SKRIPSI - Perpustakaan UIN Walisongo...
Transcript of SKRIPSI - Perpustakaan UIN Walisongo...
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KORPORASI YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Pasal 20 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
FAQIHUDIN
NIM. 072211021
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
ii
Drs. Mohammad Solek, M.A.
JL. Segaran Baru RT 4/XI Purwoyoso Ngalian Semarang.
M. Harun, S.Ag. M.H
Jl. Mega Permai 11/40 Bringin Ngalian Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdr. Faqihudin IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : Faqihudin
NIM : 072211021
Jurusan : Jinayah Siyasah
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Korporasi yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pasal 20
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU. 20 Tahun 2001)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 12 Desember 2011
Pembimbing I
Drs. Mohammad Solek, M.A.
NIP. 196603181993031004
Pembimbing II
M. Harun. S.Ag. M.H
NIP. 197508152008011017
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH Alamat : Jalan Raya Boja Ngaliyan Km. 3 Semarang 50159 Telp. (024) 7601297
PENGESAHAN
Nama : Faqihudin
NIM : 072211021
Jurusan : Jinayah Siyasah
Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Korporasi yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pasal 20
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU. 20 Tahun 2001)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat
cumlaude / baik / cukup, pada tanggal : ________________________
dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun
akademik 2011/2012.
Semarang, 29 Desember 2011
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
(.............................) (.............................)
Penguji Penguji
(.............................) (...............................)
Pembimbing I
Drs. Mohammad Solek, M.A.
NIP. 196603181993031004
Pembimbing II
M. Harun. S.Ag. M.H
NIP. 197508152008011017
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, 12 Desember 2011
Deklarator,
Faqihudin
NIM. 072211021
v
ABSTRAK
Korupsi merupakan perbuatan seseorang atau sekelompok orang,
menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah keinginannya dan
mempengaruhi si penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna
mengabulkan permohonannya. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan berlakunya Undang-undang. No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga merupakan langkah prestatif yang
dilakukan oleh pembentuk Undang-undang, mengingat bahwa uu. No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu uu. No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan lebih efektif dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Rumusan masalah dalam sekripasi ini adalah bagaimana bentuk
rumusan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi yang
diterapakan dalam pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Bagaimana tinjauan
hukum Islam terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi
yang diberlakukan dalam pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu metode penelitian
dengan mengumpulkan data-data, disusun, dijelaskan, dianalisa dan
diinterpretasikan dan kemudian disimpulkan. Disamping itu, jenis penelitian ini
adalah penelitian literatur/ kepustakaan (library reseach). Penelitian dilakukan
dengan jalan membaca, menelaah buku-buku/kitab , dan kaidah-kaidah hukum
normatif.
Dengan demikian tindakan korupsi yang dilakukan oleh korporasi
dapat dianggap sebagai tindak pidana, sebagaimana di atur dalam Pasal 20 UU.
31/1999 jo. UU. 20/2001 hal ini didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana yang meliputi baik unsur formil maupun matriil. Sebagaiman
hukum positif hukum Islam juga mengenal adanya korprorasi ini terbukti
dengan beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kelompok atau
korporasi.
Kata kunci: Korupsi, Korporasi, Hukum Islam
vi
MOTTO
ه وسلم قال آة عل صلى للا رةأن رسول للا عن أبه عن أب هر
و ا ن ان ا اا ث و وع أ ل
(رو ه بخاري)
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Tanda-tanda orang
munafik itu ada tiga, yaitu; jika berbicara berdusta, jika
berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat".
(HR. Bukhari)
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua
tercinta, Ibu Sholihah dan Bapak Aspawi (alm) Atas
curahan Doa, bimbingan dan kasih sayang mereka berdua
penulis bisa seperti sekarang ini.
Kakak dan Adik-adiku tercinta, Mustaidah, Umaroh,
Aliatus Sa‟ni, Nurofiq Amarudin, Khilyatul Aulia, „Ala
Al-„Aqil, Hisbi Maulana
Keluarga besar waud dan duhran dimanapun berada
Murrabbi ruuhina KH. Abdul mana syukur,
KH. Aufal Marom
Segenap Keluarga Besar PP. Nurul Anwar Sarang
Rembang PP. Al-Qur‟An Nurul Huda Singosari
Malang, MA Al-Ma‟arif Malang
Sahabat-sahabat karibku dan Kawan-kawan seperjuangan
“Jangan pernah lemahkan kepalan tangan kiri, karena
perjuangan belum Usai….!!!”
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karuniaNya
kepada kita semua berupa akal dan fikiran sehingga manusia mampu merenungi
kebesaran dan kuasaNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
bagida besar sayyidina Muhammad SAW. Semoga kita termasuk umatnya yang
mendapatkan limpahan syafa’atnya di akhirat kelak.
Dengan penuh kerendahan hati, penulis bersyukur dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang sederhana berupa skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pasal 20 UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU. 20 Tahun 2001)” dengan lancar tanpa banyak kendala
yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. DR. Muhibbin, M.Ag, rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan Pembantu Dekan I, II dan III yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk menulis skripsi ini dan yang telah mencurahkan tenaga
dan fikiranya guna menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif
sehingga penulis bisa menyelesaikan studi formal di bangku kuliah dengan
baik.
3. Drs. Mohammad Solek, M.A, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, dan
Rustam Dahar KAH, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
ix
4. Drs. Mohammad Solek, M.A, dan M. Harun. S.Ag. M.H, selaku Pembimbing
atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas
sehingga penulis bisa menyelesaikan karyatulis ini dengan baik.
5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian
kata-kata.
6. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi
ini. Dan penulis untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua amal
kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada
penulis”, amin.
7. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu,
terutama teman-teman JS angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, 12 Desember 2011
Penulis,
Faqihudin
NIM. 072111002
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ...................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................... v
HALAMAN MOTTO ............................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI ....................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 6
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II KETENTUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK
PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Dalam Hukum Islam ............. 16
1. Pengertian Korupsi ................................................................. 16
2. Pengertian Korupsi Dalam Hukum Islam ............................... 18
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam ...................... 28
C. Tinjauan Umum Tentang Korporasi ............................................. 33
1. Pengertian Korporasi .............................................................. 32
2. Jenis-jenis Korporasi .............................................................. 33
3. Korporasi Dalam Hukum Islam ............................................. 34
xi
4. Pertanggungjawaban Korporasi Perspektif Hukum Islam ...... 37
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DALAM UU TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Latar Belakang Munculnya UU. No. 31 Tahun 1999 dan UU. 20
Tahun 2001 ................................................................................... 41
1. Latar Belakang Munculnya UU No. 31 Tahun 1999 ................ 41
2. Latar Belakang Munculnya UU. No. 20 Tahun 2001 .............. 44
B. Rumusan/formulasi Perbuatan Pidana Korupsi ............................ 47
C. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 ................................................................................... 55
1. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum ............................ 55
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang no.
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang no. 20 tahun 2001 ........... 59
BAB IV ANALISIS PIDANA ISLAM TERHADAP KORPORASI
YANGMELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Analisis Dari Segi Pertanggungjawaban Pidana .......................... 67
B. Analisis Dari Segi Sanksi Pidana ................................................. 82
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulann ................................................................................. 91
B. Saran-saran .................................................................................... 92
C. Penutup .......................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan
hukum dan ekonomi bagi suatu negara, karena masalah korupsi telah ada sejak
ratusan tahun yang lalu baik di negara maju maupun di negara berkembang
termasuk di Indonesia. Korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parah
ibarat sebuah lingkaran setan yang tidak diketahui ujung pangkalnya dari mana
menguraikan dan mencegahnya serta menjadi masalah yang luar biasa karena
telah berjangkit ke seluruh lapisan masyarakat sehingga sudah merupakan
bagian kebudayaan masyarakat.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga
tahap, yaitu elitis, endemic, dan systemic. Pada tahap elitis korupsi masih
menjadi patologi/gangguan/penyimpangan sosial yang khas di lingkungan para
elit/pejabat. Dalam tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau lapisan
masyarakat luas. Lalu ditahap yang kritis, ketika korupsi menjadi systemic,
setiap setiap individu terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit
korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.1
Kasus korupsi terkini adalah pembangunan wisma atlet di Palembang
yang merupakan proyek pemerintah yang dibiayai dana APBN dan terjadi
dugaan suap menyuap antara perusahaan (korporasi) pelaksana proyek
1 Ermansajah Djaja, Membarantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafindo,
2010, hlm. 12
2
pembangunan wisma atlet sea games dengan pejabat Pemerintah. Kasus
tersebut kemungkinan melibatkan banyak pihak. Komite Pengawas KPK untuk
Kasus Nazaruddin (KPK2N) menduga, “Kami tidak punya bukti bahwa
Nazaruddin berbohong. Teorinya itu, korupsi politik pasti melibatkan banyak
orang, melibatkan birokrat, kapitalis, non kapitalis, korporasi, dalam kasus
Nazaruddin”, ujar Boni Hargens, salah satu anggota KPK2N saat mendatangi
gedung KPK, Jakarta.2
Korupsi merupakan perbuatan seseorang atau sekelompok orang,
menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah keinginannya dan
mempengaruhi si penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna
mengabulkan permohonannya.3 Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana. Memperkaya diri
sendiri, orang lain atau korporasi4 dan merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.5
Menyinggung masalah korporasi, tidak ada lagi yang dapat
menyangkal bahwa dalam lapangan hukum perdata sudah sangat lazim
korporasi/badan hukum diakui sebagai subjek hukum. Dalam hal ini korporasi
2 http://www.kompas.com/ rabu 12 Oktober 2011
3 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi (melalui hukum pidana nasional dan
Internasional), Raja Grafindo, Jakarta, hlm.28 4 Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan
seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya. Korporasi juga
merupakan institusi legal, suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat
sesuatu ditentukan oleh hukum. Mandat korporasi secara legal didefiniskan sebagai untuk
memperoleh, tanpa henti dan tanpa kecuali, keuntungan pribadi (self interest), tanpa
memedulikan apakah upayanya tersebut berdampak merugikan kepada pihak-pihak lain. Joel
Bakan, The Corporation The Pathological Pursuit of Profit and Power, 2010, hlm. 2 5 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas, 2002,
hlm. 64
3
dapat melakukan perbuatan hukum (positif) seperti mengadakan/membuat
perjanjian, melakukan transaksi jual beli, dan lain-lain. Apabila dalam hukum
perdata korporasi/badan hukum sudah lazim menjadi subyek hukum,
pertanyaan yang muncul adalah, apakah dalam lapangan hukum pidana badan
hukum/korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana. Sebab berdasarkan Pasal
59 KUHP, subyek hukum pidana korporasi tidak dikenal, karena menurut
hukum pidana umum subjek hukumnya adalah manusia.6 Korporasi merupakan
sebutan yang lazim digunakan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa
yang lazim dalam hukum perdata sebagai badan hukum.
Kejahatan korporasi yang semakin canggih baik bentuk ataupun
jenisnya maupun bentuk operadinya sering melampaui batas, digambarkan
ibarat “gurita” yang merambah ke segala arah tanpa kendali. Mereka dapat
berbuat sesukanya tanpa mengindahkan etika, bahkan memanfaatkan berbagai
instrumen hukum untuk kepentingannya. Perbuatan korporasi ini dapat
dikategorikan sebagai suatu tindak pidana karena dengan perbuatannya bukan
saja telah merugikan kepentingan yang bersifat privat saja tetapi di sini
kepentingan publik telah dilanggar bahkan negara juga telah dirugikan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, yaitu bahwa korporasi sebagai
subyek tindak pidana, maka hal ini menimbulkan permasalahan yang
menyangkut pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu, apabila badan
hukum mempunyai kesalahan baik berupa kesengajaan atau kealpaan. Sebab
bagaimanapun kita masih menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
6 Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertangungjawaban Pidana Korporasi Jakarta: kencana,
2010, hlm. 34.
4
(dalam UU No. 4 Tahun 2004, yaitu dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman). Sehubungan dengan hal tersebut, dapatkah korporasi
mempunyai alasan yang dapat menghapuskan pemidanan seperti halnya subyek
hukum manusia.7
Berdasarkan hal tersebut di atas ternyata Indonesia sebagai salah satu
negara yang mengalami modrnisasi dan merupakan salah satu bagian
masyarakat internasional, sejalan dengan laju perkembangan di berbagai
bidang, lebih-lebih terhadap suatu institusi pemerintahan yang cenderung
korup. Maka dengan berlakunya Undang-undang. No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga merupakan langkah prestatif yang
dilakukan oleh pembentuk Undang-undang, mengingat bahwa uu. No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu uu. No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan lebih efektif dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Melihat uraian di atas persoalan pertanggungjawaban pidana korporasi
semakin menarik dan penting jika ditinjau dari Hukum Pidana Islam. Dalam
hal merumuskan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi memang relatif sulit
7 Ibid hal. 17.
5
karena belum ada aturan yang jelas, yang menjadi permasalahan kepada siapa
saja perbuatan tersebut akan dipertanggung jawabkan, apakah kepada semua
pihak yang terlibat dengan jumlah yang ratusan bahkan ribuan ataukah hanya
kepada kepala atau ketuanya saja?. Maka persoalan inilah yang menjadi latar
belakang dan daya tarik penulis di dalam melakukan penulisan skripsi ini atau
melakukan penelitian. Sehingga besar harapan kemudian adalah, penulis
mendapatkan saran dan kritik konstruktif guna menyempurnakan penelitian
atau penulisan skripsi ini dan penulis mampu menyelesaikannya dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah didefinisikan sebagai suatu pertanyaan yang dicoba
untuk ditemukan jawabannya.8 Berdasarkan latarbelakang diatas maka dapat
dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk rumusan terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana korupsi yang diterapakan dalam pasal 20 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo. No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana
Korupsi.
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi yang diberlakukan dalam pasal 20 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tidak Pidana Korupsi.
8 Burhan Ashhofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, hlm. 118
6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian:
a. Untuk mengetahui bentuk dan rumusan pertanggungjawaban pidana
korporasi yang diterapkan dalam dalam UU. No. 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak
Pidana Korupsi.
b. Untuk menjelaskan tinjauan hukun Islam terhadap sanksi pidana bagi
korporasi yang diberlakukan dalam UU. No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang undang No. 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memperkaya perbendaharaan khazanah kepustakaan ilmu
hukum pada umumnya dan berguna untuk pengembangan materi
hukum Islam dalam bidang jinayah khususnya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi legislatif dalam rangka
penyusunan rumusan dan bentuk pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7
D. Tinjauan Pustaka
Mengenai kajian hukum korupsi sudah banyak buku yang
membahasnya, namun hanya bersifat individu atau perseorangan. Sedangkan
kajian yang berkaiatan dengan judul skripsi ini semisal di dalam skripsi yang
ditulis oleh Kholil Said Nasihin yang berjudul “Analisis Keputusan Munas
Alim Ulama Nu Nomor: 001/Munas/2002 Tentang Masa‟il Maudhuiyah
Siyasiyah Pada Tanggal 25-28 Juli 2002 Tentang Sanksi Bagi “Koruptor”
skripsi tersebut hanya menjelaskan tentang dijatuhi sanksi potong tangan
sampai dengan hukuman mati sesuai dengan kualitas kejahatan terhadap
koruptor perorangan sebagai subyek hukum, namun tidak menjelasakan
korporasi atau badan hukum yang terlibat langsung dalam melakukan tindak
pidana korupsi.9
Muhammad Nurul Irfan dalam hasil penelitiaannya di dalam buku
yang bejudul “Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih
Jinayah” dijelaskan bahwasanya ta’zir merupakan sanksi hukuman yang
dijatuhkan terhadap koruptor sebab korupsi tidak bisa dianalogikan dengan
jarimah sariqoh atau tindak pidana pencurian dan jarimah hirobah atau tindak
pidana perampokan. Sebab tindak pidana pencurian dan perampokan masuk
dalam jarimah hudud yang sanksinya sudah ditentukan di dalam al-Quran dan
terhadapnya tidak berlaku kias. Disamping itu tindak pidana korupsi berbeda
dengan jarimah sariqoh, kalau tindak pidana korupsi terdapat kekuasaan pelaku
atas harta yang dikorupsinya sedangkan pencurian tidak ada hubungan dengan
9 Kholil Said Nasihin, Analisis Keputusan Munas Alim Ulama NU Nomor:
001/Munas/2002 Tentang Masa’il Maudhuiyah Siyasiyah Pada Tanggal 25-28 Juli 2002
Tentang Sanksi Bagi Koruptor. Semarang: Fakultas Syari‟ah. 2008. t.d.
