SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)
-
Upload
irfan-noor-mhum -
Category
Documents
-
view
142 -
download
0
Transcript of SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA
(Kajian Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)
Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum1
Abstrak:
Artikel ini merupakan kajian filosofis atas pemikiran Seyyed
Hossein Nasr mengenai pendekatan filsafat perennial dalam
studi agama. Kritik Nasr atas studi agama ini dikarenakan
paradigma empiris-positivistik yang dianutnya gagal dalam
merumuskan realitas agama, yang meliputi tatanankemanusiawian dan tatanan keilahian. Dalam kritiknya
tersebut, Nasr mengagas pendekatan filsafat perennialsebagai alternatif pendekatan. Satu sisi, kelebihan dari
pendekatan filsafat perennial adalah kemampuannya dalam
membuka cakrawala spiritual agama-agama sehingga dapatmerumuskan struktur ontologi agama-agama. Oleh
karenanya, pendekatan ini bisa memberi landasan ontologi
agar kecenderungan kajian ilmiah yang reduksionis dapat
dihindari dan kajian normatif-teologis tidak terjebak dalampemahaman keagamaan yang sempit dan sektarian. Di sisi
lain, kelemahan pendekatan ini adalah keterjebakannya dalamspiritualisme sehingga dikhawatirkan melupakan aspek
historisitas-empiris.
Kata Kunci: Perennialisme, Spiritualisme, reduksionisme,
dan Asal Yang Ilahi.
A. Pendahuluan
Krisis epistemologi studi empiris agama modern, bagi Nasr, sesungguhnya
berakar dari landasan ontologis yang menjadi pijakan pandangan-dunia sains modern.Dampaknya, sains modern gagal dalam merumuskan realitas total dari agama. Oleh
1Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Menyelesai studi
program S1 di jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan S2
Ilmu Filsafat di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sedangkan gelar Ph.D diperoleh di
Universiti Utara Malaysia.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
karenanya, persoalan “bagaimana agama bisa diteliti ?” merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari dunia akademik – sejak munculnya pendekatan behaviorisme,
fenomenologi, dan pendekatan-pendekatan empiris-positivisme lainnya dalam ilmu-
ilmu sosial – adalah bagian dari kritik Nasr atas tradisi studi agama ini.
Pentingnya melakukan kritik terhadap dasar ontologi sains modern, menurut
Nasr, dikarenakan ontologi merupakan bagian paling fundamental dalam bangunan
suatu ilmu. Dasar ontologi menjadi penentu pola bangunan epistemologi, yang
selanjutnya menentukan ke arah mana ilmu itu bergerak. Dari sinilah muncul
beragam faham dalam ilmu pengetahuan.2
Asumsi demikian mengisyaratkan bahwa
setiap pengetahuan secara a priori menerima adanya realitas sebagai objek
pengetahuan. Oleh karenanya, pandangan tentang realitas merupakan dasar dari
seluruh bangunan ilmu. Tidaklah mengherankan, dalam dunia keilmuan, selalu ada
upaya ilmiah yang disebut metode, yakni cara kerja untuk dapat memahami objek
yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Objeklah yang menentukan metode,
bukannya sebaliknya.
Dengan demikian, ketika seorang peneliti memasuki bidang agama, maka ia
akan berhadapan dengan suatu fenomena yang muncul lantaran penerapan nilai-nilai,keyakinan-keyakinan, dan perasaan-perasaan. Kesemuanya ini melibatkan kedalaman
paling inti dari fikiran manusia. Agama, tentu saja, ekspresi-ekspresi yang dapat
diamati, pranata-pranata yang dapat diukur atau manifestasi-manifestasi yang
terlembagakan, namun makna ekspresi-ekspresi, pranata-pranata, dan manifestasi-
manifestasi inilah yang menjadi pokok persoalan utama dalam kajian-kajian agama.3
Pada tingkat argumen inilah, Nasr melakukan kritik ontologi terhadap
paradigma studi agama dan agama-agama yang selama ini telah mapan di dunia
akademik Barat. Menariknya, kritik tersebut dirumuskan Nasr melalui kajian
2Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis and Study of Religion”, dalam Frank Whalling,
(ed), The World’s Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T.
Clark LTD., 1984), hlm. 186.3Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C. Martin, (ed),
Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985), hlm. 190.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
ulangnya atas khazanah intelektual Islam yang banyak memuat pemikiran tentang
realitas agama dari para ahli ilmu Kalam, filsuf, dan sufi dalam khazanah intelektual
Islam, yang dipahaminya memiliki konsepsi tentang realitas agama yang utuh.4
B. Latar Kehidupan Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada 17 April 1933 di Teheran – Iran dari
keluarga yang berpendidikan baik. Ibunya merupakan salah seorang dari keluarga
yang berpendidikan yang sangat baik, yakni keluarga seorang ulama, sedangkan
ayahnya adalah seorang dokter praktek yang ahli dalam pengobatan,-- baik
pengobatan secara tradisional maupun modern -- dan seorang sarjana sastra serta
pendidik bangsa Persia yang sangat masyhur.5
Dalam konteks Iran ini, Nasr
dibesarkan dalam tradisi dan locus ulama Syi’ah tradisional yang mencakup nama
besar seperti Thabathaba’i, Hazbini, dan lain-lain. Tidak mengherankan apabila Nasr
berkembang menjadi seorang intelektual yang selalu sarat dengan gagasan-gagasan
yang nampak diwarnai oleh ciri sufisme Persia.
