SKRIPSI BAB I-V
-
Upload
pocong-tampan -
Category
Documents
-
view
7.014 -
download
1
Transcript of SKRIPSI BAB I-V
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tahun-tahun terakhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ditandai terutama
oleh semakin intens-nya globalisasi. Dalam zaman atau era globalisasi ini
kerjasama antar bangsa di dunia juga berkembang dengan pesat dan semakin
meningkat. Perkembangan atau peningkatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di sektor komunikasi dan
informasi. Globalisasi dan perkembangan hubungan antar bangsa itu telah
meningkatkan akses, keterbukaan dan kemudahan untuk memperoleh informasi
dan melakukan komunikasi.
Edward Depari dalam bukunya Komunikasi dalam Organisasi, mendefinisikan komunikasi sebagai proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan (Widjaja, 2000 : 13). Sumber informasi sangat beragam, baik yang berbentuk media elektronik
maupun media cetak. Karena teknologi informasi dan kapital (modal) di
dominasi oleh negara industri maju (terutama Amerika Serikat), maka pengaruh
dan arus informasi yang berasal dari Barat menjadi sangat dominan. Misalnya,
Reuter, CNN, AFP, BBC merupakan sumber utama informasi.
Teknologi informasi…(Ely, 1982) ”mencakup sistem-sistem komunikasi seperti satelit siaran langsung, kabel interaktif dua-arah, penyiaran bertenaga rendah (low-power broadcasting), komputer (termasuk personal-komputer dan komputer genggam yang baru), dan televisi (termasuk video disk dan video tape cassette)” (Nasution, halaman 5).
1
Masalahnya, sikap atau persepsi media Barat mengenai berbagai issu
tidak jarang berbeda dengan sikap atau persepsi Pemerintah dan masyarakat
Indonesia. Misalnya, mengenai masalah terorisme internasional (mengenai
masalah perjuangan bangsa Palestina), sikap atau persepsi media Barat
(khususnya Amerika Serikat) cenderung bias, atau tidak seimbang, dan
seringkali mengkaitkannya dengan kelompok Islam. Dominasi media Barat
tersebut dapat berpengaruh besar terhadap pembentukan opini atau sikap
masyarakat. Bahkan, bisa mengakibatkan persepsi masyarakat yang keliru
mengenai kebijakan Pemerintah Indonesia. “Tidak hanya itu, Deplu pun semakin
harus bergeliat seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Kemajuan itu
membuat semua pihak bisa dalam sekejap akan terlimpah dengan berbagai
informasi. Kondisi itu kadang justru membuat seseorang akan terjebak pada apa
yang disebut sebagai paradox of plenty” (Kompas edisi 10 Maret, 2002 : 3).
“Ada dua hal yang diperhatikan reporter. Hal pertama, tidak setiap “posisi atau pengalaman” dari sumber berita “akan dan mesti” tahu akan informasi yang dipertanyakan. Ini mungkin berhubungan dengan ketidaktahuan sumber berita. Atau, sumber berita yang kurang pandai berbicara dan menyampaikan keterangan. Sumber berita yang memang tidak mau membagi informasi. Dan terakhir, sumber lupa mengingat fakta-keterangan yang dibutuhkan reporter” (Kurnia, 1999 : 40).
Sementara itu, pada saat yang sama, situasi dalam negeri telah mengalami
perubahan yang mendasar, dari suatu situasi atau sistem yang otoriter menjadi
sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Sejalan dengan globalisasi dan
perkembangan atau perubahan dalam negeri, di Indonesia juga semakin mudah
memperoleh akses terhadap informasi dan perkembangan internasional.
Menlu mencatat “perubahan mendasar pada tingkat nasional, dimulai sejak reformasi 1998, yang bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu
2
demokratisasi, penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), penegakan hak asasi manusia (HAM), dan upaya pemulihan ekonomi”. “Akibat langsung dari perubahan mendasar itu, aktor politik dan hubungan luar negeri semakin banyak. Selain itu, seiring dengan proses demokratisasi, terjadi pula pergeseran kekuasaan dari eksekutif dan legislatif. Kondisi itu dari satu sisi membuat DPR, masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa, dan para pengamat politik yang makin aktif serta kritis terhadap masalah politik luar negeri”. “Salah satu konsekuensi dari perkembangan itu, keputusan atau kebijakan politik luar negeri, lalu tidak hanya menjadi monopoli “Pejambon, Merdeka Utara, dan Merdeka Barat”. Karena itu, proses pengambilan keputusan kadang justru menjadi semakin kompleks” (Kompas edisi 10 Maret, 2002 : 3).
Dengan latar belakang itulah maka pimpinan Departemen Luar Negeri
memandang perlu untuk membentuk atau menetapkan suatu unit organisasi atau
pejabat tertentu di lingkungan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
yang diberi wewenang dan mampu untuk memberikan atau menyajikan
informasi yang akurat dan tepat waktu kepada masyarakat luas melalui pers, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.
“Meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui
penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan, komunkasi guna
memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global” (GBHN
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, Bab IV Arah Kebijakan, 1999 : 29).
Dalam keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
SK.053/OT/II/2002/01 Tahun 2002, tentang Organisasi Tata Kerja Departemen
Luar Negeri Republik Indonesia, di tetapkan bahwa “Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia merupakan unsur pelaksana Pemerintah di bidang
pemerintahan luar negeri” (Pasal 1), yang “mempunyai tugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang politik dan
3
hubungan luar negeri” (Pasal 2). Fungsi dari Departemen Luar Negeri itu sendiri
antara lain, “melaksanakan Politik Luar Negeri serta menyelenggarakan
Hubungan Luar Negeri” (Pasal 3).
Dalam hal ini, hubungan luar negeri adalah “setiap kegiatan yang
menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di
tingkat pusat dan tingkat daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara,
badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau warga negara Indonesia” (Pasal 1). Sedangkan yang dimaksud
dengan politik luar negeri adalah “kebijakan, sikap, dan langkah yang diambil
Pemerintah Republik Indonesia dalam melakuakan hubungan dengan negara
lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya dalam
rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional”
(Undang-undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri).
Contoh dari politik luar negeri adalah sikap dan kebijakan Pemerintah
Indonesia (yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri) mengenai masalah
Palestina, yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas terhadap perjuangan bangsa
Palestina. Contoh lainnya adalah kebijakan Pemerintah Indonesia yang menolak
mengkaitkan terorisme dengan agama atau pengikut agama manapun, dan
mendukung peran kepemimpinan PBB dalam upaya menanggulangi terorisme
internasional.
Di masa lalu, struktur organisasi Departemen Luar Negeri dibagi, antara
lain, atas dasar fungsional, sehingga terdapat unit-unit yang ditugaskan khusus di
bidang tertentu. Karena itu, terdapat pemisahan antara unit di bidang politik
4
(Direktorat Jenderal Politik dan jajarannya) dengan unit di bidang ekonomi
(Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri atau HELN dan
jajarannya). Berdasarkan struktur organisasi yang lama tersebut terdapat
Direktorat Penerangan Luar Negeri, yang ditugaskan untuk memberikan
penerangan (informasi) luar negeri.
Dalam struktur lama tersebut tidak terdapat suatu unit khusus, atau
pejabat khusus, yang diberi wewenang atau tugas menjadi ‘Juru Bicara’
Departemen Luar Negeri. Karena itu, tugas menjadi Juru Bicara atau Spokesman
Departemen Luar Negeri seringkali harus dilakukan oleh Menteri Luar Negeri
sendiri. Hal demikian sesungguhnya tidak lazim, karena disamping Menteri Luar
Negeri adalah pemimpin departemen, juga mempunyai kesibukan yang sangat
tinggi dan seringkali berada atau bertugas di luar negeri.
Pada Departemen atau Kementerian Luar Negeri di negara lain, misalnya
di State Department Amerika Serikat, terdapat pejabat khusus sebagai spokesman
Departemen Luar Negeri, yang secara teratur memberikan penjelasan kepada
pers atau masyarakat tentang berbagai issu penting atau tentang kebijakan
Pemerintah dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Dengan adanya tuntutan kebutuhan yang meningkat, tuntutan efisiensi
organisasi, dan kompleksitas masalah yang dihadapi, dirasakan keperluan adanya
Juru Bicara Departemen Luar Negeri, yang mampu menjelaskan dengan baik,
efektif dan akurat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi, kepada
masyarakat di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan adanya
restrukturisasi yang diputuskan pada akhir tahun 2001 dan dilaksanakan pada
5
awal tahun 2002, Departemen Luar Negeri telah menunjuk pejabat khusus
dengan tingkat kredibilitas yang tinggi untuk bertindak sebagai Juru Bicara
Departemen Luar Negeri, guna mewakili Menteri Luar Negeri memberikan
informasi atau penjelasan mengenai berbagai masalah yang dihadapi atau
kebijakan Departemen Luar Negeri kepada pers.
Dari segi pengertian, ”Juru Bicara adalah orang yang kerjanya memberi
keterangan resmi dan sebagainya kepada umum; pembicara yang mewakili suara
kelompok atau lembaga; penyambung lidah” (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1999 : 423).
Di zaman demokrasi dan era reformasi, yang ditandai dengan
meningkatnya tanggung jawab (akuntabilitas) Pemerintah dan meningkatnya
keterbukaan (transparansi), Departemen Luar Negeri dituntut untuk dapat
memberikan penjelasan, atau informasi kepada rakyat Indonesia (masyarakat
atau publik) mengenai berbagai aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri
dan pelaksanaan politik luar negeri dengan sebaik-baiknya atau sejelas mungkin.
Penjelasan atau informasi tersebut juga meliputi penjelasan tentang sikap atau
kebijakan Pemerintah atau Departeman Luar Negeri tentang berbagai masalah
atau issu dalam rangka politik dan hubungan luar negeri atau hubungan
internasional.
Sehubungan dengan itu, Departemen Luar Negeri menjadwalkan
pertemuan regular dengan pers (Press Briefing), yang biasanya diadakan pada
hari Jum’at (jam 14.00-15.00). Pertemuan ini merupakan suatu kegiatan
6
komunikasi kelompok, dimana Palapah dan Syamsudin mendefinisikan
komunikasi kelompok sebagai brikut:
“Komunikasi kelompok adalah pernyataan manusia yang ditujukan kepada kelompok tertentu. Dengan kelompok adalah dimaksudkan suatu kumpulan manusia yang mempunyai antar hubungan sosial yang nyata dan yang memperlihatkan struktur yang nyata pula. Atau sebagai yang dikatakan oleh Loyd Sommerland : Communication to organized groups. Bentuk-bentuk komunikasi yang ditujukan kepada kelompok ini dapat diperinci antara lain: ceramah, briefing, indoktrinasi, coaching, dan sebagainya” (1983 : 12).
Press Briefing tersebut menjadi sumber berita utama bagi media massa,
yang selanjutnya menjadi berita yang layak untuk disampaikan kepada
masyarakat Indonesia maupun pihak luar negeri. Pertemuan yang dikenal dengan
Press Briefing ini tidak hanya diikuti oleh pers nasional saja, melainkan juga
oleh pers internasional. Penyampaian informasi atau penjelasan melalui Press
Briefing tersebut dilaksanakan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri,
dimana dalam kegiatan ini terdapat session tanya jawab antara pers dengan Juru
Bicara.
“Umpan balik antar pribadi, kecepatan interaksi kelompok, fase-fase kelompok, norma-norma kelompok, iklim atau suasana kelompok, konflik antar pribadi, serta distribusi kepemimpinan merupakan sebagian dari ciri-ciri kelompok yang dapat menjadi bagian dari teori komunikasi kelompok” (Goldberg dan Larson, 1985 : 64).
“Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa
modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa, serta
mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan
komunikasi” (GBHN Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, Bab IV Arah
Kebijakan, 1999:29-30).
7
Strentz lalu membagi dua sumber berita yang dicari reporter : “Sumber Berita Konvensional dan Nonkonvensional. Sumber berita konvensional ialah tempat-tempat dimana biasa wartawan mencari dan memperoleh berita. Tempat-tempat itu : kantor-kantor pemerintahan, humas atau sumber-sumber promosi, berbagai peristiwa yang bernilai berita, dan catatan publik. Sedang sumber berita nonkonvensional, biasanya ditemukan dari cara pengumpulan berita baru atau kurang sering dipergunakan, seperti teknik precision jurnalism, peliputan ke kelompok minoritas (AIDS, misalnya) dan terorisme (politik)” (Kurnia, 1999 : 41).
Sehubungan dengan masalah yang sedang dihadapi Pemerintah Indonesia
di dalam negeri, yang juga bersangkutan dengan hubungan luar negeri, maka
tema Press Briefing yang diangkat difokuskan pada masalah ‘terorisme, yaitu
mengenai pemboman di Bali pada 12 Oktober lalu’.
Dengan demikian peran Juru Bicara Departemen Luar Negeri, dapat
diartikan sebagai pihak yang mengirim pesan mengenai politik dan hubungan
luar negeri, dalam hal ini mengenai terorisme, kepada pers yang hadir dalam
kegiatan Press Briefing, yang merupakan sumber berita atau salah satu pelaku
utama dalam proses komunikasi dan salah satu unsur yang penting dan
berpengaruh besar terhadap pembentukan opini.
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sesuatu yang baru dan
memberi manfaat untuk menciptakan komunikasi yang lebih baik di Departemen
Luar Negeri, terutama proses komunikasi antar Juru Bicara dengan pers dalam
kegiatan Press Briefing, serta pelaksanaan fungsi Juru Bicara dalam kegiatan
Press Briefing.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang dikemukakan, maka
penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimana Fungsi Juru
8
Bicara Departemen Luar Negeri RI Dalam Menghadapi Masalah Terorisme Pada
Kegiatan Press Briefing”.
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka masalah yang
diteliti dapat di identifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam
memberikan informasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press
Briefing?
2. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam
memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press
Briefing?
3. Bagaimana Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai
masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar
Negeri RI dalam memberikan informasi mengenai masalah terorisme
pada kegiatan Press Briefing.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar
Negeri RI dalam memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme
pada kegiatan Press Briefing.
9
3. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi Juru Bicara Departemen Luar
Negeri RI dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan pers mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.
1.5 Pembatasan Masalah dan Pengertian Masalah
1.5.1 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran dan kesalah pengertian,
juga agar ruang lingkup masalah yang dibahas menjadi jelas dan terarah, maka
perlu diadakan pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada fungsi Juru Bicara dalam
menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing, yaitu informasi
yang berisikan hal-hal umum, jelas dan gamblang, penggunaan bahasa
yang jelas, informasi yang berbentuk positif, seimbang, dan sesuai
dengan keinginan komunikan. Dalam hal ini adalah mengenai masalah
terorisme, pada kegiatan Press Briefing mingguan selama tiga bulan,
yaitu bulan Oktober, November dan Desember.
2. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada kepercayaan, penerimaan,
dan pengertian pers yang hadir pada kegiatan Press Briefing bulan
Oktober, November dan Desember terhadap klarifikasi suatu issu
mengenai masalah terorisme, yang disampaikan atau diklarifikasi Juru
Bicara Departemen Luar Negeri RI.
3. Masalah yang akan diteliti hanya terbatas pada fungsi Juru Bicara
Departemen Luar Negeri pada kegiatan Press Briefing bulan Oktober,
10
November, dan Desember, yaitu memberikan informasi, mengklarifikasi,
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers mengenai
masalah terorisme.
4. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pers yang terdaftar
atau tercatat sebagai peliput dalam kegiatan Press Briefing Departemen
Luar Negeri, yang berlokasi di Jl. Pejambon no.6 Jakarta Pusat, yaitu
sebanyak 62 media (cetak dan elektronik). Populasi yang dijadikan
sampel oleh penulis adalah 30% dari populasi yang sebenarnya, yaitu
sebanyak 19 orang.
1.5.2 Pengertian Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman, maka diberikan beberapa
penjelasan terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini sehingga
diharapkan dapat memberikan pengertian yang sama :
1. Fungsi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan
pekerjaannya. (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991 : 426)
2. Juru Bicara adalah seorang yang ditugaskan untuk menyampaikan
penjelasan atau keterangan atau jawaban kepada pihak lain (dalam hal ini
pers) dari orang atau pihak yang diwakilinya atau yang menugaskannya.
(Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1996:126).
Untuk kegiatan Press Briefing, Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI
berfungsi sebagai pihak yang menyediakan informasi, dan
mengklasrifikasikan issu-issu, serta memberikan jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh pers, mengenai issu-issu terkini yang
11
sedang berkembang serta proyeksinya ke depan, maupun mengenai
kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah Indonesia di bidang politik luar
negeri. Press Briefing pada umumnya difokuskan kepada satu atau
beberapa issu atau peristiwa tertentu, namun tetap terbuka kemungkinan
dijawabnya pertanyaan atas issu atau peristiwa yang lain. Dalam hal ini,
persiapan yang dilakukan biasanya menyangkut persiapan atas substansi
issu atau peristiwa yang akan disampaikan, termasuk persiapan bahan-
bahan untuk issu atau peristiwa terkini, jika ditanyakan. (Wawancara
dengan Direktorat Biro Administrasi Menteri, 7-9 Oktober 2002)
3. Dalam keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor SK.053/OT/II/2002/01
Tahun 2002, tentang Organisasi Tata Kerja Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia, ditetapkan bahwa :
“Departemen Luar Negeri Republik Indonesia merupakan unsur
pelaksana Pemerintah di bidang pemerintahan luar negeri” (pasal 1).
“Departemen Luar Negeri RI mempunyai tugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang politik
dan hubungan luar negeri” (pasal 2).
“Departemen Luar Negeri RI menyelenggarakan fungsi antara lain :
Pelaksanaan politik luar negeri serta penyelenggaraan hubungan luar
negeri” (Pasal 3.a).
4. Press Briefing (Taklimat Pers) termasuk bentuk jumpa pers resmi yang
diselenggarakan secara periodik tertentu, pada awal/akhir bulan atau
12
tahunan oleh pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi
instansi bersangkutan. (Ruslan,1999 : 180)
Press Briefing Departemen Luar Negeri RI merupakan kegiatan
pertemuan antara pihak media massa atau pers dengan Departemen Luar
Negeri RI yang dipimpin oleh Juru Bicara. Kegiatan Press Briefing ini
diadakan empat kali dalam satu bulan, yaitu setiap hari Jum’at di ruang
Palapa Departemen Luar Negeri. Dalam pelaksanaan pembinaan, Juru
Bicara telah menyiapkan bahan yang perlu untuk disajikan pada semua
wartawan yang hadir pada kegiatan Press Briefing tersebut. Kemudian
dalam penyelenggaraan Pembinaan, dalam hal ini dengan memberikan
kesempatan kepada para wartawan untuk berperan aktif, yakni melalui
forum tanya-jawab dan diskusi, serta diberikan penjelasan berdasarkan
data dan fakta yang bersangkutan. Sehingga dalam penyajiannya dan
penyebaran informasi tidak terjadi kesalahan atau kekeliruan.
1.6 Alasan Pemilihan Masalah
1. Dari sisi Hubungan Masyarakat, Juru Bicara Departemen Luar Negeri
pada hakekatnya merupakan peran Public Relations Officer (PRO),
dalam rangka memberikan informasi dan penjelasan kepada masyarakat
di dalam maupun di luar negeri, mengenai berbagai issu atau kebijakan
Pemerintah Indonesia.
2. Departemen Luar Negeri RI merupakan unsur pelaksanaan pemerintah di
bidang pemerintahan luar negeri yang dipimpin oleh Menteri yang berada
13
dibawah dan bertanggung jawab pada Presiden. Departemen Luar Negeri
RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan
sebagian tugas pemerintahan di bidang politik dan hubungan luar negeri.
Dengan teknologi informasi yang semakin canggih sekarang ini, maka
arus informasi yang ada sangat berpengaruh di masyarakat. Dengan ini,
Departemen Luar Negeri memandang perlu untuk menyampaikan atau
menyajikan informasi atau masalah yang sedang dihadapi (dalam hal ini
mengenai masalah terorisme) kepada masyarakat malalui media massa.
Maka penelitian ini bertujuan untuk memaparkan situasi atau kegiatan
Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan informasi tersebut
melalui Press Briefing yang dipimpin oleh Juru Bicara.
3. Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI sangatlah diperlukan karena Juru
Bicara merupakan komunikator yang menyampaikan dan menjelaskan
kebijakan Departemen Luar Negeri kepada pers melalui kegiatan Press
Briefing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sejauh ini
pers dapat memahami informasi yang disampaikan Juru Bicara melalui
Press Briefing, dalam hal ini mengenai masalah terorisme. Apakah
dengan adanya Juru Bicara dan Press Briefing penyampaian informasi
kepada pers lebih dapat terorganisir, jelas, dipahami, dan pertanyaan-
pertanyaan pers mengenai Departemen Luar Negeri dan kebijakannya,
dapat terjawab.
4. Juru Bicara baru diangkat sebagai suatu unit khusus atau pejabat khusus
di Departemen Luar Negeri pada awal tahun 2002, maka penulis ingin
14
mengetahui fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing, yang juga
baru diadakan awal tahun 2002, sebagai kegiatan mingguan antara pihak
Departemen Luar Negeri dengan pers. Dengan diadakannya Press
Briefing, diharapkan dapat mempermudah untuk mempublikasikan
tentang Departemen Luar Negeri dan masalah yang dihadapinya yang
menyangkut dengan Pemerintah Indonesia mengenai Poitik Luar Negeri
dan Hubungan Luar Negeri.
1.7 Anggapan Dasar
Anggapan Dasar merupakan landasan teori yang penulis jadikan dasar
atau titik tolak dalam melakukan penelitian ini, mengingat fungsinya sangat
penting dalam penelitian ini, penulis mengemukakan anggapan dasar sebagai
berikut :
1. Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang ditujukan kepada
kelompok tertentu. Yang dimaksud dengan kelompok ialah “suatu
kumpulan manusia yang mempunyai hubungan sosial yang nyata dan
memperlihatkan struktur yang nyata pula”. Bentuk komunikasi kelompok
ialah : ceramah, briefing, penyuluhan, indoktrinasi, dan sebagainya
(Widjaja dan Hawab, 1987 : 64).
2. Press Briefing (Taklimat Pers) termasuk bentuk jumpa pers resmi yang
diselenggarakan secara periodik tertentu, pada awal/akhir bulan atau
tahunan oleh pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi
instansi bersangkutan.
15
Pertemuan ini, diadakan mirip dengan suatu diskusi atau berdialog, saling
memberikan masukan atau infomasi cukup penting bagi kedua belah
pihak. Disamping itu pihak pers/wartawan akan diberikan kesempatan
untuk menggali seluas-luasnya mengenai suatu informasi, masalah yang
sedang aktual dan faktual, kemudian diharapkan wartawan mempunyai
pengetahuan lebih baik, misalnya tentang akan diterbitkan suatu
peraturan, UU, atau kebijakan baru oleh pemerintah di massa mendatang.
Jadi sebelum kebijakan itu diresmikan, maka wartawan bersangkutan
secara teknis dibriefing (taklimat pers) terlebih dahulu pengetahuannya
oleh pejabat yang berwewenang, diharapkan pada waktu
memberitakannya di media massa tidak terjadi salah mengutip, merelease
atau menghindari terjadinya berita-berita yang tidak akurat, baik
mengenai jumlah, angka, istilah-istilah teknis dan nama perusahaan atau
menyebutkan identitas tokoh personal dan sebagainya (Ruslan, 1999 :
180).
3. Informasi :
Adalah pesan yang disampaikan kepada seseorang atau sejumlah
orang yang baginya merupakan hal yang baru diketahuinya.
Kegiatan menyebarluaskan pesan disertai penjelasan, baik secara
langsung maupun melalui media komunikasi, kepada khalayak yang
baginya merupakan hal atau peristiwa ang baru (Effendy, 1989 : 177).
Pesan yang disampaikan haruslah tepat dengan sasaran dan pesan
tersebut harus memenuhi syarat-syarat :
16
Umum
Berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh audience/komunikan,
bukan soal-soal yang cuma berarti atau dipahami oleh seorang atau
kelompok tertentu.
Jelas dan gamblang
Pesan haruslah jelas dan gamblang, tidak samar-samar. Jika
mengambil perumpamaan hendaklah perumpamaan yang senyata
mungkin, untuk tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita
maksudkan.
Bahasa yang jelas
Sejauh mungkin hindarilah menggunakan istilah-istilah yang tidak
dipahami oleh audience. Gunakanlah bahasa yang jelas yang cocok
dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana berkomunikasi. Hati-
hati pula dengan istilah atau kata-kata yang berasal dari bahasa daerah
atau bahasa asing yang dapat ditafsirkan lain. Sejauh mungkin
dipergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Positif
Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-
hal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan
agar diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara
mengemukakan pesan itu diupayakan agar lebih mendapatkan
simpati.
17
Seimbang
Pesan yang disampaikan hendaknya wajar sebab bila tidak wajar
maka cenderung ditolak atau tidak diterima oleh komunikan.
Sebaliknya pesan itu dirumuskan secara seimbang selaras dan serasi.
Penyesuaian dengan keinginan komunikan
Orang-orang yang menjadi sasaran/komunikan dari komunikasi yang
kita lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan tertentu. Oleh
sebab itu kita perlu mengetahui keadaan, waktu dan tempat dalam
menyampaikan pesan itu. (Hawab dan Widjaja, 1987 : 62)
4. Klarifikasi adalah penjernihan, penjelasan dan pengembalian kepada apa
yang sebenarnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999 : 507)
5. Menjawab: 1. Memberi jawaban (atas pertanyaan, kritik, dsb) ;
menyahut(i); 2. Memenuhi; menanggapi (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1999 : 405).
1.8 Operasional Variabel
Dalam penelitian ini penulis menggunakan satu variable, yaitu “Fungsi
Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI Dalam Kegiatan Press Briefing”, dan
untuk mengukur variable-variabel penelitian yang telah ditetepkan sebelumnya
digunakan kriteria yang meliputi :
Indikator I = Pemberian informasi mengenai masalah terorisme yang
disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada
kegiatan Press Briefing
18
Alat Ukur = - Pesan berisikan hal-hal umum
- Pesan yang jelas dan gamblang
- Bahasa yang jelas
- Pesan berbentuk positif
- Pesan dirumuskan secara seimbang
- Pesan sesuai dengan keinginan komunikan
Indikator II = Pemberian klarifikasi mengenai masalah terorisme yang
disampaikan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada
kegiatan Press Briefing
Alat Ukur = - Pesan dapat menjernihkan
- Pesan dapat memberikan penjelasan
- Pesan dapat mengembalikan pada apa yang sebenarnya
Indikator III = Pemberian jawaban yang disampaikan Juru Bicara
Departemen Luar Negeri RI terhadap pertanyaan pers
mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing
Alat Ukur = - Memberi jawaban
- Memenuhi pertanyaan
- Menanggapi pertanyaan
1.9 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.9.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan “Metode Deskriptif Analitis”,
menurut Issac and Michael dalam bukunya : “Hand Book in Research and
19
Evaluations”, yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Metode
Penelitian Komunikasi”, yang mengemukakan bahwa :
“Metode Deskriptif analitis bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat” (Isaac and Michael dalam Rakhmat, 2001 : 22).
“Penelitian deskriptif ditujukan untuk : (1)mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3)membuat perbandingan atau evaluasi, (4)menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang” (Rakhmat, 2001 : 25).
Hal ini guna memperoleh suatu gambaran mengenai fungsi Juru Bicara
Departemen Luar Negeri RI dalam kegiatan Press Briefing.
Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa “Penelitian deskriptif
hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi”
(Rakhmat, 2001 : 24).
“Ciri lain metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya. Denagn suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun langsung ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasikan vriabel. Karena kehadirannya mungkin mempengaruhi perilaku gejala (reactive measures), peneliti berusaha memperkecil pengaruh ini” (Rakhmat, 2001:25).
1.9.2 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dibutuhkan oleh penulis
sehubungan dengan masalah yang akan diteliti, dikumpulkan dengan cara-cara
berikut :
20
1. Angket, yaitu berupa daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun
secara tertulis dan dibagikan kepada responden yang menjadi sampel
penelitian, guna memperoleh jawaban terhadap masalah yang diteliti.
Responden dalam penelitian ini adalah seluruh pers yang hadir pada
kegiatan Press Briefing, baik pers nasional maupun internasional.
2. Wawancara, yaitu merupakan salah satu bentuk pengumpulan data
dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau
seorang ahli yang berwewenang dalam suatu masalah. (Keraf, 1994:161)
Penulis akan melakukan interview dengan Juru Bicara Departemen Luar
Negeri, Marty Natalegawa, pers yang hadir dalam kegiatan Press
Briefing di Departemen Luar Negeri, dan para staff yang bersangkutan
yang dianggap mengetahui dengan pasti hal-hal yang ada hubungannya
dengan permasalahan.
3. Studi Kepustakaan, yaitu kegiatan pengumpulan data sekunder yang
dibutuhkan dengan memanfaatkan buku-buku, surat kabar, dan sumber
bacaan atau dokumen-dokumen lain yang ada kaitannya dengan masalah
yang dibahas sehingga data-data yang tercantum dalam penulisan bersifat
akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
4. Observasi didefinisikan oleh Karl Weick (dikutip dari Seltiz,
Wrightsman, dan Cook 1976:253) sebagai “pemilihan, pengubahan,
pencatatan, dan pengodean serangkaian perilaku dan suasana yang
berkenaan dengan organisme in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan
empiris” (Rakhmat, 2001:83).
