SKRIPSI OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN … · Bina Islami FATETA (FBI-F) tahun 2005-2006....
Transcript of SKRIPSI OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN … · Bina Islami FATETA (FBI-F) tahun 2005-2006....
1
SKRIPSI
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
Oleh
Mohammad Fauzan
F24103045
2008
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Mohammad Fauzan
F24103045
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
Mohammad Fauzan. F24103045. Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi Bahari, Lampung. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc, Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi, M.Sc, dan Esti Puspitasari, M.Sc.
RINGKASAN
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang bernilai tinggi ditinjau
dari segi komersial, nilai gizi maupun selera konsumen di dalam dan di luar negeri. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non migas. Hal ini didukung oleh produksi udang Indonesia yang terus meningkat secara kuantitatif setiap tahunnya. Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah penjagaan mutu dan keamanan produk udang menjadi masalah penting bagi industri yang mengelolanya.
Permasalahan mutu yang terjadi di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) yakni tingginya cooking loss. Tingginya cooking loss menyebabkan ukuran (size) dan berat produk akhir udang menjadi lebih kecil dari yang diinginkan. Sedangkan permasalahan keamanan yang terjadi yakni proses pemasakan udang yang berlangsung di dalam proses produksi belum memastikan dapat menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Bakteri ini bersifat patogen sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Perbaikan yang bisa dilakukan pada permasalahan cooking loss yang tinggi yaitu dengan pemakaian suhu pemasakan yang lebih rendah. Suhu pemasakan yang lebih rendah dapat mengurangi tingkat kehilangan air dalam produk udang selama pemasakan. Sedangkan untuk permasalahan keamanan produk, perlu dilakukan validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hasil validasi ini akan memastikan bahwa produk udang masak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
Penelitian ini bertujuan mengoptimasi proses pemasakan udang untuk menurunkan cooking loss dengan tetap menjaga mutu produk lainnya (kematangan, blackspot, dan organoleptik) dan memastikan proses pemasakan yang berlangsung di dalam proses produksi mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Perlakuan yang diberikan pada Optimasi Proses Pemasakan Udang yaitu pemakaian suhu yang lebih rendah dari suhu awal yaitu 98ºC-99ºC menjadi suhu 85ºC, 90ºC, dan 95ºC pada mesin Cabinplant® Cooker. Produk udang yang digunakan sebagai sampel yaitu udang CTO (Cooked Tail-On) dan udang Peeled Cooked size 41-45. Kedua sampel ini merupakan produk unggulan dan masih memiliki cooking loss lebih tinggi daripada produk udang cook lainnya. Sedangkan perlakuan pada penelitian validasi reduksi bakteri Listeria monocytogenes dengan menurunkan waktu pemasakan dari 80 detik suhu 98-99°C produk CTO size 41-50 (sampel produksi) menjadi 60 detik.
Penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dibagi menjadi 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi). Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu pemasakan yang lebih rendah dengan mengamati parameter kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya.
4
Pada penelitian lanjutan dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan. Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu pemasakan terlama . Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik. Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan blackspot yang tidak sesuai dengan standar PT CPB. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari data yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan, semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam skala produksi ini adalah Nilai blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama 60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
5
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
OPTIMASI PROSES PEMASAKAN UDANG DAN VALIDASI PROSES
PEMASAKAN TERHADAP INAKTIVASI BAKTERI
Listeria monocytogenes DI PT CENTRALPERTIWI BAHARI, LAMPUNG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Mohammad Fauzan
F24103045
Dilahirkan tanggal 06 Oktober 1984
Di Jakarta
Tanggal lulus : 24 Januari 2008
Bogor, 30 Januari 2008
Menyetujui :
Dr. Ir. Ratih Dewanti - H, M.Sc Hardi Kurniawan Pembimbing Akademik-2 Pembimbing Lapang
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Pembimbing Akademik-1
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen ITP
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Mohammad Fauzan, dilahirkan di
Jakarta pada tanggal 06 Oktober 1984. Penulis merupakan
anak ke-dua dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda
Abdullah, BA dan Ibunda Istianah serta kakak Mohammad
Tofan.
Penulis memulai pendidikan pada tahun 1990-1991,
di TK Fatahillah Ciracas, Jakarta Timur. Pada tahun 1991-1997 penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Sudirman Cijantung, Jakarta Timur. Pada
tahun 1997-2000, penulis melanjutkan ke jenjang berikutnya yaitu Sekolah
Menengah Pertama Negeri 102 Cijantung, Jakarta Timur, kemudian Sekolah
Menengah Umum Negeri 39 Cijantung, Jakarta Timur pada tahun 2000-2003.
Pada tahun 2003 penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama di perkuliahan, penulis aktif di Organisasi Rohis Kelas Teknologi
Pangan dan Gizi (ROKET) sebagai ketua umum (2003-2007) dan Direktur Forum
Bina Islami FATETA (FBI-F) tahun 2005-2006. Penulis juga aktif di beberapa
kepanitiaan seperti TECHNO-F (2004), BAUR(2005), dan Seminar Nasional
Pangan Halal (2005). Penulis juga pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)
di Desa Purwasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor pada bulan Juli-
Agustus tahun 2005. Prestasi yang pernah diraih yaitu mendapat dana kompetisi
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyarakat tahun
2006.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan kegiatan magang selama empat
bulan di PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB), Lampung. Tema penelitian dalam
kegiatan magang ini adalah “Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi
Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT
Centralpertiwi Bahari, Lampung” dibawah bimbingan Dr. Ir. Dahrul Syah
M.Sc, Dr. Ir. Ratih Dewanti, M.Sc, dan Hardi Kurniawan.
7
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Optimasi Proses Pemasakan Udang dan Validasi Proses Pemasakan
terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria monocytogenes di PT Centralpertiwi
Bahari, Lampung” dengan baik yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Ayahanda Abdullah, BA dan Ibunda Istianah, serta Mas Ifan dan Mba Lia
yang telah memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan suasana hangat
di rumah semoga skripsi ini bisa menjadi buah karya yang bermanfaat.
2. Bapak Dr. Ir. Dahrul, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik atas
bimbingan, nasihat, dan perhatian sampai penulis berhasil menyelesaikan
skripsi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc sebagai dosen pembimbing ke-2
atas bimbingan, nasihat, dan perhatian sampai penulis berhasil
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Bambang Widigdo dan Bapak Bambang Panca serta seluruh
pimpinan PT CPB atas izinnya sehingga penulis dapat magang di PT CPB.
5. Ibu Esti Puspitasari, M.Sc sebagai pembimbing lapang atas bimbingan,
nasihat dan masukan-masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan yang timbul selama magang berlangsung.
6. Seluruh Keluarga Besar Divisi Application and Improvement (A&I) PT
CPB : Pak Hardi dan Pak Ahmad, atas segala masukan, nasihat, dan
motivasi selama magang berlangsung, Bu Ari, Pak Ade, Seluruh
supervisor Mbak Rini, Teh Herni, Mbak Retno, Mas Kabul, dan Mas Andi
khusus kepada My Best Team : Teh Rini, Mas Joko, Mas Edi, Mas Adi,
Mas Istamar (Terimakasih banyak atas semua kerjasamanya, maaf
banyak merepotkan, sungguh kita merupakan tim yang sangat LUAR
BIASA !!!), Mas Heri dan Mas Didit atas bantuannya ketika tahap aplikasi
8
dalam skala produksi, Mas Hari, Mas Pay, Mas Imam, Mas Ilung, Mba
Sri, Mas Day, Mbak Dwi, Bang Roy, Mas Yudi, Mas Miawan, Mba Iin,
Mas Wahyu, Mas Handoko, Mas Gembus, Mas Wahyu Wisnu, Mba
Suryati (Terimakasih atas semua kerjasamanya, perhatian, canda tawa, dan
suasana kekeluargaan selama penulis bergabung di Divisi A&I).
7. Departemen Laboratorium : Ibu Santi, Pak Teddy, Mba Nuren, Mas
Anton, dan Pak Kusnan (Terimakasih banyak atas bimbingan dan training
analisis Listerianya), Mas Puspo, Mba Gita, Mas Afri, dan Mas Ambri
(Terimakasih atas kesediaannya sebagai panelis organoleptik) serta seluruh
personil Laboratorium PT CPB.
8. Seluruh manager shift Produksi: Bapak Bambang Suseno, Bapak Tri
Hartono, dan Bapak Joko Sulistiyo. Juga Mas Agus, Mba Linda, Ibu
Kunarti, Pak Abdurrokhman serta semua operator yang telah membantu.
(Terimakasih atas kerjasama dan izinnya selama penulis melakukan riset
di produksi). Juga pihak QC (diwakili Mba Linda) dan pihak Engineering
(diwakili Pak Gultom) yang banyak membantu selama riset.
9. Seluruh Keluarga Besar SEAFAST IPB: Ibu Tri, Ibu Entin, Sofah, dan
teman-teman seperjuangan di Lab. Mikrobiolagi: Fitri, Mba Yuli, Mba
Dhenok. Juga Mas Jay dan dessy (Terimakasih atas dukungan dan
bantuannya selama penulis melakukan riset validasi reduksi Listeria).
10.Seluruh sahabat-sahabat terbaik di ITP 40 (Rahmat, Arie, Sarwo, Usman,
Helmi, Sumarto, Dhani, Eka KS, Prima, Maulita, Lala, Hanifah, Maya)
khusus sahabat kelompok praktikum: Sindhu, Sinung, dan Adoz
(Terimakasih atas kerjasama dan suasana hangat selama kuliah dan
praktikum di ITP), juga Chusni (teman seperjuangan penelitian di
Lampung), tidak lupa Gilang, Angel, Anggita (teman satu bimbingan).
Juga kepada rekan-rekan ITP 41, 42, dan 43 yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
11.Seluruh pengurus Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Forum Bina
Islami Fateta (FBI-F), khususnya kepengurusan 2005-2006 (Syukron
Jazakumullah atas segala perjuangannya, semoga segala pengorbanan kita
mendapat ridho dari Allah SWT, Allahu Akbar !!!).
9
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 16
A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 16
B. TUJUAN ................................................................................................ 17
C. SASARAN ............................................................................................. 17
D. MANFAAT ............................................................................................ 17
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN ...................................................... 19
A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUSAHAAN ................................ 19
B. LOKASI DAN TATA LETAK PABRIK .............................................. 19
C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN ......................................................... 20
D. SUMBER DAYA MANUSIA ............................................................... 20
E. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN ...................................... 21
F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN ............................................ 22
G. FASILITAS ............................................................................................ 22
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 24
A. PROSES PEMASAKAN UDANG ........................................................ 24
1. Bagan Alir Pemasakan Udang ......................................................... 24
2. Parameter Mutu Udang Masak ......................................................... 27
3. Pemasakan dengan Cabinplant® cooker .......................................... 29
B. BAKTERI Listeria monocytogenes ....................................................... 30
1. Karakteristik, Klasifikasi, dan Habitat Bakteri
Listeria monocytogenes .................................................................... 30
2. Bahaya Bakteri Listeria monocytogenes terhadap
Keamanan Pangan ............................................................................ 32
3. Pencegahan dan Kontrol Bakteri Listeria monocytogenes ............... 34
4. Teori Kecukupan Panas dalam Menginaktivasi
Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 35
10
5. Standar Perdagangan di Berbagai Negara terhadap
Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 38
a. Amerika Utara .............................................................................. 38
b. Eropa ............................................................................................ 39
c. Australia ....................................................................................... 40
IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 42
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................ 42
1. Bahan ................................................................................................ 42
2. Alat .................................................................................................. 42
B. TEMPAT DAN WAKTU .................................................................... 42
C. METODE PENELITIAN .................................................................... 43
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................. 43
a. Penelitian Pendahuluan ................................................................ 43
b. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) ................... 43
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi
Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 44
D. STANDAR PEMASAKAN UDANG ................................................... 49
E. METODE ANALISIS ......................................................................... 56
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................. 56
a. Perhitungan Kematangan ........................................................... 56
b. Perhitungan Cooking Loss .......................................................... 56
c. Perhitungan Blackspot ................................................................ 56
d. Uji Organoleptik ......................................................................... 57
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi
Bakteri Listeria monocytogenes ....................................................... 57
a. Perhitungan Nilai Fo .................................................................. 57
b. Analisis Kualitatif Bakteri ........................................................ 58
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 61
A. Optimasi Proses Pemasakan Udang ................................................... 61
1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 61
a. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap waktu pemasakan .......................................................... 67
11
b. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap cooking loss ................................................................... 68
c. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap blackspot ....................................................................... 69
2. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi) ....................... 72
B. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi
Bakteri Listeria monocytogenes ........................................................... 73
1. Hasil Perhitungan Nilai Fo ............................................................... 73
2. Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes .............. 74
3. Hubungan antara Nilai Fo dan Inaktivasi Bakteri
Listeria monocytogenes .................................................................... 78
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 80
a. Kesimpulan ............................................................................................ 80
b. Saran ....................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
12
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Syarat pencapaian waktu pada berbagai suhu untuk menginaktifasi
Listeria monocytogenes (FDA, 2001) ................................................... 22
Tabel 2. Standar udang masak beku (EC, 2005) .................................................. 25
Tabel 3. Standar udang masak beku (ICMSF, 1996) ........................................... 26
Tabel 4. Alur proses Validasi dan Penjelasannya ................................................ 37
Tabel 5. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45
Suhu 90°C .............................................................................................. 46
Tabel 6. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO)
Size 41-45 Suhu 90°C............................................................................. 47
Tabel 7. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO)
Size 41-45 Suhu 95°C............................................................................. 48
Tabel 8. Hasil pengambilan sampel produksi Produk CTO Size 41-45 .............. 51
Tabel 9. Hasil aplikasi dalam skala produksi ...................................................... 56
Tabel10. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes ........................ 58
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Food processing plant 2 di PT Centralpertiwi Bahari ....................... 8
Gambar 2. Udang Cooked Tail-On dan Peeled Cooked........................................ 9
Gambar 3. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB ............................. 11
Gambar 4. (a) Mesin Cabinplant® keseluruhan; (b) Cooling zone (spray);
(c) Panel pengatur suhu dan waktu pemasakan;(d)Outfeed mesin15
Gambar 5. Karakteristik bakteri Listeria monocytogenes ..................................... 16
Gambar 6. Proses infeksi bakteri Listeria monocytogenes .................................. 18
Gambar 7. Kurva hubungan nilai D dan z (Mendez dan Abuin, 2006) ................ 21
Gambar 8. Diagram alir penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang .............. 29
Gambar 9. Pertumbuhan Listeria monocytogenes (pada TSYE agar ( )
dan Palcam agar ( ) yang telah diinkubasi dalam TSYE broth
pada 30°C) (Augustin et al., 1999) .................................................... 38
Gambar 10. Proses inokulasi bakteri ..................................................................... 39
Gambar 11. Pemasakan udang dalam panci kukus ............................................... 39
Gambar 12. Proses pendinginan udang ................................................................. 40
Gambar 13. Proses pemasakan udang di PT CPB ................................................. 30
Gambar 14. Penimbangan udang .......................................................................... 31
Gambar 15. Proses dan hasil penyusunan udang .................................................. 32
Gambar 16. Cara pemasukan tray udang .............................................................. 33
Gambar 17. Cara pengukuran suhu pusat ............................................................. 34
Gambar 18. Proses pendinginan udang masak ...................................................... 34
Gambar 19. Penirisan udang ................................................................................. 35
Gambar 20. Udang matang, mentah, dan blackspot .............................................. 36
Gambar 21. Pembekuan udang ............................................................................. 36
Gambar 22. Pengemasan udang ............................................................................ 36
Gambar 23. Diagram alir uji kualitatif Listeria monocytogenes (BAM, 2000)... 45
Gambar 24. Hasil uji organoleptik pada penggunaan suhu 95°C ......................... 49
Gambar 25. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap waktu pemasakan ............................................................... 52
Gambar 26. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap cooking loss ........................................................................ 53
14
Gambar 27. Pengaruh pemakaian suhu yang lebih rendah
terhadap blackspot ............................................................................ 54
Gambar 28. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan
60 detik (ulangan ke-1) ..................................................................... 57
Gambar 29. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan
60 detik (ulangan ke-2) ..................................................................... 57
Gambar 30. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan
80 detik (sampel produksi) ................................................................ 57
Gambar 31. Hasil uji pada media spesifik agar (PALCAM) ................................ 59
Gambar 32. Hasil uji motilitas .............................................................................. 60
Gambar 33. Uji biokimia pada U1, U2, dan kontrol positif .................................. 61
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked
Size 41-45 Suhu 90°C...................................................................... 71
Lampiran 1b. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On
Size 41-50 Suhu 90°C...................................................................... 73
Lampiran 1c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On
Size Suhu 95 °C ............................................................................... 74
Lampiran 2a. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang
lebih rendah terhadap waktu pemasakan ........................................ 78
Lampiran 2b. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang
lebih rendah terhadap cooking loss ................................................. 78
Lampiran 2c. Hasil uji LSD pengaruh pemakaian suhu yang
lebih rendah terhadap Blackspot ..................................................... 78
Lampiran 3a. Hasil uji Duncan terhadap penampakan ......................................... 79
Lampiran 3b. Hasil uji Duncan terhadap tekstur .................................................. 79
Lampiran 3c. Hasil uji Duncan terhadap aroma .................................................... 79
Lampiran 4. Form pengujian organoleptik ......................................................... 80
Lampiran 5. Hasil analisis uji organoleptik ........................................................ 81
Lampiran 6. Hasil aplikasi dalam skala produksi ............................................... 82
Lampiran 7a. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik
dan perhitungan nilai Fo (Ulangan ke-1 / U1) ............................... 83
Lampiran 7b. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik
dan perhitungan nilai Fo (Ulangan ke-2 / U2) ............................... 84
Lampiran 7c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik
dan perhitungan nilai Fo (sampel produksi) .................................... 85
16
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Udang merupakan salah satu produk perikanan yang bernilai tinggi
ditinjau dari segi komersial, nilai gizi maupun selera konsumen di dalam dan
di luar negeri. Produk udang bagi Indonesia merupakan primadona ekspor non
migas. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) (2007), ekspor ikan dan udang
pada periode Januari-Juni 2006 mencapai 825,5 juta dollar AS, pada periode
yang sama 2005 tercatat 759,2 juta dollar AS. Dibanding Mei 2006, ekspor
Juni 2006 meningkat 50,2 juta dollar AS, membuat komoditas ini masuk 10
besar penghasil devisa nonmigas setelah sebelumnya tak terlihat. Hal ini
didukung oleh produksi udang Indonesia yang terus meningkat secara
kuantitatif setiap tahunnya. Menurut data dari Direktorat Jendral Perikanan
Budidaya (2007), nilai produksi udang Indonesia tahun 2006 sebesar 327.260
ton, naik jika dibandingkan periode sama 2005 sebesar 280.465 ton.
