Skripsi ( Hal 28)
-
Upload
febriana-diah -
Category
Documents
-
view
66 -
download
4
description
Transcript of Skripsi ( Hal 28)
1
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN
DENGAN ANEMIA DAN STATUS GIZI PADA SISWA
SDN PURWOSARI I.1 KECAMATAN TAMBAN
KABUPATEN BARITO KUALA
TAHUN 2010
Oleh :
SRI YANI WIJIANINGSIH
NIM : 08S1AJ0014
PROGRAM STUDI S1 GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HUSADA BORNEO BANJARBARU
TAHUN 2011
2
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN
DENGAN ANEMIA DAN STATUS GIZI PADA SISWA
SDN PURWOSARI I.1 KECAMATAN TAMBAN
KABUPATEN BARITO KUALA
TAHUN 2010
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Gizi (S.Gz)
Oleh :
SRI YANI WIJIANINGSIH
NIM : 08S1AJ0014
PROGRAM STUDI S1 GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HUSADA BORNEO BANJARBARU
TAHUN 2011
3
HALAMAN PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sri Yani Wijianingsih
NIM : 08S1AJ0014
Program Studi : Gizi
Judul Skripsi : Hubungan Antara Infeksi Kecacingan dan Anemia
dengan Status Gizi Pada Murid SD di SDN Purwosari
I.I Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun
2010
Dengan ini saya menyatakan bahwa hasil penulisan skripsi yang telah saya buat
ini merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak melakukan pelanggaran sebagai
berikut :
• Plagiasi tulisan maupun gagasan
• Rekaya data dan manipulasi data
• Meminta tolong atau membayar orang lain untuk meneliti
• Mengajukan sebagian atau seluruh karya ilmiah untuk publikasi atau untuk
memperoleh gelar atau sertifikat atau pengakuan akademik atau profesi di
tempat lain
Apabila terbukti saya melakukan pelanggaran tersebut di atas, maka saya bersedia
menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan.
Penulis,
(Sri Yani Wijianingsih)
4
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Sri Yani Wijianingsih
NIM : 08S1AJ0014
Skripsi ini telah disetujui untuk di sidangkan
Banjarbaru, 28 Januari 2011
Pembimbing Utama,
Rusman Efendi, SKM, M.Si
NIDN : 121 804 7801
Pembimbing Pendamping,
Muhamad Rayhan, S.Pi
NIDN : 111 003 8601
5
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Sri Yani Wijianingsih
NIM : 08S1AJ0014
Skripsi ini telah di pertahankan di depan dewan penguji dan disetujui
Pada tanggal : 18 Maret 2011
Penguji 1 (Ketua),
Rusman Efendi, SKM, M.si
NIDN : 121 804 7801
Penguji 2 (Anggota) Penguji 3 (Anggota)
Muhamad Rayhan, S.Psi Ahmad Mahyuni, S.Sos, MPH
NIDN : 111 003 8601 NIDN : 111 010 6502
Diketahui :
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ketua Program Studi SI Gizi
Husada Borneo Banjarbaru
Rusman Efendi, SKM, M.si Norhasanah, S.Gz
NIDN : 121 804 7801 NIDN : 111 909 8402
Tanggal lulus :
6
ABSTRAK
SRI YANI WIJIANINGSIH : 08S1AJ0014
HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN DENGAN ANEMIA
DAN STATUS GIZI PADA SISWA SDN PURWOSARI I.1
KECAMATAN TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA
TAHUN 2010
Skripsi. Program Studi Gizi. 2011
(xiv + 86 hal + Lampiran)
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa sebagian anak SD dan MI masih mengalami
masalah gizi yang cukup serius. Hasil kegiatan Tinggi Badan Anak Baru Masuk
Sekolah (TBABS) tahun 2005 menunjukan bahwa 37,8% anak SD dan MI yang baru
masuk sekolah menderita KEP, Gaky yang di tandai dengan adanya pembesaran
gondok masih diderita oleh 11,1% anak SD dan MI (2002) dan hasil survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukan bahwa 47,3 anak usia sekolah
menderita anemia gizi.
Tujuan penelitian Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dengan anemia
dan status gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2010.Jenis penelitian ini adalah dekriptif analitik dengan pendekatan
Cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas I, II, III ,IV
sejumlah 115 siswa. Teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling
kemudian besar sampel diperoleh 100 siswa sebagai sampel. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah (1) uji laboratorium, (2) timbangan injak, dan
(3) mikrotoa. Data diperoleh (1) uji laboratorium, (2) pengukuran status gizi. Data
yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus statistik uji
Chisquare dengan derajat kemaknaan (α= 0,05). Hasil penelitian mendapatkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan anemia, dengan p > alfa yaitu
0,559 > 0,05 demikian pula pada penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna
antara infeksi kecacingan dengan status gizi p lebih besar dari alfa yaitu 0,466
Kata Kunci: Infeksi Kecacingan, Anemia , Status Gizi, Anak SD
7
ABSTRACT
SRI YANI WIJIANINGSIH : 08S1AJ0014
THE CORRELATION BETWEEN KECACINGAN'S INFECTIONWITH
ANAEMIA AND NUTRIENT STATE ON SDN PURWOSARI I.1'S STUDENT
TAMBAN'S DISTRICT BARITO'S REGENCY CONFLUENCE
YEAR 2010
Paper. Studi’s Program Nutrient.2011
(xiv + 86 thing + Attachments)
Of many Tujuan penelitian Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dengan
anemia dan status gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban
Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010research are known that plays favorites SD's
child and MI is still experience nutrient problem that adequately serious. Usufruct
Bodies Tall activity New Child Come In School (TBABS) year 2005 menunjukan that
37,8% SD's childs and MI a new one school input suffers To Go To p, Gaky that at
marks by mark sense thyroid amplification be still to be suffered by 11,1% SD's child
and MI (2002) and survey's result Family health (SKRT) year 2005 menunjukan that
47,3 child school age suffer nutrient anaemias. This observational type is dekriptif
analytic with approaching Cross sectional . Population in observational it is i. class
student, II., III.,Iv. a number 115 students. Samples taking tech utilize Purposive is
sampling then outgrows acquired sample 100 students as sample. Instrument that is
utilized in this research is (1 ) quizs laboratory, (2 ) timbangan steps on, and (3 )
mikrotoa. Acquired data (1 ) laboratory quizs, (2 ) nutrient state measurements. Data
that gotten in this research dianalisis utilizes statistic formula test Chisquare with
kemaknaan's degree( α = 0,05).
Observational result get no relationship which wherewith among nutrient state with
anaemia, with p> alpha which is 0,559> 0,05 such too on this research has no
relationship wherewith among kecacingan's infection with nutrient state p greater of
alpha which is 0,466
Key word: kecacingan's infection, Anaemia, Nutrient state, SD's child
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah syukur kehadirat Allah SWT, atas taufiq dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diajukan
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S1
Gizi Kesehatan Stikes Husada Borneo Banjar Baru. Judul Skripsi adalah “
Hubungan Antara Infeksi Kecacingan Dengan Anemia Dan Status Gizi Pada Siswa
Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala
Tahun 2010”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan
skripsi ini, khususnya kepada:
1. Bapak Rusman Efendi, SKM, Msi selaku Ketua Stikes Husada Borneo
Banjarbaru sekaligus pembimbing utama yang telah memberikan petunjuk dan
bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Ibu Norhasanah, S.Gz selaku Ketua Program Studi S1 Gizi Kesehatan Stikes
Husada Borneo Banjar Baru.
3. Bapak Muhamad Rayhan, S.Pi selaku Pembimbing Pendamping yang dengan
sabar dan teliti membantu terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak Bupati Kabupaten barito Kuala yang telah memberikan ijin belajar di
Stikes Husada Borneo Banjarbaru.
5. Bapak Kepala BKD Kabupaten barito Kuala yang telah memberikan
kesempatan untuk melanjutkan sekolah di Stikes Husada Borneo Banjarbaru.
6. Dosen dan staf Program Studi S1 Gizi Kesehatan Stikes Husada Borneo yang
turut membantu dan memberi dorongan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Tamban yang telah memberikan ijin
tempat penelitian.
8. Kepala Sekolah SDN Purwosari I.1 dan staff yang telah memberikan dukungan
dan bantuan dalam kelancaran proses penelitian.
9
9. Orang tua tersayang, juga Kakakku yang selalu memberikan doa dan dorongan
yang tulus serta penuh kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan
dan penyusunan skripsi ini.
10. Suami dan anakku tercinta, yang telah sabar dan penuh pengertian selalu
memberikan dukungan moril, materiil serta doa yang tulus sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan dan penyusunan skripsi ini.
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Gizi Alih Jenjang Stikes
Husada Borneo, semoga kekompakan dan kebersamaan kita tetap terjalin.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih mempunyai banyak kekurangan,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhirnya
semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
Banjarmasin, Pebruari 2011
Penulis
10
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER .................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. ......... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL .................................................................................. ...... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
1.5 Keaslian Penelitian ........................................................................ 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ............................................................................... 8
2.2 Landasan Teori .............................................................................. 36
2.3 Kerangka Konsep Penelitian.......................................................... 56
2.4 Hipotesis ........................................................................................ 57
11
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 58
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 58
3.3 Subjek Penelitian ........................................................................ 58
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................ 58
3.5 Instrumen Penelitian ................................................................... 60
3.6 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 60
3.7 Teknik Analisa Data ................................................................... 62
3.8 Prosedur Penelitian ..................................................................... 64
3.9 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 65
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................... 66
4.2 Pembahasan ........................................................................... 72
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 81
5.2 Saran ......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 83
LAMPIRAN
12
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel
2.1 Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri.......................... 28
3.4 Definisi Operasional....................................................................................... 55
4.1 Keadaan Siswa SDN Purwosari I.1................................................................ 62
4.2 Distribusi Responden Menurut Umur Siswa.................................................. 62
4.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Sisw...................................... 63
4.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua.................................... 63
4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Infeksi Kecacingan................................. 64
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Anemia Gizi........................................... 64
4.7 Distribusi Responden berdasarkan Status Gizi Siswa.................................... 64
4.8 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan deangan Anemia..... 64
4.9 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dengan Status Gizi.................... 65
4.10 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan dengan Status Gizi.. 65
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Siklus hidup Cacing Gelang..................................................................... 9
2.2 Siklus hidup Cacing Tambang................................................................ 13
2.3 Siklus hidup Cacing Gelang .................................................................... 16
2.4 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................... 52
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Gambar Alat-alat Penelitian
2. Tabel IMT anak usia 2 – 20 tahun
3. Tabel Hasil Penelitian
4. Analisis Data dengan Uji Chi Square dengan SPSS
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan
kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan
perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai
mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan
dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh
kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat ,cerdas dan produktif. (Depkes
RI,2002)
Kesehatan , kemampuan, kondisi fisik dan mental serta konsentrasi belajar
antara lain dipengaruhi oleh makanan yang di makan atau masukan zat gizi.
Masukkan zat gizi yang cukup diperlukan agar sesorang mampu menyelesaikan
tugas-tugasnya secara baik dan tepat. Masa sekolah adalah masa pertumbuhan
anak yang cepat dan dalam masa kegiatan fisik yang aktif. Seorang anak dalam
masa ini memerlukan pengarahan dan teladan yang baik serta tepat dalam
pengaturan makanan yang harus dikonsumsi. (Forum Koor. PMT-AS Tk. Pusat
,1997)
Sampai saat ini di Indonesia masih menghadapi masalah gizi seperti Kurang
Energi Protein (KEP) , Kurang Vitamin A (KVA) , Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKY) dan Anemia Gizi. Selain diderita oleh anak balita dan ibu
16
menyusui serta golongan masyarakat berpenghasilan rendah, masalah tersebut juga
ditemui pada anak usia sekolah.
Kebiasaan hidup kurang higienis menyebabkan angka terjadinya penyakit
masih cukup tinggi. Infeksi parasit terutama parasit cacing merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi ini bisa menyebabkan morbiditas. Salah
satunya banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Infeksi cacingan yang sering
adalah “Soil Transmitted Helminths”(STH) yang merupakan infeksi cacing usus
yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan.
Spesiescacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris
trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (
cacing tambang) (Srisasi Ganda Husada, 2000).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan.Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam
perut)berbeda. Hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada
tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar antara 40%-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002
dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-
96,3% (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.424/MENKES/VI, 2006).
