skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam
description
Transcript of skripsi trafficking menurut uu no 21 tahun 2007 menurut perspektif hukum pidana islam
i
TINDAK PIDANA TRAFFICKING
DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.Sy)
Pada Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Oleh :
Fenty Septrifianti
NIM : 1209306015
BANDUNG
2013 M / 1434 H
ii
ABSTRAK
Fenty Septrifianti : Tindak Pidana Trafficking dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut
Perspektif Hukum Pidana Islam.
Tindak pidana Trafficking merupakan tindak pidana yang sering menjadi pusat
perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana diketahui, bahwa trafficking adalah suatu bentuk
praktek kejahatan yang melanggar harkat martabat manusia, serta merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara
ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui tindak pidana Trafficking menurut
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. 2) untuk mengetahui
tindak pidana Trafficking menurut UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang menurut perspektif Hukum Pidana Islam. 3) unt0u
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis kualitatif
berbasis kepustakaan dengan sumber data primer UU No. 21 Tahun 2007. Sedangkan sumber
data sekunder berasal dari buku maupun sumber tertulis lainnya selain sumber primer yang
berhubungan dengan permasalahan aspek pidana dalam hukum pidana Islam. Analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif
Dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya
orang namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan
tindak pidana perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak
langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No.
21 Tahun 2007. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok yakni sanksi pidana
penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat.
Sedangkan dalam perspektif hukum Islam, pelaku dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang dapat
diterima hanya pelaku dalam bentuk orang dan tidak dapat menerima pelaku dalam bentuk
instansi. Dalam hal tindakan, tidak seluruh tindak pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 dapat
diterima oleh hukum pidana Islam. Tidak dapat diterimanya tindakan dalam UU No. 21
Tahun 2007 karena pada dasarnya tindakan yang dapat masuk ke dalam tindak pidana
menurut hukum Islam disesuaikan dengan akibat dan kelangsungan dari pelaku. Sedangkan
dalam sanksi, sanksi dalam UU No. 21 Tahun 2007 dapat diterima dalam hukum Islam
sebagai bentuk ta’zir namun tidak seluruhnya. Pada beberapa sanksi, khususnya yang
berkaitan dengan jarimah hudud dan qishash, maka sanksi dalam UU No. 21 Tahun 2007
tidak dapat diterima dalam hukum pidana Islam.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada kata
yang pantas diucapkan selain ucapan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Tindak Pidana Trafficking dalam Undang-Undang No. 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian
dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam prodi Hukum Pidana Islam di
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak dapat berhasil dengan
baik tanpa adanya bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang Tuaku, Mamah N. Latifah dan Ayah Supendi. Serta kedua tetehku, Teh
Uwind dan Teh Santi. Terimakasih atas kasih sayang yang tak terhingga, do’a yang tak
pernah putus dan pengorbanan yang amat sangat besar yang tidak akan pernah bisa
terbalaskan. Karya ini penulis persembahkan untuk kalian, keluargaku..
2. Bapak Prof. Dr. H. Oyo Sunaryo Mukhlas, M.Si selaku dekan di fakultas Syari’ah dan
Hukum.
3. Bapak Dr. Syahrul Anwar, M.Ag selaku ketua jurusan Hukum Pidana Islam, serta Bapak
Jaenudin, M.Ag selaku ketua jurusan. Terimakasih atas dukungannya dalam penyelesaian
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Atep Mastur selaku pembimbing I dan Bapak Iman Faturrachman, M.Ag.
selaku pembimbing II. Terimakasih atas bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak/Ibu Dosen pengajar prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
yang telah memberi bekal ilmu dan pengetahuan. Serta Staf karyawan Fakultas Syari’ah
dan Hukum atas pelayanannya.
6. Saudara sekamar dan senasib, Aat Kania. Terimakasih sudah menemani dan setia
mendengarkan keluh kesah penulis, baik masalah pribadi ataupun dalam penyelesaian
skripsi ini.
iv
7. Orang yang paling berjasa, A Hoed. Terimakasih atas segala waktu, tenaga dan pikiran
yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat yang baik hati, Fery, Erik, Kamal, Ickbal, A Fahzi, A Ehek. Terimakasih
atas segala support yang telah diberikan.
9. Sahabat-sahabatku, See’creat. Ebon, Abenk, Inu, Abey. Terimakasih atas sepetan-sepetan
yang memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa
penulis paparkan satu persatu.
Semoga semua amal dan kebaikannya yang telah diperbuat akan mendapat imbalan
yang lebih baik lagi dari Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat. Amin…
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Bandung, Desember 2013
Penulis,
Fenty Septrifianti
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
A. Latar Belakang ................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................12
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................12
D. Kegunaan Penelitian ......................................................................13
E. Kerangka Pemikiran ......................................................................14
F. Langkah-langkah Penelitian ..........................................................19
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN MANUSIA (TRAFFICKING) ............................21
A. Deskripsi Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam .............................................21
2. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam ...........................23
3. Unsur dan Syarat Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam 37
B. Deskripsi Aspek Pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007
1. Sejarah Singkat Undang-Undang No.21 Tahun 2007 .............38
2. Substansi Bab Undang-Undang No.21 Tahun 2007 ..............40
3. Aspek Pidana Undang-Undang No.21 Tahun 2007 ................43
vi
BAB III TINDAK PIDANA TRAFFICKING DAN TINJAUAN NILAI
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21
TAHUN 2007........................................................................................52
A. Tindak Pidana Trafficking menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-
Undang No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang ...52
B. Nilai Aspek Pelaku tindak Pidana dalam Undang-Undang No.21
Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .....................66
C. Nilai Aspek Perbuatan (Tindakan) Pidana dalam Undang-Undang
No.21 Tahun 2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .........71
D. Nilai Aspek Sanksi pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007
dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .........................................84
BAB IV PENUTUP ............................................................................................93
A. KESIMPULAN .............................................................................93
B. SARAN ........................................................................................95
DAFTAR PUSTAKA
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi,
manusia dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan
hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya manusia mampu
mendapatkan kebutuhan yang dinginkan. Praktek jual beli memang menjadi hal yang
penting dalam kehidupan manusia di zaman modern ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Baik itu kebutuhan primer ataupun sekunder.
Jual beli adalah kegiatan dimana ada penjual, pembeli serta barang yang diperjual
belikan. Islam mengatur kegiatan jual beli dengan adanya syarat-syarat yang harus
diperhatikan dalam prakteknya, terutama syarat untuk barang yang diperjual belikan.
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, para ulama membagi jual beli menjadi dua macam,
yaitu jual beli yang sah (sahih) dan jual beli yang tidak sah. Jual beli yang sah adalah jual beli
yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak
sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli
menjadi rusak (fasid).1
Beberapa tahun terakhir ini, banyak masyarakat yang menyalahgunakan praktek jual
beli dengan memperjual belikan manusia terutama perempuan dan anak-anak yang sering
dikenal dengan istilah “Trafficking”. Hal ini tentu menjadi hal yang patut diperhatikan,
mengingat manusia adalah makhluk paling mulia yang diciptakan Allah SWT yang pada
1 Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001,. hlm. 91-92
viii
hakekatnya mempunyai hak untuk merdeka. Praktek perdagangan manusia ini tentu suatu
kegiatan yang diharamkan oleh Islam.
Trafficking adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.2
Menurut GAATW, 1991 ( Global Alliance Against Traffic in Women ), trafficking
adalah segala usaha yang meliputi tindakan yang berhubungan dengan perekrutan,
transportasi di dalam atau melintasi perbatasan ( wilayah suatu Negara ), pemberian,
penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan
penipuan dan tekanan, termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan
kekuasaan atau lilitan utang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang
tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya seperti pekerjaan
domestik, seksual, atau reproduktif, dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi
seperti perbudakan, dalam suatu lingkungan yang asing dari tempat tinggalnya semula
dengan orangtuanya atau bukan ketika penipuan itu terjadi, tekanan, atau terkena lilitan
yang pertama kali.3
Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa istilah “perdagangan“ (trafficking)
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I
pasal 1 3 L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru, Trafiking perempuan dan anak, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 95
ix
a. Rekrutmen dan /transportasi manusia;
b. Diperuntukkan bekerja atau jasa /melayani;
c. Untuk keuntungan pihak yang memperdagangkan.
Kegiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga
kerja dengan ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara
menipu, memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-iming) korban,
menyalahgunakan kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan,
keingintahuan, kepolosan, ketidakberdayaan, dan tidak adanya perlindungan terhadap
korban, atau dengan memberikan atau menerima pembayaran atau imbalan untuk
mendapatkan izin/persetujuan dari orang tua, wali, atau orang lain yang mempunyai
wewenang atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga
(mengeksploitasi) korban.4
Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan
merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena tingkat terjadinya
kasus trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini
memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana
yang diketahui bahwa Trafficking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan
kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial,
politik, kultural dan biologis.
Manusia mempunyai hak bebas dan tidak dapat diperlakukan layaknya barang atau
benda yang berada di bawah penguasaan manusia lain yang juga mempunyai harkat dan
martabat yang sama. Pada dasarnya trafficking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang
4 Irwanto, dkk, Perdagangan Anak di Indonesia, ILO, Jakarta, 2001, hlm. 9.
x
antara lain kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya
pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia mengakibatkan
banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan iming-iming untuk bekerja di luar negeri
dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri
yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena desakan ekonomi yang sangat tinggi maka
terkadang mereka tidak terlalu peduli akan kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan
penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar
negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana
pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan
pekerja seks komersial dan bahkan ada yang dieksploitasikan untuk menjadi budak.
Adapula faktor yang sering menjadi penyebabnya yaitu faktor sosial budaya. Orang
tua menganggap bahwa anak merupakan hak milik yang harus melakukan kehendak orang
tua. Setiap anak harus dan tidak boleh menentang kemauan dari orang tua, padahal belum
tentu semua pemikiran orang tua itu benar. Masalah lain yang sering timbul dari
perdagangan orang khususnya bayi adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang
semakin marak di Indonesia. Banyak pemuda pemudi yang melakukan hubungan suami istri
di luar nikah yang mengakibatkan terjadinya kehamilan diluar nikah. Terhadap bayi yang
lahir tersebut biasanya karena kedua orang tuanya tidak memliki status perkawinan yang
jelas dan untuk menghindari aib di masyarakat maka banyak dari orang tua yang memiliki
bayi diluar pernikahan menjual bayi tersebut kepada orang lain yang bersedia membeli bayi
tersebut. Padahal belum tentu sang pembeli bayi tersebut berniat menjadikan bayi tersebut
sebagai anak angkatnya.
Kesemena-menaan terhadap perempuan sudah terjadi di tanah Arab sebelum
adanya Islam yaitu pada masa Jahiliyah, dimana setiap bayi perempuan yang lahir harus
xi
dibunuh dengan dikubur hidup-hidup dikarenakan anak perempuan di kelompok mereka
akan mengurangi debit air yang sangat terbatas, tidak produktif secara ekonomis, takut
miskin dan malu bila kelak kawin dengan lelaki yang tidak setara dalam kesukuan kelompok
(kabilah) mereka. Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 59:5
3“u‘≡ uθ tGtƒ z ÏΒ ÏΘöθ s)ø9 $# ÏΒ Ï þθ ß™ $ tΒ u�Åe³ç0 ÿϵ Î/ 4 …çµ ä3Å¡ôϑムr& 4’ n?tã Aχθ èδ ôΘ r& …çµ ”™ß‰tƒ ’Îû É>#u�—I9 $# 3 Ÿωr& u !$y™
$ tΒ tβθ ßϑä3øts† ∩∈∪
“Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Manusia mempunyai hak untuk hidup merdeka dan tidak berhak untuk diperbudak
karena manusia mempunyai akal pikiran dan hati nurani yang dikaruniakan Allah SWT. Maka
dari itu, untuk memberantas tindakan-tindakan manusia pada zaman jahiliyah yang
bertindak semena-mena terhadap perempuan, turunlah ketentuan Allah SWT. Ketentuan itu
tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Nur ayat 33:6
É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ
ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ
(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù
©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪
5 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 410.
6 Ibid, hlm. 549
xii
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu)”.
Dalam surat An-nur ayat 33 tersebut, menurut Hussen Muhammad mengandung
empat hal, yaitu: Pertama, kewajiban melindungi mereka yang dilemahkan yaitu budak
perempuan. Kedua, kewajiban memberi ruang kebebasan atau kemerdekaan kepada orang-
orang yang terperangkap dalam praktik perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-
hak ekonomi mereka. Keempat, haramnya mengeksploitasi integritas tubuh perempuan
untuk kepentingan-kepentingan duniawi (ekonomi,kekuasaan, dan kebanggaan).7
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairah
Radiyallahu ‘anhu:
ة أ�� �� ���� ا���� �� ��� هللا ر�� ھ�� ���� � -,+* أ(� ')'& هللا $�ل :$�ل و!
ا أ 3 ا!@; ور23 �� 6+ ح◌را>;:2 ��ع ور23 78ر 6 �� أ45� ر23 م& ا0��� �/م �3
/@A< ��+� أ3ه �BC و� >
7 L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru. op.cit., hlm. 99
xiii
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: Allah berfirman: “Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari
Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua:
seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga:
seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu
akan tetapi dia tidak membayar upahnya.”
Islam sangat menjunjung tinggi harkat martabat manusia sebagai makhluk yang
paling mulia dihadapan Allah SWT. Manusia terutama perempuan dan anak-anak adalah
makhluk yang mempunyai hak untuk hidup merdeka dan tidak pantas untuk diperlakukan
semena-mena oleh siapapun dan dimanapun. Namun, semakin modern zaman dan semakin
meningkatnya kebutuhan hidup dewasa ini, mengakibatkan maraknya tindakan
perdagangan manusia yang dalam prakteknya dapat menghasilkan uang yang berlipat
ganda.
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari tindak perdagangan orang dalam lingkup
internasional, maka PBB mengeluarkan Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking
In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi) pada tahun 2000. Dengan adanya protokol tersebut, Indonesia mengeluarkan
undang-undang tentang tindak pidana Trafficking dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Setelah undang-undang
tersebut diberlakukan selama dua tahun, kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan
xiv
undang-undang pengesahan terhadap Protocol To Prevent, Suppress And Punish Trafficking
In Persons, Especially Women And Children, Supplementing The United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan
Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi) dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol
To Prevent, Suppress And Punish Trafficking In Persons, Especially Women And Children,
Supplementing The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama
Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Pengertian perdagangan orang dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang sebagaimanan tertulis dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat
walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.8
8 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking),
Bandung: Fokusmedia, 2009, hlm. 3
xv
Pengertian dari tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang tersebut
dituliskan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai berikut “Tindak pidana perdagangan orang adalah
setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
ditentukan dalam undang-undang ini”9
Sedangkan maksud dari eksplotasi sebagai tujuan dari tindak pidana perdagangan
orang adalah:
Pasal 1 ayat (7):
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplatasikan organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.
