SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

19
 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Kajian Pemikiran Seyyed Hossein Nasr) Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum 1  Abstrak: Artikel ini merupakan kajian filosofis atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai pendekatan filsafat perennial dalam studi agama. Kritik Nasr atas studi agama ini dikarenakan  paradigma empiris-positivistik yang dianutnya gagal dalam merumuskan realitas agama, yang meliputi tatanan kemanusiawian dan tatanan keilahian. Dalam kritiknya tersebut, Nasr mengagas pendekatan filsafat perennial sebagai alternatif pendekatan. Satu sisi, kelebihan dari  pendekatan filsafat perennial adalah kemampuannya dalam membuka cakrawala spiritual agama-agama sehingga dapat merumuskan struktur ontologi agama-agama. Oleh karenanya, pendekatan ini bisa memberi landasan ontologi agar kecenderungan kajian ilmiah yang reduksionis dapat dihindari dan kajian normatif-teologis tidak terjebak dalam  pemahaman keagamaan yang sempit dan sektarian. Di sisi lain, kelemahan pendekatan ini adalah keterjebakannya dalam spiritualisme sehingga dikhawatirkan melupakan aspek historisitas-empiris. Kata Kunci: Perennialisme, Spiritualisme, reduksionisme, dan Asal Yang Ilahi. A. Pendahuluan Krisis epistemologi studi empiris agama modern, bagi Nasr, sesungguhnya  berakar dari landasan ontologis yang menjadi pijakan pandan gan-dunia sains modern. Dampaknya, sains modern gagal dalam merumuskan realitas total dari agama. Oleh 1 Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Menyelesai studi  program S1 di jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan S2 Ilmu Filsafat di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sedangkan gelar Ph.D diperoleh di Universiti Utara Malaysia.

Transcript of SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

Page 1: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA

(Kajian Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)

Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum1 

Abstrak:

Artikel ini merupakan kajian filosofis atas pemikiran Seyyed

Hossein Nasr mengenai pendekatan filsafat perennial dalam

studi agama. Kritik Nasr atas studi agama ini dikarenakan

paradigma empiris-positivistik yang dianutnya gagal dalam

merumuskan realitas agama, yang meliputi tatanankemanusiawian dan tatanan keilahian. Dalam kritiknya

tersebut, Nasr mengagas pendekatan filsafat perennialsebagai alternatif pendekatan. Satu sisi, kelebihan dari

pendekatan filsafat perennial adalah kemampuannya dalam

membuka cakrawala spiritual agama-agama sehingga dapatmerumuskan struktur ontologi agama-agama. Oleh

karenanya, pendekatan ini bisa memberi landasan ontologi

agar kecenderungan kajian ilmiah yang reduksionis dapat

dihindari dan kajian normatif-teologis tidak terjebak dalampemahaman keagamaan yang sempit dan sektarian. Di sisi

lain, kelemahan pendekatan ini adalah keterjebakannya dalamspiritualisme sehingga dikhawatirkan melupakan aspek 

historisitas-empiris.

Kata Kunci: Perennialisme, Spiritualisme, reduksionisme,

dan Asal Yang Ilahi.

A.  Pendahuluan

Krisis epistemologi studi empiris agama modern, bagi Nasr, sesungguhnya

berakar dari landasan ontologis yang menjadi pijakan pandangan-dunia sains modern.Dampaknya, sains modern gagal dalam merumuskan realitas total dari agama. Oleh

1Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Menyelesai studi

program S1 di jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan S2

Ilmu Filsafat di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sedangkan gelar Ph.D diperoleh di

Universiti Utara Malaysia.

Page 2: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

karenanya, persoalan “bagaimana agama bisa diteliti ?” merupakan bagian yang tidak 

terpisahkan dari dunia akademik   –  sejak munculnya pendekatan behaviorisme,

fenomenologi, dan pendekatan-pendekatan empiris-positivisme lainnya dalam ilmu-

ilmu sosial – adalah bagian dari kritik Nasr atas tradisi studi agama ini.

Pentingnya melakukan kritik terhadap dasar ontologi sains modern, menurut

Nasr, dikarenakan ontologi merupakan bagian paling fundamental dalam bangunan

suatu ilmu. Dasar ontologi menjadi penentu pola bangunan epistemologi, yang

selanjutnya menentukan ke arah mana ilmu itu bergerak. Dari sinilah muncul

beragam faham dalam ilmu pengetahuan.2

Asumsi demikian mengisyaratkan bahwa

setiap pengetahuan secara a priori menerima adanya realitas sebagai objek 

pengetahuan. Oleh karenanya, pandangan tentang realitas merupakan dasar dari

seluruh bangunan ilmu. Tidaklah mengherankan, dalam dunia keilmuan, selalu ada

upaya ilmiah yang disebut metode, yakni cara kerja untuk dapat memahami objek 

yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Objeklah yang menentukan metode,

bukannya sebaliknya.

Dengan demikian, ketika seorang peneliti memasuki bidang agama, maka ia

akan berhadapan dengan suatu fenomena yang muncul lantaran penerapan nilai-nilai,keyakinan-keyakinan, dan perasaan-perasaan. Kesemuanya ini melibatkan kedalaman

paling inti dari fikiran manusia. Agama, tentu saja, ekspresi-ekspresi yang dapat

diamati, pranata-pranata yang dapat diukur atau manifestasi-manifestasi yang

terlembagakan, namun makna ekspresi-ekspresi, pranata-pranata, dan manifestasi-

manifestasi inilah yang menjadi pokok persoalan utama dalam kajian-kajian agama.3 

Pada tingkat argumen inilah, Nasr melakukan kritik ontologi terhadap

paradigma studi agama dan agama-agama yang selama ini telah mapan di dunia

akademik Barat. Menariknya, kritik tersebut dirumuskan Nasr melalui kajian

2Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis and Study of Religion”, dalam Frank Whalling,

(ed), The World’s Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T.

Clark LTD., 1984), hlm. 186.3Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C. Martin, (ed),

 Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985), hlm. 190.