8
kekuasaan pencurian atas harta yang dicurinya harta tersebut berada di luar
kekuasaan.
Walaupun tindak pidana korupsi hanya masuk dalam jarimah ta’zir,
namun karena bahaya dan pengaruh negatifnya bisa lebih besar daripada
sekedar mencuri dan merampok, maka bentuk hukuman ta‟zirnya dapat berupa
pidana pemecatan, pidana penjara, pidana penjara seumur hidup dan bahkan
bisa berupa pidana mati.10
Sebagai mana hal tersebut di atas di dalam buku yang disusun oleh
Majlis Tarjih dan Tajdid yang berjudul Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama
Muhammadiyah dijelaskan bahwasanya ta’zir merupakan sanksi hukuman
yang dijatuhkan terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas di
dalam al-Qur‟an dan al-Hadis. Hukuman ini diberikan untuk memberikan
pelajaran kepada terpidana atau orang agar tidak mengulangi kejahatan yang
pernah ia lakukan. Hukuman ta’zir disebut dengan „uqubah mukhayyarah
(hukuman pilihan).11
Keberadaan ataupun eksistensi dari ta’zir secara harfiah memang
diakui, mengapa dapat dikatakan demikian hal tersebut didasarkan pada
penjatuhan sanksi ta’zir yang diserahkan kepada ulil amri dan merupakan
hukuman tambahan selain itu juga ta’zir sangat tergantung kepada tuntutan
kemaslahatan. Menurut para fuqaha jarimah ta’zir dibagi menjadi dua; yakni
1) jarimah yang berkaitan dengan hak Allah; dan 2) ta’zir yang berkaitan
10
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Persepektif
Fiqih Jinayah, Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Departemen RI, hlm. 150 11
Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama
Muhammadiyah Jakarta: PASP, 2006 hlm. 80-81
9
dengan hak perorangan. Adapun yang menjadi fokus pembahasan ini adalah
ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan, dimana objek dari materi UU No.
31 Tahun 1999 jo. Uu No. 20 Tahun 2001 adalah tindak pidana sehingga
hubungan hukum yang terjadi adalah antara pelaku tindak pidana, pemerintah
dan korporasi atau badan hukum.
Dalam hal ini hukum pidana Islam (fiqh jinayah) memberikan sebuah
ketentuan bagi keberlangsungan hubungan hukum antara tindakan pidana
(sebagai objek), pemerintah (sebagai legislator) korporasi (badan
hukum/subyek) bahwasanya kesalahan atau pelanggaran terhadap norma
hukum tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan salah
satu asas hukum pidana Islam, yakni “asas larangan memindahkan kesalahan
kepada orang lain”.
Hal serupa dijelaskan di dalam buku Hukum Islam (Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia)12
sehingga menjadi sangat jelas
bahwa kesalahan yang dilakukan seseorang beban pidananya tidak dapat atau
tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.
Jadi, sejauh penulis telusuri tetang penelitian yang pernah dilakukan
oleh para ahli hukum maupun para sarjana belum ada yang menyentuh ranah
pertanggungjawaban pidana korporasi yang secara khusus membidik
permasalahan tersebut dari sudut pandang hukum Islam yang mengacu pada
pasal 20 Uu. No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang no 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi.
12
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
diIndonesia), cet. Ke-XI Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. hlm. 30
10
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh dalam
mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian,
untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.13
Untuk
memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, juga
disebut penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan
melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini
bersifat kualitatif. Library Research menurut Bambang Waluyo adalah
metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.14
Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber
tertulis seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu metode
penelitian dengan mengumpulkan data-data yang tertuju pada masa
sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisa dan diinterpretasikan dan kemudian
disimpulkan.15 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (hisrotcal approach), pendekatan komparatif
13
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka
Cipta, 1994, hlm. 2 14
Bambang Waluyo, S.H. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
2002, hlm. 50. 15
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta; Gajah Mada
University, 1993, h. 30.
11
(commprative approach), dan pendekatan konsepsual (conceptual
approach).16
2. Sumber Data
Sumber-sumber peneitian terdiri dari dua sumber diantaranya adalah
sumber primer dan sumber sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang besifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-
bahan primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan. 17
a. Data Primer: Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
obyek yang diteliti.18 Konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan
tindak Korupsi dan Korporasi yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi yang tercantum di dalam: Undang-undang No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kitab Al-
Quran, Hadist, dan AL-Tasyri’ Al-Islami karya Abd. Qodir Auda.
b. Data Sekunder: Data sekunder yaitu data pendukung yang berupa
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hal.93 17
Opcit. Hal 141 18
Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta; Granit, 2004, hlm. 57.
12
laporan dan lain sebagainya.19 Merupakan bahan-bahan hukum yang
diambil dari pendapat atau tulisan para ahli hukum tentang korupsi
untuk digunakan dalam membuat konsep-konsep hukum yang berkaitan
dengan penelitian ini dan dianggap sangat penting.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai suatu hal atau
variabel tertentun yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda dan lain sebagainya.20 Untuk mengumpulkan
data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut: Studi Kepustakaan
(library research). Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasi,
menganalisis, dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, maka penulis akan
menggunakan teknik content analysis, yaitu analisis isi data, pengumpulan
bahan-bahan hukum dan diinterpretasi, dan untuk ketentuan hukum
dipakai interpretasi teleologis yaitu berdasar pada tujuan norma. 21
Selain itu
juga digunakan pendekatan Undang-undang baru terkait dengan korupsi, yaitu
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
19
Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta; Raja
Grafindo Persada, 2006, hlm. 30. 20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta;
Rineka Cipta, 1993, hlm. 202. 21
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,
1998. hlm. 85.
13
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
F. Sistematika Penulisan
Penulis membuat sistematika penulisan yang terdiri dari bab-bab yang
saling berhubungan dan saling menunjang yang satu dengan yang lain secara
logis, agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran.
BAB I: Berisi pendahuluan, yang membahas tentang, latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan systematika penulisan. Bab ini sangat
penting untuk menjawab mengapa penelitian ini dilakukan, sekaligus
sebagai pengantar bagi penulisan bab-bab selanjutnya.
BAB II: Mengemukakan tentang kerangka teori penelitian mencakup
pengertian dan unsur-unsur tindak pidana korupsi, tinjauan umum
tentang korporasi, asas pertangungjawaban pidana dalam hukum
Islam dan pertangungjawaban korporasi perspektif hukum Islam.
Bab III: Menerangkan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Mencakup latar belakang munculnya Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
14
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilanjutkan dengan
perumusan dan identifikasi perbuatan pidana yang diatur di dalam
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir
menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi yang
diatur di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU. No. 31
Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bab IV: Merupakan inti dari penelitian ini, berisi tinjauan hukum Islam
terhadap pertanggungjawaban dan sanksi pidana koporasi dalam
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindank pidana korupsi. Dan
dilanjutkan dengan tinjauan dari segi sanksi pidananya. Keterkaitan
antara bab keempat dan kelima adalah dari segi analisis akadmik
terhadap pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang
selanjutnya akan diperoleh kesimpulan dan sekaligus akan di peroleh
jawaban pokok permasalahan.
Bab V: Yaitu penutup berisi kesimpulan dan saran. Sebagai bab terakhir dari
penulisan hasil penelitian ini yang merupakan intisari dari analisis
dari uraian sebelumnya dalam bentuk kesimpulan. Penulis juga
memasukkan saran-saran konstruktif bagi penelitian ini demi utuhnya
15
sebuah skripsi. Bab ini juga akan di lengkapi dengan daftar pustaka
serta lampiran-lampiran.
16
BAB II
KETENTUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM ISLAM
1. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa latin yakni
Corupptio atau corruptus yang disalin dalam bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt, dalam bahasa Prancis menjadi corruption dan
dalam bahasa Belanda dan disalin menjadi corruptive (korruptie). Asumsi
kuat kita menyatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia, yaitu Korupsi.1 Arti harfiah dari kata korupsi ialah
kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau mengfitnah. Dalam kamus hukum korupsi adalalah
perbuatan curang tindak pidana yang merugikan keuangan Negara.2 Istilah
korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia
itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia: korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.
1 Perbedaan pemaparan diantara para penulis buku hukum pidana ini, kalau
dicermati ternyata hanya terbatas pada redaksi kalimat dan pemggunaan kata ketika
menjelaskan beberapa unsur obyektif dari sebuah tindak pidana. 2 Subekti & Tjitrosoe, Kamus Hukum, hlm. 30
17
Di dalam bukunya Helbert Edelherz berjudul The Investigation of
White Collar, A Manual for Law Enforcement Agencies yang terangkum
dalam bukunya Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK,
perbuatan pidana korupsi disebutkan sebagai berikut: “kejahatan kerah
putih: serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang dilakukan secara fisik,
tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau
kekayaan serta menghindari pembayaran/pengeluaran uang atau kekayaan
atau untuk mendapatkan bisnis/keuntungan pribadi”.3
Pengertian korupsi dalam UU. No. 31 Tahun 1999 pasal 2 ayat 1
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berarti perbuatan yang
secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Yang di perkuat dengan pasal 3 UU. No. 31 Tahun 1999
bahwasanya korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan melihat definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan, atau amanah (trust)
secara melawan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan pribadi dan
atau kelompok/golongan tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.
3 Ermansaja Djaja, Membarantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafindo,
2010, hlm. 24.
18
2. Pengertian dan Jenis-Jenis Korupsi Dalam Hukum Islam
Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan
korupsi, namun ada beberapa jarimah yang mendekati dengan terminologi
korupsi di masa sekarang, beberapa jarimah tersebut adalah ghulul,
(penggelapan), risywah (penyuapan), gasab (mengambil paksa hak/harta
orang lain), khianat, sariqah (pencurian), dan hirabah (perampokan).4
Sebelum menjelaskan arti korupsi menurut Islam penulis akan
menjelaskan beberapa jarimah yang mendekati dengan tindak pidana
korupsi sebagai mana yang dijelaskan oleh Muhamad Nurul Irfan dalam
bukunya yang berjudul Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqih Jinayah diantaranya: 5
a. Ghulul (penggelapan)
Secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja “ يغلل– غلل "
masdarnya “ -yang semuanya diartikan oleh Ibnu al ”الغل الغلح الغلل الغليل
Manzur “ sangat haus dan kepanashan. Lebih sesifik ”ضذج العطص حزارتح
kata ghulul dari kata kerja " يغل- غل" yang berarti "خان في المغىم غيزي "
berhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-
harta lain.6
4 Diatara enam macam jarimah atau pelanggaran dan penyimpangan-
penyimpangan tersebut, dua diantaranya merupakan bagian dari hudud, yaitu sariqah dan
hirobah. Sedangkan empat jarimah yang lain masuk ke dalam jarimah takzir, yaitu jarimah
sejenis sanksi dan teknis pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa atau hakim. 5 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif
Fiqih Jinayah, Jakarta : Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI, hlm. 149-150 6 Ibrahim Anis, Abdul Halim Muntasir Dkk, Al-Mu’jam Al-Wasit, Mesir, Dar Al-
Maarif, 1972, hlm 659. Lihat juga kamus al-munawir, hlm 1014.
19
Adapun kata “الغلل” dalam arti berhianat terhadap harta
rampasan perang disebutkan dalam firman Allah surat Ali Imran ayat
161: 7
Artinya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam
urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, (QS.Ali
Imran: ayat 161)
Adapun ghulul menurt terminologi antara lain dikemukakan oleh
Rawas Qala‟arji dan Hamid Sadiq Qunaybi dengan “ اخذ الطيء دس في
.mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya ”متاع8
Definisi ghulul yang agak lengkap dijelaskan oleh Muhammad
bin Salim bin Sa‟ad Babasil al-Syafii dengan sedikit uraian, ia
menjelaskan bahwa diantara bentuk-bentuk kemaksiatan tangan adalah
ghulul berhianat dengan harta rampasan perang, hal ini termasuk dosa
besar. Dalam kitab al-Bawajir dijelaskan bahwa ghulul adalah tindakan
mengkhususkan/memisahkan yang dilakuakn oleh salah seorang tentara,
baik itu pemimpin atau prajurit terhadap harta rampasan perang sebelum
dibagi menjadi lima bagian, walaupun harta yang digelapkan hanya
sedikit.9
Dalam hadis yang dirwayatkan oleh Bukhori:
7 Al-quran Dan Terjemah, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsiran Al-Quran, 1971 8 Muhammad Rawas Qala‟arji Dan Hamid Sadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat Al-
Fuqaha, Bairut: Dar Al-Nafis 1985, hlm. 334 9 Muhhamad Bin Salim Bin Sa‟di Babasil, Al-Syafii, Isad Al-Rafiq Wa Bughiyah
Al Sadik Syarah Matn Sulam Al-Taufiq Ila Mahabbatillah Ala Al-Tahqiq, Indonesia: Ttp,
Darul Ihya Al-Kutuba Al-Arabiyah, Tth, Jilid 2, hlm 98
20
في ا لب صللى الل لين وسللم فذك انغلوا ا ن ا ن ين الل فيعظلم و ظلم من ه ا ل انفيل حدكمن يونا انقي مة لى يبت ش ل ثيغ ء لى يبت لك اك شينئ دن بينلغنتك و لى في س ا حنحمة يقوا سوا الل غثنن فأ وا ل منلك اك شينئ دن بينلغنتك و لى يبت بعري ا غ ء يقوا سوا الل غثنن فأ وا ل منلك اك شينئ دن بينلغنتك ون لى يبت ص مت فيييقوا سوا الل غثنن فأ وا ل منلك اك شينئ دن بينلغنتك و ا يبت ع تنفق فيييقوا سوا الل غثنن فأ وا ل من
10 وو ن حيل ا في س ا حنحمة
Artinya: Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam berdiri di hadapan kami lalu
Beliau menuturkan tentang ghulul (mengambil harta
Rampasan perang sebelum dibagikan) dan Beliau
(memperingatkan) besarnya dosa dan akibat dari perbuatan
tersebut. Beliau bersabda: "Sungguh akan kutemui salah
seorang dari kalian pada hari qiyamat yang di tengkuknya
ada seekor kambing yang mengembik, di tengkuknya ada
seekor kuda yang meringkik sambil dia berkata; "Wahai
Rasulullah, tolonglah aku", lalu aku jawab; "Aku tidak
berkuasa sedikitpun terhadapmu. Aku sudah menyampaikan
kepada kamu (ketika di dunia) ". Dan kutemui seseorang
yang di atas tengkuknya ada seekor unta yang melenguh,
sambil dia berkata; "Wahai Rasulullah, tolonglah aku", lalu
aku menjawab: "Aku tidak berkuasa sedikitpun terhadapmu.
Aku sudah menyampaikan kepada kamu (ketika di dunia) ".
Dan kutemui seseorang yang di atas tengkuknya ada
sebongkah emas dan perak lalu dia berkata; "Wahai
Rasulullah, tolonglah aku", lalu kujawab: "Aku tidak
berkuasa sedikitpun terhadapmu. Aku sudah menyampaikan
kepada kamu (ketika di dunia) ", Dan kutemui seseorang
yang di atas tengkuknya ada lembaran kain sembari berkata;
"Wahai Rasulullah, tolonglah aku", lalu aku katakan: "Aku
tidak bekuasa sedikitpun terhadapmu. Aku sudah
menyampaikan kepada kamu (ketika di dunia) ". Dan Ayyub
dari Abu Hayyan mengatakan; "(Dan seseorang) yang di
tengkuknya ada kuda yang meringkik".
