Skripsi m tohir 072211024
Transcript of Skripsi m tohir 072211024
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAPPEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN( Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi )
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
MUHAMAD THOHIR
NIM. 072211024
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2012
ii
Akhmad Arif Junaidi, M.AgJl. Raya Sedayu Indah, Bangetayu Wetan RT 5/II, Genuk Semarang.Briliyan Erna Wati, SH. M.HumJl. Bukit Agung E.41 Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 ( empat ) eks.
Hal : Naskah skripsi
An. Sdr. Muhamad Thohir
Kepada Yth.
Dekan fakultas syariah
IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : MUHAMAD THOHIR
Nim : 072211024
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian
Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (
Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999
Tentang Remisi )
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima diucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 9 Mei 2012
iii
KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Nama : MUHAMAD THOHIR
Nim : 072211024
Jurusan : Siyasah Jinayah
Judul skripsi : Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi
Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis
Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ).
Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik /
cukup, pada tanggal : 11 Juni 2012
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun
akademik 2012/2013.
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Dengan
demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang
menjadi bahan rujukan.
Semarang, 11 Mei 2012
Deklarator,
Muhamad Thohir
NIM. 072211024
v
MOTTO
... ...
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....
( QS. Al Baqarah : 178)
vi
ABSTRAK
Remisi merupakan pengampunan hukuman yang diberikan kepadaseseorang yang dijatuhi hukuman pidana yang berupa pengurangan masahukuman. Remisi diberikan kepada nara pidana dan anak pidana yang melakukantindak pidana salah satunya pelaku tindak pidana pembunhan, Kewenanganpemberi remisi dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Remisidiberikan kepada anakpidana maupun narapidana yang berkelakuan baik sesuaidengan peraturan yang berlaku..Remisi di Indonesia diatur dalam Keppres RI No174 Tahun 1999 yang didalamnya mengatur tentang jenis, syarat, banyaknyaremisi yang diterima, dan sebagainya.Dengan adanya remisi maka putusan hakimyang mempunyai ketetapan akan menjadi berubah. Karena pada akhirnyaterpidana atau pelaku tindak pembunuhan tidak harus menjalani secara penuhhukuman yang dijatuhkan kepadannya asalkan dia memenuhi syarat untukmendapatkan remisi. Tentu ini kurang adil jika dilihat dari pihak korban.
Dalam skripsi ini mencoba menggali dan mengkaji remisi pembunuhanmenurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 maupun dalam fiqh jinayah. Penelitianini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana ketentuan remisi yang terdapat dalamKeppres RI No 174 tahun 1999 dan Bagaimana tinjauan hukum pidana Islamterhadap Keppres RI No 174 tahun 1999 terhadap pemberian remisi kepadapelaku tindak pidana pembunuhan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analilitik dan content analitik karenametode yang dipakai dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data,menyusun, menjelaskan dan menganalisa yang kemudian diinterpretasikan dandisimpulkan. Jenis penelitian ini adalah library reseach atau penelitiankepustakaan dimana data primernya adalah Keppres RI No 174 tahun 1999
Hasil dari penelitian ini pada dasarnya pemberian remisi pembunuhanmenurut Keppres RI No 174 tahun 1999 ini diberikan kepada pelaku setelah iamendapatkan putusan atau dengan kata lain setelah ia melaksanakan hukumannya,remisi penulis kategorikan sebagai mashlahah mursalah karena perbedaan remisidengan pengampunan dalam jarimah qishas diyat. Pengampunan dalam jarimahqishas dan diyat menyerahkan hukuman kepada pihak ahli waris korban meskipuntetap dalam pengawasan ulil amri sedangkan remisi dari pihak korban tidakmempunyai kewengan menjatuhkan hukuman karena sudah ada hakim yangmenjalankan proses peradilannya. Selain itu secara tidak langsung putusan hakimyang mempunyai ketetapan hukum dapat berubah dengan adanya penguranganhukuman, tentu dirasa kurang adil bagi pihak korban yang nyata-nyata telahkehilangan nyawa keluarganya.
Kata kunci: remisi, qishas diyat, hukum islam
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu tersayang yang selalu mendoakan dan mendukung dengan
sepenuh hati dan tiada henti.
Teruntuk seseorang yang selalu membantu dan memotivasi penulis “Siti
Aisah”
Kakak-kakakku : Siti Zubaedah, Abdul Azis, Mahfud Saefudin.
Kedua pembimbingku Bapak Arif Junaidi dan Ibu Briliyan Erna Wati
Teman-teman senasib seperjuanganku khususnya angkatan 2007 IAIN
Walisongo Semarang.
Teman-Teman yang membantu terseleseikannya skripsi ini, penulis hanya bisa
berterima kasih banyak semoga amal perbuatan kalian dibalas sebanyak-
banyaknya oleh gusti Allah SWT.
Dan untuk semua keuarga besar IAIN Walisongo Semarang.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur Alhamdulillahirobbil’alamin penulis ucapkan kehadirat Allah
SWT atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-
sahabat dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dalam memberikan
pencerahan hidup bagi seluruh umat di bumi ini, Sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Pidana
Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan ( Studi Analisis Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang
Remisi ), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. DR. Muhibbin. M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang
2. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan pembantu-pembantu Dekan yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga
kini.
3. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam
DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang.
4. Kedua Pembimbing penulis, Bapak Akhmad Arif Junaidi. M.Ag dan Ibu
Briliyan Erna Wati. SH. M.Hum yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dengan sabar dan tulus ikhlas.
5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian
dan arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian
kata-kata.
ix
6. Teman-teman senasib seperjuangan jurusan Siyasah Jinayah angkatan 2007 ;
Arif, Anita, Fachrudin, Faqeh, Fajrin, Gufron, Ibad, Kholisudin, Khumaeni,
Nasron, Nunik, Khasan, Setyanto, Tegar, Zeni, Farid, Himam, Muhayati, Tri
Wuryani, Mustofa, dll , biarpun kalian berbeda tempat namun tetap dihati.
7. Teman-teman di UKM Binora. Rofik, Aufa, Duki, Rouf, Wuri, Tegar, Olif,
Tresno, Sulaeman dan masih banyak lagi yang penulis tidak dapat sebutkan.
Sukses slalu buat kalian.
8. Dan Seluruh Keluarga Besar Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang yang selalu saya banggakan.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman
pada umumnya. Amin.
Semarang, 11 Mei 2011
Penulis
Muhamad ThohirNIM. 072211024
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Sesuai dengan SKB Menteri Agama RI, Menteri Pendidikan
dan Menteri Kebudayaan RI
No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
Tertanggal 22 Januari 1988
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin N a m a
ا alif tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ب ba b -
ت ta t -
ث sa s s (dengan titik di atas)
ج jim j -
ح ha’ h h (dengan titik di bawah)
خ kha’ kh -
د dal d -
ذ zal ż z (dengan titik di atas)
ر ra r -
ز za ż -
س sin s -
ش syin sy -
xi
ص sad S s (dengan titik di bawah)
ض dad D d (dengan titik di bawah)
ط ta T t (dengan titik di bawah)
ظ za Z z (dengan titik di bawah)
ع ‘ain ‘ koma terbalik ke atas
غ gain G -
ف fa F -
ق qaf Q -
ك kaf K -
ل lam L -
م mim M -
ن nun N -
و wawu W -
ه ha H -
ء hamzah ◌ apostrof
ي ya’ Y
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. contoh :
حـمدا یــھ ditulis Ahmadiyyah
C. Ta’ Marbutah di Akhir Kata
xii
1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap
menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. Contoh :
عـة جـما ditulis jama’ah
2. Bila dihidupkan ditulis t, contoh :
ولیـاء األ مـة كرا ditulis karamatul-auliya’
D. Vokal Pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u.
E. Vokal Panjang
Panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing
dengan tanda hubung (-) di atasnya.
F. Vokal Rangkap
1. Fathah + ya’ mati ditulis ai, contoh :
بیـنكـم ditulis bainakum,
2. Fathah + wawu mati ditulis au, contoh :
قـو ل ditulis qaul
G. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof (‘)
أانتـم ditulis a’antum مؤ نـث ditulis mu’annas
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf Qamariyyah, contoh :
القـران ditulis al-Qur’an القیـاس ditulis al-Qiyas
2. Bila didikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.
السـماء ditulis as-Sama الشـمس ditulis asy-Syams
I. Penulisan huruf kapital
Meskipun dalam sistem tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
trasliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan itu seperti yang
berlaku pada EYD, diantara huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal, nama diri dan permulaan kalimat. Bila nama diri diawali dengan kata
sandang maka yang ditulis menggunakan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut bukan huruf awal kata sandang.
xiii
J. Kata dalam rangkaian Frasa dan Kalimat
1. Ditulis kata per kata, contoh :
ذوى الفـروض ditulis zawi al-furud
2. Ditulis menurut bunyi atau pengucaspan dalam rangkaian tersebut,
contoh:
أھـل السـنھ ditulis ahl as-Sunnah
السـالمشـیخ ا ditulis Syaikh al-Islam atau Syaikhul-Islam
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ………..…………………….…... ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................….iii
HALAMAN DEKLARASI .................................................................….iv
HALAMAN MOTTO .........................................................................….v
HALAMAN ABSTRAK ....................................................................….vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................….vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................…viii
HALAMAN TRANSLITERASI ......................................................…...x
HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................…xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………............... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
D. Kajian Pustaka …………………………….……………… 8
E. Metode Penelitian ……………………………………....…… 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 11
BAB II REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam ................ 13
B. Dasar Hukum Remisi dalam Hukum Pidana Islam .............. 14
C. Tindak Pidana Pembunhaan Dalam Hukum Pidana Islam ....18
1. Pengertian Pembunuhan menurut Hukum Pidana Islam ...19
2. Macam-Macam Pembunuhan Menurut Hukum
Pidana Islam ..................................................................... 20
3. Hukuman terhadap pelaku jarimah pembunuhan
menurut hukum pidana islam ............................................ 22
xv
BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM
KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999
A. Ketentuan tentang Remisi Menurut Keppres RI No 174
Tahun 1999 ....................................................................... . 34
B. Pengertian Tindak Pidana Pembuunhan Menurut
Hukum Positif ....................................................................... 40
C. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan
di dalam KUHP ..................................................................... 41
D. Sanksi Pidana menurut Hukum Positif ................................ 51
E. Ketentuan Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan menurut Keppres Ri No 174
Tahun 1999 ............................................................................ 61
BAB IV ANALISIS PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Analisis Pemberian Remisi Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan menurut Keppres RI No 174
Tahun 1999............................................................................. 65
B. Analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Keppres RI No 174 Tahun 1999 tentang Pemberian
Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan .......................................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................... ............................... 85
B. Saran-Saran ........................................................................... 86
C. Penutup .................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap
orang yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan tersebut
perlu adanya suatu aturan yang dibuat untuk ditaati dan dijalankan oleh setiap
individu yang tergabung dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Aturan yang
menyangkut kehidupan orang banyak biasa disebut dengan hukum.
Salah satu hukum yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat adalah
hukum pidana. Banyak pengertian mengenai arti dari hukum pidana salah satunya
adalah menurut Pompe yang mengatakan “ Hukum pidana adalah semua aturan
hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan
pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian"1. Sedangkan di dalam Islam,
hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yaitu segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum
yang terperinci dari Al Qur’an dan hadis.2
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan
kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman
1 Siantury, Kanter, Asas-Asas hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta :Storia Grafika, 2002. h. 14.
2 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam , Jakarta : Sinar Grafika, 2009. h. 1
2
masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim haruslah mengandung rasa keadilan
agar dipatuhi oleh masyarakat.3
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) maupun di dalam
hukum pidana Islam, tindak pidana mempunyai macam-macam bentuknya,
ancaman hukuman yang diberikanpun berbeda antar satu tindak pidana, baik dari
pidana yang paling ringan maupun yang terberat sekalipun, Salah satu contohnya
adalah tindak pidana pembunuhan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ( KUHP ) hukuman bagi tindak pidana pembunuhanpun berbeda antara
pasal satu dengan pasal yang lain, seperti halnya dalam Pasal 338 KUHP
disebutkan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
penjara”,4 tetapi akan berbeda pula hukumannya jika pembunuhan itu didahului
dengan perencanaan seperti dalam Pasal 339 yang diancam dengan hukuman
seumur hidup.
Di dalam KUHP pidana itu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan
seperti yang telah tercantum dalam Pasal 10 KUHP bahwa pidana pokok terdiri
dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda , pidana tutupan,
dan juga pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, perampasan
barang-barang, dan pengumuman putusan hakim.5 Sedang di dalam hukum pidana
Islam jenis hukuman dibedakan menjadi dua yaitu jarimah hudud dan jarimah
ta’zir. Hudud adalah ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannya
hukuman termasuk qishas dan diyat yang tercantum dalam Al Qur’an dan hadis,
3 Ibid. h. 114 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta ; Rineka Cipta, 2006. h. 1345 Ibid. h. 6
3
sedangkan ta’zir adalah ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalaui
putusannya.6 Pembunuhan termasuk jarimah atau tindak pidana yang diancam
dengan hukuman qishash.
Di dalam hukum pidana Islam pembunuhan dikelompokkan menjadi tiga
yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan tidak sengaja, dan pembunuhan semi
sengaja. Hukum pidana Islam menjatuhkan sanksi pidana yang sangat berat bagi
pelaku pembunuhan yang disengaja. yaitu dengan tindakan hukuman pidana mati
atau hukuman qishash. Namun pelaksanaan hukuman itu diserahkan pada putusan
keluarga si terbunuh, pilihannya apakah tetap dilaksanakan hukuman qishash atau
dimaafkan dengan penggantian berupa diyat atau denda sebesar yang ditetapkan
oleh keluarga si terbunuh. Meskipun keputusan diserahkan kepada keluarga si
terbunuh, tapi adanya hukuman qishash ini ternyata efektif untuk meminimalisir
terjadinya pembunuhan nyawa orang yang tidak bersalah.7
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surat Al Baqarah
ayat 178 :
.... Artinya. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh..
Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishash itu tidak
dilakukan, bila yang membunuh mendapat pema'afan dari ahli waris yang
terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat
6 Zainudin Ali. Op. cit. h.117 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, Dan Tantangan,
Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001. h. 88
4
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan
yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak
menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si
pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash
dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih. Jadi qishash itu berarti
memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain.8
Didalam hukum pidana Islam juga dikenal dengan adanya gugurnya
hukuman karena sebab tertentu. Gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat
dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh
hakim, berhubung tempat ( badan atau bagiannya ) untuk melaksanakan hukuman
sudah tidak ada lagi, atau waktu untuk melaksanakannya sudah lewat. Adapun
sebab-sebab gugurnya hukuman tersebut salah satunya adalah adanya
pengampunan.9 Kasus pembunuhanpun, hukum Islam mengenal asas pemaafan
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam penggalan surat Al
Baqarah 178 yang berbunyi :
.... ....
Artinya :Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan darisaudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan carayang baik,
8 Ibid. h. 909 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Huum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006, h.173
5
Memang dalam sejarah hukum pidana di Indonesia, pelaksanaan pidana mati
masih sangat jarang terjadi, dengan alasan kemanusiaan hukuman mati sering
digantikan dengan hukuman penjara. Pidana penjara merupakan salah satu bentuk
pidana perampasan kemerdekaan.10Pidana penjara atau pidana lain yang
menghilangkan kemerdekaan bergerak seseorang, pada akhir tujuannya adalah
melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan.11 Tetapi apakah demikian
yang terjadi di dalam masyarakat, karena dengan berjalannya masa hukuman,
Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM setiap tahun ketika hari hari besar
kenegaraan dan hari besar agama memberikan suatu pengurangan masa tahanan
atau yang sering disebut dengan Remisi. Pengertian remisi adalah sebagai
pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagian atau dari seumur hidup
menjadi hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus.12 Sedangkan
remisi menurut Keppres RI No 174 tahun 1999 adalah pengurangan masa pidana
yang diberikan kepada setiap narapidana bila yang bersangkutan berkelakuan baik
selama menjalani pidananya.13 Dengan demikian maka nararpidana tidak akan
menjalankan hukuman yang diberikan secara penuh sehingga dengan adanya
remisi ini apakah akan membuat jera bagi pelaku tindak pidana untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi atau menjadi residifis.