21
Untuk mengumpulkan data, penulis melakukan pengamatan langsung ke
lokasi, yaitu Departemen Luar Negeri RI, yang berlokasi di Jl. Pejambon
no.6, untuk menghadiri kegiatan Press Briefing.
Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa “Observasi berguna untuk
menjelaskan, memberikan dan merinci gejala yang terjadi” (2001 : 84).
1.10 Populasi dan Sampel
1.10.1 Populasi
“Populasi adalah kumpulan objek penelitian. Objek penelitian bisa
berupa orang, umpi, organisasi, kelompok, lembaga, buku, kata-kata, surat kabar,
dan lain-lain” (Rakhmat, 2001 : 78).
Populasi yang akan diteliti penulis adalah seluruh pers yang terdaftar atau
tercatat sebagai peliput pada bulan Oktober hingga Desember dalam kegiatan
Press Briefing Departemen Luar Negeri, berlokasi di Jl. Pejambon no.6, Jakarta
Pusat, yaitu sebanyak 62 responden (yang berasal dari media cetak dan
elektronik lokal maupun asing).
1.10.2 Sampel
“Sampel adalah bagian yang diamati dari kumpulan objek penelitian.
Dengan adanya sampel ini, maka diharapkan populasi dapat menunjukkan dan
menggambarkan karakteristik sifat populasi” (Rakhmat, 2001 : 78).
Teknik sampling yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
simple random sampling. Populasi yang dijadikan sampel oleh penulis adalah
22
30% dari populasi yang sebenarnya (62 orang), yaitu sebanyak 19 orang, dengan
cara mengundi, sehingga populasi yang ada mempunyai kesempatan yang sama
untuk dijadikan sample. Pengambilan sampel tersebut mengacu pada pendapat
Kartono bahwa : “Tidak ada aturan yang ketat untuk secara mutlak menentukan
berapa persen sampel tersebut harus diambil atau dipilih dari populasi” (Kartono,
1996 : 135).
Hal ini juga dipertegas oleh pernyataan dari Wahyu M.S. yang
mengatakan bahwa : “Mengenai basarnya sampel tidak ada ketentuan yang baku
atau rumusan yang pasti, sebab keabsahan sampel terletak pada sifat dan
karakteristiknya mendekati tidaknya populasi bukan pada besarnya” (Wahyu
M.S., 1996 : 63).
1.11 Organisasi Karangan
Permasalahan yang berkaitan dengan penelitian dibagi ke dalam lima bab
yang sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi alasan-alasan mendasar pentingnya penelitian ini, yaitu
mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, identifikasi masalah,
alasan pemilihan masalah, tujuan penelitian, operasional variable, metode
penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, serta organisasi
karangan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Penulisan dalam bab ini diuraikan teori yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti, yaitu dengan mengemukakan komunikasi kelompok, tinjauan
23
tentang Juru Bicara, dan tinjauan tentang Press Briefing, yang berdasarkan buku
rujukan dan dapat dijadikakan landasan.
BAB III : GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan sekilas tentang tugas, fungsi, dan
kewenangan, Departemen Luar Negeri, tugas dan fungsi Biro Administrasi
Menteri, peranan dan fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI dalam
kegiatan Press Briefing, dan tujuan, fungsi dan sasaran kegiatan Press Briefing.
BAB IV : ANALISIS DATA
Bab ini berisikan analisis deskriptif data responden dan analisis data hasil
penelitian yang diperoleh dari pengisian angket dari responden terpilih yang
disebarkan, guna mengetahui bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar
Negeri dalam menghadapi masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisikan rangkuman dan kesimpulan dari penelitian ini, serta
saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian yang telah
dilaksanakan.
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI FUNGSI JURU BICARA
DEPARTEMEN LUAR NEGERI PADA KEGIATAN PRESS
BRIEFING
2.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dikehidupan
manusia, karena manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Sebagai
mahluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan orang lain. Dengan
komunikasilah manusia dapat berhubungan dengan sesama dan memenuhi
kebutuhan guna mencapai tujuan hidupnya. Melalui simbol-simbol atau
lambang-lambang yang berarti, manusia menyampaikan maksud, gagasan, ide,
kepentingan kepada orang lain guna mencapai tujuan hidup tersebut. Tetapi,
apakah arti dari komunikasi tersebut?
Sebuah kata dapat mempunyai makna yang berbeda-beda atau lebih dari
satu bila diartikan oleh manusia yang berbeda pula. Sama seperti kata
komunikasi. Sebagian orang mengartikan komunikasi sebagai seorang pembicara
yang menyampaikan pikirannya kepada audience di balik sebuah mimbar atau di
atas sebuah panggung, diskusi antara pegawai dalam sebuah rapat, atau
pertukaran pendapat atau pikiran antar dua orang. Banyak pula yang berpikiran
bahwa komunikasi harus berkaitan dengan media massa – surat kabar, televisi,
25
buku, radio, atau film. Untuk sebagian orang, komunikasi adalah sesuatu yang
berhubungan dengan komputer, telepon, atau satelit.
Komunikasi jauh lebih luas dari hanya berbicara dan mendengar, dan
membaca dan menulis. Komunikasi adalah dasar dari proses kehidupan.
Perbedaan pengertian atau makna tersebut dapat membingungkan banyak orang.
Orang awam atau orang yang tidak begitu mengerti atau mengenal ilmu
komunikasi, dapat berpikiran apakah kata komunikasi tersebut mempunyai batas
dari segi pengertian. Maka, ada beberapa pengertian dari para pakar, sebagai
berikut :
Komunikasi menurut Sir Gerald Barry, adalah berasal dari kata Latin ;
Comunicare, artinya ‘to talk together, corfer, discourse and consult with another’. Perkataan ini menurut Barry ada hubungannya pula dengan perkataan Latin yang lain Communitas, yang artinya : not only community but also fellowship and justice in men’s dealings with one another. Katanya selanjutnya : Society is based on the possibility of men living and working together for common-ends in a word, on cooperation. (Palapah dan Syamsudin, 1983 : 2)
Definisi komunikasi menurut Carl I. Hovland adalah sebagai berikut :
Proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang lain (komunikate) atau dalam bahasa aslinya : “The process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other individuals (communicates). (Effendy, 1981 : 12)
Sedangkan menurut James A.F. Stoner komunikasi adalah sebagai
berikut : “Komunikasi adalah proses di mana seorang berusaha memberikan
pengertian dengan cara pemindahan pesan” (Widjaja, 2000 : 13).
26
Hakekatnya komunikasi adalah “proses pernyataan antar manusia yang
dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya”. (Effendy,1993 : 28) (b).
Melihat pernyataan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
merupakan pernyataan pikiran atau perasaan melalui lambang-lambang yang
berarti atau kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain, yaitu komunikate.
Dengan demikian, tanpa komunikasi manusia tidak dapat mencapai tujuan
hidupnya karena tidak dapat menyampaikan maksud, pikiran, kepentingan dan
perasaannya kepada orang lain.
Sedangkan, komunikasi antar manusia tidak dapat dihindari. “We can not
not communicate”. Bahasa verbal dan nonverbal adalah suatu tindakan
penyampaian informasi yang tidak ada hentinya, dan sebaliknya, kita secara terus
menerus dan tanpa bisa dihindari menerima informasi mengenai orang lain,
keadaan dan hal-hal di sekitar kita, juga mengenai diri sendiri.
2.2 Tinjauan tentang Hubungan Masyarakat
Hubungan Masyarakat (Humas) merupakan suatu bentuk spesialisasi
komunikasi yang bertujuan untuk saling mengerti dan bekerjasama antara semua
pihak yang berkepentingan guna mencapai keuntungan dan keputusan bersama.
Hanya dengan komunikasilah humas dapat mencapai tujuan tersebut.
Hubungan Masyarakat mempunyai dua pengertian, yakni : “Hubungan Masyarakat sebagai “method of communication”, yaitu rangkaian atau system kegiatan (order or system of action), yakni kegiatan berkomunikasi secara khas, dan Hubungan Masyarakat sebagai “state of beign”, yaitu perwujudan kegiatan berkomunikasi tersebut melembaga” (Effendy, 1993 : 94) (a).
27
Adapun definisi humas menurut kamus IPR, adalah : “Praktek humas atau Public Relations adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya” (Jefkins, 1996 : 8). Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa humas adalah
suatu rangkaian kegiatan yang diorganisasikan dimana semua itu berlangsung
secara berkesinambungan dan teratur, dengan tujuan apa yang disampaikan dapat
dimengerti oleh pihak-pihak yang turut berkepentingan.
Perkembangan bidang dan ilmu kehumasan semakin tahun semakin baik.
Pendekatan kehumasan telah memasuki bermacam-macam sector, mulai dari
sector social, pendidikan, politik, pemerintahan, dan sebagainya. Sektor-sektor
tersebut telah menggunakan humas sebagai bagian dari manajemen mereka.
Penerapan dalam sektor tersebut, dapat dianalogikan dengan munculnya
bermacam-macam humas.
Dalam buku “Dasar-Dasar Humas” dibahas empat macam humas, dengan
tidak bermaksud membatasi bidang humas, yakni:
- Humas Pemerintahan - Humas Industri dan Bisnis - Humas Sosial - HUmas Organisasi Internasional (Kusumastuti, 2002 : 37).
2.2.1 Humas Pemerintahan
“Humas Pemerintahan pada dasarnya tidak bersifat politis, dimana bagian humas tersebut dibentuk untuk mempublikasikan atau mempromosikan kebijakan-kebijakan mereka” (Kusumastuti, 2002 : 37).
28
Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri merupakan suatu unsur
pelaksanaan pemerintahan dibidang pemerintahan luar negeri, di mana Juru
Bicara memerankan peranan humas dalam mempublikasikan atau
mempromosikan kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri. Peranan tersebut
antara lain memberikan informasi secara teratur tentang kebijakan, rencana-
rencananya ke depan, serta hasil-hasil kerja institusi serta memberi pengertian
kepada masyarakat tentang peraturan dan perundang-undangan dan segala
sesuatunya yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Walter Lippman pernah mengatakan, “Public Relations is another name for political leadership, yaitu Public Relations adalah nama lain dari kepemimpinan politik” (Kusumastuti, 2002 : 38).
Seiring dengan tuntutan transparansi dari masyarakat luas sebagai publik
pemerintahan, manfaat humas dalam penyelenggaraan pemerintahan secara
umum telah diterima sejak lama. Humas dalam pemerintahan dan politik tidak
dapat dilepaskan dari opini publik. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan
Menteri Luar Negeri dalam menunjuk suatu pejabat tertentu dengan kredibilitas
tinggi yang mampu untuk memeberikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan
Pemerintah dan Departemen Luar Negeri, kegiatan-kegiatan dan rencana-
rencananya ke depan, juga posisi Pemerintah dan Departemen Luar Negeri
dalam menghadapi suatu masalah, kepada masyarakat luas. Hal ini direalisasikan
melalui kegiatan rutin Juru Bicara dengan pers, yaitu melalui Press Briefing.
Tugas pemerintah sangat berat, sebab masyarakat yang dihadapi terdiri
dari berbagai publik dengan kepentingan yang sangat kompleks pula. Hal ini
29
memang tidak lepas dari “karakteristik” yang melekat dalam setiap kegiatan
pemerintah, antara lain sebagai berikut:
Program pemerintah ditujukan untuk masyarakat luas. Dengan berbagai latar belakang, karakter, ekonomi, pendidikan (intelejensi) yang beragam.Seringkali hasilnya abstrak, yang sulit dilihat dalam waktu dekat, bahkan dalam jangka panjang sekalipun, karena sifatnya yang integral dan berkesinambungan. Melibatkan generasi ke generasi. Bahkan program pemerintah cenderung dibayar dengan “harga sosial” yang tinggi. Program-program pemerintah seringkali tidak dapat menghindari perlunya “pengorbanan” sosial (masyarakat). Di sinilah perlunya pendekatan khusus untuk melibatkan partisipasi dan emansipasi masyarakat.Program pemerintah selalu mendapat controlling/pengawasan dari berbagai kalangan, terutama pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sebagainya. Mereka sangat berperan dalam proses penyadaran masyarakat mengenai permasalahan-permasalahan mereka sebagai warga masyarakat.
(Kusumastuti, 2002 : 38)
Karakteristik itulah yang dapat dijadikan latar belakang mengapa humas
pemerintahan perlu diterapkan dan dikembangluaskan secara profesional.
Namun, tugas yang berat tersebut ternyata masih ditambah dengan hambatan-
hambatan penerapan humas yang ideal di pemerintahan. Undang-undang dan
peraturan organisasi, seringkali menghambat fungsi humas. Masalah dana,
tumpang tindihnya job description, penyalahgunaan para pejabat terhadap humas
demi publisitas pribadi dan untuk melindungi “ketidakjujuran” dan program-
program yang tidak perlu merupakan hal-hal yang memperburuk citra humas
pemerintahan.
Ivy Lee berpendapat bahwa “semua jenis materi pers harus bebas dari nilai-nilai dan kepentingan sepihak”. Kiteria kejujuran dan kenetralan harus dipegang teguh oleh kalangan praktisi humas. Setiap pesan atau berita yang mereka sampaikan kepada masyarakat melalui pers haruslah sesuai dengan kenyataan yang sesuangguhnya. Baik atau buruknya humas diukur berdasarkan kejujuran dan sikap netralnya. Kepentingan masyarakat, harus senantiasa diutamakan. Kalau hal ini benar-benar diperhatiakan maka sambutan khalayak pembaca, pendengar dan pemirsa, dengan sendirinya akan positif sehingga perusahaan induk atau
30
klien humas tadi pasti akan memperoleh suatu publisitas yang baik seperti yang diinginkannya, dan pada saat itulah kepentingan-kepentingannya sendiri akan dapat terpenuh” (Jefkins, 1996 : 99).
2.3 Tinjauan tentang Juru Bicara
2.3.1 Pengertian, Peranan dan Fungsi Juru Bicara
2.3.1.1 Pengertian Juru Bicara
Dari segi pengertian, ”Juru Bicara adalah orang yang kerjanya memberi
keterangan resmi dan sebagainya kepada umum; pembicara yang mewakili suara
kelompok atau lembaga; penyambung lidah”. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1999 : 423).
Dari hasil wawancara penulis dengan bagian Biro Administrasi Menteri,
Juru Bicara atau spokesman berarti :
“A person who speaks for another or for a group, atau seseorang yang berbicara atas nama orang lain atau perkumpulan” (Wawancara dengan bagian Biro Administrasi Menteri, 7-9 Oktober 2002).
Dan Nimmo mengatakan bahwa Juru Bicara dalam kepentingan organisasi biasanya : “bukan profesional dalam komunikasi. Namun, ia cukup terlibat baik dalam politik maupun dalam komunikasi sehingga dapat disebut aktivis politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus yang menjadi wakil partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi dan tawar-menawar untuk pemeriksaan yang menguntungkan” (Nimmo dalam Rakhmat, 1999 : 36).
Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara
adalah pihak atau seeorang yang mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi
atau lembaga untuk berbicara atau menyampaikan pesan, antara lain kebijakan-
kebijakan organisasi yang bersangkutan kepada pihak luar. Dalam hal ini, Juru
31
Bicara Departemen Luar Negeri RI merupakan wakil Departemen Luar Negeri
RI yang bertugas untuk menyampaikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan
Departemen Luar Negeri, juga mengklarifikasi issu-issu atau masalah yang
sedang dihadapi, guna menjaga citra Departemen Luar Negeri, baik di dalam
maupun di luar Departemen dan juga menjaga citra Indonesia baik di mata
bangsa Indonesia, maupun di mata dunia.
Sedangkan Siagian berpendapat bahwa Juru Bicara organisasi dalam
hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi merupakan salah satu fungsi
kepemimpinan yang hakiki. Dalam bukunya “Teori dan Praktek Kepemimpinan”
mengatakan bahwa Lima fungsi-fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut:
1. Pimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan,
2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi,
3. Pimpinan selaku komunikator yang efektif,4. Mediator yang andal, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam
menangani situasi konflik,5. Pimpinan selaku integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.(Siagian, 1999 : 48).
2.3.1.2 Peranan Juru Bicara
Kedudukan seseorang dalam organisasi adalah menempatkan seseorang
dalam anggota kelompok organisasi apakah lebih tinggi, lebih rendah, atau
sejajar maupun dalam hubungannya di luar organisasi. Salah satu alasan
diangkatnya Juru Bicara adalah untuk mencapai tujuan Departemen Luar Negeri
dalam rangka menyampaikan kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri dan
menyediakan informasi mengenai issu-issu terkini yang sedang berkembang.
32
Tetapi tujuan tersebut tidak akan berlangsung dengan baik bila Juru Bicara tidak
memehami fungsi dan peranannya sendiri. Maka, sangatlah penting untuk
mengetahui dan memahami fungsi, peranan, dan tanggung jawabnya sendiri.
Adapun peranan Juru Bicara (spokesman role) yang dikemukankan
Effendy dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” bahwa :
“Peranannya sebagai Juru Bicara memiliki persamaan dengan peranannya sebagai penghubung, yakni dalam hal mengkomunikasikan informasi kepada khalayak luar. Perbedaannya ialah dalam hal caranya: jika dalam peranannya sebagai penghubung ia menyampaikan informasi secara antarpesona atau kontak pribadi dan tidak selalu resmi, maka dalam peranannya sebagai Juru Bicara tidak selamanya secara kontak pribadi, tetapi selalu resmi. Dalam peranannya sebagai Juru Bicara itu ia juga harus mengkomunikasikan informasi kepada orang-orang yang berpengaruh yang melakukan pengawasan terhadap organisasinya. Kepada khalayak di luar organisasi (external public) ia memberikan informasi dalam rangka mengembangkan organisasinya. Ia meyakinkan khalayak bahwa organisasi yang dipimpinnya telah melakukan tanggung jawab sosial sebagaimana mestinya. Ia meyakinkan pula para pejabat pemerintahan bahwa organisasinya berjalan sesuai dengan peraturan sebagaimana harusnya” (1998 : 119).
2.3.1.3 Fungsi Juru Bicara
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dalam usaha pencapaian
tujuan dan berbagai sasarannya, tidak ada organisasi atau lembaga, baik lembaga
pemerintah maupun non pemerintah, yang dapat bergerak dalam suasana
terisolasir. Artinya, tidak ada organisasi yang akan mampu mencapai tujuannya
tanpa memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak di luar organisasi
atau lembaga yang bersangkutan sendiri. Pada tingkat negara pun, pemeliharaan
hubungan itu dewasa ini sudah diterima sebagai keharusan mutlak, baik pada
33
yang menyangkut berbagai segi kepentingan, seperti kepentingan di bidang
ekonomi, pertahanan dan keamanan, politik, dan bahkan kepentingan sosial
budaya. ASEAN, OPEC, APEC, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh
dari kebutuhan memelihara hubungan tersebut.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut timbul sebagai kenyataan bahwa sekarang
ini tidak ada lagi negara yang akan mampu mencapai tujuannya tanpa
berhubungan dengan berbagai negara lainnya. Prinsip yang sama berlaku bagi
suatu instansi pemerintah, termasuk Departemen Luar Negeri dengan bertitik
tolak dari kenyataan bahwa Departemen Luar Negeri mempunyai wewenang
melaksanakan tugas-tugas pengaturan dan berkewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam hal ini Kepala Biro Administrasi Menteri lah yang
bertindak sebagai wakil dan Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam
berhubungan dengan pihak di luar Departemen.
“Pemeliharaan hubungan itu bukan hanya dalam menyelenggarakan tugas-tugas pengaturan, akan tetapi juga dalam memberikan pelayanan. Bahkan pemeliharaan hubungan dengan pihak yang diatur dan yang dilayani pun perlu terpelihara dengan baik” (Siagian, 1999 : 52).
Salah satu fungsi Juru Bicara adalah menyampaikan informasi-informasi
mengenai kebijakan-kebijakan dan kegiatan organisasinya kepada publik, baik
masyarakat maupun media massa. Dengan maksud pihak yang bersangkutan
mempunyai pengetahuan, pengertian dan pemahaman mengenai organisasi
tersebut, dengan harapan pemberian dukungan. Seperti yang dikatakan Siagian
dalam bukunya “Teori dan Prektek Kepemimpinan”:
“Kebijaksanaan dan kegiatan organisasi perlu dijelaskan kepada berbagai pihak dengan maksud agar berbagai pihak itu mempunyai pengertian yang tepat tentang kehidupan organisasi perusahaan yang bersangkutan.
34
Pengertian yang tepat diharapkan bermuara pada pemahaman dan pemberian dukungan yang diperlukan, bertolak dari kepercayaan berbagai pihak tersebut terhadap kemampuan organisasi memenuhi berbagai kepentingan yang diwakili oleh pihak-pihak yang berkepentingan itu. Yang paling bertanggung jawab untuk berperan sebagai wakil dan juru bicara perusahaan adalah pimpinan perusahaan” (1999 : 53).
Juru Bicara Departemen Luar Negeri merupakan wakil Departemen Luar
Negeri, yang ditunjuk langsung oleh Menteri Luar Negeri, yang bertugas untuk
menyampaikan informasi mengenai kebijakan-kebijakan Departemen Luar
Negeri. Serta mengklarifikasi issu-issu atau masalah yang sedang dihadapi, guna
menjaga citra Departemen Luar Negeri, baik di dalam maupun di luar
Departemen dan juga menjaga citra Indonesia baik di mata bangsa Indonesia,
maupun di mata dunia.
Dalam hal ini, walaupun Kepala Biro Administrasi Menteri yang
merangkap jabatan sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri merupakan
pimpinan yang menduduki salah satu jabatan dalam Departemen, ia mempunyai
pengetahuan yang memadai tentang berbagai kegiatan Departemen Luar Negeri
sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil baik oleh
Menteri Luar Negeri maupun pejabat pimpinan Departemen Luar Negeri lainnya,
karena selain ia mengikuti dan mengetahui seluruh kegiatan Menteri Luar Negeri
juga mendampingi Menteri Luar Negeri bila bepergian atau menjalankan tugas
ke luar negeri, serta mengetahui komunikasi yang masuk dan ke luar
Departemen, terutama komunikasi yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri.
“Dengan adanya struktur yang disatukannya Juru Bicara dengan jabatan Kepala Biro Administrasi Menteri ini, maksudnya adalah supaya tidak ada kesenjangan, dan ada pemahaman yang lebih mendalam dengan apa yang menjadi perhatian dari Menteri Luar Negeri dan Departemen Luar
35
Negeri. Karena secara struktural kegiatan Kepala Biro Administrasi Menteri dekat dengan kegiatan Menteri Luar Negeri. Dengan keadaan saya merangkap jabatan Juru Bicara dengan Kepala Biro Administrasi Menteri, maka akan memahami arus komunikasi yang masuk ke Departemen karena secara tulisan, komunikasi yang masuk yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri harus saya baca dan filter. Dalam hal yang tidak tertulis adalah, saya mengikuti semua kegiatan Menteri Luar Negeri, baik dalam menerima tamu atau pun mendampingi Menteri ke luar negeri. Dengan itu ungkapan-ungkapan dan pandangan-pandangan Menteri Luar Negeri dapat saya rekam dan ingat” (Wawancara dengan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31 Desember 2002).
Dalam “Report of the Task Force on Reorientation of UN Public
Information Activities”, menyatakan bahwa fungsi Juru Bicara atau spokesman
adalah bahwa:
“Juru Bicara berfungsi untuk mengumpulkan informasi yang patut dijadikan berita dari Sekretariat Departemen dan kegiatan-kegiatannya di luar organisasi, lalu mengembangkannya menjadi dasar uraian materi atau penerangan singkat harian, secara aktif menyebarkan materi-materi tersebut kepada media massa (media berita), dan menanggapi pertanyaan pers yang menjadi perhatian masyarakat. Kegiatan Juru Bicara harus dekat dengan pimpinan Departemen atau Organisasi agar dapat mengembangkan pesan-pesan dan mengidentifikasikan berita-berita atau kejadian-kejadian yang menjadi ketertarikan media massa. Mempunyai akses (informasi atau pesan) langsung dari pimpinan organisasi adalah kunci utama untuk kredibilitas Juru Bicara dari para pers. Juru Bicara harus terus mengikuti dan mengetahui seluruh rencana pimpinan organisasi, juga mengikuti atau mendampingi pimpinan bila bepergian” (Report of the Task Force on Reorientation of UN Public Information Activities, Chapter III: A New Communication Structure, halaman 5).
Dengan demikian, berarti Juru Bicara harus mengumpulkan informasi
yang patut dijadikan berita, yang kemudian dikembangkan menjadi materi
informasi yang menjadi ketertarikan pers dan masyarakat mengenai
organisasinya, lalu disampaikan kepada pers. Dalam mengumpulkan informasi
tersebut, Juru Bicara harus mengikuti dan mengetahui seluruh kegiatan
organisasinya dan mendampingi pimpinan organisasi bila bepergian agar
36
mengetahui pandangan-pandangan, kebijakan, dan pemikiran-pemikiran
pimpinan organisasi, guna menyampaikannya kepada pers dan dapat
memberikan tanggapan terhadap apa yang menjadi ketertarikan pers dan
masyarakat bila mereka bertanya.
Siagian berpendapat bahwa “sebagai wakil dan Juru Bicara resmi organisasi, fungsi pimpinan tidak terbatas pada pemeliharaan hubungan baik saja, tetapi harus membuahkan perolehan dukungan yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya”. Dilanjutkannya bahwa “salah satu konsekuensi logis dari fungsi demikian ialah bahwa seorang pimpinan mutlak perlu mengetahui bukan saja bagaimana merumuskan kebijaksanaan strategik, akan tetapi juga berbagai keputusan lain yang telah diambil oleh para pejabat pimpinan yang lebih rendah. Bahkan lebih dari itu. Dituntut pula pengetahuan yang memadai tentang berbagai kegiatan yang berlangsung dalam organisasi sebagai pelaksanaan dari berbagai keputusan yang telah diambil. Pengetahuan demikian akan memungkinkannya memberikan penjelasan yang diperlukan sedemikian rupa sehingga berbagai sasaran tercapai. Artinya, dengan demikian persepsi yang tepat dari berbagai pihak dapat ditumbuhkan, seluruh kebijaksanaan yang ditempuh serta latar belakangnya dapat dipahami, salah pengertian tercengah timbulnya atau bila telah timbul dapat dihilangkan, dukungan yang diperlukan dapat diperoleh” (Siagian, 1999 : 54).
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
dengan mempunyai tugas memberikan penjelasan mengenai kebijakan dan
kegiatan organisasi, maka Juru Bicara berfungsi sebagai pihak yang
menyampaikan informasi dan memberikan penjelasan terutama bila diajukan
pertanyaan oleh pihak luar. Misalnya pada saat wawancara langsung dengan
pihak media massa atau pada forum tanya jawab dalam kegiatan Press Briefing,
mengenai kebijaksanaan dan kegiatan organisasi yang bersangkutan (dalam hal
ini Departemen Luar Negeri), guna menumbuhkan persepsi yang tepat dan dapat
dipahami dari berbagai pihak, terutama media massa. Karena media massa
merupakan pihak yang memiliki peranan penting antara organisasi dengan
37
publik, dimana media massa dapat membantu menyampaikan penjelasan
mengenai kebijakan dan kegiatan organisasi tertentu kepada masyarakat luas
dengan berbagai kalangan guna mendapatkan dukungan yang diperoleh
organisasi dalam usaha pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Serta bila telah timbul
salah pengertian mengenai kebijakan dan kegiatan organisasi tersebut atau
adanya issu yang kurang tepat dengan masalah yang sebenarnya, dapat
dihilangkan atau dikembalikan pada masalah yang sebenarnya, karena fungsi lain
dari Juru Bicara adalah mengklarifikasi issu atau masalah tertentu yang
bersangkutan dengan organisasinya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui Press
Briefing yang diadakan Juru Bicara atau organisasi yang bersangkutan. Dengan
ini dapat menciptakan citra organisasi atau lembaga yang positif.
2.3.2 Juru Bicara Dalam Menyampaikan Informasi
Pemeliharaan hubungan baik ke luar maupun ke dalam organisasi
tentunya dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara
tertulis. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa timbulnya perselisihan,
perbedaan paham dan konflik, terutama disebabkan oleh tidak adanya
komunikasi yang efektif antara pihak-pihak yang berhubungan. Komunikasi
yang efektif pun mempengaruhi keberhasilan pemutusan kebijakan dalam suatu
organisasi.
Dari pengertian komunikasi sebagaimana telah disampaikan di atas,
tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan
38
persyaratan terjadinya komunikasi. Dalam “bahasa komunikasi” komponen-
komponen tersebut adalah sebagai berikut :
- Komunikator : orang yang menyampaikan pesan;- Pesan : pernyataan yang didukung oleh lambang;- Komunikan : orang yang menerima pesan;- Media : sarana atau saluran yang mendukung pesan bila
komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya;- Efek : dampak sebagai pengaruh dari pesan (Effendy, 2000 : 6).
Komunikasi tidak akan terjadi bila tidak adanya komunikator, karena
komunikator merupakan orang yang menyampaikan pesan melalui lambang-
lambang tertentu. Komunikator menurut Cangara adalah “pihak yang mengirim
pesan kepada khalayak” (2002 : 89). Sedangkan menurut Effendy komunikator
adalah “seseorang atau sekelompok orang yang menyampaikan pikirannya atau
perasaannya kepada orang lain” (1993 : 14) (a). Karena itu komunikator biasa
disebut sebagai pengirim, sumber, source, atau encoder.
Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi dalam kegiatan Press
Briefing, Juru Bicara memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam
mengendalikan jalannya komunikasi tersebut. “Fungsi komunikator ialah
pengutaraan pikiran dan perasaannya dalam bentuk pesan untuk membuat
komunikan menjadi tahu atau berubah sikap, pendapat, atau perilakunya”
(Effendy, 2000 : 16).
Sedangkan fungsi komunikator menurut Widjaja adalah “menyediakan sumber informasi. Selanjutnya menyaring dan mengevaluasi informasi yang tersedia dan mengolah informasi ini ke dalam suatu bentuk yang sesuai bagi kelompok penerima informasi tersebut, sehingga kelompok penerima memahami informasi dimaksud” (2000 : 59).
Oleh karena itu, dalam hal ini Juru Bicara harus terampil berkomunikasi,
dan juga kaya ide serta penuh daya kreativitas. Tetapi, keefektifan komunikasi
39
tidak saja ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi, melainkan juga oleh diri
Juru Bicara dan komunikate. Komunikate, dalam hal ini pers yang dijadikan
sasaran akan mengkaji siapa komunikator yang menyampaikan informasi itu.
Jika ternyata informasi yang disampaikannya tidak sesuai dengan diri
komunikator - betapa pun tingginya teknik komunikasi yang dilakukan- hasilnya
tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.
Effendy dalam bukunya “Dinamika Komunikasi” menjelaskan sebagai berikut:
A. Etos Komunikator
Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai diri seorang yang merupakan paduan dari kognisi (cognition), afeksi (affection), dan konasi (conation). Kognisi adalah proses memahami (process of knowing) yang bersangkutan dengan pikiran; afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang dari luar; dan konasi adalah aspek psikologis yang berkaitan dengan upaya atau perjuangan.
Effendy melanjutkan bahwa “Etos tidak timbul pada seseorang dengan
begitu saja, tetapi ada faktor-faktor tertentu yang mendukungnya. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kesiapan (preparedness)
Seorang komunikator yang tampil di mimbar harus menunjukkan kepada khalayak, bahwa ia muncul di depan forum dengan persiapan yang matang. Kesiapan ini akan nampak pada gaya komunikasinya yang meyakinkan. Tampak oleh komunikan penguasaan komunikator mengenai materi yang dibahas.
b. Kesungguhan (seriousness)
Seorang komunkator yang berbicara dan membahas suatu topik dengan menunjukkan kesungguhan, akan menimbulkan kepercayaan pihak komunikan kepadanya.
c. Ketulusan (sincerity)
Seorang komunikator harus membawakan kesan kepada khalayak, bahwa ia berhati tulus dalam niat dan perbuatannya. Ia harus hati-hati untuk
40
menghindarkan kata-kata yang mengarah kepada kecurigaan terhadap ketidaktulusan komunikator.
d. Kepercayaan (confidence)
Seorang komunikator harus senantiasa memancarkan kepastian. Ini harus selalu muncul dengan penguasaan diri dan situasi secara sempurna. Ia harus selamanya siap menghadapi segala situasi.
e. Ketenangan (poise)
Khalayak cenderung akan menaruh kepercayaan kepada komunikator yang tenang dalam penampilan dan tenang dalam mengutarakan kata-kata. Ketenangan ini perlu dipelihara dan selalu ditunjukkan pada setiap peristiwa komunikasi menghadapi khalayak.
Ketenangan yang ditunjukkan seorang komunikator akan menimbulkan kesan pada komunikan bahwa komunikator merupakan orang yang sudah berpengalaman dalam menghadapi khalayak dan menguasai persoalan yang akan dibicarakan. Lebih-lebih apabila ketenangan itu diperlihatkan di saat komunikator menghadapi pertanyaan yang sulit atau mendapat serangan yang gencar dari komunikan, seolah-olah pernyataan atau serangan itu sudah biasa baginya.
f. Keramahan (friendship)
Keramahan komunikator akan menimbulkan rasa simpati komunikan kepadanya. Keramahan tidak berarti kelemahan, tetapi pengekspresian sikap etis. Lebih-lebih jika komunikator muncul dalam forum yang mengandung perdebatan. Ada kalanya dalam suatu forum, timbul tanggapan salah seorang di antara yang hadir berupa kritikan pedas. Dalam situasi sepeti ini, sikap hormat komunikator dalam memberikan jawaban akan meluluhkan sikap emosional si pengeritik, dan akan menimbulkan rasa simpati kepada komunikator.
g. Kesederhanaan (moderation)
Kesederhanaan tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga dalam hal penggunaan bahasa sebagai alat untuk menyalurkan pikiran dan perasaan dan dalam gaya mengkomunikasikannya.
B. Sikap komunikator
Sikap (attitude) adalah suatu kesiapan kegiatan (preparatory activity), suatu kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan menuju atau menjauhi nilai-nilai sosial. Dalam hubungannya dengan kegiatan komunikasi yang melibatkan manusia-manusia sebagai sasarannya, pada diri komunikator terdapat lima jenis sikap, yakni :
41
a. Reseptif (receptive)
Sikap reseptif berarti kesediaan untuk menerima gagasan dari orang lain, dari staf pimpinan, karyawan, teman, bahkan tetangga, mertua, dan isteri. Dengan sikapnya yang reseptif, seorang komunikator berhati terbuka, tidak mentunakan (underestimate) orang lain.
b. Selektif (selective)
Seperti halnya dengan faktor reseptif, faktor selektif pun penting bagi komunikator dalam peranannya selaku komunikan, sebagai persiapan untuk menjadi komunikator yang baik. Jadi, untuk menjadi komunikator yang baik, ia harus menjadi komunikan yang terampil. Tetapi dalam menerima pesan dari orang lain dalam bentuk gagasan atau informasi, ia harus selektif dalam rangka pembinaan profesinya untuk diabdikan kepada masyarakat.
c. Dijestif (digestive)
Yang dimaksud dengan dijestif di sini ialah kemampuan komunikator dalam mencernakan gagasan atau informasi dari orang lain sebagai bahan bagi pesan yang akan ia komunikasikan. Ia mampu memahami makna yang lebih luas dan lebih dalam dari tersurat, ia mampu melihat intinya yang hakiki saratya dapat melakukan prediksi akibat dari pengaruh gagasan atau informasi tadi.
d. Asimilatif (assimilative)
Asimilatif berarti kemampuan komunikator dalam mengorelasikan gagasan atau informasi yang ia terima dari orang lain secara sistematis dengan apa yang telah ia miliki dalam benaknya, yang merupakan hasil pendidikan dan pengalamannya.
e. Transmisif (transmissive)
Transmisif mengandung makna kemampuan komunikator dalam mentransmisikan konsep yang telah ia formulasikan secara kognitif, afektif, dan konatif kepada orang lain. Dengan lain perkataan, ia mampu memilih kata-kata yang fungsional, mampu menyusun kalimat secara logis, maupun memilih waktu yang tepat, sehingga komunikasi yang ia lancarkan menimbulkan dampak yang ia harapkan. (2000 : 16-21).
Komunikator dalam menyampaikan pesan perlu melakukan
pertimbangan-pertimbangan, apa yang harus dilakukannya. Dalam
menyampaikan pesan. Komunikator, dalam hal ini Juru Bicara Departemen Luar
Negeri, yang menyampaikan pesan dengan cara yang baik sangat penting dan
42
bermanfaat, selain ia membawa nama Departemen, juga dapat mempengaruhi
citra Pemerintah, berhubung hampir semua yang disampaikan Juru Bicara
mengenai keputusan dan kebijakan Departemen Luar Negeri yang ditetapkan
berhubungan dengan Pemerintah. Sikap-sikap dan etos Juru Bicara perlu
dikuasai. Seyogianya cara atau gaya yang merusak penyampaian pesan tidak
dilakukan Juru Bicara.
2.4 Tinjauan tentang Kegiatan Press Briefing
2.4.1 Pengertian Press Briefing
Dalam bukunya ‘Dasar-dasar Public Relations’, Neni Yulianita
mengatakan bahwa:
“Briefing (pengarahan) adalah memberikan penjelasan-penjelasan secara singkat atau pertemuan untuk memberikan penerangan secara singkat” (1999 : 95).
“Press Briefing termasuk bentuk jumpa pers resmi yang diselenggarakan secara periodik tertentu, pada awal atau akhir bulan atau tahunan oleh pihak Humas atau pimpinan perusahaan, dan pejabat tinggi instansi bersangkutan. Pertemuan ini (Press Briefing), diadakan mirip dengan suatu diskusi atau berdialog, saling memberikan masukan atau informasi cukup penting bagi kedua belah pihak” (Ruslan, 1999 : 180).
“Pakar Public Relations, Frank Jefkins, menyebutkan pula istilah Press Briefing, yang sebetulnya juga merupakan jumpa pers. Bedanya, Press Briefing dilakukan secara rutin sedangkan jumpa pers atau konferensi pers tidak dilakukan secara rutin” (Abdullah, 2001 : 87 - 88).
Press Briefing atau Jumpa Pers merupakan suatu kegiatan hubungan pers,
selain Press Release, Kunjungan Pers, Resepsi Pers, dan lain sebagainya.
Kegiatan ini biasanya dilakukan menjelang, menghadapi ataupun setelah terjadi
peristiwa atau kegiatan penting dan besar. Kelebihan Press Briefing terletak pada
aspek diskusi atau tanya jawab. Dengan adanya forum diskusi atau tanya jawab
43
antara Juru Bicara dengan pers, memungkinkan pers makin kaya lagi dengan
informasi yang didapat, selain bahan tertulis yang disediakan.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan
konferensi pers atau jumpa pers adalah sebagai berikut:
1. Jangan mengundang wartawan secara mendadak karena biasanya wartawan sudah memiliki jadwal kerja yang padat. Kecuali bila kita mengundangnya untuk kasus-kasus besar yang amat mendesak.
2. Hargailah waktu wartawan. Jangan menunda waktu yang telah dijadwalkan atau ditetapkan untuk jumpa pers, sehingga terjadi ngaret-nya acara.
3. Jangan mengundurkan waktu hanya karena ada wartawan yang belum datang sebab bisa memunculkan kesan penganakemasan media tertentu.
4. Wartawan paling menyukai acara jumpa pers pagi hari dan kurang menyukai jumpa pers sore atau malam hari, karena sore atau malam hari tenaga wartawan sudah terkuras untuk bekerja dari pagi hingga sore hari.
5. Hindari pula acara jumpa pers pada hari libur.6. Hindari acara jumpa pers yang jaraknya sangat jauh. Selenggarakanlah di
lokasi yang strategis dan gampang dijangkau dari segala penjuru kota.7. Jika ingin suasana yang santai, jumpa pers bisa pula di rumah makan atau
tempat rileks lainnya sambil makan siang.8. Hadirkanlah orang yang memiliki kredibilitas sehingga menambah bobot
acara jumpa pers.9. Jangan “mengusir” wartawan yang datang tidak diundang sejauh dia
betul-betul membutuhkan informasi untuk berita.10. Sediakan bahan-bahan atau data tertulis sebagai pelengkap tulisan atau
berita yang akan ditulis wartawan. Apakah itu proposal, brosur, rilis, dan lain-lain.
11. Masukkan bahan-bahan tadi dalam map atau amplop besar.12. Jika akan memberi cinderamata atau uang transportasi, masukkanlah ke
dalam amplop besar atau map tadi.13. Hindarilah jumpa pers satu arah. Berilah kesempatan wartawan untuk
bertanya.14. Jangan heran apabila dalam kesempatan ini wartawan akan bertanya pula
tentang materi lain di luar materi yang dijumpaperskan.15. Hindari jawaban “No Comment” dalam diskusi, sebab jawaban ini
mengesankan pembenaran dari pernyataan wartawan.16. Khusus dalam Press Briefing karena dilakukan secara regular dalam
kegiatan besar, maka diperhatikan hal-hal berikut:a. Susunlah jadwal yang pasti. Siapa yang bakal tampil sebagai
narasumber. Siapkan data akurat lainnyab. Konfirmasikan dahulu, apakah narasumber yang akan ditampilkan
itu bersedia muncul dalam pertemuan dengan wartawan.
44
c. Siapkan bahan-bahan tertulis dalam press room yang disediakan.d. Buatlah jurnal harian yang akurat dan lengkap. Misalnya, raihan
medali hari kesekian dalam pesta olah raga, angka perjualan paling aktual pada hari tersebut dalam pameran industri, atau informasi-informasi lainnya, baik yang serius maupun informasi ringan.
e. Sediakanlah press room yang memadai yang dilengkapi dengan berbagai sarana komunikasi dan pengetikan (Abdullah, 2001 : 88).
Maka, dalam melaksanakan dan untuk menjaga, juga meningkatkan
keefektifan kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri, haruslah
diperhatikan hal-hal penting di atas tersebut. Hal sekecil apa pun harus
diperhatikan, guna menjaga hubungan baik dengan pers. Misalnya, meskipun
Press Briefing Departemen Luar Negeri merupakan kegiatan rutin tiap minggu
dengan waktu dan lokasi yang sama, yang biasanya diselenggarakan pada hari
Jum’at, pihak Departemen Luar Negeri sebaiknya tetap memberikan atau
menyebarkan undangan Press Briefing kepada pihak media massa guna
memastikan adanya kegiatan tersebut dengan waktu dan tempat yang telah
ditetapkan.
2.4.2 Press Briefing sebagai Komunikasi Eksternal
“Komunikasi eksteral ialah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan khalayak di luar organisasi. Pada instansi-instansi pemerintah seperti departemen, direktorat, jawatan, dan pada perusahaan-perusahaan besar, disebabkan oleh luasnya ruang lingkup, komunikasi lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan masyarakat (public relations officer) dari pada oleh pimpinan sendiri. Yang dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, umpamanya perundingan (negotiation) yang menyangkut kebijakan organisasi. Yang lainnya dilakukan oleh kepala humas yang dalam kegiatan komunikasi eksternal merupakan tangan kanan pimpinan” (Effendy, 1998 : 128).
45
Sebenarnya, komunikasi eksternal dapat dilakukan oleh seluruh karyawan
pada organisasi, dimulai dari tingkat tertinggi sampai dengan yang terendah. Bila
dilihat secara struktural, seperti dikatakan oleh Effendy diatas, komunikasi
eksternal pada Departemen Luar Negeri tidak dilakukan oleh pimpinan
Departemen, dalam hal ini Menteri Luar Negeri, melainkan oleh Juru Bicara
yang merangkap sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri. Jadi, bila pihak luar
atau publik luar memerlukan informasi baik mengenai Departemen Luar Negeri
maupun hubungan dan politik luar negeri, pihak yang memberikan informasi
tersebut adalah Juru Bicara Departemen Luar Negeri. Contoh dari kegiatan
komunikasi eksternal untuk publik pers yang dilakukan oleh Juru Bicara adalah:
Press Briefing, Press Interview, Press Reception, dan lain sebagainya.
Menurut Neni Yulianita dalam bukunya “Dasar-Dasar Public Relations”:
“Oleh seluruh unsur yang ada pada organisasi, dimulai dari tingkat pimpinan dalam konteks hubungan dengan publik luar, kegiatan komunikasi dapat dilakukan tertinggi sampai dengan karyawan operasional sampai merupakan representasi publik organisasi atau membawa nama organisasi pada saat mereka melakukan kegiatan komunikasi dengan publik luar” (2000 : 109).
Jelas bahwa Press Briefing adalah kegiatan komunikasi eksternal, karena
komunikasi tersebut merupakan kegiatan komunikasi dengan publik luar, yang
dilakukan oleh pihak dalam, dalam hal ini adalah Departemen Luar Negeri yang
diwakili oleh Juru Bicara, kepada pihak luar, yaitu publik pers.
2.4.3 Press Briefing sebagai Press Relations
Secara naluri, individu memerlukan individu lain dan sebaliknya. Dengan
demikian individu satu dengan individu lain memerlukan hidup bermasyarakat.
46
Hidup bermasyarakat adalah hidup berkelompok, berteman, berkeluarga dan
hidup berbangsa.
Syarat untuk terjalinnya hubungan ini semua sudah tentu harus ada
hubungan saling pengertian serta adanya pertukaran informasi yang saling
mengerti. Jalinan hubungan tersebut memungkinkan individu selalu mengadakan
serba hubungan yang dinamis dan harmonis yang mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
Begitu pula dengan organisasi. Suatu organisasi tidak mungkin dapat
berdiri sendiri tanpa bantuan pihak lain, baik pihak luar maupun pihak dalam
organisasi tersebut. Suatu komunikasi yang efektif sangat diperlukan guna
tercapainya tujuan bersama. Salah satu komunikasi yang digunakan suatu
organisasi adalah komunikasi kelompok. Pengertian dari komunikasi kelompok
itu sendiri adalah “interviu tatap muka antara tiga individu atau lebih dengan
tujuan yang telah diketahui sebelumnya, seperti berbagai interviu pemeliharaan
diri dan pemecahan masalah yang anggotanya dapat mengingat karakteristik
peribadi anggota kelompok lainnya dengan baik” (Praktikto, 1987 : 55).
Dengan adanya komunikasi, pasti akan terjadi atau terjalin suatu
hubungan, tetapi dengan adanya hubungan tidak berarti akan terjadi komunikasi.
Salah satu hubungan yang dibina dalam suatu organisasi adalah hubungan
eksternal dengan media massa atau para pers.
Hubungan pers merupakan hubungan eksternal suatu organisasi atau
perusahaan dengan media massa, guna menyampaikan suatu informasi dalam
upaya menciptakan pengetahuan dan pemahaman. Menurut Frank Jefkins (1990),
47
hubungan pers (press relations) adalah “upaya untuk mempublikasikan suatu
pesan atau informasi yang maksimum untuk menciptakan pengetahuan dan
pemahaman bagi khalayak yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan”
(Abdullah, 2001 :4).
Dalam praktik hubungan pers, dikenal beberapa bentuk kegiatan yang
melibatkan pers. Berbagai kegiatan ini dimaksudkan selain untuk
menginformasikan aktivitas lembaga atau individu juga sebagai ajang
peningkatan citra positif melalui media massa. Bentuk kegiatan hubungan pers
yang dilakukan Departemen Luar Negeri RI antara lain adalah : Press Release,
Jumpa Pers (press briefing, press conference), Kunjungan Pers, Resepsi pers,
dan lain sebagainya.
Press Briefing merupakan kegiatan rutin (setiap satu minggu sekali) yang
diselenggarakan Departemen Luar Negeri guna menjalin hubungan baik,
harmonis, dan dinamis dengan pers. Dengan kata lain untuk memperkokoh
kemitraan antara diplomat dan media massa. Press Briefing ini dilakukan pula
untuk perbaikan pelayanan informasi dari pihak Departemen Luar Negeri kepada
media massa.
Press Briefing merupakan komunikasi kelompok karena komunikasinya
di tujukan kepada kelompok tertentu, yaitu pers, yang mempunyai hubungan
sosial yang nyata dan memperlihatkan struktur yang nyata pula. Komunikasi
tatap muka ini lebih cenderung dilakukan secara sengaja, dan umumnya para
pesertanya lebih sadar akan peranan dan tanggung jawab mereka masing-masing.
Ini dapat dilihat dari peranan anggota kelompok dari Press Briefing tersebut,
48
dimana Juru Bicara, wakil dari Deparetemen Luar Negeri, merupakan
komunikator yaitu pihak yang menyampaikan pesan atau informasi mengenai
kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, mengklarifikasi suatu masalah
atau issu yang sedang dihadapi, juga menyampaikan kegiatan-kegiatan
Departemen Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri dalam menjalin
hubungan dan politik luar negeri. Kemudian pers berperan sebagai pihak yang
mencari data, informasi yang disampaikan Juru Bicara, dan kemudian
mengemasnya sedemikian rupa hingga menjadi sebuah berita dan layak
disebarkan melalui medianya masing-masing, yang dinilai memiliki kekuatan
untuk mempengaruhi opini khalayak.
Tujuan pokok diadakannya hubungan pers adalah “menciptakan
pengetahuan dan pemahaman” (Jefkins, 1996 : 99).
49
BAB III
OBJEK PENELITIAN
3.1 Tinjauan Tentang Departemen Luar Negeri RI
Departemen Luar Negeri RI merupakan pelaksana Pemerintah di bidang
pemerintahan luar negeri yang dipimpin oleh Menteri yang berada di bawah dan
bertanggungjawab pada Presiden.
Pada akhir tahun 2001 Departemen Luar Negeri melakukan strukturisasi
baru, yang dilaksanakan pada awal tahun 2002. Proses restrukturisasi tersebut
dihasilkan dengan Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001. Pembenahan
diri itu pada umumnya menyangkut restrukturisasi Departemen Luar Negeri dan
Perwakilan RI, serta pembenahan profesi diplomat.
Restrukturisasi dilakukan karena di satu sisi, tantangan yang ada sekarang
berbeda dengan 50 tahun lalu. Struktur organisasi pusat yang sudah sejak tahun
1974 dinilai tidak memadai lagi, dan telah terjadi perubahaan besar dan
mendasar pada tingkat nasional dan internasional. Dunia yang sekarang semakin
mengglobal, batas antar negara semakin kabur, saling ketergantungan antar
negara meningkat. Kondisi itu akan sangat mempengaruhi lingkungan strategis
tempat politik luar negeri disusun, diputuskan, dan dioperasionalkan. Karena itu
kaitan antar masalah pun mejadi semakin besar.
50
Dalam formasi sekarang, Departemen Luar Negeri diperkuat oleh 54
direktorat Eselon II dan 10 Eselon I. Departemen Luar Negeri terdiri dari
Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Inspektorat Jenderal (Irjen). Persoalan
difokuskan pada masalah bilateral, regional, dan multilateral.
3.1.1 Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Departemen Luar Negeri RI
3.1.1.1 Tugas Departemen Luar Negeri
Departemen Luar Negeri mempunyai tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang politik luar negeri dan
hubungan luar negeri. Seperti meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar
negeri agar mampu melakukan diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk
membantu citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan
perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia,
serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan internasional.
3.1.1.2 Fungsi Departemen Luar Negeri
Dalam melaksanakan tugas, Departemen Luar Negeri RI
menyelenggarakan fungsi :
Pelaksanaan politik luar negeri serta penyelenggaraan hubungan luar negeri;
Pembinaan, koordinasi, dan konsultasi dalam pelaksanaan politik luar negeri dan
penyelenggaraan hubungan luar negeri;
51
Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi
Departemen;
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta pendidikan dan
pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang politik dan
hubungan luar negeri;
Pelaksanaan pengawasan fungsional.
3.1.1.3 Kewenangan Departemen Luar Negeri
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang telah tercantum di
atas, maka Departemen Luar Negeri mempunyai kewenangan :
Penerapan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara
makro;
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga
profesional / ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya;
Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan
atas nama negara;
Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidangnya;
Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu: pengaturan dan pelaksanaan hubungan sosial, politik, ekonomi,
budaya, dan penerangan luar negeri; serta pengaturan dan pelaksanaan protokol
dan konsuler.
52
3.1.2 Struktur Organisasi Departemen Luar Negeri RI
Dengan dilaksanakannya restrukturisasi, maka struktur organisasi
Departemen Luar Negeri pun berubah. Departemen Luar Negeri yang sekarang
terdiri dari Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Insepektorat Jenderal (Irjen).
Berdasarkan Keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor SK.053/OT/II/2002/01
Tahun 2002, ditetapkan Susunan Organisasi Departemen Luar Negeri sebagai
berikut :
Menteri Luar Negeri RI, membawahi :
Staf Ahli:
Unit Pengendalian Krisis:
Inspektorat Jenderal:
Sekretariat Jenderal;
Badan Pengkajian Pengembangan Kebijakan;
Perwakilan RI.
Sekretariat Jenderal terdiri dari :
Biro Administrasi Menteri;
Biro Perencanaan dan Organisasi;
Biro Kepegawaian;
Biro Keuangan;
Biro Hukum;
53
Biro Tata Usaha dan Perlengkapan;
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai;
Pusat Komunikasi.
Dalam hal ini, Kepala Biro Administrasi Menteri sekaligus merangkap
sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri.
II. Sedangkan Inspektorat Jenderal dituangkan dalam empat wilayah, yaitu :
Inspektorat Wilayah I
Inspektorat Wilayah II
Inspektorat Wilayah III
Inspektorat Wilayah IV
Persoalan difokuskan pada masalah bilateral, regional, dan multilateral.
Bidang bilateral terdiri dari :
Direktorat Jenderal Asia Pasifik dan Afrika, yang diperkuat dengan lima
direktorat, yaitu:
Direktorat Asia Timur dan Pasifik;
Direktorat Asia Selatan dan Tengah;
Direktorat Afrika;
Direktorat Timur Tengah;
Direktorat Kerjasama Intra Kawasan.
Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa, juga terdiri dari lima Direktorat, yaitu :
Direktorat Amerika Utara dan Tengah;
Direktorat Amerika Selatan;
Direktorat Eropa Barat;
54
Direktorat Eropa Tengah dan Timur;
Direktorat Kerjasama Intra Kawasan.
Bidang regional terdiri dari:
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, yang terdiri dari empat Direktorat :
Direktorat Politik Keamanan ASEAN;
Direktorat Kerjasama Ekonomi ASEAN;
Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN;
Direktorat Mitra Wicara dan Antar Kawasan.
Bidang multilateral terdiri dari:
Direktorat Jenderal Multilateral Politik, Sosial, dan Keamanan, terdiri dari empat
Direktorat, yaitu:
Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata;
Direktorat Politik Khusus;
Direktorat HAM, Kemanusiaan, dan Sosial Budaya;
Direktorat Organisasi Internasional Antar Pemerintah Non PBB dan Organisasi
Internasional Non Pemerintah.
Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, yang
juga terdiri dari empat Direktorat:
Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup PBB;
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral;
Direktorat Komoditi dan Standarisasi;
Direktorat Kerjasama Ekonomi, dan Pembangunan Non PBB.
55
Lalu Direktorat Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, Perjanjian
Internasional, terdiri dari lima Direktorat, yaitu :
Direktorat Informasi dan Media;
Direktorat Diplomasi Publik;
Direktorat Keamanan Diplomatik;
Direktorat Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan;
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya.
Juga Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, yang diperkuat oleh empat
Direktorat, yaitu :
Direktorat Protokol;
Direktorat Konsuler;
Direktorat Fasilitas Diplomatik;
Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia.
Seluruh struktur itu diperkuat oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan, yang terdiri dari :
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan
Afrika;
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa;
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan pada Organisasi Internasional.
Perwakilan RI
56
Gambar 3.1
57
3.2 Tinjauan Tentang Biro Administrasi Menteri
Biro administrasi Menteri merupakan salah satu struktur baru yang
terbentuk setelah diadakannya restrukturisasi Departemen Luar Negeri pada
akhir tahun 2001. Biro Administrasi Menteri merupakan salah satu struktur yang
kegiatannya sangat dekat dengan kegiatan Pimpinan Departemen, yaitu Menteri
Luar Negeri.
Pengangkatan dan pelantikan Kepala Biro Administrasi Menteri
sekaligus merangkap sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri, baru
dilaksanakan secara resmi oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda pada hari
Jum’at 1 Maret 2002.
Biro Administrasi Menteri dapat dikatakan sebagai terminal komunikasi
Departemen Luar Negeri, di mana segala atau seluruh kawat, facsimile, nota,
dari seluruh perwakilan RI di luar negeri, seluruh direktorat yang berada di
Jakarta, yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri, ditangani oleh Biro
Administrasi Menteri tersebut. Kepala Biro Administrasi Menteri mensortir
mana yang patut untuk diberikan dan menjadi perhatian Menteri Luar Negeri dan
mana yang tidak. Mana yang klasifikasinya UDK (untuk diketahui), yaitu hanya
untuk dijadikan informasi saja, dan mana yang untuk didisposisikan oleh Menteri
Luar Negeri.
Maka sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri, harus mengetahui arus
komunikasi yang masuk dan keluar dari Departemen Luar Negeri. Mulai dari
bidang politik, keamanan, ekonomi, diplomasi publik, perjanjian politik dan
internasional, sosial budaya, dan lain-lain. Pada intinya Kepala Biro
58
Administrasi Menteri merupakan filter dari Menteri Luar Negeri, dimana ia
harus menyeleksi hal-hal yang penting, yang patut menjadi perhatian, serta
menyampaikan instruksi-instruksi Menteri kepada jajaran pimpinan Departemen
Luar Negeri lainnya.
3.2.1 Tugas dan Fungsi Biro Administrasi Menteri
3.2.1.1 Tugas Biro Administrasi Menteri
Biro Administrasi Menteri mempunyai tugas melaksanakan koordinasi
penghimpunan dan penyajian naskah untuk disampaikan kepada Menteri, dan
menyampaikan instruksi-instruksi Menteri kepada jajaran pimpinan Departemen
Luar Negeri serta menyelenggarakan urusan rumah tangga Menteri dan urusan
administrasi Staf Ahli Menteri.
3.2.1.2 Fungsi Biro Administrasi Menteri
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana telah tercantum, Biro
Administrasi Menteri menyelenggarakan fungsi :
Koordinasi, penyiapan, dan penyusunan naskah yang berhubungan dengan soal-
soal politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan serta soal-soal hukum untuk
disampaikan kepada Menteri;
Koordinasi, perancangan, dan penghimpunan naskah Menteri yang disiapkan
oleh unit kerja terkait serta penyajian naskah pidato terakhir kepada Menteri;
Penyampaian instruksi Menteri kepada jajaran Eselon Satu;
59
Penyelenggaraan urusan administrasi rumah tangga Menteri dan Staf Ahli
Menteri.
