Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru
-
Upload
dewandaru-i-a-b -
Category
Documents
-
view
295 -
download
8
description
Transcript of Step 7 Sken 3 Blok 6 Oke Daru
BAB V
OBYEK PEMBELAJARAN
1. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi pankreas?
2. Fisiologi dan regulasi hormon insulin, serta efek insulin pada
metabolisme karbohidrat, lemak dan peotein?
3. All about dari komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati!
4. All about komplikasi akut (kegawat daruratan) (ketoasik diabetik,
asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik)!
5. Obat hipoglikemia oral!
6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulun!
7. Kriteria diagnosis menurut ADA dan PERKENI?
8. HbA1c dan penatalaksanaan DM non farmakologi?
9. All about DM!
10. Bagaimana penatalaksanaan mikroangiopati dan makroangiopati serta
ketoasik diabetik, asidosis metabolik, hiper osmotik ketoasik ?
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
7.1. Anatomi, histologi dan pankreas
1) Anatomi pankreas
Pankreas berasal dari bahasa Yunani yang berarti “seluruhnya daging”.
Menurut Sherwood (2014) pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang
terletak di belakang dan di bawah lambung, diatas lengkung pertama
duodenum (Gambar 1.). Selanjutnya Pearce (2009) menjelaskan bahwa
pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang sekitar 12,5
cm dan tebal sekitar 2,5 cm, dimana pankreas terbentang dari atas sampai ke
lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke
duodenum. Adapun Eroschenko (2012) menyatakan bahwa pankreas adalah
organ lunak memanjang yang terletak di belakang lambung, caput pancreatis
terletak di lengkung duodenum dan cauda pancreatis meluas dari rongga
abdomen ke limpa.
Menurut Paulsen & Waschke (2014) pankreas terdiri dari 4 bagian yaitu
: (1) Caput pancreatis; (2) Colum pancreatis; (3) Corpus pancreatis; dan (4)
Cauda pancreatis
Gambar 1. Anatomi pankreas
2) Histologi pankreas
Eroschenko (2012) dan Sherwood (2014) menyatakan bahwa kelenjar
campuran ini mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin
yang predominan terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip anggur
yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan
dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Adapun bagian endokrin
yang lebih kecil terdiri dari pulau-pulau jaringan endokrin yang terisolir
disebut pulau-pulau Langerhans (insula pancreatica) yang tersebar diseluruh
pankreas.
Gambar 2. Histologi pankreas eksokrin dan endokrin
3) Fisiologi pankreas
Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari 2
komponen : (1) enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus
(asini) yang membentuk asinus; dan (2) larutan cair basa yang secara aktif
disekresikan oleh sel duktus yang melapisi duktus pankreatikus. Sel-sel asinus
mengeluarkan 3 jenis enzim pankreas yang mampu mencerna ke-3 kategori
makanan : (1) enzim proteolitik untuk pencernaan protein, (2) amilase pankreas
untuk pencernaan karbohidrat; dan (3) lipase pankreas untuk mencerna lemak
(Eroschenko, 2012; Sherwood, 2014).
Guyton & Hall (2014) menjelaskan bahwa enzim proteolitik terpenting
untuk mencerna protein adalah tripsin dan kimotripsin, dimana enzim ini
memecah seluruh dan sebagian protein yang dicerna menjadi peptida berbagai
ukuran tetapi tidak menyebabkan pelepasan asam-asam amino, sehingga
menyelesaikan pencernaan beberapa protein menjadi bentuk asam amino.
Enzim amilase pankreas mencerna karbohidrat dengan menghidrolisis pati,
glikogen dan sebagian besar karbohidrat lain (kecuali selulosa) untuk
membentuk sebagian besar disakarida dan trisakarida. Adapun enzim utama
pencerna lemak adalah : (1) lipase pankreas, yang mampu menghidrolisis
lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida; (2) kolesterol esterase,
yang menghidrolisis ester kolesterol; dan (3) fosfolipase, yang memecah asam
lemak dari fosfolipid.
Sel endokrin pankreas terbanyak adalah sel β tempat sintesis dan
sekresi insulin dan sel α yang menghasilkan glukagon, serta sel D yang lebih
jarang yang menghasilkan somatostatin, juga sel PP yang paling jarang
mengeluarkan polipeptida pankreas (Sherwood, 2014).
7.2. Fisiologi dan regulasi insulin serta efeknya terhadap metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein
1) Fisiologi dan regulasi insulin
Menurut Sherwood (2014) dalam keadaan normal, bila ada rangsangan
pada sel β, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis,
regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon glukagon
yang disekresikan oleh sel α kelenjar pankreas.
Pengontrol utama sekresi insulin adalah sistem umpan balik negatif
langsung antara sel β pankreas dan konsentarsi glukosa dalam darah.
Peningkatan kadar glukosa darah, seperti selama penyerapan makanan, secara
langsung merangsang sel β untuk membentuk dan mengeluarkan insulin.
Peningkatan insulin menurunkan kadar glukosa darah ke normal dan
mendorong pemakaian serta penyimpanan nutrien ini. Sebaliknya penurunan
glukosa darah di bawah normal, misalnya sewaktu puasa, secara langsung
menghambat sekresi insulin. Penurunan laju sekresi insulin menggeser
metabolisme dari pola absorptif ke pasca absorptif. Karena itu, sistem umpan
balik negatif sederhana sudah dapat mempertahankan pasokan glukosa yang
relatif konstan ke jaringan tanpa memerlukan partisipasi saraf atau hormon
lain.
Selain konsentrasi glukosa darah, masukan lain yang mengatur sekresi
insulin adalah sebagai berikut (Gambar 1.) :
Peningkatan kadar asam amino darah, misalnya setelah makan
makanan tinggi protein, secara langsung merangsang sel β untuk
meningkatkan sekresi insulin. Melalui mekanisme umpan balik
negatif, peningkatan insulin meningkatkan masuknya asam-asam
amino ke dalam sel sehingga kadar asam amino darah berkurang
sementara sintesis protein meningkat.
Hormon saluran cerna yang dikeluarkan sebagai respons terhadap
adanya makanan, khususnya glucose-dependent insulinotropic peptide
(GIP), merangsang pankreas mengeluarkan insulin selain memiliki
efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan. Melalui kontrol ini,
sekresi insulin ditingkatkan melalui mekanisme “umpan”, atau
antisipatorik, bahkan sebelum penyerapan nutrien meningkatkan
konsentrasi glukosa dan asam amino darah.
Sistem saraf otonom juga secara langsung mempengaruhi sekresi
insulin. Pulau-pulau Langerhans memiliki banyak persarafan
parasimpatis dan simpatis. Peningkatan aktifitas parasimpatis yang
terjadi sebagai respons terhadap makanan di saluran cerna merangsang
pengeluaran insulin. Hal ini juga merupakan respons feedforward
sebagai antisipasi penyerapan nutrien. Sebaliknya, stimulai simpatis
dan peningkatan epinefrin yang menyertainya menghambat sekresi
insulin. Penurunan kadar insulin memungkinkan kadar glukosa naik,
suatu respon yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang biasanya
menyebabkan pengaktifan simpatis generalisata yaitu stres (lawan atau
lari) dan olahraga. Pada kedua situasi ini diperlukan bahan bakar
tambahan untuk aktivitas otot yang meningkat.
