Skripsi Mengenai UU Pers

74
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam website kompasiana.com ditulis bahwa Unit Dukungan Pelayanan bagi Korban (Victim Support Service-VSS) dari Judicial System Monitoring Programme (JSMP) melayangkan sebuah surat kepada Press Club untuk menyampaikan keprihatinan mengenai perlakukan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya bagi anak korban kekerasan seksual. Dalam kaitannya dengan pemberitaan lebih lanjut ditulis oleh website tersebut bahwa penulis bermaksud untuk mendukung dan menambah analisis mengenai isi dari surat tersebut untuk memberikan saran mengenai praktek yang baik untuk melindungi hak setiap orang, terlebih kasus-kasus yang sensitif dan kontraversial. 1) Dalam kaitannya dengan berbagai berita mengenai kasus pelecehan seksual di Muara Enim. Peliputan ini termasuk cerita panjang mengenai korban pelecehan seksual yang usianya masih dibawah umur yang ditunjukkan gambarnya dengan tidak jelas, namun kemudian kamera 1) <http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/13/jsmp-victimsupport / diakses 23 Agustus 2011.

description

ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM MELINDUNGITERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANASEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS

Transcript of Skripsi Mengenai UU Pers

Page 1: Skripsi Mengenai UU Pers

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam website kompasiana.com ditulis bahwa Unit Dukungan

Pelayanan bagi Korban (Victim Support Service-VSS) dari Judicial System

Monitoring Programme (JSMP) melayangkan sebuah surat kepada Press

Club untuk menyampaikan keprihatinan mengenai perlakukan terhadap

anak yang menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), khususnya

bagi anak korban kekerasan seksual. Dalam kaitannya dengan pemberitaan

lebih lanjut ditulis oleh website tersebut bahwa penulis bermaksud untuk

mendukung dan menambah analisis mengenai isi dari surat tersebut untuk

memberikan saran mengenai praktek yang baik untuk melindungi hak

setiap orang, terlebih kasus-kasus yang sensitif dan kontraversial.1)

Dalam kaitannya dengan berbagai berita mengenai kasus pelecehan

seksual di Muara Enim. Peliputan ini termasuk cerita panjang mengenai

korban pelecehan seksual yang usianya masih dibawah umur yang

ditunjukkan gambarnya dengan tidak jelas, namun kemudian kamera

1)

<http://edukasi.kompasiana.com/2010/02/13/jsmp-victimsupport / diakses 23 Agustus

2011.

Page 2: Skripsi Mengenai UU Pers

2

diambil dari dekat yang membuat mukanya semakin jelas, sedang duduk di

tempat tidur di Rumah Sakit. 2)

Peliputan ini termasuk melakukan wawancara dengan bapaknya

korban mengenai apa yang telah terjadi. Seperti yang dijelaskan dalam

suratnya, peliputan seperti ini telah melanggar hukum nasional dan

internasional yang melindunggi korban, hak anak dan hak tersangka.

Cerita lain disebarkan melalui radio swasta (radio serasan FM) yang

tidak disebut namanya pada tanggal 25 Agustus 2010, menyebarkan satu

kasus pelecehan, memberikan rincian umur korban, hubungannya dengan

tersangka, sub distrik dari korban, dan tempat tinggal pada waktu itu.

Informasi tersebut membuat korban teridentifikasi dengan jelas , meskipun

tidak menyebutkan nama, kerahasiaanya telah dilanggar oleh jurnalis. Dua

cerita ini sebagai contoh yang memunculkan pertanyaan mengenai hak

individu atas kerahasiaan harus dilindunggi. Judicial System Monitoring

Programme (JSMP) percaya bahwa untuk menjamin hak-hak tersebut

dihormati sepantasnya; berbagai aktor memiliki kewajiban untuk

mematuhinya.

2)

<http://muaraenim.com.pers/2011/08/13/kasuspelecehan seksual / diakses 23 Agustus

2011.

Page 3: Skripsi Mengenai UU Pers

3

Dari materi yang dikandungnya, Undang - Undang No. 40 Tahun

1999 Tentang Pers sebenarnya telah menjamin kebebasan pers dalam

memberitakan suatu peristiwa dan menyampaikan informasi sebagai hak

asasi warga negara. Undang-Undang ini juga dengan tegas menolak

sejumlah ancaman eksternal terhadap kebebasan pers, khususnya :

1. Penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 2);

2. Tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan

hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan

dan informasi (Pasal 4 ayat 3).

Kepada siapa saja yang melakukan menghambat terhadap pers,

diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda

paling banyak Rp 500 juta, hal itu diatur dalam pasal 18 ayat (1) Undang -

undang tersebut. Sementara itu, bagi perusahaan pers yang melanggar Pasal

5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 13, diancam pidana denda paling banyak Rp

500 juta, hal itu diatur dalam Pasal 18 ayat (2).

Selain melindungi kebebasan pers, asas tanggung jawab

(responsibility) media terhadap publik juga dikandung oleh Undang -

undang Pers ini. Dalam kegiatan pemberitaan oleh pers tersebut berpotensi

Page 4: Skripsi Mengenai UU Pers

4

menimbulkan kekeliruan yang merugikan orang yang diberitakan.

Bagaimanapun ketika persoalan ini terjadi, bukan berarti pers dapat bebas

lepas dari pertanggungjawaban atas kekeliruan yang dilakukannya. Karena

pers diwajibkan menyelesaikan persoalan ini sesuai ketentuan yang

diperuntukkan kepada pers. Ketika kerugian atas nama baik terjadi akibat

karya jurnalistik, masyarakat berhak menuntut pers untuk

mempertanggungjawabkannya. Dan persoalan jurnalistik diselesaikan

dengan mekanisme jurnalistik, berupa Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai

Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Karena itulah, UU Pers

membatasi kebebasan pers dengan beberapa kewajiban hukum, antara lain:

1. Memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma

agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah

(Pasal 5 ayat 1);

2. Melayani hak jawab (Pasal 5 ayat 2), hak seseorang atau sekelompok

orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap

pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya (Pasal 1 ayat

11);

3. Melayani hak koreksi (Pasal 5 ayat 3), hak setiap orang untuk

mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan

Page 5: Skripsi Mengenai UU Pers

5

oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Pasal 1 ayat

12). Dalam praktiknya, beberapa media juga menggunakan lembaga

mediator sendiri untuk persoalan yang diakibatkan karya jurnalistik,

yakni ombusdman. Ombusdman yang akan membantu penyelesaian

persoalan akibat pemberitaan dengan muaranya adalah dikeluarkan

hakjawab dan hak koreksi oleh media yang dituduh bersalah.3)

4. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,

akurat dan benar (Pasal 6 ayat c);

5. (Wartawan) memiliki dan menaati kode etik (Pasal 7 ayat 2).

Jelas bahwa Undang–Undang (UU No. 40 Tahun 1999), harus sesuai

dengan penerapan asas praduga tidak bersalah di dunia pers, sudah sejak

lama menjadi perhatian dan perdebatan, baik di kalangan hukum maupun di

antara insan pers sendiri. Meskipun begitu, sampai sekarang perdebatan

tersebut belum mencapai suatu titik temu. Perdebatan sudah mulai terjadi

bagaimana pasal-pasal dalam konstitusi (Undang-undang Dasar 1945)

harus ditafsirkan dalam kaitannya dengan penerapan asas praduga tidak

bersalah dalam bidang pers. Perdebatan itu terus berlanjut sampai pada

tataran tafsir bagaimana peraturan perundang-undangan tentang asas

praduga tidak bersalah harus diterapkan di bidang pers, dan bahkan teknis

3)

http://bincangmedia.wordpress.com/tag/hak-jawab/ diakses 28 November 2011

Page 6: Skripsi Mengenai UU Pers

6

pelaksanaannya dalam pemberitaan. Untuk mencari, memperoleh,

mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang

tersedia sesuai Pasal 28F UUD 1945, :

”Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta

berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia.”. 4)

Dalam kaitannya dengan informasi ini undang – undang pers

menentukan;5)

1. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya

supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati

kebhinekaan ;

2. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,

akurat, dan benar;

3. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kepentingan umum;

4. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

4)

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bandung, Tim Redaksi Visi Media

Pustaka Utama, 2010

5)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Pasal 6)

Page 7: Skripsi Mengenai UU Pers

7

Apakah hal tesebut diatas dapat dilaksanakan, Oleh karena itulah

menurut penulis sangatlah menarik untuk ditelusuri, diteliti lebih jauh dan

ditulis dalam bentuk skripsi mengenai :

“ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI

TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA

SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS”.

B. Permasalahan

Untuk memperjelas dan mempermudah dalam analisa data yang

diperlukan, maka dengan segala pertimbangan dan tujuan yang akan

dicapai yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini

adalah :

1) Bagaimanakah perlindungan terhadap saksi korban dikaitkan dengan

pemberitaan pers yang menyangkut dirinya?