3.2.2 Struktur Organisasi Biro Administrasi Menteri
Biro Administrasi Menteri terdiri dari:
Bagian Penyajian Masalah Politik, Sosial, dan Keamanan, terdiri dari :
Subbagian Asia Pasifik dan Afrika;
Subbagian Amerika dan Eropa;
Subbagian Organisasi Regional;
Subbagian Organisasi Multilateral.
Bagian Penyajian Masalah Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, terdiri dari :
Subbagian Asia Pasifik dan Afrika;
Subbagian Amerika dan Eropa;
Subbagian Organisasi Regional;
Subbagian Organisasi Multilateral.
Bagian Informasi dan Media Massa, terdiri dari :
Subbagian Penterjemah dan Penerjemahan;
Subbagian Media Cetak;
Subbagian Media Elektronik.
Bagian Umum, terdiri dari :
Subbagian Protokol;
Subbagian Keamanan dan Rumah Tangga Menteri;
Subbagian Pelayanan Staf Ahli Menteri;
60
Subbagian Tata Usaha Biro.
Bagian Penyajian Masalah Politik, Sosial, dan Keamanan mempunyai
tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi penghimpunan dan penyajian
(naskah mengenai) soal-soal politik, sosial, dan keamanan serta soal-soal hukum
dan budaya di wilayah Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa, organisasi
regional, dan organisasi multilateral.
Bagian Penyajian Masalah Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan
mempunyai tugas melaksanakan dan menyelenggarakan fungsi penghimpunan
dan penyajian naskah yang berhubungan dengan soal-soal ekonomi, keuangan,
dan pembangunan di wilayah Asia Pasifik dan Afrika, Amerika dan Eropa,
organisasi regional, dan organisasi multilateral.
Bagian Informasi dan Media Massa mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan perumusan mengenai informasi dan media massa, serta
menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penerjemahan, pelaksanaan pemberian
informasi kepada media massa, serta pelaksanaan pemantauan berita cetak dan
elektronik.
Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan urusan protokol,
keamanan dan rumah tangga Menteri, pelayanan Staf Ahli, serta urusan
pelayanan administrasi Biro dan Staf Ahli. Adapun fungsi dari Bagian Umum
adalah menyelenggarakan pelayanan keprotokolan Menteri, pengurusan
keamanan dan rumah tangga Menteri, Pelayanan administrasi staf Ahli Menteri
dan pelayanan tata usaha Biro.
3.3 Tinjauan Tentang Juru Bicara Departemen Luar Negeri
61
Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI adalah seseorang yang berbicara
atas nama Menteri Luar Negeri atau Departemen Luar Negeri. Juru Bicara
Departemen Luar Negeri telah ditunjuk oleh pimpinan Departemen (Menteri
Luar Negeri) untuk berbicara kepada publik dan masyarakat luas, yaitu termasuk
baik kepada masyarakat diplomatik maupun masyarakat pers.
Issu mengenai Juru Bicara kembali diangkat ketika diadakan acara
Foreign Policy Breakfast yang pertama, pada tanggal 16 Januari 2002 di Gedung
Pancasila, Departemen Luar Negeri. Pada Foreign Policy Breakfast yang
pertama ini, diundang para tokoh media massa. Beberapa masukan dari diskusi
ini ditindaklanjuti, diantaranya penunjukkan seorang Juru Bicara Departemen
Luar Negeri beserta perangkatnya, penyelenggaraan Press Briefing mingguan
yang dilakukan secara rutin, serta perbaikan pelayanan informasi kepada media
massa.
Juru Bicara merupakan jabatan baru yang dikomplikasikan dengan
Kepala Biro Administrasi Menteri, yang secara resmi dan struktural diangkat
Departemen Luar Negeri pada awal tahun 2002 bersamaan dengan pengangkatan
atau pelantikan sebagian dari pejabat Departemen Luar Negeri lainnya, setelah
diadakannya restrukturisasi pada akhir tahun 2001. Sebelumnya, jabatan atau
minimal sebutan ‘Juru Bicara’ setidaknya pernah dilekatkan kepada diplomat
senior seperti mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Mantan Duta Besar Nana
Sutresna dan Irawan Abidin, namun pengangkatan Juru Bicara secara resmi dan
struktural baru dilakukan sekarang.
62
Memang sebelumnya tidak ada yang secara struktur disebut sebagai Juru
Bicara. Dalam struktur Departemen Luar Negeri yang lama, yang ada adalah
Direktur Penerangan. Yang membedakan diantara kedua tersebut adalah selain
istilahnya lebih tegas sebagai spoksman, yaitu Juru Bicara, juga dalam struktuk
Departemen Luar Negeri yang baru ini Juru Bicara dikombinasikan dengan tugas
Kepala Biro Administrasi Menteri, yang mana Biro Administrasi Menteri ini
juga merupakan struktur baru di Departemen Luar Negeri.
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan agar salah satu kendala yang
dihadapi Departemen Luar Negeri di masa lalu, yaitu bahwa Direktur
Penerangan karena secara struktural jauh dari kegiatan Menteri jadi sukar untuk
menterjemahkan dan menyampaikan pandangan-pandangan Departemen Luar
Negeri dengan sebaik mungkin, karena kegiatan Direktorat Penerangan tidak
bisa mengikuti pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan Menteri Luar Negeri
secara dekat.
Jadi dengan adanya struktur yang disatukannya Juru Bicara dengan
jabatan Kepala Biro Administrasi Menteri ini, maksudnya adalah supaya tidak
ada kesenjangan, dan supaya adanya pemahaman yang lebih mendalam dengan
apa yang menjadi perhatian dari Menteri Luar Negeri dan Departemen Luar
Negeri.
Sebelum menetapkan Juru Bicara, Departemen Luar Negeri melakukan
perbandingan terlebih dahulu dengan Departemen Luar Negeri lainnya atau di
negara lain, bagaimana mereka melakukannya dan pengalaman-pengalaman
negara tersebut. Ideal yang bisa dilihat sehari-hari adalah seperti di State
63
Department Amerika Serikat, karena sudah sangat mapan, seperti fungsi Juru
Bicaranya. Dengan melihat perbandingan itu, jelas masih sangat banyak yang
harus dilakukan Departemen Luar Negeri. Tetapi paling tidak Departemen Luar
Negeri sudah memulai pada perbaikan.
Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, misalnya di ASEAN,
yaitu Kementerian Luar Negeri Singapore dan Thailand, seandainya ada Juru
Bicara tidak dipersonifikasikan. Jadi hanya kantornya yang ada, yaitu kantor
penerangan (Penerangan Departemen Luar Negeri), tetapi tidak ada yang
bertanggungjawab sebagai Juru Bicara.
Setelah berjalan hampir satu tahun, Juru Bicara Departemen Luar Negeri
kini menjadi pintu utama informasi terkini dari Indonesia. Marty Natalegawa,
sebagai Juru Bicara Departemen Luar Negeri kini, menjadi orang yang diburu
wartawan tiap kali ada peristiwa tak mengenakkan yang dialami orang atau
warga Indonesia di luar negeri, juga kejadian-kejadian di Indonesia yang
menyangkut dengan hubungan dan politik luar negeri, termasuk terorisme,
terutama mengenai peristiwa Bom Bali.
Untuk Departemen Luar Negeri sendiri, dibentuknya lembaga Juru
Bicara merupakan bagian dari upaya pembenahan diri, baik dari aspek struktural
dan sikap. Mencoba agar psan-pesan dan langkah-langkah, juga kebijakan-
kebijakan Departemen Luar Negeri di upayakan dapat dipahami masyarakat luas.
Pesan tersebut bukan hanya informasi untuk ke luar ke masyarakat, baik
masyarakat nasional maupun internasional, tapi juga masukan dan kritik dari
64
masyarakat. Dengan adanya jabatan Juru Bicara, jika ada kritik pasti akan
diarahkan kepada yang bersangkutan.
3.3.1 Peranan dan Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri
3.3.1.1 Peranan Juru Bicara Departemen Luar Negeri
Seorang Juru Bicara Departemen Luar Negeri harus secara baik
memahami pada umumnya seluruh kegiatan dari Departemen Luar Negeri, baik
yang secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Secara tertulis misalnya, sebagai
Kepala Biro Administrasi, menerima seluruh kawat, facsimile, nota, dan lain
sebagainya yang ditujukan pada Menteri Luar Negeri dan menyeleksinya untuk
diberikan kepada Menteri Luar Negeri.
Dengan ini, secara tidak langsung Kepala Biro Administrasi Menteri
merangkap sebagai Juru Bicara, mengetahui kegiatan dan masalah apa saja yang
masuk ke dalam Departemen Luar Negeri, begitu pula yang keluar Departemen
Luar Negeri, sehingga memahami arus komunikasi tersebut dan seluruh
permasalahan yang menyangkut Departemen Luar Negeri.
Hal di atas sangat mendukung peranan Juru Bicara, yaitu berbicara atas
nama Menteri Luar Negeri atau Departemen Luar Negeri kepada pers, maupun
masyarakat diplomatik mengenai informasi yang berkaitan dengan Departemen
Luar Negeri, kegiatan-kegiatan Menteri Luar Negeri dan jajaran pejabat
Departemen Luar Negeri dalam hubungannya dengan politik luar negeri dan
hubungan luar negeri. Karena mau tidak mau Juru Bicara akan well informed,
65
atau lebih mempunyai pengetahuan mengenai masalah yang masuk dan keluar
Departemen Luar Negeri.
Untuk yang tidak tertulis, sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri,
harus mengikuti perkembangan atau semua kegiatan Menteri Luar Negeri, baik
dalam menerima tamu, ataupun mendapingi Menteri Luar Negeri ke luar negeri.
Dengan demikian, ungkapan-ungkapan atau pemikiran-pemikiran yang
disuarakan Menteri Luar Negeri dapat terekam dan coba untuk diingat sedapat
mungkin oleh Juru Bicara, guna memberikan jawaban yang tidak terlalu jauh
dengan pandangan Menteri Luar Negeri tersebut, bila ada pertanyaan dari pers
atau pihak dari luar Departemen.
Bila suatu permasalahan kebetulan ditanyakan pada Juru Bicara dahulu,
sebelum kepada Menteri Luar Negeri karena tidak ada di tempat, maka Juru
Bicara harus segera mengkoordinasikan dengan Menteri setelah menjawab
pertanyaan tersebut, guna menghindari jawaban yang terlalu berseberangan. Dan
bila jawaban yang diberikan Juru Bicara kurang tepat, maka dengan cara yang
bijaksana Menteri Luar Negeri dapat dan atau harus melengkapinya,
mengkoreksinya, atau meluruskan permasalahannya.
Pada saat Juru Bicara ke luar negeri mendampingi Menteri Luar Negeri,
masalah yang berkembang di Jakarta (Indonesia) akan disampaikan oleh
karyawan Biro Administrasi Menteri lainnya melalui telepon yang selalu dibawa
Juru Bicara, yang dapat di akses dari Jakarta, agar pengetahuan Juru Bicara tidak
terlalu jauh dari perkembangan dan perhatian yang diminati di Jakarta.
66
Jadi, menjadi Juru Bicara harus tetap mengkoleksi informasi yang ada
hubungannya dengan Pemerintah Indonesia dan hubungannya dengan politik dan
hubungan luar negeri, kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, juga
pandangan-pandangan dan seluruh kegiatan Menteri Luar Negeri, baik bila ia
sedang di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan kata lain Juru Bicara
tidak boleh ketinggalan informasi sekecil apa pun.
Pada intinya, Juru Bicara adalah pembicara tetap pada kegiatan Press
Briefing. Bila Juru Bicara sedang bertugas ke luar negeri, Press Briefing pada
umumnya tidak ada. Karena Juru Bicara berfungsi sebagai penyampai informasi
atau pembicara tetap pada kegiatan Press Briefing. Kecuali sempat dua kali tidak
dilakukan oleh Juru Bicara, yang salah satunya adalah dilakukan oleh Menteri
Luar Negeri, yang pada saat itu mengangkat masalah mengenai money
laundering. Tetapi selain itu tidak pernah diadakan Press Briefing bila bukan
Juru Bicara yang menjadi pembicaranya.
3.3.1.2 Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri
Juru Bicara Departemen Luar Negeri secara umum berfungsi sebagai
penyedia informasi kepada publik dan pers, mengenai issu-issu terkini, dan
kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang politik luar negeri, serta
sekaligus mengemban fungsi kehumasan Departemen. Informasi yang
disampaikan, berupa informasi serta kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang
politik luar negeri yang bersifat umum, faktual, dan tepat serta bukan
diklasifikasi sebagai rahasia negara.
67
Press Briefing adalah kegiatan yang dilaksanakan Departemen Luar
Negeri, dimana Juru Bicara berfungsi sebagai pembicara atas nama Departemen
Luar Negeri. Selain pada kegiatan Press Briefing, Juru Bicara melayani atau
menerima jika ada permintaan wawancara dari stasiun televisi, radio, atau yang
lainnya. Juru Bicara pun mencoba untuk mengadakan pertemuan-pertemuan
informal dengan datang ke kantor-kantor media massa untuk bersilaturahmi.
Fungsi Juru Bicara dalam kegiatan yang rutin adalah pada kegiatan Press
Briefing, yaitu berfungsi sebagai penyedia informasi atas nama Departemen Luar
Negeri, kepada pers mengenai issu-issu terkini yang sedang berkembang serta
proyeksinya ke depan, maupun mengenai kebijakan-kebijakan Pemerintah
Indonesia di bidang politik luar negeri. Kegiatan Press Briefing hanya
berlangsung 1 hingga 1½ jam, di mana Juru Bicara sedapat mungkin tidak terlalu
kaku dan membuka kesempatan untuk adanya pertanyaan-pertanyaan dari pers.
Pada kegiatan Press Briefing tersebut dibagikan ‘lembaran informasi’ kepada
pers yang hadir guna melengkapi informasi pers untuk kemudian dijadikan
berita.
Selain menyampaikan hal-hal atau masalah khusus yang direncanakan
dalam kegiatan Press Briefing mengenai kegiatan-kegiatan Departemen Luar
Negeri, termasuk kegiatan Menteri Luar Negeri dalam hubungannya dengan
politik dan hubungan luar negeri, serta masalah warga Indonesia yang berada di
luar negeri, Juru Bicara juga berfungsi untuk mengklarifikasi masalah-masalah
atau issu-issu yang sedang dihadapi Departemen Luar Negeri. Selain itu, Juru
Bicara pun berfungsi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pers pada forum
68
tanya jawab, yang selalu dibuka setelah Juru Bicara menyampaikan hal-hal atau
masalah-masalah khusus mengenai Departemen Luar Negeri pada kegiatan Press
Briefing.
Meski dari sisi Departemen Luar Negeri tidak ada hal atau masalah yang
khusus yang harus disampaikan kepada pers dalam kegiatan Press Briefing,
sejauh ini Juru Bicara tetap melangsungkan Press Briefing karena Juru Bicara
ingin adanya interaksi antara pers dengan pihak Departemen Luar Negeri,
terutama Juru Bicara. Walau Juru Bicara pada awalnya mempertimbangkan
apakah tetap akan diadakan Press Briefing bila dari sisi Departemen Luar Negeri
tidak ada hal khusus yang harus disampaikan secara terencana. Tetapi di sisi lain,
jika Juru Bicara tidak mengadakan Press Briefing sama sekali, seandainya ada
sesuatu yang ingin dipertanyakan pers dan tidak tersampaikan, ada kemungkinan
Departemen Luar Negeri akan dianggap tidak transparan. Maka jika tidak ada hal
khusus yang ingin disampaikan Departemen Luar Negeri, Juru Bicara akan
langsung membuka forum tanya jawab.
Karena Juru Bicara berfungsi untuk berbicara atas nama Departemen dan
diberikan wewenang penuh untuk itu, maka Juru Bicara harus benar-benar
sehati-hati mungkin dalam mengungkapkan pendapatnya atau pandangnnya.
Untuk hanya berbicara adalah mudah, tapi jika untuk berbicara dengan
pemahaman bahwa setiap kata dan istilah yang digunakan membawa implikasi
yang bisa berarti, harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan ini dapat
menigkatkan keefektifan dalam dalam penyampaian pesan atau keefektifan
dalam berkomunikasi, terutama pada kegiatan Press Briefing
69
Juru Bicara Departemen Luar Negeri cenderung mengungkapkan ke arah
yang konserfatif, yang sehati-hati mungkin tapi juga di lain pihak selangsung
mungkin dan setransparan mungkin. Bila berbicara dengan sesama diplomat,
maka mudah untuk memahami istilah-istilah yang digunakan, signal-signal atau
arti-arti tertentu. Tetapi bila menggunakan istilah-istilah yang khusus kepada
media, mereka kadang kala belum bisa membedakannya. Jadi, yang menjadi
kepentingan utama Juru Bicara adalah kehati-hatian.
Jadi pada intinya, fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing
adalah untuk menyampaikan informasi mengenai Departemen Luar Negeri, baik
itu kebijakan-kebijakannya, pendapat atau pandangan-pandangannya, kegiatan-
kegiatan baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang, atau
posisi Departemen Luar Negeri dalam suatu masalah yang sedang dihadapi.
Penyampaian informasi tersebut harus disampaikan secara tepat dan up to date,
juga secara jelas menyampaikan peranan Departemen Luar Negeri dan kegiatan-
kegiatannya.
Pada khususnya, jika Departemen Luar Negeri sedang menjadi bahan
berita utama di media massa, maka sangat penting bahwa media massa tersebut
memberitakan kejadian atau gambaran yang tepat atas tujuan dan apa yang
sedang dilakukan Departemen Luar Negeri atau memberitakan kejadian atau
gambaran yang sebenarnya. Ini berarti Juru Bicara tidak hanya harus tanggap
pada permintaan pers mengenai informasi yang menjadi ketertarikan mereka
saja, tetapi juga mnyampaikan seluruh kegiatan Departemen Luar Negeri,
mempromosikan Departemen Luar Negeri sehingga citranya meningkat atau
70
paling tidak mempertahankan citra Departemen Luar Negeri, memanfaatkan
kegiatan Press Briefing untuk mengkoreksi atau mengklarifikasi misinformation
atau informasi yang kurang tepat mengenai Departemen Luar Negeri, dan juga
harus dapat mengarahkan bahwa kegiatan-kegiatan Departemen Luar Negeri
didengarkan dan diakui oleh seluruh pihak, baik di dalam Departemen maupun di
luar Departemen.
3.4 Tinjauan tentang Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
3.4.1 Latar Belakang Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Issu mengenai Press Briefing diangkat pada saat diadakan kegiatan
Foreign Policy Breakfast yang pertama, pada bulan January di Gedung
Pancasila, Departemen Luar Negeri. Pada acara ini, disepakati betapa pentingnya
memperkokoh kemitraan antara diplomasi dan media massa, serta pelayanan
informasi kepada media massa. Maka, dua hingga tiga bulan setelah kesepakatan
pada kegiatan Foreign Policy Breakfast tersebut, diadakan kegiatan Press
Briefing pertama.
Salah satu alasan diadakannya Press Briefing adalah agar meningkatnya
pelayanan informasi kepada media massa, guna menyampaikan posisi
Departemn Luar Negeri dalam menghadapi suatu masalah, menyampaikan
kebijakan-kebijakan Departemen Luar Negeri, mengklarifikasi suatu issu yang
sedang dihadapi Departemen Luar Negeri, serta menyediakan wadah untuk para
pers bertanya mengenai masalah atau peristiwa yang sedang menjadi perhatian
pers dan masyarakat.
71
Press Briefing merupakan sebuah rangkuman secara lisan, singkat dan
faktual mengenai isu-issu terkini yang diutarakan kepada pers. Press Briefing
Departemen Luar Negeri adalah kegiatan rutin, setiap minggu yang khusus diatur
Departemen Luar Negeri, dengan Juru Bicara sebagai pihak yang ditunjuk
Departemen Luar Negeri, untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri.
Press Briefing berbeda dengan Press Conference, Press Briefing Departemen
Luar Negeri berlangsung singkat antara 1 hingga 1 ½ jam, dan tidak bersifat
wawancara khusus, serta bukan atas permintaan tertentu, karena Press Briefing
merupakan kegiatan yang sudah direncanakan dan ditentukan waktunya oleh
Departemen Luar Negeri, tidak seperti Press Conference, yang merupakan
wawancara untuk para wartawan dan telah khusus diatur untuk memberi
penerangan secara umum.
Issu yang dibicarakan dalam kegiatan ini adalah seputar kebijakan
Pemerintah Indonesia di bidang politik luar negeri, dan dilakukan secara rutin
pada hari Jum’at, yang dapat dihadiri baik oleh kalangan pers dalam negeri
maupun pers luar negeri. Pada umumnya Press Briefing difokuskan kepada satu
atau beberapa issu atau peristiwa tertentu, namun tetap membuka kemungkinan
dijawabnya pertanyaan atas issu atau peristiwa yang lain. Dalam hal ini,
persiapan yang dilakukan biasanya menyangkut persiapan atas substansi issu
atau peristiwa yang akan disampaikan, termasuk persiapan-persiapan bahan-
bahan untuk issu atau peristiwa terkini, jika ditanyakan.
Biasanya satu hari sebelum Press Briefing dilaksanakan, pihak
Departemen Luar Negeri, yaitu Direktorat Informasi dan Media selaku pihak
72
yang bekerjasama dengan Biro Administrasi Menteri dalam melaksanakan
kegiatan Press Briefing, menyebarkan undangan pada media massa lewat
facsimile. Istilahnya Direktorat Informasi dan Media adalah hadrware dari Press
Briefing, dimana mereka membantu menyediakan fasilitasnya, persiapan-
persiapan yang dibutuhkan dalam Press Briefing, misalnya tempat atau ruangan
untuk diadakan kegiatan tersebut, serta pelaporan hasilnya yang kemudian
dikirimkan ke perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Untuk persiapan materi
Press Briefing, dilakukan oleh Biro Administrasi Menteri.
Maka, dengan adanya Press Briefing diharapkan pelayanan informasi
kepada pers, penyampaian informasi mengenai masalah atau hal-hal yang
berkaitan dengan politik dan hubungan luar negeri, serta posisi Departemen Luar
Negeri dalam menghadapi suatu masalah, dapat tersalurkan dengan lebih baik,
mudah dan terencana. Ini dapat menandakan bahwa Departemen Luar Negeri
berusaha untuk setransparan mungkin dalam mengungkapkan atau
menyampaikan apa yang telah dan akan dilakukan Departemen Luar Negeri
dalam hubungannya dengan politik dan hubungan luar negeri.
Tetapi Press Briefing ini diadakan bukan hanya untuk memenuhi atau
melaksanakan strategi komunikasi medern atau tidak hanya dalam bidang
teknologi informasi saja, dimana hal tersebut tetap merupakan prioritas utama
bagi Departemen Luar Negeri, tetapi juga meningkatkan hubungan baik antara
Departemen Luar Negeri dengan media massa (dalam hal ini press relations).
73
3.4.2 Tujuan, Fungsi, dan Sasaran Kegiatan Press Briefing Departemen
Luar Negeri
3.4.2.1 Tujuan Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Press Briefing Departemen Luar Negeri adalah kegiatan rutin, lisan,
singkat, dan faktual yang diadakan Departemen Luar Negeri dengan
mengundang para wartawan, baik wartawan lokal maupun wartawan asing, baik
dari madia massa cetak maupun dari media massa elektronik. Masalah atau issu-
issu yang disampaikan Juru Bicara dalam kegiatan ini adalah mengenai seputar
kebijakan Pemerintah Indonesia, Departemen Luar Negeri di bidang politik dan
hubungan luar negeri.
Masalah-masalah dalam negeri dan luar negeri dapat diumpamakan
sebagai dua sisi yang berbeda pada satu koin, karena mereka saling berhubungan
dan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sehingga dalam hubungan
internasional, diketahui bahwa masalah luar negeri tidak dapat terlepas dari
masalah dalam negeri, juga sebaliknya, masalah dalam negeri tidak bisa terlepas
dari masalah luar negeri. Dengan terjadinya perubahan-perubahan mendasar di
dunia internasional dan di dalam negeri, perlu dibangun pemahaman baru dunia
tentang Indonesia dan, sebaliknya perlu dibangun pemahaman baru Indonesia
tentang dunia. Dalam hal ini, tujuan diadakannya Press Briefing adalah agar
dapat dibangun pemahaman dunia tentang Indonesia dan pemahaman Indonesia
tentang dunia yang lebih baik.
Dengan diadakannya Press Briefing secara rutin, hasil yang diharapkan
adalah bahwa informasi yang telah diberikan kepada wartawan nasional dan
74
wartawan internasional adalah informasi yang faktual dan tepat, sehingga pada
gilirannya akan mengakibatkan penulisan atau peliputan yang faktual dan tepat
pula. Press Briefing juga bertujuan agar adanya interaksi dan hubungan yang
baik antar pihak Departemen Luar Negeri dengan pihak luar, dalam hal ini media
massa, baik media massa asing maupun media massa lokal, selain memperbaiki
pelayanan informasi kepada media massa dari pihak Departemen Luar Negeri.
Tetapi di lain pihak Juru Bicara tidak mau menampilkan sosok yang
memaksakan pandangan kepada media massa atau memberi kesan bahwa Juru
Bicara atau pihak Departemen Luar Negeri serba tahu dan serba benar. Dimana
pada akhirnya seolah-olah Juru Bicara hanya memaksakan pandangan
Pemerintah, padahal hal tersebut tidak sejalan dengan misi Departemen Luar
Negeri. Melainkan tujuan sebenarnya adalah memberikan pemahaman mengenai
Indonesia yang seutuh dan selengkap mungkin. Jadi, Departemen Luar Negeri
tidak berusaha memiliki monopoli atas kebenaran, melainkan menyampaikan
pandangan Pemerintah mengenai masalah politik dan hubungan luar negeri
kepada para wartawan, setelah sebelumnya mereka telah mendengar pandangan
dari para pengamat, yang seharusnya pada akhirnya pers tersebut menarik
kesimpulan sendiri atas pandangan-pandangan tersebut.
Jadi, tujuan dari Press Briefing pada intinya ada dua. Yang pertama
adalah yang bersifat keluar, yaitu meyebarkan atau menyampaikan informasi
kepada media massa. Hal ini bertujuan guna memberi pemahaman yang lebih
baik kepada media massa apa yang menjadi pandangan dan kebijakan
Departemen Luar Negeri dan kebijakan Pemerintah. Tujuan yang kedua adalah
75
dari sudut perspektif Departemen Luar Negeri, yaitu untuk memperoleh
informasi mengenai apa yang menjadi perhatian media massa, guna dijadikan
introspeksi bagi Departemen Luar Negeri. Press Briefing ini pun bermanfaat
untuk dijadikan rujukan oleh perwakilan RI di luar negeri bila ada wartawan
yang bertanya mengenai posisi Indonesia tentang berbagai hal yang belum tentu
diberikan di media massa, dimana perwakilan RI di luar negeri mendapakan
rangkuman tersebut dari Direktorat Informasi dan Media mengenai hasil Press
Briefing.
3.4.2.2 Fungsi Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Press Briefing merupakan wadah pertemuan antara Departemen Luar
Negeri dengan pers, dengan tujuan intinya adalah menyampaikan pandangan-
pandangan Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Indonesia, juga kegiatan-
kegiatan Departemen Luar Negeri yang bersifat long-term. Press Briefing
berfungsi sebagai dorongan agar adanya hubungan baik antar Departemen Luar
Negeri dengan pihak luar, yaitu media massa, yang juga menyatakan bahwa
Departemen Luar Negeri transparan dalam membuka fakta mengenai masalah-
masalah yang sedang dihadapi mengenai politik dan hubungan luar negeri.
Dengan adanya Press Briefing, maka salah satu dampak positifnya adalah bahwa
masyarakat mengetahui pandangan-pandangan Departemen Luar Negeri dan
kegiatan-kegiatan Departemen Luar Negeri dalam masalah memperbaiki
hubungan dan politik luar negeri dan posisi Departemen Luar Negeri dalam
76
suatu masalah tertentu, juga usaha-usahanya membantu warga negara Indonesia
yang berada di luar negeri dalam menghadapi masalahnya.
Press Briefing juga berfungsi untuk para perwakilan Indonesia di luar
negeri, dimana hasil dari Press Briefing tersebut dijadikan rujukan untuk mereka
mengenai posisi-posisi Indonesia sebagai apa dalam masalah tertentu, selain
untuk pers, untuk dijadikan liputan esok harinya. Seperti yang pernah terjadi,
Juru Bicara tidak bisa mengadakan Press Briefing karena suatu hal. Dampak dari
hal tersebut adalah Juru Bicara mendapatkan banyak telepon dan e-mail dari
banyak perwakilan RI di luar negeri yang menanyakan kenapa tidak adanya
Press Briefing. Jadi, Press Briefing tidak hanya bermanfaat untuk media massa,
tapi bermanfaat juga untuk perwakilan RI di luar negeri guna mengetahui
mengenai masalah tertentu dan posisi Indonesia dalam masalah tersebut.
