Skripsi Korupsi

81
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Keanekaragaman tersebut berpotensi menimbulkan benturan-benturan di dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan. Guna mengatasi perbedaan tersebut dibutuhkan adanya peraturan hukum yang mampu mengatur seluruh perikehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan rasa keadilan. Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat memang semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, 1

description

hukum

Transcript of Skripsi Korupsi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Keanekaragaman tersebut berpotensi menimbulkan benturan-benturan di dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya perbedaan kepentingan. Guna mengatasi perbedaan tersebut dibutuhkan adanya peraturan hukum yang mampu mengatur seluruh perikehidupan masyarakat dalam rangka mewujudkan rasa keadilan.

Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat memang semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum di dalam masyarakat menjadi tidak optimal. Tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud maupun tujuan tertentu yang justru memiliki tendensi untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Sistem hukum suatu negara terbentuk dari pertumbuhan tata nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat dan organisasi alat perlengkapan negara penegak hukum itu sendiri. Pandangan sejarah, sosial-ekonomi, filsafat, dan politik bangsa merupakan sumber yang menentukan terbentuknya pola sistem hukum dan politik hukum.

Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang secara tegas menyatakan bahwa, Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).

Dalam ketentuan hukum, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal beberapa bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku-pelaku pelanggaran dan atau kejahatan, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan yang mana pidana pokok itu meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan yang termasuk pidana tambahan, yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Berdasarkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang tersebut di atas, maka yang paling banyak diterapkan terhadap pelaku kejahatan adalah pidana penjara.

Kemudian mengenai berat ringannya sanksi atau hukuman yang diberikan kepada pelaku itu sangat tergantung pada jenis tindak pidana yang mereka lakukan. Kalau jenis tindak pidana yang mereka lakukan hanya dalam bentuk pelanggaran, maka tentunya sanksi yang diberikan juga ringan akan tetapi kalau jenis tindak pidana yang dilakukannya itu tergolong kejahatan maka tentunya sanksi pidananya juga akan berat. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa peraturan perundang-undangan yang lain.

Salah satu agenda reformasi yang digulirkan oleh pemerintah adalah pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan masalah yang sangat besar dan ruwet yang dihadapi oleh negara sekarang ini. Korupsi sendiri merupakan suatu penyakit dalam masyarakat dan merupakan suatu hal yang dapat menghambat jalannya pembangunan di negara ini yang harus diberantas. Salah satu sarana untuk melakukan pemberantasan korupsi itu adalah pengaturan hukum yang menjadi dasar untuk memberantasnya. Korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang perlu penanganan dan penindakan besar-besaran pula terbukti dengan terbentuknya Tim Pemberantasan Korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan langkah konkrit dari pemerintah sebagai upaya untuk memberantas kejahatan korupsi di Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilahirkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi tersebut. Dengan adanya KPK, maka diharapkan Negara Republik Indonesia dapat bersih dari kejahatan korupsi.Hukum sebagai norma dasar yang bersanksi diharapkan dapat memberikan perlidungan, keteraturan, ketertiban dan keamanan dalam lingkungan masyarakat. Karenanya, hal tersebut menjadi sangat penting untuk mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah di dalam menjalankan atau melakukan penegakan hukum. Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama hingga saat ini dan belum tuntas diberantas. Bahkan banyak pelaku korupsi yang kemudian diputus bebas oleh pengadilan. Mungkin terlalu cepat menghukumi bahwa hukum pun telah terjangkiti virus korupsi, tetapi mungkin itulah yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Ironisnya, tindak pidana korupsi bahkan dianggap sebagai kejahatan yang paling keren dibandingkan kejahatan-kejahatan lainnya padahal kejahatan ini adalah kejahatan yang mencuri uang negara. Banyak pelaku korupsi yang merasa bangga ketika mereka mencuri uang negara.Penerapan sanksi pada tindak pidana korupsi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahkan divonis bebas membuat seakan-akan peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak evektif keberadaannya.Hal inilah yang kemudian membuat penulis mengangkat judul Tinjauan Hukum Evektifitas Penerapan Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi untuk mengkaji tentang evektifitas penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi, khususnya pada kasus yang terjadi di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi Selatan.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang akan dipecahkan adalah :

1. Bagaimanakah efektivitas penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi?2. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi?C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan peleitian adalah :

1. Untuk mengetahui efektivitas penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi.Adapun kegunaan penelitian adalah:1. Sebagai masukan bagi aparat penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi.

2. Sebagai bahan masukan bagi mahasiswa hukum yang ingin meneliti lebih jauh mengenai tindak pidan korupsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Delik

1. Pengertian Delik

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap masalah yang akan dibahas, akan dikemukakan terlebih dahulu pengertian delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1989:55), bahwa:

Tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

Pandangan di atas tampak lebih setuju dengan istilah strafbaarfeit yang diartikan dengan kata peristiwa pidana yang pembuatnya dapat dijatuhi sanksi pidana. Selain itu, adapula yang berpendapat bahwa delik sama pengertiannya dengan peristiwa pidana, seperti yang dikemukakan oleh Tresna (Rusli Efendy, 1986:53), sebagai berikut:

Peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan.

Menurut batasan pengertian di atas, delik adalah peristiwa pidana yang berkaitan dengan rangkaian perbuatan manusia yang pembuatnya diancam pidana.

Moejatno (1987:55) menerjemahkan strafbaarfeit dengan kata perbuatan pidana dengan alasan sebagai berikut:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat larangan ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian.

Alasan yang dikemukakan oleh Moeljatno berdasarkan penilaian bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat. Antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret. Pertama, adanya kejadian tertentu, dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Simons (A.Z. Abidin Farid, 1995:224) mengartikan strafbaarfeit (terjemahan harafiah: peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Menurut Van Hamel (A.Z. Abidin Farid, 1995:225), pengertian strafbaarfeit adalah:

Perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardiq (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten)

Pengertian strafbaarfeit yang dikemukakan oleh Simons, tampaknya lebih menekankan pada adanya kesalahan yang meliputi kesengajaan (dolus), alpa, dan kelalaian (culpa lata). Sementara Van Hamel mengartikan strafbaarfeit jauh lebih luas, selain kesengajaan, kealpaan, dan kelalaian, juga kemampuan bertanggung jawab, bahkan, Van Hamel menilai istilah strafbaarfeit tidak tepat, dan yang lebih tepat adalah strafwaardigfeit.

Andi Zainal Abidin Farid (1995:230) merumuskan delik sebagai berikut:

Perbuatan aktif atau pasif, yang melawan hukum formil dan materiil yang dalam hal tertentu disertai akibat dan/atau keadaan yang menyertai perbuatan, dan tidak adanya dasar pembenar.