Page 3: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

ulangnya atas khazanah intelektual Islam yang banyak memuat pemikiran tentang

realitas agama dari para ahli ilmu Kalam, filsuf, dan sufi dalam khazanah intelektual

Islam, yang dipahaminya memiliki konsepsi tentang realitas agama yang utuh.4 

B.  Latar Kehidupan Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada 17 April 1933 di Teheran  –  Iran dari

keluarga yang berpendidikan baik. Ibunya merupakan salah seorang dari keluarga

yang berpendidikan yang sangat baik, yakni keluarga seorang ulama, sedangkan

ayahnya adalah seorang dokter praktek yang ahli dalam pengobatan,-- baik 

pengobatan secara tradisional maupun modern -- dan seorang sarjana sastra serta

pendidik bangsa Persia yang sangat masyhur.5

Dalam konteks Iran ini, Nasr

dibesarkan dalam tradisi dan locus  ulama Syi’ah tradisional yang mencakup nama

 besar seperti Thabathaba’i, Hazbini, dan lain-lain. Tidak mengherankan apabila Nasr

berkembang menjadi seorang intelektual yang selalu sarat dengan gagasan-gagasan

yang nampak diwarnai oleh ciri sufisme Persia.

Nasr juga memperoleh pendidikan Barat modern, dimana pendidikan

tingginya diperoleh di Massachussets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikatuntuk mendalami ilmu fisika dan matematika. Selama belajar di MIT ini, Nasr

tertarik dengan sejarah sains dan filsafat yang kebetulan diajarkan oleh dosen

tercintanya, Giorgio De Santillana.6 Dari perkenalannya dengan Giorgio De

Santillana tersebut, Nasr diantarkan kepada karya-karya besar Dante.7 

4Seyyed Hossein Nasr, “Existence (wujud ) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic Philosophy”,

dalam Jurnal   International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX, No. 4., Issue No. 116, December

1989, hlm. 418-427.

5Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of the Eternal Sophia”, (The George WashingtonUniversity, 1990), hlm. 133.

6Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library,

1970), hlm. Vii.7Nama lengkapnya adalah Aligheri Dante (1265-1321), seorang penyair terbesar dari Italia

yang menulis   La Divina Comedia. Melalui karya-karya Dante inilah, Nasr makin terbuka

pemahamannya tentang tradisi Barat beserta kemegahannya. Sementara tokoh-tokoh lain yang sempat

Nasr jumpai saat belajar sejarah sains dan filsafat tersebut, antara lain G. Sarton, Sir Hamilton Gibb,

W. Jaeger, dan H. A. Wolfson. Di institut ini pula, Nasr sempat berguru dengan Bertrand Russel

Page 4: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Pergumulan Nasr di dunia filsafat Barat modern telah membawanya pula

untuk mempelajari dunia Timur, terutama metafisika Hindu. Nasr secara serius

memperdalam karya-karya Sri Aurobindo, S. Radhakrishnan dan S. Dasgupta sampai

pada karya-karya dari A. K. Coomaraswamy. Dari sini, Nasr seakan-akan bertemu

dengan dunia Timur yang selama ini terlupakan oleh kebesaran Barat modern.8 

Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam mengantar Nasr ke dunia Timur tersebut,

antara lain Fritjof Schoun, Louis Massignon, Henry Corbin dan T. Burchardt, yang

secara serius mengantarnya pada kedalaman tradisi sufisme Islam.9 

Oleh karena itu, Nasr merupakan contoh tipikal cendikiawan muslim yang

dibesarkan dalam dua tradisi, yakni Islam “tradisional” dan Barat modern. Dalam dua

tradisi ini, Nasr memasuki dua kutub ketegangan, yakni Timur dan Barat; suatu

pandangan dari dunia lain, yakni pemikiran dan kebudayaan Barat modern yang

terlihat memikat sekaligus mengancam. Dalam ketegangan dua kutub tradisi inilah,

Nasr membangun pondasi intelektualnya yang kokoh.10

 

Pada tahun 1954, Nasr meraih gelar sarjana muda dengan predikat cum laude 

dalam bidang fisika. Dari MIT, Nasr kemudian melanjutkan jenjang studinya ke

universitas Harvard untuk memperdalam bidang kajian Geologi dan Geofisika. Tidak puas dengan bidang tersebut, Nasr kemudian menekuni bidang history of science and 

 philosophy, dengan memfokuskan kajian pada bidang   Islamic Science, hingga

berhasil memperoleh gelar MA pada tahun 1956 dan gelar Ph.D dalam usia 25 tahun

pada tahun 1958.11 

tentang berbagai aliran filsafat Barat modern, yang inti sarinya, semua aliran filsafat itu menjurus pada

paham materialistik.8Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of …Op.Cit., hlm. 114-115.9Seyyed Hossein Nasr,   Islam Tradisi  di Tengah Kancah Dunia Modern , diterjemahkan oleh

Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 256.10Komaruddin Hidayat, “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia

Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr”, dalam Dawam Rahardjo, (ed.),   Insan Kamil, (Jakarta: PT.

Graffiti Press, 1985), hlm. 184.11

Karyanya Science and Civilization in Islam adalah sebuah karya yang berasal dari disertasi

Ph.D sekaligus merupakan karya pertamanya sebagai intelektual dunia muslim garda depan.

Page 5: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Setelah memperoleh gelar Ph.D, Nasr sempat menjadi associate Profesor di

almamaternya antara tahun 1958-1963, dan kemudian pulang ke tanah airnya untuk 

mengajar di Universitas Teheran. Di Universitas tersebut, Nasr pernah menjadi

Dekan fakultas seni dan sastra (1968-1972) dan wakil rektor (1970-1971). Selama

berada di tanah airnya, Nasr bersama Murthada Muthahhari pada tahun 1965

mendirikan Lembaga Pengkajian Islam   Husyainiyyah Irsyad di Teheran Utara.

