SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan...

124
1 KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan...

Page 1: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

1

KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA

SKRIPSI

ALVINO MARYANDANI

H34080087

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

Page 2: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

ANALISIS KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA

Oleh

Alvino Maryandani

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor E-mail: [email protected]

ABSTRACT Sugar is a strategic commodity and one of the basic needs in Indonesia. But until now, the

sugar industry in Indonesia is still not able to fulfill domestic needs. This research is related to the

performance and competitiveness of the sugar Industry in Indonesia. The objective of this research was analyze the performance and competitiveness Indonesia sugar industry, in terms of teritory of

sugar producer. This research uses an analytical tools performance and commpetitiveness

measurement, such as analysis of paired comparison matrix to analyze the performance of industry

and the porter’s diamond to analyze competitiveness the industry. The result from this research

are; 1) East Java and Lampung is the top teritory in Indonesia that produce sugar and both of them

have biggest point in matrix. South sulawesi and Gorontalo have no good performance in sugar

industry Indonesia, because both of teritory have lowest point based on the matrix, 2) Mostly

relation between components in porter’s diamond doesn’t support each others, this indicates that

sugar industry in Indonesia has still weak. Recommendations for Indonesia sugar industry are; 1)

It needs more commitment from all stakeholders to improve the industry competitiveness and

achieve the goal from self sufficiency, 2) it needs more consistency from goverment to develope the system on industry.

Keywords: Sugar, industry, performance, competitiveness

ABSTRAK Gula merupakan komoditas strategis dan salah satu kebutuhan dasar di Indonesia. Namun

hingga saat ini, industri gula di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam

negeri. Penelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja dan daya saing industri Indonesia gula, dalam hal

teritori dari produsen gula. Penelitian ini menggunakan alat analisis kinerja dan pengukuran

commpetitiveness, seperti analisis matriks perbandingan berpasangan untuk menganalisis kinerja

industri dan berlian porter untuk menganalisis daya saing industri. Hasil dari penelitian ini adalah:

1) Jawa Timur dan Lampung adalah wilayah terbaik di Indonesia yang memproduksi gula dan

keduanya memiliki bobot terbesar dalam matriks. Sulawesi selatan dan Gorontalo tidak memiliki

kinerja yang baik di industri gula Indonesia, karena kedua wilayah tersebut memiliki bobot

terendah berdasarkan matriks, 2) Sebagian besar hubungan antara komponen dalam berlian porter

tidak mendukung satu sama lain, hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia masih

memiliki lemah. Rekomendasi untuk industri gula Indonesia adalah: 1) Perlu komitmen yang kuat

dari semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan daya saing industri dan mencapai tujuan dari swasembada, 2) Pemerintah perlu lebih konsisten untuk mengembangkan sistem pada

industri.

Kata Kunci: Gula, industri, kinerja, daya saing

Page 3: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

2

RINGKASAN

ALVINO MARYANDANI. Kinerja Industri Gula Indonesia. Di bawah

bimbingan BAYU KRISNAMURTHI.

Gula merupakan salah satu komoditas penting dan strategis bagi

masyarakat. Selain itu, gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan

untuk konsumsi masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri

terkait. Oleh karena itu, komoditas gula senantiasa dicermati oleh pemerintah

terutama dalam hal pergerakan harganya dan pemerintah berusaha untuk

menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang terjangkau

oleh masyarakat.

Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006 hingga

2010 mengalami kenaikan delapan persen per tahunnya. Kenaikan produksi pada

dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm seperti luas

lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm.

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kinerja dan dayasaing

industri gula dan pelaku dalam industri gula di Indonesia. Hasil penelitian

tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas

terhadap kondisi industri gula di Indonesia, dilihat dari segi kinerja dan dayasaing

industri tersebut.

Lingkup penelitian ini terdiri atas industri gula nasional yang dibagi per

wilayah penghasil gula. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder. Metode analisis data yang digunakan antara lain analisis matriks

perbandingan berpasangan dan analisis berlian Porter.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi

pertama dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua dalam segi lima komponen

pembanding yang ditentukan. Kemudian, Gorontalo dan Sulawesi Selatan

menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar lima komponen

pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung saat ini menjadi

wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi gula di Indonesia

dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh swasta dan efisien secara

teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih menjadi produsen terbesar pada

industri gula karena memiliki jumlah pabrik yang lebih banyak daripada wilayah

lain, meskipun kinerjanya di bawah pabrik gula swasta yang ada di wilayah

Lampung.

Sedangkan posisi dua terbawah ditempati oleh Gorontalo dan Sulawesi

Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di Indonesia.

Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut karena dua wilayah tersebut

masih dalam proses pengembangan, disamping pabrik gula yang ada di sana

masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan pabrik-pabrik yang ada di Jawa

dan Sumatera yang sudah lama berdiri.

Hasil analisis dayasaing menggunakan pendekatan Teori Berlian Porter

menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung seperti faktor

sumberdaya yang mendukung faktor persaingan, struktur, dan strategi industri

gula Indonesia. Selain itu, adapula keterkaitan tidak saling mendukung dalam tiap

komponen dayasaing agribisnis gula seperti faktor persaingan, struktur, dan

Page 4: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

3

strategi industri gula Indonesia dengan faktor permintaan. Keterkaitan yang tidak

saling mendukung lebih dominan.

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: perlu

adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk meningkatkan

dayasaing industri gula agar lebih baik dan mencapai sasaran yaitu swasembada

gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan sangat membantu

perkembangan industri gula di Indonesia. Penelitian selanjutnya mengenai

industri gula Indonesia, akan lebih baik jika kebijakan industri gula di Indonesia

dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat petani tebu dan komitmen pabrik

dalam kaitannya pencapaian program swasembada gula 2014.

Page 5: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

4

KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA

Oleh :

ALVINO MARYANDANI

H34080087

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 6: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

5

Judul Proposal : Kinerja Industri Gula di Indonesia

Nama : Alvino Maryandani

NIM : H34080087

Disetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS

NIP. 19641018 198903 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Agribisnis

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

NIP. 19580908 198403 1 002

Tanggal Lulus :

Page 7: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

6

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kinerja

Industri Gula di Indonesia” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Alvino Maryandani

H34080087

Page 8: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Alvino Maryandani lahir pada tanggal 25 Maret 1990 di

Gandaria Utara, sebuah kota yang berada di Jakarta Selatan. Penulis merupakan

putra pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Masagus Yancik dan Nila

Krisnawati. Penulis menjalani pendidikan di sekolah dasar tahun 1996 sampai

dengan tahun 2002 di SDS Tadika Puri, Jakarta Selatan. Selanjutnya meneruskan

pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2002 sampai tahun 2005 di

SLTPN 19 Jakarta. Pada tahun 2005 sampai dengan 2008 penulis melanjutkan ke

SMUN 74 Jakarta.

Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor

(IPB). Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Agribisnis pada Fakultas

Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogo

sebagai mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi yaitu International

Association of Agricutural and related Sciences Local Commitee IPB (IAAS LC

IPB), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Izzal IPB (KAMMI IPB),

Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (BP HIPMA), Duta

Anti Korupsi IPB (DAK IPB), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga

Mahasiswa IPB (BEM KM IPB)

Page 9: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

8

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kinerja Industri Gula di Indonesia”. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis

kinerja dan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil analisis tersebut digunakan

untuk menganalisis kinerja dan keunggulan kompetitif industri gula Indonesia,

dari segi wilayah penghasil gula.

Penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam menyusun skripsi ini.

Namun, penulis menyadari bahwa masih ada berbagai kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Karena itu, penulis mengharapkan masukan yang

membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap bahwa skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2013

Penulis

Page 10: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

9

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini,

penulis dibantu oleh beberapa pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan bimbingan yang

sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.

2. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji utama yang telah bersedia

menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk

perbaikan penulisan skripsi ini.

3. Etriya, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen

Agribisnis yang telah mengoreksi kekurangan dalam penulisan ini dan

menyempurnakan penulisan skripsi ini.

4. Sekretariat Dewan Gula Indonesia dan Direktorat Perkebunan Kementerian

Pertanian atas bantuannya selama proses pengambilan data, semoga hasil

penelitian ini dapat berguna bagi stake holder agribisnis gula Indonesia.

5. Agus Herta, S.E selaku peneliti PRIDE yang telah bekerjasama dalam

pengambilan data dan penjelasannya terkait kondisi pergulaan di Indonesia

6. Dwi Endah Wahyuni yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar

penulis dan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi kepercayaan kepada

penulis untuk menjadi pembahas dalam seminarnya.

7. Dosen dan staf penunjang Program Studi Agribisnis atas ilmu dan bantuan

yang diberikan.

8. Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda Masagus Yancik dan Ibunda Nila

Krisnawati, dan adik-adikku tersayang Alfikri Reyhandi Marsha dan Alfatih

Fahreza Norsa Audryan beserta keluarga besar atas doa, cinta, kasih sayang,

perhatian, dan dukungan yang tercurah tiada henti kepada penulis.