Menurut Andi Zainal Abidin Farid (1995:231), istilah deliklah yang paling tepat karena:

a. bersifat universal, dan dikenal di mana-mana;

b. lebih singkat, efisien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati;

c. orang yang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga menggunakan istilah delik;

d. belum pernah penulis menemukan istilah perkara prodoto (perdata) atau apa yang kita namakan perkara pidana atau perkara kriminal sekarang (jadi orang salah mengambil istilah prodoto atau perdata untuk privat); yang pernah penulis temukan ialah istilah perkara padu sebagai lawan prodoto (C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, I:562 dstnya);

e. istilah perbuatan pidana (seperti istilah lainnya) selain perbuatanlah yang dihukum, juga ditinjau dari segi Bahasa Indonesia mengandung kejanggalan dan ketidaklogisan, karena kata pidana adalah kata benda; di dalam Bahasa Indonesia kata benda seperti perbuatan harus diikuti oleh kata sifat yang menunjukkan sifat perbuatan itu, atau kata benda boleh dirangkaian dengan kata benda lain dengan syarat bahwa ada hubungan logis antara keduanya. Pendapat A.Z. Abidin Farid yang mengistilahkan perbuatan pidana dengan delik yang penulis gunakan dalam penulisan ini, karena mempersoalkan manusia sebagai pemangku hak dan kewajiban, yaitu perbuatan aktif dan perbuatan pasif yang dilarang dan pembuatnya diancam dengan pidana oleh Undang-undang.

Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa terjemahan yang dipergunakan para ahli hukum pidana di Indonesia adalah bermacam-macam sebagai berikut:

a. Tindak pidana;

b. Perbuatan pidana;

c. Peristiwa pidana;

d. Perbuatan kriminal, dan

e. Delik.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa delik merupakan suatu perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum) yang melanggar ketentuan hukum disertai dengan ancaman pidana (sanksi) bagi pembuatnya. 2. Unsur-unsur Delik

Setelah mengetahui pengertian delik, maka perlu dikemukakan pula unsur-unsur delik pada umumnya. Menurut Moeljatno (1983:63), unsur-unsur delik terdiri atas:a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan;

d. Unsur-unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Pendapat Moeljatno tersebut menekankan bahwa unsur-unsur terjadinya delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu akibat dan perbuatan tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif dan objektif. Adapun unsur melawan hukum subjektif yang dimaksud adalah adanya kesengajaan dari pembuat delik untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, sedangkan unsur melawan hukum objektif penilaiannya bukan dari pembuat, tetapi dari masyarakat.

Lebih lanjut Moeljatno (1993:64) yang menganut pandangan dualistis terhadap delik, menyatakan bahwa syarat-syarat pemidanaan terdiri atas perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawaban pembuat:

a. Unsur perbuatan (handlung)

1) Perbuatan yang mencocoki rumusan delik

2) Melawan hukum

3) Tidak ada dasar pembenar

b. Unsur pembuat (handelende)

1) Kemampuan bertanggung jawab

2) Ada kesalahan dalam arti luas, meliputi dolos (sengaja atau opzet) dan culpa lata (kelalaian)

3) Tidak ada alasan pemaaf

Aliran dualistis tentang delik memandang, bahwa untuk memidana seseorang yang melakukan delik harus ada syarat-syarat pemidanaan yang terbagi atas perbuatan (feit) dan pembuat (dealer), karena masing-masing mempunyai unsur tersendiri.

Andi Zainal Abidin Farid (1981: 171-179) menuliskan unsur delik menurut pandangan monoisme dan pandangan dualisme sebagai berikut:

Unsur delik menurut aliran monoisme hanya mengenal unsur perbuatan dan pembuat sedangkan unsur delik menurut aliran dualisme yaitu:

a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik materiil);

b. Yang melawan hukum yang objektif dan subjektif;

c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan;

d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; dan

e. Tak adanya alasan pembenar.

Andi Zainal Abidin Farid (1981:180) sendiri berpendapat bahwa unsur-unsur delik pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan aktif atau pasif;

2. Melawan hukum formil (bertalian dengan asas legalitas) dan melawan hukum materiil (berkaitan dengan pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman);

3. Akibat, yang hanya disyaratkan untuk delik materiil;

4. Keadaan yang menyertai perbuatan yang disyaratkan untuk delik-delik tertentu (misalnya delik menurut pasal 164 dan 165 KUHP dan semua delik jabatan yang pembuatnya harus pegawai negeri);

5. Tidak adanya dasar pembenar (merupakan unsur yang diterima secara diam-diam).

Menurut pendapat di atas, bahwa kalau istilah melawan hukum tidak disebut di dalam pasal undang-undang pidana, maka ia merupakan unsur yang diterima secara diam-diam yang tidak perlu dibuktikan oleh penuntut umum, juga melawan hukum materiil.

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah Korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruption atau corruptus yang disalin ke dalam berbagai bahasa. Misallnya disalin dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie (korruptie) yang mengandung arti perbuatan korup atau penyuapan. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia (Adam Chazawi, 2005:1). Martiman Prodjohamidjojo (2001:7) mengatakan bahwa:

Ada banyak istilah dibeberapa Negara misalnya, gin moung (Thailand) yang berarti makan bangsa, Rasulah (Malaysia), Oshoku (Jepang), yang berarti kerja kotor dan Tanwu (Cina) yang berarti keserakahan bernoda.

Adami Chazawi (2002:2) mengatakan bahwa secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah penyuapan. Kemudian Leden Marpaung (2001:5) mengatakan bahwa arti kata korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memuat pengertian korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara) atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Tidak ada definisi atau pengertian korupsi atau tindak pidana korupsi dari sudut hukum pidana, baik dalam peraturan perundang-undangan yang sudah tidak berlaku maupun hukum positif sekarang. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang pernah berlaku hanya disebutkan tentang tindak pidana apa saja yang termasuk tindak pidana korupsi, bukan merumuskan tentang definisi atau batasan korupsi atau tindak pidana korupsi. Pada permulaan rumusan Pasal 1 menyatakan bahwa yang disebut tindak pidana korupsi ialah .... kalimat itu menunjukkan pidana korupsi dan bukan batasan tindak pidana korupsi. Demikian juga dalam hal Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 penggantinya. Akan tetapi, dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbeda teknis perumusannya (Adami Chazawi, 2005:1)

Korupsi menurut Transparency Internasional (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1999:274) adalah korupsi mencakup perilaku dari pejabat-pejabat disebut publik, apakah politikus atau pegawai negeri, dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menggunakan kewenangan public yang dipercayakan kepada mereka.

Syed Hussaein Alatas (1986:12) menyatakan bahwa :

dengan demikian kita punya tipe-tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi: penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism). Pada pokoknya ada satu benang merah yang menghubungkan tipe fenomena itu. Penempatan kepentingan-kepentingan publik dibawah tujuan-tujuan privat dengan pelangggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan yang dibarengi keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan pengabdian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.

Jika Alatas menggunakan pendekatan sosiologis untuk merumuskan korupsi, lain halnya dengan Theodore M. Smith (Mubyanto, 1980:60) yang menggunakan pendekatan politik dan ekonomi, ia menyatakan bahwa :

Secara keseluruhan, korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politiik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elit terdidik dan pegawai pada umumnya. korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elit di tingkat provinsi dan kabupaten.

Menurut Mubyanto (....) pendapat Smith sangat tepat, dengan alasan sebagian besar para koruptor justru berlindung dibalik dalih bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya politis. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang terlibat dalam kejahatan korupsi, pada umumnya adalah orang-orang politik yang pernah memperoleh fasilitas secara tidak wajar ketika memegang kekuasaan.

C. Teori Teori PemidanaanMasalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa dalam artian pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, apa yang bermanfaat dan apa yang tidak, serta mengenai apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang sebagaimana yang disampaikan oleh M. Sholehuddin (2003:5).

Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukuman. Sedangkan pemidanaan yang berasal dari kata pidana diartikan sebagai penghukuman. Hukuman berkaitan erat dengan akibat dari pelanggaran hukum pidana yang ditimpakan dalam bentuk penderitaan tertentu bagi orang yang melanggarnya.