Nasr juga memperoleh pendidikan Barat modern, dimana pendidikan
tingginya diperoleh di Massachussets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikatuntuk mendalami ilmu fisika dan matematika. Selama belajar di MIT ini, Nasr
tertarik dengan sejarah sains dan filsafat yang kebetulan diajarkan oleh dosen
tercintanya, Giorgio De Santillana.6 Dari perkenalannya dengan Giorgio De
Santillana tersebut, Nasr diantarkan kepada karya-karya besar Dante.7
4Seyyed Hossein Nasr, “Existence (wujud ) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic Philosophy”,
dalam Jurnal International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX, No. 4., Issue No. 116, December
1989, hlm. 418-427.
5Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of the Eternal Sophia”, (The George WashingtonUniversity, 1990), hlm. 133.
6Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library,
1970), hlm. Vii.7Nama lengkapnya adalah Aligheri Dante (1265-1321), seorang penyair terbesar dari Italia
yang menulis La Divina Comedia. Melalui karya-karya Dante inilah, Nasr makin terbuka
pemahamannya tentang tradisi Barat beserta kemegahannya. Sementara tokoh-tokoh lain yang sempat
Nasr jumpai saat belajar sejarah sains dan filsafat tersebut, antara lain G. Sarton, Sir Hamilton Gibb,
W. Jaeger, dan H. A. Wolfson. Di institut ini pula, Nasr sempat berguru dengan Bertrand Russel
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Pergumulan Nasr di dunia filsafat Barat modern telah membawanya pula
untuk mempelajari dunia Timur, terutama metafisika Hindu. Nasr secara serius
memperdalam karya-karya Sri Aurobindo, S. Radhakrishnan dan S. Dasgupta sampai
pada karya-karya dari A. K. Coomaraswamy. Dari sini, Nasr seakan-akan bertemu
dengan dunia Timur yang selama ini terlupakan oleh kebesaran Barat modern.8
Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam mengantar Nasr ke dunia Timur tersebut,
antara lain Fritjof Schoun, Louis Massignon, Henry Corbin dan T. Burchardt, yang
secara serius mengantarnya pada kedalaman tradisi sufisme Islam.9
Oleh karena itu, Nasr merupakan contoh tipikal cendikiawan muslim yang
dibesarkan dalam dua tradisi, yakni Islam “tradisional” dan Barat modern. Dalam dua
tradisi ini, Nasr memasuki dua kutub ketegangan, yakni Timur dan Barat; suatu
pandangan dari dunia lain, yakni pemikiran dan kebudayaan Barat modern yang
terlihat memikat sekaligus mengancam. Dalam ketegangan dua kutub tradisi inilah,
Nasr membangun pondasi intelektualnya yang kokoh.10
Pada tahun 1954, Nasr meraih gelar sarjana muda dengan predikat cum laude
dalam bidang fisika. Dari MIT, Nasr kemudian melanjutkan jenjang studinya ke
universitas Harvard untuk memperdalam bidang kajian Geologi dan Geofisika. Tidak puas dengan bidang tersebut, Nasr kemudian menekuni bidang history of science and
philosophy, dengan memfokuskan kajian pada bidang Islamic Science, hingga
berhasil memperoleh gelar MA pada tahun 1956 dan gelar Ph.D dalam usia 25 tahun
pada tahun 1958.11
tentang berbagai aliran filsafat Barat modern, yang inti sarinya, semua aliran filsafat itu menjurus pada
paham materialistik.8Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of …Op.Cit., hlm. 114-115.9Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern , diterjemahkan oleh
Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 256.10Komaruddin Hidayat, “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia
Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr”, dalam Dawam Rahardjo, (ed.), Insan Kamil, (Jakarta: PT.
Graffiti Press, 1985), hlm. 184.11
Karyanya Science and Civilization in Islam adalah sebuah karya yang berasal dari disertasi
Ph.D sekaligus merupakan karya pertamanya sebagai intelektual dunia muslim garda depan.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Setelah memperoleh gelar Ph.D, Nasr sempat menjadi associate Profesor di
almamaternya antara tahun 1958-1963, dan kemudian pulang ke tanah airnya untuk
mengajar di Universitas Teheran. Di Universitas tersebut, Nasr pernah menjadi
Dekan fakultas seni dan sastra (1968-1972) dan wakil rektor (1970-1971). Selama
berada di tanah airnya, Nasr bersama Murthada Muthahhari pada tahun 1965
mendirikan Lembaga Pengkajian Islam Husyainiyyah Irsyad di Teheran Utara.
Lembaga pendidikan ini bertujuan merebut perhatian kaum muda sekuler agar
kembali ke Islam. Namun lembaga ini, pada belakangan harinya, menjadi ajang
aktivitas politik kaum revolusioner Iran – yang di dalamnya masuk seorang tokoh
pemikir revolusi Iran, Ali Syari’ati – yang kemudian berhasil mendirikan Negara
Islam Iran pada tanggal 12 Januari 1979. Dengan alasan inilah, Nasr dan Muthahhari
keluar dari lembaga tersebut.12
Nasr sendiri kembali ke Amerika Serikat sebagai
dosen tamu sambil mempersiapkan buku.
Karena merasa hubungannya kurang baik dengan kaum revolusioner, Nasr
akhirnya memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Inilah awal dari semua karir
intelektual Nasr di luar tanah kelahirannya. Walaupun belakangan ini Nasr sempat
beberapa kali mendapat tawaran yang lengkap dengan jaminan keselamatan daripemerintah Iran untuk kembali ke Teheran, Nasr tetap memutuskan untuk tidak
kembali ke tanah airnya.
Selama berada di luar Iran, Nasr pernah menjadi dosen tamu pada Universitas
Harvard (1958-1963), Profesor studi Islam pada Universitas Amerika di Beirut,
12Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari Seminar
Seyyed Hossein Nasr)”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993, hlm.