Pasal 1 ayat (8)
Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh yang lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi
tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Ketentuan yang terkandung dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO berbeda jika
disandarkan pada hukum pidana Islam. Satu misal adalah dalam lingkup eksploitasi seksual
dalam konteks hukum Islam dapat dikenakan sanksi pidana dengan dasar jarimah hudud.
9 Ibid.
xvi
Konsekuensi dari penyandaran ini tentunya adalah adanya pemberlakuan hukum yang
disesuaikan dengan ketentuan hudud dalam hukum pidana Islam. Namun di sisi lain,
terdapat juga persamaan dengan konsep hukum pidana Islam, khususnya yang
berhubungan dengan tindak pidana selain eksploitasi seksual. Persamaan tersebut tidak lain
adalah adanya kebijakan majelis hakim sebagai penentu hukuman bagi pelaku tindak pidana
perdagangan orang. Hal ini sejalan dengan konsep jarimah ta’zir dalam hukum pidana Islam.
Pada dasarnya esensi tindak pidana perdagangan orang dan sanksinya dalam UU No.
21 Tahun 2007 tentang TPPO terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang
TPPO sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi
orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
Dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO di atas dapat diketahui bahwa
tindak pidana perdagangan orang pada dasarnya merupakan tindakan sebagian atau
keseluruhan dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, baik
mengakibatkan eksploitasi maupun tidak. Aspek sebagian dari tindakan yang dimaksud
dalam pasal tersebut dijabarkan dalam beberapa pasal yang lain seperti Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12. Sedangkan dari aspek sanksi apabila terjadi atau tidak
terjadinya eksploitasi secara utama ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan
xvii
bahwa sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku apabila terjadi eksploitasi.
Namun apabila tidak terjadi eksploitasi yang berarti tidak terselesaikannya tindak pidana
perdagangan orang, maka sanksinya dijelaskan dalam Pasal 9 yang disebutkan sebagai
berikut:
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Berdasarkan penjelasan di atas maka akan menjadi sebuah permasalahan menarik
manakala diadakan penelusuran untuk mencari titik temu antara persamaan dan perbedaan
antara aspek tindak pidana dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang TPPO dengan hukum
pidana Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini, permasalahan
yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana tindak pidana Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?
2. Bagaimana perspektif Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana Trafficking
menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007?
3. Mengapa terjadi perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.
21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?
xviii
C. Tujuan Penelitian
Dengan mendasarkan kepada perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tindak pidana Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun
2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
2. Untuk mengetahui perspektif Hukum Pidana Islam terhadap tindak pidana
Trafficking menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2007.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.
21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang?
D. Kegunaan penelitian
Dalam penelitian ini kegunaan yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah
pengembangan atau kemajuan di bidang Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan
Hukum Pidana Islam pada khususnya
2. Kegunaan Praktis.
a. Bagi peneliti
Penelitian tersebut sebagai suatu kegiatan yang bermanfaat dalam
mengembangkan wawasan keilmuan di bidang Hukum Pidana, khususnya
mengenai masalah perdagangan manusia .
b. Bagi pemerintah
xix
Penelitian tersebut diharapkan memberikan masukan bagi pemerintah untuk
terus melakukan perbaikan, monitoring dan evaluasi ke arah yang lebih baik
dalam menanggulangi masalah perdagangan manusia di Indonesia.
c. Bagi masyarakat
Penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat
untuk dapat lebih mengetahui dan ikut meminimalisir tindakan pidana
perdagangan manusia di Indonesia.
E. Kerangka pemikiran
Pada hakekatnya, manusia diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang paling mulia.
Allah menciptakan akal pikiran untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik
serta hak kepemilikan yang Allah sediakan di dunia, yang tidak dimiliki oleh makhluk-
makhluk lainnya. Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya
ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjual belikan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 70:10
ô‰s)s9 uρ $oΨøΒ §� x. û Í_ t/ tΠ yŠ# u öΝßγ≈ oΨù=uΗxq uρ ’Îû Îh�y9ø9 $# Ì� ós t7ø9 $#uρ Νßγ≈ oΨø%y— u‘uρ š∅ÏiΒ ÏM≈t7 ÍhŠ©Ü9 $# óΟßγ≈ uΖù=āÒ sùuρ 4’ n? tã
9�� ÏVŸ2 ô £ϑÏiΒ $ oΨø)n=yz WξŠÅÒ ø�s? ∩∠⊃∪
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
Allah mengancam keras praktek perdagangan manusia. Diriwayatkan oleh Imam Al-
Bukhari dan Imam Ahmad dalam sebuah hadist Qudsi :
10
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 435.
xx
ة أ�� �� ���� ا���� �� ��� هللا ر�� ھ�� ���� � -,+* أ(� ')'& هللا $�ل :$�ل و!
ا أ 3 ا!@; ور23 6+�� ح◌را>;:2 ��ع ور23 78ر 6 �� أ45� ر23 م& ا0��� �/م �3
/@A< ��+� أ3ه �BC و� >
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: Allah berfirman: “Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari
Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua:
seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga:
seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu
akan tetapi dia tidak membayar upahnya.”
Undang-undang No. 21 tahun 2007 menyebutkan bahwa tindakan perdagangan
manusia meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk
paksaan lainnya, penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi kerentanan, atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh
persetujuan orang yang dikendalikan orang lain dengan tujuan eksploitasi.
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan
xxi
tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.11
Manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut dan hak tersebut tidak dapat dikurangi oleh keadaan
apapun dan oleh siapapun.12
Maka dari itu, manusia tidak layak untuk diperjual belikan.
Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi menyebutkan bahwa :
“Trafficking in persons” shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or
receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of
abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of
the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having
control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a
minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation,
forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of
organs (“Penjualan Manusia” diartikan sebagai penarikan, perjalanan, pengiriman,
pendaratan atau penerimaan manusia, dalam arti penggunaan tenaga atau berbagai bentuk
paksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuatan, kerentanan,
pemberian atau penerimaan keuntungan di luar kontrol, dengan tujuan mengeksploitasi.
Yang termasuk eksploitasi, batas minimalnya adalah dengan mengeksploitasi kegitan
11
Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I
pasal 1(7). 12
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia BAB II pasal 4
xxii
prostitusi atau bentuk eksploitasi seks lainnya, eksploitasi tenaga kerja, perbudakan atau
kegiatan yang mirip dengan perbudakan, atau penghilangan dan penjualan organ).
Trafficking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang antara lain kemiskinan. Tingkat
kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja
yang tersedia di Indonesia mengakibatkan banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan
iming-iming untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena
desakan ekonomi yang sangat tinggi maka terkadang mereka tidak terlalu peduli akan
kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak
perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari
Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang
ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan pekerja seks komersial dan bahkan ada yang
dieksploitasikan untuk menjadi budak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Nur
ayat 33:13
É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ
ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ
(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù
©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
13
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 549.
xxiii
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu)”.
Permasalahan perdagangan perempuan dan anak memang merupakan
permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial,
budaya, dan politik yang berkaitan erat dengan proses industrialisasi dan pembangunan. Di
negara-negara tertentu, perdagangan perempuan dan anak bahkan dijadikan sebagai bagian
dari kebijakan politik perburuhan Cheap Labour yang dimanfaatkan untuk menekan biaya
produksi sehingga cenderung dieksploitasi.
F. Langkah-langkah Penelitian
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode sebagai
berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis normatif artinya adalah suatu
penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, tetapi di samping itu juga berusaha
menelaah kaidah-kaidah hukum yang diyakini oleh masyarakat muslim di Indonesia.
2. Spesifikasi Penelitian.
xxiv
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis. Hal ini bertujuan
untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran para ahli hukum tentang tidak pidana
Trafficking.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat maka diperlukan data data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ;
a. Bahan hukum Primer, yang terdiri dari :
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 dan berbagai peraturan perundang-
undangan yang menyangkut Hukum Pidana, Hak Asasi Manusia dan Trafficking.
b. Bahan hukum Sekunder, yang terdiri dari :
a) Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.
b) Karangan ilmiah atau pendapat para ahli yang berkaitan dengan judul
skripsi.
4. Metode Pengolahan dan Penyajian Data
Data dikumpulkan melalui Library search. Proses yang dilakukan adalah dengan
memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa
cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu analisis
hukum dengan tidak menggunakan angka/rumus dan dilakukan dengan
mengklasifikasi data
xxv
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN MANUSIA
(TRAFFICKING)
A. Deskripsi Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam dalam pengertian fikih dapat disamakan dengan istilah
"jarimah" yang diartikan sebagai larangan syara’ yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syari'at
(Allah) dengan hukuman had atau ta'zir. Para fuqaha (yuris Islam) menggunakan kata
"jinayah" untuk istilah "jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang. Pengertian
"jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana);
delik dalam hukum positif (pidana). Sebagian para ahli hukum Islam sering menggunakan
kata-kata "jinayah" untuk "jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang
dilarang saja. Sedangkan yang dimaksud dengan kata "jinayah" ialah perbuatan yang dilarang
oleh syara’, apakah perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.14
Kata "jinayah" merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata "jana". Secara
etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa
atau perbuatan salah.15
Seperti dalam kalimat jana 'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah
melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana juga berarti "memetik", seperti dalam
kalimat jana assamarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat
disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih. Kata jinayah dalam
istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah
mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa
14
Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari'at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 123. 15
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 1.
xxvi
jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syara') yang diancam dengan
hukuman had atau ta’zir.16
Adapun pengertian jinayah, para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah yang
dimaksudkan di sini adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu
mengenai jiwa, harta benda, atau lain-lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayah,
bahwa istilah jinayah menurut syara' adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan
yang dilarang itu menurut syara' adalah dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya
mengenai agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.17
Para ahli hukum Islam, seperti As-Syatibi, mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang
luas dari hukum pidana Islam sebagai berikut:18
1. Menjamin kebutuhan hidup yang primer (dharuriyat) sebagai tujuan pertama dan utama
dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan sesuatu yang sangat penting,
sehingga tidak dapat dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan
terjadi kekacauan dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (dharuriyat),
dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah maqasid al-khamsah, yaitu:
agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan
pemenuhan, kemajuan, dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta ketentuan yang
berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup yang bersifat sekunder (hajiyat). Ini
mencakup berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras serta beban
tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut tidak akan menyebabkan
kekacauan dan ketidaktertiban, tetapi bisa jadi dapat kesulitan.
16
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.
9 17
Ibid. 18
Abdul hamid, Asep Arifin, Tafsir Ayat Hukum Pidana Islam, Bahan Ajar Prodi Hukum Pidana Islam, 2012,
hlm. 18.
xxvii
3. Tujuan ketiga adalah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat
menghiasi kehidupan social dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur
urusan hidup lebih baik (tahsiniyat). Tidak terpenuhinya tujuan ini tidak menimbulkan
kekacauan, tetapi hanya hilangnya keindahan atau kesempurnan-kesempurnaan hidup.
2. Jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam
Menurut Hukum Pidana Islam tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa macam,
yaitu:
1. Dari segi berat ringannya hukuman, jarimah tersebut dapat dibagi menjadi:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum dan jenis dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang
dimaksudkan tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak dihapuskan oleh
perorangan (si korban atau wakilnya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).19
Jarimah hudud itu ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, jarimah qadzaf, jarimah
syurbul khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah al bagyu
(pemberontakan).
Dalam jarimah zina, syurbul khamr, hirabah, riddah, dan pemberontakan yang
dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah pencurian dan
qadzaf penuduhan zina yang disinggung disamping hak Allah, juga terdapat hak
manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.20
Hukuman atas tindak pidana hudud memiliki tiga ciri: Pertama, hukuman ini
bertujuan mendidik pelaku, memberikan efek jera terhadap pelaku dari melakukan
tindak pidana tersebut. Dalam hukuman ini, kondisi pelaku tidak menjadi bahan
19
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004., hlm. 12 20
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.
18
xxviii
pertimbangan dalam penjatuhan hukuman. Kedua, hukuman ini dianggap sanksi hukum
yang memiliki satu batasan walaupun pada dasarnya mempunyai dua batasan. Ini
karena hukuman hudud telah ditentukan bentuk dan jumlah hukumannya, juga karena ia
adalah hukuman keharusan (uqubah lazimah). Karena itu, hakim tidak berhak
menambah, mengurangi atau mengubah hukuman tersebut dengan hukuman lain.
Ketiga, hukuman ini ditetapkan atas dasar memerangi segala faktor yang dapat
mendorong dilakukannya tindak pidana dengan menggunakan faktor yang dapat
menolak diperbuat tindak pidana tersebut. Dengan kata lain, hukuman hudud diletakkan
di atas dasar ilmu psikologi yang kuat.21
b. Jarimah Qishas dan Diyat
Yang dimaksud dalam jarimah ini adalah perbuatan-perbuatan yang diancam
hukuman qishas atau hukuman diyat. Baik qishas maupun diyat adalah hukuman-
hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau
batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban
bisa memaafkan si pembuat, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi
hapus.
Hukum Islam menjatuhkan hukuman qishas bagi pelaku pembunuhan dan
pelukaan disengaja. Pengertian qishas adalah menghukum pelaku seperti apa yang
telah dilakukannya terhadap korban; pelaku dibunuh apabila ia membunuh dan dilukai
apabila melukai. Qishas merupakan hukuman yang paling adil karena pelaku dihukum
sesuai dengan apa yang dilakukannya. Qishas juga merupakan hukuman terbaik untuk
melindungi keamanan dan sistem masyarakat karena manakala pelaku mengetahui ia
akan dihukum sama dengan apa yang dilakukannya, pada umumnya pelaku tidak akan
21
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III , hlm.41.
xxix
melakukan tindak pidana tersebut.22
Jarimah qishas diyat ada lima, yaitu: pembunuhan
sengaja (algathlul amd), pembunuhan semi sengaja (al gathlul syibhul amd),
pembunuhan karena kesalahan (al qathlul khatar), penganiayaan sengaja (al jurhul
amd), dan penganiayaan tidak sengaja (al jurhul khata').
