sopacua

download sopacua

of 73

description

blok1

Transcript of sopacua

Kataetika diambil dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat. Selain diambil dari bahasa yunani kamus bahasa Indonesia juga mengartikan etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur kehidupan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa etika kristen adalah sesuatu perilaku atau bukti nyata yang secara moral benar dan salah untuk orang-orang Kristen sesuai dengan Alkitab. Lima dasar etika Kristen adalah;1. Etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah2. Etika Kristen didasarkan pada wahyu Allah3. Etika Kristen bersifat mutlak (Absolut)4. Etika Kristen adalah bersifat menentukan (Prescriptive)5. Etika Kristen adalah bersifat kewajiban (Deontological)Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Dari pengertian nilai tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai-nilai kekristenan adalah sesuatu yang sangat penting dan paling mendasar bagi orang-orang Kristen dalam membentuk kepribadian yang baik dan benar. Peranan nilai-nilai kekristenan itu sendiri sebagai alat ukur apakah seorang Kristen sudah memiliki nilai-nilai kekristenan dalam kepribadiannya.Nilai-nilai kekristenan tersebut meliputi;1. Iman adalah pernyataan sikap seseorang dengan Tuhan yang disembah, dipercaya, yang lebih dihargai dari pada yang lain dan sebagai pusat yang member arti kepada seluruh kehidupan kita. Objek iman kita adalah Allah yang kita sembah dan percaya. Selain itu pengertian iman menurut Ibrani 11:1 adalah dasar dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Jadi iman Kristen adalah hubungan perorangan melalui kepercayaan, kesetiaan, pendirian, dan pengikutsertaan segala hal didalam pekerjaan Allah.2. Kasih berarti berbagi, ramah, memperhatikan, nyaman, menghilangkan emosi kemarahan, ingin hal-hal terbaik untuk orang lain. Kasih menurut pemahaman Kristen adalah suatu sikap yang datangnya dari Allah dan bila kita menjalankan sikap tersebut harus dengan segenap hati, pikiran, dan kekuatan sehingga tidak memunculkan sifat membedakan atau sifat tidak adil. Ada 4 makna dari kasih dapat dibedakan sebagai berikut menurut (C. S. lewis); Affection (Stroge)Kasih antara hubungan orangtua dan anak atau sebaliknya Friendship (Philia)Kasih diantara pertemanan atau persahabatan Eros (Sexual love)Kasih karena hawa nafsu Caritas (Agape)Kasih tanpa syarat, kasih ini terjalin antara Allah dengan manusiaMenurut Agustinus dari Hippo (354-430) mengasihi Allah dengan Tubuh, Akal budi dan hati.3. Tanggung jawab menurut Yeremia 29:7 Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. Jadi dari penegertian diatas dapat disimpulkan tanggung jawab adalah merefleksikan makna dimana seseorang atau kelompok melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya sesuai tugasnya dan membantu orang lain ketika mereka membutuhkan bantuan. Kita sebagai orang Kristen tidak boleh meninggalkan atau lari dari tanggung jawab sesuai dengan panggilan Kristen didunia ini, berani bertanggung jawab bila diminta penjelasan tentang pemikirannya, pekataannya, dan tingkah lakunya. Pemahaman tanggung jawab kristiani kita dapat melalui cara memahami antara lain; doktrin yang lebih lengkap tentang Allah, manusia, Kristus, keselamatan dan gereja.4. Kejujuran merupakan kata yang diambil dari bahasa yunani yang mempunyai arti baik atau unggul (kalos) dari 2 Korintus 8:21, 1 Petrus 2:10 terhormat atau patut (semnos) dari Filipi 4:8. Kejujuran adalah suatu perilaku yang patuh dari seseorang yang meresponi panggilan kerajaan Allah didalam kejujuran juga menyertakan pikiran, kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang memperlihatkan suatu harmoni yang baik dalam kehidupan orang Kristen.5. Kerja keras menurut Mazmur 126:5-6 adalah bila suatu pekerjaan atau kegiatan apapun dilakukan dengan penuh perjuangan maka hasil yang didapatkan akan baik. Dari kesimpulan ayat diatas kerja keras dapat diartikan dengan berusaha dengan sepenuh hati, dengan energi yang dimiliki untuk mendapatkan keinginan hasil yang maksimal untuk tujuan yang positif. Tujuan kerja Kristen menurut E. F. Schumcher kerja adalah bakti kepada Allah (Laborare-orare).6. Kemandirian sebuah organisasi adalah self-governing, self-finance dan self-propagating. Kemandirian Kristen adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan dengan menggunakan dan mengembangkan talenta-talentanya berdasarkan dengan jalan kemuliaan Allah.7. Pelayanan diartikan dalam Markus 10:43-45 yaitu bila kita mau menjadi yang terbaik diantara yang lain baiklah kita melayani orang lain seperti teladan Yesus, Yesus hadir ke dunia bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Jadi pelayanan adalah suatu tugas panggilan umat Allah untuk melayani dan bukan untuk menguasai serta otoritas pelayanan bukanlah kekuasaan ssebagi pemimpin atau penguasa melainkan sebagai hamba Allah. Menurut T. W Manson pelayanan bukanlah batu loncatan tetapi untuk keagungan ihwal melayani itu sendiri didalam kerajaaan Allah.. Ciri-Ciri Keputusan Etis 1. Menyangkut pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan apa yang buruk. 2. Menyangkut pilihan yang sukar karena seringkali, keputusan kita bukan antara hitam dan putih, melainkan dua corak yang kelabu. 3. Keputusan-keputusan etis tidak mungkin dielakkan karena sewaktu kita dihadapkan dengan pilihan etis, tidak mungkin kita tidak mengambil keputusan. 4, Kita hanya bisa memahami pengambilan keputusan etis kalau kita memperhitungkan juga hal-hal yang tidak dipertimbangkan pada saat pengambilan keputusan itu.

Dengan menunjuk pada fungsi sosial dari pendidkan dan pentingnya kefasihan berbicara dalam pembentukan kepribadian seseorang.( Pustaka Filsafat HUMANISME DAN SKOLASTISISME, Sebuah DebatOleh Thomas Hidya Tjaya) penerbit kanisiusyogyakarta 2004PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS

JUDUL BUKU: PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS DAN FAKTOR-FAKTOR DI DALAMNYA

PENULIS : MALCOLM BROWNLEE

PENERBIT : BPK GUNUNG MULIA JAKARTA (1991)

BAB I ARTI KEPUTUSAN ETIS

I. Tujuan Penulis

Buku ini memusatkan perhatian kepada keputusan-keputusan yang kita ambil tentang perbuatan lahir, tetapi juga menguraikan iman, karakter dan lingkungan karena faktor-faktor ini mempunyai peran penting dalam keputusan-keputusan kita. Dalam buku ini kita akan mempelajari terutama bagaimana mengetahui apa yang baik, tetapi juga akan berusaha untuk memahami faktor-faktor yang menguatkan kemauan kita untuk melakukan perbuatan yang kita anggap baik (halaman 25).

II. Mengapa Buku Ini Penting?

Buku ini bermaksud untuk membantu perkembangan saudara sebagai pembuat keputusan-

keputusan etis supaya pertimbangan etis saudara menjadi lebih peka kepada kehendak Allah dan perbuatan-perbuatan saudara menjadi lebih baik. Buku ini mengenai metode membuat keputusan yang baik dan hal-hal yang mempengaruhi metode ini, tetapi tidak mengganti usaha saudara. Mudah-mudahan buku ini membantu saudara berpikir dan berbicara dengan lebih terang tentang masalah-masalah etis (halaman 26).

