jarang

melakukan aktivitas fisik olahraga dan pola makan makanan yang berlemak

merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi. Apalagi bila pasien sering keluar

makan malam mengkonsumsi makanan siap saji yang mengandung garam tinggi,

lemak jenuh, dan rendah serat, semakin menambah faktor resiko terjadinya

hipertensi yang merupakan keluhan pasien.

Menurut Nurani (2015) kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan

darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang

tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung

mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering

jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.

Page 5: Step 1-7 Sken 2 Daru

Selanjutnya kegemukan/obesitas merupakan juga salah satu faktor resiko

terjadinya hipertensi, mengingat berat badan merupakan faktor determinan pada

tekanan darah (Infodatin, 2015; Mohani, 2015; Yogiantoro, 2015).

Menurut Soeharto (2008) kalau sering menkonsumsi makanan berlemak

terutama lemak jenuh akan meningkatkan kandungan trigliseda dalam darah.

Darmastomo & Wirawanni (2009) menyatakan bahwa kandungan trigliserida

yang tinggi dalam darah dapat meningkatkan tekanan darah, dimana trigliserida

tinggi dapat menyebabkan terjadinya artherosclerosis. Pembuluh darah koroner

yang menderita artherosclerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami

penyempitan sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik.

Tekanan sistolik yang meningkat karena pembuluh darah tidak elastis serta

naiknya tekanan diastolik akibat penyempitan pembuluh darah disebut juga

tekanan darah tinggi atau hipertensi.

3.4. Hubungan ayahnya yang menderita stroke dengan penyakit pasien

Menurut Wade & Cameron (2003) faktor genetik pada keluarga tertentu

akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi, hal ini

berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio

antara potasium terhadap sodium. Hal tersebut sesuai dengan Depkes RI (2006)

bahwa hipertensi esensial/primer sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal

ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting

pada patogenesis hipertensi primer. Selanjutnya Yogiantoro (2015) menyatakan

bahwa bila anamnesa keluarga ada yang hipertensi, maka sebelum usia 55 tahun

resiko menjadi hipertensi diperkirakan 4 kali dibandingkan keluarga yang tidak

mempunyai riwayat hipertensi. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat

antara stroke ayahnya dengan penyakit hipertensi pasien.

Page 6: Step 1-7 Sken 2 Daru

3.5. Interpretasi pemeriksaan fisik

Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik Interpretasi1. BB = 86

TB = 16

2. TD = 160/100 mmHg

3. Denyut nadi 90x/menit

4. Suhu tubuh 36,2°C

5. Respirasi 22x/menit

Perhitungan IMT = 32,77 Berdasarkan kriteria IMT pasien termasuk kategori

6 yaitu ≥30 dengan status gizi Obes II. Menurut Yogiantoro (2015), Mohani (2015) obesitas merupakan salah satu faktor resiko hipertensi

TD normal 120/80 mmHg Berdasar pada JNC 7 maka TD 160/100

mmHg merupakan hipertensi derajat 2 (Mohani, 2015)

Normal, karena berada dalam range normal 60-100x/menit

Normal

Dapat dikatakan normal, karena RR normal 14-20 x/menit

3.6. Interpretasi pemeriksaan laboratorium

Tabel 2. Interpretasi pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium Interpretasi1. Trigeliserida 525 mg/dl

2. LDL 314 mg/dl

3. HDL 30 mg/dl

Kadar normal <150 mg/dl Kadar >500 mg/dl termasuk kriteria sangat

tinggi Faktor yang menyebabkan kadar trigliserida

tinggi adalah obesitas dan konsumsi makanan berlemak (Soeharto, 2004)

Kadar LDL normal <150 mg/dl Kadar LDL pasien sangat tinggi Adanya kandungan trigliserida tinggi

cenderung meningkatkan kadar LDL (Soeharto, 2004)

Kadar HDL normal >55 mg/dl Kadar HDL pasien sangat rendah

Page 7: Step 1-7 Sken 2 Daru

DAFTAR PUSTAKA

Darmastomo, P. & Wirawanni, Y. (2009). Hubungan antara Persentase Lemak Tubuh, Lingkar Pinggang, Kolesterol Total Darah, dan Trigliserida Darah dengan Tekanan Darah (Studi pada Pegawai Negeri Sipil SMA 8 Semarang). Semarang : Program Studi Ilmu Gizi, Fak. Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. .

Depkes RI. (2006). Phrmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Black, P.H. & Garbutt, L.D. (2002). Stress, inflammation and cardiovascular disease. J. Psychosom. Res., 52(1), 1-23.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Infodatin. (2015). Hipertensi. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Mohani, C.I. (2015). Hipertensi Primer.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.22686-2295). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. Jurnal Majority, 52(1), 1-23.

