spb
description
Transcript of spb
PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN PADI
1. PENDAHULUAN
Dalam pengembangan produksi pangan khususnya padi, petani dihadapkan kepada
beberapa kendala baik yang bersifat fisik, sosio-ekonomi maupun kendala yang bersifat
biologi (biological constraint). Salah satu kendala biologi adalah gangguan spesies
organisme yang menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas produk bahkan
sampai menggagalkan panen. Sebelum swasembada pangan, kebijaksanaan pemerintah
dalam pengendalian hama sangat mengandalkan pada penggunaan pestisida. Waktu itu,
penyemprotan pestisida pada tanaman dilakukan secara terjadwal (scheduled) baik ada
maupun tidak ada serangan hama. Penggunaan pestisida terjadwal dimasukan sebagai salah
satu paket teknologi produksi padi dan petani bebas menggunakan berbagai jenis pestisida
termasuk pestisida presisten (undegradable).
Setelah swasembada pangan tercapai tahun 1984, metoda pengendalian hama mengalami
perubahan mendasar karena diketahui bahwa penggunaan pestisida yang tidak bijaksana
adalah sangat keliru. Subiyakto (1992) menyatakan bahwa, sejak pestisida digunakan
secara besar-besaran, masalah hama bukan semakin ringan tetapi semakin rumit, beberapa
spesies hama kurang penting berubah status menjadi sangat penting dan yang lebih
menghawatirkan adalah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan oleh residu
pestisida yang mengancam kehidupan termasuk manusia.
Mengingat dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak terkendali, pemerintah
mengintroduksikan suatu paket teknologi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan
disebut teknologi Pengendalian Hama Terpadu(integreted pest management). Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) pada dasarnya terdiri atas dua kegiatan pengendalian yaitu usaha-
usaha pencegahan (preventive controls) dan penggunaan pestisida (pesticide
controls).Penggunaan pestisida boleh dilakukan apabila cara pertama sudah digunakan
tetapi belum memberikan hasil optimal.
Introduksi teknologi PHT bertujuan agar petani menjadi tahu dan mampu merubah perilaku
dalam pengendalian hama tanaman dari cara lama (sistem kalender) ke cara baru (konsep
PHT). Disamping itu, jenis pesisida yang boleh digunakan untuk tanaman padi juga
dibatasi, hanya boleh menggunakan jenis pestisida yang mudah terurai(degradable) dan
berspektrum sempit (narrow spectrum). Dalam pelaksananya, ditetapkan melalui Inpres
No.3 tahun 1986 mengenai berbagai jenis pestisida yang dilarang penggunaanya untuk
tanaman padi (Dirjentan, 1987).
2. POKOK BAHASAN
1. Pengertian PHT
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, PHT tidak lagi dipandang
sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam penyelesaian masalah lapangan
(Kenmore 1996). Waage (1996) menggolongkan konsep PHT ke dalam dua kelompok,
yaitu konsep PHT teknologi dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan
pengembangan lebih lanjut dari konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang
kemudian dikembangkan oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de
Janeiro pada tahun 1992 dan FAO. Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi
penggunaan insektisida sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai
dasar penetapan pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida
kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan
dan metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara ini,
dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi
(Untung 2000). Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT
dalam sistem pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan
pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami serta
keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih menerima
teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi, konsep PHT
ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi. Dalam menyikapi
dua konsep PHT ini, kita harus pandai memadukannya karena masing-masing konsep
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hal ini disebabkan bila dua konsep tersebut
diterapkan tidak dapat berlaku umum.
PHT dalam Konteks Produksi Padi
Luas panen padi pada tahun 2003 tercatat 11,48 juta hektar dan produksi padi pada tahun
tersebut mencapai 52,08 juta ton, meningkat 1,14% dibanding tahun 2002 (51,49 juta ton).
Kenaikan produksi merupakan dampak dari peningkatan produktivitas padi, dari 4,47 t/ha
pada tahun 2002 menjadi 4,52 t/ha pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa
penerapan teknologi, termasuk pengendalian hama dan penyakit, memegang peranan
penting. Dengan asumsi tidak ada terobosan teknologi maka produksi padi pada tahun
2020 diproyeksikan 57,4 juta ton. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada tahun
yang sama diperkirakan 262 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27%/ tahun.
Apabila konsumsi beras per kapita masih tetap 134 kg/tahun maka kebutuhan beras pada
tahun 2020 mencapai 35,1 juta ton atau setara dengan 65,9 juta ton gabah kering giling
(GKG).
