slopefailure-tenggarong

9
Kegagalan lereng (slope failure) studi kasus : Jalan antara Samarinda –Tenggarong Tommy Ilyas Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta ABSTRAK: Timbunan tanah (embankment) yang cukup tinggi ( lebih dari 5 meter) dengan lereng yang memadai seringkali dianggap cukup stabil untuk menahan beban jalan diatas timbunan tersebut. Anggapan bahwa jika menggunakan tanah merah yang memiliki undrained shear strength cukup tinggi dan dipadatkan dengan menggunakan alat berat dipadatkan lapis demi lapis, kestabilan lereng timbunan dianggap telah terpenuhi. Pada studi kasus ini diperlihatkan anggapan tersebut ternyata keliru dan kegagalan lereng terjadi pada saat hujan yang lebat dan intens terjadi. Kata Kunci : kegagalan lereng ABSTRACT: Embankment costruction with height more than 5 meter and slope is commonly used for road construction. The perception of using laterite (clay) soil with stiff undrained shear strength and compacted layer by layer caused safe slope stability. However with the height of embankment more than 5 meter easyly found the slope failure due to heavy rainfall. Keywords : slope failure 1 PENDAHULUAN Membangun konstruksi jalan raya seringkali dilakukan dengan memotong dan menimbun dengan menggunakan timbunanan tanah (cut and fill) dengan ketinggian yang cukup tinggi. Tanah merah atau dikenal dengan laterite soil merupakan material yang dipilih sebagai bahan timbunan karena memiliki undrained shear strength yang tinggi. Namun untuk kontruksi timbunan yang cukup tinggi dan lebih besar dari 5 meter harus didisain dengan baik. Seringkali para perancang menganggap dengan memadatkan tanah lapis per lapis serta menbuat kemiringan lereng yang cukup ( lebih besar 45 0 ) sudah merasa bahwa konstruksi sudah memenuhi syarat. Jika terjadi hujan yang dapat mengubah besaran undrained shear strength maka dengan mudah terjadi longsoran yang diawali pada lereng. Pada konstruksi jalan antara Samarinda dan Kutai-Tenggarong penggunaan cut and fill sepanjang lebih kurang 30 km. Struktur jalan menggunakan rigid pavement (beton) dengan ketebalan 30 cm yang berdiri diatas tanah cut atau fill. Kondisi jalan menggunakan 4 lajur (arus datang dan balik terdiri dari 2 arah) Struktur tanah timbunan untuk membentuk badan jalan dilakukan dengan melakukan pemadatan dengan alat berat. Namun dari pengamatan dilapangan tidak nampak digunakan perkuatan tanah embankment. Hasil pengamatan penulis setelah setahun kemudian terlihat kegagalan lereng pada beberapa titik yang cukup membahayakan trafik. Sehingga pada beberapa daerah failure dilakukan penutupan 2. KONDISI TANAH Tanah timbunan menggunakan tanah lempung berwarna kemerahan yang memiliki nilai propertis, γ wet 18-19 kN/m 3 , kohesi c 25 0 - 40 0 , G s = 2.6 3. HASIL PENGAMATAN Gambar dan data yang akan disajikan diambil pada tahun 2003 dan 2004. Bulan April tahun 2003 sebagian jalan masih dalam tahap konstruksi namun sudah terjadi failure pada beberapa lokasi sepanjang jalan Kutai-Tenggarong. Gambar 1, 2, 3, 4 dan 5 diambil pada tahun 2003 dimana sebagian jalan sudah selesai dan sebagian lagi masih dalam pembangunan. Terlihat pada Gambar 3 dan 4 terjadi kegagalan lereng yang menghabiskan badan jalan. Ketinggian embankment mencapai hampir 20 meter dan tidak digunakan perbaikan atau perkuatan tanah yang memadai. Failure terjadi pada saat hujan turun yang mengakibatkan terjadi kenaikan permukaan air tanah, air meresap kedalam tanah dan bergerak melalui tanah yang tidak jenuh (unsaturated soils) yang pada akhirnya terjadi slip yang mengakibatkan sebagian badan jalan runtuh. Terlihat pada gambar 3 dan 4 hampir 1

Transcript of slopefailure-tenggarong

Page 1: slopefailure-tenggarong

Kegagalan lereng (slope failure) studi kasus : Jalan antara Samarinda –Tenggarong