Lembaga pendidikan ini bertujuan merebut perhatian kaum muda sekuler agar

kembali ke Islam. Namun lembaga ini, pada belakangan harinya, menjadi ajang

aktivitas politik kaum revolusioner Iran  –  yang di dalamnya masuk seorang tokoh

  pemikir revolusi Iran, Ali Syari’ati – yang kemudian berhasil mendirikan Negara

Islam Iran pada tanggal 12 Januari 1979. Dengan alasan inilah, Nasr dan Muthahhari

keluar dari lembaga tersebut.12

Nasr sendiri kembali ke Amerika Serikat sebagai

dosen tamu sambil mempersiapkan buku.

Karena merasa hubungannya kurang baik dengan kaum revolusioner, Nasr

akhirnya memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Inilah awal dari semua karir

intelektual Nasr di luar tanah kelahirannya. Walaupun belakangan ini Nasr sempat

beberapa kali mendapat tawaran yang lengkap dengan jaminan keselamatan daripemerintah Iran untuk kembali ke Teheran, Nasr tetap memutuskan untuk tidak 

kembali ke tanah airnya.

Selama berada di luar Iran, Nasr pernah menjadi dosen tamu pada Universitas

Harvard (1958-1963), Profesor studi Islam pada Universitas Amerika di Beirut,

12Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari Seminar

Seyyed Hossein Nasr)”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993, hlm.

107. Dengan latar belakang inilah, hubungan Nasr dengan Syari’ati menjadi kurang harmonis. Nasr 

memandang Syari’ati sebagai modernis muslim pertama yang menciptakan semacam “ liberalition

theology” dalam Islam karena pengaruh westernisme dan marxisme. Syari’ati menyajikan Islamsebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Dalam penilaian

  Nasr, gagasan Syari’ati ini sangat berbahaya. Ketidaksenangan Nasr terhadap Syari’ati juga

disebabkan tindakan Syari’ati yang selalu melancarkan kritik keras terhadap ulama tradisional. Di sisi

lain, meskipun akrab dengan Muthahhari, Nasr bisa disebut orang yang tidak begitu peduli terhadap

politik. Sikap ini muncul karena latar belakang pendidikannya di bidang fisika dan filsafat di Barat dan

selama 12 tahun berguru kepada sejumlah ulama tradisional Iran, yang antara lain Mohammad Hossein

Thabathaba’i, penulis Tafsir al-Mizan. Sebagai seorang muslim tradisional, Nasr menganggap bidang

politik praktis bukan urusannya.

Page 6: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

lebanon (1964-1965), dan “visiting professor” di Universitas Princeston (1975), serta

Profesor studi Islam pada Universitas Temple Philadelphia ((1979-1984). Atas

permintaan Charles Strong, Nasr sempat mengajar di Universitas Australia. Terakhir,

sejak tahun 1984 hingga kini menjadi Profesor di Universitas George Washington,

Washington, DC – AS., dalam bidang yang sama.13 

C. Kritik Filsafat Perennial dan Epistemologi Sains Modern

Salah satu kritik Nasr terhadap dunia Barat modern adalah kritik Nasr

terhadap tradisi studi agama di Barat, yang bisa dikatakan sebagai bentuk 

keprihatinannya atas krisis sains modern. Krisis ini dimaksudkan sebagai

menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai

dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan.14

 

Krisis sains modern ini berakar dari proses modernisasi di Barat yang telah

meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan melalui renaissance dan

aufklarung. Dalam konteks modern, semua makna dunia objektif tradisional

dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sebagaimana dalam cogito ergo sum-

nya. Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah peranan mutlak subjek dalam membentuk realitas. Pergeseran pendulum epistemologis dari objek ke subjek 

ini berkembang penuh dalam zaman rasionalisme filsafat Perancis dan Jerman dari

13Karya-karya Nasr yang telah dipubliksikan, antara lain meliputi:  An Introduction to Islamic

Cosmological Doctrines, (Cambridge: Harvard Univ. Press., 1964);   Histoire de la Philosophie

 Islamique, (Paris: Gallimard, 1964); Ideals and Realities of Islam, (London: Allen and Unwin, (1971);

 Iran, (Paris: Unesco, 1966); Islamic Studies, (Beirut: Librairie du Libban); Science and Civilazation in

 Islam, (Cambridge: Harvard Univ. Press, 1968); The Encounter of Man and Nature: Spiritual Crisis of 

  Modern Man, (London: Allen and Unwin, 1968); Sufi Essays, (London: Allen and Unwin, 1968);

  Jalal al-Din Rumi: Supreme Persian Poet and Sage, (Teheran: High Council of Culture and Art,

1974); Islam and the Flight of Modern Man, (London: Longman, 1975); An Annotated Bibliography of   Islamic Science, (Teheran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1975);   Islamic Science –  An

  Illustrated Study, (London: Thorsos, 1979); Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1981); Tradisional Islam in the Modern Word , (London: KPI, 1987); Islamic Art and 

Spirituality, (Ipswich: Golgonooza Press, 1987);   A Young Muslim’s Guide to the Modern World ,

(Chicago: Kazi Publications, 1993).14

Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern

 Man, (London: George Allen and Unwin, 1968), hlm. 51-80. Lihat juga pada Seyyed Hossein Nasr,

Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980), hlm. 1-64.

Page 7: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Rene Descartes (1596-1650), melewati Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)

sampai Immanuel Kant.

Di tangan Kant, penekanan Descartes pada subjek tersebut diradikalkan

dengan lebih memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia.

Penemuan batas-batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa

meneliti subjek adalah lebih mungkin daripada meneliti objek. Batas-batas pikiran

dari Kant inilah yang kemudian dianut oleh para filsuf setelahnya yang lebih

menekankan kenyataan inderawi yang terlihat dan terjamah, sebagaimana yang

diistilahkan oleh Kant sebagai das ding an sich (kenyataan pada dirinya).15

 

Kerangka epistemologi ini memuncak pada positivisme Auguste Comte16 

(1798-1857), dimana pengetahuan inderawi tidak hanya menjadi norma tetapi justru

menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan.17

Pergeseran ke pihak objek 

ini sekarang bukanlah sekedar pergeseran tekanan yang masih menerima peran

subjek, melainkan justru menghapus subjek, dan pada akhirnya menyudahi

epistemologi.18

 

Dalam dunia sains, kecenderungan yang kemudian dianut secara berlebihan

adalah objektivisme. Krisis pengetahuan ini tidak hanya mereduksi manusia ke matraobjektifnya, namun juga karena terjadi fragmentasi ilmu maka terjadi juga

fragmentasi kenyataan yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan

tentang manusia dan realitasnya.19 

15F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk Menyelamatkan

Subjek”, dalam Majalah Basis, (Maret 1991), hlm. 84.16

Nama lengkapnya, Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte.

