Soeharto before

28
1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama kehidupan Soeharto. Setelah tiga dekade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa, kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari manca negara. Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai “Bapak Pembangunan” dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan “Gantung Soeharto”. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan yang menimbulkan banyak kontroversi. Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis. Satu-satunya momentum yang tercipta bagi Indonesia terjadi pada tahun 1965, ketika kudeta militer menurunkan Soekarno. Namun kesempatan itu tidak memberikan peluang bagi lahirnya demokratisasi, karena militer tidak memberikan ruang kepada sipil untuk mengkonsruksikan perubahan kedemokrasi. Militer malah mengambil alih kepeminpinan sipil dengan menggelar sidang parlemen (MPRS) tahun 1968 yang memberikan legitimasi kontitusional yuridis terhadap Jendral Soeharto. Kekuasaan Jendral Soeharto kemudian dikukuhkan dalam pemilu 1972, dimana Golkar sebagai partai politik bentukan militer dan gabungan kekaryaan memenangkan pemilu itu.

Transcript of Soeharto before

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama

kehidupan Soeharto. Setelah tiga dekade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa,

kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara

Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja

dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari

manca negara. Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak

memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai

“Bapak Pembangunan” dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan

“Gantung Soeharto”. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada

tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan

yang menimbulkan banyak kontroversi.

Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma

dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional

Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah satu komponen

negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa

menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh

lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di

dalamnya tidak selalu berjalan harmonis.

Satu-satunya momentum yang tercipta bagi Indonesia terjadi pada tahun

1965, ketika kudeta militer menurunkan Soekarno. Namun kesempatan itu tidak

memberikan peluang bagi lahirnya demokratisasi, karena militer tidak

memberikan ruang kepada sipil untuk mengkonsruksikan perubahan kedemokrasi.

Militer malah mengambil alih kepeminpinan sipil dengan menggelar sidang

parlemen (MPRS) tahun 1968 yang memberikan legitimasi kontitusional yuridis

terhadap Jendral Soeharto. Kekuasaan Jendral Soeharto kemudian dikukuhkan

dalam pemilu 1972, dimana Golkar sebagai partai politik bentukan militer dan

gabungan kekaryaan memenangkan pemilu itu.

2

Ada beberapa yang mendorong militer secara aktif masuk kedalam arena

politik dan memainkan peranan politik. Faktor-faktor ini lebih terletak pada

kehidupan politik atau sistem politik, bukan pada militer dan dikelompokkan

menjadi tiga.Yang pertama : adanya ketidak stabilan sistem politik. Keadaan

seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar

unutk menggunakan kekerasan didalam kehidupan politik. System politik yang

peka ini pula yang paling sering mengakibatkan timbulnya hal-hal yang

mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalam hal ini ialah ada tidaknya

pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang

menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan. Kedua : Yang

bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir

kehidupan politik, bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang

menetukan. Yang menarik dalam kaitan ini adalah bahwa dalam beberapa hal

dominasi militer di dalam politik justru “diundang” atau dipermudah oleh

golongan sipil. Ini biasanya terjadi sewaktu kepeminpinan sipil mengambil

keputusan untuk memperbesar jumlah personil angkatan bersenjatanya atau

meningkatkan persenjatan militer karena diperlukan untuk menghadapi musuh

dari luar negeri atau guna mengatasi pergolakan dalam negeri, sekalipun sering

kali ancaman itu berupa dugaan atau bahkan mungkin hanya diada adakan belaka.

Kapasitas militer dalam mempengaruhi kehidupan politik memang bergangtung

pada kecakapan,perlengkapan, dan persenjataan yang dimilikinya sebab ketiganya

disamping jumlah personil yang besar merupakan “ sumber kekuatan politik”.

Walaupun demikian tidak dapat dipastikan adanya hubungan langsung antara

kemampuan berpolitik kaum militer dengan tingkah laku politik mereka, sebab

tingkah laku politik militer lebih banyak ditentukan oleh sikap dan kenyakinan

politik mereka. Ketiga : yang berhubungan dengan political perspectives kaum

militer. Dan paling menonjol diantara beberapa prespectif politik mereka adalah

yang bertalian dengan peranan dan status mereka didalam masyarakat, dan juga

yang berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepeminpinan kaum sipil dan

terhadap sistem politik secara keseluruhan. Dalam satu keadaan dimana

kepeminpinan poltik sipil dianggap oleh merka itu tidak beres, korup, lemah, tidak

mampu melaksanakan tugas-tugas pokok pemerintahan maka dorongan unutk

3

melakukan intervensi kedalam politik oleh golongan militer akan besar. Demikian

pula bila mana kalangan politisi sipil dianggap akan mengambil tindakan atau

kemungkinan akan mengambil tindakan yang merugikan kepentingan personil

atau kepentingan organisasi militer, maka dorongan untuk melakukan tindakan

politik oleh militer akan lebih besar lagi2.

Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana

dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi

adalah : Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren

sosial politik lebih besar. Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan

kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi

idiologi nasional. ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya

mengingat banyaknya krisis negara yang telah dialami . Persepsi militer adalah

kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor yakni

instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan

didaerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami

inflasi 1000% lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer

Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana

penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi

asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan, argumentasi

didasarkan beberapa hal : Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan

ketidakstabilan dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.

Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara

(profesionalisme) Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan

teknologi Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai

modern.

Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang

mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada

instabilitas.Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis,

kepakaran, dan pengetahuan organisatoris. Militer dipandang sebagai institusi

paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan, karena pada keadaan

darurat bisa menggunakan kekerasan Terakhir, fungsi mililter yang ”

4

mempersatukan ” dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai personifikasi

bangsa.

Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta

militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet

pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan banyak

misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus dilihat pula

sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat

relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar

sebagai ketua dewan pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi

struktur Golkar agar memastikan Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga

bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan

kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer,

apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap

otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan,

namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya

kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang sama kuatnya dengan

kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi kecenderungan global.

Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih satus)

sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah

menunjukkan hasrat tersebut.

Pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, serta tidak langsung telah

membawa gambaran tentang pentingnya suatu pemerintahan di suatu negara.

