Skripsi ( Hal 28)

96
1 SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN DENGAN ANEMIA DAN STATUS GIZI PADA SISWA SDN PURWOSARI I.1 KECAMATAN TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA TAHUN 2010 Oleh : SRI YANI WIJIANINGSIH NIM : 08S1AJ0014 PROGRAM STUDI S1 GIZI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA BORNEO BANJARBARU TAHUN 2011

description

contoh

Transcript of Skripsi ( Hal 28)

Page 1: Skripsi ( Hal 28)

1

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN

DENGAN ANEMIA DAN STATUS GIZI PADA SISWA

SDN PURWOSARI I.1 KECAMATAN TAMBAN

KABUPATEN BARITO KUALA

TAHUN 2010

Oleh :

SRI YANI WIJIANINGSIH

NIM : 08S1AJ0014

PROGRAM STUDI S1 GIZI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HUSADA BORNEO BANJARBARU

TAHUN 2011

Page 2: Skripsi ( Hal 28)

2

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN

DENGAN ANEMIA DAN STATUS GIZI PADA SISWA

SDN PURWOSARI I.1 KECAMATAN TAMBAN

KABUPATEN BARITO KUALA

TAHUN 2010

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Sarjana Gizi (S.Gz)

Oleh :

SRI YANI WIJIANINGSIH

NIM : 08S1AJ0014

PROGRAM STUDI S1 GIZI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HUSADA BORNEO BANJARBARU

TAHUN 2011

Page 3: Skripsi ( Hal 28)

3

HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sri Yani Wijianingsih

NIM : 08S1AJ0014

Program Studi : Gizi

Judul Skripsi : Hubungan Antara Infeksi Kecacingan dan Anemia

dengan Status Gizi Pada Murid SD di SDN Purwosari

I.I Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun

2010

Dengan ini saya menyatakan bahwa hasil penulisan skripsi yang telah saya buat

ini merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak melakukan pelanggaran sebagai

berikut :

• Plagiasi tulisan maupun gagasan

• Rekaya data dan manipulasi data

• Meminta tolong atau membayar orang lain untuk meneliti

• Mengajukan sebagian atau seluruh karya ilmiah untuk publikasi atau untuk

memperoleh gelar atau sertifikat atau pengakuan akademik atau profesi di

tempat lain

Apabila terbukti saya melakukan pelanggaran tersebut di atas, maka saya bersedia

menerima sanksi berupa pencabutan gelar akademik.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak dipaksakan.

Penulis,

(Sri Yani Wijianingsih)

Page 4: Skripsi ( Hal 28)

4

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Sri Yani Wijianingsih

NIM : 08S1AJ0014

Skripsi ini telah disetujui untuk di sidangkan

Banjarbaru, 28 Januari 2011

Pembimbing Utama,

Rusman Efendi, SKM, M.Si

NIDN : 121 804 7801

Pembimbing Pendamping,

Muhamad Rayhan, S.Pi

NIDN : 111 003 8601

Page 5: Skripsi ( Hal 28)

5

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Sri Yani Wijianingsih

NIM : 08S1AJ0014

Skripsi ini telah di pertahankan di depan dewan penguji dan disetujui

Pada tanggal : 18 Maret 2011

Penguji 1 (Ketua),

Rusman Efendi, SKM, M.si

NIDN : 121 804 7801

Penguji 2 (Anggota) Penguji 3 (Anggota)

Muhamad Rayhan, S.Psi Ahmad Mahyuni, S.Sos, MPH

NIDN : 111 003 8601 NIDN : 111 010 6502

Diketahui :

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ketua Program Studi SI Gizi

Husada Borneo Banjarbaru

Rusman Efendi, SKM, M.si Norhasanah, S.Gz

NIDN : 121 804 7801 NIDN : 111 909 8402

Tanggal lulus :

Page 6: Skripsi ( Hal 28)

6

ABSTRAK

SRI YANI WIJIANINGSIH : 08S1AJ0014

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI KECACINGAN DENGAN ANEMIA

DAN STATUS GIZI PADA SISWA SDN PURWOSARI I.1

KECAMATAN TAMBAN KABUPATEN BARITO KUALA

TAHUN 2010

Skripsi. Program Studi Gizi. 2011

(xiv + 86 hal + Lampiran)

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa sebagian anak SD dan MI masih mengalami

masalah gizi yang cukup serius. Hasil kegiatan Tinggi Badan Anak Baru Masuk

Sekolah (TBABS) tahun 2005 menunjukan bahwa 37,8% anak SD dan MI yang baru

masuk sekolah menderita KEP, Gaky yang di tandai dengan adanya pembesaran

gondok masih diderita oleh 11,1% anak SD dan MI (2002) dan hasil survey Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukan bahwa 47,3 anak usia sekolah

menderita anemia gizi.

Tujuan penelitian Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dengan anemia

dan status gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito

Kuala Tahun 2010.Jenis penelitian ini adalah dekriptif analitik dengan pendekatan

Cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas I, II, III ,IV

sejumlah 115 siswa. Teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive sampling

kemudian besar sampel diperoleh 100 siswa sebagai sampel. Instrumen yang

digunakan dalam penelitian ini adalah (1) uji laboratorium, (2) timbangan injak, dan

(3) mikrotoa. Data diperoleh (1) uji laboratorium, (2) pengukuran status gizi. Data

yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan rumus statistik uji

Chisquare dengan derajat kemaknaan (α= 0,05). Hasil penelitian mendapatkan tidak

ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan anemia, dengan p > alfa yaitu

0,559 > 0,05 demikian pula pada penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna

antara infeksi kecacingan dengan status gizi p lebih besar dari alfa yaitu 0,466

Kata Kunci: Infeksi Kecacingan, Anemia , Status Gizi, Anak SD

Page 7: Skripsi ( Hal 28)

7

ABSTRACT

SRI YANI WIJIANINGSIH : 08S1AJ0014

THE CORRELATION BETWEEN KECACINGAN'S INFECTIONWITH

ANAEMIA AND NUTRIENT STATE ON SDN PURWOSARI I.1'S STUDENT

TAMBAN'S DISTRICT BARITO'S REGENCY CONFLUENCE

YEAR 2010

Paper. Studi’s Program Nutrient.2011

(xiv + 86 thing + Attachments)

Of many Tujuan penelitian Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dengan

anemia dan status gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban

Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010research are known that plays favorites SD's

child and MI is still experience nutrient problem that adequately serious. Usufruct

Bodies Tall activity New Child Come In School (TBABS) year 2005 menunjukan that

37,8% SD's childs and MI a new one school input suffers To Go To p, Gaky that at

marks by mark sense thyroid amplification be still to be suffered by 11,1% SD's child

and MI (2002) and survey's result Family health (SKRT) year 2005 menunjukan that

47,3 child school age suffer nutrient anaemias. This observational type is dekriptif

analytic with approaching Cross sectional . Population in observational it is i. class

student, II., III.,Iv. a number 115 students. Samples taking tech utilize Purposive is

sampling then outgrows acquired sample 100 students as sample. Instrument that is

utilized in this research is (1 ) quizs laboratory, (2 ) timbangan steps on, and (3 )

mikrotoa. Acquired data (1 ) laboratory quizs, (2 ) nutrient state measurements. Data

that gotten in this research dianalisis utilizes statistic formula test Chisquare with

kemaknaan's degree( α = 0,05).

Observational result get no relationship which wherewith among nutrient state with

anaemia, with p> alpha which is 0,559> 0,05 such too on this research has no

relationship wherewith among kecacingan's infection with nutrient state p greater of

alpha which is 0,466

Key word: kecacingan's infection, Anaemia, Nutrient state, SD's child

Page 8: Skripsi ( Hal 28)

8

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah syukur kehadirat Allah SWT, atas taufiq dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diajukan

sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S1

Gizi Kesehatan Stikes Husada Borneo Banjar Baru. Judul Skripsi adalah “

Hubungan Antara Infeksi Kecacingan Dengan Anemia Dan Status Gizi Pada Siswa

Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala

Tahun 2010”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan

skripsi ini, khususnya kepada:

1. Bapak Rusman Efendi, SKM, Msi selaku Ketua Stikes Husada Borneo

Banjarbaru sekaligus pembimbing utama yang telah memberikan petunjuk dan

bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Norhasanah, S.Gz selaku Ketua Program Studi S1 Gizi Kesehatan Stikes

Husada Borneo Banjar Baru.

3. Bapak Muhamad Rayhan, S.Pi selaku Pembimbing Pendamping yang dengan

sabar dan teliti membantu terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak Bupati Kabupaten barito Kuala yang telah memberikan ijin belajar di

Stikes Husada Borneo Banjarbaru.

5. Bapak Kepala BKD Kabupaten barito Kuala yang telah memberikan

kesempatan untuk melanjutkan sekolah di Stikes Husada Borneo Banjarbaru.

6. Dosen dan staf Program Studi S1 Gizi Kesehatan Stikes Husada Borneo yang

turut membantu dan memberi dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan Tamban yang telah memberikan ijin

tempat penelitian.

8. Kepala Sekolah SDN Purwosari I.1 dan staff yang telah memberikan dukungan

dan bantuan dalam kelancaran proses penelitian.

Page 9: Skripsi ( Hal 28)

9

9. Orang tua tersayang, juga Kakakku yang selalu memberikan doa dan dorongan

yang tulus serta penuh kasih sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan

dan penyusunan skripsi ini.

10. Suami dan anakku tercinta, yang telah sabar dan penuh pengertian selalu

memberikan dukungan moril, materiil serta doa yang tulus sehingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan dan penyusunan skripsi ini.

11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Gizi Alih Jenjang Stikes

Husada Borneo, semoga kekompakan dan kebersamaan kita tetap terjalin.

12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih mempunyai banyak kekurangan,

untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhirnya

semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Banjarmasin, Pebruari 2011

Penulis

Page 10: Skripsi ( Hal 28)

10

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. ......... v

ABSTRAK ................................................................................................... vi

ABSTRACT .................................................................................................. vii

KATA PENGANTAR .................................................................................. viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. x

DAFTAR TABEL .................................................................................. ...... xii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 6

1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 6

1.5 Keaslian Penelitian ........................................................................ 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori ............................................................................... 8

2.2 Landasan Teori .............................................................................. 36

2.3 Kerangka Konsep Penelitian.......................................................... 56

2.4 Hipotesis ........................................................................................ 57

Page 11: Skripsi ( Hal 28)

11

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 58

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 58

3.3 Subjek Penelitian ........................................................................ 58

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................ 58

3.5 Instrumen Penelitian ................................................................... 60

3.6 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 60

3.7 Teknik Analisa Data ................................................................... 62

3.8 Prosedur Penelitian ..................................................................... 64

3.9 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 65

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ..................................................................... 66

4.2 Pembahasan ........................................................................... 72

BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan ................................................................................ 81

5.2 Saran ......................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 83

LAMPIRAN

Page 12: Skripsi ( Hal 28)

12

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel

2.1 Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri.......................... 28

3.4 Definisi Operasional....................................................................................... 55

4.1 Keadaan Siswa SDN Purwosari I.1................................................................ 62

4.2 Distribusi Responden Menurut Umur Siswa.................................................. 62

4.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Sisw...................................... 63

4.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua.................................... 63

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Infeksi Kecacingan................................. 64

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Anemia Gizi........................................... 64

4.7 Distribusi Responden berdasarkan Status Gizi Siswa.................................... 64

4.8 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan deangan Anemia..... 64

4.9 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dengan Status Gizi.................... 65

4.10 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan dengan Status Gizi.. 65

Page 13: Skripsi ( Hal 28)

13

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Siklus hidup Cacing Gelang..................................................................... 9

2.2 Siklus hidup Cacing Tambang................................................................ 13

2.3 Siklus hidup Cacing Gelang .................................................................... 16

2.4 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................... 52

Page 14: Skripsi ( Hal 28)

14

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Gambar Alat-alat Penelitian

2. Tabel IMT anak usia 2 – 20 tahun

3. Tabel Hasil Penelitian

4. Analisis Data dengan Uji Chi Square dengan SPSS

Page 15: Skripsi ( Hal 28)

15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber

daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan

kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan

perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai

mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan

dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh

kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat ,cerdas dan produktif. (Depkes

RI,2002)

Kesehatan , kemampuan, kondisi fisik dan mental serta konsentrasi belajar

antara lain dipengaruhi oleh makanan yang di makan atau masukan zat gizi.

Masukkan zat gizi yang cukup diperlukan agar sesorang mampu menyelesaikan

tugas-tugasnya secara baik dan tepat. Masa sekolah adalah masa pertumbuhan

anak yang cepat dan dalam masa kegiatan fisik yang aktif. Seorang anak dalam

masa ini memerlukan pengarahan dan teladan yang baik serta tepat dalam

pengaturan makanan yang harus dikonsumsi. (Forum Koor. PMT-AS Tk. Pusat

,1997)

Sampai saat ini di Indonesia masih menghadapi masalah gizi seperti Kurang

Energi Protein (KEP) , Kurang Vitamin A (KVA) , Gangguan Akibat Kekurangan

Yodium (GAKY) dan Anemia Gizi. Selain diderita oleh anak balita dan ibu

Page 16: Skripsi ( Hal 28)

16

menyusui serta golongan masyarakat berpenghasilan rendah, masalah tersebut juga

ditemui pada anak usia sekolah.

Kebiasaan hidup kurang higienis menyebabkan angka terjadinya penyakit

masih cukup tinggi. Infeksi parasit terutama parasit cacing merupakan masalah

kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi ini bisa menyebabkan morbiditas. Salah

satunya banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh negatif

terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Infeksi cacingan yang sering

adalah “Soil Transmitted Helminths”(STH) yang merupakan infeksi cacing usus

yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan.

Spesiescacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris

trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (

cacing tambang) (Srisasi Ganda Husada, 2000).

Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di

perkotaan.Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam

perut)berbeda. Hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada

tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk

semua umur berkisar antara 40%-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002

dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-

96,3% (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.424/MENKES/VI, 2006).