Tommy Ilyas Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK: Timbunan tanah (embankment) yang cukup tinggi ( lebih dari 5 meter) dengan lereng yang memadai seringkali dianggap cukup stabil untuk menahan beban jalan diatas timbunan tersebut. Anggapan bahwa jika menggunakan tanah merah yang memiliki undrained shear strength cukup tinggi dan dipadatkan dengan menggunakan alat berat dipadatkan lapis demi lapis, kestabilan lereng timbunan dianggap telah terpenuhi. Pada studi kasus ini diperlihatkan anggapan tersebut ternyata keliru dan kegagalan lereng terjadi pada saat hujan yang lebat dan intens terjadi. Kata Kunci : kegagalan lereng

ABSTRACT: Embankment costruction with height more than 5 meter and slope is commonly used for road construction. The perception of using laterite (clay) soil with stiff undrained shear strength and compacted layer by layer caused safe slope stability. However with the height of embankment more than 5 meter easyly found the slope failure due to heavy rainfall. Keywords : slope failure

1 PENDAHULUAN

Membangun konstruksi jalan raya seringkali dilakukan dengan memotong dan menimbun dengan menggunakan timbunanan tanah (cut and fill) dengan ketinggian yang cukup tinggi. Tanah merah atau dikenal dengan laterite soil merupakan material yang dipilih sebagai bahan timbunan karena memiliki undrained shear strength yang tinggi. Namun untuk kontruksi timbunan yang cukup tinggi dan lebih besar dari 5 meter harus didisain dengan baik. Seringkali para perancang menganggap dengan memadatkan tanah lapis per lapis serta menbuat kemiringan lereng yang cukup ( lebih besar 450) sudah merasa bahwa konstruksi sudah memenuhi syarat. Jika terjadi hujan yang dapat mengubah besaran undrained shear strength maka dengan mudah terjadi longsoran yang diawali pada lereng. Pada konstruksi jalan antara Samarinda dan Kutai-Tenggarong penggunaan cut and fill sepanjang lebih kurang 30 km. Struktur jalan menggunakan rigid pavement (beton) dengan ketebalan 30 cm yang berdiri diatas tanah cut atau fill. Kondisi jalan menggunakan 4 lajur (arus datang dan balik terdiri dari 2 arah) Struktur tanah timbunan untuk membentuk badan jalan dilakukan dengan melakukan pemadatan dengan alat berat. Namun dari pengamatan dilapangan tidak nampak digunakan perkuatan tanah embankment. Hasil pengamatan penulis setelah setahun kemudian

terlihat kegagalan lereng pada beberapa titik yang cukup membahayakan trafik. Sehingga pada beberapa daerah failure dilakukan penutupan

2. KONDISI TANAH

Tanah timbunan menggunakan tanah lempung berwarna kemerahan yang memiliki nilai propertis, γwet 18-19 kN/m3, kohesi c 250- 400, Gs = 2.6

3. HASIL PENGAMATAN Gambar dan data yang akan disajikan diambil pada tahun 2003 dan 2004. Bulan April tahun 2003 sebagian jalan masih dalam tahap konstruksi namun sudah terjadi failure pada beberapa lokasi sepanjang jalan Kutai-Tenggarong. Gambar 1, 2, 3, 4 dan 5 diambil pada tahun 2003 dimana sebagian jalan sudah selesai dan sebagian lagi masih dalam pembangunan. Terlihat pada Gambar 3 dan 4 terjadi kegagalan lereng yang menghabiskan badan jalan. Ketinggian embankment mencapai hampir 20 meter dan tidak digunakan perbaikan atau perkuatan tanah yang memadai. Failure terjadi pada saat hujan turun yang mengakibatkan terjadi kenaikan permukaan air tanah, air meresap kedalam tanah dan bergerak melalui tanah yang tidak jenuh (unsaturated soils) yang pada akhirnya terjadi slip yang mengakibatkan sebagian badan jalan runtuh. Terlihat pada gambar 3 dan 4 hampir

1

Page 2: slopefailure-tenggarong

satu jalur perkerasan dan lapisan penutup perkerasan turut tergelincir. Padahal diatas

perkerasan yang ada akan dibuat concrete rigid pavement.

.