Gambar 3. Faktor pengontrol sekresi insulin
2) Efek insulin pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
Menurut Sherwood (2014) efek insulin tersebut adalah sebagai berikut :
Efek pada karbohidrat
Insulin memiliki 4 efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong
penyimpanan karbohidrat :
Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.
Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di
otot rangka dan hati.
Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian tersebut maka insulin cenderung
menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran
glukosa oleh hati.
Insulin menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat
glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin
melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino daam darah yang
tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-
enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi
glukosa.
Efek pada lemak
Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan
mendorong penyimpanan trigliserida :
Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke sel jaringan
lemak.
Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak
melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa berfunhgsi sebagai prekursor
untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk
membentuk trigliserida.
Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan
turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.
Insulin menghambat lipopisis (penguraian lemak), mengurangi
pembebasan asam lemak dari jaringan lemak ke dalam darah.
Secara kolektif efek-efek ini cenderung mengeluarkan asam lemak dan
glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan keduanya sebagai
trigliserida.
Efek pada protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis
protein melalui beberapa efek :
Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot
dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah
dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.
Insulinmeningkatkan laju inkorporasi asamamino menjadi protein oleh
perangkat pembentuk protein yang ada di sel.
Insulin menghambat penguraian protein.
7.3. Komplikasi kronis mikroangiopati dan makroangiopati
Menurut Wijono (2004) Foster (2014) Schteingart (2014) komplikasi kronis
mikroangiopati dan makroangiopati merupakan komplikasi vaskular jangka
panjang dari DM, dimana yang melibatkan pembuluh-pembuluh kecil disebut
mikroangiopati dan yang melibatkan pembuluh sedang dan besar disebut
makroangiopati.
1) Mikroangiopati
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler
dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik)
dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang
dari sudut histokimia, lesip-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan
glikoprotein.
2) Makroangiopati
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa
ateroskerosis, dimana gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufiensi insulin ini dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular.
Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular; (2) hiperlipoproteinemia; dan (3) kelainan pembekuan darah.
Pada akhirnya makroangipati diabetik ini dapat mengakibatkan
penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat
mengakibatkan insufiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten
dan gangren pada ekstremitas serta insufiensi serebral dan stroke. Jika yang
terkena adalah arteia koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina
dan infark miokardium.
Makroangiopati diabetik ini dapat menyebabkan aterosklerosis, dimana
aterosklerosis.yang terjadi pada pembuluh darah yang menuju jantung (arteri
koroner) merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler khususnya Ischaemic
Heart Disease (penyakit jantung koroner/PJK), dan jika aterosklerosis terjadi
pada pembuluh darah yang menuju otak maka dapat mengakibatkan terjadinya
stroke (Sitepoe, 1999). Caplan & Gijn (2012) menyatakan bahwa stroke adalah
penyakit gangguan fungsional otak berupa kematian sel-sel saraf neorologik
akibat gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak, dimana pada
serangan stroke yang berat dapat menyebabkan kelumpuhan total maupun
sebelah.
7.4. All about Ketoasidosis Diabetik dan Hiper Osmotik Ketoasik
1) Ketoasidosis Diabetik
Menurut Tarigan (2014) ketoasidosis diabetik (KAD) adalah sebagai berikut :
a. Definisi
KAD adalah fenomena unik pada seseorang pengidap DM akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator
yang mengakibatkan lipolisis berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-
benda keton dengan segala konsekuensinya. KAD perlu dikenali dan dikelola
segera karena jika terlambat maka akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas dengan perawatan yang mahal.
b. Pencetus
Pencetus tersering terjadinya KAD adalah infeksi. Pencetus lain diantaranya
adalah menghentikan atau mengurangi insulin, infark miokard, stroke akut,
pankreatis, dan obat-obatan. Awitan baru atau penghentian pemakaian insulin
seringkali menjadi sebab DM tipe 1 jatuh pada kondisi KAD. Pada
beberapapasien yang dianggap DM tipe 2, kadang-kadang tidak ditemukan
pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek
kondisinya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali.
c. Patogenesis
Gambar 4. Patogenesis KAD
d. Patofisiologi
Gambar 5. Patofisiologi KAD
e. Manifestasi klinis
Poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah, nyeri perut
Pada keadaan berat dapat ditemukan penurunan kesadaran sampai koma
Dehidrasi, nafas kussmaul, takikardi, hipotensi dan syok.
Flushing, penurunan berat badan
Trias biokimiawi KAD berupa hiperglikemia, ketonemia dan atau
ketonuria serta asidosis metabolik dengan berbagai derajat
f. Kriteria diagnosis KAD
Adanya peningkatan benda keton di sirkulasi
Glukosa darah >250 mg/dl
pH darah < 7,35
Angka HCO3 < 18 mEq/liter
g. Penatalaksanaan
Terapi cairan, secara umum pemberian cairan adalah langkah awal
penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan
ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravaskular, interstisial dan
restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal
kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-
20 ml/kgBB/jam pertama atau 1-1,5 liter pada jam pertama. Tindak lanjut
cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,
status hidrasi, elektrolit dan produksi urin. Penggantian cairan dapat
dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian sangat mempengaruhi
pencaian target gula darah, hilangnya benda keton dan perbaikan asidosis.
Insulin, merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin
secara intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan
mudah dititrasi. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah
diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-
100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun sekitar 200 mg/dl , lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02 – 0,05 unit/kgBB/jam. Jika
glukosa sudah berada disekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus
dekokta dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.
Kalium, pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme
asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium
pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium
yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat
karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Untuk
mencegah hipokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai manakala
kadar kalium di sekitar batas atas normal.
Bikarbonat, jika asidosis murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat
tidak direkomendasikan,diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari
6,9. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah
meningkatnya risiko hipokalemia, menurunya asupan oksigen jaringan,
edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.
Fosfat, meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering
ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat
akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan
manfaat pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang
berlebih akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada kondisi serum fosfat
< 1 mg/dl dan disertai disfungsi kardiak, anemia atau depresi nafas akibat
kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.
Transisi ke insulin subtkutan,
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberin insulin intravena
dosis rendah, maka selanjutnya memastikan bahwa KAD sudah memasuki
fase resolusi dengan kriteria gula darah < 200 mg/dl dan 2 dari kondisi
berikut : serum bikarbonat ≥ 15 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap ≤ 12
mEq/l. Agar tidak terjadi hiperglikemi atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama.
Asupan nutrisi merupakan pertimbsngsn penting saat transisi ke subkutan,
jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat
kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan.
2) Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik (KHHN)
Menurut Soewondo (2014) koma hiperosmolar hiperglikemik
nonketotik adalah sebagai berikut :
a. Definisi
Suatu sindrom yang ditandai oleh hiperglikemia berat, hiperosmolar
tanpa disertai adanya ketosis, dengan gejala klinis utama dehidrasi berat,
hiperglikemia beratdgangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
b. Faktor pencetus
Sindrom ini biasa terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai
penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor
pencetus dapat dibagi menjadi 6 kategori : (1) infeksi; (2) pengobatan; (3)
noncompliance; (4) DM tidak terdiagnosis; (5) penyalahgunaan obat; (6)
penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%), compliance
yang buruk terhadap pengobatan DM sering juga menyebabkan kondisi ini
(21%).
c. Patofisiologi
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hipergklikemia yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of
Awareness). Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik
sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel keruang ekstrasel.
Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan
hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.
d. Gejala klinis
Poliuri, polidipsi, penurunan BB, kelemahan, penurunan kesadaran
Dehidrasiberat, Hipotensi, Syok
Bisa disertai gejala neurologis, kejang.
