Spiritualitas Keluarga Kristiani

5
SPIRITUALITAS KELUARGA DI MILENIUM KETIGA Martin Suhartono, S.J. Istilah "spiritualitas keluarga" mungkin terdengar agak teoretis dan mengada-ada. Saya hanya bermaksud mengajak orang merenungkan, "Apakah iman Kristianiku berperanan dalam pandanganku mengenai apakah dan bagaimanakah keluarga itu?" Bagaimanakah pandangan Kristiani selama ini mengenai keluarga? Paham Katolik tentang perkawinan/keluarga selama ini? Selama berabad-abad paham Katolik tentang perkawinan/keluarga dipengaruhi oleh paham negatif tentang tubuh dan seksualitas. Sebabnya a.l. faham dualistis, pola kebebasan seks masyarakat di sekelilingnya. St. Paulus berkata, "kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu" (1 Kor 7:9). Hidup selibat dihargai jauh melebihi perkawinan. Saking antusiasnya mengagungkan keperawanan, St. Hieronimus (341-420) berkata, "Pria yang mencintai istrinya sendiri dengan berkobar-kobar adalah seorang pezinah." St. Agustinus (354-430 mempengaruhi ajaran Gereja tentang perkawinan, yaitu tentang adanya tiga kebaikan pernikahan: bonum proelis (anak/keturunan), bonum fidei (kesetiaan), dan bonum sacramenti (rahmat). Meski begitu, dia menekankan bahwa selibat lebih luhur daripada perkawinan, "... menikah itu baik ... tapi lebih baik lagi kalau tidak menikah, karena lebih baik bagi masyarakat kalau tak memerlukan adanya pernikahan." Bagi St. Thomas Aquinas (1225-1274), "... persetubuhan tanpa kemungkinan menghasilkan keturunan adalah dosa melawan kodrat dan sama jahatnya dengan pembunuhan." Banyak ahli hukum gereja dan teolog menganut pendapat bahwa "perkawinan adalah obat penawar bagi nafsu berahi." Meski para pembaharu Protestan (abad ke-16) mengagungkan perkawinan dan menolak hidup selibat sebagai tidak biblis dan tidak manusiawi, namun tak seperti Gereja Katolik (Konsili Firenze, 1439), mereka tidak menerima perkawinan sebagai Sakramen melainkan hanya sebagai lembaga duniawi untuk meneruskan keturunan dan bantuan menghindari dosa seksual. Konsili Trente (1545-1563) menolak setiap usaha untuk menyatakan bahwa hidup selibat dan perkawinan punya status sederajat. Paus Pius XII (1876-1958) mengutuk orang- orang yang berpendapat bahwa perkawinan lebih luhur daripada hidup selibat. Hukum Gereja yang lama (KHK th. 1917) membedakan antara tujuan primer dan sekunder perkawinan (Kanon 1013). Tujuan primer perkawinan adalah menghasilkan keturunan dan mendidik anak, sedangkan tujuan sekunder adalah saling menolong antar partner dan meredakan nafsu berahi.

description

In Indonesian language, "Christian Spirituality of Family in the Third Millenium", originally a reflection given by Martin Suhartono, S.J. to a group of Catholics organized by KPH (Kelompok Pendalaman Hidup), Yogyakarta, 27 March 1998

Transcript of Spiritualitas Keluarga Kristiani

Page 1: Spiritualitas Keluarga Kristiani

SPIRITUALITAS KELUARGA DI MILENIUM KETIGA

Martin Suhartono, S.J.

Istilah "spiritualitas keluarga" mungkin terdengar agak teoretis dan mengada-ada. Saya hanya bermaksud mengajak orang merenungkan, "Apakah iman Kristianiku berperanan dalam pandanganku mengenai apakah dan bagaimanakah keluarga itu?" Bagaimanakah pandangan Kristiani selama ini mengenai keluarga? Paham Katolik tentang perkawinan/keluarga selama ini? Selama berabad-abad paham Katolik tentang perkawinan/keluarga dipengaruhi oleh paham negatif tentang tubuh dan seksualitas. Sebabnya a.l. faham dualistis, pola kebebasan seks masyarakat di sekelilingnya. St. Paulus berkata, "kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu" (1 Kor 7:9). Hidup selibat dihargai jauh melebihi perkawinan. Saking antusiasnya mengagungkan keperawanan, St. Hieronimus (341-420) berkata, "Pria yang mencintai istrinya sendiri dengan