10
Sumber: Bukhari Kitab: Jihad dan penjelajahan Bab: Mencuri ghanimah, dan
firman Allah "Barangsiapa berkhianat…."No. Hadist : 2844
21
Dari beberapa definisi di atas baik secara etimologis maupun
terminologis, bisa disimpulkan bahwa istilah ghulul diambil dari surat
Ali Imron ayat 161 yang pada mulanya hanya terbatas pada tindakan
pengambilan, penggelapan atau berlaku curang dan khianat terhadap
harta rampasan perang. Akan tetapi dalam perkembangan pemikiran
berikutnya tindakan curang dan khianat terhadap harta-harta lain, seperti
tindakan penggelapan terhadap harta baitul mal, harta milik bersama
kaum muslimin, harta bersama dalam kerjasama bisnis, harta negara,
dan lain-lain.
b. Risywah (penyuapan)
Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab “ رضا
11”يزض masdarnya “رضج" ”رضج“ ”رضج" (huruf ra‟nya dibaca kasrah,
fathah, atau dhammah) berarti “العجل”, upah, hadiah, komisi atau suap.
Adapun secara terminologis risywah adalah sesuatu yang
diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang
diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.12
Riyswah melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemberi
dan barang yang diserahtrimakan. Akan ,(المزتص) pihak penerima ,(الزاش)
tetapi dalam kasus risywah tertentu melibatkan pihak keempat sebagai
broker atau perantara.
11
Ahmad Warso, Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, cet
ke 25, 2002. Hlm. 501 12
Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasit, Mesir: Majma al-lughah al-Arabiyyah,
1972, Cet Ke-2 hlm. 348
22
Dalam hadis disebutkan:
ا سوا الل صللى الل لين وسللم اع الل ا ل ش و انم نتش ف ن ين ا م 13 ان ن
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Affan telah menceritakan
kepada kami Abu 'Awanah berkata; telah menceritakan
kepada kami Umar bin Abu Salamah dari bapaknya dari
Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Allah melaknat orang yang menyuap
dan yang disuap dalam hukum."
ب ا ا اع سوا الل صللى الل لين وسللم ا ل ش و انم نتش ن ن ة ن ثيون14و ا ل ئش يعنن الذي ينش بييين يهم
Arftinya: Telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin 'Amir telah
bercerita kepada kami Abu Bakar bin 'Ayyasy dari Laits
dari Abu Al Khoththob dari Abu Zur'ah dari Tsauban
berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam melaknat
orang yang menyuap, yang disuap dan perantaranya
(broker, makelar)."
Dari beberapa uraian di atas tentang pengertian risywah dapat
disimpulkan, bahwa risywah adalah suatu pemberian yang diberikan
seseorang kepada hakim, petugas atau pejabat tertentu dengan suatu
tujuan yang diinginkan oleh kedua belah pihak baik pemberi maupun
penerima, melibatkan beberapa unsur yaitu pemberi, penerima, barang,
dan broker atau perantara.
c. Gasab (mengambil paksa hak/harta orang lain)
Secara etimologis gasab berasal dari kata kerja “ -يغصة-غصة
”غصثا15
yang berarti “ ااخذي قزا ظلم ” mengambil sesuatu secara paksa
13 Sumber: Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Yang Banyak
Meriwayatkan Hadits, Bab: Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu, No. Hadist : 8670
14
Sumber: Ahmad, Kitab: Sisa musnad sahabat Anshar, Bab: Dan dari Hadits
Tsauban Radliyallahu 'anhu, No. Hadist : 21365
23
dan zalim, Muhammad al-Katib al-Syarbini menjelaskan definisi gasab
secara etimologis lebih lengkap dari definisi di atas yaitu “ لغح اخذ الطيء
gasab secara bahasa berarti mengambil sesuatu) ”ظلما قثل اخذي ظلما جزا
secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim ia melakukannya
juga secara terang-terangan) sedangkan al-Jurjani secara etimologis
mendefinisikan gasab dengan “ mengambil) ”اخذالطيء ظلما ماال كان ا غيزي
sesuatu secara zalim baik yang diambil itu harta atau yang lain) 16
Sedangkan secara terminologis gasab didefinisikan sebagai
upaya untuk mnguasai hak orang lain secara permusuhan/terang-
terangan.
Adapun dalil-dalil tentang larang melakukan gasab terdapat
dalam beberapa nash baik alquran maupun hadist bahkan ijmak para
ulama. Diantara ayat yang melarang perbuatan gasab adalah firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188 dan al-Nisa ayat 29:
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui. (QS, al-Baqarah: 188)
15
Ahmad Warso, Munawir, Kamus Al-Munawir,ibid, 1007. 16
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, hlm. 162
24
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(QS, al-Nisa: 29)
d. Khianat
Kata khianat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk
masdar dari kata “ يخن-خان ”.17
Selain “خياوح” bentuk masdarnya bisa
brupa “ مخاوح-خاوح-خن yang semuanya berarti “ ”أيؤتمه اإلوسان فاليىصح
sikap tidak becusnya seseorang pada saat diberi kepercayaan.18
Bentuk fa‟il pelaku dari kata kerja “ يخن-خان ” adalah “خائه” yang
oleh al-Fayumi dalam dalam al-Misbah al-Munir diartikan dengan “,,,,”
seseorang yang berhianat terhadap sesuatu yang dipercayakan
kepadanya, dan oleh Syaukani dalam Nail al-Autar diberi penjelasan
bahwa “خائه” adalah “ orang yang ”مه يأخذ المال خفيح يظز الىصح للمالك
mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan menampakkan perilaku
baiknya terhadap pemilik harta tersebut.19
Penjelasan makna kata “خائه” yang dikemukakan oleh al-
Syaukani ini juga dikemukakan oleh Syamsul Haq al-Azim Abadi dalam
17
Ahmad Warso, Munawir, Kamus Al-Munawir,ibid, hlm. 337 18
Ibnu manzur, lisan al-arab, jilid 13 hlm. 144 19
Al-syaukani, Nail al-Autar, Beirut: dar al fiqr, jilid 7 hlm. 304
25
„Aun al-Mabud dan al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwazi secara
mendetail dan lengkap ia mengatakan bahwa dalam kitab al-Mirqah
pengarangnya berkata bahwa kha’in adalah seseorang yang diberi
kepercayaan untuk (merawat/mengurus) sesuatu barang dengan aqad
sewa menyewa, kemudian ia mengaku kalau barang itu hilang atau dia
mengingkari barang sewaan atau titipan tersebut ada padanya.
Dengan demikian, ungkapan khianat juga digunakan bagi orang
yang melanggar atau mengambil hak orang lain dan dapat pula dalam
bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam
masalah utang piutang atau masalah muamalah umumnya.
e. Sariqoh (pencurian)
Secara etimologis sariqah adalah bentuk masdar dari kata “ -سزق
سزقا-يسزق20
” yang berarti “ mengambil harta milik ”أخذ مال خفيح جيلح
seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sedangkan
secara terminologis definiskan sariqah dalam syariat Islam yang
pelakunnya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil
sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di
tempat penyimpanan atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukalaf
secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur subhat, sehingga
kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka
tidak bisa dikatagorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam
hukuman potong tangan.
20 Ahmad Warso, Munawir, Kamus Al-Munawir,ibid, hlm. 628
26
Jadi sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain
dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan yang bisa
digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
f. Hirobah (perampokan)
Secara etimologis hirabah adalah bentuk masadar dari kata kerja
“ حزاتح-محارتح-يحارب-حارب ”21
yang berarti “قاتل” memerangi. Atau dalam
kalimat “حارب هللا” berarti seseorang bermaksiat kepada Allah.
Adapaun secara terminologis muharid atau qutau al-Tariq adalah
mereka yang melakukan penyerangan dengan membawa senjata kepada
sebuah komunitas orang, sehingga para pelaku merampas harta
kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara terang-terangan
dengan demikian, perampokan jelas sangat berbeda dengan pencurian.
Perbedaan antara keduanya bisa dilihat dari segi unsur-unsur
mendasarnya. Yaitu kalau pencurian, pengambilan harta milik orang lain
itu dilakukan dengancara sembunyi-sembunyi sedangklan pada hirobah
prosesnya berlangsung secara kasar dan terang-terangan.
Jadi hirobah atau perampokan adalah tindakan kekerasan yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain baik
dilakukan di dalam rumah maupun diluar rumah dengan tujuan untuk
menguasai atau merampas harta benda milik orang lain tersebut atau
dengan maksud membunuh korban atau sekedar bertujuan untuk
melakukan terror dan menakut-nakuti pihak korban.
21
Lihat Ahmad Warso, Munawir, Kamus Al-Munawir,ibid, hlm. 148
27
Dalil tentang perampokan disebutkan secara tegas di dalam Al-
Quran surat al-Maidah ayat 33 yaitu:
Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
(QS, al-Maidah ayat: 33)
Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan
kalau melakukan lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
Dari uraian beberapa uraian diatas pengertian dan jenis pidana
dalam hukum Islam atau fiqih jinayah yang relefan dengan tindak
pidana korupsi. Diantara jarimah tersebut adalah ghulul, (penggelapan),
khianat (ingkar terhadap janji jabatan), risywah (gratifikasi), dan ghasab
(memakai/mengambil hak orang lain dengan paksa dan tanpa izin),
syariqah (pencurian), dan hirabah (perampokan). Dari semua pengertian
tersebut korupsi mempunyai arti yang kesemuannya mengarah kepada
keburukan, ketidakbaikan, kecurangan bahkan kedzaliman yang
akibatnya akan merusak dan menghancurkan tata kehidupan keluarga,
28
masyarakat, bangsa dan bahkan negarapun bisa bangkrut disebabkan
korupsi sebagai sebuah tindakan pidana yang sangat jahat.22
Untuk dua jenis jarimah yang disebutkan terakhir (syariqah
(pencurian), dan hirabah (perampokan)), keduanya masuk dalam
wilayah jarimah hudud, apakah tindak pidana korupsi bisa disamakan
atau dianalogikan dengan tindak pidana pencurian atau perampokan?
Dalam hal ini Andi Hamzah, dengan mengutip pendapat M. Cherif
Bassioni ahli pidana Internashional berkebangsaan Mesir, berpendapat
bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan atau dianalogikan
dengan pencurian atau perampokan. Sebab kedua jenis tindak pidana ini
masuk dalam wilayah jarimah hudud yang ketentuannya sudah baku dan
tegas disebutkan dalam Al-Quran.
Oleh sebab itu sanksi tindak pidana korupsi tidak sama dengan
sanksi tindak pidana pencurian berupa potong tangan. Dan berlainan
dengan sanksi tindak pidana perampokan berupa hukuman mati.
Menurutnya sanksi tindak pidana korupsi sebaiknya masuk dalam
wilayah jarimah ta’zir yang terbuka untuk didialogkan namun demikian
sekalipun sanksi tindak pidana korupsi hanya masuk dalam wilayah
jarimah ta’zir, bukan berarti pasti dalam bentuk sanksi yang sangat
ringan, sebab bentuk dan jenis-jenis hukuman ta’zir meliputi berbagai
22
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif
Fiqih Jinayah, ibid, hlm. 46
29
macam, termasuk dalam bentuk penjara seumur hidup bahkan bisa
berupa hukuman mati.23
B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM HUKUM ISLAM
1. Pengertian Pertanggungjawaban
Dalam syari‟at Islam pertanggungjawaban pidana mempunyai arti
pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan atau (tidak adanya
perbuatan) yang dikerjakan dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui
maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu. Pertanggungjawaban
pidana ini ditegakkan atas tiga hal, yaitu: adanya perbuatan yang dilarang,
dikarenakan dengan kemauan sendiri, pembuatanya mengetahui terhadap
akibat perbuatan tersebut.24
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawabkan. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula
pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak dibawah umur, orang
yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar
pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada.25
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:
عع ت ن ل ي الل ن مم الل صللى الل لين وسللم يقوا ف انقلم ن ث ثة ن سوا سس
ش ن تيينق و ن انمل و ح ل ن ل و ن ا ل ئم ح ل ن اللغري ح ل يبين
Artinya: Dari Ali Radliallah 'anhu aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena dari tiga hal; anak kecil
23
ibid, hlm. 150. 24
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum PIdana Islam, cet ke-6 Jakarta : Bulan
Bintang, 2005 hal. 119 25
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah, cet ke-2, Jakarta: Mediaka Garfika, 2006. hlm. 74
30
sampai dia mencapai akil baligh, orang yang tertidur sampai dia
terjaga dan orang yang sakit (gila) sampai dia sembuh."26
Di dalam firman Allah surat An-Nahl: 106 yang berbunyi:
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(QS. An-
Nahl: 106)
Berkaitan dengan siapa yang harus bertanggungjawab atas kejahatan
adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri bukan orang lain. Hal inilah
yang menjadi konsepsi mengenai pertanggungjawaban pidana. Konsep
pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam dinukil dari sumber utama
agama Islam al-Qur‟an dan al-Hadits. Seperti yang dijelaskan di bawah ini:
27
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Di dalamnya mengandung pengertian bahwa setiap jiwa terikat pada
apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau
kesalahan yang dibuat oleh orang lain. Sangat jelas telah diterangkan di dalam
isi surat tersebut, hal ini menandakan bahwa beban kesalahan atau beban
pidana tidak dapat diwakilkan kepada orang lain atau menjadi beban orang
26
Sumber : AhmadKitab : Musnad sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga Bab
: Musnad Ali bin Abu Thalib Radliyallahu 'anhu No. Hadist : 896 27
Q.S. Al-Muddatstsir (74) : 38
31
lain. Bahkan isi kandungan ayat tersebut juga dikuatkan atau didukung oleh
ayat-ayat yang lain, seperti yang terkandung didalam surat Al-An‟am:
28
Artinya:Tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain. (QS. Al-An‟am: 164)
Dijelaskan bahwa Allah SWT menyatakan, bahwa setiap pribadi
melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang
dilakukannya. Hal ini berarti, bahwa tidak boleh sekali-kali beban seseorang
dijadikan beban orang lain. Selain ayat-ayat diatas terdapat beberapa ayat lain
yang menjelaskan mengenai permasalahan ini, diantaranya surat Faathir:
29
Artinya: Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan jika
seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul
dosanya itu Tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun
(yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (QS. Faathir:18)
Menerangkan, bahwa orang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain, yang pada intinya adalah beban dosa tidak bisa dibebankan kepada
orang lain. Didalam surat Az-Zumar:
Artinya: Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan
(iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika
28
Q.S. Al-an‟am : 164 29
Q.S. Faathir : 18
32
kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. 30
Surat Al-Najm pun menerangkan hal yang sama, yang berbunyi :
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain (QS.Az-Zumar: 38). 31
Dari ayat-ayat tersebut, dapat dipahami dengan jelas bahwa orang
tidak dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan atau
kesalahan orang lain. Atau orang bertanggungjawab sesuai dengan apa yang
diperbuatnya. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifatnya,
kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain.32
Mengenai badan hukum apakah dibebani pertanggungjawaban atau
tidak sejak semula syariat Islam sudah mengenal mengenai badan hukum
seperti baitul mall. Badan hukum ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan
dapat mngadakan tindakan-tindakan tertentu. Akan tetapi, menurut syariat
Islam badan hukum ini tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, karena
sebagaimana telah dikemukakan pertanggungjawaban ini didasarkan kepada
adanya pengetahuan dan pilihan, sedangkan kedua hal tersebut tidak terdapat
pada badan hukum. Dengan demikian apabila terjadi perbuatan-perbuatan yang
dilarang yang dilakukan oleh orang-orang yang bertindak atas nama badan
hukum maka penguruslah yang dibebani pertanggungjawaban pidana. Jadi
bukan syakhsiyah ma’nawiyah yang bertanggungjawab melainkan syakhsiyah
30
Az-Zumar 38 31
Al-Najm 38 32
Ahamad Hanafi, Asas-Asas hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005,
cet. Ke-6, hlm. 119
33
haqiqiyah.33
Untuk lebih jelasnya penulis akan membahnya dalam sub
berikutnya.
C. TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI
1. Pengertian Korporasi
Secara etimologi kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris:
corporation, Jerman: corporation) berasal dari kata corporatio dalam
bahasa latin. Corporare sendiri berasal dari kata „corpus” (Indonesia:
badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan
demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan,
dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang
terjadi menurut alam.34
Secara triminologi korporasi mempunyai pengertian yang sudah
banyak dirumuskan oleh beberapa tokoh hukum. Semisal menurut Subekti
dan Tjitrosudibo yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah
suatu perseorangan yang merupakan badan hukum. Sedangkan, Yan
Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu
perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini
yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum
diperlukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban
(atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat
33
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih
Jinayah, hlm. 76 34
Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:
Kencana, 2010, hlm.23.
34
di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (perseroan
terbatas), NV (namloze vennootschap), dan yayasan (stichting); bahkan
negara juga merupakan badan hukum. 35
Selanjutnya pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana,
menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberikan kualifikasi sebagai berikut menurut
Pasal 20 ayat (2): “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.
2. Jenis-jenis Korporasi
Dari penggolongan tersebut, maka jenis-jenis korporasi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Korporasi Publik adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas
administrasi di bidang urusan publik. Contohnya di Indonesia seperti
pemerintahan kabupaten atau kota.
2. Korporasi Privat adalah sebuah korporasi yang didirikan untuk
kepentingan privat/pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan,
industri, dan perdagangan.
3. Korporasi Publik Quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani
kepentingan umum (public services).
35
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita 1983,
hlm. 54.
35
Berbeda dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, hukum
pidana menambahkan yang "bukan badan hukum" yang belum ada dalam
hukum perdata.
3. Korporasi Dalam Hukum Islam
Menurut etimologi korporasi atau badan hukum adalah الطخص المعىي
36. Secara terminology, Hasbi Ash-Shiddieqy menggambarkan Syakhshiyah
pada asalnya, ialah: Syakhshiyah thabi’iyah yang nampak pada setiap
manusia. Kemudian pandangan-pandangan itu berkembang. Pandangan
menetapkan bahwa disamping pribadi-pribadi manusia, ada lagi bermacam-
macam rupa mashlahat yang harus mendapatkan perawatan-perawatan
tertentu dan tetap diperlukan biaya dan harus memelihara harta-harta waqaf
yang dibangun untuk memeliharanya.
Maka badan-badan wakaf yang dibangun untuk memelihara suatu
kepentingan umum, dapat kita pandang sebagai seorang pribadi dalam arti
dapat memiliki, dapat mempunyai dan dipandang sebagai kepunyaan
manusia bersama. Jelasnya, mula-mulanya yang dipandang orang hanya
orang, kemudian berkembang jalan pikiran lalu badan-badan yang mengurus
kepentingan-kepentingan umum dipandang sebagai orang juga. Abdul Qodir
Audah menyebutkan bahwa:37
و مل تشفي ت وغري المالجئ بيت مل ا و ملد سة ترب افقه ء اشخلي ت ملع و ة
Dari uraian di atas jelaslah bahwa badan hukum termasuk kategori
asysyakhsiyyah, atau kepribadian. Syakhsiyyah ini dalam istilah modern
36
Ahmad Warso, op.cit, hlm. 700 37
Abd Qadir Audah, At-Tasyri al-Jinai., I, hlm. 393
36
dinamakan asy-syakhsiyyah al-i’tibariyyah, disebut juga asy-syakhsiyyah
alhukmiyyah, atau asy-syakhsiyyah al-ma’nawiyyah berarti yang dianggap
selaku orang atau badan hukum. Jadi, disamping manusia alami sebagai
syakhsiyyah, maka ada lagi sesuatu yang dianggap sebagai syakhsiyyah.
Oleh karena itu ia dikatakan “pribadi dalam pandangan”. Pribadi dalam
pandangan ini dalam istilah resmi di Indonesia disebut badan hukum.38
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan
badan hukum dalam hukum Islam menunjukkan persamaan dengan badan
hukum dalam hukum positif, namun begitu hukum Islam jelas berbeda
dengan sistem yang lain. Perbedaan itu disebabkan hukum Islam memiliki
konsep-konsep dan teori-teori sumber yang benar-benar tidak diragukan
kebenarannya dan bukan buah tangan manusia.
Dalam al-Qur‟an banyak dijumpai kata al-qaryah yang dapat
dijadikan rujukan bagi keberadaan badan hukum, khususnya korporasi.
Misalnya firman Allah SWT:
Artinya: Dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak
di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di
waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar)
mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang
bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah
38
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. Ke-II Jakarta: Bulan
Bintang, 1984, hlm178-179
37
Kami mencoba mereka disebabkan mereka Berlaku fasik. (QS. Al-A'raf:
163) 39
Menurut Imam Al-Mahalli dan Imam As-Sayuti ayat tersebut
menerangkan tentang peristiwa yang menimpa penduduk negeri Eilah yang
berdiam di tepi laut. Keduanya secara singkat juga menjelaskan bahwa yang
dikehendaki dalam alqaryah (negeri) pada surat al-Haj ayat 45 adalah
penduduk negeri itu sendiri. Ayat itu berbunyi:
Artinya:Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinashakannya,
yang penduduknya dalam Keadaan zalim, Maka (tembok-tembok) kota
itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur
yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. (QS, al-Haj ayat: 45) 40
Jadi yang dimaksud dengan al-qaryah pada kedua ayat diatas
bukanlah negeri yang bukan makhluk berakal, tetapi orang-orang atau
kumpulan orang yang tinggal di wilayah tertentu. Sedangkan pemakaian
kata al-qaryah tersebut dapat dijadikan landasan bagi badan hukum, karena
yang dinamakan negeri tergolong badan korporasi.
Dasar lain ialah hadis tentang syirkah yang merupakan salah satu
bentuk dari badan hukum. Sabda Rasulullah SAW:
ثي عند بن ل حدل بي ن ال نا ي ان زمييت خن ن اشل ن ب ند بن حبل ا ن ثنم ا بن حسثي و ح ي نا م ن ثي م دل حدل ثي ون بن ي ى حدل ثي ثنم ا بن ح ي حدل بو حدل
وسللم لين الل صللى ا لب صنح و م ن انمه م ن ن ل ي افن و ذ خد ا
39
Al-A'raf (22) : 163 40
al-Haj ayat 45
38
لموا يقوا نع ث ث وسللم لين الل صللى ا لب م غيونت ا ف ث ف ش ك ء انم ن و ا ل و انم ء ان
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah
mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid
Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan
kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz
bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini
adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar
beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal
rumput, air dan api.41
4. Pertanggungjawaban Korporasi Perspektif Hukum Islam
Pertanggungjawaban identik dengan seseorang yang bersalah namun
dalah kehidupan sehari-hari seringkali kita nememui kejahatan-kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum maka dalam hal ini
penulis akan menjelaskan terkait dengan badan hukum atau korporasi
melakukan tindak pidana.
Diantara dalil yang cocok untuk korporasi atau badan hukum sebagai
landasan adanya tindak pidana dan tanggungjawab pidana bagi badan
hukum ialah firman Allah SWT:
Artinya: Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang teIah
Kami binashakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang
lain (sebagai penggantinya). (Q.S. al-Anbiya :11)
42
41
Sulaiman Bin Al-Asy'asy Abu Daud As-Sijistani Al-Azdi, Sunan Abu Daud,
Bab Fi Man'e Al-Ma', jilid 2, hlm 300. CD Al-Maktabah Asy-Syamilah Islamic Global
Software Ridwana Media. 42
Q.S.Al-anbiya :11
39
Ayat ini menceritakan tentang azab yang ditimpakan oleh Allah SWT
terhadap suatu negeri beserta seluruh isinya yang berupa harta benda dan
manusia, karena melakukan kejahatan. Secara tegas lahir ayat ini
menyatakan negeri (al-qaryah) sebagai pelaku kejahatan. Singkatnya arti
majaz atau yang dimaksud negeri (al-qaryah) ialah kumpulan manusia yang
bertempat tinggal di wilayah tertentu.
Pemakaian kata al-qaryah (negeri) dalam Al-Qur‟an dapat dijadikan
rujukan bagi badan hukum, karena yang dinamakan negeri atau negara
termasuk badan hukum Korporasi. Berkaitan dengan ayat di atas, suatu
negeri yang berkedudukan badan hukum/korporasi dapat dikategorikan
sebagai pelaku kejahatan atau subyek pidana. Lantaran telah berbuat jahat,
maka Allah SWT sebagai Al-Hakim memutuskan untuk menjatuhkan siksa
atau kepada negeri itu dan segenap isinya yang berwujud harta benda
maupun manusia.
Abd Qadir Audah menyebutkan:
اعقوبة و عة لى م ش فوا لى ش ن و كاو وي ق و اشخص ملع وى كم , آلشخ ص اقيقيي اذ يثلهم اشخص ملع وى كعقوبة ا و لدا وإل اة و ملل كذاك ي ش ا ف ض لى ذه اشخلي ت م حيد م نش هت اض ح ة
الجم ة ونظ مه و م ه Bahwa dalam hukum Islam bila terjadi tindak pidana yang dibuat oleh
wali (pengurus) untuk kepentingan badan hukum, maka pengurus itulah
yang memikul akibat perbuatannya tersebut.43
Peristiwa ini selaras dengan
prinsip “keseorangan dalam tanggungjawab pidana” artinya, seseorang tidak
43
Abd Qadir Audah, At-Tasyri al-Jinai., I : 394
40
bertanggungjawab kecuali atas perbuatan pidana yang telah diperbuatnya
sendiri, dan bagaimanapun juga ia tidak memikul akibat perbuatan pidana
orang lain.
Mengenai tanggungjawab bersama atau tanggungjawab kolektif ini
Muhammad Quraisah Shihab menerangkan bahwa karena pentingnya kaitan
pribadi-pribadi dengan masyarakat, maka dalam Al-Qur‟an banyak
ditemukan ayat yang membicarakan tentang tanggungjawab kolektif
disamping tanggungjawab pribadi.44
Salah satu ayat yang dikemukakan
beliau ialah :
Artinya: Dan (penduduk) negeri telah Kami binashakan ketika mereka
berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi
kebinashaan mereka. 45
Ayat ini mengisahkan tentang azab atau sanksi yang dijatuhkan
kepada al-qura (jamak dari al-quryah), yakni negeri-negeri, karena
kelalimannya. Lalu baliau menghubungkan ayat ini dengan firman Allah
SWT:
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan
ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal (8) : 25)
46
44
M. Quraisah Shihab, Membumikan Al-qur’an, hlm. 247 45
QS. Al-Kahfi (18) : 59 46
QS. Al-Anfal (8) : 25
41
Dari kedua ayat itu Muhammad Quraisah Shihab menjelaskan bahwa
kehancuran suatu masyarakat tidak hanya menimpa orang-orang zalim,
tetapi mencakup keseluruhan mereka sebagai masyarakat. Kemudian beliau
mengatakan bahwa: ini tentunya tidak bertentangan dengan ayat 18 surat
Fathir, yang menyatakan antara lain: orang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain, sebab ayat ini berbicara tentang tanggungjawab
pribadi, dan ayat yang lalu tentang tanggungjawab kolektif. 47
Dengan demikian tanggungjawab pidana badan hukum adalah bersifat
kolektif dan diwakilkan. Adakalanya tanggungjawab badan hukum ini
selaras dengan asas kesalahan. Hal ini terwujud jika perbuatan pidana yang
dilakukan pengurus bukan semata-mata atas prakarsanya sendiri, tapi juga
karena pengaruh atau dorongan dari pihak badan hukum.
47
M. Quraisah Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 248
42
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DALAM UU TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Latar Belakang Munculnya UU. No. 31 Tahun 1999 dan UU. 20 Tahun
2001.
1. Latar Belakang Munculnya Undang-undang. No. 31 Tahun 1999
Perkembangan dan perubahan masyarakat disertai pesatnya laju ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi juga dibarengi dengan aspek negatif
yang melekat padanya yaitu dengan munculnya kejahatan-kejahatan yang
sangat kompeks. Disertai dengan modus operandi yang baru sama sekali.
Apa yang saat ini dikenal dengan kejahatan-kejahatan baru seperti cyber
crime dan terororisme, sesungguhnya merupakan imbas negatif dari
perkembangan dan perubahan masyarakat dan pesatnya laju ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi. Tidak mengherankan bila dikatakan
bahwa kejahatan tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat, atau dengan kata lain masyarakatlah yang menyebabkan
terjadinya kejahatan (crime is a product of society its self). Akibat lanjutan
yang tidak bisa dihindari adalah hukum pidana sebagai salah satu instrumen
pengendalian kejahatan dituntut untuk juga meng-update dan mengkreasi
dirinya agar mampu mengimbangi laju kejahatan yang sedemikan rupa.
43
Kalau tidak, maka eksistensinya tidak banyak diharapkan khususnya di
dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan baru di atas.1
Pada tahun 1960, peraturan-peraturan mengenai korupsi ini diganti
dan disempurnakan lagi dengan diterbitkannya Undang-undang (Prp)
Nomor: 24 Tahun 1960, dalam Undang-undang ini ada beberapa Pasal
dalam ketentuan lama yang diganti diantaranya Pasal 40 sampai dengan
Pasal 50 diganti dengan Pasal. 17 sampai dengan Pasal 21 ditambah dengan
beberapa Pasal dalam KUHP diantaranya Pasal 415, 416, 417, 423, 425 dan
Pasal 435 KUHP.2
Kemudian pada pemerintahan Orde Baru, karena didorong oleh
desakan aspirasi masyarakat maka Presiden telah mengeluarkan KEPRES
No. 13 Tahun 1970, tentang Komisi Empat, dan KEPRES No.13 Tahun
1970, tentang pengangkatan Mohamad Hatta sebagai Penasehat Presiden
dalam bidang Pemberantasan Korupsi, dan setelah melalui berbagai proses
maka pada tanggal. 29 Maret 1971 Undang-undang (Prp) Tahun 1960
diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 19713, Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara No.19 Tahun
1971.
1 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: UII Pres, 2011,
cet. Ke-1, hlm. 11 2 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
3 Ada dua alasan Undang-undang ini dibentuk, pertama perbuatan-perbuatan korupsi
sangat merugikan keuangan Negara/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan
nasional. Kedua undang-undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan tindak pidana korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat
kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dan oelh karenanya
undang-undang tersebut perlu diganti. Lihat Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia, Yogyakarta: UII Pres, 2011, cet. Ke-, hlm 22.
44
Kemudian dengan berjalannya waktu Undang-undang No. 3 Tahun
19714 yang menjadi legitimasi bagi delik- delik korupsi pada masa tersebut
dianggap sudah tidak lagi mampu mengantisipasi dan sekaligus
menanggulangi tindak pidana korupsi yang senantiasi mengalami
perkembangan dan perubahan bentuknya sehingga pemerintah menganggap
perlu adanya Undang-undang baru yang lebih mampu mengakomodasi
delik-delik korupsi yang mengalami perubahan.
Pada pemerintahan B.J.Habibi, karena pemerintahannya menganggap
Undang-undang Nomor: 3 Tahun 1971 kurang sempurna maka melalui
Undang-undang No.31 Tahun 19995, Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi diganti lagi, tepatnya pada tanggal 16 Agustus 1999, kemudian
ketika Baharuddin Lopa menduduki jabatan Menteri Kehakiman, Undang-
undang Nomor: 31 Tahun 1999, dirubah dengan Undang-undang Nomor: 20
Tahun 2001, dan masih berlaku hingga kini, ( selanjutnya disingkat dengan
UU Tipikor ).