IVBAB IV IMAN

I. Iman sebagai kepercayaan dan kesetiaan kepada hal yang dianggap terpenting

Iman bukan persetujuan intelektual bahwa ajaran-ajaran tertentu benar, juga bukan pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan, tetapi Iman adalah kepercayaan yang praktis pada sesuatun yang lebih dihargai dari pada semua yang lain. Iman adalah kesetiaan kepada hal yang kita anggap paling pokok dalam kehidupan kita. Kita beriman kepada hal yang kita pegang meskipun kita harus mengorbankan hal-hal yang lain. Obyek iman kita mungkin Allah, mungkin sesuatu yang lain.

1. Contoh-contoh pengaruh iman atas kelakuan

a. Cerita seorang pemimpin yang kaya yang bertanya kepada Yesus: apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Yesus menjawab bahwa pemimpin itu harus menjual segala miliknya, membagi-bagikan hasilnya kepada orang-orang miskin dan mengikut Yesus. Tetapi orang itu menjadi amat sedih sebab ia sangat kaya (Lukas 18:18-27). Kepercayaannya kepada harta sebagai tuhan menang atas kepercayaan kepada Allah, Tuhan yang sejati.

b. Cerita tentang Petrus yang sebelum Yesus ditangkap berkata Biarpun mereka semua tergoncang imanya karena Engkau, aku sekali-kali tidak (Matius 26:33). Tetapi kemudian sesudah Yesus ditangkap , Petrus menyangkal Yesus tiga kali (Matius 26:69-75) karena kesetiaannya kepada Yesus lebih lemah dari pada kekawatirannya tentang keamanannya.

2. Kepercayaan dan kesetiaan

Iman selalu mengandung kepercayaan. Beriman kepada Allah berarti mempercayai-Nya lebih dari pada segala sesuatu yang lain.

Iman juga mengandung kesetiaan. Kesetiaan itu sepasang dengan kepercayaan. Kepercayaan merupakan segi iman yang lebih pasif sedangkan kesetiaan merupakan segi iman yang lebih aktif. Kesetiaan kepada Allah berarti kita berpegang teguh kepada-Nya sebagai kewajiban kita yang utama. Kita bertekad untuk melayani Allah sekalipun pelayanan itu berbahaya dan tidak populer.

3. Iman dan nilai-nilai

Nilai adalah sesuatu yang dianggap bernilai atau penting. Beberapa nilai yang biasa ialah keluarga, gereja, kekuasaan, pengetahuan, harta, keadilan, kesalehan, kedamaian dan Tuhan Allah.

a. Iman dan negara

Kalau Allah dianggap lebih tinggi dari pada negara, perintah-Nya mungkin kadang-kadang

mewajibkan kita mengkritik dan melakukan sanggahan terhadap negara.

b. Iman dan keluarga

Kalau Allah dianggap lebih tinggi dari pada keluarga, perintah-Nya mungkin kadang-kadang

mewajibkan kita mengkritik dan melakukan sanggahan terhadap keluarga.

c. Iman dan gereja

Jika kita menilai gereja lebih penting dari pada Allah, kita akan mempermudah perintah

Allah hanya untuk menambah anggota-anggota baru atau untuk mengelakkan hambatan-hambatan atau kritik terhadap gereja. Dengan demikian gereja dijadikan tuhan palsu.

d. Iman dan kerja, keamanan pribadi, kuasa dan penghargaan dari teman-teman.

Nilai lain yang sering dianggap lebih tinggi dari Allah adalah kerja, keamanan pribadi, kuasa

dan penghargaan dari teman-teman.

II. Iman sebagai hubungan perorangan dengan Allah

1. Hubungan dengan Pribadi Ilahi

2, Doa dan sikap doa

3. Kesalehan dan pelayanan sosial

4. Pengaruh persekutuan dengan Allah atas diri manusia

5. Pengaruh persekutuan dengan Allah atas sikap terhadap dunia

III. Iman sebagai pengikutsertaan dalam pekerjaan Allah

1. Dapatkah manusia mengerti apa yang dikerjakan Allah ?

a. Pekerjaan Allah bersifat tersembunyi. Dia tidak mengiklankan perbuatan-Nya. Yesus menolak godaan untuk melakukan mujizat supaya orang-orang mengikuti Dia (Lukas 4:9-12).

b. Bukan hanya Allah yang bekerja dalam dunia, manusia dan kuasa-kuasa gelap juga bekerja. Pekerjaan Allah sukar dilihat karena tercampur dengan perbuatan manusia yang tidak selalu selaras dengan kehendak Allah.

c. Kepentingan diri sendiri merintangi penglihatan kita.

Pandangan bahwa Allah bekerja dalam dunia dapat dibedakan dengan dua pandangan yang lain. Pertama, Pandangan Monisme dan Pantheisme bahwa alam itu sakral , yaitu Tuhan dan dewa-dewa terlibat dalam alam. Allah dianggap sebagai bagian irama kosmos. Bandingkan dengan Pandangan Kristen, bahwa Allah yang bekerja dalam dunia ialah transenden/Mahakuasa di atas dunia. Dia bukan sebagian alam yang selaras dengan irama kosmos, melainkan Tuhan yang menghakimi, mengubah dan memperbaharui dunia.

Pandangan kedua, yang sering nampak dalam gereja, yaitu bahwa Allah selalu memakai gereja untuk menyatakan kehendak-Nya kepada dunia. Ia bekerja dalam gereja dan bersuara melalui gereja. Pandangan ini selalu memakai urutan Allah - gereja - dunia. Pada hal yang benar adalah Allah dunia - gereja.

2. Tempat-tempat pekerjaan Allah

a. Allah bekerja dalam kehidupan perorangan.

Manusia sering membicarakan pekerjaan Allah dalam kehidupan perorangan. Kadang-kadang manusia menyebut peristiwa-peristiwa tertentu yang dipakai oleh Allah dalam pekerjaan ini. Orang yang menuntut tanda-tanda biasanya mencari kepastian yang sering tidak mungkin dalam masalah-masalah yang ruwet.

b. Allah bekerja dalam dan melalui kehidupan Gereja.

Kebanyakan orang Kristen setuju bahwa Allah hadir dan menyatakan kasih-Nya dan tuntunan-tuntunan-Nya kepada manusia dalam khotbah-khotbah, pelajaran Alkitab, sakramen-sakramen, dalam pelayanan, kesaksian dan persekutuan gereja.

IV. Iman sebagai pendirian tentang apa yang benar

Iman dalam arti yang pokok bukan persetujuan intelektual tentang kumpulan ajaran dan dogma, tetapi Iman adalah hubungan perseorangan yang mengandung kepercayaan, kesetiaan dan kasih. Iman adalah penyerahan kepada kehendak Allah dan partisipasi dalam pekerjaan Allah. Kepercayaan kita tentang sifat-sifat dan pekerjaan Allah sangat mempengaruhi kelakuan kita.

