Skripsi Mengenai UU Pers
-
Upload
kms-muhammad-amin -
Category
Documents
-
view
973 -
download
4
description
Transcript of Skripsi Mengenai UU Pers
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam website kompasiana.com ditulis bahwa Unit Dukungan
Pelayanan bagi Korban (Victim Support Service-VSS) dari Judicial System
Monitoring Programme (JSMP) melayangkan sebuah surat kepada Press
Club untuk menyampaikan keprihatinan mengenai perlakukan terhadap
anak yang menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya
bagi anak korban kekerasan seksual. Dalam kaitannya dengan pemberitaan
lebih lanjut ditulis oleh website tersebut bahwa penulis bermaksud untuk
mendukung dan menambah analisis mengenai isi dari surat tersebut untuk
memberikan saran mengenai praktek yang baik untuk melindungi hak
setiap orang, terlebih kasus-kasus yang sensitif dan kontraversial.1)
Dalam kaitannya dengan berbagai berita mengenai kasus pelecehan
seksual di Muara Enim. Peliputan ini termasuk cerita panjang mengenai
korban pelecehan seksual yang usianya masih dibawah umur yang
ditunjukkan gambarnya dengan tidak jelas, namun kemudian kamera
1)
<http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/13/jsmp-victimsupport / diakses 23 Agustus
2011.
2
diambil dari dekat yang membuat mukanya semakin jelas, sedang duduk di
tempat tidur di Rumah Sakit. 2)
Peliputan ini termasuk melakukan wawancara dengan bapaknya
korban mengenai apa yang telah terjadi. Seperti yang dijelaskan dalam
suratnya, peliputan seperti ini telah melanggar hukum nasional dan
internasional yang melindunggi korban, hak anak dan hak tersangka.
Cerita lain disebarkan melalui radio swasta (radio serasan FM) yang
tidak disebut namanya pada tanggal 25 Agustus 2010, menyebarkan satu
kasus pelecehan, memberikan rincian umur korban, hubungannya dengan
tersangka, sub distrik dari korban, dan tempat tinggal pada waktu itu.
Informasi tersebut membuat korban teridentifikasi dengan jelas , meskipun
tidak menyebutkan nama, kerahasiaanya telah dilanggar oleh jurnalis. Dua
cerita ini sebagai contoh yang memunculkan pertanyaan mengenai hak
individu atas kerahasiaan harus dilindunggi. Judicial System Monitoring
Programme (JSMP) percaya bahwa untuk menjamin hak-hak tersebut
dihormati sepantasnya; berbagai aktor memiliki kewajiban untuk
mematuhinya.
2)
<http://muaraenim.com.pers/2011/08/13/kasuspelecehan seksual / diakses 23 Agustus
2011.
3
Dari materi yang dikandungnya, Undang - Undang No. 40 Tahun
1999 Tentang Pers sebenarnya telah menjamin kebebasan pers dalam
memberitakan suatu peristiwa dan menyampaikan informasi sebagai hak
asasi warga negara. Undang-Undang ini juga dengan tegas menolak
sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya :
1. Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 2);
2. Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan
dan informasi (Pasal 4 ayat 3).
Kepada siapa saja yang melakukan menghambat terhadap pers,
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp 500 juta, hal itu diatur dalam pasal 18 ayat (1) Undang -
undang tersebut. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal
5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, diancam pidana denda paling banyak Rp
500 juta, hal itu diatur dalam Pasal 18 ayat (2).
Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab
(responsibility) media terhadap publik juga dikandung oleh Undang -
undang Pers ini. Dalam kegiatan pemberitaan oleh pers tersebut berpotensi
4
menimbulkan kekeliruan yang merugikan orang yang diberitakan.
Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers dapat bebas
lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena
pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang
diperuntukkan kepada pers. Ketika kerugian atas nama baik terjadi akibat
karya jurnalistik, masyarakat berhak menuntut pers untuk
mempertanggungjawabkannya. Dan persoalan jurnalistik diselesaikan
dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai
Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Karena itulah, UU Pers
membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain:
1. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah
(Pasal 5 ayat 1);
2. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat 2), hak seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat
11);
3. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), hak setiap orang untuk
mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan
5
oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat
12). Dalam praktiknya, beberapa media juga menggunakan lembaga
mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik,
yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian
persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan
hakjawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.3)
4. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar (Pasal 6 ayat c);
5. (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2).
Jelas bahwa Undang–Undang (UU No. 40 Tahun 1999), harus sesuai
dengan penerapan asas praduga tidak bersalah di dunia pers, sudah sejak
lama menjadi perhatian dan perdebatan, baik di kalangan hukum maupun di
antara insan pers sendiri. Meskipun begitu, sampai sekarang perdebatan
tersebut belum mencapai suatu titik temu. Perdebatan sudah mulai terjadi
bagaimana pasal-pasal dalam konstitusi (Undang-undang Dasar 1945)
harus ditafsirkan dalam kaitannya dengan penerapan asas praduga tidak
bersalah dalam bidang pers. Perdebatan itu terus berlanjut sampai pada
tataran tafsir bagaimana peraturan perundang-undangan tentang asas
praduga tidak bersalah harus diterapkan di bidang pers, dan bahkan teknis
3)
http://bincangmedia.wordpress.com/tag/hak-jawab/ diakses 28 November 2011
6
pelaksanaannya dalam pemberitaan. Untuk mencari, memperoleh,
mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang
tersedia sesuai Pasal 28F UUD 1945, :
”Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.”. 4)
Dalam kaitannya dengan informasi ini undang – undang pers
menentukan;5)
1. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan ;
2. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat, dan benar;
3. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum;
4. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”
4)
Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bandung, Tim Redaksi Visi Media
Pustaka Utama, 2010
5)
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Pasal 6)
7
Apakah hal tesebut diatas dapat dilaksanakan, Oleh karena itulah
menurut penulis sangatlah menarik untuk ditelusuri, diteliti lebih jauh dan
ditulis dalam bentuk skripsi mengenai :
“ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI
TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA
SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS”.
B. Permasalahan
Untuk memperjelas dan mempermudah dalam analisa data yang
diperlukan, maka dengan segala pertimbangan dan tujuan yang akan
dicapai yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini
adalah :
1) Bagaimanakah perlindungan terhadap saksi korban dikaitkan dengan
pemberitaan pers yang menyangkut dirinya?
2) Dikaitkan dengan asas kebebasan pers, apa ukuran untuk
mengatakan suatu berita telah melanggar prinsip kebebasan pers
yang bertanggung jawab?
8
3) Apakah tindakan memberi ralat berita yang keliru dapat melepaskan
pelaku dari ancaman hukuman ?
4) Dapatkah pelaku tindak pidana maupun korban melaporkan
wartawan yang memberitakan tersebut sebagai pelaku pencemaran
nama baik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah ?
C. Ruang Lingkup dan tujuan Penelitian.
1. Ruang Lingkup
Pembahasan skripsi ini berkaitan dengan Undang-Undang No.40
Tahun 1999 tentang Pers, undang – undang tentang HAM (undang –
undang No. 39 Tahun 1999) dan KUHPidana
Selain itu untuk membatasi objek penelitian maka dalam hal ini
penulis hanya akan melakukan penelitian hanya terbatas pada undang –
undang tersebut saja.
2. Tujuan Penelitian
a. Untuk memperoleh informasi tentang ukuran kebebasan pers yang
bertanggung jawab.
b. Untuk memperoleh informasi tentang perlindungan terhadap saksi
korban yang diberitakan oleh pers.
c. Penegakan asas praduga tak bersalah.
9
D. Metodelogi.
Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini
metodologi yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
bersifat normatif, yaitu jenis penelitian yang meliputi penelitian
terhadap asas – asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi
hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat
eksploratoris dalam hal ini penelitian melakukan penelitian terhadap
asas praduga tak bersalah, kebebasan pers dan HAM dilakukannya
penelitian ini adalah untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan
data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Penelitian ini tidak
didahului teori - teori yang sudah ada
2. Jenis dan Sumber Data
a ) Jenis Data
10
Data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder.
1) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan
(library Research)
b) Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini yaitu :
1. Data sekunder yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari
penelitian Kepustakaan ( library research ) yang berupa :
a) Bahan hukum primer yaitu Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden.
b) Bahan hukum sekunder yaitu data yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berbentuk
buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan penelitian dan
berbagai makalah, hasil seminar, majalah jurnal ilmiah dan
surat kabar yang berkaitan dengan penelitian.
c) Bahan hukum tersier (penunjang) yaitu bahan-bahan yang
memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun
sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Tehnik Pengumpulan Data
a. Data Sekunder
11
Data sekunder, yaitu tehnik pengumpulan data yang diperoleh dari
penelitian Kepustakaan (Library Research) yang relevan dengan
pokok permasalahan.
3. Tehnik Analisa Data
Tehnik analisa data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam
penelitian akan dianalisa secara kualitatif, penelitian ini akan
menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dan dipelajari sebagai
suatu yang utuh. Untuk selanjutnya di tarik suatu kesimpulan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian HAM
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri
setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan
tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-
bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.6)
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang
mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.
Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum
terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di
Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham
di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat
menuju Belanda dari Indonesia.
6)
Undang – Undang HAM Tahun 2009 (UU No.35 Tahun 2009) Jakarta, Tim Visimedia
Pustaka Newsroom, November : 2009
13
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / Personal Right :
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah
tempat.
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan.
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama
dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
2. Hak asasi politik / Political Right :
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.
- Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi
politik lainnya.
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right :
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns.
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
14
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths :
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-
piutang, dll.
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu.
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights :
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,
penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right :
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan.
- Hak mendapatkan pengajaran.
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan
minat.
Dalam pasal 18 Konstitusi memberikan perlindungan khusus
kepada anak-anak dari keluarga, masyarakat dan Negara termasuk untuk
tidak mendapatkan diskriminasi dan eksploitasi. Selain itu, semua hak-
15
hak fundamental harus konsisten dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) dan kewajiban internasional Timor Leste melalui
ratifikasi dan pengesahan kesepatakan-kesepakatan internasional.
DUHAM menjamin peradilan yang adil (pasal 10), menjamin praduga
tak bersalah (pasal 11) dan perlindungan dari intervensi sewenang-
wenang terhadap kerahasiaan, keluarga, dalam rumah tangga dan
serangan terhadap martabat dan reputasi (pasal 12). Peliputan yang
negatif dari pers yang disebabkan oleh kesalahan pengambilan,
mengidentifikasi korban, dapat dianggap tidak adil karena merusak
reputasinya dalam masyarakat, secara jelas telah melanggar beberapa
pasal dalam DUHAM. Konvensi internasional mengenai Hak Anak
yang telah diratifikasi oleh Timor Leste dan mengikat kita untuk
mematuhi atau melaksanakannya, meminta Negara untuk melindunggi
hak-hak dari anak. Terlebih, sesuai dengan pasal 2(2) mengatur bahwa
Negara harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk melindunggi
anak-anak terhadap semua bentuk diskriminasi atau penahanan yang
didasarkan pada status, kegiatan, kebebasan berpendapat, atau
keyakinan dari orangtua anak-anak, perwakilan hukum, atau anggota
keluarga”. Pasal 3 (1) mengatur bahwa semua tindakan mengenai anak,
baik dilakukan oleh institusi sosial publik atau swasta, pengadilan,
16
otoritas administratif, atau badan legislasi lainnya, kepentingan terbaik
bagi anak harus menjadi pertimbangan utama: hal ini termasuk media,
medis/professional kesehatan, pengacara, polisi dan masyarakat madani.
Khususnya, kasus kekerasan seksual dalam keluarga, penerbitan
gambar dari anggota keluarga dan/atau korban dan informasi yang
memberi peluang untuk dapat mengidentifikasi keluarga, secara jelas
melanggar konvensi ini. Kejahatan tersebut juga memiliki stigma dalam
masyarakat, oleh karenanya ketika teridentifikasi, korban dapat
mengurung diri untuk beberapa tahun, termasuk ketika ingin
mendapatkan suami atau memutuskan membentuk keluarga di masa
mendatang.
B. Pengertian Pers dan Pengaturan Kebebasan Pers
Istilah “Pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa
Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara
maknawia berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak
(printed publication).7)
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian
sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi
7)
http://wawan-satu.blogspot.com/2011/10/pengertian-pers.html diakses 28 Maret 2011
17
massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/
menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang
atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah
jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian
sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati
proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah
tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. 8)
Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan
medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai
lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari
masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah
daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya. 9)
Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan
masyarkat luas. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang
8)
http://duniabaca.com/sejarah-pers-pengertian-pers-fungsi-dan-peranan-pers-di-
indonesia.html
9)
Ibid
18
sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan
menerbitkannya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.10)
Pengertian Pers Menurut Para Ahli :
• Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya “Four Theories of the Press”
mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the
libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory.
Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai
pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang
banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
• Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding
Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man,
yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan
peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.
• Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah
yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar.
Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam
memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan
belanda.11)
B.1 Pengaturan Hukum (Peraturan) Terhadap Kebebasan PERS
1. Sumber Hukum Fundamental
Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah
kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental12)
, ketentuan-
ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek
mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis
10) Ibid hal 16
11) Ibid Hal 16
12)
Menurut Hans Nawiasky seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman.
19
seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan
pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi,
kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum
fundamental tersebut adalah sebagai berikut :
a. UUD 1945;
b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum;
e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General
Declaration on Human Rights).
Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum
tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah,
semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal
28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
20
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.”13)
Menurut Wikrama Iryans Abidin Secara eksplisit pasal tersebut
tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses
lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud
dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan
adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.14)
Selanjutnya penulis ini untuk mempertegas kelemahan pasal 28
UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers,
maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan
amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”
Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat
ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk
13)
Lihat UUD 1945
14)
Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005,
hal.39 50 Lihat UUD 1945 Amandemen ke-2
21
berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah,
dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama
halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang
merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis
dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak
menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan
kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945
tersebut.15)
Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan
ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini
termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari,
menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa
saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak
Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal
21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan
elemen : 16)
15)
Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005 hal.40
16)
Ibid, hal.53
22
a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang
berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini
mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi
Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh
informasi.
b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang
berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan
ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB.
c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Hak warga
negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan
dilindungi.”
Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak
berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan
perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya
berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari
gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.
23
Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur
media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan
terh Undang-Undang No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat
digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi
lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa
pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau
kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan
demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke
dalam dasar-dasar hukum media.17)
Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai
bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang
penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa
Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-
kesepakatan tentang Hak Asasi Manusia di dunia internasional,
khususnya sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
17)
Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156
24
2. Sumber Hukum Fungsional
Dalam Banyaknya literatur disebutkan Sumber hukum fungsional
adalah berlakunya peraturan perundang-undangan untuk menjadi
kepastian hukum untuk media massa yang berisi peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan
atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi
tentang teknis operasional media massa, yaitu Undang-undang Pers
(UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers
ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang
menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :
18)
a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan
unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat
pasal 28 UUD 1945;
b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari
kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan,
merupakan hak asasi manusia;
c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;
18)
Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers
25
d. Undang-Undang No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya
SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena
menghambat kemerdekaan pers.