Ada beberapa hal yang merupakan penerapan ketentuan-ketentuan
yang tidak terlepasa dari situasi tindak pidana yang terjadi pada saat
pembentukan undang-undang tersebut diantaranya:
4 Undang-undang No. 3 tahun 1971 hakikatnya lebih maju dan progresif
dibandingkan dengan undang-undang No. 24 Prp tahun 1960, namun perkembangan
masyarakat dan teknologi informasi yang memicu munculnya kejahatan-kejahatan “korupsi
baru” dengan modus operandi yang sama sekali baru mau tidak mau harus terkover dalam
perundang-undangan pidana korupsi lihat Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia, op cit, hlm. 25. 5 Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu
memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
45
1. Adanya beban pembuktian terbalik, tindak Pidana Korupsi yang nilainya
kerugian Negaranya sampai dengan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta),
rupiah Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewajiban untuk
membuktikan adanya tindak Pidana Korupsi, sedang terhadap tindak
pidana korupsi yang nilainya diatas Rp.10.000.000,-(sepuluh juta) rupiah
terdakwalah yang membuktikan bahwa uang tersebut bukan berasal dari
tindak Pidana Korupsi ;
2. Adanya pemberlakuan Straf minimum khusus, hlm ini diberlakukan bagi
delik korupsi yang nilainya Rp.5.000.000,- (lima juta) rupiah atau lebih.
3. Pengambil alihan beberapa Pasal dari KUHP, menjadi Pasal-pasal delik
Korupsi dan mencabut Pasal-pasal tersebut dari KUHP.
2. Latar Belakang Munculnya UU. No. 20 Tahun 2001.
Sejak undang-undang Nomor. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau
penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan
Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum undang-undang Nomor 31 tahun 1999 diundangkan. Hal ini
disebabkan Pasal 44 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-
undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang nomor 31 tahun 1999
diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum
46
untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang nomor 31 tahun 1999.6
Sehingga pada masa ini telah terjadi perubahan yang mendasar
pada sistem pemerintahan Indonesia, yakni tepilihnya Megawati Soekarno
Putri sebagai presiden RI yang menggantikan Presiden Abdurahman Wahid.
Langkah politk yang dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di
dalam menanggulangi kejahatan luar biasa ekstra ordinary crime/korupsi memang
merupakan langkah yang populis sehingga mendapatkan respon yang luar
biasa dari masyarakat dan kalangan akademisi di Indonesia.
Langkah politik yang di maksud adalah dengan disahkan dan
diundangkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pada tanggal 21
November 2001 di Jakarta yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati
Soekarno Putri dan di catat pada Lembaran Negara No. 134 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.7
Pada dasarnya undang-undang No. 20 tahun 2001 ini merupakan
perubahan atau penambahan terhadap beberapa ketentuan dalam undang-
undang No.31 tahun 1999 yang dianggap belum lengkap. Terdapat dua
alasan mengapa undang-undang No. 31 tahun 1999 perlu diadakan
perubahan. Pertama, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
6 Tim Redaksi Nuansa Indah, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi &
Suap,Bandung: CV Nuansa Indah, 2008, cet. Ke-1. hlm. 61 7 Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan
perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
47
meluas, tidak hanaya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi merupakan hlm penting untuk
diwujudkan.8
Perubahan-perubahan yang terjadi memang dirasakan penting, hlm
ini dapat dilihat dengan adanya perubahan redaksi pada antara lain:
Pertama, pasal 2 dan 3 yang secara substansi tidak mengalami perubahan,
perubahan tersebut terletak pada penjelasan pasal. Kedua, ketentuan pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 pada pasal-pasal tersebut rumusannya diubah dengan
tidak mengacu pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi
langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masing-masing
pasal Kitab Undang-undang Pidana yang diacu. Ketiga, Diantara pasal 12
dan 13 disisipkan tiga pasal baru yakni pasal 12A, 12B, 12C. Keempat,
Diantara Pasal 26 dan 27 disisipkan satu pasal baru sehingga menjadi pasal
26A. Kelima, Pasal 37 dipecah menjadi dua pasal yakni pasal 37 dan pasal
37A. Keenam, diantara pasal 38 dan 39 ditambahkan tiga pasal baru yakni
pasal 38A, 38C, 38C. Ketujuh, diantara bab VI dan VII ditambahkan bab
baru yakni bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi stau pasal,
yaitu pasal 43 A yang diletakkan diantara pasal 43 dan 44. Dan Kedelapan,
di dalam bab VII sebelum pasal 44 ditambah satu pasal baru yakni pasal 43
8 lihat Mahrus Ali, ,op.cit,..hlm, 29.
48
B. Selanjutnya dalam undang-undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).9
B. Rumusan/formulasi Perbuatan Pidana Korupsi.
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Repuplik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, terdapat pada Pasal-Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 12A, 12B, 13, 14, 15, 16, 20, 21, 22, dan 23, selain memperluas
pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, undang-
undang juga menegaskan bahwa pengembalian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana
korupsi (pasal 4). Meskipun berlebihan penegasan ini penting, karena kerugian
keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan
korupsi.10
Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dapat dirumuskan ke dalam
tiga puluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi, ketigapuluh bentuk/ jenis tindak
pidana korupsi pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:11
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terbagi menjadi tujuh
tipe atau kelompok:
9 Tim Redaksi Nuansa Indah, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi & Suap,
op.cit hlm. 62 10
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK,. Edisi ke 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010, hlm, 42. 11
ibid.,hlm. 52-54.
49
1. Tindak Pidana Korupsi “Murni Merugikan Keuangan Negara”
Tindak pidana korupsi “murni merugikan keuangan Negara” adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai negeri sipil, dan
penyelenggara Negara yang secara , melawan hukum, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
Pelaku tindak pidan korupsi murni merugikan keuangan Negara dapat
dijerat atau didakwa dengan pasal-pasal:
a. Pasal 2,
b. Pasal 3,
c. Pasal 7 ayat 1 huruf a
d. Pasal 7 ayat 1 huruf c,
e. Pasal 7 ayat 2
f. Pasal 8,
g. Pasal 9,
h. Pasal 10 huruf a,
i. Pasal 12 huruf i,
j. Pasal 12 A dan
k. Pasal 17
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
undang-undang nomor 20 tahun 2001.
50
2. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Suap”
Tipe tindak pidana korupsi “suap” pada prinsipnya tidak berakibat
langsung pada kerugian keuangan Negara ataupun perekonomian Negara,
karena sejumlah uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai
negeri sipil atau penyelenggara Negara sebagai hasil dari perbuatan
melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang Negara
atau asset Negara tetapi melainkan dari uang atau aset orang yang
melakukan penyuapan, di dalam peristiwa atau perbuatan tindak pidana
korupsi “suap” selalu melibatkan peran aktif antara orang yang melakukan
penyuapan dengan pegawai negeri sipil atau penyelenggra Negara sebagai
pihak yang menerima suap, dengan disertai deal atau kesepakatan antara
kedua belah pihak mengenai besar atau nilai penyuapan yang akan
ditransaksikan dan cara-cara penyerahannya.
Berbeda dengan tindak pidana korupsi “pemerasan” yang berperan
aktif adalah pegawai negeri sipil atau penyelenggara Negara yang meminta
bahkan cendrung melkukan pemerasan kepada masyarakat yang
memerlukan pelayanan atau bantuan dari pegawai negeri sipil atau
penyelenggara Negara tersebut, juag lebih berbeda lagi kedua tindak pidana
korupsi ini dengan tindak pidana koruspi “Gratifikasi” karena dalam tindak
pidana korupsi “gratifikasi” pegawai negeri sipil atau penyelenggara Negara
tidak tahu menahu kalau akan diberi sejumlah uang ataupun benda berharga,
51
tidak ada deal atau kesepakatan antara pegawai negeri sipil atau
penyelenggra Negara dengan masyarakat yang akan member gratifikasi,
tetapi secara sepihak dan tanpa diduga pegawai negeri sipil atau
penyelenggra Negara tersebut menerima pemberian atau gratifikasi.
Pelaku tindak pidana korupsi “suap” dapat dijerat atau didakwa
dengan pasal-pasal:
a. Pasal 5,
b. Pasal 6,
c. Pasal 11,
d. Pasal 12 huruf a,
e. Pasal 12 huruf d,
f. Pasal 12 huruf c,
g. Pasal 12 huruf d,
h. Pasal 12 A dan
i. Pasal 17,
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
undang-undang no 20 tahu 2001.
3. Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan”
Telah penulis uraikan bahwa tindak pidana korupsi “pemerasan”
berbeda dengan tindak pidan korupsi “suap” juga dengan tindak pidana
korupsi “gratifikasi”, karena dalam peristiwa tindak pidan korupsi
“pemerasan” yang berperan aktif adalah pegawai negeri sipil atau
penyelenggra Negara yang meminta bahkan cenderung melakukan
52
pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan oelayanan ataupun
bantuan dari pegawai negeri sipil atau penyelenggara Negara tersebut,
disebabkan factor ketidakmampuan secara materiil dari masyarakat yang
memerluakan pelayanan atau bantuan dari pegawai negeri sipil atau
penyelenggara Negara, sehingga terjadi tindak pidana “pemerasan”.
Pelaku tindak pidana korupsi “pemerasan” dapat dijerat atau didakwa
dengan pasal-pasal:
a. Pasal 12 huruf e,
b. Pasal 12 huruf f,
c. Pasal 12 huruf g,
d. Pasal 12 huruf A dan pasal 17,
Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
undang-undang no 20 tahu 2001.
4. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Penyerobotan”
Telah penulis uraikan bahwa tindak pidana korupsi “pemerasan”
berbeda dengan tindak pidana korupsi “suap” juga dengan tindak pidana
korupsi “gratifikasi”, karena dalam peristiwa tindak pidna koruspsi
“penyerobotan” yang berperan aktif adalah pegawai negeri sipil atau
penyelenggra Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah Negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang
berhak, padahal diketahuainya bahwa perbuatan tetsebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan”.
53
Pelaku tindak pidana korupsi “penyerobotan’ dapat dijerat atau
didakwa denganpasal-pasal:
a. pasal 12 huruf h, dan
b. pasal 17,
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
5. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Gratifikasi”
Tindak pidana korupsi “gartifikasi” berbeda dengan tindak pidana
korupsi “suap” dan “pemerasan”. Dan tindak pidan korupsi “gratifikasi”
tidak terjadi kesepakatan atau diel berapa besar nilai uang atau benda
berharga dan dimana uang atau benda berharga tersebut dilakukan
penyerahan serta siapa dan kapan uang atau benda berhraga itu diserahkan,
antara pemberi gratifikasi dengan pegawai negeri sipil atau penyelenggra
Negara yang menerima gratifikasi, tetapi dalam tindak pidana korupsi
“suap” telah terjadi diel antara pemberi suap dengan pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang menerima suap, yaitu dela mengenai berapa
besar nilai uang atau benda berharga dan dimana uang atau benda berharga
tersebut dilakukan penyerahan serta siapa dan kapan uang atau benda
berharga itu diserahkan.
Tindak pidana korupsi “gratifikasi” juga berbeda dengan tindak
pidnaa korupsi “pemerasan”, karena dalam tindak pidana korupsi
“pemerasan’ walaupun terjadi penyerahan sejumlah uang atau benda
berharga dari korban pemerasan pada pegawa negeri atau penyelenggara
54
Negara yang melakukan pemerasan, tidak berdasarkan kesepakatan tetapi
karena keterpaksaan.
Di dalam penjelasan pasal 12 B dijelaskan:
“Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat “discon”, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalan
wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut
baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan dilakukan
dengan menggunakan sara elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
Dengan demikian, semakin jelas perbedaan pengertian gratifikasi
dengan pengertian suap ataupun pemerasan, karena sifatnya gratifikasi itu
adalah pemberian dalam arti luas, dimana pegawai negeri sipil atau
penyelenggra Negara bersifat pasif dan yang lebih bersifat aktif adalah
pemeberi gratifikasi, gratifikasi juga tidak ada diel antara pegawai negeri
sipil atau penyelenggara negera dengan member gratifikasi.
Pelaku tindak pidana korupsi “gratifikasi” dapat dijerat atau didakwa
dengan pasal-pasal:
a. Pasal 12 B juncto 12 C,
b. Pasal 13, dan
c. Pasal 17,
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
6. Tipe Tindak Pidana Korupsi “Percobaan”, Pembantuan, dan
Permufakatan”
Tindak pinana korupsi “percobaan”, pembantuan, dan permufakatan”
dilakukan masih atau hanyan sebatas percobaan, pembantuan, dan
55
pemufakatan untuk melkukan tindak pidana korupsi, sehingga sanksi hukum
terhadap terpidana tindak pidana korupsi “percobaan, pembantuan, dan
permufakatan” dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana, seperti
yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 15: “ketentuan ini merupakan aturan
khusus karena ancaman pidana pada percobaan, dan pembantuan tindak
pidana pada umunya dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidananya.
Pelaku tindak pidana korupsi “percobaan, pembantuan, dan permufakatan”
dapat dijerat atau didakwa dengan pasal:
a. Pasal 7 ayat 1 buruf b,
b. Pasal 7 ayat 1 huruf d,
c. Pasal 8,
d. Pasal 10 huruf b,
e. Pasal 10 hufur c,
f. Pasal 15,
g. Pasal 16, dan
h. Pasal 17
Undang-undnag nomor 31 tahun 1999 juncto undang-undang no 20 tahu
2001.
7. Tindak Pidana “Lainnya”
Tindak pidana korupsi lainnya adalah peristiwa atau perbutan yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langusung
56
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap
tersangka dan terdakwa ataupun saksi dalam perkara pidana.
Pelaku tindak pidana korupsi “lainnya” dapat dijerat atau didakwa
dengan pasal-pasal:
a. Pasal 21,
b. Pasal 22,
c. Pasal 23, dan
d. Pasal 24
Undang-undang nomor 31 tahu 1999.
C. PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 31 TAHUN 1999
1. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai
sekarang masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra.
Para pihak baik yang pro maupun yang kontra terhadap korporasi dapat
dipertanggungjawabkan mengajukan argumentasinya masing-masing.
Pihak yang tidak setuju dengan hal tersebut mengemukakan alasan-
alasannya sebagai berikut. Bahwasanya pertanggungjawaban pidana
ditegakkaan atas tiga dasar, yaitu: adanya perbuatan yang dilarang,
dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan pelakunya mengetahui maksud-
maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu. Oleh karena itu tidak ada
pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak, orang gila, orang dungu,
orang yang sudah hilang kemauaannya dan orang yang dipaksa dan yang
57
terpaksa. Kemudian mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi atau
badan hukum, seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, baitul mal, hukum
Islam sudah mengenal sejak mula, dan dianggap mempunyai hak-hak dan
mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi, menurut
Ahmad Hanafi badan-badan tersebut tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, kerena pertanggungjawaban pidana ini
didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap perbuatan dan pilihan,
sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat dalam badan-badan hukum. 12
Chairul Huda menyebutkan bahwa dicelanya subjek hukum
manusia karena melakukan perbuatan pidana, hanya dapat dilakuakan oleh
mereka yang keadaan batinya normal. Dengan kata lain, untuk adanya
kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat batin yang normal.13
Moeljatno mengatakan, “hanya terhadap orang-orang yang keadaan
jiwanya normal sejalah, dapat kita harapkan akan mengatur
tingkahlakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam
masyarakat.”14
Sebagaimana ahmad hanafi, Setiyono dalam bukunya Kejahatan
Korporasi sebagai berikut: “tidak semua ahli sepakat jika korporasi
dijadikan sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, dengan alasan;
12
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; 2006, cet. Ke-6 hlm.