Daerah endemi dengan insiden Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura

tinggi salah satunya di daerah kumuh kota Jakarta, infeksi Ascaris trichiura dan

Trichuris trichiura sudah di temukan pada bayi yang berumur kurang dari satu

tahun. Pada umur satu tahun Ascaris lumbricoides dapat ditemukan pada 80-100%

di antara kelompok-kelompok anak tersebut, untuk Trichuris trichiura angkanya

Page 17: Skripsi ( Hal 28)

17

lebih rendah sedikit, yaitu 70%. Usia anak yang termuda mendapat infeksi Ascaris

lumbricoides adalah 16 minggu, sedangkan untuk Trichuris trichiura adalah 41

minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak berdefekasi di saluran air

terbuka dan di halaman sekitar rumah (door yard infection). Karena kebiasaan

seperti defekasi sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, bermain-main di tanah di

sekitar rumah, maka khususnya anak balita terus menerus mendapatkan reinfeksi (

Srisasi Gandahusada, 2000 ).

Menurut Data kunjungan pasien Puskesmas Tamban menerangkan bahwa

jumlah kasus kecacingan dari tahun 2005 – 2010 sebanyak 20 kasus dan yang

terbanyak adalah anak sekolah yaitu 40%.

Menurut D.B. Jellife (1994) meski anak-anak sekolah tidak mencatat angka

kematian yang tinggi pada usia muda, mereka juga mempunyai masalah khusus

seperti halnya kesempatan yang harus mereka miliki keadaan yang sering di

jumpai mencakup malnutrisi sedang, penyakit infeksi (seperti campak), penyakit

cacingan di saluran pencernaan, serangan malaria dan penyakit kulit.

Pada kasus-kasus perdarahan kronis yang disebabkan oleh parasit seperti

cacing tambang, cacing cambuk dan mungkin cacing gelang menyebabkan

kebutuhan akan zat besi meningkat. Cacingan tersebut menenpel pada diding usus

dan memakan darah. Darah yang hilang bervariasi dari 2 – 100 cc perhari,

tergantung pada beratnya infeksi. Sebagian zat besi dalam darah yang dialirkan

oleh cacing di dalam usus akan diserap kembali di saluran gastrointestinal yang

lebih bawah, sedang sisanya terbuang melalui tinja (Maeyer, 1995).

Kekurangan zat besi (Anemia) dapat menimbulkan gangguan atau hambatan

pertumbuhan, baik pada sel tubuh maupun sel otak sehingga anak yang anemia

Page 18: Skripsi ( Hal 28)

18

akan mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang

optimal, anak menjadi kurang cerdas, daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah

terkena penyalit infeksi (Depkes RI,1999).

Akibat penghisapan zat-zat makanan dan menghisap darah oleh cacing,

semakin lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh

sehingga menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun

(Brown, 1989).

Permasalahan gizi yang menonjol pada anak SD adalah kekurang zat besi

mencakup sekitar 25-40%. Kondisi ini menurunkan daya tahan , siswa cepat lelah,

lamban geraknya, kurang gairah belajar dan tidak cepat tanggap. Hal ini

diperburuk lagi dengan dijumpainya gangguan infeksi kecacingan yaitu sebesar 40

– 70 % merupakan angka yang cukup tinggi . Apabila keadaan ini berlangsung

lama akan memberi dampak terhadap status gizi anak (Forum Koordinasi PMT-AS

Tingkat Pusat , 1997)

Berdasarkan data TBABS Puskesmas Tamban tahun 2009 SDN Purwosari

I.1 diperoleh 2 orang siswa dengan kategori sangat pendek , 5 orang siswa pendek

dan siswa dengan status gizi normal sebanyak 21 orang

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa sebagian anak SD dan MI masih

mengalami masalah gizi yang cukup serius. Hasil kegiatan Tinggi Badan Anak

Baru Masuk Sekolah (TBABS) tahun 2005 menunjukan bahwa 37,8% anak SD

dan MI yang baru masuk sekolah menderita KEP, Gaky yang di tandai dengan

adanya pembesaran gondok masih diderita oleh 11,1% anak SD dan MI (2002) dan

hasil survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukan bahwa

47,3 anak usia sekolah menderita anemia gizi.

Page 19: Skripsi ( Hal 28)

19

Karena masih tingginya angka penderita anemia dan infeksi cacingan pada

anak usia sekolah maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menghubungkan

antara kedua penyakit tersebut dengan status gizi anak sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini

adalah adakah hubungan infeksi cacingan dengan anemia dan status gizi pada

siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun

2010”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Ingin mengetahui hubungan infeksi kecacingan dan anemia dengan status

gizi pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala

Tahun 2010.

1.3.2 Tujuan Khusus

1). Mengidentifikasi jenis cacing dan besarnya infeksi kecacingan pada siswa SDN

Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.

2) Mengidentifikasi besarnya Anemia pada siswa SDN Purwosari I.1 Kecamatan

Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.

3) Menilai status gizi siswa SDN Purwosai I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito

Kuala Tahun 2010.

Page 20: Skripsi ( Hal 28)

20

4) Menganalisa hubungan infeksi kecacingan dengan anemia siswa SDN Purwosai I.1

Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.

5) Menganalisa hubungan anemia dengan status gizi siswa SDN Purwosai I.1

Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.

6) Menganalisa hubungan infeksi cacingan dengan status gizi siswa SDN Purwosai

I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

1.4.1 Puskesmas

Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan

dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan

dengan penyakit cacingan dan anemia serta keadaan gizi anak sekolah.

1.4.2 Masyarakat

Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan

serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan , dan

anemia serta mengetahui status gizi terutama pada siswa Sekolah Dasar.

1.4.3 Peneliti

Menambah pengetahuan dalam melaksanakan penelitian khususnya tentang

hubungan penyakit cacingan dan anemia dengan status gizi pada siswa SDN

Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010”.

1.5 Keaslian Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, terdapat perbedaan dengan penelitian

ini perbedaan tersebut yaitu tempat dan waktu penelitian, populasi, serta variabel .

Page 21: Skripsi ( Hal 28)

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1. Penyakit Cacingan

Cacingan merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya merugikan,

manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar daripada

nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah

dan disebut“ Soil Transmitted Helmints” yang terpenting adalah Ascaris

lumbricoides,Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura

(Srisasi Gandahusada, 2000:8).

2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan

berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup

dirongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000

butirsehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam

Page 22: Skripsi ( Hal 28)

22

lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif

dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia,

akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus

menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu

mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu

melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea

melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga

menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus

lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut

memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing

dewasa (Srisasi Gandahusada, 2000:10)

Gambar 1.

LINGKARAN HIDUP CACING GELANG ( Ascaris lumbricoides ) 1)

Page 23: Skripsi ( Hal 28)

23

(Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan : 424/MENKES/SK/VI/,

2006:12).

2.1.1.2 Patofisiologi

Menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan

(2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke

paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang

disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa

biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan

seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat,

terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan

(Malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus

sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) (Effendy,1997).

2.1.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan

dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan

eosinofelia. Orang (anak) yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak

bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Pada anak-anak yang menderita

Ascariasis lumbricoides perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan

perut kembung), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes),

dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang.

Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali

Page 24: Skripsi ( Hal 28)

24

tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan.

Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan

produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar. Karena gejala klinik

yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis

yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut.

Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya

infeksi (dengan cara menghitung jumlah telur cacing) (Surat Keputusan Menteri

Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).

2.1.1.4 Epidemiologi

Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan

tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi

cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama

makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar

tanah dengan telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).

2.1.1.5 Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.

Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya Preparat

piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole. Pemilihan obat

cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:

mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum,

bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing,

harganya murah (terjangkau) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).

Page 25: Skripsi ( Hal 28)

25

2.1.2 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup

Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus

halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan

9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,

cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C

dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah

sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam

tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3

hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat

bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya

kirakira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di

dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250

mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah

menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-

paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring.

Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi

cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut

tertelan bersama makanan (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/, 2006:10)

Gambar 2.

LINGKARAN HIDUP CACING TAMBANG ( Necator americanus ) 3)

Page 26: Skripsi ( Hal 28)

26

(Sumber: Surat Keputusan Menteri KesehataNo:424/MENKES/SK/VI/,

2006:12).

2.1.2.2 Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan

giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang

menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita

mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja

serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya

Page 27: Skripsi ( Hal 28)

27

tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh

banyak sebab (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/,

2006:11).

2.1.2.3 Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak

bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi

kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di samping itu juga

terdapat eosinofilia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan

No:424/MENKES/SK/VI, 2006:11).

2.1.2.4 Epidemiologi

Kejadian penyakit (Incidens) ini di Indonesia sering ditemukan pada

penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan,

khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya

sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah

gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan

buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat

penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Srisasi Gandahusada 2000:15).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus)

dengan suhu optimum 32 0C - 38 0C. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah

dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

2.1.3 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup

Page 28: Skripsi ( Hal 28)

28

Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5

cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan

bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina

diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur

berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan

semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar

berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi

dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan

infektif) dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur

matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi

langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian

larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah

menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens

dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa

betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Srisasi Gandahusada, 2000:17).

2.1.3.2 Patofisiologi

Cacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga

ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak

cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada

mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita

sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus

hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.

Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing

Page 29: Skripsi ( Hal 28)

29

ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:9)

Gambar 3.

LINGKARAN HIDUP CACING CAMBUK ( Trichuris trichiura ) 2)

(Sumber: Surat Keputusan Menteri Nomor: 424/MENKES/SK/VI/2006:10).

2.1.3.3 Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala

klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk

yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare,

Page 30: Skripsi ( Hal 28)

30

disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus

rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi

cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di

dalam tinja (Srisasi Gandahusada, 2000:19).

2.1.3.4 Epidemiologi

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan

tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu

optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagi

pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat

tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara

30-90 %.

Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan

penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang

sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum

makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting

apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi

Gandahusada, 2000:19).

Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol

dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang

dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris

trichiura) adalah Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate (Srisasi

Gandahusada, 2000:19).

JENIS TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH

NO. SPECIES UKURAN BENTUK WARNA KETERANGAN

LAINNYA

Page 31: Skripsi ( Hal 28)

31

1. A.

lumbricoides

(tidak

dibuahi)

60-90 x 40-

60 (micron)

Memanjang

ellipsoidal

Coklat

sampai

coklat tua

Lebih ramping

daripada telur yang

dibuahi, bagian

luar mempunyai

tonjlan kasar dan

lapisan

albuminoid. Pada

bagian dalam

penuh berisi

granul.

2. A.

lumbricoides

(dibuahi),

tanpa lapisan

albumin

(decorticated)

45-70 x 35-

50 (micron)

Oval Jernih Bentuk hampir

menyerupai telur

cacing tambang,

tapi dindingnya

tebal.

3. A.

lumbricoides

(dibuahi,

dengan

lapisan

albumin.

50-70 x 40-

50 (micron)

Lonjong

atau

membulat.

Kuning

kecoklatan

sampai

coklat tua.

Dinding tebal dan

menunjukkan

beberapa lapisan

pada pembesaran

tinggi. Bagian luar

dilapisi oleh

lapisan yang

bertonjol-tonjol,

bergelombang dan

berwarna tengguli.

4. T. trichiura 50-54 x 22-

23 (micron)

Seperti

tempayan/

tong.

Cokat

sampai

coklat tua

Pada kedua

kutubnya

mempunyai

“sumbat”. Bila

baru dikeluarkan

melalui tinja tidak

membelah.

5. Cacing

Tambang

55-75 x 35-

46 (micron)

Oval atau

ellipsoidal

Jernih Dinding telur satu

lapis. Bila baru

dikeluarkan

melalui tinja

intinya terdiri dari

4-8 sel.

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan

tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu

optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagi

pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat

tinggi. Dibeberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara

Page 32: Skripsi ( Hal 28)

32

30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan

pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan

tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan

sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah

penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi

Gandahusada, 2000:19).

Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazoldan

ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan

untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah

Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate (SrisasiGandahusada,

2000:19).

2.1.4 Penyakit Cacing Kremi

2.1.4.1 Daur hidup

Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar

8 - 13 cm dan yang jantan sekitar 2 - 5 cm. Cacing dewasa hidup di sekum, usus

besar dan di usus halus yang berdekatan dengan sekum. Mereka memakan isi

usus manusia.

Perkawinan cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum.

Cacing jantan mati setelah kawin dan cacing betina mati setelah bertelur. Cacing

betina yang mengandung 11.000 – 15.000 butir telur akan bermigrasi ke daerah

sekitar anal untuk bertelur. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah

dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai

13 hari.

2.1.4.2 Penyebab

Page 33: Skripsi ( Hal 28)

33

Cacing Enterobius vermicularis infeksi biasanya terjadi melalui 2 tahap.

Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian,

seprei atau mainan. Kemudian melalui jari-jari tangan, telur cacing pindah ke

mulut anak yang lainnya dan akhirnya tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup

dari udara kemudian tertelan. Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas

di dalam usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar

(proses pematangan ini memakan waktu 2-6 minggu). Cacing dewasa betina

bergerak ke daerah di sekitar anus (biasanya pada malam hari) untuk menyimpan

telurnya di dalam lipatan kulit anus penderita. Telur tersimpan dalam suatu

bahan yang lengket. Bahan ini dan gerakan dari cacing betina inilah yang

menyebabkan gatal-gatal. Telur dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia

selama 3 minggu pada suhu ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas

lebih cepat dan cacing muda dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus

bagian bawah.