Kesalahan pemerintahan yang sangat buruk terhadap perkembangan dan juga

proses perubahan bangsa. Perebutan kekuasaan yang selalu ditandai dengan

proses-proses politik dan sosial yang sangat menyentuh kehidupan masyarakat,

telah membawa suatu pelajaran yang sanat berharga betapa kekuasaan tetap

menjadi faktor utama yang ingin diraih. Tujuannnya adalah hanya untuk

mendapatkan dan juga mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini proses politik

masih merupakan corong yang lebar unutk mendukung dan memberikan jalan

yang seluas-luasnya untuk proses perolehan dan mempertahankan kekuasaan

tersebut.

5

Pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun,telah menjadi

pelajaran dan sejarah baru pada bangsa indonesia, untuk lebih memperhatikan

betapa kekuasaan adalah faktor utama untuk mencapai pemerintahan yang absolut

dan militerristik. Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat banyak anggapan

yang menyatakan bahwa pemerintahlah yang paling benar dan tidak bisa untuk

dikritik. Dan bagi mereka yang mencoba unutk mengkritiknya dan juga

memberikan alternative yang lebih baik terhadap kekuasaan yang akan dianggap

sebagai penyerang kehormatan kekuasaan,dan merudsak wibawa kekuasaan dan

oleh sebab itu harus dimusuhi dan ditindas dan dianggap sebagai penghianat

negara dan ditangkap dan dipenjara.

Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Soeharto menempatkan militer

pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas

militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan

pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah

menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi

strategis Golkar.

Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan

gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah

militer, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer.

Vatikiotis menyatakan, ” More importantly, the military dominated the affairs of

every cabinet departement.” Sementara itu data yang diperoleh Jenkins pada

tahun 1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi militer sebagai

berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%,

sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%,

sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan daerah, gubernur 70,3%,

dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar 44,4% dan konsul 34,3%.

Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal

dari militer sebanyak 17 Gubernur (71 % ). Sesudah pemilihan umum tahun 1971,

dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 (15 %) posisi Gubernur untuk orang sipil.

Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota

di seluruh Indonesia sebanyak 271.

6

Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang diangkat 44% menteri

merupakan anggota ABRI, 6 erasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya berasal

dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968 komposisi anggota ABRI

yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23 orang. Keterlibatan militer

dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah

keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi

mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan

politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum.

dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer

menduduki posisi jabatan sipil. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini juga

ditambah lagi dengan tidak adanya kebebasan press dan proses politik yang

demokratis. Manipulasi dalam bidang politik dijalankan oleh suatu rezim yang

absolut dan cenderung militeristik. Untuk mendapat dan mempertahankan

kekuasaannya, soeharto menggunakan beberapa instrumen yang sangat

berpengaruh terhadap kondisi pertahanan dan keamanan negara. Isntrumen

kekuasaan yang digunakan oleh Soeharto mencakup beberapa oknum salah

satunya adalah militer4. Berkaitan dengan hal tersebut juga terdapat istilah yang

dinamakan dengan arsitek Soeharto. Arsitek Soeharto adalah orang yang terlibat

langsung dalam usaha merangkai kekuasaan soeharto menjadi sebuah bentuk yang

cita-citakan5. Peranan militer yang terlibat dalam situasi politik adalah merupakan

suatu kenyataan dalam pemerintahannya yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan

dominasi militer sebagai salah satu kekuatan politik negara dapat menjangkau

melebihi dan peran dan fungsi militer yang sebenarnya.

Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua

pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan

mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka

dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik

ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat

hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang

menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak

secara otonom

7

Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :

a. munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi

Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan

bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong

terciptanya zaman otoriterism. Menurut Abdul Rohim Ghazali, posisi militer pada

masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI

yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi

masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor

kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa

konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu

jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan

masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan

“oknum” TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang,

seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad

Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi

dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis

yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya dibungkus dengan

kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.

Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa

kelembagaan militer yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan

terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil.

Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga

menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk

menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang.

Eep Saefullah Fatah

menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah

oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya,

keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit

sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil

dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer.

Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik

akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan

8

berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik

keamanan.

Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan

Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer

membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat.

Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang

dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang

berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang

dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus

kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari

kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM

Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan

peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang

dimiliki Kontras (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian

tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh,

suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer

ditimor-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu

diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada

kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas

birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi

militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol

atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer

didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam

penyelenggaraan Negara.

b. mempengaruhi profesionalisme militer

Huntington menegaskan :

Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini

terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan

yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah

untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan

partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka,

9

membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka

sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira

militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan

pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik” .

Bermasalahnya profesionalisme militer tergambar dari kompetensi prajurit

dalam hal pertahanan serta buruknya penerapan sistem pertahanan. Kesibukan

militer dalam mengurusi pemerintahan pada masa orde baru menyebabkan

lemahnya kemampuan militer saat ini dalam melindungi aset ataupun kedaulatan

wilayah pada daerah-daerah perbatasan . Pengembangan sistem dan struktur

militer pada masa orde baru lebih berorientasi pada kepentingan politik sehingga

berimplikasi pada kesiapan tempur strukturnya serta lalai dalam mengembangkan

kekuatan udara dan laut. Pendekatan pengembangan struktur militer pada masa

orde baru lebih menitik tekankan, bagaimana militer mampu mempunyai

mekanisme yang kuat dalam mengawasi aktivitas politik sampai dengan tingkat

pedesaan, oleh karenanya menjadi wajar ketika prajurit militer sebagian besar

tidak memiliki kemampuan tempur dan sistem pertahanan saat ini berada pada

kondisi yang menyedihkan. Hal ini tergambar dari kelambatan MABES TNI

dalam menyiapkan prajuritnya dalam merespon kebijakan darurat militer di Aceh

yang diputuskan pada pemerintahan Megawati. Pertanyaan apakah militer

Indonesia mampu menangkal serangan atau agresi dari negara lain menjadi sangat

tidak relevan, pertanyaan yang relevan adalah seberapa lama militer Indonesia

saat ini mampu bertahan dari agresi negara lain. Permasalahan sistem pertahanan

tentunya tidak bisa dipisahkan dari masalah anggaran, akan tetapi peranan non

militer yang dominan yang dilakukan ABRI pada masa orde baru menjadi faktor

yang semakin memperparah keadaan.