Daerah endemi dengan insiden Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura
tinggi salah satunya di daerah kumuh kota Jakarta, infeksi Ascaris trichiura dan
Trichuris trichiura sudah di temukan pada bayi yang berumur kurang dari satu
tahun. Pada umur satu tahun Ascaris lumbricoides dapat ditemukan pada 80-100%
di antara kelompok-kelompok anak tersebut, untuk Trichuris trichiura angkanya
17
lebih rendah sedikit, yaitu 70%. Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris
lumbricoides adalah 16 minggu, sedangkan untuk Trichuris trichiura adalah 41
minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak berdefekasi di saluran air
terbuka dan di halaman sekitar rumah (door yard infection). Karena kebiasaan
seperti defekasi sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, bermain-main di tanah di
sekitar rumah, maka khususnya anak balita terus menerus mendapatkan reinfeksi (
Srisasi Gandahusada, 2000 ).
Menurut Data kunjungan pasien Puskesmas Tamban menerangkan bahwa
jumlah kasus kecacingan dari tahun 2005 – 2010 sebanyak 20 kasus dan yang
terbanyak adalah anak sekolah yaitu 40%.
Menurut D.B. Jellife (1994) meski anak-anak sekolah tidak mencatat angka
kematian yang tinggi pada usia muda, mereka juga mempunyai masalah khusus
seperti halnya kesempatan yang harus mereka miliki keadaan yang sering di
jumpai mencakup malnutrisi sedang, penyakit infeksi (seperti campak), penyakit
cacingan di saluran pencernaan, serangan malaria dan penyakit kulit.
Pada kasus-kasus perdarahan kronis yang disebabkan oleh parasit seperti
cacing tambang, cacing cambuk dan mungkin cacing gelang menyebabkan
kebutuhan akan zat besi meningkat. Cacingan tersebut menenpel pada diding usus
dan memakan darah. Darah yang hilang bervariasi dari 2 – 100 cc perhari,
tergantung pada beratnya infeksi. Sebagian zat besi dalam darah yang dialirkan
oleh cacing di dalam usus akan diserap kembali di saluran gastrointestinal yang
lebih bawah, sedang sisanya terbuang melalui tinja (Maeyer, 1995).
Kekurangan zat besi (Anemia) dapat menimbulkan gangguan atau hambatan
pertumbuhan, baik pada sel tubuh maupun sel otak sehingga anak yang anemia
18
akan mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang
optimal, anak menjadi kurang cerdas, daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah
terkena penyalit infeksi (Depkes RI,1999).
Akibat penghisapan zat-zat makanan dan menghisap darah oleh cacing,
semakin lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh
sehingga menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun
(Brown, 1989).
Permasalahan gizi yang menonjol pada anak SD adalah kekurang zat besi
mencakup sekitar 25-40%. Kondisi ini menurunkan daya tahan , siswa cepat lelah,
lamban geraknya, kurang gairah belajar dan tidak cepat tanggap. Hal ini
diperburuk lagi dengan dijumpainya gangguan infeksi kecacingan yaitu sebesar 40
– 70 % merupakan angka yang cukup tinggi . Apabila keadaan ini berlangsung
lama akan memberi dampak terhadap status gizi anak (Forum Koordinasi PMT-AS
Tingkat Pusat , 1997)
Berdasarkan data TBABS Puskesmas Tamban tahun 2009 SDN Purwosari
I.1 diperoleh 2 orang siswa dengan kategori sangat pendek , 5 orang siswa pendek
dan siswa dengan status gizi normal sebanyak 21 orang
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa sebagian anak SD dan MI masih
mengalami masalah gizi yang cukup serius. Hasil kegiatan Tinggi Badan Anak
Baru Masuk Sekolah (TBABS) tahun 2005 menunjukan bahwa 37,8% anak SD
dan MI yang baru masuk sekolah menderita KEP, Gaky yang di tandai dengan
adanya pembesaran gondok masih diderita oleh 11,1% anak SD dan MI (2002) dan
hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukan bahwa
47,3 anak usia sekolah menderita anemia gizi.
19
Karena masih tingginya angka penderita anemia dan infeksi cacingan pada
anak usia sekolah maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menghubungkan
antara kedua penyakit tersebut dengan status gizi anak sekolah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini
adalah adakah hubungan infeksi cacingan dengan anemia dan status gizi pada
siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun
2010”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dan anemia dengan status
gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala
Tahun 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1). Mengidentifikasi jenis cacing dan besarnya infeksi kecacingan pada siswa SDN
Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.
2) Mengidentifikasi besarnya Anemia pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan
Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.
3) Menilai status gizi siswa SDN Purwosai I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito
Kuala Tahun 2010.
20
4) Menganalisa hubungan infeksi kecacingan dengan anemia siswa SDN Purwosai I.1
Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.
5) Menganalisa hubungan anemia dengan status gizi siswa SDN Purwosai I.1
Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.
6) Menganalisa hubungan infeksi cacingan dengan status gizi siswa SDN Purwosai
I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1 Puskesmas
Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan
dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan
dengan penyakit cacingan dan anemia serta keadaan gizi anak sekolah.
1.4.2 Masyarakat
Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan
serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan , dan
anemia serta mengetahui status gizi terutama pada siswa Sekolah Dasar.
1.4.3 Peneliti
Menambah pengetahuan dalam melaksanakan penelitian khususnya tentang
hubungan penyakit cacingan dan anemia dengan status gizi pada siswa SDN
Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010”.
1.5 Keaslian Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, terdapat perbedaan dengan penelitian
ini perbedaan tersebut yaitu tempat dan waktu penelitian, populasi, serta variabel .
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1. Penyakit Cacingan
Cacingan merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya merugikan,
manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar daripada
nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah
dan disebut“ Soil Transmitted Helmints” yang terpenting adalah Ascaris
lumbricoides,Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura
(Srisasi Gandahusada, 2000:8).
2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan
berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup
dirongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000
butirsehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam
22
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia,
akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus
menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu
mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu
melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea
melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus
lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut
memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing
dewasa (Srisasi Gandahusada, 2000:10)
Gambar 1.
LINGKARAN HIDUP CACING GELANG ( Ascaris lumbricoides ) 1)
23
(Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan : 424/MENKES/SK/VI/,
2006:12).
2.1.1.2 Patofisiologi
Menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan
(2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke
paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang
disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat,
terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus
sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) (Effendy,1997).
2.1.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan
dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan
eosinofelia. Orang (anak) yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita
Ascariasis lumbricoides perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan
perut kembung), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes),
dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang.
Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali
24
tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan.
Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan
produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar. Karena gejala klinik
yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis
yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut.
Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya
infeksi (dengan cara menghitung jumlah telur cacing) (Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).
2.1.1.4 Epidemiologi
Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan
tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi
cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama
makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar
tanah dengan telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:
424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).
2.1.1.5 Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya Preparat
piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole. Pemilihan obat
cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum,
bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing,
harganya murah (terjangkau) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:
424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).
25
2.1.2 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus
halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,
cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C
dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah
sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam
tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3
hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat
bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya
kirakira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250
mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah
menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-
paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring.
Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi
cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut
tertelan bersama makanan (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:
424/MENKES/SK/VI/, 2006:10)
Gambar 2.
LINGKARAN HIDUP CACING TAMBANG ( Necator americanus ) 3)
26
(Sumber: Surat Keputusan Menteri KesehataNo:424/MENKES/SK/VI/,
2006:12).
2.1.2.2 Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan
giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang
menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita
mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja
serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya
27
tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh
banyak sebab (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/,
2006:11).
2.1.2.3 Gejala Klinik dan Diagnosis
Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak
bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi
kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di samping itu juga
terdapat eosinofilia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No:424/MENKES/SK/VI, 2006:11).
2.1.2.4 Epidemiologi
Kejadian penyakit (Incidens) ini di Indonesia sering ditemukan pada
penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya
sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah
gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan
buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat
penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Srisasi Gandahusada 2000:15).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus)
dengan suhu optimum 32 0C - 38 0C. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah
dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.
2.1.3 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
28
Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5
cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan
bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur
berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan
infektif) dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur
matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi
langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian
larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens
dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa
betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Srisasi Gandahusada, 2000:17).
2.1.3.2 Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak
cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada
mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus
hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.
Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing
29
ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:9)
Gambar 3.
LINGKARAN HIDUP CACING CAMBUK ( Trichuris trichiura ) 2)
(Sumber: Surat Keputusan Menteri Nomor: 424/MENKES/SK/VI/2006:10).
2.1.3.3 Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala
klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk
yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare,
30
disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus
rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi
cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di
dalam tinja (Srisasi Gandahusada, 2000:19).
2.1.3.4 Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan
tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu
optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagi
pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat
tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara
30-90 %.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang
sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum
makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting
apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi
Gandahusada, 2000:19).
Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol
dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang
dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris
trichiura) adalah Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate (Srisasi
Gandahusada, 2000:19).
JENIS TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH
NO. SPECIES UKURAN BENTUK WARNA KETERANGAN
LAINNYA
31
1. A.
lumbricoides
(tidak
dibuahi)
60-90 x 40-
60 (micron)
Memanjang
ellipsoidal
Coklat
sampai
coklat tua
Lebih ramping
daripada telur yang
dibuahi, bagian
luar mempunyai
tonjlan kasar dan
lapisan
albuminoid. Pada
bagian dalam
penuh berisi
granul.
2. A.
lumbricoides
(dibuahi),
tanpa lapisan
albumin
(decorticated)
45-70 x 35-
50 (micron)
Oval Jernih Bentuk hampir
menyerupai telur
cacing tambang,
tapi dindingnya
tebal.
3. A.
lumbricoides
(dibuahi,
dengan
lapisan
albumin.
50-70 x 40-
50 (micron)
Lonjong
atau
membulat.
Kuning
kecoklatan
sampai
coklat tua.
Dinding tebal dan
menunjukkan
beberapa lapisan
pada pembesaran
tinggi. Bagian luar
dilapisi oleh
lapisan yang
bertonjol-tonjol,
bergelombang dan
berwarna tengguli.
4. T. trichiura 50-54 x 22-
23 (micron)
Seperti
tempayan/
tong.
Cokat
sampai
coklat tua
Pada kedua
kutubnya
mempunyai
“sumbat”. Bila
baru dikeluarkan
melalui tinja tidak
membelah.
5. Cacing
Tambang
55-75 x 35-
46 (micron)
Oval atau
ellipsoidal
Jernih Dinding telur satu
lapis. Bila baru
dikeluarkan
melalui tinja
intinya terdiri dari
4-8 sel.
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan
tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu
optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagi
pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat
tinggi. Dibeberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara
32
30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan
pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan
tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan
sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah
penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi
Gandahusada, 2000:19).
Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazoldan
ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan
untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah
Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate (SrisasiGandahusada,
2000:19).
2.1.4 Penyakit Cacing Kremi
2.1.4.1 Daur hidup
Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar
8 - 13 cm dan yang jantan sekitar 2 - 5 cm. Cacing dewasa hidup di sekum, usus
besar dan di usus halus yang berdekatan dengan sekum. Mereka memakan isi
usus manusia.
Perkawinan cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum.
Cacing jantan mati setelah kawin dan cacing betina mati setelah bertelur. Cacing
betina yang mengandung 11.000 – 15.000 butir telur akan bermigrasi ke daerah
sekitar anal untuk bertelur. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah
dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai
13 hari.
2.1.4.2 Penyebab
33
Cacing Enterobius vermicularis infeksi biasanya terjadi melalui 2 tahap.
Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian,
seprei atau mainan. Kemudian melalui jari-jari tangan, telur cacing pindah ke
mulut anak yang lainnya dan akhirnya tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup
dari udara kemudian tertelan. Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas
di dalam usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar
(proses pematangan ini memakan waktu 2-6 minggu). Cacing dewasa betina
bergerak ke daerah di sekitar anus (biasanya pada malam hari) untuk menyimpan
telurnya di dalam lipatan kulit anus penderita. Telur tersimpan dalam suatu
bahan yang lengket. Bahan ini dan gerakan dari cacing betina inilah yang
menyebabkan gatal-gatal. Telur dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia
selama 3 minggu pada suhu ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas
lebih cepat dan cacing muda dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus
bagian bawah.
2.1.4.3 Gejala
Gejalanya berupa:
a. rasa gatal hebat di sekitar anus.
b. rewel ( karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu )
c. kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam
hari ketika cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan
menyimpan telurnya disana ).
d. nafsu makan berkurang, berat badan menurun ( jarang terjadi, tetapi
bisa terjadi pada infeksi yang berat )
e. rasa gatal atau iritasi vagina ( pada anak perempuan, jika cacing
dewasa masuk ke dalam vagina )
34
e. kulit di sekitar anus menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi
( akibat penggarukan ).
2.1.4.4 Komplikasi
- Salpingitis (peradangan saluran indung telur)
- Vaginitis (peradangan vagina)
- Infeksi ulang.