Theologia menguraikan sifat dasar dunia, Etika menguraikan tanggung jawab manusia berdasarkan atas sifat dasar dunia itu. Karena Allah adalah baik dan menciptakan dunia yang baik, kita harus berbuat baik (Matius 5:48). Karena Tuhan Allah kita kudus maka kita harus kudus (Imamat 19:2). Dalam Etika Kristen perintah Tuhan berdasar atas sifat dan pekerjaan-Nya. Theologia Kristen berkata bahwa dunia menuju keadilan, kebaikan, kasih dan ketulusan. Etika Kristen berkata: kamu harus adil, baik, penuh kasih dan jujur.

Manusia terpengaruh oleh ajaran-ajaran agama hanya sejauh ajaran-ajaran itu menerangkan tanggapan mereka kepada Allah yang hidup yang digambarkan dalam ajaran-ajaran itu.

1. Pengaruh ajaran-ajaran Theologia kepada Etika. Contoh ajaran Kristen tentang Kristus. Kita mulai dengan ajaran tentang Inkarnasi Kristus, bahwa Putra Allah menjadi manusia. Di satu pihak Yesus adalah seorang manusia sama dengan semua manusia. Dia lahir sebagai bayi biasa yang tidak dapat berjalan dan berbicara. Dia tumbuh selayaknya anak-anak yang lain dalam hikmat-Nya dan besar-Nya dan dalam hubungan-Nya dengan Allah dan manusia (Lukas 2:52). Sebagai orang dewasa Dia kadang-kadang merasa lelah, lapar, haus dan kecewa. Pada pihak lain orang-orang yang mengenal Yesus dengan baik menjadi yakin bahwa Ia adalah Putra Allah (Kolose 2:9). Yesus adalah penyataan/wahyu Allah yang lengkap. Kita lebih mengerti Allah karena penyataan-Nya dalam Yesus Kristus dari pada penyataan-Nya dalam guntur dan kilat serta pekerjaan-Nya yang lain dalam alam.

a. Dalam inkaransi dinyatakan pentingnya hal-hal materi. Yesus Kristus mempunyai baik tubuh maupun jiwa manusia. Hal-hal rohani tidak dapat dipisahkan dari pada hal-hal materi. Roh tidak dapat dipencilkan dari tubuh. Hal-hal materi tidak lebih kotor atau lebih rendah dari pada hal-hal rohani. Tubuh tidak lebih rendah dari pada roh. Segala sesuatu termasuk tubuh dan roh, pasar dan gereja, kerja dan ibadah ialah ciptaan Allah. Maka segala hal itu baik dan menunjukkan kekudusan Allah.

b. Inkarnasi juga menyatakan arti kesalehan yang wajar. Ada orang Kristen yang menganggap kesalehan sebagai kebajikan yang terutama. Kesalehan dipandang sebagai kesatuan dengan Allah yang didapat hanya oleh orang-orang yang mengasingkan diri dari kehidupan biasa supaya

mereka tidak diganggu oleh godaan dan kesusahan duniawi. Dalam inkarnasi Yesus menunjukkan kesalehan yang berbeda. Dia turun dari surga dan masuk ke dunia yang penuh dengan dosa. Putra Allah tidak merasa bahwa Dia tidak boleh melibatkan diri dalam hal-hal duniawi karena Dia begitu saleh. Dia menyatakan kesalehan yang sejati melalui bergaul dengan orang-orang yang berdosa dalam dunia yang penuh dengan dosa.

2. Penyaliban Yesus

a. Penyaliban menyatakan kedasyatan dosa. Penyaliban menyatakan bahwa dosa kita bukan hal yang remeh, karena dosa manusia Putra Allah menderita dan mati. Kita tidak mengerti salib kalau kita tidak menyadari bahwa dosa kita sejenis dengan dosa Pontius Pilatus yang menyalibkan Yesus dan Yudas Iskariot yang menjual Yesus. Kepercayaan akan penyaliban membangkitkan hasrat untuk menyesali dosa kita dan bertobat. Kita melihat kekurangan dan kejahatan dalam kehidupan kita dan berusaha untuk meninggalkan kejahatan itu. Karena kita menyadari dosa dan kelemahan kita, kita rendah hati tentang kehidupan kita dan pendapat-pendapat kita. Salib Yesus juga menyatakan kedahsyatan dosa masyarakat di sekitar kita. Kita bertanggung jawab bukan hanya mengoreksi dosa pribadi kita saja, melainkan juga sedapat mungkin mengoreksi dosa masyarakat.

b. Berita yang terutama dari salib bukanlah bahwa kita dihakimi, melainkan bahwa kita diampuni. Meskipun dosa kita dahsyat, Yesus telah menghapusnya. Penyaliban menyatakan penderitaan yang dialami Allah dan juga menyatakan kasih-Nya kepada kita.

Berita penyaliban mengubah motivasi Etika Kristen. Kita melakukan kehendak Allah bukan karena takut akan penghukuman-Nya melainkan karena bersyukur atas pengampunan-Nya.

3. Kebangkitan Yesus Kristus

a. Karena Yesus Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, Dia hidup sekarang dan ada di antara kita. Karena Yesus hidup dan menyertai kita, kita bisa menerima dari Dia kuasa yang kita perlukan untuk tugas-tugas kita.

b. Kebangkitan Kristus menyatakan bahwa zaman baru telah memasuki dunia dan sedang berkembang di sini. Zaman baru mempunyai hukum yang berbeda dengan hukum sebab-akibat. Zaman sebab-akibat berciri perhitungan. Hasil yang keluar dapat diperhitungkan dari bahan mentah yang dimasukkan. Zaman penyaliban-kebangkitan berciri transendensi dan pengambilan risiko. Hasil yang keluar lebih bergantung pada kuasa Allah dan pengabdian manusia kepada-Nya dari pada apa yang dilakukan atau dimasukkan oleh manusia.

c. Dunia tempat kebangkitan Kristus adalah dunia yang penuh harapan. Orang yang peka kepada dosa dan penderitaan manusia pasti mengalami banyak hal yang menyedihkan. Kuasa

kejahatan nampak dalam ketidakadilan, korupsi, kemiskinan dan kekerasan yang terjadi disekitar kita. Kita menyadari betapa sukarnya mengatasi kejahatan itu. Kuasa kejahatan juga nampak dalam diri kita, dan kita menyadari betapa sukarnya perjuangan melawan kejahatan itu. Namun perjuangan kita tidak hanya tergantung pada kekuatan kita melainkan lebih bergantung pada Kristus yang hidup. Dalam kebangkitan-Nya Dia menyatakan kuasa yang lebih besar dari maut dan kejahatan. Kita tahu bahwa pada akhir zaman Dia akan menaklukan segala kejahatan. Itulah sebanya kita tidak menyerah atau putus asa untuk terus berjuang dalam pengharapan.

V. Iman: Empat Unsur dalam Satu Perkara

Ada empat unsur tentang Iman yang tak terpisahkan: Iman adalah kepercayaan dan kesetiaan; iman adalah tanggapan kepada panggilan Allah; iman adalah tanggapan kepada pekerjaan Allah dalam dunia; iman adalah pendirian kebenaran.

Keempat unsur ini merupakan suatu kesatuan yang hidup. Pada suatu waktu perhatian kita mungkin dipusatkan kepada unsur pertama, pada waktu lain unsur kedua yang lebih penting. Namun demikian dalam membina iman kita dan iman orang lain, keempat unsur ini perlu diperhatikan.