Selanjutnya dalam menguraikan teori pemidanaan ini, penulis berpatokan pada Wijono Prajodikoro (1981:19-26) dan juga sepenuhnya oleh Andi Hamzah dan Siti Rahayu (1983:24-28) yang pada garis besarnya teori pemidanaan adalah sebagai berikut :1. Negativisme

Terhadap hak memidana ini mungkin ada pendapat bahwa memidana sama sekali tidak ada, Hazewinkel-suringa mengingkari sama sekali hak memidana ini dengan keyakinan bahwa mereka, sipenjahat tidak boleh dilawan dan bahwa musuh tidak boleh dibenci, pengikutnya antara lain Johannes Huss (1305-1415) seorang gerejawan di Bohemen.2. Teori Absolut

Sedangkan menurut teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang dapat dipidana oleh karena telah melakukan kejahatan,tidak dilihat dari akibat yang ditimbulkan dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan melihat kemasa lampau tanpa melihat kemasa depan.

Pembalasan (vergelding) telah banyak dikemukakan sebagai alasan, untuk menunjuk kejahatan sebagai dasar pidana adakah terpokok pada pendapat, bahwa pidana itu harus dianggap sebagai pembalasan, imbalan terhadap orang yang melakukan suatu perbuatan yang jahat. Oleh karena itu kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada orang yang melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan tadi.3. Teori Relatif

Menurut teori ini kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi sipenjahat itu sendiri. Tidak saja dilihat pada masa lampau melainkan juga pada masa yang akan dating. Teori ini harus dinamakan teori tujuan (dool theorin).Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi, yang mana meliputi unsur-unsur khusus atau special dan umum atau general.

Pada prevensi spesial dikhususkan untuk membuat sipelaku kejahatan tidak berbuat jahat lagi, dalam hal ini tujuan pemmidanaan ditujukan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, sedangkan prevensi umum ditujukan pada semua anggota masyarakat umum agar semua takut melakukan kejahatan.Menurut teori ini tujuan penjatuhan pidana dilihat dari segi manfaatnya bagi masyarakat, yaitu untuk memperbaiki seorang penjahat tidak hanya mengekang dalam tembok penjara, tetapi harus berupa pengawasan terhadap sikap dan perilaku dari para pelaku kejahatan atau menyerahkan pada swasta dalam bidang sosial untuk menampung narapidana yang perlu dididik untuk dikembalikan kepada masyarakat seperti sebelum dia melakukan kejahatan.

4. Teori Gabungan (Teori Modern)Apabila ada dua pendapat yang berbeda dan saling bertentangan satu sama lainnya, maka ada pendapat ketiga yang berada ditengah-tengahnya.Teori gabungan disatu pihak mengakui unsur pembalasan (Vergelding) dalam hukum pidana, dilain pihak mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat, yang ada pada tiap pidana.Teori ini merupakan pembaharuan teori sebelumnya yang menitikberatkan perhatiannya pada orang yang melakukan tindak pidana dan bagaimana seorang hakim menjatuhkan hukuman untuk melindungi masyarakat dari bahaya, jadi dengan aktif hendak menghilangkan bahaya terhadap masyarakat atau memperbaiki dan mengadakan rehabilitasi terhadap pelaku-pelaku tindak kejahatan.Sebelum seorang hakim menjatuhkan pidana maka perlu ada pemahaman yang mendalam tentang diri narapidana dan kondisi lingkungannya, agar dalam penjatuhan pidana tujuannya adalah disamping demi kesejahteraan masyarakat juga harus memperhatikan nasib narapidana tersebut, bagaimana nanti setelah kembali kemasyarakat agar tidak melakukan kejahatan lagi.

Bila kita menganalisa teori yang terakhir ini, kemudian kita melihat kondisi masyarakat, maka secara sadar atau tidak sadar kita telah menjadi penganut teori modern dimana di dalam penjatuhan pidana telah memperhatikan bagaimana agar terpidana bertobat, mendidik ia menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat hukum sehingga dapat kembali kemasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan jahat lagi. D. Jenis-jenis Pemidanaan

Jenis-jenis pidana dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga tersebar dalam beberapa peraturan perUndang-Undangan pidana khusus. Ketentuan pidana dalam KUHP terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi:

Pidana terdiri atas :

1. Pidana pokok

a. Pidana mati

b. Pidana penjara

c. Pidana kurungan

d. Denda

e. Pidana Tutupan (terjemahan BPHN)

2. Pidana tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman putusan hakim

Ketentuan tersebut berbeda dengan Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda yang menjadi sumber KUHP Indonesia. Dalam Arikel 9 WvS, pidana mati tidak lagi tercantum sebagai pidana pokok karena telah dicabut sejak tahun 1980. Sedangkan pada KUHP Indonesia masih dicantumkan. Bahkan, delik-delik yang diancam pidana mati semakin bertambah. Perbedaan lain antara ketentuan WvS dengan KUHP adalah menyangkut pidana tambahan. Dalam artikel 9 WvS Belanda, pidana tambahan mengenal penempatan pada suatu tempat kerja negara sedangkan KUHP Indonesia tidak mengenalinya. 1. Pidana mati

Pidana mati merupakan jenis pidana yang merampas suatu kepentingan hukum (rechtsbelang), yaitu berupa nyawa manusia. Menurut Hermien Hadiati (1995:21-23) bahwa:Ada dua golongan yang memberikan pendapatnya mengenai pidana mati ini. Golongan pertama adalah golongan yang tidak setuju dengan pidana mati. Golongan lainnya adalah golongan yang setuju dengan pidana mati.

a. Golongan yang tidak setuju dengan pidana mati

Alasan-alasan yang diajukan oleh para pendukung golongan ini adalah:

1) Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana mati, berhubungan dengan sifatnya yang mutlak yang tidak mungkin untuk ditarik kembali (onherroepolijk).

2) Hakim adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bila pidana mati itu sudah dilaksanakan apakah artinya jika kemudian ternyata terbukti tidak bersalah. Alasan ini dikenal dengan istilah kesesatan hakim (rechterlijkedwaling)

3) Pelaksanaan pidana mati adalah bertentangan dengan perikemanusiaan.

4) Pidana mati bertentangan dengan modal dan etika

5) Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana mati itu :

a) Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati tidak dapat lagi kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakukannya. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri penjahat tidak dapat tercapai.

b) Pelaksanaan pidana mati biasanya tidak dilakukan dihadapan umum, sehingga dengan demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang banyak. Dengan demikian maka pengaruh daripada generale preventive yaitu agar semua orang merasa takut, tidak tercapai.c) Pada umumnya terhadap orang yang dijatuhi pidana mati menimbulkan perasaan belas kasihan terhadap orang lain dan masyarakat.

b. Golongan yang setuju dengan pidana mati.

Selain Indonesia, masih ada negara-negara seperti Amerika Serikat dan Perancis yang mencantumkan pidana mati dalam hukum pidananya. Dalam rangka pembaharuan hukum nasional di Indonesia, pencantuman pidana mati menjadi masalah tersendiri, yang menjadi alasan-alasan khusus mengapa pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dapat dijumpai di dalam konsiderans sewaktu pembentukan het Wetboek van Straftrecht dan MvT. Ketentuan-ketentuan pasal tersebut adalah:

1) Pidana mati dicantumkan berhubung dengan keadaan-keadaan khusus di Hindia Belanda (Indonesia) yang terdiri dari sejumlah besar pulau-pulau yang dikitari oleh lautan sehingga perhubungan antar pulau sangat sulit dan tidak sempurna.