2.1.4.5. Diagnosa
Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus penderita,
terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidur pada malam hari. Cacing
kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. Telur maupun
cacingnya bisa didapat dengan cara menempelkan selotip di lipatan kulit di
sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut
ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop.
2.1.4.6 Pengobatan
Infeksi cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal
obat anti-parasit mebendazole, albendazole atau pirantel pamoat. Seluruh
anggota keluarga dalam satu rumah harus meminum obat tersebut karena infeksi
ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. Untuk mengurangi
rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus
sebanyak 2-3 kali/hari
Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang
masih hidup terus dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan.
Pakaian, seprei dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan
telur cacing yang tersisa.
35
Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi
cacing kremi adalah:
1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
3. Mencuci seprei minimal 2 kali/ming
4. Mencuci jamban setiap hari
5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari
tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya
6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.
2.1.4.7 Pencegahan
Sangat penting untuk menjaga kebersihan pribadi, dengan menitikberatkan
kepada mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan
makanan. Pakaian dalam dan seprei penderita sebaiknya dicuci sesering
mungkin.
2.1.5 ANEMIA
Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit
lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan
Ht < 41% pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita.
Gejala-gejala umum anemia antara lain cepat lelah, takikardi, palpitasi dan
takipnea pada latihan fisik.
Patofisiologi anemia terdiri dari :
1. Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik, dll.
2. Peningkatan penghancuran : anemia karena perdarahan, anemia hemolitik,
dll.
36
Beberapa jenis anemia dan penyebab fisologisnya adalah sebagai berikut :
1. Anemia kehilangan darah.
Setelah perdarahan yang cepat tubuh mengganti plasmanya dalam satu atau
dua hari, tetapi konsentrasi sel darah merahnya rendah. Bila perdarahan yang
kedua terjadi , konsentrasi sel darah merah kembali normal dalam tiga
sampai empat minggu. Pada kehilangan darah kronik orang seringkali tidak
dapat mengabsorpsi besi dalam jumlah cukup dari usus untuk membentuk
hemoglobin secepat kehilangannya. Oleh karena itu, sel darah merah
seringkali dibentuk dalam jumlah yang terlalu sedikit dan terlalu sedikit
hemoglobin di dalamnya, menimbulkan anemia mikrositik hipokromik.
2. Anemia Aplastik
Aplasia sumsum tulang berarti fungsi sumsum tulang berkurang. Misalnya,
orang yang terkena penyinaran sinar gamma dari ledakan bom nuklir
biasanya menderita destruksi lengkap dari sumsum tulangnya yang dalam
beberapa minggu diikuti oleh anemia yang mematikan. Hal yang sama,
pengobatan sinar –x yang berlebihan , zat kimia industri tertentu, dan
malahan obat-obatan dimana orang tersebut mungkin menjadi sensitive dapat
menyebabkan efek yang sama.
3. Anemia Makrositi ( kegagalan pematangan) .
Disebabkan oleh kehilangan Vitamin B 12 , asam folat , dan factor intrinsic
dari mukosa lambung. Kehilangan salah satu factor ini dapat menyebabkan
kegagalan pematangan sel darah merah. Jadi atrofi mukosa lambung, seperti
yang terdapat pada anemia pernisiosa, atau kehilangan seluruh lambung
sebagai akibat gastrektomi total dapat mengakibatkan kegagalan
37
pematangan. Juga penderita yang menderita sprue usus, dimana asam folat,
B12, dan senyawa vitamin B lainnya diabsorpsi dengan tidak baik, sering
menimbulkan kegagalan pematangan. Karena sumsum tulang pada kegagalan
pematangan tidak dapat berproliferasi dengan cukup cepat untuk membentuk
sel darah merah dalam jumlah normal, sel yang dibentuk ukuranya lebih
besar, bentuknya aneh dan mempunyai membrane yang rapuh. Oleh karena
itu, sel mudah pecah, mengakibatkan orang sangat membutuhkan jumlah sel
darah merah yang adekuat.
4. Anemia Hemolitik
Berbagai kelainan sel darah merah yang sebagian besar diperoleh secara
herediter sel-sel sangat rapuh sehingga mereka pecah dengan mudah waktu
mereka melalui kapiler, khususnya melalui limpa. Oleh karena itu, walaupun
jumlah sel darah merah yang dibentuk normal, masa hidup sel darah merah
yang dibentuk normal. Masa hidup sel darah merah demikian pendek
sehingga mengakibatkan anemia yang berbahaya . Beberapa jenis anemia ini
adalah sebagai berikut :
- Sferositosis herediter sel darah merah sangat kecil ukurannya, dan mereka
bentuknya sangat sferis bukan lempeng bikonkaf. Sel-sel ini tidak dapat di
tekan karena mereka tidak mempunyai struktur membrane lempeng bikonkaf
sel normal yang menyerupai kantong yang longgar . Oleh karena itu , waktu
melalui kapiler yang kecil mereka dengan mudah pecah meskipun hanya
dengan sedikit penekanan.
- Pada sickle cell anemia yang terdapat pada sekitar 0,3% Negara Afrika Barat
dan Negro Amerika, sel mengandung Hb abnormal yang disebut HbS ,yang
38
disebabkan oleh susunan abnormal dari lalobin Hb. Bila Hb ini terkena
oksigen konsentrasi rendah, ia mengalami presipitasi menjadi kristal-kristal
panjang di dalam sel darah merah. Kristal ini menjangkau sel mengalami
prepitasi juga merusak membrane sel memberikan bentuk sickle . Hb yang
mengalami prepitasi juga merusak membrane sel sehingga sel menjadi
sangat rapuh, mengakibatkan anemia yang berbahaya.
- Talasemia, yang juga dikenal sebagai Cooley”s anemia atau anemia
Mediterania adalah jenis anemia hemolitik herediter lain di mana selnya kecil
dan mempunyai membrane yang rapuh.Disini sekali lagi sel mudah pecah
waktu melalui jaringan.
- Eritroblastosis Fetalis, sel darah merah Rh positif dan Fetus diserang oleh
anti body dari ibu dengan Rh negative . Anti bodi ini membuat sel rapuh dan
menyebabkan bayi yang dilahirkan menderita anemia berat.
- Hemolisis juga kadang-kadang akibat dari reaksi transfuse, malaria, reaksi
obat tertentu dengan sebagai proses autoimin.
5. Anemia Mikrositik hipokrom
a. Anemia defisensi besi
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini
hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4
gr. Kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kgBB pada wanita.
Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena selain kekurangan Fe juga
terdapat kekurangan asam folat.
Etiologi
39
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesdia paling
banyak disebabkan oleh cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang
pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila
disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyeban lain dari anemia defisiensi
adalah ;
• Diet yang tidak mencukupi
• Absorpsi yang menurun
• Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi.
• Perdarahan pada saluran cerna,menstruasi, donor darah.
• Hemoglobinuria
• Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.
Gejala klinis : selain gejala-gejala umum anemia, defisiensi Fe yang berat akan
mengakibatkan perubahan kulit dan mukosa yang progresif seperti lidah yang halus,
keilosis dan sebagainya.didapatkan tanda-tanda malnutrisi.
2.1.6 STATUS GIZI
Status gizi menurut Soekirman (1991) adalah suatu keadaan kesehatan
akibat interaksi antara makanan tubuh manusia dan lingkungan hidup. Ketiga
unsur tersebut merupakan penggambaran dari konsep hubungan antara host – agent
– environment.
Menurut Soeharjo (1989) status gizi adalah keadaan sehat individu-
individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi
dan zat-zat lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya
diukur secara antropometri.
40
Pengertian status gizi menurut Abas Basuni (2003) adalah keadaan
keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk
berbagai keperluan proses biologi.
Keseimbangan zat gizi mempengaruhi :
1. Pertumbuhan
2. Perkembangan
3. Kecerdasan
4. Pemeliharaan kesehatan
5. Aktivitas dan lain-lain (Abas Basuni , 2003).
Pertumbuhan adalah perubahan fisik dari waktu ke waktu , baik dari segi
dimensi, proporsi maupun komposisi tubuh. Pada manusia , ukuran fisik (tubuh)
disebut juga istilah Antropometri. Antropometri berasal dari kata Antropos artinya
manusia dan Metric artinya ukuran. Jadi Antropometri adalah ukuran tubuh
manusia. Perubahan pertumbuhan dapat diukur secara kuantitatif (contoh : dari 5
kg menjadi 6 kg , dari 54 cm menjadi 60 cm) (Abas Basuni , 2003).
Perkembangan adalah perubahan kemampuan anak dalam gerakan motorik
kasar atau halus, kecerdasan, mental, perilaku dari waktu ke waktu. Perubahannya
hanya dapat diukur secara kualitatif (contoh : dari dapat merangkap menjadi
berdiri, dari tidak dapat bicara menjadi dapat bicara dan sebagainya (Abas Basuni,
2003).
Pertumbuhan terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Pertumbuhan linear
Bentuk adari ukuran linear adalah ukuran yang berhubungan dengan
panjang . Contoh ukuran linear adalah panjang badan, lingkar dada, lingkar kepala
41
. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang
akibat kekurangan enrgi proten yang diderita waktu lampau. Ukuran linear yang
paling sering digunakan adalah tinggi badan atau panjang badan (Supariasa dkk,
2002).
2. Pertumbuhan Massa Jaringan
Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh ukuran
massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak bawah
kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunujukkan keadaan gizi kurang
akibat kekurangan energi protein yang diderita pada waktu pengukuran dilakukan.
Ukuran massa jaringan yang paling sering digunakan adalah berat badan (Suparisa
dkk , 2002).
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor penyebab langsung dan
faktor tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan yang dikonsumsi sehari-
hari dan penyakit infeksi yang diderita. Timbulnya KEP tidak hanya karena
makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit yang diderita anak. Anak yang
mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam
akhirnya menderita KEP. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup, daya tahan
tubuhnya dapat melemah dalam keadaan demikian anak mudah diserang penyakit
infeksi (Soekirman, 2000).
Kekurangan gizi dianggap masalah karena dapat menyebabkan angka
kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, terganggunya pertumbuhan,
menurunnya daya kerja, gangguan perkembangan mental dan kecerdasan .
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola
pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan
42
pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup. Konsumsi zat gizi sehari-
hari dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam keluarga yang cukup.
Ketersediaan pangan tergantung dari daya beli keluarga, ketersediaan bahan
pangan di pasaran dan produksi.
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Secara langsung :
a. Antropometri
b. Biokimia
c. Klinis
d. Biofisika
2. Secara tidak langsung
a. Survei konsumsi
b. Status vital
c. Faktor Ekologi (Supariasa, 2002)
A. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Penilaian status gizi yang dilakukan secara langsung yaitu dengan
menggunakan ukuran – ukuran tubuh manusia atau dikenal istilah
Antropometri.
Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi dan
kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Parameter
adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia antara lain : umur, berat badan,
tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada , lingkar pinggul
dan tebal lemak bawah kulit (Supariasa dkk, 2002). Di Indonesia ukuran baku
43
hasil pengukuran menggunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk
Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku Harvard).
Tabel 1. Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri
STATUS GIZI
Ambang batas baku berdasarkan indeks
BB/U TB/U BB/TB
Gizi Baik
Gizi Kurang
Gizi Buruk
80%
61 – 80%
≤ 60%
85%
71 – 85%
≤ 70%
> 90%
81 – 90%
≤ 80%
Sumber : Buku Penilaian Status gizi karangan Supariasa, dkk
1. Berat badan menurut Umur (BB/U)
Kelebihannya :
a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
b. Baik untuk mengukur status gizi akut dan kronis
c. Berat badan dapat berfluktuasi
d. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
e. Dapat mendeteksi kegemukan (overweigt).
(Supariasa dkk, 2002).
Kekurangan :
a. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat
odema maupun asites.
b. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sulit di
taksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.
c. Memerlukan data umur akurat terutama untuk kelompok anak usia di
bawah 5 thun (Balita)
44
d. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian
atau gerakan anak pada saat penimbangan.
e. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial
budaya setempat (Supariasa dkk, 2002)
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Kelebihan :
a. Baik untuk penilaian status gizi masa lampau.
b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa
(Supariasa dkk,2002)
Kekurangan :
a. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun
b. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak,
sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
c. Ketepatan umur sulit didapat (Supariasa dkk, 2002)
3. Lingkar Lengan Atas menurut Umur (LILA/U)
Kelebihan :
a. Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.
b. Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri.
c. Alat dapat diberi code warna untuk menentukan tingkat keadaaan gizi
sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis
(Supariasa dkk, 2002)
Kekurangan :
45
a. Hanya dapat mengidentifikasi anak yang KEP berat
b. Sulit menentukan ambang batas.
c. Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2
sampai 5 tahun yang perubahnnya tidak nampak nyata (Supariasa dkk,
2002)
4. Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Kelebihan :
a. Tidak memerlukan data umur
b. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
(Supariasa dkk, 2002).