2.1.4.3 Gejala

Gejalanya berupa:

a. rasa gatal hebat di sekitar anus.

b. rewel ( karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu )

c. kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam

hari ketika cacing betina dewasa bergerak ke daerah anus dan

menyimpan telurnya disana ).

d. nafsu makan berkurang, berat badan menurun ( jarang terjadi, tetapi

bisa terjadi pada infeksi yang berat )

e. rasa gatal atau iritasi vagina ( pada anak perempuan, jika cacing

dewasa masuk ke dalam vagina )

Page 34: Skripsi ( Hal 28)

34

e. kulit di sekitar anus menjadi lecet atau kasar atau terjadi infeksi

( akibat penggarukan ).

2.1.4.4 Komplikasi

- Salpingitis (peradangan saluran indung telur)

- Vaginitis (peradangan vagina)

- Infeksi ulang.

2.1.4.5. Diagnosa

Cacing kremi dapat dilihat dengan mata telanjang pada anus penderita,

terutama dalam waktu 1-2 jam setelah anak tertidur pada malam hari. Cacing

kremi berwarna putih dan setipis rambut, mereka aktif bergerak. Telur maupun

cacingnya bisa didapat dengan cara menempelkan selotip di lipatan kulit di

sekitar anus, pada pagi hari sebelum anak terbangun. Kemudian selotip tersebut

ditempelkan pada kaca objek dan diperiksa dengan mikroskop.

2.1.4.6 Pengobatan

Infeksi cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal

obat anti-parasit mebendazole, albendazole atau pirantel pamoat. Seluruh

anggota keluarga dalam satu rumah harus meminum obat tersebut karena infeksi

ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya. Untuk mengurangi

rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus

sebanyak 2-3 kali/hari

Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang

masih hidup terus dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan.

Pakaian, seprei dan mainan anak sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan

telur cacing yang tersisa.

Page 35: Skripsi ( Hal 28)

35

Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi

cacing kremi adalah:

1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar

2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku

3. Mencuci seprei minimal 2 kali/ming

4. Mencuci jamban setiap hari

5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari

tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya

6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut.

2.1.4.7 Pencegahan

Sangat penting untuk menjaga kebersihan pribadi, dengan menitikberatkan

kepada mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan

makanan. Pakaian dalam dan seprei penderita sebaiknya dicuci sesering

mungkin.

2.1.5 ANEMIA

Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit

lebih rendah dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan

Ht < 41% pada pria atau Hb < 12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita.

Gejala-gejala umum anemia antara lain cepat lelah, takikardi, palpitasi dan

takipnea pada latihan fisik.

Patofisiologi anemia terdiri dari :

1. Penurunan produksi : anemia defisiensi, anemia aplastik, dll.

2. Peningkatan penghancuran : anemia karena perdarahan, anemia hemolitik,

dll.

Page 36: Skripsi ( Hal 28)

36

Beberapa jenis anemia dan penyebab fisologisnya adalah sebagai berikut :

1. Anemia kehilangan darah.

Setelah perdarahan yang cepat tubuh mengganti plasmanya dalam satu atau

dua hari, tetapi konsentrasi sel darah merahnya rendah. Bila perdarahan yang

kedua terjadi , konsentrasi sel darah merah kembali normal dalam tiga

sampai empat minggu. Pada kehilangan darah kronik orang seringkali tidak

dapat mengabsorpsi besi dalam jumlah cukup dari usus untuk membentuk

hemoglobin secepat kehilangannya. Oleh karena itu, sel darah merah

seringkali dibentuk dalam jumlah yang terlalu sedikit dan terlalu sedikit

hemoglobin di dalamnya, menimbulkan anemia mikrositik hipokromik.

2. Anemia Aplastik

Aplasia sumsum tulang berarti fungsi sumsum tulang berkurang. Misalnya,

orang yang terkena penyinaran sinar gamma dari ledakan bom nuklir

biasanya menderita destruksi lengkap dari sumsum tulangnya yang dalam

beberapa minggu diikuti oleh anemia yang mematikan. Hal yang sama,

pengobatan sinar –x yang berlebihan , zat kimia industri tertentu, dan

malahan obat-obatan dimana orang tersebut mungkin menjadi sensitive dapat

menyebabkan efek yang sama.

3. Anemia Makrositi ( kegagalan pematangan) .

Disebabkan oleh kehilangan Vitamin B 12 , asam folat , dan factor intrinsic

dari mukosa lambung. Kehilangan salah satu factor ini dapat menyebabkan

kegagalan pematangan sel darah merah. Jadi atrofi mukosa lambung, seperti

yang terdapat pada anemia pernisiosa, atau kehilangan seluruh lambung

sebagai akibat gastrektomi total dapat mengakibatkan kegagalan

Page 37: Skripsi ( Hal 28)

37

pematangan. Juga penderita yang menderita sprue usus, dimana asam folat,

B12, dan senyawa vitamin B lainnya diabsorpsi dengan tidak baik, sering

menimbulkan kegagalan pematangan. Karena sumsum tulang pada kegagalan

pematangan tidak dapat berproliferasi dengan cukup cepat untuk membentuk

sel darah merah dalam jumlah normal, sel yang dibentuk ukuranya lebih

besar, bentuknya aneh dan mempunyai membrane yang rapuh. Oleh karena

itu, sel mudah pecah, mengakibatkan orang sangat membutuhkan jumlah sel

darah merah yang adekuat.

4. Anemia Hemolitik

Berbagai kelainan sel darah merah yang sebagian besar diperoleh secara

herediter sel-sel sangat rapuh sehingga mereka pecah dengan mudah waktu

mereka melalui kapiler, khususnya melalui limpa. Oleh karena itu, walaupun

jumlah sel darah merah yang dibentuk normal, masa hidup sel darah merah

yang dibentuk normal. Masa hidup sel darah merah demikian pendek

sehingga mengakibatkan anemia yang berbahaya . Beberapa jenis anemia ini

adalah sebagai berikut :

- Sferositosis herediter sel darah merah sangat kecil ukurannya, dan mereka

bentuknya sangat sferis bukan lempeng bikonkaf. Sel-sel ini tidak dapat di

tekan karena mereka tidak mempunyai struktur membrane lempeng bikonkaf

sel normal yang menyerupai kantong yang longgar . Oleh karena itu , waktu

melalui kapiler yang kecil mereka dengan mudah pecah meskipun hanya

dengan sedikit penekanan.

- Pada sickle cell anemia yang terdapat pada sekitar 0,3% Negara Afrika Barat

dan Negro Amerika, sel mengandung Hb abnormal yang disebut HbS ,yang

Page 38: Skripsi ( Hal 28)

38

disebabkan oleh susunan abnormal dari lalobin Hb. Bila Hb ini terkena

oksigen konsentrasi rendah, ia mengalami presipitasi menjadi kristal-kristal

panjang di dalam sel darah merah. Kristal ini menjangkau sel mengalami

prepitasi juga merusak membrane sel memberikan bentuk sickle . Hb yang

mengalami prepitasi juga merusak membrane sel sehingga sel menjadi

sangat rapuh, mengakibatkan anemia yang berbahaya.

- Talasemia, yang juga dikenal sebagai Cooley”s anemia atau anemia

Mediterania adalah jenis anemia hemolitik herediter lain di mana selnya kecil

dan mempunyai membrane yang rapuh.Disini sekali lagi sel mudah pecah

waktu melalui jaringan.

- Eritroblastosis Fetalis, sel darah merah Rh positif dan Fetus diserang oleh

anti body dari ibu dengan Rh negative . Anti bodi ini membuat sel rapuh dan

menyebabkan bayi yang dilahirkan menderita anemia berat.

- Hemolisis juga kadang-kadang akibat dari reaksi transfuse, malaria, reaksi

obat tertentu dengan sebagai proses autoimin.

5. Anemia Mikrositik hipokrom

a. Anemia defisensi besi

Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini

hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4

gr. Kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kgBB pada wanita.

Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena selain kekurangan Fe juga

terdapat kekurangan asam folat.

Etiologi

Page 39: Skripsi ( Hal 28)

39

Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesdia paling

banyak disebabkan oleh cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang

pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia. Bila

disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyeban lain dari anemia defisiensi

adalah ;

• Diet yang tidak mencukupi

• Absorpsi yang menurun

• Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, laktasi.

• Perdarahan pada saluran cerna,menstruasi, donor darah.

• Hemoglobinuria

• Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.

Gejala klinis : selain gejala-gejala umum anemia, defisiensi Fe yang berat akan

mengakibatkan perubahan kulit dan mukosa yang progresif seperti lidah yang halus,

keilosis dan sebagainya.didapatkan tanda-tanda malnutrisi.

2.1.6 STATUS GIZI

Status gizi menurut Soekirman (1991) adalah suatu keadaan kesehatan

akibat interaksi antara makanan tubuh manusia dan lingkungan hidup. Ketiga

unsur tersebut merupakan penggambaran dari konsep hubungan antara host – agent

– environment.

Menurut Soeharjo (1989) status gizi adalah keadaan sehat individu-

individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi

dan zat-zat lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya

diukur secara antropometri.

Page 40: Skripsi ( Hal 28)

40

Pengertian status gizi menurut Abas Basuni (2003) adalah keadaan

keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk

berbagai keperluan proses biologi.

Keseimbangan zat gizi mempengaruhi :

1. Pertumbuhan

2. Perkembangan

3. Kecerdasan

4. Pemeliharaan kesehatan

5. Aktivitas dan lain-lain (Abas Basuni , 2003).

Pertumbuhan adalah perubahan fisik dari waktu ke waktu , baik dari segi

dimensi, proporsi maupun komposisi tubuh. Pada manusia , ukuran fisik (tubuh)

disebut juga istilah Antropometri. Antropometri berasal dari kata Antropos artinya

manusia dan Metric artinya ukuran. Jadi Antropometri adalah ukuran tubuh

manusia. Perubahan pertumbuhan dapat diukur secara kuantitatif (contoh : dari 5

kg menjadi 6 kg , dari 54 cm menjadi 60 cm) (Abas Basuni , 2003).

Perkembangan adalah perubahan kemampuan anak dalam gerakan motorik

kasar atau halus, kecerdasan, mental, perilaku dari waktu ke waktu. Perubahannya

hanya dapat diukur secara kualitatif (contoh : dari dapat merangkap menjadi

berdiri, dari tidak dapat bicara menjadi dapat bicara dan sebagainya (Abas Basuni,

2003).

Pertumbuhan terbagi menjadi 2 yaitu :

1. Pertumbuhan linear

Bentuk adari ukuran linear adalah ukuran yang berhubungan dengan

panjang . Contoh ukuran linear adalah panjang badan, lingkar dada, lingkar kepala

Page 41: Skripsi ( Hal 28)

41

. Ukuran linear yang rendah biasanya menunjukkan keadaan gizi yang kurang

akibat kekurangan enrgi proten yang diderita waktu lampau. Ukuran linear yang

paling sering digunakan adalah tinggi badan atau panjang badan (Supariasa dkk,

2002).

2. Pertumbuhan Massa Jaringan

Bentuk dan ukuran massa jaringan adalah massa tubuh. Contoh ukuran

massa jaringan adalah berat badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak bawah

kulit. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunujukkan keadaan gizi kurang

akibat kekurangan energi protein yang diderita pada waktu pengukuran dilakukan.

Ukuran massa jaringan yang paling sering digunakan adalah berat badan (Suparisa

dkk , 2002).

Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor penyebab langsung dan

faktor tidak langsung. Penyebab langsung yaitu makanan yang dikonsumsi sehari-

hari dan penyakit infeksi yang diderita. Timbulnya KEP tidak hanya karena

makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit yang diderita anak. Anak yang

mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam

akhirnya menderita KEP. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup, daya tahan

tubuhnya dapat melemah dalam keadaan demikian anak mudah diserang penyakit

infeksi (Soekirman, 2000).

Kekurangan gizi dianggap masalah karena dapat menyebabkan angka

kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak, terganggunya pertumbuhan,

menurunnya daya kerja, gangguan perkembangan mental dan kecerdasan .

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan

Page 42: Skripsi ( Hal 28)

42

pangan di keluarga adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan

pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup. Konsumsi zat gizi sehari-

hari dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam keluarga yang cukup.

Ketersediaan pangan tergantung dari daya beli keluarga, ketersediaan bahan

pangan di pasaran dan produksi.

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Secara langsung :

a. Antropometri

b. Biokimia

c. Klinis

d. Biofisika

2. Secara tidak langsung

a. Survei konsumsi

b. Status vital

c. Faktor Ekologi (Supariasa, 2002)

A. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Penilaian status gizi yang dilakukan secara langsung yaitu dengan

menggunakan ukuran – ukuran tubuh manusia atau dikenal istilah

Antropometri.

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi dan

kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Parameter

adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia antara lain : umur, berat badan,

tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada , lingkar pinggul

dan tebal lemak bawah kulit (Supariasa dkk, 2002). Di Indonesia ukuran baku

Page 43: Skripsi ( Hal 28)

43

hasil pengukuran menggunakan baku HARVARD yang disesuaikan untuk

Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentil baku Harvard).

Tabel 1. Penggolongan Keadaan Gizi menurut Indeks Antropometri

STATUS GIZI

Ambang batas baku berdasarkan indeks

BB/U TB/U BB/TB

Gizi Baik

Gizi Kurang

Gizi Buruk

80%

61 – 80%

≤ 60%

85%

71 – 85%

≤ 70%

> 90%

81 – 90%

≤ 80%

Sumber : Buku Penilaian Status gizi karangan Supariasa, dkk

1. Berat badan menurut Umur (BB/U)

Kelebihannya :

a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum

b. Baik untuk mengukur status gizi akut dan kronis

c. Berat badan dapat berfluktuasi

d. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil

e. Dapat mendeteksi kegemukan (overweigt).

(Supariasa dkk, 2002).