Pada mulanya, militer dibentuk untuk mempertahankan negara pada

berbagai pemerintahan, sudah tentu militer dibentuk di bawah eksekutif yang

panglimanya disederajatkan dengan para menteri kabibet. Hanya saja beberapa

aparat militer yang cukup Propesional tidak menutup kemungkinan untuk ikut

berpolitik. Dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan negara dan serta

mempertahankan Pancasila dan undang-undang dasar 1945 dari kemungkinan

10

perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI ikut berpolitik. Hal ini dianggap

sebagai pengabdian mereka kepada bangsa dan negara yang kemudian disebut

dengan Dwi Fungsi ABRI.

Diangkatnya Jendral Soeharto sebagai presiden tahun 1986 oleh MPRS

membawa militer keposisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Peran militer, menempati posisi sentral dalam politik indonesia, khususnya sejak

penggulingan soekarno menuju kepemerintahan soeharto. Dalam kerangka inilah

ABRI benar-benar mengimplementasikan peran yang lama didambakannya

sebagai peserta didalam dan menjaga negara. Bagaimanapun sebagai sebuah

lembaga yang tidak dipilih yang tidak sering menjadi kekuatan pemaksa dalam

menentukan masalah sosial politik, militer tetap bertindak gaya penengah, lebih

banyak menindas dibandingkan membantu rakyat dan banyak hal menjadi pelaku

praktek korupsi dan nepotisme,dan pelanggar HAM dan pada puncaknya menjadi

kekuatan penentu dalam urusan politik negeri ini. Hingga 1998,kecuali kelompok-

kelompok pemberontak didaerah yang jauh dari pusat, tak seorangpun berani

menentang militer(ABRI) secara langsung.

Dengan bergantinya pemerintahan dan format politik tahun 1998, Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dituntut untuk dapat mengabdikan dirinya untuk bangsa

dan negara Indonesia secara optimal sebagaimana dimaksudkan oleh para

founding fathers, TNI telah dan sedang melakukan proses reorientasi postur,

tugas, fungsi, dan perannya dalam kehidupan bangsa dan negara. Banyak pihak

yang telah membahas bahwa selama tiga dekade sejak tahun 1965 bersama-sama

dengan kekuatan politik lainnya, TNI pernah menjalankan peran sebagai

penopang utama bagi sebuah pemerintahan yang sangat sentralistik. Dengan

segala kompleksitas dan konsekuensinya, posisi TNI pada waktu itu menjalankan

peran yang sangat dominan, bukan saja dibidang pertahanan dan keamanan tetapi

juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya khususnya dibidang politik, sosial,

ekonomi dan ketatanegaraan. Sebelum jatuhnya rezim Orde Baru, posisi-posisi

penting penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga tingkat desa banyak

diduduki oleh para personel-personil TNI. Kebijakan pemerintah dan politik

negara, banyak diwarnai oleh pendekatan keamanan, dimana TNI sebagai tulang

punggung pelaksananya. Sehingga memunculkan kritik dan sorotan tajam dari

11

berbagai kalangan masyarakat. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya

pergeseran cara pandang para prajurit TNI yang semula berorientasi pada aspek

pertahanan keamanan menjadi lebih berorientasi pada politik praktis, jabatan-

jabatan publik, bahkan kepentingan bisnis yang tidak selamanya konsisten dengan

misi utama tentara sebagai penjaga kedaulatan negara.

Hal ini dapat dilihat bahwa kenyataan yang ada di Negara Indonesia,

kedudukan sipil belum mampu mempersatukan bangsa ini dan hanya militerlah

yang mampu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah pada saat itu. Oleh

karena itu militer menjadi sangat berkuasa atas rakyat sipil dengan konsep “Dwi

Fungsi ABRI” nya yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan Negara dan

sebagai kekuatan sosial politik.

Aspek – aspek utama dari kekududukan ABRI sebagai pejuang adalah :

Pertama, Oleh karena tugas pejuang tidak ada habis-habisnya, maka ABRI

sebagai pejuang tidak mungkin berhenti tetapi harus berjalan terus dan ikut

bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat dan negara yang

berdaasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Sebagai kelompok rakyat pejuang

bersenjata,bersama sama dengan rakyat pejuang lainnya,ABRI telah membuktikan

dirinya berhasil menegakkan dan membela kemerdekaan bangsa dan negara.

Sebagai kelanjutanya sekarang ABRI berkewajiban secara bahu- membahu dan

bersama-sama kekuatan-kekuatan sosial lainnya dengan semangat kekeluargaan

dan kegotongroyongan untuk mengisi kemerdekaan tersebut dengan usaha-usaha

disegala bidang. Ketiga, Bangsa Indonesia bertekad hendak membangun

kehidupan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

pembangunan itu mengkehendaki ikut sertanya semua kekuatan yang mempunyai

potensi nyata yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan kemasyarakatan dan

kenegaraan, yaitu kekuatan-kekuatan dalam bidang sosial-budaya, ekonomi,

agama dan lain-lain. Jelaslah turut sertanya ABRI dalam kegiatan – kegiatan

sosial-politik, dalam pemerintahan dan dalam pembangunan, bukanlah unutk

kepentingan ABRI sendiri apalagi unutk membangun suatu kekuasaan atau

pemerintahan militer,melainkan dalam rangka pembinaan kehidupan yang

demokratis berdasarkan pancasila dan UUD1945. Keempat, dengan demikian

12

semua bidang kehidupan terbuka bagi ABRI dan kekuatan-kekuatan sosial

lainnya. Proses ikut sertanya adalah menurut prosedur demokratis sesuai dengan

aturan yang berlaku bagi bidang yang bersangkutan. Di Indonesia sejarah politik

militer dapat dibagi menjadi 4 ( empat ) tahap. Tahap Pertama, dari tahun 1945-

1959, dicirikan oleh satu transisi dari “ aksi “ menjadi “ akomodasi “ tahap Kedua,

dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari ” akomodasi ” menjadi ”

dominasi ” tahap Ketiga, dari tahun 1966-1998, militer membuat transisi dari ”

dominasi ” menjadi ” hegemoni ” dan Tahap Terakhir, setelah kejatuhan Soeharto

di Tahun 1998, hegemoni militer telah ambruk dan militer masuk ke dalam krisis

yang berkepanjangan. Menurut Singh, keterlibatan militer Indonesia dalam politik

bermula dari kemerdekaan. Politik militer diakomodasi secara legal dan

konstitusional di dalam sistem politik yang diciptakan oleh Soekarno atas dasar

dekrit presiden 1959. Di bawah ” Demokrasi Terpimpin ” militer mendapat

beberapa kursi di DPR Gotong Royong dan sepertiga dari jumlah menteri dalam

kebinet kerja adalah anggota militer. Akomodasi politiknya bergeser menjadi

dominasi, ketika Soeharto berkuasa, militer adalah tulang punggung pemerintahan

Orde Baru, dan melalui program Ideologi dan Budayanya, dominasi berubah

menjadi hegemoni. Jatuhnya Soeharto menyebabkan hegemoni militer mengalami

krisis legitimasi.

Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa Orde Baru

dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer

juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat

perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif,

militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini

menyebabkan pelbagai dampak, khususnya terkait tersumbatnya peluang

demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan

profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia

memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang

lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi

Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan Negara-Negara tetangga. Faktor

penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor

yakni faktor Internal ; hasrat kekuasaan para perwira termasuk di dalam upaya

13

Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer

khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi

prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor Eksternal terkait dengan kegagalan

pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis

ekonomi).

Dan secara spesifik ada tiga pertanyaan penting yang harus kita ketahui

kita bahas. Pertama, Mengapa Presiden Soeharto tidak membangun TNI/ABRI,

birokrasi, institusi politik DPR dan MPR yang kredibel dan independent, untuk

mengakhiri penyimpangan politik yang dilakukan Soekarno pada pertengahan

1960-an? Kedua, Mengapa Presiden Soeharto hanya mengkonsentrasikan

pengaruh kekuasaannya sendiri untuk mempunyai kontrol yang kuat atas ABRI /

TNI, Birokrasi dan Golkar? Ketiga, Mengapa kuatnya lembaga kepresidenan yang

dibangun Soeharto (Dimana Soeharto langsung memberikan komando dan

mendominasi ABRI, Birokrasi, dan Golkar) tidak mampu mengantisipasi secara

efektif krisis finansial yang amat parah yang dialami Indonesia pada era 1997-

1999?

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Soeharto mampu mengelola militer dan kebijakan - kebijakan

yang di jalankan sehingga menjadi penopang kekukuasaan selama 32 tahun

atau selama Orde Baru berkuasa?

2. Bagaimana hubungan Soeharto dan ABRI selama berkuasanya rezim Orde

Baru?

3. Bagaimana kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan selama

rezim Orde Baru.

3. Batasan Masalah.

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas maka penulis memberikan

ruang lingkup penelitian yaitu:

1. Peneliti mengkaji tentang militer sebagai penopang utama selama Soeharto

berkuasa, Sterutama dalam mendapatkan dan mempertahankan

kekuasaannya.

14

2. Peneliti menitik beratkan pada Gaya dan Cara yang dipakai Soeharto

sehingga Militer bisa tunduk dan terus mendukung Soeharto selama

berkuasa.

3. Peneliti juga megkaji kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan

selama rezim Orde Baru.

4. Tujuan Penelitian.

Adapu tujuan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Soeharto dapat memodifikasi dan memberikan

ruang pada militer selama berkuasa melalui kebijakan-kebijakan Soeharto.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis instrumen yang

digunakan Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru.

3. untuk mengetahui seberapa besar peluang militer dalam pentas politk

Indonesia selama Soeharto berkuasa.

5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas dan memperdalam

pemahaman penulis dalam bidang yang lebih terspelialisasi, melatih penulis

dalam membuat sebuah karya ilmiah, dan melalui penelitian ini penulis

dibiasakan unutk lebih banyak membaca dan memahami serta lebih kritis

terhadap sebuah bacaan maupun karya tulis yang ada.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pendukung dalam pengembangan

dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti, Sistem Politik Indonesia,

Pemikiran Politik Indonesia, Pembangunan dan Perubahan Politik Indonesia ,

dan Analisa Kekuatan Politik, Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia dan teori-

teori politik yang berhubungan dengan bidang penelitian ini.

3. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana unutk memberi

kritikan yang positif terhadap profesionalisme Militer, Departemen Pertahanan

Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawab dalam

kinerjanya.

15

BAB II

PEMBAHASAN

Sejarah Dwifungsi ABRI

Latar belakang sejarah sebagai langkah yang mengawali timbulnya

dwifungsi ABRI adalah diawali dari konsep Jalan Tengah Nasution yang bersifat

perorangan itu diubah oleh Jendral Soerharto sejak ia memegang kendali

pemerintahan. Soeharto merumuskan dwifungsi menurut Kharis Suhud, istilah

Dwifungsi untuk pertama kali digunakan oleh Jendral Ahmad Yani ketika ia

berceramah didepan perwira-perwira dibangdung yang sangat beda dengan jalan

tengah yang dirumuskan oleh Nasution. Perumusan dan implemenasti dwifungsi

ABRI selama pemerintahan Soeharto ialah menjadi TNI-ABRI secara

organisatoris unutk menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkungan

pemerintahan.

Dwifungsi ABRI merupakan sebuah system yang telah diselewengkan

oleh Soeharto dari doktrin awal Nasution. Pandangan besar yang lain yang

mewakili oposisi terhadap doktrin Dwifungsi ini adalah Dwifungsi ABRI secara

murni memang hanya untuk memastikan legitimasi kepentingan penguasa

terhadap ekonomi politik tentara dari sturktur nasional sampai yang terrendah,

sehingga sewaktu legitimasi tersebut dicabut, berbagai respon pun dari bagian-

bagian tentara ikut mempengaruhi politik dan keamanan Negara.

TNI adalah suatu alat pertahanan Negara sebenarnya telah mempunyai

konsep yang baik dalam perannya sehingga stabilitas politik dan keamanan

didalam negeri, yaitu Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI merupakan konsep

dasar TNI yang dalam menjalankan peran social politik mereka di Negara ini.