Kekurangan :
a. Tidak dapat memberi gambaran apakah anak tersebut pendek , cukup
tinggi badann atu kelebihan tinggi badan, karena faktor umur tidak
dipertimbangkan.
b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan
pengukuran panjang atau tinggi badan anak pada kelompok balita.
c. Membutuhkan dua macam al;at ukur
d. Pengukuran relatif lebih lama
e. Membutuhkan dua orang untuk melakukannya
f. Sering terjadi kesalahan dalam membaca angka hasil pengukuran ,
terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesional (Supariasa dkk,
2002).
5. Body Mass Indek (BMI) /Indeks Massa Tubuh (IMT).
Rumus perhitungan IMT adalah :
46
BB (Kg)
IMT = ---------------------------- atau
TB (M) X TB (M)
IMT = Berat Badan (dalam Kg) di bagi Kuadrat Tinggi Badan
(dalam meter) (Supariasa dkk, 2002).
IMT/U adalah salah satu indikator cara cepat untuk menghitung status gizi bagi
anak-anak dan remaja mulai usia 2 – 20 tahun dan seringkali digunakan untuk
mengindentifikasi permasalahan pada anak-anak. Kategori untuk IMT/U
menurut WHO – CDC tahun 2000 adalah :
a. Kurus : < 18
b. Baik : 18 – 25
c. Overweight : > 25
d. Obes : 10% Overweight (www.cdc.gov)
B. Pemeriksaan klinis
Tanda-tanda klinis gizi kurang dapat merupakan indikator untuk menduga
defisiensi gizi tetapi indikator ini tidak spesifik karena ada beberapa penyakit
yang mempunyai gejala yang sama, tetapi penyebabnya berbeda. Untuk itu
pemeriksaan klinis harus dipadukan dengan pemeriksaan lain seperti
antropometri dan loboratorium.
Pemeriksaan klinis secara umum dibedakan terdiri dari :
1. Medical history (riwayat medis) yaitu catatan mengenai perkembangan
penyakit.
47
2. Pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala gangguan gizi baik
sign (gejala yang dapat diamati) dan symptom ( gejala yang tidak dapat
diamati, tetapi dirasakan oleh penderita gangguan gizi) (Supariasa, 2002).
C. Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang
lebih tepat dan objektif. Pemeriksaan yang sering digunakan adalah teknik
pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah
dan urine. Hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan standar normal
yang telah ditetapkan (Supariasa, 2002).
D. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi
dengan maksud untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat
kecukupan bahan makananan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah
tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi
makanan tersebut. Metode yang biasa digunakan adalah dengan recall 24 jam
dan food record (Supariasa, 2002).
2.2. LANDASAN TEORI
2.2.1 ANAK SEKOLAH
Kebanyakan dari anak-anak berumur antara 6 – 12 tahun sedang dalam
puncak perkembangan. Pada tingkat ini anak bukan lagi seorang bayi, sementara
imbalan serta tuntutan kehidupan orang dewasa masih jauh. Selagi ia tumbuh dari
6 – 12 tahun biasanya hidupnya dan hidup ortu tidak seluruhnya diliputi cinta dan
48
ketenangan. Ia gemar berpetualang dan sering menemukan bahwa masih banyak
yang harus diketahuinya dan yang mencemaskannya (Depkes RI, 1989).
Pada awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah , dengan demikian anak-
anak ini mulai masuk ke dalam dunia baru. Dimana dia mulai banyak berhubungan
dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan pula dengan suasana
dan lingkungan baru dalam kehidupannya .(Moehji , 2003)
Ketika seorang anak pertama kali pergi kesekolah maka anak ini menemui
kenyatan bahwa kebiasan maka teman – teman berbeda dengan kebiasaan makan
di rumah, sehingga anak akan belajar membandingkan makanan yang disukainya
dan di makan oleh temannya dengan makanan di rumah. Hal ini mungkin
membuat seorang anak tidak menyukai makanan tertentu di rumah . (Damayanti,
1996)
Anak usia sekolah mudah terkena stres yang berdampak kepada nafsu
makannya, sedangkan di pihak lain kebutuhan tubuh akan energi dan zat gizi
meningkat. Stress emosi dapat berasal dari banyaknya pekerjaan rumah.
Kompetensi dengan teman dan ketidakseimbangan antara aktifitas dan istirahat.
(Damayanti, 1996)
Dari berbagai penelitian yang pernah di lakukan terhadap anak-anak
sekolah baik di perkotaaan maupun pedesaan di Indonesia, didapatkan kenyataan
bahwa pada umumnya berat dan tinggi badan rata-rata anak sekolah dasar ini
berada dibawah ukuran normal, tidak jarang pula pada anak – anak ditemukan
tanda – tanda penyakit gangguan gizi baik dalam bentuk ringan , maupun dalam
bentuk yang agak berat (Moehji, 2003).
49
Pada umumnya kelompok anak sekolah ini mempunyai kesehatan yang
lebih baik di banding dengan kesehatan anaka balita. Masalah-masalah yang
timbul pada kelompok ini antara lain : berat badan rendah, defisiensi Fe (kurang
darah), defisiensi vitamin E. Masalah ini timbul karena pada umur ini anak –anak
sangat aktif bermain dan banyak kegiatan baik disekolah maupun di lingkungan
rumah tangga. Di pihak lian anak kelompok ini kadang-kadang nafsu makan
menurun, sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang
diperlukan (Notoadmojo , 2003).
Gizi dan kesehatan anak sekolah baru mendapat perhatian pada akhir –
akhir ini saja. Hal ini karena masa lampau ada asumsi bahwa seorang anak usia
sekolah sudah dapat bertahan hidup (Survive) melewati periode kritis, sehingga
dianggap tidak rawan lagi. Tetapi ternyata banyak penyakit infeksi masih di derita
oleh anak sekolah . Sebelumnya data status gizi anak sekolah tidak dikumpulkan
secara rutin, meskipun beberapa epidensi membuktikan bahwa :
1. Malnutrisi menyebar luas pada anak sekolah
2. Masalah gizi tersebut berdampak negatif terhadap pembelajaran, penampilan
dan ketidakhadiran di sekolah (Riyadi , 2001)
Pertumbuhan fisik pada usia anak 6 – 9 tahun merupakan hasil dari faktor
lingkungan dan genetik , dan interaksi antara keduanya. Pada penduduk miskin
faktor utama yang mempengaruihi pertumbuhan fisisk anak usia sekolah adalah
faktor lingkungan yang mereka alami sebelum pubertas. Faktor lingkungan ini
termasuk pola konsumsi pangan , angka kesakitan , keterbatasan sanitasi , serta
praktek higiene dan kesehatan yang buruk. Potensi untuk mengejar ketinggalan
pertumbuhan pada anak yang Stunted sangat terbatas setelah anak berusia lebih
50
dari 2 tahun terutama apabila anak tersebut masih tinggal di lingkungan yang jelek
(Riyadi, 2001).
Karakteristik Anak Usia Sekolah :
1. Berusia 7 – 12 tahun.
2. Pertumbuhan relatif lebih lambat dari anak balita .
penambahan BB 1,8 – 3,1 Kg per tahun..
3. Nafsu makan relatif lebih baik daripada anak balita.
4. Aktifitas fisik tinggi , sehingga membutuhkan energi untuk bergerak ,
olah raga dan lain-lain.
5. Mulai tidak tergantung terhadap orang tua (Damayanti , 1996)
Pengelompokkan usia pada masa sekolah menurut :
1. WHO , usia 7 – 15 tahun.
2. Jellife , usia 5 – 15 tahun
3. Indonesia , usia 7 – 12 tahun ( Depkes RI , 1990).
2.2.2 ANEMIA ANAK SEKOLAH
Merupakan suatu kondisi pada anak SD dan MI dengan kadar
haemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal ( kurang dari 12 gr%).
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-kira
2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 gr. Kira-kira 50
mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kgBB pada wanita.
Etiologi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesdia
paling banyak disebabkan oleh cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing
tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan
51
anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain dari
anemia defisiensi besi adalah kadar hemoglobin berbeda untuk setiap kelompok
umur dan jenis kelamin yaitu :
1. Anak balita : 11 gr%
2. Anak usia sekolah : 12 gr%
3. Wanita dewasa : 12 gr%
4. Laki-laki dewasa : 13 gr%
5. Ibu hamil : 12 gr%
6. Ibu menyusui > 3 bulan : 12 gr% (Depkes RI. 1999).
Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi
yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Hb)sehingga desebut “ Anemia
Kekurangan Besi atau Anemia Gizi Besi “. (Depkes RI, 1999).
Garam besi merupakan unsur yang sangat penting untuk membentuk Hb , yaitu
suatu zat warna yang terdapat dalam darah merah yang berguna untuk mengikat
Oksigen (O2) dan Karbondioksida ( CO2 ) dalam tubuh . Hemoglobin adalah ikatan
antara protein, garam besi dan zat warna. 60 % dari garam besi yang ada di dalam
tubuh manusia terdapat dalam hemoglobin ini (Moehji, 2002)
Faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya kadar besi di dalam tubuh
adalah :
1. Makanan sehari-hari umumnya sedikit mengandung zat besi
2. Persentase banyaknya besi yang dapat diserap dari makanan
3. Adanya zat-zat penghambat yang dapat mengahambat penyerapan
besi, yaitu asam fitat , asam oksalat dan tanin.
4. Adanya gangguan perut yang berakibat diare
52
5. Adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing pita, cacing tambang
dan lain-lain.
6. Kehilangan darah yang cukup banyak, misalnya pada saat kecelakaan,
operasi, perdarahan dan sebagainya (Muchtadi dkk, 1993)
Penyerapan zat besi di pengaruhi oleh banyak faktor yaitu :
1. Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang
dibutuhkan.
2. Rendahnya asam klorida pada lambung dapat menurunkan
penyerapan.
3. Adanya vitamin C . Gugus SH (Sulfidri) dan asam amino Sulfur dapat
meningkatkan penyerapan karena dapat mereduksi dalam bentuk ferri
menjadi ferro.
4. Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya
kompleks besi- folat yang tidak dapat diserap.
5. Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe.
6. Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe.
7. Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan
penyerapan Fe.
8. Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe ( Muchtadi
dkk, 1993).
Anemia Gizi Besi pada anak sekolah disebabkan oleh :
1. Kebiasaan kurang makan sayur terbawa pada usia sekolah .
2. Makanan jajanan yang dibeli anak kurang mengandung zat gizi untuk
53
membentuk darah.
3. Anak sering bermain ditempat - tempat yang kurang bersih seperti tanah,
sehingga banyak kemungkinan terkena penyakit cacingan.
4. Kebutuhan zat gizi yang meningkat pada anak sekolah ( Puslitbang Gizi
Bogor , 1990).
Akibat – akibat defisiensi zat besi , trutama anemia defiseinsi zat besi adalah :
1. Bayi dan Anak
a. Gangguan perkembangan motorik dan kordinasi
b. Gangguan perkembangan bahasa dan kemajuan belajar
c. Pengaruh pada psikologis dan perilaku
d. Penurunan aktivitas fisik
2. Orang dewsa pria dan wanita
a. Penurunan kerja fisik dan daya pendapatan
b. Penurunan daya tahan terhadap keletihan.
3. Wanita Hamil
a. Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
b. Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin
c. Peningkatan resiko berat badan lahir rendah (Maeyer, 1995).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi anemia
akibat kekurangan zat besi adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan konsumsi zat besi dari sumber alami melalui penyuluhan, terutama
makanan sumber hewani (heme-iron) yang mudah di serap seperti : ikan , daging
dan lain-lain. Selain itu perlu ditingkatkan juga makanan yang banyak
mengandung vitamin C dan vitamin A seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
54
untuk membantu penyerapan zat besi dan membantu proses pembentukan
hemoglobin.
2. Fortifikasi bahan makanan. Menambahkan zat besi , asam folat,vitamin A dan
asam amino esensial pada bahan makanan secara luas oleh kelompok sasaran.
Terutama pada bahan makanan hasil produksi industri pangan.
3. Suplementasi besi-folat secara rutin selama jangka wakt tertentu adalah untuk
meningkatkan kadar Hb secara cepat, dengan demikian suplementasi zat besi
hanya merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang
perlu diikuti dengan cara lainnya.
4. Pada balita dan anak sekolah serta WUS yang diduga menderita kecacinganan ,
selain suplementasi tablet besi-folat dan sirup besi , juga dianjurkan agar diberikan
obat cacing (Depkes RI, 1999).