2) Alat-alat keamanan negara pada waktu itu kurang lengkap susunannya dan jumlahnya sedikit sekali, jumlah tenaga polisi dan tentara dibandingkan dengan luas wilayah, tidak memungkinkan alat-alat negara tidak dapat menjamin keamanan seluruh wilayah negara Indonesia.

3) Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa yang heterogen itu, di mana terdapat perbedaan agama, tingkat hidup, dan kebudayaan, memungkinkan antara yang satu dengan yang lain saling berbentrokan.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara merupakan jenis pidana yang mulai berkembang sejak dihapuskannya pidana mati atau pidana badan di berbagai negara. Dengan berbagai perubahan pemikiran tentang konsep pemidanaan, maka sistem pidana penjara pun mengalami perubahan bersamaan dengan pergeseran falsafah pemidanaan dan pembalasan menuju pembinaan. Meskipun secara mendasar, pidana penjara tetap sebagai pidana yang merampas kemerdekaan.

Menurut Lamintang (1984:69) bahwa

Dewasa ini, yang dimaksud dengan pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh P.A.F.

Suatu pidana penjara dikatakan sebagai pidana perampasan kemerdekaan karena si terpidana ditempatkan di dalam penjara yang mengakibatkan ia tidak dapat bergerak dengan merdeka dan bebas dan secara luas narapidana akan kehilangan hak-hak tertentu.

Dalam Pasal 13 dan 14 KUHP ditentukan bahwa orang yang dijatuhi pidana penjara wajib untuk melakukan pekerjaan yang diatur dengan suatu pekerjaan khusus. Pekerjaan khusus tersebut dibagi ke dalam dua jenis pekerjaan, yaitu :

a. Pekerjaan di dalam rumah penjara;

b. Pekerjaan di luar rumah penjara.

Jenis pekerjaan ini dalam prakteknya ditentukan perkecualian, yaitu bagi :

a. Orang-orang yang dipidana dengan pidana penjara seumur hidup sebab dikhawatirkan terpidana akan melarikan diri;

b. Terpidana seorang wanita;

c. Terpidana yang menurut pemeriksaan dokter, kesehatannya tidak mengizinkan untuk dipekerjakan di luar tembok penjara.

Lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim itu harus dinyatakan dalam: hari (dua puluh empat jam), minggu (tujuh hari), bulan (tiga puluh hari) atau tahun (tiga ratus enam puluh lima atau tiga ratus enam puluh hari). Menurut ketentuan, seluruh jangka waktu pidana penjara yang telah diputuskan oleh hakim itu harus dilaksanakan secara tidak terputus-putus hingga selesai, kecuali apabila diputuskannya pelaksanaan dari pidana penjara seperti itu dapat dibenarkan oleh Undang-Undang, misalnya karena adanya suatu pembebasan bersyarat.

3. Pidana Kurungan (Hechtenis)

Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara. Keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan.

Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap orang-orang dewasa yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana diatur di dalam Buku III KUHP dan terhadap kejahatan-kejahatan yang telah diancam oleh pidana kurungan dalam Buku II KUHP. Pidana kurungan ini diancam secara alternatif dengan pidana penjara bagi mereka yang telah melakukan culpose delicten atau delik-delik yang telah dilakukan secara tidak sengaja.

Lama pidana kurungan sekurang-kurangnya adalah satu hari dan selama-lamanya satu tahun.

4. Pidana Denda

Pidana denda ialah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh pengadilan/hakim untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Pidana denda merupakan jenis pidana atas kekayaan (vermogenstrafI), yaitu pidana yang ditujukan kepada harta kekayaan seseorang terpidana, sehingga, pidana ini pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa saja.

Menurut Lamintang (1984:69) bahwa pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.. Pidana denda ini diancamkan baik sebagai satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja dengan pidana kurungan saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama.5. Pidana Tutupan

Sebagaimana dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Tahun 2004

Pasal 65

Pidana penjara

Pidana tutupan

Pidana pengawasan

Pidana denda

Pidana kerja sosial

Pasal 67

Pencabutan hak tertentu

Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan

Pengumuman putusan hakim

Pembayaran ganti kerugian

Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban

Dan sebagaimana dalam Pasal 76

1. Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.

2. Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara

KUHP terjemahan Badan Hukum Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada Pasal 10 dicantumkan pidana tertutup sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencantuman ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, tentang pidana tutupan

Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan

Menurut pendapat Andi Hamzah (2008 : 202), pencantuman pidana tutupan di dalam pasal 10 KUHP di bawah pidana denda tidaklah tepat, karena menurut Pasal 69 KUHP yang menyatakan bahwa beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan oleh salah satu pidana hilang kemerdekaan, lebih berat daripada pidana denda. Bagaimanapun ringannya pidana hilang kemerdekaan, masih lebih berat dari pada pidana denda.

Jadi kalau kita menghendaki pencantuman pidana tutupan di dalam Pasal 10 KUHP sesuai dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, maka harus diletakkan di atas pidana kurungan dan pidana denda.6. Pidana Tambahan

Menurut Hermien Hadiati Koeswaji (1995:45) bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok. Ketentuan tersebut adalah:

a. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.

b. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan sesuatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman. Ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan kepada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.

c. Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.

Di samping itu, Pasal 10 KUHP huruf b menyatakan bahwa pidana tambahan terdiri dari:

a. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu adalah bersifat sementara, kecuali jika terpidana telah dijatuhi dengan pidana penjara seumur hidup.

Menurut ketentuan Pasal 35 Ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:

1) Hak memegang jabatan angkatan bersenjata;

2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;

3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

4) Hak menjadi penasehat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gererchtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan, atas orang yang bukan anak sendiri;

5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri, hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

b. Perampasan Barang-barang Tertentu

Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana terhadap harta kekayaan. Dalam KUHP, ketentuan mengenai pidana perampasan terdapat dalam Pasal 39 KUHP yang menyatakan:

1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;

2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang;

3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang menyatakan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biasanya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan Undang-Undang.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di Makassar, yaitu pada Pengadilan Negeri Makassar. Alasan memilih lokasi penelitian karena di Pengadilan Negeri Makassar kasus korupsi yang terjadi di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi Selatan diadili. B. Teknik Pengumpulan Data

Suatu karya ilmiah sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih mendalam mengenai gejala-gejala tertentu yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian kebenaran karya tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data sebagaimana yang diharapkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data berupa :

1. Penelitian Lapangan (Field Research)Pada bagian ini penulis mengadakan wawancara langsung dengan beberapa aparat penegak hukum terkait dengan objek penelitian.