Ada beberapa persamaan antara Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 dan Undang-Undang No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang
tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama
memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan
kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan,
jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan
pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang
sebelumnya mendera kehidupan pers.19)
Misalnya, kedua produk hukum itu sama-sama mencabut
ketentuan tentang :
a. sensor dan pemberedelan pers;
b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP;
c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik;
d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak
euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya
19)
Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56
26
dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan
membahayakan kepentingan politik penguasa.
3. Sumber Hukum Stuktural
Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan
masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang
media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak
bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung,
seperti :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena
hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah
pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang
pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah
ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka
digolongkan dalam hukum media massa structural.
Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai
tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka
27
umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia
(pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap
golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik
(pasal 156 ayat 2 KUHP). Adapun bunyi pasal 156 yang sering
disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan
golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat
Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian
lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau
kedudukannya menurut hukum tata negara”. 20)
Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian
Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun
1946, ketentuan haatzaai-artikelen itu berlaku di Indonesia
bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah
menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam
20)
http://www.suarapembaruan.com/News/2011/10/23/Editor/edit02.html, diakses pada hari
Kamis, 23 Oktober 2011, pukul 14.35 WIB
28
sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana,
antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak
sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal
kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara.
Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers
dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap
kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini
kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310
ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP),
fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP,
pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318
KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai
media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut
ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media
29
massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan
1372 KUH Perdata.21)
Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan perdata tentang
hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta
pemulihan kehormatan dan nama baik”.
Pada Era Reformasi era politik di bawah kepemimpinan Soeharto
itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru.
Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan
Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan
Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di
Indonesia.
Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk
hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11
Tahun 1966 yang mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada
periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik
21) Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya,
Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84
30
kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu
ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari
yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.
Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari
segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media
cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada
peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun
kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari
menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah
situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi,
namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-
pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah. Lebih dari 10 tahun
Undang-Undang Pokok Pers itu kemudian diubah dengan Undang-
Undang No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada
ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin
Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di
dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola
pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi
31
masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya
SIUPP.
Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang No.21 Tahun 1982 berbunyi
bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus
memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya
menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan
No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan
SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan
kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama
bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan. Meskipun
Permenpen ini dinggap bertentangan dengan Undang-Undang Pers,
namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun
1998.
Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan
perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah
satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya
dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.
32
Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers
pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala
awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku
UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada
kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers
pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu
konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam
hal :
a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum
pers represif ke arah produk hukum responsif;
b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi;
c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal;
d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis.
Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun
berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi
yang membawa akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada
sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi
kebebasan pers yang mengedepan berupa tuntutan untuk kebebasan pers
33
yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah. Tuntutan ini melahirkan
Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
B.2 Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan Prinsip
Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama Amandemen
Kedua yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000 oleh Sidang Tahunan
MPR-RI mengandung arti yang sangat penting dan strategis bagi
peningkatan efektivitas peran pers dalam menunjang dan pemajuan
serta perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Seperti diketahui,
sebelum amandemen dilakukan, UUD 1945 tidak secara rinci memuat
tentang HAM bahkan boleh dibilang sangat sumir. Akan tetapi dengan
ditetapkannya secara lebih rinci prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945
pada Sidang Tahunan MPR 2000 akan sangat membantu pers dalam
melakukan pengawasan serta penegakan, termasuk pencegahan
pelanggaran HAM.22)
Konstitusi kita kini mengatur prinsip-prinsip HAM dalam Bab
tersendiri sebagai akibat Amandemen Kedua UUD 1945 tersebut. Ada
22)
R.H.Siregar, Efektivitas Peran Pers dalam Menunjang Perlindungan dan Pemajuan
HAM,http://www.google.co.id/search?q=efektivitas+peran+pers+dalam+menunjang+ham&btnG=Telu
suri&hl=id&sa=2, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB
34
sebanyak 10 pasal mengatur mengenai masalah HAM dengan 24 ayat.
Dalam ke 10 pasal itu (Pasal 28A hingga Pasal 28J) diatur secara rinci
dan jelas prinsip-prinsip HAM. Rumusan pasal-pasalnya begitu jelas
dan tuntas sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat meminimalisasi
multiinterpretasi. Rumusan yang lebih rinci dan jelas mengenai HAM
seperti itu, tentunya akan sangat membantu peran pers dalam
menunjang pemajuan dan perlindungan HAM, sebab dengan rumusan
yang lebih rinci dan jelas seperti itu, pers dengan mudah dapat
mengenali mana tindakan serta kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai
HAM dan mana tindakan serta kebijakan yang tidak menunjang dan
menghormati HAM dan oleh karena itu harus dikritisi serta dikoreksi
pers.
Rumusan HAM yang lebih rinci dan jelas tersebut, maka
diharapkan peran pers untuk menunjang pemajuan dan perlindungan
HAM akan lebih efektif. Sekaligus dengan rumusan HAM yang lebih
rinci, jelas dan lengkap seperti itu akan sangat membantu peran pers
dalam melakukan sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat
mengenai nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, juga secara preventif lebih
mampu mengefektifkan peran pers mencegah terjadinya pelanggaran
hukum. Pada sisi lain fungsi kontrol pers dalam menegakkan hukum
35
atas pelanggaran HAM dapat berjalan lebih baik. Undang-Undang
No.40 Tahun 1999 tentang Pers juga telah memposisikan peran pers
secara lebih baik dalam menegakkan HAM. Undang-Undang Pers itu
dengan tegas mengatakan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai
hak asasi warga negara. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers
tersebut, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang
bukan semata-mata monopoli dan milik orang pers. Kemerdekaan pers
adalah milik masyarakat berdaulat yang dalam pelaksanaannya
diperankan oleh Perusahaan Pers dan Wartawan. Apakah yang
dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara ?” Undang-Undang Pers memberikan jawaban yang sangat
tegas. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
mengandung arti bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan,
pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh
informasi terjamin.
Kemerdekaan Pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran
akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh
36
pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode
Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Undang-Undang Pers menyatakan bahwa dalam upaya
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, yang tujannya adalah
untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas
serta kuantitas Pers Nasional. 94 Oleh karena itu Undang-Undang Pers
memberikan 7 fungsi sekaligus kepada Dewan Pers. Pertama,
melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Kedua,
melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Ketiga,
menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Keempat, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers. Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat ini
adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan
pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kelima, mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Keenam,
memfasilitasi organisasi-organsasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan. Ketuju, mendata Perusahaan Pers.
37
Selain itu Undang-Undang Pers menegaskan pula bahwa pers
harus selalu berkomitmen pada pelaksanaan lima fungsi yang utuh,
yaitu :
1. fungsi sebagai media informasi
2. fungsi sebagai media pendidikan
3. fungsi sebagai media hiburan
4. fungsi sebagai media kontrol sosial
5. fungsi sebagai lembaga ekonomi Kemerdekaan pers sehubungan
dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat haruslah diimbangi
dengan eksistensi hak untuk berbeda pendapat.
Hal ini sejalan dengan semakin transparansinya era keterbukaan,
kian deras pula tuntutan untuk pemenuhan hak asasi baik yang bersifat
individual maupun hak yang bersifat sosial. Di antara hak sosial yang
bersifat asasi itu adalah hak untuk berbeda pendapat. Hak untuk berbeda
pendapat termasuk hak yang amat penting. Oleh karena itu dibutuhkan
adanya legalitas dalam bentuk peraturan yang secara eksplisit juga
merefleksikan hak ini. Secara sederhana, pengakuan adanya hak untuk
berbeda pendapat ini mengharuskan pihak pemegang kekuasaan
38
khususnya untuk membuka diri dan siap menerima berbagai masukan,
konkretnya adalah kritik dari pihak lain. Hendaknya kritik yang
disampaikan tidak diartikan sebagai upaya perorangan terhadap
kewibawaan dan kemapanan. Memang ada kecerendungan untuk tidak
bersikap represif terhadap berbagai kritik yang dilontarkan. Hal ini
kiranya dapat dijadikan sebagai momentum yang dipertahankan dengan
catatan bahwa hendaknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab.