Soeharto, I. (2004). Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wade, A.H. & Cameron, D.N. (2003). Using a problem detection study (PDS) to identify and compare health care privider and consumer views of antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, 17,

WHO MONICA Project. (1986). MONICA Manual. CVD/MNC/Version 1.1, Section 4. Geneva: World Health Organization

Yogintoro, M. (2015). Pendekatan Klinis Hipertensi.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.2261-22685). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

7.1. All About Hipertensi

Page 8: Step 1-7 Sken 2 Daru

a. Definisi

Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada

usia 18 thun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan

2 kali atau lebih dengan posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada 2 kali

atau lebih kunjungan (Mohani, 2015).

b. Klasifikasi hipertensi

1) Berdasarkan nilai tekanan darah, menurut JNC 7 (Mohani, 2015) hipertensi

dapat diklasifikasikan :

Hipertensi derajat 1, tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan diastolik

90-99 mmHg

Hipertensi derajat 2, tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥

100 mmHg

2) Berdasarkan etiologinya menurut Depkes RI (2006b) hipertensi dapat

diklasifikasikan :

Hipertensi primer/essensial, yang etiologinya tidak diketahui

Hipertensi sekunder, yang etiologinya diketahui

c. Etiologi

Pada kebanyakan pasien etiologinya tidak diketahui yang disebut

hipertensi essensial atau hipertensi primer. Hipertensi primer ini tidak dapat

disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan

persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi

sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila

penyebab hipertensi sekunderm dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien

ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006a; Yogiantoro, 2015).

Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial

(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan

95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin

berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum

Page 9: Step 1-7 Sken 2 Daru

satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.

Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya

menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis

hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi

tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan

timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang

mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya

mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric

oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Chobanian,

2003; Depkes RI, 2006a).

Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat

Tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis

atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-

obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi

atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab

sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan

atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah

merupakan tahap pertama dalam penangananm hipertensi sekunder (Oparil,

Zaman, & Calhoun, 2003; Depkes RI, 2006a).

Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi

Page 10: Step 1-7 Sken 2 Daru

Sumber : Depkes RI (2006a)

d. Patogenesis

Menurut Mohani (2015) hipertensi primer merupakan penyakit yang

bukan hanya disebabkan oleh satu macam mekanisme, akan tetapi bersifat multi-

faktorial, yang timbul akibat dari interaksi dari berbagai macam faktor resiko.

Berbagai faktor dan mekanisme tersebut antara lain faktor genetik dan

lingkungan, mekanisme neural, renal, vaskular dan hormonal.

Gangg. Emosi Impuls dari vasomotor

Neuron Preganglion Asetilkolin

Medula adrenal

mensekresi epinefrin

Kel. Adrenal

S. S. Simpatis

Ganglia simpatis

Faktor Keturunan Obesitas Merokok

Hipersekresi hormon adrenal

Hiperkolesterol Hiperlipidemia

Gangg. Nutrisi ↑ LDL - C

Usia

Page 11: Step 1-7 Sken 2 Daru

e. Faktor resiko

Gangg. Emosi Impuls dari vasomotor

Neuron Preganglion Asetilkolin

Medula adrenal

mensekresi epinefrin

Kel. Adrenal

S. S. Simpatis

Ganglia simpatis

Faktor Keturunan Obesitas Merokok

Hipersekresi hormon adrenal

Hiperkolesterol Hiperlipidemia

Gangg. Nutrisi ↑ LDL - C

Usia

Page 12: Step 1-7 Sken 2 Daru

Menurut Nuraini (2015) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

hipertensi antara lain :

1) Genetik, adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan

keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan

dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara

potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi

mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada

orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu

didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam

keluarga.

2) Obesitas, berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada

kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for

Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan

Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32%

untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17%

untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut

standar internasional). Perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan

antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi

insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-

angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.

3) Jenis kelamin, prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan

wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum

menopause salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Wanita yang

belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan

dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar

kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah

terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai

penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada

premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen

yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus

berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai

Page 13: Step 1-7 Sken 2 Daru

dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita

umur 45-55 tahun.

4) Stres, dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan

meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa

darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.

5) Kurang aktifitas fisik/olahraga, olahraga banyak dihubungkan dengan

pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur

dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah

(untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila

jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi

tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi

karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak

aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung

mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan

sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak

arteri.

6) Pola asupan garam dalam diet:. badan kesehatan dunia World Health

Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat

mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gr sodium

atau 6 gr garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan

konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk

menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan

ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada

timbulnya hipertensi.

7) Kebiasaan merokok, merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi

maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami

ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif di Brigmans and

Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya

tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan

Page 14: Step 1-7 Sken 2 Daru

perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8%

subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan

dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu

kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan

merokok lebih dari 15 batang perhari.

f. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Corwin

(2009) adalah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami

hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri

kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat

peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan

retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia

(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan

filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.

Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan

iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi

atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering

ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di

tengkuk, sukar tidur, dan ma mata berkunang-kunang.

g. Komplikasi hipertensi

Hipertensi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan

mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya

organ tubuh antara lain (Dosh, 2001; Depkes RI, 2006a; Mohani, 2015) :

Pada jantung, hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard dan gagal

jantung kengestif

Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir

Retinopati

Pada otak, stroke atau transient ischemic attack

Penyakit arteri perifer

Page 15: Step 1-7 Sken 2 Daru

h. Diagnosis

Menurut Depkes RI (2006a) dan Mohani (2015) evaluasi hipertensi

bertujuan untuk :

1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau

penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga

dapat memberi petunjuk dalam pengobatan

2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi

3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular

Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat

penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin,

dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan

darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index)

yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi

arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid;

pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat

pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal;

palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta

penilaian neurologis.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai

terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,

kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk

HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional

termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin/kreatinin.

Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi

tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.

Kerusakan organ target

Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan

diagnostik sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah

ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis

dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:

Otak: stroke, TIA, dementia

Page 16: Step 1-7 Sken 2 Daru

Mata: retinopati

Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard,

pernah revaskularisasi koroner

Ginjal: penyakit ginjal kronis

Penyakit arteri perifer

i. Penatalaksanaan

Menurut Perki (2015) penatalaksanaan hipertensi sebagai berikut :

Non farmakologis

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan

tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko

permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,

tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan

tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila

setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang

diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat

dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang

dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :

Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan

memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan

manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari

diabetes dan dislipidemia.

Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan

lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak

jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat

saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet

rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat

antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan

garam tidak melebihi 2 gr/ hari

Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60

menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan

darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga

Page 17: Step 1-7 Sken 2 Daru

secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,

mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di

tempat kerjanya.

Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum

menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol

semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan

dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2

gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat

meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau

menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan

tekanan darah.

Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti

berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok

merupakan salah satu faktor risiko utama penyakitkardiovaskular, dan

pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.

Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengatasi hipertensi

Page 18: Step 1-7 Sken 2 Daru

Terapi farmakologi

Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien

hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah metelah > 6

bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.

Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga

kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :

Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya

Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada

usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid

Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor

(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)

Page 19: Step 1-7 Sken 2 Daru

Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi

farmakologi

Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang

dianjurkan oleh JNC 7 adalah:

a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist

b. Beta Blocker (BB)

c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)

d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)

e. Angiotensin II Receptor Blocker atau Areceptor antagonist/blocker (ARB)

Tabel 3. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi

Page 20: Step 1-7 Sken 2 Daru
Page 21: Step 1-7 Sken 2 Daru

Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai

guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme

tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the

American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension

(2013)

Page 22: Step 1-7 Sken 2 Daru

Gambar 2. Algoritma tatalaksana hipertensi

j. Prognosis

Menurut Yogiantoro (2015) hipertensi adalah the diseases cardiovascular

continuum yang akan berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat

kerusakan target organ. Berawal dari TD 115/75 mmHg setiap kenaikan

sitolik/diastolik 20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit

kardiovaskuler akan meningkat 2 kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati m en

ingkatkan 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25%

kematian PJK, 50% penyakit jantung kongestif, 25% semua kematian mati muda,

serta menjadi penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan

penyebab gagal ginjal terminal.

Pada banyak uji klinis, pemberian obat antihipertensi akan diikuti

penurunan insiden stroke 35-40%, infark miokard 20-25%, dan lebih 50% gagal

jantung.

Page 23: Step 1-7 Sken 2 Daru

DAFTAR PUSTAKA

Adhyanti, Sirajuddin, S. & Jafar, N. (2012). Faktor Risiko Pola Konsumsi Natrium Kalium serta Status Obesitas terhadap Kejadian Hipertensi di Puskesmas Lailangga. Makassar : Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.

Chobaniam, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L., Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., Wright, J.T., & Roccella, E.J. (2003). Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA, 289, 2560-2572

Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Depkes RI. (2006a). Phrmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. (2006b). Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Dosh, S.A. (2001). The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J. Fam. Pract., 50, 707-712

Mohani, C.I. (2015). Hipertensi Primer.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.22686-2295). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.

Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. Jurnal Majority, 52(1), 1-23.

Oparil, S., Zaman, M.A., & Calhoun, D.A. (2003). Pathogenesis of Hypertension. Ann. Intern. Med., 139(9) :761-776.

Perki. (2015). Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskuler Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.

Yogiantoro, M. (2015). Pendekatan Klinis Hipertensi.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.2261-22685). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.