17 Ibid ., hlm. 127-131.18 Ibid ., hlm. 127.

19F. Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-

Modernisme” (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, Tahun 1994,

hlm. 4. Paradigma inilah yang oleh Tom Sorell sebut sebagai “saintisme”, ya kni suatu kepercayaan

bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan,

otoritatif, dan seriusnya. Saintisme macam ini sesungguhnya merupakan bentuk matang dari

positivisme modern yang dirintis oleh Comte pada abad lalu. Basis epistemologisnya adalah doktrin

fenomenalisme, yakni sebuah fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman inderawi

Page 8: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Sejalan dengan perkembangan paradigmatik inilah muncul minat untuk 

memahami agama. Latar belakang positivisme yang sedang marak telah

menyebabkan orientasi studi agama cenderung melecehkan agama. Dalam konteks

ilmu-ilmu sosial, minat kajian terhadap agama, -- sebagaimana antropologi, etnologi,

arkeologi, sosiologi, dan filologi -- tercermin dari kajian mereka terhadap agama

dalam konteks masyarakat suku-suku primitif.20 Agama sering dilecehkan sebagai

warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari

dunianya, sublimasi dari keinginan-keinginan manusia yang tak kesampaian, dan

sebagainya.

Sarjana yang pertama kali menjadikan studi agama sebagai bagian studi

ilmiah adalah Friedrich Max Muller (1823-1900 M) dengan istilah

religionswissenschaft .21

Perkembangan awal religionswissenschaft di Barat ini sangat

diwarnai oleh semangat Aufklarung dan kemajuan sains pada abad ke-19, yakni sikap

rasionalistik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Max Muller menganggap

mitos sebagai “penyakit bahasa”, Tylor memandang animisme sebagai “mistaken

logical inference” dan berbagai teori pra-animisme yang didasarkan pada pendekatan

yang sangat sempit dan rasionalistik.Baru pada dasawarsa awal abad ke-20, atas pengaruh fenomenologi, telah

muncul kesadaran baru akan kesejarahan di ranah studi agama, dimana manusia

selalu merupakan mahluk historis dan orang harus mempertimbangkan hakikat

historis dari data religius.22 Kesadaran baru ini bisa ditemukan dalam kajian Rodolf 

Louis Karl Otto dalam bukunya The Ide of the Holy. Otto meletakkan agama sebagai

gejala yang normal dan otonom dalam fenomena manusiawi, sehingga agama

merupakan sebuah kategori sui generis, khusus dan tersendiri karena berkaitan

dengan “Yang Maha Suci”. Yang Maha Suci ini diistilahkan Otto sebagai  Numinous,

yang berarti Yang Suci dan Yang Supranatural. Essensi Yang  Numinous ini tidak 

20 Ibid ., hlm. 6.

21A. Mukti Ali,   Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), cet. IV.

hlm. 13.22

Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978), hlm. 69.

Page 9: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

dapat dimengerti rasio manusiawi, tetapi hanya dapat diketahui hakikatnya oleh

sensus numinis, yakni perasaan mengenai Yang Numinous itu.23

 

Di sini, Otto tampak berusaha menolak reduksi dan menekankan kualitas

pengalaman akan Yang Sakral; menghindari bias yang intelektualistik dan

rasionalistik atau mereduksi fenomena religius dalam skema-skema sempit, termasuk 

pendekatan yang historisistik.24 Usaha-usaha yang telah dilakukan di atas

sesungguhnya tidak lain dalam rangka bagaimana mempertahankan transcendental

 focus sebagai ciri khas ilmu-ilmu agama di hadapan kajian-kajian para ilmuwan sosial

yang mereduksi agama hanya sebagai gejala-gejala sosial semata. Namun sayangnya,

ketegangan ini masih berpihak pada acuan objektivitas saitisme yang merupakan

tolak ukur ilmiah.25

 

D.  Filsafat Perennial dan Alternatif Studi Agama

Dalam konteks inilah, Seyyed Hossein Nasr tampil sebagai seorang

intelektual muslim yang ikut prihatin terhadap situasi studi agama di dunia akademis

Barat modern. Bagi Nasr, dalam konteks studi agama Barat modern, agama lebih

dipahami pada batasnya yang eksoterik, yakni dimensi historisitas kehadiran agamadalam realitas sosial-kemanusiaan. Oleh karenanya Nasr mengajukan filsafat

perennial sebagai landasan metodologi studi agama.

Walaupun Nasr tidak begitu orisinil dalam menggagas pendekatan filsafat

perennial sebagai pendekatan alternatif dalam studi agama, namun cara Nasr

merumuskan filsafat perennial dari kerangka tasawuf Islam menjadikan pemikirannya

menjadi unik dan khas, sebagaimana yang dirumuskannya dalam Knowledge and the

23Herman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan MetodologiPenelitian Agama, (Makalah untuk  Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat,

Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 5.24

Titik tolak yang terdapat dalam karya-karya Rudolf Otto itu sangat mewarnai kebanyakan

karya para ahli fenomenologi agama. Hal ini tampak pada Gerardus van der Leeuw dan W. Brede

Kristensen yang merumuskan fenomenologi agama sebagai pendekatan sistematis dan komperatif yang

berusaha mendeskripsikan apa yang umum dalam berbagai fenomena religius.25

M. Amin Abdullah,   Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk 

Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 9.

