sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

28
MAKALAH SISTEM SOSIAL MASYARAKAT PESISIR KEPULAUAN RIAU Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah sosiologi perikanan dan kelautan Disusun oleh: SITI RAMADHANI 230110140041 SANDRA MOERTI OKTAVIAN 230210140042 BINTAN ADITYA WARMAN 230210140043

description

sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Transcript of sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Page 1: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

MAKALAH SISTEM SOSIAL MASYARAKAT PESISIR

KEPULAUAN RIAU

Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah sosiologi perikanan dan kelautan

Disusun oleh:

SITI RAMADHANI 230110140041

SANDRA MOERTI OKTAVIAN 230210140042

BINTAN ADITYA WARMAN 230210140043

HENNA DEYANA 230210140044

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

2015

Page 2: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

limpahan rahmatNyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Berikut ini kami mempersembahkan sebuah paper dengan judul “Sosial masyarakat

pesisir kepulauan Riau”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita

untuk mempelajari mata kuliah sosiologi perikanan dan kelautan

Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon pengertian

bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau

menyinggung perasaan pembaca.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih

untuk berbagai pihak yang telah membantu dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini

sehingga dapat memberikan manfaat.

Jatinangor, 7 April 2015

Penyusun

Page 3: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salahsatu Negara kepulauan terbesar yang terdapat di dunia.

Dengan jumlah garis pantai kurang lebih 95.000 kilo meter dan jumlah pulau kurang lebih

17.000 buah pulau yang terdapat dari Sabang sampai Merauke. Menurut BPS tahun 2010

jumlah suku yang terdapat di Indonesia mencapai 1.340 jenis suku yang sebagian besar

berada pada masyarakat pesisir di Indonesia. Wilayah pesisir dan lautan memiliki arti

strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki

potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Selain itu terdapat hal

lain yang membuat masyarakat pesisir memiliki corak khusus seperti kehidupan social,

budaya, ekonomi, dll.

Corak kehidupan masyarakat pesisir yang diambil sebagai bahasan pokok yaitu pada

daerah Kepulauan Riau, terutama bagian pulau-pulau kecil dan terluar yaitu Suku Laut.

Orang Suku Laut adalah adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Secara lebih

luas istilah Orang Laut mencakup "berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan

muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-

pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan. "Suku Laut adalah

suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang mereka dapatkan adalah apa yang mereka

pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang

digunakan dalam menangkap ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku

Laut, ini menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di suku Laut

menjadihal yang pertama kali mesti dibenahi, baru kemudian berhitung dan lainnya.

Orang Suku Laut diposisikan di area terluar (perferi) dan menempati ranking atau

derajat social terendah dalam hierarkhi ‘duniaMelayu’. Mereka dianggap bukanlah bagian

dari apa yang disebut kaum aristocrat Melayu sebagai ‘umat’ (nation of Islam) untuk

menyebut bangsa Melayu yang ‘homogen’. Mereka dianggap bukan umat karena tidak

menjalankan adat Melayu, tidak memeluk agama Islam, berbahasa dan berdialek Melayu,

serta berpenampilan seperti lazimnya orang Melayu (Chou, 2003; Lenhart, 1997). Konstruksi

struktur sosial yang demikian masih mempengaruhi masyarakat Melayu hingga sekarang.

Aspek yang disorot yaitu mengenai mata pencaharian, tempat tinggal, ritual, agama, tata-

Page 4: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

caraperkawinan, pemberiannama, persepsibersih-kotor, preferensimakanan, upacara

pemakaman, dan corak kebudayaan.

1.2 Tujuan

- Mengetahui corak kehidupan social, ekonomi, dan budaya dari masyarakat pesisir

khususnya untuk Suku Laut

Page 5: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Sistem

Asal kata Sistem berasal dari bahasa Latin systema  dan bahasa

Yunani sustema. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau

elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau

energi untuk mencapai suatu tujuan.  Atau dapat juga dikatakan bahwa Pengertian

Sistem adalah sekumpulan unsur / elemen yang saling berkaitan dan saling

mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan.