2) Dikaitkan dengan asas kebebasan pers, apa ukuran untuk

mengatakan suatu berita telah melanggar prinsip kebebasan pers

yang bertanggung jawab?

Page 8: Skripsi Mengenai UU Pers

8

3) Apakah tindakan memberi ralat berita yang keliru dapat melepaskan

pelaku dari ancaman hukuman ?

4) Dapatkah pelaku tindak pidana maupun korban melaporkan

wartawan yang memberitakan tersebut sebagai pelaku pencemaran

nama baik dikaitkan dengan asas praduga tak bersalah ?

C. Ruang Lingkup dan tujuan Penelitian.

1. Ruang Lingkup

Pembahasan skripsi ini berkaitan dengan Undang-Undang No.40

Tahun 1999 tentang Pers, undang – undang tentang HAM (undang –

undang No. 39 Tahun 1999) dan KUHPidana

Selain itu untuk membatasi objek penelitian maka dalam hal ini

penulis hanya akan melakukan penelitian hanya terbatas pada undang –

undang tersebut saja.

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk memperoleh informasi tentang ukuran kebebasan pers yang

bertanggung jawab.

b. Untuk memperoleh informasi tentang perlindungan terhadap saksi

korban yang diberitakan oleh pers.

c. Penegakan asas praduga tak bersalah.

Page 9: Skripsi Mengenai UU Pers

9

D. Metodelogi.

Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini

metodologi yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

bersifat normatif, yaitu jenis penelitian yang meliputi penelitian

terhadap asas – asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi

hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat

eksploratoris dalam hal ini penelitian melakukan penelitian terhadap

asas praduga tak bersalah, kebebasan pers dan HAM dilakukannya

penelitian ini adalah untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan

data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Penelitian ini tidak

didahului teori - teori yang sudah ada

2. Jenis dan Sumber Data

a ) Jenis Data

Page 10: Skripsi Mengenai UU Pers

10

Data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder.

1) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan

(library Research)

b) Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini yaitu :

1. Data sekunder yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari

penelitian Kepustakaan ( library research ) yang berupa :

a) Bahan hukum primer yaitu Undang-undang, Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Presiden.

b) Bahan hukum sekunder yaitu data yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berbentuk

buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan penelitian dan

berbagai makalah, hasil seminar, majalah jurnal ilmiah dan

surat kabar yang berkaitan dengan penelitian.

c) Bahan hukum tersier (penunjang) yaitu bahan-bahan yang

memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Tehnik Pengumpulan Data

a. Data Sekunder

Page 11: Skripsi Mengenai UU Pers

11

Data sekunder, yaitu tehnik pengumpulan data yang diperoleh dari

penelitian Kepustakaan (Library Research) yang relevan dengan

pokok permasalahan.

3. Tehnik Analisa Data

Tehnik analisa data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam

penelitian akan dianalisa secara kualitatif, penelitian ini akan

menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dan dipelajari sebagai

suatu yang utuh. Untuk selanjutnya di tarik suatu kesimpulan.

Page 12: Skripsi Mengenai UU Pers

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian HAM

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri

setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan

tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik

kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-

bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.6)

Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang

berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang

mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM.

Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum

terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di

Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham

di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat

menuju Belanda dari Indonesia.

6)

Undang – Undang HAM Tahun 2009 (UU No.35 Tahun 2009) Jakarta, Tim Visimedia

Pustaka Newsroom, November : 2009

Page 13: Skripsi Mengenai UU Pers

13

Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :

1. Hak asasi pribadi / Personal Right :

- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pindah

tempat.

- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.

- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan.

- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama

dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2. Hak asasi politik / Political Right :

- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.

- Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.

- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi

politik lainnya.

- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right :

- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan

- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns.

- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

Page 14: Skripsi Mengenai UU Pers

14

4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths :

- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.

- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak.

- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-

piutang, dll.

- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu.

- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights :

- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan.

- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan,

penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right :

- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan.

- Hak mendapatkan pengajaran.

- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan

minat.

Dalam pasal 18 Konstitusi memberikan perlindungan khusus

kepada anak-anak dari keluarga, masyarakat dan Negara termasuk untuk

tidak mendapatkan diskriminasi dan eksploitasi. Selain itu, semua hak-

Page 15: Skripsi Mengenai UU Pers

15

hak fundamental harus konsisten dengan Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (DUHAM) dan kewajiban internasional Timor Leste melalui

ratifikasi dan pengesahan kesepatakan-kesepakatan internasional.

DUHAM menjamin peradilan yang adil (pasal 10), menjamin praduga

tak bersalah (pasal 11) dan perlindungan dari intervensi sewenang-

wenang terhadap kerahasiaan, keluarga, dalam rumah tangga dan

serangan terhadap martabat dan reputasi (pasal 12). Peliputan yang

negatif dari pers yang disebabkan oleh kesalahan pengambilan,

mengidentifikasi korban, dapat dianggap tidak adil karena merusak

reputasinya dalam masyarakat, secara jelas telah melanggar beberapa

pasal dalam DUHAM. Konvensi internasional mengenai Hak Anak

yang telah diratifikasi oleh Timor Leste dan mengikat kita untuk

mematuhi atau melaksanakannya, meminta Negara untuk melindunggi

hak-hak dari anak. Terlebih, sesuai dengan pasal 2(2) mengatur bahwa

Negara harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk melindunggi

anak-anak terhadap semua bentuk diskriminasi atau penahanan yang

didasarkan pada status, kegiatan, kebebasan berpendapat, atau

keyakinan dari orangtua anak-anak, perwakilan hukum, atau anggota

keluarga”. Pasal 3 (1) mengatur bahwa semua tindakan mengenai anak,

baik dilakukan oleh institusi sosial publik atau swasta, pengadilan,

Page 16: Skripsi Mengenai UU Pers

16

otoritas administratif, atau badan legislasi lainnya, kepentingan terbaik

bagi anak harus menjadi pertimbangan utama: hal ini termasuk media,

medis/professional kesehatan, pengacara, polisi dan masyarakat madani.

Khususnya, kasus kekerasan seksual dalam keluarga, penerbitan

gambar dari anggota keluarga dan/atau korban dan informasi yang

memberi peluang untuk dapat mengidentifikasi keluarga, secara jelas

melanggar konvensi ini. Kejahatan tersebut juga memiliki stigma dalam

masyarakat, oleh karenanya ketika teridentifikasi, korban dapat

mengurung diri untuk beberapa tahun, termasuk ketika ingin

mendapatkan suami atau memutuskan membentuk keluarga di masa

mendatang.

B. Pengertian Pers dan Pengaturan Kebebasan Pers

Istilah “Pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa

Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara

maknawia berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak

(printed publication).7)

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua

pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian

sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi

7)

http://wawan-satu.blogspot.com/2011/10/pengertian-pers.html diakses 28 Maret 2011

Page 17: Skripsi Mengenai UU Pers

17

massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/

menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang

atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah

jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian

sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati

proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah

tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak. 8)

Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan

medium komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai

lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari

masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisah

daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya. 9)

Pers adalah kegiatan yang berhubungan dengan media dan

masyarkat luas. Kegiatan tersebut mengacu pada kegiatan jurnalistik yang

8)

http://duniabaca.com/sejarah-pers-pengertian-pers-fungsi-dan-peranan-pers-di-

indonesia.html

9)

Ibid

Page 18: Skripsi Mengenai UU Pers

18

sifatnya mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah materi, dan

menerbitkannya berdasarkan sumber-sumber yang terpercaya dan valid.10)

Pengertian Pers Menurut Para Ahli :

• Wilbur Schramm, dkk dalam bukunya “Four Theories of the Press”

mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the

libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory.

Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai

pengamat, guru dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang

banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.

• Sementara Mc. Luhan menuliskan dalam bukunya Understanding

Media terbitan tahun 1996 mengenai pers sebagai the extended of man,

yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan

peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.

• Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, Pers adalah

yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar.

Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam

memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia pada masa penjajahan

belanda.11)

B.1 Pengaturan Hukum (Peraturan) Terhadap Kebebasan PERS

1. Sumber Hukum Fundamental

Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah

kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental12)

, ketentuan-

ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek

mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis

10) Ibid hal 16

11) Ibid Hal 16

12)

Menurut Hans Nawiasky seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman.

Page 19: Skripsi Mengenai UU Pers

19

seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan

pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi,

kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum

fundamental tersebut adalah sebagai berikut :

a. UUD 1945;

b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan

Pendapat di Muka Umum;

e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General

Declaration on Human Rights).

Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-

Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum

tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah,

semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal

28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

Page 20: Skripsi Mengenai UU Pers

20

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-undang.”13)

Menurut Wikrama Iryans Abidin Secara eksplisit pasal tersebut

tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses

lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud

dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan

adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.14)

Selanjutnya penulis ini untuk mempertegas kelemahan pasal 28

UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers,

maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan

amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak

untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran

yang tersedia.”

Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat

ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk

13)

Lihat UUD 1945

14)

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005,

hal.39 50 Lihat UUD 1945 Amandemen ke-2

Page 21: Skripsi Mengenai UU Pers

21

berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah,

dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama

halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang

merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis

dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak

menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan

kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945

tersebut.15)

Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan

ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan

Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas

kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini

termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari,

menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa

saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak

Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal

21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan

elemen : 16)

15)

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005 hal.40

16)

Ibid, hal.53

Page 22: Skripsi Mengenai UU Pers

22

a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang

berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini

mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi

Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh

informasi.

b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang

berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran

yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan

ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB.

c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Hak warga

negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan

dilindungi.”

Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak

berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan

perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya

berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari

gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Page 23: Skripsi Mengenai UU Pers

23

Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur

media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan

terh Undang-Undang No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat

digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi

lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa

pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau

kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan

demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke

dalam dasar-dasar hukum media.17)

Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai

bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang

penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa

Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-

kesepakatan tentang Hak Asasi Manusia di dunia internasional,

khususnya sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

17)

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156

Page 24: Skripsi Mengenai UU Pers

24

2. Sumber Hukum Fungsional

Dalam Banyaknya literatur disebutkan Sumber hukum fungsional

adalah berlakunya peraturan perundang-undangan untuk menjadi

kepastian hukum untuk media massa yang berisi peraturan

perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan

atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi

tentang teknis operasional media massa, yaitu Undang-undang Pers

(UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers

ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang

menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :

18)

a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan

unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat

pasal 28 UUD 1945;

b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari

kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan,

merupakan hak asasi manusia;

c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

18)

Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers

Page 25: Skripsi Mengenai UU Pers

25

d. Undang-Undang No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya

SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena

menghambat kemerdekaan pers.

Ada beberapa persamaan antara Undang-Undang No. 40 Tahun

1999 dan Undang-Undang No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang

tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama

memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan

kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan,

jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan

pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang

sebelumnya mendera kehidupan pers.19)

Misalnya, kedua produk hukum itu sama-sama mencabut

ketentuan tentang :

a. sensor dan pemberedelan pers;

b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP;

c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik;

d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak

euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya

19)

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56

Page 26: Skripsi Mengenai UU Pers

26

dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan

membahayakan kepentingan politik penguasa.

3. Sumber Hukum Stuktural

Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan

masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang

media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak

bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung,

seperti :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena

hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah

pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang

pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah

ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka

digolongkan dalam hukum media massa structural.

Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai

tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka

Page 27: Skripsi Mengenai UU Pers

27

umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia

(pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap

golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik

(pasal 156 ayat 2 KUHP). Adapun bunyi pasal 156 yang sering

disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum

menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan

terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia,

diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan

golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat

Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian

lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau

kedudukannya menurut hukum tata negara”. 20)

Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian

Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun

1946, ketentuan haatzaai-artikelen itu berlaku di Indonesia

bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah

menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam

20)

http://www.suarapembaruan.com/News/2011/10/23/Editor/edit02.html, diakses pada hari

Kamis, 23 Oktober 2011, pukul 14.35 WIB

Page 28: Skripsi Mengenai UU Pers

28

sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana,

antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak

sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal

kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara.

Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers

dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap

kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini

kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310

ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP),

fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP,

pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318

KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai

media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut

ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media

Page 29: Skripsi Mengenai UU Pers

29

massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan

1372 KUH Perdata.21)

Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang

membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan perdata tentang

hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta

pemulihan kehormatan dan nama baik”.

Pada Era Reformasi era politik di bawah kepemimpinan Soeharto

itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru.

Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan

Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan

Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di

Indonesia.

Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk

hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11

Tahun 1966 yang mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada

periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik

21) Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya,

Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84

Page 30: Skripsi Mengenai UU Pers

30

kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu

ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari

yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.

Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari

segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media

cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada

peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun

kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari

menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah

situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi,

namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-

pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah. Lebih dari 10 tahun

Undang-Undang Pokok Pers itu kemudian diubah dengan Undang-

Undang No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada

ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin

Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu

Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di

dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola

pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi

Page 31: Skripsi Mengenai UU Pers

31

masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya

SIUPP.

Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang No.21 Tahun 1982 berbunyi

bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus

memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya

menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan

No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan

SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan

kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama

bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan. Meskipun

Permenpen ini dinggap bertentangan dengan Undang-Undang Pers,

namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun

1998.

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21

Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan

perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan

berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah

satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya

dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.

Page 32: Skripsi Mengenai UU Pers

32

Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers

pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala

awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku

UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada

kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers

pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu

konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam

hal :

a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum

pers represif ke arah produk hukum responsif;

b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi;

c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal;

d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis.

Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun

berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi

yang membawa akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada

sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi

kebebasan pers yang mengedepan berupa tuntutan untuk kebebasan pers

Page 33: Skripsi Mengenai UU Pers

33

yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah. Tuntutan ini melahirkan

Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

B.2 Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan Prinsip

Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama Amandemen

Kedua yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000 oleh Sidang Tahunan

MPR-RI mengandung arti yang sangat penting dan strategis bagi

peningkatan efektivitas peran pers dalam menunjang dan pemajuan

serta perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Seperti diketahui,

sebelum amandemen dilakukan, UUD 1945 tidak secara rinci memuat

tentang HAM bahkan boleh dibilang sangat sumir. Akan tetapi dengan

ditetapkannya secara lebih rinci prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945

pada Sidang Tahunan MPR 2000 akan sangat membantu pers dalam

melakukan pengawasan serta penegakan, termasuk pencegahan

pelanggaran HAM.22)

Konstitusi kita kini mengatur prinsip-prinsip HAM dalam Bab

tersendiri sebagai akibat Amandemen Kedua UUD 1945 tersebut. Ada

22)

R.H.Siregar, Efektivitas Peran Pers dalam Menunjang Perlindungan dan Pemajuan

HAM,http://www.google.co.id/search?q=efektivitas+peran+pers+dalam+menunjang+ham&btnG=Telu

suri&hl=id&sa=2, diakses pada hari Selasa 20 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB

Page 34: Skripsi Mengenai UU Pers

34

sebanyak 10 pasal mengatur mengenai masalah HAM dengan 24 ayat.

Dalam ke 10 pasal itu (Pasal 28A hingga Pasal 28J) diatur secara rinci

dan jelas prinsip-prinsip HAM. Rumusan pasal-pasalnya begitu jelas

dan tuntas sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat meminimalisasi

multiinterpretasi. Rumusan yang lebih rinci dan jelas mengenai HAM

seperti itu, tentunya akan sangat membantu peran pers dalam

menunjang pemajuan dan perlindungan HAM, sebab dengan rumusan

yang lebih rinci dan jelas seperti itu, pers dengan mudah dapat

mengenali mana tindakan serta kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai

HAM dan mana tindakan serta kebijakan yang tidak menunjang dan

menghormati HAM dan oleh karena itu harus dikritisi serta dikoreksi

pers.

Rumusan HAM yang lebih rinci dan jelas tersebut, maka

diharapkan peran pers untuk menunjang pemajuan dan perlindungan

HAM akan lebih efektif. Sekaligus dengan rumusan HAM yang lebih

rinci, jelas dan lengkap seperti itu akan sangat membantu peran pers

dalam melakukan sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat

mengenai nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, juga secara preventif lebih

mampu mengefektifkan peran pers mencegah terjadinya pelanggaran

hukum. Pada sisi lain fungsi kontrol pers dalam menegakkan hukum

Page 35: Skripsi Mengenai UU Pers

35

atas pelanggaran HAM dapat berjalan lebih baik. Undang-Undang

No.40 Tahun 1999 tentang Pers juga telah memposisikan peran pers

secara lebih baik dalam menegakkan HAM. Undang-Undang Pers itu

dengan tegas mengatakan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai

hak asasi warga negara. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers

tersebut, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan

menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang

bukan semata-mata monopoli dan milik orang pers. Kemerdekaan pers

adalah milik masyarakat berdaulat yang dalam pelaksanaannya

diperankan oleh Perusahaan Pers dan Wartawan. Apakah yang

dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga

negara ?” Undang-Undang Pers memberikan jawaban yang sangat

tegas. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara

mengandung arti bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan,

pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh

informasi terjamin.

Kemerdekaan Pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran

akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh

Page 36: Skripsi Mengenai UU Pers

36

pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode

Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.

Undang-Undang Pers menyatakan bahwa dalam upaya

mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers

nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, yang tujannya adalah

untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas

serta kuantitas Pers Nasional. 94 Oleh karena itu Undang-Undang Pers

memberikan 7 fungsi sekaligus kepada Dewan Pers. Pertama,

melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Kedua,

melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Ketiga,

menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Keempat, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian

pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan

pemberitaan pers. Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat ini

adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan

pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kelima, mengembangkan

komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Keenam,

memfasilitasi organisasi-organsasi pers dalam menyusun peraturan-

peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi

kewartawanan. Ketuju, mendata Perusahaan Pers.