KUHP dalam penerapannya sudah mulai disesuaikan dengan prinsip
keadilan bagi masyarakat Indonesia, tetapi mengapa putusan seorang hakim yang
mempunyai putusan tetap dapat berubah dan berkurang dengan adanya remisi ini.
10 Sianturi,. Kanter, op.cit. h.46711 Widiada Gunakaya, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung:CV ARMICO,
1988. h.4212 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986. h. 50313 Keppres RI No 174 tahun 1999 pasal 1.
6
Padahal pemberian remisi ini tidak melihat dari jenis tindak pidana yang
dilakukan, akan tetapi hanya pada lamanya masa tahanan yang akan dijalani dan
berperilaku baik selama menjalani hukuman. Seperti pada tindak pidana
pembunuhan sekalipun yang tetap mendapat remisi, padahal tindak pidana
pembunuhan ini telah nyata merampas hak hidup orang lain. Tentu muncul
pertanyaan adilkah remisi ini dilihat dari pihak korban? Tentu ini menjadi
persoalan yang tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang semata.
Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan di atas, menarik minat
penulis untuk mengetahui bagimana remisi itu diberikan mengingat hanya
narapidana yang mempunyai syarat-syarat tertentu saja yang bisa mendapatkan
remisi itu lebih-lebih untuk kasus seperti pembunuhan. Selain itu penulis marasa
tertarik untuk mengetahui remisi itu ditinjau dari sudut pandang atau perspektif
hukum pidana Islam ( Fiqh Jinayah ), kemudian penulis mencoba menganalisis
dalam bentuk karya ilmiah yang disusun dalam bentuk skripsi yang berjudul
Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak
Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun
1999 tentang Remisi )
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Dapatkah ketentuan remisi yang terdapat dalam Keppres RI No 174 tahun
1999 diterapkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan ?
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap Keppres RI No 174 tahun
1999 terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana pembunuhan ?
C. Tujuan dan Manfaat Analisa
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai ketentuan remisi yang terdapat
dalam Keppres RI No 174 tahun 1999.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap Keppres RI No
174 tahun 1999 terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan.
Dengan tercapainya tujuan di atas, diharapkan hasil penelitian ini akan
memperoleh manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah dapat memberikan ilmu
pengetahuan baru mengenai pemberian remisi baik dari sudut pandang
hukum pidana Islam maupun hukum pidana di Indonesia.
2. Menjadikan sumber inspirasi dalam rangka memberikan kontribusi ilmiah
mengenai masalah pemberian remisi, sejalan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Dan memperkaya ilmu pengetahuan khususnya mengenai
8
masalah remisi bagi masyarakat awam umumnya yang kurang begitu jelas
tentang pemberian remisi.
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
sumber yang membicarakan masalah tersebut di antaranya :
Skripsi karya Inayatur Rahman mahasiswi Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Sunan Ampel Surabaya yang berjudul, ”Tinjauan Filsafat Hukum Islam
Terhadap Pelaksanaan Remisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis
Keppres RI No 174 Tahun 1999 )”. Skripsi ini memberikan gambaran pemberian
remisi menurut filsafat hukum Islam sehingga memberikan perbedaan dengan
skripsi yang penulis buat karena berbeda dalam sudut pandangnya.14
Skripsi Zaenal Arifin, mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pemberian Remisi pada Narapidana”. Skripsi ini memberikan gambaran tentang
remisi pada umumnya sehingga belum ada klasifikasi secara khusus terutama
mengenai tindak pidana yang dilakukan. Dengan kata lain skripsi ini hanya
memberikan gambaran umum tentang remisi baik dilihat dari sudut pandang
hukum Islam.15
Skripsi karya Lasiyo mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “ Pemberian Remisi Terhadap
Koruptor dalam Sudut Pandang Fiqh Jinyah”. Skripsi ini merupakan karya tulis
14 Inayatur Rahman, ” skripsi Tinjauan Filsafat Hukum Islam Terhadap PelaksanaanRemisi Bagi Pelaku Tindak Pidana ( Analisis Yuridis Keppres RI No 174 Tahun 1999)”, Surabaya : IAIN Sunan Ampel : 2009.
15 Zaenal Arifin, “skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi PadaNarapidana, ,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.
9
yang cukup memberikan gambaran mengenai remisi, terutama yang menyangkut
tentang tindak pidana korupsi.16
Dari berbagai kajian di atas jelas membedakan dengan penelitian yang
penulis buat. Hal ini nampak jelas dari permasalahan yang diangkat. Peneliti
dalam tulisan ini mengangkat pemberian remisi terhadap suatu tindak pidana
pembunuhan. Sehingga penelitian tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap
Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis
Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi ) diharapkan
dapat menambah khasanah ilmu dan wawasan baru terutama di bidang ilmu
hukum pada umumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang juga
sering disebut dengan penelitian kepustakaan ( Library Research ), yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini
bersifat kualitatif. Menurut Bambang Sunggono,SH.,M.S pada penelitian ini
peneliti mencari landasan teoritis dari perrmasalahan penelitiannya sehingga
penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat ” trial and error”.17
Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti
buku, majalah, jurnal dan berbagai sumber lainnya.
2. Sumber Data
16 Lasiyo, Skripsi Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang FiqhJinyah, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.
17 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum , Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.1998. h. 114
10
Sumber data merupakan bahan-bahan yang diperoleh berdasarkan dari data-
data primer dan sekunder.
1) Data Primer : Keppres RI nomor 174 tahun 1999. sebagai data pokok yang
dianalisis dalam skripsi ini.
2) Data Sekunder : berupa buku-buku atau bahan-bahan hukum yang diambil
dari pendapat atau tulisan-tulisan para ahli dalam bidang remisi untuk
digunakan dalam membuat konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini dan dianggap sangat penting.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode Studi kepustakaan yaitu mendapatkan data melalui bahan-
bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari
peraturan perundang-undangan, teori-teori atau tulisan-tulisan yang terdapat
dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan
ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat.18
4. Analisis Data
Adapun untuk menganalisis data, penulis menggunakan deskriptif analisis,
karena sebagian sumber data dari penelitian ini berupa informasi dan berupa teks
dokumen. Maka penulis dalam menganalisis menggunakan teknik analisis
dokumen yang sering disebut content analisys. Disamping itu data yang dipakai
adalah data yang bersifat deskriptif, yang mengungkapkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia,1986. hlm.21
11
dan analisis data yang dipergunakan dengan pendekatan kualitatif terhadap data
primer dan data sekunder.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal
yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi
penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metodologi Penelitian,
Sistematika Penulisan Skripsi
BAB II : Remisi Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada bab dua ini diuraikan Remisi dari sudut pandang Islam yaitu
Pengertian Remisi dalam hukum Islam, Dasar hukum Remisi dalam hukum
pidana Islam, Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
BAB III : Pemberian Remisi Bagi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Keppres RI No 174 Tahun 1999
Dalam bab tiga ini diuraikan Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres
RI No 174 Tahun 1999 , Pengertian tindak pidana Pembunuhan Menurut Hukum
Positif, Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan di dalam KUHP,
Sanksi pidana Menurut Hukum Positif
12
BAB IV : Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Pemberian Remisi
Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan.
Dalam bab empat ini berisikan tentang Analisis Ketentuan Pemberian
Remisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan menurut Keppres RI No 174
tahun 1999 dan Analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Keppres RI No
174 Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan.
BAB V : Penutup
Bab yang terakhir ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
dari hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang
dilakukan.
13
BAB II
REMISI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Remisi Menurut Hukum Pidana Islam
Kata remisi berasal dari bahasa Inggris yaitu remission. Re yang berarti
kembali dan mission yang berarti mengirim, mengutus. Remisi diartikan
pengampunan atau pengurangan hukuman. Dari pengertian tersebut, Remisi
merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa asing yang kemudian
digunakan dalam pengistilahan hukum di Indonesia. Sebagaimana Remisi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan hukuman yang
diberikan kepada orang yang terhukum.1 Selain itu menurut kamus hukum karya
Soedarsono, remisi mempunyai arti pengampunan hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2
Dalam istilah Arab memang tidak dijumpai pengertian yang pasti mengenai
kata remisi, tetapi ada beberapa istilah yang hampir sepadan dengan makna remisi
itu sendiri, yaitu al-Afu’ (maaf, ampunan), ghafar (ampunan), rukhsah
(keringanan), syafa’at (pertolongan), tahfif (pengurangan). Selain itu menurut
Sayid Sabiq memaafkan disebut juga dengan Al-Qawdu’ “menggiring” atau
memaafkan yang ada halnya dengan diyat atau rekonsiliasi tanpa diyat walau
melebihinya.3 Dalam hukum pidana Islam istilah yang sering digunakan dan
memiliki makna hampir menyerupai istilah remisi adalah tahfiful uqubah
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : BalaiPustaka, 2005. h. 945
2 Soedarsono, Kamus Hukum, Jakarta : Rhineka Cipta, 1992. h.4023 Sayyid Sabiq (ed.), Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari ”Fiqhus
Sunah”, Jakarta : Pena Pundi Aksara.2006.h.419
14
(peringanan hukuman). Dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam peringanan atau
pengampunan hukuman merupakan salah satu sebab pengurungan (pembatalan)
hukuman, baik diberikan oleh korban, walinya, maupun penguasa.4
B. Dasar Hukum Remisi dalam Hukum Pidana Islam
Dasar pengampunan hukuman yang menjadi hak korban/walinya terdapat
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT
dalam surat Al Baqaarah ayat 178 yaitu:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuqishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orangmerdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanitadengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afandari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengancara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar(diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dansuatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,Maka baginya siksa yang sangat pedih.”5
Adapun sebab diturunkannya ayat ini adalah riwayat yang berasal dari
Qatadah yang menceritakan bahwa penduduk jahiliyah suka melakukan
penganiayaan dan tunduk kepada setan. Jika terjadi permusuhan di antara mereka
4 Abdul Qadir Audah ( ed ), Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan OlehAhsin Sakho Muhammad dkk dari. “Al tasryi’ Al-jina’I Al-Islami” Jakarta: PTKharisma Ilmu. 2008. h.168
5 Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Semarang : Cv Asy Syifa’,2000. h.21
15
maka budak mereka akan membunuh budak orang yang dimusuhinya. Mereka
juga sering mengatakan , “ kami hanya akan membunuh orang merdeka sebagai
ganti dari budak itu.” Sebagai ungkapan bahwa mereka lebih mulia dari suku lain.
Seandainya seorang wanita dari mereka membunuh wanita lainnya, merekapun
berkata, “ kami hanya akan membunuh seorang lelaki sebagai ganti wanita
tersebut”, maka Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi ” Orang merdeka
dengan orang merdeka , hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” 6
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair rahimahullah bahwa sesaat sebelum
Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah terbiasa membunuh. Terjadi pembunuhan
dan saling melukai diantara mereka hingga merekapun membunuh budak dan
kaum wanita. Mereka tidak menerapkan qishas dalam pembunuhan tersebut
hingga mereka masuk Islam, bahkan salah seorang dari mereka melampaui batas
dengan melakukan permusuhan dan mengambil harta orang lain. Mereka juga
bersumpah untuk tidak merelakan sampai dapat membunuh orang yang merdeka
sebagai ganti budak yang terbunuh, dan membunuh seorang laki-laki sebagai
ganti dari wanita yang terbunuh, maka Allah menurunkan firman-Nya, ” Hai
orang-orang yang beriman, diwajibbkan atas kamu Qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh.”7
Selain mewajibkan Qishash , Islam juga lebih menganjurkan pemberian
maaf, dan mengatur tata cara ( hududnya ), sehingga sikap pemberian maaf ini
terasa sangat adil dan muncul setelah penetapan Qishash . Anjuran pemberian
maaf ini bertujuan untuk mencapai kemuliaan , bukan suatu keharusan , sehingga
6 Abdurrahman Kasdi Dan Umma Farida , Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-LadziinaAamanuu 1, Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2005. h. 63
7 Ibid, h. 64
16
bertentangan dengan naluri manusia dan membebani manusia dengan hal-hal di
luar kemampuan mereka. Allah SWT berfirman, ” Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)”.
Selain itu terdapat juga dalam surat Al Maaidah ayat 45 :
Artinya : Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (AtTaurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata,hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, danluka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hakkisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkanAllah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Ma’idah: 45)8
Ayat ini menekankan bahwa ketetapan hukum diyat tersebut ditetapkan
kepada mereka mareka Bani Isra’il di dalam kitab Taurat. Penekanan ini
disamping bertujuan membuktikan betapa mereka melanggar ketentuan-ketentuan
hukum yang ada dalam kitab suci mereka, juga untuk menekankan bahwa prinsip-
prinsip yang ditetapkan oleh Al Qur’an ini pada hakekatnya serupa dengan
prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah terhadap umat-umat yang lalu. Dengan
8 Departeman Agama RI, op. cit. h.92
17
demikian diharapkan ketentuan hukum tersebut dapat diterima dan dilaksanakan
oleh semua umat termasuk umat Islam.9
Penafsiran dalam penutupan ayat ini, ” Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim” mengesankan bahwa anjuran memberi maaf bukan berarti
melecehkan hukum Qishas karena hukum ini mengandung tujuan yang sangat
agung, antara lain menghalangi siapapun melakukan penganiayaan, mengobati
hati yang teraniaya atau keluarganya, menghalangi adanya balas dendam dan lain-
lain. Sehingga jika hukum ini dilecehkan maka kemaslahatan itu tidak akan
tercapai dan ketika itu dapat terjadi kedzaliman. Oleh sebab itu putuskanlah
perkara sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, memberi maaf atau
melaksanakan qishash. Karena barang siapa yang tidak melaksanakan hal tersebut
yakni tidak memberi maaf atau tidak menegakkan pembalasan yang seimbang,
maka dia termasuk orang yang zalim.
Disamping dasar pengampunan dari Al Qu‘ran Selain itu terdapat pula
dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra dan HR Ahmad, Abu
Daud, An Nasa-Ydan Ibnu Majah; Al Muntaqa yaitu :
ن الك بن أنس ع اقال م أیت م ر لىالنبي ص لیھ هللا لم ع س فع و ء إلیھ ر ي فیھ ش
اص قص ر إال ف فیھ أم .10وبالع
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telahmenceritakan kepada kami Abdullah bin bakr bin Abdullah Al Muzanidari Atha bin Abu Maimunah dari Anas bin Malik ia berkata, "Akutidak pernah melihat Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam mendapat
9 M. Quraishi Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran, Jakarta :Lentera Hati, 2002. h.107
10 Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah 173
18
pengaduan yang padanya ada Qishas, kecuali beliau menganjurkanuntuk memaafkan." ( HR.Ahmad Abu Daud 4497 )
C. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
Di dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang oleh syara’ biasa
disebut dengan jarimah, sedangkan hukumannya disebut dengan uqubah. Jarimah
ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jarimah hudud,
jarimah qishas dan diyat serta jarimah ta’zir.11 Jarimah hudud merupakan jarimah
yang diancam dengan hukuman had, sedangkan jarimah qishas dan diyat
merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat, dan jarimah
ta’zir merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir . Perbedaan dari
ketiga jarimah itu adalah jika hukuman had merupakan hak Allah sepenuhnya
sedangkan qishas dan diyat serta ta’zir merupakan hak individu ( hak manusia ).
Jarimah pembunuhan termasuk kedalam jarimah qisas dan diyat karena terdapat
hak individu disamping hak Allah SWT.
Setiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu;
a) Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, dan
unsur ini biasa disebut dengan Unsur Formil
b) Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-
perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut
dengan Unsur Materiil .
11 Ahmad Wardi Muslich, op. cit. h. IX
19
c) Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggunganjawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini
biasa disebut dengan Unsur Moriil
1. Pengertian Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam.
Tindak pidana pembunuhan termasuk kedalam ketegori jarimah qisas dan
diyat. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut قتل) ) yang sinonimya (امت)
artinya mematikan. Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda walaupun
kesimpulannya sama yaitu tentang menghilangkan nyawa orang lain.
