Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

68
BAB V OBYEK PEMBELAJARAN 1. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi pankreas? 2. Fisiologi dan regulasi hormon insulin, serta efek insulin pada metabolisme karbohidrat, lemak dan peotein? 3. All about dari komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati! 4. All about komplikasi akut (kegawat daruratan) (ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik)! 5. Obat hipoglikemia oral! 6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulun! 7. Kriteria diagnosis menurut ADA dan PERKENI? 8. HbA1c dan penatalaksanaan DM non farmakologi? 9. All about DM! 10. Bagaimana penatalaksanaan mikroangiopati dan makroangiopati serta ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik ?

description

fk ump

Transcript of Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Page 1: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

BAB V

OBYEK PEMBELAJARAN

1. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi pankreas?

2. Fisiologi dan regulasi hormon insulin, serta efek insulin pada

metabolisme karbohidrat, lemak dan peotein?

3. All about dari komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati!

4. All about komplikasi akut (kegawat daruratan) (ketoasik diabetik,

asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik)!

5. Obat hipoglikemia oral!

6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulun!

7. Kriteria diagnosis menurut ADA dan PERKENI?

8. HbA1c dan penatalaksanaan DM non farmakologi?

9. All about DM!

10. Bagaimana penatalaksanaan mikroangiopati dan makroangiopati serta

ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik ?

Page 2: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

BAB VII

BERBAGI INFORMASI

7.1. Anatomi, histologi dan pankreas

1) Anatomi pankreas

Pankreas berasal dari bahasa Yunani yang berarti “seluruhnya daging”.

Menurut Sherwood (2014) pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang

terletak di belakang dan di bawah lambung, diatas lengkung pertama

duodenum (Gambar 1.). Selanjutnya Pearce (2009) menjelaskan bahwa

pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang sekitar 12,5

cm dan tebal sekitar 2,5 cm, dimana pankreas terbentang dari atas sampai ke

lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke

duodenum. Adapun Eroschenko (2012) menyatakan bahwa pankreas adalah

organ lunak memanjang yang terletak di belakang lambung, caput pancreatis

terletak di lengkung duodenum dan cauda pancreatis meluas dari rongga

abdomen ke limpa.

Menurut Paulsen & Waschke (2014) pankreas terdiri dari 4 bagian yaitu

: (1) Caput pancreatis; (2) Colum pancreatis; (3) Corpus pancreatis; dan (4)

Cauda pancreatis

Gambar 1. Anatomi pankreas

Page 3: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

2) Histologi pankreas

Eroschenko (2012) dan Sherwood (2014) menyatakan bahwa kelenjar

campuran ini mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin

yang predominan terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur

yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan

dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Adapun bagian endokrin

yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin yang terisolir

disebut pulau-pulau Langerhans (insula pancreatica) yang tersebar diseluruh

pankreas.

Gambar 2. Histologi pankreas eksokrin dan endokrin

3) Fisiologi pankreas

Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari 2

komponen : (1) enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus

(asini) yang membentuk asinus; dan (2) larutan cair basa yang secara aktif

disekresikan oleh sel duktus yang melapisi duktus pankreatikus. Sel-sel asinus

Page 4: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

mengeluarkan 3 jenis enzim pankreas yang mampu mencerna ke-3 kategori

makanan : (1) enzim proteolitik untuk pencernaan protein, (2) amilase pankreas

untuk pencernaan karbohidrat; dan (3) lipase pankreas untuk mencerna lemak

(Eroschenko, 2012; Sherwood, 2014).

Guyton & Hall (2014) menjelaskan bahwa enzim proteolitik terpenting

untuk mencerna protein adalah tripsin dan kimotripsin, dimana enzim ini

memecah seluruh dan sebagian protein yang dicerna menjadi peptida berbagai

ukuran tetapi tidak menyebabkan pelepasan asam-asam amino, sehingga

menyelesaikan pencernaan beberapa protein menjadi bentuk asam amino.

Enzim amilase pankreas mencerna karbohidrat dengan menghidrolisis pati,

glikogen dan sebagian besar karbohidrat lain (kecuali selulosa) untuk

membentuk sebagian besar disakarida dan trisakarida. Adapun enzim utama

pencerna lemak adalah : (1) lipase pankreas, yang mampu menghidrolisis

lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida; (2) kolesterol esterase,

yang menghidrolisis ester kolesterol; dan (3) fosfolipase, yang memecah asam

lemak dari fosfolipid.

Sel endokrin pankreas terbanyak adalah sel β tempat sintesis dan

sekresi insulin dan sel α yang menghasilkan glukagon, serta sel D yang lebih

jarang yang menghasilkan somatostatin, juga sel PP yang paling jarang

mengeluarkan polipeptida pankreas (Sherwood, 2014).

7.2. Fisiologi dan regulasi insulin serta efeknya terhadap metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein

1) Fisiologi dan regulasi insulin

Menurut Sherwood (2014) dalam keadaan normal, bila ada rangsangan

pada sel β, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai

kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis,

regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon glukagon

yang disekresikan oleh sel α kelenjar pankreas.

Pengontrol utama sekresi insulin adalah sistem umpan balik negatif

langsung antara sel β pankreas dan konsentarsi glukosa dalam darah.

Peningkatan kadar glukosa darah, seperti selama penyerapan makanan, secara

Page 5: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

langsung merangsang sel β untuk membentuk dan mengeluarkan insulin.

Peningkatan insulin menurunkan kadar glukosa darah ke normal dan

mendorong pemakaian serta penyimpanan nutrien ini. Sebaliknya penurunan

glukosa darah di bawah normal, misalnya sewaktu puasa, secara langsung

menghambat sekresi insulin. Penurunan laju sekresi insulin menggeser

metabolisme dari pola absorptif ke pasca absorptif. Karena itu, sistem umpan

balik negatif sederhana sudah dapat mempertahankan pasokan glukosa yang

relatif konstan ke jaringan tanpa memerlukan partisipasi saraf atau hormon

lain.

Selain konsentrasi glukosa darah, masukan lain yang mengatur sekresi

insulin adalah sebagai berikut (Gambar 1.) :

Peningkatan kadar asam amino darah, misalnya setelah makan

makanan tinggi protein, secara langsung merangsang sel β untuk

meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme umpan balik

negatif, peningkatan insulin meningkatkan masuknya asam-asam

amino ke dalam sel sehingga kadar asam amino darah berkurang

sementara sintesis protein meningkat.

Hormon saluran cerna yang dikeluarkan sebagai respons terhadap

adanya makanan, khususnya glucose-dependent insulinotropic peptide

(GIP), merangsang pankreas mengeluarkan insulin selain memiliki

efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui kontrol ini,

sekresi insulin ditingkatkan melalui mekanisme “umpan”, atau

antisipatorik, bahkan sebelum penyerapan nutrien meningkatkan

konsentrasi glukosa dan asam amino darah.

Sistem saraf otonom juga secara langsung mempengaruhi sekresi

insulin. Pulau-pulau Langerhans memiliki banyak persarafan

parasimpatis dan simpatis. Peningkatan aktifitas parasimpatis yang

terjadi sebagai respons terhadap makanan di saluran cerna merangsang

pengeluaran insulin. Hal ini juga merupakan respons feedforward

sebagai antisipasi penyerapan nutrien. Sebaliknya, stimulai simpatis

dan peningkatan epinefrin yang menyertainya menghambat sekresi

insulin. Penurunan kadar insulin memungkinkan kadar glukosa naik,

Page 6: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

suatu respon yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang biasanya

menyebabkan pengaktifan simpatis generalisata yaitu stres (lawan atau

lari) dan olahraga. Pada kedua situasi ini diperlukan bahan bakar

tambahan untuk aktivitas otot yang meningkat.