Sebagai salah satu komoditas ekspor maka masalah penjagaan mutu dan
keamanan produk udang menjadi masalah penting bagi industri yang
mengelolanya. Masalah ini sangat serius karena hanya dengan tingkat
keamanan yang tinggi dan mutu yang prima, produk udang Indonesia dapat
bersanding dan bersaing dengan produk-produk udang dari negara lain di
pasar global. PT Centralpertiwi Bahari (PT CPB) sebagai salah satu
perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan udang beku
berorientasi ekspor, sangat perhatian terhadap permasalahan mutu dan
keamanan produknya.
Permasalahan mutu yang sedang dihadapi oleh industri udang masak ini
yakni tingginya cooking loss. Tingginya cooking loss menyebabkan berat
produk akhir udang menjadi lebih kecil dari yang diinginkan. Hal tersebut
diakibatkan oleh hilangnya air pada udang akibat dari proses pemanasan
selama pemasakan. Tingginya cooking loss produk dipengaruhi oleh banyak
faktor. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah penggunaan suhu
pemasakan yang tinggi pada proses pemasakan udang.
Selain mutu produk, masalah keamanan produk juga harus diperhatikan.
Keamanan produk banyak dipengaruhi oleh aspek mikrobiologi yang terdapat
17
pada bahan pangan yang dihasilkan. Permasalahan yang terjadi di PT CPB
yakni proses pemasakan udang yang berlangsung di dalam proses produksi
belum memastikan dapat menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
Bakteri ini bersifat patogen sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan
manusia.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, perlu dilakukan
perbaikan mutu dan keamanan produk udang di PT CPB. Permasalahan
cooking loss yang tinggi bisa dilakukan dengan menurunkan suhu pemasakan.
Suhu pemasakan yang tidak terlalu tinggi dapat mengurangi tingkat
kehilangan air pada udang selama pemasakan. Sedangkan untuk permasalahan
keamanan produk, perlu dilakukan validasi proses pemasakan terhadap
inaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Hasil validasi ini akan memastikan
bahwa produk udang masak yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah
1. Optimasi proses pemasakan udang untuk menurunkan cooking loss dengan
tetap menjaga mutu produk lainnya (kematangan, blackspot, dan
organoleptik).
2. Memastikan proses pemasakan yang berlangsung di dalam proses produksi
mampu menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
C. Sasaran
Sasaran dari penelitian ini adalah
1. Mendapatkan standar penggunaan mesin pemasak yang optimal
berdasarkan kematangan, cooking loss, blackspot, dan mutu organoleptik.
2. Memperoleh kepastian bahwa proses pemasakan yang berlangsung di
dalam proses produksi dapat menginaktivasi bakteri Listeria
monocytogenes.
D. Manfaat
1. Optimasi proses pemasakan dengan menurunkan suhu ini diharapkan
dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam perusahaan
berkaitan dengan proses pemasakan pada mesin pemasak yang masih
18
menghasilkan cooking loss tinggi pada suhu 98ºC-99ºC sehingga akan
diperoleh proses yang ideal dan dapat menghasilkan udang siap saji
berkualitas secara mutu melalui proses produksi yang efisien.
2. Proses Validasi yang dilakukan dapat memastikan bahwa produk udang
siap saji aman dikonsumsi karena kemampuan proses pemasakannya
dalam menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
19
II. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bratasena didirikan pada tanggal 8 Juli 1984.
Pendirian perusahaan dikukuhkan dengan SPT BPKM No. 453/PMDN/1994
dan Surat Keputusan Gubernur Daerah lampung No. 5 tahun 1996 tentang
Pola Kemitraan Usaha Perikanan Inti Rakyat di Wilayah Lampung.
Perusahaan ini merupakan usaha gabungan antara investor Charoen Pokphand
Indonesia dan Bratasena Perkasa Kencana. Charoen Pokphand Indonesia
merupakan anak perusahaan Charoen Pokphand Group dari Thailand. Karena
PT Bratasena Perkasa Kencana menarik sahamnya pada tahun 1998, nama PT
Centralpertiwi Bratasena berubah menjadi PT Centralpertiwi Bahari (PT
CPB). Saat ini, mayoritas saham PT Centralpertiwi Bahari dimiliki oleh PT
Centralproteina Prima yang merupakan anak cabang Charoen Pokphand
Indonesia (CPI).
B. LOKASI PERUSAHAAN DAN TATA LETAK PABRIK
PT Centralpertiwi Bahari berada di wilayah bekas hutan register 47 Way
Terusan, Kecamatan Pembantu Gedong Meneng, Kecamatan Induk Menggala,
Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Luas lahan yang dicadangkan
adalah 22271 hektar. Batas-batas wilayah PT Centralpertiwi Bahari, yaitu :
Utara : Sungai Way Tulang Bawang
Selatan : Sungai Way Seputih dan Laut Jawa
Barat : Sungai Way Terusan
Timur : Laut Jawa
PT Centralpertiwi Bahari mempunyai kapasitas sekitar 15000 petambak
dan 10000 karyawan. Hingga kini baru sekitar 4000 hektar dari total luas
lahan yang telah digunakan. Tambak budidaya udang terletak di dua desa,
yaitu :
1. Desa Adiwarna yang meliputi Blok 1, Blok 2, dan Blok 81.
2. Desa Mandiri yang meliputi Blok 71.
20
PT Centralpertiwi Bahari juga mempunyai tempat pengembangan benur
udang (hatchery) seluas 130 hektar yang terletak di Desa Suak, Lampung
Selatan. Selain itu, terdapat pula pabrik pakan udang yang terletak di Tanjung
Bintang, Kawasan Industri Lampung.
C. VISI DAN MISI PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bahari merupakan perusahaan budidaya dan
pengolahan udang modern. Perusahaan ini memilki visi menjadi perusahaan
tambak inti rakyat yang baik dan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Adapun misi-misi PT CPB yaitu :
1. Mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.
2. Membina hubungan kerjasama yang harmonis antara perusahaan dengan
petambak untuk mencapai tujuan bersama.
3. Menyediakan produk dan pelayanan dengan mutu terbaik bagi pelanggan
sehingga dapat memberikan manfaat kepada investor, karyawan, mitra
kerja dan pemerintah.
4. Memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar melalui peningkatan
kegiatan ekonomi.
Selain itu, PT CPB juga memiliki nilai-nilai (values) yang diterapkan,
meliputi :
1. Contribution : merupakan falsafah Charoen Pokphand yang berarti
perusahaan memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi Negara,
masyarakat, dan karyawan.
2. Professionalism (honesty, loyality, quality, and integrity) : segala
sesuatunya diusahakan berjalan secara profesional, sesuai dengan nilai-
nilai kejujuran, kesetiaan, kualitas dan integritas yang tinggi pada
perusahaan.
3. Broadminded : berpikiran luas, fleksibel, mampu menerima, dan menyerap
serta menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi.
D. SUMBER DAYA MANUSIA
Karyawan di PT Centralpertiwi Bahari dibagi menjadi tiga shift kerja.
Karyawan shift satu bekerja pukul 08.00-16.00. Karyawan shift dua bekerja
21
pukul 16.00-24.00. Karyawan shift tiga bekerja pukul 00.00 hingga 08.00
pagi. Pertukaran shift dilakukan setiap minggu.
E. STRUKTUR ORGANISASI PERUSAHAAN
PT Centralpertiwi Bahari merupakan badan usaha perseroan terbatas.
Kekuasaan tertinggi dipegang oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
RUPS memilih dan mengangkat direktur, presiden (CPB operation), dan site
vice president.
PT CPB memilki sebelas divisi yang tersebar di beberapa wilayah di
Lampung, dan dua bagian non divisi. Sembilan dari sebelas divisi tersebut
berada di area tambak (Pond Site), wilayah Menggala, Kabupaten Tulang
Bawang. Dua divisi lainnya berada di wilayah Kawasan Industri Lampung
(KaIL) Tanjung Bintang dan di wilayah Suak-Kalinda, Lampung Selatan.
Divisi yang berada di wilayah KaIL Tanjung Bintang adalah Divisi
pabrik pembuatan pakan udang (Feedmill Operation). Sedangkan divisi yang
berada di wilayah Suak-Kalianda adalah divisi budidaya benur udang
(Breeding Operation). Dua bagian nondivisi PT CPB adalah Kantor
Perwakilan (Representative Office) wilayah Lampung di Bandar lampung dan
Kantor Pusat (Head Office) di Jakarta.
Delapan divisi PT Centralpertiwi Bahari di area tambak ( Pond Site) yaitu :
1. Budidaya perairan (Aquaculture division).
2. Pengolahan dan penyimpanan (Processing and cold storage).
3. Pelayan petambak (Farmer service).
4. Pengembangbiakan udang (Breeding operation).
5. Pembangkit listrik dan peralatan elektrik (Powerplant and electric
engineering).
6. Permasalahan umum dan pengembangan sumber daya manusia (General
Affairs and Human Capital).
7. Keuangan dan akuntasi (Finnance and accounting).
8. Masyarakat dan persemaian (Civil and engineering)
22
F. HASIL PRODUKSI DAN PEMASARAN
PT Centralpertiwi Bahari memproduksi berbagai jenis udang beku
seperti udang mentah beku (conventional frozen shrimp), udang kupas mentah
beku (peel raw frozen shrimp), udang masak beku (cooked frozen shrimp),
nobashi ebi dan sushi ebi. Seluruh produk tadi diekspor ke manca Negara,
seperti Jepang, Amerika, beberapa Negara Eropa, dan sebagainya.
G. FASILITAS
PT Centralpertiwi Bahari menyediakan fasilitas bagi karyawan,
petambak dan keluarganya. Fasilitas tersebut meliputi fasilitas perumahan,
sarana pendidikan, alat transportasi, tempat ibadah, sarana ekonomi, sarana
komunikasi, sarana kesehatan, sarana olahraga dan rekreasi. Fasilitas
pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar (SD) pada masing-masing desa dan
satu Sekolah Menegah Pertama (SMP) serta satu Sekolah Menengah Umum
(SMU). Fasilitas transportasi berupa infrastruktur jalan (road dan subroad),
jalan raya menuju dermaga (20 km), dermaga sungai (Amarta dan Sadewa),
transportasi air (speed boat dan pontoon), serta transportasi darat (bus
karyawan dan minibus).
Untuk memenuhi kebutuhan spiritual, didirikan tempat ibadat berupa
masjid, mushola, gereja dan pura. Fasilitas ekonomi meliputi pasar tradisional,
warung, kantin, bengkel dan pertokoan di setiap lokasi pemukiman. Selain itu
juga terdapat koperasi karyawan (kopkar), Koperasi Unit Desa (KUD) bagi
petambak. Fasilitas komunikasi meliputi radio Swara Bahari, Warung
telekomunikasi (Wartel) dan pemancar signal telepon seluler atau handphone.
Fasilitas kesehatan meliputi puskesmas di setiap blok tambak dan Pusat
Pelayanan kesehatan.
Fasilitas olahraga meliputi lapangan sepak bola, lapangan voli, lapangan
basket, lapangan bulu tangkis dan tenis meja. Selain itu, juga terdapat fasilitas,
organisasi olahraga Satria Nusantara (SN) dan taekwondo.
Bagi para petambak, perusahaan menyediakan fasilitas tempat tinggal
berupa rumah tipe 36, kolam tambak (ukuran 4900 m2 atau 0.49 hektar), yang
dilengkapi sarana irigasi, alas plastik, peralatan operasional dan pelatihan
(dibayar dengan sistem kredit, fasilitas listrik dan air bersih, paket teknologi
23
(biosecurity, benur, analisa laboratorium untuk kualitas air, udang dan
lingkungan tambak, obat-obatan serta pakan), paket natura (kebutuhan pokok
berupa beras, minyak goreng, mie instant, susu kaleng, sabun mandi, sabun
cuci, dan minyak tanah) serta biaya hidup bulanan sebesar Rp. 700.000.
PT CPB menyediakan rumah tinggal (mess) bagi karyawan tetap yang
belum menikah dan memilki jabatan sebagai staf keamanan (satpam),
operator, kepala grup pekerja (foereman/forelady), pengawas (supervisior),
manajer, kepala bagian, manajer senior dan vice president. Karyawan tetap
yang telah menikah maupun karyawan belum tetap dapat menempati rumah
sewa atau rumah pribadi di daerah pemukiman. Fasilitas lainnya berupa
pasokan listrik dan air bersih, tunjangan kesehatan, jamsostek, kantin
karyawan, bus karyawan, koperasi, pasar tradisional, dan bengkel.
Gambar 1. Food processing plant 2 di PT Centralpertiwi Bahari
24
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. PROSES PEMASAKAN UDANG
1. Bagan Alir Pemasakan Udang
Produk udang yang dipakai sebagai sampel pada penelitian ini
adalah udang CTO (Cooked Tail-On) dan udang Peeled Cooked. Udang
CTO adalah produk udang Litopenaeus vannamei beku dan masak,
tanpa kepala tetapi ekor masih ada, dibuang kulit segmen 1-5, bekas
pangkal kaki renang dikerik, kemudian dibelah dari segmen 2-5
sedalam usus terambil (kedalaman 30%) kemudian dimasak dan
dibekukan (A&I PT CPB, 2007) sedangkan udang Peeled Cooked
adalah produk udang Litopenaeus vannamei beku tanpa kepala, kulit
segmen 1-5 dibuang, ekor dan kulit segmen 6 dicabut, bekas pangkal
kaki renang dikerik, usus diambil dengan cara dicukit kemudian
dimasak dan dibekukan (A&I PT CPB, 2007). Secara rinci, udang
Cooked Tail-On dan Peeled Cooked bisa dilihat pada Gambar 2.
(Cooked Tail-On) (Peeled Cooked)
Gambar 2. Udang Cooked Tail-On dan Peeled Cooked
Proses pemasakan udang CTO dan Peeled Cooked pada PT
Centralpertiwi Bahari ini dimulai dari penerimaan udang mentah ( raw
material), kemudian dilakukan pencucian dengan air es. Tahap
selanjutnya adalah penyortiran berdasarkan ukuran dan grade udang
dan dilanjutkan dengan penimbangan. Setelah penimbangan kemudian
dicuci menggunakan air es, dipotong kepala, dan dicuci kembali
menggunakan air es. Setelah dicuci dengan air es lagi, kemudian akan
25
dikelompokkan berdasarkan permintaan harian yang telah dibuat oleh
PPIC (Production Planning & Inventory Control). Setelah
dikelompokkan, kemudian dilakukan pengupasan kulit, pembuangan
usus sampai pembelahan pada punggung udang, setelah itu dikoreksi
keseragaman ukuran udang dan ada atau tidaknya kista, kemudian
direndam dengan menggunakan carnal 2,5 % dan garam 2%.
Proses pemasakan dilakukan setelah perendaman dengan larutan
tersebut diatas. Proses pemasakan yang dilakukan merupakan salah satu
penerapan pengolahan-panas pada bahan pangan. Menurut Lund
(1993), pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting
yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan
pangan. Karena diperpanjangnya umur simpan ini, maka bahan pangan
yang melimpah hanya selama waktu panen yang nisbi pendek, dapat
dibuat tersedia sepanjang tahun. Pengolahan panas pada bahan pangan
yang diterapkan pada pemasakan udang berupa pengukusan
(menggunakan sumber panas berupa steam). Pengukusan adalah proses
pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum
pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan
bergantung pada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya
pengukusan sebelum pembekuan atau pengeringan terutama untuk
menginaktivasikan enzim yang akan menyebabkan perubahan warna,
cita rasa, atau Nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan
(Lund, 1993).
Optimasi proses pemasakan dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan antara suhu dan waktu pemasakan yang digunakan.
Penggunaan suhu yang lebih rendah dengan waktu pemasakan yang
lebih lama dapat menurunkan cooking loss produk. Hal ini dikarenakan
pada penggunaan suhu rendah pada proses pemasakan menyebabkan
perbedaan suhu pusat udang dengan suhu permukaan menjadi lebih
kecil sehingga air yang hilang selama pemasakan dapat ditekan dan
rendemen akan meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan suhu
tinggi. Selain itu penggunaan suhu yang lebih rendah akan membuat
26
produk lebih aman karena produk akan lebih lama berada pada kisaran
suhu diatas pertumbuhan bakteri serta akan memberikan penampakan,
tekstur dan rasa yang lebih bagus (Anonim a, 2001).
Setelah proses pemasakan berakhir, kemudian dilanjutkan dengan
pendinginan dalam air kualitas pertama ( first quality water) yang telah
ditambahkan serpihan es (flake ice) dan garam 2% sampai suhu
dibawah 5°C. Suhu dibawah 5°C ini berfungsi sebagai shock chilling
yang bertujuan agar mikroba yang belum tereduksi selama pemasakan
tidak tumbuh lagi. Selain itu, suhu dingin pada udang juga diperlukan
karena setelah proses pemasakan, akan dilanjutkan pada proses
pembekuan sehingga produk akan lebih cepat beku karena beban
refrigerasi dapat dikurangi.
Proses pembekuan dilakukan setelah proses pemasakan selesai.
Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan sistem tunnel
freezer, penimbangan, glazing, dikemas dan diberi label, tahap akhir
adalah penyimpanan di cold room. Secara lebih rinci diagram alir
proses pemasakan ini, dapat dilihat pada Gambar 3.
Penerimaan ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Penyortiran (ukuran dan grade) ↓
Penimbangan ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Potong kepala ↓
Pencucian menggunakan air es ↓
Pengelompokkan ↓
Pengupasan kulit, pengambilan usus dan pembelahan punggung
↓ @
27
@ ↓
Koreksi ↓
Perendaman dengan carnal dan garam ↓
Pemasakan ↓
Pendinginan ↓
Pembekuan dengan tunnel freezer ↓
Penimbangan ↓
Glazing ↓
Pengemasan dan Pelabelan ↓
Penyimpanan dalam cold room
Gambar 3. Diagram alir proses pemasakan udang di PT CPB
2. Parameter Mutu Produk Udang Masak
Salah satu metode penilaian mutu produk perikanan yaitu dengan
penilaian subjektif. Penilaian subjektif yang biasa disebut juga penilaian
organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor-
faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakan, bau,
citarasa, dan tekstur. Sifat organoleptik yang berhubungan dengan sifat
fisik, sangat memegang peranan penting terutama untuk menentukan
komoditas yang masih segar atau sudah busuk (Muchtadi dan Sugiyono,
1992).