berkobar-kobar adalah seorang pezinah." St. Agustinus (354-430 mempengaruhi ajaran Gereja tentang perkawinan, yaitu tentang adanya tiga kebaikan pernikahan: bonum proelis (anak/keturunan), bonum fidei (kesetiaan), dan bonum sacramenti (rahmat). Meski begitu, dia menekankan bahwa selibat lebih luhur daripada perkawinan, "... menikah itu baik ... tapi lebih baik lagi kalau tidak menikah, karena

lebih baik bagi masyarakat kalau tak memerlukan adanya pernikahan." Bagi St. Thomas Aquinas (1225-1274), "... persetubuhan tanpa kemungkinan menghasilkan

keturunan adalah dosa melawan kodrat dan sama jahatnya dengan pembunuhan." Banyak ahli hukum gereja dan teolog menganut pendapat bahwa "perkawinan adalah obat penawar bagi nafsu berahi." Meski para pembaharu Protestan (abad ke-16) mengagungkan perkawinan dan menolak hidup selibat sebagai tidak biblis dan tidak manusiawi, namun tak seperti Gereja Katolik (Konsili Firenze, 1439), mereka tidak menerima perkawinan sebagai Sakramen melainkan hanya sebagai lembaga duniawi untuk meneruskan keturunan dan bantuan menghindari dosa seksual. Konsili Trente (1545-1563) menolak setiap usaha untuk menyatakan bahwa hidup selibat dan perkawinan punya status sederajat. Paus Pius XII (1876-1958) mengutuk orang-orang yang berpendapat bahwa perkawinan lebih luhur daripada hidup selibat. Hukum Gereja yang lama (KHK th. 1917) membedakan antara tujuan primer dan sekunder perkawinan (Kanon 1013). Tujuan primer perkawinan adalah menghasilkan keturunan dan mendidik anak, sedangkan tujuan sekunder adalah saling menolong antar partner dan meredakan nafsu berahi.

Page 2: Spiritualitas Keluarga Kristiani

Martin/Keluarga/hal. 2

Meskipun sudah ratusan biarawan/wati dinyatakan Kudus, belum ada satu pasang suami-istri pun yang dinyatakan kudus kecuali tentu saja Yosef dan Maria. Namun kini orang mulai sadar akan keterbatasan pandangan tradisional ini. Dengan begitu terjadilah .... Perkembangan paham Katolik tentang perkawinan/keluarga? Konsili Vatikan II (1962-1965) menimba inspirasi KS tentang perkawinan. Perkawinan tidak hanya dilihat dari sudut "kontrak" tapi dari sudut "perjanjian" cinta-kasih antar partner sejajar (Gaudium et Spes, 47-52). Dengan itu mau ditekankan bukan hanya unsur kelembagaan (kontrak) perkawinan, tetapi aspek personal hubungan suami-istri yang melambangkan hubungan Allah dan Umat-Nya dalam Perjanjian (PL) atau antara Kristus dengan Gereja-Nya (Ef 5:22-33). Diakui bahwa "perkawinan bukan hanya diadakan demi adanya

keturunan saja" (GS, 50) melainkan juga demi persekutuan hidup suami-istri dalam cinta-kasih (Kej 2:18, 24). Jadi bila mandul atau terlalu tua, perkawinan mereka tetap berarti. Hukum Gereja yang berlaku sekarang (KHK th. 1983), mengikuti Konsili Vatikan II, tak membedakan lagi antara tujuan primer dan sekunder. Keduanya dilihat bersama-sama, yang satu tak lebih tinggi/penting daripada yang lain; perkawinan "terarah pada kesejahteraan