Kekurangan :

a. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat

odema maupun asites.

b. Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sulit di

taksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik.

c. Memerlukan data umur akurat terutama untuk kelompok anak usia di

bawah 5 thun (Balita)

Page 44: Skripsi ( Hal 28)

44

d. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian

atau gerakan anak pada saat penimbangan.

e. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial

budaya setempat (Supariasa dkk, 2002)

2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Kelebihan :

a. Baik untuk penilaian status gizi masa lampau.

b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa

(Supariasa dkk,2002)

Kekurangan :

a. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun

b. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak,

sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.

c. Ketepatan umur sulit didapat (Supariasa dkk, 2002)

3. Lingkar Lengan Atas menurut Umur (LILA/U)

Kelebihan :

a. Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.

b. Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri.

c. Alat dapat diberi code warna untuk menentukan tingkat keadaaan gizi

sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis

(Supariasa dkk, 2002)

Kekurangan :

Page 45: Skripsi ( Hal 28)

45

a. Hanya dapat mengidentifikasi anak yang KEP berat

b. Sulit menentukan ambang batas.

c. Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2

sampai 5 tahun yang perubahnnya tidak nampak nyata (Supariasa dkk,

2002)

4. Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Kelebihan :

a. Tidak memerlukan data umur

b. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)

(Supariasa dkk, 2002).

Kekurangan :

a. Tidak dapat memberi gambaran apakah anak tersebut pendek , cukup

tinggi badann atu kelebihan tinggi badan, karena faktor umur tidak

dipertimbangkan.

b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan

pengukuran panjang atau tinggi badan anak pada kelompok balita.

c. Membutuhkan dua macam al;at ukur

d. Pengukuran relatif lebih lama

e. Membutuhkan dua orang untuk melakukannya

f. Sering terjadi kesalahan dalam membaca angka hasil pengukuran ,

terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesional (Supariasa dkk,

2002).

5. Body Mass Indek (BMI) /Indeks Massa Tubuh (IMT).

Rumus perhitungan IMT adalah :

Page 46: Skripsi ( Hal 28)

46

BB (Kg)

IMT = ---------------------------- atau

TB (M) X TB (M)

IMT = Berat Badan (dalam Kg) di bagi Kuadrat Tinggi Badan

(dalam meter) (Supariasa dkk, 2002).

IMT/U adalah salah satu indikator cara cepat untuk menghitung status gizi bagi

anak-anak dan remaja mulai usia 2 – 20 tahun dan seringkali digunakan untuk

mengindentifikasi permasalahan pada anak-anak. Kategori untuk IMT/U

menurut WHO – CDC tahun 2000 adalah :

a. Kurus : < 18

b. Baik : 18 – 25

c. Overweight : > 25

d. Obes : 10% Overweight (www.cdc.gov)

B. Pemeriksaan klinis

Tanda-tanda klinis gizi kurang dapat merupakan indikator untuk menduga

defisiensi gizi tetapi indikator ini tidak spesifik karena ada beberapa penyakit

yang mempunyai gejala yang sama, tetapi penyebabnya berbeda. Untuk itu

pemeriksaan klinis harus dipadukan dengan pemeriksaan lain seperti

antropometri dan loboratorium.

Pemeriksaan klinis secara umum dibedakan terdiri dari :

1. Medical history (riwayat medis) yaitu catatan mengenai perkembangan

penyakit.

Page 47: Skripsi ( Hal 28)

47

2. Pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala gangguan gizi baik

sign (gejala yang dapat diamati) dan symptom ( gejala yang tidak dapat

diamati, tetapi dirasakan oleh penderita gangguan gizi) (Supariasa, 2002).

C. Pemeriksaan biokimia

Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang

lebih tepat dan objektif. Pemeriksaan yang sering digunakan adalah teknik

pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah

dan urine. Hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan standar normal

yang telah ditetapkan (Supariasa, 2002).

D. Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penilaian status gizi secara

tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi

dengan maksud untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat

kecukupan bahan makananan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah

tangga dan perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi

makanan tersebut. Metode yang biasa digunakan adalah dengan recall 24 jam

dan food record (Supariasa, 2002).

2.2. LANDASAN TEORI

2.2.1 ANAK SEKOLAH

Kebanyakan dari anak-anak berumur antara 6 – 12 tahun sedang dalam

puncak perkembangan. Pada tingkat ini anak bukan lagi seorang bayi, sementara

imbalan serta tuntutan kehidupan orang dewasa masih jauh. Selagi ia tumbuh dari

6 – 12 tahun biasanya hidupnya dan hidup ortu tidak seluruhnya diliputi cinta dan

Page 48: Skripsi ( Hal 28)

48

ketenangan. Ia gemar berpetualang dan sering menemukan bahwa masih banyak

yang harus diketahuinya dan yang mencemaskannya (Depkes RI, 1989).

Pada awal usia 6 tahun anak mulai masuk sekolah , dengan demikian anak-

anak ini mulai masuk ke dalam dunia baru. Dimana dia mulai banyak berhubungan

dengan orang-orang di luar keluarganya, dan dia berkenalan pula dengan suasana

dan lingkungan baru dalam kehidupannya .(Moehji , 2003)

Ketika seorang anak pertama kali pergi kesekolah maka anak ini menemui

kenyatan bahwa kebiasan maka teman – teman berbeda dengan kebiasaan makan

di rumah, sehingga anak akan belajar membandingkan makanan yang disukainya

dan di makan oleh temannya dengan makanan di rumah. Hal ini mungkin

membuat seorang anak tidak menyukai makanan tertentu di rumah . (Damayanti,

1996)

Anak usia sekolah mudah terkena stres yang berdampak kepada nafsu

makannya, sedangkan di pihak lain kebutuhan tubuh akan energi dan zat gizi

meningkat. Stress emosi dapat berasal dari banyaknya pekerjaan rumah.

Kompetensi dengan teman dan ketidakseimbangan antara aktifitas dan istirahat.

(Damayanti, 1996)

Dari berbagai penelitian yang pernah di lakukan terhadap anak-anak

sekolah baik di perkotaaan maupun pedesaan di Indonesia, didapatkan kenyataan

bahwa pada umumnya berat dan tinggi badan rata-rata anak sekolah dasar ini

berada dibawah ukuran normal, tidak jarang pula pada anak – anak ditemukan

tanda – tanda penyakit gangguan gizi baik dalam bentuk ringan , maupun dalam

bentuk yang agak berat (Moehji, 2003).

Page 49: Skripsi ( Hal 28)

49

Pada umumnya kelompok anak sekolah ini mempunyai kesehatan yang

lebih baik di banding dengan kesehatan anaka balita. Masalah-masalah yang

timbul pada kelompok ini antara lain : berat badan rendah, defisiensi Fe (kurang

darah), defisiensi vitamin E. Masalah ini timbul karena pada umur ini anak –anak

sangat aktif bermain dan banyak kegiatan baik disekolah maupun di lingkungan

rumah tangga. Di pihak lian anak kelompok ini kadang-kadang nafsu makan

menurun, sehingga konsumsi makanan tidak seimbang dengan kalori yang

diperlukan (Notoadmojo , 2003).

Gizi dan kesehatan anak sekolah baru mendapat perhatian pada akhir –

akhir ini saja. Hal ini karena masa lampau ada asumsi bahwa seorang anak usia

sekolah sudah dapat bertahan hidup (Survive) melewati periode kritis, sehingga

dianggap tidak rawan lagi. Tetapi ternyata banyak penyakit infeksi masih di derita

oleh anak sekolah . Sebelumnya data status gizi anak sekolah tidak dikumpulkan

secara rutin, meskipun beberapa epidensi membuktikan bahwa :

1. Malnutrisi menyebar luas pada anak sekolah

2. Masalah gizi tersebut berdampak negatif terhadap pembelajaran, penampilan

dan ketidakhadiran di sekolah (Riyadi , 2001)

Pertumbuhan fisik pada usia anak 6 – 9 tahun merupakan hasil dari faktor

lingkungan dan genetik , dan interaksi antara keduanya. Pada penduduk miskin

faktor utama yang mempengaruihi pertumbuhan fisisk anak usia sekolah adalah

faktor lingkungan yang mereka alami sebelum pubertas. Faktor lingkungan ini

termasuk pola konsumsi pangan , angka kesakitan , keterbatasan sanitasi , serta

praktek higiene dan kesehatan yang buruk. Potensi untuk mengejar ketinggalan

pertumbuhan pada anak yang Stunted sangat terbatas setelah anak berusia lebih

Page 50: Skripsi ( Hal 28)

50

dari 2 tahun terutama apabila anak tersebut masih tinggal di lingkungan yang jelek

(Riyadi, 2001).

Karakteristik Anak Usia Sekolah :

1. Berusia 7 – 12 tahun.

2. Pertumbuhan relatif lebih lambat dari anak balita .

penambahan BB 1,8 – 3,1 Kg per tahun..

3. Nafsu makan relatif lebih baik daripada anak balita.

4. Aktifitas fisik tinggi , sehingga membutuhkan energi untuk bergerak ,

olah raga dan lain-lain.

5. Mulai tidak tergantung terhadap orang tua (Damayanti , 1996)

Pengelompokkan usia pada masa sekolah menurut :

1. WHO , usia 7 – 15 tahun.

2. Jellife , usia 5 – 15 tahun

3. Indonesia , usia 7 – 12 tahun ( Depkes RI , 1990).

2.2.2 ANEMIA ANAK SEKOLAH

Merupakan suatu kondisi pada anak SD dan MI dengan kadar

haemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal ( kurang dari 12 gr%).

Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-kira

2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 gr. Kira-kira 50

mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kgBB pada wanita.

Etiologi

Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesdia

paling banyak disebabkan oleh cacing tambang (ankilostomiasis). Infestasi cacing

tambang pada seseorang dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan

Page 51: Skripsi ( Hal 28)

51

anemia. Bila disertai malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain dari

anemia defisiensi besi adalah kadar hemoglobin berbeda untuk setiap kelompok

umur dan jenis kelamin yaitu :

1. Anak balita : 11 gr%

2. Anak usia sekolah : 12 gr%

3. Wanita dewasa : 12 gr%

4. Laki-laki dewasa : 13 gr%

5. Ibu hamil : 12 gr%

6. Ibu menyusui > 3 bulan : 12 gr% (Depkes RI. 1999).

Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi

yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Hb)sehingga desebut “ Anemia

Kekurangan Besi atau Anemia Gizi Besi “. (Depkes RI, 1999).

Garam besi merupakan unsur yang sangat penting untuk membentuk Hb , yaitu

suatu zat warna yang terdapat dalam darah merah yang berguna untuk mengikat

Oksigen (O2) dan Karbondioksida ( CO2 ) dalam tubuh . Hemoglobin adalah ikatan

antara protein, garam besi dan zat warna. 60 % dari garam besi yang ada di dalam

tubuh manusia terdapat dalam hemoglobin ini (Moehji, 2002)

Faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya kadar besi di dalam tubuh

adalah :

1. Makanan sehari-hari umumnya sedikit mengandung zat besi

2. Persentase banyaknya besi yang dapat diserap dari makanan

3. Adanya zat-zat penghambat yang dapat mengahambat penyerapan

besi, yaitu asam fitat , asam oksalat dan tanin.

4. Adanya gangguan perut yang berakibat diare

Page 52: Skripsi ( Hal 28)

52

5. Adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing pita, cacing tambang

dan lain-lain.

6. Kehilangan darah yang cukup banyak, misalnya pada saat kecelakaan,

operasi, perdarahan dan sebagainya (Muchtadi dkk, 1993)

Penyerapan zat besi di pengaruhi oleh banyak faktor yaitu :

1. Kebutuhan tubuh akan besi, tubuh akan menyerap sebanyak yang

dibutuhkan.

2. Rendahnya asam klorida pada lambung dapat menurunkan

penyerapan.

3. Adanya vitamin C . Gugus SH (Sulfidri) dan asam amino Sulfur dapat

meningkatkan penyerapan karena dapat mereduksi dalam bentuk ferri

menjadi ferro.

4. Kelebihan fosfat di dalam usus dapat menyebabkan terbentuknya

kompleks besi- folat yang tidak dapat diserap.

5. Adanya fitat juga akan menurunkan ketersediaan Fe.

6. Protein hewani dapat meningkatkan penyerapan Fe.

7. Fungsi usus yang terganggu, misalnya diare dapat menurunkan

penyerapan Fe.

8. Penyakit infeksi juga dapat menurunkan penyerapan Fe ( Muchtadi

dkk, 1993).

Anemia Gizi Besi pada anak sekolah disebabkan oleh :

1. Kebiasaan kurang makan sayur terbawa pada usia sekolah .

2. Makanan jajanan yang dibeli anak kurang mengandung zat gizi untuk

Page 53: Skripsi ( Hal 28)

53

membentuk darah.

3. Anak sering bermain ditempat - tempat yang kurang bersih seperti tanah,

sehingga banyak kemungkinan terkena penyakit cacingan.

4. Kebutuhan zat gizi yang meningkat pada anak sekolah ( Puslitbang Gizi

Bogor , 1990).

Akibat – akibat defisiensi zat besi , trutama anemia defiseinsi zat besi adalah :

1. Bayi dan Anak

a. Gangguan perkembangan motorik dan kordinasi

b. Gangguan perkembangan bahasa dan kemajuan belajar

c. Pengaruh pada psikologis dan perilaku

d. Penurunan aktivitas fisik

2. Orang dewsa pria dan wanita

a. Penurunan kerja fisik dan daya pendapatan

b. Penurunan daya tahan terhadap keletihan.

3. Wanita Hamil

a. Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu

b. Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin

c. Peningkatan resiko berat badan lahir rendah (Maeyer, 1995).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi anemia

akibat kekurangan zat besi adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan konsumsi zat besi dari sumber alami melalui penyuluhan, terutama

makanan sumber hewani (heme-iron) yang mudah di serap seperti : ikan , daging

dan lain-lain. Selain itu perlu ditingkatkan juga makanan yang banyak

mengandung vitamin C dan vitamin A seperti buah-buahan dan sayur-sayuran

Page 54: Skripsi ( Hal 28)

54

untuk membantu penyerapan zat besi dan membantu proses pembentukan

hemoglobin.