Hukum Islam menetapkan hukuman diyat sebagai hukuman pokok dalam tindak
pidana pembunuhan dan pelukaan semi sengaja (menyerupai sengaja) serta
pembunuhan dan pelukaan yang tidak disengaja. Diyat adalah sejumlah harta dalam
ukuran tertentu. Meskipun bersifat hukuman, diyat merupakan harta yang diberikan
kepada korban, bukan kepada kas Negara. Dari sisi ini, diyat lebih mirip dengan ganti
rugi, apalagi besarnya dapat berbeda-beda menurut besar-kecilnya pelukaan yang
terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan dan tidaknya terhadap tindak pidana.23
c. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir. Pengertian
ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Akan tetapi menurut istilah,
ta'zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara'.
Hukuman ta'zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan
diserahkan kepada ulil amri, baik penentuannya maupun pelaksanaannya Dalam
menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menentukan hukuman secara global
saja Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan sekumpulan hukuman, dari
yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Hukuman ta’zir merupakan sekumpulan hukuman yang belum ditentukan
jumlahnya, yang dimulai dari hukuman yang paling ringan, seperti nasihat dan teguran,
sampai kepada hukuman yang paling berat, seperti kurungan dan dera, bahkan sampai
22
Ibid, hlm.66. 23
Ibid, hlm.71.
xxx
kepada hukuman mati dalam tindak pidana yang berbahaya. Adapun tindak pidana yang
diancamkan hukuman ta’zir adalah setiap tindak pidana selain tindak pidana hudud,
qishas, dan diyat karena ketiga tindak pidana ini memiliki hukuman yang telah
ditentukan bentuk dan jumlahnya oleh syara’.24
Jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:25
1) Ta’zir karena melakukan maksiat;
2) Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;
3) Ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).
Disamping itu, dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zir dapat dibagi
kepada dua bagian, yaitu:
1) Ta’zir menyinggung hak Allah;
2) Ta’zir menyinggung hak perorangan (individu);
Abd Qodir Audah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu:
1) Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak
memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti
pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang
bukan harta benda.
2) Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh
syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi
timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang
penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak
menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
24
Ibid, hlm.85 25
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 252.
xxxi
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah ta'zir dan hukumannya kepada
penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-
kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang
bersifat mendadak.26
Macam-macam hukuman ta’zir antara lain:27
1) Hukuman mati
Hukuman ta’zir menurut hukum Islam bertujuan untuk mendidik. Hukuman
ta’zir diperbolehkan jika ketika diterapkan biasanya akan aman dari akibatnya yang
buruk. Artinya, ta’zir tidak sampai merusak/membinasakan. Karena itu, tidak boleh
ada hukuman mati atau pemotongan anggota badan dalam hukuman ta’zir. Sebagian
besar fuqaha memberikan pengecualian, yaitu memperbolehkan penjatuhan
hukuman mati sebagai hukuman ta’zir manakala kemaslahatan umum menghendaki
demikian atau kerusakan yang diakibatkan oleh pelaku tidak bisa ditolak kecuali
dengan jalan membunuhnya.
Para fuqaha menetapkan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kecuali
apabila kebutuhan menuntut diterapkannya demikian, yakni manakala pelaku terus
menerus mengulangi tindak pidananya dan tidak ada harapan untuk
memperbaikinya lagi atau bila membunuhnya adalah suatu kebutuhan untuk
mencegah kerusakan dan memelihara kemaslahatan masyarakat darinya.
2) Hukuman dera (Jild)
Dikalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman dera
dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama Maliki, batas
tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah.
26
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm
20 27
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid III
xxxii
Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi
hukuman dera dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama
dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan
pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman dera pada ta'zir boleh
lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah
ta'zir yang dilakukan hamper sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan
pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa dera yang
diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang
dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman
jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman
ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda
sebagai berikut: "Seorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam
salah satu hukuman hudud".
3) Hukuman kawalan (penjara)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas
terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama berbeda
pendapat. Ulama Syafi'iyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena
mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara
ulama-ulama lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan
ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai
terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini
xxxiii
adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah
jarimah yang berbahaya.
4) Hukuman pengasingan (At-Tagrib wal-Ib’ad)
Menurut Abu Hanifah hukuman pengasingan adalah hukuman ta’zir,
sedangkan madzhab lain memandangnya sebagai hudud. Adapun untuk selain
tindak pidana zina, telah disepakati bahwa hukuman ini dijatuhkan jika perbuatan
pelaku dapat mempengaruhi orang lain (menjalar) atau membahayakan dan
merugikan orang lain.
Menurut sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, masa pengasingan dalam
tindak pidana ta’zir tidak boleh lebih dari satu tahun. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa masa pembuangan bisa lebih dari satu tahun karena ia tidak
menganggap hukuman pengasingan sebagai hukuman hudud, tetapi sebagai
hukuman ta’zir. Fuqaha yang berpendapat bahwa masa hukuman pengasingan boleh
lebih dari satu tahun dan tidak memberikan batas waktu tertentu, mereka
memandang bahwa pembuangan adalah hukuman yang tidak terbatas dan
diserahkan kepada penguasa untuk membolehkan terpidana yang diasingkan untuk
kembali jika keadaannya telah menjadi baik dan telah menampakkan tobatnya.
Mengenai tempat pengasingannya, terpidana tidak ditempatkan di tempat
tertentu, tetapi menurut sebagian fuqaha, terhukum bisa diletakkan di bawah
pengawasan dan dibatasi kebebasannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.
Fuqaha yang menetapkan masa berakhirnya pengasingan, mereka bersepakat bahwa
pelaku tidak dapat kembali ke negeri asalnya sebelum masa pengasingannya
berakhir, sedangkjan menurut fuqaha yang tidak menetapkan masa berakhirnya,
pelaku tidak dapat kembali ke negeri asalnya sebelum ia menampakkan tobat dan
keadaannya menjadi baik.
xxxiv
5) Hukuman salib
Hukuman salib dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), hukuman
salib adalah hukuman hudud. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak
dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib
hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu,
tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini,
menurut fukaha tidak lebih dari tiga hari.
6) Hukuman peringatan (Al-Wa’zu), ancaman (Tahdid) dan teguran (Taubikh)
Hukuman peringatan diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi
nasehat. Hakim boleh hanya menghukum pelaku dengan hukuman peringatan bila
hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur'an
sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan
didera, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku
mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW
terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan
ibunya. Maka Rasulullah SAW berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia
dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi
sifat sifat masa jahiliyah."
7) Hukuman pengucilan (Hajr)
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang
disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
xxxv
Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan
selama lima puluh hari tanpa diajak bicara.
8) Hukuman denda (Garamah)
Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman.
Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya,
hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping
hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.
2. Dari segi niat
a. Jarimah sengaja (jarimah al maqshudah)
Jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan
kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut
dilarang dan diancam dengan hukuman.
b. Jarimah tidak sengaja (jarimah ghayr al-magshudah / jarimah alkhata)
Jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (beniat) untuk
melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat
kelalaiannya (kesalahannya).
3. Dari segi waktu tertangkapnya
Ditinjau dari segi waktu tertangkapnya, jarimah ini dibagi menjadi dua, yaitu:
jarimah tertangkap basah dan jarimah tidak tertangkap basah.
Jarimah tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tertangkap pada
waktu melakukan perbuatan tersebut atau sesudahnya tetapi dalam masa yang dekat.
Jarimah tidak tertangkap basah adalah jarimah dimana pelakunya tidak tertangkap
pada waktu melakukan perbuatan tersebut, melainkan sesudahnya dengan lewatnya waktu
yang tidak sedikit.
Pentingnya pembagian ini dapat dilihat dalam dua segi, yaitu:
xxxvi
a. Dari segi pembuktian
Apabila jarimah dilakukan berupa jarimah hudud dan pembuktiannya dengan
saksi maka dalam jarimah yang tertangkap basah, para saksi harus menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri pada saat terjadinya jarimah tersebut.
b. Dari segi amar ma’ruf nahi munkar
Dalam jarimah yang tertangkap basah, orang yang kedapatan sedang melakukan
tindak pidana dapat dicegah dengan kekerasan agar ia tidak meneruskan tindakannya.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim dari Said Al
Khudhari, bahwa Rasulullah bersabda:
“Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia
mencegah dengan tangannya, apabila ia tidak sanggup maka dengan hatinya, apabila
tidak sanggup juga maka dengan hatinya da yang demikian itu merupakan iman yang
lemah.”
4. Ditinjau dari cara melakukannya
Ditinjau dari melakukannya, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
jarimah positif (jarimah ijabiah) dan jarimah negatif (jarimah salabiah). Jarimah positif
(jarimah ijabiah) atau kejahatan dengan melanggar larangan yang dapat berupa perbuatan
aktif (komisi) maupun pasif atau jarimah ijabiah taqa'u bi thariq al salab (omisi tidak
murni) seperti tidak memberi seorang makan hingga mati. Jarimah negatif (jarimah
salabiah) adalah kejahatan dengan melanggar perintah (omisi murni).28
5. Ditinjau dari segi obyeknya
Jarimah ditinjau dari segi obyeknya atau sasarannya dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. Jarimah perseorangan adalah suatu
jarimah dimana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan
28
Topo Santoso, Menggagas Hukum pidana Islam Penerapan Dalam Syari'at Islam Dalam Konteks Modernitas,
Bandung: Asy Syamil & Grafika, 2001, hlm. 140
xxxvii
perseorangan meskipun, sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti
menyinggung masyarakat.
Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadapnya
dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai
perseorangan maupun mengenai ketenteraman masyarakat dan keamanannya menurut
para fuqaha penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut tidak ada pengampunan atau
peringanan atau menunda-nunda pelaksanaan.29
Jarimah-jarimah hudud termasuk dalam jarimah masyarakat, meskipun sebagian
dari padanya ada yang mengenai perseorangan, seperti pencurian dan qadzaf (penuduhan
zina). Jarimah-jarimah ta`zir sebagian ada yang termasuk jarimah masyarakat, kalau yang
disinggung itu hak masyarakat, seperti penimbunan bahan-bahan pokok, korupsi dan
sebagainya.
6. Ditinjau dari tabiatnya
Ditinjau dari segi waktu atau tabiatnya, jarimah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
jarimah biasa (jarimah 'addiyah) dan jarimah politik (jarimah siyasiyah). Jarimah biasa
adalah jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya dengan tujuan-tujuan
politik. Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan
pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah
ditentukan oleh pemerintah.30
Sebenarnya jenis-jenis tindak pidana dalam hukum Islam itu tidak berbeda jauh
dengan penggolongan dalam hukum pidana positif. Perbedaan yang mencolok baru terlibat
dalam penggolongan atas hudud, qishas dan ta’zir.
3. Unsur dan Syarat Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam
29
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 17. 30
Moh Abu Zahrah, Al- Jarimah wa Al- 'uqubah Fi al Fiqh AI islami, Al maktabah al Angelo al Mishriyah, Kairo, tt,
hlm. 153
xxxviii
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk
semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan
berbeda antara jarimah satu dengan jarimah yang lain. Adapun yang termasuk dalam unsur-
unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:
1. Unsur formil (adanya undang-undang atau nash);
2. Unsur materiil (sifat melawan hukum);
3. Unsur moril (pelakunya mukallaf).
Selain ketiga unsur tersebut diatas yang harus ada dalam suatu tindak pidana yang
merupakan unsur-unsur umum terdapat juga unsur-unsur khusus yang ada pada masing-
masing tindak pidana.
Yang dimaksud dengan unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa
pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu
dengan jenis jarimah yang lainnya.31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara unsur umum dan unsur khusus
pada jarimah itu ada perbedaan. Unsur umum jarimah ancamannya hanya satu dan sama pada
setiap jarimah, sedangkan unsur khusus bermacam macam serta berbeda-beda pada setiap
jenis tindak pidana (jarimah). Bahwa seorang yang melakukan tindak pidana harus
memenuhi syaratsyarat yaitu berakal, cukup umur, mempunyai kemampuan bebas
(muchtar).32
Tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai
orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat-syarat
untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam, yaitu:
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara' yang berisi hukum taklifi;
31
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2004, hlm.11. 32
Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, Jakarta: Bulan Bintang, 1968, hlm. 67.
xxxix
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman.
Sedangkan syarat perbuatan yang dapat dipidanakan ada tiga macam, yaitu:
1. Perbuatan itu mungkin terjadi;
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan
mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya;
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.
B. Deskripsi Aspek Pidana dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007
1. Sejarah Singkat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Semakin banyaknya kasus perdagangan orang yang telah mencapai aspek lintas
negara, beberapa aktifis kemanusiaan dari berbagai Negara melakukan pertemuan untuk
melakukan diskusi mengenai permasalahan tersebut. Pertemuan-pertemuan internasional
yang bertujuan untuk membahas persoalan trafficking tersebut terus menerus digelar oleh
elemen masyarakat. Puncaknya, pada tanggal 15 November 2000 melalui Resolusi MU PBB
No. 55/25 dikeluarkan Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir (The United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime beserta Protocol Agains the Smuggling
of Migrants by Land and Sea dan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children) (Konvensi PBB tentang Perlawanan Organisasi
Kriminal Antar Negara beserta Protokol Perlawanan terhadap Penyelundupan Orang Melalui
Darat Dan Laut, dan Protokol Pencegahan Penekanan dan Hukuman Perdagangan Orang
Khususnya Wanita dan Anak-Anak). Konvensi beserta protokol ini mengatur tentang
pembentukan struktur internasional guna memberantas kejahatan lintas batas di sektor
xl
produksi dan pergerakan obat-obat terlarang, perdagangan orang dan pengiriman imigran
secara tidak sah.33
Hal yang sama juga dialami oleh Indonesia di mana para aktifis Hak Asasi Manusia
(HAM) dan perempuan terus menerus mendesak tentang perlu adanya sebuah undang-undang
yang membahas secara khusus mengenai permasalahan perdagangan orang. Desakan ini lebih
didasarkan pada realita bahwasanya Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi
lokasi perdagangan orang terbesar di wilayah Asia Tenggara. Jalur trafficking di Asia
Tenggara melibatkan enam Negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
dan Filipina. Dari keenam negara tersebut, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam
menjadi negara yang warga negaranya menjadi obyek perdagangan orang terbanyak, dan
Malaysia hanya sebagian kecil. Sedangkan alur penyebaran tujuan perdagangan orang
meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Setelah melalui proses yang panjang, pada tahun 2007, Indonesia akhirnya
mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan perdagangan orang. Undang-undang ini
banyak mengacu pada hasil konvensi dan protokol PBB tahun 2000 dan disahkan dalam
bentuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-undang tersebut juga dikenal dengan istilah UU TPPO (Undang-Undang Tindak
Pidana Perdagangan Orang).