Pemberian Suplementasi besi-folat untuk mencegah Anemia Besi pada anak
sekolah adalah sebagai berikut :
1. Dosis pencegahan
1 tablet tiap minggu (60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat ) selama 3
bulan.
2. Dosis pengobatan
Bila kadar Hb < 12 gr% , pemberian menjadi 1 x 1 tablet per hari selama 1 bulan
(kadar Hb diperiksa ulang setelah pemeberian 1 bulan), Bila belum mencapai > 12
gr% dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut (Depkes, 1999).
Dalam penelitian ini untuk menentukan kadar Hb yaitu dengan menggunakan
metode Sahli. Pemeriksan Hb dengan metode ini berdasarkan pada pembentukan
Hematin asam dan tidak semua jenis Hb bisa diubah menjadi hematin asam seperti
55
karboksihemoglobin, methamoglobin dan Sulthemoglobin (Praktikum Biokimia ,
2004).
Adapun dasar reaksinya adalah membandingkan warna asam dengan hematin yang
telah di ubah dari Hb dengan asam kloroda (HCl) 0,1 N dengan warna standart
yang terdapat pada alat Hemoglobinometer (Praktikum Biokimia , 2004)
2.2.3 Infeksi kecacingan
Kecacingan adalah penyakit dimana seseorang mempunyai cacing dalam
ususnya dan menimbulkan gejala atau tanpa gejala. Kecacingan merupakan
masalah kesehatan yang perlu penanganan serius terutama untuk daerah tropis
karena cukup banyak penduduk menderita kecacingan. Kecacingan menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh, terhambatnya tumbuh kembang anak, kurang gizi dan
zat besi yang mengakibatkan anemia.
Gejala-gejala :
- Mengeluarkan cacing pada saat buang air besar atau muntah
- Badan kurus dan perut buncit
- Kehilangan nafsu makan, lemas, lelah, pusing, nyeri kepala, gelisah
dan suka tidur.
- Gatal - gatal disekitar dubur terutama malam hari ( cacing kremi )
- Pada jenis cacing yang menghisap darah (cacing pita, cacing tambang,
cacing cambuk) dapat terjadi anemia.
Gejala spesifik untuk setiap jenis cacing adalah :
• Cacing kremi ( Oxyuris / Enteribius Vermicularis ) adalah rasa gatal
sekitar anus terutama malam hari, gelisah dan susah tidur.
• Cacing gelang ( Ascariasis ) adalah gangguan lambung, kejang
56
perut diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam.
• Cacing Tambang (Necatoriasis/ Ankilostomiasis) adalah gangguan saluran
cerna (mual, muntah, diare dan nyeri ulu hati), pusing nyeri kepala, lemah dan
lelah, anemia, gatal di daerah masuknya cacing.
Penyebab kecacingan adalah :
Cacing penyebab penyakit pada manusia terdiri dari :
- Cacing gelang (Ascariasis lumbriocoides)
- Cacing cambuk (Tricularis sp)
- Cacing kremi (Enterobius vermicularis)
- Cacing tambang (Necatoria dan ankilostomia)
- Cacing pita ( Taenia sp)
- Trematoda
Cacing masuk tubuh manusia dengan berbagai cara yaitu :
Telur cacing tertelan sewaktu makan makanan yang terkontaminasi oleh kotoran.
Sedang larva cacing tambang hidup di tanah dan masuk lewat kulit yang
menyebabkan infeksi. Cacing pita dan trematoda sebagian besar siklus hidupnya
berada pada binatang dan masuk tubuh manusia karena makan daging/ikan mentah
atau setengah matang.
Di Indonesia masalah cacing masih merupakan masalah kesehatan umum, yang
paling sering ditemukan adalah cacing gelang dan cacing kremi. Cacing kremi
bertelur di sekitar dubur. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah
dikeluarkan, pada suhu tubuh. Telur yang matang akan menetas di usus 12 jari .
Telur-telur ini terbawa oleh jari-jari bila penderita menggaruk, kemudian bila tidak
dicuci kedua tangan tersebut maka bisa menularkan keorang lain. Dalam keadaan
57
lembab telur dapat hidup sampai 13 hari .Penyebab kecacingan juga biasanya
karena makanan dan minuman serta lingkungan yang tidak bersih . Pada umumnya
terjadi melalui makanan dan melalui kulit.
Hal yang perlu dilakukan agar terhindar dari kecacingan adalah :
1. Menjaga kebersihan diri dengan memotong kuku, menggunakan sabun pada
waktu mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan pada waktu
mandi.
2. Menghindari makanan yang telah dihinggapi lalat dan cuci bersih bahan
makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada serta biasakan
memasak makanan dan minuman.
3. Menggunakan karbol di kamar mandi
4. Menggunakan alas kaki untuk menghindari sentuhan langsung dengan tanah
saat bekerja di halaman, perkebunan, pertanian, pertambangan ,dan lain-lain.
Obat yang dapat digunakan :
1. Pirantel Pamoat
a. Kegunaan obat :
Pengobatan askariasis, oksiuriasis, ankilostomiasis dan nekatoriasis
b. Hal yang perlu diperhatikan :
Aturan pakai harus dibaca dan di patuhi
c. Kontra indikasi
• Penderita gangguan fungsi hati
• Anak di bawah umur 2 tahun
• Ibu hamil
d. Efek samping
58
Nafsu makan hilang (anoreksia) , mual, muntah, diare, kram lambung,
meningkatnya SGOT, sakit kepala, pusing, mengantuk, ruam kulit.
e. Bentuk sediaan
• Tablet 125 mg
• Tablet 250 mg
f. Aturan pemakaian
• Tablet 125 mg
- 1-5 tahun : 1 tablet
- 5-9 tahun : 2 tablet
- 10-15 tahun : 3 tablet
- Diatas 15 tahun dan dewasa : 4 tablet
• Tablet 250 mg
- 1- 5 tahun : 1/2 tablet
- 5-9 tahun : 1 tablet
- 10-15 tahun : 1 ½ tablet
- Diatas 15 tahun dan dewasa : 2 tablet
3. Mebendasol
a. Kegunaan obat
Pengobatan Ascariasis, trikuriasis, enterobiasis, ankilostomiasis,
nekatoriasis dan infeksi campuran.
b.Hal yang diperhatikan
- Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita diabet dan ibu
menyusui.
59
- Penggunaan jangka panjang dengan dosis besar dapat menimbulkan
penurunan sel darah putih (neutropenia) kembali ke normal bila obat
dihentikan.
c. Kontra indikasi
Anak balita dan ibu hamil akan mengakibatkan pembentukan sel yang tidak
normal (teratogenik)
d. Efek samping
Nyeri pada lambung , diare
e. Bentuk sediaan
Tablet 100 mg
f. Aturan Pemakaian
- Untuk cacing kremi : 1 tablet sehari
- Untuk cacing cambuk : 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam
selama 3 hari berturut-turut.
- Untuk cacing gelang : 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama
3 hari berturut-turut.
4. Piperazin
a. Kegunaan obat
Pengobatan askariasis, oksiuriasis atau enterobiasis
b. Hal-hal yang perlu diperhatikan
Aturan pakai harus dibaca dan dipatuhi
c. Kontra indikasi
o Penderita epilepsi
o Alergi terhadap pipirasin
60
o Gangguan fungsi hati dan ginjal
d. Efek samping
Mual , muntah, gangguan pada fokus mata, dermatitis, diare dan reaksi
alergi.
e. Bentuk sediaan
- Sirup peperasin sitrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
- Sirup piperasin heksahidrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)
f. Aturan pemakaian
* Askariasis (cacing gelang)
Dosis tunggal : bayi : 2,5 ml
1-2 tahun : 5 ml
3-5 tahun : 10 ml
Lebih dari 6 tahun dan dewasa : 15 ml
Di minum selama 2 hari berturut-turut.
* Oksiurasis
Diminum setelah makan, selama 4 hari berturut-turut
- Bayi : 1 kali sehari, 2,5 ml
- 1-2 tahun : 2 kali sehari 2-5 ml
- 3-5 tahun : 2 kali sehari 5 ml
- Diatas 6 tahun dan dewasa : 3 kali sehari ,5 ml
1. HUBUNGAN INFEKSI KECACINGAN DENGAN ANEMIA
61
Pada kasus-kasus perdarahan kronis yang disebabkan oleh parasit, seperti
cacing tambang, cacing cambuk dan mungkin cacing gelang menyebabkan
kebutuhan akan zat besi menjadi meningkat. Cacing tersebut menempel pada
dinding usus dan memakan darah. Darah yang hilang bervariasi dari 2 sampai 100
cc setiap hari, tergantung pada beratnya infeksi .
Sebagian zat besi dalam darah yang dialirkan oleh cacing di dalam usus
akan diserap kembali di saluran gastrointestinal yang lebih bawah. Sedang sisanya
akan terbuang melalui tinja. Zat besi yang hilang per 1.000 telur per gram tinja
diperkirakan sekitar 0,8 mg per hari oleh Necator americanus dan 1,2 oleh
Ancylostoma duodenale.(Maeyer,1995)
Infeksi mengganggu masukan makanan, penyerapan, penyimpanan serta
penggunaan berbagai zat gizi, termasuk zat besi. Pada banyak masyarakat
pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi lingkungan buruk, angka
kesakitan akibat infeksi virus, kecacingan dan bakteri tinggi. Dalam masyarakat
tersebut, makanan yang sering dimakan mengandung sangat sedikit energi. Kalau
keseimbangan zat besi goyah, episode infeksi yang berulang-ulang dapat
menyebabkan terjadinya anemia. (Maeyer,1995)
Anemia bisa disebabkan bukan hanya oleh difisiensi zat besi (atau lebih
jarng lagi zat-zat gizi lain) tetapi juga oleh kondisi-kondisi lain. Penyakit malaria,
cacing tambang (ancylostomiasis atau necatoriasis), schistomosiasis dan infeksi-
infeksi lain berperan penting di daerah-daerah yang beriklim tropis. (Maeyer.1995)
Kehilangan zat besi yang berlebihan pada pendarahan termasuk haid yang
berlebihan, sering melahirkan dan pada infeksi cacing dimana cacing
menyebabkan banyak darah yang keluar, sehingga mengganggu keseimbngan zat
62
besi, dimana zat besi yang dikeluarkan lebih banyak dari zat besi yang masuk
menyebabkan seseorang mengalami anemia berat (kadar Hb < 8 gr%). Sehingga
upaya pencegahan dan penanggulangan selain pada anemianya, harus dilakukan
pengobatan terhadap penyakit-penyakit yang melatarbelakangi terjadinya anemia
(Depkes RI,1999
Dari hasil penelitian permasalahan gizi yang menonjol pada anak SD
adalah kekurang zat besi mencakup sekitar 25-40%. Kondisi ini menurunkan daya
tahan , siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang gairah belajar dan tidak cepat
tanggap. Hal ini diperburuk lagi dengan dijumpainya gangguan infeksi kecacingan
yaitu sebesar 40 – 70 % merupakan angka yang cukup tinggi . Apabila keadaan ini
berlangsung lama akan memberi dampak terhadap status gizi anak (Forum
Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat J, 1997)
6. HUBUNGAN ANEMIA DENGAN STATUS GIZI
Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di
dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diaertikan bahwa jumlah
zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh
badan dari makanan (Mahidin dkk, 1999).
Anak mengalami masa pertumbuhan yang cepat, maka kebutuhan zat besi
untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan
lewat bassal. Selain itu anak membutuhkan zat besu untuk menambah massa sel
darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Sel-sel darah merah berumur 120
hari, jadi sesuadah 120 harise-sel darah merah mati dan diganti dengan yang baru.
Apabila dalam makanan tidak terdapat zat besi yang cukup maka pembentukan
63
sel-sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh anak akan terganggu, yang
memberi dampak pada status gizi anak (Mahidi dkk,1999).
Kekurangan hemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen
yang di transport ke sel tubuh maupun otak. Anemia sedang dan ringan dapat
menimbulkan gejala- gejala 5 L yaitu: letih, lesu, lemah , lelalh dan lalai
disamping itu seringkali disertai keluhan pusing dan mata berkunang-kunang dan
penderita anemia akan turun daya tahan tubuhnya, akibatnya mudah terkena
penyakit infeksi yang bila terjadi pada anak sekolah akan mengurangi kapasitas
dan menurunkan kemampuan atau prestasi belajar. Hal ini tentunya sangat
merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (Depkes RI, 1999).
Anemia pada anak dapat menimbulkan gangguan hambatan pada
pertumbuhan , baik pada sel tubuh maupun sel otak, sehingga anak yang anemia
akan mengalami gangguan pertumbuhan , tidak dapat mencapai tinggi yang
optimal, anak menjadi kurang cerdas , daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah
terkena penyakit infeksi (Depkes RI, 1999).