2. Fortifikasi bahan makanan. Menambahkan zat besi , asam folat,vitamin A dan

asam amino esensial pada bahan makanan secara luas oleh kelompok sasaran.

Terutama pada bahan makanan hasil produksi industri pangan.

3. Suplementasi besi-folat secara rutin selama jangka wakt tertentu adalah untuk

meningkatkan kadar Hb secara cepat, dengan demikian suplementasi zat besi

hanya merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang

perlu diikuti dengan cara lainnya.

4. Pada balita dan anak sekolah serta WUS yang diduga menderita kecacinganan ,

selain suplementasi tablet besi-folat dan sirup besi , juga dianjurkan agar diberikan

obat cacing (Depkes RI, 1999).

Pemberian Suplementasi besi-folat untuk mencegah Anemia Besi pada anak

sekolah adalah sebagai berikut :

1. Dosis pencegahan

1 tablet tiap minggu (60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat ) selama 3

bulan.

2. Dosis pengobatan

Bila kadar Hb < 12 gr% , pemberian menjadi 1 x 1 tablet per hari selama 1 bulan

(kadar Hb diperiksa ulang setelah pemeberian 1 bulan), Bila belum mencapai > 12

gr% dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut (Depkes, 1999).

Dalam penelitian ini untuk menentukan kadar Hb yaitu dengan menggunakan

metode Sahli. Pemeriksan Hb dengan metode ini berdasarkan pada pembentukan

Hematin asam dan tidak semua jenis Hb bisa diubah menjadi hematin asam seperti

Page 55: Skripsi ( Hal 28)

55

karboksihemoglobin, methamoglobin dan Sulthemoglobin (Praktikum Biokimia ,

2004).

Adapun dasar reaksinya adalah membandingkan warna asam dengan hematin yang

telah di ubah dari Hb dengan asam kloroda (HCl) 0,1 N dengan warna standart

yang terdapat pada alat Hemoglobinometer (Praktikum Biokimia , 2004)

2.2.3 Infeksi kecacingan

Kecacingan adalah penyakit dimana seseorang mempunyai cacing dalam

ususnya dan menimbulkan gejala atau tanpa gejala. Kecacingan merupakan

masalah kesehatan yang perlu penanganan serius terutama untuk daerah tropis

karena cukup banyak penduduk menderita kecacingan. Kecacingan menyebabkan

turunnya daya tahan tubuh, terhambatnya tumbuh kembang anak, kurang gizi dan

zat besi yang mengakibatkan anemia.

Gejala-gejala :

- Mengeluarkan cacing pada saat buang air besar atau muntah

- Badan kurus dan perut buncit

- Kehilangan nafsu makan, lemas, lelah, pusing, nyeri kepala, gelisah

dan suka tidur.

- Gatal - gatal disekitar dubur terutama malam hari ( cacing kremi )

- Pada jenis cacing yang menghisap darah (cacing pita, cacing tambang,

cacing cambuk) dapat terjadi anemia.

Gejala spesifik untuk setiap jenis cacing adalah :

• Cacing kremi ( Oxyuris / Enteribius Vermicularis ) adalah rasa gatal

sekitar anus terutama malam hari, gelisah dan susah tidur.

• Cacing gelang ( Ascariasis ) adalah gangguan lambung, kejang

Page 56: Skripsi ( Hal 28)

56

perut diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam.

• Cacing Tambang (Necatoriasis/ Ankilostomiasis) adalah gangguan saluran

cerna (mual, muntah, diare dan nyeri ulu hati), pusing nyeri kepala, lemah dan

lelah, anemia, gatal di daerah masuknya cacing.

Penyebab kecacingan adalah :

Cacing penyebab penyakit pada manusia terdiri dari :

- Cacing gelang (Ascariasis lumbriocoides)

- Cacing cambuk (Tricularis sp)

- Cacing kremi (Enterobius vermicularis)

- Cacing tambang (Necatoria dan ankilostomia)

- Cacing pita ( Taenia sp)

- Trematoda

Cacing masuk tubuh manusia dengan berbagai cara yaitu :

Telur cacing tertelan sewaktu makan makanan yang terkontaminasi oleh kotoran.

Sedang larva cacing tambang hidup di tanah dan masuk lewat kulit yang

menyebabkan infeksi. Cacing pita dan trematoda sebagian besar siklus hidupnya

berada pada binatang dan masuk tubuh manusia karena makan daging/ikan mentah

atau setengah matang.

Di Indonesia masalah cacing masih merupakan masalah kesehatan umum, yang

paling sering ditemukan adalah cacing gelang dan cacing kremi. Cacing kremi

bertelur di sekitar dubur. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah

dikeluarkan, pada suhu tubuh. Telur yang matang akan menetas di usus 12 jari .

Telur-telur ini terbawa oleh jari-jari bila penderita menggaruk, kemudian bila tidak

dicuci kedua tangan tersebut maka bisa menularkan keorang lain. Dalam keadaan

Page 57: Skripsi ( Hal 28)

57

lembab telur dapat hidup sampai 13 hari .Penyebab kecacingan juga biasanya

karena makanan dan minuman serta lingkungan yang tidak bersih . Pada umumnya

terjadi melalui makanan dan melalui kulit.

Hal yang perlu dilakukan agar terhindar dari kecacingan adalah :

1. Menjaga kebersihan diri dengan memotong kuku, menggunakan sabun pada

waktu mencuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar dan pada waktu

mandi.

2. Menghindari makanan yang telah dihinggapi lalat dan cuci bersih bahan

makanan untuk menghindari telur cacing yang mungkin ada serta biasakan

memasak makanan dan minuman.

3. Menggunakan karbol di kamar mandi

4. Menggunakan alas kaki untuk menghindari sentuhan langsung dengan tanah

saat bekerja di halaman, perkebunan, pertanian, pertambangan ,dan lain-lain.

Obat yang dapat digunakan :

1. Pirantel Pamoat

a. Kegunaan obat :

Pengobatan askariasis, oksiuriasis, ankilostomiasis dan nekatoriasis

b. Hal yang perlu diperhatikan :

Aturan pakai harus dibaca dan di patuhi

c. Kontra indikasi

• Penderita gangguan fungsi hati

• Anak di bawah umur 2 tahun

• Ibu hamil

d. Efek samping

Page 58: Skripsi ( Hal 28)

58

Nafsu makan hilang (anoreksia) , mual, muntah, diare, kram lambung,

meningkatnya SGOT, sakit kepala, pusing, mengantuk, ruam kulit.

e. Bentuk sediaan

• Tablet 125 mg

• Tablet 250 mg

f. Aturan pemakaian

• Tablet 125 mg

- 1-5 tahun : 1 tablet

- 5-9 tahun : 2 tablet

- 10-15 tahun : 3 tablet

- Diatas 15 tahun dan dewasa : 4 tablet

• Tablet 250 mg

- 1- 5 tahun : 1/2 tablet

- 5-9 tahun : 1 tablet

- 10-15 tahun : 1 ½ tablet

- Diatas 15 tahun dan dewasa : 2 tablet

3. Mebendasol

a. Kegunaan obat

Pengobatan Ascariasis, trikuriasis, enterobiasis, ankilostomiasis,

nekatoriasis dan infeksi campuran.

b.Hal yang diperhatikan

- Konsultasikan ke dokter atau Apoteker untuk penderita diabet dan ibu

menyusui.

Page 59: Skripsi ( Hal 28)

59

- Penggunaan jangka panjang dengan dosis besar dapat menimbulkan

penurunan sel darah putih (neutropenia) kembali ke normal bila obat

dihentikan.

c. Kontra indikasi

Anak balita dan ibu hamil akan mengakibatkan pembentukan sel yang tidak

normal (teratogenik)

d. Efek samping

Nyeri pada lambung , diare

e. Bentuk sediaan

Tablet 100 mg

f. Aturan Pemakaian

- Untuk cacing kremi : 1 tablet sehari

- Untuk cacing cambuk : 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam

selama 3 hari berturut-turut.

- Untuk cacing gelang : 1 tablet setiap pagi dan 1 tablet setiap malam selama

3 hari berturut-turut.

4. Piperazin

a. Kegunaan obat

Pengobatan askariasis, oksiuriasis atau enterobiasis

b. Hal-hal yang perlu diperhatikan

Aturan pakai harus dibaca dan dipatuhi

c. Kontra indikasi

o Penderita epilepsi

o Alergi terhadap pipirasin

Page 60: Skripsi ( Hal 28)

60

o Gangguan fungsi hati dan ginjal

d. Efek samping

Mual , muntah, gangguan pada fokus mata, dermatitis, diare dan reaksi

alergi.

e. Bentuk sediaan

- Sirup peperasin sitrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)

- Sirup piperasin heksahidrat 1 g/5 ml (kemasan sirup 15 ml)

f. Aturan pemakaian

* Askariasis (cacing gelang)

Dosis tunggal : bayi : 2,5 ml

1-2 tahun : 5 ml

3-5 tahun : 10 ml

Lebih dari 6 tahun dan dewasa : 15 ml

Di minum selama 2 hari berturut-turut.

* Oksiurasis

Diminum setelah makan, selama 4 hari berturut-turut

- Bayi : 1 kali sehari, 2,5 ml

- 1-2 tahun : 2 kali sehari 2-5 ml

- 3-5 tahun : 2 kali sehari 5 ml

- Diatas 6 tahun dan dewasa : 3 kali sehari ,5 ml

1. HUBUNGAN INFEKSI KECACINGAN DENGAN ANEMIA

Page 61: Skripsi ( Hal 28)

61

Pada kasus-kasus perdarahan kronis yang disebabkan oleh parasit, seperti

cacing tambang, cacing cambuk dan mungkin cacing gelang menyebabkan

kebutuhan akan zat besi menjadi meningkat. Cacing tersebut menempel pada

dinding usus dan memakan darah. Darah yang hilang bervariasi dari 2 sampai 100

cc setiap hari, tergantung pada beratnya infeksi .

Sebagian zat besi dalam darah yang dialirkan oleh cacing di dalam usus

akan diserap kembali di saluran gastrointestinal yang lebih bawah. Sedang sisanya

akan terbuang melalui tinja. Zat besi yang hilang per 1.000 telur per gram tinja

diperkirakan sekitar 0,8 mg per hari oleh Necator americanus dan 1,2 oleh

Ancylostoma duodenale.(Maeyer,1995)

Infeksi mengganggu masukan makanan, penyerapan, penyimpanan serta

penggunaan berbagai zat gizi, termasuk zat besi. Pada banyak masyarakat

pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi lingkungan buruk, angka

kesakitan akibat infeksi virus, kecacingan dan bakteri tinggi. Dalam masyarakat

tersebut, makanan yang sering dimakan mengandung sangat sedikit energi. Kalau

keseimbangan zat besi goyah, episode infeksi yang berulang-ulang dapat

menyebabkan terjadinya anemia. (Maeyer,1995)

Anemia bisa disebabkan bukan hanya oleh difisiensi zat besi (atau lebih

jarng lagi zat-zat gizi lain) tetapi juga oleh kondisi-kondisi lain. Penyakit malaria,

cacing tambang (ancylostomiasis atau necatoriasis), schistomosiasis dan infeksi-

infeksi lain berperan penting di daerah-daerah yang beriklim tropis. (Maeyer.1995)

Kehilangan zat besi yang berlebihan pada pendarahan termasuk haid yang

berlebihan, sering melahirkan dan pada infeksi cacing dimana cacing

menyebabkan banyak darah yang keluar, sehingga mengganggu keseimbngan zat

Page 62: Skripsi ( Hal 28)

62

besi, dimana zat besi yang dikeluarkan lebih banyak dari zat besi yang masuk

menyebabkan seseorang mengalami anemia berat (kadar Hb < 8 gr%). Sehingga

upaya pencegahan dan penanggulangan selain pada anemianya, harus dilakukan

pengobatan terhadap penyakit-penyakit yang melatarbelakangi terjadinya anemia

(Depkes RI,1999

Dari hasil penelitian permasalahan gizi yang menonjol pada anak SD

adalah kekurang zat besi mencakup sekitar 25-40%. Kondisi ini menurunkan daya

tahan , siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang gairah belajar dan tidak cepat

tanggap. Hal ini diperburuk lagi dengan dijumpainya gangguan infeksi kecacingan

yaitu sebesar 40 – 70 % merupakan angka yang cukup tinggi . Apabila keadaan ini

berlangsung lama akan memberi dampak terhadap status gizi anak (Forum

Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat J, 1997)

6. HUBUNGAN ANEMIA DENGAN STATUS GIZI

Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di

dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diaertikan bahwa jumlah

zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh

badan dari makanan (Mahidin dkk, 1999).

Anak mengalami masa pertumbuhan yang cepat, maka kebutuhan zat besi

untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan

lewat bassal. Selain itu anak membutuhkan zat besu untuk menambah massa sel

darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Sel-sel darah merah berumur 120

hari, jadi sesuadah 120 harise-sel darah merah mati dan diganti dengan yang baru.

Apabila dalam makanan tidak terdapat zat besi yang cukup maka pembentukan

Page 63: Skripsi ( Hal 28)

63

sel-sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh anak akan terganggu, yang

memberi dampak pada status gizi anak (Mahidi dkk,1999).

Kekurangan hemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen

yang di transport ke sel tubuh maupun otak. Anemia sedang dan ringan dapat

menimbulkan gejala- gejala 5 L yaitu: letih, lesu, lemah , lelalh dan lalai

disamping itu seringkali disertai keluhan pusing dan mata berkunang-kunang dan

penderita anemia akan turun daya tahan tubuhnya, akibatnya mudah terkena

penyakit infeksi yang bila terjadi pada anak sekolah akan mengurangi kapasitas

dan menurunkan kemampuan atau prestasi belajar. Hal ini tentunya sangat

merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (Depkes RI, 1999).

Anemia pada anak dapat menimbulkan gangguan hambatan pada

pertumbuhan , baik pada sel tubuh maupun sel otak, sehingga anak yang anemia

akan mengalami gangguan pertumbuhan , tidak dapat mencapai tinggi yang

optimal, anak menjadi kurang cerdas , daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah

terkena penyakit infeksi (Depkes RI, 1999).