2. Subtansi Bab Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
terdiri dari 9 bab dengan penjelasan sebagai berikut:
33
Supriyadi, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat,
2005, hlm. 6.
xli
Bab I Menjelaskan tentang pengertian tindak pidana perdagangan orang. Bab ini terdiri
dari satu pasal dan 15 ayat. Dalam bab ini dijelaskan mengenai istilah-istilah atau
pengertianpengertian yang berhubungan dengan tindak pidana perdagangan orang.
Istilah-istilah yang dijelaskan adalah sebagai berikut:
a. Pengertian ”perdagangan orang” yang dijelaskan pada ayat(1)
b. Pengertian ”tindak pidana perdagangan orang” yang dijelaskan pada ayat (2)
c. Pengertian ”korban” yang dijelaskan pada ayat (3)
d. Pengertian ”setiap orang” yang dijelaskan pada ayat (4)
e. Pengertian ”anak” yang dijelaskan pada ayat (5)
f. Pengertian ”korporasi” yang dijelaskan pada ayat (6)
g. Pengertian ”eksploitasi” yang dijelaskan pada ayat (7)
h. Pengertian ”eksploitasi seksual” yang dijelaskan pada ayat (8)
i. Pengertian ”perekrutan” yang dijelaskan pada ayat (9)
j. Pengertian ”pengiriman” yang dijelaskan pada ayat (10)
k. Pengertian ”kekerasan” yang dijelaskan pada ayat (11)
l. Pengertian ”ancaman kekerasan” yang dijelaskan pada ayat (12)
m. Pengertian ”restitusi” yang dijelaskan pada ayat (13)
n. Pengertian ”rehabilitasi” yang dijelaskan pada ayat (14)
o. Pengertian ”penjeratan utang” yang dijelaskan pada ayat (15)
Bab II Menerangkan tentang tindak pidana dan sanksi pidana tindak pidana perdagangan
orang. Penjelasan tersebut dinyatakan dalam 17 pasal yakni mulai Pasal 2 hingga
Pasal 18.
Bab III Menerangkan tentang tindak pidana lain dan sanksi pidananya yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang. Hal itu dijabarkan dalam sembilan pasal
mulai dari Pasal 19 hingga Pasal 27.
xlii
Bab IV Menjelaskan tentang Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan. Hal ini dipaparkan dalam 15 pasal yakni mulai Pasal 28 hingga Pasal
42.
Bab V Menjelaskan tentang Perlindungan Korban dan Saksi. Masalah ini dipaparkan
dalam 13 pasal, yakni mulai Pasal 43 hingga Pasal 55.
Bab VI Menjelaskan tentang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Masalah ini
dipaparkan dalam tiga pasal, yakni mulai Pasal 56 hingga Pasal 58.
Bab VII Menjelaskan tentang Kerja Sama dan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan
Tindak Pidana. Masalah ini dipaparkan dalam dua bagian dan lima pasal. Bagian
pertama yang terdiri dari satu pasal, yakni Pasal 59 isinya adalah tentang
kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang. Sedangkan bagian kedua menitikberatkan pada peran
serta masyarakat yang diatur dalam empat pasal, yakni mulai Pasal 60 hingga
Pasal 63.
Bab VIII Menjelaskan tentang Ketentuan Peralihan. Masalah ini dipaparkan dalam satu
pasal, yakni Pasal 64.
Bab IX Merupakan Ketentuan Penutup. Masalah ini dipaparkan dalam tiga pasal, yakni
Pasal 65 hingga Pasal 67.
3. Aspek Pidana dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Sebelum menguraikan secara lebih jauh mengenai aspek pidana yang terkandung di
dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, berikut ini
akan dipaparkan terlebih dahulu isi dari Pasal 2 tersebut:
Pasal 2
xliii
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa kandungan aspek pidana meliputi aspek
pelaku, perbuatan, cara mengerjakan, tujuan, wilayah, dan ancaman hukuman. Secara lebih
jelas mengenai aspek pidananya, maka berikut ini akan penulis paparkan mengenai aspek
pidana dalam Pasal 2 di atas.
a. Pelaku
Pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 adalah setiap orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Namun
pelaku tidak lantas hanya terbatas pada aspek perorangan saja sebab istilah “setiap orang”
dalam pasal tersebut tidak hanya memiliki makna umum yang terbatas pada pengertian
setiap seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
melainkan juga dapat mencakup pelaku-pelaku dengan ketentuan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia maupun warga negara asing, selama melakukan tindak pidana
perdagangan orang di wilayah Negara Republik Indonesia.
b. melakukan perbuatan tindak pidana secara berkelompok, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang
terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok
yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimaan dimaksud
dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)
xliv
c. memiliki jabatan kenegaraan (penyelenggara negara) sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 8 ayat (1) berikut ini:
(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang
mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya
ditambah 1/3 dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.
d. berwujud korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1)
(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang yang bertindak untuk dan/atau
atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan
kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pelaku sebagai aspek
pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang pada
dasarnya adalah setiap orang yang berarti adalah seluruh orang yang telah memiliki
tanggung jawab hukum, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai
penyelenggara negara, atas nama korporasi, warga negara Indonesia maupun warga
negara asing, yang melakukan tindak pidana perdagangan di wilayah Negara Republik
Indonesia.
b. Perbuatan
Perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 mengandung tiga batasan perbuatan
yakni perbuatan dengan sebagian atau keseluruhan rangkaian perbuatan sebagaimana
disebut dalam Pasal 2 ayat (1) yang belum menyebabkan adanya eksploitasi, perbuatan
dengan sebagian atau keseluruhan rangkaian perbuatan sebagaimana disebut dalam Pasal
2 ayat (1) yang telah menyebabkan adanya eksploitasi, dan perbuatan untuk
xlv
mengeksploitasi orang yang menimbulkan akibat lain. Batasan ini disebutkan dalam Pasal
2 ayat ayat (2) sebagai berikut:
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Maksud dari perbuatan sebagian yang menyebabkan atau belum menyebabkan
adanya eksploitasi adalah melakukan sebagian – baik salah satu atau beberapa bagian
namun tidak seluruhnya – dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Perbuatan-perbuatan tersebut disebutkan pada beberapa pasal dalam UU No. 21 Tahun
2007 sebagai berikut:
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia
dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia maupun
dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan tujuan untuk dieksploitasi. Sanksi pidana perbuatan ini adalah pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 9
xlvi
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama dengan sanksi
pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang
sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.
Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya
dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak
perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil
keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.
Dari pasal-pasal di atas dapat dibuat pengklasifikasian tindak pidana perbuatan
orang sebagai berikut:
a. Perbuatan sebagian dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dapat
menyebabkan atau belum menyebabkan terjadinya eksploitasi yang disebut dalam
satu pasal. Perbuatan-perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan pada Pasal 3, Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1), maka
pasal-pasal yang telah disebutkan (Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12)
memiliki dua kemungkinan terkait dengan eksploitasi seperti halnya Pasal 2 ayat (1).
Penegas adanya kemungkinan terjadi atau belum terjadinya eksploitasi adalah Pasal 2
ayat (2). Maksudnya adalah apabila telah terjadi eksploitasi, maka perbuatan yang
disebut dalam pasal-pasal tersebut telah dapat disebut dengan tindak pidana yang
mengakibatkan adanya eksploitasi. Namun apabila belum terjadi proses eksploitasi
xlvii
korban, maka perbuatan yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut terbatas pada
tindak pidana perdangan orang tanpa adanya eksploitasi.
b. Perbuatan sebagian dari perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang belum
menyebabkan terjadinya eksploitasi. Perbuatanperbuatan tersebut sebagaimana
disebutkan pada Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Pada Pasal 9, penegas belum adanya
eksploitasi adalah adanya kalimat “dan tindak pidana tersebut tidak terjadi”. Pasal 10
ditegaskan dengan adanya kalimat “Setiap orang yang membantu atau melakukan
percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang”. Sedangkan penegas
Pasal 11 adalah batasan perbuatan yang disebutkan dalam pasal tersebut, yakni
“merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat”.
Sedangkan maksud dari perbuatan dengan tujuan mengeksploitasi orang yang
dapat menimbulkan akibat lain adalah apabila dalam proses perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Akibat yang dimaksud
adalah akibat yang diderita korban, yakni dalam bentuk luka berat baik fisik maupun
mental dan hilangnya nyawa sebagaimana disebutkan pada Pasal 7.
Pasal 7
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka
ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal
2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur
hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
c. Sanksi
Secara tekstual, sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007
tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00
xlviii
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) apabila telah terjadi eksploitasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2).
Penegasan dalam Pasal 2 ayat (2) secara tidak langsung mengisyaratkan adanya sanksi
terhadap tindak pidana perdagangan orang yang tidak atau belum sampai terjadi
eksploitasi. Apabila tidak terjadi tindak pidana perdagangan orang, maka sanksi yang
dikenakan tidak sama dengan Pasal 2 ayat (1) melainkan berbeda.
Sanksi terhadap tindak pidana yang tidak atau belum sampai terjadi eksploitasi
dari perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah) sebagaimaan disebutkan pada Pasal 9.
Selain dua ketentuan sanksi di atas, terdapat sanksi tambahan dalam tindak pidana
perdagangan orang. Sanksi tambahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Sanksi tambahan berdasarkan akibat tambahan yang diderita korban Sanksi tambahan
dilihat dari akibat tambahan yang diderita oleh korban dapat dibedakan menjadi dua
sanksi tambahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), yakni:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa
berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan
pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Sanksi tambahan dalam ayat (1) dalam Pasal 7 di atas adalah tambahan 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6
apabila korban menderita luka fisik maupun mental dan penyakit. Sedangkan sanksi
xlix
tambahan pada Pasal 7 ayat (2) berlaku manakala korban tindak pidana perdagangan
orang sampai meninggal dunia.
b. Sanksi tambahan yang didasarkan pada pelaku yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Sanksi tambahan bagi pelaku yang berstatus penyelenggara Negara.
Sanksi tambahan yang dikenakan kepada penyelenggara Negara yang melakukan
tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut:
a) Tambahan pidana sebesar 1/3 dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
b) Tambahan pidana secara institusional berupa pemberhentian secara dengan
tidak hormat dari jabatannya.
2) Sanksi tambahan bagi korporasi berupa:
a) Tambahan sanksi berupa pemberatan 3 (tiga) kali dari ancaman pada Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
b) Tambahan sanksi berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil
tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan atau
pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam
bidang usaha yang sama.
3) Sanksi tambahan bagi pelaku yang berkelompok
Sanksi tambahan bagi pelaku yang berkelompok adalah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2.
c. Sanksi tambahan berdasarkan korban
Sanksi tambahan dilihat dari pihak korban berlaku bagi tindak pidana perdagangan
orang dengan korban dari kelompok anak. Apabila tindak pidana perdagangan orang
l
dalam Pasal 2 dilakukan kepada anak, maka sanksi pidananya akan ditambah sebesar
1/3 (sepertiga).
li
BAB III
TINDAK PIDANA TRAFFICKING DAN TINJAUAN NILAI HUKUM PIDANA
ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
A. Tindak Pidana Trafficking Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang No.
21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Definisi Trafficking (perdagangan orang) ada dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Jelas bahwa trafficking adalah kejahatan yang sangat kejam dan melanggar nilai-nilai
kemerdekaan yang digariskan oleh Islam. Dalam kasus trafficking, Islam sejak awal telah
meletakkan dasar-dasar bagi pembebasan dan penghapusan perbudakan, karena bertentangan
dengan prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan). Teologi ini selalu mengajarkan kepada manusia
tentang makna kebebasan (kemerdekaan), kesetaraan, dan penghargaan manusia terhadap
manusia yang lain, bahkan juga terhadap alam. Oleh karena itu, tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa trafficking dalam segala bentuknya adalah bertentangan dengan dan
melanggar nilai-nilai Islam dan melawan Tuhan.
Sebagai aturan keagamaan, fiqh tentu diarahkan dan ditetapkan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan agama secara eksplisit. Fiqh bukan hanya dijadikan sebagai alat pembenar dan
menghilangkan sisi keadilan dan kemaslahatan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa
lii
manusia diharuskan untuk berbuat dan menegakkan keadilan. Beberapa ayat tersebut
diantaranya:
1. QS. Al-Nisa’ : 5834
¨βÎ) ©!$# öΝä.ã�ãΒ ù' tƒ βr& (#ρ–Š xσè? ÏM≈uΖ≈ tΒ F{ $# #’n<Î) $ yγ Î=÷δ r& #sŒ Î)uρ ΟçF ôϑs3ym t ÷ t/ Ĩ$Ζ9 $# βr& (#θ ßϑä3øtrB ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ 4
¨βÎ) ©!$# $ −ΚÏè ÏΡ / ä3Ýà Ïètƒ ÿϵ Î/ 3 ¨βÎ) ©!$# tβ% x. $Jè‹ Ïÿxœ # Z��ÅÁ t/ ∩∈∇∪
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu apabila apabila menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha
mendengar lagi maha melihat”.
2. QS. Al-Nahl : 9035
¨βÎ) ©!$# ã� ãΒ ù' tƒ ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ Ç≈ |¡ ôm M}$#uρ Ç›!$ tGƒ Î)uρ “ ÏŒ 4†n1ö� à)ø9 $# 4‘sS ÷Ζtƒ uρ Ç tã Ï !$t± ós x�ø9$# Ì�x6Ψ ßϑø9 $#uρ
Ä øöt7ø9 $#uρ 4 öΝä3Ýà Ïètƒ öΝà6=yès9 šχρã�©.x‹ s? ∩⊃∪
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”.
Para ulama fiqh menyepakati bahwa syari’at Islam dibuat dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kemaslahatan umat. Tujuan dari syari’at (maqashid asy-Syari’ah) ada lima
prinsip perlindungan, yaitu perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh ad-din),
perlindungan terhadap jiwa (hifz an-nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-aql),
perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda
34
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 128. 35
Ibid, hlm. 415.
liii
(hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini
adalah kemaslahatan (maslahat) dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan
(mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah kemadharatan.