Hal tersebut sangat berguna terutama pada saat menghadapi masalah bom
Bali beberapa bulan yang lalu. Tidak mungkin Juru Bicara tidak mengadakan
Press Briefing, karena banyak sekali pers yang ingin mengetahui mengenai
masalah tersebut, dimana posisi Indonesia, dan langkah-langkah apa saja yang
sedang dilakukan Indonesia dalam menghadapi hal tersebut, juga bagaimana
posisi Indonesia dalam politik dan hubungan luar negerinya, terutama dengan
negara-negara yang warga negaranya banyak menjadi korban serta dampaknya
pada warga Indonesia yang berada di luar negeri. Selain Departemen Luar
Negeri sendiri mempunyai tugas menyampaikan beberapa masalah mengenai
bom Bali kepada pers, baik pers nasional maupun pers internasional, yang
kemudian dijadikan liputan untuk diketahui masyarakat luas. Bahkan setelah
77
terjadinya bom Bali, Departemen Luar Negeri langsung mengadakan Press
Conference hari berikutnya, dimana Menteri Luar Negeri yang turun langsung
menjadi pembicaranya, dan pada minggu yang sama telah diadakan beberapa
Press Briefing tambahan (selain Press Briefing regular yang diadakan setiap hari
Jum’at).
Bila Juru Bicara ingin mengklarifikasi suatu masalah atau issu-issu
tertentu mengenai Departemen Luar Negeri yang tidak sama atau kurang sesuai
dengan kenyataannya, maka Juru Bicara dapat memanfaatkan Press Briefing
untuk mengklarifikasi masalah tersebut. Karena seperti yang kita ketahui, bahasa
diplomatik dapat berarti banyak, dan tidak menutup kemungkinan pers yang
meliput salah mengartikan kata-kata tertentu karena kadang pers belum bisa
membedakannya. Hal tersebut bisa menjadi fatal dampaknya bila tidak di tindak
lanjuti, maka Juru Bicara harus mengklarifikasi masalah tersebut sesegera
mungkin, guna menghindari dari kesalah pahaman yang lebih besar. Misalnya
bila Juru Bicara mengatakan “Indonesia deplores pada suatu perkembangan”,
yang kemudian diartikan sebagai “Indonesia mengecam…”, dimana sebenarnya
‘mengecam’ dalam bahasa Inggrisnya adalah condemn. Padahal dalam bahasa
diplomasinya antara deplore dan condemn ada gradasinya, dimana deplore lebih
rendah dari pada condemn. Kadang kala ada nuansa-nuansa tertentu yang Juru
Bicara gunakan, tetapi pada pelaporannya diabaikan karena dianggap tidak
penting oleh pers, di mana pada akhirnya bisa timbul masalah karena Juru Bicara
dianggap tidak hati-hati dan tidak menggambarkan posisi Departemen Luar
Negeri atau posisi Pemerintah setepat mungkin. Jadi pada akhirnya, Juru Bicara
78
harus sehati-hati mungkin dalam berbicara, selain adanya Press Briefing yang
berfungsi juga bagi Juru Bicara untuk mengklarifikasi bila ada suatu masalah.
3.4.2.3 Sasaran Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Dalam kegiatan Press Briefing, Departemen Luar Negeri berusaha
mengundang seluruh jenis media massa, baik media massa elektronik, yaitu
radio, televisi, media massa cetak, yaitu majalah, surat kabar, juga perusahaan
dot com, dan lain sebagainya. Departemen Luar Negeri selain mengundang
media massa nasional, juga media massa internasional yang berada di Indonesia.
Bahkan Juru Bicara mempersilahkan diplomat-diplomat asing untuk datang atau
menghadiri Press Briefing bila mereka memerlukan suatu informasi mengenai
Departemen Luar Negeri.
Sehari sebelum kegiatan Press Briefing diadakan, yaitu pada hari Kamis
siang, salah satu Direktorat Departemen Luar Negeri, yaitu Direktorat Informasi
dan Media menyebarkan undangan Press Briefing pada pers, yang berisikan
tempat dan waktu pelaksanaan Press Briefing.
Tetapi pada kenyataannya, Press Briefing hanya diminati dan didatangi
pada umumnya oleh wartawan nasional. Sementara wartawan asing hanya
kadang-kadang saja datangnya, tidak rutin dan tidak sesering wartawan lokal.
Wartawan asing biasanya hanya datang bila ada big event saja. Misalnya setelah
terjadinya tragedi bom Bali, para wartawan asing sering dan banyak yang datang
pada kegiatan Press Briefing untuk menanyakan hal-hal atau masalah yang
bersangkutan dengan bom Bali dan pandangan-pandang, juga posisi Departemen
79
Luar Negeri dalam masalah tersebut. Press Briefing kurang dimanfaatkan oleh
wartawan asing, dimana dalam mencari informasi yang mereka butuhkan,
biasanya mereka lakukan melalui wawancara langsung dengan Juru Bicara
melalui telepon.
Juru Bicara sedang mencari jalan bagaimana untuk menjangkau
wartawan asing untuk lebih terpanggil untuk datang pada kegiatan Press
Briefing, dengan cara yang memang efektif tanpa menimbulkan kesan bahwa
Departemen Luar Negeri diskriminatif. Bahwa seolah-olah ada suatu forum
untuk wartawan asing dan ada suatu forum lainnya untuk wartawan lokal.
3.4.3 Waktu dan Tempat Kegiatan Press Briefing Departemen Luar
Negeri
3.4.3.1 Waktu Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Kegiatan Press Briefing biasanya dilaksanakan setiap minggu, pada hari
Jum’at. Pada awalnya Press Briefing dilaksanakan pada siang hari, dan
menghabiskan waktu kurang lebih 1 hingga 1 ½ jam, yaitu mulai pukul 14.00
hingga jam 15.30.
Tetapi bulan-bulan terakhir pada tahun 2002, mulai bulan September,
Press Briefing dilaksanakan di pagi hari, yaitu pada pukul 10.00 pagi hingga
11.30. hal demikian dilakukan karena pertama, dari sisi eksternal ada beberapa
wartawan yang mempunyai deadline untuk menyelesaikan laporannya pada
siang hari, dan itu tidak mungkin untuknya mengikuti Press Briefing dan
menyelesaikannya atau mengumpulkannya di sore hari. Hal yang kedua adalah
80
dari sisi internal, yaitu penyelenggara Press Briefing, termasuk Juru Bicara, ingin
menyelesaikan tugasnya lebih awal. Lalu, alasan Press Briefing diadakan pada
hari Jum’at adalah ikhtisar dari satu minggu yang telah dijalani para pekerja
kantor dan dipenuhi oleh tugas dan peristiwa yang bermacam-macam.
Pada kenyataannya, waktu kegiatan Press Briefing agak terlambat dari
yang telah dijadwalkan. Hal tersebut dikarenakan pertama adalah, adanya
misunderstanding, bahwa Juru Bicara dan wartawan saling menunggu. Juru
Bicara menunggu agar pers yang datang sudah banyak sebelum ia memulai Press
Briefing tersebut. Karena Juru Bicara tidak menginginkan pers yang datang
terlambat tidak mendapatkan informasi yang ingin mereka liput juga tidak
sempat menanyakan hal-hal yang menjadi perhatian mereka. Tetapi di sisi lain,
pers pun menunggu kehadiran Juru Bicara datang terlebih dahulu agar mereka
tidak menyia-nyiakan waktu mereka, yang pada kenyataannya dapat digunakan
untuk meliput masalah lain yang menjadi perhatian pers tersebut.
3.4.3.2 Tempat Kegiatan Press Briefing Departemen Luar Negeri
Kegiatan Press Briefing merupakan kegiatan yang diselenggarakan
Departemen Luar Negeri dan juga diadakan di kantor Departemen Luar Negeri.
Press Briefing tersebut pada awalnya dilaksanakan di Gedung Palapah lantai
pertama atau lantai dasar, di mana pada ruangan tersebut berfasilitas air
conditioner, kursi beserta mejanya untuk wartawan gunakan selama kegiatan
Press Briefing tersebut berlangsung, juga microphone dan speaker sebagai alat
bantu dalam berkomunikasi dengan Juru Bicara.
81
Tetapi sejak bulan Desember, ruangan yang digunakan untuk kegiatan
Press Briefing berpindah tempat pada ruangan di lantai tiga, dengan gedung
yang sama. Hal ini disebabkan ruangan di lantai tiga lebih memadai dan bersifat
lebih mendekatkan Juru Bicara dengan pers, dimana tidak ada jarak antara posisi
Juru Bicara dengan pers karena posisi meja dan kursi membentuk suatu persegi
panjang yang menyatu, dengan difasilitaskan satu micriphone yang bersatu
dengan speakernya pada setiap meja yang tersedia.
82
BAB IV
ANALISIS DATA
Untuk mengetahui bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar
Negeri dalam menghadapi masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing,
penulis melakukan penelitian melalui observasi langsung ke lokasi penelitian,
yaitu Departemen Luar Negeri yang berlokasi di Jl.Pejambon no.6, Jakarta Pusat.
Penulis pun melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan
menyebarkan angket (kuesioner) yang meliputi data responden serta data
penelitian. Untuk mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan,
disamping menggunakan teknik pengumpulan data dari buku-buku serta
referensi yang memiliki kaitan langsung dengan masalah yang diteliti.
Pada bab ini, terdapat perolehan data hasil penelitian berikut
pengolahannya atau analisisnya. Jawaban-jawaban yang ada pada kuesioner
diberikan kode, lalu langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut
sehingga memudahkan untuk dipahami.
Penyebaran kuesioner dilaksanakan pada minggu ke dua dan minggu ke
tiga pada bulan Desember 2002, kuesioner dibagikan pada sampel penelitian atau
responden yang diperoleh berdasarkan teknik simple random sampling,
banyaknya sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 19 orang responden
yang merupakan pers, baik yang berasal dari media massa lokal maupun media
massa asing yang datang pada kegiatan Press Briefing pada bulan Oktober
83
hingga Desember 2002, yang diadakan Departemen Luar Negeri di Ruang
Palapah lantai 1 dan 3 Departemen Luar Negeri.
Pertanyaan-pertanyaan yang ada pada kuesioner atau angket merupakan
pertanyaan yang bersifat tertutup, yakni pertanyaan yang jawabannya sudah
ditentukan terlebih dahulu sehingga responden tidak diberikan kesempatan untuk
memberikan jawaban alternatif.
Perolehan data dari hasil penyebaran angket ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah yang diteliti. Adapun hasil
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
4.1 Analisis Data Responden
Analisis Data Responden meliputi Jenis Agama, Jenis Media, Asal
Media, Jenis Media Pemberitaan, Frekuensi Terbit Media, Frekuensi Mengikuti
Kegiatan Press Briefing, serta Lamanya Bekerja.
4.1.1 Jenis Agama
Tabel 1 menunjukkan jumlah jenis agama responden Islam, Katholik,
Protestan, Budha, Hindu. Jumlah responden beragama Islam lebih banyak dari
pada jumlah responden yang beragama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu,
yakni sebanyak 15 orang responden atau sebesar 79%, lalu responden yang
beragama Protestan berjumlah 3 orang responden atau sebesar 16%, dan yang
beragama Katolik hanya sebanyak 1 orang atau sebesar 5%. Sedangkan tidak ada
responden yang beragama Budha, Hindu, dan lain-lain, jadi dalam penelitian ini
mayoritas responden berasal dari agama Islam.
84
Tabel 1Jenis Agama
No Pernyataan f %
1 Islam 15 79
2 Katolik 1 5
3 Protestan 3 16
4 Budha - -
5 Hindu - -
6 Lain-lain - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Dalam Buku Pintar menunjukkan bahwa mayoritas “masyarakat
Indonesia beragama Islam, yaitu sebesar 83,5%, yang kedua adalah yang
beragama Protestan, yaitu sebesar 7,9%, sedangkan yang beragama Katolik yaitu
sebesar 4,3%, yang beragama Hindu sebesar 3%, dan yang beragama Budha
sebesar 1,3%” (2002 : 480). Dilihat dari data di atas tersebut, dapat dikatakan
bahwasannya banyaknya resoponden yang beragama Islam adalah karena
masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Artinya, perbandingan pers
yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha selalu berada pada
kisaran persentase di atas. Pada Departemen Luar Negeri tidak ada aturan secara
legalitas formal mengenai persyaratan jenis agama pers yang datang pada
kegiatan Press Briefing.
4.1.2 Jenis Media
Tabel di bawah menunjukkan data jenis media responden bekerja. Dari
19 orang responden yang telah ditetapkan, jenis media massa surat kabar
merupakan jenis media massa yang terbesar di mana responden bekerja yaitu
85
sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26%, sedangkan lain-lain atau jenis
media yang tidak tercantum pada angket adalah sebanyak 4 orang responden atau
sebesar 21%, yang bekerja pada majalah sebanyak 3 orang responden atau
sebesar 16%, begitu pula yang bekerja pada radio sebanyak 16%, responden
yang bekerja pada televisi pun sebanyak 16%, dan yang berasal dari perusahaan
dot com sebanyak1 orang responden atau sebesar 5%.
Tabel 2Jenis Media
No Pernyataan f %
1 Televisi 3 16
2 Radio 3 16
3 Perusahaan Dot Com 1 5
4 Majalah 3 16
5 Surat Kabar 5 26
6 Lain-Lain 4 21
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Untuk melaksanakan kegiatan hubungan pers yang baik, dalam hal ini
Press Briefing, Juru Bicara memerlukan pengetahuan yang memadai tentang
pers. Hal tersebut diungkapkan oleh Frank Jeffkins yang dikutip oleh Aceng
Abdullah, bahwa pokok-pokok penting yang harus diketahui itu adalah :
Kebijaksanaan keredaksian;Frekuensi penerbitan;Tenggat terbit;Proses produksi;Daerah sirkulasi;Khalayak pembaca;Metode distribusi (2001 : 19).
Berdasarkan hal-hal di atas dapat memudahkan atau membantu Juru
Bicara dalam menyampaikan informasi secara efektif, karena setiap media massa
86
memiliki sikap yang berbeda dalam melihat suatu permasalahan, sehingga antara
media yang satu dengan yang lain pasti memiliki sikap yang berbeda. Juga
dengan mengetahui asal media massa pers bekerja, maka Juru Bicara dapat
menggambarkan ketepatan waktu diadakannya kegiatan Press Briefing, guna
membantu pers dalam menghadapi deadline-nya. Sebab sebuah Press Briefing
akan sia-sia bila tidak bisa di muat atau disiarkan karena terganjal oleh deadline
pers tersebut, padahal informasi yang disampaikan merupakan berita yang
cukup penting dan menarik. Dengan ini dapat pula mempengaruhi frekuensi pers
yang mengikuti kegiatan tersebut karena waktunya kurang sesuai.
Dapat dikatakan tidak mengherankan bahwa responden yang bekerja
pada surat kabar lebih banyak dibanding dengan media massa lainnya, karena
“sejak reformasi, telah terdapat 1.500 media cetak (data Juli 1999) di Indonesia
dan sekitar 70% dari media cetak tersebut terbit di Jakarta” (Abdullah, 2001:10).
Data tabel di atas pun dapat menunjukkan bahwa Juru Bicara telah
bekerjasama dengan berbagai jenis media massa, dengan itu Juru Bicara telah
berusaha untuk menyampaikan informasi yang telah disusun sebelumnya kepada
seluruh jenis masyarakat yang luas melalui berbagai media massa yang hadir
pada kegiatan Press Briefing.
4.1.3 Asal Media
Berdasarkan tabel 3, sebagian besar responden bekerja pada media massa
yang berasal dari dalam negeri yaitu berjumlah 14 orang responden atau sebesar
74%, dan responden yang berasal dari media massa luar negeri adalah sebanyak
5 orang responden atau sebesar 26%.
87
Penulis ingin mengetahui apakah banyak atau ada responden yang berasal
dari media massa luar negeri, karena Departemen Luar Negeri tidak hanya
mengundang media massa lokal saja akan tetapi juga media massa asing. Ini
dikarenakan selain terdapat beberapa perwakilan media massa asing di
Indonesia, juga karena Departemen Luar Negeri merupakan departemen yang
bergelut pada bidang hubungan dan politik luar negeri.
Tabel 3Asal Media
No Pernyataan f %
1 Dalam Negeri 14 74
2 Luar Negeri 5 26
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Dengan adanya data ini, maka penulis dapat mengetahui bahwa ada 5
orang responden atau sebesar 26% media responden berasal dari luar negeri.
Lebih banyaknya media responden lokal yang hadir pada kegiatan Press Briefing
dapat diakibatkan karena kurangnya melakukan pendekatan dalam mengundang
media massa tersebut. Tetapi pada kenyataannya tidak ada satu media massa pun
yang dianakemaskan sehingga pendekatan dalam mengundang media massa oleh
Departemen Luar Negeri sama saja. “Salah satu hal-hal yang perlu dipahami
narasumber dalam menjalani hubungan dengan pers bahwa wartawan tidak
menyukai jika ada media tertentu yang dianakemaskan” (Abdullah, 2001 : 101).
Pada wawancara penulis dengan Juru Bicara bulan Desember, Juru
Bicara menyatakan bahwa pada awalnya tidak ada perbedaan asal media massa
yang diundang karena semua media massa yang bersangkutan dengan politik dan
88
hubungan luar negeri dan beberapa jenis media massa lainnya diundang dengan
cara, hari dan undangan yang sama. Tetapi pada kenyataannya media massa
lokallah yang lebih berminat atau sering datang pada kegiatan Press Briefing.
Sebenarnya Juru Bicara pun belum mengetahui penyebab dari masalah tersebut
dan pada tahun ini Juru Bicara akan mulai melakukan pendekatan lagi dengan
media massa, tanpa meninggalkan juga media massa lokalnya.
“Kita tidak membedakan antara pers luar dan dalam. Tapi kenyataannya dalam pemanfaatannya, saya mensinyalir yang luar tidak datang sesering yang saya kira. Saya tidak tahu mengapa. Mereka biasanya berinteraksi dengan saya secara langsung, tapi tidak di forum Press Briefing. Bahkan di forum Press Briefing sudah saya sampaikan bahwa bukan saja wartawan asing, tetapi diplomat-diplomat asing di Jakarta juga saya persilahkan datang jika mau. Wartawan asing kadang-kadang datang kalau ada big event saja. Sementara mereka tidak merasa terpanggil untuk diatur dalam suatu skenario gitu. Jadi for this coming year, saya ingin mencoba bagaimana untuk menjangkau wartawan asing ini dengan cara yang memang efektif tanpa menimbulkan kesan kita diskriminatif. Yang menjadi kepedulian saya, saya tidak mau seolah ada forum buat wartawan asing dan satu forum buat wartawan lokal. Nanti ada yang mengira ada favoritism” (Wawancara dengan Juru Bicara, 31 Desember 2002).
4.1.4 Jenis Media Pemberitaan
Tabel 4 menunjukkan jenis media pemberitaan asal responden bekerja, di
mana 11 orang responden atau sebesar 58% menyatakan bekerja pada media
berita umum, 4 orang responden atau sebesar 21% menyatakan lain-lain karena
tidak terdaftar pada angket tersebut, sebanyak 2 orang responden atau sebesar
11% menyatakan berasal dari media berita ekonomi, sedangkan yang
menyatakan berasal dari media berita hukum sebanyak 1 orang responden atau
89
sebesar 5%, begitu pula yang menyatakan berasal dari media massa politik
sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.
Di satu sisi, media massa yang ada di Indonesia lebih banyak berjenis
umum, yaitu tidak hanya menggeluti pada satu bidang saja melainkan lebih dari
satu bidang. Tetapi di sisi lain, melihat data di atas dapat mendukung bahwa
terjadinya tragedi bom Bali tidak hanya diminati oleh media berita politik atau
hukum saja, tetapi juga oleh media berita lainnya, karena hal tersebut tidak hanya
berpengaruh pada politik Indonesia dan hubungan luar negeri, akan tetapi juga
membawa dampak pada bidang lainnya yaitu ekonomi, pariwisata, keamanan,
sosial, dan sebagainya.
Tabel 4Jenis Media Pemberitaan
No Pernyataan f %
1 Media Berita Umum 11 58
2 Media Berita Ekonomi 2 11
3 Media Berita Hukum 1 5
4 Media Berita Politik 1 5
5 Lain-Lain 4 21
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Selain itu, secara naluri, masyarakat ingin mengetahui segala sesuatu
yang baru atau yang dianggap baru atau asing baginya, dimana hal tersebut
menarik perhatiannya. Dengan itu individu mencari tahu tidak terbatas dari
individu lainnya, juga melalui media massa dan dengan cara-cara yang
bermacam-macam ragam dan bentuknya. Seperti yang diungkapkan oleh
H.A.W.Widjaja bahwa : “Hal yang baru tersebut di samping menarik perhatian
90
orang, juga mendorong orang untuk ingin lebih tahu lagi. Keinginan ini bukan
saja yang ada sangkut pautnya dengan bidangnya, tetapi juga mereka yang
merasakan akibat atau manfaat dari hal yang baru tersebut” (2000 : 8).
4.1.5 Frekuensi Terbit Media
Tabel 5 menunjukkan frekuensi terbit media responden bekerja. Dapat
dilihat bahwa 11 orang responden atau sebesar 59% menyatakan bahwa
frekuensi terbitnya media mereka adalah harian, 5 orang responden atau sebesar
26% menyatakan lain-lain karena tidak tercantum frekuensi terbit medianya,
sedangkan yang berfrekuensi dua mingguan sebanyak 2 orang responden atau
sebesar 10%, dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5 % menyatakan bahwa
media massa mereka terbit secara mingguan.
Tabel 5Frekuensi Terbit Media
No Pernyataan f %
1 Harian 11 59
2 Mingguan 1 5
3 Dua Mingguan 2 10
4 Bulanan - -
5 Lain-Lain 5 26
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Tabel di atas berhubungan dengan jenis media responden bekerja pada
tabel 2, yaitu menunjukkan frekuensi terbit suatu media massa. Dengan
mengetahui frekuensi penerbitan suatu media massa, dapat membantu Juru
Bicara sebagai pelaksana Press Briefing dalam menetapkan waktu diadakannya
91
Press Briefing guna memungkinkan hadirnya sebanyak mungkin pers agar
informasi yang disampaikan pada kegiatan Press Briefing tersebut bisa
memperoleh publikasi yang maksimal.
Banyaknya pers yang datang pada kegiatan Press Briefing berasal dari
media massa yang mempunyai frekuensi terbit harian karena 26% media massa
responden berjenis surat kabar, radio 16% dan televisi 16%, di mana dari data
mereka terdapat jawaban bahwa media massa mereka merupakan media massa
dengan penerbitan harian. Selain itu mereka mempunyai deadline untuk
mendapatkan berita yang dapat diterbitkan pada hari berikutnya bahkan disiarkan
pada sore harinya. Maka dalam hal ini Juru Bicara cukup berhasil menetapkan
waktu kegiatan Press Briefing karena dapat membantu pers untuk mendapatkan
berita, dalam hal ini take and give, dan Juru Bicara telah dibantu oleh pers untuk
mempublikasikan informasi atau berita yang diinginkannya. Di lain sisi, penulis
ingin mengetahui dan memperjelas frekuensi penerbitan media massa sampel
pada penelitian ini yang dijadikan responden.
4.1.6 Frekuensi Mengikuti Kegiatan Press Briefing
Tabel 6Frekuensi Mengikuti Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 1 Kali 1 5
2 2 Kali 4 21
3 3 Kali 4 21
4 4 Kali 10 53
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
92
Tabel 6 menunjukkan frekuensi responden mengikuti kegiatan Press
Briefing dalam satu bulan. Berdasarkan pada data tabel di atas, dari 19
responden, 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa mereka
mengikuti kegiatan Press Briefing sebanyak 4 kali dalam satu bulan, yang
menyatakan 3 kali mengikuti Press Briefing adalah sebanyak 4 orang responden
atau sebesar 21%, begitu pula yang menyatakan mengikuti Press Briefing
sebanyak 2 kali dalam satu bulan adalah sebanyak 4 orang responden atau
sebesar 21%, dan responden yang menyatakan 1 kali mengikuti kegiatan Press
Briefing dalam satu bulan hanya sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.
Hal ini menandakan bahwa Press Briefing dengan tema terorisme atau
dalam membahas mengenai terorisme khususnya mengenai tragedi bom Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002, diminati dan menarik perhatian sebagian besar
pers pada media massa di Indonesia. Hal tersebut dapat dikarenakan bahwa
tragedi tersebut termasuk salah satu masalah yang besar yang dihadapi Indonesia
yang sampai saat ini dikatakan bahwa tragedi tersebut berhubungan dengan
jaringan teroris internasional Al Qaeda. Masalah ini pun berhubungan dengan
citra Indonesia di mata dunia, dan masalah politik juga hubungan luar negeri,
serta dapat memberikan dampak pada bidang lainnya terutama parawisata.
Seperti yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm bahwa : “Timbulnya perhatian,
yang berarti bahwa komunikan dalam benak atau tingkah lakunya mencari
keterangan tentang pesan yang diterimanya atu karena menarik” (Sastropoetra,
1988 : 209).
93
Dalam kegiatan ini selain Juru Bicara menyampaikan informasi yang
telah disusun dan direncanakan sebelumnya mengenai terorisme, pers pun
diperbolehkan untuk mengajukan pertanyaan mengenai hal yang menarik
perhatian mereka. Dengan ini pers dapat mengetahui apa sebenarnya inti
permasalahan dari masalah yang mereka tanyakan. Selain itu, adanya forum
tanya jawab juga dapat menarik perhatian pers untuk datang pada kegiatan yang
dimaksud karena dengan itu pers mendapatkan jawaban atas apa yang menjadi
perhatian mereka.
4.1.7 Lama Bekerja
Tabel 7Lama Bekerja
No Pernyataan f %
1 Kurang Dari 1 Tahun - -
2 1-2 Tahun 8 42
3 2-3 Tahun 6 32
4 3-4 Tahun 2 10
5 Lebih Dari 4 Tahun 3 16
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Tabel 7 di atas menunjukkan lamanya responden bekerja, yang
menyatakan telah bekerja antara satu hingga dua tahun sebanyak 8 orang
responden atau sebesar 42%, yang telah bekerja antara dua hingga tiga tahun
sebanyak 6 orang responden atau sebesar 32%, sedangkan yang menyatakan
telah bekerja lebih dari empat tahun sebanyak 3 orang responden atau sebesar
94
16%, dan sisanya menyatakan telah bekerja antara dua hingga tiga tahun yaitu
sebanyak 2 orang responden atau sebesar 10%.
Wartawan yang diterima Departemen Luar Negeri pada kegiatan Press
Briefing tidak dilihat dari pengalaman kerja atau lamanya mereka bekerja pada
media massa mereka. Selain itu dalam penempatan pencarian berita, bidang dan
sumber informasi biasanya tergantung dari kebijakan redaksi atau pimpinan
masing-masing media massa. Biasanya lamanya responden bekerja sebagai
wartawan berpengaruh pada cara berfikir atau bertindak, semakin lamanya
seseorang menekuni profesinya, maka orang tersebut dapat berpengalaman dan
lamanya seseorang berprofesi dalam bidangnya akan mempengaruhi
kepercayaan pimpinan lembaga media di mana seseorang bekerja. Tetapi bukan
berarti bahwa wartawan yang pengalaman kerjanya lebih sedikit tidak mampu
membidangi pekerjaannya.
4.2 Analisis Data Penelitian
Data penelitian meliputi penyampaian informasi yang berisikan hal-hal
umum, kejelasan dan kegamblangan pesan, kejelasan bahasa, kepositifan
informasi, keseimbangan informasi, dan kesesuaian informasi yang disampaikan
Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing mengenai teoroisme, kemudian
penyampaian klarifikasi dalam upaya penjernihan, penjelasan, pengembalian
pesan pada apa yang sebenarnya mengenai terorisme yang disampaikan Juru
Bicara pada kegiatan Press Briefing, dan pemberian jawaban, pemenuhan
95
jawaban, dan ketanggapan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers mengenai
terorisme pada kegiatan Press Briefing.
4.2.1 Pesan Berisikan Hal-hal Umum
4.2.1.1 Pengertian Terhadap Informasi Secara Umum
Pada tabel 8 menunjukkan bahwa 13 orang responden atau sebanyak 68%
mengerti atas informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme
dalam kegiatan Press Briefing secara umum, 3 orang responden atau sebanyak
16% mengatakan bahwa mereka sangat mengerti atas informasi yang
disampaikan Juru Bicara secara umum, dan 3 orang responden lainnya atau
sebanyak 16% menyatakan cukup mengerti. Dalam hal ini, tidak ada satu pun
responden yang menjawab kurang mengerti dan tidak mengerti.
Tabel 8Pengertian Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing Secara Umum
No Pernyataan f %
1 Sangat Dimengerti 3 16
2 Dimengerti 13 68
3 Cukup Dimengerti 3 16
4 Kurang Dimengerti - -
5 Tidak Dimengerti - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Pada tabel 8 menujukkan bahwa 13 orang responden atau sebanyak 68%
mengerti atas informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme
dalam kegiatan Press Briefing secara umum, 3 orang responden atau sebanyak
16% mengatakan bahwa mereka sangat mengerti atas informasi yang
96
disampaikan Juru Bicara secara umum, dan 3 orang responden lainnya atau
sebanyak 16% menyatakan cukup mengerti. Dalam hal ini, tidak ada satu pun
responden yang menjawab kurang mengerti dan tidak mengerti.
Dalam penyampaian informasi, pemakaian kata merupakan unsur yang
sangat penting karena mengarahkan pada pengartian yang mempengaruhi
jalannya suatu komunikasi. Dalam penyampaian pesan-pesan atau informasi
mengenai terorisme oleh Juru Bicara kepada pers jelas menggunakan kata-kata.