Berdasarkan penampakan, untuk udang masak, daging udang yang
telah matang berwarna putih susu. Penilaian mutu secara subjektif
(organoleptik) selain penampakan adalah tekstur, aroma, dan rasa.
Tekstur yang paling bagus pada udang masak adalah elastis, kompak,
dan padat kenyal. Untuk produk udang masak, kematangan juga sangat
berpengaruh terhadap tekstur. Udang yang terlalu matang akan merusak
tekstur. Tekstur pada udang yang terlalu matang menjadi tidak bagus
dan rusak. Udang yang terlalu lembek dan sangat lunak juga tidak
28
bagus bagi tekstur udang. Rasa udang masak, tergantung pada
konsentrasi bumbu yang telah dicampurkan sebelum proses pemasakan
(AOAC, 2000).
Selain kematangan, parameter penampakan yang sering menjadi
permasalahan yaitu adanya blackspot pada tubuh udang. Blackspot
berbentuk noda (spot) atau wilayah (bands dan zones) hitam yang mulai
berkembang dari kepala lalu meluas ke membran kulit penghubung
ruas-ruas tubuh (abdomen) hingga meliputi sirip ekor. Gejala bercak
hitam atau melanosis disebabkan bukan oleh bakterial tetapi oleh reaksi
enzim (Ilyas, 1993). Menurut Bileye dkk (1960), bercak hitam itu
adalah senyawa melanin, hasil kerja dari enzim oksidatif tyrosinase atau
Polyphenol Oxidase (PPO) yang mengkatalisis reaksi untuk mengubah
tyrosin (substrat) menjadi melanin yang berwarna hitam. Blackspot
tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak juga mengubah rasa maupun
aroma tetapi memperburuk penampakan pada udang sehingga, produk
akan ditolak oleh konsumen. Enzim PPO, yang merupakan penyebab
terjadinya blackspot, banyak terdapat pada lapisan kutikula dan
hemolymph pada crustaceans dan serangga. PPO berperanan penting
dalam pengerasan kulit dari chitin selama siklus pertumbuhannya.
Sehingga blackspot banyak terjadi pada produk udang berkulit (Shell-
On).
Cooking loss produk juga merupakan salah satu parameter lain dari
produk udang masak. Walaupun tidak secara langsung berkaitan dengan
mutu produk tetapi tingkat cooking loss yang terlalu tinggi akan
berakibat pada rusaknya komponen-komponen yang terdapat pada
udang. Parameter cooking loss biasanya sangat berpengaruh terhadap
keuntungan perusahaan. Cooking loss dihitung berdasarkan persentase
perbandingan selisih antara bobot udang sebelum pemasakan dengan
bobot udang setelah pemasakan terhadap bobot udang sebelum
pemasakan (basis basah) (AOAC, 1995). Cooking loss menyebabkan
ukuran dan berat akhir produk udang menjadi lebih kecil dari ukuran
dan berat produk awal.
29
3. Pemasakan dengan Cabinplant® cooker
Menurut Crowly (2001), metode dasar dari pemasakan komersil
seafood ada tiga yaitu: pemasakan dengan steam, pemasakan dengan air
panas, dan pemasakan dengan udara panas. Proses pemasakan di PT
Centralpertiwi Bahari (PT CPB) memakai steam sebagai sumber
panasnya dan memanfaatkan pindah panas konduksi dan koveksi dalam
prosesnya. Mesin pemasak yang digunakan yaitu mesin Cabinplant®
cooker dan Laitram® cooker.
Mesin pemasak yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin
Cabinplant® cooker. Mesin Cabinplant® cooker mampu memenuhi
kapasitas produksi pemasakan 1000 kg/jam. Steam, yang dijadikan
sumber panas, dialirkan langsung merata dari bagian atas mesin ke
produk dengan waktu pemasakan antara 25 sampai 240 detik. Suhu
yang digunakan yaitu 197°F-203°F atau sekitar 92°C-113°C (Crowly,
2001). Suhu pemasakan yang distandarkan pada Mesin Cabinplant®
cooker di PT CPB yaitu 98°C-99°C. Kisaran suhu ini juga banyak
dipakai oleh perusahaan-perusahaan udang masak lainnya.
Zona yang terdapat dalam Cabinplant® cooker terbagi menjadi tiga
yaitu: first cooling zone dengan menggunakan spray, zona pemasakan,
dan second cooling zone dengan perendaman udang dalam bak air es.
Cooling zone berfungsi untuk menghindari uap air tidak keluar dari
mesin akibat proses pemasakan. Mesin Cabinplant® cooker dirancang
agar uap tidak keluar dari mesin. Pengeluaran uap dari mesin dapat
membuang energi dan menyebabkan kondensasi di ruang proses.
Kondensasi berupa tetesan air dari langit-langit ruangan akan jatuh ke
mesin dan pekerja. Secara rinci, mesin Cabinplant dan bagian-bagian di
dalamnya dapat dilihat pada Gambar 4.
30
(a)
(b) (c) (d)
Gambar 4. (a) Mesin Cabinplant® keseluruhan; (b) Cooling zone
(spray); (c) Panel pengatur suhu dan waktu pemasakan;
(d) Outfeed mesin
B. Bakteri Listeria monocytogenens
1. Karakteristik, Klasifikasi, dan Habitat bakteri Listeria
monocytogenes
Listeria monocytogenes merupakan salah satu jenis bakteri gram-
positif, psikotropik, anaerob fakultatif, tidak berspora, motil, dan
bentuknya batang pendek. Dalam kultur segar, selnya mungkin dalam
bentuk rantai pendek. Listeria monocytogens bersifat hemolitik dan
memfermentasikan gula rhamnose tetapi tidak untuk xylose. Bakteri ini
tumbuh antara 1 sampai 44°C, dengan pertumbuhan optimal pada 35°C-
37°C. Pada 7°C-10°C akan berkembangbiak relatif cepat. Listeria
monocytogenes dapat memfermentasikan glukosa tanpa menghasilkan
gas. Bakteri ini dapat tumbuh pada banyak bahan pangan dan
lingkungan. Selnya relatif bertahan pada pembekuan, pengeringan,
kadar garam tinggi, dan pH 5.0 serta pH diatasnya. Listeria
monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71.7°C selama 15
31
detik atau 62,8°C dalam 30 menit), tetapi ketika di dalam sel darah
putih, suhu 76.4°C sampai 77.8°C dalam 15 detik dibutuhkan untuk
membunuh sel bakteri ini (Ray, 2000). Karakteristik bakteri Listeria
monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Karakteristik bakteri Listeria monocytogenes (Anonim b,
2007)
Listeria monocytogenes adalah salah satu spesies dari 6 species
bakteri Listeria yaitu: L. Monocytogenes, L. Innocua, L. Welshimeri, L.
Seeligeri, L. Ivanovii, dan L. Garyi (Boerlin et al, 1992). Spesies L.
Ivanovii memiliki 2 subspesies yaitu: ivanovii dan londoniensis (Jay,
1996; Kozak et al., 1996).
Listeria monocytogenes diisolasi dari banyak sampel lingkungan,
seperti tanah, limbah, air, dan tumbuh-tumbuhan mati. Bakteri ini
diisolasi dari isi usus dari hewan dan burung lokal. Manusia dapat juga
membawa bakteri ini dalam ususnya tanpa banyak menimbulkan
penyakit. Bagian besar dari daging mentah, susu, telur, makanan laut,
dan ikan, seperti halnya daun dari tumbuh-tumbuhan dan umbi-umbian
(khususnya pada kentang dan lobak) mengandung Listeria
monocytogenes. Banyak makanan yang diproses dengan panas, seperti
susu pasteurisasi dan produk susu, serta pengolahan daging ready-to-eat
juga dapat mengandung bakteri ini. Listeria monocytogenes diisolasi
dalam ferkuensi tinggi dari banyak tempat pada proses pangan dan area
penyimpanan (Ray, 2000). Berdasarkan hal tersebut, potensi bakteri ini
berada dalam bahan pangan sangat besar. Apabila bakteri ini berada
dalam bahan pangan maka bahan pangan tersebut menjadi tidak aman
32
dikonsumsi bagi manusia. Hal ini berarti bakteri Listeria
monocytogenes dapat mempengaruhi kemanan bahan pangan tertentu.
2. Bahaya Bakteri Listeria monocytogenes terhadap Keamanan
Pangan
Menurut Undang-Undang R. I. Nomor 7 Tahun 1996, Keamanan
Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia. Berdasarkan isi undang-undang tersebut, cemaran
biologis merupakan salah satu hal yang akan membuat bahan pangan
menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Cemaran biologis itu bisa
berasal dari bakteri Listeria monocytogenes yang bersifat patogen bagi
manusia.
Sifat patogen dari bakteri ini berasal dari toksin yang
dihasilkannya. Faktor yang bersifat toksin pada Listeria monocytogenes
adalah tipe khusus dari hemolysin, Listeriolysin O. Toksin itu
diproduksi dalam pertumbuhan eksponensial dari selnya. Bakteri yang
bersifat patogen ini menyerang jaringan tubuh berbeda dan
berkembangbiak dalam sel tubuh, menghasilkan toksin. Toksin ini
dapat menyebabkan kematian pada sel tubuh (Ray, 2000).
Toksin yang dihasilkan merupakan bagian dari proses invasi
bakteri ke tubuh inangnya. Proses infeksi bakteri ini adalah invasi
melalui bagian permukaan usus. Proses invasi ini melibatkan residu D-
galaktosa pada bakteri yang menempel pada reseptor D-galaktosa yang
cocok pada usus. Bakteri kemudian menangkapnya dengan proses
fagositosis yang dihubungkan oleh membran berprotein yang disebut
internalin. Setelah itu bakteri akan memproduksi toksin Listeriolysin
(LLO) untuk keluar dari fagosom. Bakteri akan memperbanyak diri
dengan cepat pada sitoplasma dan bergerak melalui sitoplasma untuk
menyerang sel yang terdekat dengan polimerisasi aktin untuk
membentuk ekor yang panjang (Anonim d, 2007). Secara rinci proses
infeksi bakteri Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 6.
33
Gambar 6. Proses infeksi bakteri Listeria monocytogenes
Proses infeksi Listeria monocytogenes pada tubuh manusia itu
dapat menimbulkan berbagai penyakit. Listeria monocytogenes dikenal
sebagai penyebab terjadinya listeriosis, jarang terjadi, tetapi merupakan
infeksi penyakit asal pangan yang mempunyai tingkat mematikan 25%
(Salmonella, sebagai perbandingan, mempunyai tingkat mematikan
kurang dari 1%) (Anonim c, 2007). Gejala-gejala yang ditimbulkan dari
infeksi bakteri patogen ini selanjutnya dijelaskan oleh Ray (2000),
bahwa pada orang dengan kesehatan normal, gejala yang ditimbulkan
salah satunya seperti gejala flu ringan dengan demam ringan, nyeri
perut, dan diare. Gejala-gejala ini timbul dalam beberapa hari, tetapi
kadang-kadang seseorang akan membuang Listeria monocytogenes
dalam feses mereka.
Lain halnya gejala-gejala yang terjadi pada kelompok-kelompok
orang yang sensitif seperti: ibu hamil, bayi yang belum lahir, bayi, dan
orang lanjut usia dengan tingkat kekebalan yang rendah. Gejala yang
terjadi yaitu tipus dengan mual, muntah, nyeri perut, dan diare, serta
gejala jangka panjang demam dan sakit kepala. Bakteri ini kemudian
menyebar melalui aliran darah dan menyerang jaringan pada organ vital
34
yang berbeda, termasuk sistem syaraf pusat. Pada wanita hamil, Listeria
monocytogenes dapat menyerang jaringan organ dari janin melalui
plasenta. Gejalanya termasuk bacterimia (septicemia, meningitis,
encephalitis, dan endocarditis). Tingkat mematikan pada janin, infeksi
bayi yang baru lahir, dan membahayakan kekebalan seseorang adalah
sangat tinggi. Tingkat infeksi kurang lebih mencapai 100 sampai 1000
sel, khususnya pada orang dengan tingkat sensitifitas yang tinggi (Ray,
2000). Selain menyerang manusia, bakteri ini juga menyerang berbagai
jenis hewan seperti: ayam, kelinci, kambing, sapi, kuda, dan sebagainya
(Supardi dan Sukamto, 1999). Gejala-gejala penyakit yang ditimbulkan
dari bakteri Listeria monocytogenes ini sangat banyak dan berbahaya.
Oleh karena itu bakteri ini harus dicegah dan dikontrol demi menjamin
keamanan pangan.
3. Pencegahan dan Kontrol Bakteri Listeria monocytogenes
Melihat sangat besarnya bahaya bakteri Listeria monocytogenes
terhadap kesehatan manusia, maka pencegahan dan kontrol bakteri
perlu dilakukan sebagai upaya untuk menjamin kemanan pangan.
Menurut Ray (2000) metode pencegahan dan kontrol bakteri (termasuk
bakteri Listeria monocytogenes) untuk meminimalkan dan
menghilangkan jumlahnya dalam bahan pangan yaitu diantaranya
melalui: 1) Mengontrol akses mikroorganisme ke dalam makanan, 2)
Memindahkan secara fisik kehadiran mikroorganisme dalam makanan,
3) Mencegah dan mengurangi pertumbuhan mikroorganisme dan
perkecambahan dari spora yang ada dalam makanan, dan 4) Membunuh
sel mikroba dan spora yang hadir dalam makanan.
Menurut Bell dan Kyriakides (2002) setidaknya ada 3 tempat atau
area, khususnya dalam industri, dalam mencegah dan mengontrol
bakteri Listeria monocytogenes yaitu: kontrol pada bahan mentah,
kontrol dalam proses, dan kontrol pada produk akhir. Kontrol dalam
proses misalnya pada proses pemanasan, proses fermentasi, proses
pencucian, proses pengasapan, kontaminasi proses akhir.
35
Proses pemanasan melalui proses pemasakan merupakan salah satu
upaya pencegahan dan kontrol bakteri dengan cara membunuh sel
mikroba dan spora yang hadir dalam makanan pada area proses di
dalam industri. Karena sifatnya memusnahkan mikroba, maka dengan
menggunakan proses ini ada jaminan bahwa mikroba yang telah mati
tidak akan pernah aktif kembali. Walaupun ada mikroba yang
ditemukan pada produk pangan yang diproses dengan cara ini, maka
kemungkinan besar hal ini terjadi karena rekontamninasi (Fardiaz,
1996).
Proses pemanasan merupakan proses utama dalam menginaktivasi
bakteri Listeria spp. pada industri berbagai macam jenis makanan
termasuk daging masak, makanan siap santap, dan makanan penutup.
Listeria monocytogenes dirusak oleh temperatur pasteurisasi yang
diaplikasikan pada daging, di United Kingdom (UK) dikhususkan pada
suhu 70°C selama 2 menit (Anonim d, 1992). Proses ini menginaktivasi
sebanyak 6–log organisme di dalam makanan. Penelitian terhadap ayam
masak mengindikasikan Nilai D untuk Listeria monocytogenes adalah
0.133 menit pada 70°C (Murphy et al., 1999). Proses pemanasan susu
pasteurisasi di UK memakai suhu 71.7°C selama 15 detik untuk
menginaktivasi bakteri sebanyak 3-4 log (berdasarkan Nilai z sebesar 5-
7.5°C).
4. Teori Kecukupan Panas dalam Menginaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
Menurut Fardiaz (1996), proses termal atau proses yang
menggunakan energi panas adalah salah satu proses di dalam
pengolahan pangan yang jika tidak dilakukan dengan benar dapat
menimbulkan masalah keamanan. Oleh karena itulah, proses termal
merupakan tahap pengolahan yang dianggap kritis karena harus
dilakukan secara hati-hati dengan perhitungan kecukupan panas yang
akurat untuk menjamin keamanan produk pangan yang dihasilkan.
Teori kecukupan panas mengenal konsep Nilai Fo, Nilai D, dan
Nilai z yang berhubungan dengan inaktivasi bakteri Listeria
36
monocytogenes di dalamnya. Menurut Wirakartakusumah dkk (1989),
Nilai D merupakan waktu untuk menurunkan jumlah mikroba sebanyak
90% (1 siklus log) sedangkan Nilai z adalah perbedaan suhu yang
menyebabkan perubahan Nilai D sebanyak 1 siklus log. Hubungan
antara Nilai D dan Nilai z dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kurva hubungan nilai D dan z (Mendez dan Abuin, 2006)
Pada Gambar terlihat bahwa Nilai D menyebabkan jumlah mikroba
berkurang dari 10.000 menjadi 1000 (sebanyak 90% berkurang). Dalam
proses pemanasan juga dikenal istilah “Order Reaksi”. Order dalam
termal proses adalah berapa kali Nilai D dicapai pada suatu proses
pemanasan. Misalnya suatu bahan pangan mempunyai populasi awal
10.000.000 sel dipanaskan hingga populasinya 10 sel, maka order
reaksinya adalah 6. Jadi order yaitu berapa n D suatu pemanasan
dilakukan (Wirakartakusumah dkk, 1989). Dalam menginaktivasi
bakteri Listeria monocytogenes dipakai konsep 6D (FDA, 2001).