Gambar 3. Faktor pengontrol sekresi insulin

2) Efek insulin pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein

Menurut Sherwood (2014) efek insulin tersebut adalah sebagai berikut :

Efek pada karbohidrat

Insulin memiliki 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong

penyimpanan karbohidrat :

Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.

Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di

otot rangka dan hati.

Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.

Dengan menghambat penguraian tersebut maka insulin cenderung

menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran

glukosa oleh hati.

Page 7: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat

glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin

melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino daam darah yang

tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-

enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi

glukosa.

Efek pada lemak

Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan

mendorong penyimpanan trigliserida :

Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke sel jaringan

lemak.

Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak

melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa berfunhgsi sebagai prekursor

untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk

membentuk trigliserida.

Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan

turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.

Insulin menghambat lipopisis (penguraian lemak), mengurangi

pembebasan asam lemak dari jaringan lemak ke dalam darah.

Secara kolektif efek-efek ini cenderung mengeluarkan asam lemak dan

glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan keduanya sebagai

trigliserida.

Efek pada protein

Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis

protein melalui beberapa efek :

Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot

dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah

dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.

Insulinmeningkatkan laju inkorporasi asamamino menjadi protein oleh

perangkat pembentuk protein yang ada di sel.

Insulin menghambat penguraian protein.

Page 8: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

7.3. Komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati

Menurut Wijono (2004) Foster (2014) Schteingart (2014) komplikasi kronis

mikroangiopati dan makroangiopati merupakan komplikasi vaskular jangka

panjang dari DM, dimana yang melibatkan pembuluh-pembuluh kecil disebut

mikroangiopati dan yang melibatkan pembuluh sedang dan besar disebut

makroangiopati.

1) Mikroangiopati

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler

dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik)

dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang

dari sudut histokimia, lesip-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan

glikoprotein.

2) Makroangiopati

Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa

ateroskerosis, dimana gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh

insufiensi insulin ini dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular.

Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima

vaskular; (2) hiperlipoproteinemia; dan (3) kelainan pembekuan darah.

Pada akhirnya makroangipati diabetik ini dapat mengakibatkan

penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat

mengakibatkan insufiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten

dan gangren pada ekstremitas serta insufiensi serebral dan stroke. Jika yang

terkena adalah arteia koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina

dan infark miokardium.

Makroangiopati diabetik ini dapat menyebabkan aterosklerosis, dimana

aterosklerosis.yang terjadi pada pembuluh darah yang menuju jantung (arteri

koroner) merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler khususnya Ischaemic

Heart Disease (penyakit jantung koroner/PJK), dan jika aterosklerosis terjadi

pada pembuluh darah yang menuju otak maka dapat mengakibatkan terjadinya

stroke (Sitepoe, 1999). Caplan & Gijn (2012) menyatakan bahwa stroke adalah

penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian sel-sel saraf neorologik

akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak, dimana pada

Page 9: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

serangan stroke yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan total maupun

sebelah.

7.4. All about Ketoasidosis Diabetik dan Hiper Osmotik Ketoasik

1) Ketoasidosis Diabetik

Menurut Tarigan (2014) ketoasidosis diabetik (KAD) adalah sebagai berikut :

a. Definisi

KAD adalah fenomena unik pada seseorang pengidap DM akibat

defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator

yang mengakibatkan lipolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-

benda keton dengan segala konsekuensinya. KAD perlu dikenali dan dikelola

segera karena jika terlambat maka akan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas dengan perawatan yang mahal.

b. Pencetus

Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain diantaranya

adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut,

pankreatis, dan obat-obatan. Awitan baru atau penghentian pemakaian insulin

seringkali menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada kondisi KAD. Pada

beberapapasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan

pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek

kondisinya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali.

c. Patogenesis

Gambar 4. Patogenesis KAD

Page 10: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

d. Patofisiologi

Gambar 5. Patofisiologi KAD

e. Manifestasi klinis

Poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah, nyeri perut

Pada keadaan berat dapat ditemukan penurunan kesadaran sampai koma

Dehidrasi, nafas kussmaul, takikardi, hipotensi dan syok.

Flushing, penurunan berat badan

Trias biokimiawi KAD berupa hiperglikemia, ketonemia dan atau

ketonuria serta asidosis metabolik dengan berbagai derajat

f. Kriteria diagnosis KAD

Adanya peningkatan benda keton di sirkulasi

Glukosa darah >250 mg/dl

pH darah < 7,35

Angka HCO3 < 18 mEq/liter

g. Penatalaksanaan

Terapi cairan, secara umum pemberian cairan adalah langkah awal

penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan

ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravaskular, interstisial dan

restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal

Page 11: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-

20 ml/kgBB/jam pertama atau 1-1,5 liter pada jam pertama. Tindak lanjut

cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,

status hidrasi, elektrolit dan produksi urin. Penggantian cairan dapat

dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian sangat mempengaruhi

pencaian target gula darah, hilangnya benda keton dan perbaikan asidosis.

Insulin, merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin

secara intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan

mudah dititrasi. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah

diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-

100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun sekitar 200 mg/dl , lalu

kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02 – 0,05 unit/kgBB/jam. Jika

glukosa sudah berada disekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus

dekokta dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.

Kalium, pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme

asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium

pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium

yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat

karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Untuk

mencegah hipokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai manakala

kadar kalium di sekitar batas atas normal.

Bikarbonat, jika asidosis murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat

tidak direkomendasikan,diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari

6,9. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah

meningkatnya risiko hipokalemia, menurunya asupan oksigen jaringan,

edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.

Fosfat, meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering

ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat

akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan

manfaat pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang

berlebih akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada kondisi serum fosfat

Page 12: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

< 1 mg/dl dan disertai disfungsi kardiak, anemia atau depresi nafas akibat

kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.

Transisi ke insulin subtkutan,

Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberin insulin intravena

dosis rendah, maka selanjutnya memastikan bahwa KAD sudah memasuki

fase resolusi dengan kriteria gula darah < 200 mg/dl dan 2 dari kondisi

berikut : serum bikarbonat ≥ 15 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap ≤ 12

mEq/l. Agar tidak terjadi hiperglikemi atau KAD berulang maka sebaiknya

penghentian intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama.

Asupan nutrisi merupakan pertimbsngsn penting saat transisi ke subkutan,

jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat

kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan.

2) Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (KHHN)

Menurut Soewondo (2014) koma hiperosmolar hiperglikemik

nonketotik adalah sebagai berikut :

a. Definisi

Suatu sindrom yang ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolar

tanpa disertai adanya ketosis, dengan gejala klinis utama dehidrasi berat,

hiperglikemia beratdgangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.

b. Faktor pencetus

Sindrom ini biasa terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai

penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor

pencetus dapat dibagi menjadi 6 kategori : (1) infeksi; (2) pengobatan; (3)

noncompliance; (4) DM tidak terdiagnosis; (5) penyalahgunaan obat; (6)

penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%), compliance

yang buruk terhadap pengobatan DM sering juga menyebabkan kondisi ini

(21%).

c. Patofisiologi

Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan

hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of

Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik

Page 13: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan

keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel keruang ekstrasel.

Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan

hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.

d. Gejala klinis

Poliuri, polidipsi, penurunan BB, kelemahan, penurunan kesadaran

Dehidrasiberat, Hipotensi, Syok

Bisa disertai gejala neurologis, kejang.

Takikardi

Tanpa hiperventilasi, kussmaul (-)

Tanpa bau aseton

Kulit kering

Sianosis minimal

e. Pemeriksaan laboratorium

Temuan laboratorium awal pada pasien dengan KHHN adalah :

Konsentrasi gula darah yang sangat tinggi > 600 mg/dl

Osmolaritas serum yang tinggi > 350 mOsm/kg air

pH > 7,30

Disertai ketonemia ringan

Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap

yang ringan (10-12).

Muntah

Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal

Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN) dan hematokrit

hampir selalu meningkat

HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam

elektrolit

f. Penatalaksanaan

Cairan, langkah petama dan terpenting dalam penatalaksanaan KHH

adalah penggantian cairan agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan

mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100-200 ml/kg

atau total rata-rata 9 liter). Pada awal terapi, konsentrasi glkosa darah

Page 14: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat

menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang

diberikan. Juka konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar

75-100 mg/dl/jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan

kurang atau ada gangguan ginjal.

Insulin, sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara

intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB/jam sampai konsentrasi

glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl. Jika glukosa darah tidak turun

50-70- mg/dl/jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika gluksa

darah sudah mencapai < 300 mg/dl, sebaiknya diberikan dekstrosa secra

intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya

kesadaran dan kondisi hiperosmolar.

7.5. Obat hipoglikemia oral

Menurut Tjay & Rahardja (2010) dan FK UI (2010) obat hipoglikemik

oral (OHO) merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang

diresepkan oleh dokter khusus bagi penderita DM. OHO bukanlah hormon

insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui beberapa cara untuk

menurunkan kadar glukosa darah. Obat-obatan ini dapat membantu

penyandang DM untuk menggunakan insulinnya sendiri dengan lebih baik dan

menurunkan pelepasan glukosa oleh hati. Terdapat beberapa macam OHO

untuk mengendalikan glukosa darah penyandang diabetes.

Berdasarkan cara kerja, OHO dibagai menjadi 3 golongan :

A.  Memicu produksi insulin

1) Sulfonilurea, Obat ini telah digunakan dalam menangani hipoglikemia pada

penyandang diabetes melitus tipe 2 selama lebih dari 40 tahun. Mekanisme

kerja obat ini cukup rumit. Ia bekerja terutama pada sel beta pankreas untuk

meningkatkan produksi insulin sebelum maupun setelah makan. Sel beta

pankreas merupakan sel yang memproduksi insulin dalam tubuh.

Sulfonilurea sering digunakan pada penyandang diabetes yang tidak gemuk

di mana kerusakan utama diduga adalah terganggunya produksi insulin.

Penyandang yang tepat untuk diberikan obat ini adalah penyandang diabetes

Page 15: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

melitus tipe 2 yang mengalami kekurangan insulin tapi masih memiliki sel

beta yang dapat berfungsi dengan baik. Penyandang yang biasanya

menunjukkan respon yang baik dengan obat golongan sulfoniurea adalah

usia saat diketahui menyandang diabetes melitus lebih dari 30 tahun, 

menyandang diabetes diabetes melitus lebih dari 5 tahun, berat badan

normal atau gemuk, gagal dengan pengobatan melalui pengaturan gaya

hidup, perubahan pengobatan dengan insulin dengan dosis yang relatif kecil.

2) Golongan Glinid, Meglitinide merupakan bagaian dari kelompok yan

gmeningkatkan produksi insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu ia

membutuhkan sel beta yang masih berfungsi baik. Repaglinid dan

Nateglinid termasuk dalam kelompok  ini,  mempunyai efek kerja cepat,

lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah

setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat segera setelah dimakan,

mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 1 jam. 

B.     Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin)

1)   Biguanid, Metformin adalah satu-satunya biguanid yang tersedia saat ini.

Metformin berguna untuk penyandang diabetes gemuk yang mengalami

penurunan kerja insulin. Alasan penggunaan metformin pada penyandang

diabetes gemuk adalah karena obat ini menurunkan nafsu makan dan

menyebabkan penurunan berat badan. Sebanyak 25% dari penyandang

diabetes yang diberikan metformin dapat mengalami efek samping pada

saluran pencernaan, yaitu rasa tak nyaman di perut, diare dan rasa seperti

logam di lidah. Pemberian obat ini bersama makanan dan dimulai dengan

dosis terkecil dan meningkatkannya secar perlahan dapat meminimalkan

kemungkinan timbulnya efek samping. Obat ini tidak seharusnya diberikan

pada penyandang dengan gagal ginjal, hati, jantung dan pernafasan.

Metformin dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi.

Obat-obatan oral mungkin gagal untuk mengontrol gula darah setelah

beberapa saat sebelumnya berhasil (kegagalan sekunder)  akibat kurangnya

kepatuhan penyandang atau fungsi sel beta yang memburuk dan / atau

Page 16: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

terjadinya gangguan kerja insulin (resistansi insulin). Pada kasus-kasus ini,

terapi kombinasi metformin dengan sulfonilurea atau penambahan

penghamba-glucosidase biasanya dapat dicoba. Kebanyakan penyandang

pada akhirnya membutuhkan insulin. 

2) Tiazolidinedion, Saat ini terdapat 2 tiazolinedion di Indonesia yaitu

rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini memperbaiki kadar

glukosa darah dan menurunkan hiperinsulinaemia (tingginya kadar

insulin)  dengan meningkatkan kerja insulin (menurunkan resistensi

insulin) pada  penyandang DM tipe 2. Obat golongan ini juga menurunkan 

kadar trigliserida da asam lemak bebas.  Rosiglitazone (Avandia), dapat

pula digunakan kombinasi dengan metformin pada penyandang yang gagal

mencapai target kontrol glukosa darah dengan pengaturan makan dan

olahraga. Pioglitazone (Actos), juga diberikan untuk meningkatkan kerja

(sensitivitas) insulin. Efek samping dari obat golongan ini dapat berupa

bengkak di daerah perifer (misalnya kaki), yang disebabkan oleh

peningkatkan volume cairan dalam tubuh. Oleh karena itu maka obat

goolongan ini tidak boleh diberikan pada penyandang dengan gagal

jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat ini pemeriksaan fungsi hati

secara berkala harus dilakukan.

C.     Penghambat enzim alfa glukosidase

Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti akarbose, menghambat

penyerapan karbohidrat dengan menghambat enzim disakarida di usus (enzim

ini bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat ini terutama

menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Efek sampingnya yaitu

kembung, buang angin dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus

dikonsumsi bersama dengan makanan.

Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada penyandang diabetes

melitus tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL

(11.1 mmol/l) dan kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak

mengakibatkan hipoglikemia, dan boleh diberikan baik pada penyandang

Page 17: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

diabetes gemuk maupun tidak, serta dapat diberikan bersama dengan

sulfonilurea, metformin atau insulin.

 Dosis pemberian OHO

Setelah obat tertentu dipilih untuk penyandang diabetes, biasanya

pemberian obat dimulai dari dosis terendah. Dosis kemudian dinaikkan secara

bertahap setiap 1-2 minggu, hingga mencapai kadar glukosa darah yang

memuaskan atau dosis hampir maksimal. Jika dosis hampir maksimal namun

tidak menghasilkan kontrol kadar glukosa darah yang memadai, maka

dipertimbangkan untuk diberikan obat kombinasi atau insulin. Tidak ada

keuntungan menggunakan dua OHO dari golongan yang sama secara

bersamaan.