Miskomunikasi dalam suatu komunikasi dapat terjadi akibat
penyampaian kata-kata yang rancu serta tidak akurat. Hal tersebut hanya akan
membuat komunikasi tidak berjalan dengan semestinya. Apabila kesalahan
tersebut dibiarkan terjadi maka, Juru Bicara akan dianggap tidak memiliki
kredibilitas sebagai komunikator atau dalam hal ini menyampaikan beritanya.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa 68% mengatakan mengerti atas
informasi yang disampaikan Juru Bicara, 16% mengatakan sangat mengerti, dan
16% lagi mengatakan cukup mengerti. Maka, dapat disimpulkan bahwa Juru
Bicara telah berhasil dalam menyampaikan informasinya mengenai terorisme
pada kegiatan Press Briefing karena sebagian besar dari responden menyatakan
mengerti atas apa yang Juru Bicara sampaikan. Hal ini pun dapat dilihat dari
tabel di atas bahwa tidak ada satu pun responden yang menyatakan kurang
mengerti dan tidak mengerti atas apa yang disampaikan Juru Bicara pada
kegiatan Press Briefing.
Salah satu kerangka rujukan yang dapat digunakan untuk menilai bahwa
suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik (ada kesesuaian pemahaman)
97
adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pelaku
komunikasi tersebut. Jadi, penilaian bahwa informasi yang disampaikan Juru
Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing adalah baik, disebabkan
oleh pers yang menilai memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik. Dalam
hal ini sebagai komunikate pada kegiatan Press Briefing, yang memungkinkan
mereka untuk mengerti dengan mudah mengenai arti dari setiap pesan yang
disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme. Hal tersebut juga disebabkan oleh
keahlian Juru Bicara dalam memilih kata-kata dan berhati-hati dalam
mengungkapkan suatu pandangan, kebijakan, dan informasi mengenai terorisme
pada kegiatan tersebut.
4.2.1.2 Pemenuhan Keingintahuan Masyarakat Secara Umum
Tabel 9Pemenuhan Keingintahuan Masyarakat Terhadap Informasi Yang
Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing Secara Umum
No Pernyataan f %
1 Sangat Memenuhi - -
2 Memenuhi 6 32
3 Cukup Memenuhi 12 63
4 Kurang Memenuhi 1 5
5 Tidak Memenuhi - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Pada tabel 9 menunjukkan pendapat pers mengenai pemenuhan
keingintahuan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing secara umum. Responden yang
menyatakan cukup memenuhi berjumlah 12 orang responden atau sebesar 63%,
98
yang menyatakan memenuhi berjumlah 6 orang responden atau sebanyak 32%,
sedangkan yang menyatakan kurang memenuhi berjumlah 1 orang responden
atau sebesar 5 %.
Ketepatan pemakaian istilah memang sangat tergantung dari kecakapan
atau kejelian komunikator, dalam arti hal ini harus ditunjang dengan wawasan
komunikator akan bahasa serta keahlian dalam menerjemahkan makna kata ke
dalam bahasa dan istilah yang jelas dan mudah dipahami. Karena tidak jarang
terjadi adanya kata-kata yang merupakan istilah-istilah yang sulit dipahami oleh
komunikate. Jika hal ini sering kali terjadi maka akan timbul kerancuan makna di
mana persepsi komunikate akan berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh
komunikator.
Dalam menggunakan istilah, komunikator dalam hal ini Juru Bicara harus
memperhatikan tingkat intelektual komunikatenya. Ada kalanya komunikate
dengan tingkat intelektual yang tinggi akan meremehkan istilah-istilah yang
sudah terlalu umum. Sebaliknya, bagi komunikate yang tingkat intelektualnya
rendah, cenderung akan melewatkan atau mengabaikan begitu saja berita-berita
dan istilah-istilah yang dianggap rumit atau yang terlalu banyak menggunakan
istilah yang tidak dimengerti.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa Juru Bicara telah cukup
berhasil dalam mengolah informasi, sehingga dapat memenuhi keingintahuan
masyarakat terhadap informasi mengenai terorisme tersebut. “Seorang
komunikator dapat menyusun dan mengolahnya sebagai suatu bentuk yang
99
paling penting bagi komunikan, sehingga dapat dirasakan dalam pengambilan
keputusan” (David, 1974 : 24).
Sedangkan pesan yang mengena harus memenuhi syarat:
Pesan harus direncanakan (dipersiapkan secara baik sesuai dengan kebutuhan).Pesan itu dapat menggunakan bahasa yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, komunikator dan komunikan.Pesan itu harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan kepuasan.
(Widjaja, 2000 : 101).
Masih adanya pendapat bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
pada kegiatan Press Briefing kurang memenuhi keingintahuan masyarakat adalah
bahwa setiap orang mempunyai keinginan, maksud, tujuan dan kepentingan
masing-masing yang berbeda. Maka tidak diherankan bahwa masih adanya
resoponden yang menyatakan kurang memenuhi. Tetapi sebagian besar
menyatakan bahwa informasi tersebut sudah cukup memenuhi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa Juru Bicara telah cukup berhasil dalam mengolah informasi
yang dimaksud.
Sedangkan Widjaja dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”
berpendapat bahwa pesan yang ingin disampaikan sedapat mungkin disesuaikan
dengan keinginan komunikate. Karena komunikate selalu mempunyai keinginan-
keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu. “Orang-orang yang menjadi
sasaran atau komunikan dari komunikasi yang kita lancarkan selalu mempunyai
keinginan-keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini
komunikator dapat menyesuaikan dengan keadaan, waktu dan tempat (ketupat)”
(2000 : 34).
100
4.2.2 Kejelasan dan Keterbukaan Pesan
4.2.2.1 Kejelasan Informasi
Tabel 10 di bawah menunjukkan kejelasan terhadap imformasi yang
disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme pada keiatan Press Briefing.
Sebanyak 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa informasi
yang disampaikan Juru Bicara jelas, 7 orang responden atau sebesar 37%
menyatakan cukup jelas, sedangkan 2 orang responden atau sebesar 10%
mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara tersebut sangat
jelas, dan tidak ada yang menyatakan kurang jelas maupun tidak jelas.
Tabel 10Kejelasan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 2 10
2 Jelas 10 53
3 Cukup Jelas 7 37
4 Kurang Jelas - -
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Kejelasan penyampaian informasi tidak hanya ditentukan oleh bahasa,
kata-kata, dan istilah-istilah yang digunakan Juru Bicara pada kegiatan tersebut,
akan tetapi juga ditentukan oleh alat-alat pembantu dalam melakukan
komunikasi. Hal yang dimaksud adalah microphone, speaker, overhead
projector, dan sebagainya. Hal tersebut penting guna memperjelas dalam
penyampaian informasi yang telah direncanakan, sehingga Frank Jeffkins
memasukkan hal-hal tersebut dalam aspek-aspek yang harus dipersiapkan dalam
101
pelaksanaan acara pers yang baik demi terciptanya hubungan pers yang baik
pula, dalam hal ini kegiatan Press Briefing.
“Persiapan waktu dan peralatan bicara dengan seksama, mulai dari VCR, perangkat TV, overhead projector, layar peraga, sampel, foto-foto, panel-panel, dan sebagainya” (Jeffkins, 1996 : 121).
Dengan melihat tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara
telah berhasil dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing
dengan jelas, yang dikarenakan telah berhati-hati dalam memilih kata-kata dan
istilah-istilah dalam bahasa yang jelas sehingga dapat dimengerti pers, yang juga
dibantu oleh alat komunikasi yang berupa speaker, microphone, dan sebagainya.
Hal tersebut telah memberi nilai plus terhadap fungsi Juru Bicara, karena
kejelasan informasi yang disampaikan dapat mengarahkan pada pengertian dan
persepsi pers yang sama dengan Juru Bicara terhadap informasi yang dimaksud
tersebut.
4.2.2.2 Kejelasan Lembaran Informasi
Tabel 11Kejelasan Terhadap Lembaran Informasi Yang Disebarkan Juru
Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas - -
2 Jelas 5 26
3 Cukup Jelas 9 48
4 Kurang Jelas 4 21
5 Tidak Jelas 1 5
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 9 orang
responden atau sebesar 48% menyatakan bahwa lembaran informasi yang
102
disebarkan Juru Bicara kepada pers mengenai terorisme pada kegiatan Press
Briefing cukup jelas, sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26% menyatakan
jelas, sebanyak 4 orang responden atau sebesar 21% menyatakan kurang jelas,
dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5% berpendapat bahwa lembaran
informasi yang disebarkan Juru Bicara pada kegiatan Press Briefing tidak jelas.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa lembaran informasi yang disebarkan
pada kegiatan Press Briefing cukup jelas, akan tetapi masih ada responden yang
menyatakan bahwa lembaran informasi tersebut kurang jelas, yaitu sebesar 21%
dan 5% menyatakan tidak jelasnya lembaran informasi yang dimaksud. Ini dapat
diakibatkan belum maksimalnya Juru Bicara dalam mengemas isi lembaran
informasi yang dimaksud. Maka, Juru Bicara harus lebih meningkatkan isi dari
lembaran informasi tersebut, baik dalam ketepatan kata-kata dan istilah-istilah
yang digunakan, materi atau berita yang disampaikan, keaktualisasian berita
tersebut, sifat informasi tersebut (objektif atau tidak, menarik atau tidak, dan
sebaginya), juga frekuensi disebarkannya informasi tersebut.
Penyediaan lembaran informasi pada kegiatan Press Briefing untuk
diberikan pada pers merupakan pra kegiatan dari Press Briefing, guna
menambahkan kelengkapan data yang akurat dari materi yang disampaikan pada
kegiatan Press Briefing. “Pihak penyelenggara jumpa pers ini harus
menyediakan bahan tertulis sehingga kalangan pers memiliki data yang akurat
dari materi yang dijumpaperskan” (Abdullah, 2001:86).
Sedangkan Winarko berpendapat bahwa : “Bahasa tulis dianggap lebih penting di bandingkan dengan bahasa lisan karena lebih sistematis, dapat dibaca oleh orang lain tanpa harus kehilangan maksud yang berarti” (Winarko, 2000 : 19). Selain itu menurut Gunadi YS, mengatakan bahwa:
103
“Salah satu fungsi dari media komunikasi adalah untuk mengefektifkan proses penyebaran pesan, mempermudah penyebaran informasi serta mempertegas dan memperjelas isi berita yang abstrak sifatnya” (Gunadi, 1998 : 49).
Dengan ini jika lembaran informasi tersebut tidak jelas menurut pers,
maka lembaran informasi tersebut tidak efektif karena tidak membantu
mempermudah penyebaran informasi yang dilakukan Juru Bicara pada Press
Briefing. Tetapi, dalam hal ini karena 48% responden menyatakan lembaran
informasi tersebut cukup jelas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya
penyebaran informasi mengenai terorisme yang dilakukan Juru Bicara pada
kegiatan Press Briefing cukup membantu dan mengefektifkan penyebaran pesan
mengenai terorisme karena dapat mempertegas dan memperjelas isi berita
tersebut.
Untuk mengefektifkan dan meningkatkan kejelasan pesan maka Juru
Bicara harus memperhatikan segala aspek persiapan serta pelaksanaannya.
“Sediakanlah informasi pers yang memadai, namun jangan timbuni para tamu dengan aneka rupa materi yang kelewat banyak, apalagi yang tidak relevan. Meskipun terkesan sepele, tapi dalam kenyataannya penyediaan informasi atau bahan-bahan bagi pers ini seringkali kacau balau. Map berisikan informasi penting seringkali tercampur denga hal-hal yang tidak relevan seperti foto pembicara, jurnal internal, daftar harga, dan laporan penjualan. Apa yang mereka butuhkan adalah tulisan singkat danfoto-foto menarik yang bisa mereka kantungi dengan mudah” (Jeffkins, 1996 : 121).
4.2.2.3 Keterbukaan Informasi
Tabel 12 memperlihatkan bahwa sebanyak 6 orang responden atau
sebesar 32% berpendapat bahwa informasi mengenai terorisme pada kegiatan
Press Briefing disampaikan secara terbuka, terdapat 6 orang responden atau
104
sebesar 32% juga menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
kurang terbuka, kemudian 5 orang responden lainnya atau sebesar 26%
mengatakan terbuka, dan 2 orang responden lagi atau sebanyak 10% menyatakan
sangat terbuka terhadap informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai
terorisme.
Tabel 12Keterbukaan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pertanyaan f %
1 Sangat Terbuka 2 10
2 Terbuka 6 32
3 Cukup Terbuka 5 26
4 Kurang Terbuka 6 32
5 Tertutup - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Keterbukaan di sini mencakup keterbukaan, pembeberan informasi secara
jujur dan apa adanya. Keterbukaan tersebut merupakan langkah strategis dan
praktis yang dilakukan oleh Juru Bicara, dengan harapan seluruh pers yang
merupakan audience pada kegiatan Press Briefing menjadi mengerti, mengetahui
dan paham akan arah langkah, keputusan, tujuan, dan jelas atas informasi yang
disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme tersebut.
Juru Bicara berupaya dan mencoba untuk menginformasikan apa adanya
mengenai terorisme dan perkembangannya, agar tidak ada prasangka buruk dari
pers terhadap Departemen Luar Negeri. Dengan keterbukaan ini pers jadi
mengerti serta memahami akan segala hal dan perkembangan mengenai
terorisme. Setidaknya, dengan kondisi yang serba terbuka ini seluruh pers
105
mengetahui akan niat baik Departemen Luar Negeri dalam upaya memberantas
terorisme dan mendukung atas tindakan Pemerintah dalam rangka mencari atau
menangkap teroris-teroris yang ada di Indonesia.
Tetapi pada tabel di atas menunjukkan bahwa keterbukaan dan kurang
terbukanya informasi yang disampaikan Juru Bicara berjumlah 6 orang
responden masing-masing. Padahal keterbukaan pesan juga diperlukan karena
pesan yang disampaikan bisa menyimpang dari yang dimaksud.
Ketidakterbukaan pesan bisa berasal dari pengetahuan pers yang sangat tinggi
mengenai masalah yang diangkat Juru Biara, dimana pers mengetahuinya dari
sumber lain, misalnya. Dan dengan ketidaksesuaian informasi yang diberikan
Juru Bicara mengenai masalah tersebut, maka mengakibatkan informasi tersebut
menjadi samar-samar, tidak jelas keasliannya dan membuat pers bingung. Hal
tersebut juga dapat terjadi bila pers mengetahui masalah tersebut lebih banyak
dari pada Juru Bicara sendiri, sehingga pada saat pers mengajukan pertanyaan,
Juru Bicara belum mengetahui jawaban atau permasalahannya sehingga tidak
dapat menjawabnya dengan pasti. Atau dapat pula terjadi karena pers bertanya
mengenai masalah atau hal yang seharusnya ditanyakan pada pihak lain, dengan
kata lain pers bertanya pada pihak atau sumber yang salah.
“Pesan harus jelas dan gamblang, tidak samar. Jika mengambil perumpamaan hendaklah perumpamaan yang senyata mungkin, untuk tidak ditafsirkan menyimpang dari yang kita maksudkan.” (Widjaja dan Hawab, 1987 : 62).
106
4.2.3 Kejelasan Bahasa
4.2.3.1 Kejelasan Bahasa
Tabel 13 di bawah memperlihatkan bawha 9 orang responden atau
sebesar 48% berpendapat bahwa bahasa yang digunakan Juru Bicara dalam
menyampaikan informasi mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing jelas,
6 orang responden atau sebesar 32% menyatakan cukup jelas, sedangkan yang
menjawab sangat jelas sebanyak 2 orang responden atau sebesar 10%, dan yang
menjawab kurang jelas terhadap bahasa yang digunakan Juru Bicara dalam
menyampaikan informasi mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing sama
besar jumlahnya seperti yang menjawab sangat jelas yaitu sebanyak 2 orang
responden atau sebesar 10%.
Tabel 13Kejelasan Terhadap Bahasa Yang Digunakan Juru Bicara Dalam
Penyampaian Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 2 10
2 Jelas 9 48
3 Cukup Jelas 6 32
4 Kurang Jelas 2 10
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Kejelasan dan kesamaan persepsi antara komunikator dengan komunikate
sangat mempengaruhi proses komunikasi dan tujuan yang ingin dicapai. Problem
komunikasi menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam. Seringkali yang
dialami dalam komunikasi lain dari yang diharapkan, lain pula yang kita peroleh.
107
Dalam hal ini 10% responden menyatakan kurang jelas disebabkan adanya
hambatan-hambatan, antara lain adalah hambatan bahasa, yakni pesan yang
disalahartikan sehingga tidak mencapai tujuan.
“Pesan yang disalahartikan sehingga tidak mencapai apa yang diinginkan, jika bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan, termasuk dalam hal ini penggunaan istilah-istilah yang mungkin dapat diartikan berbeda” (Widjaja, 2000 : 101-102).
Maka dengan kata lain keefetifan komunikasi dipengaruhi oleh
persamaan komunikator dan komunikate dalam mengartikan bahasa yang
digunakan. Dalam hal ini Juru Bicara berhasil menyampaikan informasi
mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing, melalui bahasa yang
digunakan Juru Bicara dan tidak ada responden yang menyatakan tidak jelas atas
penggunaan bahasa Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing.
Pendapat lain dari Widjaja adalah bahwa : “Pengalaman membuktikan bahwa komunikator yang menyampaikan dengan cara dan gaya bahasa yang baik adalah sangat penting dan bermanfaat. Hal ini akan memperlancar proses komunikasi dan akan mencapai komunikasi yang harmonis” (2000 : 57). Selain itu Widjaja dan Hawab mengatakan bahwa: “Komunikator juga harus menguasai bahasa dengan baik. Bahasa ini adalah bahasa yang digunakan dan dapat dipahami oleh komunikan, terlebih lagi dapat pula menguasai istilah-istilah umum yang digunakan oleh lingkungan tersebut. Penguasaan bahasa akan sangat membantu menjelaskan pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada audience itu, tanpa penguasaan bahasa secara baik dapat menimbulkan ketidak percayaan terhadap komunikator” (Widjaja dan Hawab, 1987 : 61).
4.2.3.2 Kejelasan Istilah-istilah
Berdasarkan table 14 dapat dilihat bahwa sebanyak 10 orang responden
atau sebesar 53% menyatakan bahwa istilah-istilah yang digunakan Juru Bicara
dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme dalam kegiatan Press
108
Briefing jelas, 8 orang responden atau sebanyak 42% menyatakan bahwa istilah
yang digunakan cukup jelas, 1 orang responden atau sebesar 5% menyatakan
sangat jelas, dan tidak ada responden yang menyatakan bahwa istilah-istilah
yang digunakan Juru Bicara mengenai terorisme kurang jelas dan tidak jelas.
Tabel 14Kejelasan Terhadap Istilah-Istilah Yang Digunakan Juru Bicara
Dalam Penyampaian Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Jelas 1 5
2 Jelas 10 53
3 Cukup Jelas 8 42
4 Kurang Jelas - -
5 Tidak Jelas - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Kondisi di atas menujukkan bahwa Juru Bicara telah memilih istilah-
istilah yang tepat dan jelas dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme
sehingga 53% dari responden menyatakan bahwa istilah-istilah yang digunakan
Juru Bicara jelas. Ini dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara berhasil dalam
menyampaikan informasi mengenai terorisme melalui istilah-istilah yang dipilih
dan digunakannya. Ini dilakukan karena Juru Bicara sangat berhati-hati dalam
menggunakan dan memilih istilah-istilah tersebut, karena bila salah
menggunakannya dan komunikate salah mengartikannya dapat mengakibatkan
dampak yang negatif karena masalah yang disampaikan berhubungan dengan
politik dan hubungan luar negeri.
“Tapi yang menjadi kepentingan utama saya itu kehati-hatian. Karena untuk bicara adalah mudah. Tapi kalau kita ingin bicara dengan
109
pemahaman bahwa setiap kata yang kita gunakan, setiap istilah yang kita gunakan itu membawa implikasi yang bisa berarti, harus dengan kehati-hatian” (Wawancara dengan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31 Oktober 2002).
Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja bahwa bila istilah-istilah yang
digunakan komunikator diartikan berbeda dengan komunikate, maka
komunikator akan sulit bahkan tidak bisa mencapai apa yang diinginkannya atau
tujuannya.
“Pesan yang disalahartikan sehingga tidak mencapai apa yang diinginkan, jika bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan, termasuk dalam hal ini penggunaan istilah-istilah yang mungkin dapat diartikan berbeda” (Widjaja, 2000 : 101-102). Selain itu Widjaja dan Hawab mengatakan bahwa : “Sejauh mungkin hindarilah menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami oleh audience. Gunakanlah bahasa yang jelas yang cocok dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana berkomunikasi. Hati-hati pula dengan istilah atau kata-kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing yang dapat ditafsirkan lain. Sejauh mungkin dipergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar” (Widjaja dan Hawab, 1987 : 62).
4.2.4 Pesan Berbentuk Positif
4.2.4.1 Sifat Informasi
Tabel 15 memperlihatkan sifat informasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing. 8 orang responden atau
sebesar 42% menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing bersifat positif, 6 orang
responden atau sebanyak 32% menyatakan cukup positif terhadap informasi
yang disampaikan Juru Bicara, 4 orang responden atau sebesar 21% berpendapat
kurang positif dan 1 orang responden lagi atau sebesar 5% menyatakan sangat
positif.
110
Informasi yang positif dalam hal ini adalah bentuk atau sifat dari
informasi tersebut sehingga dengan mendengarkan atau mendapatkan informasi
tersebut dapat menyenangkan komunikate, dalam hal ini pers. Contoh pesan
positif yang berupa ungkapan atau pendapat terhadap kejadian pemboman di Bali
yang disampaikan dalam Press Briefing mengenai terorisme dapat berupa
pernyataan seperti, bahwa : “Departemen Luar Negeri mengutuk orang yang
melakukan pemboman di Bali”. Dengan ini dapat dilihat bahwa Departemen
Luar Negeri peduli akan tragedi tersebut dan tidak mendukung terjadinya hal
tersebut. Hal demikian bisa mendapatkan simpati dan nilai plus dari pers.
Tabel 15Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Positif 1 5
2 Positif 8 42
3 Cukup Positif 6 32
4 Kurang Positif 4 21
5 Negatif - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
111
Dilihat dari tabel di atas masih ada 4 orang responden atau sebesar 21%
mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara kurang positif. Hal
ini dapat dikarenakan adanya informasi yang menyatakan banyaknya jumlah
korban yang jatuh atas terjadinya peledakan bom di Bali tersebut, baik yang
berwarga negara Indonesia maupun berwarga negara asing. Jadi, kekurang
positifan informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme tidak
mengherankan. Tetapi secara keseluruhan, informasi yang disampaikan Juru
Bicara mengenai terorisme bersifat atau berbentuk positif.
“Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-hal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara mengemukakan pesan itu diupayakan agar akan lebih mendapatkan simpati” (Widjaja dan Hawab, 1987:62).
Tetapi apa pun bentuk atau sifatnya informasi tersebut, harus tetap
disampaikan Juru Bicara pada pers karena pers dan masyarakat berhak
mengetahui hal yang sebenarnya, kecuali yang bersifat rahasia negara.
4.2.4.2 Sifat Kebijakan Departemen Luar Negeri
Tabel di bawah menunjukkan bahwa 9 orang responden atau sebesar 48%
menyatakan bahwa kebijakan Departemen Luar Negeri dalam menanggapi
masalah terorisme bersifat positif, 5 orang responden atau sebesar 26%
menyatakan bahwa kebijakan tersebut cukup positif, begitu pula yang
menyatakan kurang positif sebanyak 5 orang responden atau sebesar 26%.
Terorisme sangat tidak disukai banyak orang, terutama oleh masyarakat
Indonesia setelah terjadinya pemboman di Bali. Departemen Luar Negeri sebagai
departemen yang menangani masalah politik dan hubungan luar negeri, di
112
harapkan mempunyai misi dan tindakan positif atau kebijakan-kebijakan dalam
menghadapi masalah tersebut, berhubung pemboman tersebut dikaitkan dengan
jaringan teroris internasional. Bila dilihat dari tabel di atas maka kebijakan
Departemen Luar Negeri yang ditetapkan dapat dikatakan positif, meskipun
masih ada beberapa responden yang menyatakan cukup positif dan kurang positif
sebesar 5 orang responden.
Tabel 16Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Kebijakan
Departemen Luar Negeri Dalam Menanggapi Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Positif - -
2 Positif 9 48
3 Cukup Positif 5 26
4 Kurang Positif 5 26
5 Negatif - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Pernyataan bahwa kebijakan tersebut positif karena Departemen Luar
Negeri tidak menyukai kekerasan dan menginginkan secepat mungkin
terungkapnya pelaku bom Bali tersebut, juga berusaha sebisa mungkin
membantu pemerintah dalam menangani masalah tersebut, sesuai bidangnya.
Sehingga Departemen Luar Negeri setanggap mungkin dan secepat mungkin
mengeluarkan atau menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu mengenai masalah
yang dimaksud sebagai wujud bahwa Departemen Luar Negeri peduli, dan
disampaikan melalui kegiatan Press Briefing pada pers. Salah satu contoh kecil
dari tindakan tersebut adalah mengirim Juru Bicara Departemen Luar Negeri
113
sebagai wakil dari Departemen Luar Negeri ke Bali setelah kejadian pemboman
tersebut.
“Secara kodrati manusia selalu tidak ingin mendengar dan melihat hal-hal yang tidak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu setiap pesan agar diusahakan diutarakan dalam bentuk positif. Cara mengemukakan pesan itu diupayakan agar akan lebih mendapatkan simpati” (Widjaja dan Hawab, 1987:62).
4.2.5 Keseimbangan Pesan
4.2.5.1 Kenetralan Informasi
Tabel 17Kenetralan Terhadap Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara
Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Netral 1 5
2 Netral 6 32
3 Cukup Netral 11 58
4 Kurang Netral - -
5 Memihak 1 5
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa sebanyak 11 orang responden atau
sebesar 58% berpendapat bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing bersifat cukup netral,
sedangkan responden yang berpendapat netral sebanyak 6 orang responden atau
sebesar 32%, dan yang berpendapat bahwa informasi tersebut sangat netral
sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5 %, begitu pun yang berpendapat
memihak adalah 1 orang responden atau sebesar 5%.
114
Keterbukaan dan penyampaian informasi yang akurat merupakan langkah
yang praktis dan tepat dilakukan Juru Bicara untuk menyampaikan informasi
mengenai terorisme yang berkualitas. Tetapi bila penyampaian informasi
menggambarkan pertentangan yang terlalu mencolok dan berbeda dari dua kutub
yang berbeda, maka informasi tersebut tidak akan disukai oleh komunikate atau
pendengarnya. Juru Bicara seharusnya menjadi pihak dan atau berada pada pihak
yang netral bila ia berbicara atas nama lembaga, karena ia membawa nama baik
lembaga tersebut. Sebaiknya sikap memihaknya tidak dikeluarkan pada saat ia
berbicara di depan pers, karena akan menurunkan kredibilitasnya sebagai Juru
Bicara.
“Pesan yang disampaikan hendaklah tidak ekstrem dan tidak terlalu menentang (mempertentangkan dua kutub yang berbeda) yaitu baik dan buruk, karena hal ini cenderung ditolak atau tidak diterima oleh komunikan. Sebab itu, jika kita berbicara seolah-olah kelompok satu paling benar, paling sempurna, dan paling bersih sedangkan kelompok lain sebaliknya, pesan ini berkecenderungan untuk tidak diterima oleh komunikan. Sebaliknya pesan itu dirumuskan seimbang, yaitu dengan mengemukakan kelemahan yang ada, disamping menonjolkan keberhasilan yang telah dicapai” (Widjaja, 2001:34).
Pada kenyataannya, seperti yang bisa dilihat pada tabel di atas, Juru
Bicara berbicara cukup netral dan netral pada saat menyampaikan informasi
mengenai terorisme. Karena Juru Bicara dapat merumuskan informasi atau pesan
yang akan disampaikan secara seimbang, sehingga ada responden yang
menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara sangat netral. Tetapi
pada tabel tersebut dapat juga dilihat bahwa ada 1 orang responden atau sebesar
5% yang menyatakan informasi yang dimaksud memihak. Hal tersebut dapat
disebabkan karena Juru Bicara merupakan wakil dan pihak yang diberi
115
wewenang langsung untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri, di
mana ia pun harus berusaha mempertahankan, juga meningkatkan citra
Departemen Luar Negeri yang positif. Di lain pihak, alasan lainnya adalah
karena Juru Bicara pun masih merupakan manusia biasa meskipun ia mempunyai
kredibilitas yang tinggi, di mana ia tidak bisa menjaga keseimbangan atau
kenetralan sebuah pesan 100%. Karena ia pun bisa saja terlarut pada
pembicaraannya sehingga tidak atau kurang dapat mengkontrol ucapan-
ucapannya tersebut dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press
Briefing.
Ivy Ledbetter Lee, dalam bukunya yang berjudul “Declaration of Principles” terbitan tahun 1906 menyatakan bahwa : “semua jenis materi pers harus bebas dari nilai-nilai dan kepentingan sepihak. Kriteria kejujuran dan kenetralan itu juga harus dipegang teguh oleh kalangan praktisi humas. Setiap pesan atau berita yang mereka sampaikan kepada masayarakat mlalui pers haruslah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Baik atau buruknya humas diukur berdasarkan kejujuran dan sikap netralnya” (Jeffkins, 1996 : 99).