107. Dengan latar belakang inilah, hubungan Nasr dengan Syari’ati menjadi kurang harmonis. Nasr
memandang Syari’ati sebagai modernis muslim pertama yang menciptakan semacam “ liberalition
theology” dalam Islam karena pengaruh westernisme dan marxisme. Syari’ati menyajikan Islamsebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Dalam penilaian
Nasr, gagasan Syari’ati ini sangat berbahaya. Ketidaksenangan Nasr terhadap Syari’ati juga
disebabkan tindakan Syari’ati yang selalu melancarkan kritik keras terhadap ulama tradisional. Di sisi
lain, meskipun akrab dengan Muthahhari, Nasr bisa disebut orang yang tidak begitu peduli terhadap
politik. Sikap ini muncul karena latar belakang pendidikannya di bidang fisika dan filsafat di Barat dan
selama 12 tahun berguru kepada sejumlah ulama tradisional Iran, yang antara lain Mohammad Hossein
Thabathaba’i, penulis Tafsir al-Mizan. Sebagai seorang muslim tradisional, Nasr menganggap bidang
politik praktis bukan urusannya.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
lebanon (1964-1965), dan “visiting professor” di Universitas Princeston (1975), serta
Profesor studi Islam pada Universitas Temple Philadelphia ((1979-1984). Atas
permintaan Charles Strong, Nasr sempat mengajar di Universitas Australia. Terakhir,
sejak tahun 1984 hingga kini menjadi Profesor di Universitas George Washington,
Washington, DC – AS., dalam bidang yang sama.13
C. Kritik Filsafat Perennial dan Epistemologi Sains Modern
Salah satu kritik Nasr terhadap dunia Barat modern adalah kritik Nasr
terhadap tradisi studi agama di Barat, yang bisa dikatakan sebagai bentuk
keprihatinannya atas krisis sains modern. Krisis ini dimaksudkan sebagai
menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai
dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan.14
Krisis sains modern ini berakar dari proses modernisasi di Barat yang telah
meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan melalui renaissance dan
aufklarung. Dalam konteks modern, semua makna dunia objektif tradisional
dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sebagaimana dalam cogito ergo sum-
nya. Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah peranan mutlak subjek dalam membentuk realitas. Pergeseran pendulum epistemologis dari objek ke subjek
ini berkembang penuh dalam zaman rasionalisme filsafat Perancis dan Jerman dari
13Karya-karya Nasr yang telah dipubliksikan, antara lain meliputi: An Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines, (Cambridge: Harvard Univ. Press., 1964); Histoire de la Philosophie
Islamique, (Paris: Gallimard, 1964); Ideals and Realities of Islam, (London: Allen and Unwin, (1971);
Iran, (Paris: Unesco, 1966); Islamic Studies, (Beirut: Librairie du Libban); Science and Civilazation in
Islam, (Cambridge: Harvard Univ. Press, 1968); The Encounter of Man and Nature: Spiritual Crisis of
Modern Man, (London: Allen and Unwin, 1968); Sufi Essays, (London: Allen and Unwin, 1968);
Jalal al-Din Rumi: Supreme Persian Poet and Sage, (Teheran: High Council of Culture and Art,
1974); Islam and the Flight of Modern Man, (London: Longman, 1975); An Annotated Bibliography of Islamic Science, (Teheran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1975); Islamic Science – An
Illustrated Study, (London: Thorsos, 1979); Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1981); Tradisional Islam in the Modern Word , (London: KPI, 1987); Islamic Art and
Spirituality, (Ipswich: Golgonooza Press, 1987); A Young Muslim’s Guide to the Modern World ,
(Chicago: Kazi Publications, 1993).14
Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man, (London: George Allen and Unwin, 1968), hlm. 51-80. Lihat juga pada Seyyed Hossein Nasr,
Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980), hlm. 1-64.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Rene Descartes (1596-1650), melewati Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
sampai Immanuel Kant.
Di tangan Kant, penekanan Descartes pada subjek tersebut diradikalkan
dengan lebih memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia.
Penemuan batas-batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa
meneliti subjek adalah lebih mungkin daripada meneliti objek. Batas-batas pikiran
dari Kant inilah yang kemudian dianut oleh para filsuf setelahnya yang lebih
menekankan kenyataan inderawi yang terlihat dan terjamah, sebagaimana yang
diistilahkan oleh Kant sebagai das ding an sich (kenyataan pada dirinya).15
Kerangka epistemologi ini memuncak pada positivisme Auguste Comte16
(1798-1857), dimana pengetahuan inderawi tidak hanya menjadi norma tetapi justru
menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan.17
Pergeseran ke pihak objek
ini sekarang bukanlah sekedar pergeseran tekanan yang masih menerima peran
subjek, melainkan justru menghapus subjek, dan pada akhirnya menyudahi
epistemologi.18
Dalam dunia sains, kecenderungan yang kemudian dianut secara berlebihan
adalah objektivisme. Krisis pengetahuan ini tidak hanya mereduksi manusia ke matraobjektifnya, namun juga karena terjadi fragmentasi ilmu maka terjadi juga
fragmentasi kenyataan yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan
tentang manusia dan realitasnya.19
15F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk Menyelamatkan
Subjek”, dalam Majalah Basis, (Maret 1991), hlm. 84.16
Nama lengkapnya, Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte.