suami-istri (bonum coniugum) serta pada kelahiran dan pendidikan anak" (Kanon 1055; juga Katekismus Gereja Katolik, no. 2201). Setelah mengikuti perkembangan pandangan mengenai keluarga ini, bagaimanakah prospek kehidupan keluarga di masa datang? Keluarga masa depan: keluarga amburadul? Banyak orang meramalkan kehidupan keluarga yang amburadul. Akan ada perubahan besar dalam pola hidup berkeluarga akibat cepatnya perubahan di masa depan. Perceraian makin menjadi-jadi. Kemajuan biologi-reproduktif seperti bayi tabung, bank sperma, cangkok janin, rekayasa genetik keturunan dari segi jenis kelamin/aspek-fisik/kecerdasan/sifat dll., bahkan adanya embryotorium (loak janin!) akan menghilangkan fungsi keibuan/kebapaan seseorang. Dan akibatnya adalah ..... Keluarga tanpa anak? Keluarga yang di alam tradisional terpusat pada anak, di alam modern ini makin terpusat pada orang dewasa. Makin muncul "budaya bebas anak". Jumlah keluarga semakin dipersempit dan hanya menjadi suami dan istri tanpa anak. Dengan begitu mereka dapat bekerja semakin efisien dan berpindah-pindah tempat sesuai tuntutan pekerjaan tanpa dibebani tugas mengurus anak. Tugas melahirkan dan membesarkan anak akan diurus oleh keluarga-keluarga tertentu saja sedangkan yang lain bebas untuk berfungsi sebagai individu. Kecendrungan ini makin diperkuat dengan maraknya fenomen keluarga "kumpul kebo". Akibatnya, bakal muncul "orangtua profesional". Kini sudah ada Pro-Diakon, nah bakalan ada juga Pro-Ortu. Bio-Ortu (orangtua biologis) tak perlu repot-repot mengurusi anak. Anak-anak dititipkan saja pada Pro-Ortu yang sudah ikut pembekalan untuk menjadi Ortu dan dinyatakan lulus untuk tugas berat itu. Lebih dari itu, dengan adanya embryotorium, orang tak perlu buru-buru punya anak di usia muda tapi menundanya sampai segala sesuatu beres dalam hidup! Sesudah semua aspirasi, cita-cita, impian pribadi terwujud, nah barulah orang punya waktu senggang untuk punya anak. Setelah pensiun, orang tinggal jalan-jalan di suatu mall yang khusus menjual macam-macam embrio, pilih mana suka, dibesarkan dalam tabung atau sewa rahim seseorang perempuan lain dan ooplaa jadilah sang anak! Kini dengan adanya Dr. Richard Seed dan sistem pengklonan manusianya, punya "anak" bakalan lebih mudah lagi!

Page 3: Spiritualitas Keluarga Kristiani

Martin/Keluarga/hal. 3

Karena bayangan akan segala macam perubahan dan kemajuan itu, ada yang super pesimis dan meramalkan kehancuran total keluarga. Dengan pengklonan, kebutuhan akan keluarga sebagai "pabrik anak" tak diperlukan lagi. Tapi ada juga yang masih optimis dan memperkirakan bahwa justru karena segala macam perubahan itulah orang jadi merasa perlunya suatu benteng (semacam bunker) tempat orang bisa berlindung dari dunia luar. Keluarga jadi berfungsi sebagai shock absorber atau malah shock breaker, atau malah tong sampah! Istilah Jawanya, keluarga menjadi tempat orang kelonan, dibuat tertidur, dininabobokan, atau netek (menyusu) bermanja-manja berlindung dari badai hebat di luar rumah. Di antara kemungkinan itu ada berbagai variasi ... Pola-pola keluarga alternatif? Dalam masyarakat agraris/tradisional yang ada ialah keluarga-besar (extended family), terdiri dari kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, dll. Sedangkan dalam masyarakat industri/modern yang ada hanyalah keluarga-inti (nuclear family), terdiri atas suami-pencari-nafkah, istri-pengatur-rumahtangga, dan maksimal dua anak. Dalam fase mendatang, yaitu masyarakat supra-industri/supra-modern, pola keluarga-inti akan hancur dan pola keluarga-besar akan dihidupkan kembali, hanya saja dalam bentuk berbeda. Pokoknya, peranan orangtua tidak akan dibatasi lagi pada ayah dan ibu biologis seseorang. Kini sudah ada "keluarga" alternatif yang juga sudah mulai dicoba di berbagai tempat di Amerika Serikat. Ada orang dewasa (bisa laki bisa perempuan) yang tidak menikah tapi cinta anak dan karenanya secara individual mengadopsi serta membesarkan beberapa anak. Makin banyak juga keluarga-satu-orangtua (single parent family). Terbentuk pula "keluarga gado-gado" (aggregate family), yaitu keluarga hasil perceraian yang kawin lagi dengan masing-masing pasangan membawa anak dari perkawinan terdahulu. Ada juga koloni-koloni keluarga. Di situ macam-macam keluarga tinggal bersama. Anak-anak dibesarkan bersama oleh gabungan orangtua mereka. Ada juga beberapa pasangan orang dewasa (tak selalu heteroseks, tapi homoseksual/lesbian) yang mengadopsi anak-anak dan membesarkan mereka secara bersama-sama. Ada juga kelompok yang hidup dalam semacam "biara keluarga": 250 orang dewasa dan anak-anak tinggal bersama dalam satu kompleks, masak dan makan bersama, beribadat dan membesarkan anak bersama, kekayaan dan pendapatan dikumpulkan jadi satu untuk kebutuhan bersama.