Anak sekolah mempunyai aktifitas yang cukup tinggi dan masih dalam

proses belajar. Pada saat belajar anak sekolah memerlukan tenaga yang banyak

karena kekurangan darah (anemia) tenaga yang diperlukan untuk belajar

berkurang sehingga anak cepat lelah dan mengantuk pada waktu belajar. Hal ini

tidak hanya di alami di kelas namun juga terjadi di rumah akhirnya anak menjadi

bodoh (Puslitbang Gizi Bogor, 1990).

Pada anak sekolah prestasi belajar rendah kalau anak menderita difesiensi besi

, selain itu anak yanganemia kurang besi mempunyai kesulitan dalamberfikir secara

logika dan berfikir secara analog, serta menurunnya kemampuan konsentrasi dalam

Page 64: Skripsi ( Hal 28)

64

menyelesaikan tugas. Keadaan ini dapat diprbaiki dengan terapi besi (Fe). Dalam

mencapai hasil yang optimal dari suatu sistem pendidikan, maka anak-anak didik

harus tidak menderita kurang besi (Mahidin dkk, 1999).

7. HUBUNGAN INFEKSI KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI

Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan

mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Antara gizi buruk dan

penyakit infeksi sesungguhnya mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat,

sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari kedua keadaan itu yang

datang lebih dulu. Dalam banyak kejadian terjadi synergisitas antara gizi buruk dan

penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja sangat fatal (Moehji, 2003).

Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh.

Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limphoid yang berperan dalam

sistem kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi lemah,

kekebalan seluler yang dimungkinkan oleh berfungsinya kelenjar thymus berkurang

karena kelenjar thymus mengecil akbat kekurangan gizi. Produksi berbagai

antibodies juga berkurang disamping terjadi atropi pada dinding usus menyebabkan

berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit

penyakit. Kedalam tubuh. Keseluruhan gangguan pada sistem pertahanan tubuh itu

berlangsung serentak pada penderita gizi buruk sehingga menjadi penderita gizi

buruk sanat mudah terserang penyakit lebih-lebih jika lingkungan anak tidak

mendukung (Moehji, 2003).

Sebaliknya penyakit infeksi seperti kecacingan yang menyerang anak

menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat

penyakit infeksi adalah akibat beberapa hal antara lain :

Page 65: Skripsi ( Hal 28)

65

1. Turunnya nafsu makan anak akibat rasa tidak nyaman yang di alami, sehingga

masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih

banyak terutama untuk mengganti jaringan tubuhnya yang rusak akibat bibit

penyakit itu.

2. Penyakit infeksi sering dibarengi oleh diare dan muntah yang menyebabkan

penderita kehilangan cairan dan sepuluh zat gizi seperti berbagai mineral dan

sebagainya, dan danya diare menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan

juga terganggu , sehingga secara keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk.

3. Naiknya metabolisme basal akibat demam menyebabkan termobilisasinya

cadangan energi dalam tubuh . Penghancuran jaringan tubuh oleh bibit penyakit

juga akan semakin banyak dan untuk menggantinya diperlukan masukan protein

yang lebih banyak (moehji, 2003).

Status gizi kurang atau buruk dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit

infeksi dan memperberat infeksi tersebut juga penyakit infeksi akan memperburuk

status gizinya (Rudiansyah, 2000).

Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan

kesulitan menelan dan mencerna makanan. Parasit dalam usus seperti cacing gelang

dan sebagainya bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dengan

demikian menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan yang demikian

membantu terjadinya kurang gizi .(Suhardjo, 1996)

Akibat penghisapan zat – zat makanan dan darah oleh cacing , semakin lama

tubuh akan kekurngan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh sehingga

menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun. (Harold.

Brown, 1989)

Page 66: Skripsi ( Hal 28)

66

2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Faktor yang mempengaruhi :

- Zat besi dari Asupan makanan kurang

• Sumber hewani

• Sumber nabati

Anemia

Meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat besi

• Masa pertumbuhan

• Masa kehamilan

• Infeksi penyakit kronis : TBC

Meningkatnya pengeluaran zat besi

• Penderita Cacingan

• Malaria

• Menstruasi

Page 67: Skripsi ( Hal 28)

67

Diteliti :

Tidak diteliti :

Gambar 2.4 Bagan kerangka konsep

2.4. Hipotesa

2.4.1 Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan anemia pada anak sekolah

dasar di SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun

2010.

2.4.2 Ada hubungan antara anemia dengan status gizi pada anak sekolah dasar di SDN

Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun 2010.

2.4.3 Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan status gizi pada anak sekolah

dasar di SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala tahun

2010.

• Perdarahan

Status Gizi

Page 68: Skripsi ( Hal 28)

68

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

penelitian ini merupakan penelitian Observasional analitik, dengan

menggunakan rancangan cross sectional untuk melihat hubungan antara infeksi

Kecacingan dengan Anemia dan status gizi pada anak Sekolah Dasar di SDN

Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala.

3.2. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan

Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun 2010. Penelitian dilakukan pada bulan

September 2010

3.3. Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Page 69: Skripsi ( Hal 28)

69

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 1 sampai kelas 4 Sekolah

Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala Tahun

2010.

3.3.2. Sampel

Sampel yang diteliti adalah siswa kelas 1 sampai kelas 4 didapatkan jumlah

sampel adalah 100 siswa

3.4. Variabel penelitian dan definisi Operasional

3.4.1 Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah :

a. Variabel bebas adalah Infeksi kecacingan

b. Variabel terikat adalah status gizi pada siswa

c. Variabel antara adalah anemia

3.4.2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat dan cara

mengukur

Skala Hasil

1

2

3.

Variabel

Antara

Variabel

bebas

Variabel

terikat

Anemia : suatu kondisi

pada anak SD dan MI

dengan kadar

haemoglobin (Hb) dalam

darah kurang dari normal

( kurang dari 12 gr%)

Infeksi Cacing : Parasit

manusia dan hewan yang

sifatnya merugikan

dimana manusia

merupakan hospes

beberapa nematode usus

yang diantara sejumlah

spesiesnya ditularkan

melalui tanah.

Status gizi : keadaan

sehat individu-individu

Metode Sahli

Pemeriksaan

kadar

Hemoglobin

(Hb)

Mikroskop

Pemeriksaan

Feces

Antropometri

Menggunakan

Nominal

Nominal

Nominal

Dikatakan

anemia bila

Hb <12 gr%

Normal > 12

gr%

Positif = ada

telur cacing

atau cacing

Negatif =

tidak

Ada telur

cacing atau

cacing

Kurus ,

Normal

Page 70: Skripsi ( Hal 28)

70

atau kelompok yang

ditentukan oleh derajat

kebutuhan fisik akan

energi dan zat-zat lain

yang diperoleh dari

pangan dan makanan

yang dampak fisiknya

diukur secara

antropometri.

Indeks Massa

Tubuh (IMT)

berdasarkan

tabel IMT

anak usia 2 -

20 tahun

(lampiran 2)

3.5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk memperoleh

data penelitian, instrumen dalam penelitian ini yaitu uji laboratorium,

(Notoatmodjo, 2002:48).

Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan cacing adalah :

1) Mikroskop

2) objek glass

3). Dek glass

4). Lidi

Bahan : lugol atau NaCl 0,9 %

Alat dan bahan yang diperlukan untuk uji Hb darah adalah :

1) Henometer Sahli

2) reagen HCl 0,1 N

3) Pipet Hb Sahli

4) Darah

5) Aquadest

Page 71: Skripsi ( Hal 28)

71

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang

dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan. Pengumpulan data dalam penelitian

ini berupa data primer dan data sekunder.

3.6.1 Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah Anemia dan Kecacingan serta

status gizi anak SDN Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala.

Metode pengambilan data : dengan uji laboratorium

Uji Laboratorium

3.6.1.1 Pemeriksaan cacing

Pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing secara mikroskopis adalah

sebagai berikut :

* Preparat kering, dengan lidi feses digosokan pada object gelas secara merata ,

tunggu dulu sampai kering, baru diberi + 5 tetes paraffin liquidum sampai rata

dan dilihat dengan mikroskop. Tampak warna Ascaris lumbricuides dan

Trichusris trichiura berwarna kekuningan, sedangkan telur Ancylostoma

duodenale berwarna putih.

3.6.1.2. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb)

Page 72: Skripsi ( Hal 28)

72

Pemeriksaan Hb untuk mendapatkan hasil yang cepat maka di gunakan

alat Hemotest. Adapun langkah-langkah yang di lakukan :

1. Masukan HCl 0,1 N ke dalam tabung pengencer henometer sampai pada

angka 2

2. Isap darah dengan pipet hemoglobin sampai garis tanda 0,02 ml

3. Bersihkan darah yang melekat pada ujung pipet

4. Alirkan darah dari pipet ke dasar tabung pengencer yang tadi berisi HCl,

hati-hati jangan sampai timbul gelembung udara.

5. Bilas sisa darah yang menempel pada pipet dengan cara mengisap HCl yang

ada dalam tabung tersebut, ditiup lagi dan lakukan 2 – 3 kali

6. Campur isi tabung sampai homogen, masukkan dalam alat pembanding dan

diamkan selama 5 menit untuk pembentukan hematin asam.

7. Tambahkan aquades tetes demi tetes sambil diaduk, sampai warna larutan

sama dengan warna gelas dari alat pembanding.

8. Baca skala pada tabung yang menunjukan kadar Hb. (Praktikum Biokimia ,

2004)

3.6.1.3 Status gizi

Data status gizi diperoleh dengan menggunakan indeks BB/TB dengan

standar WHO NCHS

1) Berat Badan

Diperoleh dengan cara penimbangan berat badan dengan menggunakan

timbangan injak dengan ketelitian 0,1 Kg yang telah dikalibrasi. Pengukuran

berat badan dilakukan tanpa menggunakan alas kaki, dan pakaian seminimal

mungkin.

Page 73: Skripsi ( Hal 28)

73

2) Tinggi Badan

Tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat Microtoise, yaitu dengan

memilih lantai yang rata dan tegak lurus dengan dinding 90 °C kemudian pita

ditarik sampai tepat angka nol (0) lalu di ujung pita dipaku pada tempat yang

disediakan dengan kuat.

Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data jumlah anak sekolah dan

lain-lain.

3.7. Teknik analisa data

3.7.1. Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa

langkah yang harus ditempuh, diantaranya:

1. Editing

Memeriksa kembali data - data yang telah dikumpulkan apakah ada

kesalahan atau tidak.

2. Coding

Pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban yang bersifat

kategori.

3. Tabulating

Penyusunan / perhitungan data berdasarkan variable yang diteliti.

Page 74: Skripsi ( Hal 28)

74

4. Cleaning

Membersihkan data dan melihat variable yang digunakan apakah

datanya sudah benar atau belum

5. Describing

Menerangkan hasil penelitian dari rekapan data. Teknik pengolahan data

penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data hasil pengamatan yang telah

diuji di laboratorium.

3.7.2 Teknik Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Analisis Univariat

Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi dari masing -

masing variabel independent /bebas (data infeksi kecacingan) dengan anemia

dan status gizi sebagai variabel dependen ( terikat )

b. Analisis Bivariat

Untuk menguji hipotesis hubungan antara variabel bebas (infeksi kecacingan)

dengan variabel terikat (anemia dan status gizi). Uji yang digunakan adalah uji

statistic berupa Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95% (alfa 0,05)

3.8.1 Prosedur Penelitian

Penelitian ini memiliki 3 tahapan yaitu tahap persiapan, tahap penelitian,

tahap perhitungan. Penjelasan lebih lengkapnya yaitu sebagai berikut :

I. Tahap Persiapan

Page 75: Skripsi ( Hal 28)

75

Dalam pengamatan dan pengukuran ini peneliti dibantu oleh seorang teknisi

dari Laboratorium Puskesmas Tamban. Langkah-langkah dalam persiapan,

yaitu :

1. Meregister data murid SD yang diambil sampel

2. Menyiapkan alat – alat yang diperlukan untuk penelitian seperti

Habenosahli set , timbangan dewasa, microtoice.

3. Menyiapkan alat-alat tulis untuk pencatatan hasil

II. Tahap Penelitian

1. Pengambilan data sampel feces murid untuk pemeriksaan cacing

2. Pengambilan data sampel darah murid untuk pemeriksaan Hb.

3. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk Hb dilakukan di tempat

penelitian sedangkan feces dilakukan pemeriksaan di laboratorium

Puskesmas Tamban

4. Hasil yang di dapat dicatat dengan membuat Tabel data untuk

mempermudah melihat hasil pemeriksaan.

III. Tahap Perhitungan

Tahap ini dilakukan setelah diperoleh data status gizi, Hb dan Cacing siswa

SD. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan menggunakan Program

SPSS pada computer.

3.9. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari ada beberapa keterbatasan dalam melakukan penelitian .

Antara lain :

1.Sampel penelitian terbatas jumlahnya, dikarenakan oleh berbagai faktor luar

sehingga hasil dirasa kurang maksimal.

Page 76: Skripsi ( Hal 28)

76

2.Instrumen atau kurangnya fasilitas alat penunjang penelitian yang memadai .