17 Ibid ., hlm. 127-131.18 Ibid ., hlm. 127.
19F. Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
Modernisme” (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, Tahun 1994,
hlm. 4. Paradigma inilah yang oleh Tom Sorell sebut sebagai “saintisme”, ya kni suatu kepercayaan
bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan,
otoritatif, dan seriusnya. Saintisme macam ini sesungguhnya merupakan bentuk matang dari
positivisme modern yang dirintis oleh Comte pada abad lalu. Basis epistemologisnya adalah doktrin
fenomenalisme, yakni sebuah fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman inderawi
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Sejalan dengan perkembangan paradigmatik inilah muncul minat untuk
memahami agama. Latar belakang positivisme yang sedang marak telah
menyebabkan orientasi studi agama cenderung melecehkan agama. Dalam konteks
ilmu-ilmu sosial, minat kajian terhadap agama, -- sebagaimana antropologi, etnologi,
arkeologi, sosiologi, dan filologi -- tercermin dari kajian mereka terhadap agama
dalam konteks masyarakat suku-suku primitif.20 Agama sering dilecehkan sebagai
warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari
dunianya, sublimasi dari keinginan-keinginan manusia yang tak kesampaian, dan
sebagainya.
Sarjana yang pertama kali menjadikan studi agama sebagai bagian studi
ilmiah adalah Friedrich Max Muller (1823-1900 M) dengan istilah
religionswissenschaft .21
Perkembangan awal religionswissenschaft di Barat ini sangat
diwarnai oleh semangat Aufklarung dan kemajuan sains pada abad ke-19, yakni sikap
rasionalistik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Max Muller menganggap
mitos sebagai “penyakit bahasa”, Tylor memandang animisme sebagai “mistaken
logical inference” dan berbagai teori pra-animisme yang didasarkan pada pendekatan
yang sangat sempit dan rasionalistik.Baru pada dasawarsa awal abad ke-20, atas pengaruh fenomenologi, telah
muncul kesadaran baru akan kesejarahan di ranah studi agama, dimana manusia
selalu merupakan mahluk historis dan orang harus mempertimbangkan hakikat
historis dari data religius.22 Kesadaran baru ini bisa ditemukan dalam kajian Rodolf
Louis Karl Otto dalam bukunya The Ide of the Holy. Otto meletakkan agama sebagai
gejala yang normal dan otonom dalam fenomena manusiawi, sehingga agama
merupakan sebuah kategori sui generis, khusus dan tersendiri karena berkaitan
dengan “Yang Maha Suci”. Yang Maha Suci ini diistilahkan Otto sebagai Numinous,
yang berarti Yang Suci dan Yang Supranatural. Essensi Yang Numinous ini tidak
20 Ibid ., hlm. 6.
21A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), cet. IV.
hlm. 13.22
Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978), hlm. 69.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
dapat dimengerti rasio manusiawi, tetapi hanya dapat diketahui hakikatnya oleh
sensus numinis, yakni perasaan mengenai Yang Numinous itu.23
Di sini, Otto tampak berusaha menolak reduksi dan menekankan kualitas
pengalaman akan Yang Sakral; menghindari bias yang intelektualistik dan
rasionalistik atau mereduksi fenomena religius dalam skema-skema sempit, termasuk
pendekatan yang historisistik.24 Usaha-usaha yang telah dilakukan di atas
sesungguhnya tidak lain dalam rangka bagaimana mempertahankan transcendental
focus sebagai ciri khas ilmu-ilmu agama di hadapan kajian-kajian para ilmuwan sosial
yang mereduksi agama hanya sebagai gejala-gejala sosial semata. Namun sayangnya,
ketegangan ini masih berpihak pada acuan objektivitas saitisme yang merupakan
tolak ukur ilmiah.25
D. Filsafat Perennial dan Alternatif Studi Agama
Dalam konteks inilah, Seyyed Hossein Nasr tampil sebagai seorang
intelektual muslim yang ikut prihatin terhadap situasi studi agama di dunia akademis
Barat modern. Bagi Nasr, dalam konteks studi agama Barat modern, agama lebih
dipahami pada batasnya yang eksoterik, yakni dimensi historisitas kehadiran agamadalam realitas sosial-kemanusiaan. Oleh karenanya Nasr mengajukan filsafat
perennial sebagai landasan metodologi studi agama.
Walaupun Nasr tidak begitu orisinil dalam menggagas pendekatan filsafat
perennial sebagai pendekatan alternatif dalam studi agama, namun cara Nasr
merumuskan filsafat perennial dari kerangka tasawuf Islam menjadikan pemikirannya
menjadi unik dan khas, sebagaimana yang dirumuskannya dalam Knowledge and the
23Herman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan MetodologiPenelitian Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 5.24
Titik tolak yang terdapat dalam karya-karya Rudolf Otto itu sangat mewarnai kebanyakan
karya para ahli fenomenologi agama. Hal ini tampak pada Gerardus van der Leeuw dan W. Brede
Kristensen yang merumuskan fenomenologi agama sebagai pendekatan sistematis dan komperatif yang
berusaha mendeskripsikan apa yang umum dalam berbagai fenomena religius.25
M. Amin Abdullah, Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk
Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 9.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Sacred .26
Dalam konteks buku tersebut, Nasr secara gamblang mengaitkan filsafat
perennial dengan tradisi Timur, dimana pengetahuan selalu terkait dengan aspek-
aspek sakral (suci) dan spiritual. Proses mengetahui dalam tradisi Timur, dengan
demikian, bukanlah proses yang semata-mata tertumpu pada pencernaan otak melalui
prosedur dan kerja kolektif panca-indera yang tersedia. Sebagai konsekuensi lebih
lanjut, kualitas pengetahuan dalam tradisi Timur juga tidak hanya meliputi aspek-