Kalau produksi padi tidak meningkat berarti pada tahun 2020 terjadi kekurangan beras 4,5
juta ton atau setara dengan 8,5 juta ton GKG (Budianto 2002). Untuk mengatasi
kekurangan pangan perlu adanya terobosan peningkatan produksi padi. Pengalaman di
lapangan menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui
implementasi program PHT. Dalam praktek PHT, hasil padi petani di Karawang pada MK
1995 masih meningkat hingga 37% dengan penanaman varietas tahan hama wereng dan
meningkat 46,3% untuk varietas tidak tahan (Baehaki et al. 1996).
PHT Mendukung Pertanian Praktek Pertanian yang Baik
Aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan pada keseluruhan proses produksi sampai
pemasaran dinilai denganInternational Standardization Organization (ISO) yang dikenal
dengan pendekatan sistem mutu dan keamanan pangan, termasuk di dalamnya Sistem
Manajemen ISO 9000 tentang Manajemen Mutu, ISO 14000 tentang Manajemen
Lingkungan, dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) tentang Sistem
Manajemen Keamanan Pangan. Produk yang berkualitas harus memiliki empat kriteria
yaitu:
(1) Memenuhi sifat keindraan (sensory properties) yang meliputi rasa, penampilan, bau,
dan warna;
(2) Memenuhi nilai nutrisi (nutritional value) yang menyangkut isi nutrisi, vitamin, dan
tidak terdapat hal yang tidak diinginkan seperti zat yang menimbulkan alergi;
(3) Menenuhi kualitas kesehatan (hygienic quality) yang menyangkut kebersihan,
kesegaran, tidak ada serangga, tidak menjijikkan; dan
(4) Memenuhi aspek keamanan pangan (food safety) yang menyangkut tidak adanya
mikroorganisme penyebab penyakit, tidak berisi zat toksik seperti pestisida, logam berat,
mikotoksin, dan tidak ada tipuan (Frost 2001).
GAP (Good Agricultural Practices) dapat diaplikasikan dalam rentang waktu dan daerah
yang luas terhadap sistem pertanian dengan skala yang berbeda. GAP digunakan dalam
sistem pertanian berkelanjutan yang mencakup PHT, pengelolaan hara terpadu,
pengelolaan gulma terpadu, pengelolaan irigasi terpadu, dan pemeliharaan (conservation)
lahan pertanian. Penerapan PHT diperlukan dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan.
Oleh karena itu, GAP harus memiliki empat prinsip utama:
1. Penghematan dan ketepatan produksi untuk ketahanan pangan (food security), keamanan
pangan (food safety), dan pangan bergizi (food quality).
2. Berkelanjutan dan bersifat menambah (enhance) sumber daya alam.
3. Pemeliharaan kelangsungan usaha pertanian (farming enterprise) dan mendukung
kehidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihoods).
4. Kelayakan dengan budaya dan kebutuhan suatu masyarakat (social demands).
Aspek yang akan disentuh oleh elemen GAP di bidang “perhamaan” adalah proteksi
tanaman. Hal ini membutuhkan strategi pengelolaan risiko, yang mencakup penggunaan
tanaman tahan hama dan penyakit, rotasi tanaman pangan dengan pakan ternak, ledakan
penyakit pada tanaman peka, dan penggunaan bahan kimia seminimal mungkin untuk
mengendalikan gulma, hama, dan penyakit dengan mengikuti konsep PHT. GAP akan
menjangkau beberapa aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian hama sebagai berikut:
1. Penggunaan varietas tahan dalam proses pelepasan beruntun (sequencetial), asosiasi, dan
kultur teknis untuk mencegah perkembangan hama dan penyakit.
2. Pemeliharaan keseimbangan biologi antara hama dan penyakit dengan musuh alami.
3. Adopsi praktek pengendalian menggunakan bahan organik bila memungkinkan.
4. Penggunaan teknik pendugaan hama dan penyakit bila telah tersedia.
5. Pengkajian semua metode yang memungkinkan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang, terhadap sistem produksi dan implikasinya terhadap lingkungan guna
meminimalkan pemakaian bahan kimia pertanian, khususnya dalam meningkatkan adopsi
teknologi PHT.
6. Penyimpanan dan penggunaan bahan kimia yang sesuai dan teregistrasi untuk individu
tanaman serta waktu, dan interval penggunaan sebelum panen.