Kepercayaan dan kesetiaan kita menentukan prioritas dan arah pokok dalam kehidupan kita. Persekutuan dengan Allah menyangkut penyerahan diri dan pelayanan dalam dunia; pengabdian kita diutarakan dalam doa dan perjuangan. Menaggapi pekerjaan Allah berarti bekerjasama dengan Dia.

BAB V TABIAT/KARAKTER

I. Tabiat/Karakter sebagai sumber perbuatan-perbuatan lahiriah

Perbuatan-perbuatan serta sifat-sifat, tabiat dan kepribadian adalah dua unsur penting dalam etika Kristen. Kita harus melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan juga harus menjadi orang-orang yang baik. Dua unsur ini berhubungan erat satu sama lain, seperti pohon dan huahnya. Tabiat yang baik menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik.

Kata Yunani ethos (kata akar dari kata Yunani ethika yang diterjemahkan etika) berarti sikap dasar seseorang. Semula ethos berarti rumah. Kemudian kata itu dipakai untuk rumah di batin manusia, yaitu sikap batinnya, tabiatnya dan kepribadiannya. Ethos sebagai sumber setiap tindakan manusia.

Arti Tabiat

Tabiat dapat didefinisikan sebagai susunan batin seseorang yang memberi arah dan ketertiban kepada keinginan, kesukaan dan perbuatan orang itu. Susunan itu dibentuk oleh interaksi antara diri orang dengan lingkungan sosialnya dan Allah. Tabiat mengandung suara hati yaitu pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Tabiat juga mengandung kecenderungan dan motivasi untuk berbuat selaras dengan susunan batin kita. Tabiat juga mengandung kesukaan, kemauan dan keinginan kita. Dalam Etika Kristen sifat yang baik disebut kebajikan.

Tabiat tidak sama dengabn watak. Watak biasanya dianggap sebagai bentuk diri kita yang kita dapat secara alamiah waktu kita lahir. Watak itu bersifat tetap, tetapi tabiat kita berkembang dan berubah sepanjang hidup kita. Tabiat mempunyai kontinuitas tetapi tidak mempunyai ketetapan. Sifat-sifat tabiat bertahan tetapi tidak pernah dalam keadaan sudah jadi. Tabiat memberi keselarasan kepada perbuatan-perbuatan kita tetapi juga dapat dibina dan diubah.

Watak kita dapatkan di luar tanggung jawab kita. Meskipun tabiat kita dipengaruhi oleh hal-hal di luar kekuasaan kita, namun kita bertanggung jawab atas tabiat kita. Kita dapat memperbaiki ataupun merusak tabiat kita. Watak merupakan bahan mentah tabiat kita. Cara kita mengolah bahan mentah itu adalah tanggung jawab kita.

Tabiat juga berbeda dengan kepribadian. Kepribadian sama dengan tabiat mempunyai kontinuitas, berkembang dan berubah. Tetapi kepribadian lebih luas dari pada tabiat. Tabiat hanya mengandung sifat-sifat moral dalam diri kita, tetapi kepribadian mengandung sifat-sifat emosional, mental dan juga sifat-sifat moral. Misalnya rasa rendah diri dan pendiam

merupakan sifat-sifat kepribadian tetapi tidak langsung merupakan sifat-sifat tabiat juga. Kepribadian sering dianggap sebagai sifat-sifat baik, sifat-sifat lahiriah maupun batiniah - yang memberi kesan tertentu kepada orang lain.

Arti Tabiat hampir sama dengan budi pekerti tetapi menurut pengertian umum budi pekerti selalu bersifat baik pada hal tabiat seseorang bisa baik atau buruk.

Arti Tabiat sama dengan Karakter, tetapi dalam buku ini istilah tabiat yang dipakai karena lebih umum dimengerti.

II. Pentingnya Tabiat dalam Etika Kristen

Tabiat yang mantap nyata dalam istilah hidup baru sangat penting dalam Alkitab Perjanjian Baru karena Kristus tidak hanya memberikan kepada pengikut-pengikut-Nya hukum baru yang menuntut perbuatan-perbuatan lahiriah, tetapi juga Dia memberikan hidup baru. Hubungan dengan Tuhan mengubah hati dan kepribadian kita (2 Korintus 5:17).

III. Hubungan Tabiat dengan Hukum dalam ajaran Yesus

Tuhan Yesus lebih menekankan pembaruan hati manusia dari pada penyataan lahiriah dengan hukum-hukum. Ketaatan kepada hukum harus disertai dengan sikap kasih kepada sesama dan ketaatan kepada Allah. Allah tidak hanya memandang pelaksanaan hukum Taurat yang lahiriah, melainkan lebih memperhatikan motif yang mendasari perbuatan manusia.

IV. Apakah perhatian pada Tabiat diri sendiri patut?

Harus diakui tentang kemungkinan adanya perhatian yang berlebihan kepada tabiat. Orang dapat menjadikan tabiatnya sebagai fokus utama dalam pertimbangannya tentang kehidupan etis. Sikap seperti ini berbahaya. Pertama, bahwa orang itu lebih memperhatikan tabiat diri sendiri dari pada Allah (Lukas 18:11). Kedua, bahwa orang itu juga sering kehilangan kebebasan yang datang oleh pembenarannya oleh Yesus Kristus.

Tabiat orang Kristen tidak bisa dibiarkan terlepas dari Kristus. Kebaikan kita adalah selalu sebagai karunia dari Dia bukan sebagai hasil usaha kita.

V. Pengaruh-pengaruh yang membentuk Tabiat

Dalam membahas tabiat perlu dibedakan antara bagian diri kita yang diberikan kepada kita dan bagian diri kita yang dibentuk oleh usaha kita sendiri. Sebagian dari diri kita ditentukan oleh pembawaan biologis, oleh lingkungan sosial dan oleh faktor-faktor lain yang tidak kita pilih sendiri. Bagian ini tidak boleh diabaikan. Bagian yang diberikan itu merupakan bahan mentah tabiat kita. Bagian ini menyediakan kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan-kemampuan yang dapat dibentuk dan dikembangkan untuk menyediakan tabiat dan kepribadian kita, Unsur-unsur bagian ini dapat diberi bentuk tertentu, juga dapat dikendalikan atau diarahkan ke jurusan tertentu tetapi tidak dapat dihapuskan sama sekali.

Namun, unsur-unsur yang diberikan kepada kita ini tidak menentukan tabiat kita. Dalam batas-batas tertentu kita membentuk tabiat kita melalui perbuatan-perbuatan kita, keputusan-keputusan kita dan hubungan kita dengan Tuhan dan orang lain. Tabiat kita dibentuk sedikit demi sedikit dan tidak pernah selesai dalam kehidupan kita di dunia ini.

VI. Perkembangan Tabiat Kristen

Di dalam perkembangan tabiat harus ada pembongkaran dan pembangunan. Ada diskontinuitas/pemutusan dengan dosa dalam tabiat kita. Ada kontinuitas/kelangsungan unsur-unsur tabiat kita yang diperkenankan Allah. Alkitab Perjanjian Baru memakai istilah kematian manusia lama dan kebangkitan manusia baru untuk menerangkan pembongkaran dan pembangunan ini. Bagian hidup kita yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan harus disesali dan dijauhi. Bagian hidup kita yang berakar dalam Allah dan berpusat pada-Nya harus dihidupkan dan dikembangkan.