aspek fisik dan empirik. Proses mengetahui dan kualitas pengetahuan dalam tradisi
Timur selalu melibatkan dimensi metafisis dan berkaitan erat dengan aspek
metakosmos – untuk menunjukkan wilayah mikrokosmos dan makrokosmos yang
utuh dan terpadu.27
Nasr mengakui konsep pengetahuan seperti itu bukanlah monopoli tradisi
Timur, tetapi juga tradisi-tradisi lain termasuk tradisi Barat pra-modern. Keterpisahan
antara pengetahuan transenden dan pengetahuan profan secara serius terjadi setelah
periode renaisance yang menandai era modernisme, khususnya di Barat dengan
sistem filsafatnya yang rasional dan sarat dengan semangat naturalistik, empirik, dan
hedonistik-materialistik. Namun demikian, Nasr tetap percaya bahwa pada
karakternya yang asli (genuine), tradisi Barat pun – sebagaimana tradisi-tradisi lain – mengandung watak spiritual di samping rasional. Itulah sebabnya, ketika hendak
melakukan kritiknya terhadap Barat, Nasr mengatakan bahwa kita juga harus
mengangkat kembali the millennial tradition of the west itself . Tradisi tersebut adalah
tradisi yang sudah beratus-ratus tahun membentuk peradaban Barat sendiri – yang
tidak lain adalah tradisi universal dan permanen (abadi), yang dikenal dengan istilah
“kebijakan abadi” (the perennial wisdom) atau sophia perennis, sanatana dharma,
26Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press,1980). Penulisan buku ini berasal dari pidato Nasr dalam Gifford Lectures, sebuah forum yang sangat
bergengsi bagi kalangan teolog, filsuf, dan saintis Amerika dan Eropa sejak tahun 1889. Pidatonya
sekitar tahun 1985 ini menjadikan dirinya sebagai sarjana muslim pertama, bahkan sarjana Timur
pertama yang tampil dalam forum itu sejak pertama kalinya digelar hampir satu abad yang lalu di
Universitas Edinburgh. Nasr memanfaatkan kesempatan itu untuk menyajikan “beberapa aspek
kebenaran yang terletak di jantung tradisi-tradisi Timur bahkan jantung semua tradisi, baik di Barat
dan Timur”. 27 Ibid ., hlm. vii.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
atau al-hikmah al-khalidah.28
Dalam konteks inilah, Nasr ingin agar nilai permanen
pengetahuan – yang sudah teruji dari masa ke masa – ditawarkan sebagai alternatif.
Argumentasinya, karena filsafat perennial memandang segala yang ada ini sebagai
turunan dari Yang Absolut, maka ia selalu menegaskan bahwa dalam segala sesuatu
terdapat hakikat.29
Oleh karena itu, apabila filsafat perennial ini dijadikan alternatif dalam
mendekati agama, filsafat perennial selalu menghubungkan dengan substansinya,
yakni inti ajaran agama yang keberadaannya ada di balik bentuk formalnya. Substansi
ini bersifat transenden tetapi sekaligus juga immanen. Ia transenden karena substansi
agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui prediketnya. Namun
begitu, agama juga immanen karena sesungguhnya hubungan antara prediket dan
substansi tidak mungkin terpisahkan.30
Demikian juga, melalui pembedaan antara “Yang Hakiki” dengan “yang
manifestasi”, filsafat perennial perlu memberikan perhatian pada agama dalam
kenyataan trans-historis. Perhatian ini, tidak lain, merupakan usaha untuk
mendapatkan kunci memahami agama-agama yang sangat kompleks dan penuh teka-
teki yang tidak pernah bisa diduga maknanya jika hanya dilihat secara historis dan
28 Ibid ., hlm. viii. Perlu dicatat bahwa istilah philosophia perennis – yang dalam bahasa
Inggris diterjemahkan dengan perennial philosophy – pertama kali dipakai oleh Agostino Steuco
(1497-1548), seorang filsuf yang sekaligus teolog Renaissance, yang beraliran Augustinus. Dalam
karyanya de perennial philosophia, Steuco -- yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Ficino, Pico,
dan Nicolas – menggunakan istilah itu dalam konteks filsafat dan teologi yang tidak terbatas pada
salah satu aliran pemikiran saja. Seperti para pendahulunya, ia memegang ide tentang kehadiran suatu
kebijakan kuno (an ancient wisdom) yang sudah ada sejak munculnya sejarah kehidupan manusia.
Dalam bagian lain, ditegaskan bahwa kebijakan (hikmah, wisdom) pada awalnya merupakan asal yang
bersifat Ilahiyah, pengetahuan suci yang diberikan Tuhan kepada Adam. Oleh kebanyakan manusia,
pengetahuan itu setahap demi setahap diabaikan dan dianggap sebagai sebuah mimpi. Bagi Steuco,
“agama dan filsafat yang benar adalah yang memiliki tujuan theosis. Artinya, sudah ada sejak awal
sejarah kehidupan manusia dan dapat diperoleh, baik melalui ekspresi kebenaran itu secara historik dalam aneka tradisi ataupun melalui intuisi intelektual dan kontemplasi filosofis” . Oleh Nasr,
“ perennial wisdom” atau filsafat perennial tersebut sering diistilahkan dengan “tradisi” – yang kadang-
kadang ditulisnya dengan “T” atau dengan tambahan predikat seperti “tradisi permanen” dan “tradisi
universal”. Dalam konteks agama-agama, “tradisi” ini dapat disepadankan dengan istilah-istilah dalam
agama, seperti Hindu dan Budha dengan Dharma, Islam dengan al-Din, dan Taoisme dengan Tao.29
Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif
Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 4.30 Ibid ., hlm. 53.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
eksoteris. Konsep agama yang dihadirkan melalui pendekatan ini menjadi cukup luas
mencakup tipe agama yang asli dan yang historis, yang Semit dan yang India, yang
mistik dan yang “abstrak”, sehingga wilayah agama yang dikaji menjadi sangat luas
dan mendalam karena terkait dengan yang essensial agama.31