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi Data

SDN Purwosari I.1 berada di ibukota kecamatan Tamban merupakan salah

satu sekolah dasar negeri dari 32 SD yang ada di Kecamatan Tamban Kabupaten

Barito Kuala. Dengan jumlah murid 150 orang dan 9 orang guru termasuk kepala

sekolah

Tabel 1 Keadaan Siswa SDN Purwosari I.1 Tahun Ajaran 2009/2010

KELAS JUMLAH SISWA

L P JUMLAH

I 17 11 28

II 17 16 33

III 14 13 27

IV 13 14 27

V 12 13 25

VI 6 14 20

JUMLAH 79 71 150

Page 77: Skripsi ( Hal 28)

77

4.1.2 Distribusi Responden berdasarkan Umur Anak SD

Tabel. 2 Distribusi Responden menurut Umur Siswa

No Umur Frekuensi Persentase (%)

1 6 15 15 %

2 7 10 10 %

3 8 23 23 %

4 9 26 26 %

5 10 6 6 %

6 11 2 2 %

7 12 8 8 %

Jumlah 100 100 %

Berdasarkan hasil penelitian didapat Frekuensi umur dari 100 siswa kelas I, II,

III Sekolah Dasar Negeri Purwosari I.1 Kecamatan Tamban Kabupaten Barito Kuala

Tahun 2010 yang berumur 6 tahun berjumlah 15 siswa (15%) , berumur 7 tahun

berjumlah 23 siswa (23 %), berumur 8 tahun berjumlah 23 siswa (23%), berumur 9

tahun berjumlah 26 siswa (26 %) dan berumur 10 tahun 6 siswa (6%), berumur 11

berjumlah 2 siswa dan 12 tahun 8 siswa berjumlah 8 siswa(Tabel. 2)

4.1.3 Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin

Tabel.3 .Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin Siswa

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

1 Laki-laki 48 48 %

Page 78: Skripsi ( Hal 28)

78

2 Perempuan 52 52 %

Jumlah 100 100 %

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa frekuensi siswa yang berjenis

kelamin laki-laki berjumlah 48 siswa ( 48 %) dan yang berjenis kelamin perempuan

berjumlah 52 siswa (52 % )

4.1.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Orang Tua Siswa

Tabel. 4 Distribusi Responden berdasarkan Pekerjaan Orang Tua Siswa

No Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

1 PNS 10 10 %

2 Buruh tani 15 15 %

3 Petani 65 65 %

4 Wiraswasta 5 5,0 %

5 Pedagang 5 5,0 %

Jumlah 100 100 %

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan frekuensi orang tua siswa yang bekerja

sebagai petani sebanyak 65 siswa (65%) , orang tua siswa yang bekerja sebagai

pedagang sebanyak 5 siswa (5%) , orang %tua siswa yang bekerja sebagai wiraswasta

sebanyak 2 orang (5%), orang tua siswa yang bekerja sebagai buruh tani 15 siswa (15)

dan orang tua siswa yang bekerja sebagai PNS sebanyak 10 orang (10 %).

4.1.4 Distribusi Kejadian Penyakit Cacingan

Tabel. 5 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan

No Infeks Cacing Frekuensi Persentase (%)

1 Positif 8 8 %

2 Negatif 82 82 %

Page 79: Skripsi ( Hal 28)

79

Jumlah 100 100%

Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siwa yang positif cacingan yaitu terinfeksi

cacing kremi (Enterobius vermicularis) sebanyak 8 siswa dan negatif cacingan

sebanyak 82 siswa . Siswa sebagian besar 82 % tidak terinfeksi cacingan ini

dikarenakan sebagian besar orang tua siswa sudah memberikan obat cacing kepada

anaknya sebelum pelaksanaan penelitian.

4.1.5 Distribusi Kejadian Anemia

Tabel. 6 Distribusi Responden berdasarkan Status Anemia

No Kejadian Penyakit Anemia Frekuensi Persentase (%)

1 Anemia 16 16%

2 Tidak Anemia 84 84 %

Jumlah 100 100 %

Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siswa yang Anemia sebanyak 6 siswa dan yang

tidak Anemia sebanyak 34 siswa . Sebagian besar siswa tidak anemia karena beberapa

orang tua siswa sudah memberikan suplemen makanan seperti Curcuma Plus, Biolysin

dan lain-lain.

4.1.6 Distribusi berdasarkan status Gizi

Tabel. 7 Distribusi Responden berdasarkan Status Gizi

No Status Gizi Frekuensi Persentase (%)

1 kurus 16 16 %

2 normal 84 84 %

Jumlah 100 100 %

Page 80: Skripsi ( Hal 28)

80

Berdasarkan hasil penelitian frekuensi siswa dengan status gizi kurus

sebanyak 16 siswa (16 %) dan yang normal sebanyak 84 siswa (84%)

4.1.7 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Kecacingan dengan

Anemia

Tabel. 8 Distribusi Responden berdasarkan

Infeksi Kecacingan dengan Anemia

No Infeksi cacing Status anemia Jumlah p X2

Positif Negatif

1 Positif 5 3 8 0,004

14,38

2 Negatif 8 84 92

Jumlah 13 87 100

Tabel 8 menunjukan bahwa siswa SD yang anemia dan positif terinfeksi

cacing sebanyak 5 siswa (5%), siswa SD yang Anemia dan negatife terinfeksi cacing

sebanyak 8 siswa (8 %) , sedangkan siswa SD yang tidak anemia tetapi positif

terinfeksi cacing sebanyak 8 siswa (8 %) , siswa SD yang tidak anemia dan tidak

terinfeksi cacing sebanyak 92 siswa (92 %).

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji Fishers exact test

dengan nilai p = 0,004 dibawah nilai α (0,05) maka nilai p < α . Interprestasi hasil uji

statistic adalah Ho ditolak artinya terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi

kecacingan dengan anemia.

4.1.8 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dan Status Gizi

Page 81: Skripsi ( Hal 28)

81

Tabel. 9 Distribusi Responden berdasarkan Anemia dan Status Gizi

No Anemia Status gizi Jumlah p X2

Kurus Normal

1 Positif 6 12 18 0,599

0,99

2 Negatif 35 47 74

Jumlah 41 59 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa siswa SD yang mempunyai status gizi kurus

dengan anemia sebanyak 6 siswa (6 %), siswa SD dengan status gizi normal yang

anemia sebanyak 12 siswa (12 %) , siswa SD yang status gizinya kurus dan tidak

anemia sebanyak 35 siswa (35 %) dan siswa dengan status gizi normal yang tidak

anemia sebanyak 59 siswa (59 %).

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji Fishers exact dengan

nilai p = 0,0599 diatas nilai α = 0,05 maka p> α . Interpretasi hasil uji statistik adalah

tidak ada hubungan bermakna antara anemia dengan status gizi.

4.1.9 Distribusi Responden berdasarkan Infeksi Cacing dengan Status Gizi

Tabel. 10 Distribusi Responden berdasarkan

Infeksi Cacing dengan Status Gizi

No Infeksi

cacing

Status gizi Jumlah p X2

Kurus Normal

1 Positif 2 6 8 0,466

1,31

2 Negatif 39 53 92

Jumlah 41 59 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa siswa SD yang positif terinfeksi cacing dengan

status gizi kurus sebanyak 2 siswa (2 %), siswa yang positif terinfeksi cacingan

dengan status gizi normal sebanyak 6 siswa (6 %), siswa yang tidak terinfeksi

Page 82: Skripsi ( Hal 28)

82

cacing dengan status gizi kurus sebanyak 39 siswa (39 %) dan siswa yang tidak

terinfeksi cacing dan status gizinya normal sebanyak 53 siswa (53 %).

Berdasarkan uji statistic dengan Fishers exact dengan nilai p = 0,456 diatas

nilai α = 0,05 maka nilai p > α berarti Ho diterima artinya tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara infeksi kecacingan dengan status gizi.

B. Pembahasan

3. Tingkat Kejadian Penyakit Cacingan

Infeksi Cacingan merupakan salah satu penyebab terjadinya Anemia dan

kekurangan status gizi pada anak-anak. Dampak dari penyakit cacingan sangat

mempengaruhi kualitas dan kuantitas mutu intelegensia anak.

Penyakit cacingan lebih banyak menyerang pada anak Sekolah Dasar atau

Madrasah Ibtidaiyah di karenakan aktifitas mereka yang lebih banyak

berhubungan dengan tanah. Diantara cacing tanah yang ada yang sering

menyerang adalah Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Americanus),Cacing Cambuk (Trichuris trichihura) dan Cacing Kremi (Enterobius

Vermicularis). Cacing sebagai parasit tidak saja mengambil zat-zat gizi dalam usus

anak, tetapi juga merusak dinding usus sehingga mengganggu penyerapan zat-zat

gizi tersebut. Anak yang terinfeksi cacingan biasanya mengalami lesu, pucat atau

anemia, berat badan menurun, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, kadang

disertai batuk-batuk.

Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa siswa sebagian besar 82 % tidak

terinfeksi cacingan ini dikarenakan sebagian besar orang tua siswa sudah

memberikan obat cacing kepada anaknya sebelum pelaksanaan penelitian. Siswa

yang positif terinfeksi cacingan (Cacing Kremi) sebanyak 8 orang (8%).

Page 83: Skripsi ( Hal 28)

83

Dihubungkan dengan konsep dan teori tentang infeksi cacingan pada anak sekolah

dasar di harapkan relevan dengan fakta yang ada bahwa semakin sering anak main

dengan tanah dan tidak menjaga higiene dan sanitasi maka akan mudah terinfeksi

cacingan, oleh sebab itu perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan kesehatan

rutin.

2. Tingkat Kejadian Anemia Anak Sekolah

Hasil penelitian dari 100 anak sekolah dasar menunjukkan bahwa anak

sekolah sebagian besar tidak mengalami (84 %) , sedangkan 16 orang mengalami

anemia (16 %). Hal ini dikarenakan sebagian besar dari anak sekolah dasar sudah

mengkonsumsi makanan dengan gizi yang baik dan tidak terinfeksi cacingan.

Selain itu adanya pemberian suplemen oleh orang tua siswa semakin menambah

tingkat kesehatan siswa lebih baik. Sedangkan pada 16 orang siswa yang

mengalami anemia resiko anemia pada siswa perempuan lebih tinggi dibanding

siswa laki-laki karena pada siswa perempuan mengalami masa menstruasi pada

usia remaja, sehingga perdarahan yang keluar jika terlalu banyak dapat

menyebabkan anemia. Oleh sebab itulah mengapa pada anak siswa perempuan

atau remaja putri dianjurkan mengkonsumsi tablet tambah darah sebagai langkah

pencegahan anemia. Karena pada masa ini kebutuhan akan zat besi meningkat dari

biasanya dan tidak hanya cukup dari makan saja.

Di Indonesia prevalensi anemia pada anak sekolah berdasarkan Survey

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan 47,3% dan sebagian

besar penyebabnya karena kekurangan zat besi mencakup sekitar 25 – 40 % .

Kondisi ini menurunkan daya tahan siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang

gairah belajar dan tidak cepat tanggap.

Page 84: Skripsi ( Hal 28)

84

3. Tingkat Status Gizi Siswa Sekolah Dasar

Berdasarkan hasil penelitian 100 anak menunjukan bahwa siswa sekolah

dasar sebagian besar mempunyai status gizi normal sebanyak 84 siswa (84 %) . ini

menunjukan bahwa tingkat status gizi siswa baik yaitu antara asupan zat gizi dan

kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai keperluan proses biologi adalah

seimbang. Keseimbangan zat gizi dapat mempengaruhi pertumbuhan,

perkembangan, kecerdasan, pemeliharaan kesehatan, aktivitas dan lain – lain

(Abas Basuni, 2003).

Sedangkan 16 orang siswa mengalami status gizi kurus (16 %) penyebabnya

adalah kurangnya asupan gizi dan tinggi aktifitas siswa (main), kondisi ini harus

segera di tangani menurut Soeharjo (1989) status gizi adalah sehat individu-

individu atau kelompok yang ditentrukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi

dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak

fisiknya diukur secara antropometri.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebagian anak Sekolah Dasar dan

Madrasah Ibtidaiyah masih mengalami masalah gizi yang serius. Hasil kegiatan

Pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah tahun 1998 menunjukan bahwa

37,8 % anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah yang baru masuk sekolah

menderita Kurang Energi Protein (KEP). Hal ini perlu adanya pengawasan dan

konseling gizi kepada siswa dan juga orang tua siswa.

4. Hubungan Infeksi Cacing dengan Anemia

Berdasarkan hasil penelitian pada siswa Sekolah Dasar yang positif terinfeksi

cacing tetapi tidak anemia sebanyak 3 orang (3 %). Ini berarti siswa yang

terinfeksi cacing tidak mengalami anemia ini bisa terjadi karena jenis cacing yang

Page 85: Skripsi ( Hal 28)

85

terdeteksi adalah karena cacing kremi, karena infeksi cacing ini relatif tidak

berbahaya .Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi disekitar anus, perinium

dan vagina karena cacing betina yang mau bertelur biasanya bermigrasi di daerah

ini. Penderita juga sering menggaruk daerah anusnya, dan biasanya pada malam

hari sehingga terganggu tidurnya dan menjadi lemah . cacing kremi dapat sembuh

sendiri jika tak ada pengobatan pun infeksi dapat berakhir. Cara yang dilakukan

adalah dengan memutus mata rantai cacing kremi tersebut yaitu dengan melakukan

pencegahan infeksi dan peningkatan kebersihan. Misalnya kuku selalu dipotong

pendek, tangan dicuci sebelum makan. Siswa yang positif anemia tetapi tidak

terinfeksi cacing sebanyak 8 orang (8 %). Ini berarti anemia yang dialami siswa

sekolah dasar di tempat penelitian bukan disebabkan karena penyakit cacingan,

melainkan mungkin disebabkan faktor lain . Sedangkan siswa yang terinfeksi

cacing dengan anemia ada 5 orang (5%) . Infeksi cacingan mengganggu masukan

makan, penyerapan, penyimpanan serta penggunaan berbagai zat gizi, termasuk zat

besi.

Pada masyarakat pedesaan dan daerah urban yang kumuh dimana sanitasi

lingkungan buruk, angka kesakitan akibat infeksi virus, kecacingan dan bakteri tinggi.

Dalam masyarakat tersebut makanan yang sering di makan mengandung sangat sedikit

energi. Kalau keseimbangan zat besi goyah , episode infeksi yang berulang-ulang

dapat menyebabkan terjadinya anemia (Maeyer, 1995).