Jadi, secara umum Pengertian Sistem adalah perangkat unsur yang teratur saling

berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Pengertian lain dari Sistem

adalah susunan dari pandangan, teori, asas dan sebagainya.

Berikut ini beberapa Pengertian Sistem Menurut para Ahli:

Pengertian Sistem Menurut Davis, G.B: Sistem secara fisik adalah kumpulan dari

elemen-elemen yang beroperasi bersama-sama untuk menyelesaikan suatu sasaran.

Pengertian Sistem Menurut Harijono Djojodihardjo: Suatu sistem adalah sekumpulan

objek yang mencakup hubungan fungsional antara tiap-tiap objek dan hubungan

antara ciri tiap objek, dan yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan secara

fungsional.

Pengertian Sistem Menurut Lani Sidharta: Sistem adalah himpunan dari bagian-

bagian yang saling berhubungan yang secara bersama mencapai tujuan-tujuan yang

sama.

Pengertian Sistem Menurut Murdick, R.G:  Suatu sistem adalah seperangkat elemen

yang membentuk kumpulan atau procedure-prosedure/bagan-bagan pengolahan yang

mencari suatu tujuan bagian atau tujuan bersama dengan mengoperasikan data

dan/atau barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan/atau

energi dan/atau barang.

Page 6: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Pengertian Sistem Menurut Jerry Futz Gerald: Sistem adalah suatu jaringan kerja dari

prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk

melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu.

Pengertian Sistem Menurut Indrajit: mengemukakan bahwa sistem mengandung arti

kumpulan-kumpulan dari komponen-komponen yang dimiliki unsur keterkaitan antara

satu dengan lainnya.

Pengertian Sistem Menurut Jogianto: mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan

dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini

menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek

nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.

2.2. Pengertian Sistem Sosial

Sistem sosial adalah suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen sosial.

Elemen-elemen sosial itu terdiri atas tindakan-tindakan sosial yang dilakukan

individu-individu yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam sistem sosial

terdapat individu-individu yang berinteraksi dan bersosialisasi sehingga tercipta

hubungan-hubungan sosial. Keseluruhan hubungan sosial tersebut membentuk

struktur sosial dalam kelompok maupun masyarakat yang akhirnya akan menentukan

corak masyarakat tersebut.

Suatu sistem sosial tidak hanya berupa kumpulan individu. Sistem sosial juga

berupa hubungan-hubungan sosial dan sosialisasi yang membentuk nilai-nilai dan

adat-istiadat sehingga terjalin kesatuan hidup bersama yang teratur dan

berkesinambungan.

2.3. Pengertian Masyarakat

Masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan

yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama.Seperti; sekolah,

keluarga,perkumpulan, Negara semua adalah masyarakat.

Dalam ilmu sosiologi kita mengenal ada dua macam masyarakat, yaitu

masyarakat paguyuban dan masyarakat petambayan.Masyarakat paguyuban terdapat

hubungan pribadi antara anggota- anggota yang menimbulkan suatu ikatan batin

Page 7: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

antara mereka.Kalau pada masyarakat patambayan terdapat hubungan pamrih antara

anggota-angota nya.

2.4. Pengertian Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama

mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang

terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria,

2004). Tentu masyarakat pesisir tidak saja nelayan, melainkan juga pembudidaya

ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan.

Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat

agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat

dikontrol karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang

mereka miliki dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka

inginkan. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya

didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan

penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.

2.5. Kepulauan Riau

Riau sebagai salah satu Provinsi yang memiliki daerah perairan terluas di

Indonesia. Wilayah Kepulauan Riau memiliki ciri khas tersendiri yaitu terdiri dari

ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan dan pertemuan antara

laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Selat Karimata. Fisiografi kepulauan

mempengaruhi ekosistem-ekosistem yang terbentuk di kawasan Kepulauan Riau yang

didominasi oleh ekosistem laut dangkal. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah

pesisir Kepulauan Riau berturut-turut dari darat adalah perairan laut dangkal, terumbu

karang, padang lamun, rumput laut, mangrove dan pantai. Ekosistem terumbu karang

adalah salah satu ekosistem subur yang terdapat di Kepulauan Riau.