VII. Ciri-ciri Tabiat Kristen

1. Integritas

Kelakuan moral yang baik perlu berakar dalam identitas yang utuh dan hati yang bulat. Integritas tidak hanya berarti kejujuran kepada orang lain melainkan juga berarti kesungguhan dan kebulatan di dalam diri sendiri.

2. Pengertian tentang kehendak Allah dan kepekaan kepada apa yang baik

Dalam doanya di Filipi 1:9-10, Rasul Paulus memakai dua kata yang penting bagi etika Kristen: aisthesis (pengertian atau penglihatan) dan dokimazein (memilih atau mengerti).

Kata aisthesis dalam etika Yunani dengan arti pengertian tentang apa yang baik dan apa yang buruk dalam kasus-kasus tertentu. Kata ini juga dipakai dalam Ilmu Kedokteran tentang kemampuan dokter untuk menentukan banyaknya obat atau makanan yang diperlukan pasien. Dalam etika kata aisthesis berarti kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan tidak berat sebelah.

Kata dokimazein berarti memuji, menyelidiki, menilai atau mengerti karena menyelidiki. Kata ini dipakai untuk proses menilai seorang pejabat sesudah orang itu meninggalkan jabatannya. Penilaian itu berdasarkan penyelidikan yang telitih. Di Roma 12:2, Paulus berkata bahwa orang Kristen harus dokimazein manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Demikian juga pengertian etis kita tentang apa yang baik dalam kasus tertentu dipengaruhi oleh norma-norma. Penglihatan kita dipengaruhi oleh norma-norma tetapi juga oleh hal-hal yang lain seperti kasih (Filipi 1:9) dan persembahan diri sendiri kepada Allah (Roma 12:11). Penilaian kita tidak terlepas dari pengetahuan yang benar tetapi juga dipengaruhi oleh perspektif kita sebagai orang-orang yang diselamatkan oleh Kristus.

BAB VI LINGKUNGAN SOSIAL

I. Pengaruh masyarakat atas kehidupan moral

1, Manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai adat yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, sistim hukum dan aturan-aturan. Adat berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Pranata-pranata sosial melaksanakan kontrol pengendalian sosial yang bersifat positif (menghargai perilaku yang dikehendaki) maupun negatif (menghukum yang tidak dikehendaki). Masyarakat hanya bisa berjalan kalau mempunyai kemampuan untuk menertibkan yang menyimpang.

2. Masyarakat dalam manusia. Pengaruh masyarakat yang terpenting bukan kontrol dari luar diri kita melainkan kontrol yang mengarahkan kehidupan kita dari batin kita. Norma-norma dan nilai-nilai masyarakat tidak hanya diselenggarakan oleh kuasa dari luar diri kita, tetapi tertanam dalam batin kita. Kita biasanya mengikuti pandangan masyarakat atau kelompok bukan karena terpaksa tetapi karena kita telah menyetujuinya dan menganggap pandangan itu sebagai pandangan kita sendiri.

3. Pengaruh lingkungan sebagai karunia Allah. Kenyataan bahwa kita dipengaruhi oleh orang-orang lain tidak harus dinilai negatif. Sebaliknya kita bisa bersyukur karena dalam masyarakat dan persekutuan kita, kita bisa saling menolong. Kita bisa mengambil bagian dalam kehidupan sesama kita sambil mereka juga mengambil bagian dalam kehidupan kita.

4. Unsur dosa dalam pengaruh lingkungan. Pengaruh negatif dari masyarakat dapat mempersempit penglihatan kita dan mengurangi kebebasan kita untuk berpikir jujur dengan hati terbuka kepada bimbingan Tuhan. Ada kecenderungan dalam setiap masyarakat atau kelompok untuk menuntut kesetiaan yang terlalu besar untuk kelompok dan masyarakat itu. Juga ada kecenderungan untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang kreatif dan baru. Tekanan dari lingkungan sosial seringkali menghasilkan moralitas yang berdasarkan pandangan mayoritas.

5. Lingkungan mana bagi kita?

a. Siapakah yang mempengaruhi kita?

b. Siapakah sesama manusia kita?

c. Gereja sebagai lingkungan

6. Hubungan antara lingkungan sosial dan tabiat

a. Kemampuan berpikir untuk diri sendiri

b. Perlunya tabiat yang kuat untuk terbuka terhadap pandangan yang berbeda

c. Perlunya tabiat yang kuat dalam masyarakat moderen

II. Gereja sebagai lingkungan Kristen

Etika Kristen adalah etika persekutuan Kristen, bukan etika yang berdasarkan pertimbangan orang yang terpisah dari orang Kristen yang lain tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Dalam Perjanjian Baru orang Kristen tidak seorang diri menghadapi masalah-masalah etis yang sukar. Kelakuan dan kehidupan orang Kristen selalu dalam, dengan dan untuk persekutuan saudara-saudaranya dalam Kristus. Maka dalam pengambilan keputusan etis kita bertanggung jawab memilih yang menguntungkan orang lain dan membangun jemaat.

Tujuh peran gereja dalam etika:

1. Gereja sebagai jemaat bertanggung-jawab etis

2, Gereja sebagai jemaat pengampunan

3. Gereja sebagai jemaat pendidikan moral

4. Gereja sebagai pembentuk tabiat moral

5. Gereja sebagai jemaat pendukung moral

6. Gereja sebagai jemaat diskusi moral

7. Gereja sebagai jemaat perbuatan moral

BAB VII NORMA-NORMA

I. Perbedaan pendapat tentang peranan norma-norma dalam Etika Kristen

Kebanyakan orang merasa bahwa norma-norma dan hukum-hukum mempunyai peran besar dalam bidang etika. Kata kesusilaan yang artinya sama dengan etika terdiri dari dua kata Sanskerta: sila yang berarti norma kehidupan dan su yang berarti baik. Etika menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik.

Namun demikian peran norma-norma dan hukum-hukum dalam kehidupan orang Kristen terus menerus dipersoalkan dan digumuli dalam sejarah gereja. Peran hukum dalam etika Kristen disangkal karena alasan-alasan theologis oleh Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Richard Niebuhr dan Paul Lehmann. Mereka menganggap penggunaan hukum-hukum tidak sesuai dengan kedaulatan dan kasih karunia Tuhan Allah. Orang Kristen harus mematuhi dan mempercayai Allah saja, bukan hukum-hukum.

Peran hukum dalam etika Kristen juga dipersoalkan karena alasan-alasan empiris/praktis oleh Joseph Fletcher, John Robinson dan mereka yang menganut etika situasi atau moralitas baru. Mereka berpendapat bahwa peraturan-peraturan moral sering kali menghambat keterbukaan orang terhadap situasi baru dan bertentangan dengan kasih kepada orang lain.

Pada pihak lain perlunya peraturan-peraturan moral dalam etika Kristen dibela oleh Theolog-Theolog Protestan seperti Paul Ramsey, James Gustafson, John Bennett, Edward Leroy Long, Gene Outka dan hampir semua Theolog Katolik.

Dalam Perjanjian Baru sikap orang Kristen terhadap hukum sering dibicarakan namun tidak mudah dimengerti. Ada ayat-ayat yang menolak penggunaan hukum, juga ada ayat-ayat yang secara jelas mendukung hukum-hukum dari Perjanjian Lama dan memberi hukum-hukum baru. Rasul Paulus percaya bahwa Kristus telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya (Efesus 2:15). Dia berkata, Kamu tidak dibawah hukum Taurat tetapi dibawah kasih karunia (Roma 6:14; Galatia 5:18).