119
13 Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Medika, cet. Ke-1,
2006, hlm. 88 14
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: bina aksara, 1987, hlm. 160.
58
1) Menyangkut masalah kesengajaan, sebenarnya kesengajaan dan
kesalahan hanya terdapat pada personal alamiah,
2) Bahwa yang merupakan tihkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh personal alamiah, tidak bisa oleh korporasi,
3) Bahwa pidana dan tindakanyang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi,
4) Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan
sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah,
5) Bahwa di dalam praktek tidak mudah untuk menentukan norma-
norma atas dasar apa yang diputuskan, apakah pengurus saja atau
korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.”15
Sedangkan yang setuju dengan adanya pertanggungjawaban pidana
bagi korporasi mengajukan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi,
korporasi dan pengurus, atau pengurus saja.
2) Dalam kehidupan social ekonomi, korporasi semakin memainkan
peranan yang penting pula.
3) Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-
15
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cet Ke-3 Banyu Media Publishing, Malang,
2005, hlm 10.
59
ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia,
maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk
selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
4) Pemidanaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk
menghindarkan tindakan pemidanaan terhadap pegawai korporasi itu
sendiri.
Terlepas dari prokontra terhadap pertanggungjawaban korporasi
sebagai subjek hukum pidana, Oemar Seno Adji berpendapat,
“kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan,
didasarkan tidak saja atas pertimbangan-pertimbangan utilitas, melainkan
pula atas dasar-dasar teoritis dapat dibenarkan”.16
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwasanya pengaturan
korporasi sebagai subjek hukum pidana ada peraturan perundang-undang
pidana diluar KUHP. Baik perundang-undangan pidana maupun
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana telah mengatur
korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Adapun undang-undang pengaturan korporasi sebagai subjek
hukum pidana positif tersebut yakni sebagai berikut: 17
1. Undang-undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi (pasal 15);
16
Ibid, hlm. 11. 17
Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. Ke-1
Jakarta: Kencana, hlm. 89
60
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1984, tentang Pos (pasal 19 ayat 3);
3. Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (pasal 5 ayat
3);
4. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi pasal 20;
5. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (pasal 4 ayat 1)
Namun dalam hal ini yang menjadi fokus penulis dalam penelitian
skripsi ini yaitu Pasal 20 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20
Tahun 2001 tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam undang-undang korupsi subjek delik yang dapat malakukan
tindak pidana korupsi hanya manusia sebagaimana dalam KUHP, tetapi
juga mengakui eksistensi korporasi sebagai delik. Maka setiap orang tidak
hanya menunjuk pada orang perorangan tapi termasuk juga korporasi
(pasal 1 ayat 3). Sedangkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisir baik berupa badan hukum maupun bukan
badan hukum (pasal 1 ayat 1). Pengaturan yang demikian jelas merupakan
penyinggungan (lex specialis) terhadap subjek delik dalam KUHP.18
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang no. 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang no. 20 tahun 2001
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak
dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak
18
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia,op.cit,..hlm. 49.
61
pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya
menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan.19
Rumusan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi secara
khusus dibahas dalam pasal 20 Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. No.
20 tahun 2001. Sistem pemidanaan (the sentencing system) yang termuat di
dalam ketentuan pidana ( di dalam pasal 20 Undang-undang No. 31 Tahun
1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi) mengandung pengertian sebagai berikut: 20
1. Aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana
dan pemidanaan.
2. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan untuk pemidanaan)
3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian atau
penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
4. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi
atau operasionalisasi atau konkritisasi pidana.
5. Keselurahan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Pembahasan selanjutnya mengenai pasal 20 sehingga akan
ditemukan dengan jelas tentang rumusan pertanggungjawaban pidana
19
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004, hlm 30. 20
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-1 Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003 hlm. 135-136
62
korporasi yang di atur dalam undang-undang ini. Adapun bunyi pasal 20
adalah sebagai berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama korporasi, maka
tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap koprasi atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hunungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersasma-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri dipengadilan dan dapat pula memrintahkan supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disasmpaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
kantor.
7. Pidan pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah1/3 (satu pertiga)
Hukuman atau sanksi bagi korporasi yang telah melanggar
terhadap aturan yg terdapat pada pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah "dipidana dengan
pidana denda" deangan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga)
sebagai mana tertuang dalam pasal ini ayat ke-7.
Melihat dampak yang dilakukan oleh korporasi sangat luas
merugikan masyarakat maupun negara maka pertanggungjawaban harus
diperluas, buakn hanya terhadap individu maupun korporasi yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi.
Disejajarkannya kata pelaku dan korporasi, memiliki makna bahwa
keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri,
63
bukan alternatif. Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih
ditujukan sebagai akibat perbuatan individu yang mengakibatkan matinya
orang lain. Kepada korporasi lebih ditujukan untuk ''mengganti" kerugian
yang ditimbulkan dalam rangka menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat
yang hak-haknya telah terkorbankan.
Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi ketimbang
pertanggungjawaban individual dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan
Quinn sebagai berikut: 21
1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan
bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya
pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang
merupakan kesalahan perusahaan.
2. Dengan adanya peraturan akan memudahkan menuntut perusahaan
daripada para pegawainya.
3. Dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki
kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada
pegawai tersebut.
4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para
pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di
mana mereka telah menanamkan investasinya.
5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan
usaha yang ilegal, seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi
21
www.seputar-indonesia.com/opinisore/Lucky Raspati Staf Pengajar Bagian
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pada tanggal browsing 24 sep. 2011
64
atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan
saja.
6. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan
untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,
agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan
usaha yang ilegal.
7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap
perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk
melakukan kegiatan ilegal, di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila
yang dituntut itu adalah pegawainya.
Dalam hukum pidana hal pertanggungjawaban pidana korporasi
dimungkinkan melalui doktrin strick liability dan vicarious lebility. Strict
liability pertanggungjawaban ketat, artinya seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan
untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu didak ada kesalahan mens rea.
Secara singkat , strick liability diartikan sebagai liability without fault pertanggungjawaban tanpa
kesalahan. Sedangkan vicarious lebility adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person
for the wrongful acts of another). Pertanggungjawan demikian misalnya terjadi dalam hal
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau
jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara
majikan dengan buruh, pembantu dan bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian
vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan
65
tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat
dipertanggungjawabkan.22
Dapat dipertanggungjawabkannya korporasi atas dasar kedua doktrin tersebut,
disamping adanya asas identifikasi, dalam perkembangannya memang kedua doktrin sangat
diperlukan.23
Lebih-lebih melihat tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi.
Mengenai beberapa masalah tersebut di atas, maka untuk lebih jelas
harus diketahui lebih dahulu sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam hukum pidana, dimana untuk sistem pertanggungjawaban pidana ini
terdapat beberapa sistem yaitu:24
1. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat, maka Penguruslah Yang
Bertanggungjawab
System pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar
sifat tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dibatasi pada
perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana
terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap
dilakukan pengurus korporasi itu. System ini membedakan “tugas
pengurus” dari pengurus.
Pada sistem pertama ini, pengurus-pengurus yang tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi
dapat dinyatakan bertanggungjawab.
22 Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. Ke-1
Jakarta: Kencana, hlm. 107-110.
23 Ibid, hlm. 114
24 Setiyono, Kejahatan Korporasi, op.cit, hlm. 10-15.
66
2. Korporasi Sebagai Pembuat, maka Pengurus Yang
Bertanggungjawab,
Sistem pertanggungjawaban korporasi yang kedua ditandai dengan
pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu
tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha
(korporasi), akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari
pengurus dan badan hukum (korprasi) tersebut. Secara perlahan-lahan
tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka
yang memerintah, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan
memimpin korporasi secara sesungguhnya. Dalam system
pertanggungjawaban ini, korporasi dapan menjadi pembuat tindak
pidana, akan tetapi yang bertanggungjawab adalah para anggota
pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.
Menurut penulis, dalam sistem yang kedua ini, pertanggungjawaban
pidana secara langsung masih belum muncul.
3. Korporasi Sebagai Pembuat dan Bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan permulaan
adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini
dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat
dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa korporasi
sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai
berikut. Pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan
67
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua,
dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan
bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan
memidana korprasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi
itu, diharapkan korproasi dapat menaati peraturan yang bersangkutan.
Membicarakan sistem petanggungjawaban pidana korporasi yang
secara khusus dibahas dalam pasal 20 UU. No. 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, tidak akan terlepas dari berbagai unsur perbuatan pidana
yang telah diatur di dalam undang-undang tersebut. Hal tersebut
dikarenakan yang menjadi latar belakang adanya suatu hukuman atau
sanksi hukum yang dibebankan kepada pelaku delik adalah telah
terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum di dalam suatu
undang-undang, yang dalam hal ini disebabkan telah melanggar
ketentuan hukum (ketentuan pidana) yang terdapat di dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 yang kemudian dapat
dikatakan melaggar atau melawan hukum formil. Sehingga pelaku delik
tidak dapat menghindar dari beban pidana atau pertanggungjawaban
pidana, yang telah ditetapkan ketentuannya di dalam undang-undang
tersebut.
68
BAB IV
ANALISIS PIDANA ISLAM TERHADAP KORPORASI YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Analisis Dari Segi Pertanggungjawaban Pidana
Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan
ijtihad dalam menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu
keharusan untuk dilakukan. Permasalahannya, di zaman sekarang. Al-Qur'an
telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan
hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka.
Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).(Q.S. al-Nisa':83).
Ayat ini jelas berisi anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan
berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha mencari hukum dengan
mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.
69
Dalam bidang hukum pidana materiil ada 3 masalah pokok yaitu:
perbuatan yang dilarang, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang
diancamkan.
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana maka tidak terlepas dari
asas kesalahan. Hal ini didasarkan pada prinsip pertanggungjawaban pidana
yang berdasar pada asas "tiada pidana tanpa kesalahan" yang dikenal dengan
asas kesalahan. Artinya pelaku dapat dipidana bila melakukan perbuatan
pidana yang dilandasi sikap batin yang salah/jahat. Dan telah diatur oleh
undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 1 buku satu KUHP yang berisi
tentang asas legalitas.
Jadi dapat dikatakan bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah,
dengan demikian terdakwa harus:1
1. Melakukan perbuatannya pidana (melawan hukum)
2. Mampu bertanggungjawab.
3. Mempunyai bentuk suatu kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Seperti halnya dalam hukum positif dalam syariat Islam pun
pertanggungjawaban didasarkan kepada 3 hal: adanya perbuatan yang dilarang,
perbuatan itu dikerjakan oleh kemauan sendiri, pelakunya mengetahui akibat
perbuatannya. 2
1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: 2009, hlm. 177
2 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum iIdana Islam, cet ke-6 Jakarta : Bulan Bintang, 2005
hal. 119
70
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawabkan. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula
pertanggungjawaban. Dengan demikian orang gila, anak dibawah umur, orang
yang dipaksa dan terpaksa tidak dibebani pertanggungjawaban, karena dasar
pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada.3 Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:
ىنه ه ع هن ع ل ي زع ل ع هللا فلعع النقع عمه ع له زه سع هللامع يعقه ع ل ه ع عين ل صع هللاى هللا سهلع هللا ته زع عن مل سع
هن هن ع ع عحة ع تهللاى ع ابل حع هن النمهصع ع ع تعينقلظع تهللاى يعسن هن الىهللاائلمل حع ع ع تهللاى يعثن هغع يسل حع غل الصهللا
ىنه يه ن ع ع عArtinya: Dari Ali Radliallah 'anhu aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena dari tiga hal; anak kecil
sampai dia mencapai akil baligh, orang yang tertidur sampai dia terjaga
dan orang yang sakit (gila) sampai dia sembuh."4
Mengenai pertanggungjawaban hukum Islam mempunyai konsep yang
tidak jauh seperti halnya hukum positif bahakan boleh dikatakn sama. Seperti
yang dijelaskan di dalam firman Allah surat Al-Muddatstsir ayat 38 yang
berbunyi:
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, 5
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap jiwa terkait dengan apa yang menjadi
hasil usahanya atau perbuatannya, hanya orang-orang yang bisa membebaskan
diri dari semua pertanggungjawabannya dengan mengerjakan amal soleh.
Artinya bahwa dampak dari apa yang telah dikerjakan oleh seseorang
3 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, cet
ke-2, Jakarta: Mediaka Garfika, 2006. hlm. 74 4 Sumber : AhmadKitab : Musnad sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga Bab :
Musnad Ali bin Abu Thalib Radliyallahu 'anhu No. Hadist : 896 5 Q.S.Al-Muddatstsir ayat 38.
71
pertanggungjawabannya kembali kepada orang tersebut.6 Isi kandungan ayat
tersebut juga diperkuat oleh ayat-ayat lain, seperti yang terkandung di dalam
firman Allah SWT Al-An'am ayat 164, surat Az-Zumar ayat 7 An-Najm 38.
Secara umum isi yang terkandung didalam ayat-ayat tersebut adalah bahwa
pertanggungjawaban itu individual sifatnya, yang mempunyai arti kesalahan
orang lain tidak dapat dipindahkan pertanggungjwabannya kepada orang lain
(yang tidak bersalah).
Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa pertanggungjawaban
pidana ditegakkan atas 3 hal, yaitu: Adanaya perbuatan yang dilarang,
dikerjakan dengan kemauan sendiri, pembuatnya mengetahui terhadap akibat
perbuatan tersebut.
Dengan adanya syarat-syarat tersebut maka dapat diketahui bahwa yang
bisa dimintai pertanggungjawaban hanya manusia, yaitu manusia yang berakal
pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Jika tidak demikan maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana atasnya. Karena orang yang tidak berakal pikiran
bukanlah orang yang mengetahui dan bukanlah orang yang mempunyai pilihan.
Demikian pula orang yang belum dewasa, atau tidak mempunyai kedewasaan
tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan dan pilihannya telah menjadi
sempurna.
Pokok permasalahan yang terdapat sekripsi ini adalah mengenai unsur-
unsur/formulasi pidana korporasi yang diatur pada pasal 20 Undang-undang
no. 31 tahun 1999 jo. No. 20 tahun 2001 dapat dijelaskan mengenai bentuk-
6 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nuur, Jilid-5, cet. Ke-2,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 4412
72
bentuk pertanggunjawaban pidana, hal ini terlihat dari bunyi Pasalnya sebagai
berikut:
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama korporasi, maka
tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersasma-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus kantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah1/3 (satu pertiga).
Selanjutnya akan dibahas mengenai pertanggungjawaban piadana
korporasi ayat-perayat dari isi pasal 20. Berkenaan dengan pasal 20 ayat 1 yang
dimaksud dengan “pengurus” adalah korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyatannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.7 Ayat ini menganut sistem pertanggungjawaban pidana yang
pertama dan ketiga.8 Yaitu, pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjwab. Sistem pertama berpijak pada pemikiran bahwa korporasi itu
7 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic
Indonesia, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, cet ke-1, Bandung: Cv. Nuansa Aulia, 2008. Hal. 43 8 Pertama Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat, maka Penguruslah Yang
Bertanggungjawab, kedua, Korporasi Sebagai Pembuat, maka Pengurus Yang Bertanggungjawab,
Ketiga, Korporasi Sebagai Pembuat dan Bertanggungjawab. Lihat Setiyono, Kejehatan Korpirasi,
hlm. 12-14.
73
sendiri tidak dapat dibebani tanggungjawab pidana, melainkan senantiasa
penguruslah yang melakukan delik itu. Oleh sebab itu penguruslah yang
diancam dengan pidana. Dan juga sistem ketiga yaitu korporasi sebagai
pembuat dan korporasi bertanggungwab. Pada sistem ketiga ini berkenaan
dengan korporasi sebagai pembuat, juga sebagai yang bertanggungjawab,
motivasinya adalah membebankan tanggungjawab pidana kepada pengurus dan
korporasi itu sendiri.