Mungkin, zaman dahulu Islam belum menganggap perbudakan sebagai sebuah
perbuatan yang melawan hukum (tindak pidana), namun pada zaman sekarang, tidak
menganggap perbudakan sebagai sebuah tindak pidana adalahmelanggar tujuan Islam yang
menginginkan kemaslahatan. Seiring berjalannya waktu, dimanapun tempatnya, hukum suatu
peristiwa pasti berubah-berubah, tak terkecuali perbudakan. Ada sebuah kaidah yang
menyatakan bahwa taghayyiru al-ahkam bi taghayyiru al-azman wa alamkan (berubahnya
sebuah hukum dipengaruhi adanya perubahan waktu dan tempat). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa, harus ada kriminalisasi (proses memidanakan perbuatan yang sebelumnya
tidak dianggap sebuah perbuatan pidana). Ada beberapa alasan kenapa ada sebuah
kriminalisasi, diantaranya yaitu:36
1. Adanya korban;
2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
3. Harus berdasarkan asas ratio principle (hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir);
4. Adanya kesepakatan sosial.
Ketika dilihat dengan kaca mata kaedah fiqh, maka trafficking harus dihilangkan
karena membawa kemadharatan. Ada kaedah fiqh yang berbunyi adl-dlararu yuzalu (semua
hal yang menderitakan orang harus dihilangkan). Seperti kenyataan yang telah diperlihatkan
kepada kita, persoalan yang dialami para TKI masih terus berlangsung sampai hari ini.
Mereka juga masih banyak yang terperangkap dalam benang kusut trafficking. Trafficking,
sebuah nama lain bagi praktek perbudakan gaya baru. Ketika Islam datang, perbudakan
merupakan lembaga yang telah membudaya, tidak saja di kawasan Arabia, tetapi juga merata
36
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 51.
liv
di bagian-bagian dunia yang lain. Islam mengimbau kepada para pemilik budak untuk
bersikap manusiawi terhadap budak-budak mereka, serta menjanjikan pahala yang besar
kepada mereka yang memerdekakan budak mereka.
Bahkan, hukum pidana Islam mengharuskan kepada pelaku tindakan pidana tertentu
untuk memerdekakan budak (tahrir raqabah) sebagai bagian dari pembayaran “denda”.
Banyak di antara budak yang telah dimerdekakan itu menjadi sahabat-sahabat dekat Nabi,
diantaranya Salman al-Farisi dan Bilal bin Rabah yang dikenal sebagai muadzdzin ar-Rasul.
Prinsip penghormatan dan kasih sayang, ini secara logis kemudian menjadi dasar
peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama.
Seperti perlunya berbuat baik, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap
segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada kejahatan trafficking
bisa dikatagorikan sebagai tindakan kezaliman. Karena dalam perspektif Islam seperti
kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa,
maupun harga diri seseorang.
Prinsip ini juga menjadi basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu
sebabnya, seseorang tidak boleh bertindak zalim terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang
harus saling berbuat baik dan membantu satu sama lain, yang kuat, misalnya, membantu yang
lemah. Dalam hubungan buruh dan majikan, misalnya, Rasulullah SAW menganjurkan agar
para majikan segera memberikan upah buruh sebelum keringatnya kering. Para buruh juga
memiliki hak, terutama hak untuk diperlakukan secara manusiawi.
Ajaran Islam menghargai kebebasan manusia dimanapun dan kapanpun. Dalam
banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa kita harus menghargai hak,
mengasihi, menolong, membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain. Di samping itu,
Allah memerintahkan kita untuk memerdekakan budak, Allah memerintahkan kita berjuang
untuk merubah nasib agar lebih baik, Allah juga berjanji akan memberikan balasan terhadap
lv
apa yang dikerjakan oleh manusia. Berjihad untuk melawan penindasan adalah sebuah
kewajiban bagi kaum muslimin.37
Rasulullah SAW dalam khutbahnya menyatakan bahwa darah dan harta seseorang
harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganggu. Semangat dalam khutbah tersebut
ialah kita harus menegakkan kebebasan.38
Kebebasan orang lain hanya bisa dibatasi oleh hak
orang lain dan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sukarela atas dasar keadilan dan
persamaan, bukan atas dasar kepentingan orang yang lebih kaya.39
Rasulullah SAW memerintahkan pada umatnya untuk menolong para fakir, miskin,
yatim, orang-orang terlantar, budak dan lain sebagainya. Semua itu diperjuangkan oleh
Rasulullah SAW untuk memberikan pemahaman sebenarnya Islam adalah agama yang turun
untuk membebaskan.40
Jika difahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter
yang anti perbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada
manusia. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 70 :41
ô‰s)s9 uρ $oΨøΒ §� x. û Í_ t/ tΠ yŠ# u öΝßγ≈ oΨù=uΗxq uρ ’Îû Îh�y9ø9 $# Ì� ós t7ø9 $#uρ Νßγ≈ oΨø%y— u‘uρ š∅ÏiΒ ÏM≈t7 ÍhŠ©Ü9 $# óΟßγ≈ uΖù=āÒ sùuρ 4’ n? tã
9�� ÏVŸ2 ô£ϑÏiΒ $ oΨø)n=yz WξŠÅÒ ø�s? ∩∠⊃∪
“Sungguh kami muliakan seluruh umat manusia. Kami angkut mereka di lautan dan di
daratan. Kami beri rizki mereka yang baik baik dan kami beri mereka keutamaan melebihi
banyak makhluk lain yang telah kami ciptakan.”
Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam jual beli manusia,
mengindikasikan tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh pemiliknya tanpa
37
Zuhairi Misrowi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, Jakarta:
LSIP, 2004, hlm. V. 38
Asrori S. Karni, ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum‟at di Paramadina,
Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 75. 39
Ashgar Ali Enginer, Islam dan teologi Pembebasan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 70 40
Ashgar Ali Enginer, Islam and Its Relevance to Our Age, Terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqi,
Yogyakarta: LKiS, 1993, hlm. 9. 41
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. 435.
lvi
persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk menolak jual beli itu. Ini sangat
ditentang oleh Islam. Dalam gambaran masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek
perbudakan seperti itu, karena dalam masyarakat ideal menjunjung keadilan dan tidak ada
kezaliman.42
Pada zaman Nabi Ibrahim AS sudah terjadi perbudakan, hal ini ditunjukkan oleh
kisah Sarah yang memberikan jariyahnya (budak wanita) yaitu Hajar kepada Nabi Ibrahim
AS untuk dinikahi. Demikian pula pada zaman Ya’qub AS, orang merdeka di masa itu bisa
menjadi budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang ia
ambil hartanya untuk dijadikan budak.
Sistem perbudakan yang terjadi di Arab pada waktu itu sangatlah rumit untuk dirubah.
Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan karena akan berdampak
negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya,
sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta merta dimerdekakan. Mereka belum
terbiasa mandiri dan tidak memiliki sumber kehidupan yang cukup untuk mandiri. Menurut
Sayyed Hossen Nasr, dalam sejarah Islam terdapat dua sistem yang diterapkan dalam rangka
menghapuskan sistem perbudakan yang amat menguasai sistem sosial ketika itu. pertama,
mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu seluas-luasnya
bagi pemerdekaan budak.43
Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki
langkah-langkah untuk menghapus perbudakan dalam Al-Qur’an surat Al-Nur ayat 33 :44
42
Ali Nurdin, Qur’anic society; menelusuri masyarakat ideal dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm.
248. 43
Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Terjemahan Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan
Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 218 44
Op.cit, hlm. 549.
lvii
É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ
ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ
(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù
©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu)”.
Dalam surat Al-Nur ayat 33 tersebut, menurut Hussen Muhammad mengandung
empat hal, yaitu : Pertama, kewajiban melindungi mereka yang dilemahkan yaitu budak
perempuan. Kedua, kewajiban memberi ruang kebebasan atau kemerdekaan kepada orang-
orang yang terperangkap dalam praktik perbudakan. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak
ekonomi mereka. Keempat, haramnya mengeksploitasi integritas tubuh perempuan untuk
kepentingan-kepentingan duniawi (ekonomi,kekuasaan, dan kebanggaan).45
Paragraf terakhir dari ayat tersebut sengaja diturunkan Allah untuk membatalkan
praktek-praktek “trafficking in women” yang umum dilakukan masyarakat Arab ketika itu.
Ayat ini diturunkan untuk merespon kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh utama kaum
munafik. Dia memaksa para budak perempuannya untuk melacur sebagai cara untuk
memperoleh beberapa kepentingan pribadinya. Para ahli tafsir menyebut nama budak
perempuan Ubay bin Salul, yaitu; Masikah dan Mua’dzah. Mereka juga menyebut
kepentingan Ubay bin Salul melacurkan budaknya dengan paksa bahkan tidak jarang
45
L.M. Gandhi Lapian, Hetty A.Geru, Trafiking perempuan dan anak, Yayasan obor Indonesia, Jakarta, 2010,
hlm. 99
lviii
memukulnya, yaitu antara lain: demi uang, mendapat keturunan orang terhormat, berdarah
Quraisy yang diharapkan akan menjadi pemimpin masyarakat, dan demi mendapat pahala
dan kehormatan.
Kasus perdagangan perempuan tersebut memang terjadi pada perempuan budak
belian. Kasus-kasus semacam ini tidak hanya dilakukan oleh Ubay bin Salul, tetapi populer
dalam masyarakat Arab pada saat itu. Praktik rumah bordil juga berlaku di sana. Model
eksploitasi tersebut hari ini mberubah dalam bentuk yang lebih canggih. Modus operandinya
juga beragam. Eksploitasi tersebut berganti nama menjadi Trafficking. Ini lebih jahat
daripada perbudakan lama, karena justru dilakukan terhadap orang-orang yang sudah
merdeka.
Islam mengharamkan praktek perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak,
sekaligus menyatakannya sebagai menentang dan melanggar hak-hak kemanusiaan. Islam
juga menegaskan keharusan penghapusannya, melalui tiga cara, yakni pencegahan,
perlindungan terhadap korban, dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang berat.
Islam juga menyatakan secara eksplisit bahwa korban perdagangan manusia bukanlah orang
yang berdosa dan karena itu harus dibebaskan dan tidak boleh dikriminalisasi.
Untuk melihat kasus trafficking merupakan jenis jarimah apa, maka dapat dilihat
dalam firman Allah dalam QS. Al-Nur: 33:46
É# Ï�÷ètGó¡uŠø9 uρ tÏ% ©!$# Ÿω tβρ߉Åg s† % ·n% s3ÏΡ 4 ®Lym ãΝåκu� ÏΖøó ムª!$# ÏΒ Ï& Î#ôÒ sù 3 tÏ%©!$#uρ tβθ äótGö6 tƒ |=≈tGÅ3ø9 $# $ £ϑÏΒ
ôM s3n=tΒ öΝä3ãΖ≈ yϑ÷ƒ r& öΝèδθç7 Ï?% s3sù ÷βÎ) öΝçGôϑÎ=tæ öΝÍκ� Ïù # Z�ö� yz ( Νèδθè?#u uρ ÏiΒ ÉΑ$ ¨Β «!$# ü“Ï% ©!$# öΝä38s?#u 4 Ÿωuρ
(#θ èδÌ� õ3è? öΝä3ÏG≈ uŠtGsù ’n? tã Ï !$ tó Î7ø9 $# ÷βÎ) tβ÷Š u‘r& $ YΨ÷Á ptrB (#θäótGö;tGÏj9 uÚt� tã Íο4θ uŠptø: $# $ u‹÷Ρ‘‰9 $# 4 tΒ uρ £‘γδ Ì�õ3ム¨βÎ* sù
©!$# . ÏΒ Ï‰÷èt/ £Îγ Ïδ≡ t�ø.Î) Ö‘θ à�xî ÒΟ‹Ïm §‘ ∩⊂⊂∪
46
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, hlm. .
lix
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu)”.
Bila dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, maka trafficking dapat di dekati dengan
qiyas (analogy hukum) sama dengan penganiayaan karena para korban dieksploitasi. Qiyas
memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al maqis
alaihi. Dalam hukum asal ini, adalah yang dapat dijadikan sebagai dasar. Hukum
memaksa untuk melakukan perzinaan adalah haram/tidak boleh.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqis.
Dalam hal ini Perdagangan orang (trafficking) dapat dimasukkan dalam kasus yang belum
ada hukumnya.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Adapun hukum dari trafficking adalah haram atau tidak diperbolehkan karena sama
dengan menganiaya dengan mengeksploitasi korban.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya. Adapun illat dari aniaya dan trafficking adalah perusakan terhadap anggota
badan.
Trafficking dapat dikatakan telah melanggar hak-hak kemanusiaan. Seperti
perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz an-
nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh
an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum
yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (maslahat) dan
lx
setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah
kemadharatan. Jadi, dalam kacamata hukum pidana Islam, trafficking dapat dikategorikan
sebagai jarimah penganiayaan yang disengaja (al-jinayah ala maaduuna al-nafsi amdan). Itu
dikarenakan trafficking masuk dalam jarimah inabah (perusakan) terhadap athraf (anggota
badan).
Di Indonesia, peraturan tentang perdagangan orang sudah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana
perdagangan orang adalah “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.47
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi
tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau
secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan baik materiil maupun immateriil.48
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga merumuskan mengenai ruang lingkup
Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu:49
47
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang; Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, Sinar
Grafika, Jakarta,2011, hlm. 98. 48
Undang-undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB I
pasal 1(7). 49
Henny Nuraeny, Op.cit.
lxi
1. Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
yang ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007).
Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang
memasukan orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
eksploitasi;
2. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan
eksploitasi;
3. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud
eksploitasi;
4. Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun; dan setiap orang
yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan
persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau
mengambil keuntungan;
5. Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen Negara
atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO;
6. Setiap orang yang memberikan keterangan palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang
bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;
7. Setiap orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan perkara
TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsng atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang Pengadilan tehadap
tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu
pelarian pelaku TPPO;
8. Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya
dirahasiakan.
lxii
Jika merujuk pada definisi di atas, maka tidak ada pembatasan bahwa perdagangan
orang hanya terkait dengan jenis kelamin atau usia tertentu. Perdagangan orang bukanlah
fenomena baru di Indonesia, dan meskipun kriminalisasi perdagangan orang ini dapat terkait
dengan siapa saja, tetapi seringkali mengidentikanya dengan perdagangan perempuan dan
anak. Ini cukup beralasan karena pada banyak kasus, korban perdagangan orang terdiri dari
perempuan dan anak yang menonjol kepermukaan.
B. Nilai Aspek Pelaku Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam, aspek seseorang yang dapat disebut sebagai pelaku suatu
tindak pidana memiliki ketentuan-ketentuan tertentu. Secara umum ada tiga syarat yang dapat
menjadikan seseorang harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum pidana
Islam. Ketiga syarat tersebut adalah sebagai berikut:50
1. Adanya perbuatan yang dilarang;
2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri;
3. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Sedangkan dalam beberapa hal, pelaku sebagai aspek pidana dalam hukum Islam
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari jumlah dan jenis pelaku
Ditinjau dari jumlah pelakunya, dalam hukum pidana Islam dapat dibedakan
menjadi dua, yakni tindak pidana – yang dalam konteks hukum pidana Islam juga disebut
dengan istilah jarimah – yang dilakukan secara perorangan dan yang dilakukan secara
berkelompok. Terkait dengan pelaku tindak pidana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam konteks hukum pidana Islam, pelaku yang
50
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, hlm. 154
lxiii
terdiri dari perorangan dan kelompok dapat diterima sedangkan pelaku yang disandarkan
pada korporasi tidak dapat diterima.