Dengan demikian, maka baik buruknya Juru Bicara pun diukur
berdasarkan kejujuran dan sikap netralnya karena peranan Juru Bicara
merupakan salah satu dari peranan humas. Oleh karena itu kriteria kejujuran dan
kenetralan harus dipegang teguh oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri.
4.2.5.2 Sifat Informasi
Pada tabel 18 menunjukkan objektivitas informasi yang disampaikan Juru
Bicara mengenai terorisme. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 8 orang
responden atau sebanyak 42% mengatakan bahwa informasi yang disampaikan
Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing bersifat objektif, 8
116
orang responden atau sebesar 42% mengatakan cukup objektif, dan 3 orang
responden lagi atau sebesar 16% mengatakan kurang objektif. Sedangkan tidak
ada responden yang menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
yang dimaksud bersifat sangat objektif dan tidak objektif.
Salah satu unsur dari kualitas berita atau informasi adalah objektivitas
informasi atau berita tersebut. Objektivitas di sini berarti penyampaian informasi,
dalam hal ini mengenai terorisme, harus bersih dari prasangka Juru Bicara dan
informasi yang disampaikan apa adanya.
Tabel 18Sifat Informasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Objektif - -
2 Objektif 8 42
3 Cukup Objektif 8 42
4 Kurang Objektif 3 16
5 Tidak Objektif - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Untuk jawaban objektif dan cukup objektif yang diberikan responden
merupakan nilai plus bagi Juru Bicara sebagai pihak dan wakil Departemen Luar
Negeri dalam menyampaikan informasi pada kegiatan Press Briefing terutama
mengenai terorisme. Karena keobjektivitasan dalam penyampaian informasi
tersebut diakui pers, dimana dapat mempengaruhi khalayak medianya juga, dan
ini perlu ditingkatkan lagi agar semakin baik tanggapan yang diberikan pers, juga
menghilangkan tanggapan pers yang menyatakan kurang objektif. Meskipun itu
117
hanya 16% tetapi sangat berarti bagi penilaian mereka terhadap fungsi Juru
Bicara dan kredibilitasnya.
Seperti yang dikatakan di atas bahwa masih ada 16% atau sebanyak 3
orang responden yang menyatakan behwa informasi yang disampaikan Juru
Bicara bersifat kurang objektif. Ini berarti bahwa informasi yang disampaikan
Juru Bicara masih ada yang bersifat objektif, di mana hal ini menunjukkan masih
adanya keberpihakan Juru Bicara terhadap objek pemberitaan atau informasi
yang disampaikan di mata pers. Walaupun persentasenya kecil, hal ini tetap
harus menjadi perhatian bagi Juru Bicara.
Kenyataan ini bisa diterima karena objektvitas memang sulit untuk
dilakukan. Walaupun satu kalimat, Juru Bicara bisa saja larut dalam
penyampaian isi informasi tersebut sehingga sadar atau tidak, unsur objektivitas
turut dalam penyampaian informasi tersebut. Oleh sebab itu dengan keadaan Juru
Bicara yang selalu berhati-hati dalam berbicara dan meyampaikan informasi
mengenai terorisme sudah baik, tetapi harus tetap ditingkatkan untuk
mendapatkan hasil dan pandangan atau opini yang lebih baik juga, karena
apapun yang ditulis atau disiarkan pers dalam media massanya merupakan hasil
dari penilaiannya terhadap apa yang disampaikan Juru Bicara sebagai sumber
beritanya.
Dalam buku Media Massa III, beberapa ahli mengatakan: “Objektivitas sulit untuk diukur serta sulit pula untuk dilihat tolak ukur pencapaiannya. Walau bagaimanapun para jurnalis tidaklah benar-benar dapat dipisahkan dari pekerjaannya; disadari atau tidak, emosi dan pendapatnya cenderung untuk tergantung pada persepsinya terhadap fakta yang mereka lihat. Terlebih, tidak ada seorang pun jurnalis yang dapat melihat secara keseluruhan dari sebuah situasi, dan suatu kejadian akan tampak menjadi makin pelik ditengah pekerjaan yanng rumit. Jurnalis melihat hanya
118
sebagian kecil sebuah susunan fakta” (Heibert, Ungurait, Bohn, 1982 : 421).
4.2.6 Kesesuaian Pesan
4.2.6.1 Kesesuaian Informasi dengan Keinginan Komunikate
Tabel 19 menunjukkan bahwa 10 orang responden atau sebesar 53%
menyatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme
pada kegiatan Press Briefing cukup sesuai dengan keinginan komunikate, 5
orang responden atau sebesar 26% berpendapan bahwa informasi tersebut kurang
sesuai dengan keinginan komunikate, 3 orang responden atau sebesar 16%
menyatakan sesuai dengan keinginan komunikate, dan 1 orang responden lagi
atau sebesar 5% menyatakan bahwa informasi tersebut sangat sesuai dengan
keinginan komunikate, dan tidak ada seorang responden pun yang menjawab
bahwa informasi yang dimaksud tidak sesuai dengan keinginan pers.
Tabel 19Kesesuaian Keinginan Komunikate Terhadap Informasi Yang
Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Sesuai 1 5
2 Sesuai 3 16
3 Cukup Sesuai 10 53
4 Kurang Sesuai 5 26
5 Tidak Sesuai - -
Jumlah 19 100
n: 19 Sumber: Angket Penelitian
119
Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara dalam
mengelola informasi yang disampaikan pada kegiatan Press Briefing mengenai
terorisme telah bertindak dengan cermat dalam memenuhi kebutuhan
respondennya akan informasi tersebut. Sementara itu masalah kecermatan
(accuracy) adalah salah satu faktor yang mendasar bagi keberhasilan suatu
berita. Seperti teori yang dikemukakan oleh Paul De Maeseneer sebagai berikut :
“kecermatan adalah hal yang fundamental bagi suatu pelayanan pemberitaan.
Jika kita tidak dapat berlaku cermat, maka kita akan kehilangan audience dan
kehilangan kredibilitas”.
Sedangkan Widjaja dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”
berpendapat bahwa pesan yang ingin disampaikan sedapat mungkin disesuaikan
dengan keinginan komunikate, agar lebih mudah diterima oleh komunikate.
Karena komunikate selalu mempunyai keinginan-keinginan atau kepentingan-
kepentingan tertentu.
“Orang–orang yang menjadi sasaran/komunikan dari komunikasi yang kita lancarkan selalu mempunyai keinginan-keinginan atau kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini komunikator dapat menyesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat (ketupat)” (2000 : 34).
4.2.6.2 Kepercayaan terhadap Sumber Informasi
Tabel 20
Sumber Informasi Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
120
No Pernyataan f %
1 Sangat Dipercaya 3 16
2 Dipercaya 11 58
3 Cukup Dipercaya 5 26
4 Kurang Dipercaya - -
5 Tidak Dipercaya - -
Jumalah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Tabel 20 menunjukkan kepercayaan pers terhadap Juru Bicara sebagai
sumber informasi atau narasumber Departemen Luar Negeri yang tepat
mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing. Dari 19 responden ternyata
sebayak 11 orang responden atau sebesar 58% menyatakan bahwa sumber
informasi pada kegiatan Press Briefing merupakan sumber informasi yang
dipercaya, 5 orang responden atau sebesar 26% menyatakan bahwa Juru Bicara
merupakan pihak yang sangat dipercaya sebagai sumber informasi pada kegiatan
Press Briefing, dan 3 orang responden lainnya atau sebesar 16% menyatakan
cukup mempercayai Juru Bicara sebagai sumber informasi pada kegiatan Press
Briefing.
Dapat disimpulkan bahwa sumber informasi mengenai terorisme pada
kegiatan Press Briefing, yaitu Juru Bicara merupakan pihak yang dipercaya oleh
pers. Ini dikarenakan bahwa Menteri Luar Negeri sendiri yang telah menunjuk
langsung Kepala Biro Administrasi Menteri sebagai Juru Bicara Deplu, dan ia
diberi wewenang penuh sebagai pihak yang dipercaya Departemen Luar Negeri
untuk berbicara atas nama Departemen Luar Negeri. Hal tersebut juga dapat
dikarenakan Juru Bicara dapat meyakinkan pers bahwa apa yang ia sampaikan
dalam kegiatan Press Briefing merupakan informasi yang benar, tepat, dan bukan
121
hasil rekayasa Juru Bicara. Ini dapat dilihat bahwa banyaknya pers yang
mengadakan wawancara langsung, baik pers sendiri yang datang ke Departemen
Luar Negeri, wawancara via telepon, Juru Bicara diundang untuk berdialog pada
suatu stasiun televisi, ataupun Juru Bicara dan pers tersebut bertemu di suatu
tempat untuk melakukan wawancara tersebut.
“Tapi pada intinya Menteri Luar Negeri memberikan ini adalah: you are speaking on behalf of the Departement. Anda berbicara atas nama Departemen, yang diberikan wewenang penuh untuk itu” (Wawancara dengan Juru Bicara Departemen Luar Negeri, 31 Desember 2002).
Pentingnya tingkat kepercayaan pada komunikator atau dalam hal ini adalah Juru Bicara sesuai dengan apa yang diungkapkan Golding P.Ettema dan Tann dalam “Prinsip-prinsip Selective Attention” sebagaimana yang dikutip oleh Liliweri yang menyatakan bahwa: “Tingkat kepercayaan seseorang akan menjadi saringan dalam menerima pesan-pesan mereka termasuk juga media massa” (Liliwery, 1992 : 24).
4.2.6.3 Ketepatan Waktu Informasi
Tabel 21Ketetapan Waktu Terhadap Informasi Mengenai Terorisme Dalam
Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan f %
1 Sangat Tepat Waktu 1 5
2 Tepat Waktu 6 32
3 Cukup Tepat Waktu 10 53
4 Kurang Tepat Waktu 2 10
5 Tidak Tepat Waktu - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Tabel 21 menunjukkan ketepatan waktu terhadap informasi yang
disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme. Dapat dilihat bahwa 10 orang
responden atau sebesar 53% menyatakan bahwa informasi yang disampaikan
122
Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing merupakan
informasi yang cukup tepat waktu, 6 orang responden atau sebesar 32%
menyatakan bahwa informasi tersebut tepat waktu, 2 orang responden atau
sebesar 10% mengatakan bahwa informasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing merupakan informasi yang
kurang tepat waktu, 1 orang responden lagi atau sebesar 5% menyatakan
informasi tersebut sangat tepat waktu, dan tidak ada responden yang menyatakan
informasi yang dimaksud tidak tepat waktu.
Unsur aktualisasi atau ketepatan waktu informasi atau berita merupakan
salah satu unsur penilaian terhadap kualitas suatu informasi atau berita. Rasa
ingin tahu pers akan masalah yang baru terjadi atau menarik perhatian
merupakan salah satu alasan mengapa pers sering datang pada kegiatan Press
Briefing yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri, juga mengikuti
perkembangan informasi lainnya mengenai terorisme, baik yang dilakukan
melalui wawancara lewat telepon atau langsung berhadapan, dan sebagainya.
Jawaban yang diberikan menunjukkan tingkat aktualisasi yang cukup
tepat waktu, dilihat dari segi informasi yang selalu disampaikan Juru Bicara pada
kegiatan Press Briefing mengenai terorisme dan perkembangan terbaru dari
masalah tersebut. Ini terbukti dari sebesar 53% responden mengatakan cukup
tepat waktu, 32% responden mengatakan tepat waktu, dan 5% dari keseluruhan
responden menyatakan sangat tepat waktu. Meski masih ada beberapa yang
menyatakan kurang tepat waktu yaitu sebesar 10%.
123
Juru Bicara selalu berusaha untuk menyampaikan informasi yang up to
date karena selain informasi tersebut akan dikemas oleh pers menjadi berita yang
kemudian disajikan kepada khalayak medianya, hasil dari kegiatan Press
Briefing pun dikemas oleh Direktorat Informasi dan Media yang bekerjasama
dengan Biro Administrasi Menteri dalam menyelenggarakan kegiatan Press
Briefing, untuk diberikan atau disebarkan kepada perwakilan-perwakilan RI di
negara lain. Hal tersebut biasanya dijadikan rujukan untuk mereka (perwakilan
RI di negara lain), bila ada wartawan asing atau kedutaan asing yang bertanya.
Aktualisasi atau ketepatan waktu informasi adalah relatif sifatnya.
Beberapa ahli mengungkapkan hal yang sama mengenai relativitas aktualisasi
berita, keaktualan merupakan kriteria terpenting dari sebuah berita. Keaktualan
atau ketepatan waktu berita atau informasi yang disampaikan tergantung pada
kebijakan komunikator yang bersangkutan, sehingga apa yang dianggap sudah
tidak aktual lagi bagi pihak lain akan tetapi masih hangat dan masih layak untuk
dijadikan berita bagi Juru Bicara, maka akan tetap disampaikan oleh Juru Bicara.
Salah satu unsur suatu berita atau informasi dikatakan aktual menurut Charnley (1965 : 24) adalah “Bila berita tersebut memuat berita tentang peristiwa yang menarik perhatian. Menarik perhatian di sini dapat diartikan ditemukannya fakta yang baru terhadap suatu peristiwa yang sudah lalu atau pun memang penyampaian berita tentang peristiwa yang baru terjadi dan disampaikan semenarik mungkin”.
Akan tetapi, hal tersebut besifat relatif. Menarik atau tidaknya suatu informasi
atau berita itu tergantung dari rasa ingintahu pers terhadap informasi yang
disampaikan Juru Bicara.
Oleh karena itu, sebaiknya Juru Bicara menyampaikan suatu informasi
yang paling aktual dalam kegiatan Press Briefing agar dapat menarik perhatian
124
pers sehingga informasi tersebut dapat dijadikan berita dan dikutip atau disiarkan
pada media massanya. Masih adanya 2 orang responden yang menyatakan bahwa
informasi yang dimaksud kurang efektif dapat dikarenakan pers tersebut telah
mengetahui masalah atau informasi yang disampaikan Juru Bicara dari pihak
atau sumber lain. Dimana sekarang seperti yang kita ketahui sangat mudah untuk
mendapatkan informasi dengan didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin
canggih dan cepat dewasa ini.
4.2.7 Upaya Penjernihan Pesan
4.2.7.1 Penjernihan Klarifikasi
Pada tabel 22, terdapat 9 orang responden yang berpendapat bahwa
klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara terhadap suatu issu atau masalah
mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing cukup menjernihkan, 5 orang
responden atau sebesar 26% berpendapat bahwa klarifikasi tersebut dapat
menjernihkan, dan 5 orang responden lagi menyatakan bahwa klarifikasi tersebut
kurang menjernihkan, sedangkan tidak ada responden yang menyatakan bahwa
klarifikasi yang dimaksud sangat menjernihkan begitu pula tidak menjernihkan.
Tabel 22Penjernihan Klarifikasi Oleh Juru Bicara Terhadap Issu Atau Masalah Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
125
No Pernyataan f %
1 Sangat Menjernihkan - -
2 Menjernihkan 5 26
3 Cukup Menjernihkan 9 47
4 Kurang Menjernihkan 5 26
5 Tidak Menjernihkan - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Dengan diadakannya suatu klarifikasi diharapkan dapat menjernihkan
masalah tersebut sehingga dapat kembali pada arti dan masalah yang sebenarnya.
Dalam hal ini klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara cukup menjernihkan
sehingga dapat dikatakan bahwa pers mengetahui masalah yang sebenarnya.
Klarifikasi yang cukup menjernihkan tersebut dilakukan Juru Bicara dengan
menyediakan referensi atau menyampaikan narasumbernya, dilakukan dengan
hati-hati sehingga setelah adanya klarifikasi penafsiran yang menyimpang atau
kurang tepat dapat mengarah ke penafsiran yang lebih tepat, serta
menyampaikannya sesuai faktanya atau apa adanya.
Dalam melakukan klarifikasi guna mengarah pada peningkatan
kejernihan masalah yang lebih baik, maka Juru Bicara dapat memperhatikan
beberapa hal yang merujuk pada syarat-syarat informasi, guna menghasilkan
penafsiran yang sebenarnya terhadap masalah yang diklarifikasi. Ada pun syarat-
syarat informasi tersebut adalah sebagai berikut:
Benar dalam angka, jumlah, dan dataLengkap dan komplitTersedia pada waktunya dan tidak ketinggalan segi aktual/faktual Terarah, sebagai referensi, narasumber danPenyajian yang baik, dan tidak menimbulkan interpretasi atau penafsiran yang
kurang tepat
126
(Ruslan, 1999 : 99).
Bila melihat tabel di atas lagi, terdapat 5 orang responden yang
menyatakan bahwa klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara kurang menjernihkan.
Ini dapat dikarenakan bahwa pers telah mendapatkan informasi mengenai
masalah yang dimaksud dari beberapa pihak lain dengan versi yang berbeda-
beda, sehingga menimbulkan kesulitan bagi pers untuk menyimpulkannya.
Maka, agar suatu klarifikasi dapat menjernihkan, Juru Bicara perlu
memperhatikan hal-hal di atas tadi, sehingga dapat lebih meyakinkan pers.
4.2.7.2 Kepercayaan terhadap Klarifikasi
Kepercayaan pers terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara
mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing cukup tinggi. Hal ini terlihat
dari data yang diperoleh pada tabel 23 di bawah yang menggambarkan bahwa
sebanyak 10 orang responden atau sebesar 53% menyatakan klarifikasi yang
disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme pada kegiatan Press Briefing cukup
dipercaya, dan yang menjawab bahwa klarifikasi tersebut dapat dipercaya
sebanyak 8 orang responden atau sebesar 42%, sedangkan yang menjawab
sangat percaya terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara sebanyak 1
orang responden atau sebesar 5%. Dalam hal ini tidak ada satu orang responden
pun yang menyatakan bahwa klarifikasi yang dimaksud kurang dipercaya dan
tidak dipercaya.
Tabel 23
Kepercayaan Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
127
No Pernyataan f %
1 Sangat Dipercaya 1 5
2 Dipercaya 8 42
3 Cukup Dipercaya 10 53
4 Kurang Dipercaya - -
5 Tidak Dipercaya - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Dari kenyataan yang dapat dianalisis tersebut di atas menunjukkan,
bahwa pers yang hadir pada kegiatan Press Briefing mempercayai klarifikasi
yang disampaikan Juru Bicara terhadap issu atau masalah terorisme yang sedang
dihadapinya karena tidak ada satupun responden yang menyatakan bahwa
klarifikasi tersebut kurang dipercaya dan tidak dipercaya. Ini dapat disebabkan
karena kemampuan Juru Bicara dalam menangani issu atau masalah tersebut
sudah cukup baik, tetapi harus tetap ditingkatkan, karena ketidakpercayaan atau
krisis kepercayaan dan kepercayaan seseorang, dalam hal ini pers, merupakan
sifat alamiah dari pers sebagai seorang individu manusia. Maka, apabila Juru
Bicara dapat meningkatkan kemampuannya dalam menangani suatu masalah,
dalam hal ini kemampuannya dalam melakukan klarifikasi (baik dengan cara
memilih istilah-istilah dan kata-kata yang digunakan maupun kehati-hatiannya
dalam berbicara atau menyampaikan pesan atau klarifikasi tersebut), maka
tingkat kepercayaan pers pun akan bertambah.
Dengan kepercayaan yang ada maka Juru Bicara dapat melakukan
komunikasi yang efektif, dalam hal ini bila pers mempercayai Juru Bicara
sebagai komunikator maka usaha klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara pada
kegiatan Press Briefing mengenai suatu issu atau masalah terorisme akan
128
dipercayai oleh pers. Jadi keberhasilan komunikasi tersebut disebabkan salah
satunya oleh kepercayaan pers pada Juru Bicara.
“Salah satu faktor yang dapat menyebabkan komunikasi berhasil adalah kepercayaan komunikan terhadap komunikator. Kepercayaan ini banyak berkaitan dengan profesi atau keahlian yang dimiliki oleh komunikator” (Effendy, 2000 : 44).
4.2.8 Upaya Penjelasan Klarifikasi
4.2.8.1 Upaya Penjelasan Informasi
Pada tabel 24 dapat dilihat bahwa responden yang menyatakan bahwa
klarifikasi yang dilakukan Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing terhadap
issu atau masalah terorisme dapat menjelaskan sebanyak 8 orang responden atau
sebesar 42%, begitu pula yang menyatakan cukup menjelaskan yaitu sebanyak 8
orang responden atau sebesar 42%, dan 3 orang responden lagi menyatakan
kurang menjelaskan, sedangkan tidak ada responden yang menyatakan sangat
menjelaskan dan tidak menjelaskan.
Tabel 24Upaya Penjelasan Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru
Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %
1 Sangat Menjelaskan - -
2 Menjelaskan 8 42
3 Cukup Menjelaskan 8 42
4 Kurang Menjelaskan 3 16
5 Tidak Menjelaskan - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Hal demikian dapat terjadi salah satunya adalah karena komunikator
biasanya kurang mempelajari materi atau masalah yang akan disampaikan pada
129
kegiatan tersebut. Ini dapat disebabkan karena komunikator tersebut merasa
sudah cukup dalam menguasai masalah atau materi tersebut, sehingga
komunikator tidak berusaha untuk lebih memahami dan menguasai materi dan
semua yang berhubungan dari masalah yang ingin diklarifikasi. Namun pada
kenyataannya tidak demikian karena Juru Bicara mempunyai pengetahuan yang
tinggi mengenai masalah yang dimaksud karena Juru Bicara tanggap atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers dan dapat menjawabnya, kecuali
pertanyaan yang bukan merupakan wewenangnya dalam menanggapinya,
melainkan wewenang pemerintah misalnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian pada tabel 28, 29, 30, dan 31, yang menunjukkan kelangsungan,
kesesuaian, pemenuhan dan tanggapan yang diberikan Juru Bicara atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers.
Kejelasan klarifikasi sangat dibutuhkan guna menghindari salah
pengertian dan agar dapat mengembalikan pada masalah dan arti yang
sebenarnya. Dengan kejelasan klarifikasi dan penyampaian informasi akan
mengurangi atau menghindari adanya upaya klarifikasi masalah berikutnya,
terutama pada masalah yang sama.
4.2.8.2 Pengertian terhadap Klarifikasi
130
Dari tabel 25 dapat diambil kesimpulan bahwa klarifikasi yang
disampaikan Juru Bicara mengenai issu atau masalah terorisme dalam kegiatan
Press Briefing dapat dimengerti, hal ini tergambar dari data hasil angket yang
diperoleh bahwa sebanyak 10 orang responden atau sebesar 53% menjawab
dimengerti, sebanyak 9 orang responden atau sebesar 47% menjawab cukup
dimengerti, sedangkan yang menjawab sangat dimengerti, kurang dimengerti,
dan tidak dimengerti, tidak ada seorang pun yang menyatakannya.
Sering adanya atau terjadinya kesalahan dalam penafsiran pada suatu
istilah dan pandangan. Adanya suatu klarifikasi menandakan telah terjadinya
suatu kesalahan dalam penafsiran pada suatu masalah. Pengertian yang sama
sangat dibutuhkan di sini, guna menghilangkan dan menghindari dari
kesalahfahaman tersebut, dimana ada dampak-dampak tertentu dari masalah
tersebut.
Tabel 25Pengertian Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press
Briefing
No Pertanyaan f %
1 Sangat Dimengerti - -
2 Dimengerti 10 53
3 Cukup Dimengerti 9 47
4 Kurang Dimengerti - -
5 Tidak Dimengerti - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
131
“Sering terjadi penafsiran yang keliru karena perbedaan arti suatu istilah. Cara mengatasinya diperlakukan pengetahuan bahasa bagi kelompok tertentu. Selain itu, hendaknya dipergunakan bahasa baku yang berlaku umum dan menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah yang berlaku” (Widjaja, 2000:70).
Dengan diadakannya klarifikasi oleh Juru Bicara mengenai masalah yang
bersangkutan dengan terorisme, diharapkan adanya persamaan pengertian,
pandangan, dan penafsiran terhadap pesan atau masalah yang disampaikan.
Karena jika tidak, akan bertambahnya penafsiran yang lebih kompleks.
Hasil tabel di atas yang menunjukkan bahwa 53% responden mengerti
dan 47% cukup mengerti terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara,
merujuk pada pendapat H.A.W. Widjaja bahwa : “Supaya yang kita sampaikan
dapat dimengerti, sebagai komunikator kita harus menjelaskan kepada
komunikan (penerima) dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga mereka dapat
mengerti dan mengikuti apa yang kita maksudkan” (2000 : 66).
Dengan itu, dapat dikatakan bahwa Juru Bicara berhasil dalam
menjelaskan suatu masalah mengenai terorisme, dengan tujuan mengklarifikasi
masalah tersebut dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga pers dapat mengerti
dan mengikuti apa yang Juru Bicara maksud, juga telah menggunakan bahasa
atau istilah-istilah yang dapat dimengerti oleh pers. Karena dari hasil tabel dapat
dilihat bahwa tidak ada satu pun responden yang menyatakan kurang mengerti,
apa lagi tidak mengerti terhadap klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara, akan
tetapi sebagian besar atau sebesar 53% menyatakan bahwa mereka mengerti dan
47% lagi menyatakan bahwa mereka cukup mengerti atas klarifikasi yang
dimaksud.
132
4.2.9 Pengembalian Pesan Pada Apa yang Sebenarnya
4.2.9.1 Pengembalian Pada Masalah yang Sebenarnya
Pada tabel 26 menunjukkan apakah klarifikasi yang disampaikan Juru
Bicara mengenai issu atau masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing dapat
mengembalikan pada masalah yang sebenarnya. Dari 19 responden yang
menyatakan cukup dapat mengembalikan pada masalah yang sebenarnya adalah
sebanyak 11 orang responden atau sebesar 58%, yang menyatakan dapat
mengembalikan pada masalah yang sebenarnya sebanyak 4 orang responden atau
sebesar 21%, begitu pula yang menyatakan kurang dapat mengembalikan pada
masalah yang sebenarnya adalah sebanyak 21%.
Hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata setelah pers yang
hadir pada kegiatan Press Briefing mendengarkan klarifikasi mengenai suatu issu
atau masalah terorisme, cukup dapat mengembalikan pada masalah yang
sebenarnya. Dari yang salah atau kurang mengerti atau salah mengartikan
persepsi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme, menjadi mengerti
dengan mengartikan persepsi yang sama dengan yang dimaksud Juru Bicara.
Seperti yang dikemukakan oleh Turner dan Converse “Sesungguhnya informasi
dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang menghapus atau mengurangi
ketidakpastian” (Noesijirwan, 1985 : 254).
Tabel 26Pengembalian Pada Masalah Yang Sebenarnya Terhadap Klarifikasi
Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
133
No Pernyataan f %
1 Sangat Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang Sebenarnya
- -
2 Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang Sebenarnya
4 21
3 Cukup Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang Sebenarnya
11 58
4 Kurang Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang Sebenarnya
4 21
5 Tidak Dapat Mengembalikan Pada Masalah Yang Sebenarnya
- -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Hal tersebut berhubungan dengan keefektifan komunikasi atau
keberhasilan suatu komunikasi, yaitu saat komunikate dapat mengartikan suatu
masalah yang sama dengan komunikator. Seperti yang diungkapkan oleh Widjaja
dalam bukunya “Ilmu Komunikasi Pengantar Studi”, bahwa :
“Komunikasi akan dapat berhasil apabila sekiranya timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan si penerima informasi dapat memahaminya. Hal ini tidak berarti bahwa kedua belah pihak harus menyetujui sesuatu gagasan tersebut, tetapi yang penting adalah kedua belah pihak sama-sama memahami gagasan tersebut. Dalam keadaan seperti inilah baru dapat dikatakan komunikasi telah berhasil baik (komunikatif)” (2001:15).
4.2.9.2 Pengembalian Pada Arti yang Sebenarnya
Tabel 27
Pengembalian Pada Arti Yang Sebenarnya Terhadap Klarifikasi Yang Disampaikan Juru Bicara Mengenai Issu Atau Masalah Terorisme
Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %
1 Sangat Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya
1 5
134
2 Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya 7 37
3 Cukup Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya
8 42
4 Kurang Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya
3 16
5 Tidak Dapat Mengembalikan Pada Arti Yang Sebenarnya
- -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Berdasarkan pada tabel 27, terdapat 8 orang responden atau sebanyak
42% mengatakan klarifikasi yang Juru Bicara sampaikan pada kegiatan Press
Briefing mengenai terorisme cukup dapat mengembalikan pada arti yang
sebenarnya, 7 orang responden atau sebesar 37% menyatakan bahwa klarifikasi
tersebut dapat mengembalikan pada arti yang sebenarnya, 3 orang responden
atau sebesar 16% mengatakan bahwa klarifikasi tersebut kurang dapat
mengembalikan pada arti yang sebenarnya, dan 1 orang responden lagi
menyatakan sangat dapat mengembalikan pada arti yang sebenarnya terhadap
klarifikasi tersebut. Di sini tidak ada responden yang menyatakan bahwa
klarifikasi yang dimaksud tidak dapat mengembalikan pada arti yang sebenarnya.
Dalam menyampaikan suatu pesan, dalam hal ini klarifikasi hendaknya
perlu diperhatikan unsur-unsur yang dapat menunjang tercapainya maksud dan
tujuan pesan tersebut. Maksud dan tujuan tersebut adalah dalam hal ini
mengembalikan suatu masalah atau issu pada arti yang sebenarnya melalui
klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara pada kegiatan Press Briefing.
