BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1.1. Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari
24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena
trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986).
1.2. Trigliserida
Trigliserida merupakan salah satu jenis lemak netral yang terdapat dalam
darah dan berbagai organ dalam tubuh, yang setiap molekulnya tersusun dari
sebuah inti gliserol dan rantai samping tiga asam lemak (Guyton & Hall, 2014).
1.3. LDL
LDL (Low Density Lipoprotein) sering disebut dengan istilah kolesterol
jahat adalah kolesterol yang mengangkut paling banyak kolesterol dan lemak di
dalam darah. Kadar LDL yang tinggi akan menyebabkan kolesterol lebih banyak
melekat pada dinding pembuluh darah pada saat transportasi dilakukan. Kolesterol
yang melekat itu perlahan-lahan akan mudah membentuk tumpukan yang
mengendap, seperti plak pada dinding pembuluh darah. Akibatnya saluran darah
terganggu yang bisa meningkatkan resiko penyakit pada tubuh seseorang seperti
stroke, jantung koroner, dan lain sebagainya (Pagano & Strait, 2009).
1.4. HDL
HDL (High Density Lippoprotein) sering disebut dengan istilah kolesterol
baik adalah HDL kolesterol yang berfungsi membuang kelebihan kolesterol yang
dibawa oleh LDL dengan membawanya kembali kehati dan kemudian diurai
kembali. Dengan membawa kelebihan koletserol yang dibawa oleh LDL, maka
HDL membantu mencegah terjadinya pengendapan dan mengurangi terjadinya
plak dipembuluh darah yang dapat mengganggu peredaran darah. (Pagano &
Strait, 2009).
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa pasien mengeluh sakit kepala, nyeri leher dan sulit tidur?
2. Apa hubungan sifat emosional dan pemarah dengan keluhan pasien?
3. Apa hubungan kebiasaan pribadi (jarang olahraga/latihan fisik dan sering
pergi keluar untuk makan malam) dengan keluhan pasien ?
4. Apa hubungan ayahnya yang menderita stroke dengan penyakit pasien?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?
6. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang?
BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1. Keluhan sakit kepala, nyeri leher dan sulit tidur
Menurut Mohani (2015) dan Depkes RI (2006) keluhan sakit kepala
merupakan gejala kerusakan organ pada otak akibat hipertensi. Pada penderita
hipertensi terjadi kerusakan lapisan endotel pembuluh darah di otak. Dengan
demikian terjadilah pembekuan pada trombosit yang merangsang keluarnya
hormon serotonin dan adregenik yang berlebih. Kedua hormon ini merangsang
terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah. Karena penyempitan pembuluh
darah ini aliran darah menjadi menurun dari intrakranial, kemudian terjadi
defisiensi darah (iskemik). Karena terjadinya iskemik ini volume darah menjadi
menurun sehingga pada arteri karotis interna tidak mendapat asupan darah baru
dari jantung yang mengandung oksigen baru. Hal ini menyebabkan terjadinya
vasodilatasi serebral yang kemudian mennyebabkan neurogenik inflamasi.
Neurogenik inflamasi ini merangsang saraf untuk menjadi sakit kepala sebagai
tanda adanya kerusakan pada salah satu organ.
Hipertensi
Kerusakan endotel pembuluh darah di otak
Agregasi trombosit
Melepas serotonin dan adregenik berlebih
Vasokonstriksi
Aliran darah turun dari intrakranial
iskemik
Vasodilatasi serebral
3.2. Hubungan sifat emosional dan pemarah dengan keluhan pasien
Stres psikologikal atau emosional dan pemarah, dapat menyebabkan
impuls dilepaskan dari korteks serebri kemudian dikirim melalui sistem limbik ke
nukleus di hipotalamus dimana corticotropin-releasing factor (CRF) dan arginine
vasopressin disintesa. Hormon CRF berjalan menuju kelenjar pituitari anterior
yang kemudian memberi respon berupa pelepasan adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang kemudian menstimulasi korteks adrenal untuk memproduksi
glukokortikosteroid. Glukokortikosteroid akan membebaskan katekolamin.