2. Penelitian kepustakaan

Penelitian dilaksanakan melalui penalaran kepustakaan dengan mengambil, menganalisa, mempelajari dan menelaah literatur-literatur, karya ilmiah, dokumen/arsip dan tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, media cetak, dokumen-dokumen, internet, dan peraturan perundang-undangan yang terkait.D. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Sebelum menganalisis data tersebut, terlebih dahulu diadakan pengorganisasian terhadap data sekunder yang diperoleh melalui dokumentasi kepustakaan dan data primer yang diperoleh melalui wawancara. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan pendekatan normatif.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Sanksi Dalam Tindak Pidana KorupsiHukum pidana dan hukum acara pidana adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Namun demikian meskipun hukum pidana dan hukum acara pidana memegang peranan penting dalam penyelesaian penanganan masalah kasus kriminal, tidak berarti bahwa dengan mempergunakan kedua ilmu itu dalam penyelesaian kasus akan selalu dapat dihasilkan suatu penyelesaian yang benar-benar tuntas sehingga mencerminkan tegaknya kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu suatu kasus kriminal tidak semata-mata harus ditangani dari aspek yuridisnya saja melainkan harus juga ditangani dari aspek teknis dan manusianya. Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan dalam pemeriksaan khususnya pada delik korupsi selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga sekelumit Hukum Acara Pidana lain yaitu pada Bab IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan di persidangan, terutama yang berkenan dengan saksi. Saksi merupakan salah satu pihak yang sangat penting dimana KUHAP menempatkan saksi di urutan pertama di atas alat-alat bukti lainnya. Urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Untuk menganalisa evektifitas penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi, penulis mencoba menganalisis kasus berikut ini:

Dakwaan :

Primair :

Bahwa ia terdakwa Syahrir Bin Madjid sebagai Kasir Penerima pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulsel berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor: 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor: 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukan/Pengangkatan Kasir penerima dan Pemegang kas pada tanggal 30 November 2005, tanggal 1 Desember 2005, tanggal 5 Desember 2005, tanggal 8 Desember 2005, tanggal 23 Desember 2005, tanggal 27 Desember 2005 dan tanggal 3 Februari 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2005 dan tahun 2006, bertempat di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulsel tepatnya di Jalan Andi Pangeran Pettarani Nomor 2 Kecamatan Rappocini Makassar atau setidak-tidaknya di sutau tempat tertentu dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, telah melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :

Bahwa terdakwa Syahrir Bin Madjid adalah pegawai UPTD Wilayah I Makassar Dipenda Sulsel yang dalam tahun 2005 dan 2006 menduduki jabatan sebgai Kasir Penerima berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor: 858/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukan/ Pengangkatan Kasir penerima dan pemegang Kas Sebagai Atasan Langsung yang Bertugas Mengumpulkan uang pajak daerah dan retribusi Daerah pada Badan/Dinas/Satuan Unit Kerja Propinsi Sulawesi Selatan T A 2005 dan T A 2006 yang mempunyai tugas pokok menerima hasil penerima pajak/retribusi dari petugas Kas registera dan menyetorkan uang secara keseluruhannya ke kas daerah Propinsi Sulsel di BPD Sulsel paling lambat 1 kali 24 jam.

Selanjutnya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,terdakwa selaku Kasir Penerima telah melakukan perbuatan :

1. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 30 November 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-1 dari petugas kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 178.381.480,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 96.995.110,-Jumlah

Rp. 275.376.590,- ;

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 125.376.590,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

2. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 1 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-1 dari petugas Kas register atas nama SRIPURNAMA sebesar Rp. 239.378.020,- namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerima pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 139.378.020,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

3. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 5 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) jenis A-I dan petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 244.695.290,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 24.400.000,-Jumlah

: Rp.269.095.290.-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan pajak tersebut ke Kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 169.095.290,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

4. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 8 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-1 dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 220.036.480,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 75.457.560,-Jumlah

: Rp. 295.494.040,-

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah / propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 145.494.040,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan Rp. 150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas daerah.

5. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 23 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) jenis E dari petugas Kas register atas nama :

a. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 90.511.000,-

b. HAFID ALI sebesar

: Rp. 119.591.000,-

c. HASNAWATI sebesar

: Rp. 171.900,-Jumlah

: Rp. 210.273.900,-

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 110.273.900,- , sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

6. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 27 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp.142.737.450,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 65.537.270,-

Jumlah

: Rp. 208.274.720,-

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 108.274.720,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

7. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 3 Februari 2006 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 190.796.750,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 81.393.860,-

Jumlah

: Rp. 272.190.610,-

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 21.217.682,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 250.972.928,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

Bahwa perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan terdakwa Syahrir sebagai satu kehendak yang bertentangan secara melawan hokum dengan peraturan perundang-undangan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh terdakwa, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :

a) UU Nomor 1 tahun 2001 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 16 ayat (2) yang

b) menentukan: Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara / Daerah pada waktu yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah

c) PP nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 57 ayat (2) yang menentukan: Bendahara Penerima wajib menyetor seluruh penerimaannya ke rekening kas umum daerah selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja

d) Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang pasal 41 ayat (2) yang berbunyi: satuan pemegang kas pembantu wajib menyetor seluruh uang yang diterimanya ke Bank atas nama rekening Kas Daerah paling lambat satu hari sejak saat uang kas tersebut diterimanya.

e) Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desembar 2004 dan Nomor: 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukan/Pengangkatan Kasir penerima dan pemegang Kas sebagai Atasan Langsung yang bertugas Mengumpulkan uang pajak daerah dan retribusi Daerah pada Badan/Dinas/Satuan Unit Kerja Propinsi Sulawesi Selatan TA 2005 dan TA 2006 yang mempunyai tugas pokok menerima hasil penagihan pajak / retribusi dari petugas Kas register dan menyetorkan secara keseluruhannya ke kas daerah Propinsi Sulsel di BPD Sulsel paling lambat 1 kali 24 jam.

Bahwa dari perbuatan-perbuatan terdakwa yang diuraikan diatas, terdapat selisih uang penerimaan pajak yang tidak disetorkan oleh terdakwa selaku Kasir Penerima sebesar Rp. 950.972.928,- yang dikuasainya dan digunakan oleh terdakwa untuk memperkaya diri terdakwa atau orang lain atau suatu koorporasi sehingga merugikan keuangan Negara Cq.keuangan daerah Propinsi Sulawesi Selatan.

Perbuatan terdakwa sebagaiman diatur dan diancam pidana pada Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang- Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

SUBSIDIAIR :

Bahwa ia terdakwa SYAHRIR BIN MADJID sebagai Kasir Penerima pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulsel berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor: 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukan/Pengangkatan KAsir penerima dan pemegang kas pada tanggal 30 November 2005, tanggal 1 Desember 2005, tanggal 5 Desember 2005, tanggal 8 Desember 2005, tanggal 23 Desember 2005, tanggal 27 Desember 2005 dan tanggal 3 Februari 2005 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2005 dan tahun 2006, bertempat di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi tapatnya di jalan Andi Pangeran Pettarani No.2 Kecamatan Rappocini Makassar atau setidak-tidaknya disuatu tempat tertentu dalam daerah hokum Pengadilan Negeri Makassar, telah melakukan perbuatan-perbuatan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut :

Bahwa terdakwa Syahrir Bin Madjid adalah pegawai UPTD Wilayah I Makassar Dipenda Sulsel yang dalam tahun 2005 dan 2006 diangkat untuk menduduki jabatan sebagai Kasir Penerima berdasarkan Surat Keputusa Gubernur Sulsel Nomior : 953/XII/Tahun 2004 tanggal 31 Desember 2004 dan Nomor : 885/XII/Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Penunjukan/ Pengangkatan Kasir penerima dan pemegang Kas Sebagai Atasan Langsung yang bertugas dan berwenang Mengumpulkan Uang pajak daerah dan retribusi Daerah pada Badan/Dinas/Satuan Unit Kerja Propinsi Sulawesi Selatan TA 2005 dan TA 2006 yang mempunyai tugas pokok menerima hasil penagihan pajak/retribusi dari petugas kas register dan menyetorkan secara keseluruhannya ke kas daerah Propinsi Sulsel di BPD Sulsel paling lambat 1 kali 24 jam.