7. Pengamanan penyimpanan bahan kimia dan hanya digunakan oleh personel yang sudah
terlatih dan memiliki pengetahuan (knowledgeable persons).
8. Pengamanan peralatan yang digunakan untuk mengatasi bahan kimia dengan
meningkatkan keamanan dan pemeliharaan standar.
9. Pemeliharaan catatan secara akurat terhadap insektisida yang dipakai.
Alternatif Kebijakan Implementasi PHT dalam Praktek Pertanian yang Baik
Menuju Pertanian Berkelanjutan.
1. Pemilihan Varietas Tahan dan Hemat Energi
Keberlanjutan pertanian antara lain ditentukan oleh penggunaan varietas tahan hama
penyakit dan hemat energi. Usaha untuk menghasilkan varietas yang hemat energi di
antaranya adalah dengan mengubah tipe tanaman C3 menjadi C4, atau mengubah arsitektur
tanaman menjadi lebih produktif, misalnya padi tipe baru dengan anakan sedikit dan
bentuk daun yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk berfotosintesis sehingga dapat
berproduksi lebih tinggi (Cantrell 2004).
Dalam memilih varietas yang akan ditanam, nilai tambah produksi dan pemasaran juga
perlu diperhitungkan. Hal ini penting artinya karena setiap varietas mempunyai karakter
yang berbeda; ada yang cocok untuk dibuat bihun, beras kristal, nasi goreng, dan
sebagainya. Dalam praktek pertanian yang baik, petani perlu dibimbing dalam memilih
varietas yang tidak rakus hara, hemat air, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi
normal di mana pun ditanam. Ini penting artinya agar mereka tidak
menggunakan input secara berlebihan, baik pupuk, air maupun pestisida, sebagaimana
yang dikehendaki oleh kaidah praktek pertanian yang baik menuju keberlanjutan sistem
produksi.
Dalam kesempatan ini dianjurkan kepada para pemulia tanaman untuk menyusun program
perakitan varietas padi yang hemat energi, tahan hama dan penyakit, dan berproduksi
normal di mana pun ditanam. Paradigma baru pemuliaan tanaman ini seyogianya dapat
dijabarkan ke dalam rencana strategis penelitian padi nasional. Pembentukan varietas padi
tahan hama penyakit dan hemat energi sesuai dengan dinamika paradigma pembentukan
varietas unggul baru dari zaman ke zaman.
2. Teknologi Pengendalian Hama secara Hayati
Pengendalian hayati secara inundasi adalah memasukkan musuh alami dari luar dengan
sengaja ke pertanaman untuk mengendalikan hama. Inundasi yang dapat dilakukan adalah
penggunaan cendawan Beauveria bassiana danMetarhizium anisopliae sebagai agens
hayati. Efektivitas biakan B. bassiana terhadap wereng coklat mencapai 40% (Baehaki et
al. 2001). Cendawan ini selain dapat mengendalikan wereng coklat, juga dapat digunakan
untuk mengendalikan walang sangit (Tohidin et al. 1993), Darna catenata (Daud dan
Saranga 1993), dan lembing batu (Caraycaray 2003). Formulasi cendawan M.
anisopliae dapat menurunkan populasi hama sampai 90%.
1. Pergiliran Varietas antar musim
Hama tanaman padi tidak akan meledak sepanjang musim dan peningkatan populasinya
hanya terjadi pada musim hujan. Pada musim kemarau, populasi hama, misalnya wereng,
cenderung rendah, kecuali pada musim kemarau yang banyak hujan atau di daerah
cekungan. Pergiliran varietas berdasarkan gen ketahanan yang terkandung pada tanaman
padi untuk menghadapi tingkat biotipe wereng coklat. Pada daerah wereng coklat biotipe 1,
pertanaman padi diatur dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan Bph1, bph2
dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau dapat ditanam varietas padi yang tidak
mempunyai gen tahan.
Pergiliran varietas pada daerah wereng coklat biotipe 2 dilakukan dengan menanam
varietas yang mempunyai gen tahan bph2 dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim
kemarau ditanam varietas yang mempunyai gen Bph1. Pergiliran varietas pada daerah
wereng coklat biotipe 3 dilakukan dengan menanam varietas yang mempunyai gen tahan
Bph1+ dan Bph3 pada musim hujan. Pada musim kemarau ditanam varietas dengan gen
tahan Bph1 dan bph2. Pengaturan pertanaman di dalam musim juga diperlukan untuk
menangkal serangan wereng coklat dan penggerek batang padi, yaitu pada awal musim
hujan menanam varietas tahan yang berumur pendek dan pada pertengahan musim sampai
akhir musim hujan menanam varietas yang tidak tahan ataupun tahan wereng coklat dan
berumur panjang.