9. Issantia Retno Sulistiawati atas doa, perhatian dan dukungan yang telah

diberikan kepada penulis dengan tulus.

Page 11: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

10

10. Teman-teman seperjuangan di Agritrash; Busrol Elkarim, Nursahaldin Sam,

Arif Pahlevi, Muhammad Adri, Joko Novianto, Rizky Ilham, Abdul Malik,

Dharma Siddiq, Muhammad Fikri, Randy Hazemi, Ryan Iga Septiawan, Ryan

Satria, dan Tommy Gunanta Ginting, terima kasih atas dukungan,

kebersamaan dan keceriaan yang tidak pernah akan terlupakan sampai

kapanpun.

11. Teman satu bimbingan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi semangat

dan dukungannya.

12. Seluruh mahasiswa AGB 45 terima kasih atas persahabatan dan bantuan

selama proses pembuatan skripsi.

Semua pihak yang telah membantu penulis dengan ikhlas dan sukarela yang tidak

dapat dicantumkan semuanya. Terima kasih banyak.

Page 12: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

11

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................... iv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................v

I. PENDAHULUAN ................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ........................................................... 3

1.3. Tujuan ................................................................................ 5

1.4. Manfaat ............................................................................. 5

1.5. Ruang Lingkup .................................................................. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7

2.1. Gambaran Agribisnis Gula ................................................ 7

2.1.1. Subsistem Input ....................................................... 7

2.1.2. Subsistem Usahatani ................................................ 7

2.1.3. Subsistem Pengolahan ............................................. 8

2.1.4. Subsistem Tataniaga ................................................ 8

2.1.5. Subsistem Pendukung .............................................. 8

2.2. Penelitian Terdahulu ......................................................... 8

III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 12

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................ 12

3.1.1. Analisis Berlian Porter ............................................ 12

3.2. Kerangkan Pemikiran Operasional .................................... 17

IV. METODE PENELITIAN ..................................................... 20

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 20

4.2. Data dan Instrumentasi ...................................................... 28

4.3. Metode Pengumpulan Data ............................................... 21

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................. 21

4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan......................... 22

4.4.2 Analisis Berlian Porter................................................ 25

4.5. Definisi Operasional .......................................................... 27

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

...................................................................................................... 28

5.1. Sekilas Mengenai Komoditas Gula ..............,,................... 28

5.1.1. Raw Sugar ............................................,,.................. 28

5.1.2. Refined Sugar ........................................................... 28

5.1.3. Gula Kristal Putih .................................................... 28

5.2. Kondisi Industri Gula Saat Ini ............................................ 29

5.2.1. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas,

dan Produksi Tebu ................................................... 29

Page 13: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

12

5.2.2. Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula ......... .......... 32

5.2.3. Harga Gula ............................................................... 34

5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia .......................................... 36

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 43

6.1. Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan .................... 43

6.1.1. Komponen Pembanding Analisis Matriks

Perbandingan Berpasangan ............................................... 43

6.1.2. Perbandingan Wilayah Berdayasaing....................... 50

6.2. Analisis Komponen Porter’s Diamond ............................. 80

6.1.1. Kondisi Faktor Sumberdaya .................................... 80

6.1.2. Kondisi Permintaan ................................................. 93

6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung ..... ........... 96

6.1.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri ............. 105

6.1.5. Peran Pemerintah ...................................................... 110

6.1.6. Peran Kesempatan .................................................... 111

6.3. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s

Diamond System ................................................................ 112

6.4. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan

Komponen Utama .............................................................. 116

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 121

7.1. Kesimpulan ........................................................................ 121

7.2. Saran .................................................................................. 121

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 123

Page 14: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

13

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada

Tahun 2008-2011 (Rp. /Kg) ............................................. 1

2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010

(juta ton) .............................................................................. 2

3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil

Gula dalam Industri Gula Indonesia ................................. 24

4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas

Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011 ...... 30

5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula

Tahun 1993-2011 ................................................................ 31

6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010

............................................................................................... 33

7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada

Tahun 2008-2011 (Rp/Kg) ..................................................... 34

8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 44

9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 46

10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun

2007-2011.............................................................................. 48

11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun

2007-2011............................................................................. 50

12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun

2007-2011............................................................................. 51

13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula

di Indonesia Tahun 2011..................................................... 51

14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun

2007-2011 ......................................................................... 53

15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh

Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 53

16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun

2007-2011 ......................................................................... 54

17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh

Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011............ 55

18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011

.......................................................................................... 60

19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah

Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........................ 61

20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Yogyakarta Tahun 2007-2011......................................... 64

21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Yogyakarta dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011...................................................... 65