Page 8: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Deskripsi Daerah Kepulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi ke-32 yang dibentuk pada

tanggal 24 September 2002 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002.

Secara de jure Provinsi Kepulauan Riau berdiri tahun 2002, akan tetapi secara de

facto operasional penyelenggaraan pemerintahan baru dimulai tanggal 1 Juli 2004.

Pengangkatan Gubernur Kepulauan Riau telah memasuki periode yang kedua yang

dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83/P/2010 tanggal 30 Juli 2010.Provinsi

Kepulauan Riau mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan,

Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Lingga. Secara keseluruhan

Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 5 Kabupaten dan 2 Kota, 59 Kecamatan serta

351 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum

bernama dan berpenduduk.

Letak dan Kondisi Geografis

Secara Geografis wilayah Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0º 40’

Lintang Selatan dan 07º 19’ Lintang Utara serta antara 103º 3’ Bujur Timur sampai

dengan 110º 00’ Bujur Timur. Sebagai wilayah kepulauan, Provinsi Kepulauan Riau

memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah lainnya, hal ini dikarenakan

Page 9: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan pulau-pulau yang tersebar dari Selat

Malaka sampai Laut Cina Selatan. Berdasarkan hasil identifikasi Bakosurtanal tercatat

394 pulau sudah berpenghuni sedangkan 1.401 lainnya belum berpenghuni.

Gugusan pulau-pulau besar dan kecil ini tersebar diseluruh wilayah Provinsi,

Kabupaten Lingga tercatat memiliki jumlah pulau terbanyak yaitu sebanyak 531 pulau

dimana 455 pulau belum dihuni dan sebanyak 76 pulau sudah dihuni. Sedangkan Kota

Tanjungpinang memiliki jumlah pulau paling sedikit yaitu sebanyak 9 pulau dimana 2

pulau sudah berpenghuni sedangkan sisanya belum berpenghuni.

Beberapa pulau yang relatif besar diantaranya adalah Pulau Bintan dimana

Ibukota Provinsi berkedudukan di pulau ini tepatnya di Kota Tanjungpinang, Pulau

Batam yang merupakan Pusat Pengembangan Industri dan Perdagangan, serta Pulau

Rempang dan Galang (Barelang) yang merupakan kawasan perluasan wilayah industri

Batam. Pulau Karimun serta Pulau Kundur yang merupakan pusat perekonomian

hampir sebagian besar masyarakat Kabupaten Karimun, Pulau Lingga di Kabupaten

Lingga, Pulau Natuna serta gugusan Kepulauan Anambas merupakan lokasi kegiatan

pengembangan mega proyek gas alam cair.

Secara geografis wilayah Provinsi Kepulauan Riau berbatasan langsung

dengan :

1) Sebelah Utara : Berbatasan dengan Negara Vietnam dan

Kamboja.

2) Sebelah

Selatan

: Berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung

dan Provinsi Jambi.

3) Sebelah Barat : Berbatasan dengan Negara Singapura, Malaysia

dan Provinsi Riau.

4) Sebelah Timur : Berbatasan dengan Negara Malaysia, dan

Provinsi Kalimantan Barat.

Sebagai daerah kepulauan Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas 251.810,71

km2, dengan luas lautan 241.215,30 km2 (95,79 persen) dan luas daratannya sebesar

Page 10: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

10.595,41 km2 (4,21 persen). Luas daratan tersebut sekitar 0,43 % dari luas

Indonesia.

Secara Administratif Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 5 kabupaten dan 2

kota, yaitu Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten

Lingga, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kota Batam, dan Kota Tanjungpinang.

Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan pemekaran dari Kabupaten Natuna. Luas

wilayah masing-masing Kabupaten/ Kota sebagai berikut:

Wilayah Administrasi Provinsi Kepulauan Riau

No.Kabupaten /

KotaIbukota

Luas Wilayah (Km²) Jumlah

Kelurahan

/DesaDaratan%

daratan

Jumlah

Kecamatan

01. Tanjungpinang Tanjungpinang 239,50 2,26 4 18

02. Batam Batam 770,27 12 12 64

03. Bintan Bintan Buyu 1.946,13 18,36 10 51

04. Karimun Tanjung Balai 2.873,20 27,12 9 54

05. Natuna Ranai 2.058,45 19,43 12 73

06. Lingga Daik 2.117,72 19,99 5 57

07.Kepulauan

AnambasTarempa 590,14 5,57 7 34

Provinsi Kepulauan Riau 10.595,41 100 59 351

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau

Page 11: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Ibukota provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Tanjungpinang. Provinsi ini

terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut, dan udara yang strategis, dan terpadat

pada tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar.

Mengingat kondisi wilayah Provinsi Kepulauan Riau berupa pulau-pulau kecil yang

tersebar dan sebagian besarnya adalah wilayah perairan, maka transportasi laut

merupakan moda transportasi yang paling banyak digunakan. Sebagai akibatnya,

hampir di setiap pulau terdapat pelabuhan-pelabuhan dengan jangkauan pelayanan

yang berbeda-beda. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan

pembangunan, maka pelabuhan-pelabuhan tersebut akan terus dikembangkan, bahkan

pada pulau-pulau kecil yang belum terjangkau. Terlebih dengan adanya

pengembangan sumberdaya dan pemanfaatan ruang laut di daerah tersebut, yang akan

menuntut tersedianya sarana perhubungan yang memadai, baik berupa pelabuhan

angkutan orang maupun angkutan barang, beserta fasilitas penunjang lainnya, yang

otomatis akan mempengaruhi pemanfaatan ruang di laut.

3.2. Sistem Sosial

Orang suku laut merupakan orang-orang yang mengandalkan penangkapan

ikan sebagai nafkah hidup mereka. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan.

Kebiasaan warga suku Laut pada malam hari adalah memancing. Warga suku Laut

mempercayai bahwa memancing pada tengah malam akan mendapatkan ikan lebih

mudah, mereka memancing hanya menggunakan perahu sederhana (getek) dan

tombak. Dan yang harus kalian ketahui, bahwa jika mereka tidak mendapatkan ikan

mereka tidak boleh pulang dan terpaksa harus tidur dalam getek tanpa selimut

(sekadarnya).  Kebanyakan dari mereka tinggal di atas rumah perahu. Terkadang

mereka sering pindah, untuk itu mereka hanya kenal dengan sukunya sendiri.

Masyarakat suku laut cenderung memisahkan diri dari suku lain. Mereka juga sangat

kuat terhadap garis keturunannya. Seperti adat melayu umumnya, Suku Laut

mengambil garis ayah sebagai garis keturunannya. Mereka hidup dan berbudaya

selama berabad-abad di atas lautan. Mereka lahir, kawin dan mati di lautan. Laut

adalah bagian dari kehidupan mereka.

Mulai dari lahir, besar, makan, tidur, memasak, menikah, dan proses

reproduksi pun dilakukan di atas sampan yang mereka istilahkan dengan kajang.

Page 12: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Kajang adalah sebuah sampan kecil yang hanya berukuran 3×1 meter. Di bagian

atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa dengan tinggi sekitar 75 cm. Di atas

sampan itulah, mereka membagi setiap bagian menjadi ruang layaknya ruah di

daratan. Bedanya, setiap ruang tidak berdinding hanya dibatasi dengan perlengkapan

hidup. Dapur, diletakkan di bagian belakang sampan. Untuk memasak mereka

menggunakan lempengan besi sebagai alas kayu bakar. Sedangkan untuk tungkunya

mereka gunakan kaleng bekas yang bagian sampingnya diberi lubang untuk

memasukkan kayu bakar. Lebar tungku tersebut hanya sekitar 15 cm. Api mereka

dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu. Sementara untuk istirahat,

mereka jadikan bagian tengah sampan, yang merupakan bagian terlebar, sebagai

tempat menggelar tikar. Di atas sampan yang berukuran kecil tersebut, bisa dihuni

satu keluarga dengan jumlah anak tiga sampai lima orang. Agar sampan bisa memuat

tidur semua anggota keluarga, mereka beristirahat dengan posisi badan melengkung,

kepala di sisi kanan sementara kaki di sisi kiri. Pola hidup yang dijalani suku laut itu,

telah mempengaruhi postur tubuh mereka. Rata-rata tinggi suku laut tidak lebih dari

1,4 meter.