Tabel 1. Dosis Obat Hipoglikemik Oral (Perkeni, 2006).

Page 18: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

7.6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulin

Tjay & Rahardja (2010) serta Davis & Granner (2014) menyatakan bahwa

farmakokinetik dan farmakodinamik insulin adalah sebagai berikut :

1) Farmakokinetik

Insulin tidak dapat dipergunakan per-oral karena terurai oleh pepsin

lambung, maka insulin selalu diberikan sebagai in jeksi sub kutan 0,5 jam

sebelum makan. Absorpsi insulin dipengaruhi oleh beberapa hal, dimana

absorpsi paling cepat terjadi pada daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan,

paha bagian atas, dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuscular dalam

maka absorpsi akan terjadi lebih cepat dan masa kerja lebih singkat. Kegiatan

jasmani yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat onset

kerja dan juga mempersingkat masa kerja. Waktu paruh insulin pada orang

normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada penderita diabetes yang

membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin dimetabolisme dan dirombak

terutama di hati, ginjal dan otot, selanjutnya dikeluarkan melalui urin.

Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam

darah.

Tabel 2. Farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja

Page 19: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Hati dan ginjal adalah organ yang membersihkan insulin dari sirkulasi.

Hati membersihkan darah kira-kira 60% dari insulin dan ginjal membersihkan

35-40%. Namun, pada pasien diabetes yang mendapatkan pengobatan insulin,

rasio tersebut menjadi terbalik, sebanyak 60% insulin eksogen yang

dibersihkan oleh ginjal dan hati membersihkan tidak lebih dari 30-40%.

2) Farmakodinamik

Insulin mempunyai efek penting yang memudahkan gerak glukosa

menembus membran sel. Insulin membantu meningkatkan penyimpanan lemak

dan glukosa ke dalam sel-sel sasaran, mempengaruhi pertumbuhan sel serta

fungsi metabolisme berbagai macam jaringan. Insulin bekerja pada hidrat

arang, lemak serta protein, dan kerja insulin ini pada dasarnya bertujuan untuk

mengubah arah lintasan metabolik sehingga gula, lemak dan asam amino dapat

tersimpan dan tidak terbakar habis.

Insulin menurunkan kadar gula darah dengan mempercepat pemakaian

glukosa oleh sel-sel tubuh. Insulin juga menyimpan glukosa sebagai glikogen

di dalam otot. Awitan kerja insulin regular yang diberikan secara subkutan

adalah ½ sampai 1 jam dan bila diberikan secara intravena, 10-30 menit.

Awitan kerja NPH (neutral protamine Hagedorn) adalah 1-2 jam. Puncak kerja

insulin adalah sangat penting karena kemungkinan terjadinya rekasi

hipoglikemik (syok insulin) selama periode tersebut. Kadar maksimum untuk

insulin regular dicapai dalam 2-4 jam dan 6-12 jam untuk insulin NPH.

7.7. Kriteria diagnosis DM menurut ADA dan PERKENI

1) Kriteria dianosis DM menurut ADA

Kriteria penegakan diagnosis DM menurut American Diabetes

Association (2014) adalah sebagai berikut :

Page 20: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Gambar 6. Kriteria dianosis DM menurut ADA

Dikatakan diabetes jika nilai :

HbA1C (A1C) ≥ 6,5%

Gula darah puasa (FPG) ≥ 126 mg/dl

Tes toleransi glukosa oral (OGTT) ≥ 200 mg/dl

Dikatakan prediabetes jika nilai :

HbA1C (A1C) ≥ 5,7% - <6,5

Gula darah puasa (FPG) ≥ 100 mg/dl - < 126 mg/dl

Tes toleransi glukosa oral (OGTT) ≥ 140 mg/dl - < 200 mg/dl

Dikatakan normal jika nilai :

HbA1C (A1C) < 5,7%

Gula darah puasa (FPG) < 100 mg/dl

Tes toleransi glukosa oral (OGTT) < 140 mg/dl

2) Kriteria dianosis DM menurut PERKENI

Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) (2006) membagi alur

diagnosis DM menjadi 2 bagian berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM

yaitu : (1) Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas; (2) Gejala tidak khas DM diantaranya

Page 21: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi

ereksi (pria) dan pruritis pulva (wanita).

Apabila ditemukan gejala khas DM, maka :

Pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS) 1 kali saja sudah

cukup untuk menegakkan diagnosis

Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka :

Diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS

dan TTGO).

Kriteria diagnosis DM dari PERKENI adalah seperti pada Tabel 2 berikut :

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu (GDS) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. AtauGejala klasik DM + glukosa plasma puasa (GDP) > 126 mg/dl (7,0mmol/l)Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalorim tambahan sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air

Sumber : Purnamasari (2014)

Keterangan : Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan

TTGO :

< 140 mg/dl = normal

140-< 200 mg/dl = toleransi glukosa terganggu

> 200 mg/dl = DM

7.8. All about HbA1c dan Terapi nonfarmakologi pada DM

1) HbA1c

a. Definisi

HbA1c merupakan kombinasi glukosa dan hemoglobin dewasa (HbA).

Hemoglobin terdiri dari 4 rantai polipeptida (globin), masing-masing

mengandung satu gugus heme. Hemoglobin utama yang ditemukan pada orang

Page 22: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

dewasa normal adalah HbA. HbA2 dan HbF berada dalam jumlah kecil

(Fortress, 2000; Harefa, 2011).

b. Biokimiawi dan Metabolisme

Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA1, HbA2,Hbf (fetus)

Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin

total. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupaka bagian dari

hemoglobin A. proses pengikatan ini disebut Glikolisasi atau hemoglobin

terglikolisasi atau hemoglobin A. Dalam proses ini terdapat ikatan antara

glukosa dan hemoglobin. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin

meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama

120 hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama

120 hari terakhir, maka hasil hemoglobin A10 akan menunjukan nilai normal.

Hasil pemeriksaan hemoglobin A10 merupakan pemeriksaan tunggal

yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna

pada semua tipe penyandang DM. pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien

yang membutuhkan kendali glikemik (Soewondo, 2004)

Pembentukan HbA10 terjadi dengan lambat yaitu selama 12o hari yang

merupakan rentang hidup sel darah merah. HbA10 dalam bentuk 70%

terglikolisasi (mengarbsorbsi Glukosa). Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi

tergantung pada jumlah glukosa yang tersedia. Jika kadar glukosa darah

meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan

glukosa menghhasilkan glikohemoglobin (Kee, 2003)

Kadar HbA10 merupakan control glukosa jangka panjang,

menggambarakan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, Karen paruh waktu

eritrosit 120 hari . Karena mencermikan keadaan glikemik selama 2-3 bulan

maka pemmeriksaan HbA10 dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan (Darwis,

2005).

Peningkatan kadar HbA10> 8% mengindikasikan DM yang tidk

terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang

seperti nefropati, retiopati, atau kardiopati, penurunan 1 % dari HbA10 akan

menurunkan komplikasi sebesar 35% (Soewondo, 2004)

Page 23: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Pemeriksaan HbA10 dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada

pasien DM pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada

tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan terhadap

keberhasilan pegndalian (Kee, 2003)

c. Prinsip pemeriksaan

Prinsip pemeriksaan HbA1c adalah mengukur persentasi hemoglobin

sel darah merah yang diselubungi oleh gula. Semakin tinggi nilainya berarti

kontrol gula darah buruk dan kemungkinan komplikasi semakin tinggi. Pada

orang yang tidak menderita diabetes, kadar HbA1c berkisar antara 4,5 sampai

6%. Jika kadarnya 6,5% atau lebih pada dua pemeriksaan terpisah, maka

kemungkinan orang tersebut menderita diabetes. Nilai antara 6 sampai 6,5%

menunjukkan keadaan pradiabetes. Penderita diabetes yang tidak terkontrol

dalam waktu yang lama biasanya memiliki kadar HbA1c lebih dari 9%

sedangkan target pengobatan adalah kadar HbA1c sebesar 7% atau kurang.

Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4. Diabetes control card HbA1c test score

Menurut Harefa (2011) pemeriksaan kadar HbA1c memiliki banyak

keunggulan dibandingkan pemeriksaan glukosa darah yaitu antara lain:

Tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan saja

Page 24: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Memperkirakan keadaan glukosa darah dalam jangka waktu lebih lama (2-

3 bulan) atau tidak dipengaruhi perubahan gaya hidup jangka pendek.

Metode telah terstandarisasi dengan baik dan keakuratannya dapat

dipercaya

Variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah

dibanding glukosa plasma puasa.

Kesalahan yang disebabkan oleh faktor nonglikemik yang dapat

mempengaruhi nilai HbA1c sangat jarang ditemukan dan dapat

diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis

dengan glukosa plasma.

Pengambilan sampel lebih mudah dan pasien merasa lebih nyaman.

Lebih stabil dalam suhu kamar dibanding glukosa plasma puasa.

Memiliki keterulangan pemeriksaan yang jauh lebih baik dibanding

glukosa puasa

Lebih direkomendasikan untuk pemantauan pengendalian glukosa

Level HbA1c berkorelasi dengan komplikasi diabetes sehingga lebih baik

dalam memprediksi komplikasi mikro dan makrokardiovaskular.

Selain keunggulan, pemeriksaan kadar HbA1c juga memiliki beberapa

keterbatasan antara lain:

Saat interpretasi HbA1c bermasalah, maka pemeriksaan glukosa puasa dan

postprandial dianjurkan untuk tetap digunakan.

Meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi seberapa besar

perubahan dan pengaruh usia terhadap peningkatan HbA1c belum dapat

dipastikan.

Harganya lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa

Etnis yang berbeda memiliki sensitivitas dan spesifisitas HbA1c yang

berbeda, diduga mungkin berkaitan dengan: perbedaan genetik dalam

konsentrasi hemoglobin (Hb), tingkat kecepatan glikasi (perbedaan tingkat

kecepatan glukosa masuk dalam eritrosit, kecepatan penambahan atau

lepasnya glukosa dari hemoglobin) dan masa hidup/daya tahan serta

jumlah sel darah merah.

Page 25: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

d. Metode pemeriksaan

Menurut Fortress (2000), (Harefa, 2011) dan (Widijanti & Ratulangi,

2011).terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam pemeriksaan

kadar HbA1c antara lain :

1. Metode Kromatografi Pertukaran Ion (Ion Exchange Chromatography)

Prinsip dari metode ini adalah titik isoelektrik HbA1c lebih rendah dan

lebih cepat bermigrasi dibandingkan komponen Hb lainnya. Apabila

menggunakan metode ini harus dikontrol perubahan suhu reagen dan

kolom, kekuatan ion dan pH dari buffer (Widijanti dan Ratulangi, 2011).

Kelemahan dari metode ini adalah adanya interferensi variabel dari

hemoglobinopati, HbF dan carbamylated Hb (HbC) yang bisa memberikan

hasil negatif palsu. Keuntungan metode ini adalah dapat memeriksa

kromatogram Hb varian dengan tingkat presisi yang tinggi

2. Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography), Metode ini

memiliki prinsip yang sama dengan Ion Exchange Chromatography, bisa

diotomatisasi serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode

ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi untuk pemeriksaan

kadar HbA1c .

3. Metode Agar Gel Elektroforesis, Metode ini memiliki hasil yang

berkorelasi dengan baik dengan HPLC tetapi presisinya kurang

dibandingkan HPLC. HbF memberikan hasil positif palsu tetapi kekuatan

ion, pH, suhu, HbS dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.

4. Metode Immunoassay (EIA), Prinsip dari metode ini adalah ikatan yang

terjadi antara antibodi dengan glukosa dan antara asam amino-4 dengan 10

N-terminal rantai β. Kelemahan dari metode ini adalah dipengaruhi oleh

gangguan hemoglobinopati dengan asam amino lengkap pada sisi yang

berikatan dan beberapa gangguan yang berasal dari HbF. Sehingga metode

ini hanya mampu mengukur HbA1c dan tidak dapat mengukur HbA1c

yang labil maupun HbA1A dan HbA1B (Widijanti dan Ratulangi, 2011).

Keuntungan dari metode ini adalah tidak dipengaruhi oleh HbE dan HbD

maupun carbamylated Hb, relatif lebih mudah diimplementasikan pada

berbagai format yang berbeda dan memiliki presisi yang baik.

Page 26: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

5. Metode Affinity Chromatography, Prinsip dari metode ini adalah glukosa

yang terikat pada asam m-aminofenilboronat. Kelemahan dari metode ini

adalah bukan hanya mengukur glikasi valin pada N-terminal rantai β tetapi

juha glikasi rantai β pada bagian lain dan glikasi rantai α sehingga hasil

pengukuran dengan metode ini lebih tinggi daripada dengan metode HPLC

(Harefa, 2011). Keuntungan metode ini adalah non-glycated hemoglobin

serta bentuk labil dari HbA1c tidak mengganggu penetuan hemoglobin

glikasi, tidak dipengaruhi suhu, presisi baik, HbF, HbS dan HbC hanya

sedikit mempengaruhi metode ini.

6. Metode Analisis Kimiawi dengan Kolorimetri, Metode ini memerlukan

waktu inkubasi yang lama yaitu sekitar 2 jam tetapi keuntungannya lebih

spesifik karena tidak dipengaruhi oleh -glycosylated ataupun glycosylated

labil. Kerugiannya adalah waktu lama, sampel besar dan satuan

pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi yaitu mmol/L.

7. Metode Spektrofotometri, Prinsip dari metode ini adalah penghilangan

fraksi labil dari hemoglobin dengan cara haemolysate kemudian

ditambahkan agen penukar ion kationik kemudian dibaca dengan

instrument spektrofotometer pada panjang gelombang 415 nm.