Sebgaimana penulis sebutkan pada bab sebelumya bahwa dalam hal
menjadikan korporasi sebagi subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya
hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha ini dilatarbelakangi oleh
fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari
hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurus. Begitu juga dengan dampak atau
kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakakan-
tindankan pengurus-pengurus korporasi. Dianggap tidak adil bila korporasi
tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Kenyataan inilah
yang kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai
subyek hukum.9
Untuk lebih jelasnya akan dibahas menganai unsur-unsur pidana yang
ada pada pasal 20 didasarkan pada 3 unsur yaitu,
1. Adanya undang-undang atau nas, (unsur formil).
2. Sifat melawan hukum, (unsur materiil),
9 Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, cet, ke-1, Yogyakarta: Uii Press,
2011, hal. 48
74
3. Pelakunya (unsur moril) dapat dipersalahkan atau disesalkan atas
perbuatannya.
Sehubungan dengan pasal 20 penulis coba melakukan pendekatan
melalui unsur-unsur pidananya apakah memenuhi unsur-unsur pidana. Dari
teori yang tersebut diatas:
1. Adanya Undang-Undang atau Nas
Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan
pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas atau undang-undang
yang mengaturnya. Dalam hukum positif istilah ini dikenal dengan istilah
asas legalitas, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum
dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang
mengundangkannya. Dalam syari'at Islam lebih dikenal dengan istilah ar-
rukn asy-syar'i10
Asas legalitas juga banyak ditemukan dalam al-Qur'an yang pada
intinya hampir tidak ada perbedaannya dengan hukum positif, seperti
diantaranya firman Allah surat al-isra' ayat 15:
Artinya: Dan Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus
seorang rasul.
Di dalam firman Allah surat al-Qasas ayat 59:
10
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Pertama, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2004, hal. 10
75
Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibu kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada mereka.
Di dalam firman Allah surat al-an'am ayat 19:
Artinya: Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai
Al-Quran (kepadanya).
Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa
suatu perbuatan tidak bisa dianggap sebagai sebuah tindak pidana dan
pelakunya tidak dapat dipertanggungjawaban secara hukum. Mengenai asas
legalitas dapat dijumpai juga dalam KUHP buku 1 pasal (1) berbunyi
sebagai berikut.11
“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan
pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripida perbuatan itu.”
Topo Santoso berpendapat tentang asas legalitas dalam Islam, yaitu
merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi
batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi
dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.12
11
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Pasal Demi Pasal, Pasal 1 ayat 1, Politeia : Bogor, 1996. 12
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, cet. Pertama, Jakarta: Gema Insani
Press, 2003, hlm. 11
76
2. Sifat melawan hukum
Dari segi "sifat melawan hukum" yang merupakan unsur matreriil.
Unsur ini merupakan sebuah keharusan dalam suatu perbuatan sehingga
dapat dimintai pertanggungjawaban.13
Makhrus Munajat mendefinisikan tentang melawan hukum adalah
adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah (tindak pidana),
baik dengan sikap berbuat ataupun sikap tidak berbuat yang dikenal dengan
istilah (Islam) ar-rukn al-madi.14
Dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No.31 tahun 1999, yang
dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah mencakup perbuatan
formil ataupun perbuatan materiil, yakni meskipun perbuatan itu tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa ketidakadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
Oleh karena itu melawan hukum dengan memperkaya diri adalah
suatu kesatuan dalam konteks rumusan tindak pidana korupsi pasal 20 UU.
No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001. Memperkaya dengan melawan
hukum artinya si pembuat dalam mewujudkan perbuatan memperkaya diri
adalah tercela, dia tidak berhak melakukannya dalam memperoleh atau
menambah kekayaanya tersebut. Setiap subyek hukum mempunyai hak
13
Adami Chazawi, Hukum Formil dan Materiil Korupsi di Indomisia, cet. Ke-1 Malang:
Bayumedia Publishing, 2003, hal 32. 14
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Pertama, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2004, hal. 10
77
untuk memperoleh atau menambah kekayaannya, tetapi haruslah dengan
perbuatan hukum atau perbuatan yang dibenarkan oleh hukum.
3. Pelakunya
Dilihat dari unsur "pelakunya", maka hal tersebut merupakan
unsur ketiga yang disebut juga dengan unsur moril. Ayat (1) mempunyai
unsur tersebut, hal ini sudah tertuang dalam kalimat "oleh atau atas nama
korporasi". Kalimat tersebut mengundung arti bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, atau orang (pengurus) atas nama korporasi dalam
hal ini mempunyai hubungan dengan koporasi tersebut. Yang dimaksud
dengan pengurus dalam penjelasan UU No. 31 Tahun 1999 adalah organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan
sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya
memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ahmad Hanafi dalam menempatkan pelaku sebagai subjek hukum
dan bisa dimintai pertanggungjawaban adalah diwajibkan orang mukallaf,
yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah
(tindak pidana) yang diperbuatnya, yang dikenal dengan unsur moril.15
Dengan demikian yang dapat dimintai pertanggungjawaban hanya manusia
yang sudah mampu untuk berpikir sehat dan bijaksana, bukan orang gila
yang tidak mempunyai pikiran waras, dan juga bukan anak kecil yang masih
berpikiran labil serta bukan orang yang berada dibawah tekanan orang lain.
15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-6 Jakarta: Bulan Bintang,
2005, hal 6
78
Dari hasil analisis, di sini penulis menjelaskan bahwa,
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi apabila melakukan
perbuatan yang dianggap atau terbukti secara sah melawan hukum dapat
dijatuhkan. Korporasi yang merupakan bukan "badan alami" (manusia) yang
tidak mempunyai pengetahuan atau pilihan terhadap perbuatannya tetap
harus bertanggungjawab atas perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh pengurusnya, karena korporasi (dalam hukum perdata) dapat
melakukan perbuatan-perbuatan seperti mengadakan perjanjian yang apabila
kemudian melakukan wanpresatasi terhadap maka yang harus
bertanggungjawab adalah korporasi itu sendiri.
Kemudian berkenaan dengan korporasi apakah dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam, Ahmad Hanafi menolak
adanya pertanggungjwaban pidana terhadap korporasi. Dengan memberikan
alasan bahwa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana didasarkan
atas adanya pengetahuan terhadap perbuatan dan pilihan. Sedangkan
korporasi (badan hukum) tidak mempunyai syarat tersebut. Akan tetapi
kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-
orang yang bertindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang
itulah yang bertanggungjawab atas perbuatannya.16
Ada dua ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran
dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran ajaran
tersebut adalah doctrine of strict liability dan dontrine of vicarious
16
Ibid, h. 119-120
79
liability.17
Salah satu pemecahan praktis masalah pertanggungjawaban
pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja
dilingkungan korporasi tempat ia bekerja ialah doctrine strict liability,
pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang
bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan pada
pelakunya.
Ajaran yang kedua yang membenarkan bagi adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah dotrin vicarious
liability. Menurut ajaran ini seseorang dimungkinkan harus
bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Apabila teori ini diterapkan
pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya,
mandatarisnya, atau kepada siapapun yang bertanggungjawab kepada
korporasi tersebut.18
Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagi
pembuat. Pengurus ditunjuk sebgai yang bertanggungjawab yang dipandang
dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat
perlengkapannya korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran
dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana
yang dilakukan oleh oaring tertentu sebagai pengurus dari badan hukum
17
Muladi & Dwija Priyanto , Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. Ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup. Hal. 107-109 18
Ibid, hlm. 84-86
80
tersebut. Sifat dari perbutan yang menjadi tindak pidana itu adalah
onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana,
terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatn itu.19
Kemudian masih tentang korporasi sebagai subjek hukum atau
"pelaku", Chidir Ali memberikan definisi sebagai berikut:20
"Hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang
yang merupakan pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak
seperti orang biasa yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun demikian,
badan hukum atau korporasi bertindak harus dengan perantara orang biasa.
Akan tetapi, orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk dan atas nama pertanggungjawaban korporasi".
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa korporasi (badan
hukum ataupun bukan badan hukum) dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana (subjek hukum), dan dianggap sebagai yang mempunyai kemampuan
bisa berbuat seperti layaknya manusia alami, serta mempunyai hak-hak dan
kewajiban. Namun dalam melakukan suatu perbuatan (korporasi) melalui
perantara manusia.
Selanjutnya mengenai pasal 20 ayat (2). Ayat (2) ini tidak terlalu
jauh berbeda dengan ayat (1) dimana ayat satu berkenaan dengan
penuntutan sedangkan ayat dua adalah mengenai perbuatan seperti apakah
yang dikerjakan oleh korporasi, adalah apabila suatu perbuatan itu dilakukan
oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
19
Muladi & Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi, cet. Ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 86 20
Chidir Ali, Badan Hukum, cet. Pertama, Bandung : PT. Alumni, 1987, hal. 20
81
hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
Artinya apabila suatu perbuatan tindak pidana telah terjadi yang
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kerja atau
mempunyai hubungan lain, yang bertindak atas nama korporasi, maka
pertanggungjawaban terhadap korporasi dapat dijatuhkan.
Pasal 20 ayat (3),ayat (4), ayat (5), menurut ketentuan-ketentuan
ayat tersebut, apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka
yang akan diperiksa oleh polisi, atau jaksa, dan harus tampil didepan
pengadilan adalah pengurus dari korporasi tersebut. Pada ayat (4) bukan saja
memberikan kesempatan bagi korporasi dalam hal diwakili oleh pengurus
bahkan memberikan hak kepada pengurus untuk tidak tampil sendiri dalam
proses penyidikan, penututan, dan dari korporasi yang bersangkutan atau
menguasakan kepada orang lain atau beberapa orang advokat untuk
mewakili dirinya tampil di depan pengadilan. Dengan kata lain, pengurus
yang bersangkutan tidak harus secara pribadi baik ke hadapan polisi, jaksa,
atau ke muka sidang pengadilan. Hal ini diambil dari asas hukum perdata
yang menentukan bahwa suatu subjek hukum (orang peroangan atau badan
hukum) dapat mewakilkan dirinya kepada pihak lain, baik kepada orang
perorangan atau kepada badan hukum lain dengan memberikan kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu atau melakukan segala hukum yang
82
terkait dengan masalah yang serahkan pengurusan atau penyelesaiannya
kepada pihak yang diberi kuasa (penerima kuasa) itu.21
Berkenaan dengan ini Barda Nawawi Arif dalam bukunya
menjelaskan, dengan dijadikannya korporasi (berbadan hukum atau bukan)
sebagai subjek Tindak Pidana Korupsi, maka sistem pidana dan
pemidanaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini berarti,
harus ada ketentuan khusus mengenai:
(1) Kapan dikatakan korporasi melakukang tindak pidana,
(2) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan,
(3) Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan, dan
(4) Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhi untuk korporasi.
Menegnai sub (1), undang-undang Tindak Pidana Korupsi Tahun
1999 telah mengaturnya dalam pasal 20 ayat (2), yaitu:
“Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-oarang, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama”.
Menengnai sub (2), diatur dalam pasal 20 ayat (1) yang
menyatakan, bahwa:
“Tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”.
Untuk sub (3), undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1999
tidak membuat ketentuan khusus yang rinci, tetapi
diintergrasikan/terkandung dalam pasal 20 ayait (1) dan ayat (2) di atas.
21
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. Pertama, Jakarta :
PT. Grafity, 2006, hal 176-177
83
Mengenai sub (4), undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1999
menyatakan bahwa:
“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya
pidana denda, yang maksimumnya ditambah /diberatkan 1/3 (satu pertiga)”
(pasal 20 ayat 7).
Jadi dengan melihat uraian-uraian di atas berkenaan dengan
pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidan korupsi, maka
pertangungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus, atau kepada
pengurus dan korporasi. Ketentuan yang demikian inilah kiranya yang
menjadi salah satu penyebab mengapa eksistensi korporasi dalam tindak
pidana korupsi belum dijatuhi pidana. Sebab apabila tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi, umumnya yang betanggungjawab secara pidana
adalah pengurus korporasi, bukan korporasi itu sendiri.22
B. Analisis Dari Segi Sanksi Pidana
1. Pengertian dan Pemidanaan
Sebelum menjelaskan apa hukuman atau sanksi yang pantas untuk
tindak pidana korupsi di sini penulis akan menjelaskan pengertian hukuman,
dan tujuanhukuman itu dijatuhkan kepelakunya. Hukuman atau sanksi
dalam istilah Arab sering disebut dengan 'uqubah, yaitu bentuk balasan
terhadap seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara' yang
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.23
Abdul Qodir Audah dalam kitabnya menjelaskan bahwa:
22
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: UII Press hlm. 54. 23
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet pertama, Yogjakarta, Logung
Pustaka, 2004, hlm. 39
84
العقتح ى الجصاء المقسز لمص حح الجما ح ى صيان ازم ال ازع
hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-
ketentuan syara’.24
Tujuan dari hukuman dalam syari'at Islam merupakan merupakan
realisasi dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai pembalasan
perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus
serta perlindungan tehadap hak-hak korban. Pemidanaan (penjatuhan
sanksi) dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan umat dan
mencegah kedzaliman dan kemadharatan.25
Ahmad Hanafi mengemukakan tujuan hukuman dalam Islam adalah
pencegahan dan pengajaran serta pendidikan. Pengertian pencegahan ialah
menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar
tidak terus menerus memperbuatnya, di samping pencegahan terhadap orang
lain selain pembuat agar tidak memperbuat jarimah, sebab ia bisa
mengetahui hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat
pula perbuatan yang sama.26
Oleh karena tujuan hukuman adalah
pencegahan maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup
mewujudkan tujuan tesebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang
24
Abdul Qodir Audah, At-Tasyr’ Al-Jina’iy Al-Islamy, Juz 1, Dar Al-Kitab Al-„Raby,
Beirut, hlm. 609 25
Makhrus Munajat, op.cithlm. 39 26
Ahamd Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-6 Jakarta : PT Bulan Bintang,
2005, hlm. 191
85
diperlukan, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam
menjatuhkan hukuman.
Sebagaimana penulis menjelaskan pada bab sebelumnya bahwa ada
beberapa jenis tindak pidana atau jarimah yang relevan dengan tindak pidna
korupsi. Diantaranya ghulul, (penggelapan), khianat, ingkar terhadap (janji
jabatan), risywah (gratifikasi), ghasab, (memakai/mengambil hak orang lain
dengan paksa dan tanpa ijin), sariqoh (pencurian), dan hirobah
(perampokan).
Untuk dua jenis jarimah yang disebutkan terakhir keduanya masuk
dalam wilayah jarimah hudud, pertanyaannya adalah apakah tindak pidana
korupsi bisa dianalogikan atau disamakan dengan perampokan dan atau
pencurian? Dalam hal ini Andi Hamzah, dengan mengutip pendapat M.
Cherif Bassioni ahli pidana internasional yang berkembangsaan Mesir,
berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan atau
dianalogikan dengan pencurian dan perampokan. Sebab kedu jenis tindak
pidana ini masuk dalam wilayah jarimah hudud yang ketentuannya sudah
baku dan tegas disebut dalam Alquran. Oleh sebab itu sanksi tindak pidana
korupsi tidak sama dengan sanki pidana pencurian berupa potong tangan
dan berlainan dengan sanksi tindak pidana perampokan berupa hukuman
mati. Menuruntan sanksi tindak pidana korupsi masuk dalam jarimah ta‟zir,
bukan berarti pasti dalam bentuk sanksi yang sanagat ringan, sebab bentuk
86
dan jenis-jenis hukuman ta‟zir meliputi berbagai macam, termasuk bisa saja
dalam bentuk penjara seumur hidup bahkan bisa berupa hukuman mati.27
Takzir secara etimologi adalah bentuk masdar atau kata kerja صز –
.yang berarati mencela atau menegur, menolak, dan mencegah يعصز 28
Adpun
mneurut terminologi adalah pengajran yang tidak sampai ketentuan had
syari‟ seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencacimakipihak
laintetapi bukan mnuduh (orang lain berbuat zina).