Menurut Nasr, pendekatan ini sama sekali tidak meniadakan adanya aspek-
aspek sosial dan psikologis dari agama. “Hanya saja pendekatan ini menolak adanya
reduksi agama ke dalam manifestasi-manifestasi yang bersifat sosial ataupun
psikologis.”. Hal ini karena “agama datang dari perkawinan antara Norma Ilahiah dan
kolektivitas manusia yang ditakdirkan untuk menerima jejak dari norma itu. Dari
perkawinan itu, lahir agama seperti terlihat di dunia ini, di antara budaya dan bangsa
yang berbeda- beda”.32
Penjelasan di atas menyatakan secara jelas bahwa filsafat perennial
merupakan pendekatan yang “anti reduksionisme” dan “menekankan suatu
pemahaman tentang realitas agama secara utuh”. Suatu ungkapan dari ketidakpuasan
terhadap “historisisme” dalam kajian agama-agama. Kecenderungan pada
“historisisme” ini disikapi dengan mengandaikan suatu antitesa “hukum pada satu
tingkat eksistensi tidak bisa diterapkan pada tingkat eksistensi yang lain. Hal inikarena karakteristik yang muncul pada sistem yang lebih tinggi secara kualitatif
berbeda dari karakteristik sistem yang lebih rendah”.33
Nasr lalu menegaskan posisi epistemologis filsafat perennial dalam kajian
keagaman, sebagai berikut:
Menurut prinsip ini [pen. Filsafat Perennial), pada setiap tingkatan realitas
terdapat suatu alat pengetahuan untuk mengetahui tingkatan realitas khusus
itu. Tetapi ciri khas dari epistemologi ini adalah bahwa setiap bentuk
pengetahuan merupakan hasil dari illuminasi akal oleh cahaya yang dalam
penampakannya terlihat menyelimuti objek penglihatan tersebut. Akan halnyabentuk-bentuk pengetahuan lain yang lebih tinggi tingkatannya yang dapat
mencapai langit tertinggi dari gnosis dan metafisis, bentuk-bentuk inipun
31 Ibid ., hlm. 187.
32 Seyyed Hoseein Nasr, “Philosophia Perennis”. … Op.Cit ., hlm. 185.
33Jalaluddin Rahmat, “Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk Orasi
Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jakarta 27 Nopember 1993), hlm. 20.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
tentu saja merupakan hasil illuminasi (pencahayaan) dari alam rohani yang
menyinari akal.34
Muara dari penekanan uraian di atas menunjukkan usaha “merangkum semua
model pengetahuan ke dalam suatu peringkatan hirarkhi yang saling melengkapi dan
serasi menuju suatu bentuk pengetahuan terluhur, yakni ma’rifah.35
Di sinilah Nasr
melakukan “dekonstruksi” terhadap metafisika Barat modern yang melandasi
epistemologi sains modern dalam bangunan studi agama kontemporer. Bagi Nasr,
dari metafisika perenialisme inilah seharusnya titik berangkat dalam kajian-kajian
humaniora, bahkan agama-agama, dimana realitas harus dilihat menurut tingkatan
eksistensinya tanpa harus terjebak untuk melihat tingkatan tertentu eksistensi sebagai
eksistensi itu sendiri.
Pada tingkat penerapan prinsip-prinsip metafisika inilah, perennialisme
mengaitkan dengan piranti-piranti ilmu empirik tradisional, seperti kosmologi,
antropologi, seni, dan disiplin lainnya yang dalam jantungnya terletak metafisika
murni.36 Ini bisa dilihat pada penegasan Nasr yang mengungkapan bahwa “dalam
jantung ilmu kosmos tradisional, sebagaimana antropologi, psikologi dan seni
tradisional menempatkan scientia sacra yang memuat prinsip-prinsip mengenai
pengetahuan prinsip yang suci dan pengetahuan tentang yang suci par excelllence,
karena Yang Suci tidak lain sebagai yang prinsip.37
Scientia sacra di sini tidak lain daripada metafisika itu sendiri, yang dalam
istilah lain, jnana atau ma’rifah yang merupakan “ilmu tentang Yang Nyata”,38
dimana setiap aspek dari eksistensi kosmik selalu dipandang sebagai refleksi
keilahian.39
Upaya meletakkan landasan metafisika dalam wacana keilmuan ini,
34Seyyed Hoseein Nasr, “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dar i Perspektif Islam, dalam
Salem Azzam, (ed.), Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan oleh Hamid L. A.
Basalamah, (Bandung: Gema Risalah, 1988), hlm. 61.35
Ibid ., hlm. 66.36
Ibid ., hlm. 182.37
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge … Op.Cit ., hlm. 133.38
Ibid ., hlm. 132.39
Ibid ., hlm. 136-137.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
menurut Nasr, tidak lain sebagai usaha untuk menghindari reduksionisme atas realitas
agama yang utuh, yang tentunya, akan berakibat merugikan dalam kajian-kajian
agama-agama.
Dalam hal ini, Nasr menjelaskan sebagai berikut:
Perbedaan utama antara ilmu tradisional dan ilmu modern, sesungguhnya,
terletak pada fakta bahwa yang tradisional di mana hal yang profan dan
manusiawi selalu dipinggiran dan yang suci berada di pusat, sedangkan dalamilmu modern, yang duniawi menjadi pusat dan penemuan-penemuan yang
walaupun segala sesuatu mengungkapkan Asal Ilahiah tentang dunia alam
telah menjadi begitu pinggiran sehingga jarang diakui, kecuali oleh para
saintis tertentu yang mempunyai pandangan luar biasa. Ilmu-ilmu tradisional
secara essensial adalah suci dan secara kebetylan sadar tentang kualitas yangsuci dari alam semesta dan, bahkan pada saat yang jarang, dapat menerima
yang suci sebagai yang suci.40
Pada garis pandang ini, Nasr membangun suatu kritik yang sangat mendasar
atas tradisi akademik Barat dalam kajian agama. Ini bisa dilihat pada kutipan di
bawah ini:
Studi tentang agama-agama “lain” sebagai disiplin ilmiah, berbeda dengan jenis kepentingan yang ditunjukkan dalam doktrin-doktrin Timur sebagai
sumber pengetahuan yang merupakan pedoman yang sudah terbuat, mulai darilatar belakang “saintisme” yang mencirikan religionswissenschaft awal.