            Dan biasanya  satu kelompok suku laut bisa mencapai 30-an kajang.

Satu kajang biasanya dihuni satu keluarga yang anak-anaknya masih kecil, dibawah

10 tahun. Jika anak, terutama laki-laki, telah beranjak remaja akan dibuatkan kajang

sendiri oleh sang ayah. Di atas kajang itulah kehidupan mandiri seorang suku laut

dimulai. Si remaja akan belajar mencari ikan sendiri guna memenuhi kebutuhan

hidupnya, termasuk memasak sendiri. Di atas kajang itu pula, ia akan mulai mencari

pasangan hidup dan hidup bersama membentuk keluarga baru. Begitu seterusnya

siklus kehidupan suku laut berjalan. Kelompok suku laut akan mendarat di satu pulau

ketika mereka hendak mengambil air bersih, mengebumikan anggota kelompok yang

meninggal, dan menjual ikan hasil tangkapannya. 

Memasuki abad ke-20, seiring dengan terbentuknya negara-negara

pascakolonial di kawasan Asia Tenggara termasuk Republik Indonesia, di mana

secara tegas batas-batas (demarkasi) yang memisahkan satu wilayah dengan wilayah

lainnya menjadi penting, dan sebab itu persoalan teritorial kemudian menjadi politis.

Dalam konteks wilayah kultural Orang Suku Laut yang sebagian besar adalah laut,

maka hampir tiada lagi tempat bagi suku ini berpijak dan mencari kebutuhan pokok

Page 13: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

mereka secara bebas. Kondisi inilah yang menyebabkan mereka terpaksa ‘menetap’ di

satu-dua tempat, dan tidak lagi bisa hidup berpindah sesuka hati.

Dalam perkembangannya kemudian, mereka pun tersingkir dari ranah

budayanya dan tergilas oleh proyek-proyek negara maupun kaum pemodal yang

berorientasi pada pembangunan atau modernisasi (mulai dari penataan wilayah hingga

pengembangan daerah pariwisata maritim). Ketersingkiran mereka dari area

kulturalnya ini juga membuat perubahan dalam pola hidup mereka dan dari sini

mereka harus bernegosiasi dengan tatanan sosial-budaya ‘daratan’ atau kepulauan

(teritori budaya orang Melayu) tempat mereka ‘dilabuhkan’ (dimukimkan) (Chou

1997, 2003; Lenhart, 1997; Granbom, 2005; Trisnadi, 2002) yang sebelumnya tidak

pernah terjadi.

Keberadaan suku Laut dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan pengaruh

ajaran Islam yang menyebar lewat lautan dan perdagangan. Sistem kepercayaan yang

dianut oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian yang

lain memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek

moyang.

Orang Suku Laut diposisikan di area terluar (perferi) dan menempati ranking

atau derajat sosial terendah dalam hierarkhi ‘dunia Melayu’. Mereka dianggap

bukanlah bagian dari apa yang disebut kaum aristokrat Melayu sebagai ‘umat’ (nation

of Islam) untuk menyebut bangsa Melayu yang ‘homogen’. Mereka dianggap bukan

umat karena tidak menjalankan adat Melayu, tidak memeluk agama Islam, berbahasa

dan berdialek Melayu, serta berpenampilan seperti lazimnya orang Melayu (Chou,

2003; Lenhart, 1997). Konstruksi struktur sosial yang demikian masih mempengaruhi

masyarakat Melayu hingga sekarang. Keempat hal yang disebut terakhir itulah yang

merupakan simbol-simbol terpenting dalam citra kehidupan orang Melayu.

Manifestasi praktis dari hal-hal itu misalnya saja: ritual agama, tata-cara perkawinan,

pemberian nama, persepsi bersih-kotor, preferensi makanan, upacara pemakaman, dan

sebagainya.