Melihat kasus-kasus yang ada di Indonesia maka hukuman ta‟zir
bisa saja lebih berat. Ta‟zir memang bukan termasuk dalam katagoti dalam
hukuman hudud. Namun bukan berarti tidak boleh keras dari hudud, bahkan
sangat dimungkinkan diantara sekian banyak jenis dan bentuk ta‟zir berupa
hukuman mati.
Dalam masalah ini abdul qodir audah tampaknya sangat berat hati
untuk mengatakan bahwa ta‟zir boleh dalam bentuk hukuman mati, secara
tegasi ia mengatakan:
فيمثغ أن ال ت ن قتح التعصيس م ح مه ف يجش ف
التعصيس قتل
ال قطح ل ه ال ثيسيه مه الفقاء اجاشا ستثىاء مه ري القا دج اويعاقة
تالقتل تعصيسا إذا قتضت المص حح العامح تقسيس قتح القتل
Seyogyanya sanksi ta’zir bukan sanksi yang bersifat mematikan,
maka dari itu ta’zir tidak boleh dalam bentuk hukuman mati atau potong
tangan anggota tubuh pelaku. Tetapi mayoritas fuqoha membolehkan
sebgai pengecualian dari prinsip umum ini, untuk menetapkan hukuman
mati sebagai ta’zir, kalau akan membawa kemaslahatan umum.29
27
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Perspektif Fiqih Jinayah,
Jakrta: Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI, 2009, hlm. 150. 28
A.w. Munawir, Kamus al-Munawir, Edisi Kedua, Surabaya: pustaka progresif, 2002.
29 Abdul qodir audah, op.cit, hlm. 52
87
Dengan demikian sanksi ta‟zir adalah sebuah sanksi hukum yang
yang diperlakukan kepada seseorang pelaku jarimah atau tindak pidana
yang melakukan pelanggran-pelanggaran baik yang berkaitan dengan hak
Allah maupun hak mausia dan pelanggaran-pelanggaran dimaksud tidak
masuk dalam katagori hukuman hudud dan kafarat. Oleh karena hukuman
ta‟zir tidak ditentukan secara langsung oleh alquran dan hadist maka jenis
hukuman ini menjadi kompetensi hakim atau penguasa setempat.
2. Bentuk-Bentuk Sanksi Pidana Bagi Korporasi
Sanksi pidana adalah akibat yang harus ditanggung oleh pembuat
dosa (melanggar hukum) dari perbuatan yang dilakukan secara melawan
hukum. Adapun bentuk-bentuk pidana dalam hukum pidana Indonesia
dibagi menjadi:30
a. Pidana pokok:
1) Pidana penjara
2) Pidana tutupan
3) Pidana pengawasan
4) Pidana denda
5) Pidana kerja sosial
b. Pidana tambahan:
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan
3) Pengumuman putusan hakim
30 Barada Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet.ke-3 Bandung:
Citra Aditiya Bakti, 2005, hlm. 155
88
4) Pembayaran ganti kerugian
5) Pemenuhan kewajiban adat
c. Pidana khusus:
1) Pidana mati
Demikian juga layaknya hukum positif, hukum Islam juga membagi
jrimah dalam dalam tiga macam, yaitu jarimah hudud, jarimah qisas-diyat,
dan jarimah ta'zir. Kemudian sebagai efek dari jarimah-jarimah tersebut
adalah adanya sanksi/hukuman. Makhrus Munajat mengklasifikasikan
sanksi pidana ataupun hukuman dalam Islam dapat dikelompokkan dalam
beberapa jenis, hal ini dapat diperinci sebagai berikut.31
a. Hukuman dilidat dari pertalian hukuman yang satu dengan yang lain ada
empat macam:
1) Hukuman pokok, yaitu hukuman yang diterangkan secara definitive,
artinya hakim hanya menerapkan sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh nas.dalam fikih jinayat disebut jarimah hudud.
2) Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang diterapkan sebagai
pengganti, karena hukuman pokok tidak dapat diterapkan dengan
alasan yang syah. Seperti qisas diganti dengan diyat, diyat diganti
dengan dimaafkan.
3) Hukuman tmbahan, yaitu suatru hukuman yang menyertai hukuman
pokok tanpa adanya putusan hakim tersendiri, misalnya bagi pelaku
31
Mkhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Pertama Yogyakarta: Logung
Pustaka , 2004, hlm. 44-46
89
qazf, hak persaksian hilang, dan bagi pembunuh, hak pewarisan
hilang.
4) Hukuuman pelengkap, yaitu tambahan hukuman pokok dengan
melalui keputusan tersendiri, misalnya pencuri, selain dipotong tangan
juga diberi tambahan dengan dikalungkannya tangan dilehernya.
b. Hukuman dilihat dari kewenagan hakim dalam memutuskan perkara,
maka ada dua macam yaitu:
1) Hukukam yang bersihat terbatas, yakni ketentuan pidana yang
diterapkan secara pasti oleeh nas, artinya tidak adas batas tertinggi
dasn terendah. Contoh hukuuman dera bagi pelaku zina 100 kali dan
80 kali bagi penuduh zina.
2) Hukuman yang memiliki alternatif untuk dipilih, contohnya pada
jarimah yang belum selesai seperti percobaan pembunuhan, dll.
c. Hukuman dari segi objeknya, hal ini dapat dibagi menjadi tiga
kelompok:
1) Hukuman jasmani, seperti potong tangan.
2) Hukuman yang berkenaan dengan psikologis, ancaman dan teguran.
3) Hukuman denda, ganti rugi, diyat, dan penyitaan harta.
Selanjutnya akan dibahas mengenai sanksi pidana yang pantas dan
layak dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Pada
pasal 20 ayat 7 di jelaskan bahwa korporasi sekalipun bukan badan alami
(manusia) dapat dikenai pertanggungjaawaban pidana.
90
Adapun bentuk-bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada
korporasi dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Sementara itu,
berbagai undang-undang pidana Indonisia baru menetapkan denda sebagai
pidana pokok bagi korporasi. Bentuk-bentuk sanksi pidana lain oleh
undang-undang ditetapkan sebagai sanksi pidana tambahan atau tindakan
tata tertib.32
Pasal 20 ayat 7 menjelasakan tetang pidana yang dapat dinjatuhkan
terhadap korporasi:
“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya
pidana denda, dengan ketenyuan maksimum pidana ditambah1/3 (satu
pertiga)”
Menurut ketentuan ayat ini pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi sebagai pertanggungjawaban pidana hanyalah pidana
denda yang ditambah 1/3 (sepertiga).
Ketentuan demikina cukup wajar, karena dari dua jenis pidana pokok
yang diancamkan dalam perumusan delik yaitu (penjara dan denda), hanya
pidana dendalah yang paling cocok untuk korporasi. Namun sebenarnya,
dismping pidana denda, beberapa jenis pidana tambahan dalam pasal 18
ayat (1) dapat juga dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak
tidaknya sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan secara mandiri.
Kalau pidana penjara (perampasan kemerdekaan) merupakan pidana pokok
untuk “orang”, maka pidana pokok untuk korporasi yang dapat diidentikan
32
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet pertama, Jakarta:
Grafity, 2006, hlm. 205
91
dengan pidana perampasan kemerdekaan adalah sanksi berupa “penutupan
perusahaan/korporasi untuk waktu tertentu atau pencabutan hak ijin usaha”.
Mengenai pidana denda untuk korporasi, pasal 20 ayat (7) undang-
undang nomor 31 tahun 1999 hanya menentukan, bahwa maksimumnya 1/3
(satu pertiga). Sayangnya, tidak ada ketentuan khusus mengenai
pelaksanaan pidana denda dalam pasal 30 KUHP (yaitu apabila denda tidak
dibayar, diganti dengan pidana kurungan pengganti selama enam bulan)
tidak diterapkan terhadap korporasi.33
Dari pasal 20 ayat 7 tersebut diatas penulis memberikan penilaian
bahwa hukum positif telah mengenal adanya pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi. Artinya korporasi yang dalam berbuat tidak dengan
kehendak sendiri melainkan melalui perantara manusia dapat juga dimintai
pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi pidana. Tidak seperti yang
dikemukakan oleh Ahmad Hanafi yang berpendapat bahwa yang dapat
dimitai pertanggungjawaban pidana hanya manusia, hal ini Ahmad Hanafi
mendasarkan/mensyaratkan pertanggungjawan pidana pada adanya
pengetahuan terhadap perbuatannya dan adanya pilihan sedangkan korporasi
atau badan hukum tidak mempunyai syarat tersebut.
33 Barada Nawawi Arief, op. cit. hlm. 157.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, mengenai tindak pidana korupsi
yang dilakukanoleh korporasi maka dapat diambil kesimpulan:
1. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat dianggap sebagai
tindak pidana, sebagaimana di atur dalam Pasal 20 UU. 31/1999 jo. UU.
20/2001 hal ini didasarkan atas terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana
yang meliputi baik unsur formil maupun matriil. Dalam hal ini korproasi
disamakan dengan personal atau manusia. Maka dalam hal tindak pidana
korporasi dapat memeprtanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah1/3 (satu pertiga).
2. Sebagaiman hukum positif hukum Islam juga mengenal adanya korprorasi
ini terbukti dengan beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan tentang
kelompok atau korporasi. Menurut hukum Islam tindakan korupsi yang
dilakukan oleh korporasi juga bisa dikatagorikan sebgai jarimah. Hal ini
karena telah terpenuhinya unsur-unsur jarimah yaitu unsur formal ( الركن
(الشرعي , unsur matriil (الركن المادي) , unsur moral ( dan dapat (الركن األدبي
dimintai pertanggungjawaban. Mengenai hukuman terhadap tindak pidana
korupsi yaitu hukuman ta’zir.
93
B. Saran
Melihat hiruk pikunya perpolitik di Indonesia tentunya kita harus
memeperhatikan dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terutama
dalam bidang hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dari
penulisan skripsi ini tentunya membutuhkan penelitian dan pengembangan
lebih lanjut tentang pidana khususnya di bidang jinayah. Masalah-masalah ini
perlu dibahas untuk mengembangkan dan merumuskan teori-teori hukum
Islam agar dapat menenuhi dan sebagai jawaban terhadap kebutuhan zaman,
dan sekaligus sebagai bahan masukan bagi materi-materi hukum positif di
Indoneseia.
C. Penutup
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan pencipta alam, atas segala
limpahan Rahmat dan taufik-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini. Penulis menyadari skripsi ini masih sarat dari keterbatasan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga
apa yang telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi diri penulis sendiri
khususnya, dan bagi khalayak umum pada umumnya, dan semoga penelitian
yang penulis lakukan dapat memberikan sumbangsih terhadap wacana
mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dalam hukum positif dan
hukum Islam. Akhirnya penulis menyampaikan trimakasih dengan tulus hati
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, dengan
harapan semoga Allah SWT. Menerima sebagai amal kebaikan dan
memberikan balasan kebaikan, amin.
DAFTAR PUSTAKA
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita 1983.
Abdul Halim Muntasir Dkk, Al-Mu’jam Al-Wasit, Mesir : Dar Al-Maarif, 1972,
Abdul Qodir Audah, At-Tasyr’ Al-Jina’iy Al-Islamy, Juz 1, Dar Al-Kitab Al-
‘Raby, Beirut,
Adami Chazawi, Hukum Formil dan Materiil Korupsi di Indomisia, cet. Ke-1
Malang: Bayumedia Publishing, 2003,
Ahamd Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-6 Jakarta : PT Bulan
Bintang, 2005.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
cet ke-2, Jakarta: Mediaka Garfika, 2006
Ahmad Warso, Munawir, Kamus al-Munawir, Edisi Kedua, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002.
Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat,
Al-quran Dan Terjemah, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran
Al-Quran, 1971.
Al-syaukani, Nail al-Autar, Beirut: dar al fiqr, jilid 7. T.t.
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi (melalui hukum pidana nasional dan
Internasional), Raja Grafindo, Jakarta.
Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas,
2002.
Bambang Waluyo, S.H. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
2002,
Barada Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cet.ke-3
Bandung: Citra Aditiya Bakti, 2005.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. Ke-1 Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003
Burhan Ashhofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996,
Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Prenada Medika,
cet. Ke-1, 2006,
Chidir Ali, Badan Hukum, cet. Pertama, Bandung : PT. Alumni, 1987,
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004,
Ermansaja Djaja, Membarantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafindo,
2010,
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta; Gajah Mada
University, 1993
Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. Ke-II Jakarta: Bulan
Bintang, 1984,
Ibnu manzur, lisan al-arab, jilid 13
Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasit, Mesir: Majma al-lughah al-Arabiyyah,
1972, Cet Ke-2
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian, Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta:
PT.Rineka Cipta, 1994,
Kholil Said Nasihin, Analisis Keputusan Munas Alim Ulama NU Nomor:
001/Munas/2002 Tentang Masa’il Maudhuiyah Siyasiyah Pada Tanggal
25-28 Juli 2002 Tentang Sanksi Bagi Koruptor. Semarang: Fakultas
Syari’ah. 2008. t.d.
M. Quraisah Shihab, Membumikan Al-qur’an,
Mahmud mulyadi & Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010.
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, cet, ke-1, Yogyakarta: Uii
Press, 2011
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet pertama, Yogjakarta,
Logung Pustaka, 2004.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: 2009.
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Persepektif
Fiqih Jinayah, Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Departemen RI,
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam diIndonesia), cet. Ke-XI Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Muhammad Rawas Qala’arji Dan Hamid Sadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat Al-
Fuqaha, Bairut: Dar Al-Nafis 1985,
Muhhamad Bin Salim Bin Sa’di Babasil, Al-Syafii, Isad Al-Rafiq Wa Bughiyah Al
Sadik Syarah Matn Sulam Al-Taufiq Ila Mahabbatillah Ala Al-Tahqiq,
Indonesia: Ttp, Darul Ihya Al-Kutuba Al-Arabiyah, Tth, Jilid 2,
Muladi & Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Korporasi, cet. Ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010,
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010,Subekti &
Tjitrosoe, Kamus Hukum,
Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet. Ke-1 Jakarta: Kencana
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Pasal Demi Pasal, Pasal 1 ayat 1, Politeia : Bogor, 1996.
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cet Ke-3 Banyu Media Publishing, Malang,
2005,
Sulaiman Bin Al-Asy'asy Abu Daud As-Sijistani Al-Azdi, Sunan Abu Daud, Bab
Fi Man'e Al-Ma', CD Al-Maktabah Asy-Syamilah Islamic Global
Software Ridwana Media.
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, cet pertama,
Jakarta: Grafity, 2006.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir An-Nuur, Jilid-5, cet. Ke-2,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000,
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republic
Indonesia, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, cet ke-1, Bandung: Cv.
Nuansa Aulia, 2008.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, cet. Pertama, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003,
www.kompas.com/ rabu 12 Oktober 2011
www.seputar-indonesia.com/opinisore/Lucky Raspati Staf Pengajar Bagian
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Pada tanggal
browsing 24 sep. 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Faqihudin
Tempat/Tanggal Lahir : Pemalang, 27 maret 1983
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Ds. Moga Jl. Soka RT/RW 003/004 Kec. Moga
Kab. pemalang Jawa Tengan
Riwayat Pendidikan Formal :
1. SDN 02 Moga : Tahun lulus 1997
2. SLTPN 01 Moga : Tahun lulus 2000
3. MA Al-Maarif Singosari Malang : Tahun lulus 2003
Riwayat Pendidikan Nonformal :
1. PP. Al-Qur’an Nurul Hudan Singosari Malang Jawa Timur
2. PP. Nurul Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,
untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 12 Desember 2011
Penulis,
Faqihudin
NIM. 072211021