Page 10: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Sacred .26

Dalam konteks buku tersebut, Nasr secara gamblang mengaitkan filsafat

perennial dengan tradisi Timur, dimana pengetahuan selalu terkait dengan aspek-

aspek sakral (suci) dan spiritual. Proses mengetahui dalam tradisi Timur, dengan

demikian, bukanlah proses yang semata-mata tertumpu pada pencernaan otak melalui

prosedur dan kerja kolektif panca-indera yang tersedia. Sebagai konsekuensi lebih

lanjut, kualitas pengetahuan dalam tradisi Timur juga tidak hanya meliputi aspek-

aspek fisik dan empirik. Proses mengetahui dan kualitas pengetahuan dalam tradisi

Timur selalu melibatkan dimensi metafisis dan berkaitan erat dengan aspek 

metakosmos  –  untuk menunjukkan wilayah mikrokosmos dan makrokosmos yang

utuh dan terpadu.27 

Nasr mengakui konsep pengetahuan seperti itu bukanlah monopoli tradisi

Timur, tetapi juga tradisi-tradisi lain termasuk tradisi Barat pra-modern. Keterpisahan

antara pengetahuan transenden dan pengetahuan profan secara serius terjadi setelah

periode renaisance yang menandai era modernisme, khususnya di Barat dengan

sistem filsafatnya yang rasional dan sarat dengan semangat naturalistik, empirik, dan

hedonistik-materialistik. Namun demikian, Nasr tetap percaya bahwa pada

karakternya yang asli (genuine), tradisi Barat pun – sebagaimana tradisi-tradisi lain –  mengandung watak spiritual di samping rasional. Itulah sebabnya, ketika hendak 

melakukan kritiknya terhadap Barat, Nasr mengatakan bahwa kita juga harus

mengangkat kembali the millennial tradition of the west itself . Tradisi tersebut adalah

tradisi yang sudah beratus-ratus tahun membentuk peradaban Barat sendiri  –  yang

tidak lain adalah tradisi universal dan permanen (abadi), yang dikenal dengan istilah

“kebijakan abadi” (the perennial wisdom) atau sophia perennis, sanatana dharma,

26Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press,1980). Penulisan buku ini berasal dari pidato Nasr dalam Gifford Lectures, sebuah forum yang sangat

bergengsi bagi kalangan teolog, filsuf, dan saintis Amerika dan Eropa sejak tahun 1889. Pidatonya

sekitar tahun 1985 ini menjadikan dirinya sebagai sarjana muslim pertama, bahkan sarjana Timur

pertama yang tampil dalam forum itu sejak pertama kalinya digelar hampir satu abad yang lalu di

Universitas Edinburgh. Nasr memanfaatkan kesempatan itu untuk menyajikan “beberapa aspek 

kebenaran yang terletak di jantung tradisi-tradisi Timur bahkan jantung semua tradisi, baik di Barat

dan Timur”. 27 Ibid ., hlm. vii.

Page 11: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

atau al-hikmah al-khalidah.28

Dalam konteks inilah, Nasr ingin agar nilai permanen

pengetahuan  – yang sudah teruji dari masa ke masa  – ditawarkan sebagai alternatif.

Argumentasinya, karena filsafat perennial memandang segala yang ada ini sebagai

turunan dari Yang Absolut, maka ia selalu menegaskan bahwa dalam segala sesuatu

terdapat hakikat.29 

Oleh karena itu, apabila filsafat perennial ini dijadikan alternatif dalam

mendekati agama, filsafat perennial selalu menghubungkan dengan substansinya,

yakni inti ajaran agama yang keberadaannya ada di balik bentuk formalnya. Substansi

ini bersifat transenden tetapi sekaligus juga immanen. Ia transenden karena substansi

agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui prediketnya. Namun

begitu, agama juga immanen karena sesungguhnya hubungan antara prediket dan

substansi tidak mungkin terpisahkan.30

 

Demikian juga, melalui pembedaan antara “Yang Hakiki” dengan “yang

manifestasi”, filsafat perennial perlu memberikan perhatian pada agama dalam

kenyataan trans-historis. Perhatian ini, tidak lain, merupakan usaha untuk 

mendapatkan kunci memahami agama-agama yang sangat kompleks dan penuh teka-

teki yang tidak pernah bisa diduga maknanya jika hanya dilihat secara historis dan

28 Ibid ., hlm. viii. Perlu dicatat bahwa istilah   philosophia perennis  –  yang dalam bahasa

Inggris diterjemahkan dengan   perennial philosophy  –  pertama kali dipakai oleh Agostino Steuco

(1497-1548), seorang filsuf yang sekaligus teolog Renaissance, yang beraliran Augustinus. Dalam

karyanya de perennial philosophia, Steuco -- yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Ficino, Pico,

dan Nicolas  –  menggunakan istilah itu dalam konteks filsafat dan teologi yang tidak terbatas pada

salah satu aliran pemikiran saja. Seperti para pendahulunya, ia memegang ide tentang kehadiran suatu

kebijakan kuno (an ancient wisdom) yang sudah ada sejak munculnya sejarah kehidupan manusia.

Dalam bagian lain, ditegaskan bahwa kebijakan (hikmah, wisdom) pada awalnya merupakan asal yang

bersifat Ilahiyah, pengetahuan suci yang diberikan Tuhan kepada Adam. Oleh kebanyakan manusia,

pengetahuan itu setahap demi setahap diabaikan dan dianggap sebagai sebuah mimpi. Bagi Steuco,

“agama dan filsafat yang benar adalah yang memiliki tujuan theosis. Artinya, sudah ada sejak awal

sejarah kehidupan manusia dan dapat diperoleh, baik melalui ekspresi kebenaran itu secara historik dalam aneka tradisi ataupun melalui intuisi intelektual dan kontemplasi filosofis” . Oleh Nasr,

“ perennial wisdom” atau filsafat perennial tersebut sering diistilahkan dengan “tradisi” – yang kadang-

kadang ditulisnya dengan “T” atau dengan tambahan predikat seperti “tradisi permanen” dan “tradisi

universal”. Dalam konteks agama-agama, “tradisi” ini dapat disepadankan dengan istilah-istilah dalam

agama, seperti Hindu dan Budha dengan Dharma, Islam dengan al-Din, dan Taoisme dengan Tao.29

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis,   Agama Masa Depan; Perspektif 

Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 4.30 Ibid ., hlm. 53.