Anak sekolah mempunyai aktifitas yang cukup tinggi dan masih dalam
proses belajar. Pada saat belajar anak sekolah memerlukan tenaga yang banyak
karena kekurangan darah (anemia) tenaga yang diperlukan untuk belajar
berkurang sehingga anak cepat lelah dan mengantuk pada waktu belajar. Hal ini
tidak hanya di alami di kelas namun juga terjadi di rumah akhirnya anak menjadi
bodoh (Puslitbang Gizi Bogor, 1990).
Pada anak sekolah prestasi belajar rendah kalau anak menderita difesiensi besi
, selain itu anak yanganemia kurang besi mempunyai kesulitan dalamberfikir secara
logika dan berfikir secara analog, serta menurunnya kemampuan konsentrasi dalam
64
menyelesaikan tugas. Keadaan ini dapat diprbaiki dengan terapi besi (Fe). Dalam
mencapai hasil yang optimal dari suatu sistem pendidikan, maka anak-anak didik
harus tidak menderita kurang besi (Mahidin dkk, 1999).
7. HUBUNGAN INFEKSI KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI
Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan
mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Antara gizi buruk dan
penyakit infeksi sesungguhnya mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat,
sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari kedua keadaan itu yang
datang lebih dulu. Dalam banyak kejadian terjadi synergisitas antara gizi buruk dan
penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja sangat fatal (Moehji, 2003).
Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh.
Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limphoid yang berperan dalam
sistem kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah,
kekebalan seluler yang dimungkinkan oleh berfungsinya kelenjar thymus berkurang
karena kelenjar thymus mengecil akbat kekurangan gizi. Produksi berbagai
antibodies juga berkurang disamping terjadi atropi pada dinding usus menyebabkan
berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit
penyakit. Kedalam tubuh. Keseluruhan gangguan pada sistem pertahanan tubuh itu
berlangsung serentak pada penderita gizi buruk sehingga menjadi penderita gizi
buruk sanat mudah terserang penyakit lebih-lebih jika lingkungan anak tidak
mendukung (Moehji, 2003).
Sebaliknya penyakit infeksi seperti kecacingan yang menyerang anak
menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat
penyakit infeksi adalah akibat beberapa hal antara lain :
65
1. Turunnya nafsu makan anak akibat rasa tidak nyaman yang di alami, sehingga
masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih
banyak terutama untuk mengganti jaringan tubuhnya yang rusak akibat bibit
penyakit itu.
2. Penyakit infeksi sering dibarengi oleh diare dan muntah yang menyebabkan
penderita kehilangan cairan dan sepuluh zat gizi seperti berbagai mineral dan
sebagainya, dan danya diare menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan
juga terganggu , sehingga secara keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk.
3. Naiknya metabolisme basal akibat demam menyebabkan termobilisasinya
cadangan energi dalam tubuh . Penghancuran jaringan tubuh oleh bibit penyakit
juga akan semakin banyak dan untuk menggantinya diperlukan masukan protein
yang lebih banyak (moehji, 2003).
Status gizi kurang atau buruk dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit
infeksi dan memperberat infeksi tersebut juga penyakit infeksi akan memperburuk
status gizinya (Rudiansyah, 2000).
Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan
kesulitan menelan dan mencerna makanan. Parasit dalam usus seperti cacing gelang
dan sebagainya bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dengan
demikian menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan yang demikian
membantu terjadinya kurang gizi .(Suhardjo, 1996)
Akibat penghisapan zat – zat makanan dan darah oleh cacing , semakin lama
tubuh akan kekurngan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh sehingga
menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun. (Harold.
Brown, 1989)
66
2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Faktor yang mempengaruhi :
- Zat besi dari Asupan makanan kurang
• Sumber hewani
• Sumber nabati
Anemia
Meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat besi
• Masa pertumbuhan
• Masa kehamilan
• Infeksi penyakit kronis : TBC
Meningkatnya pengeluaran zat besi
• Penderita Cacingan
• Malaria
• Menstruasi
67
Diteliti :
Tidak diteliti :
Gambar 2.4 Bagan kerangka konsep
2.4. Hipotesa
2.4.1 Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan anemia pada anak sekolah
dasar di SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun
2010.
2.4.2 Ada hubungan antara anemia dengan status gizi pada anak sekolah dasar di SDN
Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun 2010.
2.4.3 Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan status gizi pada anak sekolah
dasar di SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun
2010.
• Perdarahan
Status Gizi
68
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik, dengan
menggunakan rancangan cross sectional untuk melihat hubungan antara infeksi
Kecacingan dengan Anemia dan status gizi pada anak Sekolah Dasar di SDN
Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala.
3.2. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan
Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010. Penelitian dilakukan pada bulan
September 2010
3.3. Subjek Penelitian
3.3.1 Populasi
69
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 sampai kelas 4 Sekolah
Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun
2010.
3.3.2. Sampel
Sampel yang diteliti adalah siswa kelas 1 sampai kelas 4 didapatkan jumlah
sampel adalah 100 siswa
3.4. Variabel penelitian dan definisi Operasional
3.4.1 Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas adalah Infeksi kecacingan
b. Variabel terikat adalah status gizi pada siswa
c. Variabel antara adalah anemia
3.4.2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat dan cara
mengukur
Skala Hasil
1
2
3.
Variabel
Antara
Variabel
bebas
Variabel
terikat
Anemia : suatu kondisi
pada anak SD dan MI
dengan kadar
haemoglobin (Hb) dalam
darah kurang dari normal
( kurang dari 12 gr%)
Infeksi Cacing : Parasit
manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan
dimana manusia
merupakan hospes
beberapa nematode usus
yang diantara sejumlah
spesiesnya ditularkan
melalui tanah.
Status gizi : keadaan
sehat individu-individu
Metode Sahli
Pemeriksaan
kadar
Hemoglobin
(Hb)
Mikroskop
Pemeriksaan
Feces
Antropometri
Menggunakan
Nominal
Nominal
Nominal
Dikatakan
anemia bila
Hb <12 gr%
Normal > 12
gr%
Positif = ada
telur cacing
atau cacing
Negatif =
tidak
Ada telur
cacing atau
cacing
Kurus ,
Normal
70
atau kelompok yang
ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik akan
energi dan zat-zat lain
yang diperoleh dari
pangan dan makanan
yang dampak fisiknya
diukur secara
antropometri.
Indeks Massa
Tubuh (IMT)
berdasarkan
tabel IMT
anak usia 2 -
20 tahun
(lampiran 2)
3.5. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk memperoleh
data penelitian, instrumen dalam penelitian ini yaitu uji laboratorium,
(Notoatmodjo, 2002:48).
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan cacing adalah :
1) Mikroskop
2) objek glass
3). Dek glass
4). Lidi
Bahan : lugol atau NaCl 0,9 %
Alat dan bahan yang diperlukan untuk uji Hb darah adalah :
1) Henometer Sahli
2) reagen HCl 0,1 N
3) Pipet Hb Sahli
4) Darah
5) Aquadest
71
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan. Pengumpulan data dalam penelitian
ini berupa data primer dan data sekunder.
3.6.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah Anemia dan Kecacingan serta
status gizi anak SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala.
Metode pengambilan data : dengan uji laboratorium
Uji Laboratorium
3.6.1.1 Pemeriksaan cacing
Pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing secara mikroskopis adalah
sebagai berikut :
* Preparat kering, dengan lidi feses digosokan pada object gelas secara merata ,
tunggu dulu sampai kering, baru diberi + 5 tetes paraffin liquidum sampai rata
dan dilihat dengan mikroskop. Tampak warna Ascaris lumbricuides dan
Trichusris trichiura berwarna kekuningan, sedangkan telur Ancylostoma
duodenale berwarna putih.
3.6.1.2. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb)
72
Pemeriksaan Hb untuk mendapatkan hasil yang cepat maka di gunakan
alat Hemotest. Adapun langkah-langkah yang di lakukan :
1. Masukan HCl 0,1 N ke dalam tabung pengencer henometer sampai pada
angka 2
2. Isap darah dengan pipet hemoglobin sampai garis tanda 0,02 ml
3. Bersihkan darah yang melekat pada ujung pipet
4. Alirkan darah dari pipet ke dasar tabung pengencer yang tadi berisi HCl,
hati-hati jangan sampai timbul gelembung udara.
5. Bilas sisa darah yang menempel pada pipet dengan cara mengisap HCl yang
ada dalam tabung tersebut, ditiup lagi dan lakukan 2 – 3 kali
6. Campur isi tabung sampai homogen, masukkan dalam alat pembanding dan
diamkan selama 5 menit untuk pembentukan hematin asam.
7. Tambahkan aquades tetes demi tetes sambil diaduk, sampai warna larutan
sama dengan warna gelas dari alat pembanding.
8. Baca skala pada tabung yang menunjukan kadar Hb. (Praktikum Biokimia ,
2004)
3.6.1.3 Status gizi
Data status gizi diperoleh dengan menggunakan indeks BB/TB dengan
standar WHO NCHS
1) Berat Badan
Diperoleh dengan cara penimbangan berat badan dengan menggunakan
timbangan injak dengan ketelitian 0,1 Kg yang telah dikalibrasi. Pengukuran
berat badan dilakukan tanpa menggunakan alas kaki, dan pakaian seminimal
mungkin.
73
2) Tinggi Badan
Tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat Microtoise, yaitu dengan
memilih lantai yang rata dan tegak lurus dengan dinding 90 °C kemudian pita
ditarik sampai tepat angka nol (0) lalu di ujung pita dipaku pada tempat yang
disediakan dengan kuat.
Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data jumlah anak sekolah dan
lain-lain.
3.7. Teknik analisa data
3.7.1. Pengolahan Data
Dalam proses pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa
langkah yang harus ditempuh, diantaranya:
1. Editing
Memeriksa kembali data - data yang telah dikumpulkan apakah ada
kesalahan atau tidak.
2. Coding
Pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban yang bersifat
kategori.
3. Tabulating
Penyusunan / perhitungan data berdasarkan variable yang diteliti.
74
4. Cleaning
Membersihkan data dan melihat variable yang digunakan apakah
datanya sudah benar atau belum
5. Describing
Menerangkan hasil penelitian dari rekapan data. Teknik pengolahan data
penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data hasil pengamatan yang telah
diuji di laboratorium.
3.7.2 Teknik Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Analisis Univariat
Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi dari masing -
masing variabel independent /bebas (data infeksi kecacingan) dengan anemia
dan status gizi sebagai variabel dependen ( terikat )
b. Analisis Bivariat
Untuk menguji hipotesis hubungan antara variabel bebas (infeksi kecacingan)
dengan variabel terikat (anemia dan status gizi). Uji yang digunakan adalah uji
statistic berupa Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95% (alfa 0,05)
3.8.1 Prosedur Penelitian
Penelitian ini memiliki 3 tahapan yaitu tahap persiapan, tahap penelitian,
tahap perhitungan. Penjelasan lebih lengkapnya yaitu sebagai berikut :
I. Tahap Persiapan
75
Dalam pengamatan dan pengukuran ini peneliti dibantu oleh seorang teknisi
dari Laboratorium Puskesmas Tamban. Langkah-langkah dalam persiapan,
yaitu :
1. Meregister data murid SD yang diambil sampel
2. Menyiapkan alat – alat yang diperlukan untuk penelitian seperti
Habenosahli set , timbangan dewasa, microtoice.
3. Menyiapkan alat-alat tulis untuk pencatatan hasil
II. Tahap Penelitian
1. Pengambilan data sampel feces murid untuk pemeriksaan cacing
2. Pengambilan data sampel darah murid untuk pemeriksaan Hb.
3. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk Hb dilakukan di tempat
penelitian sedangkan feces dilakukan pemeriksaan di laboratorium
Puskesmas Tamban
4. Hasil yang di dapat dicatat dengan membuat Tabel data untuk
mempermudah melihat hasil pemeriksaan.
III. Tahap Perhitungan
Tahap ini dilakukan setelah diperoleh data status gizi, Hb dan Cacing siswa
SD. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan Program
SPSS pada computer.
3.9. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari ada beberapa keterbatasan dalam melakukan penelitian .
Antara lain :
1.Sampel penelitian terbatas jumlahnya, dikarenakan oleh berbagai faktor luar
sehingga hasil dirasa kurang maksimal.
76
2.Instrumen atau kurangnya fasilitas alat penunjang penelitian yang memadai .