e. Bahan atau spesimen yang digunakan

Bahan atau spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan HbA1c adalah

sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan. Bagian dari

lengan yang diambil darahnya biasanya dari bagian dalam siku atau bagian

belakang tangan. Sebelum dilakukan pengambilan darah, tempat yang akan

ditusuk harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan antiseptik, kemudian

tenaga kesehatan membungkus daerah di sekitar lengan atas dengan sebuah

band elastis. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan tekanan pada daerah

tersebut sehingga vena menjadi membengkak oleh darah. Selanjutnya, tenaga

kesehatan memasukkan dengan perlahan jarum ke dalam vena. Darah

dikumpulkan dalam tabung kedap udara yang melekat pada jarum kemudian

band elastis dilepaskan agar peredaran darah di daerah lengan atas kembali

lancar. Bekas tusukan jarum ditutup untuk menghentikan pendarahan. Pada

bayi atau anak-anak, alat tajam yang disebut dengan lanset dapat digunakan

Page 27: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

untuk menusuk kulit dan membuat terjadi perdarahan. Darah yang diperoleh

dikumpulkan ke dalam tabung gelas kecil yang disebut pipet atau ke strip slide

atau strip tes

f. Penanganan khusus

Tidak terlalu banyak hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam

penanganan pemeriksaan HbA1c karena pemeriksaan ini dapat dilakukan

kapan saja tanpa pasien diwajibkan melakukan puasa terlebih dahulu dan tidak

dipengaruhi oleh makanan, obat-obatan serta emosi pasien. Hal yang perlu

mendapat perhatian khusus adalah pada saat pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan HbA1c, biasanya untuk mengetahui kadar gula seseorang

dilakukan cek darah di jari, tetapi untuk melakukan diagnosis diabetes dengan

pemeriksaan HbA1c, darah yang diambil berasal dari pembuluh darah di

lengan bukan di jari. Selain itu proses penyimpanan sampel darah setelah

diambil dari tubuh pasien harus disimpan dalam tabung atau tube yang steril

dan diletakkan pada suhu kamar tidak boleh disimpan dalam lemari es serta

tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Apabila baru dipergunakan setelah 24

jam maka perlu ditambahkan pengawet seperti EDTA dan heparin sebagai

antikoagulan (Departemen Mikrobiologi, 2010).

2) Terapi nonfarmakologi DM

Menurut Tjokroprawiro & Murtiwi (2014) terapi nonfarmakologi pada

DM adalah Terapi Nutrisi Medis (TNM) serta Latihan Fisik yang merupakan

bagian penatalaksanaan DM secara total.

a. Terapi Nutrisi Medis

Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari

anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta penyandang

DM dan keluarganya). TNM pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola

makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau

komplikasi yang telah ada. TNM dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya

diabetes bagi penderita yang mempunyai risiko DM, sebagai terapi pada

penderita yang sudah terdiagnosis DM serta mencegah atau memperlambat

laju berkembangnya komplikasi DM.

Page 28: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Tujuan TNM bagi penderita DM adalah :

1. Untuk mencapai dan mempertahankan :

Kadar glukosa darah dalam batas normal atau mendekati normal tanpa

efek samping hipoglikemik yaitu (1) Glukosa darah sebelum makan

pagi (preprandial) antara 70-130 mg/dl; (2) Glukosa darah 1 jam

sesudah makan (peak postprandial) < 180 mg/dl; (3) Kadar A1C < 7%

Profil lipid untuk mencegah risiko penyakit kardiovaskulaer : (1)

Kolesterol LDL < 100 mg/dl (bagi penderita DM dengan komplikasi

kardiovaskuler kolesterol LDL < 70 mg/dl); (2) Kolesterol HDL > 40

mg/dl; (3) Trigliserida < 150 mg/dl

Tekanan darah dalam batas nrmal atau seaman mungkin mendekati

normal yaitu < 130/80 mmHg

2. Untuk mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi lronis

DM dengan melakukan modifikasi asupan nutrisi serta perubahan gaya

hidup.

3. Nutrisi diberikan secara individual dengan memperhitungkan kebutuhan

nutrisi dan meperhatikan kebiasaan makan penderita DM.

Adapun contoh TNM adalah Diet DM-B, Diet DM-B1, Diet DM-B2, Diet

DM-B3, Diet DM-BE, Diet DM-M, Diet DM-G, Diet DM-KV, Diet DM-GL

dan Diet DM-H yang sudah berhasil dicobakan (Tjokroprawiro & Murtiwi,

2014). Seperti misalnya Diet BM-B mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

Mempunyai susunan kalori : 68% kal karbohidrat, 12% kal protein, dan

20% kal lemak

Karbohidrat komplek tidak mengandung gula

Dapat menurunkan kolesterol dalam waktu 1 minggu

Mempunyai kandungan kolesterol < 300 mg/hari, rasio P : S > 1,0 (SAFA

5%, PUFA 5%, MUFA 10%).

Protein banyak mengandung asam amino essensial

Kaya akan serat : 25-35 g/hari

Diberikan 6 kali/hari, interval 3 jam terdiri dari 3 kali makan utama dan 3

kali makan antara

Page 29: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Makanan utama pagi sebesar 20% kalori, makanan utama siang dan malam

masing-masing 25% kalori dan makanan antara masing-masing 10% kalori

Walaupun diet BM-B tinggi karbohidrat, tetapi tidak menunjukkan efek

samping hipertrigliseridademia karena pemberiannya terbagi menjadi 3 kali

makanan utama dan 3 kali makanan antara (snack).

b. Latihan Fisik

Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2,

selain dapat memperbaiki sensitivitas insulin, juga untuk menjaga kebugaran

tubuh. Beberapa penelitian membuktikan bahwa latihan fisik dapat

memasukkan glukosa kedalam sel tanpa membutuhkan insulin. Selain itu,

latihan fisik dapat menurunkan berat badan bagi penderita DM dengan obesitas

serta mencegah progresivitas gangguan toleransi glukosa menjadi DM tipe 2.

Hasil suatu penelitian dengan melakukan intervensi gaya hidup dengan

latihan fisik 150 menit/minggu dan diet untuk menurunkan berat badan sebesar

5-7% dapat menurunkan risiko progresivitas gangguan toleransi glukosa

menjadi DM tipe 2 sebesar 58%.

7.9. All about Diabetes Melitus (DM)

1) Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014). Sedangkan menurut

Schteingart (2014) DM didefinisikan sebagai gangguan metabolisme yang

secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa

hilangnya toleransi karbohidrat.

2) Klasifikasi DM

American Diabetes Association (2009 cit Purnamasari, 2014)

mengklasifikasikan DM seperti berikut :

Page 30: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Tabel 5. Klasifikasi DM (ADA, 2009)

1. Diabetes Melitus Tipe 1

(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)

a. Melalui proses imunologik

b. Idiopatik

2. Diabetes Melitus Tipe 2

(bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif sampai yang pedominan gangguan sekresi insulin bersama

resistensi insulin)

3. Diabetes Melitus Tipe lain

4. Diabetes Kehamilan (Gestasional)

2) Etiologi

Diabetes melitus dapat terjadi akibat dari defisiensi insulin, gangguan produksi

insulin atau "resistansi insulin” dimana sel tidak mampu untuk menggunakan

insulin dengan benar dan efisien sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hal ini

mempengaruhi metabolisme sel-sel otot dan jaringan lemak.

DM Tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan

gejala-gajala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan

imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang pekaa secara

genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu

yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap

sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang

dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis DM tipe 1 terjadi jika lebih dari

90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada DM dalam bentuk yang yang lebih berat,

sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua

kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Kejadian pemicu

yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik

dapat berupa infeksi virus coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain

(Schteingart, 2014).

Page 31: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

DM Tipe 2

DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada

awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.

Pada penderita DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Kelainan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor

pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat

ketidaknormalan reseptor insulin intrisik. Akibatnya terjadi penggabungan

abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.

Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya

timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan

tidak lagi memadai untuk mempertahankan ueglikemia. Karena obesitas

berkaitan dengan resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi

glukosa yang menyebabkan DM tipe 2. (Schteingart, 2014).

3) Patogenesis

DM Tipe 1

Pada saat DM tipe 2 muncul sebagian besar sel beta pankreas sudah rusak,

proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun. Adapun urutan

patogenesis adalah sebagai berikut :

Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini.

Kondisi lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan

kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme

pemicu, tetapi agen noninfeksi juga dapat terlibat.

Terjadi respons peradangan pankreas yang disebut insulitis, sel yang

menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T

teraktivasi.

