Skripsi Baabullah Bab 2
Transcript of Skripsi Baabullah Bab 2
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
1/36
12
BAB II
KAJIAN TEORITIS HUKUM PERKAWINAN ISLAM
A. PENGERTIAN PERKAWINAN
Perkawinan atau nikah, adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab
) ) yang mempunyai sinonim kata ( ) ,() ,( ) dan ( )1.
Berikut ini adalah pengertian kata () secara bahasa dan secara istilah:
1. Pengertian Nikah secara Bahasa
Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.
Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata () bermakna ( ). Al-Azhary menguatkan
pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata () adalah (). Seperti
dalam Firman-Nya:
JH
Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:
JJ
Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna ( ) yang terdapat
pada ayat ini adalah (). Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:
J0TJ1 Ibnu Mandzur,Lisaan Al-Arab, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 2 hal. 625
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
2/36
13
api menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap
ayat dalam Al-Quran yang memuat kata ( ) ini selalu bermakna ( .(
Seperti dalam Firman-Nya pula:
5704...
idak ada keraguan mengenai pengertian kata ( ) di sini yang
bermakna (). Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang
Arab memakai kata ( ) untuk maksud ( ). Dan sebaliknya, kata ( )
bermakna () karena dengan melaksanakan akad() menjadi sebab halalnya
bersenggama .()
Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-auhary. Menurut beliau,
makna ( ) adalah ( ). Sedangkan makna () dipakai apabila konteks
kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut. Seperti contoh dalam
kalimat () -dia perempuan adalah mempelai di bani fulan yang di
sini bermakna () -mempunyai suami dari kalangan mereka.
Lalu Ibu Saidah berpendapat bahwa kata (T) bermakna (TT). anya
saja makna (TT) ini khusus dipakai untuk manusia saja2.
2. Pengertian Nikah secara Istilah
Secara istilah, pengertian nikah masih terbagi menjadi dua, yakni
pengertian secara ushul(syariah) dan pengertian secara fikih.
2Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
3/36
14
a. Pengertian secara Ushul
Dalam pengertian secara ushul, ulama' berbeda pandangan dalam
memberikan pengertian nikah. Perbedaan pandangan itu terbagi menjadi tiga,
dean penjelasannya seperti yang terpapar berikut ini:
Golongan pertama berpendapat bahwa makna hakikat bagi kata ( )
adalah ( ), sedangkan makna majaznya adalah (). Oleh karena itu, apabila
dijumpai dalam Al-Quran ataupun Al-adits kata ( ) maka pastilah makna
yang dipakai adalah () selama tidak ada qarinah (indikasi) yang menuju pada
pemakaian arti (). Pendapat ini dipegang oleh golonganHanafiyah3.
Pengertian seperti ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa'
ayat 22:
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau..."
Golongan kedua mempunyai pendapat yang berlawanan dengan golongan
pertama. Mereka menyatakan bahwa makna hakikat dari ( ) adalah (),
sedangkan makna majaznya adalah ( ), dan pendapat ini rajih (lebih kuat).
Pendapat ini dipakai oleh Syafi'iyah dan Malikiyah4.
Pengertian semacam ini dapat dijumpai dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 230:3 Al-aziri,Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4
hal. 6 4Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
4/36
15
"...Hingga dia kawin dengan suami yang lain..."
Sedangkan Golongan ketiga menyatakan bahwa makna hakikat dari ()
adalah musytarak (makna ganda/sinonim) dari makna () dan ( ). Sebab
mereka mendasarkan pemakaian kata ini dalam Al-Quran dan Al-adits yang
kadang-kadang bermakna () dan ()5.
Kemudian dalam pengertian secara fikih, ulama' juga berselisih paham.
Berikut adalah pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:
GolonganHanafiyahberpendapat bahwa pengertian nikah adalah:
"Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenang-
senang dengan sengaja".
Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:
"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikahatau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".
Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:
"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang
(dengan wanita)...dst"
5Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
5/36
16
Selanjutnya golonganHanabilah memberikan definisi nikah sebagai:
"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna
bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman
dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut
terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul7.
Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah
dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri8. Selain itu, mereka
juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan
memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Ishrah berikut ini:
"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehanmengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita danmengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan
pemenuhan kewajiban masing-masing9".
Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikutini:
6Ibid.7 Djamaan Nuur,Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hal. 38
Ibid.9Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
6/36
17
"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan
antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan
memperoleh keturunan10".
Selain pengertian tersebut di atas, Undang-undang Perkawinan Nomer 1
tahun 1974 juga memberikan definisi tentang perkawinan sebagai berikut:
"Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa11".
B. NASH-NASH PENSYARIATAN PERKAWINAN
Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut
ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-adits yang memiliki kandungan
syariat perkawinan dalam Islam:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasatenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagikaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum:21)
10
Al-Utsaimin,At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-a'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 6311 Depag RI,Bahan Penyuluhan Hukum, 2004, hal. 117
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
7/36
18
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamutakut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.(QS. An-Nisaa':3)
Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-
Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nuur:32)
Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untukmenikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka
berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya. (HR.Bukhary No. 4778)
Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahiwanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasukumatku. (HR. Muslim No. 1401)
Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan
menjadi umat yang paling banyak dengan kalian. (HR. Abu Daud No. 2050)
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
8/36
19
C. HUKUM PERKAWINAN
Pada umumnya, hukum perkawinan dalam Islam ada lima macam: wajib,
haram, sunnah, makruh dan mubah12. Kelima macam hukum ini jatuh dan
mengikuti keadaan yang terjadi.
Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengapa latar belakang
keadaan menjadi sebab bervariasinya hukum yang jatuh, berikut akan dihadirkan
pendapat tentang hukum perkawinan ini menurut 4 (empat) madzhab Islam.
1. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Maliki
Berikut hukum perkawinan menurut kalangan Malikiyah:
a. Wajib
ukum perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut terjatuh pada
perbuatan zina, tidak mampu menahan nafsunya dengan puasa dan tidak mampu
memiliki budak. Apabila keadaan tersebut ada pada seseorang, maka hukum
perkawinan baginya adalah wajib.
Kesimpulannya adalah, hukum perkawinan menjadi wajib harus
memenuhi tiga unsur berikut:
Kekhawatiran atas jatuh kepada perbuatan zina.
idak mampu berpuasa untuk menghindarkan dari zina, atau mampu berpuasa
tapi tetap merasa tidak cukup.
12 Al-aziri, Op.cit., jilid 4 hal. 8
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
9/36
20
idak mampu memiliki budak.
Dan sebagian kalangan berpendapat dengan perlu ditambahkan 1 (satu)
unsur lagi yaitu:
Mempunyai penghasilan yang halal.
Bagi orang yang mampu menikah, tapi ia mampu berpuasa dan membeli
budak sekaligus, maka hukum baginya adalah mukhayyar (boleh memilih antara
ketiganya). etapi yang lebih diutamakan adalah menikah.
Sedangkan mengenai unsur tambahan yaitu memiliki penghasilan yang
halal, maka misal yang dapat dipakai adalah sebagai berikut: Apabila dijumpai
keadaan seseorang takut berbuat zina, namun tidak mampu berpuasa dan memiliki
budak belian, maka belum jatuh hukum wajib kepadanya hingga ia mempunyai
penghasilan yang halal.
b. Haram
atuh hukum haram menikah bagi laki-laki yang tidak khawatir terjerumus
pada perbuatan zina, sedangkan ia tidak mampu memberikan nafkah dari
penghasilan yang halal atau tidak sanggup melakukan hubungan seksual.
api apabila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon suami
untuk berhubungan seksual, maka hukum menikah berubah menjadi mubah.