Arginine vasopressin juga mengaktivasi sekresi ACTH yang dilepaskan oleh
kelenjar pituitari posterior. Bersama dengan norepinefrin dan epinefrin yang
dihasilkan oleh sistem saraf simpatis, bahan-bahan kimiawi tersebut merupakan
hormon stres utama yang secara sistemik akan mengaktifkan sistem
kardiovaskular. Stimulasi sistem saraf simpatis juga akan mengaktivasi aparatus
juxtaglomerular di ginjal, sehingga merangsang respon dari sistem renin-
angiotensin dimana timbul reaksi enzimatik yang selanjutnya terjadi
vasokonstriksi sistemik dan peningkatan tekanan darah (Black & Garbutt, 2002).
Dengan demikian sifat emosional dan pemarah berhubungan erat dengan
peningkatan tekanan darah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi.
3.3. Hubungan kebiasaan pribadi (jarang olahraga/latihan fisik dan sering
pergi keluar untuk makan malam) dengan keluhan pasien
Infodatin (2015) dan Mohani (2015) menyatakan bahwa jarang
melakukan aktivitas fisik olahraga dan pola makan makanan yang berlemak
merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi. Apalagi bila pasien sering keluar
makan malam mengkonsumsi makanan siap saji yang mengandung garam tinggi,
lemak jenuh, dan rendah serat, semakin menambah faktor resiko terjadinya
hipertensi yang merupakan keluhan pasien.
Menurut Nurani (2015) kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan
darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang
tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri.
Selanjutnya kegemukan/obesitas merupakan juga salah satu faktor resiko
terjadinya hipertensi, mengingat berat badan merupakan faktor determinan pada
tekanan darah (Infodatin, 2015; Mohani, 2015; Yogiantoro, 2015).
Menurut Soeharto (2008) kalau sering menkonsumsi makanan berlemak
terutama lemak jenuh akan meningkatkan kandungan trigliseda dalam darah.
Darmastomo & Wirawanni (2009) menyatakan bahwa kandungan trigliserida
yang tinggi dalam darah dapat meningkatkan tekanan darah, dimana trigliserida
tinggi dapat menyebabkan terjadinya artherosclerosis. Pembuluh darah koroner
yang menderita artherosclerosis selain menjadi tidak elastis, juga mengalami
penyempitan sehingga tahanan aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik.
Tekanan sistolik yang meningkat karena pembuluh darah tidak elastis serta
naiknya tekanan diastolik akibat penyempitan pembuluh darah disebut juga
tekanan darah tinggi atau hipertensi.
3.4. Hubungan ayahnya yang menderita stroke dengan penyakit pasien
Menurut Wade & Cameron (2003) faktor genetik pada keluarga tertentu
akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi, hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio
antara potasium terhadap sodium. Hal tersebut sesuai dengan Depkes RI (2006)
bahwa hipertensi esensial/primer sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal
ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting
pada patogenesis hipertensi primer. Selanjutnya Yogiantoro (2015) menyatakan
bahwa bila anamnesa keluarga ada yang hipertensi, maka sebelum usia 55 tahun
resiko menjadi hipertensi diperkirakan 4 kali dibandingkan keluarga yang tidak
mempunyai riwayat hipertensi. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat
antara stroke ayahnya dengan penyakit hipertensi pasien.
3.5. Interpretasi pemeriksaan fisik
Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik Interpretasi1. BB = 86
TB = 16
2. TD = 160/100 mmHg
3. Denyut nadi 90x/menit
4. Suhu tubuh 36,2°C
5. Respirasi 22x/menit
Perhitungan IMT = 32,77 Berdasarkan kriteria IMT pasien termasuk kategori
6 yaitu ≥30 dengan status gizi Obes II. Menurut Yogiantoro (2015), Mohani (2015) obesitas merupakan salah satu faktor resiko hipertensi
TD normal 120/80 mmHg Berdasar pada JNC 7 maka TD 160/100
mmHg merupakan hipertensi derajat 2 (Mohani, 2015)
Normal, karena berada dalam range normal 60-100x/menit
Normal
Dapat dikatakan normal, karena RR normal 14-20 x/menit
3.6. Interpretasi pemeriksaan laboratorium
Tabel 2. Interpretasi pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium Interpretasi1. Trigeliserida 525 mg/dl
2. LDL 314 mg/dl
3. HDL 30 mg/dl
Kadar normal <150 mg/dl Kadar >500 mg/dl termasuk kriteria sangat
tinggi Faktor yang menyebabkan kadar trigliserida
tinggi adalah obesitas dan konsumsi makanan berlemak (Soeharto, 2004)
Kadar LDL normal <150 mg/dl Kadar LDL pasien sangat tinggi Adanya kandungan trigliserida tinggi
cenderung meningkatkan kadar LDL (Soeharto, 2004)
Kadar HDL normal >55 mg/dl Kadar HDL pasien sangat rendah
DAFTAR PUSTAKA
Darmastomo, P. & Wirawanni, Y. (2009). Hubungan antara Persentase Lemak Tubuh, Lingkar Pinggang, Kolesterol Total Darah, dan Trigliserida Darah dengan Tekanan Darah (Studi pada Pegawai Negeri Sipil SMA 8 Semarang). Semarang : Program Studi Ilmu Gizi, Fak. Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. .