Selain Nilai D dan z, dalam proses pemanasan yang berkaitan
dengan inaktivasi bakteri terdapat istilah Fo. Menurut Fardiaz (1996)
Nilai Fo adalah waktu setara dalam menit pada suhu rujukan (T ref) yang
menghasilkan pengaruh mematikan yang sama seperti pemanasan pada
suhu T selama t:
Fo = 10 (T-Tref) / z x t
Z
37
Nilai Fo mencerminkan derajat letalitas terhadap mikroba dan
merupakan Nilai kecukupan panas yang diperlukan untuk mereduksi
jumlah mikroba yang diinginkan. Nilai Fo dan suhu rujukan (Tref) yang
dijadikan syarat dalam proses pemanasan untuk menginaktivasi bakteri
Listeria monocytogenes bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat pencapaian waktu (Fo) pada berbagai suhu pusat
produk (Tref) untuk menginaktivasi Listeria monocytogenes
(FDA, 2001)
Internal Product Temperature (°F)
Internal Product Temperature (°C) Lethal Rate
Time for 6D Process
(minutes) 145 63 0.117 17.0 147 64 0.158 12.7 149 65 0.215 9.3 151 66 0.293 6.8 153 67 0.398 5.0 154 68 0.541 3.7 156 69 0.736 2.7 158 70 1.000 2.0 160 71 1.359 1.5 162 72 1.848 1.0 163 73 2.512 0.8 165 74 3.415 0.6 167 75 4.642 0.4 169 76 6.310 0.3 171 77 8.577 0.2 172 78 11.659 0.2 174 79 15.849 0.1 176 80 21.544 0.09 178 81 29.286 0.07 180 82 39.810 0.05 182 83 54.116 0.03 183 84 73.564 0.03 185 85 100.000 0.02
Nilai z = 7.5 °C
38
5. Standar Perdagangan di Berbagai Negara terhadap bakteri Listeria
monocytogenes
Standar perdagangan terhadap bakteri Listeria monocytogenes
dibuat untuk menjamin keamanan pangan. Standar perdagangan di
berbagai negara terhadap bakteri ini berbeda-beda. Salah satu hal yang
mempengaruhi hal tersebut adalah perbedaan pengetahuan tentang
berapa banyak sel yang harus direduksi yang dapat menyebabkan
penyakit sehingga mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah setempat berupa peraturan-peraturan tentang batas minimal
kehadiran bakteri ini di dalam bahan pangan dan non pangan.
Bagaimanapun juga, setiap usaha yang dilakukan harus dibuat
untuk menghambat penggandaan dari organisme ini dalam makananan
(Farger dan Peterkin, 2000). Berikut ini beberapa kebijakan pemerintah
di Kawasan Amerika Utara, Eropa, dan Australia tentang bakteri
Listeria monocytogenes yang berhubungan dengan standar perdagangan
yang dibuat (Frager dan Peterkin, 2000).
a. Amerika Utara
Di Negara Kanada, kebijakan yang dibuat fleksibel. Kebijakan
peraturan yang dibuat terhadap makanan yang terkontaminasi bakteri
Listeria monocytogenes berdasarkan prinsip dari Hazard Analysis
and Critical Control Point (HACCP) yang dibangun dengan
menggunakan pendekatan penilaian resiko kesehatan. Kebijakan
yang dibuat mencerminkan bahwa resiko dari kontaminasi Listeria
monocytogenes dapat direduksi tetapi organisme ini tidak selalu
dapat dibasmi dari produk akhir atau lingkungan. Kebijakan
langsung diberlakukan pada produk pangan Ready-To-Eat (RTE)
atau makanan siap saji yang berpotensi terhadap pertumbuhan
bakteri ini.
Produk pangan dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan resiko
kesehatan. Produk pada kategori 1 merupakan penyebab
terjangkitnya penyakit Listeriosis dan menjadi prioritas terbesar
dalam inspeksi. Produk yang termasuk dalam kategori 1 ini harus
39
ditarik kembali dari pasaran. Kategori 2 adalah semua produk
pangan RTE yang mendukung untuk tumbuhnya bakteri Listeria
monocytogenes dan mempunyai ketahanan hidup baktrei ini lebih
dari 10 hari. Produk yang termasuk dalam kategori 2 ini juga harus
ditarik kembali dengan pertimbangan yang mungkin dari pasaran.
Kategori 3 terdiri dari 2 jenis produk pangan RTE yaitu: Produk
yang mendukung pertumbuhan bakteri dengan ketahanan hidup ≤ 10
hari dan tidak mendukung pertumbuhan. Untuk produk pangan RTE
kategori 3, faktor seperti kehadiran atau ketidakhadiran dari Good
Manufacturing Processing (GMP), tingkat dari Listeria
monocytogenes dalam bahan pangan ( 100 cfu g-1), dan atau evaluasi
resiko kesehatan adalah semua dipertimbangkan dalam pengambilan
tindakan yang memenuhi.
b. Eropa
Pemerintah United Kingdom (UK) hanya mempunyai
perundang-undangan untuk Listeria monocytogens dalam keju dan
produk berbahan dasar susu lainnya yang telah diisukan langung oleh
European Community (EC). Isi dari peraturan yang diberlakukan
dalam produk susu dan berbahan dasar susu adalah Listeria
monocytogenes tidak ada dalam 25 gram sampel dari keju lunak dan
tidak ada pada 1 gram sampel dari produk lainnya. Sebagai
tambahan, Public Health Laboratory Sevices (PHLS) memberikan
petunjuk untuk beberapa bahan pangan RTE masak yang dibagi
menjadi 4 kategori yaitu: (1) Memuaskan (Listeria monocytogenes
tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel); (2) Cukup Memuaskan (ada
pada 25 gram sampel dengan tingkat <100 cfu g -1); (3) Tidak
Memuaskan (100-1000 cfu g-1); dan (4) Tidak diterima / penuh
resiko (> 1000 cfu g-1).
Pemerintah Jerman telah mengembangkan rekomendasi untuk
digunakan sebagai otoritas inspeksi makanan. Empat kategori dari
makanan telah dikembangankan dengan berbagai level. Group I
terdiri dari makanan untuk bayi dan anak-anak dengan level tidak
40
ada bakteri Listeria monocytogenes dalam 25 gram sampel. Group II
terdiri dari makanan seperti susu fermentasi dan produk kemasan
aseptis dengan level sama seperti Group I. Group III termasuk
makanan beku, keju (bukan keju mentah), sosis, dan udang kemasan
dengan level >100 cfu g-1. Grup IV terdiri dari 3 jenis makanan yang
berbeda seperti ikan asap dan sosis fermentasi; makanan mentah
konsumsi dengan status mentah atau tidak diproses; dan makan
mentah yang dipanaskan dahulu sebelum dikonsumsi. Untuk Grup
IV level <100 cfu g-1 biasanya masih diizinkan.
Untuk produk udang masak beku, European Community (EC)
menetapkan standar bakteri Listeria monocytogenes adalah negatif
dalam 25 gram sampel pada kondisi sebelum produk didistribusikan
dari pabrik. Sedangkan standar pada kondisi selama produk beredar
di pasar adalah 100 cfu/gram. Secara rinci, standar yang
diberlakukan EC dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar udang masak beku (EC, 2005)
c. Australia
Standar pembatasan kontaminasi Listeria monocytogens belum
dimasukkan dalam Australian Food Standard Code. Kontrol
41
terhadap permintaan ekspor yaitu ketidakhadiran Listeria
monocytogenes pada 5 X 25 gram sampel dari banyak keju. Otoritas
Pangan Austarlia mempertimbangkan untuk memperkenalkan
standar dari organisme ini dalam Food Standar Code. Seperti di
pendekatan di Kanada, produk akan digrupkan sesuai dengan
kemampuannya dalam mendukung pertumbuhan Listeria
monocytogenes dan informasi dari model prediksi akan digunakan.
International Commission on Microbiological Specifications for
Foods (ICMSF) telah mengembangkan kebijakan penting untuk
perdagangan internasional untuk makanan yang mengandung
Listeria monocytogenes. Makanan yang diperuntukkan bagi orang
normal, ICMSF merekomendasikan nilai n (jumlah sampel) dari 5,
10 atau 20 dengan level 100 cfu g-1 dan untuk makanan yang
diperuntukkan bagi orang yang sensitif / peka, nilai n dari 15, 30 atau
60 dengan level “nol” untuk 25 gram sampel. Untuk produk udang
masak beku, ICMSF menetapkan standar bakteri Listeria
monocytogenes negatif pada 25 gram sampel. Secara rinci, standar
yang diberlakukan ICMSF dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar udang masak beku (ICMSF, 1996)
Bakteri Standar Udang masak
Total Aerobic Plate Counts 106 cfu /g
Staphilococcus aureus 100 cfu /g
Total Coliform 3.0 MPN / g
Escherchia coli 25 cfu/g
Salmonella Negatif/ 25 g
Listeria monocytogenes Negatif/ 25 g
42
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian Optimasi Proses
Pemasakan adalah udang mentah siap masak CTO (Cooked Tail-On) dan
Peeled Cooked size 41-50 sebanyak minimal 30 kg/hari yang digunakan
untuk penelitian pendahuluan dan 100 kg untuk penelitian lanjutan, air
chiller, air normal, flake ice, dan garam.
Penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Listeria
monocytogenes membutuhkan bahan-bahan antara lain: udang mentah
siap masak CTO (Cooked Tail-On), media Listeria Enrichment Broth
(LEB), University of Vermont (UV-M1 dan UV-M2), PALCAM Agar,
Trypticase Soy Agar dengan 0.6% Yeast Extract (TSAYE), Trypticase Soy
Broth dengan 0.6% Yeast Extract (TSBYE), Bacto Peptone, Motility Test
Medium (MTM), Gula Dextrose, Xylose, Mannitol, dan Maltose serta
aquades.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian Optimasi Proses
Pemasakan Udang antara lain: mesin pemasak dan tray untuk proses
pemasakan, box cooling, timbangan AND kapasitas 15,000 x 0,005 kg,
termometer dingin dan termometer panas TFA type A1368, stop watch
merk casio, keranjang besar (kapasitas 10 kg), pisau, dan data tracer.
Penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Listeria
monocytogenes membutuhkan alat-alat antara lain: kompor/pemanas,
panci kukus, thermocouple, gunting preparasi, sarung tangan, pinset,
stomacher, gelas piala, erlenmeyer, cawan petri, bunsen, jarum ose, tabung
reaksi, inkubator, dan autoclave.
B. TEMPAT DAN WAKTU
Tempat untuk melakukan penelitian dibagi menjadi 2 yaitu PT
Centralpertiwi Bahari, Lampung, untuk penelitian Optimasi Proses Pemasakan
Udang dan Laboratorium mikrobiologi patogen SEAFAST Center IPB, Bogor,
43
untuk penelitian Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri
Listeria monocytogenes. Seluruh penelitian dilaksanakan selama 6 (enam)
bulan, dimulai dari Bulan Mei sampai Bulan Oktober 2007.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian terdiri dari 2 bagian yaitu Optimasi Proses Pemasakan Udang
dan Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes. Optimasi Proses Pemasakan Udang dilakukan melalui 2
tahapan yaitu penelitian pendahuluan, penelitian lanjutan dan scale-up.
Sedangkan metode penelitian Validasi dilakukan dengan mengevaluasi
pengaruh nilai derajat letalitas (Fo) proses pemasakan terhadap inaktivasi
bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode kedua penelitian tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Penelitian pendahuluan
Pemakaian suhu pemasakan yang lazim dilakukan di dalam proses
produksi dengan mesin Cabinplant® cooker adalah suhu 98°C-99°C.
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan udang
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan
95°C. Karena menggunakan suhu yang lebih rendah, maka waktu
pemasakan yang digunakan menjadi lebih lama. Penelitian pendahuluan
ini dilakukan untuk mendapatkan waktu yang optimal pada 3 suhu
pemasakan yang lebih rendah tersebut dengan mengamati parameter
kematangan dan cooking loss. Khusus untuk produk CTO ditambahkan
parameter blackspot. Udang hasil pemasakan dengan variasi waktu pada
suhu yang optimal diamati mutu organoleptiknya.
b. Penelitian lanjutan (aplikasi dalam skala produksi)
Pada tahap ini dilakukan pemasakan udang dalam skala produksi
dengan suhu dan waktu yang optimal hasil dari penelitian pendahuluan.
Pengamatan yang dilakukan berupa kematangan, cooking loss, dan
blackspot. Hasil dari penelitian lanjutan ini dapat disajikan sebagai
pertimbangan untuk diterapkan di dalam proses produksi. Secara rinci,
44
metode penelitian Optimasi Proses Pemasakan Udang dapat dilihat
pada Gambar 8. Semua proses pemasakan dilakukan sesuai standar
yang digunakan di PT CPB.
Pengamatan
1. % Kematangan
2. % Cooking loss
3. % Blackspot
4. Uji
Organoleptik
dengan variasi
waktu pada
suhu yang
optimal
Pengamatan
1. % Kematangan
2. % Cooking loss
3. % Blackspot
2. Validasi Proses Pemasakan Udang terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
Validasi dilakukan untuk memastikan proses pemasakan yang terjadi
dalam proses produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria
monocytogenes. Parameter yang bisa menjadi kontrol validasi ini adalah
derajat letalitas (nilai Fo). Kontrol nilai Fo pada proses validasi akan
direndahkan dari nilai Fo proses pemasakan yang terjadi dalam produksi
dengan tujuan ketika proses validasi dengan nilai Fo rendah sudah mampu
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes maka dengan demikian proses
Gambar 8. Diagram alir penelitian optimasi proses pemasakan udang
1. Penelitian Pendahuluan § Menetapkan waktu (t)
optimal pada suhu (T) 85, 90°C, dan 95°C
2. Penelitian Lanjutan (Aplikasi dalam skala produksi) § Dari suhu dan
waktu pemasakan yang optimal
45
pemasakan yang terjadi dalam proses produksi juga mampu menginaktivasi
bakteri ini karena nilai Fo yang lebih besar.
Sampel yang menjadi perbandingan dalam proses produksi yaitu
pemasakan dengan standar waktu pemasakan 80 detik pada suhu 98°C-99°C
produk CTO size 41-50. Perlakuan pada proses validasi ditentukan dengan
menurunkan waktu pemasakan menjadi 1 menit / 60 detik pada suhu air
mendidih. Pemasakan yang dilakukan selama proses validasi menggunakan
skala laboratorium. Validasi tidak dilakukan di dalam proses produksi karena
resiko kontaminasi akibat inokulasi bakteri yang dilakukan selama proses
validasi. Alur proses validasi dan penjelasannya bisa dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Alur proses validasi dan penjelasannya
Alur Penjelasan
Udang
Inokulasi
Pengujian awal
Pemasakan
Pendinginan
Pengambilan
sampel
Udang Fresh (± 10 gram / masak )
Inokulasi mikroba Listeria monocytogenes
Uji mikrobiologi sebelum dimasak
( Kontrol positif dan negatif)
Udang dikukus dalam panci. Waktu pemasakan selama
1 menit / 60 detik pada suhu air mendidih.
Thermocouple dimasukkan ke dalam udang dengan
cara ditusuk untuk melihat suhu pusat udang selama
proses pemasakan.
Pendinginan dilakukan dengan merendam udang masak
pada air steril
Udang diambil untuk dilakukan uji bakteri Listeria
monocytogenes secara kualitatif
46
Secara rinci, alur validasi terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Persiapan Bahan Baku Udang
Bahan baku udang yang digunakan sebelum pemasakan sebaiknya
mempunyai suhu pusat 10-20°C. Oleh karena itu apabila bahan baku udang
yang ada dalam bentuk beku maka dilakukan proses defrost untuk
menaikkan suhu pusat. Proses defrost pada udang beku dilakukan dengan
menggunakan air mengalir atau direndam pada air suhu normal. Bahan baku
udang yang dibutuhkan selama proses validasi yaitu 1 ekor udang (±10
gram) tiap satu kali pemasakan.
b. Persiapan Bakteri Uji
Persiapan bakteri uji dilakukan melalui beberapa tahap sampai pada
tahap inokulasi di bagian akhirnya. Tahap pertama dilakukan proses
enrichment pada kultur murni bakteri. Proses enrichment yang dilakukan
yaitu dengan menggores kultur murni sebanyak 1 ose kemudian dimasukkan
pada media TSBYE 9 ml dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C, hal
ini dilakukan untuk memperkaya dan memaksimalkan proses pertumbuhan
bakteri (BAM, 2000). Waktu inkubasi diambil berdasarkan grafik
pertumbuhan bakteri Listeria monocytogenes, dengan mengambil waktu
yang paling maksimal dalam pertumbuhannya (sekitar 18–24 jam). Grafik
pertumbuhan bakteri ini bisa dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pertumbuhan Listeria monocytogenes (pada TSYE agar ( ) dan
Palcam agar ( ) yang telah diinkubasi dalam TSYE broth
pada 30°C). (Augustin et al., 1999)
47
Untuk menyeragamkan kultur, maka dilakukan pengenceran larutan
sampai tingkat 105 dan diinkubasi kembali pada suhu 30°C selama 24 jam.
Setelah itu innoculum siap diinokulasi pada udang. Media pembawa
innoculum yang digunakan yaitu Pepton Water (PW) sebanyak 225 ml.
Proses inokulasi dilakukan dengan memasukan udang pada larutan
campuran (PW + innoculum) selama 2 menit. Proses inokulasi dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Proses inokulasi bakteri
c. Pengujian Awal
Pengujian awal dilakukan sebagai Kontrol Positif dan Kontrol Negatif
pada peralakuan panas yang dilakukan. Kontrol Positif dibuat dengan
menginokulasi bakteri pada udang kemudian diuji kualitatif, sedangkan
Kontrol Negatif tanpa inokulasi. Hasil uji kualitatif ini kemudian
dibandingkan dengan hasil dengan perlakuan panas.
d. Proses Pemasakan Udang
Proses pemasakan udang dilakukan dengan menggunakan panci kukus.
Udang dimasukkan ke dalam panci setelah air dalam panci kukus sudah
mendidh agar proses pemasakan berjalan secara optimal. Pemasakan
dilakukan selama 1 menit / 60 detik sebanyak 2 kali ulangan. Perlakuan ini
merupakan penurunan waktu pemasakan dari proses pemasakan di produksi
yaitu selama 80 detik untuk produk CTO size 41-50.
Thermocouple digunakan untuk melihat perjalanan suhu pusat udang
selama pemasakan. Kabel thermocouple langsung ditusukkan pada bagian
48
tengah dalam udang. Pembacaan suhu pusat udang diaktifkan setelah udang
masuk dalam panci kukus dan diberhentikan setelah proses pendingian.
Hasil pembacaan suhu pusat udang dapat dilihat dari cetakan alat pembaca
thermocouple dengan kisaran waktu per 5-6 detik. Proses pemasakan udang
dalam panci kukus dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pemasakan udang dalam panci kukus
e. Pendinginan
Proses pendinginan dilakukan dengan merendam udang yang telah
dimasak pada air suhu normal dalam wadah. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh pemasakan terus-menerus setelah proses
pemasakan. Proses pendinginan dilakukan sampai suhu pusat udang turun
menjadi ± 40°C-50°C. Proses pendinginan dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 12. Proses pendinginan udang
49
f. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel udang dilakukan setelah proses pendinginan
selesai. Sampel yang diambil kemudian diuji bakteri Listeria monocytogenes
secara kualitatif untuk melihat tingkat inaktivasi bakteri akibat perlakuan
pemanasan yang diberikan. Jumlah sampel udang yang diambil sebanyak 2
kali ulangan.