Takikardi
Tanpa hiperventilasi, kussmaul (-)
Tanpa bau aseton
Kulit kering
Sianosis minimal
e. Pemeriksaan laboratorium
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan KHHN adalah :
Konsentrasi gula darah yang sangat tinggi > 600 mg/dl
Osmolaritas serum yang tinggi > 350 mOsm/kg air
pH > 7,30
Disertai ketonemia ringan
Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap
yang ringan (10-12).
Muntah
Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal
Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN) dan hematokrit
hampir selalu meningkat
HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam
elektrolit
f. Penatalaksanaan
Cairan, langkah petama dan terpenting dalam penatalaksanaan KHH
adalah penggantian cairan agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100-200 ml/kg
atau total rata-rata 9 liter). Pada awal terapi, konsentrasi glkosa darah
akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat
menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang
diberikan. Juka konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar
75-100 mg/dl/jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan
kurang atau ada gangguan ginjal.
Insulin, sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB/jam sampai konsentrasi
glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl. Jika glukosa darah tidak turun
50-70- mg/dl/jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika gluksa
darah sudah mencapai < 300 mg/dl, sebaiknya diberikan dekstrosa secra
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan kondisi hiperosmolar.
7.5. Obat hipoglikemia oral
Menurut Tjay & Rahardja (2010) dan FK UI (2010) obat hipoglikemik
oral (OHO) merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang
diresepkan oleh dokter khusus bagi penderita DM. OHO bukanlah hormon
insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui beberapa cara untuk
menurunkan kadar glukosa darah. Obat-obatan ini dapat membantu
penyandang DM untuk menggunakan insulinnya sendiri dengan lebih baik dan
menurunkan pelepasan glukosa oleh hati. Terdapat beberapa macam OHO
untuk mengendalikan glukosa darah penyandang diabetes.
Berdasarkan cara kerja, OHO dibagai menjadi 3 golongan :
A. Memicu produksi insulin
1) Sulfonilurea, Obat ini telah digunakan dalam menangani hipoglikemia pada
penyandang diabetes melitus tipe 2 selama lebih dari 40 tahun. Mekanisme
kerja obat ini cukup rumit. Ia bekerja terutama pada sel beta pankreas untuk
meningkatkan produksi insulin sebelum maupun setelah makan. Sel beta
pankreas merupakan sel yang memproduksi insulin dalam tubuh.
Sulfonilurea sering digunakan pada penyandang diabetes yang tidak gemuk
di mana kerusakan utama diduga adalah terganggunya produksi insulin.
Penyandang yang tepat untuk diberikan obat ini adalah penyandang diabetes
melitus tipe 2 yang mengalami kekurangan insulin tapi masih memiliki sel
beta yang dapat berfungsi dengan baik. Penyandang yang biasanya
menunjukkan respon yang baik dengan obat golongan sulfoniurea adalah
usia saat diketahui menyandang diabetes melitus lebih dari 30 tahun,
menyandang diabetes diabetes melitus lebih dari 5 tahun, berat badan
normal atau gemuk, gagal dengan pengobatan melalui pengaturan gaya
hidup, perubahan pengobatan dengan insulin dengan dosis yang relatif kecil.
2) Golongan Glinid, Meglitinide merupakan bagaian dari kelompok yan
gmeningkatkan produksi insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu ia
membutuhkan sel beta yang masih berfungsi baik. Repaglinid dan
Nateglinid termasuk dalam kelompok ini, mempunyai efek kerja cepat,
lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah
setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat segera setelah dimakan,
mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 1 jam.
B. Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin)
1) Biguanid, Metformin adalah satu-satunya biguanid yang tersedia saat ini.
Metformin berguna untuk penyandang diabetes gemuk yang mengalami
penurunan kerja insulin. Alasan penggunaan metformin pada penyandang
diabetes gemuk adalah karena obat ini menurunkan nafsu makan dan
menyebabkan penurunan berat badan. Sebanyak 25% dari penyandang
diabetes yang diberikan metformin dapat mengalami efek samping pada
saluran pencernaan, yaitu rasa tak nyaman di perut, diare dan rasa seperti
logam di lidah. Pemberian obat ini bersama makanan dan dimulai dengan
dosis terkecil dan meningkatkannya secar perlahan dapat meminimalkan
kemungkinan timbulnya efek samping. Obat ini tidak seharusnya diberikan
pada penyandang dengan gagal ginjal, hati, jantung dan pernafasan.
Metformin dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi.
Obat-obatan oral mungkin gagal untuk mengontrol gula darah setelah
beberapa saat sebelumnya berhasil (kegagalan sekunder) akibat kurangnya
kepatuhan penyandang atau fungsi sel beta yang memburuk dan / atau
terjadinya gangguan kerja insulin (resistansi insulin). Pada kasus-kasus ini,
terapi kombinasi metformin dengan sulfonilurea atau penambahan
penghamba-glucosidase biasanya dapat dicoba. Kebanyakan penyandang
pada akhirnya membutuhkan insulin.
2) Tiazolidinedion, Saat ini terdapat 2 tiazolinedion di Indonesia yaitu
rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini memperbaiki kadar
glukosa darah dan menurunkan hiperinsulinaemia (tingginya kadar
insulin) dengan meningkatkan kerja insulin (menurunkan resistensi
insulin) pada penyandang DM tipe 2. Obat golongan ini juga menurunkan
kadar trigliserida da asam lemak bebas. Rosiglitazone (Avandia), dapat
pula digunakan kombinasi dengan metformin pada penyandang yang gagal
mencapai target kontrol glukosa darah dengan pengaturan makan dan
olahraga. Pioglitazone (Actos), juga diberikan untuk meningkatkan kerja
(sensitivitas) insulin. Efek samping dari obat golongan ini dapat berupa
bengkak di daerah perifer (misalnya kaki), yang disebabkan oleh
peningkatkan volume cairan dalam tubuh. Oleh karena itu maka obat
goolongan ini tidak boleh diberikan pada penyandang dengan gagal
jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat ini pemeriksaan fungsi hati
secara berkala harus dilakukan.
C. Penghambat enzim alfa glukosidase
Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti akarbose, menghambat
penyerapan karbohidrat dengan menghambat enzim disakarida di usus (enzim
ini bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat ini terutama
menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Efek sampingnya yaitu
kembung, buang angin dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus
dikonsumsi bersama dengan makanan.
Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada penyandang diabetes
melitus tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL
(11.1 mmol/l) dan kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak
mengakibatkan hipoglikemia, dan boleh diberikan baik pada penyandang
diabetes gemuk maupun tidak, serta dapat diberikan bersama dengan
sulfonilurea, metformin atau insulin.
Dosis pemberian OHO
Setelah obat tertentu dipilih untuk penyandang diabetes, biasanya
pemberian obat dimulai dari dosis terendah. Dosis kemudian dinaikkan secara
bertahap setiap 1-2 minggu, hingga mencapai kadar glukosa darah yang
memuaskan atau dosis hampir maksimal. Jika dosis hampir maksimal namun
tidak menghasilkan kontrol kadar glukosa darah yang memadai, maka
dipertimbangkan untuk diberikan obat kombinasi atau insulin. Tidak ada
keuntungan menggunakan dua OHO dari golongan yang sama secara
bersamaan.
Tabel 1. Dosis Obat Hipoglikemik Oral (Perkeni, 2006).