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Data
SDN Purwosari I.1 berada di ibukota kecamatan Tamban merupakan salah
satu sekolah dasar negeri dari 32 SD yang ada di Kecamatan Tamban Kabupaten
Barito Kuala. Dengan jumlah murid 150 orang dan 9 orang guru termasuk kepala
sekolah
Tabel 1 Keadaan Siswa SDN Purwosari I.1 Tahun Ajaran 2009/2010
KELAS JUMLAH SISWA
L P JUMLAH
I 17 11 28
II 17 16 33
III 14 13 27
IV 13 14 27
V 12 13 25
VI 6 14 20
JUMLAH 79 71 150
77
4.1.2 Distribusi Responden berdasarkan Umur Anak SD
Tabel. 2 Distribusi Responden menurut Umur Siswa
No Umur Frekuensi Persentase (%)
1 6 15 15 %
2 7 10 10 %
3 8 23 23 %
4 9 26 26 %
5 10 6 6 %
6 11 2 2 %
7 12 8 8 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan hasil penelitian didapat Frekuensi umur dari 100 siswa kelas I, II,
III Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala
Tahun 2010 yang berumur 6 tahun berjumlah 15 siswa (15%) , berumur 7 tahun
berjumlah 23 siswa (23 %), berumur 8 tahun berjumlah 23 siswa (23%), berumur 9
tahun berjumlah 26 siswa (26 %) dan berumur 10 tahun 6 siswa (6%), berumur 11
berjumlah 2 siswa dan 12 tahun 8 siswa berjumlah 8 siswa(Tabel. 2)
4.1.3 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin
Tabel.3 .Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin Siswa
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 Laki-laki 48 48 %
78
2 Perempuan 52 52 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa frekuensi siswa yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 48 siswa ( 48 %) dan yang berjenis kelamin perempuan
berjumlah 52 siswa (52 % )
4.1.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua Siswa
Tabel. 4 Distribusi Responden berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Siswa
No Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)
1 PNS 10 10 %
2 Buruh tani 15 15 %
3 Petani 65 65 %
4 Wiraswasta 5 5,0 %
5 Pedagang 5 5,0 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan frekuensi orang tua siswa yang bekerja
sebagai petani sebanyak 65 siswa (65%) , orang tua siswa yang bekerja sebagai
pedagang sebanyak 5 siswa (5%) , orang %tua siswa yang bekerja sebagai wiraswasta
sebanyak 2 orang (5%), orang tua siswa yang bekerja sebagai buruh tani 15 siswa (15)
dan orang tua siswa yang bekerja sebagai PNS sebanyak 10 orang (10 %).
4.1.4 Distribusi Kejadian Penyakit Cacingan
Tabel. 5 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan
No Infeks Cacing Frekuensi Persentase (%)
1 Positif 8 8 %
2 Negatif 82 82 %
79
Jumlah 100 100%
Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siwa yang positif cacingan yaitu terinfeksi
cacing kremi (Enterobius vermicularis) sebanyak 8 siswa dan negatif cacingan
sebanyak 82 siswa . Siswa sebagian besar 82 % tidak terinfeksi cacingan ini
dikarenakan sebagian besar orang tua siswa sudah memberikan obat cacing kepada
anaknya sebelum pelaksanaan penelitian.
4.1.5 Distribusi Kejadian Anemia
Tabel. 6 Distribusi Responden berdasarkan Status Anemia
No Kejadian Penyakit Anemia Frekuensi Persentase (%)
1 Anemia 16 16%
2 Tidak Anemia 84 84 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siswa yang Anemia sebanyak 6 siswa dan yang
tidak Anemia sebanyak 34 siswa . Sebagian besar siswa tidak anemia karena beberapa
orang tua siswa sudah memberikan suplemen makanan seperti Curcuma Plus, Biolysin
dan lain-lain.
4.1.6 Distribusi berdasarkan status Gizi
Tabel. 7 Distribusi Responden berdasarkan Status Gizi
No Status Gizi Frekuensi Persentase (%)
1 kurus 16 16 %
2 normal 84 84 %
Jumlah 100 100 %
80
Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siswa dengan status gizi kurus
sebanyak 16 siswa (16 %) dan yang normal sebanyak 84 siswa (84%)
4.1.7 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan dengan
Anemia
Tabel. 8 Distribusi Responden berdasarkan
Infeksi Kecacingan dengan Anemia
No Infeksi cacing Status anemia Jumlah p X2
Positif Negatif
1 Positif 5 3 8 0,004
14,38
2 Negatif 8 84 92
Jumlah 13 87 100
Tabel 8 menunjukan bahwa siswa SD yang anemia dan positif terinfeksi
cacing sebanyak 5 siswa (5%), siswa SD yang Anemia dan negatife terinfeksi cacing
sebanyak 8 siswa (8 %) , sedangkan siswa SD yang tidak anemia tetapi positif
terinfeksi cacing sebanyak 8 siswa (8 %) , siswa SD yang tidak anemia dan tidak
terinfeksi cacing sebanyak 92 siswa (92 %).
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji Fishers exact test
dengan nilai p = 0,004 dibawah nilai α (0,05) maka nilai p < α . Interprestasi hasil uji
statistic adalah Ho ditolak artinya terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi
kecacingan dengan anemia.
4.1.8 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dan Status Gizi
81
Tabel. 9 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dan Status Gizi
No Anemia Status gizi Jumlah p X2
Kurus Normal
1 Positif 6 12 18 0,599
0,99
2 Negatif 35 47 74
Jumlah 41 59 100
Tabel 9 menunjukkan bahwa siswa SD yang mempunyai status gizi kurus
dengan anemia sebanyak 6 siswa (6 %), siswa SD dengan status gizi normal yang
anemia sebanyak 12 siswa (12 %) , siswa SD yang status gizinya kurus dan tidak
anemia sebanyak 35 siswa (35 %) dan siswa dengan status gizi normal yang tidak
anemia sebanyak 59 siswa (59 %).
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji Fishers exact dengan
nilai p = 0,0599 diatas nilai α = 0,05 maka p> α . Interpretasi hasil uji statistik adalah
tidak ada hubungan bermakna antara anemia dengan status gizi.
4.1.9 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Cacing dengan Status Gizi
Tabel. 10 Distribusi Responden berdasarkan
Infeksi Cacing dengan Status Gizi
No Infeksi
cacing
Status gizi Jumlah p X2
Kurus Normal
1 Positif 2 6 8 0,466
1,31
2 Negatif 39 53 92
Jumlah 41 59 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa siswa SD yang positif terinfeksi cacing dengan
status gizi kurus sebanyak 2 siswa (2 %), siswa yang positif terinfeksi cacingan
dengan status gizi normal sebanyak 6 siswa (6 %), siswa yang tidak terinfeksi
82
cacing dengan status gizi kurus sebanyak 39 siswa (39 %) dan siswa yang tidak
terinfeksi cacing dan status gizinya normal sebanyak 53 siswa (53 %).
Berdasarkan uji statistic dengan Fishers exact dengan nilai p = 0,456 diatas
nilai α = 0,05 maka nilai p > α berarti Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara infeksi kecacingan dengan status gizi.
B. Pembahasan
3. Tingkat Kejadian Penyakit Cacingan
Infeksi Cacingan merupakan salah satu penyebab terjadinya Anemia dan
kekurangan status gizi pada anak-anak. Dampak dari penyakit cacingan sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas mutu intelegensia anak.
Penyakit cacingan lebih banyak menyerang pada anak Sekolah Dasar atau
Madrasah Ibtidaiyah di karenakan aktifitas mereka yang lebih banyak
berhubungan dengan tanah. Diantara cacing tanah yang ada yang sering
menyerang adalah Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
Americanus),Cacing Cambuk (Trichuris trichihura) dan Cacing Kremi (Enterobius
Vermicularis). Cacing sebagai parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus
anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat
gizi tersebut. Anak yang terinfeksi cacingan biasanya mengalami lesu, pucat atau
anemia, berat badan menurun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, kadang
disertai batuk-batuk.
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa siswa sebagian besar 82 % tidak
terinfeksi cacingan ini dikarenakan sebagian besar orang tua siswa sudah
memberikan obat cacing kepada anaknya sebelum pelaksanaan penelitian. Siswa
yang positif terinfeksi cacingan (Cacing Kremi) sebanyak 8 orang (8%).
83
Dihubungkan dengan konsep dan teori tentang infeksi cacingan pada anak sekolah
dasar di harapkan relevan dengan fakta yang ada bahwa semakin sering anak main
dengan tanah dan tidak menjaga higiene dan sanitasi maka akan mudah terinfeksi
cacingan, oleh sebab itu perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan kesehatan
rutin.
2. Tingkat Kejadian Anemia Anak Sekolah
Hasil penelitian dari 100 anak sekolah dasar menunjukkan bahwa anak
sekolah sebagian besar tidak mengalami (84 %) , sedangkan 16 orang mengalami
anemia (16 %). Hal ini dikarenakan sebagian besar dari anak sekolah dasar sudah
mengkonsumsi makanan dengan gizi yang baik dan tidak terinfeksi cacingan.
Selain itu adanya pemberian suplemen oleh orang tua siswa semakin menambah
tingkat kesehatan siswa lebih baik. Sedangkan pada 16 orang siswa yang
mengalami anemia resiko anemia pada siswa perempuan lebih tinggi dibanding
siswa laki-laki karena pada siswa perempuan mengalami masa menstruasi pada
usia remaja, sehingga perdarahan yang keluar jika terlalu banyak dapat
menyebabkan anemia. Oleh sebab itulah mengapa pada anak siswa perempuan
atau remaja putri dianjurkan mengkonsumsi tablet tambah darah sebagai langkah
pencegahan anemia. Karena pada masa ini kebutuhan akan zat besi meningkat dari
biasanya dan tidak hanya cukup dari makan saja.
Di Indonesia prevalensi anemia pada anak sekolah berdasarkan Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan 47,3% dan sebagian
besar penyebabnya karena kekurangan zat besi mencakup sekitar 25 – 40 % .
Kondisi ini menurunkan daya tahan siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang
gairah belajar dan tidak cepat tanggap.
84
3. Tingkat Status Gizi Siswa Sekolah Dasar
Berdasarkan hasil penelitian 100 anak menunjukan bahwa siswa sekolah
dasar sebagian besar mempunyai status gizi normal sebanyak 84 siswa (84 %) . ini
menunjukan bahwa tingkat status gizi siswa baik yaitu antara asupan zat gizi dan
kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai keperluan proses biologi adalah
seimbang. Keseimbangan zat gizi dapat mempengaruhi pertumbuhan,
perkembangan, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan, aktivitas dan lain – lain
(Abas Basuni, 2003).
Sedangkan 16 orang siswa mengalami status gizi kurus (16 %) penyebabnya
adalah kurangnya asupan gizi dan tinggi aktifitas siswa (main), kondisi ini harus
segera di tangani menurut Soeharjo (1989) status gizi adalah sehat individu-
individu atau kelompok yang ditentrukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi
dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak
fisiknya diukur secara antropometri.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebagian anak Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah masih mengalami masalah gizi yang serius. Hasil kegiatan
Pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah tahun 1998 menunjukan bahwa
37,8 % anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang baru masuk sekolah
menderita Kurang Energi Protein (KEP). Hal ini perlu adanya pengawasan dan
konseling gizi kepada siswa dan juga orang tua siswa.
4. Hubungan Infeksi Cacing dengan Anemia
Berdasarkan hasil penelitian pada siswa Sekolah Dasar yang positif terinfeksi
cacing tetapi tidak anemia sebanyak 3 orang (3 %). Ini berarti siswa yang
terinfeksi cacing tidak mengalami anemia ini bisa terjadi karena jenis cacing yang
85
terdeteksi adalah karena cacing kremi, karena infeksi cacing ini relatif tidak
berbahaya .Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi disekitar anus, perinium
dan vagina karena cacing betina yang mau bertelur biasanya bermigrasi di daerah
ini. Penderita juga sering menggaruk daerah anusnya, dan biasanya pada malam
hari sehingga terganggu tidurnya dan menjadi lemah . cacing kremi dapat sembuh
sendiri jika tak ada pengobatan pun infeksi dapat berakhir. Cara yang dilakukan
adalah dengan memutus mata rantai cacing kremi tersebut yaitu dengan melakukan
pencegahan infeksi dan peningkatan kebersihan. Misalnya kuku selalu dipotong
pendek, tangan dicuci sebelum makan. Siswa yang positif anemia tetapi tidak
terinfeksi cacing sebanyak 8 orang (8 %). Ini berarti anemia yang dialami siswa
sekolah dasar di tempat penelitian bukan disebabkan karena penyakit cacingan,
melainkan mungkin disebabkan faktor lain . Sedangkan siswa yang terinfeksi
cacing dengan anemia ada 5 orang (5%) . Infeksi cacingan mengganggu masukan
makan, penyerapan, penyimpanan serta penggunaan berbagai zat gizi, termasuk zat
besi.
Pada masyarakat pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi
lingkungan buruk, angka kesakitan akibat infeksi virus, kecacingan dan bakteri tinggi.