3. Teknologi Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Integrasi Palawija pada Pertanaman
Padi
Para ahli agroekologi sedang mengenalkan intercropping, agroforestry, dan metode
diversifikasi lainnya yang menyerupai proses ekologi alami (Alteri 2002). Hal ini penting
artinya bagi keberlanjutan kompleks agroekosistem. Pengelolaan agroekologi harus berada
di garis depan untuk mengoptimalkan daur ulang nutrisi dan pengembalian bahan organik,
alir energi tertutup, konservasi air dan tanah, serta keseimbangan populasi hama dan musuh
alami. Hama dan penyakit tanaman padi juga dapat dikendalikan berdasarkan agroekologi,
antara lain dengan sistem integrasi palawija pada pertanaman padi (SIPALAPA).
Sistem ini berupa pertanaman polikultur, yaitu menanam palawija di pematang pada saat
ada tanaman padi. SIPALAPA dapat menekan perkembangan populasi hama wereng coklat
dan wereng punggung putih. Hal ini disebabkan adanya predator Lycosa
pseudoannulata, laba-laba lain, Paederus fuscifes, Coccinella, Ophionea
nigrofasciata, dan Cyrtorhinus lividipennis yang mengendalikan wereng coklat dan wereng
punggung putih. Demikian juga parasitasi telur wereng oleh
parasitoid Oligosita dan Anagrus pada pertanaman SIPALAPA lebih tinggi daripada
pertanaman padi monokultur. Penerapan teknologi SIPALAPA dapat meningkatkan
keanekaragaman sumber daya hayati fauna dan flora (biodiversitas). Penanaman kedelai
atau jagung pada pematang sawah terbukti dapat memperkaya musuh alami, mempertinggi
dinamika dan dialektika musuh alami secara dua arah antara tanaman palawija dan padi.
Dalam praktek pertanian yang baik, pada pasal 13.b disebutkan bahwa keberhasilan usaha
tani terkait dengan upaya peningkatan keanekaragaman hayati melalui konservasi lahan
(EUREP 2001). Hal ini dapat diaktualisasikan melalui aktivitas kelompok tani dengan
menghindari kerusakan dan deteriorasi habitat, memperbaiki habitat, dan meningkatkan
keanekaragaman hayati pada lahan usaha tani.
4. Pengendalian berdasarkan Manipulasi Musuh Alami
Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami dimaksudkan untuk memberikan
peranan yang lebih besar kepada musuh alami, sebelum memakai insektisida. Pada
prinsipnya musuh alami akan selalu berkembang mengikuti perkembangan hama. Selama
musuh alami dapat menekan hama maka pengendalian dengan bahan kimia tidak
diperlukan karena keseimbangan biologi sudah tercapai. Namun bila perkembangan musuh
alami sudah tidak mampu mengikuti perkembangan hama, artinya keseimbangan biologi
tidak tercapai, maka diperlukan taktik pengendalian yang lain, termasuk penggunaan bahan
kimia. Teknologi pengendalian wereng coklat menggunakan ambang kendali berdasarkan
manipulasi musuh alami dapat mengurangi pemakaian insektisida dan meningkatkan
pendapatan (Baehaki et al. 1996). Teknologi ini diawali dengan pemantauan pada
pertanaman untuk menentukan ambang ekonomi wereng terkoreksi musuh alami dengan
menggunakan formula Baehaki (1996). Insektisida yang direkomendasikan dapat
digunakan untuk pengendalian hama jika ambang ekonomi terkoreksi yang ditentukan
telah terlampaui.