Anemia bisa disebabkan bukan hanya oleh defisiensi zat besi tetapi juga oleh

kondisi-kondisi lain seperti penyakit Malaria, Cacing Tambang (Ancylostomiasis atau

Necatoriasis), Schistomosiasis dan infeksi – infeksi lain berperan penting di daerah –

daerah yang beriklim tropis (Maeyer, 1995). Kelebihan zat besi yang berlebihan pada

Page 86: Skripsi ( Hal 28)

86

pendarahan termasuk haid yang berlebihan, sering melahirkan dan pada infeksi cacing

dimana cacing menyebabkan banyak darah yang keluar, sehingga mengganggu

keseimbangan zat besi dimana zat besi yang dikeluarkan lebih banyak dari zat besi

yang masuk menyebabkan seseorang mengalami anemia berat (kadar Hb < 8 gr%).

Upaya pencegahan dan penanggulangan selain pada anemianya, harus di lakukan

pengobatan terhadap penyakit-penyakit yang melatarbelakangi terjadinya anemia

(Depkes RI, 1999).

Dari hasil beberapa penelitian permasalahan gizi yang menonjol pada anak

sekolah dasar adalah kekurangan zat besi mencakup sekitar 25 – 40 %. Kondisi ini

dapat menurunkan daya tahan, siswa cepat lelah, lamban geraknya, kurang gairah

belajar dan tidak cepat tanggap. Hal ini diperburuk lagi dengan di jumpainya

gangguan infeksi kecacingan yaitu sebesar 40-70% merupakan angka yang cukup

tinggi. Apabila keadaan ini berlangsung lama akan memberi dampak terhadap

status gizi anak (Forum Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat , 1997).

5. Hubungan Anemia dengan Status Gizi

Berdasarkan tabel 8 siswa dengan anemia dan status gizi kurus sebanyak 6

orang (6%). Hal ini dikarenakan anak mengalami masa pertumbuhan yang cepat,

maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu di tambahakan kepada jumlah

zat besi yang dikeluarkan lewat bassal. Selain itu anak membutuhkan zat besi

untuk menambah massa sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh. Sel –

sel darah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari sel-sel darah merah mati dan

diganti dengan yang baru. Apabila dalam makanan tidak terdapat zat besi yang

cukup maka pembentukan sel-sel darah merah dan pertumbuhan jaringan tubuh

Page 87: Skripsi ( Hal 28)

87

anak akan terganggu , yang memberi dampak pada status gizi anak (Mahdi dkk,

1999).

Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang di

transport ke sel tubuh maupun otak. Anemia sedang dan ringan dapat

menimbulkan gejala 5 L yaitu letih, lesu, lemah, lelah dan lalai, samping itu

seringkali disertai keluhan pusing dan mata berkunang-kunang dan penderita

anemia akan menurunkan kemampuan atau prestasi belajar. Hal ini tentu saja

sangat merugikan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia (Depkes RI,

1999).

Anemia pada anak dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada

pertumbuhan, baik pada sel tubuh maupun sel otak, sehingga anak yang anemia

akan mengalami gangguan pertumbuhan, tidak dapat mencapai tinggi yang

optimal, anak menjadi kurang cerdas, daya tahan tubuh menurun akibatnya mudah

terkena penyakit infeksi (Depkes RI, 1999).

Siswa yang tidak mengalami anemia tetapi dengan status gizi kurus

sebanyak 35 orang(35%). Ini menunjukan bahwa sebagian besar siswa SDN

Purwosari I.1 Kecamatan Tamban adalah sehat tetapi karena asupan makan yang

kurang menyebabkan status gizinya menjadi kurang. Keadaan ini dapat diatasi

dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang sesuai dengan

kebutuhan tubuh siswa.

6. Hubungan Infeksi Kecacingan dengan Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian 100 siswa yang terinfeksi cacing dengan status

gizi kurus sebanyak 2 siswa (2%). Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk

sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam

Page 88: Skripsi ( Hal 28)

88

tubuh. Antara gizi buruk dan penyakit infeksi sesungguhnya mempunyai timbal

balik yang sangat erat, sehingga sering sukar untuk mengidentifikasi mana dari

kedua keadaan itu yang datang lebih dulu. Dalam banyak kejadian terjadi

sinergisitas antara gizi buruk dan penyakit infeksi dan akibat yang terjadi tentu saja

sangat fatal (Moehji, 2003).

Gizi buruk akan menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh.

Perubahan morfologis yang terjadi pada jaringan limphoid yang berperan dalam

sistem kekebalan akibat gizi buruk, menyebabkan pertahanan tubuh menjadi

lemah, kekebalan seluler yang dimungkinkan oleh berfungsinya kelenjar thymus

berkurang karena kelenjar thymus mengecil akibat kekurangan gizi. Produksi

berbagai antibodies juga berkurang disamping terjadi atropi pada dinding usus

menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan

masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Keseluruhan gangguan pada sistem

pertahanan tubuh itu berlangsung serentak pada penderita gizi buruk sangat mudah

terserang penyakit lebih-lebih jika lingkungan anak tidak mendukung (Moehji,

2003).

Sebaliknya penyakit infeksi seperti kecacingan yang menyerang anak

menyebabkan gizi anak menjadi buruk . Memburuknya keadaan gizi anak akibat

penyakit infeksi adalah akibat beberapa hal antara lain : Turunnya nafsu makan

anak akibat rasa tidak nyaman yang dialami, sehingga masukan zat gizi berkurang

padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak terutama untuk

mengganti jaringan tubuhnya yang rusak akibat bibit penyakit itu , penyakit infeksi

sering dibarengi oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan

cairan dan sepuluh zat gizi seperti berbagai mineral dan sebagainya, dan adanya

Page 89: Skripsi ( Hal 28)

89

diare menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan juga terganggu, sehingga

keseluruhan mendorong terjadinya gizi buruk, naiknya metabolisme basal akibat

demam dapat menyebab termobilisasinya cadangan energi dalam tubuh.

Penghancuran jaringan tubuh oleh bibit penyakit juga akan semakin banyak dan

untuk menggantinya diperlukan masukan protein yang lebih banyak (Moehji,

2003).

Status gizi kurang atau buruk dapat meningkatkan kerentanan terhadap

penyakit infeksi dan memperberat infeksi tersebut juga penyakit infeksi akan

memperburuk status gizinya (Rudiansyah, 2000).

Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau

menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan. Parasit dalam usus

seperti cacing gelang dan sebagainya bersaing dengan tubuh dalam memperoleh

makanan dan dengan demikian menghalangi zat gizi ke dalam arus darah, keadaan

yang demikian membantu terjadinya kurang gizi (Suhardjo, 1996).

Akibat penghisapan zat – zat makanan dan darah oleh cacing , semakin

lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh sehingga

menyebabkan tubuh penderita menjadi kurus dan status gizinya menurun ( Brown,

1989) .

Page 90: Skripsi ( Hal 28)

90

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Jumlah yang terinfeksi cacing adalah sebanyak 8 siswa dengan jenis cacing

yang ditemukan dari hasil penelitian adalah cacing kremi (Enterobius

Vermicularis).

2. Jumlah yang positif anemia adalah sebanyak 16 siswa (16 %) sedangkan yang

tidak anemia sebanyak 84 siswa (84 %).

3. Jumlah siswa dengan status gizi kurus sebanyak 16 orang (16 %) sedangkan

siswa dengan status gizi normal sebanyak 84 orang atau 84 % dari total

sampel yang diteliti.

4. Jumlah siswa yang positif terinfeksi kecacingan dengan anemia adalah 5 orang

(5 %) , negatif terinfeksi cacingan dengan anemia 8 orang (8 %), positif

terinfeksi cacingan dan tidak anemia sebanyak 3 orang (3 %) sedangkan yang

tidak terinfeksi cacingan dan tidak anemia sebanyak 84 orang atau 84 % dari

Page 91: Skripsi ( Hal 28)

91

total sampel yang diteliti dengan hasil uji statistik terdapat hubungan yang

bermakna antara kejadian infeksi kecacingan dengan anemia.

5. Jumlah siswa yang anemia dengan status gizi kurus sebanyak 6 orang (6 %),

tidak anemia dengan status gizi kurus sebanyak 35 orang (35 %), siswa

yang anemia dengan status gizi normal sebanyak 12 orang sedangkan yang

tidak anemia dan status gizinya normal sebanyak 47 orang atau 47 % dari total

sampel yang diteliti. dengan hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan anemia.

6. Jumlah siswa yang terinfeksi cacingan dengan status gizi kurus sebanyak 1

orang (1 %) , Positif terinfeksi cacingan dengan status gizi normal sebanyak 3

orang (3 %), tidak terinfeksi cacingan dengan status gizi kurus sebanyak 39

orang (39 %) sedangan yang tidak terinfeksi cacingan dan status gizinya

normal sebanyak 57 orang atau 57 % dari total sampel yang diteliti. dengan

hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi

dengan infeksi kecacingan.

B. Saran

1. Adanya kebijaksanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Barito Kuala mengenai

program pencegahan dan pengobatan penyakit cacingan.

2). Meningkatkan kerjasama antara kepala sekolah dan guru untuk memberi

bimbingan, pengarahan tentang higiene perorangan dan sanitasi lingkungan

kepada siswa dalam upaya menurunkan prevalensi penyakit cacingan.

3). Diharapkan ada peran serta orang tua dalam usaha pencegahan dan

pengobatan penyakit cacingan dan anemia

Page 92: Skripsi ( Hal 28)

92

DAFTAR PUSTAKA

Abas Basuni, Jahari (2003). Pemantauan pertumbuhan balita, pusat penelitian dan

pengembangan gizi dan makanan . Jakarta; Pusat Penelitian dan pengembangan

kesehatan; 1-3

Almatsier ,Sunita (2002). Prinsif Dasar Ilmu Gizi. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka

Utama,

Damayanti, Didit (1996). Modul Kuliah Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan . Jakarta :

Akademi Gizi Jakarta : 16

Depkes RI (2006) Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424 / MENKES /

SK/VI, Pedoman Pengendalian Cacingan, Jakarta.

Effendi, Oeswari, 1991, Penyakit dan Penanggulangannya, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Depkes RI(1991)Parasitologi Medik Helmintologi. Pendidikan Tenaga Kesehatan : 18,

33 – 37

Depkes RI (1990) Pedoman Pemberian Tablet Besi-Folat dan Sirup Besi Bagi

Petugas. Jakarta; Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat

Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2 – 6, 14 -15

Page 93: Skripsi ( Hal 28)

93

Depkes RI,(1989) Anak Anda Pada Umur 6 – 12 Tahun. Jakarta; Pusat Pendidikan

Tenaga Kesehatan; 1 ,1989

Direktorat Gizi Masyarakat (2005). Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar

dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta : Depkes RI ,

Depkes RI (1996) , 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang . Jakarta, Direktorat bina gizi

masarakat

Direktorat Gizi Masyarakat.(2005) Anemia Gizi dan Tablet Tambah Darah (TTD)

untuk Wanita Usia Subur. Jakarta : Depkes RI,

Forum Koordinasi PMT-AS Tingkat Pusat,(1997). Pedoman Pelatihan Program

Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) Tingkat Desa/Kelurahan, Jakarta.

Herdinaman T. Pohan .(2007 Penyakit Cacing yang ditularkan melalui Tanah

Hal.1764 – 1766.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III E) Edisi IV .Jakarta :

FKUI,

Hardiman T. Pohan .(2007) Pendekatan Terhadap Pasien Anemia Hal 622 – 658 Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV .Jakarta : FKUI.

Harold W Brown,(1989).Dasar Parasitologi Klinis , Jakarta; Gramedia

HKI Indonesia (1997) Di sampaikan pada Sosial Marketing Sumber Vitamin A Alami

di Banjarmasin :1 – 5

Maeyer, De E.M,(1995) Pencegahan dan Pengawasan Anemia Difisiensi Bes. Jakarta,

Widya Medika ; 4 – 5, 9 – 10.

Muchtadi, Deddy dkk, 1993 Metabolisme Zat Besi, Sumber, Fungsi dan Kebutuhan

bagi Tubuh Manusi. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan; 154 -155

Page 94: Skripsi ( Hal 28)

94

Mahtadin, A.Husaini dkk (1999) Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi

Dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program

Jakarta , Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes dengan Pusat

Penelitian dan pengembangan Gizi : 17, 37, 59, 114

Moehji, Sjahmien (2003) Ilmu Gizi 2, Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Papas

Sinar Sianati :73, 93

Notoadmojo,Syamien (1993), Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta, Rineka

Cipta:121

Notoatodjo ,Soekidjo, 2002, Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatodjo ,Soekidjo, 2003 Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsif – prinsif Dasar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Peter J. Hotes, 2003, Soil Transmitted Helminth infection: The Nature, Causes and

Burden of the condition, WHO: Departemen of Mikrobiologi and Tropical

Medicine The George Washington University.

Praktikum Biokimia Gizi (2004) Laporan Praktikum Biokimia Gizi Politeknik

Kesehatan Banjarmasin : 18. Banjarmasin

Puslitbang Gizi Bogor (1990) Penelitian Sistem Distribusi Preparat Besi Pada

Wanita Hamil dan Anak Pra Sekolah Untuk Mengatasi Anemia : 18, 25.Buku

Ajar untuk Kader Gizi Tentang Anemia atau Kurang Darah.

Riyadi, Hadi. (2001) Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri.

Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor :3,5 – 6

Page 95: Skripsi ( Hal 28)

95

Rudiansyah (2000) Makalah Pengantar Epidemiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru

Srisasi Gandahusada, 2000, Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta: EGC

Supariasa,I Dawa Nyoman dkk.(2002), Penilaian Status Gizi. Jakarta; Penerbit Buku

Kedokteran

Tan Huan Tjay dkk.(2002) Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek

Sampingnya .Jakarta: PT. Elex Med

UP. KTI, 2010 ,Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Edisi ke Banjarbaru :

STIKES Husada Borneo

Page 96: Skripsi ( Hal 28)

96

LAMPIRAN