22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011

Page 15: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

14

.......................................................................................... 68

23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh

Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 69

24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011

.......................................................................................... 72

25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah

Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011......................... 73

26.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Lampung, Sumatera

Utara, dan Sumatera Selatan Tahun 2011........................ 74

27.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Jawa Barat-Jawa

Tengah- Yogyakarta dan Jawa Timur Tahun 2011........... 75

28.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Sulawesi Selatan

Tahun 2011....................................................................... 76

29. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011

.......................................................................................... 76

30. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh

Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 77

31. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa

Tahun 2006-2011 .......................................................... 82

32. Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia

Tahun 2007-2009 .......................................................... 84

33. Struktur dalam Industri Gula Indonesia ....................... 105

34. Jumlah Impor Raw Sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi .. 108

35. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond

System ............................................................................. 115

36. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen

Utama dalam Porter’s Diamond System ........................ 118

Page 16: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

15

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Operasional ................................... 19

2. The Complete System of National Competitive

Advantage ....................................................................... 26

3. Saluran Tataniaga Gula Milik Petani ............................. 99

4. Jalur Distribusi Gula Kristal Putih ................................. 101

5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi ............................. 102

6. Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009 ....................... 105

7. Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System

........................................................................................ 118

Page 17: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

16

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas penting bagi masyarakat. Sebagai

komoditas yang strategis, keberadaan komoditas gula khususnya jalannya industri

gula memegang peranan penting bagi masyarakat dan sektor industri lainnya

karena gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk konsumsi

masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri terkait.

Tabel 1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik Tahun 2008-2011 Bulan Harga (Rp./Kg)

2008 2009 2010 2011

Januari 6.414 6.649 11.304 11.179

Februari 6.424 7.495 11.198 11.094

Maret 6.439 7.896 10.972 10.806

April 6.307 8.076 10.445 10.832

Mei 6.436 8.405 10.242 10.370

Juni 6.514 8.553 9.960 10.383

Juli 6.449 8.468 10.742 10.499

Agustus 6.462 9.026 10.692 10.511

September 6.446 9.991 10.544 10.500

Oktober 6.409 9.840 10.922 10.451

November 6.433 9.677 11.026 10.457

Desember 6.482 10.185 11.150 10.754

Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 10.653

Pertumbuhan rata-rata (%) - 35,0 23,9 -1,1 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)

Tabel 1 menunjukkan bahwa harga gula meningkat dari waktu ke waktu

dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Dilihat pertumbuhan harga

gula tiap tahunnya sebesar 35,0 persen pada tahun 2009, 23,9 persen pada tahun

2010 dan -1,1 persen pada tahun 2011. Ketersediaan gula domestik memiliki

peranan penting dalam menentukan harga gula. Menurut Dewan Gula Indonesia

(2012), hal ini terjadi karena musim giling hanya terjadi pada periode tertentu

yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling dilakukan terjadi enam

Page 18: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

17

hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula), maka secara

alami akan terjadi kenaikan harga gula di saat tidak musim giling.

Selain terkait dengan musim giling, faktor naiknya konsumsi akibat

pertumbuhan penduduk juga menjadi faktor yang penting bagi pemerintah untuk

mengambil kebijakan terhadap industri gula di Indonesia. Hal ini dilihat dari tren

konsumsi yang terjadi pada lima tahun terakhir. Kebutuhan konsumsi dari

konsumen akhir dan kalangan industri pengolah gula yang semakin meningkat,

kenaikan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 5,01 juta ton

yang mengakibatkan angka impor gula nasional melonjak 5,8 persen dari tahun

2009 yang hanya 2,75 juta ton. Fakta ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh

Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan

pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah

inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh,

elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masing-

masing adalah –0.18 dan 0.11 (Susila, 2005). Namun demikian, konsumsi gula

elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun

jangka panjang.

Tabel 2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Konsumsi (juta ton) Impor (juta ton)

2006 4,30 1,71

2007 4,70 2,84

2008 4,34 2,04

2009 4,54 2,75

2010 5,10 2,91 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)

Menurut Dewan Gula Indonesia (2012), saat ini Indonesia memiliki 62

pabrik gula yang aktif berproduksi dengan total kapasitas mencapai 200.000 TCD

yang mampu memroduksi 2,3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3,45 juta

ton. Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik

diperoleh dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika

(Dewan Gula Indonesia, 2012).