Page 37: Skripsi Mengenai UU Pers

37

Selain itu Undang-Undang Pers menegaskan pula bahwa pers

harus selalu berkomitmen pada pelaksanaan lima fungsi yang utuh,

yaitu :

1. fungsi sebagai media informasi

2. fungsi sebagai media pendidikan

3. fungsi sebagai media hiburan

4. fungsi sebagai media kontrol sosial

5. fungsi sebagai lembaga ekonomi Kemerdekaan pers sehubungan

dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat haruslah diimbangi

dengan eksistensi hak untuk berbeda pendapat.

Hal ini sejalan dengan semakin transparansinya era keterbukaan,

kian deras pula tuntutan untuk pemenuhan hak asasi baik yang bersifat

individual maupun hak yang bersifat sosial. Di antara hak sosial yang

bersifat asasi itu adalah hak untuk berbeda pendapat. Hak untuk berbeda

pendapat termasuk hak yang amat penting. Oleh karena itu dibutuhkan

adanya legalitas dalam bentuk peraturan yang secara eksplisit juga

merefleksikan hak ini. Secara sederhana, pengakuan adanya hak untuk

berbeda pendapat ini mengharuskan pihak pemegang kekuasaan

Page 38: Skripsi Mengenai UU Pers

38

khususnya untuk membuka diri dan siap menerima berbagai masukan,

konkretnya adalah kritik dari pihak lain. Hendaknya kritik yang

disampaikan tidak diartikan sebagai upaya perorangan terhadap

kewibawaan dan kemapanan. Memang ada kecerendungan untuk tidak

bersikap represif terhadap berbagai kritik yang dilontarkan. Hal ini

kiranya dapat dijadikan sebagai momentum yang dipertahankan dengan

catatan bahwa hendaknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab.

Untuk itulah, pada era demokrasi dan demokratisasi yang menuntut

lebih banyak keterbukaan, kritik, sumbang saran atau apa pun namanya

amat diperlukan sebagai refleksi dari hak untuk berbeda pendapat ini,

dan juga bukan sesuatu yang dianggap memusuhi. Pers adalah wadah

perbedaan pendapat secara tertulis.

Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum

yang menjamin kemerdekaan pers, namun ancaman terhadap

kemerdekaan pers tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa

berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak

paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu

justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat

proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui pengadilan.

Page 39: Skripsi Mengenai UU Pers

39

Di sisi lain, Mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman

pers lewat kekerasan terus terjadi. Tuntutan dan gugatan hukum

terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan

menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama baik, baik

menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.23)

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran

nama baik dalam KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk

digunakan secara berlebihan dan ini malah akan menghambat

demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak

masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan

pencemaran nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik

akan menimbulkan bahaya ketidakpastian hukum karena berpotensi

tinggi akan memidanakan jurnalis karena pencemaran nama baik.

Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP bisa sangat tidak

obyektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi tidak

berdasar.

Tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang

tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara

23)

http://anggara.org/2011/11/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik-catatan-

dalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB

Page 40: Skripsi Mengenai UU Pers

40

berdasarkan hukum. Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk

pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah

membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam

Undang-Undang Pers harus didahulukan dari pada ketentuan hukum

yang lain.

C. Sosok Pers yang Profesional, Bebas, dan Bertanggung Jawab

Ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers

Ada dua prinsip yang mendasar menurut filsafat jurnalistik, yaitu

publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus

diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu

memang dibutuhkan oleh publik. Oleh karena itu, jurnalistik

memerlukan jaminan kebebasan. Ketika jurnalistik memperoleh

jaminan kebebasan terbukalah jalan yang lapang untuk melaksanakan

sejumlah tugasnya.24)

Tugas pertama jurnalistik (pers) adalah untuk menerima

keterangan-keterangan yang sifatnya paling lekas dan yang paling tepat

tentang kejadian-kejadian pada waktu tertentu, dan kemudian dengan

24)

A.Muis, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, PT.Dharu Anuttama, Jakarta, 1999,

hal.30

Page 41: Skripsi Mengenai UU Pers

41

segera pula memberitakannya guna menjadikan peristiwa-peristiwa itu

sebagai milik bangsa di mana pers itu berada.

Pers juga harus bersifat akurat. Upaya untuk bertindak akurat dan

adil adalah tolak ukur untuk memahami watak jurnalistik yang baik.

Kewajiban selanjutnya adalah pers harus berkata benar. Watak yang

baik tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan.

Jurnalistik adalah sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami

perubahan dalam berhubungan dengan publik. Mudahnya terjadi

pergeseran demikian adalah masalah yang menuntut keputusan yang

cepat dari jurnalistik. Seterusnya, pers harus bertanggung jawab kepada

publik, sebab pers adalah lembaga publik. Pers harus memikul

kewajiban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan yang juga

mendukung keberadaannya. Pers harus mengindahkan kesopanan.

Tidak hanya sopan mengenai bahasa dan gambar yang digunakan

karena hukum menghendaki demikian, melainkan juga cara

memperoleh berita. Wartawan yang lebih baik ialah yang mengenakan

ketentuan pada tugasnya seperti juga mengenakan pada diri sendiri

sensor untuk mempertahankan cita rasa yang baik dengan publiknya.

Wartawan adalah sebuah profesi, dengan kata lain wartawan adalah

seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara.

Page 42: Skripsi Mengenai UU Pers

42

Produk pers berupa informasi itu pada hakekatnya merupakan

penggambaran perilaku dari karyawan pers. Semua perilaku tersebut

tunduk kepada tatanan yang mengaturnya baik yang bersifat internal

maupun eksternal. Tatanan internal berupa etika dalam hal ini

sebagaimana yang dituangkan dalam kesepakatan para wartawan

Indonesia, yang diwadahi dalam Kode Etik Jurnalistik. Sementara yang

bersifat eksternal adalah berupa peraturan perundang-undangan dan

tekanan sosial. Kinerja para wartawan itu, secara universal menurut

pada suara nuraninya yang secara mikro berpihak pada kebenaran dan

kejujuran. Apa yang dilihatnya sebagai fakta, seharusnya itu pula yang

digarap dan dijadikan sebagai bahan informasi, namun pada

kenyataannya tidak demikian. Ada konflik yang dihadapi oleh para

wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Suara universal yang bersifat

mikro itu berhadapan dengan kenyataan makro dalam masyarakat yang

mengaharuskan terjadinya interaksi. Akibatnya, apa yang seharusnya

menjadi idealisme yang muncul dari pilihan etis personal itu menjadi

tidak mungkin dilaksanakan secara keseluruhan ketika berada di

lapangan.

Hal ini menyebabkan munculnya permasalahan dalam interaksi

antara pers dengan masyarakat dan atau antara pers dengan pemerintah.

Page 43: Skripsi Mengenai UU Pers

43

Hal ini mengharuskan adanya tanggung jawab dari pers yang

bersangkutan sehingga interaksi dapat terus berlanjut dinamis. Pers

menghormati hak asasi setiap orang dalam melaksanakan fungsi, hak,

kewajiban dan peranannya. Pers wajib memberitakan peristiwa dan

opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan

masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya dalam menyiarkan

informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan

seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses

peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak

yang terkait dalam pemberitaan tersebut.25)

Penilaian tentang ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam

pemberitaan dan juga ada tidaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

hanya dapat dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan

Pers. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi

merupakan prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta

pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan

melanggar hukum, dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab

25)

http://anggara.org/2011/10/20/ kemerdekaan-pers-dan-pencemaran-nama-baik catatan-

dalam-kasus-risang-bima-wijaya/, diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010 pukul 16.00 WIB

Page 44: Skripsi Mengenai UU Pers

44

merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya

perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru.

Pers juga dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka

dikontrol oleh masyarakat. Pers yang profesional mengarah kepada

patuh dan setia kepada penghormatan prinsip-prinsip etika jurnalistik,

serta meningkatkan pengetahuan, kejujuran dan kesatriaannya untuk

senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistiknya itu. Terbuka

dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan

kesatriaan pers mengakui kesalahan untuk selalu terbuka disanggah,

ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas

pemberitaannya yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya.

Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme penggunaan Hak

Jawab dan atau Hak Koreksi serta kejujuran melakukan Kewajiban

Koreksi. Mekanisme kontrol ini dapat disampaikan kepada Redaksi dan

dapat pula disampaikan melalui Dewan Pers, sedangkan peran media

watch lebih kepada fungsi literasi.

Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang sangat besar itu,

maka Undang-Undang Pers menjelaskan secara rinci bagaimana

melakukan kontrol terhadap pers, sebab jika tidak dilakukan kontrol,

maka pers itu dengan leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang

Page 45: Skripsi Mengenai UU Pers

45

cenderung disalahgunakan, karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol

dari masyarakat, termasuk kontrol dari dalam hati nurani wartawan itu

sendiri.

Tiga cara mengontrol kinerja pers di atas merupakan mekanisme

penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh

Undang-Undang Pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang

merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan Hak Jawab dan

atau Hak Koreksi secara langsung ke redaksi. Beberapa perusahaan pers

mewujudkan cara yang pertama ini dengan mengangkat dan menunjuk

Ombudsman sebagai sarana melayani dan memenuhi Hak Jawab dan

atau Hak Koreksi itu. Jawa Pos memilih cara ini untuk mewujudkan

profesionalisme dan melayani kontrol yang dilakukan masyarakat atas

pemberitaan, sehingga ketidakjujuran dan ketidaksatriaan redaksi dapat

diatasi dengan baik. Mekanisme ini dapat disebut sebagai mekanisme

Ombudsman Internal, untuk membedakan mekanisme yang digunakan

Dewan Pers yang dapat disebut sebagai Ombudsman Eksternal. Cara

yang kedua, yang biasa dikenal sebagai fungsi “pemantauan” atau

“media watch”. Biasanya ada sekelompok masyarakat yang peduli

tentang kinerja pers kemudian melakukan pemantauan atas

pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Hasilnya dituliskan

Page 46: Skripsi Mengenai UU Pers

46

ulang dan diberitakan kembali bahkan tak jarang diumumkan secara

terbuka dengan memberikan penilaian atas peringkat tertinggi sampai

terendah atas isi berita yang diduga melakukan pelanggaran atas kode

etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Fungsi ini lebih bersifat fungsi

literasi.26)

Cara yang ketiga, adalah dengan cara yang diperankan oleh

Dewan Pers dengan segala bentuk dan cara. Cara ini dapat

dikategorikan sebagai Ombudsman Eksternal. Sesuai dengn amanah

Undang-Undang Pers, Dewan Pers mempunyai fungsi antara lain

memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan

pers, yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan

pelanggaran.27)

Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers

merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan

masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi.

Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat

antara pers dan masyarakat. Akibat ketidaksejajaran hubungan ini

muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi

26)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18005/3/Chapter%20II.pdf 27)

ibid 23

Page 47: Skripsi Mengenai UU Pers

47

munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers

dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai

penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi

merasa adanya ketidak benaran dalam sajian pers.28)

Selain itu, sesuai dengan asas profesionalisme,

pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan

pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab

harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan

deskripsi 'politik keredaksian' yang dijadikan dasar oleh lembaga pers.

Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, siapa

yang berbuat ia harus bertanggung jawab.29)

Pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran

di masyarakat, tidak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung

misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Kalau tidak,

ada kewajiban moral untuk tidak menyajikan kepada masyarakat,

kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para

pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi

harmonis antara pers dan masyarakat. 30)

28)

Ibid 23 29)

Ibid 23 30)

Ibid 23

Page 48: Skripsi Mengenai UU Pers

48

BAB III

ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM MELINDUNGI

TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA

SEKSUAL STUDI TERHADAP KETENTUAN KEBEBASAN PERS

A. Perlindungan terhadap korban dalam kaitannya dengan

pemberitaan dugaan pelecehan seksual

Komnas Perempuan adalah Mekanisme Nasional Hak Asasi

Manusia, khususnya perempuan. Salah satu mandat dari Komnas

Perempuan adalah menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk

kekerasan terhadap perempuan dan pencegahannya.31)

Dalam rangka menyebarluaskan pemahaman tersebut, Komnas

Perempuan memanfaatkan keberadaan media massa yang memiliki

jangkauan luas dan pembentuk opini publik. Oleh karena itu, pemberitaan

tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual oleh

media massa diharapkan mampu menghadirkan pemahaman yang baik

bagi pembaca; tidak mengungkap identitas yang memungkinkan korban

mudah diakses pihak lain; tidak menyalahkan korban, tidak

menstigmatisasi dan menghakimi korban. Dengan demikian media akan

31)

www.komnasperempuan.or.id/.../Kajian-Media-Komnas-Perempuan-Hak-Perempuan-

korban-Kekerasan-Seksual.pdf diakses tanggal 14 Nopember 2011

Page 49: Skripsi Mengenai UU Pers

49

mampu menciptkan kondisi yang memudahkan korban kekerasan seksual

untuk mengakses haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Komnas Perempuan melakukan analisa media terhadap delapan media

cetak yakni Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Pos Kota,

Republika, Seputar Indonesia, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post.

Analisa dilakukan terhadap pemberitaan tahun 2010. Khusus untuk Koran

The Jakarta Globe analisa dilakukan sejak April-Desember 2010. Ada

1278 berita yang memenuhi pemberitaan di delapan koran tersebut

selama tahun 2010. Koran Kompas memuat 286 berita atau 28% dari total

seluruh pemberitaan. Selanjutnya secara berturut adalah Koran Tempo

(194 berita), Pos Kota (170), Seputar Indonesia (163), Media Indonesia

(161), Republika (149), The Jakarta Post (101) dan The Jakarta Globe

(54). 32)

Dalam melakukan analisa media tersebut, pemberitaan dibagi

dalam lima kategori besar, yaitu kekerasan terhadap perempuan, agency

perempuan, diskriminasi dan pelanggaran lainnya, upaya serta HAM

umum. Kelompok kekerasan terhadap perempuan memuat berita

32)

Rumusan dirangkum dari penafsiran Pengadilan Kriminal Internasional tentang

kekerasan seksual yang dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller. The Prosecution of Sexual

Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada

20 Agustus 2011.

Page 50: Skripsi Mengenai UU Pers

50

terbanyak yaitu 528 berita dari total 1278 pemberitaan. Selanjutnya

adalah diskriminasi dan pelanggaran lainnya (269 berita), upaya (240

berita), agency perempuan (128 berita) serta HAM umum (113 berita).33)

Dari sisi rubrikasi, dari 1278 berita, lebih dari 50 persen atau 725

berita berada di rubric sekunder. Sisanya 43 persen atau 527 dimuat di

rubrik primer. Kurang dari 2 persen yaitu 21 berita yang dimuat dirubrik

khusus perempuan, dan sisanya yaitu 5 berita ada di rubric tambahan.

Sementara itu pesebaran berita lebih banyak dimuat pada bulan dimana

terdapat peristiwa penting sejarah terkait perempuan ataupun ketika ada

isu yang menguat. Misalnya pada bulan Mei jumlah pemberitaan paling

banyak yaitu 212 berita meliputi berita tentang peringatan 12 tahun

Reformasi dan Tragedi Mei 1998, hari Buruh dan hari Pendidikan

Nasional, juga tentang perkosaan anak di Bali. Bulan Juni juga banyak

berita seputar isu pornografi, khususnya kasus yang melibatkan artis yang

dituduh membuat materi pornografi yaitu 104 dari 168 pemberitaan.

Analisa media ini menitikberatkan pada pemberitaan tentang

kekerasan seksual. Dari jumlah 528 berita tentang kekerasan, hampir ¾

berita adalah tentang kekerasan seksual (375 berita). Sama halnya dengan

temuan khusus, pemberitaan tentang kekerasan seksual juga lebih banyak

33)

Ibid 31

Page 51: Skripsi Mengenai UU Pers

51

dimuat di rubrik sekunder (241 berita), primer (123 berita), khusus

perempuan (9 berita) dan tambahan (2 berita). Empat berita teratas adalah

tentang control 3 seksual (144 berita), kriminalisasi perempuan (58

berita), perkosaan (49 berita) dan 32 berita tentang pelecehan seksual.34)

Pemberitaan media pada berita yang bersifat umum (di luar berita

kekerasan seksual) secara umum sudah baik. Hasil analisa menunjukkan

83 persen media telah memenuhi etika jurnalistik dalam pemberitaannya

dalam hal tidak mengungkap identitas korban, tidak mengungkap

identitas pelaku anak, tidak memuat informasi cabul dan sadis. Namun

demikian dalam hal pemberitaan yang memenuhi hak korban dan etika

jurnalistik, media mengalami penurunan sebanyak 14 persen atau tinggal

69 persen saja. Pemenuhan etika dan hak korban yang dimaksud adalah

tidak menstigma, menghakimi, melakukan stereotipi dan tidak

menggunakan diksi yang bias, selain tidak melakulan hal-hal yang

melanggar etika seperti telah disebutkan di atas.

Media kembali mengalami penurunan hingga berkisar 50 persen

saja dalam hal pemenuhan etika jurnalistik dan hak korban ketika

memberitakan berita seputar kekerasan seksual. Penurunan drastis ini

dipicu oleh banyaknya berita tentang artis yang dituduh membuat materi

34)

Ibid 31

Page 52: Skripsi Mengenai UU Pers

52

pornografi. Meskipun artis tersebut telah dikenal luas oleh masyarakat,

namun pengungkapan identitas tetap tidak dibenarkan. Selain itu

penggunaan diksi yang bias dan tidak tepat (114 berita) seperti menggahi,

mencabuli, merenggut keperawanan untuk menyebut peristiwa perkosaan

juga memenuhi sebagian berita tentang kekerasan seksual.