7.6. Farmakokinetik dan farmakodinamik insulin
Tjay & Rahardja (2010) serta Davis & Granner (2014) menyatakan bahwa
farmakokinetik dan farmakodinamik insulin adalah sebagai berikut :
1) Farmakokinetik
Insulin tidak dapat dipergunakan per-oral karena terurai oleh pepsin
lambung, maka insulin selalu diberikan sebagai in jeksi sub kutan 0,5 jam
sebelum makan. Absorpsi insulin dipengaruhi oleh beberapa hal, dimana
absorpsi paling cepat terjadi pada daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan,
paha bagian atas, dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuscular dalam
maka absorpsi akan terjadi lebih cepat dan masa kerja lebih singkat. Kegiatan
jasmani yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat onset
kerja dan juga mempersingkat masa kerja. Waktu paruh insulin pada orang
normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada penderita diabetes yang
membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin dimetabolisme dan dirombak
terutama di hati, ginjal dan otot, selanjutnya dikeluarkan melalui urin.
Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam
darah.
Tabel 2. Farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja
Hati dan ginjal adalah organ yang membersihkan insulin dari sirkulasi.
Hati membersihkan darah kira-kira 60% dari insulin dan ginjal membersihkan
35-40%. Namun, pada pasien diabetes yang mendapatkan pengobatan insulin,
rasio tersebut menjadi terbalik, sebanyak 60% insulin eksogen yang
dibersihkan oleh ginjal dan hati membersihkan tidak lebih dari 30-40%.
2) Farmakodinamik
Insulin mempunyai efek penting yang memudahkan gerak glukosa
menembus membran sel. Insulin membantu meningkatkan penyimpanan lemak
dan glukosa ke dalam sel-sel sasaran, mempengaruhi pertumbuhan sel serta
fungsi metabolisme berbagai macam jaringan. Insulin bekerja pada hidrat
arang, lemak serta protein, dan kerja insulin ini pada dasarnya bertujuan untuk
mengubah arah lintasan metabolik sehingga gula, lemak dan asam amino dapat
tersimpan dan tidak terbakar habis.
Insulin menurunkan kadar gula darah dengan mempercepat pemakaian
glukosa oleh sel-sel tubuh. Insulin juga menyimpan glukosa sebagai glikogen
di dalam otot. Awitan kerja insulin regular yang diberikan secara subkutan
adalah ½ sampai 1 jam dan bila diberikan secara intravena, 10-30 menit.
Awitan kerja NPH (neutral protamine Hagedorn) adalah 1-2 jam. Puncak kerja
insulin adalah sangat penting karena kemungkinan terjadinya rekasi
hipoglikemik (syok insulin) selama periode tersebut. Kadar maksimum untuk
insulin regular dicapai dalam 2-4 jam dan 6-12 jam untuk insulin NPH.
7.7. Kriteria diagnosis DM menurut ADA dan PERKENI
1) Kriteria dianosis DM menurut ADA
Kriteria penegakan diagnosis DM menurut American Diabetes
Association (2014) adalah sebagai berikut :
Gambar 6. Kriteria dianosis DM menurut ADA
Dikatakan diabetes jika nilai :
HbA1C (A1C) ≥ 6,5%
Gula darah puasa (FPG) ≥ 126 mg/dl
Tes toleransi glukosa oral (OGTT) ≥ 200 mg/dl
Dikatakan prediabetes jika nilai :
HbA1C (A1C) ≥ 5,7% - <6,5
Gula darah puasa (FPG) ≥ 100 mg/dl - < 126 mg/dl
Tes toleransi glukosa oral (OGTT) ≥ 140 mg/dl - < 200 mg/dl
Dikatakan normal jika nilai :
HbA1C (A1C) < 5,7%
Gula darah puasa (FPG) < 100 mg/dl
Tes toleransi glukosa oral (OGTT) < 140 mg/dl
2) Kriteria dianosis DM menurut PERKENI
Perkeni (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) (2006) membagi alur
diagnosis DM menjadi 2 bagian berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM
yaitu : (1) Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas; (2) Gejala tidak khas DM diantaranya
adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi (pria) dan pruritis pulva (wanita).
Apabila ditemukan gejala khas DM, maka :
Pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS) 1 kali saja sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis
Apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka :
Diperlukan 2 kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (GDP atau GDS
dan TTGO).
Kriteria diagnosis DM dari PERKENI adalah seperti pada Tabel 2 berikut :
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu (GDS) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. AtauGejala klasik DM + glukosa plasma puasa (GDP) > 126 mg/dl (7,0mmol/l)Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalorim tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air
Sumber : Purnamasari (2014)
Keterangan : Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan
TTGO :
< 140 mg/dl = normal
140-< 200 mg/dl = toleransi glukosa terganggu
> 200 mg/dl = DM
7.8. All about HbA1c dan Terapi nonfarmakologi pada DM
1) HbA1c
a. Definisi
HbA1c merupakan kombinasi glukosa dan hemoglobin dewasa (HbA).
Hemoglobin terdiri dari 4 rantai polipeptida (globin), masing-masing
mengandung satu gugus heme. Hemoglobin utama yang ditemukan pada orang
dewasa normal adalah HbA. HbA2 dan HbF berada dalam jumlah kecil
(Fortress, 2000; Harefa, 2011).
b. Biokimiawi dan Metabolisme
Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA1, HbA2,Hbf (fetus)
Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin
total. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupaka bagian dari
hemoglobin A. proses pengikatan ini disebut Glikolisasi atau hemoglobin
terglikolisasi atau hemoglobin A. Dalam proses ini terdapat ikatan antara
glukosa dan hemoglobin. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin
meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama
120 hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama
120 hari terakhir, maka hasil hemoglobin A10 akan menunjukan nilai normal.
Hasil pemeriksaan hemoglobin A10 merupakan pemeriksaan tunggal
yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna
pada semua tipe penyandang DM. pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien
yang membutuhkan kendali glikemik (Soewondo, 2004)
Pembentukan HbA10 terjadi dengan lambat yaitu selama 12o hari yang
merupakan rentang hidup sel darah merah. HbA10 dalam bentuk 70%
terglikolisasi (mengarbsorbsi Glukosa). Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi
tergantung pada jumlah glukosa yang tersedia. Jika kadar glukosa darah
meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan
glukosa menghhasilkan glikohemoglobin (Kee, 2003)
Kadar HbA10 merupakan control glukosa jangka panjang,
menggambarakan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, Karen paruh waktu
eritrosit 120 hari . Karena mencermikan keadaan glikemik selama 2-3 bulan
maka pemmeriksaan HbA10 dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan (Darwis,
2005).
Peningkatan kadar HbA10> 8% mengindikasikan DM yang tidk
terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang
seperti nefropati, retiopati, atau kardiopati, penurunan 1 % dari HbA10 akan
menurunkan komplikasi sebesar 35% (Soewondo, 2004)
Pemeriksaan HbA10 dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada
pasien DM pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada
tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan terhadap
keberhasilan pegndalian (Kee, 2003)
c. Prinsip pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan HbA1c adalah mengukur persentasi hemoglobin
sel darah merah yang diselubungi oleh gula. Semakin tinggi nilainya berarti
kontrol gula darah buruk dan kemungkinan komplikasi semakin tinggi. Pada
orang yang tidak menderita diabetes, kadar HbA1c berkisar antara 4,5 sampai
6%. Jika kadarnya 6,5% atau lebih pada dua pemeriksaan terpisah, maka
kemungkinan orang tersebut menderita diabetes. Nilai antara 6 sampai 6,5%
menunjukkan keadaan pradiabetes. Penderita diabetes yang tidak terkontrol
dalam waktu yang lama biasanya memiliki kadar HbA1c lebih dari 9%
sedangkan target pengobatan adalah kadar HbA1c sebesar 7% atau kurang.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4. Diabetes control card HbA1c test score
Menurut Harefa (2011) pemeriksaan kadar HbA1c memiliki banyak
keunggulan dibandingkan pemeriksaan glukosa darah yaitu antara lain:
Tidak perlu puasa dan dapat diperiksa kapan saja
Memperkirakan keadaan glukosa darah dalam jangka waktu lebih lama (2-
3 bulan) atau tidak dipengaruhi perubahan gaya hidup jangka pendek.