Kemudian, adapun kondisi industri gula nasional yang masih kurang

memuaskan dilihat dari tingginya impor membuat masyarakat bertanya

bagaimana sebenarnya kondisi riil dari industri gula di Indonesia. Selanjutnya,

Page 19: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

18

kondisi riil industri gula Indonesia dapat dilihat dari kinerja industri tersebut

seperti produktivitas tebu, produktivitas gula, produksi gula, hingga jumlah pabrik

gula. Hal ini merupakan salah satu tonggak dalam menilai industri gula nasional

yang dapat berdayasaing dan pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan domestik

seperti negara penghasil gula di dunia.

1.2 Perumusan Masalah

Industri gula di Indonesia adalah salah satu industri tertua yang pernah

berjaya pada tahun 1930-an dengan pabrik yang berjumlah 179 pabrik di seluruh

Indonesia. Adapun produksiya yang pada saat tersebut mencapai 3 juta ton,

ekspor gula sekitar 2,40 juta ton, dan tingkat rendemen sebesar 11-13,80 persen.

Akan tetapi, setelah hampir 82 tahun setelah masa kejayaan industri tersebut,

pabrik-pabrik gula Indonesia menyusut jumlahnya menjadi 60 pabrik di seluruh

Indonesia saat ini (Dewan Gula Indonesia, 2010).

Masalah yang dihadapi industri gula di Indonesia terkait masalah produksi

dan konsumsi. Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006

hingga 2010 mengalami kenaikan per tahunnya yaitu delapan persen. Adapun

kenaikan produksi tersebut tidak diimbangin dengan keseimbangan dalam pola

konsumsi dari pasar industri gula di Indonesia. Selain itu, kenaikan produksi pada

dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm sepeti luas

lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm.

Adapun dampak tidak seimbangnya produksi dan konsumsi adalah adanya

kenaikan impor gula di pasar domestik.

Kenaikan impor tersebut disebabkan oleh pertumbuhan positif konsumsi

gula per tahunnya yang naik sebesar 8,6 persen pada tahun 2006 hingga 2010,

sehingga kenaikan produksi gula harus terus ditingkatkan agar mengimbangi

meningkatnya konsumsi yang begitu tinggi dan dapat menekan angka impor.

Adapun kenaikan angka konsumsi disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk,

kenaikan pendapatan masyararakat, dan pertumbuhan industri makanan dan

minuman. Menurut Mardianto (2005) bahwa sebagai negara berpenduduk besar

dengan pendapatan yang terus meningkat, Indonesia berpotensi menjadi salah satu

konsumen gula terbesar di dunia. Adapun alasan kenaikan impor, antara lain: 1)

Page 20: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

19

rendahnya harga gula di pasar internasional sebagi akibat surplus pasokan dan

distorsi kebijakan negara-negara eksportir; 2) rendahnya proteksi pemerintah

terhadap produk pertanian termasuk gula; dan 3) produksi gula dalam negeri yang

belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.

Kemungkinan peningkatan konsumsi gula pada masa yang akan datang

adalah masalah bagi Indonesia apabila Indonesia tidak dapat mengimbanginya

dengan peningkatan produksi gula yang lebih besar dan menutupi angka impor.

Adapun kenaikan impor yang begitu besar menandakan bahwa ketergantungan

Indonesia terhadap gula dari luar negeri begitu besar dan dapat membebani devisa

untuk membiayai gula impor tersebut, adapun nilai impor mencapai 1,7 miliar

dolar AS pada tahun 2010 (Asosiasi Gula Indonesia, 2011). Ketergantungan

terhadap produk pangan impor berkaitan erat dengan instabilitas ekonomi suatu

negara. Menurut Simatupang et al (2000) bahwa ketahanan pangan merupakan

salah satu indikator stabilitas ekonomi. Maka apabila keadaan industri gula

Indonesia semakin mengalami kemunduran dari segi produksi akan berdampak

pada fluktuasi harga gula yang tinggi, inflasi yang meningkat, ketahanan pangan

yang menurun, dan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia secara makro.

Berdasarkan permasalahan tersebut yang ada maka dilakukan analisis

kinerja industri gula di Indonesia untuk mengetahui sejauh mana kinerja dan

kemampuan dayasaing industri gula dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gula

dalam negeri. Penelitian ini berupaya untuk melihat kemampuan bersaing industri

gula Indonesia melalui evaluasi kinerja industri, serta melihat kondisi pelaku

industri dengan melakukan perbandingan atas indikator yang telah ditentukan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kinerja industri gula di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinerja industri gula di

Indonesia dari segi wilayah penghasil gula dan mengetahui dayasaing industri

gula dari segi keunggulan kompetitif yang terdapat pada industri tersebut.