Berbagai ulama’ yang mendefinisikan pembunuhan dengan suatu
perbuatan manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Yang
pertama adalah didefiniskan oleh Wahbah Az-Zuhayliy yang mengutip pendapat
Khatib Syarbini sebagai berikut ”Pembunuhan adalah perbuatan yang
menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”, Selain itu Abdul Qadir Al
Audah menerangkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang yang
menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak adam oleh
perbuatan anak adam yang lain.12 Sedangkan menurut Ahmad Wardi Muslich
definisi pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja maupun tidak sengaja,13 Pengertian jarimah pembunuhan menurut
Zainudin Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam adalah suatu
aktivitas yang dilakukan seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan
12 Abdul Qadir Audah ( ed ), op. cit. h.17713 Ahmad Wardi Muslich,.Hukum Pidana Islam, op.cit h.137
20
seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.14 Jadi, banyak sekali
pengertian-pengertian yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan itu
merupakan aktifitas menghilangkan nyawa orang lain yang dapat dilihat dari
berbagai aspek tinjauan hukum.
2. Macam-Macam Pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam
Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk
hukum Qishas. Sebab, diantara tindakan kejam itu ada yang disengaja, ada yang
menyerupai kesengajaan, ada kalanya kesalahan, dan ada kalanya diluar itu
semua. Jarimah Qishas dan Diyat sebenarnya dibagi menjadi dua, yaitu
pembunuhan dan penganiayaan. Para fuqahapun membagi pembunuhan dengan
pembagian yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandang masing-masing. Tetapi
apabila dilihat dari segi sifat perbuatannya pembunuhan dapat dibagi lagi menjadi
tiga15, yaitu :
a. Pembunuhan Disengaja ( amd ),
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk
membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang
dibunuh adalah manusia yang hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku,
pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian.16Dalam hukum Islam
pembunuhan disengaja termasuk dosa paling besar dan tindak pidana paling jahat.
Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja pihak keluarga korban dapat
14 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, op. cit. h. 2415 Ibid , h 2416 Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, op.cit. h. 141
21
memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman yaitu qishas, diyat, atau pihak
keluarga memaafkannya apakah dengan syarat atau tanpa syarat.17. selain itu
pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain dari tiga hukuman tersebut
yaitu dosa dan terhalang dari hak waris dan menerima wasiat.
b. Pembunuhan semi sengaja ( syibul amd )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak
ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya perbuatan dari pelaku
yang mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan,
kematian adalah akibat perbuatan pelaku.18. Dalam hal ini hukumannya tidak
seperti pembunuhan sengaja karena pelaku tidak berniat membunuh. Hukuman
pokok dari pembunuhan semi sengaja selain dosa karena ia telah membunuh
seseorang yang darahnya diharamkan Allah dialirkan, kecuali karena haq ( Alasan
syari’ ) adalah diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya adalah ta’zir dan
puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan
hak menerima wasiat19
c. Pembunuhan tidak disengaja ( khata )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsur
kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sedangkan unsur-
unsur dari pembunuhan karena kesalahan yaitu sebagaimana yang dikemukakan
17 Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: SinarGrafika. 2006. h.127
18 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam, op.cit. h 14219 Abdul Qadir Audah ( ed ), op. cit. h.338
22
oleh Abdul Qadir Al Audah ada tiga bagian, yaitu adanya perbuatan yang
mengakibatkan matinya korban, perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan
pelaku, antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan
sebab akibat. Hukuman bagi pembunuhan tersalah hampir sama dengan
pembunuhan menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafarat, dan
hukuman penggantinya adalah ta’zir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu
pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.
3. Hukuman Terhadap Pelaku Jarimah Pembunuhan Menurut Hukum
Pidana Islam.
Pembunuhan dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam
hukuman, sebagian hukuman pokok dan dan pengganti. Berikut ini akan
dijelaskan macam-macam hukuman bagi tindak pidana pembunuhan menurut
hukum pidana Islam.
a. Hukuman Qishas
1) Pengertian Qishas
Qishas dalam arti bahasa adalah االثر تتبع artinya menyelusuri jejak. Selain
itu qishas dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut
istilah syara, Qishash adalah memberikan balasan yang kepada pelaku sesuai
dengan perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah
menghilangkan nyawa orang lain ( membunuh ), maka hukuman yang setimpal
adalah dibunuh atau hukuman mati.
23
2) Dasar Hukum Qishash
Dasar dari hukuman qishas dalam jarimah pembunuhan yaitu Al-Qur’an
surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah tercantum dalam
halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar hukum dari hukum qishash
juga terdapat dalam Al-Qur’an surat Al Baqaarah ayat 179 yang berbunyi :
Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS.Al Baqaarah 179)
Selain itu hukuman Qishash ini dijelaskan dalam hadits An-Nas’i yang
berbunyi :
ارث قال كین بن الح س ة م اء لیھ قر أناع ع و م فیان عن أس روعن س م ن ع ع
اھد ج باس ن اب عن م ان قالع ائیل بنيفيك ر اص إس لم القص فیھم تكن و
یة ل الد فأنز ز هللا ل ع ج تب (و لیكم ك اص ع القتلىفيالقص ر الح ر بالح
بد الع بد و نثىبالع األ نثىو لھ إلىباأل في ن فم قو ن لھ ع یھ م ء أخ ي فاتباع ش
وف ر ع اء بالم أد ان إلیھ و س فو )بإح فالع یة یقبل أن د فيالد م اتباع الع و
وف ر ع ایتبع یقول بم وف ھذ ر ع اء بالم أد ان إلیھ و س ديبإح یؤ او ان ھذ س بإح
لك فیف ذ ن تخ بكم م ة ر م ح ر او م تب م لىك ن ع ان م اقبلكم ك ھو إنم
اص یة لیس القص 20الد
20 Imam Abdurrrohman Ahmad Syuaib Nasa’i, Kitab Sunan Al-Kubro, Beirut-Lebanon :Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.1991. h.229
24
(NASAI - 6983) : Al Harits bin Miskin berkata denganmembacakan riwayat dan saya mendengar dari Sufyan dari'Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata; dahulu padaBani Israil terdapat hukum qishas namun tidak ada diyat padamereka, lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaandengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orangmerdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan darisaudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengancara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)).Pemberian maaf itu adalah menerima diyat pada pembunuhandengan sengaja, dan hendaklah (yang mema'afkan) mengikutidengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yangbaik (pula)), serta melaksanakan ini dengan kebaikan. Yangdemikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suaturahmat dari apa yang diwajibkan atas kaum sebelum kalian,sesungguhnya hal tersebut adalah qishas bukan diyat.
3) Syarat-syarat Qishas
Untuk melaksanakan hukuman qishas perlu adanya syarat-syarat yang harus
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku ( pembunuh
), korban ( yang dibunuh ), perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban21 .
adapun penjelasannya adalah sebagai berikut ;
a) Syarat-Syarat Pelaku ( Pembunuh )
menurut Ahmad Wardi Muslich yang mengutip dari Wahbah Zuhaily
mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku ( pembunuh ) untuk
diterapkannya hukuman Qishash , syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf,
yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (
pembunuh ) harus orang yang mempunyai kebebasan.22
21 Zainudin Ali,Hukum Pidana Islam .op. cit h. 15122 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. op.cit. h.152
25
b) Korban ( yang dibunuh ),
Untuk dapat diterapkannya hukuman qishas kepada pelaku harus memenuhi
syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban
harus orang orang yang ma’shum ad-dam artinya korban adalah orang yang
dijamin keselamatannya oleh negara Islam, korban bukan bagian dari pelaku,
artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya
keseimbangan antara pelaku dengan korban ( tetapi para jumhur ulama saling
berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).
c) Perbuatan Pembunuhannya
Dalam hal perbuatan menurut hanafiyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan
langsung ( mubasyaroh), bukan perbuatn tidak langsung ( tasabbub ). Apabila
tassabub maka hukumannya bukan qishas melainkan diyat. Akan tetapi, ulama-
ulama selain hanafiyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa
pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman Qishash.
d) Wali ( Keluarga ) dari Korban
Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak
diketahui keberadaanya maka Qishash tidak bisa dilaksankan. Akan tetapi ulama-
ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
4) Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qishas
Ada beberapa sebab yang dapat menjadikan hukuman itu gugur, tetapi sebab
ini tidaklah dapat dijadikan sebab yang bersifat umum yang dapat membatalkan
seluruh hukuman, tetapi sebab-sebab tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-
26
beda terhadap hukuman.23 Adapun sebab-sebab yang dapat menggugurkan
hukuman adalah :
a) Meninggalnya pelaku tindak pidana,
b) Hilangnya tempat melakukan qishas
c) Tobatnya pelaku tindak pidana,
d) Perdamaian,
e) Pengampunan,
f) Diwarisnya qishas,
g) Kadaluarsa ( at-taqadum )
Dari beberapa sebab-sebab yang dapat menggugurkan hukuman yang paling
mendekati dengan Remisi adalah sebab yang ke lima yaitu pengampunan.
b. Hukuman Diyat
1) Pengertian Diyat
Pengertian diyat yang sebagaimana dikutip dari sayid sabiq adalah harta
benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang diberikan kepada
korban kajahatan atau walinya.24
Diyat diwajibkan dalam kasus pembunuhan sengaja dimana kehormatan
orang yang terbunuh lebih rendah dari pada kehormatan pembunuh, seperti
seorang laki-laki merdeka membunuh hamba sahaya. Selain itu diyat diwajibkan
atas pembunuh yang dibantu oleh para Aqilahnya ( saudara-saudara laki-laki dari
pihak ayah ), hal ini bilamana pembunh mempunyai saudara. Ini diwajibkan atas
23 Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993.24 Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.451
27
kasus pembunuhan serupa kesengajaan dan pembunuhan karena suatu
kesalahan.25
2) Jenis Diyat Dan Kadarnya
Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Ahmad Ibn
Hanbal, jenis diat itu ada 6 macam, yaitu ;26
1. Unta,
2. Emas
3. Perak,
4. Sapi,
5. Kambing, atau
6. Pakaian.
Diyat itu ada kalanya berat dan adakalanya ringan. Diyat yang ringan
dibebankan atas pembunhan yang tidak disengaja, dan diyat yang berat
dibebankan atas pembunhan yang serupa kesengajaan.
3) Sebab-Sebab Yang Menimbulkan Diyat
Menurut H. Moh Anwar, sebab-sebab yang dapat menimbulkan diyat
ialah:27
a) Karena adanya pengampunan dari qishas oleh ahli waris korban, maka dapat
diganti dengan diyat.
b) Pembunuhan dimana pelakunya lari akan tetapi sudah dapat diketahuai
orangnya, maka diyatnya dibebankan kepada ahli waris pembunuh. Ini
25 Ibid. h.45626 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam .op.cit. h16827 Soedarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta; PT. Rineka Cipta, 1993. h.536
28
dikarenakan untuk memperbaiki adat kaun jahiliyah dahulu yang di mana jika
terjadi pembunuhan yang disebabkan oleh kesalahan mereka suka membela
pembunuhagar dibebaskan dari diyat dan secara logika untuk menjamin
keamanan yang menyeluruh, sehingga para setiap anggaota keluarga saling
menjaga dari kekejaman yang dapat menimbulkan penderitaan orang lain.
c) Karena sukar atau susah melakasanakan Qishas.
Bila wali memberi maaf atau ampunan terhadap pembunhan yang disengaja
maka menurut imam syafi’i dan hanbali berpendapat harus diyat yang diperberat.
Tetapi menurut Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus pembunuhan
sengaja tidak ada diyat , tetapi yang wajib adalah berdasarkan persetujuan dari
kedua belah pihak ( wali korban dengan pelaku pembunuh) dan wajib dibayar
seketika dengan tidak boleh ditangguhkan.28
c. Hukuman Ta’zir
Ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara’29Dengan kata lain ta’zir adalah
hukuman yang bersaifat edukatifyang ditenukan oleh hakim.30
Adapun jenis dari hukuman ta’zir bermacam-macam, menurut H. Zainudin
Ali jenis hukuamn yang termasuk ta’zir antara lain hukuman penjara, skors atau
pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata, dan jenis-jenis
hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Bahkan
menurut abu hanifah , pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang
28 Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.45429 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam op.cit. h.24930 Sayyid Sabiq (ed.), op. cit. h.491
29
kali, hakim dapat menjatuhkan hukuman mati, seperti seorang pencuri yang
dipenjara tetapi masih tetap mengulangi perbuatan tercela itu ketika ia dipenjara,
maka hakim berwenang menjatuhi hukuman mati kepadanya.
Hukuman pengganti yang ke dua setelah diyat yaitu ta’zir. Apabila hukuman
diyat gugur karena sebab pengampunan atau lainnya, hukuman tersebut diganti
dengan hukuman ta’zir. Seperti halnya dalam pembunhan sengaja, dalam
pembunuhan yang menyerupai sengaja ini, hakim diberi kebebasan untuk memilih
jenis hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
d. Pidana Penjara Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara pertama Al-
Habsu; kedua As-sijnu. Pengertian Al-Habsu menurut bahasa adalah Al-Man’u
yang artinya mencegah atau menahan. Menurut imam ibn al qayyim al jauziyah
yang dimaksud dengan al-habsu menurut syara’ bukanlah menahan pelaku
ditempat yang sempit, melainkan menahan seseorang dan mencegahnya agar ia
tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di dalam rumah, atau
masjid, maupun tempat lainnya, penahanan seperti itulah yang dilakukan pada
masa Nabi dan Abu Bakar. Pada masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang
khusus disediakan untuk menahan seaorang pelaku tindak pidana. Dan barulah
pada masa Pemerintahan Khalifah Umar menyediakan penjara dengan cara
membeli rumah Shafwan Ibn Umayah sebagai penjaranya.31
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi menjadi dua, yaitu ;
a) Hukuman Penjara Terbatas
31 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam .op.cit. h.261
30
Hukuman penjara terbatas adalah hpukuman penjara yang lama waktunya
dibatasi secara tegas. Tentang batas tertinggi dan terendah dari hukuman penjara
dikalangan ulama’pun tidak ada yang bersepakat. Dengan tidak adanya ketentuan
yang pasti ini maka para ulama hanya menyerahkan kepada ijtihat Imam ( Ulil
Amri ) tentang batas terendah dan tertinggi untuk hukuman penjara.32
Sebagai akibat dari perbedaan pendapat tersebut banyak orang yang
mendapatkan hukuman kawalan pada negara-negara yang memakai hukum
positif, sedang pada Negara yang memakai hukum Islam akan lebih sedikit
jumlahnya.33
b) Hukuman Penjara Tidak Terbatas
Yaitu hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus menerus sampai orang yang terhukum mati atau sampai ia
bertobat. Dalam istilah lain dapat disebut dengan hukuman seumur hidup.
e. Pengampunan Dalam Jarimah Pembunuhan.
Pengampunan bagi tindak pelaku pembunuhan merupakan hak dari wali
korban. Wali diberi wewenang untuk mengampuni hukuman qishas. Apabila ia
memaafkan maka gugurlah hukuman qishas tersebut. Dalam hal pemberian
ampunan bisa saja dari ahli waris korban memberikan dengan Cuma-Cuma atau
dengan meminta diyat. Tetapi meskipun demikian tidaklah menjadi penghalang
bagi penguasa untuk menjatuhkan hukuman takzir yang sesuai terhadap pelaku.
Wali korban boleh memaafkan secara cuma-cuma dan inilah yang lebih
utama, oleh karena Allah SWT. telah berfirman dalam surat Al Baqarah 237 ;
32 Ibid, h.26333 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:PT Bulan Bintang , 1993, h.309
31
....
“Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlahkamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya AllahMaha melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Menurut madzab syafi’i dan madzab hambali, pengampunan dari qishas
mempunyai pengertian ganda, yaitu pengampunan dari qishas saja atau
pengampunan dari qishas dan diganti dengan diyat. Kedua pengertian tersebut
merupakan pembebasan hukuman dari pihak korban tanpa menunggu persetujuan
dari pihak pelaku.34Sedangkan menurut imam malik dan abu hanifah,
pengampunan itu hanya pembebasan dari hukuman qishas saja sedangkan diyat
menurut keduanya hanya bersifat perdamaian ( Sulh ).