Page 12: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

eksoteris. Konsep agama yang dihadirkan melalui pendekatan ini menjadi cukup luas

mencakup tipe agama yang asli dan yang historis, yang Semit dan yang India, yang

mistik dan yang “abstrak”, sehingga wilayah agama yang dikaji menjadi sangat luas

dan mendalam karena terkait dengan yang essensial agama.31 

Menurut Nasr, pendekatan ini sama sekali tidak meniadakan adanya aspek-

aspek sosial dan psikologis dari agama. “Hanya saja pendekatan ini menolak adanya

reduksi agama ke dalam manifestasi-manifestasi yang bersifat sosial ataupun

 psikologis.”. Hal ini karena “agama datang dari perkawinan antara Norma Ilahiah dan

kolektivitas manusia yang ditakdirkan untuk menerima jejak dari norma itu. Dari

perkawinan itu, lahir agama seperti terlihat di dunia ini, di antara budaya dan bangsa

yang berbeda- beda”.32

 

Penjelasan di atas menyatakan secara jelas bahwa filsafat perennial

merupakan pendekatan yang “anti reduksionisme” dan “menekankan suatu

 pemahaman tentang realitas agama secara utuh”. Suatu ungkapan dari ketidakpuasan

terhadap “historisisme” dalam kajian agama-agama. Kecenderungan pada

“historisisme” ini disikapi dengan mengandaikan suatu antitesa “hukum pada satu

tingkat eksistensi tidak bisa diterapkan pada tingkat eksistensi yang lain. Hal inikarena karakteristik yang muncul pada sistem yang lebih tinggi secara kualitatif 

 berbeda dari karakteristik sistem yang lebih rendah”.33

 

Nasr lalu menegaskan posisi epistemologis filsafat perennial dalam kajian

keagaman, sebagai berikut:

Menurut prinsip ini [pen. Filsafat Perennial), pada setiap tingkatan realitas

terdapat suatu alat pengetahuan untuk mengetahui tingkatan realitas khusus

itu. Tetapi ciri khas dari epistemologi ini adalah bahwa setiap bentuk 

pengetahuan merupakan hasil dari illuminasi akal oleh cahaya yang dalam

penampakannya terlihat menyelimuti objek penglihatan tersebut. Akan halnyabentuk-bentuk pengetahuan lain yang lebih tinggi tingkatannya yang dapat

mencapai langit tertinggi dari gnosis dan metafisis, bentuk-bentuk inipun

31  Ibid ., hlm. 187.

32 Seyyed Hoseein Nasr, “Philosophia Perennis”. … Op.Cit ., hlm. 185.

33Jalaluddin Rahmat, “Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk Orasi

Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jakarta 27 Nopember 1993), hlm. 20. 

Page 13: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

tentu saja merupakan hasil illuminasi (pencahayaan) dari alam rohani yang

menyinari akal.34

 

Muara dari penekanan uraian di atas menunjukkan usaha “merangkum semua

model pengetahuan ke dalam suatu peringkatan hirarkhi yang saling melengkapi dan

serasi menuju suatu bentuk pengetahuan terluhur, yakni ma’rifah.35

Di sinilah Nasr

melakukan “dekonstruksi” terhadap metafisika Barat modern yang melandasi

epistemologi sains modern dalam bangunan studi agama kontemporer. Bagi Nasr,

dari metafisika perenialisme inilah seharusnya titik berangkat dalam kajian-kajian

  humaniora, bahkan agama-agama, dimana realitas harus dilihat menurut tingkatan

eksistensinya tanpa harus terjebak untuk melihat tingkatan tertentu eksistensi sebagai

eksistensi itu sendiri.

Pada tingkat penerapan prinsip-prinsip metafisika inilah, perennialisme

mengaitkan dengan piranti-piranti ilmu empirik tradisional, seperti kosmologi,

antropologi, seni, dan disiplin lainnya yang dalam jantungnya terletak metafisika

murni.36  Ini bisa dilihat pada penegasan Nasr yang mengungkapan bahwa “dalam

  jantung ilmu kosmos tradisional, sebagaimana antropologi, psikologi dan seni

tradisional menempatkan scientia sacra yang memuat prinsip-prinsip mengenai

pengetahuan prinsip yang suci dan pengetahuan tentang yang suci   par excelllence,

karena Yang Suci tidak lain sebagai yang prinsip.37 

Scientia sacra di sini tidak lain daripada metafisika itu sendiri, yang dalam

istilah lain,  jnana atau ma’rifah yang merupakan “ilmu tentang Yang Nyata”,38

 

dimana setiap aspek dari eksistensi kosmik selalu dipandang sebagai refleksi

keilahian.39

Upaya meletakkan landasan metafisika dalam wacana keilmuan ini,

34Seyyed Hoseein Nasr, “Hubungan antara Intelek dan Intuisi dar i Perspektif Islam, dalam

Salem Azzam, (ed.),   Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan oleh Hamid L. A.

Basalamah, (Bandung: Gema Risalah, 1988), hlm. 61.35

  Ibid ., hlm. 66.36

  Ibid ., hlm. 182.37

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge … Op.Cit ., hlm. 133.38

  Ibid ., hlm. 132.39

  Ibid ., hlm. 136-137.

Page 14: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

menurut Nasr, tidak lain sebagai usaha untuk menghindari reduksionisme atas realitas

agama yang utuh, yang tentunya, akan berakibat merugikan dalam kajian-kajian

agama-agama.

Dalam hal ini, Nasr menjelaskan sebagai berikut:

Perbedaan utama antara ilmu tradisional dan ilmu modern, sesungguhnya,

terletak pada fakta bahwa yang tradisional di mana hal yang profan dan

manusiawi selalu dipinggiran dan yang suci berada di pusat, sedangkan dalamilmu modern, yang duniawi menjadi pusat dan penemuan-penemuan yang

walaupun segala sesuatu mengungkapkan Asal Ilahiah tentang dunia alam

telah menjadi begitu pinggiran sehingga jarang diakui, kecuali oleh para

saintis tertentu yang mempunyai pandangan luar biasa. Ilmu-ilmu tradisional

secara essensial adalah suci dan secara kebetylan sadar tentang kualitas yangsuci dari alam semesta dan, bahkan pada saat yang jarang, dapat menerima

yang suci sebagai yang suci.40

 

Pada garis pandang ini, Nasr membangun suatu kritik yang sangat mendasar

atas tradisi akademik Barat dalam kajian agama. Ini bisa dilihat pada kutipan di

bawah ini:

Studi tentang agama-agama “lain” sebagai disiplin ilmiah, berbeda dengan  jenis kepentingan yang ditunjukkan dalam doktrin-doktrin Timur sebagai

sumber pengetahuan yang merupakan pedoman yang sudah terbuat, mulai darilatar belakang “saintisme” yang mencirikan religionswissenschaft  awal.