Bagaimanakah Sikap Kita? Selain gambaran suram tentang kehidupan keluarga yang amburadul di masa mendatang, sebenarnya para futurolog pun mengakui bahwa milenium mendatang adalah milik Tuhan dan kaum perempuan. Nilai-nilai rohani yang selama ini mengalami erosi akibat kemajuan iptek akan kembali dicari orang. Kaum perempuan, yang selama ini ditindas/disisihkan oleh kaum pria, akan semakin ambil peranan dalam masyarakat maupun Gereja. Dunia yang selama ini dikuasai oleh unsur yang (maskulin) akan diimbangi oleh unsur yin (feminin) sehingga akan tercapailah harmoni. Selain itu fenomen keterpecahan dalam keluarga akan diimbangi juga dengan semakin besarnya kesadaran bahwa setiap orang, keluarga, suku, dan bangsa ternyata tak dapat berdiri sendiri-sendiri. Globalisasi dalam segala bidang, dengan segala baik-buruknya, membuat orang makin sadar akan saling ketergantungannya satu sama lain. Apa yang menimpa satu orang/kelompok/bangsa ternyata punya dampak juga pada yang lain. Orang akan makin mengusahakan keseimbangan dan kesatuan dengan yang lain.

Page 4: Spiritualitas Keluarga Kristiani

Martin/Keluarga/hal. 4

Kesadaran akan kebutuhan rohani, akan aspek feminin kehidupan, akan kesatuan segala sesuatu, membuat orang juga menemukan makna dan peranan keluarga dalam kehidupan. Keluarga tidak akan dipandang lagi secara berdiri sendiri dan terpisah (sbg. keluarga-inti) tapi dalam kesatuan dengan keluarga-keluarga lain (sbg. keluarga besar ala masyarakat tradisional tapi tanpa akibat-akibat negatifnya). Akibatnya, seturut iman kepercayaannya, orang akan semakin mengusahakan .... Back to Basic? Orang akan semakin terdorong untuk menggali akar-akar tradisi, kebudayaan, agama, dan kebangsaan masing-masing dalam menilai dan menghargai kembali kehidupan keluarga. Dalam Gereja, orang akan makin menyadari hal-hal berharga di dalam nilai-nilai keluarga seturut tradisi lokal. Orang makin sadar bahwa selama ini budaya Barat (Eropa - Amerika Utara) kerap diidentikkan dengan Kekristenan, juga dalam hal keluarga. Nilai-nilai positif keluarga suku-suku Afrika, bangsa-bangsa di Asia, di Amerika Selatan yang selama ini diabaikan atau direndahkan akan digali dan ditemukan serta diintegrasikan dalam praktek hidup keluarga Kristen. Selain itu, semakin digalang kesadaran akan dan penjagaan terhadap anak-anak, lebih-lebih dengan semakin ditemukannya kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak, pelacuran anak-anak, pekerja anak-anak, dll. Dalam diskusi etika dan moral tentang KB, aborsi, dan rekayasa genetis, titik pandang anak sebagai subyek juga semakin mendapat tempat. Penolakan terhadap cloning terutama digerakkan oleh perhatian terhadap hak anak akan ayah dan ibu biologis. Tema keluarga makin menduduki porsi penting dalam Ajaran Gereja (Konsili Vatikan II: Lumen Gentium 11, Gaudium et Spes 47-52, Apostolicam Actuositatem 11, Gravissimum Educationis; Yoh. Paulus II: Surat Apostolik Familiaris Consortio, 1981, "Surat kepada Keluarga-keluarga", 1994; Tahta Suci: "Deklarasi Hak-hak Keluarga" 1983, Sinode Uskup-uskup 1983 tentang Keluarga). Metafor-metafor yang dipakai untuk keluarga menunjukkan pengakuan akan peranan sentral keluarga dalam Gereja dan Masyarakat. Dalam rangka hidup kegerejaan, Konsili Vatikan II bicara tentang keluarga Kristen sebagai "Gereja Rumah Tangga" ("domestic church", "ecclesia domestica", LG 11; lihat juga Yoh. Paulus II, Familiaris Consortio 21; dan KGK no. 2204), yaitu suatu persekutuan harapan, iman, dan cinta yang memainkan peranan khusus dalam Gereja (Ef 5:21-6:4; Kol 3:18-21; 1 Ptr 3:1-7). Istilah ini berasal dari St. Yohanes Krisostomus dan St. Agustinus. Hidup dan keberadaan keluarga Kristen tidak dilihat sebagai suatu kesatuan ekslusif yang mandul tanpa guna, hanya hidup demi dirinya sendiri (kelonan), melainkan sebagai kesatuan yang punya daya guna dan dampak keluar. Dalam Katekismus disebutkan, "Keluarga Kristen

mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil" (KGK, no. 2205). Dalam rangka hidup kemasyarakatan, Konsili Vatikan II bicara tentang keluarga sebagai "Sel Utama Masyarakat" (AA, 11; lih. KGK no. 2207). Persekutuan suami-istri secara dasariah penting bagi keutuhan masyarakat. Dengan demikian keluarga punya perutusan illahi yang akan terlaksana "bila melalui cinta kasih timbal-balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat Gereja di rumah; bila segenap keluarga ikut serta dalam ibadat liturgis Gereja; akhirnya, bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaanya untuk menjamu, dan memajukan keadilan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan" (AA 11). Metafor ini merupakan kritik pula terhadap masyarakat yang cenderung menjadikan keluarga sebagai tempat sampah atau bengkel orang. Dalam rangka kedua metafor itu, keluarga-keluarga dihimbau untuk berhimpun dalam kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok seperti ME, Komunitas Basis Gerejani, Kring dll. akan semakin berperanan dalam menggalang solidaritas dalam hidup dan perutusan.

Page 5: Spiritualitas Keluarga Kristiani

Martin/Keluarga/hal. 5

Sinode Uskup-uskup 1983 tentang Keluarga (pernyataan 36) mendefinisikan spiritualitas keluarga Kristen dalam enam pokok pikiran, yaitu memenuhi aspek Penciptaan (partisipasi pada daya kreatif illahi), Perjanjian (kesatuan suami-istri), Salib (perjuangan), Kebangkitan (kemenangan), Tanda, dan Harapan Eskatologis. Sedangkan dalam Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II merangkum tujuan keluarga dalam empat butir pemikiran: pembentukan komunitas pribadi-pribadi, pelayanan kehidupan, ambil bagian dalam pembangunan masyarakat, dan ambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja. Para teolog hidup rohani pun mulai mengembangkan suatu spiritualitas keluarga Kristen. Spiritualitas diletakkan dalam rangka usaha manusia mencari makna hidup. Untuk hidup dan bertindak manusia memerlukan motivasi. Maka spiritualitas adalah "the motivation

that guides the projects and commitments of our lives" (Márcio Fabri dos Anjos, "Building a Spirituality of Family Life", Concilium 1995/4, h. 101). Dari semua unsur di atas, manakah satu gagasan dasar yang dapat merangkum segala keprihatinan, tujuan, motivasi dan nilai-nilai mengenai keluarga? Cinta Kristiani: dari partikularitas ke universalitas? Kekhasan ajaran Yesus mengenai keluarga adalah bahwa meskipun -lebih dari Nabi-nabi lainnya- Ia menekankan kesatuan keluarga sehingga Ia menentang perceraian (Mt 5:31-32; 19:3-9; Mk 19:2-10; Lk 16:18; 1 Kor 7:10), tetapi bagi Dia keluarga bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Lebih luas daripada keluarga-hubungan-darah adalah "Keluarga Allah" yang didasarkan pada ketaatan kepada Kehendak Bapa (Mk 3:31-35; Mt 12:46-50; Lk 8:19-21; bdk. Lk 11:27-28). Ini tak berarti bahwa hubungan keluarga-darah itu harus diabaikan, melainkan bahwa paham mengenai keluarga itu harus diperluas melewati hubungan darah. Kehendak Allah dihayati pertama dan terutama dalam pelaksanaan Perintah Cinta Kasih kepada sesama (Mt 22:34-40; Mk 12:28-34; Lk 10:25-28), bahkan kepada musuh sekalipun (Mt 5:43-48; Lk 6:27-28; 32-36). Cintakasih Kristiani ini biasa dikenal lewat istilah Yunaninya, agape. Suatu cinta manusiawi-illahi (Cinta Yesus tanpa pamrih sampai sehabis-habisnya, Yoh 13:1) yang mengikat orang Kristen satu sama lain sebagai satu tubuh (1 Kor 12:12-27; Rom 12:4-6), hanya saja bukan secara ekslusif melainkan inklusif, dalam arti, menjangkau setiap insan (Mt 25:31-46). Itulah tadi selintas kilas pokok-pokok pikiran yang ingin saya sampaikan sehubungan dengan tema keluarga: kecenderungan keretakan keluarga modern, kembalinya nilai-nilai rohani di abad mendatang, dan sumbangan yang dapat diberikan oleh paham Kristen.

(Ceramah pada Kelompok Pendalaman Hidup / KPH, Yogyakarta, 27 Maret 1998)