Dalam pemberitaan seputar kontrol seksual dan kebijakan

diskriminatif, media belum mengambil fungsinya memberikan

pendidikan publik kepada masyarakat. Hampir semua berita tentang isu

tersebut adalah soal debat pro-kontra, tidak memberikan perspektif

korban. Pada isu pornografi media juga cenderung menempatkanknya

sebagai isu moralitas bukan isu kekerasan seksual yang justru

menempatkan perempuan sebagai komoditi.

Atas dasar temuan di atas, Komnas Perempuan mengajukan 5

rekomendasi sebagai berikut:35)

1. Kepada semua media untuk menambah frekuensi, variasi dan

menempatkan isu perempuan dalam rubrikasi utama.

2. Kepada semua media untuk mempertahankan dan memperbanyak berita

yang merawat ingatan publik pada kekerasan terhadap perempuan

dalam peristiwa bersejarah Indonesia.

35)

Ibid 31

Page 53: Skripsi Mengenai UU Pers

53

3. Kepada semua media dan organisasi hak asasi manusi, khususnya

organisasi perempuan, untuk memperkuat kapasitas jurnalis dalam

meliput isu perempuan khususnya isu perempuan yang kompleks,

kapasitas tentang hak-hak korban.

4. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khusunya

organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk

mendiskusikan dan menyusun pedoman pelaksanaan kerja media yang

memenuhi asas praduga tidak bersalah dan hak-hak korban dalam

kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan, terutama

yang melibatkan figur publik.

5. Kepada media, pemerintah dan organisasi hak asasi manusia, khususnya

organisasi pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan untuk

mendukung organisasi jurnalis terus melakukan pemantauan penerapan

kode etik yang mengintegrasikan pemenuhan hak korban.

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan

penegakkan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang

sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan

masyarakat menujukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh

perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam

Page 54: Skripsi Mengenai UU Pers

54

Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah

perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting

sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta

keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.36)

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan

hak asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap korban tindak kejahatan. Korban

kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita

dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan

sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.

Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh

pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama

sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia

tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban

kejahatan.

Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum

(polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk

melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu

kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan

36)

Ibid 31

Page 55: Skripsi Mengenai UU Pers

55

penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental,

fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun

dia bersalah tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi

yang tidak boleh dilanggar.Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum

ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari

itu pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas

praduga tidak bersalah).37)

B. Ukuran untuk menentukan pelaksanaan prinsip kebebasan pers

yang bertanggung jawab yang sesuai dengan asas kebebasan pers.

Kebebasan pers adalah kebebasan menyiarkan atau tidak

menyiarkan berita. Pers merdeka tidak boleh sekali-kali dilarang

(dibatasi) atau disuruh menyiarkan berita. Walaupun demikian, tidak

berarti kemerdekaan pers absolut tanpa adanya rambu-rambu pembatasan.

Paling tidak, secara alamiah-seperti dikatakan john locke- kebebasan

seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kalau ditilik secara

normatif, kebebasan pers dibatasi oleh :38)

37)

Ibid 31. 38)

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005,

hal.39

Page 56: Skripsi Mengenai UU Pers

56

Pertama : pembatasan dalam hubungan yang bersifat individual. Pers

harus tunduk dan menghormati hak – hak pribadi (privacy) setiap orang.

Pers dilarang memasuki suatu tempat atau kehidupan pribadi sebagai hak

untuk bersendiri ( the right to let to be alone ). Pers dilarang untuk

mempermalukan seseorang dihadapan publik, misalnya menyiarkan masa

lalu yang (dianggap) mempermalukan. Pers dilarang menyiarkan sesuatu

yang ( dirasakan ) tidak benar mengenai seseorang . secara hukum,

larangan – larangan atau pelanggaran-pelanggaran diatas termasuk

dalam kelompok yang disebut the right of privacy. International

Covenant on Civil and Political Right (UN, 1966), Pasal 17 Ayat (2)

menyebutkan : “No one shall be subjected to arbitrary on unlawful

interference with his privacy..”. (tidak seseorang pun dapat diperlakukan

secara sewenang-wenang atau tindakan yang melawan hukum atas hak

privasinya”

Kedua : pembatasan dalam hubungan dengan kepentingan komunal

(community). Pers tidak dibenarkan menyiarkan berita yang diperkirakan

akan menimbulkan reaksi umum karena –misalnya- bertentangan dengan

nilai –nilai yang hidup dan dijunjung tinggi suatu komunitas,

bertentangan dengan kesusilaan dan agama, memberikan gambaran buruk

Page 57: Skripsi Mengenai UU Pers

57

terhadap suatu komunitas, berita yang akan menimbulkan kebencian

umum terhadap suatu komunitas, atau berita yang akan menimbulkan

permusuhan sosial. Secara substantif, materi berita yang digambarkan

diatas, bukan sesuatu yang dilarang, tetapi harus dikemas agar tidak

diterjemahkan menjadi sesuatu yang (dapat) menimbulkan akibat-akibat

yang merugikan kepentingan atau ketertiban, atau keamanan.

Ketiga : pembatasan dalam hubungan dengan penyelenggara tugas

Negara seperti yang berkaitan dengan rahasia Negara, keamanan Negara,

pertahanan Negara, kepentingan hubungan antara Negara dengan Negara,

dan lain – lain.

Persoalan yang senantiasa dihadapi adalah, bagaimana cara agar

pembatasan yang dibenarkan (justified limination) tidak menjadi

pembenaran mencederai kebebasan pers, baik secara preventif atau

repsesif. Harus ada balancing antara kebebasan dan pembatasan. Harus

diakui atau diterima, berbagai bentuk pembatasan (seperti control),

merupakan harga yang harus dibayar suatu kebebasan. Dalam sistem

demokrasi dan Negara berdasarkan hukum, ada sejumlah prinsip yang

harus hadir agar suatu pembatasan tidak menjadi pembenaran berlaku

sewenang-wenang.

Page 58: Skripsi Mengenai UU Pers

58

Untuk menentukan, apakah pembatasan-pembatasan sudah

dilanggar atau dilampaui (baik oleh pers terhadap yang berkepentingan,

maupun oleh yang berkepantingan terhadap pers), wajib dilakukan oleh

yang tidak berkepentingan (badan netral). Dalam proses modern

dilakukan oleh hakim (pengadilan). Pembatasan pers untuk menyiarkan

suatu berita hanya dapat dilakukan oleh (melalui) hakim (pengadilan).

Diluar itu adalah perbuatan sewenang-wenang (arbitrary). Di Indonesia,

kita memiliki Dewan Pers yang dibentuk atas perintah undang-undang.

Dalam praktik Dewan Pers berwenang menentukan apakah telah terjadi

pelanggaran atas pembatasan-pembatasan. Tetapi DP bukan badan netral

penegak hukum, melainkan badan netral penegak atau penjaga etik.

(dhi.Kode Etik Jurnalistik, sebagai Kode Etik Pers Indonesia). Sebagai

putusan etik tingkat kekuatan ditentukan sepenuhnya oleh pers yang

bersangkutan. Pers yang baik akan senantiasa menjunjung tinggi etiknya

sendiri. Pers yang membangkang terhadap putusan DP menghadapi resiko

menuju proses hukum dan dapat kehilangan kepercayaan publik (sebagai

almamater).39)

39)

R.H. Siregar, Beberapa Catatan Kode Etik Jurnalistik Pwi Dan Azas Praduga Tak

Bersalah, makalah yang diajukan pada Diskusi Azas Praduga Tak Bersalah dan Trial By The Press,di

Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta tanggal 25 Maret 2009.

Page 59: Skripsi Mengenai UU Pers

59

Secara definisi, asas praduga tidak bersalah adalah hak setiap

orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak atau perbuatan

pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai terbukti yang didapati dalam

persidangan pengadilan yang netral (tidak berpihak) dan terbuka untuk

umum dengan hak menyampaikan pembelaan diri dengan bebas, layak

dan cukup. Pembelaan dilakukan sendiri atau melalui advokat. Bahkan

untuk pidana tertentu wajib didampingi advokat. Pengertian putusan

pengadilan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(in kracht van gewijsde, final judgement). 40)

Hak atas praduga tidak bersalah, menimbulkan kewajiban bagi

pihak lain. Kewajiban tersebut tidak hanya pada penegak hukum tetapi

berlaku pada setiap orang, termasuk pers. Pers dilarang memberitakan

seseorang yang disangka atau didakwa (seolah-olah) telah bersalah

sebelum ada putusan pengadilan. Kewajiban ini berlaku juga pada badan

– badan atau perorangan yang memerhatikan suatu peristiwa pidana.