Page 21: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

20

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil

kebijakan dalam sektor pertanian, pelaku industri gula, penulis, penulis, maupun

pembaca. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pengambil kebijakan khususnya pemerintah, penelitian ini diharapkan

dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijkan dan

pengambilan keputusan di masa yang akan datnag dalam upaya penyelesaian

masalah gula nasional.

2. Bagi stakeholder industri gula, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi dalam upaya mengembangkan industri gula di Indonesia.

3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menerapkan

ilmu dan wawasan yang telah didapatkan selama menuntut ilmu di IPB.

4. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan

informasi tambahan, literatur, dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan suatu hasil kajian terhadap

keunggulan kompetitif dari industri gula di Indonesia dan kondisi pelaku industri

gula di Indonesia. Penelitian ini ada untuk menjawab seperti dayasaing industri

gula dan pelaku di dalam industri tersebut. Penelitian ini merupakan bersifat

kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan Berlian Porter untuk menganalisis dayasaing industri gula dan untuk

melihat kondisi pelaku industri menggunakan pendekatan matriks perbandingan

berganda. Fokus untuk pendekatan Berlian porter adalah komponen yang ada di

dalam pendekatan tersebut.

Kemudian, fokus untuk pendekatan matriks perbandingan berpasangan

adalah melihat kondisi pelaku industri melalui indikator yang ditentukan yang

kemudian mengurutkannya berdasarkan bobot terbaik sehingga mendapatkan

gambaran kondisi pelaku industri gula Indonesia yang berdayasaing melalui posisi

teratas yang di tempati. Adapun pelaku industri gula di Indonesia dalam di bagi

Page 22: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

21

atas pabrik gula dan wilayah penghasil gula. Untuk pabrik gula berjumlah 62

pabrik, sedangkan untuk wilayah penghasil gula yaitu Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Lampung, Jawa Barat- Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan

Gorontalo. Dengan menggunakan dua indikator perbandingan yaitu produktivitas

gula dan produktivitas tebu, yang data diambil berdasarkan data produktivitas

gula dan produktivitas tebu pada tahun 2011.

Page 23: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

22

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agribisnis Gula

2.1.1 Subsistem Input

Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang

ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan yang

akan digunakan untuk subsistem di depannya, yaitu subsistem usahatani. Adapun

contoh usaha dari subsistem input tersebut, antara lain: usaha sarana produksi

pertanian, dan alat serta mesin pertanian. Usaha-usaha tersebut menyalurkan

produk-produknya untuk subsistem usahatani atau on farm dalam hal kegiatan on

farm sebagai bahan baku utama atau bahan baku pendukung.

Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahawa adapun usaha dalam

subsistem input gula yang paling strategis adalah usaha pembibitan (kebun bidang

datar; KBD) karena menyangkut potensi tanaman tebu yang akan diusahakan pada

subsistem usahatani tebu. Usaha ini dilakukan oleh perusahaan besar; baik PTPN

maupun perusahaan swasta serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia

(P3GI). Untuk PTPN, usaha pembibitan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

PTPN sendiri dan perkebunan rakyat. Untuk PTPN yang ada di Jawa, usaha ini ini

lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan rakyat. Usaha

pembibitan tebu dapat dikatakan berbeda dibandingkan usaha pembibitan lain

pada umunya. Hal ini dikarenakan pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif

cukup luas.

2.1.2 Subsistem Usahatani

Tanaman tebu yang adalah bahan mentah sebelum menjadi gula,

merupakan tanaman yang sangat peka terhadap unsur-unsur iklim. Karena itu,

waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula

dengan optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa

pertumbuhan vegetatif dan membutuhkan sedikit air saat pertumbuhan

Page 24: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

23

generatifnya (Mubyarto dan Dayanti, 1991). Teknologi budidaya yang tepat serta

penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat

menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu

diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu

pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat

akan dikirim ke pabrik gula.

Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula

(PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan

perkebunan (estate) dimana PG sekaligus memiliki hak guna usaha (HGU) untuk

pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Sedangkan

PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu

dikelola oleh rakyat. PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan

dengan petani tebu yang menerapkan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar

66 persen dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34 persen (Badan

Litbang Pertanian 2005).

2.1.3 Subsistem Pengolahan

Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa perkembangan produksi

yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG)

dan berdampak pula pada keberadaan PG. Pada dekade terakhir, kinerja PG

cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua,

kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh,

PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun

(180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12,8 juta ton sehingga

PG yang berada di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46,2%. Selanjutnya, PG

diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan

baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39,4%. Hal ini

memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu melakukan konsolidasi

dan rehabilitasi.