Memang pada dasarnya di dalam perkara pidana umum korban dan walinya
tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan tetapi lainnya
halnya dalam pidana qishas dan diyat, korban dan walinya diberi wewenang
untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena
tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan pribadi korban, selain itu tindak
pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi korban dari pada keamanan
masyarakat, sehingga pihak korban atau walinya diberikan hak tersebut.
Selain itu dalam jarimah hudud pengampunan tidak memiliki pengaruh
apapun bagi tindak piadana yang dijatuhi hukuamna hudud, baik itu diberikan
oleh wali korbannya maupun penguasa. Karena hukuman dalam hudud bersifat
34 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. op cit. h. 195
32
wajib dan harus dilaksanakan. Para ulama menyebut tindak pidana hudud sebagai
hak Allah sehingga tidak boleh diampuni atau dibatalkan.35
Begitu juga dalam tindak pidana ta’zir sudah disepakati bahwa penguasa
memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana ta’zir. Karena itu
penguasa boleh memberi ampunan dan hukumannya baik sebagian maupun
keseluruhannya. 36
Adapun yang berhak memberikan pengampunan adalah korban itu sendiri
apabila ia telah baligh dan berakal. Apabila dia belum baligh dan akalnya tidak
sehat menurut madzab Syafi’i dan madzab Hambali, hak itu dimiliki oleh walinya.
Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, wali dan washi (
pemegang wasiat ) tidak memiliki hak maaf, melainkan hanya hak untuk
mengadakan perdamaian ( shulh) saja37.
Pengampunan terhadap qishas dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha,
bahkan lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 178.
.... ...
…Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan darisaudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan carayang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat)kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula)....( QS. AlBaqarah : 178)38
35 Abdul Qadir Audah ( ed ), op.cit. h.16936 Ibid.h.17137 Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. op cit. h. 19538 Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya,h.21
33
Selain itu dalam surat AL Maidah ayat 45 tentang pelukaan disebutkan :
... ...
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hakitu (menjadi) penebus dosa baginya. ..( QS Al maaidah : 45 )39
Dalam hadits Nabi melalui Anas ibn Malik, ia berkata;
ن الك بن أنس ع اقال م أیت م ر ل النبي ىص لیھ هللا لم ع س فع و ء إلیھ ر ي فیھ ش
اص قص ر إال فو فیھ أم 40بالع
( HR.Ahmad Abu Daud : 4497 ) Telah menceritakan kepada kamiMusa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullahbin bakr bin Abdullah Al Muzani dari Atha bin Abu Maimunah dariAnas bin Malik ia berkata, "Aku tidak pernah melihat NabishallAllahu 'alaihi wasallam mendapat pengaduan yang padanya adaQishas, kecuali beliau menganjurkan untuk memaafkan."
Pernyataan untuk memberikan pengampunan tersebut dapat dilakukan secar
lisan maupun tertulis. Redaksinya bisa dengan lafaz ( kata ) memaafkan,
membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan dan sebagainya.
39 Ibid.h.9240 Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.
1996.h.173
34
BAB III
REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI
NO 174 TAHUN 1999
A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999
1. Pengertian Remisi
Pengertian Remisi memang tidak hanya terpaku dalam satu pengertian saja.
Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli maupun yang sudah tercantum
dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun dalam KeppresRI No 174 Tahun
1999 tidak memberikan pengertian Remisi dengan jelas karena di dalam keppres
ini hanya menyebutkan “ setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani
pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan Remisi apabila
yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana “.
Remisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan
hukuman yang diberikan kepada orang yang terhukum.1 Kamus Hukum karya Drs
Soedarsono SH memberikan pengertian bahwa Remisi adalah pengampunan
hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dijatuhi hukuman pidana.2
Sedangkan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah dalam dalam Kamus Hukum
karyanya, beliau memberikan pengertian Remisi adalah sebagai suatu pembebasan
untuk seluruhnya atau sebagian atau dari hukuman seumur hidup menjadi
hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 agustus3. Selain itu pengertian
Remisi juga terdapat dalam peraturan Pemerintah republik Indonesia no 32 tahun
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit. h. 9452 Soedarsono, Op. Cit h.4023 Andi Hamzah, Kamus Hukum , Op. Cit. h.503
35
1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan,
dalam pasal 1 ( satu ) ayat 6 ( enam ) yang berbunyi ; “Remisi adalah pengurangan
masa menjalani pidana yang diberikan kepada nara pidana dan Anak Pidana yng
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan tentang pengertian
Remisi, yaitu pengampunan atau pengurangan masa hukuman kepada Narapidana
atau Anak Pidana yang sedang menjalakan hukumannya sesuai dengan syarat-
syarat yang berlaku.
2. Dasar Hukum Pemberian Remisi
Dasar hukum pemberian Remisi sudah mengalami bebrapa kali perubahan,
bahkan untuk tahun 1999 telah dikeluarkan Keppres No. 69 tahun 1999 dan belum
sempat diterapkan akan tetapi kemudian dicabut kembali dengan Keppres No. 174
Tahun 1999. Remisi yang belaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak jaman
belanda sampai sekarang adalah berturut-turut sebagai berikut :
a. Gouvernement besluit tanggal 10 agustus 1935 No. 23 bijblad N0. 13515 jo.
9 juli 1841 No. 12 dan 26 januari 1942 No. 22 : merupakan yang diberikan
sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran sri ratu belanda.
b. Keputusan Presiden nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat dalam
Berita Negara No. 26 tanggal 28 April 1950 Jo. Peraturan Presiden RI No.1
tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 dan Peraturan Menteri Kehakiman RI
No .G.8/106 tanggal 10 Januari 1947 jo. Keputusan Presiden RI No. 120
tahun 1955, tanggal 23 juli 1955 tentang ampunan.
c. Keputusan Presiden No.5 tahun 1987 jo. Keputusan Menteri Kehakiman RI
No. 01.HN.02.01 tahun 1987 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No.5
36
tahun 1987, Keputusan Menteri Kehakiman Ri No. 04.HN.02.01 tahun 1988
tanggal 14 mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang
Menjadi Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah Dan Keputusan Menteri
Kehakimanri No.03.HN.02.01 tahun 1988 tanggal 10 maret 1988 tentang
Tata Cara Permohonan Perubahan Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi
Pidana Penjara Sementara Berdasarkan Keputusan Presiden RI N0. 5 tahun
1987.
d. Keputusan Presiden No. 69 tahun 1999 tentang pengurangan masa pidana (
Remisi );
e. Keputusan Presiden No 174 tahun 1999 jo. Keputusan Menteri Hukum Dan
Perundang-Undangan RI No . M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999, Keputusan Menteri
Hukum Dan Perundang-Undangan No. M.10.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus.
Ketentuan yang masih berlaku adalah ketentuan yang terbaru, yaitu nomor
lima (e) tetapi ketentuan tersebut masih ditambahkan dengan beberapa ketentuan
yang lain, sehingga ketentuan yang masih berlaku untuk Remisi saat ini adalah4 :
a) Keputusan Presiden RI No 120 Tahun 1955, Tanggal 23 Juli 1955 tentang
Ampunan Istimewa.
b) Keputusan Menteri Kehakiman RI No. 04.HN.02.01 Tahun 1988 Tanggal 14
Mei Tahun 1988 Tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi
Donor Organ Tubuh Dan Donor Darah.
4 Dwidja Priyatno, op. cit. h.135
37
c) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan RI No.
M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No
174 Tahun 1999.
d) Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan RI No.
M.10.HN.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian
Remisi Khusus.
e) Surat Edaran No. E.PS.01-03-15 Tanggal 26 Mei 2000 tentang Perubahan
Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
f) Surat Edaran No. W8-Pk.04.01-2586, Tanggal 14 april 1993 tentang
pengangkatan pemuka kerja.
3. Klasifikasi dan syarat-syarat pemberian Remisi
Remisi menurut KeppresRI No 174 Tahun 1999 dibagi menjadi tiga (3)
yaitu 5:
a. Remisi umum yaitu Remisi yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
b. Remisi khusus yaitu Remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang
dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan
ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan
dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan
oleh penganut agama yang bersangkutan.
c. Remisi tambahan yaitu Remisi yang diberikan apabila Narapidana atau
Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana berbuat jasa
kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
5 Indonesia, Keputusan Presiden RI No 174 Tahun 1999
38
kemanusiaan , atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
4. Prosedur dalam pemberian Remisi
a. Remisi umum
Pemberian Remisi umum dilaksanakan sebagai berikut:
1) pada tahun pertama diberikan Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
satu (1);
2) pada tahun kedua diberikan Remisi 3 (tiga) bulan;
3) pada tahun ketiga diberikan Remisi 4 (empat) bulan;
4) pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan Remisi 5 (lima)
bulan; dan
5) pada tahun keenam dan seterusnya diberikan Remisi 6 (enam bulan) setiap
tahun.
Besarnya Remisi umum adalah:
1) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2) 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana
selama 12 (duabelas) bulan atau lebih.
b. Remisi khusus
Pemberian Remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:
1) pada tahun pertama diberikan Remisi sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1);
39
2) pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan Remisi 1 (satu)
bulan;
3) pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan Remisi 1
(satu) bulan 15 (lima belas) hari; dan
4) pada tahun keenam dan seterusnya diberikan Remisi 2 (dua) bulan setiap
tahun.
Besarnya Remisi khusus adalah:
1) 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah
menjalani pidana selama 6. (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
c. Remisi tambahan
Besarnya Remisi tambahan adalah:
1) 1/2 (satu perdua) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang berbuat jasa
kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara
atau kemanusiaan; dan
2) 1/3 (satu pertiga) dari Remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan sebagai pemuka.
40
B. Pengertian tindak pidana Pembunuhan Menurut Hukum Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan (hal,
dsb) membunuh.6 Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.7 Pembunuhan adalah perbuatan
yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, di mana perbuatan tersebut
merupakan kejahatan yang telah diatur dalam ketentuan yang ada dalam KUHP.
Unsur-unsur pembunuhan adalah :
a. Barang siapa: ada orang tertentu yang melakukan.
b. Dengan sengaja : dalam ilmu pidana di kenal tiga jenis bentuk sengaja, yaitu:
1) Sengaja sebagai maksud.
2) Sengaja dengan keinsafan.
3) Menghilangkan nyawa orang lain.8
Untuk menghilangkan nyawa orang lain seorang harus melakukan sesuatu
atau serangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan
catatan opzet (kesengajaan) dari pelakunya harus ditujukan pada akibat yang
berupa meninggalnya orang lain itu. Jadi tindak pidana pembunuhan itu
merupakan suatu delik materiil yang artinya delik yang baru dapat dianggap
sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang
dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.9
6 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 ,Jakarta: Balai Pustaka,1982, h.169.
7 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1, Bandung: Bina Cipta, 1986, h. 1.8 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, h. 229 P.A.F Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan:Op. Cit..h. 2
41
C. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan di dalam KUHP
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan
terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13
Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Ketentuan yang dirumuskan dalam pasal
338 KUHP itu merupakan suatu ketentuan pidana umum, sedang ketentuan yang
dirumuskan dalam pasal 339 sampai 349 merupakan ketentuan-ketentuan pidana
khusus.10
Kejahatan terhadap nyawa adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang
lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan objek kejahatan ini
adalah nyawa manusia. Ada 2 kelompok kejahatan terhadap
nyawa, ialah:
a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja adalah yang dimuat
dalam bab XIX KUHP pasal 338 s/d 350.
b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja adalah dimuat
dalam bab XXI pasal 359
1. Pembunuhan Biasa
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
lengkap dengan semua unsur-unsurnya.11 Adapun rumusan Pasal 338 KUHP
adalah : “barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun”.
Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan ”Barang siapa dengan sengaja dan
10 Ibid. h. 2311 P.A.F. Lamintang, Delik-delik khusus., Op. Cit . h..17.
42
dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan
biasa adalah sebagai berikut :
a) Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja ,
b) Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
Kesengajaan di sini ditujukan kepada hilangnya nyawa orang lain, inilah
yang membedakan dengan penganiayaan yang mengakibatkan kematian, karena
dalam penganiayaan tidak ada maksud atau kesengajaan untuk menghilangkan
nyawa orang lain.12 Sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah
suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu13. Dengan demikian unsur-unsur
dalam pasal 340 ini adalah unsur obyektifnya selain menghilangkan nyawa orang
lain tetapi juga ada unsur dengan direncanakan terlebih dahulu.
2. Pembunuhan Dengan Pemberatan
Ketentuan pidana tentang tindak pidana pembunuhan dengan keadaan-
keadaan yang memberatkan dalam hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya
sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu delik, yangdilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudahpelaksanaanya, atau untuk melepaskan dirisendiri maupun peserta lainnyadari pidana dalam hal tertangkap tanga, ataupun untuk memastikanpenguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam
12 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu ( Special Delicten) Di Dalam KUHP, Jakarta SinarGrafika 2010, h. 45
13 P.A.F. Lamintang, Delik-delik khusus., Op. Cit.h. 30-31.
43
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, palinglama 20 tahun.”
Yang menjadikan perbedaan unsur dengan unsur pembunuhan Pasal 338
KUHP ialah :unsur obyektifnya terdapat “diikuti, disertai, atau didahului oleh
tindak pidana”. Unsur didahului oleh perbuatan lain berarti pembunuhan
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan agar perrbuatan lain dapat
dilakukan atau mungkin dilakukan, sedang unsur disertai oleh perbuatan lain yang
dapat dihukum berarti pembunuhan dilakukan dengan maksud untuk
mempermudah pelaksanaan perrbuatan tindak pidana lain, dan unsur diikuti oleh
perbuatan lain dapat dihukum berarti pembunuhan dengan maksud agar ketika
tertangkap tangan pelaku atau peserta lain dapat menghindarkan diri dan jaminan
untuk memperoleh barang yang diperolehnya dengan melawan hukum.14
3. Pembunuhan Berencana
Tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu yang oleh
undang-undang disebut dengan moord diatur dalam pasal 340 KUHP yang
berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulumerampas orang lain, diancam karena pembunuhan berencana denganpidana mati atau dengan pidana seumur hidup, atau selama waktu tertentu,paling lama dua puluh tahun.”
Dalam pasal 340 diatas mempunyai unsur-unsur :
a) Unsur subyektif : dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu.
b) Unsur obyektifnya : menghilangkan nyawa orang lain.
14 H.A.K Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.1989. h. 92
44
Tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan direncanakan terlebih
dahulu ternyata undang-undang tidak memberikan penjelasannya, sehingga timbul
suatu masalah apakah jangka waktu tertentu antara waktu seorang pelaku
menyusun rencananya dengan waktu pelaksanaan dari rencana tersebut
merupakan syarat untuk memastikan tentang adanya suatu perencanaan terlebih
dahulu (voorbedachte raad )15.
4. Tindak Pidana Pembunuhan Anak ( kinder-doodslag )
Tindak pidana anak yang oleh undang-undang disebut dengan
kinderdoodslag diatur dalam pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saatanak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawaanaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun”.
Unsur pokok dalam Pasal 341 di atas adalah :
a) Unsur subyektifnya : dengan sengaja
b) Unsur obyektifnya : seorang ibu dan menghilangkan nyawa anaknya.
Berdasarkan unsur unsur tersebut, perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan hilangnya jiwa seorang anak, dengan kekhususan pembunuhan
dilakukan oleh seorang ibu dan sedang atau tidak lama dilahirkan dengan alasan
atau motif ketakutan karena takut diketahui melahirkan maka alasan ini
memberikan keringanan hukuman karena membunuh anaknya sendiri dan seorang
ibu disini adalah wanita yang belum menikah.16
15 P.A.F. Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan. Jakarta; SinarGrafika.2010. h 53
16 H.A.K. Moch Anwar, Op. Cit. h.94
45
5. Pembunuhan Anak Dengan Direncanakan Lebih Dahulu ( kinder-moord )
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takutakan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkanatau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karenamelakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan penjarapaling lama Sembilan tahun”.