Agama dipelajari sebagai fakta yang memiliki budaya manusia yang berbedauntuk didekomentasikan dan digambarkan sebagaimana seseorang akan
mempelajari dan mendaftar fauna dari tanah asing. Persoalan iman menjadi
kurang penting; “fakta” sejarah, mitos-mitos, ritus-ritus, dan simbol-simbollebih menarik perhatian sejak aspek-aspek agama tersebut menjadi subjek
bagi studi ilmiah dari pada apa yang dimunculkan dari persoalan iman yang
tidak nyata.41
Sampai di sini, apakah Nasr tidak melihat bahwa pada alur kritik yang sama
ini kritik juga telah lama dilakukan oleh fenomenologi sebagai upaya untuk
menjembatani problem reduksionisme dalam kerangka metodologi kajian agama ?
40Seyyed Hossein Nasr, “The Role of the Tradisional Science in the Encounter of Religion
and Science; An Oriental Perspectif”, dalam Jurnal Religious Studies, No. 20, Thn. 1984, hlm. 523-
524.41
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge … Op.Cit ., hlm. 145.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Menurut Nasr, munculnya fenomenologi sebagai upaya untuk menjembatani
problem reduksionisme dalam kerangka metodologis bukan berarti lalu fenomenologi
bebas dari kekurangan. Sumbangan fenomenologi memang sangat besar, khususnya
dalam upaya mempertemukan beberapa unsur dalam perbedaan agama-agama.
Namun, fenomenologi belum bisa masuk ke dalam kesadaran adanya suatu
transendental agama-agama, yang menjadi basis dari pengertian adanya
keanekaragaman agama-agama.42 Secara metodologis, pendekatan epoche dalam
fenomenologi berimplikasi pada pengesampingan keyakinan-keyakinan agama
pribadi, menolak memberi keputusan mengenai validitas pendirian religius sendiri,
yang justru menjadi dasar parmanen dalam beragama.43 Oleh karenanya, agama
dalam pendekatan fenomenologi cenderung direduksi menjadi semata-mata sebagai
fenomena dari homo religious tersebut.
Oleh karena itu, studi agama dengan pendekatan filsafat perennial tidak hanya
berhenti pada eidos dalam istilah Class J. Bleeker, sensus numinous dalam istilah
Rudolf Otto, trancendental focus dalam istilah Niniant Smart, essence of religion
dalam istilah Mercia Eliade, atau ultimate reality dalam istilah Joachim Wach, tetapi
harus diteruskan pada pengalaman keberagamaan berupa penyatuan diri denganTuhan yang dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Pola studi agama
ini menegaskan adanya suatu dimensi Ilahiah. Pada alur argumentasi inilah tampak
arti penting dari pendekatan filsafat perennial dalam studi agama.
Sasaran yang ingin dituju oleh Nasr dalam menggagas perspektif filsafat
perennial untuk studi agama-agama adalah memberi landasan ontologis dalam
wilayah paradigmatik studi agama-agama. Menurut Nasr, “keterperangkapan studi
agama dan agama-agama tersebut ke dalam historisisme akan menjadikan agama
kehilangan makna hakikinya yang transendental, yakni Asal Ilahiah yang universal”.
Bagi Nasr, agama bukan hanya iman dan ibadah dari suatu kolektivitas manusia
tertentu yang menjadi penerima suatu pesan keagamaan tertentu. Agama juga bukan
42Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis …” Op.Cit ., hlm. 190.43
Ibid ., hlm. 191.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
hanya iman manusia yang beriman. Agama adalah dari Asal Yang Ilahi. Polanya
terletak dalam Intelek Ilahi dan mempunyai tingkatan-tingkatan eksistensi seperti
kosmos sendiri. Jika agama berhenti berada di bumi, itu tidak berarti bahwa agama
berhenti memiliki realitas. Di bumi, lingkaran kehidupan agama dapat berakhir, tetapi
sebagai “ide” dalam pengertian Platonik, agama akan tetap dalam Intelek Ilahiah
dalam realitas trans-historisnya. Kekuatan ritus-ritusnya di bumi sini bisa saja hilang,
tetapi realitas asal yang dihadirkan akan tetap bersifat abadi.44
Inilah yang terpenting dalam pemikiran Nasr. Berbeda dengan pemikir-
pemikir muslim lainnya, ia lebih bergerak untuk mempertanyakan keabsahan objektif
dari suatu rumusan realitas yang ada. Pokok masalah yang ditekankan pada landasan
ontologis ini menginginkan adanya suatu kerangka metodologi yang “khusus” bagi
paradigma kajian-kajian keagamaan dari yang normatif sampai yang historis-empiris.
Dari sinilah, Nasr membangun perennialisme sebagai paradigma tandingan bagi sains
modern yang melatarbelakangi studi-studi agama selama ini.
E. Kritik Atas Perennialisme dalam Studi Agama
Apabila dicermati lebih jauh, penekanan filsafat perennial yang digagas olehNasr lebih banyak memusatkan perhatiannya pada struktur internal agama, hingga
melihat realitas agama sebagai turunan vertikal secara hirarkhis. Penekanan ini justru
menjadikan pendekatan ini kurang mengapresiasikan secara luas tentang proses
transformasi dalam wilayah historis agama-agama.