Page 25: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

24

2.1.4 Subsistem Tataniaga

Pada subsitem tataniaga gula, dijelaskan Badan Penelitan dan

Pengembangan Pertanian (2009) bahwa tataniaga gula di Indonesia berkaita erat

dengan konteks harga gula dan kebijakan tataniaga gula. Kedua hal ini merupakan

problem yang kerap dibicarakan oleh berbagai kalangan karena saling

mempengaruhi satu sama lain. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi

petani untuk memilih komoditas apa yang bakal dipilih. Dalam situasi harga

cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi,

sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut.

Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa dalam

konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global

sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan

berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Kemudian, harga

gula di pasar domestik secara signifikan oleh kebijakan tataniaga di setiap

periode, produksi, harga gula dunia, dan nilain tukar rupiah/US$ (Badan Penelitan

dan Pengembangan Pertanian, 2009).

Kebijakan tataniaga gula berpengaruh pada dasarnya terhadap harga gula

domestik dan tidak berpengaruh terhadap ketersediaan gula. Menurut Badan

Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa kebijakan tataniaga gula

periode Bulog cenderung untuk stabilisasi atau menekan impor dan harga

domestik untuk menjaga stabilisasi harga, kebijakan tataniaga pada periode

perdagangan bebas hanya signifika mempengaruhi harga domestik dengan

korelasi negatif, sedangkan kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor

signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula

domestik.

2.1.5 Subsistem Pendukung

Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa

subsistem pendukung dari sistem agribisnis suatu Komoditas, terdapat pihak-

pihak yang menyangga subsistem tersebut meliputi lembaga penelitian, asosiasi

pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan,

sumberdaya modal untuk pengembangan suatu Komoditas, sumberdaya

Page 26: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

25

infrastruktur yang mendukung kegitan pada sistem agirbisnis, dan peran kebijakan

pemerintah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait dayasaing industri gula di Indonesia sebelumnya sudah

pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tersebut meneliti dengan ruang lingkup

yaitu dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Menurut

Cahyani (2008), meneliti tentang dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis

gula Indonesia dengan menggunakan analisis Berlian Porter, metode SWOT, dan

arsitektur strategik. Menurut penelitian tersebut bahwa keterkaitan antar

komponen di dalam pendekatan Berlian Porter yang tidak saling mendukung lebih

dominan sehingga menyebabkan agribisnis gula Indonesia masih lemah. Setelah

pendekatan Berlian Porter lalu di dalam penelitian tersebut terdapat perumusan

strategi pengembangan yang menggunakan pendekatan SWOT yang berisi

beberapa strategi antara lain optimalisasi sumberdaya yang ada, pemanfaatan hasil

samping pengolahan gula, penguatan kelembagaan, penyuluhan penerapan

teknologi on farm, menjaga ketersediaan pasokan tebu, peningkatan kualitas dan

efisiensi produksi gula, pengaturan produksi dan impor gula rafinasi, menciptakan

lembaga permodalan bagi petani dan industri gula, rehabilitasi sarana prasarana

penunjang PG, penataan varietas dan pembibitan, pengaturan ketersediaan pupuk

dan bibit dalam waktu, jumlah, jenis, dan harga yang tepat, pengembangan

industri gula di luar Jawa, perbaikan manajemen tebang muat angkut (TMA),

mencari teknik budidaya yang sesuai untuk lahan bukan sawah, dan rehabilitasi

tanaman tebu keprasan (bongkar ratoon). Adapun kaitannya dengan penelitian ini

adalah merujuk beberapa komponen dayasaing yang menjadi dasar penelitian ini

dalam menjelaskan komponen dalam Berlian Porter. Kemudian, perbedaan dari

penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah fokus penjelasan yang

disajikan merujuk kepada kinerja industri gula dengan dijelaskan pula dayasaing

kompetitifnya.

Ginandjar (2011), melakukan penelitian tentang kebijakan gula rafinasi

dalam pembangunan industri gula nasional, di dalam penelitian tersebut

Page 27: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

26

menggunakan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan Framework Tinbergen

dengan menganalisis penyebab timbulnya pertentangan dalam kebijakan

pergulaan.hasil dari penelitian tersebut adalah dalam pergulaan di Indonesia

terdapat dua kelompok yaitu samurai untuk para pengusaha yang berada di dalam

industri gula kristal putih dan naga untuk para pengusaha yang berada di dalam

industri gula kristal rafinasi. kendala yang dihadapi oleh perdagangan gula dalam

negeri adalah lemahnya penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan

dan manipulasi dokumen gula impor, setiap eselon satu dalam kementerian terkait

impor gula memiliki data dan kebijakan yang berbeda dalam hal yang sama, dan

tidak mudahnya mengimpor gula kristal mentah dengan kuota besar karena hal itu

yang akan menghentikan industri gula kristal putih dalam negeri. Efek samping

kebijakan industri gula kristal rafinasi terhadap pembangunan industri gula

nasional adalah menyebabkan pasar gula kristal putih terhambat, terutama saat

harga gula kristal mentah rendah dan gula kristal rafinasi merembes ke pasar

konsumsi langsung. Adapun kaitannya dalam penelitian ini adalah merujuk

kepada kebijakan dalam industri gula yang pernah dikeluarkan agar melengkapi

data kebijakan gula yang sudah ada.