Depkes RI. (2006). Phrmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Black, P.H. & Garbutt, L.D. (2002). Stress, inflammation and cardiovascular disease. J. Psychosom. Res., 52(1), 1-23.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Infodatin. (2015). Hipertensi. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Mohani, C.I. (2015). Hipertensi Primer.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.22686-2295). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. Jurnal Majority, 52(1), 1-23.
Soeharto, I. (2004). Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wade, A.H. & Cameron, D.N. (2003). Using a problem detection study (PDS) to identify and compare health care privider and consumer views of antihypertensive therapy. Journal of Human Hypertension, 17,
WHO MONICA Project. (1986). MONICA Manual. CVD/MNC/Version 1.1, Section 4. Geneva: World Health Organization
Yogintoro, M. (2015). Pendekatan Klinis Hipertensi.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.2261-22685). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
7.1. All About Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada
usia 18 thun keatas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan
2 kali atau lebih dengan posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada 2 kali
atau lebih kunjungan (Mohani, 2015).
b. Klasifikasi hipertensi
1) Berdasarkan nilai tekanan darah, menurut JNC 7 (Mohani, 2015) hipertensi
dapat diklasifikasikan :
Hipertensi derajat 1, tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan diastolik
90-99 mmHg
Hipertensi derajat 2, tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥
100 mmHg
2) Berdasarkan etiologinya menurut Depkes RI (2006b) hipertensi dapat
diklasifikasikan :
Hipertensi primer/essensial, yang etiologinya tidak diketahui
Hipertensi sekunder, yang etiologinya diketahui
c. Etiologi
Pada kebanyakan pasien etiologinya tidak diketahui yang disebut
hipertensi essensial atau hipertensi primer. Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi
sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila
penyebab hipertensi sekunderm dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien
ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006a; Yogiantoro, 2015).
Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial
(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum
satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut.
Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis
hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi
tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang
mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Chobanian,
2003; Depkes RI, 2006a).
Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat
Tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-
obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi
atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penangananm hipertensi sekunder (Oparil,
Zaman, & Calhoun, 2003; Depkes RI, 2006a).
Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Sumber : Depkes RI (2006a)
d. Patogenesis
Menurut Mohani (2015) hipertensi primer merupakan penyakit yang
bukan hanya disebabkan oleh satu macam mekanisme, akan tetapi bersifat multi-
faktorial, yang timbul akibat dari interaksi dari berbagai macam faktor resiko.
Berbagai faktor dan mekanisme tersebut antara lain faktor genetik dan
lingkungan, mekanisme neural, renal, vaskular dan hormonal.
Gangg. Emosi Impuls dari vasomotor
Neuron Preganglion Asetilkolin
Medula adrenal
mensekresi epinefrin
Kel. Adrenal
S. S. Simpatis
Ganglia simpatis
Faktor Keturunan Obesitas Merokok
Hipersekresi hormon adrenal
Hiperkolesterol Hiperlipidemia
Gangg. Nutrisi ↑ LDL - C
Usia
e. Faktor resiko
Gangg. Emosi Impuls dari vasomotor
Neuron Preganglion Asetilkolin
Medula adrenal
mensekresi epinefrin
Kel. Adrenal
S. S. Simpatis
Ganglia simpatis
Faktor Keturunan Obesitas Merokok
Hipersekresi hormon adrenal
Hiperkolesterol Hiperlipidemia
Gangg. Nutrisi ↑ LDL - C
Usia
Menurut Nuraini (2015) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi antara lain :
1) Genetik, adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu
didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam
keluarga.
2) Obesitas, berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for
Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32%
untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17%
untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut
standar internasional). Perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan
antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi
insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-
angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.