Pertama dalam hal religiositas, Orang Suku Laut dianggap sekumpulan orang

yang tidak beragama. Kata orang Melayu, tulis Chou, tidak cukup bagi mereka hanya

berikrar masuk Islam, namun mereka tetap saja mempraktikkan ilmu hitam dan sihir.

Mereka juga tidak pernah menjalankan ibadahnya (secara Islam). Bagi orang Melayu,

Page 14: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

beragama Islam dan menjadi Melayu harus memenuhi beberapa sarat, seperti: sunat

(bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak minuman beralkohol, menaati

tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua kalimat syahadat, kawin-cerai

secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara Islam, membangun masjid di

lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha),

solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan, memberi zakat, dan bila mampu

melaksanakan ibadah haji (Chou, 2003:28). Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut

tidak diyakini dan dijalani, maka mereka bukanlah benar-benar orang Melayu.

Kedua, adat (cara bertindak) bagi orang Melayu adalah hal penting dan

mengacu pada nilai-nilai Islam. Sentimen negatif dari orang Melayu terhadap Orang

Suku Laut tampak misalnya dalam hal tata-cara perkawinan. Di mata orang Melayu,

kata Chou, Orang Suku Laut menikah dengan cara yang ‘aneh’. Orang Suku Laut

menikah setelah sepasang kekasih minum alkohol bersama. Ketika mereka mabuk,

mereka memasuki sebuah rumah dan tidur bersama. Lantas, saat mereka bangun,

mereka meninggalkan rumah itu dan melaut bersama untuk mencari ikan dan lain

sebagainya.

Sayangnya, stigma negatif yang secara sengaja ditempelkan orang Melayu pada

Orang Suku Laut ini tidak pernah terjadi (Chou, 2003:32). Orang Suku Laut

mempunyai tatacara sendiri yang relatif sederhana, yakni dua orang yang

berkomitmen untuk tinggal dalam satu perahu dan menjadi partner melaut. Ini

memang berbeda dengan standar tatacara orang Melayu yang cenderung Islami,

seperti dengan akad di hadapan seorang iman dan seterusnya, dan tatacara Orang

Suku Laut itu kerap menjadi bahan tertawaan orang Melayu.

Ketiga, sedikit kembali pada uraian sebelumnya, bahwa proyek pembangunan

pada masa pemerintah Orde Baru yang menerapkan pemukiman Suku Orang Laut ke

daratan dari laut ternyata ada upaya-upaya untuk mengubah nilai-nilai tertentu pada

kelompok etnis sampan ini dengan cara memunculkan kesadaran akan nilai Islam

yang ditularkan dari adat orang Melayu. Sebagaimana Lenhart (1997, 2002) dan Chou

(1997, 2003) menyaksikan, bahwa meskipun telah disiapkan rumah-rumah panggung

di tepi pantai oleh pemerintah demi berlabuhnya Orang Suku Laut, mereka tetap saja

kembali ke laut dengan perahu atau sampannya. Program pemerintah untuk

Page 15: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

“memberadabkan” Orang Suku Laut gagal, walaupun awalnya mereka berkenan untuk

tinggal di rumah-rumah panggung itu.

Hal ini disebabkan oleh cara pandang Orang Suku Laut terhadap daratan yang

berbeda dengan orang Melayu. Dalam logika Orang Suku Laut, adalah hal yang tidak

masuk akal tinggal di daratan sebab mereka anggap daratan merupakan tempat untuk

mengubur jenazah kerabat yang telah meninggal. Karena itu, tanah atau daratan

adalah tempat yang kotor, sehingga tidak layak untuk didiami. Menyiasati hal itu,

pemerintah kemudian berstrategi untuk mengirim beberapa orang Melayu untuk

mengislamkan Orang Suku Laut. Para penyebar agama yang dilakukan dari pulau satu

ke pulau lainnya ini berupaya menanamkan nilai baru bahwa tinggal di perahu tidak

dapat menjaga kebersihan dari najis, dan karenanya tidak bisa beribadah (solat).

Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya para penyebar agama Islam juga

menghimbau agar Orang Suku Laut menjadi muslim sehingga mereka mendapat

bantuan dari pemerintah, berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor,

dan lain sebagainya.

Hal-hal tersebut tidak sepenuhnya direspon secara positif oleh Orang Suku Laut

untuk sertamerta menjadi muslim. Mereka memang mendeklarasikan sebagai muslim,

namun hal ini hanya digunakan agar mereka mendapat bantuan pemerintah.

Selebihnya, mereka tetap mempraktikkan tatacara hidup mereka seperti biasa yang

mana sangat berbeda dengan orang Melayu pada umumnya. Ini merupakan wujud

resistensi sekaligus kegagalan misi pemerintah untuk mengakulturasi (baca:

mengislamkan) budaya orang Melayu ke dalam budaya Orang Suku Laut.

Warga Suku Laut memakai pakaian dari kain tepatnya seperti sarung, tapi ada

bedanya perempuan dengan laki-laki. Kalau perempuan memakai kain atau sarung

menutup dada sampai betis atau semata kaki (seperti kemben) sedangkan laki-laki

hanya menutup pinggang sampai menutup lutut. Sebelum tahun 1990, suku laut

adalah kelompok masyarakat yang tidak mengetahui perhitungan uang. Mereka

menjual ikan-ikan kepada para toke (penadah) dan langsung menukarkannya dengan

barang kebutuhan pokok, mulai dari beras, sayur, jajanan, pakaian, dan lainnya.

3.3. Permasalahan Suku Laut

Page 16: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Kondisi kepulauan, Riau yang terdiri atas 96 % lautan sangat mendukung bagi

sebagian besar warga Suku Laut yang bekerja turun-temurun sebagai nelayan

tradisional. Pekerjaan dengan tingkat penghasilan relatif kecil ini sangat berpengaruh

pada perekonomian masyarakat Suku Laut dan berimbas pada tingkat kesejahteraan

mereka yang  memiliki persentase kemiskinan mencapai 7,40% pada periode Maret

2011.

Sebagian besar masyarakat Suku Laut yang berjumlah sekitar 300 kepala

keluarga belum memiliki rumah permanen, ditambah penghasilan melaut yang tidak

seberapa. Hasil tangkapan terbanyak adalah Ikan  Senangin yang harganya cukup

mahal, sekitar Rp 23.000 per kilogram, dan Ikan Otek seharga Rp 5.000 per kg.

Namun hanya sebagian nelayan yang memiliki alat menangkap ikan dan jarring yang

memadai serta mempunyai kemampuan melaut yang mengikuti perkembangan zaman,

sehingga hasil tangkapan yang didapat stagnan dan tidak mampu mencukupi

kebutuhan mereka sehari-hari. Dengan pengaruh minimnya kesejahteraan ekonomi

tersebut, anak-anak Suku Laut banyak yang terpaksa mengalami putus sekolah karena

tidak ada biaya. Banyak diantaranya yang bahkan tidak pernah mengenyam

pendidikan sama sekali, dan pada usia anak-anak harus bekerja layaknya orang

dewasa. Tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Kepulauan Riau tertinggi adalah di

tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan persentase 99.35 %. Pada tahun 2010 dan semakin

menurun saat mencapai tingkat SMA. Sangat jarang kita melihat anak-anak Suku Laut

yang berhasil membuka bisnis kecil-kecilan, menjadi guru maupun polisi. Menjadi

Sarjana ataupun Pejabat Pemerintahan pun rasanya jauh dari angan.

  Suku Laut adalah suku yang sulit berakulutrasi, sehingga pengetahuan yang

mereka dapatkan adalah apa yang mereka pelajari di laut. Jangan bicara soal mesin-

mesin canggih, hanya getek dan tombak sebagai alat yang digunakan dalam

menangkap ikan. Saat pemerintah mencoba memasukan pendidikan pada anak suku

Laut, ini menjadi kerja keras para pengajar. Pasalnya sopan santun yang terbentuk di

suku Laut menjadi hal yang pertama kali mesti dibenhi, baru kemudian berhitung dan

lainnya. Pendidikan masyarakat nelayan suku laut masih sangat rendah sehingga tidak

banyak yang mengenyam pendidikan sampai jenjang sekolah menengah atas,

"Kebanyakan warganyai hanya lulusan sekolah dasar, setelah itu langsung ikut orang

tuanya melaut. 