Rachmadi dalam bukunya “Public Relations dalam Teori dan Praktek”, menyebutkan bahwa: “Unsur-unsur pesan meliputi:
Gagasan dan isi pesanOrganisasi atau susunan pesan
135
Bahasa dan gayaCara penyampaian baik itu secara lisan maupun tulisan
(Rachmadi, 1994 : 66).
Unsur-unsur di atas perlu diperhatikan dan dilakukan, dalam upaya
menumbuhkan pengertian dan pemahaman serta arti yang sebenarnya atas pesan
yang disampaikan pada pers. Apabila semua unsur di atas dapat dijalankan
dengan baik, maka pesan yang disampaikan dapat diterima dan dimengerti
dengan mudah oleh pers sesuai dengan maksud, tujuan, pemahaman dan
pengertian kata-kata dan masalah yang sama dengan yang dimaksud oleh Juru
Bicara.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 3 orang responden atau sebesar
16% yang mengatakan bahwa kalrifikasi yang dimaksud kurang dapat
mengembalikan pada arti yang sebenarnya. Hal demikian dapat terjadi karena
ada suatu jarak antara bahasa yang digunakan Juru Bicara sebagai diplomat
dengan bahasa pers atau bahasa Indonesia biasa, dimana ada ukuran-ukuran
tertentu dalam menggunakan kata atau istilah yang dimaksud. Karena ada
beberapa bahasa diplomat yang sangat berbeda bila diterjemahkan dengan
bahasa Indonesia yang sebenarnya. Maka hal demikian dapat terjadi oleh pers
dimana ia salah mengartikan hal-hal atau masalah-masalah tertentu, karena salah
menterjemahkannya. Jadi yang dapat menjadi perhatian Juru Bicara adalah
kehati-hatiannya dalam memilih kata-kata atau istilah-istilah yang akan
digunakannya. Dengan kehati-hatiannya tersebut dan melihat hasil dari tabel di
atas, Juru Bicara dapat dikatakan cukup dapat mengembalikan issu atau masalah
mengenai terorisme pada arti yang sebenarnya.
136
4.2.10 Pemberian Jawaban
4.2.10.1 Kelangsungan Menjawab Pertanyaan
Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak
14 orang responden atau sebesar 74% menyatakan bahwa Juru Bicara hampir
selalu langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pers yang
diajukan pada kegiatan Press Briefing, 4 orang responden atau sebesar 21%
menyatakan bahwa Juru Bicara selalu langsung memberikan jawaban, dan 1
orang responden atau sebesar 5% menyatakan bahwa Juru Bicara kadang-kadang
langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan pers, sedangkan tidak ada
responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara hampir tidak pernah langsung
dan tidak pernah langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan pers.
Adanya 1 orang responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara kadang-
kadang langsung memberikan jawaban, merupakan hal yang biasa selama itu
tidak memakan waktu yang lama, karena Juru Bicara harus berpikir dengan
kehati-hatiannya jawaban apa yang harus, pantas dan tepat diberikan atas
pertanyaan tersebut, juga memilih kata-kata dan istilah tertentu yang dapat
langsung dimengerti pers sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Juru Bicara.
Tabel 28Juru Bicara Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan Mengenai
Terorisme Pada Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %1 Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan 4 21
2 Hampir Selalu Langsung Menjawab Pertanyaan 14 74
3 Kadang-Kadang Langsung Menjawab Pertanyaan 1 5
137
4 Hampir Tidak Pernah Langsung Menjawab Pertanyaan
- -
5 Tidak Pernah Langsung Menjawab Pertanyaan - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Sedangkan banyaknya pers yang menyatakan bahwa Juru Bicara hampir
selalu langsung memberikan jawaban dan beberapa responden yang menyatakan
bahwa Juru Bicara selalu langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan
pers adalah dikarenakan ketanggapan Juru Bicara yang tinggi terhadap
pertanyaan pers, sehingga sebelum pers selesai bertanya Juru Bicara sudah
mengetahui inti pertanyaan pers maka lebih mudah bagi Juru Bicara untuk
langsung menjawab pertanyaan tersebut. Kelangsungan pemberian jawaban oleh
Juru Bicara pun dapat menandakan bahwa Juru Bicara mempunyai pengetahuan
yang cukup luas dan tinggi atas permasalahan tersebut, sehingga Juru Bicara
dapat langsung memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
4.2.11 Pemenuhan Jawaban terhadap Pertanyaan
4.2.11.1 Kesesuaian Menjawab Pertanyaan
Tabel 29Kesesuaian Jawaban Yang Diberikan Juru Bicara Terhadap
Pertanyaan Pers Mengenai Masalah Terorisme Pada Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %
1 Sangat Sesuai - -
2 Sesuai 10 53
3 Cukup Sesuai 8 42
4 Kurang Sesuai 1 5
138
5 Tidak Sesuai - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Pada tabel 29 dapat dilihat bahwa sebanyak 10 orang responden atau
sebesar 53% berpendapat bahwa jawaban yang diberikan Juru Bicara sesuai
terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai terorisme pada kegiatan Press
Briefing, sebanyak 8 orang responden atau sebesar 42% menyatakan cukup
sesuai atas jawaban yang diberikan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers,
kemudian 1 orang responden lagi atau sebanyak 5% menyatakan kurang sesuai,
dan tidak ada responden yang menyatakan sangat sesuai dan tidak sesuai.
Kesesuaian jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers akan
mempengaruhi hasil berita yang kemudian disajikan media pada khalayaknya.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Juru Bicara dapat memberikan jawaban
yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan pers mengenai terorisme pada
kegiatan Press Briefing. Dengan ini, supaya Juru Bicara dapat memberikan
jawaban yang sesuai maka, ia harus menguasai materi atau masalah yang
dimaksud guna menghindari timbulnya interpretasi yang salah tentang informasi
yang diberikan Juru Bicara sebagai jawabannya. Selain itu, Juru Bicara pun tidak
boleh menganggap remeh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers sehingga
Juru Bicara dapat menjawabnya secara serius dan tepat, karena dapat merepotkan
Juru Bicara sendiri bila hal tersebut dimuat pada media massa, di mana setiap
orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya. Jadi, keseriusan dan
kesesuaian jawaban yang diberikan Juru Bicara sangat berpengaruh pada
kredibilitas Juru Bicara juga citra Departemen Luar Negeri karena Juru Bicara
139
membawa dan berbicara atas nama Departemen Luar Negeri, di mana ia telah
diberi wewenang penuh oleh Menteri Luar Negeri untuk berbicara atas nama
Departemen Luar Negeri.
Hal tersebut mengacu pada pendapat Aceng Abdullah, bahwa salah satu
hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan jumpa pers adalah :
“Jangan menganggap remeh pertanyaan atau pernyataan wartawan saat jumpa pers sehingga kita pun ceplas-ceplos menjawab pertanyaan atau pernyataan mereka. Karena keceplas-ceplosan yang biasa kita utarakan dalam obrolan sehari-hari inilah, jika dimuat media massa bisa merepotkan” (Abdullah, 2001:88).
Dalam hal ini, fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing selain
menyampaikan informasi kepada pers, ialah memberikan jawaban yang tepat,
sesuai, dapat dipercaya, serta memenuhi pertanyaan pers yang diajukan pada
kegiatan tersebut. Maka bila apa yang ia berikan sebagai jawaban atas
pertanyaan pers tidak sesuai, maka fungsi Juru Bicara pun tidak berjalan dengan
baik dan efektif karena sudah tentu bahwa pers tersebut tidak akan merasa puas
atas jawaban yang diberikan Juru Bicara tersebut sebab tidak mendapatkan
jawaban yang benar atau sesuai dengan faktanya.
4.2.11.1 Pemenuhan Menjawab Pertanyaan
Tabel 30Pemenuhan Jawaban Yang Diberikan Juru Bicara Terhadap
Pertanyaan Pers Mengenai Masalah Terorisme Pada Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %
1 Sangat memenuhi - -
2 Memenuhi 6 32
3 Cukup Memenuhi 12 63
4 Kurang Memenuhi 1 5
140
5 Tidak Memenuhi - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Berdasarkan tabel 30 di atas 12 orang responden atau sebanyak 63%
menyatakan bahwa jawaban yang diberikan Juru Bicara cukup memenuhi
terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai masalah terorisme pada
kegiatan Press Briefing, hal ini terbukti sebanyak 12 orang responden atau
sebesar 63% menjawab cukup memenuhi, dan 6 orang responden atau sebesar
32% menjawab memenuhi, sedangkan yang menjawab kurang memenuhi hanya
sebanyak 1 orang responden atau sebesar 5%.
Penguasaan terhadap materi atau masalah yang berhubungan dengan
terorisme oleh Juru Bicara dapat menunjukkan apakah Juru Bicara dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers dengan baik, sesuai atau
tepat, memenuhi seluruh pertanyaan, juga ketanggapannya terhadap pertanyaan-
pertanyaan tersebut. Jawaban yang tajam dan analisis biasanya merupakan
jawaban yang diinginkan pers dari Juru Bicara sebagai narasumber. Karena
untuk mencari orang yang memiliki kredibilitas sebetulnya tidak terlalu sulit,
terutama di kota-kota besar, khususnya yang memiliki perguruan tinggi, di mana
tidak sulit untuk mencari seseorang yang bergelar, seperti doktor atau guru besar.
Seperti yang dikatakan Aceng Abdullah bahwa : “Pejabat, pengusaha, serta profesi lainnya yang sesungguhnya memiliki kredibilitas tersendiri. Sayangnya, ketika mereka diwawancara, jawaban yang diberikan itu kelihatan kurang tajam serta tidak analitis, sehingga jawabannya mengambang tidak sesuai dengan keinginan wartawannya” (Abdullah, 2001 : 71).
141
Jadi pemenuhan jawaban Juru Bicara atas pertanyaan yang diajukan pers
pada kegiatan Press Briefing, dalam hal ini mencakup pemberian jawaban yang
tajam dan analisis yang dalam terhadap suatu masalah, juga ketanggapannya
pada pertanyaan pers akan mempengaruhi pers datang lagi pada kegiatan Press
Briefing berikutnya untuk meliput dan menjadikannya sebagai narasumber.
“Narasumber yang baik adalah narasumber yang mampu dengan tajam menganalisis fenomena atau kecenderungan yang diajukan oleh wartawan sebagai bahan wawancara. Mengapa fenomena itu muncul, bagaimana dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana solusinya” (Abdullah, 2001 : 7).
Dalam hal ini, Juru Bicara cukup mampu memenuhi pertanyaan yang
diajukan pers dan mampu menjadi narasumber yang baik, dapat dilihat dari hasil
pada tabel 6 yang menyatakan bahwa frekuensi pers yang datang pada kegiatan
Press Briefing dalam satu bulan sebanyak 10 orang responden atau sebanyak
53% hadir sebanyak 4 kali dan 21% menyatakan 3 kali dan 2 kali menghadiri
Press Briefing dalam satu bulan, kemudian hanya 1 responden atau sebesar 5%
yang hadir hanya 1 kali dalam satu bulan. Maka dapat dikatakan bahwa Juru
Bicara dapat menarik pers untuk datang lagi pada kegiatan Press Briefing
berikutnya untuk menjadikannya sebagai narasumber lagi.
4.2.12 Ketanggapan terhadap Pertanyaan
4.2.12.1 Ketanggapan terhadap Pertanyaan
Tabel 31Ketanggapan Juru Bicara Terhadap Pertanyaan Pers Mengenai
Terorisme Dalam Kegiatan Press Briefing
No Pernyataan F %
1 Sangat Tanggap 2 10
142
2 Tanggap 11 58
3 Cukup Tanggap 6 32
4 Kurang Tanggap - -
5 Tidak Tanggap - -
Jumlah 19 100 n: 19 Sumber: Angket Penelitian
Dari tabel 31 dapat diambil kesimpulan bahwa Juru Bicara tanggap
terhadap pertanyaan yang diajukan pers dalam kegiatan Press Briefing, dapat
dilihat bahwa sebagian besar responden, yaitu sebesar 58% atau sebanyak 11
orang responden berpendapat bahwa Juru Bicara tanggap terhadap pertanyaan
pers mengenai terorisme, sedangkan yang berpendapat bahwa Juru Bicara cukup
tanggap sebanyak 6 orang responden atau sebesar 32%, dan sisa 2 orang
responden lagi atau sebesar 10% menyatakan bahwa Juru Bicara sangat tanggap
terhadap pertanyaan pers.
Banyaknya responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara tanggap
terhadap pertanyaan pers adalah bahwa Juru Bicara sadar betapa pentingnya
menyampaikan informasi atau berita yang diminati atau yang menjadi perhatian
pers, oleh karena itu Juru Bicara harus tanggap terhadap apa yang pers tanyakan.
Ketanggapan terhadap pertanyaan yang diajukan pers dan pemberian jawaban
yang tepat dan apa adanya akan membawa hasil yang baik karena pers akan
merasa puas.
Salah satu fungsi Juru Bicara dalam kegiatan Press Briefing adalah
membuka forum tanya jawab atau menjawab pertanyaan yang diajukan pers. Bila
Juru Bicara tidak tanggap akan pertanyaan tersebut, maka kegiatan Press
Briefing tidak akan berjalan dengan lancar. Karena sudah tentu bahwa pers yang
143
datang tidak hanya untuk mendengarkan informasi apa yang telah Juru Bicara
susun sebelumnya, tetapi juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang pers
ajukan. Adanya beberapa responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara cukup
tanggap terhadap pertanyaan pers bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi Juru
Bicara tetap harus memperhatikan pernyataan tersebut, guna adanya perubahan
ke tingkat yang lebih baik. Hal tersebut dapat diakibatkan karena terkadang, pada
saat Juru Bicara membuka forum tanya jawab, pers langsung saling berlomba
untuk bertanya agar mendapatkan jawaban terlebih dahulu, dengan itu suara satu
dengan yang lainnya saling bertubrukan sehingga dapat membingungkan Juru
Bicara. Tetapi pada akhirnya dapat dikendalikan atau diterbitkan oleh Juru
Bicara.
Adanya responden yang menyatakan bahwa Juru Bicara sangat tanggap
terhadap pertanyaan pers, memberikan nilai positif pada Juru Bicara karena
dengan ini menandakan bahwa pers tersebut puas atas ketanggapan Juru Bicara.
Selain itu Juru Bicara yang efektif tidak lagi terletak pada kemampuannya untuk
melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, tetapi terletak pada
kemampuannya untuk berfikir, dalam hal ini tanggap atas pertanyaan pers juga
memberikan jawaban secara lengkap, luas, dengan analisis yang dalam. Hal
tersebut mengacu pada pendapat Sondang P.Siagian, bahwa :
“Berbagai teori tentang kepemimpinan yang efektif dan pengalaman banyak orang menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tidak lagi terletak pada kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, melainkan pada kemampuannya untuk berpikir” (Siagian, 1999:86).
144
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini penulis menyusun suatu rangkuman berdasarkan uraian-
uraian terdahulu, kemudian mengambil suatu kesimpulan dari apa yang telah di
dapat sebelumnya atau yang menjadi tujuan penelitian. Berdasarkan kesimpulan
tersebut, penulis mengemukakan saran-saran konkret yang diharapkan dapat
145
memberi manfaat bagi pengembangan lembaga Juru Bicara pada kegiatan Press
Briefing.
5.1 Rangkuman
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
meningkatkan akses, keterbukaan dan kemudahan untuk memperoleh informasi
dan melakukan komunikasi. Dalam era globalisasi dan pesatnya perkembagan
ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, kerjasama antar bangsa berkembang
dengan pesat dan semakin meningkat, baik di bidang politik, ekonomi dan sosial,
maupun di bidang sekuriti dan kebudayaan.
Dengan melihat adanya perubahan yang cukup mendasar pada tingkat
nasional, dimulai sejak reformasi 1998, sejalan dengan globalisasi, Indonesia
juga semakin mudah untuk memperoleh akses terhadap berbagai informasi dan
perkembangan internasional. Sehubungan dengan itu, pimpinan Departemen
Luar Negeri memandang perlu untuk membentuk dan menetapkan suatu unit
organisasi atau pejabat tertentu di lingkungan Departemen Luar Negeri, yang
diberi wewenang dan mampu untuk memberikan dan menyajikan informasi yang
akurat dan tepat waktu kepada masyarakat luas.
Juru Bicara atau spokesman Departemen Luar Negeri tersebut, yang
merangkap sebagai Kepala Biro Administrasi Menteri, pelantikannya baru
dilakukan pada awal tahun 2002. Sebelumnya tidak ada jabatan Juru Bicara
dalam struktur Departemen Luar Negeri yang lama.
146
Juru Bicara menjadwalkan pertemuan regular dengan pers, yaitu Press
Briefing, pada hari Jum’at. Press Briefing yang diadakan di Gedung Palapa
Departemen Luar Negeri, semula diselenggarakan di siang hari, yaitu pada pukul
14.00 hingga pukul 15.30, dan sekarang diadakan pada pagi hari yaitu pukul
10.00 hingga 11.30.
Keberadaan lembaga baru di Departemen Luar Negeri dan prektek
berupa Press Briefing tersebut telah menggugah minta penulis untuk
mengadakan penelitian dan membahas secara lebih mendalam mengenai
“Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam kegiatan Press
Briefing”. Dalam hal ini penulis menarik salah satu tema dalam kegiatan Press
Briefing yang diteliti oleh penulis, yaitu terorisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami (1) bagaimana
Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan informasi mengenai
masalah terorisme, (2) bagaimana Juru Bicara Departemen Luar Negeri
memberikan klarifikasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press
Briefing, dan (3) bagaimana fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan pers mengenai masalah
terorisme pada kegiatan Press Briefing. Penelitian ini dilaksanakan di kantor
Departemen Luar Negeri RI yang berlokasi di Jl.Pejambon no.6, Jakarta Pusat.
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pers yang
datang pada kegiatan Press Briefing pada bulan Oktober hingga Desember 2002,
yang berjumlah 62 orang. Penulis menetapkan sampel dengan menggunakan
147
teknik simple random sampling, dimana sampel tersebut diambil sebesar 30%
dari jumlah populasi yang ada yaitu sebanyak 19 orang responden.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui
observasi, wawancara, penyebaran angket serta menggunakan referensi dari
buku-buku penunjang yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti.
Data-data yang diperoleh tersebut dikumpulkan, diklasifikasi dan kemudian di
lakukan analisis melalui pendekatan deskriptif.
Selanjutnya dilakukan operasionalisasi variabel dengan pokok penelitian
berupa fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan
informasi mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing, fungsi Juru
Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan klarifikasi mengenai
masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing, dan fungsi Juru Bicara
Departemen Luar Negeri dalam memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan pers mengenai masalah terorisme pada kegiatan Press Briefing.
5.2 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka penulis memperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam menyampaikan informasi
mengenai terorisme dalam kegiatan Press Briefing sudah berjalan dengan baik.
Hal ini terlihat dari hasil data yang diperoleh yang menunjukkan bahwa
informasi yang disampaikan Juru Bicara mengenai terorisme secara umum telah
cukup memenuhi keingintahuan masyarakat dan dapat dimengerti, baik berupa
kejelasan dan keterbukaan informasi yang disampaikan (termasuk lembaran
148
informasi yang disebarkan pada kegiatan tersebut), kejelasan bahasa dan istilah-
istilah yang digunakan maupun bentuk pesan yang positif dan seimbang (tidak
memihak). Disamping itu, informasi atau pesan yang disampaikan oleh Juru
Bicara menunjukkan sumber informasi yang dapat dipercaya, dan cukup up to
date. Juru Bicara dalam berkomunikasi selalu berusaha bersikap hati-hati, baik
dalam memilih kata-kata, bahasa, maupun dalam menggunakan istilah-istilah.
Informasi yang disampaikan diupayakan memenuhi keingintahuan pers dan
masyarakat. Pelaksanaan fungsi Juru Bicara Departemen Laur Negeri melalui
kegiatan Press Briefing tersebut juga ditunjang oleh penguasaan bahasa asing
(bahasa Inggris) dan bahasa Indonesia yang baik, penguasaan materi atau
substansi informasi (tentang terorisme) yang lebih dari memadai dan penampilan
sikap yang tegas atau percaya diri, sehingga memberikan kesan sumber yang
dapat diandalkan (reliable sources).
Upaya Juru Bicara dalam melakukan klarifikasi mengenai terorisme pada
kegiatan Press Briefing sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
antara lain, bahwa klarifikasi yang disampaikan Juru Bicara sudah cukup
menjernihkan, dapat dipercaya, cukup jelas, dan dapat dimengerti oleh pers.
Fungsi Juru Bicara dalam melakukan klarifikasi tersebut telah dapat
mengembalikan atau menempatkan masalah atau issu yang berkaitan dengan
terorisme pada tempatnya, atau proporsional. Hal tersebut berkaitan dengan
usaha Juru Bicara yang difokuskan pada pengembalian pada masalah dan arti
yang sebenarnya, tanpa meninggalkan kejelasan pesan yang disampaikan
sehingga dapat dimengerti dan dapat dipercaya oleh pers. Dalam hal, ini Juru
149
Bicara berusaha untuk tidak menyalahkan pihak tertentu, misalnya media massa
tertentu karena salah menafsirkan suatu berita yang telah disebarkan pada
khalayak, tetapi tetap pada intinya yaitu mengembalikan pada arti dan masalah
yang sebenarnya.
Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri dalam memberikan jawaban
terhadap pertanyaan pers yang diajukan pada kegiatan Press Briefing sudah baik.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil data yang diperoleh yang menunjukkan
bahwa Juru Bicara hampir selalu langsung memberikan jawaban terhadap
pertanyaan pers, berusaha untuk tidak mengabaikan sedikitpun pertanyaan
tertentu yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan Juru Bicara sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan pers. Hal demikian tercapai karena Juru Bicara
bersikap tanggap terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers pada
kegiatan Press Briefing mengenai terorisme.
5.3 Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah di peroleh dari penelitian mengenai
“Fungsi Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI pada kegiatan Press
Briefing dalam menghadapi masalah Terorisme”, maka penulis memberikan
saran-saran berupa :
5.3.1 Saran Pengembangan Ilmu :
150
Sebaiknya dalam pengembangan ilmu komunikasi hubungan masyarakat
menyajikan buku khusus tentang Juru Bicara, minimal buku saduran atau
terjemahan dari buku-buku asing. Sehingga memudahkan bagi peneliti
selanjutnya. Hingga saat ini buku yang khusus membahas mengenai Juru
Bicara belum tersedia.
5.3.2 Saran Pengembangan Praktis :
Bahwa penyampaian informasi pada kegiatan Press Briefing sebaiknya terus
ditingkatkan dan dipertahankan, sehingga pers menjadi jelas, paham, yang
pada akhirnya pers dan masyarakat akan bersikap dan berperilaku sesuai
dengan harapan Juru Bicara, serta mendukung seluruh kebijakan dan
kegiatan Departemen Luar Negeri yang disampaikan pada kegiatan tersebut.
Selain itu Juru Bicara harus tetap berusaha menyampaikan informasi
mengenai masalah atau hal yang menjadi perhatian pers dan masyarakat,
guna keefektivan Press Briefing dimana hasil dari kegiatan tersebut dimuat
oleh pers dan disajikan pada masyarakat, juga memancing ketertarikan pers
sehingga hadir pada kegiatan Press Briefing selanjutnya.
Juru Bicara pun disarankan untuk tetap meningkatkan kejelasan dan
penyebaran lembaran informasi pada kegiatan Press Briefing, sehingga
lembaran tersebut dapat dimanfaatkan pers guna mendukung dalam
penulisan atau pengemasan berita yang kemudian disajikan kepada
masyarakat. Keseimbangan, kegamblangan, dan kejelasan pesan yang
disampaikan, baik itu bahasa yang digunakan maupun istilah-istilahnya,
harus tetap diperhatikan karena hal tersebut menentukan pengertian dan
151
penafsiran pers terhadap apa yang disampaikan Juru Bicara dalam kegiatan
Press Briefing, juga kepercayaan pers terhadap Juru Bicara sebagai sumber
informasi.
Selain cara penyampaian pesan yang dilakukan Juru Bicara, penulis
menyarankan sebaiknya dalam kegiatan Press Briefing Juru Bicara
menyampaikan informasi secara mendalam, apa adanya, dan lebih terperinci
mengenai infomasi yang akan disampaikan, guna meningkatkan
kepercayaan pers terhadap Juru Bicara dan Departemen Luar Negeri bahwa
Departemen Luar Negeri tidak berusaha untuk menutup-nutupi kejadian atau
masalah sebenarnya kepada pers dan masyarakat.
Untuk meningkatkan kepercayaan dan pengembalian pada masalah dan arti
yang sebenarnya terhadap masalah yang diklarifikasi Juru Bicara, maka
sebaiknya Juru Bicara menyertakan data pendukung guna meyakinkan pers
mengenai keaslian atau kebenaran masalah tersebut. Hal demikian pun dapat
meningkatkan kejernihan klarifikasi, guna menghindari adanya salah
penafsiran yang lebih kompleks terhadap masalah yang hendak diklarifikasi.
Dengan seringnya Juru Bicara melakukan klarifikasi terhadap suatu masalah,
berarti sering pula terjadi kesalahpahaman atau salah penafsiran terhadap
suatu masalah, yang dapat disebabkan karena kesalahan Juru Bicara dalam
menyampaikan informasi, salah penafsiran oleh pers yang disebabkan oleh
kekurang hati-hatian Juru Bicara dalam memilih kata-kata, bahasa, dan
istilah-istilah yang digunakannya, juga dapat dikarenakan adanya issu-issu
yang tersebar di masyarakat mengenai suatu masalah yang berasal dari pihak
152
yang kurang tepat. Maka Juru Bicara disarankan untuk menguasai materi-
materi dengan luas dan segala yang berhubungan dengan informasi yang
hendak disampaikannya guna menghindari adanya klarifikasi yang
disebabkan oleh kesalahan Juru Bicara sendiri. Selain itu, Juru Bicara lebih
baik selalu memperhatikan kehati-hatiannya dalam memilih bahasa dan
istilah-istilah umum yang juga dapat dimengerti oleh pers pada kegiatan
Press Briefing tersebut, terutama dalam melakukan klarifikasi mengenai
terorisme.
Salah satu tujuan diadakannya kegiatan Press Briefing adalah menyampaikan
informasi yang menjadi perhatian Departemen Luar Negeri, termasuk kebijakan,
kegiatan, pandangan dan peristiwa-peristiwa tertentu yang berhubungan dengan
masalah politik dan hubungan luar negeri. Di sisi lain, diharapkan Juru Bicara
dapat menyampaikan informasi mengenai masalah yang menjadi perhatian pers
dan juga masyarakat. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pers,
memberi kesempatan pada Juru Bicara untuk memenuhi keingintahuan pers
tersebut. Dalam hal ini ketanggapan Juru Bicara terhadap pertanyaan pers harus
tinggi guna dapat memenuhi seluruh pertanyaan dan sesuai dengan apa yang pers
tanyakan, maka Juru Bicara sebaiknya meningkatkan terus perhatiannya dan
ketanggapannya terhadap pertanyaan pers pada kegiatan Press Briefing,
meskipun yang dilakukan Juru Bicara sudah baik.
Dengan mempunyai pengetahuan yang luas, diharapkan Juru Bicara dapat
menganalisis dalam menanggapi pertanyaan pers, juga disarankan
menyampaikan keadaan yang sebenarnya, apa adanya, tanpa rekayasa
153
sedikitpun guna kepuasan dan kepercayaan pers terhadap Juru Bicara dan apa
yang disampaikannya. Karena pers dan masyarakat berhak mengetahui apa
yang sebenarnya sedang terjadi, kecuali bila hal tersebut merupakan rahasia
negara karena Juru Bicara Departemen Luar Negeri tidak berhak untuk
menyampaikan masalah tersebut.
Penulis ingin menambahkan sedikit saran mengenai jalannya kegiatan Press
Briefing. Sebaiknya, kegiatan Press Briefing dilaksanakan tepat waktu, yaitu
sesuai dengan waktu yang dicantumkan pada undangan Press Briefing yang
disebarkan satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan tersebut. Karena selain
ketepatan waktu dapat menentukan pandangan pers terhadap Juru Bicara, juga
mempengaruhi hubungan Juru Bicara dengan pers. Selain itu Juru Bicara dan
pers pun mempunyai segudang kegiatan dan deadline yang sangat
menyibukkannya, maka sebaiknya ia melaksanakan Press Briefing tepat waktu
guna keefektivan kegiatan tersebut dan kegiatan Juru Bicara dan pers lainnya.
Mengenai penyebaran undangan Press Briefing, harus tetap dilaksanakan dan
bila memungkinkan disebarkan paling tidak dua hari sebelum
dilaksanakannya kegiatan tersebut, agar media massa yang diundang dapat
menyesuaikan jadwalnya dengan kegiatan penting lainnya. Meskipun Press
Briefing Departemen Luar Negeri merupakan kegiatan regular yang diadakan
di tempat dan pada waktu yang sama, tetapi Departemen Luar Negeri harus
tetap menghargai pers, apa lagi bila mereka mempunyai kesibukan yang
sangat tinggi. Hal demikian juga menentukan keefektivan kegiatan Press
Briefing, karena akan sia-sia bila tidak bisa di muat atau disiarkan karena
154
terganjal oleh deadline pers tersebut, padahal informasi yang disampaikan
merupakan berita yang cukup penting dan menarik. Dengan ini dapat pula
mempengaruhi frekuensi pers yang mengikuti kegiatan tersebut karena
waktunya kurang sesuai.
155