Untuk itulah, pada era demokrasi dan demokratisasi yang menuntut
lebih banyak keterbukaan, kritik, sumbang saran atau apa pun namanya
amat diperlukan sebagai refleksi dari hak untuk berbeda pendapat ini,
dan juga bukan sesuatu yang dianggap memusuhi. Pers adalah wadah
perbedaan pendapat secara tertulis.
Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum
yang menjamin kemerdekaan pers, namun ancaman terhadap
kemerdekaan pers tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa
berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak
paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu
justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat
proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui pengadilan.
39
Di sisi lain, Mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman
pers lewat kekerasan terus terjadi. Tuntutan dan gugatan hukum
terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama baik, baik
menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.23)
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran
nama baik dalam KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk
digunakan secara berlebihan dan ini malah akan menghambat
demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak
masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan
pencemaran nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik
akan menimbulkan bahaya ketidakpastian hukum karena berpotensi
tinggi akan memidanakan jurnalis karena pencemaran nama baik.
Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP bisa sangat tidak
obyektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi tidak
berdasar.
Tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang
tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara
23)
http://anggara.org/2011/11/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik-catatan-
dalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB
40
berdasarkan hukum. Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk
pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah
membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Pers harus didahulukan dari pada ketentuan hukum
yang lain.
C. Sosok Pers yang Profesional, Bebas, dan Bertanggung Jawab
Ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers
Ada dua prinsip yang mendasar menurut filsafat jurnalistik, yaitu
publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus
diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu
memang dibutuhkan oleh publik. Oleh karena itu, jurnalistik
memerlukan jaminan kebebasan. Ketika jurnalistik memperoleh
jaminan kebebasan terbukalah jalan yang lapang untuk melaksanakan
sejumlah tugasnya.24)
Tugas pertama jurnalistik (pers) adalah untuk menerima
keterangan-keterangan yang sifatnya paling lekas dan yang paling tepat
tentang kejadian-kejadian pada waktu tertentu, dan kemudian dengan
24)
A.Muis, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, PT.Dharu Anuttama, Jakarta, 1999,
hal.30
41
segera pula memberitakannya guna menjadikan peristiwa-peristiwa itu
sebagai milik bangsa di mana pers itu berada.
Pers juga harus bersifat akurat. Upaya untuk bertindak akurat dan
adil adalah tolak ukur untuk memahami watak jurnalistik yang baik.
Kewajiban selanjutnya adalah pers harus berkata benar. Watak yang
baik tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan.
Jurnalistik adalah sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami
perubahan dalam berhubungan dengan publik. Mudahnya terjadi
pergeseran demikian adalah masalah yang menuntut keputusan yang
cepat dari jurnalistik. Seterusnya, pers harus bertanggung jawab kepada
publik, sebab pers adalah lembaga publik. Pers harus memikul
kewajiban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan yang juga
mendukung keberadaannya. Pers harus mengindahkan kesopanan.
Tidak hanya sopan mengenai bahasa dan gambar yang digunakan
karena hukum menghendaki demikian, melainkan juga cara
memperoleh berita. Wartawan yang lebih baik ialah yang mengenakan
ketentuan pada tugasnya seperti juga mengenakan pada diri sendiri
sensor untuk mempertahankan cita rasa yang baik dengan publiknya.
Wartawan adalah sebuah profesi, dengan kata lain wartawan adalah
seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara.
42
Produk pers berupa informasi itu pada hakekatnya merupakan
penggambaran perilaku dari karyawan pers. Semua perilaku tersebut
tunduk kepada tatanan yang mengaturnya baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Tatanan internal berupa etika dalam hal ini
sebagaimana yang dituangkan dalam kesepakatan para wartawan
Indonesia, yang diwadahi dalam Kode Etik Jurnalistik. Sementara yang
bersifat eksternal adalah berupa peraturan perundang-undangan dan
tekanan sosial. Kinerja para wartawan itu, secara universal menurut
pada suara nuraninya yang secara mikro berpihak pada kebenaran dan
kejujuran. Apa yang dilihatnya sebagai fakta, seharusnya itu pula yang
digarap dan dijadikan sebagai bahan informasi, namun pada
kenyataannya tidak demikian. Ada konflik yang dihadapi oleh para
wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Suara universal yang bersifat
mikro itu berhadapan dengan kenyataan makro dalam masyarakat yang
mengaharuskan terjadinya interaksi. Akibatnya, apa yang seharusnya
menjadi idealisme yang muncul dari pilihan etis personal itu menjadi
tidak mungkin dilaksanakan secara keseluruhan ketika berada di
lapangan.
Hal ini menyebabkan munculnya permasalahan dalam interaksi
antara pers dengan masyarakat dan atau antara pers dengan pemerintah.
43
Hal ini mengharuskan adanya tanggung jawab dari pers yang
bersangkutan sehingga interaksi dapat terus berlanjut dinamis. Pers
menghormati hak asasi setiap orang dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya. Pers wajib memberitakan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya dalam menyiarkan
informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan
seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses
peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak
yang terkait dalam pemberitaan tersebut.25)
Penilaian tentang ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam
pemberitaan dan juga ada tidaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
hanya dapat dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan
Pers. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi
merupakan prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta
pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan
melanggar hukum, dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab
25)
http://anggara.org/2011/10/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik catatan-
dalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB
44
merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya
perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru.
Pers juga dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka
dikontrol oleh masyarakat. Pers yang profesional mengarah kepada
patuh dan setia kepada penghormatan prinsip-prinsip etika jurnalistik,
serta meningkatkan pengetahuan, kejujuran dan kesatriaannya untuk
senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistiknya itu. Terbuka
dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan
kesatriaan pers mengakui kesalahan untuk selalu terbuka disanggah,
ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas
pemberitaannya yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya.
Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme penggunaan Hak
Jawab dan atau Hak Koreksi serta kejujuran melakukan Kewajiban
Koreksi. Mekanisme kontrol ini dapat disampaikan kepada Redaksi dan
dapat pula disampaikan melalui Dewan Pers, sedangkan peran media
watch lebih kepada fungsi literasi.
Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang sangat besar itu,
maka Undang-Undang Pers menjelaskan secara rinci bagaimana
melakukan kontrol terhadap pers, sebab jika tidak dilakukan kontrol,
maka pers itu dengan leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang
45
cenderung disalahgunakan, karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol
dari masyarakat, termasuk kontrol dari dalam hati nurani wartawan itu
sendiri.
Tiga cara mengontrol kinerja pers di atas merupakan mekanisme
penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh
Undang-Undang Pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang
merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan Hak Jawab dan
atau Hak Koreksi secara langsung ke redaksi. Beberapa perusahaan pers
mewujudkan cara yang pertama ini dengan mengangkat dan menunjuk
Ombudsman sebagai sarana melayani dan memenuhi Hak Jawab dan
atau Hak Koreksi itu. Jawa Pos memilih cara ini untuk mewujudkan
profesionalisme dan melayani kontrol yang dilakukan masyarakat atas
pemberitaan, sehingga ketidakjujuran dan ketidaksatriaan redaksi dapat
diatasi dengan baik. Mekanisme ini dapat disebut sebagai mekanisme
Ombudsman Internal, untuk membedakan mekanisme yang digunakan
Dewan Pers yang dapat disebut sebagai Ombudsman Eksternal. Cara
yang kedua, yang biasa dikenal sebagai fungsi “pemantauan” atau
“media watch”. Biasanya ada sekelompok masyarakat yang peduli
tentang kinerja pers kemudian melakukan pemantauan atas
pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Hasilnya dituliskan
46
ulang dan diberitakan kembali bahkan tak jarang diumumkan secara
terbuka dengan memberikan penilaian atas peringkat tertinggi sampai
terendah atas isi berita yang diduga melakukan pelanggaran atas kode
etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Fungsi ini lebih bersifat fungsi
literasi.26)
Cara yang ketiga, adalah dengan cara yang diperankan oleh
Dewan Pers dengan segala bentuk dan cara. Cara ini dapat
dikategorikan sebagai Ombudsman Eksternal. Sesuai dengn amanah
Undang-Undang Pers, Dewan Pers mempunyai fungsi antara lain
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan
pers, yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan
pelanggaran.27)
Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers
merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan
masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi.
Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat
antara pers dan masyarakat. Akibat ketidaksejajaran hubungan ini
muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi
26)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18005/3/Chapter%20II.pdf 27)
ibid 23
47
munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers
dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai
penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi
merasa adanya ketidak benaran dalam sajian pers.28)
Selain itu, sesuai dengan asas profesionalisme,
pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan
pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab
harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan
deskripsi 'politik keredaksian' yang dijadikan dasar oleh lembaga pers.
Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, siapa
yang berbuat ia harus bertanggung jawab.29)
Pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran
di masyarakat, tidak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung
misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Kalau tidak,
ada kewajiban moral untuk tidak menyajikan kepada masyarakat,
kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para
pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi
harmonis antara pers dan masyarakat. 30)
28)
Ibid 23 29)
Ibid 23 30)
Ibid 23
48
BAB III
ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI
TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA
SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS
A. Perlindungan terhadap korban dalam kaitannya dengan
pemberitaan dugaan pelecehan seksual
Komnas Perempuan adalah Mekanisme Nasional Hak Asasi
Manusia, khususnya perempuan. Salah satu mandat dari Komnas
Perempuan adalah menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan pencegahannya.31)
Dalam rangka menyebarluaskan pemahaman tersebut, Komnas
Perempuan memanfaatkan keberadaan media massa yang memiliki
jangkauan luas dan pembentuk opini publik. Oleh karena itu, pemberitaan
tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual oleh
media massa diharapkan mampu menghadirkan pemahaman yang baik
bagi pembaca; tidak mengungkap identitas yang memungkinkan korban
mudah diakses pihak lain; tidak menyalahkan korban, tidak
menstigmatisasi dan menghakimi korban. Dengan demikian media akan
31)
www.komnasperempuan.or.id/.../Kajian-Media-Komnas-Perempuan-Hak-Perempuan-
korban-Kekerasan-Seksual.pdf diakses tanggal 14 Nopember 2011
49
mampu menciptkan kondisi yang memudahkan korban kekerasan seksual
untuk mengakses haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Komnas Perempuan melakukan analisa media terhadap delapan media
cetak yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Pos Kota,
Republika, Seputar Indonesia, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post.
Analisa dilakukan terhadap pemberitaan tahun 2010. Khusus untuk Koran
The Jakarta Globe analisa dilakukan sejak April-Desember 2010. Ada
1278 berita yang memenuhi pemberitaan di delapan koran tersebut
selama tahun 2010. Koran Kompas memuat 286 berita atau 28% dari total
seluruh pemberitaan. Selanjutnya secara berturut adalah Koran Tempo
(194 berita), Pos Kota (170), Seputar Indonesia (163), Media Indonesia
(161), Republika (149), The Jakarta Post (101) dan The Jakarta Globe
(54). 32)
Dalam melakukan analisa media tersebut, pemberitaan dibagi
dalam lima kategori besar, yaitu kekerasan terhadap perempuan, agency
perempuan, diskriminasi dan pelanggaran lainnya, upaya serta HAM
umum. Kelompok kekerasan terhadap perempuan memuat berita
32)
Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang
kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual
Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada
20 Agustus 2011.
50
terbanyak yaitu 528 berita dari total 1278 pemberitaan. Selanjutnya
adalah diskriminasi dan pelanggaran lainnya (269 berita), upaya (240
berita), agency perempuan (128 berita) serta HAM umum (113 berita).33)
Dari sisi rubrikasi, dari 1278 berita, lebih dari 50 persen atau 725
berita berada di rubric sekunder. Sisanya 43 persen atau 527 dimuat di
rubrik primer. Kurang dari 2 persen yaitu 21 berita yang dimuat dirubrik
khusus perempuan, dan sisanya yaitu 5 berita ada di rubric tambahan.
Sementara itu pesebaran berita lebih banyak dimuat pada bulan dimana
terdapat peristiwa penting sejarah terkait perempuan ataupun ketika ada
isu yang menguat. Misalnya pada bulan Mei jumlah pemberitaan paling
banyak yaitu 212 berita meliputi berita tentang peringatan 12 tahun
Reformasi dan Tragedi Mei 1998, hari Buruh dan hari Pendidikan
Nasional, juga tentang perkosaan anak di Bali. Bulan Juni juga banyak
berita seputar isu pornografi, khususnya kasus yang melibatkan artis yang
dituduh membuat materi pornografi yaitu 104 dari 168 pemberitaan.
Analisa media ini menitikberatkan pada pemberitaan tentang
kekerasan seksual. Dari jumlah 528 berita tentang kekerasan, hampir ¾
berita adalah tentang kekerasan seksual (375 berita). Sama halnya dengan
temuan khusus, pemberitaan tentang kekerasan seksual juga lebih banyak
33)
Ibid 31
51
dimuat di rubrik sekunder (241 berita), primer (123 berita), khusus
perempuan (9 berita) dan tambahan (2 berita). Empat berita teratas adalah
tentang control 3 seksual (144 berita), kriminalisasi perempuan (58
berita), perkosaan (49 berita) dan 32 berita tentang pelecehan seksual.34)
Pemberitaan media pada berita yang bersifat umum (di luar berita
kekerasan seksual) secara umum sudah baik. Hasil analisa menunjukkan
83 persen media telah memenuhi etika jurnalistik dalam pemberitaannya
dalam hal tidak mengungkap identitas korban, tidak mengungkap
identitas pelaku anak, tidak memuat informasi cabul dan sadis. Namun
demikian dalam hal pemberitaan yang memenuhi hak korban dan etika
jurnalistik, media mengalami penurunan sebanyak 14 persen atau tinggal
69 persen saja. Pemenuhan etika dan hak korban yang dimaksud adalah
tidak menstigma, menghakimi, melakukan stereotipi dan tidak
menggunakan diksi yang bias, selain tidak melakulan hal-hal yang
melanggar etika seperti telah disebutkan di atas.
Media kembali mengalami penurunan hingga berkisar 50 persen
saja dalam hal pemenuhan etika jurnalistik dan hak korban ketika
memberitakan berita seputar kekerasan seksual. Penurunan drastis ini
dipicu oleh banyaknya berita tentang artis yang dituduh membuat materi
34)
Ibid 31
52
pornografi. Meskipun artis tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat,
namun pengungkapan identitas tetap tidak dibenarkan. Selain itu
penggunaan diksi yang bias dan tidak tepat (114 berita) seperti menggahi,
mencabuli, merenggut keperawanan untuk menyebut peristiwa perkosaan
juga memenuhi sebagian berita tentang kekerasan seksual.
Dalam pemberitaan seputar kontrol seksual dan kebijakan
diskriminatif, media belum mengambil fungsinya memberikan
pendidikan publik kepada masyarakat. Hampir semua berita tentang isu
tersebut adalah soal debat pro-kontra, tidak memberikan perspektif
korban. Pada isu pornografi media juga cenderung menempatkanknya
sebagai isu moralitas bukan isu kekerasan seksual yang justru
menempatkan perempuan sebagai komoditi.
Atas dasar temuan di atas, Komnas Perempuan mengajukan 5
rekomendasi sebagai berikut:35)
1. Kepada semua media untuk menambah frekuensi, variasi dan
menempatkan isu perempuan dalam rubrikasi utama.