Gambar 1 Tahapan kontruksi permukaan Gambar 2 Lereng bertingkat

Gambar 3 Kegagalan lereng sepanjang 30m Gambar 4 Kegagalan lereng sepanjang 30m

Gambar 5 Penurunan muka jalan

2

Page 3: slopefailure-tenggarong

Gambar 5 menunjukkan terjadi penurunan muka jalan yang diakibatkan oleh terjadinya penurunan pada badan jalan. Biasanya dikatagorikan sebagai ‘rotational slide’ (Skempton and Huchkinson ,1969).

3

Fenomena efek dari air hujan terhadap lereng

digambarkan pada Gambar 6. Seperti terlihat pada Gambar 6 permukaan phreatic terbentuk oleh aliran paralel ke rintangan drainase (drainage barrier). Untuk hujan yang intens, muka air tanah naik dengan cepat kepermukaan tanah karena tanah kondisinya mendekati kondisi jenuh (near-saturated condition) dalam zona tidak jenuh. Kondisi ini menyebabkan kenaikan pore pressure secara tiba-tiba yang gilirannya akan menurunkan tahanan geser tanah. Pada akhirnya faktor keamanan lereng menurun dan menyebabkan keruntuhan permukaan ( surficial failures). Mekanismenya infiltrasi air meyebabkan terjadinya negative pore pressure pada unsaturated soils. Terjadi penurunan tegangan efektif pada permukaan tanah potensial sehingga terjadi penurunan kekuatan tanah sampai pada kondisi kesesimbangan tidak dapat dipertahankan.

Setahun kemudian penulis melihat kembali konstruksi jalan tersebut yang sudah selesai seluruh perkerasan rigid pavement nya. Hasil pengamatan memperlihatkan lereng embankment sudah dipenuhi oleh rumput liar maupun tanaman semak. Seperti pada saat awal kontruksi terjadi lagi beberapa kegagalan lereng seperti yang diperlihatkan pada gambar 7, 8, dan 9. Gambar 7 menunjukkan longsoran terjadi sesuai dengan fenomena yang telah diuraikan diatas. Longsoran awalnya terjadi pada permukaan dan meluas sampai badan jalan. Gambar 8 menunjukkan sudah dibuat drainase pada bahu jalan namun karena tidak ada perbaikan lereng yang memadai maka longsoran pun terjadi pada saat hujan lebat yang intens.

Kondisi pada Gambar 3 yang diambil pada tahun 2003 diambil kembali potretnya pada Mei 2004 yang juga mengalami kelongsoran seperti terlihat pada Gambar 9. Kelongsoran terjadi setelah hujan yang cukup lebat dan dalam waktu yang cukup lama. Kembali kasus Brand 1985 terjadi pada lokasi Gambar 9 yang pada tahun 2003 belum mengalami kelongsoran. Kasus pada Gambar 10 dan potret close-up pada Gambar 11 memperlihatkan kondisi longsoran yang cukup parah dan menghawatirkan. Longsoran yang terjadi sudah mengikis badan jalan sehingga lapisan rigid pavement nya menggantung. Hal seperti ini amat membahayakan jika pada saat terjadinya longsoran ada trafik melintas diatasnya.

Kegagalan lereng dangkal sering terjadi selama atau sesudah hujan yang cukup intens. Karena kesulitan menentukan pore water pressure pada saat kegagalan lereng, prediksi kegagalan lereng dangkal masih merupakan pertimbangan dan panduan oleh ahli geoteknik. Seperti diuraikan diatas faktor utama yang mentriger kegagalan lereng pada jalan antara Samarinda-Tenggarong adalah air yang meresap kedalam tanah embankment yang mengakibatkan kenaikan pore water pressure secara tiba-tiba dan efek lanjutan nya adalah pegurangan kekuatan geser tanah. Mencegah masuknya air pada lereng maupun embankment merupakan hal yang sangat penting dan merupakan langkah yang pertama dalam mengurangi kegagalan lereng.

Gambar 6 Efek dari rainfall terhadap lereng (Brand 1985)

4. ANALISIS Untuk menganalisa kegagalan lereng pada lokasi yang diamati dilakukan analisis pada beberapa kasus pada Gambar 8 (Kasus1), Gambar 9(Kasus2) dan Gambar 10(Kasus3) Berdasarkan gambar-gambar tersebut di atas yang menggambarkan kondisi setelah kelongsoran pada 3 lokasi (Kasus 1-3), maka dibuat pemodelan kasus menggunakan program SLOPE/W sebagai berikut: Kasus 1

Bentuk lereng dua sisi dengan jalan raya di puncaknya.