Begitu pula bila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon istri
memberi nafkah, maka mubah pula hukum menikahnya.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
10/36
21
Dan bila calon istri tahu dan rela bahwa si laki-laki menafkahinya dengan
sesuatu yang haram maka hukum menikah menjadi haram.
c. Sunnah
ukum menikah menjadi sunnah manakala seseorang tidak mempunyai
kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina. Selain itu ia berkehendak memiliki
keturunan dan mampu untuk memenuhi kewajiban nafkah dengan halal serta
mampu melakukan hubungan seksual. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi,
maka jatuh hukum haram seperti yang disinggung di bagian sebelumnya.
d. Makruh
ukum nikah menjadi makruh bagi seseorang yang tidak mempunyai
desakan untuk menikah, namun ia takut tidak dapat menanggung beberapa
kewajiban umum dalam perkawinan. Dan hukum ini jatuh tidak memandang laki-
laki maupun perempuan. Dan hukum makruh tidak berubah walaupun seseorang
itu mempunyai keinginan mempunyai keturunan.
e. Mubah
ukum nikah menjadi mubah apabila seseorang tidak terlalu
menginginkan nikah, dan tidak pula menginginkan keturunan, tapi ia mampu
melaksanakannya, dan mampu menanggung kewajiban nafkah13.
13Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
11/36
22
2. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hanafi
Berikut hukum perkawinan menurut kalanganHanafiyah:
a. Fardhu
Berbeda dengan madzhab lainnya, madzhab ini membedakan hukum
fardhu dan hukum wajib. ukum fardhu jatuh bila syarat-syarat berikut terpenuhi
pada diri seseorang:
Keyakinan akan terjatuh pada perbuatan zina jika tidak menikah.
Ketidakmampuan untuk berpuasa. (hukum fardhu menjadi mukhayyarbila
mampu berpuasa).
Ketidakmampuan memiliki budak. (hukum fardhu menjadi mukhayyarbila
mampu memiliki budak).
Mampu memberi mahar dan nafkah secara halal.
b. Wajib
Sedangkan hukum wajib (tapi tidak fardhu) jatuh bagi orang yang
memenuhi syarat-syarat berikut:
Ada keinginan menikah.
Adanya kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina.
Adanya kemampuan memberi nafkah halal.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
12/36
23
c. Sunnah Muakkadah
ukum menikah bagi seseorang menjadi sunnah muakkadah apabila
terpenuhi syarat-syarat berikut:
Adanya keinginan untuk menikah, namun sedang-sedang saja.
idak ada kekhawatiran atas jatuh pada perbuatan zina.
Apabila seseorang yang memenuhi syarat-syarat ini kemudian tidak
melaksanakan perkawinan, maka ia berdosa. Namun karena hukum yang jatuh
padanya adalah hukum sunnah muakkadah, maka dosa yang ia dapatkan adalah
dosa yang ringan, lebih ringan dari dosa apabila meninggalkan nikah dalam
keadaan hukum wajib.
Sedangkan beberapa kalangan menyatakan bahwa keadaan hukum sunnah
muakkadah dan wajib sebenarnya sama saja serta tidak ada perbedaan di antara
keduanya. Dan apabila melihat keterangan di atas, hukum wajib dan sunnah
muakkad dibedakan dengan dua hal:
Apabila ada keinginan yang sangat atas pernikahan karena rasa takut terjatuh
pada zina, maka menjadi wajib.
Apabila keinginan yang ada hanya sedang-sedang saja, maka menjadi sunnah
muakkadah.
Dan kedua hukum tersebut masih terikat dengan syarat kemampuan
memberi nafkah yang halal. Dalam arti apabila kedua unsur tersebut terpenuhi
tapi kemampuan memberi nafkah yang halal tidak terpenuhi, maka hukum sunnah
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
13/36
24
dan wajib tidak akan jatuh.