Metode telah terstandarisasi dengan baik dan keakuratannya dapat
dipercaya
Variabilitas biologisnya dan instabilitas preanalitiknya lebih rendah
dibanding glukosa plasma puasa.
Kesalahan yang disebabkan oleh faktor nonglikemik yang dapat
mempengaruhi nilai HbA1c sangat jarang ditemukan dan dapat
diminimalisasi dengan melakukan pemeriksaan konfirmasi diagnosis
dengan glukosa plasma.
Pengambilan sampel lebih mudah dan pasien merasa lebih nyaman.
Lebih stabil dalam suhu kamar dibanding glukosa plasma puasa.
Memiliki keterulangan pemeriksaan yang jauh lebih baik dibanding
glukosa puasa
Lebih direkomendasikan untuk pemantauan pengendalian glukosa
Level HbA1c berkorelasi dengan komplikasi diabetes sehingga lebih baik
dalam memprediksi komplikasi mikro dan makrokardiovaskular.
Selain keunggulan, pemeriksaan kadar HbA1c juga memiliki beberapa
keterbatasan antara lain:
Saat interpretasi HbA1c bermasalah, maka pemeriksaan glukosa puasa dan
postprandial dianjurkan untuk tetap digunakan.
Meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi seberapa besar
perubahan dan pengaruh usia terhadap peningkatan HbA1c belum dapat
dipastikan.
Harganya lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa
Etnis yang berbeda memiliki sensitivitas dan spesifisitas HbA1c yang
berbeda, diduga mungkin berkaitan dengan: perbedaan genetik dalam
konsentrasi hemoglobin (Hb), tingkat kecepatan glikasi (perbedaan tingkat
kecepatan glukosa masuk dalam eritrosit, kecepatan penambahan atau
lepasnya glukosa dari hemoglobin) dan masa hidup/daya tahan serta
jumlah sel darah merah.
d. Metode pemeriksaan
Menurut Fortress (2000), (Harefa, 2011) dan (Widijanti & Ratulangi,
2011).terdapat beberapa metode yang sering digunakan dalam pemeriksaan
kadar HbA1c antara lain :
1. Metode Kromatografi Pertukaran Ion (Ion Exchange Chromatography)
Prinsip dari metode ini adalah titik isoelektrik HbA1c lebih rendah dan
lebih cepat bermigrasi dibandingkan komponen Hb lainnya. Apabila
menggunakan metode ini harus dikontrol perubahan suhu reagen dan
kolom, kekuatan ion dan pH dari buffer (Widijanti dan Ratulangi, 2011).
Kelemahan dari metode ini adalah adanya interferensi variabel dari
hemoglobinopati, HbF dan carbamylated Hb (HbC) yang bisa memberikan
hasil negatif palsu. Keuntungan metode ini adalah dapat memeriksa
kromatogram Hb varian dengan tingkat presisi yang tinggi
2. Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography), Metode ini
memiliki prinsip yang sama dengan Ion Exchange Chromatography, bisa
diotomatisasi serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode
ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi untuk pemeriksaan
kadar HbA1c .
3. Metode Agar Gel Elektroforesis, Metode ini memiliki hasil yang
berkorelasi dengan baik dengan HPLC tetapi presisinya kurang
dibandingkan HPLC. HbF memberikan hasil positif palsu tetapi kekuatan
ion, pH, suhu, HbS dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.
4. Metode Immunoassay (EIA), Prinsip dari metode ini adalah ikatan yang
terjadi antara antibodi dengan glukosa dan antara asam amino-4 dengan 10
N-terminal rantai β. Kelemahan dari metode ini adalah dipengaruhi oleh
gangguan hemoglobinopati dengan asam amino lengkap pada sisi yang
berikatan dan beberapa gangguan yang berasal dari HbF. Sehingga metode
ini hanya mampu mengukur HbA1c dan tidak dapat mengukur HbA1c
yang labil maupun HbA1A dan HbA1B (Widijanti dan Ratulangi, 2011).
Keuntungan dari metode ini adalah tidak dipengaruhi oleh HbE dan HbD
maupun carbamylated Hb, relatif lebih mudah diimplementasikan pada
berbagai format yang berbeda dan memiliki presisi yang baik.
5. Metode Affinity Chromatography, Prinsip dari metode ini adalah glukosa
yang terikat pada asam m-aminofenilboronat. Kelemahan dari metode ini
adalah bukan hanya mengukur glikasi valin pada N-terminal rantai β tetapi
juha glikasi rantai β pada bagian lain dan glikasi rantai α sehingga hasil
pengukuran dengan metode ini lebih tinggi daripada dengan metode HPLC
(Harefa, 2011). Keuntungan metode ini adalah non-glycated hemoglobin
serta bentuk labil dari HbA1c tidak mengganggu penetuan hemoglobin
glikasi, tidak dipengaruhi suhu, presisi baik, HbF, HbS dan HbC hanya
sedikit mempengaruhi metode ini.
6. Metode Analisis Kimiawi dengan Kolorimetri, Metode ini memerlukan
waktu inkubasi yang lama yaitu sekitar 2 jam tetapi keuntungannya lebih
spesifik karena tidak dipengaruhi oleh -glycosylated ataupun glycosylated
labil. Kerugiannya adalah waktu lama, sampel besar dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi yaitu mmol/L.
7. Metode Spektrofotometri, Prinsip dari metode ini adalah penghilangan
fraksi labil dari hemoglobin dengan cara haemolysate kemudian
ditambahkan agen penukar ion kationik kemudian dibaca dengan
instrument spektrofotometer pada panjang gelombang 415 nm.