Adapun latar belakang lain tentang lahirnya konsep Dwifungsi ABRI harus kita

lihat kembali. Doktrin Hankamrata yang masih digunakan sekarang masih sangat

berhubungan dengan Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI yang kita ketahui oleh masyarakat diluar TNI adalah

sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan militer dalam permasalah

politik, campur tangan militer dalam permasalahan-permasalah Negara lainnya

16

yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dwifungsi ABRI

dilihat sebagai sebuah intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan

Universitas Sumatera Utara

tindak kekerasan terhadap rakyat. Dwifungsi berarti masuknya militer dalam

posisi / jabatan penting dan mengurangi jatah sipil.

Selain itu dalam kenyataanya kekuatan politik sipil yang lemah

dihadapkan pada kondisi stagnasi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi

parlementer, mudah bagi militer untuk mengambil posisi strategis dalam

panggung politik pada waktu itu. Dalam pemerintahan Soeharto militer Indonesia

memainkan peran politiknya secara luar biasa. Dari hal tersebuat dapat ditarik

kesimpulan bahwa :

1. Kondisi masyarakat dalam pemerintahan Soeharto belum berubah, Peran

sosial politik sehingga belum memberi perhatian.

2. ABRI dapat berkiprah leluasa karena budaya politik yang tidak mampu

membangun sistem kontrol politik yang efektif. Hal ini memungkinkan

berkembangnya konsepsi Dwifungsi ABRI sehingga melebihi proporsi

sebagaimana tahap kelahirannya.

Seperti yang diuraikan diatas, ABRI lahir dalam kancah revolusi sejak

semula melaksanakan fungsi sosial politik. Pengakuan yuridis dari bangsa

Indonesia tentang fungsi sosial politik ABRI terlihat sejak berlakunya Undang-

undang No.80 tahun 1958. Dengan berlakunya kembali UUD 45, maka Dwifungsi

ABRI, khususnya fungsi sosial politik mempunyai landasan kontitusional.

Landasan kontitusional dari dwifungsi ABRI tersebut kemudian disahkan lebih

mantap dengan ketapan MPRS/MPR. Setelah MPR hasil pemilu

1971, maka fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial selalu dicantumkan

dalam TAP MPR. Dalam setiap TAP MPR tentangGBHN Bab IV tentang pola

umum pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan sejak TAP MPR No.IV/1981

tentang GBHN dalam Bab II dinyatakan bahwa sebagai salah satu modal dasar

pembangunan nasional yang dimiliki rakyat dan bangsa Indonesia adalah ABRI

sebagai kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat dan

bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan Negara. Selain itu

Dwifungsi ABRI pun dilegalkan dengan adanya UU No.20/1982 tentang pokok-

17

pokok Hankam Negara yang kemudian disempurnakan dengan UU No.I/1989 dan

UU No.2/1988 tentang pokok-pokok keprajuritan. Campur tangan ABRI

berdasarkan doktrin tersebut menjadaikan bias mendominasi pola pengelolaan di

Indonesia. Konsep Dwifungsi ABRI dimanfaatkan kepeminpinan ABRI sendiri

serta selalu mengedepankan aspek kuntitas dan mengabaikan aspek kualitas.

Dwifungsi ABRI sebagai Konsep Sosial Politik.

Dwifungsi ABRI merupakan konsep politik yang menempatkan ABRI

baik sebagai kekuatan Hankam maupun kekuatan social politik dalam supra

maupun infra struktur politik sekaligus. Dari penjabaran konsepsi mengenai

fungsi sosial politik ABRI, dapat disimpulkan bahwa peranan ABRI dalam

konsep Negara pada dasaranya adalah: Pertama, Ikut sertanya ABRI dalam

penentuan haluan Negara serta pengendalian politik dan strategi nasional. Kedua,

Sebagai pelopor, dinamisator dan stabilisator dalam memelihara dan

memantapkan stabilitas nasional disemua bidang. Ketiga, Ikut sertanya dalam

pembangunan nasional terutama dalam menyehatkan demokrasi pancasila dan

memperbaiki pertumbuhan ekonomi, meratakan pembangunan unutk mewujudkan

keadailan social.

ABRI dengan Dwifungsinya yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan

keamanan maupun sebagai kekuatan social politik bergerak bersamaan dalam 2

lingkungan politik yaitu dalam pemerintah (supra) dan dalam masyarakat.

Dwifungsi ABRI sebagai konsep sosial politik dapat dilihat dalam kehidupan

politik RI. Pergolakan-pergolakan yang terjadi terutama dibidang politik,

ekonomi, telah memaksa ABRI dan kekuatan lain yaitu golongan fungsional

untuk berperan aktif, kelahiran fungsi sosial ABRI melekat bersamaan dengan

kelahiran ABRI sendiri yang telah lahir dari zaman revolusi, walaupun belum

dalam bentuk seperti sekarang. Implementasi dari konsep Dwifungsi ABRI dapat

dilihat dalam ABRI dan kegiatan politik pada masa pemerintahan Soeharto.

Sebagai konsep sosial politik ABRI juga terlibat dalam lembaga legislative dan

juga pada Birokrasi pemerintahan, bahkan mereka juga ikut berperan aktif dalam

pemilu dan juga sebagaio kenderaan politik pemerintahan soeharto dengan masuk

kedalam Golongan Karya.

18

Peran ABRI di MPR dimasa pemerintahan Soeharto, hubungan antara

ABRI dan Presiden sendiri amatlah kolutif. Adapun kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintahan Soeharto akan disambut baik oleh TNI. Bahkan bila perlu akan

dilakukan berbagai cara, akibatnya Soeharto dapat bertahan dalam kekuasannya.

Semasa pemerintahan Soeharto MPR dijadikan sumber legitimasi

kelanggengan pemerintahan Soeharto. Hal ini yang terlihat pada masa

pemerintahan Soekarno, ketika MPR digunakan unutk memperkukuh ideology

manipol usdek dan menyatakan presiden Soekarno sebagai Presiden seumur

hidup. Selama pemerintahan Soeharto, salah satu hal yang paling sering dikritik

adalah kemudahan mempengaruhi MPR melalui anggota-anggotanya baik yang

diangkat maupun dipilih melalui pemilu dengan mekanisme yang menguntungkan

penguasa.