Bahwa hasil penagihan jenis pajak / retribusi dari Petugas Kas Register yang diterima oleh terdakwa selaku Kasir Penerima antara lain :

1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

Bahwa dari jenis pajak / retribusi yang diterima oleh terdakwa tersebut, khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBKNB) dikelompokkan sesuai kode klasifikasi Jenis kendaraan dalam kaitannya dengan pengadministrasian penerimaan pajak sejenis, yaitu:

1. Jenis A-1 adalah jenis kendaraan sedan, jeep, ST Wagon, minibus dan sejenisnya (tidak umum);

2. Jenis A-2 yaitu jenis kendaraan sedan, jeep, ST Wagon, minibus dan sejenisnya (umum);

3. Jenis B-1 yaitu Bus, Microbus dan sejenisnya (tidak umum);

4. Jenis B-2 yaitu Bus, Microbus dan sejenisnya (umum);

5. Jenis C-1 adalah jenis kendaraan Truck, Pick up, Light truck (tidak umum);

6. Jenis C-2 yaitu jenis kendaraan Truck, Pick up, Light truck (umum);

7. Jenis D yaitu kendaraan khusus;

8. Jenis E yaitu kendaraan sepeda motor/ scooter;

Bahwa selanjutnya dalam melaksanakan kewenangannya, terdakwa selaku Kasir Penerima telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut :

1. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 30 November 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-1 dari petugas kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 178.381.480,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 96.995.110,-Jumlah

Rp. 275.376.590,- ;

namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 125.376.590,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

2. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 1 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama SRIPURNAMA sebesar Rp. 239.378.020,- , namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerima pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 139.378.020,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

3. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 5 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) jenis A-1 dan petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 244.695.290,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 24.400.000,-Jumlah

: Rp. 269.095.290.-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan uang penerimaan pajak tersebut ke Kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 169.095.290,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

4. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 8 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 220.036.480,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 75.457.560,-Jumlah

: Rp. 295.494.040,-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah / propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 145.494.040,- sehingga terdapat selisih uang penerimaan Rp. 150.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas daerah.

5. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 23 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) jenis E dari petugas Kas register atas nama :

a. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 90.511.000,-

b. HAFID ALI sebesar

: Rp. 119.591.000,-

c. HASNAWATI sebesar

: Rp. 171.900,-Jumlah

: Rp. 210.273.900,-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 110.273.900,- , sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

6. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 27 Desember 2005 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp.142.737.450,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 65.537.270,- Jumlah

: Rp. 208.274.720,-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 108.274.720,-, sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 100.000.000,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

7. Bahwa terdakwa Syahrir pada tanggal 3 Februari 2006 telah menerima uang hasil penagihan pajak kendaraan bermotor (PKB) jenis A-I dari petugas Kas register atas nama :

a. SRIPURNAMA sebesar

: Rp. 190.796.750,-

b. PETRIANI HARUN sebesar

: Rp. 81.393.860,-Jumlah

: Rp. 272.190.610,-

Namun ternyata terdakwa Syahrir menyetorkan penerimaan pajak tersebut ke kas daerah Propinsi Sulsel hanya sebesar Rp. 21.217.682,- sehingga terdapat selisih penerimaan uang sebesar Rp. 250.972.928,- yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

Bahwa dari perbuatan-perbuatan terdakwa yang diuraikan diatas, terdapat selisih-selisih uang penerimaan pajak yang tidak disetorkan oleh terdakwa selaku Kasir Penerima yaitu sebesar Rp. 950.972.928,- dikuasai dan digunakan oleh terdakwa untuk menguntungkan kepentingannya sendiri atau setidaknya untuk menguntungkan diri terdakwa atau orang lain atau suatu koorporasi sehingga merugikan keuangan Negara Cq. Keuangan daerah Propinsi Sulawesi Selatan karena selisih tersebut yang seharusnya masuk sebagai Penerimaan dan Pendapatan Daerah namun ternyata tidak masuk ke Kas Daerah.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tanun 2001 jo. Pasal 164 ayat (1) KUHP.

Dakwaan tersebut di atas merupakan dakwaan subsidairitas yang dibuat penuntut umum untuk terdakwa atas perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi. Menurut , Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut bahwa terdakwa telah melakukan tindakan/perbuatan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Terdapat selisih uang penerimaan pajak yang tidak disetorkan oleh terdakwa selaku Kasir Penerima sebesar Rp. 950.972.928,- sehingga merugikan keuangan Negara atau keuangan daerah Propinsi Sulawesi Selatan.

Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan sebagaimana termaktub dalam amar putusan:

1. Bahwa didalam perkara ini terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yaitu :

Primair: Melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang- Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Subsidair: melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tanun 2001 jo. Pasal 164 ayat (1) KUHP

2. Bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidaklah sejenis / serumpun karena unsur pasal 2 ayat 1 adalah melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau koorporasi sedangkan unsur Pasal 3 adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi sehingga unsur melawan hukum di dalam Pasal 3 tersembunyi di dalam penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada pada jabatan atau kedudukan yang ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa :

a) Pasal 2 ayat 1 dengan Pasal 3 adalah tidak sejenis / serumpun.

b) Pasal 2 ayat 1 bukanlah Pasal pemberatan dari pasal 3.

c) Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 tidak dapat disusun bentuk surat dakwaannya dalam bentuk subsidiaritas, tapi yang lebih tepat surat dakwaannya adalah dalam bentuk surat dakwaan alternative.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan dan pendapat hukum Majelis Hakim tersebut di atas, maka surat dakwaan yang dibuat / disusun oleh jaksa penuntut umum dalam bentuk surat dakwaan subsidiaritas dalam perkara ini dipandang oleh Majelis Hakim adalah surat dakwaan dalam bentuk alternative dengan menempatkan dakwaan primair menjadi dakwaan pertama dan dakwaan subsidair menjadi dakwaan kedua ;

Pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas pada intinya tidak memandang dakwaan kepada terdakwa merupakan dakwaan subsidairitas, tetapi merupakan dakwaan alternative. Terdakwa menurut Majelis Hakim hanya melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana unsure-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Unsur Setiap orang

Pengertian setiap orang dalam hal ini dijumpai dalam Pasal 1 butir 3 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap orang adalah perorangan atau termasuk. Rumusan setiap orang dalam Pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, menurut Majelis Hakim ialah siapa saja, artinya setiap orang karena kedudukanya atau jabatannya dan perbuatannya disangka atau didakwa melakukan suatu tindak pidana korupsi, baik ia pegawai negri maupun bukan pegawai negri, dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Dalam persidangannya terdakwa telah membenarkan nama dan identitas lainnya dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum dan menurut penilaian dan pendapat Majelis Hakim terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dalam perkara ini didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal-hal tersebut telah terbukti bahwa terdakwa adalah orang perorangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, sehingga unsur setiap orang ini telah terpenuhi;

2. Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Yang dimaksud menguntungkan yaitu perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan setidak-tidaknya kenikmatan atau kemudahan atau semata yang dapat dirasakan oleh akibat perbuatan itu, dan dalam hal ini perbuatan itu tidak perlu / mutlak pelaku harus menjadi kaya (lagi) dan ini dilakukan dengan cara melawan hukum. Menguntungkan diri sendiri artinya dengan perbuatan melawan hukum itu Pelaku menikmati / mendatangkan laba atau manfaat atau kefaedahan, begitu juga menguntungkan orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang dapat menikmati / mendatangkan laba atau manfaat atau kefaedahan. Jadi yang diuntungkan atau mendatangkan laba atau manfaat atau kefawdahan bukan pelaku sendiri secara langsung atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa selaku kasir penerima pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah Makassar Dipenda Propinsi Sulsel tidak menyetorkan ke kas daerah Propinsi Sulsel uang pajak sebesar Rp. 950.972.928,-. Dengan fakta-fakta hukum yang ada maka terlihat perbuatan terdakwa yang mengambil uang untuk dipakainya dan seharusnya disetorkan ke kas daerah Propinsi Sulsel yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab terdakwa selaku kasir penerima. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

3. Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

Maksud unsur ini adalah bahwa sifat secara melawan hukumnya terdapat atau tersembunyi pada penyalahgunaan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dimiliki oleh pelaku. Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal menyatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa adalah seorang pegawai negeri dengan jabatan sebagai Kasir Penerima pada Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulsel. Selaku kasir penerima dan pemegang kas terdakwa mempunyai tugas pokok yaitu : Menerima hasil penagihan pajak retribusi dari petugas kas register;

Menyetorkan uang secara keseluruhannya ke kas, daerah Prop.Sulsel di APBD sulsel paling lambat 1 x 24 jam;

Dari hal-hal di atas telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa selaku kasir penerima pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi Selatan telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga unsure ini telah terpenuhi dan terbukti dilakukan oleh terdakwa.4. Unsur Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

Dari rumusan elemen ini diketahui bahwa tindak pidana korupsi adalah delik formil yang artinya bahwa akibat itu tidak perlu sudah terjadi. Akan tetapi apabila perbuatan itu dapat/mungkin merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, maka perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian Negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil,yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinnya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Adapun yang dimaksud dengan keuangan Negara dalam unsur ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban badan usaha milik Negara / Badan usaha millik daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara;

Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.Dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan diperoleh fakta hukum bahwa dana yang disetorkan / dibayarkan oleh masyarakat selaku wajib pajak berupa pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) diterima terdakwa selaku kasir penerima dari petugas kas register pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) wilayah I Makassar Propinsi Sulawesi Selatan dengan rincian sebagai berikut :

1. Pada Tanggal 30 November 2005, jumlah yang diterima Rp. 275.376.590,- dan yang disetor Rp. 125.376.020,-. Jadi, yang tidak disetor Rp.150.000.000,-.2. Pada tanggal 02 Desember 2005, jumlah yang diterima Rp. 239.578.020,- dan yang disetor Rp. 139.578.020,-. Jadi, yang tidak disetor Rp. 100.000.000,-.3. Pada tanggal 06 Desember 2005, jumlah yang diterima Rp. 269.095.290,- dan yang disetor Rp. 169.095.290,-. Jadi, yang tidak disetor Rp. 100.000.000,-.4. Pada tanggal 09 Desember 2005, jumlah yang diterima Rp. 290.494.046,- dan yang disetor Rp. 140.491.046,- Yang tidak disetor Rp. 150.000.000,-

5. Pada tanggal 26 Desember 2005. Jumlah yang diterima Rp. 210.273.900,- Yang disetor Rp. 110.273.900,- Yang tidak disetor Rp. 100.000.000,-

6. Pada tanggal 28 Desember 2005. Jumlah yang diterima Rp. 208.274.720,- Yang disetor Rp. 108.274.720,- Yang tidak disetor Rp. 100.000.000,-

7. Pada tanggal 03 Februari 2006. Hasil opname kas dari hasil yang pemeriksaan yang tidak disetorkan Rp. 250.972.928,-

Jadi jumlah keseluruhan yang tidak disetor/ diselewengkan Rp. 950.972.928,-;

Dari sejumlah dana yang telah diterima oleh terdakwa yang menjadi fakta hukum di atas, oleh terdakwa tidak disetorkan seluruhnya ke kas daerah di BPD Sulsel yaitu sejumlah Rp. 950.972.928,- dan digunakan terdakwa untuk kepentingan sendiri padahal uang tersebut adalah pemasukan pendapatan asli daerah Propinsi Sulsel yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian unsur Dapat meruguikan keuangan Negara atau perekonomian Negara telah terbukti dilakukan oleh terdakwa;

5. Perbuatan berlanjut

Rumusan pasal 64 ayat (1) KUHPidana menjelaskan bahwa jika beberapa perbuatan berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan/pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran, jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukumannya. Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai satu perbutan yang diteruskan menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat-syarat harus timbul dari satu niat, perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sama macamnya, dan waktu antaranya tidak boleh terlalu lama. Dalam memori penjelasan pembentukan Pasal 64 KUHP, pembentukan undang-undang hanya mensyaratkan bahwa berbagai prilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan Suatu Keputusan yang terlarang dan bahwa suatu kejahatan berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang Sejenis. Untuk sutau perbuatan berlanjut diperlukan adanya kesatuan kehendak, perbuatan itu sejenis dan faktor hubungan waktu/ jarak waktu tidak terlalu lama. Dari rangkaian keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa yang menjadi fakta-fakta hukum bahwa Terdakwa SYAHRIR Bin MADJID adalah melaksanakan tugasnya selaku kasir penerima pada UPTD Wilayah I Makassar, telah menerima penyetoran dana hasil penagihan pajak kendaraan bermotor dari petugas Kas Register/petugas Loket, tetapi uang sebesar Rp. 950.972.928,- yang seharusnya disetorkan ke Kas Daerah Propinsi Sulawesi Selatan di BPD Sulawesi Selatan tidak disetorkan oleh Terdakwa padahal seharusnya disetorkan seluruhnya ke Kas Daerah/Propinsi Sulawesi Selatan paling lambat pada hari kerja berikutnya dan dilakukan dalam beberapa waktu seperti diuraikan di bawah ini :

1. Tanggal 30 November 2005 sebanyak

Rp. 150.000.000,-

2. Tanggal 02 Desember 2005 sebanyak

Rp. 100.000.000,-

3. Tanggal 06 Desember 2005 sebanyak

Rp. 100.000.000,-

4. Tanggal 09 Desember 2005 sebanyak

Rp. 150.000.000,-

5. Tanggal 26 Desember 2005 sebanyak

Rp. 100.000.000,-

6. Tanggal 26 Desember 2005 sebanyak

Rp. 100.000.000,-

7. Tanggal 03 Februari 2006 sebanyak

Rp. 250.972.928,-Jumlah yang tidak disetor

Rp. 950.972.928,-

Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas unsur perbuatan berlanjut telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.