e. Bahan atau spesimen yang digunakan
Bahan atau spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan HbA1c adalah
sampel darah yang diambil dari pembuluh darah vena di lengan. Bagian dari
lengan yang diambil darahnya biasanya dari bagian dalam siku atau bagian
belakang tangan. Sebelum dilakukan pengambilan darah, tempat yang akan
ditusuk harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan antiseptik, kemudian
tenaga kesehatan membungkus daerah di sekitar lengan atas dengan sebuah
band elastis. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan tekanan pada daerah
tersebut sehingga vena menjadi membengkak oleh darah. Selanjutnya, tenaga
kesehatan memasukkan dengan perlahan jarum ke dalam vena. Darah
dikumpulkan dalam tabung kedap udara yang melekat pada jarum kemudian
band elastis dilepaskan agar peredaran darah di daerah lengan atas kembali
lancar. Bekas tusukan jarum ditutup untuk menghentikan pendarahan. Pada
bayi atau anak-anak, alat tajam yang disebut dengan lanset dapat digunakan
untuk menusuk kulit dan membuat terjadi perdarahan. Darah yang diperoleh
dikumpulkan ke dalam tabung gelas kecil yang disebut pipet atau ke strip slide
atau strip tes
f. Penanganan khusus
Tidak terlalu banyak hal-hal khusus yang harus diperhatikan dalam
penanganan pemeriksaan HbA1c karena pemeriksaan ini dapat dilakukan
kapan saja tanpa pasien diwajibkan melakukan puasa terlebih dahulu dan tidak
dipengaruhi oleh makanan, obat-obatan serta emosi pasien. Hal yang perlu
mendapat perhatian khusus adalah pada saat pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan HbA1c, biasanya untuk mengetahui kadar gula seseorang
dilakukan cek darah di jari, tetapi untuk melakukan diagnosis diabetes dengan
pemeriksaan HbA1c, darah yang diambil berasal dari pembuluh darah di
lengan bukan di jari. Selain itu proses penyimpanan sampel darah setelah
diambil dari tubuh pasien harus disimpan dalam tabung atau tube yang steril
dan diletakkan pada suhu kamar tidak boleh disimpan dalam lemari es serta
tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Apabila baru dipergunakan setelah 24
jam maka perlu ditambahkan pengawet seperti EDTA dan heparin sebagai
antikoagulan (Departemen Mikrobiologi, 2010).
2) Terapi nonfarmakologi DM
Menurut Tjokroprawiro & Murtiwi (2014) terapi nonfarmakologi pada
DM adalah Terapi Nutrisi Medis (TNM) serta Latihan Fisik yang merupakan
bagian penatalaksanaan DM secara total.
a. Terapi Nutrisi Medis
Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain, serta penyandang
DM dan keluarganya). TNM pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola
makan yang didasarkan pada status gizi, kebiasaan makan dan kondisi atau
komplikasi yang telah ada. TNM dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya
diabetes bagi penderita yang mempunyai risiko DM, sebagai terapi pada
penderita yang sudah terdiagnosis DM serta mencegah atau memperlambat
laju berkembangnya komplikasi DM.
Tujuan TNM bagi penderita DM adalah :
1. Untuk mencapai dan mempertahankan :
Kadar glukosa darah dalam batas normal atau mendekati normal tanpa
efek samping hipoglikemik yaitu (1) Glukosa darah sebelum makan
pagi (preprandial) antara 70-130 mg/dl; (2) Glukosa darah 1 jam
sesudah makan (peak postprandial) < 180 mg/dl; (3) Kadar A1C < 7%
Profil lipid untuk mencegah risiko penyakit kardiovaskulaer : (1)
Kolesterol LDL < 100 mg/dl (bagi penderita DM dengan komplikasi
kardiovaskuler kolesterol LDL < 70 mg/dl); (2) Kolesterol HDL > 40
mg/dl; (3) Trigliserida < 150 mg/dl
Tekanan darah dalam batas nrmal atau seaman mungkin mendekati
normal yaitu < 130/80 mmHg
2. Untuk mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi lronis
DM dengan melakukan modifikasi asupan nutrisi serta perubahan gaya
hidup.
3. Nutrisi diberikan secara individual dengan memperhitungkan kebutuhan
nutrisi dan meperhatikan kebiasaan makan penderita DM.
Adapun contoh TNM adalah Diet DM-B, Diet DM-B1, Diet DM-B2, Diet
DM-B3, Diet DM-BE, Diet DM-M, Diet DM-G, Diet DM-KV, Diet DM-GL
dan Diet DM-H yang sudah berhasil dicobakan (Tjokroprawiro & Murtiwi,
2014). Seperti misalnya Diet BM-B mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
Mempunyai susunan kalori : 68% kal karbohidrat, 12% kal protein, dan
20% kal lemak
Karbohidrat komplek tidak mengandung gula
Dapat menurunkan kolesterol dalam waktu 1 minggu
Mempunyai kandungan kolesterol < 300 mg/hari, rasio P : S > 1,0 (SAFA
5%, PUFA 5%, MUFA 10%).
Protein banyak mengandung asam amino essensial
Kaya akan serat : 25-35 g/hari
Diberikan 6 kali/hari, interval 3 jam terdiri dari 3 kali makan utama dan 3
kali makan antara
Makanan utama pagi sebesar 20% kalori, makanan utama siang dan malam
masing-masing 25% kalori dan makanan antara masing-masing 10% kalori
Walaupun diet BM-B tinggi karbohidrat, tetapi tidak menunjukkan efek
samping hipertrigliseridademia karena pemberiannya terbagi menjadi 3 kali
makanan utama dan 3 kali makanan antara (snack).
b. Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2,
selain dapat memperbaiki sensitivitas insulin, juga untuk menjaga kebugaran
tubuh. Beberapa penelitian membuktikan bahwa latihan fisik dapat
memasukkan glukosa kedalam sel tanpa membutuhkan insulin. Selain itu,
latihan fisik dapat menurunkan berat badan bagi penderita DM dengan obesitas
serta mencegah progresivitas gangguan toleransi glukosa menjadi DM tipe 2.
Hasil suatu penelitian dengan melakukan intervensi gaya hidup dengan
latihan fisik 150 menit/minggu dan diet untuk menurunkan berat badan sebesar
5-7% dapat menurunkan risiko progresivitas gangguan toleransi glukosa
menjadi DM tipe 2 sebesar 58%.
7.9. All about Diabetes Melitus (DM)
1) Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014). Sedangkan menurut
Schteingart (2014) DM didefinisikan sebagai gangguan metabolisme yang
secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat.
2) Klasifikasi DM
American Diabetes Association (2009 cit Purnamasari, 2014)
mengklasifikasikan DM seperti berikut :
Tabel 5. Klasifikasi DM (ADA, 2009)
1. Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2
(bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang pedominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus Tipe lain
4. Diabetes Kehamilan (Gestasional)
2) Etiologi
Diabetes melitus dapat terjadi akibat dari defisiensi insulin, gangguan produksi
insulin atau "resistansi insulin” dimana sel tidak mampu untuk menggunakan
insulin dengan benar dan efisien sehingga menyebabkan hiperglikemia. Hal ini
mempengaruhi metabolisme sel-sel otot dan jaringan lemak.
DM Tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan
gejala-gajala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang pekaa secara
genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu
yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap
sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang
dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis DM tipe 1 terjadi jika lebih dari
90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada DM dalam bentuk yang yang lebih berat,
sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua
kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Kejadian pemicu
yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik
dapat berupa infeksi virus coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain
(Schteingart, 2014).
DM Tipe 2
DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Pada penderita DM tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Kelainan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor
pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin intrisik. Akibatnya terjadi penggabungan
abnormal antara komplek reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya
timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan
tidak lagi memadai untuk mempertahankan ueglikemia. Karena obesitas
berkaitan dengan resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi
glukosa yang menyebabkan DM tipe 2. (Schteingart, 2014).
3) Patogenesis
DM Tipe 1
Pada saat DM tipe 2 muncul sebagian besar sel beta pankreas sudah rusak,
proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun. Adapun urutan
patogenesis adalah sebagai berikut :
Harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini.
Kondisi lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu dengan
kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksi juga dapat terlibat.
Terjadi respons peradangan pankreas yang disebut insulitis, sel yang
menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi.
Perubahan sel beta sehingga tidak lagi dikenali sebagai sel sendiri tetapi
dilihat oleh sistem imun sebagai “sel asing”.
Perkembangan respons imun, karena sel pulau dianggap sel asing
terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan
mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan
penampakan DM (Foster, 2014).