Dalam masyarakat tersebut makanan yang sering di makan mengandung sangat sedikit
energi. Kalau keseimbangan zat besi goyah , episode infeksi yang berulang-ulang
dapat menyebabkan terjadinya anemia (Maeyer, 1995).
Anemia bisa disebabkan bukan hanya oleh defisiensi zat besi tetapi juga oleh
kondisi-kondisi lain seperti penyakit Malaria, Cacing Tambang (Ancylostomiasis atau
Necatoriasis), Schistomosiasis dan infeksi – infeksi lain berperan penting di daerah –
daerah yang beriklim tropis (Maeyer, 1995). Kelebihan zat besi yang berlebihan pada
86
pendarahan termasuk haid yang berlebihan, sering melahirkan dan pada infeksi cacing
dimana cacing menyebabkan banyak darah yang keluar, sehingga mengganggu
keseimbangan zat besi dimana zat besi yang dikeluarkan lebih banyak dari zat besi
yang masuk menyebabkan seseorang mengalami anemia berat (kadar Hb < 8 gr%).
Upaya pencegahan dan penanggulangan selain pada anemianya, harus di lakukan
pengobatan terhadap penyakit-penyakit yang melatarbelakangi terjadinya anemia
(Depkes RI, 1999).
Dari hasil beberapa penelitian permasalahan gizi yang menonjol pada anak
sekolah dasar adalah kekurangan zat besi mencakup sekitar 25 – 40 %. Kondisi ini
dapat menurunkan daya tahan, siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang gairah
belajar dan tidak cepat tanggap. Hal ini diperburuk lagi dengan di jumpainya
gangguan infeksi kecacingan yaitu sebesar 40-70% merupakan angka yang cukup
tinggi. Apabila keadaan ini berlangsung lama akan memberi dampak terhadap
status gizi anak (Forum Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat , 1997).
5. Hubungan Anemia dengan Status Gizi
Berdasarkan tabel 8 siswa dengan anemia dan status gizi kurus sebanyak 6
orang (6%). Hal ini dikarenakan anak mengalami masa pertumbuhan yang cepat,
maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu di tambahakan kepada jumlah
zat besi yang dikeluarkan lewat bassal. Selain itu anak membutuhkan zat besi
untuk menambah massa sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Sel –
sel darah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati dan
diganti dengan yang baru. Apabila dalam makanan tidak terdapat zat besi yang
cukup maka pembentukan sel-sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh
87
anak akan terganggu , yang memberi dampak pada status gizi anak (Mahdi dkk,
1999).
Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang di
transport ke sel tubuh maupun otak. Anemia sedang dan ringan dapat
menimbulkan gejala 5 L yaitu letih, lesu, lemah, lelah dan lalai, samping itu
seringkali disertai keluhan pusing dan mata berkunang-kunang dan penderita
anemia akan menurunkan kemampuan atau prestasi belajar. Hal ini tentu saja
sangat merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (Depkes RI,
1999).
Anemia pada anak dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan, baik pada sel tubuh maupun sel otak, sehingga anak yang anemia
akan mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang
optimal, anak menjadi kurang cerdas, daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah
terkena penyakit infeksi (Depkes RI, 1999).
Siswa yang tidak mengalami anemia tetapi dengan status gizi kurus
sebanyak 35 orang(35%). Ini menunjukan bahwa sebagian besar siswa SDN
Purwosari I.1 Kecamatan Tamban adalah sehat tetapi karena asupan makan yang
kurang menyebabkan status gizinya menjadi kurang. Keadaan ini dapat diatasi
dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang sesuai dengan
kebutuhan tubuh siswa.
6. Hubungan Infeksi Kecacingan dengan Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian 100 siswa yang terinfeksi cacing dengan status
gizi kurus sebanyak 2 siswa (2%). Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk
sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam
88
tubuh. Antara gizi buruk dan penyakit infeksi sesungguhnya mempunyai timbal
balik yang sangat erat, sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari
kedua keadaan itu yang datang lebih dulu. Dalam banyak kejadian terjadi
sinergisitas antara gizi buruk dan penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja
sangat fatal (Moehji, 2003).
Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh.
Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limphoid yang berperan dalam
sistem kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi
lemah, kekebalan seluler yang dimungkinkan oleh berfungsinya kelenjar thymus
berkurang karena kelenjar thymus mengecil akibat kekurangan gizi. Produksi
berbagai antibodies juga berkurang disamping terjadi atropi pada dinding usus
menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan
masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Keseluruhan gangguan pada sistem
pertahanan tubuh itu berlangsung serentak pada penderita gizi buruk sangat mudah
terserang penyakit lebih-lebih jika lingkungan anak tidak mendukung (Moehji,
2003).
Sebaliknya penyakit infeksi seperti kecacingan yang menyerang anak
menyebabkan gizi anak menjadi buruk . Memburuknya keadaan gizi anak akibat
penyakit infeksi adalah akibat beberapa hal antara lain : Turunnya nafsu makan
anak akibat rasa tidak nyaman yang dialami, sehingga masukan zat gizi berkurang
padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak terutama untuk
mengganti jaringan tubuhnya yang rusak akibat bibit penyakit itu , penyakit infeksi
sering dibarengi oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan
cairan dan sepuluh zat gizi seperti berbagai mineral dan sebagainya, dan adanya
89
diare menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan juga terganggu, sehingga
keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk, naiknya metabolisme basal akibat
demam dapat menyebab termobilisasinya cadangan energi dalam tubuh.
Penghancuran jaringan tubuh oleh bibit penyakit juga akan semakin banyak dan
untuk menggantinya diperlukan masukan protein yang lebih banyak (Moehji,
2003).
Status gizi kurang atau buruk dapat meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit infeksi dan memperberat infeksi tersebut juga penyakit infeksi akan
memperburuk status gizinya (Rudiansyah, 2000).
Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau
menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan. Parasit dalam usus
seperti cacing gelang dan sebagainya bersaing dengan tubuh dalam memperoleh
makanan dan dengan demikian menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan
yang demikian membantu terjadinya kurang gizi (Suhardjo, 1996).
Akibat penghisapan zat – zat makanan dan darah oleh cacing , semakin
lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh sehingga
menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun ( Brown,
1989) .
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Jumlah yang terinfeksi cacing adalah sebanyak 8 siswa dengan jenis cacing
yang ditemukan dari hasil penelitian adalah cacing kremi (Enterobius
Vermicularis).
2. Jumlah yang positif anemia adalah sebanyak 16 siswa (16 %) sedangkan yang
tidak anemia sebanyak 84 siswa (84 %).
3. Jumlah siswa dengan status gizi kurus sebanyak 16 orang (16 %) sedangkan
siswa dengan status gizi normal sebanyak 84 orang atau 84 % dari total
sampel yang diteliti.
4. Jumlah siswa yang positif terinfeksi kecacingan dengan anemia adalah 5 orang
(5 %) , negatif terinfeksi cacingan dengan anemia 8 orang (8 %), positif
terinfeksi cacingan dan tidak anemia sebanyak 3 orang (3 %) sedangkan yang
tidak terinfeksi cacingan dan tidak anemia sebanyak 84 orang atau 84 % dari
91
total sampel yang diteliti dengan hasil uji statistik terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian infeksi kecacingan dengan anemia.
5. Jumlah siswa yang anemia dengan status gizi kurus sebanyak 6 orang (6 %),
tidak anemia dengan status gizi kurus sebanyak 35 orang (35 %), siswa
yang anemia dengan status gizi normal sebanyak 12 orang sedangkan yang
tidak anemia dan status gizinya normal sebanyak 47 orang atau 47 % dari total
sampel yang diteliti. dengan hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan anemia.
6. Jumlah siswa yang terinfeksi cacingan dengan status gizi kurus sebanyak 1
orang (1 %) , Positif terinfeksi cacingan dengan status gizi normal sebanyak 3
orang (3 %), tidak terinfeksi cacingan dengan status gizi kurus sebanyak 39
orang (39 %) sedangan yang tidak terinfeksi cacingan dan status gizinya
normal sebanyak 57 orang atau 57 % dari total sampel yang diteliti. dengan
hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi
dengan infeksi kecacingan.
B. Saran
1. Adanya kebijaksanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Barito Kuala mengenai
program pencegahan dan pengobatan penyakit cacingan.
2). Meningkatkan kerjasama antara kepala sekolah dan guru untuk memberi
bimbingan, pengarahan tentang higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
kepada siswa dalam upaya menurunkan prevalensi penyakit cacingan.
3). Diharapkan ada peran serta orang tua dalam usaha pencegahan dan
pengobatan penyakit cacingan dan anemia
92
DAFTAR PUSTAKA
Abas Basuni, Jahari (2003). Pemantauan pertumbuhan balita, pusat penelitian dan
pengembangan gizi dan makanan . Jakarta; Pusat Penelitian dan pengembangan
kesehatan; 1-3
Almatsier ,Sunita (2002). Prinsif Dasar Ilmu Gizi. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka
Utama,
Damayanti, Didit (1996). Modul Kuliah Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan . Jakarta :
Akademi Gizi Jakarta : 16
Depkes RI (2006) Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424 / MENKES /
SK/VI, Pedoman Pengendalian Cacingan, Jakarta.
Effendi, Oeswari, 1991, Penyakit dan Penanggulangannya, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Depkes RI(1991)Parasitologi Medik Helmintologi. Pendidikan Tenaga Kesehatan : 18,
33 – 37
Depkes RI (1990) Pedoman Pemberian Tablet Besi-Folat dan Sirup Besi Bagi
Petugas. Jakarta; Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2 – 6, 14 -15
93
Depkes RI,(1989) Anak Anda Pada Umur 6 – 12 Tahun. Jakarta; Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan; 1 ,1989
Direktorat Gizi Masyarakat (2005). Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar
dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta : Depkes RI ,
Depkes RI (1996) , 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang . Jakarta, Direktorat bina gizi
masarakat
Direktorat Gizi Masyarakat.(2005) Anemia Gizi dan Tablet Tambah Darah (TTD)
untuk Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI,
Forum Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat,(1997). Pedoman Pelatihan Program
Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Tingkat Desa/Kelurahan, Jakarta.
Herdinaman T. Pohan .(2007 Penyakit Cacing yang ditularkan melalui Tanah
Hal.1764 – 1766.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III E) Edisi IV .Jakarta :
FKUI,
Hardiman T. Pohan .(2007) Pendekatan Terhadap Pasien Anemia Hal 622 – 658 Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV .Jakarta : FKUI.
Harold W Brown,(1989).Dasar Parasitologi Klinis , Jakarta; Gramedia
HKI Indonesia (1997) Di sampaikan pada Sosial Marketing Sumber Vitamin A Alami
di Banjarmasin :1 – 5
Maeyer, De E.M,(1995) Pencegahan dan Pengawasan Anemia Difisiensi Bes. Jakarta,
Widya Medika ; 4 – 5, 9 – 10.
Muchtadi, Deddy dkk, 1993 Metabolisme Zat Besi, Sumber, Fungsi dan Kebutuhan
bagi Tubuh Manusi. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan; 154 -155
94
Mahtadin, A.Husaini dkk (1999) Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi
Dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program
Jakarta , Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes dengan Pusat
Penelitian dan pengembangan Gizi : 17, 37, 59, 114
Moehji, Sjahmien (2003) Ilmu Gizi 2, Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Papas
Sinar Sianati :73, 93
Notoadmojo,Syamien (1993), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka
Cipta:121
Notoatodjo ,Soekidjo, 2002, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatodjo ,Soekidjo, 2003 Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsif – prinsif Dasar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Peter J. Hotes, 2003, Soil Transmitted Helminth infection: The Nature, Causes and
Burden of the condition, WHO: Departemen of Mikrobiologi and Tropical
Medicine The George Washington University.
Praktikum Biokimia Gizi (2004) Laporan Praktikum Biokimia Gizi Politeknik
Kesehatan Banjarmasin : 18. Banjarmasin
Puslitbang Gizi Bogor (1990) Penelitian Sistem Distribusi Preparat Besi Pada
Wanita Hamil dan Anak Pra Sekolah Untuk Mengatasi Anemia : 18, 25.Buku
Ajar untuk Kader Gizi Tentang Anemia atau Kurang Darah.
Riyadi, Hadi. (2001) Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri.
Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor :3,5 – 6
95
Rudiansyah (2000) Makalah Pengantar Epidemiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
Srisasi Gandahusada, 2000, Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta: EGC
Supariasa,I Dawa Nyoman dkk.(2002), Penilaian Status Gizi. Jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran
Tan Huan Tjay dkk.(2002) Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya .Jakarta: PT. Elex Med
UP. KTI, 2010 ,Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Edisi ke Banjarbaru :
STIKES Husada Borneo
96
LAMPIRAN