Pengendalian hama berdasarkan manipulasi musuh alami menghemat penggunaan
insektisida 33-75%, meskipun pada musim hujan dengan kelimpahan hama wereng cukup
tinggi. Dengan cara ini, hasil padi di tingkat petani meningkat 36% dengan peningkatan
keuntungan 53,7%. Ambang ekonomi bukan harga yang tetap, tetapi berfluktuasi
bergantung pada harga gabah dan pestisida. Bila harga gabah meningkat maka ambang
ekonomi akan turun dan sebaliknya, tetapi bila harga insektisida naik maka amba
5. Teknologi Pengendalian Hama berdasarkan Ambang Ekonomi
Tidak semua hama dapat diformulasikan teknologi pengendaliannya berdasarkan musuh
alami karena terbatasnya pengetahuan tentang korelasi perkembangan musuh alami dengan
perkembangan suatu hama. Bagi hama yang belum ada teknologi pengendaliannya
berdasarkan perkembangan Musuh alami, dapat digunakan teknologi berdasarkan ambang
ekonomi tunggal atau ambang ekonomi ganda. Di lapangan, adakalanya pertanaman padi
diserang oleh lebih dari satu macam hama sehingga diperlukan teknologi yang mampu
mengendalikan lebih dari satu jenis hama. Untuk itu, pengendalian dapat berpatokan pada
ambang ekonomi hama ganda. Formula pengendalian hama berdasarkan ambang ekonomi
ganda pada fase vegetatif untuk wereng coklat-wereng punggung putih mengikuti pola 9-0-
14, sedangkan pada fase reproduktif mengikuti pola 18-0-21. Ambang ekonomi ganda
sundep-ulat grayak pada fase reproduktif mengikuti pola 9-0-15, sundep-hydrellia pada
fase vegetatif mengikuti pola 6-0-19, dan sundep-pelipat daun pada fase vegetatif
mengikuti pola 9-0-13 (Baehaki dan Baskoro 2000).
Pengendalian dengan insektisida dilakukan setelah populasi hama atau kerusakan tanaman
mencapai ambang ekonomi ganda yang telah ditentukan.
6. Minimalisasi Residu Pestisida
Penggunaan insektisida merupakan taktik dinamis yang dilaksanakan dalam kurun waktu
pertumbuhan tanaman bila teknik budi daya dan pengendalian hayati gagal menekan
populasi hama di bawah ambang ekonomi. Penentuan ambang ekonomi sangat penting
sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Bhat (2004) menyebutkan bahwa
ambang ekonomi merupakan komponen yang sangat penting dalam PHT. Pengendalian
hama berdasarkan ambang ekonomi juga bertujuan untuk mengatasi penggunaan bahan
kimia secara berlebihan yang berdampak terhadap tingginya residu pestisida pada produk
pertanian dan pencemaran lingkungan.
3. KESIMPULAN
PHT merupakan pengelolaan hama secara ekologis, teknologis, dan multi disiplin dengan
memanfaatkan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam satu kesatuan
koordinasi sistem pengelolaan pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Implementasi PHT memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk petani, peneliti,
pemerhati lingkungan, penentu kebijakan, dan bahkan politisi. Implementasi PHT dapat
mendukung keberlanjutan pengembangan pedesaan dengan mengamankan suplai air dan
menyediakan makanan sehat melalui praktek pertanian yang baik. PHT
mengakomodasikan teknologi ramah lingkungan dengan pendekatan hayati, tanaman inang
tahan, hemat energi, budidaya, dan aplikasi pestisida berdasarkan ambang ekonomi. Bahan
kimia yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan pengelolaan yang diatur dengan
undang-undang. PHT harus mengembangkan diversitas agroekosistem yang
menguntungkan dari pengaruh integrasi antar tanaman sehingga terjadi interaksi dan
sinergisme, serta optimalisasi fungsi dan proses ekosistem, seperti pengaturan biotik yang
merusak tanaman, daur ulang nutrisi, produksi dan akumulasi biomassa. Hasil akhir dari
pola agroekologi adalah meningkatnya ekonomi dan keberlanjutan agroekologi dari suatu
agroekosistem. Pendekatan pertanian berkelanjutan untuk pengelolaan hama, yang meliputi
kombinasi pengendalian hayati, kultur teknis, dan pemakaian bahan kimia secara
bijaksana, merupakan alat dalam merintis pertanian ekonomis, pelestarian lingkungan, dan
menekan risiko kesehatan. PHT, GAP, dan pertanian berkelanjutan mengarah kepada
keselarasan lingkungan, secara ekonomi memungkinkan dipraktekkan, serta
memperhatikan keadilan masyarakat (socially equitable).
REFERENSI
1. https://penyuluhandasar.wordpress.com/2013/11/14/pengendalian-hama-terpadu-
berbasis-pertanian-berkelanjutan/
2. http://lissa-blogku.blogspot.com/2012/02/pengendalian-hama-terpadu-pht.html
http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2013/10/E-BOOK-PERTANIAN-ORGANIK.pdf
3. http://gemupertanian.blogspot.com/2012/06/pengertian-dan-ciri-ciri-pht.html#more