DM Tipe 2
Patogenesis DM tipe 2 meliputi 2 kelainan yaitu gangguan sekresi insulin dan
gangguan aksi insulin.
Sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang dipacu oleh glukosa terdiri dari
2 fase . Fase pertama atau fase akut berlangsung cepat hanya 3-10 menit,
dan fase kedua berlangsung lambat dimana sekresi insulin terus
berlangsung selama masih ada pacuan glukosa. Sekresi insulin fase
pertama yang hanya sebentar berguna sebagai pancingan agar organ-organ
atau jaringan yang tergantung insulin dapat mempersiapkan diri terhadap
sekresi insulin fase kedua yang berlangsung lama. Pada DM tipe 2 sekresi
insulin fase pertama ini hilang, akibatnya jaringan yang tergantung insulin
tidak siap untuk menerima insulin fase kedua sehingga terjadi
hiperglikemia postprandial.
Gangguan aksi insulin atau resistensi insulin terutama terjadi pada reseptor
insulin yang terdapat pada membran sel. Akibatnya terjadilah
hiperinsulinemia. Pada awal DM tipe 2 terjadi peningkatan kadar insulin
dan kadar glukosa darah masih dapat terkendali dan DM belum muncul.
Jika sel beta pankreas yang terpacu terus mengalami kelelahan akhirnya
tidak mampu lagi mengeluarkan insulin yang cukup mengatasi resistensi
insulin, maka glukosa darah akan meningjat dan terjadilah DM tipe 2
(Wijono, 2004).
4) Patofisiologi
DM Tipe 1
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Perusakan imunologik
langsung sel beta mungkin melibatkan mekanisme selular dan humoral.
Sejumlah sel muncul untuk membawa sel beta yang telah diserang oleh sel
pembunuh alami, limfosit T sitotoksik teraktivasi dan makrofag masing-masing
mempunyai bagian. Jalur akhir penghancuran sel yang lazim adalah karena
pelepasan sitokin seperti interleukin 1 (IL1) dan faktor nekrosis tumor alfa
(TNFα) dan makrofag teraktivasi. Jadi pada saat DM tersembunyi muncul,
sebagian besar sel penghasil insulin sudah menghilang. Oleh karena itu,
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun
tetap dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah
makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa
tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh
pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis
osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsi) (Foster, 2014).
DM Tipe 2
Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe 2 disertai dengan penurunan
reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi
insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat
peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan
insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2 (Wijono,
2014).
5) Manifestasi Klinis
Menurut Foster (2014) dan Schteingart (2014) manifestasi dan
gambaran klinis dari DM tipe 1 dan 2 adalah sebagi berikut :
Tabel 6. Manifestase dan gambaran klinis DM tipe 1 dan 2
Parameter DM tipe 1 DM tipe 2
Lokus genetik Kromosom 6 Tidak diketahui
Umur awitan
Awitan gejala
Bentuk tubuh
Insulin plasma
Glukosa plasma
Penyulit akut
Terapi insulin
Terapi sufonilurea
< 40 tahun
Polidipsia, poliuria,
turunnya berat badan,
polifagia, lemah, somnolen
Normal hingga kurus
Rendah hingga tidak ada
Tinggi, dpt ditekan
Ketoasidosis
Responsif
Tidak responsif
>40 tahun
Tidak memperlihatkan
gejala
Obesitas
Normal hingga tinggi
Tinggi, resisten
Koma hiperosmolar
Responsif hingga resisten
Responsif
6) Komplikasi
Menurut Wijono (2004), Foster (2014) dan Schteingart (2014)
komplikasi yang mungkin timbul adalah :
Tabel 7. Komplikasi yang mungkin timbul
DM tipe 1 DM tipe 2
1,
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Ketoasidosis diabetik
Hipoglikemia
Retinopati diabetik (kerusakan retina)
Nefropati diabetik (kerusakan ginjal)
Neuropati diabetik (kerusakan saraf)
Ateroskeloris (PJK, Stroke)
Ulkus kaki diabetik
Katarak
Hipertensi
Dislipidemia
Hemoreologi darah
Homosistein
Disfungsi endotel
Mikroalbuminuria
Koma hiperosmolar
Hiperglikemia
Koma nonketotik
Retinipati diabetik
Nefropati diabetik
Neuropati diabetik
Ateroskeloris
Ulkus kaki diabetik
Katarak
Hipertensi
Dislipidemia
Hemoreologi darah
Homosistein
Disfungsi endotel
Mikroalbuminuria
7) Diagnosis DM
Purnamasari (2014) menyatakan bahwa diagnostik DM dapat dilaksanakan
sebagaimana tercantum pada Gambar 3 berikut
Gambar 7. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu
8) Penatalaksanaan
Perkeni (2006), Tjokroprawiro & Murtiwi (2014), Foster (2014) dan
Schteingart (2014) menyatakan bahwa penatalaksanaan DM dapat dilakukan
dengan mengedepankan 4 pilar utama pengelolaan DM yaitu (1) Edukasi;
(2)Terapi gizi medis; (3) Latihan jasmani; dan (4)Intervensi farmakologis.
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai
dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila
setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran
metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan
obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin.
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pengelolaan DM secara optimal
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat dalam
merubah perilaku yang tidak sehat. Keberhasilan dalam mencapai
perubahan perilaku, membutuhkan edukasi yang komprehensif.
b. Terapi gizi medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain dan pasien itu sendiri).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin
c. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM
dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
d. Intervensi farmakologis
1. Obat hipoglikemia oral (OHO)
Tabel 8. Obat hipoglikemia oral
2. Terapi insulin
Menurut FK UI (2012) insulin masih merupakan obat utama untuk DM
tipe 1 dan beberapa jenis DM tipe 2. Suntikan insulin dapat dilakukan
dengan berbagai cara yaitu : (1) intravena; (2) intramuskuler; (3) subkutan,
yang umumnya lebih disukai pada penggunaan jangka panjang. Tujuan
pemberian insulin pada semua keadaan tersebut bukan saja untuk
menormalkan glukosa darah, tetapi juga untuk memperbaiki semua aspek
metabolisme. Insulin umumnya disuntikan IV atau IM 30-45 menit
sebelum makan, dimana setelah pemberian insulin glukosa darah akan
cepat menurun mencapai nadir dalam waktu 20-30 menit.
Insulin subkutan terutama diberikan kepada :
DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel
beta pada kalenjar pankreas tidak ada ataupun hampir tidak ada.
DM tipe 2 mungkin membutuhkan insulin eksogen apabila terapi jenis
lain seperti diet dan atau antidiabetik oral tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah.
Pasien DM pascapankreatektomi
DM dengan kehamil, bila pengaturan makan saja tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah.
DM dengan ketoasidosis, koma nonketosis atau komplikasi lain
Sebelum tindakan operasi pada pasien DM tipe 1 dan 2
Dosis insulin
Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dengan unit (U), dimana
hampir semua preparat komersial insulin dipasarkan dalam bentuk
solusia atau suspensi dengan kadar 100 U/ml atau sekitar 3,6 mg
insulin/ml
Pasien DM tipe 1 rata-rata dosis yang dibutuhkan berkisar 0,6-0,7 U/Kg
berat badan per hari
Pasien DM tipe 1 yang obesitas membutuhkan dosis 2 U/Kg berat
badan per hari karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin
Kebutuhan insulin pasien DM umumnya berkisar antara 5-150 U/hari
tergantung dari keadaan pasien.