D. STANDAR PEMASAKAN UDANG
Metode pemasakan yang dilakukan di dalam penelitian Optimasi Proses
Pemasakan Udang mengikuti alur proses pemasakan produk udang yang
berlangsung di perusahaan. Secara rinci proses pemasakan dan perlakuan yang
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 13.
@
Pendinginan pada air pendingin < 7 0C
Penirisan (3 menit)
Menentukan berat udang / tray
Menghitung dan Menimbang udang / tray
Menyusun udang dalam tray
Proses pemasakan dengan menggunakan suhu yang lebih
rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C
Mengukur suhu pusat udang
Bahan Baku
50
@
Gambar 13. Proses pemasakan udang di PT CPB
Metode pemasakan udang CTO dan CP pada PT. Centralpertiwi Bahari
terdiri dari tahapan proses sebagai berikut:
a. Estimasi Waktu Pemasakan
Estimasi waktu pemasakan dilakukan karena proses pemasakan
memakai suhu yang lebih rendah. Waktu pemasakan yang dipakai
menjadi lebih lama. Estimasi waktu pemasakan tersebut dilakukan
sampai batas maksimal terlama waktu yang bisa diterapkan pada alat
pemasakan. Waktu pemasakan yang dianggap tepat dilihat dari
parameter kematangan, cooking loss, dan blackspot .
b. Menentukan Berat per Tray dan Penghitungan Udang Sebelum
Proses Pemasakan
Pada penelitian ini digunakan ukuran (size) 41-50 yang berarti
dalam setiap 1 lbs (456,5 g) terdapat 41-50 ekor udang. Penentuan
berat per tray dilakukan untuk mengetahui berat produk tiap tray agar
terjadi keseragaman saat proses pemasakan. Berat udang per tray ini
ditentukan dengan menyusun udang size 41-50 didalam tray kemudian
menimbangnya. Hasil yang diperoleh, dijadikan standar dalam
menentukan berat udang per tray.
Penimbangan dan penghitung udang dilakukan untuk mengetahui
berat udang sebelum proses pemasakan sehingga dapat dihitung
Kesimpulan
Menimbang dan menghitung udang
Pengamatan black spot
Analisis hasil
Freezing
Penyimpanan 1 dan 3 hari
Organoleptik
51
cooking lossnya. Setelah menyusun kemudian menimbang udang,
maka ditetapkan berat udang per tray ± 1500 g (1.5 kg). Penimbangan
dilakukan dengan alat penimbangan AND dan dapat dilihat pada
Gambar 14.
Gambar 14. Penimbangan udang
c. Menyusun Udang dalam Tray
Penyusun udang dalam tray ini harus disesuaikan dengan ukuran
dan jenis udang yang digunakan. Pada penelitian ini, digunakan 2
produk udang sehingga pola penyusunannya memiliki 2 pola berbeda.
Hasil penyusunan udang dalam tray pada produk udang CP adalah 7
baris dimana setiap barisnya terisi 18 ekor udang untuk udang CP dan
pada produk CTO adalah 6 baris dimana setiap barisnya terisi 21 ekor
udang. Secara lebih lengkap proses dan hasil penyusunan udang dapat
dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Proses dan hasil penyusunan udang
d. Mengukur Suhu Pusat Udang Sebelum Proses Pemasakan
Hasil pengukuran suhu pusat udang sebelum proses pemasakan
akan membantu memberikan informasi mengenai energi pemanasan
52
yang akan diterima udang, jika perbedaan suhu pusat udang dengan
suhu mesin semakin besar maka energi yang akan diterima udang juga
akan semakin besar sesuai dengan hukum pindah panas. Selain itu,
suhu udang pada saat proses berjalan, harus dipertahankan ≤ 12°C
untuk mencegah terjadinya perubahan warna (discolorisasi). Standar
yang telah ditetapkan PT. CPB sebelum udang masuk ke dalam proses
pemasakan yaitu mempunyai suhu pusat (10-20)°C, suhu pusat ini
diukur menggunakan termometer (digital thermometer) yang
mempunyai sensitifitas terhadap suhu dingin. Setelah berada dalam
kisaran suhu yang telah ditetapkan maka proses pemasakan siap untuk
dimulai sesuai dengan variasi suhu yang telah ditetapkan.
e. Proses Pemasakan dengan Penggunaan Suhu yang Lebih Rendah
Proses pemasakan dilakukan dengan menggunakan mesin
Cabinplant® cooker yang menggunakan sumber panas berupa steam.
Pemasakan dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih rendah
dari suhu yang dipakai di produksi yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Waktu pemasakan sesuai dengan estimasi awal. Teknis trial
pemasakan dilakukan dengan memasukan sejumlah 9 tray yang berisi
udang pada mesin pemasak. Tiga tray pada posisi tengah digunakan
sebagai sampel untuk penghitungan dan penimbangan udang
sedangkan enam tray sisa diakumulasi hanya untuk penimbangan
udang. Cara pemasukan tray pada mesin pemasak dapat dilihat pada
Gambar 16.
Gambar 16. Cara pemasukan tray udang pada mesin pemasak
53
f. Mengukur Suhu Pusat Udang Setelah Proses Pemasakan
Pengukuran suhu pusat udang setelah proses pemasakan dilakukan
sesaat setelah proses pemasakan berakhir dan sebelum masuk dalam
air pendingin (water cooling). Pengukuran suhu pusat udang
menggunakan termometer (digital thermometer) yang mempunyai
sensitifitas terhadap suhu panas. Mengukur suhu pusat bertujuan untuk
mengetahui tingkat kematangan pada udang. Suhu pusat udang mesin
Cabinplant berkisar antara 69-72°C. Cara mengukur suhu pusat
udang menggunakan termometer digital, dapat dilihat pada Gambar
17.
Gambar 17. Pengukuran suhu pusat udang
g. Pendinginan
Pendinginan dilakukan dengan perendaman udang dalam air
dingin. Air yang digunakan adalah air kualitas pertama ( first water
quality) yang telah diberi kepingan es sampai suhu air ≤ 5ºC setelah
suhu pusat udang dalam air pendingin mencapai 6-8ºC kemudian
diangkat dari air pendingin dan ditiriskan. Suhu pusat udang diukur
menggunakan termometer digital yang memiliki sensitifitas terhadap
suhu dingin. termometer ini mampu memberikan hasil dalam waktu
kurang dari 1 menit sehingga proses yang berlangsung akan lebih
efisien. Setelah dilakukan pendinginan, maka diambil sampel untuk
pengujian organoleptik. Proses pendinginan udang setelah proses
pemasakan, dapat dilihat pada Gambar 18.
54
Gambar 18. Proses pendinginan udang masak
h. Penirisan
Setelah suhu pusat udang dari air pendingin mencapai 6 - 8ºC,
kemudian udang ditiriskan selama 3 menit. Penirisan udang dilakukan
agar air yang masih terikut didalam udang setelah proses pendinginan,
tidak mempengaruhi penimbangan. Penirisan udang dapat dilihat pada
Gambar 19.
Gambar 19. Penirisan udang
i. Menimbang dan Menghitung Udang
Penimbangan dan Penghitungan udang dilakukan untuk
mengetahui presentase cooking loss. Penimbangan dilakukan dengan
menggunakan timbangan digital sama seperti saat menimbang udang
mentah.
j. Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk membuat analisis awal sebelum
pembekuan. Pengamatan ini dilakukan dengan melihat tingkat
55
kematangan udang, blackspot dan cooking loss. Tingkat kematangan
udang dapat dilihat pada tekstur daging udang. Daging udang
dikatakan matang apabila teksturnya kompak dan warnanya putih susu.
Sedangkan daging udang dikatakan mentah apabila warnanya bening,
uratnya masih berwarna biru, dan teksturnya kurang kompak. Selain
itu juga terdapat udang yang terlalu masak (overcooked) dengan
tekstur tidak kompak lagi dan rusak. Indikasi adanya blackspot dapat
dilihat dengan mengamati noda hitam yang terdapat pada bagian ekor
udang. Secara lebih rinci, udang matang, mentah, dan indikasi adanya
blackspot dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Udang matang, mentah, dan blackspot
k. Freezing dan Penyimpanan
Proses pembekuan dilakukan dengan mesin pembeku IQF
(individually quick freezing). Setelah dilakukan pembekuan, udang
dikemas dalam pengemas primer kemudian disimpan dalam coldroom
selama 1 dan 3 hari. Proses pembekuan dan pengemasan udang masak
dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22.
Gambar 21. Pembekuan udang Gambar 22. Pengemasan udang
Mentah Matang Blackspot
56
E. METODE ANALISIS
Metode analisa dalam Optimasi Proses Pemasakan Udang terdiri dari
analisa produk (perhitungan tingkat kematangan, perhitungan cooking loss,
dan perhitungan blackspot) dan evaluasi mutu (uji organoleptik). Sedangkan
Metode analisa dalam Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri
Listeria monocytogenes berupa perhitungan Nilai Fo dan analisa kualitatif
bakteri Listeria monocytogenes. Secara rinci, metode analisa kedua penelitian
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Perhitungan Tingkat Kematangan
Tingkat kematangan udang dihitung berdasarkan persentase jumlah
udang yang matang dengan jumlah udang yang dianalisis.
% Kematangan =
Jumlah udang yang dianalisis - Jumlah udang undercook x 100%
Jumlah udang yang dianalisis
b. Perhitungan Cooking loss (AOAC, 1995)
Cooking loss dihitung berdasarkan persentase perbandingan selisih
antara bobot udang sebelum pemasakan dengan bobot udang setelah
pemasakan terhadap bobot udang sebelum pemasakan (basis basah).
% Cooking loss =
berat udang sebelum pemasakan – berat udang setelah pemasakan x100%
berat udang sebelum pemasakan
c. Perhitungan Blackspot
Penghitungan blackspot dapat dihitung berdasarkan perbandingan
jumlah blackspot dengan jumlah udang yang dianalisis. Jumlah
blackspot ditentukan secara visual.
% Blackspot = Jumlah udang blackspot x 100%
Jumlah udang yang dianalisis
57
d. Uji Organoleptik (Lab PT CPB, 2006)
Uji organoleptik dilakukan menggunakan 4 panelis terlatih dengan
metode rating deskriptif. Form pengujian dapat dilihat pada Lampiran
4. Nilai yang paling tinggi adalah Nilai yang mempunyai mutu terbaik
dari masing-masing atribut. Nilai yang paling baik berdasarkan uji
scoring yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai 3. Atribut uji
dan sistem penilaian adalah sebagai berikut:
a. Kenampakan
3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh.
2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar.
1 = Warna berubah, noda hitam banyak.
b. Tekstur
3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal.
2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas
1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air.
c. Bau
3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut.
2 = Bau netral
1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau
apek.
d. Rasa
3= Manis.
2= Hambar.
1= Pahit, sepet, atau asam
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
a. Perhitungan Nilai Fo (Fardiaz, 1996)
Nilai Fo (derajat letalitas) adalah waktu setara dalam menit pada
suhu rujukan (Tref) yang menghasilkan pengaruh mematikan yang
sama seperti pemanasan pada suhu T selama t, dengan rumus:
Fo = 10 (T-Tref) / z x t
58
Dimana : Fo = Nilai derajat letalitas
T = temperatur (°C)
Z = slope Thermal Death Time (°C)
t = waktu
b. Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes (BAM, 2000)
Analisis dilakukan berupa uji kualitatif bakteri Listeria
monocytogenes. Prosedur yang dilakukan berdasarkan Bacteriological
Analisis Method (BAM) dengan sedikit modifikasi. Modifikasi yang
dilakukan yaitu pada tahap pembuatan larutan contoh. Dalam BAM
disebutkan bahwa larutan contoh yang dibuat dengan menggunakan
25g sampel yang dilarutkan dalam 225ml LEB UVM-1. Sedangkan
pada penelitian ini larutan contoh dibuat dengan menggunakan 10g
sampel yang dilarutkan dalam 90ml LEB UVM-1. Perbandingan yang
digunakan dalam kedua metode tersebut sama yaitu 1 : 10. Menurut
Stephens (2003) proses enrichment memakai perbandingan 1:10 atau
1:100. Tahapan analisis yang dilakukan yaitu: Dari larutan contoh (10g
sampel dalam 90ml larutan LEB UVM-1, yang sudah diinkubasi
selama 24 jam dengan suhu 300C) diinokulasi 0.1 ml kedalam LEB
UVM-2 diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C dan digores pada
media Palcam agar lalu diinkubasi pada suhu 350C selama 24-48 jam.
Ciri-ciri koloni tipikal Listeria pada media Palcam agar yaitu:
berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi
area hitam. Kultur yang lebih tua akan berwarna hijau dan cekung
ditengahnya. Jika L. monocytogenes sudah teridentifikasi pada Palcam
agar, langkah pengujian dari Fraserbroth tidak dilakukan. Jika L.
monocytogenes tidak teridentifikasi pada media Palcam agar langkah
awal, proses dilanjutkan dengan menggores 1 ose contoh dari LEB
UVM-2 (yang diinkubasi selama 48 jam) ke media Palcam lalu
diinkubasi pada suhu 350C selama 24-48 jam kemudian diamati koloni
tipikal Listeria yang muncul.
Dari media Palcam agar diambil koloni yang tipikal kemudian
diuji biokimia yaitu : 1.) Ditusuk pada media MTM lalu diinkubasi
59
selama 7 hari pada suhu ruang. Pengamatan pada media MTM dilihat
bentuk pertumbuhannya seperti bentuk payung; 2.) Dimasukkan pada
media karbohidrat (menggunakan tabung durham), diinkubasi selama 7
hari suhu 35°C: Dextrose(+), Mannitol(-), Xylose(+) dan Maltose(+).
Reaksi positif menghasilkan asam tanpa gas. Secara diagram, uji
kualitatif Listeria monocytogenes dapat dilihat pada Gambar 23.
10 gram udang cook (dihancurkan)
Ditambahkan Listeria Enrichment Broth (LEB) UVM-1 sebanyak 90 ml
Distomacher selama ± 2 menit
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 ml dari campuran
Diinokulasi dalam 9 ml LEB UVM-2
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30°C
Diambil 1 Loop jarum ose dari campuran
Distreak (gores) pada media Palcam agar
Diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 35°C
Diamati koloni tipikal (berdiameter 1.5-2mm, warna hijau pudar keabu-abuan
dan dikelilingi area hitam)
Diambil koloni tipikal
@
60
@
Uji Biokimia
• MTM (dinkubasi 7 hari dalam suhu ruang, bentuk pertumbuhan seperti payung).
• Uji Karbohidrat : Dextrose (+), Maltose(+), Mannitol(-), Xylose(-) diinkubasi 7 hari suhu 35 °C, Rekasi positif menghasilkan asam tanpa gas.
Gambar 23. Diagram alir uji kualitatif Listeria monocytogenes
(BAM, 2000)
61
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Optimasi Proses Pemasakan Udang
a. Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Hasil penelitian pendahuluan untuk estimasi waktu pemasakan pada suhu
85°C tidak dapat ditetapkan karena tidak mencapai tingkat kematangan
maksimal pada waktu pemasakan terlama sehingga analisa untuk
perlakuan suhu 85°C tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi kriteria
kematangan produk. Sedangkan untuk suhu 90°C dapat dilihat pada Tabel
5.
Tabel 5. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45
Suhu 90°C
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu
90°C yaitu 140-165 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil
waktu pemasakan yang optimal. Waktu pemasakan yang optimal yaitu
waktu masak yang mampu menghasilkan % cooking loss paling rendah,
dengan tingkat kematangan yang maksimal, dan tingkat kemunculan
blackspot yang rendah serta waktu yang paling singkat. Berdasarkan data
pada tabel diatas, dapat diambil kesimpulan untuk waktu masak dengan %
cooking loss paling rendah dengan kematangan maksimal yaitu 155 dan
165 detik. Karena dipilih waktu yang paling singkat, maka waktu 155
detik menjadi waktu yang optimal untuk suhu 90°C.
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematangan (%)
Rata-rata
Cooking Loss (%)
90
140 100 6.22 150 98.94 5.82
155 100 5.74
160 100 6.24
165 100 5.74
62
Menurut Zeuthen et al (1987), semakin singkat waktu yang diberikan
pada proses pemasakan, maka proses keluarnya air dapat ditekan. Hal ini
disebabkan oleh proses terputusnya ikatan hidrogen pada air dan
menurunnya jumlah ikatan rata-rata molekul air dalam unsur yang terlepas
dari bahan pangan dapat dipersingkat. Keluarnya air merupakan penyebab
cooking loss pada bahan pangan. Namun data yang diperoleh tidak
sepenuhnya mengikuti pendapat diatas. Hal ini disebabkan oleh faktor-
faktor lain yang terjadi selama pemasakan. Salah satu faktor tersebut
adalah kisaran suhu pusat udang awal yang cukup besar yaitu antara 10°C-
20°C. Hal ini menyebabkan perbedaan antara suhu pusat udang dengan
suhu steam mesin pemasak menjadi berbeda-beda yang kemudian
mengakibatkan energi aktivasi dari molekul air untuk berpindah dan
bergerak keluar dari udang menjadi berbeda-beda pula.
Air yang keluar pada proses pemasakan tersebut adalah jenis air
bebas yang terdapat pada bahan pangan. Menurut Winarno (1992), air
bebas merupakan air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks
bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air jenis ini mudah
untuk diuapkan. Selain air bebas, pada bahan pangan juga terdapat air
terikat yaitu molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui
suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Air jenis ini terikat kuat pada
bahan pangan dan sangat sulit dipengaruhi oleh faktor luar seperti
pemanasan.
Untuk melihat frekuensi terjadinya blackspot, maka dilakukan
pengujian pemasakan pada produk udang berkulit (Shell-On) dengan size
yang sama. Pengujian terjadinya blackspot hanya pada produk udang
berkulit karena enzim Polyphenol Oxidase (PPO), yang merupakan
penyebab terjadinya blackspot, hanya terdapat pada bagian kulit udang.
Produk udang berkulit yang dipakai yaitu CTO (Cooked Tail-On).
Pengujian pemasakan hanya dilakukan pada waktu yang optimal yaitu 155
detik. Secara rinci, hasil pengujian blackspot dan parameter lainnya
(kematangan dan cooking loss) dapat dilihat pada Tabel 6.
63
Tabel 6. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size
41-45 suhu 90°C
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
90
155 97.60 5.50 0.32 2.15 3.66
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah
pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 2.15%, dan
setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai kemunculanblackspot
tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%.
Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu
90°C tidak dilakukan. Tingkat kematangan pada pengujian pemasakan ini
tidak maksimal karena terdapat beberapa produk udang yang saling
menempel saat dimasak. Tingkat cooking loss yang terjadi masih cukup
rendah yaitu 5.50%. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan pengujian
pemasakan sebelumnya dengan suhu dan waktu yang sama pada produk
Peeled Cooked yaitu 5.74% .
Pengujian pemasakan selanjutnya yaitu dengan menggunakan suhu
95°C. Hasil pengujian pemasakan pada produk CTO dengan menggunakan
suhu 95°C dapat dilihat pada Tabel 7.
64
Tabel 7. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tail-On (CTO) size
41-45 suhu 95°C
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematangan
(%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
95
110
96.55
4.66
0.04
0.13
0.13
115
99.37
3.36
0.24
0.26
0.26
120
100
5.13
0.00
0.04
0.04
Dari data diatas, dapat diambil kisaran waktu pemasakan untuk suhu
95°C yaitu 110-120 detik. Dari kisaran waktu pemasakan tersebut diambil
waktu pemasakan yang optimal seperti pengujian pemasakan sebelumnya.
Berdasarkan data pada tabel diatas maka dapat disimpulkan untuk
penggunaan suhu 95°C dengan waktu pemasakan 110, 115, dan 120 detik
memenuhi semua parameter yang ditentukan (kematangan, cooking loss,
dan blackspot). Untuk memastikan waktu pemasakan yang optimal dari
ketiga waktu tersebut maka dilakukan analisa lebih lanjut yaitu uji
organoleptik.
Pengujian mutu organoleptik dilakukan dengan menggunakan
metode uji scoring yang meliputi uji penampakan, tekstur, aroma dan rasa.
Nilai maksimum tiap-tiap aspek menurut standar PT.CPB adalah 3. Hasil
uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji organoleptik ini diikuti
oleh 4 panelis terlatih dari pihak laboratorium PT CPB. Pengujian
dilakukan pada produk udang hasil pemasakan pada suhu 95°C dengan
waktu 110, 115, dan 120 detik. Secara rinci, hasil uji organoleptik ini
65
dapat dilihat pada Gambar 24 dan data-data penilaian panelis pada
Lampiran 5.
Gambar 24. Hasil uji organoleptik produk CTO pada suhu 95°C
Dari gambar, dapat dilihat bahwa yang memperoleh nilai maksimal
pada atribut aroma, tekstur, rasa dan penampakan adalah perlakuan suhu
950C dengan waktu pemasakan 115 detik, sedangkan pada perlakuan
waktu pemasakan 120 detik terdapat hasil sedikit kurang maksimal pada
atribut aroma dan tekstur sedangkan pada perlakuan waktu pemasakan 110
detik terdapat hasil sangat rendah pada penampakan karena produknya
yang dinilai masih mentah. Perbandingan hasil uji organoleptik dari
gambar dan uji secara statistik (Lampiran 4a, 4b, 4c, 4d) menunjukkan
perbedaan atribut antara perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata. Hal ini bisa dilihat dari uji lanjut duncan dengan selang kepercayaan
95%, penampakan mempunyai Nilai 0.100 > 0.05, begitu juga tekstur
(0.405 > 0.05), dan aroma (0.875 > 0.05) sedangkan rasa mempunyai hasil
maksimal pada semua perlakuan.
Dari hasil uji ini, dapat ditunjukkan bahwa perbedaan waktu
pemasakan pada suhu 95°C tidak mempengaruhi mutu organoleptiknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan untuk pemilihan waktu pemasakan
yang optimal pada suhu 95°C berdasarkan mutu organoleptiknya tidak
bisa dilakukan karena hasilnya yang tidak berbeda nyata. Pemilihan waktu
pemasakan yang optimal selanjutnya didasarkan pada parameter
66
sebelumnya yaitu: kematangan, cooking loss, dan blackspot. Dari data
pada Tabel 6, dapat ditetapkan bahwa waktu pemasakan yang optimal
pada suhu 950C adalah 120 detik. Hal ini didasarkan pada parameter
kematangan yang maksimal (100%) dan blackspot yang minimal (0.00%-
0.04%) walaupun dengan cooking loss yang terendah dari dua waktu
lainnya (5.13%). Kematangan dan blackspot merupakan parameter yang
langsung berhubungan dengan mutu produk. Secara lebih lengkap, data
pemilihan waktu yang optimal berdasarkan parameter-parameter yang
telah ditentukan diatas disajikan pada Lampiran 1a, 1b, dan 1c.
Pengambilan sampel produksi dilakukan untuk menjadi pembanding
dengan pengujian pemasakan dengan pemakaian yang lebih rendah. Hasil
dari pengambilan sampel produksi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengambilan sampel produksi pada produk CTO size 41-45
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Rata-rata
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
98-99
85 100 7.99 0.00 0.00 0.00
Dari data diatas, dapat disimpulkan untuk sampel produksi pada suhu
98°C-99°C dengan waktu pemasakan 85 detik menghasilkan rata-rata
kematangan maksimal (100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot
0%. Secara lebih rinci, hasil-hasil pengujian pemasakan pada penelitian
pendahuluan ini dan pengambilan sampel produksi terdapat pada
Lampiran 1a, 1b, 1c, dan 1d. Hasil pengambilan sampel produksi ini
kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian pendahuluan untuk
melihat pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah terhadap
67
waktu pemasakan, cooking loss, dan blackspot. Perbandingan yang
dilakukan hanya untuk produk CTO size 41-45 saja. Secara lebih rinci bisa
dijelasakan sebagai berikut:
1. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap waktu pemasakan
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu yang
lebih rendah menyebabkan waktu pemasakan menjadi lebih lama.
Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 25. Dari diagram batang
tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD demgan selang kepercayaan
(Lampiran 2a).
Gambar 25. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih
rendah terhadap waktu pemasakan
Diagram memperlihatkan bahwa dengan turunnya suhu
pemasakan, maka akan menyebabkan waktu pemasakan lebih lama.
Penentuan waktu pemasakan yang di Secara kuantitatif, apabila
dibandingkan dengan suhu pemasakan produksi (99°C), penggunaan
suhu pemasakan 90°C menyebabkan waktu pemasakan lebih lama
sebesar 2 kali dan 1 1/2 kali untuk suhu 95°C. Pengaruh ini juga
diperjelas dengan hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 <
0.05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan
yang diberikan.
68
Waktu pemasakan udang ditentukan mulai saat udang mentah
dimasak sampai udang menjadi matang. Udang dinyatakan matang jika
suhu pusatnya mencapai lebih dari 160°C (70°C) karena pada suhu
pusat tersebut atribut mutu organoleptik maupun mikrobiologinya
dapat dikatakan optimum (AOAC, 2000).
2. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap cooking loss
Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah ternyata dapat
menurunkan tingkat cooking loss produk, sebaliknya pada suhu yang
lebih tinggi menyebabkan cooking loss menjadi lebih tinggi pula.
Semakin besar energi kalor yang dihasilkan maka akan semakin besar
pula perbedaan berat udang basah dan udang kering akibat dari proses
pemanasan sehingga cooking loss yang dihasilkan pun akan semakin
meningkat. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 26. Dari
diagram batang tersebut dapat dilakukan uji lanjut LSD dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 3b).
Gambar 26. Pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah
terhadap cooking loss
Diagram diatas memperlihatkan bahwa dengan turunnya suhu
pemasakan akan menurunkan tingkat cooking loss. Hal ini diperjelas
69
dari hasil uji lanjut LSD yang memberikan Nilai 0.000 < 0.05, yang
berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari perlakuan yang
diberikan.
Cooking loss terjadi akibat penurunan kadar air. Penurunan
kadar air yang terkandung pada produk akibat perlakuan pengukusan
disebabkan oleh terlepasnya molekul air dalam bahan, karena dengan
semakin meningkatnya suhu maka jumlah rata-rata molekul air dalam
unsur menurun dan ikatan hidrogen putus kemudian terbentuk lagi
dengan cepat. Proses ini mengakibatkan molekul air bergerak makin
cepat dan akhirnya terlepas dalam bentuk uap air (Winarno, 1992).
Pada pemakaian suhu yang lebih rendah menyebabkan cooking loss
menjadi rendah. Hal ini menyebabkan kualitas dari produk yang
dimasak tetap bagus karena suhu yang terdapat di dalam produk tidak
naik dengan tajam (Lund, 1984).
3. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah
terhadap munculnya blackspot
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa penggunaan suhu
pemasakan yang lebih rendah menyebabkan tingkat blackspot yang
semakin tinggi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 27. Dari
diagram batang tersebut dapat dilakukan uji statistik korelasi
(Lampiran 3c)
Gambar 27. Pengaruh penggunaan suhu pemasakan yang lebih
rendah terhadap blackspot
Diagram batang diatas memperlihatkan bahwa perlakuan
penggunaan suhu yang lebih rendah menyebabkan tingkat
70
kemunculan blackspot menjadi lebih tinggi. Hal ini diperjelas dari
hasil uji statistik korelasi yang nilainya -0.711, nilai negatif
menunjukkan bahwa dengan turunnya suatu komponen, berarti akan
menaikkan komponen yang lain sedangkan nilai 0.711 lebih besar dari
0.05 berarti nilai tersebut menunjukkan hubungan yang kuat. Dalam
hal ini komponen yang mengalami penurunan adalah suhu dan yang
naik adalah blackspot. Namun, tingkat paling kecil kemunculan
blackspot pada perlakuan penggunaan suhu yang lebih rendah adalah
95°C yaitu sekitar 0.03% atau hanya 1 udang dari seluruh sampel
pemasakan sehingga penggunaan suhu yang lebih rendah menjadi
95°C dapat diaplikasikan.
Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa tingkat kemunculan
blackspot yang tinggi terjadi pada penggunaan suhu pemasakan 90°C.
Blackspot terjadi akibat reaksi biokimia dan dikatalisis oleh enzim
Polyphenol Oksidase (PPO). Secara rinci, reaksi terjadinya blackspot
dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Reaksi terjadinya blackspot (Walker, 1977)
Gambar diatas memperlihatkan bahwa enzim PPO berperan
dalam mengkatalisis proses terjadinya oksidasi dari senyawa
monophenol yang ada secara alami pada udang. Hasil oksidasi ini,
berupa senyawa o-quinone, kemudian akan berikatan dengan komplek
asam amino dari udang untuk membentuk senyawa melanin yang
71
berwarna hitam. Peran enzim PPO dalam proses tersebut dapat
diinaktivasi melalui proses pemanasan (termal).
Pada udang Litopenaeus vannamei, suhu optimum enzim PPO
adalah 45°C dan 50°C. Enzim PPO tidak akan stabil pada suhu diatas
40°C dan 45°C (Thepnuan, 2006). Pada umumnya, PPO pada produk
pangan terdestruksi aktivitas katalitiknya pada suhu 70°C - 90°C
(Vamos dan Vigyazo, 1981). Berdasarkan hal tersebut, pemasakan
pada suhu 90°C seharusnya sudah mampu menginaktivasi PPO
penyebab terjadinya blackspot, namun karena penggunaan waktu
pemasakannya yang hanya 155 detik / ±2.5 menit (hasil penelitian
pendahuluan) maka PPO tidak tereduksi secara sempurna. Menurut
Svensson (1977) untuk polyphenol oksidase pada kisaran suhu 85-
90°C, dibutuhkan waktu 1-8 menit untuk mendestruksi 90 % aktivitas
katalitik suatu enzim (nilai D) dan menurut Ma et al. (1992) proses
blanching yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah blackspot pada
produk pangan adalah suhu 100°C selama 3 menit dan suhu 94°C
selama 5 menit. Nilai D untuk enzim PPO adalah 50 detik (Lihat
Gambar 29 Secara lebih rinci, inaktivasi termal pada beberapa enzim
dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Inaktivasi termal dari beberapa enzim pada produk
pangan (Svensson, 1977)
72
2. Penelitian Lanjutan (aplikasi dalam skala produksi)
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C
dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu
pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan dengan
tingkat cooking loss dan blackspot yang minimal serta kematangan yang
maksimal. Hasil ini kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Secara
rinci, hasil aplikasi dalam skala produksi pada suhu 95°C dengan waktu
pemasakan 120 detik untuk produk CTO size 41-45 dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Hasil aplikasi dalam skala produksi
Suhu
(°C)
Waktu
(detik)
Kematang-
an (%)
Rata-
rata
Cooking
Loss
(%)
Blackspot (%)
Setelah
Pemasak-
an
Simpan
1 hari
Simpan
3 hari
95
120 100 5.27 0.072 0.215 0.286
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa blackspot muncul setelah
pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan
setelah disimpan 3 hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak
sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot
menyebabkan produk ditolak konsumen sehingga produk akhir harus
bebas dari blackspot. Sedangkan cooking loss yang didapat (5.27%)
masih dibawah cooking loss pada metode penggunaan suhu 98°C-99°C
(7.99%) sehingga target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi. Hasil
penelitian akhir dapat dilihat pada Lampiran 6 .
Menurut FDA (2005), aspek penting yang harus diperhatikan
dalam proses pemasakan adalah lamanya siklus pemasakan; suhu steam,
73
air atau media lain yang digunakan sebagai sumber panas; distribusi
panas pada mesin; ketebalan produk; suhu pusat bahan pangan sebelum
dilakukanya proses pemasakan; ketepatan menggunakan thermocouple;
dan ketepatan dalam memonitoring waktu pemasakan.
2. Validasi Proses Pemasakan terhadap Inaktivasi Bakteri Listeria
monocytogenes
a. Hasil Perhitungan Nilai Fo
Nilai Fo suatu proses pemanasan didapat dari akumulasi Nilai Fo
setiap suhu per satuan waktu. Secara lebih rinci, diagram perjalanan suhu
pusat selama pemasakan pada proses validasi dan proses produksi dapat
dilihat pada Gambar 30, Gambar 31, dan Gambar 32.
Gambar 30. Diagram perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60
detik produk CTO (ulangan ke-1)
Gambar 31. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 60 detik
produk CTO (ulangan ke-2)
74
Gambar 32. Diagram perjalanan suhu selama pemasakan 80 detik
produk CTO (sampel proses produksi)
Dari diagram tersebut kemudian ditentukan derajat letalitas atau
Nilai Fo dari proses pemasakan tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa Nilai Fo (menit) pada pemasakan 60 detik ulangan ke-1 sebesar
0.02 dan Nilai Fo pada ulangan ke-2 nya sebesar 0.05 sedangkan Nilai
Fo pemasakan selama 80 detik sebesar 1.14. Suhu dan waktu referensi
yang dipakai dalam menginaktivasi Listeria monocytogenes yaitu 80°C
selama 0.09 menit (FDA, 2001). Hal ini berarti Nilai Fo pada validasi
lebih kecil dibandingkan dengan Nilai Fo pada proses pemasakan di
produksi dan juga lebih kecil dari Nilai Fo yang telah distandarkan FDA
yaitu 0.09. Secara rinci, hasil perhitungan Nilai Fo ini terdapat pada
Lampiran 7a, 7b, 7c.
b. Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Listeria monocytogenes
Analisa kualitatif bakteri Listeria monocytogenes dilakukan
sebelum pemasakan dan setelah pemasakan. Perlakuan yang diberikan
sebelum pemasakan adalah kontrol negatif dan kontrol positif. Kontrol
positif digunakan untuk memastikan bahwa Listeria monocytogenes
”ada” setelah tahap inokulasi dilakukan dan kontrol negatif digunakan
untuk memastikan bahwa bahan baku udang yang dipakai tidak
mengandung Listeria monocytogenes sebelum tahap inokulasi dilakukan.
Sedangkan sampel produk udang yang dianalisa setelah pemasakan yaitu
Secara lebih rinci, hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 10.
75
Tabel 10. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada
produk udang sebelum pemasakan
Perlakuan PAL- CAM
Uji Motilitas (MTM)
Uji Karbohidart L.mono cytogenes Dex-
trosa Xy- losa
Man- nitol
Mal- tosa
Kontrol negatif - -
Kontrol positif + + + - - + +
Tabel 11. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria monocytogenes pada
produk udang setelah pemasakan
Perlakuan PAL- CAM
Uji Motilitas (MTM)
Uji Karbohidart L.mono cytogenes Dex-
trosa Xy- losa
Man- nitol
Mal- tosa
Pemasakan 60 detik (U1) + - + - - - -
Pemasakan 60 detik (U2) + + - - - - -
Tabel diatas meperlihatkan bahwa hasil analisis kualitatif Listeria
monocytogenes pada kontrol negatif adalah negatif, kontrol positif adalah
positif dan pada ulangan ke-1 dan ulangan ke-2 adalah negatif. Tahapan
analisis dimulai dari pengamatan pada media spesifik agar (PALCAM).
Pada media ini terlihat hanya kontrol negatif yang hasil analisisnya
negatif sedangkan perlakuan 1 menit (U1 dan U2) hasilnya positif serta
kontrol positif hasilnya positif sehingga kemungkinan adanya bakteri ini
terdapat pada ketiga keadaan tersebut. Hasil dari media spesifik ini belum
menentukan ada tidaknya bakteri Listeria monocytogenes karena harus
diuji lanjut (konfirmasi) berupa uji biokimia dan uji motilitas. Khusus
untuk perlakuan kontrol negatif tidak diuji lebih lanjut karena dari hasil
uji pada media PALCAM dapat disimpulkan bahwa pada Kontrol Negatif
tidak mengandung bakteri Listeria monocytogenes. Koloni yang
terbentuk pada media ini berupa warna hijau pudar keabu-abuan dan
dikelilingi area hitam (BAM, 2000). Pada tahap ini juga dilakukan
konfirmasi dari kultur segar untuk memastikan bahwa bakteri yang
diinokulasi merupakan Listeria monocytogenes. Setelah dilakukan
pengujian terlihat bahwa bakteri yang terdapat pada kultur segar
76
merupakan bakteri Listeria monocytogenes. Hal ini terlihat dengan
terbentuknya koloni warna hijau pudar keabu-abuan dan dikelilingi area
hitam. Secara rinci, hasil analisa sampai media spesifik agar (PALCAM)
untuk perlakuan pemasakan 60 detik (U1 dan U2), Kontrol Positif,
Kontrol Negatif, dan kultur segar dapat dilihat pada Gambar 31.