Adapun unsur daripada pasal 342 adalah sebagai berikut :
a) Unsur subyektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur obyektifnya : seorang ibu menghilangkan nyawa anaknya, dan atau
untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya
Unsur yang terdapat dalam pasal 342 sebenarnya tidak jauh beda dengan
pasal 341, hanya saja bahwa perbuatan menghilangkan nyawa anaknya sendiri
oleh seorang ibu di dalam pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih
dahulu. Dengan motif terdorong oleh perasaan takut akan ketahuan bahwa ia
melahirkan seorang anak.17
6. Keturutsertaan Dalam Tindak Pidana Anak
Keturutsertaan atau deelneming pada tindak pidana pembunuhan anak itu
pertanggungjawaban para peserta atau deelnemer, yang tercantum dalam pasal
343 KUHP yang berbunyi :
“Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi oranglain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhananak berencana”.
Dari ketentuan yang diatur dalam pasal 343 KUHP tersebut, orang dapat
mengetahui bahwa keringanan yang berlaku bagi pelaku dari tindak pidana
17 P.A.F. Lamintang,. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan. Op. Cit. h 67
46
pembunuhan anak atau tindak pidana anak dengan direncanakan terlebih dahulu
itu tidak diberlakukan terhadap mereka yang telah turut serta dalam tindak-tindak
pidana tersebut. Jika turut serta dalam tindak pembunuhan biasa seperti yang
diatur dalam pasal 338 KUHP hingga sesuai dengan ketentuan pasal 55 KUHP,
maka keturutsertaanya tersebut dapat diancam pidana penjara selama-lamanya
lima belas tahun, sedangkan mereka yang turut serta dalam pembunuhan anak
dengan direncanakan lebih dulu seperti dalam pasal 342, pasal 340 dan pasal 55
KUHP mereka dapat diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau
pidana sementara selama-lamanya dua puluh tahun.18
7. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Pembunhan atas permintaan korban terdapat dalam pasal 344 KUHP yang
berbunyi :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiriyang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidanapenjara paling lama dua belas tahuan.”
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa pasal tersebut tidak mempunyai
unsur obyektif melainkan hanya mempunyai unsur obyektif yaitu menghilangkan
nyawa atas permintaan orang itu sendiri. Tidak disebutkannya “dengan sengaja”
dalam pasal ini tidak berarti tidak diisyaratkan adanya kesengajaan. Kesengajaan
sudah terbenih di dalam rumusan itu sendiri.19 Unsur adanya permintaan yang
sifatnya tegas dan sungguh-sungguh dari korban merupakan dasar yang
18 Ibid. h. 6919 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu, Op. cit h. 60
47
meringankan pidana bagi tindak pidana pembunuhan seperti yang diatur dalam
pasal 344 KUHP.20
8. Kesengajaan Mendorong Orang Lain Melakukan Bunuh Diri.
Kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri, merupakan
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, sesuai
dengan yang tercantum dalam pasal 345 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadibunuh diri”.
Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal ini memiliki unsur-unsur :
a) Unsur subjektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur objektifnya : mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana untuk itu, atau orang iru jadi
bunuh diri.
Mendorong orang dengan sengaja untuk bunuh diri merupakan larangan,
jika itu dilakukan maka ia melanggarnya dan mempunyai akibat hukum yaitu
dapat dipidananya pelanggar itu yang tentunya tergantung kepada kenyataan
apakah sesuatu kejadian yang dilarang itu kemuadian benar-benar timbul atau
tidak, yaitu terjadinya bunuh diri.21
9. Tindak Pidana Menyebabkan Atau Menyuruh Menyebabkan Gugurnya
Kandungan Atau Matinya Janin Yang Berada Dalam Kandungan.
20 P.A.F. Lamintang,. Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan.Op. cit. h 7721 Ibid. h 83
48
Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya
kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang
mengandung janin itu telah diatur dalam pasal 346 KUHP yang rumusannya
sebagai berikut :
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikankandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu. Diancam denganpidana penjara paling lama empat tahun.”
Ketentuan pidana yang diatur dalam pasal ini memiliki unsur-unsur :
a) Unsur subjektifnya : dengan sengaja.
b) Unsur objektifnya : menggugurkan kandungan atau membiarkan orang lain
untuk itu.
Dari unsur subjektif yang pertama diatas dapat diketahui bahwa laranga
untuk melakukan tindakan-tindakan seperti yang disebutkan dalam pasal 346
KUHP itu sebenarnya ditujukan kepada wanita yang mengandung janin, yang
menjadi objek dari tindak pidana pengguguran atau pembunuhan seperti
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang didalam ketentuan pidana yang
telah dirumuskan dalam pasal 346 KUHP. Karena perbuatan menyebabkan gugur
atau matinya janin didalam kandungan, ketentuan pidana tersebut juga dapat
dilakukan orang lain yang suruh untuk berbuat demikian. Orang lain yang
menyebabkan gugur atau matinya janin yang dikandung oleh seorang wanita itu
tidak dapat dituntut karena telah melakukan sesuatu bentuk keturutsertaan
(deelneming) dalam tindak pidana menurut pasal 346 KUHP, melainkan ia dapat
dituntut karena bersalah telah melanggar larangan-larangan yang diatur dalam
pasal 347, pasal 348 dan pasal 349 KUHP, yakni pada kenyataan apakah ia
49
merupakan orang yang secara limitatif telah disebutkan dalam pasal 349 KUHP
(dokter, bidan atau peramu obat-obatan) atau tidak.22
10. Tindak Pidana Menyebabkan Gugurnya Tanggunggan Atau Matinya Janin
Yang Berada Dalam Kandungan, Dengan Ijin Atau Tanpa Ijin Wanita Yang
Mengandung .
Undang-undang telah mengatur hal ini dalam pasal 347 ayat (1) yang
berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjarapaling lama dua belas tahun.”
Adapun tindak pidana yang menyebabkan gugurnya kandungan atau
matinya janin yang berada dalam kandungan seorang wanita dengan ijin wanita
itu sendiri, oleh undang-undang telah diatur dalam pasal 348 ayat (1) yang
berbunyi
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjarapaling lama lima tahun enam bulan.”
Dilihat dari rumusan kedua ketentuan pidana diatas mempunyai unsur yang
sama yaitu :
a) Unsur subjektif: dengan sengaja.
b) Unsur objektif: menyebabkan gugur, menyebabkan mati
Perbedaan dari kedua pasal tersebut dilakukan tanpa ijin dan dilakukan
dengan seijin wanita yang bersangkutan. Menurut rumusannya didalam undang-
undang terletak dibelakang unsur dengan sengaja (opzettelijk) hingga unsur-unsur
22 P.A.F. Lamintang,. Loc, cit
50
pertama itu harus dianggap sebagai diliputi juga oleh unsur opzet, artinya bahwa
pelaku harus mengetahui dengan pasti bahwa wanita yang mengandung itu
dengan tegas telah memberikan ijinnya atau telah menyatakan penolakannya
terhadap maksud pelaku untuk menggugurkan atau menyebabkan matinya janin di
dalam kandungan maka jika tidak terbukti dengan tegas memberikan ijinnya atau
tegas menyatakan penolakannya, perbuatan menggugurkan atau menyebabkan
matinya janin yang berada dalam kandungan wanita itu harus dipandang sebagai
telah dilakukan oleh pelaku tanpa seijin wanita yang bersangkutan.23
11. Keterlibatan Seorang Dokter, Bidan atau Ahli Meramu Obat-Obatan dalam
Tindak Pidana Pengguguran Kandungan atau Menyebabkan Matinya Janin
yang Berada dalam Kandungan
Masalah ini diatur dalam pasal 349 KUHP yang rumusannya berbunyi:
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatanberdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salahsatu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan pasal 348 maka pidanayang ditentukan dalam pasal ini dapat ditambah dengan sepertiga dan dapatdicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatandilakukan. “
Dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 349 KUHP diatas,
pembentuk undang-undang hanya ingin mengatakan bahwa pidana-pidana yang
diancam dalam pasal 346, pasal 347, dan pasal 348 KUHP itu dapat diperberat
dengan sepertinganya bagi dokter, bidan atau ahli meramu obat-obatan jika
mereka itu:
a) Dengan sengaja telah memberikan bantuan mereka pada waktu seorang
wanita dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya janin yang ada
23 Ibid ,. h 106
51
dalam kandungannya, atau pada waktu wanita tersebut menyuruh orang lain
menyebabkan gugur atau matinya janin yangnberada dalam kandungannya
ataupun dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana, atau
keterangan kepada wanita itu untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut
diatas.
b) Dengan sengaja telah menyebabkan gugurnya kandungan atau menyebabkan
matinya janin yang berada dalam kandungan seorang wanita, baik perbuatan
itu telah mereka lakukan dengan seijin maupun tanpa izin dari wanita yang
bersangkutan.
c) Dengan sengaja telah memberikan bantuan mereka pada waktu orang lain
menyebabkan gugurnya kandungan atau menyebabkan matinya janin yang
berada dalam kandungan seorang wanita ataupun dengan sengaja telah
memberikan kesempatan, sarana atau keterangan kepada orang lain untuk
melakukan perbuatannya tanpa seizin maupun tanpa izin dari wanita yang
bersangkutan.24
D. Sanksi pidana Menurut Hukum Positif
Pada dasarnya kepada seseorang pelaku suatau tindak pidana harus
dikenakan akibat suatu hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa
hukluman pidana. Akan tetapi ada kalanya dikenakan suatu hukuman yang
sebenarnya tidak merupakan pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu
kewajiban yang mirip dengan hukuman perdata.25
24 Ibid. h 10925 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. Cit.. h.452.
52
Di dalam KUHP, pidana-pidana yang ditentukan ada dua jenis, yaitu pidana
pokok dan pidana tambahan. Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10
KUHP menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang
pelaku tindak pidana terdiri dari :
1. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
a. Hukuman mati.
b. Hukuman penjara.
c. Hukuman kurungan.
d. Hukuman denda.
e. Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita
Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946)26
2. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
a. Pencabutan beberapa hak tertentu.
b. Perampasan barang-barang tertentu.
c. Pengumuman putusan Hakim.27
Adapun penjelasan masing-masing dari hukuman di atas adalah sebagai
berikut :
1) Hukuman mati.
Pidana mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, sehingga hanya
diancam kepada kejahatan yang amat berat saja. Tujuan dari menjatuhkan dan
menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka,
dengan ancaman hukuman mati, akan takut melakukan perbuatan-perbuatan
26 Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturanHukum Pidana, Jilid I ,Jakarta: Aksara Baru, 1980,, h. 236-238.
27 Leden Marpaung, Asas,Teori, Praktek, Hukum Pidana, op. Cit. h. 107
53
kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubung dengan inilah
pada zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum.28kejahatan yang
dijatuhi ancaman hukuman mati antara lain pembunuhan berencana dalam pasal
340 KUHP.
2) Hukuman penjara.
Menurut P A F Lamintang, yang dikutip oleh Dwija Prayitna
mengemukakan Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di
dalam lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan , yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut.29 Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan
digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.
Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga
Pemasyarakatan”. Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses
penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di
samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara
terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohani dan ketrampilan.
Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu ( pasal 12
ayat (1) KUHP ), penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari
dan paling lama lima belas tahun berturut-turut ( pasal 12 ayat (2) KUHP ).
28 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco,1989. h. 163
29 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: RefikaAditama, 2006. h.71
54
3) Pidana Kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan daipada hukuman penjara.lebih ringan
antara lain dalam melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa
peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari. Hukuman kurungan
dilaksanakan dengan batasan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun,
sesuai dengan pasal 18 KUHP yang merumuskan sebagai berikut :
a) lamanya hukuman kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu tahun.
b) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan
jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau
pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52a.
c) Hukuman kurungan itu sekali-sekali tidak boleh melebihi waktu tahun empat
bulan.
4) Hukuman denda.
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban, seseorang untuk
mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosa-sosanya dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.30 Jumlah yang dapat dikenakan pada
hukuman denda ditentukan minimum dua puluh lima sen sedang ketentuan
maksimumnya tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal
30 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
a) Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen.
b) Jika denda tidak dibayar lalu diganti dengan kurungan.
30 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op. cit. h.479
55
c) Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama
enam bulan.
d) Dalam putusan hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika
dendanya lima puluh sen atau kurang dihitung satu hari; jika lebih dari lima
puluh sen , tiap-tiap lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari,
demikian pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.
e) Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena pemberatan atau pengulangan,
atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan pengganti paling
lama dapat menjadi delapan bulan.
f) Kurungan pengganti sekali-sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan.31
5) Pidana Tutupan
Pidana tutupan sebagai pidana pokok muncul melalui UU No 2 Tahun 1946
Berita RI.II. No 24. dalam pasal 1 Undang-undang tersebut ditambahkan jenis
pidana tutupan untuk KUHP dan KUHPM. Pidana ini ditujukan bagi pelaku yang
melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, akan tetapi
terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Jika tindakan, cara, dan akibat
tindakan itu wajar dijatuhi hukuamn penjara, maka pidana tutupan tidak berlaku.32
Sedangkan untuk Hukuman Tambahan (bijkomende straffen) menurut aturan
umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana pokok, sesuai dengan kata “tambahan” yang diletakkan di belakang kata
pidana, maka pidana tambahan itu hanya dapat ditetapkan di samping pidana
utama atau pidana pokok. Penjatuhan hukuman tambahan ini biasanya bersifat
31 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta; PT Bumi Aksara, 2007. h.1632 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit. h.477
56
fakultatif, artinya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-
undang, tetapi tidaklah merupakan suatu keharusan. Dan hakimpun tidak harus
menjatuhkan hukuman tambahan.
a) Pencabutan beberapa hak tertentu.
Dalam hal pencabutan beberapa hak tertentu telah diatur dalam pasal 35
KUHP yang berbunyi :
( 1 ) Hak-hak terpidana yang putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang
lain ialah :
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2. Hak memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak atau pengampuan atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
( 2 ) Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika
dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lainuntuk pemecatan itu.
Di luar hak-hak yang ditentukan dalam pasal 35 tersebut, hakim tidak
berwenang mencabutnya sebagai pidana tambahan. Hak menjadi suami istri, hak
memeluk agama, hak berpolitik, dan lain sebagainya. Bagi mereka yang dicabut
57
haknya seperti tersebut di atas, akan tetapi masih melakukan hak tersebut,
diancam dengan pidana penjara maksimum sembilan bulan atau denda maksimum
15 x Rp. 600,-.( pasal 227 KUHP )33 . sedangkan lamaya pencabutan hak ini
ditentukan dalam pasal 38 KUHP yaitu dalam hal hukuman mati atau penjara
seumur hidup adalah selama hidupnya, dalam hal pidana penjara untuk waktu
tertentu atau pidana kurungan , lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan
paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya, dan untuk hal pidana
denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
b) Perampasan barang-barang tertentu.
Karena putusan suatu perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang
dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang
digunakan untuk melaksanakan kejahatannya.34 Hal ini telah diatur dalam pasal 39
KUHP yang berbunyi sebagai berikut ;
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau
sengaja dipergunakan untuk kejahatan, dapat dirampas;
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
disengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas,
tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
3. Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh
hakim diserahkan kepada Pemerintah , tetapi hanya atas barang-barang yang
telah disita.35
c) Pengumuman Keputusan Hakim
33 Ibid. h. 48334 Leden Marpaung, Asas,Teori, Praktek, Hukum Pidana, h. 112.35 Moeljatno, Op. Cit. h. 20.
58
Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada
khalayak ramai agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati
terhadap si terhukum. Pada akhirnya pasal 43 KUHP menentukan apabila
diputuskan pengumuman putusan hakim, maka harus ditentukan pula cara
mengumumkan ini dan biayanya harus dipikul oleh si terhukum.36
Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat diperinci lagi bahwa Sanksi bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan adalah sebagai berikut:
a. Pembunuhan Sengaja
1) Pembunuhan pasal 338
2) Pembunuhan dengan pemberatan pasal 339, dengan hukuman penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
3) Pembunuhan berencana pasal 340, dengan hukuman mati atau hukuman seumur
hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
4) Pembunuhan bayi oleh ibunya pasal 341, dengan hukuman selamalamanya
tujuh tahun.