Sidang umum MPR pada tahun 1983 menertibkan TAP MPR

No.II/MPR/1983 tentang pemilu yang antara lain menetapkan bahwa

Pertama:

Jumlah anggota MPR/DPR dan DPRD disesuaikan dengan jumlah penduduk dan

perkembangan daerah. Kedua : Anggota DPR dan DPRD terdiri atas anggota

kekuatan social politik peserta pemilu dan golkar. Berdasarkan ketentuan UU

tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR dan DPRD yang berlaku sekarang

(kemudian diubah dengan UUD No 2/1985), keterlibatan ABRI secara langsung

dalam politik paling nyata, dimana ABRI tidak hanya mempengaruhi tetapi juga

menduduki, adalah melalui penunjukan perwira militer aktif menjadi anggota

legislative ditingkat nasional dan regional.

Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru.

Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer) yaitu

suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme,

irrasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri-ciri dari pemerintahan neo-

fasisme (militer) ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan

organisasi-organisasi massa (kekutan sipil) dan menghilangkan semua gerakan

militan.

19

Peranan militer sangat dominan dan tidak dapat terlepas dari

keterlibatannya dalam bidang politik. Sebagai alat untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaannya, militer mempunyai pengaruh yang sangat besar

bagi pertahanan dan juga keamanan Negara. Militer dalam hal ini adalah ABRI

(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Adanya peranan ABRI dalam bidang

politik Soeharto, menggabungkan Angkatan Kepolisian dan Tentara Nasional

(TNI). Pasal 10 UUD 1945 mengatakan bahwa : presiden memegang kekuasaan

tertinggi atas Angkatan Darat, Laut,dan Udara ternyata ikut memanipulasi rezim

Soeharto juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan

pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (Militer) sudah ikut menentukan

nasib Negara secara politik.

Dalam prakteknya, peranan ABRI telah mengjangkau seluruh kehidupan

masyarakat. Adanya kondisi inilah yang kemudian mengukuhkan adanya doktrin

Dwi Fungsi ABRI.

Sri Bintang Pamungkas mendefenisikan Dwi Fungsi ABRI yaitu peranan

ABRI yang tidak hanya terbatas dalam bidang pertahanan (peranan militer)dan

keamanan (peranan kepolisian) saja, tetapi dalam bidang sosial dan politik, atau

lebih umum lagi berperan banyak diluar bidang pertahanan dan keamanan itu

sendiri.

Penonjolan Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan Soeharto, secara tidak

langsung telah membawa pada sikap eksklusifisme peran ABRI di lingkungan

masyarakat dan politik penyelenggaraan negara. Implementasi Dwi Fungsi ABRI

seperti yang telah dipaparkan diatas menjadi sebuah faktor pendorong terjadinya

militerisme. Tujuannya ialah untuk memcapai pembangunan dan menjalankan

kekuasaan Negara.

Banyak alasan mengapa militer melibatkan diri dalam percaturan politik

terutama pada masa pemerintahan Soeharto. Contohnya adalah alasan historis,

obsesi pada stabilitas dan kepentingan instusi mereka. Ada alasan yang bersifat

subyektif dan dapat diperinci lebih lanjut menjadi beberapa unsur, terutama

sejarah perjuangan dan doktrin keamanan. Di Indonesia peruwujudan peran

militer dalam politik telah melewati suatu perjalanan panjang dengan derajat

20

keterlibatan yang pasang surut. Militer sebagai suatu institusi yang kuat dan

kemudian menguasai srtuktur politik.

Selama berlangsungnya rezim yang otoriter tidak banyak yang dapat

dilakukan oleh rakyat sipil, karena militer sebagai penguasa yang siap menelan

rakyat sipil ketika mereka melawan terhadap penguasa. Setelah bangsa Indonesia

dipimpin oleh pemimpin dari militer selama 32 tahun, pada akhirnya

menumbuhkan dan menciptakan watak-watak atau jiwa militeristik dalam setiap

ruang gerak sosial masyarakat dan struktur sosial. Telah kita ketahui bersama

bahwa ada 3 peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat bagi kehidupan

demokrasi. Ketiga peran itu antara lain adalah :

1. Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati

dll. Dengan banyaknya anggota militer yang menduduki jabatan atau posisi di

parlemen akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat.

2. Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Misalnya pembentukan

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Hal ini dapat diartikan bahwa

sebagai salah satu upaya mengendalikan kekuatan intelektual (sipil) melalui

sebuah lembaga. Tentu saja pengertian ini sangat bertentangan dengan hakekat

cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif tetapi diikat dalam suatu

wadah yang bersifat ideologis.

Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Selama ini

militer telah kehilangan kewibawaannya dimata masyarakat yang disebabkan

oleh kejanggalan penanganan pada berbagai kasus.

Kekuatan politik

1. Defenisi Kekuatan Politik

Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan pengaruh

didalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala

sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik

terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak

terorganisir. Kumpulan dari orang-orang yang peduli pada isu-isu yang ada,

maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan

berinteraksi satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama.

21

Kekuatan politik sangat berperan didalam sistem politik di Indonesia. Ada

banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan

menonjol hanya beberapa saja. Kekutan-kekutan politik tersebut adalah TNI atau

ABRI, POLRI, Organisasi Kecendekiaan, Lembaga-lembaga Pendidikan,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Organisasi Penelitian, kekuatan

politik yang tersebar di daerah-daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis

pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), Buruh dan Pekerja, Mahasiswa, Partai-

partai politik, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di

Indonesia. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu.

Semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli

dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto.

Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, rezimnya

akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi

penopang pemerintahan pimpinannya. Ketika itu kabinet pemerintahan terpecah

belah, DPR menarik dukungannya bahkan sampai memintanya mengundurkan

diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadi tidak

tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menanamkan

modal di Luar Negeri, selain itu militer sedang dihadpakan dengan oleh konflik

internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik

tersebut harus benar-benar diperhatikan dalam membentuk pemerintahan, bukan

berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar

dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan.

2 Militer sebagai Kekuatan Politik Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar

dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya

dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian

bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi

menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi

Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI

akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

22

ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan

Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan

panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama,

kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak dibidang keamanan dan

pertahanan di Indonesia.

Dalam masa Orde Baru dimana kepeminpinan Soeharto, ABRI berperan

cukup sentral dalam kehidupan sosial-politik. Berdasarkan aturan perundang-

undangan yang ada, ABRI bukan hanya diperbolehkan, melainkan juga “bersama

kekuatan sosial-politik” lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan.