Maksud dari tidak dapat diterimanya korporasi sebagai pelaku adalah bahwa
dalam hukum Islam, tidak berlaku suatu hukuman terhadap kelembagaan melainkan
terhadap perorangan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Abdul Qadir Audah yang
menyatakan bahwa salah satu syarat hukuman adalah bersifat pribadi atau perorangan.51
Syarat hukuman tersebut secara tidak langsung berdampak pada asumsi bahwa selain
orang tidak dapat disebut atau dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana. Terkait dengan
elemen jenis pelaku, penulis lebih sepakat dengan ketentuan pelaku dalam konteks hukum
pidana Islam. Hal ini penulis dasarkan pada dua alasan.
Pertama, pada dasarnya yang membuat tujuan, program kerja, serta yang
menjalankan kegiatan suatu korporasi adalah orang atau manusia. Jadi secara tidak
langsung, kesalahan (tindak pidana) yang diasumsikan pada suatu perusahaan atau
korporasi tidak dapat berdiri sendiri dengan anggapan bahwa tindak pidana tersebut
dilakukan oleh korporasi melainkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang bekerja pada perusahaan atau korporasi tersebut. Secara lebih lanjut, meskipun
korporasi – yang dapat dianggap sebagai pelaku dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang
TPPO – telah dibekukan, bukan berarti hilang kesempatan bagi orang-orang yang berbuat
atas nama korporasi tersebut untuk mendirikan korporasi dengan nama lain namun
bertujuan sama.
Kedua, apabila melihat elemen sanksi – sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15
ayat (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang – maka
sanksi tersebut secara tidak langsung akan berdampak negatif terhadap orang-orang
dalam perusahaan atau korporasi yang tidak terlibat secara langsung dalam tindak pidana
51
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabiy, t.th., hlm. 630.
lxiv
yang mengatasnamakan korporasi. Apabila sanksi tersebut diberlakukan, maka akan
muncul ketidakadilan terhadap orang-orang yang tidak terlibat. Ketidakadilan tersebut
lebih dikarenakan dengan adanya sanksi yang diberikan kepada korporasi akibat adanya
asumsi korporasi sebagai pelaku tindak pidana, maka orang yang tidak terlibat langsung
atau bahkan yang tidak terlibat sama sekali akan kehilangan mata pencaharian. Hal ini
juga didukung dengan ketentuan hukum dalam Pasal 59 KUHP yang menyatakan sebagai
berikut:52
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota
badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tidak dipidana
Dari kedua alasan di atas dapat diketahui bahwa anggapan korporasi sebagai pelaku
tindak pidana – sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO –
kurang tepat karena pada dasarnya penggerak dan pelaksana dari korporasi adalah orang.
Dalam arti yang sederhana, sebuah korporasi tidak akan dapat bergerak apalagi berbuat
tindak pidana tanpa adanya manusia atau orang di dalamnya.
Memang secara kelembagaan, korporasi memiliki tanggung jawab hukum dengan
adanya ketentuan mengenai badan hukum korporasi tersebut. Namun menurut penulis, hal itu
pada hakekatnya adalah sebagai legalitas hukum suatu tindakan yang diatasnamakan suatu
korporasi dan bukan bermakna suatu tindakan yang dilakukan suatu korporasi. Oleh sebab
itu, dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana yang mengatasnamakan suatu korporasi,
kurang tepat jika kemudian melahirkan asumsi bahwa korporasi adalah pelakunya, terlebih
lagi manakala tindak pidana tersebut hanya diketahui, direncanakan, dan dilaksanakan oleh
beberapa orang dari korporasi tersebut.
52
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm.28.
lxv
2. Ditinjau dari keterlibatan dalam melakukan tindak pidana
Klasifikasi pelaku ditinjau dari keterlibatan dalam melakukan tindak pidana dapat
dibedakan menjadi dua, yakni pelaku langsung dan pelaku tidak langsung. Pelaku langsung
adalah seseorang yang melakukan secara langsung perbuatan yang dianggap sebagai tindak
pidana meskipun tidak sampai selesai. Pelaku langsung adakalanya keterlibatannya akibat
kebetulan dan adakalanya sudah direncanakan. Sedangkan pelaku tidak langsung adalah
pelaku yang tidak terlibat secara langsung namun hanya melalui tindakan-tindakan
menyuruh, menghasut, atau memberikan bantuan.53
Terkait dengan pelaku dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, dalam
konteks hukum pidana Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Pelaku langsung
Apabila seseorang tersebut melakukan seluruh atau sebagian tindakan yang
disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO secara langsung dan
dilakukan oleh dirinya sendiri dan berhubungan dengan tujuan yang diharapkan (akibat
yang diinginkan dari perbuatannya tersebut). Pelaku langsung dalam Pasal 2 ayat (1)
dalam kajian hukum pidana Islam adalah seseorang yang melakukan seluruh tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) namun tidak termasuk dalam hal
perekrutan dalam bentuk mengajak dan mengumpulkan. Sedangkan perekrutan dalam
bentuk pemisahan seseorang dari keluarganya termasuk dalam tindak pidana langsung
dalam konteks hukum pidana Islam.
Perekrutan dalam bentuk mengajak dan mengumpulkan orang untuk melakukan
tindak pidana tidak termasuk dalam tindakan yang dapat menjadikan seseorang sebagai
pelaku langsung. Dasar dari pendapat ini adalah ketentuan dalam hukum Islam yang
53
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika,
2004, hlm. 67-70.
lxvi
mana kedua tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari menghasut dan
menyuruh.
b. Pelaku tidak langsung
Yakni pelaku yang hanya terbatas pada aspek menyuruh, menghasut, atau
memberikan bantuan. Dalam konteks perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2, maka
perbuatan yang dapat dijadikan sebagai acuan seseorang untuk dianggap sebagai pelaku
tidak langsung adalah seluruh perbuatan yang tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) yang mana
seseorang tersebut hanya melakukan perbuatan yang terbatas pada aspek menyuruh,
menghasut, atau memberikan bantuan tanpa adanya keterlibatan secara langsung dalam
perbuatan yang berhubungan dengan akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut. Hal
ini mengindikasikan bahwa meskipun dalam konteks memisahkan seseorang namun
dilakukan dengan cara menyuruh orang lain, maka hal itu akan menempatkan seseorang
yang menyuruh sebagai pelaku tidak langsung.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam konteks hukum
pidana Islam, kategorisasi pelaku dari tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 dapat
diterima dalam konteks hukum pidana Islam kecuali kategorisasi korporasi sebagai pelaku
tindak pidana. Meski dapat diterima, namun masih terdapat perbedaan pandangan pelaku
dalam konteks hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,
khususnya jika dikaji dalam konteks sanksi.
C. Nilai Aspek Perbuatan (Tindakan) Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun
2007 dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
Sebelum melangkah lebih jauh dalam melakukan analisa mengenai elemen perbuatan
(tindakan) dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dalam konteks
lxvii
hukum pidana Islam, ada baiknya penulis menguraikan hakekat tindak pidana yang
terkandung dalam pasal tersebut.
Pada dasarnya, tindak pidana perdagangan orang memiliki esensi perbuatan yang
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1):
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.....
Dalam pasal di atas sangat jelas dipaparkan bahwa tujuan dari rangkaian perbuatan
yang disebutkan tidak lain adalah untuk mengeksploitasi korban. Namun tidak semua tindak
pidana perdagangan orang harus ditujukan untuk eksploitasi, seperti pada Pasal 9 yang
disebutkan bahwa “setiap orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi” dapat disebut sebagai
tindak pidana perdagangan orang. Dengan demikian jelaslah bahwa tindak pidana
perdagangan orang tidak selalu diakhiri dengan tujuan eksploitasi.
Dalam hukum pidana Islam, suatu perbuatan atau tindakan dapat dimaknai sebagai
rangkaian suatu proses yang saling bersambung hingga terbentuk suatu tindakan untuk
mencapai tujuan yang dikehendakinya. Fase-fase rangkaian perbuatan dalam hukum pidana
Islam dapat dikelompokkan ke dalam tiga fase yang dapat dijelaskan sebagai berikut:54
1. Fase pemikiran dan perencanaan
Fase ini merupakan fase awal dari suatu tindak perbuatan di mana dalam fase ini,
seseorang baru terbatas pada penggunaan akal mereka untuk memikirkan suatu tindakan
yang akan dilaksanakan. Batasan fase ini adalah belum adanya suatu tindakan yang
dilakukan dalam arti tindakan aktif. Apabila seseorang sudah mengaktualisasikan apa
yang telah menjadi hasil pikirannya, meski baru terbatas pada fase persiapan, maka
54
Ahmad Wardi Muslich, Ibid, hlm. 61-64.
lxviii
tindakan tersebut sudah tidak dapat lagi dimasukkan sebagai fase pemikiran atau
perencanaan.
Dalam Islam, niat memiliki peranan penting. Dari niatlah suatu tindakan akan
dapat terwujudkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi SAW yang
menyebutkan bahwa sesungguhnya suatu perbuatan sangat bergantung pada niat. Inti dari
hadits Nabi tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa niat dan perbuatan
adalah sesuatu kegiatan yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan.
2. Fase persiapan
Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase pemikiran dan perencanaan. Dalam fase
ini, seseorang baru sebatas mempersiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam
tindak pidana yang telah direncanakan misalnya, melakukan pembelian senjata atau
memesan kunci palsu. Batasan dari fase persiapan adalah pelaksanaan dari bagian dari
suatu rencana tindak pidana namun belum sampai pada bagian utama dari tindak pidana.
Dalam fase ini, tindakan-tindakan yang dilakukan dapat berbentuk tindak pidana
dan dapat pula berbentuk bukan tindak pidana. Suatu contoh misalnya, seseorang akan
melakukan TPPO. Dalam proses mempersiapkan mobil, orang tersebut dapat membeli
maupun mencuri. Apabila seseorang tersebut mempersiapkan mobil dengan jalan
membeli, maka tindakan dalam persiapan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Namun apabila mobil tersebut didapat dengan cara mencuri, maka dalam persiapan
TPPO, orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Manakala orang tersebut
tertangkap, maka orang itu tidak dapat dikenakan sebagai pelaku tindak pidana TPPO
melainkan hanya dikenakan sebagai pelaku pencurian apabila persiapan mobil dilakukan
dengan jalan mencuri.
3. Fase pelaksanaan
lxix
Fase pelaksanaan adalah fase setelah perencanaan dan persiapan. Pada fase ini,
perbuatan seseorang sudah dapat dianggap sebagai jarimah apabila sudah merupakan
perbuatan maksiat. Maksud dari adanya perbuatan maksiat adalah meski perbuatan
tersebut belum sampai pada tujuan akhir dari perencanaan namun telah mengandung
aspek maksiat atau pelanggaran hak, baik hak individu maupun hak sosial. Contohnya
adalah manakala seseorang melakukan pencurian dan baru sebatas menjebol tembok
rumah korban lalu tertangkap, maka orang tersebut sudah dapat dianggap sebagai pelaku
jarimah.
Tindak pidana yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007
apabila dikaji dalam fase perbuatan menurut hukum pidana Islam, maka akan diperoleh
penjelasan sebagai berikut:
1. Kajian fase pemikiran
Secara lebih rinci mengenai aspek perencanaan dalam tindak pidana perdagangan
orang dapat dilihat dalam Pasal 11 UU No. 21 Tahun 2007 yang menyatakan sebagai
berikut:
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang
sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.
Bunyi pasal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa perencanaan
dan pemufakatan yang dimaksud dalam Pasal 11 berlaku pada sebagian atau seluruh
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang disertai dengan tujuan
eksploitasi. Implikasinya, muncul klaim bahwa Pasal 11 menganggap proses perencanaan
dan pemufakatan sudah merupakan tindak pidana perdagangan orang. Klaim tersebut
dikuatkan dengan keberadaan konsekuensi sanksi yang disamakan dengan Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 yang merupakan pasal-pasal tindak pidana yang memiliki
asumsi proses pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang. Maksudnya adalah apabila
lxx
proses perencanaan dan pemufakatan tersebut hingga mencapai tujuan adanya eksploitasi,
maka orang yang terlibat dalam proses perencanaan dan pemufakatan – baik yang ikut
terlibat dalam fase selanjutnya maupun tidak – dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana
dan perbuatannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang. Namun
jika proses tersebut belum sampai pada selesainya perbuatan, maka proses perencanaan
dan pemufakatan dapat dikategorikan sebagai percobaan tindak pidana perdagangan
orang.
Klaim dalam Pasal 11 di atas terhadap perencanaan dan pemufakatan berbeda
dengan konsep tindak pidana dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam,
apabila suatu tindak pidana perdagangan orang, baik seluruh maupun sebagian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 masih berupa
proses perencanaan dan pemufakatan, yang mana belum ditindaklanjuti dengan proses
selanjutnya kemudian dihentikan, baik oleh orang yang merencanakan atau karena
tertangkap, maka proses tersebut masuk dalam fase pemikiran atau perencanaan.
Konsekuensi dari masuknya proses perencanaan dan pemufakatan ke dalam fase
pemikiran dan perencanaan dalam konteks hukum pidana Islam adalah tidak dianggapnya
tindakan tersebut sebagai tindak pidana. Hal ini berbeda dengan konteks hukum pidana
Islam.
Tidak masuknya perencanaan dan pemufakatan sebagai tindak pidana dalam
konteks hukum Islam didasarkan pada hadits Nabi yang berbunyi: Abu Hurairah r.a
berkata: Nabi SAW telah bersabda: Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku
atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.
2. Kajian fase persiapan
lxxi
Tindakan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO apabila
dikaji dalam fase persiapan dalam konteks hukum pidana Islam maka akan ditemukan
bahwa setiap perbuatan dari masing-masing perbuatan yang tersebut dalam Pasal 2 ayat
(1) yang masih dalam tahapan mempersiapkan peralatan atau sarana yang akan digunakan
dalam tindak pidana namun belum sampai pada pelaksanaan tindak pidana perdagangan
orang dapat dikategorikan sebagai tindakan persiapan. Namun apabila tindakan persiapan
tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang dan
telah terjadi, maka tindakan persiapan sudah tidak masuk dalam tindakan persiapan
melainkan sudah dapat termasuk maupun tidak termasuk dalam tindak pidana
perdagangan orang. Disebut dapat masuk dalam tindak pidana perdagangan orang apabila
orang yang melakukan persiapan tersebut juga terlibat dalam tindakan selanjutnya dalam
tindak pidana perdagangan orang hingga tercapainya tujuan dari tindak pidana tersebut.