5) Pembunuhan bayi berencana pasal 342, dengan hukuman selamalamanya
sembilan tahun.
6) Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan pasal 344, dengan penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
7) Membujuk atau mengajak orang agar bunuh diri pasal 345, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya pasal 346, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
36 Wiryono Prodjodikoro, Op. Cit. h. 76
59
9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya pasal 347, dengan hukuman penjara
selama-lamanya dua belas tahun. Dan kalau perempuan itu yang mati maka,
dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya pasal 348,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Jika
perempuan itu mati , ia dihukum dengan hukuman selama-lamanya tujuh tahun.
11) Dokter/bidan/tukang obat yang membantu pengguguran/ matinya kandungan
Pasal 349, maka pidana yang ditentukan dalam pasal 346,347,348 dapat di
tambah dengan sepertiga dan dapat di cabut hak untuk menjalankan pencaharian
dalam mana kejahatan di lakukan.
b. Pembunuhan Tidak Sengaja
Untuk pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan karena kesalahan
ditentukan dalam pasal 359, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah
sebagai berikut :
No Jenis Pembunuhan Pasal Akibat Sanksi
1 Pembunuhan biasa 338 Kematian 15 tahun
2 Pembunuhan dengan
pemberatan
339 Kematian seumur hidup
atau 20 tahun
3 Pembunuhan berencana 340 Kematian hukuman mati
atau seumur hidup
atau 20 tahun
4 Pembunuhan bayi oleh 341 Kematian 7 tahun
60
Ibunya
5 Pembunuhan bayi oleh
Ibunya secara berencana
342 Kematian 9 tahun
6 Pembunuhan atas
Permintaan sendiri
344 Kematian 12 tahun
7 Penganjuran agar bunuh
Diri
345 Kematian 4 tahun
8 Pengguguran kandungan :
- oleh si Ibu
- oleh orang lain tanpa izin
perempuan yang
mengandung
- oleh orang lain dengan
izin perempuan yang
mengandung
346
347
348
-Kematian
bayi
-Kematian
bayi
-Kematian ibu
-Kematian
bayi
-Kematian ibu
4 tahun
12 tahun
15 tahun
5 tahun 6 bulan
7 tahun
9 Dokter/bidan/tukang obat
yang membantu
pengguguran/ matinya
kandungan
349 -Kematian
bayi
-Kematian ibu
pidana yang
ditentukan dalam
pasal 346,347,348
di tambah dengan
1/3 dan dapat di
cabut hak untuk
61
menjalankan
pencaharian
10 Pembunuhan karena
kesalahan / tidak sengaja
359 -kematian 5 tahun
E. Ketentuan Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan
menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999
Memang Keppres RI No. 174 Tahun 1999 tidak mengkhususkan pemberian
remisi kepada tindak pidana pembunuhan semata, tetapi pasal-pasal yang
terkandung dalam keppres ini menjelaskan remisi untuk tindak pidana umum
termasuk di dalamnya adalah tindak pidana pembunuhan. Sehingga dari
penjelasan yang sudah dijelaskan sebelumnya pembunuhan mencakup hukuman
pidana sementara dan pidana mati atau seumur hidup, sedangkan pembunuhan
yang mencakup ancaman hukuman pidana sementara adalah pembunuhan yang
sudah dijelaskan di KUHP mulai pasal 338 sampai pasal 349, lain pasal 339 dan
340, karena ancaman pidana yang diancamkan bersifat pidana seumur hidup,
bahkan bisa juga terkena hukuman pidana mati dengan alasan pembunuhannya
yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Dalam pelaksanaanya, remisi bisa
diberikan kepada pelaku pembunuhan dengan syarat mempunyai kelakuan baik
62
ketika dalam masa penahanan, untuk ketentuan remisinya terdapat pada pasal 4
ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1) dan (2) keppres RI No. 174 Tahun 1999.
Dalam hal pemberian remisi terhadap tindak pidana pembunuhan terhadap
tindak pidana yang diancam dengan pidana sementara dapat di jelaskan dalam
Pasal empat ( 4 ) Keppres RI No. 174 Tahun 1999 yaitu :
(1) Besarnya remisi umum adalah:
1. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (duabelas) bulan atau lebih.
(2) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut:
1. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1);
2. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;
3. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan;
4. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima)
bulan; dan
5. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam bulan)
setiap tahun.
Selain itu pemberian remisi terhadap tindak pidana pembunuhan terhadap
tindak pidana yang diancam dengan pidana sementara dapat di jelaskan dalam
Pasal lima (5) Keppres RI No. 174 Tahun 1999 yaitu :
(1) Besarnya remisi khusus adalah:
63
1. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah
menjalani pidana selama 6. (enam) sampai 12 (dua belas) bulan; dan
2. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
(2) Pemberian remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:
1. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1);
2. pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1 (satu)
bulan;
3. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 1 (satu)
bulan 15 (lima belas) hari; dan
4. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap
tahun.
Sedangkan Pelaksanaan remisi bagi kasus pembunuhan dengan masa tahanan
seumur hidup yaitu Tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih
dahulu yang diatur dalam pasal 340 yang berbunyi :
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
orang lain, diancam karena pembunuhan berencana dengan pidana mati atau
dengan pidana seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
Ketentuan remisinya terdapat pada pasal 9 ayat 1 sampai 4 Keppres RI No.
174 Tahun 1999, yaitu :
64
(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah
menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta
berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara
sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama
15 (lima belas) tahun.
(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana
penjara sementara diajukan oleh Narapidana yang bersangkutan kepada
Presiden melalui Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan perubahan pidana
seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-
undangan.
65
BAB IV
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PEMBERIAN REMISI
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.
A. Analisis Pemberian Remisi Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan menurut Keppres RI No 174 tahun 1999.
Pada dasarnya penjatuhan pidana ( hukuman ) bukan semata-mata
pemberian efek jera tetapi juga sebagai bimbingan dan pembinaan. Hukuman
terhadap pelanggar hukum dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ),
yang dikenal sebagai pembinaan dalam lembaga, dengan tujuan agar para
pelanggar hukum dapat menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi
perbuatannya kembali, serta dapat kembali ke masyarakat dan menjalani fungsi
sosialnya dengan baik. Seseorang yang diputus pidana penjara berkedudukan
sebagai narapidana. Dalam hal ini pidana penjara seseorang ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan guna mendapatkan pembinaan.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia adalah
Departemen Pemerintah yang mengurusi pelayanan publik kepada masyarakat.
Dimana Departemen Hukum Dan HAM membawahi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan yang membawahi Lapas. Lapas merupakan bagian Pemerintah
yang menjalankan pelayanan publik. Sejarah kepenjaraan yang berkembang dari
zaman penjara sampai pada sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan
merupakan bentuk penegakan hak asasi manusia yang mengutamakan pelayanan
hukum dan pembinaan narapidana. Pelayanan hukum dan pembinaan narapidana
66
ini merupakan suatu pelayanan publik Pemerintah yang diberikan kepada
masyarakat
Adapun hak-hak yang dimiliki oleh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1 ) Undang- undang No.12 tahun 1995 yaitu :
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.
b. Mendapatkan perawatan baik perawatan jasmani maupun perawatan
rohani.
c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e. Menyampaikan keluhan.
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya
yang tidak dilarang.
g. Mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
yang lainnya.
i. Mendapatkan pengurangan masa pidana ( remisi ).
j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
67
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas dan;
m. Mendapatkan hak- hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Bagi narapidana yang berkelakuan baik berhak mendapatkan pengurangan
masa pidana ( remisi ) seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf I
Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut. Remisi diberikan setelah
seseorang telah dihukum terlebih dahulu. Hukuman yang dimaksud disini yaitu
hukuman penjara menurut PAF Lamintang pidana penjara adalah suatau pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut dalam suatu lembaga pemasyarakatan1. Setiap
narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana
kurungan dapat diberi remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama
menjalani pidana, inilah setidaknya yang tercantum dalam pasal 1 ayat ( 1)
Keppres RI. No 174 tahun 1999. Yang berbunyi “ Setiap narapidana dan anak
pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat
diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani
pidana”. Sehingga jika ditafsirkan maka jika narapidana atau anak pidana yang
berkelakuan baik dapat menerima remisi tanpa harus dia meminta. Pertanyaannya
apakah semudah itu untuk mendapatkan remisi dengan berkelakuan baik
sedangkan berkelakuan baik itu tidak dijelaskan dalam keppres ini.
Remisi diberikan karena merupakan salah satu sarana hukum yang
penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan, selain itu
1 Dwidja priyatno, op. cit. h. 71
68
remisi diberikan karena negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap–tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, termasuk setiap narapidana,
sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam hal hak asasi manusia. Dalam rangka
pelaksanaan hak-hak narapidana, Pemerintah memberikan kesempatan kepada
narapidana untuk memperbaiki diri selama menjalani hukumannya sehingga
diharapkan dapat menyesali dan ketika keluar dari penjara dapat diterima kembali
ke tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia sendiri Pemerintah mempunyai tiga jenis remisi menurut
Keppres RI No 174 tahun 1999 , yaitu remisi umum yang mana diberikan setiap
tanggal 17 Agustus atau hari proklamasi kemerdekaan RI, yang kedua yaitu remisi
khusus yang mana diberikan pada tiap hari besar keagamaan, dan yang ketiga
yaitu remisi tambahan yang mana diberikan jika berbuat jasa kepada negara
ataupun melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara ataupun
kemanuusiaan, selain itu juga membantu kegiatan pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan.
Jika kita melihat lagi tentang syarat pemberian remisi di bab sebelumnya
dapat diperjelas lagi melalui tabel dibawah ini :
Jenis remisi Banyaknya
remisi
Syarat-Syarat
( Lama Menjalani Hukuman )
Remisi Umum 1 bulan
2 bulan
3 bulan
4 bulan
6 sampai12 bulan
12 bulan / lebih
2 tahun
3 tahun
69
5 bulan
6 bulan
4 atau 5 tahun
6 tahun dan seterusnya
Remisi
Khusus
15 hari
1 bulan
1 bulan 15 hari
2 bulan
6 sampai 12 bulan
12 bulan atau lebih
4 sampai dengan 5 tahun
6 tahun dan seterusnya
Remisi
tambahan
½ dari remisi
umum
1/3 dari remisi
umum
-Berbuat jasa kepada negara
-berbuat yang bermanfaat bagi negara
dan kemanusiaan.
-membantu kegiataan pembinaan di
lembaga pemasyarakatan sebagai
pemuka.
Dengan melihat kriteria yang harus dipenuhi oleh setiap narapidana
ataupun anak pidana maka kretiria yang paling jelas yaitu narapidana ataupun
anak pidana tersebut telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Dengan
demikian bagi narapidana yang dijatuhi hukuman dibawah enam bulan tentu tidak
akan pernah mendapatkan remisi. Tentu jika dilihat dari segi keadilan dirasa
kurang karena sama-sama menjalani hukuman tetapi tidak mendapat remisi.
Sehingga menurut penulis seharusnya perlu adanya peraturan khusus bagi
narapidana maupun anak pidana yang mendapat hukuman dibawah 6 bulan seperti
halnya tidak diletakkan di dalam penjara tetapi diletakkan di tempat yang
70
memberikan pelatihan ketrampilan seperti halnya balai latihan kerja tetapi
tetap harus mendapat pengawasan dari pihak yang berwenang.
Jelas bahwa yang perlu dicermati dari tabel diatas adalah adanya batas
minimum hukuman bagi narapidana atau anak pidana untuk mendapatkan remisi
yaitu sudah menjalani hukuman minimal 6 bulan penjara. Jadi bagi narapidana
dan anak pidana yang mendapat hukuman dibawah 6 bulan tidak akan
mendapatkan remisi. Didalam Keppres RI No. 174 Tahun 1999 tidak
mengkhususkan pemberian remisi kepada tindak pidana pembunuhan semata,
tetapi pasal-pasal yang terkandung dalam keppres ini menjelaskan remisi untuk
semua tindak pidana umum termasuk di dalamnya adalah tindak pidana
pembunuhan.
Jika melihat di dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) khususnya pasal-pasal tentang pembunuhan, sanksi yang
diancamkan minimal 4 tahun ( pasal 345 dan 346 KUHP ) dan maksimal
hukuman mati atau seumur hidup ( pasal 339 dan 340 KUHP ) sehingga dengan
demikian sudah jelas bahwa setiap narapidana atau anak pidana yang melakukan
tindak pidana pembunuhan pasti mendapat remisi jika dilihat dari lamanya
hukuman yang dijalani yakni lebih dari 6 bulan penjara asalkan ia berkelakuan
baik selama menjalani hukumannya.
Tetapi didalam Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan
Republik Indonesia Nomor : M.09.Hn.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
terutama pada pasal 1 ayat 5 yang berbunyi : ” Narapidana yang berkelakuan baik
71
ialah Narapidana yang mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan
tindakan disiplin yang dicatat dalam buku register F selama kurun waktu yang
diperhitungkan untuk pemberian remisi.”2 Menurut penulis perbuatan baik itu
mempunyai makna yang luas, karena bisa saja perbuatan baik itu ditafsirkan
berbuat baik kepada kalapas atau sipir-sipir penjara yang tiap hari bersinggungan
sehingga muncul celah untuk melakukan hal-hal yang curang seperti penyuapan
kepada petugas agar ia mendapatkan remisi. Tentu ini bukanlah perbuatan yang
bisa disebut berkelakuan baik untuk benar-benar mendapat remisi. Sehingga perlu
adanya spesifikasi berkelakuan baik dan jika perlu bagi terpidana yang tertangkap
melakukan kerja sama dengan petugas harus diberi sanksi berupa penambahan
masa hukuman sehingga dia benar-benar jera. Termasuk sanksi kepada aparat
yang bersangkutan bila perlu diberhentikan secara tidak hormat karena telah
membantu seseorang yang telah bersalah dan sedang menjalani hukuman.
Dengan adanya remisi umum dan remisi khusus menurut Keppres RI No
174 tahun 1999 maka menurut penulis terpidana bisa saja dalam satu tahun
dimungkinkan mendapat dua kali remisi, ini karena selain berkelakuan baik remisi
umum diberikan setiap tanggal 17 agustus atau hari kemerdekaan negara, dan
remisi khusus diberikan setiap hari besar agama yang dianut oleh terpidana
sehingga menurut penulis dengan mendapatkan dua kali remisi maka jelas akan
mengurangi hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, dengan demikian putusan
hakim yang bersifat tetap dalam palaksanaannya dapat berubah dengan pemberian
remisi ini, menurut penulis perlu adanya pengetatan pemberian remisi ini agar
2 Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor :M.09.Hn.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RepublikIndonesia Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
72
tidak ada kecemburuan di antara narapidana karena jelas tidak mungkin semua
narapidana akan mendapatkan remisi dua kali dalam setahun sehingga gesekan
antar narapidana dapat dihindarkan,
Selain itu Pemerintah juga memberikan remisi tambahan, untuk
mendapatkan remisi tambahan setiap narapidana ataupun anak pidana harus
berbuat jasa,3 dan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan
kemanusiaan,4 serta melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan5. Yang mana perbuatan-perbuatan tersebut tidak
dijelaskan secara terperinci di dalam keppres RI no 174 tahun 1999. Tetapi
dijelaskan di dalam Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan
Republik Indonesia Nomor : M.09.Hn.02.01 Tahun 1999 pasal 1 ayat 6 dan 7.
Tetapi apakah demikian kenyataannya, sedangkan ia sendiri masih terbatas ruang
geraknya karena hidup didalam penjara sehingga untuk ikut menanggulangi
bencana dirasa tidak mungkin dilakukan diluar penjara. Sehingga menurut penulis
kegiatan-kegiatan kemanusiaan ataupun perbuatan yang bermanfaat bagi negara
yang dilakukan diluar penjara sebaiknya dikhususkan bagi narapidana yang telah
menjalani lebih dari dua pertiga masa hukumannya tentunya sudah mendapat
3 Yang dimaksud dengan berbuat jasa kepada negara adalah jasa yang diberikan dalamperjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara.