A B
Gambar 33. Hasil uji pada media spesifik agar (PALCAM) (A= U1, U2,
kontrol positif, dan kontrol negatif; B= Kultur Segar)
Uji motilitas pada Motility Test Medium (MTM) dilakukan untuk
menguji dari media PALCAM apakah koloni spesifik yang terbentuk
mempunyai sifat motil yang merupakan salah satu ciri khas dari bakteri
Listeria monocytogenes. Dari hasil analisa, tergambar bahwa hanya
Kontrol Positif dan Ulangan ke-2 (U2) dari pemasakan 1 menit yang
bermotil. Ciri motil yang terbentuk seperti payung (BAM, 2000). Hasil
analisa pada media MTM untuk pemasakan 1 menit (U1 dan U2) dan
Kontrol Positif dapat dilihat pada Gambar 32.
(U1) (U2) (Kontrol Positif)
Bentuk seperti payung
77
Gambar 34. Hasil uji motilitas
Uji biokimia dilakukan untuk memastikan bahwa koloni yang
terbentuk pada media spesifik merupakan koloni bakteri Listeria
monocytogenes. Uji biokimia yang dilakukan yaitu dextrosa, xylosa,
mannitol, dan maltosa. Listeria monocytogenes bereaksi positif dengan
dextrosa dan maltosa sedangkan dengan xylosa dan mannitol bereaksi
negatif. Reaksi positif ditunjukkan dengan menghasilkan asam tanpa
adanya gas (BAM, 2000). Hasil uji yang dilakukan menunjukkan bahwa
hanya Kontrol Positif saja yang menunjukkan sifat biokimia tersebut.
Secara rinci, hasil uji biokimia ini bisa dilihat pada Gambar 33.
(U1)
A B C D
(U2)
A B C D
(Kontrol Positif)
78
A B C D
Gambar 35. Uji biokimia pada U1, U2, dan kontrol positif
(A=dextrosa, B=xylosa, D=mannitol dan
C=maltosa)
Hasil akhir dari analisa kualitatif ini menunjukkan bahwa semua
perlakuan yang diberikan (U1 dan U2) menghasilkan prduk udang yang
negatif terhadap adanya bakteri Listeria monocytogenes. Hasil analisa
pada kontrol positif adalah positif, yang menunjukkan bahwa bakteri
Listeria monocytogenes “ada” setelah tahap inokulasi dilakukan
sedangkan hasil analisa pada kontrol negatif adalah negatif, yang
menunjukkan bahwa bahan baku udang yang dipakai pada proses validasi
ini awalnya memang “tidak ada” bakteri ini sebelum tahap inokulasi
dilakukan.
c. Hubungan antara Hasil Nilai Fo dan Hasil Analisis Kualitatif Bakteri
Listeria monocytogenes
Hasil perhitungan Nilai Fo (menit) pada perlakuan pemasakan 60
detik ulangan ke-1 (U1) adalah 0.02, sedangkan pada perlakuan
pemasakan 60 detik ulangan ke-2 (U2) adalah 0.05. Nilai Fo tersebut
lebih kecil dari Nilai Fo sampel proses produksi dengan waktu
pemasakan 80 detik sebesar 1.14. Hasil analisis kualitatif bakteri Listeria
monocytogenes menunjukkan negatif pada semua perlakuan (U1 dan U2).
Apabila dihubungkan data dari hasil kedua analisa tersebut, terlihat
bahwa proses pemasakan dengan Nilai Fo sebesar 0.02 dan 0.05
Reaksi positif (keruh)
Reaksi negatif (bening)
79
menghasilkan produk udang dengan hasil negatif terhadap bakteri
Listeria monocytogenes. Hasil yang negatif menunjukkan bahwa proses
pemasakan dengan Nilai Fo tersebut mampu untuk menginaktifasi bakteri
Listeria monocytogenes. Hal ini dapat dibuat kesimpulan bahwa dengan
Nilai Fo (derajat letalitas) yang lebih kecil dari sampel sudah mampu
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan
bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses
produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes.
Hal tersebut sesuai dengan yang telah distandarkan oleh Eropa Comission
(EC, 2005) dan International Commision on Microbial Specification for
Foods (ICMSF, 1996) bahwa batas keberadaan bakteri Listeria
monocytogenes pada produk udang masak beku adalah negatif.
Kemampuan menginaktivasi ini sangat bergantung kepada
ketahanan bakteri itu sendiri terhadap pengaruh proses pemanasan.
Menurut Buckle et al., (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi
ketahanan mikroorganisme dan spora-sporanya terhadap pengaruh proses
pemanasan yaitu: 1.) Umur dan keadaan organisme atau spora sebelum
dipanaskan; 2.) Komposisi medium dimana organisme atau spora itu
tumbuh; 3.) pH dan Aw media pemanasan; 4.) Suhu pemanasan; 5.)
Konsentrasi awal organisme atau sporanya. Menurut Frazier (1967)
pembunuhan mikroorganisme melalui pemanasan diduga karena
pemanasan dapat menyebabkan koagulasi protein pada bakteri dan
khususnya dapat menginkatifasi enzim yang dibutuhkan untuk
metabolisme bakteri.
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian pemasakan
dengan 3 suhu pemasakan yang lebih rendah yaitu: 85°C, 90°C, dan 95°C.
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk estimasi waktu
pemasakan produk Peeled Cooked pada suhu 85°C tidak dapat ditetapkan
karena tidak mencapai tingkat kematangan maksimal pada waktu
pemasakan terlama. Sedangkan pada suhu 90°C dengan produk yang
sama, kisaran waktu pemasakan yang ditetapkan yaitu 140-165 detik.
Waktu pemasakan optimal yang diambil dari kisaran tersebut adalah 155
detik berdasarkan kematangan yang maksimal (100%) dan % cooking loss
yang paling rendah (5.27%). Namun setelah diuji blackspot pada produk
udang berkulit (Cooked Tail-On) atau CTO diperoleh kemunculan
blackspot setelah pemasakan sebesar 0.32%, setelah disimpan 1 hari
sebesar 2.15%, dan setelah disimpan 3 hari sebesar 3.66%. Nilai blackspot
tersebut tidak sesuai dengan standar PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%.
Berdasarkan hal tersebut maka analisa selanjutnya untuk penggunaan suhu
90°C tidak dilakukan. Pengujian pemasakan pada suhu 95°C dengan
produk CTO menghasilkan kisaran waktu pemasakan 110-120 detik
dengan waktu optimal pada 120 detik berdasarkan kematangan yang
maksimal (100%) dan blackspot yang paling rendah (0.00%-0.04%). Mutu
organoleptik (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dari kisaran waktu
tersebut tidak berbeda nyata. Sebagai pembanding, dilakukan pengambilan
sampel produksi pada suhu 98°C-99°C dengan hasil kematangan maksimal
(100%), cooking loss sebesar 7.99%, dan blackspot 0%. Dari semua data
yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin rendah suhu pemasakan,
semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemasakan, semakin kecil
cooking loss tetapi semakin tinggi frekuensi terjadinya blackspot.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dipilih suhu 95°C
dengan waktu pemasakan 120 detik menjadi penggunaan suhu dan waktu
pemasakan yang optimal dari semua perlakuan yang diberikan. Hasil ini
kemudian diaplikasikan dalam skala produksi. Hasil dari penelitian dalam
81
skala produksi ini adalah nilai blackspot setelah pemasakan sebesar
0.072%, setelah disimpan 1 hari sebesar 0.215%, dan setelah disimpan 3
hari sebesar 0.286%. Nilai blackspot tersebut tidak sesuai dengan standar
PT. CPB untuk blackspot yaitu 0%. Blackspot menyebabkan produk
ditolak konsumen sehingga produk akhir harus bebas dari blackspot.
Sedangkan cooking loss yang didapat sebesar 5.27%, masih dibawah
cooking loss pada metode penggunaan suhu 98-99°C (7.99%) sehingga
target yang diinginkan sudah dapat terpenuhi.
Hasil validasi proses pemasakan terhadap inaktivasi bakteri
Listeria monocytogenes menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama
60 detik dengan Nilai Fo (menit) sebesar 0.02 (U1) dan 0.05 (U2) mampu
untuk menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes. Nilai Fo proses
pemasakan produksi dengan waktu pemasakan 80 detik produk CTO
sebesar 1.14. Hasil ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Nilai Fo (derajat
letalitas) yang lebih kecil dari sampel produksi mampu untuk
menginaktivasi bakteri Listeria monocytogenes sehingga bisa dipastikan
bahwa proses pemasakan yang sedang berlangsung di dalam proses
produksi mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
B. SARAN
1. Penggunaan suhu pemasakan yang lebih rendah pada mesin
Cabinplant cooker untuk produk-produk udang tanpa kulit (shell-off)
mengingat masih adanya kemungkinan munculnya blackspot pada
produk udang dengan kulit (shell-on).
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penggunaan suhu
pemasakan yang lebih rendah pada produk-produk udang selain
Cooked Tail-On (CTO) dan Peeled cooked (CP) serta size selain 41-50
untuk memperoleh standarisasi yang tepat.
3. Perlu dilakukan lagi validasi proses pemaasakan terhadap inaktivasi
bakteri Listeria monocytogenes dengan perlakuan pemanasan yang
lebih minimal (kurang dari 1 menit) untuk melihat batas minimal
perlakuan panas yang mampu untuk menginaktivasi bakteri ini.
82
DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 2001. Laitram Machinery FC200 Series (Forced Convection Central Cooker) www. Laitrammachinery.com [21 Januari 2008]
Anonim b. 2007. http://textbookofbacteriology.net/Listeria.html.1 . [1 Oktober
2007] Anonim c. 1992. Safer Cooked Meat Production Guidelines. A 10 Point Plan,
Departement of Health, London. In Blackburn, Clive de W., Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
AOAC Official Methode 976. 16. 2000. Cooking Seafood Product. United States
Standards. International, USA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis on The Association of Official
Agriculture Chemistry. Association of Agriculture Chemistry, Washington, D.C.
AOAC. 1992. USFDA. Bacteriological Analytical Manual. 7 th Edition. AOAC
International. USA. In Gosner, K.L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. Wiley Interscience, N. Y
Augustin, Jean-Cristophe, Agnes Brouillaud-Delattre, Laurent Rosso, and Vincent
Carlier. 1999. Significance of inoculum size in the lag time of Listeria monocytogenes. Appl Environ Microbial. 2000-April. 66(4): 1706-1710
Aziz, M. Amin. 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang Prospek Pengembangan
Pada PJPT II. Bangkit, Jakarta Bailey, M. E, Fieger E. A, and Novak A. F. 1960. Psyco-chemical properties of
the enzymes involved in shrimp melano-genesis. Food Research 25, 557-564. di dalam Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta
Bell, Chris and Alec Kyriakides. Listeria monocytogenes. In Blackburn, Clive de
W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Biro Pusat Statistik. 2007. http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0608/05/Fokus/2858773.htm [28 Desember 2007] Boerlin, P, Rocourt J, Grimont P et al., 1992. Listeria ivanovii subsp.
Londoniensis subsp. Nov, International Journal of Systematic Bacteriology. 42 (1) 69-73. In Blackburn, Clive de W., Peter J.
83
McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, and M. Wootton.Hari Purnomo dan
Adiono (Penerjemah) 1985. Ilmu Pangan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Crowly, Michael. 2001. Cookers: Whether Shellfish, Finfish or Value-added Products, Cooking Seafood is Getting Easier All The Time. In 1999. Seafood Magazine.
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2007. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/22/ekonomi/3623328.htm [ 5 Januari 2008 ]
EC No 2073. 2005. http://Eropa.eu.int/comm/food. Fardiaz, Dedi. 1996. ORASI ILMIAH Proses Termal dalam Pengendalian Tahap
Pengolahan Kritis untuk Menjamin Keamanan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor
Farber, Jeffrey M dan Peterkin, Pearl I. 2000. Listeria monocytogenes. In Lund,
Barbara M, Tony C. Baird-Parker, and Grahame W. Gould (ed). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume III. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland
FDA, 2005. Food Code. U. S. Food and Drug Administration. Public Health
Service. College park. MD. 20740 FDA, 2001. Pathogen survival through cooking. Ch. 16. In Fish and Fishery
Products Hazards and Controls Guidance, 3rd ed., p. 209-218. Food and Drug Administration, Center for Food Safety and Applied Nutrition, Office of Seafood, Washington, DC
Frazier, W. C and D. C. Westhof. 1967. Food Microbiology. McGraw Hill Book
Co, New York ICMSF. 1996. Microbiologycal criteria for cooked, ready to-eat shrimp and
crabmeat. Journal Food Technology pp 157-160 Ilyas, Sofyan. 1993. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I Teknik
Pendinginan Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta
Jay, J M. 1996. Prevalance of Listeria spp. in meat and poultry products, food
control, 7 (4/5) 209-14. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
84
Kozak J. Balmer T, Byrne R et al., 1996. Prevalence of Listeria monocytogenes in foods: incidence in dairy products, food control, 7 (4/5) 215-21. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge London
Lund, D. B. 1984. Impact Of Industrial Cooking Of Foods On Its Nutritional and
Quality Characteristic. In Zeuthen, P.,J.C. Cheftel, C.Eriksson, M. Jul. H. Leniyer, P. Linko, G. Varela, G. Vos. Thermal Processing and Quality of Food. Elseiver Applied Science Publisher, New York
Lund, D. B. 1989. Bagian 1 Pengaruh Pengukusan, Pasteurisasi, dan Pensterilan
terhadap Zat Gizi. di dalam Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan E. Karmas dan R. S. Harris (ed) Suminar Achmadi (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung
Ma. S.X., Silva, J.L., Hearnsberger, J.O. & garner, J.O.Jr. 1992. Prevention of
enzymatic darkening in frozen food by water blanching: Relationship among darkening, phenols, and polyphenol oxidase activity. Journal Agriculture Food Chemistry., 40: 864-867
Mendez, I. M dan J. M. Gallardo Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery
Products. In Da-Wen Sun (ed). Thermal Food Processing. CRC Press , Boca Raton Florida USA
Murphy R. Y, Marks B. P, Johnson E. R et al., 1999. Inactivation of Salmonella
and Listeria in ground chicken breast during thermal processing, Journal of Food Protection, 2 (9) 980-5. In Blackburn, Clive de W. and Peter J. McClure (ed). 2002. Foodborne Pathogen. Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
PT. CPB. 2006. Prosedur Kerja Analisa Organoleptik. PK 8.5 LB 21. PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Cooked Tail-On IQF. SP. 7. 2. AI. 131. 08 PT CPB. 2007. Spesifikasi Vannamei Peeled and Cooked Tail Off IQF. SP. 7. 2.
AI. 215. 01 Ray, Bibek. 2000. Fundamental Food Microbiology Third Edition. CRC Press,
Boca Raton Florida USA Schothorst, M. Van. 2002.Implementing The Results of A Microbiological Risk
Assessment: Pathogen Risk Management. In Microbiological Risk Assessment In Food Processing. Martyn Brown and Mike Stringer (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
85
Stephens, P. 2003. Culture Methods. In Detecting Pathogens in Foods. Thomas A. McMeekin (ed). Woodhead Publishing Limited, Cambridge England
Supardi, Imam dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan
Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung Svensson, S. 1997. Inactivation of Enzymes during Thermal Processing. Di dalam
T. Hoyem & O. Kvale, eds. Physical, Chemical, and Biological Changes in Food Caused by Thermal Processing, p. 202-217. London, Applied Science Publishers
Thepnuan, Ruangnalin. 2006. Characterization of polyphenoloxidase and
proteaseas proteases from black tiger and white shrimps. Journal of Food Technology, 20:203-217
Vámous and Vigyázó, L. 1981. Polyphenoloxidase and peroxidase in food. Rev.
Food Science Nutrition., 15: 49-127 Walker. 1997. Enzymatic Browning in Foods. Its Chemistry and Control. The
AVI Publishing Company, Inc. Westport Connecticut, U.S.A Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta Wirakartakusumah, M.A., Djoko Hermanianto, dan Nuri Andarwulan. 1989.
Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor
Zeuthen., P, J.C. Cheftel, C. Eriksson, M. Jul, H. Leninger. 1987. Thermal
Processing and Quality of Foods. Elsevier Applied Science Publishers. London and New York
86
Lampiran 1a. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah terhadap waktu pemasakan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: LAMA
8550.000a 2 4275.000 171.000 .000129600.000 1 129600.000 5184.000 .000
8550.000 2 4275.000 171.000 .000150.000 6 25.000
138300.000 98700.000 8
SourceCorrected ModelInterceptSUHUErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .977)a.
Lampiran 1b. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah
terhadap cooking loss
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: CKGLOSS
21.727a 2 10.863 13.267 .000903.181 1 903.181 1103.044 .00021.727 2 10.863 13.267 .00014.739 18 .819
939.646 2136.465 20
SourceCorrected ModelInterceptSUHUErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .596 (Adjusted R Squared = .551)a.
Lampiran 1c. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan suhu yang lebih rendah
terhadap munculnya blackspot
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: BLACKS
7.158a 2 3.579 4.906 .0553.751 1 3.751 5.141 .0647.158 2 3.579 4.906 .0554.377 6 .730
15.286 911.536 8
SourceCorrected ModelInterceptSUHUErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .621 (Adjusted R Squared = .494)a.
87
Lampiran 2a. Hasil uji Duncan terhadap penampakan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: TAMPAK
2.667a 2 1.333 3.000 .10085.333 1 85.333 192.000 .0002.667 2 1.333 3.000 .1004.000 9 .444
92.000 126.667 11
SourceCorrected ModelInterceptPANELISErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .400 (Adjusted R Squared = .267)a.
Lampiran 2b. Hasil uji Duncan terhadap tekstur
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: TEKSTUR
.167a 2 .083 1.000 .405102.083 1 102.083 1225.000 .000
.167 2 .083 1.000 .405
.750 9 .083103.000 12
.917 11
SourceCorrected ModelInterceptPANELISErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .182 (Adjusted R Squared = .000)a.
Lampiran 2c. Hasil uji Duncan terhadap aroma
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: AROMA
.167a 2 .083 1.000 .405102.083 1 102.083 1225.000 .000
.167 2 .083 1.000 .405
.750 9 .083103.000 12
.917 11
SourceCorrected ModelInterceptPANELISErrorTotalCorrected Total
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .182 (Adjusted R Squared = .000)a.
88
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik
Uji Organoleptik Cook Product Before Freezing Tanggal : Nama : Instruksi :
• Dihadapan Anda terdapat sampel. Beri nilai (skoring) berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (lihat di lembar yang telah tersedia).
• Tuliskan terlebih dahulu semua kode sampel di tempat yang telah disediakan.