3) Jenis kelamin, prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan
wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum
menopause salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Wanita yang
belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan
dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus
berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai
dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita
umur 45-55 tahun.
4) Stres, dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin akan
meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung memompa
darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.
5) Kurang aktifitas fisik/olahraga, olahraga banyak dihubungkan dengan
pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur
dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah
(untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila
jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi
tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi
karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak
aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan
sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak
arteri.
6) Pola asupan garam dalam diet:. badan kesehatan dunia World Health
Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat
mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang
direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gr sodium
atau 6 gr garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk
menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada
timbulnya hipertensi.
7) Kebiasaan merokok, merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah.
Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi
maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami
ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif di Brigmans and
Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya
tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan
perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8%
subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan
dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu
kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan
merokok lebih dari 15 batang perhari.
f. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut Corwin
(2009) adalah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri
kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat kerusakan
retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf, nokturia
(peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan
iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi
atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, dan ma mata berkunang-kunang.
g. Komplikasi hipertensi
Hipertensi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan
mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya
organ tubuh antara lain (Dosh, 2001; Depkes RI, 2006a; Mohani, 2015) :
Pada jantung, hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard dan gagal
jantung kengestif
Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir
Retinopati
Pada otak, stroke atau transient ischemic attack
Penyakit arteri perifer
h. Diagnosis
Menurut Depkes RI (2006a) dan Mohani (2015) evaluasi hipertensi
bertujuan untuk :
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau
penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga
dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi
3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat
penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin,
dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan
darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index)
yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi
arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid;
pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat
pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal;
palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta
penilaian neurologis.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai
terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium,
kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 – 12 jam) termasuk
HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional
termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin/kreatinin.
Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi
tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.
Kerusakan organ target
Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan
diagnostik sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah
ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis
dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti:
Otak: stroke, TIA, dementia
Mata: retinopati
Jantung: hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard,
pernah revaskularisasi koroner
Ginjal: penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
i. Penatalaksanaan
Menurut Perki (2015) penatalaksanaan hipertensi sebagai berikut :
Non farmakologis
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang
dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat
saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet
rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari
Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60
menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan
darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga
secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki,
mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di
tempat kerjanya.
Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol
semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan
dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2
gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.
Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakitkardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.
Tabel 2. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengatasi hipertensi
Terapi farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah metelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan oleh JNC 7 adalah:
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau Areceptor antagonist/blocker (ARB)
Tabel 3. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi
Algoritma tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai
guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme
tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the
American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension
(2013)
Gambar 2. Algoritma tatalaksana hipertensi
j. Prognosis
Menurut Yogiantoro (2015) hipertensi adalah the diseases cardiovascular
continuum yang akan berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat
kerusakan target organ. Berawal dari TD 115/75 mmHg setiap kenaikan
sitolik/diastolik 20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskuler akan meningkat 2 kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati m en
ingkatkan 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25%
kematian PJK, 50% penyakit jantung kongestif, 25% semua kematian mati muda,
serta menjadi penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan
penyebab gagal ginjal terminal.
Pada banyak uji klinis, pemberian obat antihipertensi akan diikuti
penurunan insiden stroke 35-40%, infark miokard 20-25%, dan lebih 50% gagal
jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Adhyanti, Sirajuddin, S. & Jafar, N. (2012). Faktor Risiko Pola Konsumsi Natrium Kalium serta Status Obesitas terhadap Kejadian Hipertensi di Puskesmas Lailangga. Makassar : Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
Chobaniam, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L., Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., Wright, J.T., & Roccella, E.J. (2003). Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA, 289, 2560-2572
Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Depkes RI. (2006a). Phrmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2006b). Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dosh, S.A. (2001). The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J. Fam. Pract., 50, 707-712
Mohani, C.I. (2015). Hipertensi Primer.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.22686-2295). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. Jurnal Majority, 52(1), 1-23.
Oparil, S., Zaman, M.A., & Calhoun, D.A. (2003). Pathogenesis of Hypertension. Ann. Intern. Med., 139(9) :761-776.
Perki. (2015). Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskuler Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.
Yogiantoro, M. (2015). Pendekatan Klinis Hipertensi.. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.2261-22685). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.