Lalu apabila perkawinan yang berhukum sunnah muakkadah ini bila
diniati untuk menghindarkan diri sekaligus pasangan dari dosa dan perilaku
haram, maka akan mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya, tidak diniati
untuk menghindarkan diri dan pasangan dari perbuatan dosa, maka tidak akan
mendapat pahala. Sebab tidak ada pahala tanpa niat.
d. Haram
ukum nikah menjadi haram bila seseorang yakin bahwa profesi yang ia
jalani adalah sebuah keharaman, karena mengandung sifat aniaya dan dzalim
kepada orang lain. Sebab pada dasarnya nikah oleh Islam disyariatkan untuk
mewujudkan kemaslahatan, membersihkan jiwa dan menghasilkan pahala bagi
pelakunya. adi bila nikah dilakukan dengan didukung perbuatan aniaya atas
orang lain, maka pernikahan semacam ini menjadi berdosa, karena tujuan
kemaslahatan yang dikehendaki dalam perkawinan justru malah menghasilkan
kemafsadatan.
e. Makruh
ukum makruh melaksanakan perkawinan jatuh pada seseorang yang
takut apabila dengan nikah justru menimbulkan kedzaliman dan aniaya, tapi kadar
keyakinannya tidak terlalu kuat.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
14/36
25
f. Mubah
Dan yang terakhir, hukum perkawinan menjadi mubah bila terpenuhi
syarat-syarat berikut:
Adanya keinginan untuk menikah.
idak adanya kekhawatiran jatuh kepada zina.
Adanya niat menikah hanya untuk pelampiasan syahwat saja.
Karena apabila syarat yang terakhir berubah menjadi nikah diniatkan untuk
menghindarkan diri dari zina atau memiliki keturunan, maka hukumnya menjadi
sunnah. Maka perbedaan antara jatuh hukum sunnah atau mubah adalah dari niat
si pelaku14.
3. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Syafi'i
Berikut macam hukum perkawinan menurut kalangan Syafi'iyah:
a. Mubah
Menurut kalangan ini, hukum asal nikah adalah mubah. Dan ini adalah
hukum yang jatuh bagi orang yang berniat dan menjalani perkawinan hanya untuk
menikmati dan bersenang-senang dengan istrinya.
b. Sunnah
ukum asal mubah dapat menjadi sunnah, apabila diniati oleh si pelaku
14Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
15/36
26
perkawinan untuk menjaga kehormatan dirinya atau menghendaki keturunan dari
perkawinan yang ia laksanakan.
c. Wajib
ukum asal mubah berubah menjadi wajib, bilamana perkawinan oleh si
pelaku diniati untuk menolak dan menjauhkan diri dari perbuatan haram.
d. Makruh
Dan hukum asal mubah dapat pula menjadi makruh bila seseorang takut
dan khawatir tidak dapat mendirikan hak dan kewajiban rumah tangga dan sebagai
suami istri.
Dalam hal ini dapat diambil contoh semisal: seorang perempuan yang
tidak sedang ingin menikah, dan si calon suami tidak memiliki kemampuan
memberikan mahar dan nafkah halal, maka makruh bagi keduanya untuk
melangsungkan perkawinan15.
. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hambali
Dan berikut ini adalah hukum perkawinan menurut kalanganHanabilah:
a. Fardhu
Kalangan anabilah berpendapat bahwa perkawinan berhukum fardhu atas
orang yang takut berzina bila tidak melaksanakan pernikahan, walau itu hanya
15Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
16/36
27
sekedar persangkaan. al ini sama saja bagi pria maupun wanita. Dan hal ini tidak
dipisahkan dengan kemampuan memberi nafkah atau tidak.
Maka apabila seseorang mampu menikah untuk menghindarkan dirinya
dari keharaman, maka jatuhlah hukum fardhu ini. Dan hukum fardhu juga jatuh
pada seseorang untuk mencari pekerjaan yang halal untuk memperoleh rejeki
darinya, dan meminta pertolongan kepada Allah.
adi, ketika seseorang takut berzina, maka fardhu baginya untuk menikah
sekaligus mencari pekerjaan halal sebagai konsekwensi menikah.
b. Haram
Nikah menjadi haram pada darul harb (medan perang), kecuali dijumpai
kedaruratan. Dan apabila kedaruratan itu diangkat (dalam artian tidak ada), maka
melangsungkan perkawinan pada darul harb tidak dibolehkan sama sekali dalam
keadaan apapun.
c. Sunnah
Perkawinan menjadi sunnah bila seseorang ingin melaksanakannya, tapi
tidak ada kekhawatiran jatuh kepada zina. Dan hukum ini jatuh baik untuk laki-
laki maupun perempuan.