Kemiringan lereng sekitar 50° Jalan pada tikungan memiliki kemiringan 2° Lebar jalan (4 lajur 2 arah) + bahu jalan +

median = 18 meter Ketinggian lereng sekitar 15 meter Soil properties mengambil asumsi sbb:

Soil 1 : Silty Sand

Unit weight: 19 kN/m3 Cohession: 20 kN/m2 φ : 34°

Soil 2 : Clay Unit weight: 18 kN/m3 Cohession: 20 kN/m2

Page 4: slopefailure-tenggarong

4

φ : 40° Hasil iterasi dengan SLOPE/W menghasilkan

keluaran seperti terlihat pada Gambar 12. Didapat hasil iterasi berupa permukaan gelincir lereng yang ditandai dengan bagian berwarna hijau (a dan b) pada saat keluaran permukaan air tanah setinggi 5 meter dan 8 meter dari kaki lereng. Nilai faktor keamanan (SF) pada saat muka air tanah setinggi kaki lereng angka factor keamanannya adalah 1,335. Faktor keamanan menurun seiring dengan naiknya muka air tanah

Garis merah adalah interpretasi permukaan setelah terjadi kelongsoran yang dilihat dari potret pada Gambar 9. Terlihat bahwa permukaan gelincir mendekati jarak sekitar 2.5 meter dari tepi lereng atau kira-kira sama dengan lebar bahu jalan yang runtuh. Pada Gambar 12a berikut ini diperjelas lagi mengenai gambar permukaan gelincir (warna hijau a dan b) dan kondisi tanah setelah longsor (warna merah), serta kondisi awal sebelum longsor (hitam). Tiga variasi muka air tanah digambarkan pada Gambar 12a. dan faktor keamanan untuk muka air tanah 5 meter dan 8 meter diatas kaki lereng berturut-turut 1,189 dan 0,952 Kasus yang kedua, propertisnya sama dengan tanah pada Kasus1, tetapi mempunyai penampang yang berbeda dengan Kasus 1, di mana pada Kasus 2 terdapat dua jalur jalan yang terpisah oleh lereng, dan pada bagian kirinya terdapat bukit. Lebar jalan masing-masing adalah 6 meter ditambah bahu jalan selebar 2.5 meter. Model serta hasil iterasi terlihat pada Gambar 13. Dari hasil simulasi model ini didapat angka faktor keamanan sebesar 1.448 pada muka air tanah 2 meter dibawah kaki lereng. Pada kondisi muka air tanah 5 meter dan 8 meter diatas kaki lereng faktor keamanan berturut-turut 1.289 dan 1.112 Untuk memperjelas tanah lereng setelah longsoran diperlihatkan pada Gambar 13a. Permukaan gelincir lebih kurang 3 meter dari tepi lereng. Hasil simulasi menunjukkan permukaan gelincir a dan b (warna hijau) terlihat hampir sama dengan permukaan longsor yang terjadi (warna merah)

Model penampang Kasus 3 (Gambar 10) sama dengan Kasus 1, perbedaannya pada Kasus 3 kedalaman salah satu lereng (sisi yang longsor) adalah sedalam kira-kira 20 meter. Sedangkan pada sisi lereng yang lain terdapat semacam bukit kecil. Lebar jalan sama dengan kondisi pada Kasus 1 yaitu 18 meter (2 arah 4 lajur + bahu jalan). Dari hasil iterasi diperoleh angka faktor keamanan sebesar 1,076 untuk muka air tanah dibawah kaki lereng dan menurun menjadi 1,076 dan 0,871 untuk muka air tanah 5 meter dan 11 meter diatas kaki lereng. Detail longsoran dapat dilihat pada Gambar 14a. Permukaan gelincir a dan b (warna hijau) adalah

hasil simulasi dan permukaan setelah longsor (warna merah) berjarak kurang lebih 3 meter dari permukaan lereng.

Dari hasil pemodelan ini terlihat faktor keamanan lereng berkisar antara 1,189 – 1,289 pada keadaan muka air tanah 5 meter diatas kaki lereng. Masih cukup aman jika tidak ada faktor eksternal seperti hujan lebat yang intens. Kegagalan lereng terjadi pada beberapa lokasi sepanjang jalan antara Samarinda-Tenggarong saat musim penghujan. Simulasi yang dilakukan dengan muka air tanah setinggi 8 meter diatas kaki lereng menunjukkan faktor keamanan menurun, angka faktor keamanannya menjadi 0,871 dan 0,952 pada Kasus 1 dan 3 dan 1.12 pada Kasus 2.