Sedangkan disebut tidak dapat termasuk tindak pidana perdagangan orang manakala
orang yang mempersiapkan tidak ikut terlibat dalam tindakan selanjutnya dalam tindak
pidana perdagangan orang. Salah satu tindakan yang dapat masuk dalam kategori ini
adalah tindakan dalam bentuk memberikan bantuan dalam mempersiapkan sarana atau
alat yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Anggapan dalam hukum pidana Islam tersebut berbeda dengan UU No. 21 Tahun
2007 tentang TPPO yang menyatakan bahwa perbuatan membantu dapat dikategorikan
sebagai bagian dari percobaan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 UU No.
21 Tahun 2007 tentang TPPO sebagai berikut:
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama dengan sanksi
pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Dalam pasal di atas secara tidak langsung menjelaskan bahwa setiap orang yang
memberikan bantuan, meskipun tidak ikut terlibat tindakan selanjutnya dalam tindak
lxxii
pidana perdagangan orang sudah termasuk pelaku tindak pidana perdagangan orang.
Konsekuensinya adalah apabila sampai terjadi eksploitasi dalam tindak perdagangan
orang, maka tindakan memberikan bantuan akan berakibat sanksi yang sama dengan
tindakan perdagangan orang. Sedangkan apabila tidak tercapai tujuan, maka akan
termasuk dalam perbuatan percobaan tindak pidana perdagangan orang.
Di samping ketentuan yang dijelaskan di atas, aspek kegiatan membantu dalam
Pasal 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO memiliki batasan ruang lingkup. Meski
tidak disebutkan dalam pasal tersebut, batasan ruang lingkup memberikan bantuan yang
dimaksud adalah adanya bantuan yang dilakukan secara sengaja. Hal ini sebagaimana
disandarkan pada ketentuan kegiatan memberi bantuan dalam KUHP Pasal 56 berikut ini:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.55
Berdasarkan Pasal 56 KUHP di atas, maka dapat diketahui bahwa kegiatan
membantu yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah kegiatan membantu
yang disengaja. Dengan demikian, kegiatan membantu yang tanpa disengaja tidak akan
termasuk sebagai tindak pidana.
Menurut penulis, istilah “sengaja” mengandung makna bahwa perbuatan yang
dilakukan didasari adanya aspek mengetahui dari orang yang memberikan bantuan. Hal
ini dikarenakan kesengajaan identik dengan adanya pengetahuan dari pemberi bantuan
tentang akibat-akibat yang timbul dari pemberian bantuan yang dilakukannya.
Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan
dalam konteks kegiatan memberi bantuan suatu tindak pidana antara UU No. 21 Tahun
2007 tentang TPPO dengan hukum pidana Islam. Persamaan tersebut adalah dalam aspek
55
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 27.
lxxiii
mengetahui, sedangkan perbedaannya adalah dalam hal status orang yang memberikan
bantuan.
Menurut hukum pidana Islam, orang yang memberi bantuan tapi tidak mengetahui
akibat dari pemberian bantuannya tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari tindak
pidana. Hal ini disandarkan pada aspek syarat perbuatan dalam hukum pidana Islam yang
menyatakan bahwa perbuatan harus diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.56
Jadi
apabila seseorang yang memberikan bantuan tanpa mengetahui dampak dari perbuatan
yang dilakukannya tidak dapat disebut sebagai pelaku dari perbuatan tindak pidana
karena tidak memenuhi syarat dari tindak pidana menurut hukum pidana Islam. Hal ini
pun sama dengan yang dimaksud dengan batasan memberi bantuan dalam Pasal 10 UU
No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal 56.
Dalam konteks hukum pidana Islam, seseorang yang membantu pelaksanaan suatu
tindak pidana tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana yang
dimaksud dengan kategori tindak pidana melainkan hanya dipandang sebagai orang yang
memberikan bantuan. Hal ini nantinya berdampak pada jenis sanksi yang akan diterima.
Menurut hukum Islam, seseorang akan dikenakan hukuman sesuai dengan hasil
perbuatan yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana disebutkan Allah dalam salah satu
firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Najm ayat 39:
βr&uρ }§øŠ©9 Ç≈ |¡ΣM∼Ï9 āω Î) $ tΒ 4 tëy™ ∩⊂∪
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”
Oleh sebab itu, dalam hal kriteria orang yang membantu, Islam membedakan
antara orang yang memberi bantuan atas dasar telah mengetahui maksud dan tujuan orang
56
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika,
2004, hlm. 31.
lxxiv
yang meminta bantuan dan orang yang memberikan bantuan tanpa didasari pengetahuan
tentang apa akibat dari pemberian bantuannya. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 10
UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal 56 yang tetap memasukkan orang
yang memberikan bantuan sebagai pelaku tindak pidana.
3. Kajian fase pelaksanaan
Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 ayat (1) dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok pelaksanaan, yakni:
a. Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang yang berakhir dengan eksploitasi orang
atau telah terjadi eksploitasi orang.
b. Pelaksanaan tindak pidana perdagangan orang yang mana dalam pelaksanaannya
tidak terjadi tindak pidana perdagangan orang.
Penegasan tentang pembatasan tindak pidana dalam aspek pelaksanaan dengan
eksploitasi atau tidak adalah Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (2)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak
pidana perdagangan orang dan tindak pidana tersebut tidak terjadi…
Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa yang membatasi tindak pidana
perdagangan orang adalah ada atau tidaknya unsur eksploitasi terhadap korban. Selain
dua unsur tersebut, terdapat hal lain yang terkandung dalam Pasal 9 dalam istilah “tidak
terjadi”. Menurut penulis, meski tidak ditulis atau bahkan dijelaskan mengenai batasan
“tidak terjadi” dalam Pasal 9 maupun dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,
lxxv
batasan “tidak terjadi” dapat dijelaskan dengan menggunakan KUHP Pasal 53 tentang
percobaan.
”Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
ada adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”
Percobaan yang dimaksud dalam pasal di atas terbatas pada percobaan yang tidak
terhenti oleh kehendaknya sendiri. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif
Indonesia, orang yang melakukan percobaan namun kemudian dia menghentikan sendiri
percobaan tersebut – tanpa harus ditangkap – maka orang tersebut tidak dapat disebut
telah melakukan tindak pidana. Sedang apabila terhentinya karena tertangkap maka dia
dapat disebut telah melakukan tindak pidana.
Hal ini sama dengan ketentuan hukum pidana Islam yang juga menyatakan bahwa
orang yang melakukan percobaan tindak pidana dan kemudian berhenti karena
keinginannya sendiri tidak dianggap telah melakukan tindak pidana selama belum
menimbulkan kerugian. Namun apabila telah melakukan beberapa bagian dari perbuatan
dan telah menimbulkan kerugian, khususnya materi, maka orang tersebut cukup
mengganti kerugian materi yang telah timbul akibat perbuatannya.
Selain terkandung persamaan, dalam hal percobaan, terdapat juga perbedaan
antara hukum positif di Indonesia (UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP Pasal
53) dengan hukum pidana Islam. Perbedaan tersebut terkait dengan status orang yang
melakukan percobaan dan tertangkap. Dalam konteks hukum pidana Islam, tindakan yang
dianggap sebagai percobaan, masing-masing perbuatan atau tindakan memiliki hakekat
sendiri-sendiri namun tetap tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO jo KUHP
Pasal 53. Perbedaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaan sanksi antara hukum
pidana Islam dengan hukum positif tentang tindak pidana perdagangan orang.
lxxvi
Suatu contoh misalnya, seseorang memiliki niat untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang. Lalu dia berangkat menuju rumah korban. Namun sewaktu baru
dapat merusak pintu pagar dan belum melakukan tindak pidana perdagangan orang,
pelaku tersebut telah tertangkap. Dalam hukum pidana Islam, pencuri tersebut tidak dapat
dikenakan sebagai pelaku dari tindak pidana perdagangan orang namun hanya sebatas
pada pelaku pengrusakan. Namun dalam pandangan hukum positif, orang tersebut sudah
dapat disebut sebagai pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang karena telah
memiliki niat dan telah melakukan sebagian dari proses tindak pidana perdagangan orang.
Perbedaan tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan sanksi yang akan diterima.
Perbedaan tersebut lebih dikarenakan dalam konteks hukum pidana Islam, tindak
pidana atau yang dikenal dengan istilah "jarimah" diartikan sebagai larangan syara’ yang
dijatuhi sanksi oleh pembuat syari'at (Allah) dengan hukuman had atau ta'zir. Para fuqaha
(yuris Islam) menggunakan kata "jinayah" untuk istilah "jarimah" yang diartikan sebagai
perbuatan yang dilarang. Pengertian "jinayah" atau "jarimah" tidak berbeda dengan
pengertian tindak pidana (peristiwa pidana); delik dalam hukum positif (pidana).
Sebagian para ahli hukum Islam sering menggunakan kata-kata "jinayah" untuk
"jarimah" yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang dilarang saja. Sedangkan
yang dimaksud dengan kata "jinayah" ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, apakah
perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.57
Lebih lanjut, tindak pidana dalam
hukum Islam didasarkan pada niat, jenis perbuatan, dan akibat yang dihasilkan dari tindak
pidana tersebut.
Berdasarkan penjelasan mengenai aspek perbuatan atau tindakan di atas dapat
diketahui bahwa terdapat perbedaan antara hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21
Tahun 2007 tentang TPPO. Menurut penulis, perbedaan pengelompokkan tindak pidana
57
Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari'at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2006, hlm. 123.
lxxvii
antara hukum pidana Islam dengan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 terletak pada hakekat
yang berbeda mengenai ketiga hal, yakni hakekat tindak pidana yang telah selesai
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 hingga Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2007, memberikan
bantuan dan melakukan percobaan sebagaimaan dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007
tentang TPPO jo KUHP Pasal 53 tentang percobaan dan KUHP Pasal 56 tentang pembantu
tindak pidana. Menurut hukum pidana Islam, asumsi dan penuduhan suatu tindak pidana
disandarkan pada akibat yang dihasilkan dari suatu tindak pidana dan tidak hanya terbatas
pada adanya niat. Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO, suatu tindak
pidana telah dapat disematkan pada tindak pidana seseorang dengan disandarkan pada niat
dari pelaku.
D. Nilai Aspek Sanksi Pidana dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dalam
Perspektif Hukum Pidana Islam
Aspek sanksi pokok dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dalam
kajian hukum pidana Islam dapat dianalisa melalui pengelompokan sebagai berikut:
1. Aspek sanksi didasarkan pada pelaku
Aspek sanksi yang didasarkan pada pelaku dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007
tentang TPPO terdiri dari sanksi untuk perorangan, sanksi untuk kelompok, dan sanksi
untuk pelaku bukan orang. Sanksi untuk perorangan dan kelompok pada hakekatnya
sama, yakni tergantung selesai atau tidaknya tindak pidana perdagangan orang. Apabila
tindak pidana selesai dilakukan dan diakhiri dengan eksploitasi maka akan dikenakan
sanksi tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan apabila tindak pidana tersebut tidak
selesai, maka akan dikenakan sanksi pidana percobaan tindak pidana perdagangan orang.
Tidak ada pembedaan antara hukuman perorangan dan kelompok, bahkan dalam tindak
lxxviii
pidana yang dilakukan oleh kelompok, setiap anggota kelompok akan mendapat sanksi
yang sama antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan sanksi untuk pelaku bukan orang
dikhususkan pada korporasi atau perusahaan. Sanksi yang dikenakan kepada korporasi
atau perusahaan adalah pemberatan 3 (tiga) kali dari sanksi perorangan atau kelompok.
Aspek sanksi pidana dalam konteks pelaku pada Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang
TPPO sangat berbeda dengan konsep sanksi dalam hukum pidana Islam.
Berdasarkan keterlibatan pelaku, pelaku kelompok memang dapat berpeluang
mendapatkan sanksi yang sama manakala setiap anggota kelompok melakukan tindak
pidana yang sama. Namun jika masing-masing anggota kelompok melakukan tindak
pidana yang berbeda dalam konteks tindak pidana perdagangan orang, maka sanksi yang
diterima pun akan berbeda-beda sesuai dengan kadar tindak pidana yang dilakukan oleh
masing-masing anggota kelompok.
Apabila seseorang terlibat dalam tindak pidana namun secara tidak langsung,
seperti memberikan bantuan atau menghasut orang untuk melakukan suatu tindak pidana,
maka dia tidak dapat dikenakan sanksi yang sama dengan pelaku yang terlibat langsung
dalam tindak pidana perdagangan orang. Jadi sanksi yang diberikan kepada pelaku
disandarkan pada keterlibatan pelaku dalam tindakan dan bukan disandarkan pada aspek
kesamaan niat. Apabila pelaku terlibat secara langsung, maka ia akan mendapatkan sanksi
yang lebih besar daripada pelaku yang terlibat tidak langsung.
Berdasarkan jenis pelaku, terdapat perbedaan antara hukum pidana Islam dengan
UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Perbedaan tersebut terletak pada aspek jenis
keaktifan pelaku. Dalam hukum pidana Islam, yang dapat disebut sebagai pelaku adalah
pihak yang mengerjakan tindak pidana. Dari pengertian tersebut maka dalam hukum
pidana Islam pihak yang dapat dikenakan sanksi adalah pihak yang melakukan tindak
pidana.
lxxix
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam hukum pidana
Islam, suatu perusahaan atau korporasi tidak dapat dikenakan sanksi pidana pokok akibat
tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dengan
mengatasnamakan perusahaan atau korporasi. Hal ini berbeda dengan UU No. 21 Tahun
2007 tentang TPPO yang memasukkan korporasi sebagai pelaku yang mana berdampak
pada pemberian sanksi pidana layaknya pelaku pidana. Mengenai penjelasan ini telah
penulis paparkan dalam penjelasan sebelumnya, khususnya mengenai klasifikasi pelaku
pidana.