Gambar 8. Algoritma pengobatan DM tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik
Tabel 9. Kriteria pengelolaan DM
9) Prognosis
Harapan hidup orang yang terkena diabetes pada usia 40 tahun, 5-10
tahun kurang dari rata-rata populasi.
Serangan jantung adalah komplikasi paling bahaya yang sering menjadi
pembunuh pasien diabetes.
Dengan kontrol gula yang teratur dan menjaga gaya hidup serta
menjaga kadar lemak dalam darah secara ketat dapat meningkatkan
harapan hidup lebih tinggi.
7.10. Penatalaksanaan Ketoasik Diabetik dan Hiper Osmotik Ketoasik
1) Ketoasidosis diabetik
Menurut Tarigan (2014) kesuksesan pengelolaan ketoasidosis diabetik
(KAD) membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemia, gangguan
elektrolit, komordibitas, dan monitoring selama perawatan. Karena
spektrumklinis sangat beragam, maka tidak semua kasus KAD harus dirawat di
ICU, hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun membutuhkan monitor
yang intensif, maka sebaiknya minimal perawatan adalah di ruangan yang bisa
dilakukan monitor intensif (high care unit). Adapun penatalaksanaan
selengkapnya adalah sebagai berikut :
Terapi cairan, secara umum pemberian cairan adalah langkah awal
penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan
ditujukan untuk ekspansi cairan intraseluler, intravaskular, interstisial dan
restorasi perfusi ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal
kronik berat, cairan salin isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dosis 15-
20 ml/kgBB/jam pertama atau 1-1,5 liter pada jam pertama. Tindak lanjut
cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan hemodinamik,
status hidrasi, elektrolit dan produksi urin. Penggantian cairan dapat
dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian sangat mempengaruhi
pencaian target gula darah, hilangnya benda keton dan perbaikan asidosis.
Insulin, merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian insulin
secara intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan
mudah dititrasi. Dengan pemberian insulin intravena dosis rendah
diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan kecepatan 50-
100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun sekitar 200 mg/dl , lalu
kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02 – 0,05 unit/kgBB/jam. Jika
glukosa sudah berada disekitar 150-200 mg/dl maka pemberian infus
dekokta dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.
Kalium, pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme
asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium
pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium
yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat
karena terapi insulin akan menurunkan kalium lebih lanjut. Untuk
mencegah hipokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai manakala
kadar kalium di sekitar batas atas normal.
Bikarbonat, jika asidosis murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat
tidak direkomendasikan,diberikan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari
6,9. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah
meningkatnya risiko hipokalemia, menurunya asupan oksigen jaringan,
edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.
Fosfat, meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering
ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat
akan turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan
manfaat pemberian fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang
berlebih akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada kondisi serum fosfat
< 1 mg/dl dan disertai disfungsi kardiak, anemia atau depresi nafas akibat
kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi pertimbangan penting.
Transisi ke insulin subtkutan,
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberin insulin intravena
dosis rendah, maka selanjutnya memastikan bahwa KAD sudah memasuki
fase resolusi dengan kriteria gula darah < 200 mg/dl dan 2 dari kondisi
berikut : serum bikarbonat ≥ 15 mEq/l, pH vena > 7,3 dan anion gap ≤ 12
mEq/l. Agar tidak terjadi hiperglikemi atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan pertama.
Asupan nutrisi merupakan pertimbsngsn penting saat transisi ke subkutan,
jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat
kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan.
Gambar 9. Penatalaksanaan KAD pada orang dewasa
2) Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik
Menurut Soewondo (2014) penatalaksanaan Koma Hipersmolar
Hiperglikemik Nonketotik (KHH) serupa dengan KAD, hanya cairan yang
diberikan adalah cairan hipotonis (0,5 N, 2A). Penatalaksanaan KHH
meliputi pendekatan : (1) rehidrasi intravena agresif; (2) panggantian
elektrolit; (3) pemberian insulin intravena; (4) diagnosis dan manajemen
faktor pencetus dan penyakit penyerta: (5) pencegahan.
Cairan, langkah petama dan terpenting dalam penatalaksanaan KHH
adalah penggantian cairan agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100-200 ml/kg atau
total rata-rata 9 liter). Pada awal terapi, konsentrasi glkosa darah akan
menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi
indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Juka
konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg/dl/jam,
hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan kurang atau ada
gangguan ginjal.
Insulin, sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara
intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB/jam sampai konsentrasi
glukosa darah turun antara 250-300 mg/dl. Jika glukosa darah tidak turun
50-70- mg/dl/jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika gluksa
darah sudah mencapai < 300 mg/dl, sebaiknya diberikan dekstrosa secra
intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan kondisi hiperosmolar.
Gambar 10. Penatalaksanaan KHHN pada orang dewasa
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. (2014) Cheking Your Blood Glucose. Diabetes Forecast Magazine, July Edition.
Darwis, Y.W. (2005). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium untuk penyakit DM. Jakarta : Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Depkes RI.
Davis, S.N. & Granner, D.K. (2014). Insulin, Senyawa Hipoglikemia Oral dan Farmokologi Endokrin Pankreas. In. Hardman, J.G. and Limbird, L.E. (Eds.). Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi. Volume 4. Edisi 10. (pp. 1648-1682). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Mikrobiologi. (2010). Collection,Transport and Examination of specimen. Medan : FK Universitas Sumatera Utara.
Eroschenko, V,P. (2012). Atlas Histologi Difiore. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas Indonesia.
Fortress, (2000). Fortress Diagnostic Haemoglobin A1C Micro Column. United Kingdom : Fortress Diagnostic Limited.
Foster, D.W. (2014). Diabetes Melitus. In. Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S.,. & Kasper, D.L. (Eds.). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Singapore : Elsevier Pte. Ltd.
Harefa, E. (2011). HbA1c Standardization and Recent Updates. Makassar : Prodia Laboratories.
Kee, J.L. (2003). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Paulsen, F. & Wasschke, J. (2014). Sabotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Edisi 23. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Perkeni. (2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Endokrinologi Indonesia.
Purnamasari, D.. (2014). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Militus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. &
Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2323-2327). Jakarta : Interna Publishing.
Schteingart, D.E. (20140. Pankreas : Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In. Price, S.A. & Wilson, L.M. (Eds.). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Poses Penyakit Volume 2. Edisi 6. (pp. 1259-1274). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia, Dari Sel ke Sistem. Edisi 6 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sitepoe, M. (1999). Kolesterol Fobia : Keterkaitannya dengan penyakit jantung. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soewondo, P. (2004). Pemantauan Pengendalian DM. Jakarta : FKUniversitas Indonesia
Soewondo, P. (2014). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2381-2385). Jakarta : Interna Publishing.
Tarigan, T.J.E. (2014). Ketoasidosis Diabetik. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2375-2380). Jakarta : Interna Publishing.
Tjay, T.H. & Rahardja, K. (2010). Obat Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Tjokroprawiro & Murtiwi. (2014). Terapi Nonfarmakologi pada Diabetes Melitus. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2336-2346). Jakarta : Interna Publishing.
Widijanti, A. & Ratulangi, B.T. (2011). Jenis Pemeriksaan yang Harus Dilakukan Penderita Diabetes. Malang : Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Universitas Brawijaya.
Wijono, P. (2004). Pencegahan DM Tipe 2 sebagai Usaha Menghambat Peningkatan Prevalensi dan Komplikasinya. Yogyakarta : FK Universitas Gajah Mada.