Agama dipelajari sebagai fakta yang memiliki budaya manusia yang berbedauntuk didekomentasikan dan digambarkan sebagaimana seseorang akan

mempelajari dan mendaftar fauna dari tanah asing. Persoalan iman menjadi

kurang penting; “fakta” sejarah, mitos-mitos, ritus-ritus, dan simbol-simbollebih menarik perhatian sejak aspek-aspek agama tersebut menjadi subjek 

bagi studi ilmiah dari pada apa yang dimunculkan dari persoalan iman yang

tidak nyata.41

 

Sampai di sini, apakah Nasr tidak melihat bahwa pada alur kritik yang sama

ini kritik juga telah lama dilakukan oleh fenomenologi sebagai upaya untuk 

menjembatani problem reduksionisme dalam kerangka metodologi kajian agama ?

40Seyyed Hossein Nasr, “The Role of the Tradisional Science in the Encounter of Religion

and Science; An Oriental Perspectif”, dalam Jurnal  Religious Studies, No. 20, Thn. 1984, hlm. 523-

524.41

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge … Op.Cit ., hlm. 145.

Page 15: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Menurut Nasr, munculnya fenomenologi sebagai upaya untuk menjembatani

problem reduksionisme dalam kerangka metodologis bukan berarti lalu fenomenologi

bebas dari kekurangan. Sumbangan fenomenologi memang sangat besar, khususnya

dalam upaya mempertemukan beberapa unsur dalam perbedaan agama-agama.

Namun, fenomenologi belum bisa masuk ke dalam kesadaran adanya suatu

transendental agama-agama, yang menjadi basis dari pengertian adanya

keanekaragaman agama-agama.42 Secara metodologis, pendekatan epoche dalam

fenomenologi berimplikasi pada pengesampingan keyakinan-keyakinan agama

pribadi, menolak memberi keputusan mengenai validitas pendirian religius sendiri,

yang justru menjadi dasar parmanen dalam beragama.43 Oleh karenanya, agama

dalam pendekatan fenomenologi cenderung direduksi menjadi semata-mata sebagai

fenomena dari homo religious tersebut.

Oleh karena itu, studi agama dengan pendekatan filsafat perennial tidak hanya

berhenti pada eidos dalam istilah Class J. Bleeker, sensus numinous dalam istilah

Rudolf Otto, trancendental focus dalam istilah Niniant Smart, essence of religion 

dalam istilah Mercia Eliade, atau ultimate reality dalam istilah Joachim Wach, tetapi

harus diteruskan pada pengalaman keberagamaan berupa penyatuan diri denganTuhan yang dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Pola studi agama

ini menegaskan adanya suatu dimensi Ilahiah. Pada alur argumentasi inilah tampak 

arti penting dari pendekatan filsafat perennial dalam studi agama.

Sasaran yang ingin dituju oleh Nasr dalam menggagas perspektif filsafat

perennial untuk studi agama-agama adalah memberi landasan ontologis dalam

wilayah paradigmatik studi agama-agama. Menurut Nasr, “keterperangkapan studi

agama dan agama-agama tersebut ke dalam historisisme akan menjadikan agama

kehilangan makna hakikinya yang transendental, yakni Asal Ilahiah yang universal”.

Bagi Nasr, agama bukan hanya iman dan ibadah dari suatu kolektivitas manusia

tertentu yang menjadi penerima suatu pesan keagamaan tertentu. Agama juga bukan

42Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis …” Op.Cit ., hlm. 190.43

  Ibid ., hlm. 191.

Page 16: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

hanya iman manusia yang beriman. Agama adalah dari Asal Yang Ilahi. Polanya

terletak dalam Intelek Ilahi dan mempunyai tingkatan-tingkatan eksistensi seperti

kosmos sendiri. Jika agama berhenti berada di bumi, itu tidak berarti bahwa agama

berhenti memiliki realitas. Di bumi, lingkaran kehidupan agama dapat berakhir, tetapi

sebagai “ide” dalam pengertian Platonik, agama akan tetap dalam Intelek Ilahiah

dalam realitas trans-historisnya. Kekuatan ritus-ritusnya di bumi sini bisa saja hilang,

tetapi realitas asal yang dihadirkan akan tetap bersifat abadi.44 

Inilah yang terpenting dalam pemikiran Nasr. Berbeda dengan pemikir-

pemikir muslim lainnya, ia lebih bergerak untuk mempertanyakan keabsahan objektif 

dari suatu rumusan realitas yang ada. Pokok masalah yang ditekankan pada landasan

ontologis ini menginginkan adanya suatu kerangka metodologi yang “khusus” bagi

paradigma kajian-kajian keagamaan dari yang normatif sampai yang historis-empiris.

Dari sinilah, Nasr membangun perennialisme sebagai paradigma tandingan bagi sains

modern yang melatarbelakangi studi-studi agama selama ini.

E.  Kritik Atas Perennialisme dalam Studi Agama

Apabila dicermati lebih jauh, penekanan filsafat perennial yang digagas olehNasr lebih banyak memusatkan perhatiannya pada struktur internal agama, hingga

melihat realitas agama sebagai turunan vertikal secara hirarkhis. Penekanan ini justru

menjadikan pendekatan ini kurang mengapresiasikan secara luas tentang proses

transformasi dalam wilayah historis agama-agama.