4 Perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan antara lain :a. Menghasilkan karya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan.b. Ikut menangg ulangi bencana alam.c. Mencegah pelarian dan gangguan keamanan serta ketertiban di Lembaga
Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara.d. Menjadi donor organ tubuh dan sebagainya.
5 Yang dimaksud dengan perbuatan yang membantu kegiatan dinas LembagaPemasyarakatan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang Narapidana yangdiangkat sebagai Pemuka Kerja oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan/Rumah TahananNegara/Cabang Rumah Tahanan Negara
73
predikat berkelakuan baik, sehingga selain berinteraksi dengan dunia luar
narapidanapun diberi kesempatan untuk pencitraan baik bagi dirinya sehingga
setelah bebas nanti dapat diterima dikehidupan masyarakat terlebih bagi
narapidana kasus pembunuhan yang pada umumnya telah di cap sebagai seorang
pembunuh.
Sedangkan syarat ketiga remisi tambahan menurut Keppres RI No 174
tahun 1999, yaitu melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan
dilembaga pemasyarkatan dalam hal ini hanya bagi pemuka kerja yang diangkat
oleh kepala lembaga pemasyarakatan. Menurut penulis syarat ini merupakan
perlakuan khusus karena hanya pemuka kerja yang mendapatkan remisi, itupun
diangkat oleh kepala Lembaga Pemasyarkatan sedangkan kriteria untuk menjadi
pemuka kerja tidak dijelaskan, alangkah lebih baiknya jika narapidanalah yang
menunjuk pemuka kerja tersebut karena bisa saja orang yang diangkat sebagai
pemuka kerja belum tentu dapat diterima oleh narapidana lainnya, sehingga
didalam membantu kegiatan pembinaan bisa berjalan efektif tanpa ada yang iri
dikalangan narapidana.
Sedangkan menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999 yang berwenang
memberikan remisi adalah menteri hukum dan ham. Ini sesuai dengan Keputusan
Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan RI Nomor : M.09.HN.02.01 Tahun
1999 tentang pelaksanaan Keppres RI No 174 Tahun 1999 Tentang Remisi pasal
2 yakni :
( 1 ) Dalam hal pemberian remisi, Menteri dapat mendelegasikan pelaksanaannya
kepada Kepala Kantor Wilayah.
74
( 2 ) Penetapan pemberian Remisi seperti dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan Keputusan Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri.
( 3 ) Segera setelah mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), Kepala Kantor Wilayah wajib menyampaikan laporan tentang
penetapan pengurangan masa pidana tersebut kepada Menteri cq. Direktur
Jenderal Pemasyarakatan.6
Menurut hemat penulis dengan kewenangan diberikan kepada otoritas
birokrasi maka akan dapat dimungkinkah celah untuk melakukan hal-hal yang tak
sepatutnya dilakukan oleh para napi dengan pemegang otoritas untuk melakukan
suatu kerja sama sehingga mempermudah bagi napi untuk memperoleh remisi
dengan jalan penyuapan dengan sejumlah harta sebagai timbal balik guna
memperoleh remisi. Sehingga perlu adanya pengawasan yang ketat dari pemegang
otoritas tertinggi agar tidak terjadi pelanggaran tersebut.
B. Analisis Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Keppres RI No 174
Tahun 1999 Tentang Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan.
Memang di dalam hukum pidana Islam tidak dijumpai pengertian remisi
yang sesuai dengan pengertian yang ada di dalam hukum positif di Indonesia.
Karena remisi ini diambil dari serapan bahasa asing yang kemudian digunakan
dalam istilah hukum di Indonesia. Selain itu sistem atau kitab hukum pidana
6 Kepmenhum No : M.09.HN.02.01 Tahun 1999
75
Indonesia masih mengadopsi dari warisan Belanda, di hukum positif Indonesia
sendiri pengertian remisi diantara kalangan ahli hukum pun berbeda-beda namun
pada dasarnya mempunyai arti yang sama. Tetapi dari beberapa pengertian yang
diberikan di dalam bab sebelumnya itu dapat ditarik kesimpulan sebagai
keringanan / pengurangan / pengampunan hukuman.
Di dalam Islam dikenal dengan adanya syafa’at. Salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Murtadha Muthahari dalam buku karangannya yang berjudul
Keadilan Illahi : Asas Pandangan Dunia Islam, menjelaskan bahwa syafaat dibagi
menjadi dua yaitu syafaat qiyadah ( kepemimpinan )dan syafaat magfirah (
ampunan ). Menurutnya Rasullullah SAW menjadi syafi’ ( perantara syafaat )
bagi amir al-mu’minin dan fathimah al-zahra dan keduanya mnejadi syafi’ bagi
hasan dan husain. Setiap imam menjadi syafi’ bagi imam yang lain, murid-
muridnya dan semua pengikutnya. Hierarki ini tetap terjaga sehingga semua yang
dimiliki oleh para imam ma’shum mereka peroleh melalui perantaraan Rasulullah
yang mulia.7Secara garis besar syafa’at yang datang dari rahmat Allah, sumber
kebaikan dan rahmat disebut sebagai ampunan ( magfiroh) dan yang datang
melalui perantara-perantara rahmat disebut dengan Syafaat.8 Melihat penjelasan
yang dijelaskan di atas penulis sependapat dengan pendapat Murtadha Muthahari,
sehingga penulis memasukkan remisi dalam Islam termasuk juga syafaat.
Hukuman penjara sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah, Ibnu
Qayyim berkata “ penjara secara syara’ bukanlah tahanan ditempat yang sempit,
7 Murtadha Muthahari, Keadilan Ilahi ; Asas Pandangan Dunia Islam, Editor,diterjemahkan oleh Agus Efendi Dari” At adl Al-ilahiy ” Bandung : PT MizanPustaka. 2009.h.254
8 Ibid. h. 262
76
melainkan tahanan untuk merintangi dan menghalangi tindakan itu sendiri, baik
dirumah, dimasjid, atau berada dikekuasaan lawan, menyerahkannya kepada
lawan dan diawasi oleh lawan. Sedangkan menurut para ahli hukum Indonesia
memaknai penjara sebagai pidana perampasan kemerdekaan tetapi juga
menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dirampasnya
kemerdekaan itu sendiri, inilah setidakya yang dikatakan oleb Prof. Barda
Nawawi Arief . Dengan demikian seberapakah efektifkah pidana penjara di
Indonesia bagi perbaikan pelaku mengingat ukuran apakah yang digunakan untuk
menentukan telah adanya tanda-tanda perbaikan atau perubahan sikap pada diri si
pelaku.
Semula penulis menggunakan metode pengqiyasan dengan empat rukunnya
yaitu Pertama, ashal ( asal ), yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang
menjadi ukuran atau tempat menyerupakan / mengqiyaskan. Di dalam ushul fiqh
disebut dengan ashal atau (االصل) maqis ‘alaih atau (المقیس علیھ) musyabbah bih ( بھ
Dalam masalah ini yang menjadi ashalnya adalah pembunuhan yang .(مشبھ
diancam qishas dapat gugur dengan adanya suatu pemaafan ataupun
pengampunan dari pihak wali korban. Adapun dalil syar’i nya adalah QS. Al
baqarah 178.
Kedua, Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya
yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u
atau (الفرع) al-maqis atau (المقیس) al-musyabbah Remisi merupakan .(المشبھ)
pengurangan masa hukuman kepada Narapidana atau Anak Pidana yang sedang
menjalakan hukumannya sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.
77
Ketiga, Hukum ashal حكم) yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada ;(االصل
pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang. Dalam QS Al
Baqarah 178 dijelaskan bahwa Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih, jadi qishas itu wajib tetapi barang siapa yang mendapat pemaafan atupun
pengampunan maka gugurlah hak qishas tersebut.
Keempat, ‘illat yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan ;(العلة)
cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’u.
Dalam hal ini penulis mengambil beberapa illat dari keduanya antara lain dalam
remisi pembunuhan dengan pengampunan jarimah qishas diyat yaitu sama-sama
meringankan hukuman baik itu berupa penghapusan, pengurangan, memaafkan,
membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan dan sebagainya selain
itu itu baik wali korban maupun Presiden sama-sama subyek yang mempunyai
kewenangan untuk memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan.
Setelah penulis melakukan metode pengqiyasan ternyata terdapat kelemahan
khususnya mengenai illat dari remisi pembunuhan dengan pengampunan dalam
78
jarimah qishas diyat, kelemahan itu antara lain pertama dari sifatnya yaitu
pengurangan ( remisi ) dengan pengampunan tidak dapat disamakan mengingat
dari pengertian masing-masing berbeda yakni jika remisi mengurangi tetapi
ampunan jarimah qishas diyat mengampuni ataupun memaafkan meskipun sama-
sama suatu keringanan hukuman, kedua dari waktu pelaksanaan, pemberian remisi
dilakukan setelah terpidana menjalankan hukumannya sedangkan pengampunan
dalam jarimah qishas diyat dapat diberikan secara langsung tanpa harus
menunggu pelaku menjalankan hukuman, ketiga yaitu mengenai subyek pemberi
kewenangan, jika remisi diberikan oleh Presiden melalui Menteri Hukum dan
HAM sedangkan pengampunan diberikan oleh wali korban, padahal antara
Presiden dan wali korban tidak dapat disamakan kedudukannya sebagai wali
karena Presiden bukanlah wali korban.
Berangkat dari pengertian mashlahah murshalah yaitu sesuatu yang
dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum
namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak adapula
petunjuk syara’ yang menolaknya.9 Seperti yang dikemukakan oleh Abd Al
Wahab Al Khallaf yang menyatkan bahwa mashlahah mursalah adalah
mashlahat yang tidak ada dalil syara’ yang datang untuk mengakuinya atau
menolaknya10. Dengan alasan inilah penulis mengkategorikan remisi ini ke dalam
mashlahah mursalah dengan beberapa alasan yaitu hukum remisi tidak tersebut
secara jelas dalam Al Qur’an karena remisi ini bersifat keringanan hukuman
seperti halnya seseorang yang melakukan pembunuhan maka dalam hukum pidana
9 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta : Kencana , 2009. h. 35410 Ibid, h. 356
79
islam ada keringanan baginya setelah dia mendapatkan pemaafan ataupun
pengampunan dari pihak wali korban, adapun dalil atau nash Al Qur’an yang
mendukung adalah QS. Al Baqarah ayat 178 yang telah dipaparkan dalam bab II
sebelumnya. Remisi diberikan karena narapidana dinilai berbuat baik dan
menyesali perbuatannya, ini juga sejalan dengan tujuan syara’ yaitu
menghindarkan umat manusia dari kerusakan dan keburukan karena selama
menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan narapidana diberi bimbingan
maupun pelatihan dan lain-lain dengan maksud agar ia tidak mengulangi dan juga
mau menyesali perbuatannya yang telah dilakukan sebelumya sehingga muncul
rasa tobat, ini iuga menandakan adanya perlindungan jiwa sebagai salah satu
tujuan penetapan hukum yakni memelihara agama,jiwa,akal, keturunan dan harta.
Selain itu penulis juga belum menemukan hukum syara’ yang menolak tentang
penerapan remisi ini.
Perlu dicermati mengenai subjek pemberi ampunan yaitu Presiden, dan
terpidana harus mengajukan sendiri, lain halnya dengan remisi yang mana
merupakan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada
Narapidana dan Anak Pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dengan pengawasan Kalapas dan dengan
persetujuan Menteri Hukum dan HAM. Dengan kata lain remisi ini diberikan
karena terpidana dinilai telah melakukan perbuatan yang baik selama menjalani
hukumannya dan menyesali perbuatan yang dilakukannya. Remisi yang diberikan
kepada pelaku tindak pidana pembunuhan maka di dalam Al Qur’an pun telah
dijelaskan tentang anjuran untuk memberikan ampunan kepada pelaku tindak
80
pidana pembunuhan yang diancam dengan hukuman qishas, hal ini sesuai dengan
firman Alla SWT dalam Qs. Al baqarah 178 dan Qs. Al Maidah 45 yang telah
dijelaskan dalam bab sebelumya.
Selain itu demi mengimplementasikan bahwa pelaku benar-benar
menyesali maka Allah SWT menyuruh untuk bertobat bagi orang-orang yang
telah melakukan kedzaliman, artinya orang-orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang oleh syariat agama, karena Allah SWT mau memberikan ampunan
kepada orang-orang yang benar-benar menyadari dan menyesali atas apa yang
mereka perbuat. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam QS Al Furqaan ayat 70 :
Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman danmengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allahdengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.
Selain itu juga terdapat dalam QS.Al Furqaan 71:
Artinya: Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengantaubat yang sebenar-benarnya.
Hukuman bagi pelaku pembunuhan dalam hukum pidana Islam terbagi
dalam tiga jenis, yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman
tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qishas dan bila dimaafkan oleh
wali korban maka hukuman penggantinya adalah diyat. Jika sanksi qishas dan
81
diyat dimaafkan maka hukuman penggantinya adalah ta’zir. Hukuman tambahan
bagi jarimah ini adalah terhalangnya hak atas warisan dan wasiat.11
Dalam Keppres RI No 174 tahun 1999 terutama dalam pasal 1 disebutkan
bahwa “ setiap narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara
sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan
berkelakuan baik selama menjalani pidana” Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Al-Ghazali, bahwa orang yang bertaubat dikatakan sempurna
bila ia tidak hanya menyesali perbuatannya saja, tetapi ia harus mengikuti dan
mengganti perbuatan tersebut dengan perbuatan baik.12 Kriteria syarat tersebut
diatas secara umum sejalan dan erat hubungannya dengan salah satu prinsip
hukuman dalam hukum pidana Islam, dimana hukuman adalah sebagai upaya
pencegahan , media mendidik dan pengajaran, upaya menimbulkan efek jera.
Terlebih pengurangan hukuman (Remisi) tersebut dilaksanakan secara
bertahap dan bertingkat oleh Lembaga Pemasyarakatan, hal ini untuk menegatahui
sejauh mana Narapidana tersebut terbukti menunjukkan kesungguhan bertaubat.
Pendapat lain dari Ibn Abidin dalam kitabnya Hasyiyah Ibn Abidin, yang
mengatakan seseorang dianggap bertaubat menurut para ulama bila ia
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan prilakunya, karena taubat dalam hati
itu,tidak dapat diamati. Sebagaimana telah dinukil Djazuli.13
11 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat Dalam WacanaDan Agenda, Jakarta : Gema Insani Press, 2003. h.37
12 Al-Ghazali, Taubat, Sabar dan Syukur, alih bahasa Nur Hikmah dan RHA Suminta(Jakarta:Tinta Mas, 1983), hlm. 22.
13 Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 204.
82
Pemaafan ataupun pengampunan dalam Islam khususnya dalam tindak
pidana pembunuhan merupakan salah satu faktor pengurungan hukuman, baik
diberikan oleh wali korban atau oleh penguasa negara.14 Pemberian ampunan
dalam bentuk Remisi dalam tindak pidana pembunuhan adalah hak dari wali
korban yang mempunyai wewenang untuk memberikan ampunan. Inilah yang
membedakan dengan pengampunan dalam hukum positif. Hukum Islam
memberikan hak pengampunan kepada wali korban berdasarkan pertimbangan
yang logis dan praktis karena pada dasarnya hukuman ditetapkan untuk
memberantas tindak pidana, tetapi pada banyak keadaaan hukuman tidak selalu
dapat mencegah terjadinya tindak pidana, sedangkan pengampunan sering kali
mencegah terjadinya tindak pidana. Ini karena pengampunan baru akan terjadi
setelah adanya perdamaian dan kebersihan hati antara kedua belah pihak dari
unsur-unsur yang mendorong terjadinya tindak pidana.15
Seperti halnya firman Allah SWT dalam QS.Asy Syuura ayat 40 :
Artinya : Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yangserupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Makapahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidakmenyukai orang-orang yang zalim.