• Pencicipan sampel hanya diperbolehkan satu kali, secara beruntun dari kiri ke kanan dan tidak boleh mengulang.
• Netralkan indera pencicipan Anda setiap mencicipi satu sampel dengan air minum.
• Tuliskan skor penilaian Anda terhadap sampel pada kolom yang telah tersedia.
Kriteria penilaian
Kode sampel
Aroma
Kenampakan
Tekstur
Rasa
Terimakasih a. Kenampakan
3 = Mengkilat, terang, bening, antar ruas kokoh, warna asli utuh.
2 = Antar ruas agak renggang, warna sedikit memudar.
1 = Warna berubah, noda hitam banyak.
b. Tekstur
3 = Elastis, kompak, padat dan kenyal.
2 = Sedikit elastis, sedikit rongga, agak berair, mudah untuk dikupas
1 = Membubur, lunak sekali, banyak kehilangan air.
c. Bau
3 = Bau spesifik udang, bau udang segar, seperti bau rumput laut.
2 = Bau netral
1 = Bau amoniak, bau busuk, bau kotoran ayam, bau lumpur, bau apek.
d. Rasa
3= Manis.
2= Hambar.
1= Pahit, sepet, atau asam
89
Lampiran 4. Hasil analisis uji organoleptik
Kode Aroma Penampakan Tekstur Rasa A 3 3 3 3 A 2 3 2 3 A 3 3 3 3 A 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 B 3 3 3 3 C 3 3 3 3 C 3 3 3 3 C 3 1 3 3 C 3 1 3 3
90
Lampiran 5a. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (ulangan ke-1 / U1)
Perlakuan Detik ke Suhu Pusat (C) LR ∆t Fo
hitung Ulangan ke-1 0 33.8 0.00 4 0.00
60 detik 4 37.3 0.00 5 0.00 9 39.8 0.00 4 0.00 13 42.2 0.00 5 0.00 18 45 0.00 5 0.00 23 48 0.00 4 0.00 27 50.8 0.00 5 0.00 32 54.1 0.00 5 0.00 37 57.4 0.00 5 0.01 42 60.6 0.00 4 0.02 46 63.9 0.01 5 0.06 51 66.8 0.02 4 0.11 55 69.5 0.04 5 0.34 60 72.4 0.10 5 0.39 65 70.7 0.06 4 0.13 69 62.8 0.01 5 0.02 74 58.5 0.00 5 0.01 79 56.4 0.00 4 0.00 83 54.6 0.00 5 0.00 88 52.5 0.00 4 0.00 92 52.4 0.00 5 0.00 97 51.8 0.00 5 0.00 102 49.1 0.00 4 0.00 106 48.7 ∑Fo (detik) 1.09
∑Fo (menit) 0.02 Keterangan : LR (Lethal Rate) = 10 (T-80)/ z, dimana T = suhu pengukuran, z =
7.5 °C ∆t = Selisih waktu (detik) Fo hitung = LR x T (detik)
∑ (Fo) (menit) = akumulasi dari Fo hitung ( ∑Fo (detik)) / 60
91
Lampiran 5b. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 60 detik dan perhitungan nilai Fo (ulangan ke-2 / U2)
Perlakuan Detik ke
Suhu Pusat (oC) LR ∆t Fo hitung
Ulangan ke-2 0 37.2 0.00 5 0.00 60 detik 5 40.2 0.00 5 0.00
10 42.8 0.00 4 0.00 14 45.4 0.00 5 0.00 19 48.3 0.00 5 0.00 24 51.5 0.00 4 0.00 28 54.7 0.00 5 0.00 33 58 0.00 5 0.01 38 61.5 0.00 4 0.02 42 64.6 0.01 5 0.08 47 67.7 0.02 4 0.16 51 70.6 0.06 5 0.48 56 73.5 0.14 4 0.88 60 76.1 0.3 4 0.85 64 73.2 0.12 5 0.41 69 69.6 0.04 5 0.10 74 57 0.00 4 0.00 78 51.1 0.00 5 0.00 83 49.1 0.00 4 0.00 87 48.2 0.00 5 0.00 92 46.9 0.00 5 0.00 97 45.3 0.00 4 0.00 101 44.4 0.00 5 0.00 106 43.4 ∑Fo (detik) 3.01
∑Fo (menit) 0.05
92
Lampiran 5c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik dan perhitungan nilai Fo produk CTO (sampel produksi)
Detik ke-
Suhu Pusat (°C) Fo Detik
ke- Suhu Pusat Fo Detik
ke- Suhu Pusat Fo
0 50.4 0.00 41 74.7 0.20 82 80.8 1.28 1 51.2 0.00 42 75.2 0.23 83 80.8 1.28 2 51.9 0.00 43 75.6 0.26 84 80.8 1.28 3 52.7 0.00 44 76 0.29 85 80.8 1.28 4 53.5 0.00 45 76.3 0.32 86 80.8 1.28 5 54.2 0.00 46 76.7 0.36 87 80.8 1.28 6 54.9 0.00 47 77 0.40 88 80.7 1.24 7 55.6 0.00 48 77.4 0.45 89 80.7 1.24 8 56.4 0.00 49 77.7 0.49 90 80.7 1.24 9 57 0.00 50 78 0.54 91 80.6 1.20 10 57.7 0.00 51 78.2 0.58 92 80.6 1.20 11 58.4 0.00 52 78.5 0.63 93 80.6 1.20 12 59.1 0.00 53 78.7 0.67 94 80.5 1.17 13 59.7 0.00 54 78.9 0.71 95 80.4 1.13 14 60.4 0.00 55 79.1 0.76 96 80.3 1.10 15 61 0.00 56 79.2 0.78 97 80.2 1.06 16 61.6 0.00 57 79.4 0.83 98 80 1.00 17 62.2 0.00 58 79.5 0.86 99 79.8 0.94 18 62.9 0.01 59 79.7 0.91 100 79.5 0.86 19 63.5 0.01 60 79.8 0.94 101 79.3 0.81 20 64.1 0.01 61 79.9 0.97 102 79 0.74 21 64.6 0.01 62 80 1.00 103 78.7 0.67 22 65.2 0.01 63 80.1 1.03 104 78.4 0.61 23 65.8 0.01 64 80.2 1.06 105 78.1 0.56 24 66.3 0.01 65 80.3 1.10 106 77.8 0.51 25 66.9 0.02 66 80.4 1.13 107 77.5 0.46 26 67.5 0.02 67 80.5 1.17 108 77.1 0.41 27 68 0.03 68 80.5 1.17 109 76.8 0.37 28 68.5 0.03 69 80.6 1.20 110 76.5 0.34 29 69.1 0.04 70 80.7 1.24 111 76.1 0.30 30 69.6 0.04 71 80.7 1.24 112 75.8 0.28 31 70.1 0.05 72 80.7 1.24 113 75.4 0.24 32 70.6 0.06 73 80.8 1.28 114 75.1 0.22 33 71.1 0.07 74 80.8 1.28 115 74.7 0.20 34 71.6 0.08 75 80.8 1.28 116 74.4 0.18 35 72 0.09 76 80.8 1.28 117 74.1 0.16 36 72.5 0.10 77 80.8 1.28 118 73.7 0.14 37 73 0.12 78 80.8 1.28 119 73.4 0.13 38 73.4 0.13 79 80.9 1.32 120 73 0.12 39 73.9 0.15 80 80.9 1.32 121 72.7 0.11 40 74.3 0.17 81 80.8 1.28 122 72.4 0.10
93
Lampiran 5c. Data perjalanan suhu pusat udang selama pemasakan 80 detik dan
perhitungan nilai Fo produk CTO proses produksi (Lanjutan)
Detik ke-
Suhu Pusat (°C) Fo Detik
ke- Suhu
Pusat (°C) Fo
123 72 0.09 152 63.7 0.01 124 71.7 0.08 153 63.4 0.01 125 71.4 0.07 154 63.2 0.01 126 71 0.06 155 63 0.01 127 70.7 0.06 156 62.7 0.00 128 70.4 0.05 157 62.5 0.00 129 70.1 0.05 158 62.3 0.00 130 69.8 0.04 159 62 0.00 131 69.5 0.04 160 61.8 0.00 132 69.2 0.04 161 61.6 0.00 133 68.8 0.03 162 61.3 0.00 134 68.5 0.03 163 61 0.00 135 68.3 0.03 164 60.7 0.00 136 68 0.03 165 60.4 0.00 137 67.7 0.02 166 60 0.00 138 67.4 0.02 167 59.5 0.00 139 67.1 0.02 168 59.1 0.00 140 66.8 0.02 169 58.6 0.00 141 66.5 0.02 170 58.1 0.00 142 66.3 0.01 171 57.6 0.00 143 66 0.01 172 57.1 0.00 144 65.7 0.01 173 56.7 0.00 145 65.4 0.01 174 56.2 0.00 146 65.2 0.01 175 55.8 0.00 147 64.9 0.01 176 55.4 0.00 148 64.7 0.01 177 55 0.00 149 64.4 0.01 ∑Fo(detik) 68.49 150 64.2 0.01 ∑Fo(menit) 1.14 151 63.9 0.01
72
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 suhu 90°C
Waktu Pemasakan
(detik)
Ulangan Perlakuan
Ulangan Sampel
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan Cooking Loss
(%) Berat (g)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (°C)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kematangan (%)
160
1
1 1414 126 41 / 1.36 15.8
1331 126 42 / 1.3 72.6 0 100
5.87 2 1464 128 1375 128 6.08 3 1427 126 1341 126 6.03 4 8650 8160 5.66
380 5.91
2
1 1441 126
41 / 1.36 16.5
1338 126
42 / 1.3 73.5 0 100
7.15 2 1443 126 1351 126 6.38 3 1409 126 1319 126 6.39 4 8600 8055 6.34
378 6.56 Rata-rata 6.24
155
1
1 1444 126 41 / 1.36 15.3
1326 129 42 / 1.3 72.7 0 100
8.14 2 1428 126 1326 129 7.11 3 1421 126 1332 126 6.26 4 8550 8240 3.63
384 6.29
2
1 1420 126 41 / 1.36 14.8
1369 125 42 / 1.3 71.2 0 100
3.60 2 1454 126 1358 126 6.60 3 1408 126 1347 127 4.31 378 5.20
Rata-rata 5.74
95
73
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C (Lanjutan)
Waktu Pemasakan
(detik)
Ulangan Perlakuan
Ulangan Samp.
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan Cooking Loss (%) Berat
(g) ∑
pieces
Cek /
UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kematangan (%)
140
1
1 1475 126 39 / 1.3 15.6
1385 126 41 / 1.3 69.8 0 100
6.10 2 1489 126 1380 126 7.32 3 1505 126 1406 126 6.58 4 9010 8440 6.33
378 6.58
2
1 1478 126 39 / 1.3 14.7
1408 125 41 / 1.3 69.2 0 100
4.74 2 1487 126 1408 126 5.31 3 1505 126 1404 126 6.71 4 9855 126 9195 6.70
377 5.86 Rata-rata 6.22
150
1
1 1581 126 36 / 1.3 17
1490 126 38 / 1.42 69 3 99.21
5.76 2 1560 126 1477 126 5.32 3 1578 126 1487 126 5.77 4 5.61
378
2
1 1486 126 38 / 1.27 16.7
1382 125 41 / 1.27 71.2 5 98.67
7.00 2 1525 126 1428 127 6.38 3 1535 126 1456 123 5.17 4 9520 8990 5.57
375 6.03 Rata-rata 5.82
96
74
Lampiran 6a. Hasil pengujian pemasakan produk Peeled Cooked Size 41-45 Suhu 90°C (Lanjutan)
Waktu Pemasakan
(detik)
Ulangan Perlakuan
Ulangan Sampel
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan Cooking Lost
(%) Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (°C)
Berat (kg)
∑ pieces UR
Suhu pusat (°C)
∑ tidak matang (pieces)
Kematangan (%)
165
1
1 1509 126 38 / 1.4 16.65
1391 126 41 / 1.36 72.3 0 100
7.82 2 1482 126 1376 126 7.15 3 1503 126 1401 126 6.79 4 9500 9030 4.95
378 6.68
2
1 1483 126 39 / 1.4 17.5
1389 126 41 / 1.4 74.3 0 100
6.34 2 1509 126 1500 123 0.62 3 1521 126 1430 126 5.98 4 9510 8915 6.26
375 4.80 5.74
97
75
Lampiran 6b. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On Size 41-45 suhu 90°C
Waktu Pema sakan (detik)
Ulangan
Perlk.
Ulangan
Samp.
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan Cook
ing Loss (%)
BlackSpot (BS)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan
(%)
setelah cooking 1 hari 3 hari
155
1
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
1 1412 133
42 / 1.32 16
1388 128
45 / 1.24 75 19 97.60
1.69
8 814 0.32 17 792 2.15 29 792 3.6
6
2 1463 133 1337 133 8.61 3 1465 133 1385 134 5.49 4 1447 133 1378 132 4.74 5 1451 133 1381 132 4.80 6 1442 133 1352 133 6.24 7 13390 12485 6.76 8 13305 12550 5.67
Rata-rata 792 5.50
97
76
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C
Waktu Pemasakan
(detik)
Ulangan
Perlk.
Ulang an
Samp.
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan Cook
ing Loss (%)
BlackSpot (BS) setelah cooking 1 hari 3 hari
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan
(%)
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
110
1 1 9330 41 /
1.21 9.8 8910 41 / 1.16 69.4 330 96.30 4.50
0 772 0.00 1 663 0.13 1 663 0.13
2 1 1506 133 40 /
1.24 9.8 1473 133 41 /
1.23 70 16 93.98 2.19
1 760 0.13 1 678 0.15 1 678 0.15 2 1520 133 1484 133 2.37 266 4.24
4.37
3
1 1421 133
42 / 1.31 16
1344 132
44 / 1.3 72.3 12 99.37
5.41
0 832 0.00 1 857 0.12 1 857 0.12
2 1430 133 1367 133 4.41 3 1436 133 1367 133 4.81 4 1441 133 1351 133 6.25 5 1448 133 1388 133 4.14 6 1451 133 1371 134 5.53 7 12040 11465 4.78 8 13050 12335 5.48
798 5.10 Rata-rata 4.66 0.04 0.13 0.13
98
77
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C (Lanjutan)
Waktu Pemasakan
(detik)
Ulangan
Perlk
Ulangan
Samp
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan
Cook ing
Loss (%)
BlackSpot (BS) setelah cooking 1 hari 3 hari
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan
(%)
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh % BS
115
1
1 1315 133
43 / 1.24 16
1265 133
50 / 1.32 73.9 5 99.37
1.00
3 787 0.32 3 858 0.35 3 858 0.35
2 1293 133 1253 133 3.09 3 1301 133 1255 133 3.54 4 1324 133 1288 133 2.72 5 1319 133 1274 133 3.41 6 1306 133 1262 133 3.37
798 2.85
2 1 1507 133
40 / 1.26 16
1448 132 42 / 1.22 75 0 100
3.92
1 749 0.13 1 734 0.14 1 734 0.14 2 1506 133 1451 133 3.65 3 1512 133 1442 133 4.63
398 3.51
3 1 1510 133 40 /
1.26 16 1457 133 43 /
1.21 75 0 100.00 3.51
2 745 0.27 2 679 0.29 2 679 0.29 2 1520 133 1454 133 4.34 266 3.72
Rata-rata 3.36 0.24 0.26 0.26
99
78
Lampiran 6c. Hasil pengujian pemasakan produk Cooked Tailed-On size 41-45 suhu 95 °C (Lanjutan)
Waktu Pema sakan (detik)
Ulangan
Perlk
Ulangan
Samp
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan
Cooking
Loss (%)
BlackSpot (BS) setelah cooking 1 hari 3 hari
Berat (g)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (g)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
∑ tidak matang (pieces)
Kema tangan
(%)
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh
% BS
BS
Seluruh % BS
120 1
1 1531 133 41 / 1.25 16.7 1429 132 43 /
1.2 75.6 0 100 6.68
0 772 0 1 772 0.13 1 772 0.13
2 1495 133 1422 132 4.90 3 1506 133 1428 133 5.18 4 1514 133 1421 133 6.14 5 1488 133 1415 132 4.93 6 1527 133 1433 132 6.17 7 6380 6025 5.56
662 5.65
120
2
1 1417 133 43 / 1.30 16.2
1359 133 44 / 1.20 71.4
0 100
4.09
0 649 0.00 0 649 0.00 0 649 0.00 2 1413 133 1351 133 4.39 3 1431 133 1391 133 2.80 4 13510 12791 5.32
399 4.86
3 1 1438 133 43 /
1.45 16.2 1381 133 45 /
1.22 71.4 0 100
3.96
0 789 0.00 0 789 0.00 0 789 0.00 2 14885 13701 133 7.95
4.88 269
Rata-rata 5.13 0 0.04 0.04
Rata-rata Total 4.38 0.06 0.12 0.12
100
79
Lampiran 7. Hasil aplikasi dalam skala produksi pada suhu 95°C dengan waktu pemasakan 120 detik
Ulang an
Sampel
Sebelum Cooking Setelah Cooking Tingkat Kematangan
Cooking Loss (%)
BlackSpot (BS) setelah cooking 1 hari 3 hari
Berat (kg)
∑ pieces
Cek / UR
Suhu pusat (oC)
Berat (kg)
∑ pieces
UR Suhu pusat (oC)
∑ tidak mata
ng (piece
s)
Kematangan (%)
BS
Seluruh % BS B
S Selu ruh % BS B
S seluruh
% BS
1 1519 133
40 / 1.16 16.1
1440 133
42 / 1.33 77 0 100
5.20
2 2793 0.072 6 2795 0.215 8 2795 0.286
2 1518 133 1442 133 5.01 3 1523 133 1436 132 5.71 4 1536 133 1446 133 5.86 5 1511 133 1439 133 4.77 6 1528 133 1435 133 6.09 7 1527 133 1434 133 6.09 8 1514 133 1440 134 4.89 9 1509 133 1434 133 4.97
10 1523 133 1435 133 5.78 11 1537 133 1444 134 6.05 12 1512 133 1438 131 4.89 13 1533 133 1449 133 5.48 14 1524 133 1451 134 4.79 15 1418 133 1330 123 6.21 16 1521 133 1454 133 4.40 17 1518 133 1449 132 4.55 18 1521 133 1449 133 4.73 19 1517 133 1442 132 4.94 20 1525 133 1449 132 4.98 21 1500 133 1427 144 4.87 22 75560 71205 5.76
Rata-rata 2791 5.27
101