Aspek lain yang perlu dicatat. Apakah praduga tidak bersalah juga

bermakna, termasuk upaya mencegah proses peradilan karena anggapan

atau keyakinan tersangka atau terdakwa tidak bersalah ? meskipun ada

asas praduga tak bersalah, sangatlah terlarang mencegah agar seorang

40)

Ibid 30.

Page 60: Skripsi Mengenai UU Pers

60

yang sudah menjadi tersangka apalagi terdakwa agar tidak diadili.

Perbuatan semacam ini tergolong contempt of court atau sebagai bentuk

obstruction of justice (menghalangi peradilan). Dalam asas praduga tidak

bersalah, hanya hakim (hakim adalah satu – satunya) yang dapat

menyatakan seseorang telah atau tidak melakukan suatu tindakan

(perbuatan) pidana. Kalau ada perkiraan hakim tidak mungkin

menerapkan hukum dengan benar dan adil, itulah yang harus dibenahi

dan diawasi, bukan dengan meniadakan peradilan. Dengan demikian, ada

dua aspek dalam asas praduga tidak bersalah. Setiap orang atau badan –

termasuk pers – dilarang beranggapan seseorang telah bersalah atau tidak

bersalah sebelum ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap. Aspek lain, praduga tidak bersalah, tidak membenarkan

upaya menghalangi proses peradilan, seperti dalam kasus Bibit –

Chandra.41)

C. Analisis tentang akibat hukum dari koreksi terhadap pemberitaan

yang tidak benar.

Publikasi yang berlebihan menyebabkan terdakwa dalam

kenyataan dihukum berkali – kali atas satu perbuatan yang sama.

41)

Ibid 30

Page 61: Skripsi Mengenai UU Pers

61

Pertama ; diadili dan dihukum oleh pers (trial by the pers). Kedua ;

dihukum oleh pendapat umum (trial by political opinion) melalui

pernyataan, diskusi terbuka dan lain – lain. Tidak jarang seorang yang

sedang diadili telah ditetapkan oleh pers atau pendapat umum sebagai

musuh masyarakat (public enemy) yang harus dihukum. Ketiga ;

dihukum oleh Hakim. 42)

Meskipun gambaran penghukuman diatas secara dogmatik

(normatif) tidak tergolong double jeopardy atau nebis in idem, tetapi

secara kenyataan atau sosiologis telah terjadi pengulangan peradilan

untuk perkara yang sama. Larangan ne bis in idem adalah untuk

mencegah kesewenag-wenangan dan kekejaman (kekejian) peradilan.

Trial by the press dan trial by public opinion, disamping penghukuman

oleh hakim adalah suatu yang berlebihan, bahkan suatu bentuk kekejian

dan ketidakadilan yang luar biasa.43)

Prof Robert Gobbers (introduction to the Geman law) mengatakan,

tidak jarang terjadi, meskipun seorang terdakwa kemudian oleh hakim

dinyatakan tidak terbukti bersalah, tetap sangat menderita (dan dirugikan)

akibat publikasi yang berlebihan, sesuatu yang hal yang mesti

diperhatikan oleh pers. Membahas secara publik kasus yang sedang

42)

http://primau66.blogspot.com/2011_01_01_archive.html diakses 14 Nopember 2011 43)

ibid 41

Page 62: Skripsi Mengenai UU Pers

62

berjalan seperti yang dilakukan melalui TV, dapat merupakan

pencederaan terhadap hak atas praduga tidak bersalah. Belum lagi

kemungkinan pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, dan

sebagainya. Lebih-lebih lagi bagi masyarakat kita yang komunalistik.

Bukan hanya tersangka atau terdakwa yang dicederai, tetapi istri, anak,

dan keluarga yang tidak berdosa. Pers yang semestinya menjadi

instrument kemanusiaan dan peradaban, karena kelalaian menghormati

asas praduga tidak bersalah, justru terjerumus kedalam perbuatan yang

tidak layak. Hal serupa berlaku pada Lembaga Swadaya Masyarakat atau

perorangan yang ingin menjadi pusat perhatian, acap kali tidak

mempertimbangkan : “ bagaimana kalau perbuatan yang sama berlaku

pada terhadap mereka”. Ada ungkapan yang menyatakan : “

perlakukanlah orang lain sebagaimana anda mengharap orang lain

memperlakukan anda”. Baik secara sosial, kemanusian, apalagi

keagamaan, kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang berimbang,

tidak berlebihan.

Demi menjaga keseimbangan yang bermanfaat pers dapat

menerapkan self censorship atau self restraint antara hak atas praduga

tidak dan hak atas kebebasan informasi.44)

44)

http://njpurnomo.blogspot.com/2011/11/saat-media-mengkhianati-kita-peran-hak.html

Page 63: Skripsi Mengenai UU Pers

63

Menjaga keseimbangan yang dihadapi pers dalam menyampaikan

informasi, sangat perlu diperhatikan juga oleh para penegak hukum.

Penegak hukum harus sangat memahami kedudukan pers dalam

masyarakat demokratis yang dijamin Undang-Undang Dasar, dan

dilema-dilema yang dihadapi, seperti dilema penerapan praduga tidak

bersalah dengan hak memperoleh dan menyampaikan informasi. Begitu

pula dalam kasus-kasus yang lain seperti penerapan undang-undang pers

atau bukan undang-undang pers dalam kasus pers. Kekeliruan apalagi

salah menerapkan hukum terhadap pers merupakan kekeliruan dan

kesalahan yang sangat mendasar karena menyangkut isntitusi sosial yang

sekaligus sebagai institusi demokrasi dan hak asasi manusia. Telah lama

dihafal sejak sebagai mehasiswa hukum, penegak hukum (khususnya

hakim) bukan sekadar mulut atau corong undang-undang (the mouth of

laws, spreekbuis van de wet, bouche de la loi). Hakim yang adil dan arif,

tidak hanya menyediakan dua pilihan, tetapi terbuka atas pilihan-pilihan

lain berdasarkan hakikat dan tujuan hukum serta kemaslahatan

(doelmatigheid), bukan sekedar menerapkan dogma dogma hukum

(rechtmatigheid). Walaupun ada pemikir yang tidak setuju, tetapi

bagaimanapun juga hukum tetap mengandung muatan sebagai the mirror

of society (meminjam ungkapan yang dipergunakan Brian. Z. Tamanaha)

Page 64: Skripsi Mengenai UU Pers

64

atau seperti dikatakan Von Savigny, hukum adalah wujud kesadaran

hukum masyarakat (rechtbe-wustzijn, social conscience). Salah satu yang

menjadi cermin kesadaran masyarakat kita adalah memulihkan dan

menyempurnakan demokrasi dan hak asasi manusia. Putusan yang tidak

atau kurang bijaksana dapat merupakan penggerogotan terhadap

demokrasi dan hak asasi manusia yang saat ini merupakan the mirror of

Indonesia society atau rechtbewustzijn masyarakat Indonesia. Almarhum

Prof. Sudirman Kartohadiprodjo mengajarkan mahasiswanya (termasuk

Penulis) ungkapan Jawa “ora sanak, ora kadang, yen mati melu

kenangan”. Bukan sanak bukan kerabat kalau meninggal ikut (merasa)

kehilangan. Itula esensi paham kekeluargaan yang membedakan dari

paham individulisme.45)

D. Kewenangan melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik oleh

tersangka dikaitkan dengan azas praduga tak bersalah .

Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk

dilihat dan dibaca atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau

ditaati. Dapatlah dikatakan bahwa setiap individu melaksanakan hukum.

Setiap hari kita melaksanakan hukum. Bahkan seringkali kita tanpa sadari

45)

Ibid 42

Page 65: Skripsi Mengenai UU Pers

65

kita melaksanakan hukum. Jadi pelaksanaan hukum bukan dimonopoli

oleh pihak tertentu seperti pejabat atau penegak hukum. Pengertian

negara hukum dalam arti materiil tidak hanya melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus

memajukan kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa. Pembangunan

hukum yang bersifat nasional seperti hukum acara pidana dilandasi oleh

motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya,

menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat serta agar masyarakat

mendapatkan suatu kepastian hukum.

Selanjutnya dari kepastian hukum tersebut dapat ditunjang dengan

berfungsinya hukum itu sendiri sebagaimana mestinya. Adapun tujuan

dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau

setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran

hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

Page 66: Skripsi Mengenai UU Pers

66

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat

dipersalahkan.46)

Untuk menegakkan hukum pidana materiil maka bagi pelanggar

peraturan hukum harus dijatuhi pidana atau pemidanaan. Untuk keperluan

tersebut maka dibentuk suatu hukum pidana formil atau hukum acara

pidana yang dalam pelaksanaannya tetap harus melindungi hak-hak asasi

tersangka dan terdakwa seperti yang dikehendaki dalam undang-undang.

Tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum dalam undang-

undang ini nampaknya sudah bukan merupakan suatu tujuan utama,

namun tujuan perlindungan atas harkat dan martabat seorang tersangka

atau tertuduh atau terdakwalah yang merupakan tujuan yang utama.47)

Dengan begitu pada akhirnya hukum yang dijalani dapat

meningkatkan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

Demikian halnya Indonesia, sebagai negara hukum selalu berupaya untuk

memenuhi persyaratan-persyaratan agar menjadi negara yang menjunjung

tinggi hukum yang sebenar-benarnya. Sebagai bukti dari pernyataan ini

adalah dianutnya asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-

46) Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

1987. Hal. 18.

47) Rangga Maindra. Jaminan Penangguhan Penahanan Dalam Proses Penyelesaian Perkara

Pidana. dalam http: //one.indoskrip.com/judul--skripsi/ilmuhukum/jaminan-penangguhan-penahanan-

dalam-proses-penyelesaian-perkara-pidana. Diakses tanggal 14 Nopember 2011

Page 67: Skripsi Mengenai UU Pers

67

undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang

dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-

undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Moeljatno menyatakan dari

bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan

seseorang dapat dipidana apabila:

a. Tidak ada perbuatan dan diancam pidana jika perbuatan itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi (kiyas).

c. Aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku surut.48)

Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa hukum acara

pidana merupakan suatu proses atau prosedur atau tata cara yang harus

dilakukan atau diterapkan oleh aparat penegak hukum manakala

disangka terjadi suatu tindak pidana. Hal ini mengandung suatu

konsekuensi logis bahwa norma yang diatur oleh hukum acara pidana

merupakan norma kewenangan (bevoegdheidsnormen).

Dengan demikian bagian terbesar KUHAP adalah tentang

wewenang dan penggunaan wewenang. Pengaturan wewenang dan

48)

Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2005. Hal. 34.

Page 68: Skripsi Mengenai UU Pers

68

penggunaan wewenang, tidaklah semata-mata soal pembagian

wewenang kepada berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan

perkara pidana, yaitu aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, namun

yang paling penting di sini ialah di satu sisi norma itu membatasi

penggunaan wewenang tersebut di sisi yang lain dengan pembatasan

tersebut hak-hak tersangka/terdakwa dilindungi.49)

Dalam azas praduga tak bersalah, jelas tersangka boleh atau

berwenang untuk melaporkan tindak pidana pencemaran nama baik atas

dirinya. Menurut Bagir Manan menjelaskan bahwa penegakan hukum

atau “law enforcement” sebagai salah satu aspek penerapan hukum.

Penerapan hukum adalah fungsi atau “mempertahankan hukum

(handhaving van het recht) agar hukum ditaati, berjalan atau dijalankan

sebagai mestinya” penegakan hukum merupakan reaksi atas suatu

peristiwa yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum/ Reaksi ini

dapat negative atau positif 50)

. Maka penegakan hukum setidak-tidaknya

dipengaruhi oleh berbagai ketentuan antara lain. 1) Kaidah hukum atau

peraturan itu sendiri. 2) Petugas yang menegakkan hukum. 3) Fasilitas

49)

Philipus Mandiri Hadjon, Norma Hukum sebagai Norma Kewenangan dan Asas-Asas

Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam rangka Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

(Tersangka/Terdakwa), dalam Dwi Windu KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana): Problematika Penegakan Hukumnya, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Januari

1998, h. 22

50) Op, Cit

Page 69: Skripsi Mengenai UU Pers

69

yang diharapkan dapat mendukung penegakan hukum. 4) Warga

masyarakat yang terkena ruang lingkup pelaksanaan kaidah hukum dan

birokrasinya.

Di dalam pengejaran tersangka terorisme yang dilakukan oleh

Pasukan khusus kepolisian di beberapa daerah, dimana tersangka yang

diduga terorisme kerap mendapatkan perlakukan atau kekerasan fisik

yang disebabkan tindakan kesewenang-wenangan aparatur negara

terhadap tersangaka.Tindakan over yang selalu dipertontonkan di dalam

penangkapan beberapa tersangka, telah jelas menciptakan keadaan yang

tidak menyenagkan bagi tersangka dimana dalam sisi penegakan hukum

tentunya hal ini sangatlah bertentangan dengan azas Praduga Tak

Bersalah (Presumption of innocent) didalam penjelasan umum pasal 3

huruf c. dan dirumuskan didalam pasal 8 Undang-undang Pokok

kehakiman No. 14 1970 “setiap orang yang diduga, disangka ,

ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,

wajib diangap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilanyang

menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” Azas

praduga tidak bersalah ditinjau dari segi teknik yuridis atau dari segi

Page 70: Skripsi Mengenai UU Pers

70

teknik penyidikan dinamakan “prinsip akusitoir “yakni menepati

kedudukan tersangka dalam seriap tingkatan pemeriksaan 51).

1. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu

tersangka daris didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan

manusia yang mempuntao harkat martabat dan harga diri.

2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam perinsip akusutoir adalah

“kesalahan tindak pidana” yang dilakukan tersangka atau terdakwa.

Selain permasalahan azas diatas perlu dianggap seris didalam

proses penahanan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang

merupakan bagian yang esensial, dengan sendirinya menyangkut nilai

dan makna antara lain:

1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan.

2. Menyangkut nilai-nilai prikemanusian dan harkat martabar

kemanusian.

3. Juga menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri

pribadi atau tegasnya setiap penahanan degan sendirinya

51) M. Yahya Harap, SH, Pembahasan dan penerapan KUHAP penyudikan dan tuntutan,

edisi kedua cet 10, cet Sinar Grafika, 2008, hal 40

Page 71: Skripsi Mengenai UU Pers

71

menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebahagian

hak-hak azasi manusia.

Permasalan penahanan tertuang di dalam Undang-Undang No. 15

Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme tentang batas penahanan

seseorang yang diduga tersangka terorisme.

Dari azas yang dianut oleh undang-undang kita jika dikaitkan

dengan deklerasi Universal Hak Azasi Manusia tahun 1984, pasal 11

ayat 1 :

”Seseorang yang didakwa melakukan pelanggaran pidana

berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah

menurut hukum dalam suatu sidang pengadilan terbuka dimana ia

memperoleh semua jaminan yang diperlukan bagi pembelaan dirinya” .

Dalam Pasal 12 :

“tak seorang pun boleh dikenai ontervensi sewenang-wenang

terhadap privasi keluarga, rumah atau korespondensinya juga

serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya.Setiap orang berhak

atas perlindungan hukum dari intervensi dan serangan semacam itu”.52)

52)

Declaration human right, 1984 dalam pasal 11 ayat 1

Page 72: Skripsi Mengenai UU Pers

72

Perlindungan terhadap saksi korban pada saat diberitakan oleh

media baik cetak maupun elektronik sudah berjalan dengan cukup baik.

namun, kenyataannya berbeda karena kurangnya pengetahuan atau

tingkat sumber daya manusia masih rendah sehingga membuat korban

selalu dirugikan dan korban merasa asas kebebasan pers dan haknya

telah dilanggar dan dengan tidak bertanggung jawabnya pihak media

maka seringkali kasus ini diabaikan.

Untuk itu diperlukan kordinasi yang baik antara saksi korban dan

pelaku media agar terjadi suatu kesinambungan. Dan hendaknya pelaku

media melakukan cek dan ricek terhadap sumber berita dalam hal ini

saksi korban. Caranya adalah nama disamarkan (inisial), untuk media

televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua

organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hak-

hak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika

mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa

kejahatan seksual.

Page 73: Skripsi Mengenai UU Pers

73

BAB IV

PENUTUP

Dari uraian – uraian diatas dan pembahasan bab - bab terdahulu, maka

penulis dapat memperoleh kesimpulan serta dapat memberikan saran – saran

sebagai berikut :

A. Simpulan

1. Perlindungan korban kejahatan seksual berkaitan dengan pemberitaan

oleh media massa adalah dengan cara nama disamarkan (inisial), untuk

media televisi wajah disamarkan atau membelakangi camera, dan semua

organisasi media dan polisi, harus berhati-hati untuk menghormati hak-

hak individu terhadap kepribadian, kerahasiaan dan reputasi ketika

mempertimbangkan bagaimana meliput atau memberitakan peristiwa

kejahatan seksual.

2. Ukuran untuk pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggung jawab itu

adalah suatu informasi yang benar (peristiwa yang benar bukan opini)

tidak direkayasa, harus dilakukan dengan pihak lain (croschek).

Page 74: Skripsi Mengenai UU Pers

74

B. Saran

Berdasarkan hal-hal di atas, kami ingin menyampaikan saran kepada

para professional yang memegang peranan yang berbeda yang telah

disebutkan:

- Merekomendasikan juga kepada polisi untuk melindungi dan menjamin

hak korban dan mengambil tindakan seperlunya untuk melindungi hak

korban mengenai kerahasiaan.

- Untuk pelaku media diharapkan dalam memberikan informasi harus

jelas lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan serta menghormati

hak-hak korban.