Ada Lima pertanyaan yang timbul dalam pembicaraan Alkitab dan theologia Kristen tentang peran norma-norma dalam kehidupan moral. Pertama, apakah orang yang diselamatkan oleh kasih karunia Allah harus mematuhi norma-norma dan peraturan-peraturan? Kedua, apakah kepatuhan kepada peraturan-peraturan bertentangan dengan kedaulatan Allah? Ketiga, apakah kepatuhan kepada peraturan-peraturan dapat disesuaikan dengan keperluan-keperluan khas yang timbul dalam situasi yang baru? Keempat, apakah hukum kasih saja cukup, atau

apakah diperlukan peraturan-peraturan yang lebih terperinci? Kelima, bagaimana hubungan antara peraturan-peraturan dengan hukum-hukum yang tertulis dalam hati kita?

Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong orang mengambil keputusan yang benar. Ada dua jenis norma yang terpenting, yaitu prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan. Prinsip biasanya lebih umum dari pada peraturan. Prinsip memberi bimbingan umum tetapi tidak menentukan perbuatan-perbuatan spesifik yang dilarang, dibolehkan atau diharuskan; contoh: segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka (Matius 7:12).

Peraturan lebih spesifik menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, dibolehkan atau duharuskan. Contoh: Jangan membunuh.

II. Lima Masalah

1. Norma-norma dan kasih karunia Allah

Bagaimana hubungan antara Injil dan hukum-hukum? Di Yohanes 1:17 tertulis: Hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Rasul Paulus berkata, Kamu tidak berada dibawah hukum Taurat tetapi dibawah kasih karunia (Roma 6:14). DASAR Etika Kristen ialah kasih karunia Allah yaitu kesediaan-Nya untuk menerima kita sebagai anak-anak-Nya yang kekasih apapun jasa dan kebajikan kita. Kita tidak memperoleh kasih Allah karena mematuhi hukum, melainkan dianugerahkan kepada kita oleh Allah dengan Cuma-Cuma. Ia mengasihi kita sekalipun kita orang-orang yang berdosa. Kristus telah mati bukan untuk orang-orang benar tetapi untuk orang-orang yang mengakui kesalahannya. Kasih karunia ini mendasari kelakukan orang Kristen dan memberi daya kepadanya.

Karena itu hukum-hukum Allah diberikan bukan sebagai syarat-syarat untuk penyelamatan kita melainkan sebagai petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita hidup sebagai orang-orang yang diselamatkan.

2. Norma-norma dan kedaulan Tuhan

Menurut Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer dan Emil Brunner proses menyusun dan penerapan peraturan-peraturan bertentangan dengan kedaulatan Allah. Peraturan-peraturan, termasuk hukum-hukum Alkitab, dapat menjadi penghalang antara kita dengan Allah. Kita harus mematuhi Allah, bukan peraturan-peraturan. Dalam proses penggunaan peraturan-peraturan manusia merebut takhta Allah.

Barth, Bonhoeffer dan Brunner tidak sama sekali menolak norma-norma etis. Hukum-hukum dari Alkitab dapat dipakai sebagai petunjuk yang menerangkan situasi kita. Hukum-hukum ini juga menolong kita untuk melihat batas-batas yang tidak boleh kita lampaui. Tetapi hukum-hukum itu tidak dapat dipakai sebagai peraturan-peraturan yang kita terapkan pada kasus-kasus spesifik.

Kita perlu memperhatikan peringatan Barth dan kawan-kawan, namun kalau kita menolak penggunaan norma-norma dalam usaha kita untuk mengetahui kehendak Tuhan, kita menghadapi dua risiko. Pertama, mungkin kita dibimbing oleh intuisi saja, yang tidak selalu memberi bimbingan yang baik dan tidak dapat diterangkan kepada orang lain. Kedua, mungkin kita dibimbing oleh norma-norma tanpa menyadari bimbingan itu dan tanpa perhatian yang memadai kepada cara kita menggunakan norma-norma (Barth ditimpa kedua bahaya itu).

3. Norma-norma dan situasi

Bagaimana hubungan antara norma-norma dan situasi dengan kasus-kasus yang spesifik? Apakah penggunaan peraturan-peraturan menghambat keterbukaan kita kepada keperluan-keperluan khas yang timbul dalam situasi yang baru? Pertanyaan-pertanyaan ini dikemukakan dengan cara yang menarik oleh para tokoh etika situasi terutama Joseph Fletcher dan John A.T.Robinson.

Etika situasi menolak pandangan bahwa ada peraturan-peraturan yang berlaku dalam setiap situasi. Menurut etika situasi orang Kristen harus bebas untuk menjawab keperluan-keperluan situasi yang khas. Ia perlu tidak dibelenggu oleh peraturan-peraturan. Setiap situasi unik dan tidak ada dua situasi yang sama karena itu tidak mungkin dibuat peraturan-peraturan yang berlaku dalam situasi-situasi yang khas.

Ada persamaan antara etika situasi dengan pandangan Barth, Brunner dan Bonhoeffer. Mereka semua menolak kewibawaan norma-norma. Namun keberatan etika situasi terhadap norma-norma tidak berdasarkan atas keyakinan theologia tentang kedaulatan Allah (yang dianut Barth, Brunner dan Bonhoeffer) melainkan atas realisme etis. Mereka ingin mempertahankan keterbukaan orang Kristen untuk bertindak secara realistis dalam setiap situasi. Menurut etika situasi tidak ada perbuatan yang selalu baik atau selalu jahat. Baik dan jahat bergantung kepada situasi. Berbohong dalam satu situasi memang jahat, tetapi dalam situasi yang lain berbohong itu baik dan diperlukan. Fletcher memberi banyak contoh perbuatan-perbuatan seperti membunuh, mencuri dan berzinah yang menurut dia dapat dibenarkan karean sesuai dengan keperluan situasi.

Fletcher menganggap perbuatan Bonhoeffer ahli Theologia Kristen dari Jerman yang ikut komplotan untuk membunuh Hitler karena dia berpendapat bahwa perang berhenti kalau Hitler mati, dapat dibenarkan karena sesuai dengan keperluan situasi sekalipun melanggar hukum Jangan membunuh.

Fletcher menganggap bahwa perbuatan seorang ibu Jerman, Bergmeier yang meminta seorang tentara Rusia menghamilinya agar ia bisa keluar dari penjara dan berkumpul kembali dengan suami dan anak-anaknya dapat dibenarkan karena sesuai dengan keperluan situasi sekalipun melanggar hukum Jangan berzinah.

4. Kasih dan norma-norma yang lebih terperinci

a. Arti kasih Kristen

Alkitab memakai kata agape sebagai kata pokok untuk kasih yang menandai bahwa kasih Kristen mempunyai ciri khas yang berbeda dengan arti kasih yang biasa. Storge (kasih dalam keluarga orang tua-anak), filia (persahabatan) dan eros (kasih yang tertarik kepada sesuatu yang dianggap baik atau bermanfaat) tidak dianggap salah dalam Alkitab, tetapi dianggap perlu diwarnai oleh agape.

b. Apakah kasih saja cukup?

Menurut Yesus, kasih adalah sikap yang harus mewarnai setiap perbuatan kita. Dia menyimpulkan semua hukum Taurat dalam hukum kasih. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40). Rasul Paulus menulis Barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat (Roma 13:8).