2. Kepada semua media untuk mempertahankan dan memperbanyak berita
yang merawat ingatan publik pada kekerasan terhadap perempuan
dalam peristiwa bersejarah Indonesia.
35)
Ibid 31
53
3. Kepada semua media dan organisasi hak asasi manusi, khususnya
organisasi perempuan, untuk memperkuat kapasitas jurnalis dalam
meliput isu perempuan khususnya isu perempuan yang kompleks,
kapasitas tentang hak-hak korban.
4. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khusunya
organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk
mendiskusikan dan menyusun pedoman pelaksanaan kerja media yang
memenuhi asas praduga tidak bersalah dan hak-hak korban dalam
kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan, terutama
yang melibatkan figur publik.
5. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khususnya
organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk
mendukung organisasi jurnalis terus melakukan pemantauan penerapan
kode etik yang mengintegrasikan pemenuhan hak korban.
Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan
penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang
sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan
masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh
perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam
54
Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah
perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting
sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.36)
Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan
hak asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan. Korban
kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita
dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan
sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.
Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh
pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama
sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia
tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban
kejahatan.
Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum
(polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk
melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu
kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan
36)
Ibid 31
55
penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental,
fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun
dia bersalah tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi
yang tidak boleh dilanggar.Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum
ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari
itu pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas
praduga tidak bersalah).37)
B. Ukuran untuk menentukan pelaksanaan prinsip kebebasan pers
yang bertanggung jawab yang sesuai dengan asas kebebasan pers.
Kebebasan pers adalah kebebasan menyiarkan atau tidak
menyiarkan berita. Pers merdeka tidak boleh sekali-kali dilarang
(dibatasi) atau disuruh menyiarkan berita. Walaupun demikian, tidak
berarti kemerdekaan pers absolut tanpa adanya rambu-rambu pembatasan.
Paling tidak, secara alamiah-seperti dikatakan john locke- kebebasan
seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kalau ditilik secara
normatif, kebebasan pers dibatasi oleh :38)
37)
Ibid 31. 38)
Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005,
hal.39
56
Pertama : pembatasan dalam hubungan yang bersifat individual. Pers
harus tunduk dan menghormati hak – hak pribadi (privacy) setiap orang.
Pers dilarang memasuki suatu tempat atau kehidupan pribadi sebagai hak
untuk bersendiri ( the right to let to be alone ). Pers dilarang untuk
mempermalukan seseorang dihadapan publik, misalnya menyiarkan masa
lalu yang (dianggap) mempermalukan. Pers dilarang menyiarkan sesuatu
yang ( dirasakan ) tidak benar mengenai seseorang . secara hukum,
larangan – larangan atau pelanggaran-pelanggaran diatas termasuk
dalam kelompok yang disebut the right of privacy. International
Covenant on Civil and Political Right (UN, 1966), Pasal 17 Ayat (2)
menyebutkan : “No one shall be subjected to arbitrary on unlawful
interference with his privacy..”. (tidak seseorang pun dapat diperlakukan
secara sewenang-wenang atau tindakan yang melawan hukum atas hak
privasinya”
Kedua : pembatasan dalam hubungan dengan kepentingan komunal
(community). Pers tidak dibenarkan menyiarkan berita yang diperkirakan
akan menimbulkan reaksi umum karena –misalnya- bertentangan dengan
nilai –nilai yang hidup dan dijunjung tinggi suatu komunitas,
bertentangan dengan kesusilaan dan agama, memberikan gambaran buruk
57
terhadap suatu komunitas, berita yang akan menimbulkan kebencian
umum terhadap suatu komunitas, atau berita yang akan menimbulkan
permusuhan sosial. Secara substantif, materi berita yang digambarkan
diatas, bukan sesuatu yang dilarang, tetapi harus dikemas agar tidak
diterjemahkan menjadi sesuatu yang (dapat) menimbulkan akibat-akibat
yang merugikan kepentingan atau ketertiban, atau keamanan.
Ketiga : pembatasan dalam hubungan dengan penyelenggara tugas
Negara seperti yang berkaitan dengan rahasia Negara, keamanan Negara,
pertahanan Negara, kepentingan hubungan antara Negara dengan Negara,
dan lain – lain.
Persoalan yang senantiasa dihadapi adalah, bagaimana cara agar
pembatasan yang dibenarkan (justified limination) tidak menjadi
pembenaran mencederai kebebasan pers, baik secara preventif atau
repsesif. Harus ada balancing antara kebebasan dan pembatasan. Harus
diakui atau diterima, berbagai bentuk pembatasan (seperti control),
merupakan harga yang harus dibayar suatu kebebasan. Dalam sistem
demokrasi dan Negara berdasarkan hukum, ada sejumlah prinsip yang
harus hadir agar suatu pembatasan tidak menjadi pembenaran berlaku
sewenang-wenang.
58
Untuk menentukan, apakah pembatasan-pembatasan sudah
dilanggar atau dilampaui (baik oleh pers terhadap yang berkepentingan,
maupun oleh yang berkepantingan terhadap pers), wajib dilakukan oleh
yang tidak berkepentingan (badan netral). Dalam proses modern
dilakukan oleh hakim (pengadilan). Pembatasan pers untuk menyiarkan
suatu berita hanya dapat dilakukan oleh (melalui) hakim (pengadilan).
Diluar itu adalah perbuatan sewenang-wenang (arbitrary). Di Indonesia,
kita memiliki Dewan Pers yang dibentuk atas perintah undang-undang.
Dalam praktik Dewan Pers berwenang menentukan apakah telah terjadi
pelanggaran atas pembatasan-pembatasan. Tetapi DP bukan badan netral
penegak hukum, melainkan badan netral penegak atau penjaga etik.
(dhi.Kode Etik Jurnalistik, sebagai Kode Etik Pers Indonesia). Sebagai
putusan etik tingkat kekuatan ditentukan sepenuhnya oleh pers yang
bersangkutan. Pers yang baik akan senantiasa menjunjung tinggi etiknya
sendiri. Pers yang membangkang terhadap putusan DP menghadapi resiko
menuju proses hukum dan dapat kehilangan kepercayaan publik (sebagai
almamater).39)
39)
R.H. Siregar, Beberapa Catatan Kode Etik Jurnalistik Pwi Dan Azas Praduga Tak
Bersalah, makalah yang diajukan pada Diskusi Azas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press,di
Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta tanggal 25 Maret 2009.
59
Secara definisi, asas praduga tidak bersalah adalah hak setiap
orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak atau perbuatan
pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai terbukti yang didapati dalam
persidangan pengadilan yang netral (tidak berpihak) dan terbuka untuk
umum dengan hak menyampaikan pembelaan diri dengan bebas, layak
dan cukup. Pembelaan dilakukan sendiri atau melalui advokat. Bahkan
untuk pidana tertentu wajib didampingi advokat. Pengertian putusan
pengadilan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(in kracht van gewijsde, final judgement). 40)
Hak atas praduga tidak bersalah, menimbulkan kewajiban bagi
pihak lain. Kewajiban tersebut tidak hanya pada penegak hukum tetapi
berlaku pada setiap orang, termasuk pers. Pers dilarang memberitakan
seseorang yang disangka atau didakwa (seolah-olah) telah bersalah
sebelum ada putusan pengadilan. Kewajiban ini berlaku juga pada badan
– badan atau perorangan yang memerhatikan suatu peristiwa pidana.
Aspek lain yang perlu dicatat. Apakah praduga tidak bersalah juga
bermakna, termasuk upaya mencegah proses peradilan karena anggapan
atau keyakinan tersangka atau terdakwa tidak bersalah ? meskipun ada
asas praduga tak bersalah, sangatlah terlarang mencegah agar seorang
40)
Ibid 30.
60
yang sudah menjadi tersangka apalagi terdakwa agar tidak diadili.