Berpijak pada ketentuan dalam hukum pidana Islam maupun KUHP Pasal 59,
maka ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang kurang tepat manakala sanksi untuk korporasi diberlakukan hanya
karena pelanggaran yang dilakukan oleh satu atau sebagian anggota korporasi. Apabila
diberlakukan, maka secara tidak langsung akan terjadi pelanggaran hukum, khususnya
Pasal 59 KUHP karena adanya pemberian sanksi pidana kepada orang-orang yang tidak
terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang. Dalam konteks hukum Islam, sanksi
terhadap korporasi secara tidak langsung mengindikasikan adanya tanggungan dosa atas
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan
dalam Islam yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat menanggung dosa orang lain
sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 18:
Ÿωuρ â‘ Ì“s? ×οu‘ Η#uρ u‘ ø— Íρ 2”t� ÷zé& 4 βÎ)uρ äí ô‰s? î' s#s)÷W ãΒ 4’n<Î) $ yγ Î=÷Η¿q Ÿω ö≅yϑøtä† çµ ÷ΖÏΒ Ö óx« öθ s9 uρ tβ% x. #sŒ #’n1ö� è% 3
$ yϑΡÎ) â‘ É‹Ζè? tÏ%©!$# šχöθ t± øƒs† Νåκ®5u‘ Í=ø‹ tó ø9 $$ Î/ (#θ ãΒ$s%r& uρ nο4θ n=¢Á9 $# 4 tΒ uρ 4’ª1 t“s? $ yϑΡÎ* sù 4’ª1 u”tItƒ ϵš ø�uΖÏ9 4
’ n<Î)uρ «!$# ç�� ÅÁ yϑø9 $# ∩⊇∇∪
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang
berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan
dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.
lxxx
Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan Hanya orang-orang yang takut kepada
azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan
sembahyang. dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan
diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu).”
2. Aspek sanksi didasarkan perbuatan
Dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO disebutkan bahwa tindak
pidana perdagangan orang merupakan serangkaian tindakan yang diniati dengan
keinginan untuk memperdagangkan orang meskipun berakhir dengan adanya eksploitasi
maupun tidak. Pada pasal tersebut, sanksi yang diberikan ada dua macam sanksi yakni
sanksi untuk tindak pidana yang berakhir dengan adanya eksploitasi dan tindak pidana
yang tidak berakhir dengan eksploitasi. Setiap pelaku yang telah melakukan tindak pidana
perdagangan orang, meskipun dengan bagian tindakan yang berbeda-beda, tetap akan
disamakan dalam hal sanksi yang akan diterima. Hal ini berbeda dengan konteks hukum
pidana Islam yang mengenakan sanksi pidana berdasarkan pada perbuatan yang dilakukan
dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks hukum pidana Islam, adanya persamaan sanksi
dari setiap perbuatan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO tidak dapat diterima.
Menurut hukum pidana Islam, idealnya setiap tindakan tersebut baru dapat dikenakan
hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 apabila telah sampai pada pelaksanaan
esensi dari tindak pidana yang ada dalam pasal tersebut, yakni tindak pidana perdagangan
orang. Jadi dalam konteks hukum pidana Islam, selama tidak terkandung esensi tindak
pidana perdagangan orang, maka seseorang tidak dapat dikenakan sanksi tindak pidana
perdagangan orang. Secara kajian hukum pidana Islam, ada beberapa jenis sanksi yang
dapat dikenakan dalam tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut:
lxxxi
a. Apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang telah melakukan seluruh tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan mengakibatkan orang lain tereksploitasi
maka dapat dikenakan sanksi tindak pidana dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan orang atau pemanfaatan kerja fisik
dan tidak menyebabkan korban mengalami luka, maka pelaku dapat dikenakan
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang
TPPO.
2) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan organ tubuh orang yang didahului
dengan pelukaan terhadap korban, maka pelaku tidak dapat dikenakan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO
melainkan diberlakukan sanksi qishash-diyat.
3) Apabila eksploitasi tersebut berupa penjualan organ tubuh orang yang didahului
dengan pembunuhan korban, maka pelaku dapat dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO namun dengan hukuman
yang maksimal, yakni hukuman mati. Namun hukuman tersebut dapat berubah
diyat apabila ada permaafan dari pihak keluarga korban. Dengan demikian,
apabila ada pengampunan, maka dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
4) Apabila eksploitasi tersebut disertai dengan perzinaan, maka pelaku dikenakan
sanksi sebagai pelaku perzinaan.
5) Apabila dalam eksploitasi tersebut disertai dengan beberapa tindak pidana,
semisal perzinahan dan penganiayaan maka sanksi yang diberikan kepada pelaku
adalah sanksi gabungan dari masing-masing sanksi tindak pidana yang telah
dilakukan.
lxxxii
b. Apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang telah melakukan seluruh tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan mengakibatkan orang lain tereksploitasi
maka dapat dikenakan sanksi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU
tersebut.
c. Apabila pelaku hanya melakukan sebagian tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan terjadi eksploitasi namun pelaku
tidak terlibat dalam tindakan yang mengandung unsur eksploitasi maka dalam konteks
hukum pidana Islam, pelaku tidak dapat dikenakan sanksi sebagai pelaku langsung
tindak pidana perdagangan orang. Sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku
sebagaimana dimaksud dalam item ini dalam konteks hukum pidana Islam terbatas
pada sanksi sebagai pelaku tindak pidana sesuai dengan tindakan yang dilakukan.
d. Apabila pelaku hanya memberikan bantuan atau menyuruh orang lain untuk
melakukan sebagian atau seluruh tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
mengakibatkan orang lain tereksploitasi maka orang tersebut tidak dapat dikenakan
sanksi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Menurut hukum
pidana Islam, pelaku tersebut masuk dalam kategori pelaku tidak langsung karena dia
tidak melakukan tindak pidana tersebut melainkan hanya menyuruh yang merupakan
esensi tindak pidana tidak langsung dalam hukum pidana Islam. Dengan demikian,
sanksi yang diberikan kepadanya adalah sanksi sebagai pelaku tidak langsung tindak
pidana perdagangan orang.
e. Apabila pelaku hanya memberikan bantuan atau menyuruh orang lain untuk
melakukan sebagian atau seluruh tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
tidak mengakibatkan orang lain tereksploitasi maka orang tersebut tidak dapat
dikenakan sanksi tindak pidana sebagai pelaku percobaan sebagaimana dimaksud
dalam UU tersebut. Menurut hukum pidana Islam, pelaku tersebut masuk dalam
lxxxiii
kategori pelaku tidak langsung namun bukan berdasarkan tindak pidana perdagangan
orang melainkan pelaku tidak langsung dari tindak pidana yang telah timbul. Dengan
demikian, sanksi yang diberikan kepadanya adalah sanksi sebagai pelaku tidak
langsung bukan dari tindak pidana perdagangan orang melainkan sebatas pada tindak
pidana yang telah dilakukan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa sanksi pidana tindak
pidana perdagangan orang dalam perspektif hukum pidana Islam tidak dapat hanya
disandarkan pada ketentuan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007
tentang TPPO melainkan dapat disandarkan pada ruang lingkup tindak pidana yang
dilakukan. Dalam konteks jenis jarimah, maka sanksi yang telah penulis jelaskan di atas
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Apabila terjadi tindak pembunuhan dalam melakukan tindak pidana perdagangan orang,
maka dapat dikenakan sanksi sebagai jarimah hudud atau qishash-diyat.
b. Apabila terjadi tindak penganiayaan dalam melakukan tindak pidana perdagangan
orang, maka dapat dikenakan sanksi sebagai jarimah qishash-diyat.
c. Apabila tidak terjadi tindak pidana pembunuhan maupun penganiayaan dalam tindak
pidana perdagangan orang meski hanya melakukan sebagian maupun seluruhnya, maka
dapat dikenakan sanksi pidana ta’zir, baik dalam konteks sanksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO maupun ta’zir di luar sanksi dalam
pasal tersebut.
Dengan demikian, sanksi tindak pidana perdagangan orang menurut hukum pidana
Islam tidak hanya terbatas pada sanksi yang terkandung dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun
2007 tentang TPPO melainkan dapat lebih atau kurang dari sanksi yang terkandung dalam
pasal tersebut sesuai dengan kadar tindakan yang diukur dari akibat kerugian yang
dihasilkan dari tindak pidana tersebut.
lxxxiv
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Tindak pidana Trafficking mengandung tiga unsur utama, yaitu; 1) Rekrutmen. 2)
Diperuntukkan bekerja atau melayani. 3) untuk keuntungan pihak yang
memperdagangkan. Dalam UU NO. 21 Tahun 2007, tindak pidana Trafficking
dikategorikan dalam tiga aspek, yaitu: 1) Aspek pelaku yang dibedakan pada jumlah
pelaku dan keterlibatan pelaku. 2) Aspek perbuatan yang terdiri dari fase pemikiran, fase
persiapan dan fase pelaksanaan. 3) Aspek sanksi yang didasarkan pada pelaku dan
perbuatan.
2. Trafficking dalam hukum pidana Islam termasuk dalam jarimah penganiayaan yang
disengaja (al-jinayah ala maaduuna al-nafsi amdan). Itu dikarenakan trafficking masuk
dalam jarimah inabah (perusakan) terhadap athraf (anggota badan). Terkait dengan
pelaku, dalam konteks hukum pidana Islam, tidak seluruh pelaku dapat dikategorikan
sebagai pelaku langsung melainkan disesuaikan dengan kadar keterlibatan perbuatan.
Selain perbedaan pelaku berdasarkan keterlibatan dalam perbuatan, juga terdapat
perbedaan dari segi obyek pelaku di mana dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO,
korporasi dapat disebut sebagai pelaku, sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak
dapat, karena bukan manusia yang dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum. Dalam
konteks tindak pidana, esensi yang menjadi perbedaan antara UU TPPO dan Hukum
Pidana Islam terletak pada ruang lingkup perbuatan. Perbedaan pengelompokkan tindak
pidana antara hukum pidana Islam dengan UU No. 21 Tahun 2007 terletak pada hakekat
lxxxv
yang berbeda mengenai ketiga hal, yakni hakekat tindak pidana yang telah selesai. Aspek
pidana UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO memiliki persamaan dan perbedaan dengan
hukum pidana Islam. Aspek persamaan terkandung dalam sanksi pidana terhadap pelaku
pidana perdagangan orang yang tidak terkandung dalam unsur zina dan pembunuhan.
Sedang perbedaan terlihat dari:
a. Aspek penilaian tindak pidana dimana dalam UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO
tindak pidana hanya menyangkut dengan aktifitas yang dapat menyebabkan
eksploitasi manusia sedangkan dalam konsep hukum pidana Islam meliputi setiap
tindakan yang menyebabkan dan juga akibat yang dihasilkan.
b. Sanksi pidana terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan tujuan eksploitasi
seksual, dimana dalam UU No.21 tahun 2007 tentang TPPO, sanksi pidana disamakan
antara pelaku dan pemanfaat dari adanya eksploitasi seksual akibat perdagangan
orang yang disandarkan dalam kebijakan hukum negara, sedangkan dalam hukum
pidana Islam sanksi pidana tersebut haruslah disandarkan pada sanksi jarimah hudud
karena termasuk perkara zina. Jadi antara pelaku dan pemanfaat harus dibedakan
sanksinya.
B. SARAN
Berdasar pada hasil penelitian ilmiah ini, maka penulis dengan kerendahan diri
memberikan saran yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Jika memperhatikan secara seksama terhadap persamaan antara orang yang melakukan
tindak pidana perdagangan dengan cara menjual orang lain dan orang yang menjual
dirinya sendiri dalam aspek tindak pidana perdagangan orang, perlu adanya pertimbangan
untuk menambahkan perbedaan (diferensiasi) hukuman berdasarkan pada jenis tindak
pidana yang dilakukan dalam kaitannya dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
lxxxvi
2. Perlu adanya pertimbangan untuk melibatkan MUI dalam penyusunan perundang-
undangan di Indonesia sebab MUI merupakan representasi dari keberadaan hukum Islam
di Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai ajaran Islam akan tetap terkandung dalam
perundang-undangan yang dihasilkan sehingga umat Islam akan dapat melaksanakannya
tanpa adanya keraguan.
lxxxvii
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid & Asep Arifin,
2012 Tafsir Ayat Hukum Pidana Islam, Bahan Ajar Prodi HPI UIN Sunan Gunung
Djati Bandung
Abdul Qadir Audah,
At-Tasyri’ Al-jinaiy Al-Islamiy juz I, Beirut: Baar Al-Kitab Al-Arabiy, T.th.
Abu Zahrah,
Al-Jarimah, wa Al-uqubah fi al-fiqh, Al-islami, Al-maktabah Al-angelo Al-misriyah.
Ahmad hanafi,
1986 Asas-asas Hukum Pidana Islam , Bulan Bintang, Jakarta.
Ahmad Wardi Muslich,
2004 Pengantar dan Asas HPI, Fiqih Jinayah, Sinar Grafika Jakarta.
2005 Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Jakarta.
Ali Nurdin,
2006 Qur’anic Society, Menelusuri Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur’an, Erlangga,
jakarta.
Andi Hamzah,
2007 KUHP & KUHAP, Bineka Cipta, Jakarta.
Ashgar Ali Engirer,
1993 Islam And Its Relevance To Our Age, terjemahan Hairus Salim & Imam Baihaqi,
LKIS, Yogyakarta.
2006 Islam dan Theologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Jakarta.
Aspri S Karni,
2005 ed, Pesan-pesan Taqwa, Nurkholis Majid, Kumpulan Khutbah Jum’at di
Paramadina, Paramadina, Jakarta.
Halimah,
1968 Hukum Pidana Islam Menurut Ahli Sunah Wal Jamaah, Bulan Bintang, Jakarta.
Henny Nur’aeny,
2011 Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana &
Pencegahannya, Sinar grafika, jakarta.
Irwanto Dkk,
2001 Perdagangan Anak Di Indonesia, ILO, Jakarta
lxxxviii
L. M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru ,
2010 Trafiking Perempuan dan Anak Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Makhrus Munajat,
2004 Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta, Lorong Pustaka
Rachmat Syafe’i,
2001 Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung.
Rahmad Rosyadi & Rais Ahmad,
2006 Formulasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor Chalia
Indonesia.
Sayyed Hossein Nasr,
2003 The Heart Of Islam, Terjemahan Nur Asiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan
Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Mizan, Bandung.
Supriyadi,
2005 Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi &
Advokasi Masyarakat.
Teguh Prasetyo & A. Halim Barkatulah,
2005 Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Topo Santoso,
2001 Menggagas HPI Penerapan Dalam Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas,
Asy Syamil & Grafika, Bandung
Zuhairi Misrowi & Noviantoni,
2004 Doktrin Islam Progresif, Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, LSIP,
Jakarta.
__Departemen Agama Terjemahan.
__Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid III
__UU No 27 Tahun 2007 ttg PPPO
__UU No 39 Tahun 1999 Tahun 1991 Ttg HAM