Perubahan sel beta sehingga tidak lagi dikenali sebagai sel sendiri tetapi

dilihat oleh sistem imun sebagai “sel asing”.

Perkembangan respons imun, karena sel pulau dianggap sel asing

terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan

mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan

penampakan DM (Foster, 2014).

Page 32: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

DM Tipe 2

Patogenesis DM tipe 2 meliputi 2 kelainan yaitu gangguan sekresi insulin dan

gangguan aksi insulin.

Sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang dipacu oleh glukosa terdiri dari

2 fase . Fase pertama atau fase akut berlangsung cepat hanya 3-10 menit,

dan fase kedua berlangsung lambat dimana sekresi insulin terus

berlangsung selama masih ada pacuan glukosa. Sekresi insulin fase

pertama yang hanya sebentar berguna sebagai pancingan agar organ-organ

atau jaringan yang tergantung insulin dapat mempersiapkan diri terhadap

sekresi insulin fase kedua yang berlangsung lama. Pada DM tipe 2 sekresi

insulin fase pertama ini hilang, akibatnya jaringan yang tergantung insulin

tidak siap untuk menerima insulin fase kedua sehingga terjadi

hiperglikemia postprandial.

Gangguan aksi insulin atau resistensi insulin terutama terjadi pada reseptor

insulin yang terdapat pada membran sel. Akibatnya terjadilah

hiperinsulinemia. Pada awal DM tipe 2 terjadi peningkatan kadar insulin

dan kadar glukosa darah masih dapat terkendali dan DM belum muncul.

Jika sel beta pankreas yang terpacu terus mengalami kelelahan akhirnya

tidak mampu lagi mengeluarkan insulin yang cukup mengatasi resistensi

insulin, maka glukosa darah akan meningjat dan terjadilah DM tipe 2

(Wijono, 2004).

4) Patofisiologi

DM Tipe 1

Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel

beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Perusakan imunologik

langsung sel beta mungkin melibatkan mekanisme selular dan humoral.

Sejumlah sel muncul untuk membawa sel beta yang telah diserang oleh sel

pembunuh alami, limfosit T sitotoksik teraktivasi dan makrofag masing-masing

mempunyai bagian. Jalur akhir penghancuran sel yang lazim adalah karena

pelepasan sitokin seperti interleukin 1 (IL1) dan faktor nekrosis tumor alfa

Page 33: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

(TNFα) dan makrofag teraktivasi. Jadi pada saat DM tersembunyi muncul,

sebagian besar sel penghasil insulin sudah menghilang. Oleh karena itu,

glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun

tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah

makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa

tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh

pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis

osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa

haus (polidipsi) (Foster, 2014).

DM Tipe 2

Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan

reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan

reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di

dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan

reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk

menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi

insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat

peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa

terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar

glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.

Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan

insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2 (Wijono,

2014).

5) Manifestasi Klinis

Menurut Foster (2014) dan Schteingart (2014) manifestasi dan

gambaran klinis dari DM tipe 1 dan 2 adalah sebagi berikut :

Tabel 6. Manifestase dan gambaran klinis DM tipe 1 dan 2

Parameter DM tipe 1 DM tipe 2

Lokus genetik Kromosom 6 Tidak diketahui

Page 34: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Umur awitan

Awitan gejala

Bentuk tubuh

Insulin plasma

Glukosa plasma

Penyulit akut

Terapi insulin

Terapi sufonilurea

< 40 tahun

Polidipsia, poliuria,

turunnya berat badan,

polifagia, lemah, somnolen

Normal hingga kurus

Rendah hingga tidak ada

Tinggi, dpt ditekan

Ketoasidosis

Responsif

Tidak responsif

>40 tahun

Tidak memperlihatkan

gejala

Obesitas

Normal hingga tinggi

Tinggi, resisten

Koma hiperosmolar

Responsif hingga resisten

Responsif

6) Komplikasi

Menurut Wijono (2004), Foster (2014) dan Schteingart (2014)

komplikasi yang mungkin timbul adalah :

Tabel 7. Komplikasi yang mungkin timbul

DM tipe 1 DM tipe 2

1,

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

Ketoasidosis diabetik

Hipoglikemia

Retinopati diabetik (kerusakan retina)

Nefropati diabetik (kerusakan ginjal)

Neuropati diabetik (kerusakan saraf)

Ateroskeloris (PJK, Stroke)

Ulkus kaki diabetik

Katarak

Hipertensi

Dislipidemia

Hemoreologi darah

Homosistein

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

Koma hiperosmolar

Hiperglikemia

Koma nonketotik

Retinipati diabetik

Nefropati diabetik

Neuropati diabetik

Ateroskeloris

Ulkus kaki diabetik

Katarak

Hipertensi

Dislipidemia

Hemoreologi darah

Homosistein

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

Page 35: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

7) Diagnosis DM

Purnamasari (2014) menyatakan bahwa diagnostik DM dapat dilaksanakan

sebagaimana tercantum pada Gambar 3 berikut

Gambar 7. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu

8) Penatalaksanaan

Perkeni (2006), Tjokroprawiro & Murtiwi (2014), Foster (2014) dan

Schteingart (2014) menyatakan bahwa penatalaksanaan DM dapat dilakukan

dengan mengedepankan 4 pilar utama pengelolaan DM yaitu (1) Edukasi;

(2)Terapi gizi medis; (3) Latihan jasmani; dan (4)Intervensi farmakologis.

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai

dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila

setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran

metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan

obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin.

a. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

Page 36: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

telah terbentuk dengan mapan. Pengelolaan DM secara optimal

membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat dalam

merubah perilaku yang tidak sehat. Keberhasilan dalam mencapai

perubahan perilaku, membutuhkan edukasi yang komprehensif.

b. Terapi gizi medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang

lain dan pasien itu sendiri).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama

dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-

masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,

terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin

c. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani

selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali

glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan

berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan

jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM

dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau

bermalas-malasan.

Page 37: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

d. Intervensi farmakologis

1. Obat hipoglikemia oral (OHO)

Tabel 8. Obat hipoglikemia oral

2. Terapi insulin

Menurut FK UI (2012) insulin masih merupakan obat utama untuk DM

tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2. Suntikan insulin dapat dilakukan

dengan berbagai cara yaitu : (1) intravena; (2) intramuskuler; (3) subkutan,

yang umumnya lebih disukai pada penggunaan jangka panjang. Tujuan

pemberian insulin pada semua keadaan tersebut bukan saja untuk

menormalkan glukosa darah, tetapi juga untuk memperbaiki semua aspek

metabolisme. Insulin umumnya disuntikan IV atau IM 30-45 menit

sebelum makan, dimana setelah pemberian insulin glukosa darah akan

cepat menurun mencapai nadir dalam waktu 20-30 menit.

Insulin subkutan terutama diberikan kepada :

Page 38: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel

beta pada kalenjar pankreas tidak ada ataupun hampir tidak ada.

DM tipe 2 mungkin membutuhkan insulin eksogen apabila terapi jenis

lain seperti diet dan atau antidiabetik oral tidak dapat mengendalikan

kadar glukosa darah.

Pasien DM pascapankreatektomi

DM dengan kehamil, bila pengaturan makan saja tidak dapat

mengendalikan kadar glukosa darah.

DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis atau komplikasi lain

Sebelum tindakan operasi pada pasien DM tipe 1 dan 2

Dosis insulin

Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan unit (U), dimana

hampir semua preparat komersial insulin dipasarkan dalam bentuk

solusia atau suspensi dengan kadar 100 U/ml atau sekitar 3,6 mg

insulin/ml

Pasien DM tipe 1 rata-rata dosis yang dibutuhkan berkisar 0,6-0,7 U/Kg

berat badan per hari

Pasien DM tipe 1 yang obesitas membutuhkan dosis 2 U/Kg berat

badan per hari karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin

Kebutuhan insulin pasien DM umumnya berkisar antara 5-150 U/hari

tergantung dari keadaan pasien.

Page 39: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Gambar 8. Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik

Tabel 9. Kriteria pengelolaan DM

Page 40: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

9) Prognosis

Harapan hidup orang yang terkena diabetes pada usia 40 tahun, 5-10

tahun kurang dari rata-rata populasi.

Serangan jantung adalah komplikasi paling bahaya yang sering menjadi

pembunuh pasien diabetes.

Dengan kontrol gula yang teratur dan menjaga gaya hidup serta

menjaga kadar lemak dalam darah secara ketat dapat meningkatkan

harapan hidup lebih tinggi.

7.10. Penatalaksanaan Ketoasik Diabetik dan Hiper Osmotik Ketoasik

1) Ketoasidosis diabetik

Menurut Tarigan (2014) kesuksesan pengelolaan ketoasidosis diabetik

(KAD) membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemia, gangguan

elektrolit, komordibitas, dan monitoring selama perawatan. Karena

spektrumklinis sangat beragam, maka tidak semua kasus KAD harus dirawat di

ICU, hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan monitor

yang intensif, maka sebaiknya minimal perawatan adalah di ruangan yang bisa

dilakukan monitor intensif (high care unit). Adapun penatalaksanaan

selengkapnya adalah sebagai berikut :

Terapi cairan, secara umum pemberian cairan adalah langkah awal

penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan

ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravaskular, interstisial dan

restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal

kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-

20 ml/kgBB/jam pertama atau 1-1,5 liter pada jam pertama. Tindak lanjut

cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,

status hidrasi, elektrolit dan produksi urin. Penggantian cairan dapat

dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian sangat mempengaruhi

pencaian target gula darah, hilangnya benda keton dan perbaikan asidosis.

Insulin, merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin

secara intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan

mudah dititrasi. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah

Page 41: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-

100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun sekitar 200 mg/dl , lalu

kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02 – 0,05 unit/kgBB/jam. Jika

glukosa sudah berada disekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus

dekokta dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.

Kalium, pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme

asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium

pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium

yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat

karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Untuk

mencegah hipokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai manakala

kadar kalium di sekitar batas atas normal.

Bikarbonat, jika asidosis murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat

tidak direkomendasikan,diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari

6,9. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah

meningkatnya risiko hipokalemia, menurunya asupan oksigen jaringan,

edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.

Fosfat, meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering

ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat

akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan

manfaat pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang

berlebih akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada kondisi serum fosfat

< 1 mg/dl dan disertai disfungsi kardiak, anemia atau depresi nafas akibat

kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.

Transisi ke insulin subtkutan,

Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberin insulin intravena

dosis rendah, maka selanjutnya memastikan bahwa KAD sudah memasuki

fase resolusi dengan kriteria gula darah < 200 mg/dl dan 2 dari kondisi

berikut : serum bikarbonat ≥ 15 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap ≤ 12

mEq/l. Agar tidak terjadi hiperglikemi atau KAD berulang maka sebaiknya

penghentian intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama.

Asupan nutrisi merupakan pertimbsngsn penting saat transisi ke subkutan,

Page 42: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat

kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan.

Gambar 9. Penatalaksanaan KAD pada orang dewasa

2) Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik

Menurut Soewondo (2014) penatalaksanaan Koma Hipersmolar

Hiperglikemik Nonketotik (KHH) serupa dengan KAD, hanya cairan yang

diberikan adalah cairan hipotonis (0,5 N, 2A). Penatalaksanaan KHH

meliputi pendekatan : (1) rehidrasi intravena agresif; (2) panggantian

elektrolit; (3) pemberian insulin intravena; (4) diagnosis dan manajemen

faktor pencetus dan penyakit penyerta: (5) pencegahan.

Cairan, langkah petama dan terpenting dalam penatalaksanaan KHH

adalah penggantian cairan agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan

mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100-200 ml/kg atau

total rata-rata 9 liter). Pada awal terapi, konsentrasi glkosa darah akan

menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi

indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Juka

konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg/dl/jam,

Page 43: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan kurang atau ada

gangguan ginjal.

Insulin, sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara

intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB/jam sampai konsentrasi

glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl. Jika glukosa darah tidak turun

50-70- mg/dl/jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika gluksa

darah sudah mencapai < 300 mg/dl, sebaiknya diberikan dekstrosa secra

intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya

kesadaran dan kondisi hiperosmolar.

Gambar 10. Penatalaksanaan KHHN pada orang dewasa

Page 44: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2014) Cheking Your Blood Glucose. Diabetes Forecast Magazine, July Edition.

Darwis, Y.W. (2005). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium untuk penyakit DM. Jakarta : Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Depkes RI.

Davis, S.N. & Granner, D.K. (2014). Insulin, Senyawa Hipoglikemia Oral dan Farmokologi Endokrin Pankreas. In. Hardman, J.G. and Limbird, L.E. (Eds.). Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi. Volume 4. Edisi 10. (pp. 1648-1682). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Departemen Mikrobiologi. (2010). Collection,Transport and Examination of specimen. Medan : FK Universitas Sumatera Utara.

Eroschenko, V,P. (2012). Atlas Histologi Difiore. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas Indonesia.

Fortress, (2000). Fortress Diagnostic Haemoglobin A1C Micro Column. United Kingdom : Fortress Diagnostic Limited.

Foster, D.W. (2014). Diabetes Melitus. In. Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S.,. & Kasper, D.L. (Eds.). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Singapore : Elsevier Pte. Ltd.

Harefa, E. (2011). HbA1c Standardization and Recent Updates. Makassar : Prodia Laboratories.

Kee, J.L. (2003). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Paulsen, F. & Wasschke, J. (2014). Sabotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Edisi 23. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Perkeni. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Endokrinologi Indonesia.

Purnamasari, D.. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Militus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. &

Page 45: Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru

Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2323-2327). Jakarta : Interna Publishing.

Schteingart, D.E. (20140. Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In. Price, S.A. & Wilson, L.M. (Eds.). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Poses Penyakit Volume 2. Edisi 6. (pp. 1259-1274). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia, Dari Sel ke Sistem. Edisi 6 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sitepoe, M. (1999). Kolesterol Fobia : Keterkaitannya dengan penyakit jantung. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soewondo, P. (2004). Pemantauan Pengendalian DM. Jakarta : FKUniversitas Indonesia

Soewondo, P. (2014). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2381-2385). Jakarta : Interna Publishing.

Tarigan, T.J.E. (2014). Ketoasidosis Diabetik. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2375-2380). Jakarta : Interna Publishing.

Tjay, T.H. & Rahardja, K. (2010). Obat Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Tjokroprawiro & Murtiwi. (2014). Terapi Nonfarmakologi pada Diabetes Melitus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2336-2346). Jakarta : Interna Publishing.

Widijanti, A. & Ratulangi, B.T. (2011). Jenis Pemeriksaan yang Harus Dilakukan Penderita Diabetes. Malang : Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Universitas Brawijaya.

Wijono, P. (2004). Pencegahan DM Tipe 2 sebagai Usaha Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Yogyakarta : FK Universitas Gajah Mada.