Perbuatan semacam ini tergolong contempt of court atau sebagai bentuk
obstruction of justice (menghalangi peradilan). Dalam asas praduga tidak
bersalah, hanya hakim (hakim adalah satu – satunya) yang dapat
menyatakan seseorang telah atau tidak melakukan suatu tindakan
(perbuatan) pidana. Kalau ada perkiraan hakim tidak mungkin
menerapkan hukum dengan benar dan adil, itulah yang harus dibenahi
dan diawasi, bukan dengan meniadakan peradilan. Dengan demikian, ada
dua aspek dalam asas praduga tidak bersalah. Setiap orang atau badan –
termasuk pers – dilarang beranggapan seseorang telah bersalah atau tidak
bersalah sebelum ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Aspek lain, praduga tidak bersalah, tidak membenarkan
upaya menghalangi proses peradilan, seperti dalam kasus Bibit –
Chandra.41)
C. Analisis tentang akibat hukum dari koreksi terhadap pemberitaan
yang tidak benar.
Publikasi yang berlebihan menyebabkan terdakwa dalam
kenyataan dihukum berkali – kali atas satu perbuatan yang sama.
41)
Ibid 30
61
Pertama ; diadili dan dihukum oleh pers (trial by the pers). Kedua ;
dihukum oleh pendapat umum (trial by political opinion) melalui
pernyataan, diskusi terbuka dan lain – lain. Tidak jarang seorang yang
sedang diadili telah ditetapkan oleh pers atau pendapat umum sebagai
musuh masyarakat (public enemy) yang harus dihukum. Ketiga ;
dihukum oleh Hakim. 42)
Meskipun gambaran penghukuman diatas secara dogmatik
(normatif) tidak tergolong double jeopardy atau nebis in idem, tetapi
secara kenyataan atau sosiologis telah terjadi pengulangan peradilan
untuk perkara yang sama. Larangan ne bis in idem adalah untuk
mencegah kesewenag-wenangan dan kekejaman (kekejian) peradilan.
Trial by the press dan trial by public opinion, disamping penghukuman
oleh hakim adalah suatu yang berlebihan, bahkan suatu bentuk kekejian
dan ketidakadilan yang luar biasa.43)
Prof Robert Gobbers (introduction to the Geman law) mengatakan,
tidak jarang terjadi, meskipun seorang terdakwa kemudian oleh hakim
dinyatakan tidak terbukti bersalah, tetap sangat menderita (dan dirugikan)
akibat publikasi yang berlebihan, sesuatu yang hal yang mesti
diperhatikan oleh pers. Membahas secara publik kasus yang sedang
42)
http://primau66.blogspot.com/2011_01_01_archive.html diakses 14 Nopember 2011 43)
ibid 41
62
berjalan seperti yang dilakukan melalui TV, dapat merupakan
pencederaan terhadap hak atas praduga tidak bersalah. Belum lagi
kemungkinan pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, dan
sebagainya. Lebih-lebih lagi bagi masyarakat kita yang komunalistik.
Bukan hanya tersangka atau terdakwa yang dicederai, tetapi istri, anak,
dan keluarga yang tidak berdosa. Pers yang semestinya menjadi
instrument kemanusiaan dan peradaban, karena kelalaian menghormati
asas praduga tidak bersalah, justru terjerumus kedalam perbuatan yang
tidak layak. Hal serupa berlaku pada Lembaga Swadaya Masyarakat atau
perorangan yang ingin menjadi pusat perhatian, acap kali tidak
mempertimbangkan : “ bagaimana kalau perbuatan yang sama berlaku
pada terhadap mereka”. Ada ungkapan yang menyatakan : “
perlakukanlah orang lain sebagaimana anda mengharap orang lain
memperlakukan anda”. Baik secara sosial, kemanusian, apalagi
keagamaan, kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang berimbang,
tidak berlebihan.
Demi menjaga keseimbangan yang bermanfaat pers dapat
menerapkan self censorship atau self restraint antara hak atas praduga
tidak dan hak atas kebebasan informasi.44)
44)
http://njpurnomo.blogspot.com/2011/11/saat-media-mengkhianati-kita-peran-hak.html
63
Menjaga keseimbangan yang dihadapi pers dalam menyampaikan
informasi, sangat perlu diperhatikan juga oleh para penegak hukum.
Penegak hukum harus sangat memahami kedudukan pers dalam
masyarakat demokratis yang dijamin Undang-Undang Dasar, dan
dilema-dilema yang dihadapi, seperti dilema penerapan praduga tidak
bersalah dengan hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Begitu
pula dalam kasus-kasus yang lain seperti penerapan undang-undang pers
atau bukan undang-undang pers dalam kasus pers. Kekeliruan apalagi
salah menerapkan hukum terhadap pers merupakan kekeliruan dan
kesalahan yang sangat mendasar karena menyangkut isntitusi sosial yang
sekaligus sebagai institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Telah lama
dihafal sejak sebagai mehasiswa hukum, penegak hukum (khususnya
hakim) bukan sekadar mulut atau corong undang-undang (the mouth of
laws, spreekbuis van de wet, bouche de la loi). Hakim yang adil dan arif,
tidak hanya menyediakan dua pilihan, tetapi terbuka atas pilihan-pilihan
lain berdasarkan hakikat dan tujuan hukum serta kemaslahatan
(doelmatigheid), bukan sekedar menerapkan dogma dogma hukum
(rechtmatigheid). Walaupun ada pemikir yang tidak setuju, tetapi
bagaimanapun juga hukum tetap mengandung muatan sebagai the mirror
of society (meminjam ungkapan yang dipergunakan Brian. Z. Tamanaha)
64
atau seperti dikatakan Von Savigny, hukum adalah wujud kesadaran
hukum masyarakat (rechtbe-wustzijn, social conscience). Salah satu yang
menjadi cermin kesadaran masyarakat kita adalah memulihkan dan
menyempurnakan demokrasi dan hak asasi manusia. Putusan yang tidak
atau kurang bijaksana dapat merupakan penggerogotan terhadap
demokrasi dan hak asasi manusia yang saat ini merupakan the mirror of
Indonesia society atau rechtbewustzijn masyarakat Indonesia. Almarhum
Prof. Sudirman Kartohadiprodjo mengajarkan mahasiswanya (termasuk
Penulis) ungkapan Jawa “ora sanak, ora kadang, yen mati melu
kenangan”. Bukan sanak bukan kerabat kalau meninggal ikut (merasa)
kehilangan. Itula esensi paham kekeluargaan yang membedakan dari
paham individulisme.45)
D. Kewenangan melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik oleh
tersangka dikaitkan dengan azas praduga tak bersalah .
Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk
dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau
ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum.
Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari
45)
Ibid 42
65
kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli
oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum. Pengertian
negara hukum dalam arti materiil tidak hanya melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus
memajukan kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa. Pembangunan
hukum yang bersifat nasional seperti hukum acara pidana dilandasi oleh
motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya,
menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta agar masyarakat
mendapatkan suatu kepastian hukum.
Selanjutnya dari kepastian hukum tersebut dapat ditunjang dengan
berfungsinya hukum itu sendiri sebagaimana mestinya. Adapun tujuan
dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
66
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.46)
Untuk menegakkan hukum pidana materiil maka bagi pelanggar
peraturan hukum harus dijatuhi pidana atau pemidanaan. Untuk keperluan
tersebut maka dibentuk suatu hukum pidana formil atau hukum acara
pidana yang dalam pelaksanaannya tetap harus melindungi hak-hak asasi
tersangka dan terdakwa seperti yang dikehendaki dalam undang-undang.
Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam undang-
undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama,
namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka
atau tertuduh atau terdakwalah yang merupakan tujuan yang utama.47)
Dengan begitu pada akhirnya hukum yang dijalani dapat
meningkatkan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Demikian halnya Indonesia, sebagai negara hukum selalu berupaya untuk
memenuhi persyaratan-persyaratan agar menjadi negara yang menjunjung
tinggi hukum yang sebenar-benarnya. Sebagai bukti dari pernyataan ini
adalah dianutnya asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
46) Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
1987. Hal. 18.
47) Rangga Maindra. Jaminan Penangguhan Penahanan Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Pidana. dalam http: //one.indoskrip.com/judul--skripsi/ilmuhukum/jaminan-penangguhan-penahanan-
dalam-proses-penyelesaian-perkara-pidana. Diakses tanggal 14 Nopember 2011
67
undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Moeljatno menyatakan dari
bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan
seseorang dapat dipidana apabila:
a. Tidak ada perbuatan dan diancam pidana jika perbuatan itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
c. Aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut.48)
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa hukum acara
pidana merupakan suatu proses atau prosedur atau tata cara yang harus
dilakukan atau diterapkan oleh aparat penegak hukum manakala
disangka terjadi suatu tindak pidana. Hal ini mengandung suatu
konsekuensi logis bahwa norma yang diatur oleh hukum acara pidana
merupakan norma kewenangan (bevoegdheidsnormen).
Dengan demikian bagian terbesar KUHAP adalah tentang
wewenang dan penggunaan wewenang. Pengaturan wewenang dan
48)
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2005. Hal. 34.
68
penggunaan wewenang, tidaklah semata-mata soal pembagian
wewenang kepada berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan
perkara pidana, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, namun
yang paling penting di sini ialah di satu sisi norma itu membatasi
penggunaan wewenang tersebut di sisi yang lain dengan pembatasan
tersebut hak-hak tersangka/terdakwa dilindungi.49)
Dalam azas praduga tak bersalah, jelas tersangka boleh atau
berwenang untuk melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik atas
dirinya. Menurut Bagir Manan menjelaskan bahwa penegakan hukum
atau “law enforcement” sebagai salah satu aspek penerapan hukum.
Penerapan hukum adalah fungsi atau “mempertahankan hukum
(handhaving van het recht) agar hukum ditaati, berjalan atau dijalankan
sebagai mestinya” penegakan hukum merupakan reaksi atas suatu
peristiwa yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum/ Reaksi ini
dapat negative atau positif 50)
. Maka penegakan hukum setidak-tidaknya
dipengaruhi oleh berbagai ketentuan antara lain. 1) Kaidah hukum atau
peraturan itu sendiri. 2) Petugas yang menegakkan hukum. 3) Fasilitas
49)
Philipus Mandiri Hadjon, Norma Hukum sebagai Norma Kewenangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam rangka Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
(Tersangka/Terdakwa), dalam Dwi Windu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana): Problematika Penegakan Hukumnya, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Januari
1998, h. 22
50) Op, Cit
69
yang diharapkan dapat mendukung penegakan hukum. 4) Warga
masyarakat yang terkena ruang lingkup pelaksanaan kaidah hukum dan
birokrasinya.
Di dalam pengejaran tersangka terorisme yang dilakukan oleh
Pasukan khusus kepolisian di beberapa daerah, dimana tersangka yang
diduga terorisme kerap mendapatkan perlakukan atau kekerasan fisik
yang disebabkan tindakan kesewenang-wenangan aparatur negara
terhadap tersangaka.Tindakan over yang selalu dipertontonkan di dalam
penangkapan beberapa tersangka, telah jelas menciptakan keadaan yang
tidak menyenagkan bagi tersangka dimana dalam sisi penegakan hukum
tentunya hal ini sangatlah bertentangan dengan azas Praduga Tak
Bersalah (Presumption of innocent) didalam penjelasan umum pasal 3
huruf c. dan dirumuskan didalam pasal 8 Undang-undang Pokok
kehakiman No. 14 1970 “setiap orang yang diduga, disangka ,
ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,
wajib diangap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilanyang
menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” Azas
praduga tidak bersalah ditinjau dari segi teknik yuridis atau dari segi
70
teknik penyidikan dinamakan “prinsip akusitoir “yakni menepati
kedudukan tersangka dalam seriap tingkatan pemeriksaan 51).
1. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu
tersangka daris didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan
manusia yang mempuntao harkat martabat dan harga diri.
2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam perinsip akusutoir adalah
“kesalahan tindak pidana” yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Selain permasalahan azas diatas perlu dianggap seris didalam
proses penahanan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang
merupakan bagian yang esensial, dengan sendirinya menyangkut nilai
dan makna antara lain:
1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan.
2. Menyangkut nilai-nilai prikemanusian dan harkat martabar
kemanusian.
3. Juga menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri
pribadi atau tegasnya setiap penahanan degan sendirinya
51) M. Yahya Harap, SH, Pembahasan dan penerapan KUHAP penyudikan dan tuntutan,
edisi kedua cet 10, cet Sinar Grafika, 2008, hal 40
71
menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebahagian
hak-hak azasi manusia.
Permasalan penahanan tertuang di dalam Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme tentang batas penahanan
seseorang yang diduga tersangka terorisme.
Dari azas yang dianut oleh undang-undang kita jika dikaitkan
dengan deklerasi Universal Hak Azasi Manusia tahun 1984, pasal 11
ayat 1 :
”Seseorang yang didakwa melakukan pelanggaran pidana
berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
menurut hukum dalam suatu sidang pengadilan terbuka dimana ia
memperoleh semua jaminan yang diperlukan bagi pembelaan dirinya” .
Dalam Pasal 12 :
“tak seorang pun boleh dikenai ontervensi sewenang-wenang
terhadap privasi keluarga, rumah atau korespondensinya juga
serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya.Setiap orang berhak
atas perlindungan hukum dari intervensi dan serangan semacam itu”.52)
52)
Declaration human right, 1984 dalam pasal 11 ayat 1
72
Perlindungan terhadap saksi korban pada saat diberitakan oleh
media baik cetak maupun elektronik sudah berjalan dengan cukup baik.
namun, kenyataannya berbeda karena kurangnya pengetahuan atau
tingkat sumber daya manusia masih rendah sehingga membuat korban
selalu dirugikan dan korban merasa asas kebebasan pers dan haknya
telah dilanggar dan dengan tidak bertanggung jawabnya pihak media
maka seringkali kasus ini diabaikan.
Untuk itu diperlukan kordinasi yang baik antara saksi korban dan
pelaku media agar terjadi suatu kesinambungan. Dan hendaknya pelaku
media melakukan cek dan ricek terhadap sumber berita dalam hal ini
saksi korban. Caranya adalah nama disamarkan (inisial), untuk media
televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua
organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hak-
hak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika
mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa
kejahatan seksual.
73
BAB IV
PENUTUP
Dari uraian – uraian diatas dan pembahasan bab - bab terdahulu, maka
penulis dapat memperoleh kesimpulan serta dapat memberikan saran – saran
sebagai berikut :
A. Simpulan
1. Perlindungan korban kejahatan seksual berkaitan dengan pemberitaan
oleh media massa adalah dengan cara nama disamarkan (inisial), untuk
media televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua
organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hak-
hak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika
mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa
kejahatan seksual.
2. Ukuran untuk pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggung jawab itu
adalah suatu informasi yang benar (peristiwa yang benar bukan opini)
tidak direkayasa, harus dilakukan dengan pihak lain (croschek).
74
B. Saran
Berdasarkan hal-hal di atas, kami ingin menyampaikan saran kepada
para professional yang memegang peranan yang berbeda yang telah
disebutkan:
- Merekomendasikan juga kepada polisi untuk melindungi dan menjamin
hak korban dan mengambil tindakan seperlunya untuk melindungi hak
korban mengenai kerahasiaan.
- Untuk pelaku media diharapkan dalam memberikan informasi harus
jelas lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan serta menghormati
hak-hak korban.