Dari rangkaian pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti menurut hukum melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kedua in casu, yaitu memenuhi rumusan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 64 ayat (1) KUHP. Oleh karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tersebut, maka Terdakwa haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Lebih lanjut ., Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut mengatakan bahwa selama proses perkara ini Terdakwa ditahan, maka pidana yang dijatuhkan haruslah dikurangkan seluruhnya dengan lamanya Terdakwa tersebut di dalam tahanan. Sebelum penjatuhan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa adalah sebagai berikut:

1. Hal-hal yang memberatkan:

a) Perbuatan Terdakwa dilakukan di saat Pemerintah dan Masyarakat sedang giat-giatnya memberantas korupsi;

b) Terdakwa selaku seorang Pegawai Negeri diharapkan menjadi teladan bagi orang lain;

2. Hal-hal yang meringankan:

a) Terdakwa berterus terang dan memprlancar proses persidangan;

b) Terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga;

Berdasarkan pemaparan kasus tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa keputusan Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa adalah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengurangan hukuman hanya dikarenakan faktor-faktor yang meringankan terdakwa sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selain itu, pidana penjara terdakwa dikurangi dengan lamanya terdakwa menjalani kurungan selama proses pemeriksaan berlangsung.

Hanya sedikit kasus korupsi yang mampu diselesaikan secara objektif di pengadilan. Ironisnya, banyak tindak pidana korupsi yang bahkan diputus bebas oleh pengadilan. Setelah implementasi Otonomi Daerah, Korupsi kian mencemaskan. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan distributif sumber-sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru. Dalam realitanya, pemberantasan korupsi di Indonesia hanya sekedar wacana belaka. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang optimal, maka yang dibutuhkan adalah penegak hukum yang jujur dan berdedikasi tinggi, bukan memperbanyak aturan perundang-undangan yang justru malah memberi ruang gerak bagi para pelanggar hukum (koruptor) untuk dapat bergerak bebas.

B. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Penerapan Sanksi Dalam Tindak Pidana KorupsiGangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang menjelma di dalam kaidah-kaidah dan pola prilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Secara teori, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum ada 5 (lima) faktor. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (2007:8) bahwa:

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan juga merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Dalam menjatuhkan hukuman atau menerapkan sanksi pada tindak pidana korupsi, hakim pun memiliki kendala-kendala yang dialami. Menurut ., Hakim di Pengadilan Negeri Makassar mengatakan bahwa kendala-kendala yang dihadapi hakim dalam menerapkan sanksi pada tindak pidana korupsi adalah berasal dari faktor penegak hukum itu sendiri, baik dari hakim itu sendiri maupun dari pihak kejaksaan/penuntut umum. Banyak hakim yang menangani kasus korupsi yang tidak objektif dalam menjatuhkan sanksi. Bahkan kasus penyuapan akhir-akhir ini marak terjadi, tidak terkecuali pada hakim itu sendiri. Makanya jangan heran ketika ada terdakwa kasus korupsi yang bebas (wawancara Tanggal 2009).

Pada tahap pembuktian perkara korupsi, keyakinan hakim sangat diperlukan dalam menentukan putusannya, walaupun pada dasarnya daya pengaruh atau kekuatan dari masing-masing alat bukti adalah sama, namun dapat menjadi penilaian hakim dalam menggunakan haknya yang berbeda. Mengapa demikian ? karena dalam menggunakan haknya untuk menilai alat-alat bukti, hakim dapat saja berada diantara sekian banyak alat bukti, baik dalam jenis yang berlainan maupun dalam jenis yang sama sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi pembentukan keyakinan hakim.

Dalam membentuk keyakinan hakim, jaksa penuntut umum dan penasihat hukum berusaha untuk mengajukan alat-alat bukti demi untuk memberikan atau untuk membangun keyakinan hakim. Namun untuk mendapatkan suatu keyakinan hakim tidak saja berpatokan pada satu alat bukti saja, ia harus menilai alat bukti yang lainnya. Dalam pembuktian perkara korupsi dikenal alat bukti petunjuk yang nanti diperoleh dan digunakan setelah alat-alat bukti yang ada telah dipergunakan di persidangan.BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi yang terjadi di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Wilayah I Makassar Dipenda Propinsi Sulawesi Selatan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengurangan hukuman hanya dikarenakan faktor-faktor yang meringankan terdakwa. Selain itu, pidana penjara terdakwa dikurangi dengan lamanya terdakwa menjalani kurungan selama proses pemeriksaan berlangsung..2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sanksi dalam tindak pidana korupsi adalah berasal dari penegak hukum itu sendiri. Apabila hakim mampu secara objektif menilai dan menganalisa kasus tersebut, maka penerapan saksi pada perkara itu akan objektif pula, sesuai denga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dengan pihak kejaksaan/penuntut umum, jika mampu menghadirkan bukti-bukti di pengadilan secara lengkap dan memberikan tuntutan secara tegas, maka akan memberikan shock therapy kepada para pelaku korupsi yang lainnya.B. Saran

Sehubungan dengan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Untuk memberantas tindak pidana korupsi, maka diperlukan sikap yang tegas dari para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus korupsi.

2. Diharapkan kepada Hakim untuk tetap objektif dalam menilai dan tetap bertanggungjawab dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam menilai pembuktian, karena dengan adanya tanggungjawab yang ada dalam diri hakim tersebut dapat tercipta kebenaran sejati, tegaknya hukum serta adanya kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Andi Zainal Farid,. 1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika. Jakarta.

Anwar, Moch, H.A.K. 1994.). Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II. Jilid I. Cipta Aditya Bakti. Bandung

Amrullah,Arief. 2006, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang.

Atmasasmita, Romli. 2004, Sekitar Masalah Korupsi (Aspek Nasional dan Aspek Internasional), Mandar Maju, Bandung.

Bawengan, G.W. 1974. Pengantar Psikologi Kriminal. Pradnya Paramita. Jakarta.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta. Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP.

Chazawi, Adami. 2002.Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta, RajaGrafindo Persada. Jakarta.

____________, 2005, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia, Jakarta.

Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Lembaga Percetakan dan Penerbitan Universitas Muslim Indonesia. Ujung Pandang.

Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Pressindo. Jakarta.

Hadiati Koeswadji, Hermien 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Halim, Ridwan. 1982. Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.

Hamzah, Andi.1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia.

____________. 2008. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

____________ dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta. Akadenindo Pressindo.

Husein, Yunus ,PPATK; Tugas Wewenang dan Peranannya dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis; Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volume 22 tahun 2003.

____________, Upaya Membantu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Penerapan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Makalah, Bogor, 23 Juli 2004.

Lamintang. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru. Bandung.

__________. 1985. Delik-delik Khusus. Bina Cipta. Jakarta.

Lopa,Baharudin 2002, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Marpaung, Leden. 1991. Unsur-unsur Perbuatan yang dapat dihukum (Delik). Sinar Grafika.

____________, 2001, Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan dan Pencegahan, Jambatan, Jakarta.

Maskat H, Djunaidi 1996, Pengetahuan Praktis Berlalu Lintas Di Jalan Raya, Bandung, CV. Sibaya.

Moeljatno. 1985. Azas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta

Mubyarto. 1980. Ilmu Sosial dan Ilmu Keadilan. Argo Ekonomika. Jakarta.

Poernomo, Bambang. 1986. Pokok-pokok Tata Peradilan Pidana Indonesia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.8 Th 1981. Liberty. Yogyakarta.

Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Eresco. Bandung.

____________, 1981, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi. Eresco. Jakarta.

Prokoso, Djoko. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Jakarta.

Soedjono. 1983. Penanggulangan Kejahatan (Crime Preventiom). Alumni. Bandung.

Soesilo, R. 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-sebab Kejahatan). Politeia. Bogor.

Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Raja Grafindo Persada, Jakarta.58