Dan perkawinan dalam keadaan seperti ini menjadi perbuatan sunnah yang
afdhal(sangat diutamakan dan dianjurkan) karena bertujuan untuk menjaga jiwa,
menjaga pasangan, menghasilkan keturunan yang dengannya memperbanyak
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
17/36
28
umat Muhammad, dan menjadi salah satu pilar pembangun masyarakat Islam.
d. Mubah
Sedangkan hukum mubah jatuh bila seseorang tidak sedang ingin menikah,
seperti orang yang sudah renta dan tak sanggup melakukan hubungan badan.
ukum ini muncul dengan syarat bahwa tidak muncul kemudaratan oleh
sebab pernikahan tersebut dan tidak merusak akhlaknya. Bila kemudaratan dan
rusaknya akhlak muncul dari perkawinan semacam ini, maka hukumnya berubah
menjadi haram16.
D. RUKUN PERKAWINAN
Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua
hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud.
al yang pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau
orang yang mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang
diucapkan oleh calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan
Hanafy17.
Kedua hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan
terdiri dari tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak,
yaitu ijab dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak
16
Ibid.17Ibid., hal. 11
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
18/36
29
adalah keterikatan antara ijab dan qabul.
Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun
itu sendiri. Pengertian rukun adalah:
Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya18.
Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun
perkawinan:
1. Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara,
yaitu:
1. Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.
2. As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada
dalam sebuah perkawinan. api penyebutannya tidak disyaratkan ketika
dilangsungkannya akad.
3. Calon suami.
4. Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.
5. Sighat, yaitu kalimat ijab qabul.
adi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku
18Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
19/36
30
akad); yakni calon suami dan wali si perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang
diakadkan); yakni si perempuan dan mahar -walaupun tidak mengapa apabila
tidak disebutkan, karena mahar adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan-
dan yang terakhir adalah sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad
sebuah perkawinan diwujudkan menurut syariat Islam.
Ada pula dijumpai pendapat yang menyatakan bahwa shadaq (mahar)
tidak termasuk rukun, juga tidak termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah
tanpa keberadaannya19.
2. Menurut Madzhab Syafi'i
Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun
perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan
sighat
Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat,
bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari
hakikat akad20.
E. SYARAT PERKAWINAN
Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan
syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang
19
Ibid., hal. 1120Ibid., hal. 11
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
20/36
31
sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan
dipaparkan berikut ini:
1. Menurut Madzhab Hanafi
Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang
terkait dengan tiga hal, yaknisighat, pelaku akad dan saksi.
1. Syarat Sighat Akad
Menurut madzhabHanafy, nikah dianggap sah bilasighat akadmemenuhi
kriteria sebagai berikut:
Memakai lafadz khusus, baiksharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata
kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah
kata ( ) atau ( ). Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka
disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk
menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula
para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat
macam dan jenis kinayah:
Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-
kata ( ) ,() ( ) dan ( ).
Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu
kata-kata () dan ().
Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
21/36
32
kata () dan ().
Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
kata () dan ().
Lalu syaratsighatselanjutnya adalah:
Sighat akadberupa ijab qabulharus ada dalam satu majelis.
idak ada perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali
mengucapkan akad, Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar
1000 dirham, lalu si calon suami menjawab, Aku terima nikahnya, dan aku
tidak menerima mahar sejumlah itu, maka akad seperti ini tidak sah.
Sighat akadharus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. arus ada kepastian
bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masing-masing secara
hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau secara tertulis (bila si
pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad tertulis dapat menjadi ganti
lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.
Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan,
aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si perempuan menjawab,
aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini adalah nikah mut'ah.
2. Syarat untuk Pelaku Akad
Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.
Baligh dan merdeka.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
22/36
33
Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan
akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak dalam keadaan
iddah, tidak berstatus sebagai istri orang.
Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak
mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya tanpa
menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila salah satu
nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya yang belum
menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai putri bernamaFatimah,
tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut dengan nama Aisyah, maka akad
tidak sah.
Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang
mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka tidak sah.
Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat Aku nikahkan engkau dengan
tangan anakku, maka akadnya tidak sah.
3. Syarat untuk Saksi
Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. idak
disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki disertai
dua perempuan. al ini karena sebuah perkawinan tidak sah bila disaksikan
dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada seorang laki-laki yang
menyertai dua perempuan itu.
idak disyaratkan saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
23/36
34
sedang ihram.
Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal, baligh,
merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan kesaksian orang
gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah pula bila disaksikan kafir
dzimmy, kecuali saksi kafirdzimmy tersebut perempuan, maka tidak mengapa
selama ada saksi laki-laki yang muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah,
baik dua saksi kafir dzimmy tersebut mempunyai agama yang sama atau
berbeda.
Akad boleh disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat hadakibat
menuduh atau berzina.
Akad nikah seorang perempuan boleh disaksikan oleh dua anak kandungnya.
Dan dengan dikiaskan dengan hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan
hubungan ke atas anak (bapak/kakek) dan ke bawah (cucu).
Perlu diketahui bahwa saksi dihadirkan untuk menyaksikan dua hal:
keberadaan akad dan hal isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian
dapat dilakukan oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. api
kesaksian untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang
tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila seorang laki-
laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil yang melakukan
akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi (saksi isbat akad), dan si
wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi pula (saksi keberadaan akad),
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
24/36
35
maka akad semacam ini sah.
Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian
orang tidur tidak sah.
Akad juga sah bila disaksikan orang bisu selama mereka mendengar dan
paham. idak disyaratkan bagi para saksi tersebut untuk paham lafadz akad
secara khusus, selama mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar
adalah lafadz yang dimaksudkan untuk akad.
Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama
mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang mabuk atas
sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia saksikan adalah akad.
Khiyardalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada
perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan mempunyai sifat yang
sama seperti perceraian dan memerdekakan budak, tidak membutuhkan
kerelaan dan kesungguh-sungguhan. adi akad dianggap sah walau dilakukan
dengan bercanda21.
2. Menurut Madzhab Syafi'i
Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan
empat hal, yaknisighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.
21Ibid., hal. 13
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
25/36
36
1. Syarat untuk Sighat
Syarat untuksighatada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,
diantaranya adalah:
idak bergantung dengan syarat lain. Misal:sighatakad Aku nikahkan kamu
dengan putriku bila kamu memberiku rumah, maka akad semacam ini tidak
sah.
idak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad Aku nikahi kamu
sekian bulan, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah
mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum dalam hadits
muttafaq alaihi.
ambahan syarat yang membedakansighatjual beli dengansighatakad nikah
yakni keharusan pemakaian lafadz () atau ( ). Seperti dalamsighat
berikut: () dan (). api pemakaian dua lafadz tersebut
tidak boleh dalam bentuk mudhari' (kata kerja sedang/akan), karena
mengandung unsur janji di dalamnya. al ini seperti yang terdapat dalam
sighatberikut: (). api bila kata tersebut ditambah keterangan waktu
semisal () maka boleh. Boleh pula jika memakai bentukisim fail
(kata ganti subyek) disertai kata taukid(peneguhan) semisal: ().
Karena hakikat isim failpada kalimat ini tidak mengandung unsur janji.
Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab,
dengan syarat selama para saksi paham maknanya.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
26/36
37
Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera berikut
ini: () dan semisalnya. Walau hal
ini menurut kalangan Hanafiyah dianggap sah, tapi menurut kalangan
Syafi'iyah tidak sah, dan harus menggunakan kata ( ) atau ( ). Dan
menurut Syafi'iyah inilah yang dimaksud dari kalimat Allah seperti yang
terdapat dalam hadits:
...
Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran
hanyalahkata ( ) atau ( ), maka tidak dibenarkan mengkiaskannya
dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah. Sebab kinayah
membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang abstrak.
Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan (),
atau () dan (). api bila yang diucapkan qabiltu saja
lalu diam, maka tidak sah.
Qabulboleh didahulukan dari ijab.
2. Syarat untuk Wali
Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.
Laki-laki. idak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin ganda).
Mahram si perempuan.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
27/36
38
Baligh.
Berakal, tidak gila.
Adil, tidak fasik.
idakmahjur(terhalang wali lain).
idak buta.
idak berbeda agama.
Merdeka, bukan budak.
3. Syarat untuk Kedua Mempelai
Syarat untuk suami, adalah:
Bukan mahram si perempuan. idak sah bila berhubungan darah, semenda
ataupun susuan dengan si calon istri.
Orang yang dikehendaki.
Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas.
Syarat untuk istri, adalah:
Bukan mahram si laki-laki.
erbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri
orang.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
28/36
39
4. Syarat untuk Saksi-Saksi
Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.
Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi kualifikasi
sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalanganHanafiyah.
Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada
pengingkaran atas akad yang terjadi22.
3. Menurut Madzhab Hambali
Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai empat
syarat, yakni:
Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut
penjelasan yang menyertainya:
Misal:sighatakad sah bila memakai kalimat (). Namun bila
memakai kalimat () padahal si wali mempunyai lebih dari satu putri,
maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon suami atau
istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad.
Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi
untuk kalimat qabul cukup dengan kata ( ) atau ( ). idak disyaratkan
melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan dengan
Syafi'iyah, qabultidak boleh mendahului ijab.
22Ibid., hal. 13
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
29/36
40
Disyaratkan kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah
maka akad tidak sah.
idak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai
dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya
dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat
dipahami.
Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.
Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,
merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.
Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, laki-
laki, baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka
(boleh budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh
orang tuli, kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke
bawah, tidak harus mempunyai penglihatan.
Syarat kelima: idak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan
dalam melangsungkan perkawinan23.
. Menurut Madzhab Maliki
Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat
tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:
23Ibid., hal. 13
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
30/36
41
1. Syarat untuk Sighat
Menggunakan lafadz khusus, misal: () dan ()
Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut ini:
() dan ().
idak disyaratkan berucap qabul dengan ( ), berlawanan
dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.
Selain menggunakan kata ( ) dan ( ) maka akad tidak sah.
Perkecualian untuk kata () boleh dengan disyaratkan penyebutan shadaq
(mahar) seperti dalam kalimat ().
Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan kepemilikan
semisal ( ) dan ( ) dengan disertai
penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. api pendapat yang
rajih adalah akad tidak sah. Bila kata-kata di atas tidak disertai penyebutan
mahar, maka tidak ada perselisihan tentang kebatilan akad tersebut.
Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera ( ). Bila
terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa.
Semisal semisal terpisah dengan khutbah pendek.
Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka
nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan pelaksanaannya.
idak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat Syafi'iyah.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
31/36
42
2. Syarat untuk Wali
Laki-laki
Merdeka
Sehat akal
Baligh
idak dalam keadaan ihram
Beragama Islam
idak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka
kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).
idak fasik
Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.
3. Syarat untuk Mahar
Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah
bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.
Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i. Misal:
Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.
Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan
wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila hubungan intim
terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar mistly (mas kawin
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
32/36
43
yang umum di kalangan masyarakat).
4. Syarat untuk Saksi
Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir,
maka tidak mengapa.
Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhulwajib menghadirkan
saksi. Bila dukhulterjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus fasakh
dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.
Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang
terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa saksi,
lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang hendak ia
jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad
dengan kalimat seperti berikut:
aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si
Polanah.
Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula
dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan
kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:
aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
33/36
44
Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si wali
dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. api kesaksian
tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup dengan dua
orang saja.
Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami
melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas
keduanya.
5. Syarat untuk Mempelai
Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang
melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri
orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan darah,
hubungan susuan dan semenda24.