Dengan mengacu pada doktrin dwifungsinya, selain kekuatan pertahanan dan

keamanan (Hamkam), ABRI pun merupakan kekuatan sosial-politik. Dalam UU

No.20/1982 tentang Hankam, ABRI baru dinyatakan sebagai “kekuatan sosial”.

Namun lewat UU No.2/1982 mengenai prajurit ABRI, secara tegas

disebutkan ABRI merupakan “kekuatan politik” juga disamping sebagai kekuatan

hankam. Atas dasar legalitas diatas, dalam tiga masa tiga puluh tahun terakhir ini,

ABRI telah menjadi kekuatan penting dalam kepolitikan Orde Baru. Bersumber

pada aspek legal empiric, ABRI baik secara kelembagaan maupun individual

terlibat dalam berbagai kegiatan. Pertama, Salah satu pilar Orde Baru adalah

duduknya ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Meski bukan partai politik,

kehadiran ABRI dalam lembaga tersebut diwujudkan melalui pembentukan fraksi

tersendiri. Hal ini menurut penidiri Orde Baru, kehadiran militer dalam lembaga

legislative tersebut dimaksudkan untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan

bahkan pencegah bagi niat partai politik unutk melakukan tindakan yang

mengancam jalanya pemerintahan. Sebagai kesatuan stabilitas, ABRI akan selalu

berusaha mencegah keinginan politisi sipil yang berkeinginan melakukan

perubahan UUD serta dasar Negara RI. Kedua, Sebagai stabilisator dan

dinamisator pula kehadiran ABRI dalam politik diwujudkan melalui Golongan

Karya. Demi menjamin terselenggaranya demokrasi di satu pihak dan peningkatan

efektifitas pelaksanaan pembangunan dipihak lain, para konseptor politik Orde

Baru berusaha melahirkan sebuah kekuatan politik yang dominan. Dengan

demikian, perimbangan kekuatan antarpartai harus ditiadakan, karena akan

23

mengganggu proses pengambilan keputusan yang memihak pembangunan. Oleh

karena itulah ABRI harus berperan didalam lembaga legislative, baik dipusat

maupun daerah. Dengan memberi dukungan pada salah satu kekuatan politik

dalam hal ini Golkar, tujuan pembentukan kekuatan mayoritas dalam lembaga

perwakilan rakyat akan tercapai. Rasanya semua paham bahwa kemenangan

Golkar dalam enam pemilu Orde Baru terutama sekali didukung peran ABRI

didalamnya. Ketiga, ABRI pun hadir bukan hanya dilembaga legislative, juga di

ekssekutif. Baik yang sudah purnawirawan maupun ABRI aktif tidak sedikit yang

memperoleh jabatan kunci dipemerintahan pusat maupun daerah. Pada masa lalu

bahkan cukup banyak perwira ABRI yang ditugaskaryakan menjadi duta besar

dihampir semua Negara penting didunia ini. Keempat, Dalam rangka mendukung

ABRI dan kesejahtraan anggotanya presiden Soeharto pun memberikan banyak

kesempatan pada keluarga ABRI untuk aktif berbisnis. Mulai dari pengelolaan

hak pengusahaan hutan sampai pelayanan angkutan udara, banyak yang

menggunakan nama ABRI. Keterlibatan didalam bisnis ini dimaksudkan untuk

lebih mengikat ABRI kedalam struktur politik yang berlaku saat itu. Meski diakui

ABRI merupakan alat Negara dan idelogi perjuangannyapun “dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat”, karena mendapatkan manfaat ekonomi dari penguasa

politik yang ada, secara tidak langsung ABRI harus mendukung kebijakan politik

penguasa. Kelima, Selain tugas-tugas kekaryaan dan usaha ekonomi seperti diatas

ABRI pun aktif dalam memerankan fungsi modrenisasi didaerah tertinggal, ABRI

masuk desa, dan lain-lain barulah contoh mutahir dari perbantuan tersebut. Disana

peran-peran ABRI sebagai dinamisator diwujudkan dengan bertugas sebagai

guru,penyuluh masyarakat. Yang pasti karena kadar disiplin dan keseragamannya,

banyak anggota dan kesatuan ABRI yang ditempatkan didaerah terpencil unutk

mendorong proses pembangaunan. Karena petimbangan keamanan, hanya

anggota ABRI-lah yang paling mungkin bertugas didaerah rawan keamanan. Oleh

karena itu begitu lengkapnya keterlibatan ABRI dalam masalah-masalah non-

militer, ada kecurigaan bahwa ABRI telah menguasai lahan kelompok lain. Meski

pengertian Dwifungsi sebenarnya bukanlah kekaryaan, karena dalamnya

kehadiran TNI pada masalah sosial-politik, perluasan peran tersebut telah

ditafsirkan sebagai peruwujudan yang sesungguhnya dari dwiporsi Dahulu

24

Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI

dalam pemerintahan untuk ikut membina Negara tanpa ada niatan untuk

memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih

menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai

soal keamanan dan pertahanan Negara saja tetapi disetiap permasalahan yang

muncul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai

konsep ‘Jalan Tengah’.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang

kurang kuat, kekuatan ARBI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam

mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era

Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat Dwi-fungsi ABRI

bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahanan dan

keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian

diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun

1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta

dicantumkannya fungsi ABRI asebagai‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No.

20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya

pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwi-fungsi ABRI ini, diperkukuh

kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD

1945. Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21

mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30

mengenai hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha membela Negara39

kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak

ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988

tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas

bahwa ABRI mempunyai peran Dwi-fungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-

keamanan dan sosial-politik.

Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang

posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan,

pemerintah mendukung sifat dwi-fungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa

bergerak tidak hanya dibidang hankam tapi juga bidang sosial-politik terutama

25

setelah diperkukuh melalui berbagai Undang-Undang. Peran ABRI dalam bidang

hankam tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI

menjadi salah satu faktor pendukunga yang kuat ketika Indonesia

memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu. Ketika itu namanya memang

belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain

bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang hankam adalah ketika pemberontakan

PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI

juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan

pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan

konflik-konflik di negara-negara tersebut. Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI

diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-

ruler. Undang-undang mengenai dwi-fungsi ABRI memudahkan para anggotanya

untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam

pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara

informal. Selain jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik

tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi

pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari

kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan

bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang

formal maupun informal.