Dalam hal ini, Allah telah memberikan wewenang kepada ahli waris
terbunuh, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan pembalasan
14 Ahmad hanafi,op. cit. h.34815 Abdul Qadir Audah ( ed ), op. cit.. h.69
83
darah tersebut. Yang dimaksud wewenang di sini adalah justifikasi untuk
menuntut qishash. Dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal
pembunuhan di mana pelaku pembalas bukanlah negara melainkan ahli waris dari
orang yang terbunuh, oleh karena itu negara sendiri tidak berhak untuk
memberikan ampunan. Akan tetapi jika korban tidak cakap di bawah umur atau
gila sedang ia tidak punya wali, maka kepala negara bisa menjadi walinya dan
bisa memberikan pengampunan. Jadi kedudukannya sebagai wali Allah yang
memungkinkan dia mengampuni, bukan kedudukannya sebagai penguasa Negara.
Menurut imam Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal ampunan atas qishas
menggugurkan qishas secara cuma-cuma atau dengan diat, orang yang melepas
hak qishas secara cuma-cuma dari orang yang membunuh berarti ia telah
memaafkan, orang yang melepaskan hak qishasnya dengan imbalan diyat
dianggap terlaksana tanpa perlu kerelaan pelaku, tetapi menurut Imam Malik dan
Abu Hanifah ampunan menggugurkan qishas secara cuma-cuma, adapun
melepaskan qishas dengan imbalan diyat menurut keduanya bukanlah ampunan
tetapi akad damai.16
Sedangkan orang yang berhak memiliki pengampunan menurut Imam Abu
Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal yang memiliki hak ampunan adalah
orang-orang yang memiliki hak qishas yaitu semua ahli waris yang mempunyai
hubungan nasab dan sebab, baik laki-laki, perempuan, anak kecil, maupun orang
dewasa.masing-masing dari mereka mempunyai hak mengampuni jika mereka
sudah dewasa dan berakal. Sedang menurut Imam Malik yang mempunyai hak
16 Ibid, h. 311
84
ampunan yaitu ahli waris ashabah laki-laki yang lebih dekat derajatnya dengan
korban dan perempuan yang mempunyai hak waris yang tidak bersama dengan
asabah laki-laki yang sederajat.17
Dilihat dari sisi logika pengampunan tindak pidana pembunuhan adalah
karena tindak pidana pembunuhan bersifat perseorangan yang berasal dari motif
perseorangan pula. Tindak pidana ini lebih banyak menyentuh kehidupan dan fisik
korban daripada menyentuh masyarakat. Karena itu selama suatu tindak pidana
memiliki keterkaitan dengan perseorangan korban, penjatuhan hukumannya pun
menjadi hak korban. Inilah salah satu kelebihan dari hukum Islam dibanding
hukum konvensional.
Dari keterangan-keterangan di atas, tampak bahwa syarat atau kriteria
pokok dari pemberian pengurangan hukuman (remisi) di Indonesia (dalam Hukum
Pidana Positif) pada dasarnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum
pidana dalam Islam. Hal ini dapat kita cermati dari kriteria atau syarat yang harus
di penuhi oleh pelaku, yakni, berbuat baik selama di dalam tahanan, menyesalinya
dan berniat untuk tidak mengulanginya lagi.
17. Ibid, h.312
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis, maka penulis
ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Remisi merupakan pengampunan yang berupa pengurangan masa tahanan
yang diberikan kepada terpidana yang telah dianggap memenuhi ketentuan
syarat-syarat menurut Keppres RI No 174 tahun 1999, yaitu terpidana harus
berkelakuan baik selama menjalani hukuman, berbuat jasa kepada negara,
melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan,
melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga
Pemasyarkatan dan syarat ini berlaku untuk semua tindak pidana umum
termasuk kepada pelaku tindak pidana pembunuhan.
2. Ditinjau dari hukum pidana Islam pemberian remisi kepada pelaku tindak
penulis kategorikan kepada mashlalah mursalah karena remisi ini dipandang
baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ meski tidak ada nash yang
secara tekstual membicarakan remisi sehingga penulis mengkategorikan
remisi ini ke dalam mashlahah mursalah. Syarat untuk mendapatkan remisi
tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum pidana dalam Islam. Hal ini
dapat dicermati dari kriteria atau syarat yang harus di penuhi oleh
narapidana yakni, berbuat baik selama di dalam tahanan, menyesalinya dan
berniat untuk tidak mengulanginya lagi. Menurut penulis hukum pidana
88
Islam dirasa lebih adil daripada hukum yang ada di Indonesia saat ini. Ini
dapat terlihat dari diberikannya hak atau kewenangan melaksanakan ataupun
tidak melaksanakan qishas oleh ahli waris khususnya pada jarimah
pembunuhan, ini karena pada dasarnya di dalam perkara pidana umum
korban dan walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan remisi
tetapi lainnya halnya dalam pidana qishas dan diyat, korban dan walinya
diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai
pengecualian karena tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan
pribadi korban, selain itu tindak pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi
korban dari pada keamanan masyarakat. Sehingga pihak korban atau
walinya diberikan hak tersebut
B. Saran-Saran
1. Dilihat dari Keppres RI No 174 tahun 1999, remisi ini berlaku untuk pidana
umum, padahal kejahatan itu berbeda-beda terlebih bagi tindak pidana
pembunuhan yang jelas nyata menghilangkan nyawa manusia sehingga perlu
adanya pembedaan, seperti halnya tindak pidana korupsi yang mepunyai
undang-undang tersendiri tetapi peraturan untuk mendapatkan remisi
menginduk pada peraturan yang sama yaitu Keppres RI No 174 tahun 1999.
2. Lembaga pemasyarakatan sebenarnya mempunyai tujuan yang baik tetapi
akan lebih baik lagi jika aparat yang berada didalamnya mempunyai
dedikasi untuk benar-benar menegakkan dan memberikan pembinaan yang
89
baik pula sehingga tidak ada lagi narapidana yang bisa kelauar jalan-jalan
dengan cara menyogok aparat terkait.
C. Penutup
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi Kepada Pelaku
Tindak Pidana Pembunuhan ( Studi Analisis Keputusan Presiden Ri Nomor 174
Tahun 1999 Tentang Remisi ) ”.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun, guna menjadikan
skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam/Editor, diterjemahkanoleh Muhammad,Ahsin Sakho Dari” At Tasri Al Fiqh Al Jian’I ”.Jakarta: PT Kharisma Ilmu. 2008.
Al-Ghazali, Taubat, Sabar dan Syukur. alih bahasa Nur Hikmah dan RHASuminta. Jakarta :Tinta Mas. 1983.
Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam , Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
---------------- Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. 2006.
Anwar , H.A.K Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung: PT Citra AdityaBakti. 1989.
Arifin, Zaenal,“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemberian Remisi PadaNarapidana. Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga. 2009.
Sulaiman, Abu Daud , Sunan Abi Daud. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kotob AlIlmiyah. 1997.
Departeman Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya. Semarang : Cv AsySyifa’. 2000.
Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi kejahatan dalam Islam. Jakarta:Raja GrafindoPersada. 1997.
Erwin, Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana. Jilid I. Jakarta : Aksara Baru.1980.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia DanPenerapannya. Jakarta : Storia Grafika. 2002.
Gunakaya, Widiada, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: CVARMICO. 1988.
Hamzah, Andi ,Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta ; Rineka Cipta. 1991.
---------------, Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Inonesia. 1986.
---------------, KUHP Dan KUHAP. Jakarta ; Rineka Cipta. 2006.
---------------, Delik-Delik Tertentu ( Special Delicten) Di Dalam KUHP. Jakarta:Sinar Grafika. 2010.
Hanafi, Ahmad , Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:PT Bulan Bintang.1993.
Khallaf, Abdul Wahhab , Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Toha Putra Group. 1994.
Kasdi, Abdurrahman Dan Umma Farida , Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-LadziinaAamanuu 1. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 2005.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Keputusan Menteri Hukum Dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.09.Hn.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Keputusan PresidenRepublik Indonesia Nomor : 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
Lamintang ,P.A.F., Delik-delik Khusus. cet. 1. Bandung: Bina Cipta. 1986.
-------------- Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, & Kesehatan: Jakarta: SinarGrafika, 2010.
Lasiyo, Pemberian Remisi Terhadap Koruptor Dalam Sudut Pandang FiqhJinyah. Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga. 2011.
Marpaung, Leden, Asas,Teori, Praktek, Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.2005.
---------------------, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum .Jakarta:Grafika.1991.
--------------------Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta:Grafika.2007.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta; PT Bumi Aksara.2007.
Muslich, Ahmad Wardi , Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2005.
------------ Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah. Jakarta :Sinar Grafika. 2006.
Nasa’I, Imam Abdurrrohman Ahmad Syuaib, Kitab Sunan Al-Kubro, Beirut-Lebanon : Dar Al-Kotob Al Ilmiyah.1991.
Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia. cet.5. Jakarta: BalaiPustaka. 1982.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. Bandung:Refika Aditama. 2006.
Prodjodikoro,Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung:Eresco.1989.
Sabiq ,Sayyid (ed.), Fiqih Sunah, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin Dari”Fiqhus Sunah”. Jakarta : Pena Pundi Aksara. 2006.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat DalamWacana Dan Agenda. Jakarta : Gema Insani Press. 2003.
Shihab, M. Quraishi, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan Dan Keserasian Al Quran.Jakarta : Lentera Hati. 2002.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2, Jakarta : Kencana , 2009. h. 354
Soedarsono, Kamus Hukum. Jakarta : Rhineka Cipta. 1992.
--------------, Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta; PT. Rineka Cipta. 1993.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia. 1986.
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.Rineka Cipta. 2006.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum , Jakarta : PT Raja GrafindoPersada. 1998.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka. 2005.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 174 TAHUN 1999
TENTANG
REMISI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
1. bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang pentingdalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan;
2. bahwa negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap pendudukuntuk memeluk agamanya masing-masing, termasuk setiapNarapidana;
3. bahwa ketentuan mengenai remisi sebagaimana diatur dalamKeputusan Presiden Nomor 69 Tahun 1999 tentang PenguranganMasa Pidana (Remisi) perlu disesuaikan dengan hak dan kewajibansetiap Narapidana sebagai pemeluk agama karena agamamerupakan sendi utama kehidupan masyarakat;
4. bahwa sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan HakWarga Binaan Pemasyarakatan, pengaturan mengenai remisiditetapkan dengan Keputusan Presiden;
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalamhuruf a, b, dan c perlu menetapkan Keputusan Presiden RepublikIndonesia tentang Remisi.
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945;2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 77,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3614);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat DanTata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 69, Tambahan LembaranNegara Nomor 3846).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG REMISI
Pasal 1
1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidanapenjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisiapabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalanipidana.
2. Remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundang-undanganRepublik Indonesia.
3. Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkandengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Pasal 2
Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 terdiri atas:
a. remisi umum, yang diberikan pada hari peringatan ProklamasiKemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus; dan
b. remisi khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yangdianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan,dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satuhari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalahhari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yangbersangkutan.
Pasal 3
1. Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambahdengan remisi tambahan apabila Narapidana atau Anak Pidanayang bersangkutan selama menjalani pidana:a. berbuat jasa kepada negara;b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan; atauc. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan
di Lembaga Pemasyarakatan.2. Ketentuan lebih lanjut mengenai berbuat jasa dan melakukan
perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau bagi kegiatanpembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan MenteriHukum dan Perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Besarnya remisi umum adalah:
a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telahmenjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan;dan
b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telahmenjalani pidana selama 12 (duabelas) bulan atau lebih.
(2) Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut:
a. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1);
b. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;c. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan;d. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi
5 (lima) bulan; dane. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam
bulan) setiap tahun.
Pasal 5
(1) Besarnya remisi khusus adalah:
a. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yangtelah menjalani pidana selama 6. (enam) sampai 12 (dua belas)bulan; dan
b. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telahmenjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.
(2) Pemberian remisi khusus dilaksanakan sebagai berikut:
a. pada tahun pertama diberikan remisi sebagaimanadimaksudkan dalam ayat (1);
b. pada tahun kedua dan ketiga masing-masing diberikan remisi 1(satu) bulan;
c. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari; dan
d. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua)bulan setiap tahun.
Pasal 6
Besarnya remisi tambahan adalah:
a. 1/2 (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahunyang bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yangberbuat jasa kepada negara atau melakukan perbuatan yangbermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; dan
b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahunyang bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yangtelah melakukan perbuatan yang membantu kegiatanpembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka.
Pasal 7
(1) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasaruntuk menetapkan besarnya remisi umum dihitung sejak tanggalpenahanan sampai dengan hari peringatan ProklamasiKemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus.
(2) Penghitungan lamanya masa menjalani pidana sebagai dasaruntuk menetapkan besarnya remisi khusus dihitung sejak tanggalpenahanan sampai dengan hari besar keagamaan yang dianut olehNarapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan.
(3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dan ayat (2) terputus, perhitungan penetapan lamanya masamenjalani pidana dihitung dari sejak penahanan yang terakhir.
(4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1(satu) bulan dihitung sama dengan 30 (tiga puluh) hari.
(5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) didasarkan pada agama Narapidana dan AnakPidana yang pertama kali tercatat dalam buku register LembagaPemasyarakatan.
Pasal 8
(1) Dalam hal Narapidana dan Anak Pidana pada suatu tahun tidakmemperoleh remisi, besarnya remisi pada tahun berikutnyadidasarkan pada remisi terakhir yang diperolehnya.
(2) Penghitungan remisi bagi Narapidana dan Anak Pidana yangmenjalani pidana lebih dari satu putusan Pengadilan secaraberturut-turut dilakukan dengan cara menggabungkan semuaputusan pidananya.
(3) Pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda tidakdiperhitungkan didalam penggabungan putusan pidanasebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 9
(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dantelah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turutserta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidanapenjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harusdijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjarasementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkandengan Keputusan Presiden.
(3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadipidana penjara sementara diajukan oleh Narapidana yangbersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Hukum danPerundang-undangan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan perubahanpidana seumur hidup menjadi pidana sementara sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan KeputusanMenteri Hukum dan Perundang-undangan.
Pasal 10
Dalam hal pidana penjara seumur hidup telah diubah menjadi pidanapenjara sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, maka untukpemberian remisi berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 1 sampai dengan Pasal 6.
Pasal 11
Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 jugadiberikan kepada:
a. Narapidana dan Anak Pidana yang mengajukan permohonangrasi sambil menjalankan pidananya; dan
b. Narapidana dan Anak Pidana Warga Negara Asing.
Pasal 12
Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tidakdiberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang:
a. dipidana kurang dari 6 (enam) bulan;b. dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku
pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurunwaktu yang diperhitungkan pada pemberian remisi;
c. sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas; ataud. dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
Pasal 13
(1) Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala RumahTahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negaramelalui Kepala Kantor Departemen Hukum dan Perundang-undangan.
(2) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan tentangremisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana padahari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesiatanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi padaperingatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau padahari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan AnakPidana yang bersangkutan.
(3) Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianutoleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum danPerundang-undangan mengkonsultasikannya dengan MenteriAgama.
Pasal 14
Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6dicatat di dalam daftar tersendiri.
Pasal 15
Pada saat Keputusan Presiden ini mulai berlaku, Keputusan PresidenRepublik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan MasaPidana (Remisi) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 16
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agarsetiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganKeputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam LembaranNegara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Desember 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd,
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 23 Desember 1999
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
ALIRAHMAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 223
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI:
Nama Lengkap : MUHAMAD THOHIR
Tempat, Tanggal Lahir : Kendal, 1 September 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ds. Wungurejo RT 03 RW 03 Ringinarum Kendal
No. HP : 085640071148
RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL :
SD Negeri 01 Wungurejo, Kendal Lulus tahun 1999
SMP Negeri 02 Gemuh, Kendal Lulus tahun 2002
SMA Negeri 01 Cepiring, Kendal Lulus tahun 2005
RIWAYAT PENDIDIKAN NON FORMAL :
D1 Asisiten Paramedis Magistra Utama Semarang Lulus tahun 2006
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya,
untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 11 Juni 2011
Penulis,
Muhamad Thohir
NIM. 072211024