5. Norma-norma batin

Dalam Perjanjian Baru antara Allah dan umat-Nya, yakni perjanjian yang didatangkan oleh Yesus Kristus, Allah menaruh hukum-Nya dalam akal budi dan menuliskannya dalam hati mereka (Ibrani 8:8-12; 10:16).

Fungsi norma-norma yang terpenting ialah perannya dalam membentuk sikap mental kita tentang apa yang baik dan apa yang salah. Bimbbingan norma-norma melewati hati nurani dan sikap kita lebih penting dari pada bimbingannya yang langsung waktu kita menerapkan norma-norma pada masalah-masalah.

Peresapan norma-norma ke dalam hati mengandung bahaya. Bahaya ini disebabkan karena kuasa norma yang tertanam dalam sikap batin kita lebih besar dari pada norma-norma yang belum meresap ke batin kita. Bimbingan norma dari batin kita sering tidak kita sadari sehingga bimbingan norma itu mungkin kurang diperiksa.

III. Kesimpulan

1. Bahaya-bahaya dalam penggunaan norma-norma

Pertama, penggunaan norma-norma mengandung bahaya bahwa kita mengukur kebaikan kita berdasarkan kepatuhan kita kepada norma-norma itu.

Kedua, peraturan-peraturan dapat menjadi halangan bagi kasih. Hukum-hukum dapat diterapkan dengan keras tanpa kepekaan kepada keperluan sesama kita. Perhatian kepada peraturan-peraturan dapat menjadikan kita lebih cenderung menghakimi sesama kita dari pada menolongnya.

Ketiga, orang dapat mengganti Allah yang hidup dengan buku hukum yang tidak bernyawa. Dengan demikian pengambilan keputusan etis menjadi proses penafsiran dan penerapan hukum-hukum semata, bukan cara mencari kehendak Tuhan. Pentingnya iman dan bimbingan Roh Kudus dalam pengambilan keputusan etis diabaikan.

Keempat, hukum-hukum dapat membutakan orang terhadap perubahan. Hukum-hukum dapat diterapkan dengan kaku, sehingga orang tidak terbuka terhadap keperluan-keperluan dan kemungkinan-kemungkinan yang baru.

Kelima, orang dapat memakai hukum lebih untuk melarang perbuatan yang salah dari pada mendorong perbuatan-perbuatan yang baik.

Keenam, orang yang menggunakan peraturan-peraturan dapat mementingkan pelanggaran-pelanggaran yang kecil-kecil dan dosa-dosa seksual serta mengabaikan kecongkakan dan dosa-dosa sosial seperti ketidakadilan dan penindasan.

Ketujuh, norma-norma dapat membelenggu kebebasan dan tanggung jawab kita sebagai pelaku.

Kedelapan, semua bahaya ini dapat disimpulkan sebagai kecenderungan untuk menggunakan norma-norma sebagai faktor satu-satunya dalam pengambilan keputusan etis.

2. Mengapa norma-norma perlu?

Pertama, tidak dapat disangkal bahwa Allah memerintahkan perbuatan-perbuatan tertentu dan melarang perbuatan-perbuatan yang lain.

Kedua, norma-norna diperlukan karena kita adalah orang-orang yang berdosa. Kita dengan mudah mengikuti kehendak diri sendiri, bukan kehendak Allah.

Ketiga, norma-norma sebagai bahan untuk mengajar etika kepada anak-anak. Anak-anak memerlukan petunjuk-petunjuk yang jelas supaya mereka mengetahui bagaimana melakukan kehendak Allah dan bagaimana hidup dengan baik dalam masyarakat.

Keempat, norma-norma menolong kita memperoleh kebijaksanaan dari angkatan-angkatan masyarakat yang mendahului kita.

Kelima, norma-norma menolong kita menghemat waktu.

Keenam, norma-norma menunjukkan perbuatan-perbuatan yang biasanya merusak masyarakat dan merugikan sesama kita.

Ketujuh, norma-norma mengatur masyarakat.

Kedelapan, norma-norma memungkinkan pembicaraan tentang apa yang baik dan apa yang salah.

Kesembilan, norma-norma menolong kita mengerti keunikan kasus kita serta persamaannya dengan kasus-kasus lain.

3. Kebijaksanaan dibimbing oleh norma-norma

Dalam situasi moderen ini ada tiga kemungkinan untuk penggunaan norma-norma.

Pertama, orang dapat memakai kebijaksanaan tanpa norma-norma. Kebanyakan norma dibuang karena dianggap tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah yang kompleks masa kini. Orang perlu menyesuaikan diri dengan situasi dan memakai kebijaksanaan sendiri. Kalau demikian, barangkali orang tidak bertanya tentang norma lagi tetapi hanya peduli akan pandangan orang lain. Masyarakat menjadi makin kacau karena kehilangan patokan-patokan yang mengaturnya.

Kedua, orang dapat memakai norma-norma tanpa kebijaksanaan. Norma-norma makin dikodifikasi dan diperinci. Perlu ditambah peraturan-peraturan baru untuk menerapkan norma-norma yang lama kepada masalah-masalah yang baru. Proses ini dilakukan para ahli hukum Yahudi pada abad pertama.

Ketiga, orang dapat memakai kebijaksanaan yang dibimbing oleh norma-norma. Dalam masyarakat kita istilah kebijaksanaan sering dipakai seolah-olah harus memilih antara peraturan dan kebijaksanaan. Dalam setiap situasi kita perlu memakai norma-norma dengan kebijaksanaan; dan kita perlu memakai kebijaksanaan yang dibimbing oleh norma-norma.

BAB VIII SITUASI

I. Mengapa kita perlu mengerti situasi?

Meskipun dua orang setuju tentang theologia, norma-norma dan nilai-nilai etis, namun mereka dapat berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan. Mengapa? Karena mereka mempunyai pengertian yang berbeda tentang situasi. Kita tidak selalu harus menyesuaikan diri dengan situasi, malah kita perlu menentang keadaan yang jahat. Namun, kita selalu harus mengerti situasi. Paling tidal ada tiga sebab.

Pertama, kita perlu mengerti situasi supaya bisa menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi itu.

Kedua, kita perlu mengerti situasi supaya kita dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi itu.

Ketiga, kita perlu mengerti situasi supaya kita dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian.

II. Kesulitan-kesulitan dalam mengerti situasi

1. Kekuatan situasi dan keterbatasan pengetahuan kita.

Setiap situasi terdiri dari delapan unsur, yaitu:

a. Tempat, yaitu gedung, lapangan, kota, desa dan lain-lain di mana peristiwa terjadi.

b. Waktu, yaitu jam, hari, bulan, tahun, abad, jangka waktu yang panjang atau pendek.

c. Benda, bahan alam termasuk tanaman, binatang dan barang yang diciptakan oleh

manusia.

d. Orang-orang yang bertindak dalam situasi itu.

e. Struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial.

f. Gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran.

g. Kejadian atau kejadian yang dilakukan atau dialami oleh orang-orang dalam situasi itu.

h. Tuhan, yang menyertai setiap situasi dan setiap kejadian.