Dalam konteks inilah, muncul pertanyaan mendasar sekitar bagaimana studi
ini bisa menjelaskan secara rinci aspek-aspek eksternal agama. Padahal, pada aspek
eksternal inilah, agama lebih banyak berkaitan dengan wilayah historisitas manusia,
dimana agama tidak selalu berfungsi sebagai variabel yang menentukan atas setiap
proses sosial tapi kadang-kadang bisa sebagai variabel yang ditentukan oleh proses
sosial. Pada celah “cacat” epistemologis inilah, Nurul Fajri melakukan kritik yang
44Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis”, … Op.Cit ., hlm. 185.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
mendasar, bahwa “filsafat perennial hanya relevan untuk mengkaji dimensi internal
agama, sedangkan untuk mengkaji dimensi eksternal dalam historisitasnya
dibutuhkan perangkat lain, yakni perspektif empiris. Problem mendasarnya adalah
bagaimana filsafat ini bisa menjelaskan fenomena hubungan antara agama dengan
politik atau negara yang sangat kompleks”.45
Dalam hal ini, Anees dan Merryl menjelaskan sebagai berikut :
Hal yang paling banyak mengundang kritik dari wacana pemikiran Nasr
adalah keterikatannya yang mendalam pada tasawuf serta pengambaran yang
Hellenistik sebegitu rupa, sehingga menampilkan citra sains yang terlalu
utopian. Secara serius ini sangat membatasi audiensinya di dunia muslim dan
kalangan orang-orang Barat yang menaroh minat padanya.
46
Problem inilah yang menjadikan pendekatan filsafat perennial menjadi a-
historis, karena kurang begitu mempersoalkan dialektika kesadaran dengan realitas
historis. Padahal, dari situlah terjadinya transformasi format keberagamaan.
Kelemahan mendasar yang secara intrinsik melekat dalam bangunan epistemologi
filsafat perennial ini tidak memungkinkan baginya untuk dapat berdiri sendiri.
Artinya, obsesi Nasr untuk menjadikan filsafat ini sebagai pendekatan satu-satunya
dalam studi agama menjadi persoalan yang sangat mendasar.
F. Kesimpulan
Ada dua bisa “disentuh” oleh filsafat perennial bagi pengembangan studi
agama dan agama-agama. Pertama, pada wilayah kajian empiris-ilmiah, filsafat
perennial bisa memberi landasan spiritual tentang Asal Ilahiah bagi realitas agama,
sehingga kecenderungan reduksionisme dalam wilayah kajian ini dapat dihindari.
45 Nurul Fajri M. R., “Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau
Empirisisme”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4., Vol. III, 1992, hlm. 39.46Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai
Kecenderungan Masa Depan”, diterjemahkan oleh Hizbullah Mawlana, dalam Jurnal Al-Hikmah, No.
15, Vol. VI / 1995, hlm. 75. Dalam masalah yang sama, Rahman juga pernah mengajukan suatu kritik
terhadap Nasr “yang terlalu terbenam dalam wacana sufisme sehingga menutup kritik atas tradisi”.
Lihat Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan”, diterjemahkan oleh
Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993, hlm. 80-101.
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
Kedua, wilayah kajian normatif bisa diberi cakrawala spiritual oleh filsafat perennial
tentang Asal Ilahiah agar pola kajian ini tidak terjebak dalam pola pemahaman
keagamaan yang bersifat ekskusif.
Tentunya, terlepas dari berbagai kekurangan intrinsik yang dimiliki oleh
filsafat perennial sebagai pendekatan studi agama, pendekatan ini bisa memperkaya
berbagai keragaman pendekatan studi agama agar saling melengkapi dalam
membangun struktur pengetahuan tentang agama yang utuh. Membaca garis pandang
ini, kerjasama antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya merupakan cara
yang lebih realistis dan paling memungkinkan dilakukan secara maksimal.
G. Daftar Pustaka
A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari
Seminar Seyyed Hossein Nasr)”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an,
No. 4, Vol. IV, Tahun 1993.Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978).
Komaruddin Hidayat, “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap
Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr”, dalam Dawam Rahardjo,
(ed.), Insan Kamil, (Jakarta: PT. Graffiti Press, 1985).F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk
Menyelamatkan Subjek”, dalam Majalah Basis, (Maret 1991).
F. Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-
Modernisme” (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 4,
Vol. V, Tahun 1994.
Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan”, diterjemahkanoleh Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993.
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C.
Martin, (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of
Arizona Press, 1985).
Herman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan Metodologi Penelitian Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional
Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991).
Jalaluddin Rahmat, “Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk
Orasi Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jak arta 27 Nopember 1993).
Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif
Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995).
5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo
M. Amin Abdullah, Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk
Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29
Juni 1991).Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan
Berbagai Kecenderungan Masa Depan”, diterjemahkan oleh Hizbullah
Mawlana, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 15, Vol. VI / 1995.Nurul Fajri M. R., “Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau
Empirisisme”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4., Vol. III,
1992.
Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis and Study of Religion”, dalam Frank Whalling, (ed), The World’s Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T. Clark LTD., 1984).
Seyyed Hossein Nasr, “Existence (wujud ) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic
Philosophy”, dalam Jurnal International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX,No. 4., Issue No. 116, December 1989.
Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of the Eternal Sophia”, (The George WashingtonUniversity, 1990).
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American
Library, 1970).Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of
Modern Man, (London: George Allen and Unwin, 1968).
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ.
Press, 1980).Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ.
Press, 1980).Seyyed Hossein Nasr, “The Role of the Tradisional Science in the Encounter of
Religion and Science; An Oriental Perspectif”, dalam Jurnal Religious
Studies, No. 20, Thn. 1984.