Dalam konteks inilah, muncul pertanyaan mendasar sekitar bagaimana studi

ini bisa menjelaskan secara rinci aspek-aspek eksternal agama. Padahal, pada aspek 

eksternal inilah, agama lebih banyak berkaitan dengan wilayah historisitas manusia,

dimana agama tidak selalu berfungsi sebagai variabel yang menentukan atas setiap

proses sosial tapi kadang-kadang bisa sebagai variabel yang ditentukan oleh proses

sosial. Pada celah “cacat” epistemologis inilah, Nurul Fajri melakukan kritik yang

44Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis”, … Op.Cit ., hlm. 185.

Page 17: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

mendasar, bahwa “filsafat perennial hanya relevan untuk mengkaji dimensi internal

agama, sedangkan untuk mengkaji dimensi eksternal dalam historisitasnya

dibutuhkan perangkat lain, yakni perspektif empiris. Problem mendasarnya adalah

bagaimana filsafat ini bisa menjelaskan fenomena hubungan antara agama dengan

 politik atau negara yang sangat kompleks”.45 

Dalam hal ini, Anees dan Merryl menjelaskan sebagai berikut :

Hal yang paling banyak mengundang kritik dari wacana pemikiran Nasr

adalah keterikatannya yang mendalam pada tasawuf serta pengambaran yang

Hellenistik sebegitu rupa, sehingga menampilkan citra sains yang terlalu

utopian. Secara serius ini sangat membatasi audiensinya di dunia muslim dan

kalangan orang-orang Barat yang menaroh minat padanya.

46

 

Problem inilah yang menjadikan pendekatan filsafat perennial menjadi a-

historis, karena kurang begitu mempersoalkan dialektika kesadaran dengan realitas

historis. Padahal, dari situlah terjadinya transformasi format keberagamaan.

Kelemahan mendasar yang secara intrinsik melekat dalam bangunan epistemologi

filsafat perennial ini tidak memungkinkan baginya untuk dapat berdiri sendiri.

Artinya, obsesi Nasr untuk menjadikan filsafat ini sebagai pendekatan satu-satunya

dalam studi agama menjadi persoalan yang sangat mendasar.

F.  Kesimpulan

Ada dua bisa “disentuh” oleh filsafat perennial bagi pengembangan studi

agama dan agama-agama. Pertama, pada wilayah kajian empiris-ilmiah, filsafat

perennial bisa memberi landasan spiritual tentang Asal Ilahiah bagi realitas agama,

sehingga kecenderungan reduksionisme dalam wilayah kajian ini dapat dihindari.

45  Nurul Fajri M. R., “Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau

Empirisisme”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4., Vol. III, 1992, hlm. 39.46Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai

Kecenderungan Masa Depan”, diterjemahkan oleh Hizbullah Mawlana, dalam Jurnal  Al-Hikmah, No.

15, Vol. VI / 1995, hlm. 75. Dalam masalah yang sama, Rahman juga pernah mengajukan suatu kritik 

terhadap Nasr “yang terlalu terbenam dalam wacana sufisme sehingga menutup kritik atas tradisi”.

Lihat Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan”, diterjemahkan oleh

Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993, hlm. 80-101.

Page 18: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

Kedua, wilayah kajian normatif bisa diberi cakrawala spiritual oleh filsafat perennial

tentang Asal Ilahiah agar pola kajian ini tidak terjebak dalam pola pemahaman

keagamaan yang bersifat ekskusif.

Tentunya, terlepas dari berbagai kekurangan intrinsik yang dimiliki oleh

filsafat perennial sebagai pendekatan studi agama, pendekatan ini bisa memperkaya

berbagai keragaman pendekatan studi agama agar saling melengkapi dalam

membangun struktur pengetahuan tentang agama yang utuh. Membaca garis pandang

ini, kerjasama antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya merupakan cara

yang lebih realistis dan paling memungkinkan dilakukan secara maksimal.

G.  Daftar Pustaka

A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).Azyumardi Azra, “Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari

Seminar Seyyed Hossein Nasr)”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an,

No. 4, Vol. IV, Tahun 1993.Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978).

Komaruddin Hidayat, “Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap

Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr”, dalam Dawam Rahardjo,

(ed.), Insan Kamil, (Jakarta: PT. Graffiti Press, 1985).F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk 

Menyelamatkan Subjek”, dalam Majalah Basis, (Maret 1991).

F. Budi Hardiman, “Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-

Modernisme” (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 4,

Vol. V, Tahun 1994.

Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan”, diterjemahkanoleh Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993.

Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies”, dalam Richard C.

Martin, (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of 

Arizona Press, 1985).

Herman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan  Metodologi Penelitian Agama, (Makalah untuk  Simposium Nasional

Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991).

Jalaluddin Rahmat, “Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk 

Orasi Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, Jak arta 27 Nopember 1993).

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif 

Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995).

Page 19: SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum)

5/13/2018 SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Dr. Irfan Noor, M. Hum) - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/spiritualitas-dan-problem-reduksi-studi-agama-dr-irfan-noo

M. Amin Abdullah,  Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk 

Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29

Juni 1991).Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., “Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan

Berbagai Kecenderungan Masa Depan”, diterjemahkan oleh Hizbullah

Mawlana, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 15, Vol. VI / 1995.Nurul Fajri M. R., “Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau

Empirisisme”, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 4., Vol. III,

1992.

Seyyed Hossein Nasr, “Philosophia Perennis and Study of Religion”, dalam Frank Whalling, (ed), The World’s Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T. Clark LTD., 1984).

Seyyed Hossein Nasr, “Existence (wujud ) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic

Philosophy”, dalam Jurnal International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX,No. 4., Issue No. 116, December 1989.

Seyyed Hossein Nasr, “In Quest of the Eternal Sophia”, (The George WashingtonUniversity, 1990).

Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American

Library, 1970).Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of 

 Modern Man, (London: George Allen and Unwin, 1968).

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ.

Press, 1980).Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred , (Edinburgh: Edinburgh Univ.

Press, 1980).Seyyed Hossein Nasr, “The Role of the Tradisional Science in the Encounter of 

Religion and Science; An Oriental Perspectif”, dalam Jurnal  Religious

Studies, No. 20, Thn. 1984.