Pola kegagalan lereng pada Kasus 1, 2, dan 3 adalah rotational slip.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dari pengamatan yang dilakukan pada tahun 2003 dan 2004 sepanjang jalan Samarinda-Tenggarong terjadi kegagalan lereng yang berulang (setelah diadakan perbaikan) dan terjadi lagi di beberapa lokasi yang baru lagi. Melihat konstruksi embankment yang hanya menggunakan pemadatan tanah dengan lereng yang lebih besar dari 450 belum menjamin terjadinya kegagalan lereng. Pada saat hujan yang cukup intens terjadi kegagalan lereng dengan tingkatan kegagalan yang cukup parah. Perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan sebagai berikut: • Dilakukan perbaikan lereng dengan

menggunakan tanam-tanaman pelindung pada lereng embankment yang lebih kecil dari 5 meter dan membuat drainase pada kaki embankment

• Untuk embankment yang dengan tinggi antara 5-15 meter perlu dibuat lereng bertingkat dengan mengkombinasikan dengan tanam-tanaman pelindung. Juga drainase pada kaki embankment harus dibuat.

• Untuk lereng yang lebih tinggi dari 15 meter perlu dilakukan perbaikan khusus dengan melakukan perhitungan ulang terhadap faktor keamanan lereng dan melakukan perbaikan dengan menggunakan material bantu seperti geotekstil , dinding pengaman lereng maupun dinding penahan tanah..

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada Sdr Erly dan Geotechnical research group Jurusan Sipil Universitas Indonesia atas bantuannya dalam mempersiapkan tulisan ini.

Page 5: slopefailure-tenggarong

7. REFERENSI Abramson L.E., Thomas S.L., Sharma S., Boyce G.M., 2002. “Slope Stability and Stabilization Methods 2nd Edition” John Wiley and Sons.Inc., New York, 2002. Brand, E.W., 1982 “ Analysis and design in residual soil,” Proceedings of the ASCE Geotechnical Engineering Division Specialty Conference – Engineering and Construction in Tropical and Residual Soils”, Honolulu, Hawai, pp.89-141, January 11-15 Brand, E.W., 1985. “Geotechnical Engineering in Tropical Residual Soils”, Proceedings 1st

International Conference on Geomechanics in Tropical Lateritic and Saprolitic Soils, Brasilia, Vol.3, pp.23-91. Skempton, A.W and J.N.J.Hutchinson,1969. “Stability of Natural Slopes and Embankment Foundations,” 7th International Conference on soil Mechanics and Foundation Engineering”, Mexico City, State of the Art Vol., pp.291-340 _________ Slope/W Version 5.17.Copy right @1991-2003, Geoslope International, Ltd., Galgary, Alberta, Canada

Gambar 7 Kegagalan lereng terjadi pada jalan yang berbelok

Gambar 8 Lereng dengan saluran disamping badan jalan

5

Page 6: slopefailure-tenggarong

Gambar 9 Kegagalan lereng terjadi pada bulan Mei tahun 2004

Gambar 10 Kelongsoran terjadi dibawah konstruksi rigid pavement

Gambar 11 Close-up dari lokasi Gambar 10

6

Page 7: slopefailure-tenggarong

Gambar 12 Pemodelan dengan SLOPE/W untuk Kasus 1

Permukaan longsor

Gambar 12a Variasi kelonsoran dengan 3 kondisi MAT (Kasus 1)

Keterangan gambar: a. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 1, FS= 1.335 b. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 2, FS= 1.189 c. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 3, FS= 0.952

7

Page 8: slopefailure-tenggarong

Gambar 12 Pemodelan dengan SLOPE/W untuk Kasus 1

Permukaan longsor

Gambar 13 a Variasi kelonsoran dengan 3 kondisi MAT pada Kasus2

Keterangan gambar: a. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 1, FS= 1.448 b. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 2, FS= 1.289 c. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 3, FS= 1.112

8

Page 9: slopefailure-tenggarong

Gambar 14 Pemodelan dengan SLOPE/W untuk Kasus 2

Permukaan longsor

Gambar 14a Variasi kelonsoran dengan 3 kondisi MAT (Kasus 3) Keterangan gambar:

a. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 1, FS= 1.178 b. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 2, FS= 1.076 c. Kondisi keruntuhan pada posisi MAT 3, FS= 0.871

9