2. Pengertian kita tentang situasi dipengaruhi oleh nilai-nilai kita, kepentingan kita, pengalaman kita, prasangka kita dan faktor-faktor subyektif lain yang lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental kita dari pada situasi. Pepatah China berbunyi: Separuh dari apa yang kita lihat terletak dibelakang mata kita. Kita mempunyai kaca mata batin yang menyaring dan mengatur hal-hal yang kita alami.

III. Bagaimana kita memperbaiki pengertian kita tentang situasi?

1. Penyelidikan yang memadai

Prinsip pertama ialah bahwa kita harus menyelidiki situasi sejauh penyelidikan itu mungkin diadakan dan sejauh penyelidikan itu perlu untuk mengambil keputusan yang tepat.

2. Penggunaan bahan ilmiah dan keterangan ahli

2.1. Apakah ahli itu mempunyai keahlian tentang masalah itu? Atau apakah ia memberi pandangan tentang sesuatu yang di luar bidangnya?

2.2. Apakah ia mempunyai informasi yang paling baru tentang masalah itu? Kalau kita menyadari informasi yang tidak dibicarakannya, apakah informasi itu menentang atau mendukung pandangannya?

2.3. Apakah ia melihat segala segi yang penting atau apakah penglihatannya terlalu sempit?

2.4. Apakah ia mempunyai kepentingan dalam masalah itu? Orang yang mempunyai kepentingan tidak tentu salah, tetapi kita harus meninjau pandangannya dengan waspada.

2.5. Apakah pandangannya dipengaruhi oleh nilai-nilainya? Apakah nilai-nilai itu menjadikan uraiannya kurang obyektif? Apakah nilai-nilainya sesuai dengan nilai-nilai Kristen?

3. Memperluas penglihatan tentang situasi

Pengertian kita tentang situasi perlu cukup luas supaya mencakup semua faktor yang bersangkut paut dengan keputusan kita. Kita perlu mempertimbangkan akibat keputusan kita selama jangka waktu yang panjang.

4. Kepekaan kepada pekerjaan dan kehendak Allah

Orang Kristen percaya bahwa Allah bekerja dalam setiap situasi. Kita perlu berusaha untuk mengerti bagaimana Allah bekerja dan bagaimana maksud-Nya dalam situasi-situasi yang kita hadapi.

5. Kepekaan kepada keperluan orang lain

Orang yang mengasihi Allah akan mengasihi sesamanya dan orang yang peka terhadap kehendak Allah akan peka terhadap keperluan dan perasaan sesamanya.

IV. Norma-norma serta pengertian tentang situasi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa baik norma-norma dan nilai-nuilai etis maupun pengertian tentang situasi perlu dalam pengambilan keputusan etis. Keputusan yang tepat tidak mungkin diambil berdasarkan norma-norma saja terlepas dari pengetahuan realistis tentang masalah yang dihadapi. Tetapi keputusam juga tidak mungkin terlepas dari norma-norma dan nilai-nilai etis. Maka pengetahuan yang memadai serta nilai-nilai yang baik diperlukan untuk keputusan yang baik.

BAB IX CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS I. Sumber-sumber bantuan 1. Doa, ibadah dan Roh Kudus. Dalam membicarakan pengaruh doa atas keputusan-keputusan kita, kita perlu melihat lebih jauh dari saat pengambilan keputusan. Doa perlu dipandang bukan hanya sebagai jalan untuk memohon bimbingan Tuhan untuk keputusan-keputusan kita yang sukar, tapi juga sebagai cara mengakrabkan persekutuan kita dengan Tuhan. Doa meningkatkan kemampuan kita untuk mengambil keputusan yang tepat. Gaya kehidupan yang dibentuk oleh ibadah jemaat sama pentingnya dengan petunjuk-petunjuk khotbah yang langsung menyangkut masalah yang dihadapi oleh anggota-anggota jemaat. Allah Roh Kudus dapat membimbing pikiran orang yang betul-betul mencari kehendak Tuhan. Ia juga dapat mengubah kehendak kita supaya lebih sesuai dengan kehendak Tuhan serta menguatkan tenaga kita untuk melakukan kehendak Tuhan itu. 2. Gereja dan orang-orang lain. Orang Kristen tidak mengambil kerputusan-keputusannya sendirian. Ia adalah anggota persekutuan. Ia didukung oleh kasih dan kesetiaan orang-orang Kristen yang lain. Ia dibimbing oleh kebijaksanaan mereka. Ia dikuatkan oleh doa mereka. 3. Alkitab. Pengaruh Alkitab yang terpenting atas keputusan-keputusan etis bukan bimbingan yang diperoleh dari Alkitab waktu kita menghadapi masalah moral, melainkan perannya dalam membentuk iman dan tabiat kita. Berita Alkitab yang utama bukan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana kita harus hidup, Alkitab terutama adalah buku kesaksian tentang perbuatan Allah demi manusia. Dengan mempelajari bagaimana Allah bekerja dalam zaman-zaman Alkitab, kita dibantu untuk mengerti bagaimana Ia bekerja pada masa kini. Dengan mempelajari bagaimana orang-orang menanggapi pekerjaan-Nya dalam cerita-cerita Alkitab, kita lebih tahu bagaimana tanggapan yang patut bagi kita. Kita juga dimampukan untuk mengerti pandangan Alkitab tentang dunia, manusia, masyarakat, alam dan banyak hal yang lain. 4. Bahan bacaan. Kemampuan kita untuk mengambil keputusan etis dapat ditingkatkan dengan membaca bahan lain disamping bahan Alkitabiah. II. Dari pertimbangan menuju tindakan Kita tidak dapat belajar, berpikir dan berbicara terus menerus tanpa bertindak. Pelajaran kita tidak menjamin bahwa tindakan kita akan selalu benar walaupun kita belajar untuk selama-lamanya. Kita wajib berusaha sedapat-dapatnya untuk menyelidiki faktor-faktor yang menyangkut keputusan-keputusan kita. Namun demikian seringkali kita harus mengambil keputusan berdasarkan informasi yang kurang lengkap tentang situasi, pandangan Alkitab atau faktor yang lain. Kita tidak mungkin selalu mengambil keputusan yang sempurna. Setiap keputusan harus diambil dalam kepercayaan bahwa keputusan itu adalah tanggapan kepada Allah sendiri. Dalam setiap keputusan, Tuhan memanggil kita untuk mengambil risiko bahwa kita mungkin salah bersama dengan kemungkinan bahwa kita benar. Kita mungkin gagal tetapi kita juga mungkin berhasil untuk kemuliaan Allah. Dua unsur dalam iman kita dapat menambah keberanian kita untuk mengambil keputusan dan tindakan. Pertama, kita yakin bahwa Allah mengampuni kesalahan kita walaupun keputusan kita kurang tepat. Perlu diakui bahwa keyakinan itu tidak sama sekali membebaskan kita dari beban yang harus kita pikul apabila nanti keputusan kita menyebabkan konsekwensi yang tragis. Kita tentu akan merasa sedih apabila orang lain menderita karena suatu keputusan kita yang salah. Namun di tengah-tengah kesedihan itu pun kita tertolong oleh kepercayaan bahwa Waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka (Roma 5:6). Kedua, kita yakin bahwa Allah memerintah dunia ini. Ia berkuasa atas segala perbuatan manusia. Ia bekerja terus menerus untuk mencapai maksud-Nya di dunia. Karenanya kita tahu bahwa Allah dapat memakai kesalahan kita bersama dengan kebenaran kita untuk mewujudkan kehendak-Nya di dunia ini.