F. HIKMAH PERKAWINAN
Bila ditilik lebih jauh, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu
ikatan perkawinan, baik dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan.
Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan nash-nash dari Al-adits,
dapat disimpulkan bahwa hikmah perkawinan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sarana penyaluran hasrat seksual
idak dapat ditampik bahwa sesungguhnya hasrat seksual adalah naluri24Ibid., hal. 13
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
34/36
45
yang paling kuat dan paling dasar pada diri manusia yang membutuhkan
penyaluran yang tepat. Apabila penyaluran kebutuhan biologis ini tidak
memuaskan, maka manusia yang mempunyai hasrat ini dapat terlanda
kegoncangan dan kekacauan dalam jiwanya. Kegoncangan dan kekacauan dalam
jiwanya tersebut dapat mendorongnya untuk berperilaku jahat dan bermaksiat
kepada Allah.
Perkawinan adalah jalan yang paling alamiah dan sesuai untuk memuaskan
dan memberi jalan penyaluran dari kebutuhan yang satu ini. Dengan perkawinan
maka tidak dapat dipungkiri seseorang akan mendapatkan badan yang sehat,
memperoleh jiwa yang tenang, mendapatkan pandangan yang terpelihara dari hal-
hal yang haram, memperoleh anugerah dengan berhak menikmati sesuatu dengan
halal sesuai dengan apa yang tersirat pada ayat dan hadits pada bagian
sebelumnya25.
2. Sarana mendapatkan keturunan
Perkawinan adalah jalan utama dan terbaik untuk mendapatkan keturunan.
Dengan berketurunan, maka seseorang memuliakan dirinya sendiri, memberi andil
melestarikan manusia, menjaga dan memelihara kesucian garis keturunan dan
memperbanyak umat Muhammad26.
25
Djamaan Nuur, Op. Cit., hal. 1026 Ibid., hal. 11
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
35/36
46
3. Sarana menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan
Seseorang yang telah melangsungkan perkawinan, kemudian memperoleh
buah hati, maka tumbuhlah naluri kebapakan atau keibuan dalam dirinya. Lalu
kedua naluri itu terus berkembang dan saling melengkapi sehingga menghasilkan
dan membentuk kehidupan berkeluarga yang penuh dengan perasaan yang ramah,
saling mencintai, saling mengasihi dan sayang-menyayangi antara anggota
keluarga27.
. Sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab
Seseorang yang telah mengarungi bahtera rumahtangga dan memperoleh
keturunan, akan timbul rasa tanggungjawab dan dorongan yang kuat untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai orangtua. Rasa tanggungjawab dan dorongan
yang kuat ini akan mematangkan dan mendewasakan jiwa seseorang, sehingga ia
akan mempunyai kekuatan untuk bekerja keras melaksanakan tanggungjawab dan
kewajibannya tersebut28.
. Sarana mendirikan sendi-sendi rumahtangga yang kokoh
Berdirinya sebuah keluarga dari suatu perkawinan akan menimbulkan hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dengan berimbang.
Sehingga hal ini mewujudkan sinergi antara kedua insan tersebut. Perwujudan
pembagian tugas semisal istri sebagai pengatur dan pengurus masalah
27
Ibid., hal. 1228 Ibid.
-
8/14/2019 Skripsi Baabullah Bab 2
36/36
47
rumahtangga, pemelihara dan pendidik anak, dan suami sebagai pencari nafkah
dan kepala rumahtangga, akan menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi
para anggota keluarga dan membentuk rumahtangga yang kokoh29.
6. Sarana mendirikan sendi-sendi masyarakat yang kokoh
Melalui sebuah perkawinan akan timbul ikatan persaudaraan dan
kekeluargaan antar keluarga istri dan suami. Ikatan ini akan memperteguh rasa
saling mencintai antar keluarga yang terjalin di dalamnya. al ini juga berarti
memperteguh hubungan masyarakat Islam yang kokoh dan diridhai oleh Allah30.
29
Ibid.30 Ibid