Page 17: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

  Namun sebenarnya, masyarakat Suku Laut memiliki potensi yang cukup besar

untuk mengangkat perekonomian dan pendidikan masyarakatnya. Secara geografis

mereka mendiami wilayah strategis yang merupakan silang pelayaran internasional

yang padat antara Selat Malaka, Selat Philip, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan. 

Permasalahan Suku Laut selain itu adalah tidak mampu mengelola dan

mendistribusikan hasil tangkapannya, yang banyak dikelola oleh pihak penampung

dengan harga murah. Ini memprihatinkan dan membuat masyarakat Suku Laut

menjadi semakin tertinggal.

  Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi ini adalah

diadakan upaya peningkatan SDM Suku Laut, Bantuan permodalan untuk membeli

perahu atau pompon, dan konsentrasi pada pendidikan. Hal ini tentu menjadi

pekerjaan rumah yang cukup serius bagi Pemerintah pusat dan juga Pemda.

Page 18: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

KESIMPULAN

Secara Geografis wilayah Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0º 40’

Lintang Selatan dan 07º 19’ Lintang Utara serta antara 103º 3’ Bujur Timur sampai

dengan 110º 00’ Bujur Timur. Sebagai wilayah kepulauan, Provinsi Kepulauan Riau

memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah lainnya, hal ini dikarenakan

sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan pulau-pulau yang tersebar dari Selat

Malaka sampai Laut Cina Selatan. Berdasarkan hasil identifikasi Bakosurtanal tercatat

394 pulau sudah berpenghuni sedangkan 1.401 lainnya belum berpenghuni. Sebagai

daerah kepulauan Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas 251.810,71 km2, dengan

luas lautan 241.215,30 km2 (95,79 persen) dan luas daratannya sebesar 10.595,41

km2 (4,21 persen). Luas daratan tersebut sekitar 0,43 % dari luas Indonesia.

Orang suku laut merupakan orang-orang yang mengandalkan penangkapan ikan

sebagai nafkah hidup mereka. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka

lahir, kawin dan mati di lautan. Laut adalah bagian dari kehidupan mereka. Mulai dari

lahir, besar, makan, tidur, memasak, menikah, dan proses reproduksi pun dilakukan di

atas sampan yang mereka istilahkan dengan kajang. Sistem kepercayaan yang dianut

oleh suku Laut sendiri masih keprecayaan Animisme, meskipun sebagian yang lain

memeluk agama Islam dan itu pun masih bercampur dengan kepercayaan nenek

moyang. Permasalahan Suku Laut adalah susah diberi ilmu dan selain itu suku laut

tidak mampu mengelola dan mendistribusikan hasil tangkapannya.

Page 19: sosial masyarakat pesisir kepulauan riau

Daftar pustaka

http://www.pengertianahli.com/2013/08/pengertian-sistem-menurut-para-ahli.html

http://www.plengdut.com/2013/10/Sistem-Sosial-dan-Struktur-Sosial.html

https://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/pengertian-masyarakat/

http://www.psychologymania.com/2013/05/karakteristik-masyarakat-pesisir.html

http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/01/pengelolaan-wilayah-pesisir-di-indonesia-studi-kasus-kepulauan-riau-408551.html

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/947/suku-orang-laut-kepulauan-riau

https://iidmarsanto.wordpress.com/2010/12/29/negara-adat-melayu-dan-orang-suku-laut-di-kepulauan-riau/

http://islam.infoberguna.com/2013/10/sejarah-dan-corak-kehidupan-suku-laut.html

http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=714254

http://www.kepriprov.go.id/home/index.php/tentang-kepri/lambang-a-motto/37-data/daerah

http://www.dkpkepri.info/index.php?option=com_content&view=article&id=220:pola-ruang-kepri-kawasan-pemanfaatan-umum&catid=49:zonasi&Itemid=112