Setelah semuanya berjalan cukup lama, kelamaan sifat Dwi-fungsi ABRI

ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsiABRI.

Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas

para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas. Karena dapat

bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhuan mengenai sifat Dwi-fungsi

dalam Undang-Undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama

dari sisi Birokrasi kepemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-

divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga

yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat

semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya

ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara. namun

26

yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes

atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali

menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan

yang lebih halus terlebih dahulu. Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan

seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena

ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya.

ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang

bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara.

Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI

Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok

antara menjalankan kewajiban - atau lebih tepatnya membela majikannya -

dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi

masyarakat.ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat

untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya.

Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik

ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin Dwi-

fungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan

masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demo

yang bermaksud untuk menumbangkan peran Dwifungsi ABRI.

3 Peran Militer dalam Keamanan dan Politik

Pada masa pemerintahan Soeharto, militer terkenal dengan nama

Dwifungsi ABRI yang mempunyai peran dalam proses politik dan keamanan,

maka dari itu militer mempunyai hak dalam masuk wilayah-wilayah sipil.

Kekuasaan militer seperti struktur dalam sistem politik yang ada di masyarakat.

Militer juga mempunyai struktur yang jelas antara lain BABINSA, KODAM,

KOREM yang mempunyai hak mengontrol pemerintahan sipil yang dianggap

makar terhadap pemerintahan. Kadang kala para militer dan para pemimpin

militer menduduki kedudukan strategis seperti, Bupati, Lurah, Camat dan lain-

lain. Dalam hal ini juga proses militerisasi militer mulai masuk ke wilayah sipil,

sipil dengan watak militeristik seperti, menyelesaikan konflik dengan kekerasan,

anti dialog.

27

Negara militer adalah aliran paling kuat antara tiga aliran lainnya. Dengan

format Negara militer, karena militer mendominasi seluruh lembaga pengambil

keputusan baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Soeharto mengelola konflik

yang terjadi di tubuh militer. Konflik laten yang terjadi selama kekuasaan Jenderal

Soeharto, adalah antara Soeharto dan Ali Murtopo sebagai promoter pada awal

tahap kekuasaan soeharto. Setelah Ali Murtopo meninggal, dia direpresentasikan

oleh Jendral Beni Moerdani sebagai kader. Sejak saat itu, Soeharto mutlak

mengendalikan sistem politik yang ada , selama ini kanter yang didalami oleh Ali

Murtopo ambruk. Pada prinsipnya, Soeharto dan Moerdani itu satu, sampai saat-

saat terakhir tidak ada pernyataan-pernyataan Moerdani yang berlawanan dengan

Soeharto. Moerdani adalah tentara loyalitas, bila disuruh untuk menghabisi

mahasiswa atau Soeharto, dia akan memilih membunuh mahasiswa. Tetapi

kemudian muncul berbagai friksi antara Soeharto dan Moerdani. Penyebab

konflik yang mendasar antara Soeharto dan Moerdani adalah persoalan

kepentingan, salah satunya adalah kepentingan ekonomi.

Agar tidak terlalu ketergantungan dengan Beni Moerdani, Soeharto

mengangkat dan mempromosikan kelompok Soehartois yang mengedepankan

Wiranto dan kawan-kawan. Wiranto sebenarnya diposisikan sebagai putra

mahkota. Penonjolan Wiranto bukannya tanpa masalah. Karena Soeharto

menghadapi Prabowo Subianto, menantunya, yang sama-sama berambisi menjadi

putra dan berambisi menduduki jabatan tinggi. Karena tidak ada persaingan dalam

perpolitikan.

Proses kekuasaan sentralistik memang tidak mulus pada awalnya.

Memang terjadinya perebutan kekuasaan yang akibatnya kekuasaan militer dan

rezim militeristik dan birokrasi yang dikuasai oleh para kekuasaan yang korup.

Kekuasaan lawan politik direpresif kekuatan militer dan rezim diktator Soeharto,

kekuasaan legilatif, eksekutif dan yudikatif yang dikuasai oleh militer dan politik

di daerah yang dikontrol militer yang mempunyai tugas dan peran yang begitu

dominan dalam struktur masyarakat yang terpola dengan sentralistik. Persoalan ini

juga berkuasa selama 32 tahun yang membentuk watak dan karakter masyarakat

28

yang militeristik, maka pemahaman sipil yang merindukan oleh kemanan yang

dirindukan oleh masyarakat.

Kekuasaan yang menjadi ketakutan masyarakat merupakan momok yang

menjadi persoalan dari rezim Soeharto mengakibatkan krisis ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat, represifitas militer terhadap masyarakat yang

menyebabkan problem kebebasan masyarakat terbelenggu oleh kekuasaan

militeristik yang tidak memberikan kebebasan berpikir. Dari hal itu masyarakat

mulai melakukan pemberontakan atas ketidakadilan yang dilakukan pemerintah.

Kekuasaan rezim Soeharto mulai melemah akibat dari problem yang diakibatkan

pemerintah yang menimbulkan keresahan akibat pembangunan tidak merata,

urbanisasi desa kekota. Pemberontakan masyarakat mulai memanas dan militer

menarik dukungan dari kekuasaan yang despotic.

Kejatuhan Presiden memang tidak terlepas dari kondisi internal militer

yang pada saat itu mengalami perpecahan, yaitu antara Wiranto dan Prabowo

yang notabene adalah pendukung Soeharto. Ditambah dengan keyakinan yang

menjakiti masyarakat bahwa Seharto dan militer hanya dapat disingkirkan melalui

people power dan puncaknya adalah pemberontakan Mei 1998, yang memakan

korban jiwa dari rakyat sipil. Saat itu juga, menjadi waktu kekosongan

kekuaasaan para militer, tetapi tidak begitu saja militer melepaskan kekuasaannya.

Karena kepentingan militer dari sosio-politik menjadi kehidupan yang

memakmurkan. Seperti kasus-kasus militer menangani kerusuhan di daerah-

daerah yang rawan, militer pasti ikut di dalam yang menjadi super hero atau

pahlawan dalam menyelesaikan, padahal kepentingan militer sebagai aparat yang

menjaga modal dan perusahan menjadi perjalanan sejarah militer Indonesia

menjadi kepentingannya sebagai asset yang empuk oleh para perwira militer.