Wiryastuti (2002), melakukan studi tentang peningkatan dayasaing

industri gula di Jawa Tengah dengan menggunakan metode Analytical Hierarkhi

Process (AHP). Hasil penelitan menunjukkan bahwa faktor aktor utama yang

berperan dalam meningkatkan dayasaing industri gula di Jawa adalah biaya

produksi sedangkan aktor utama yang berperan meningkatkan dayasaing industri

gula di Jawa adalah manajemen perusahaan dan pemerintah pusat. Penelitian ini

juga menghasilkan prioritas strategi utama yang dilakukan untuk meningkatkan

dayasaing industri gula di Jawa adalah peningkatan efisiensi dan menjalin

kemitraan dengan mitra strategis yang menguasai bahan baku, pasar, modal, dan

teknologi. Adapun kaitannya penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah

mendapat gambaran dayasaing industri gula di wilayah Jawa.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input menunjukkan bahwa

terdapat distorsi pada pasar pupuk. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sistem

Komoditas baik input maupun output terdapat proteksi yaitu kebijakan harga

output berupa tarif dan harga lelang serta subsidi input yang melindungi pelaku

Page 28: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

27

industri gula agar tetap mau berproduksi dan distorsi pasar yang ada pada industri

gula, pelaku industri gula diuntungkan karena pelaku industri gula memperoleh

keuntungan yang positif lebih tinggi dari seharusnya yang bernilai negatif dan

adanya kebijakan pemerintah, pelaku industri gula membayar biaya produksi

dengan nilai lebih rendah dari biaya imbangan berproduksinya.

Tinjauan untuk penelitian terdahulu di atas mengungkapkan bahwa kajian

tentang gula secara umum, seperti dayasaing dan peningkatannya, dampak

kebijakan pemerintah terhadap gula, peramalan produksi dan konsumsi gula, dan

faktor yang berhubungan dengan harga gula. Namun penelitian yang

memfokuskan perhatian pada dayasaing gula relatif belum banyak, terutama

tentang dayasaing industri gula dengan melihat keunggulan kompetitif industri

dan melihat keunggulan antar pelaku di dalam industri berdasarkan indikator yang

ditentukan. Penelitian ini melengkapi penelitian dayasaing industri gula di

Indonesia dengan adanya penambahan analisis matriks perbandingan berpasangan

untuk mengukur keunggulan wilayah penghasil gula.

Page 29: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

28

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Analisis Berlian Porter

Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang

dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Menurut Porter (1990) terdapat

empat faktor utama yang menentukan dayasaing industri yaitu kondisi faktor

sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri terkaita dan industri pendukung

serta kondisi stuktur, persaingan dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut

didukung oleh peranan pemerintah dan peranan kesempatan dalam meningkatkan

keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk

suatu sistem yang dikenal dengan the national diamond. Setiap atribut yang

terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin-poin penting yang menjelaskan

secara detail atribut yang ada, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Kondisi Faktor Sumberdaya

Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan

faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor

produksi digolongkan kedalam lima kelompok:

1.a. Sumberdaya Fisik atau Alam

Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing

nasional mencakup biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi),

ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan,

kehutanan, perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan, serta

sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak

diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi

topografis, dan lain-lain.

1.b. Sumberdaya Manusia

Page 30: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

29

Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional

terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan

keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan

etika kerja (termasuk moral).

1.c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,

pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan

dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber

pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan

pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber

pengetahuan dan teknologi lainnya.

1.d. Sumber Modal

Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari

jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal),

aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan,

tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter, fiskal, serta

peraturan moneter dan fiskal.

1.e. Sumberdaya Infrastuktur

Sumberdaya infrastuktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri

dari ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastuktur yang

mempengaruhi persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos, giro,

pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.

2) Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing

industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik

merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing

di pasar global. Mutu permintaan (persaingan yang ketat) di dalam negeri

memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya

sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor

kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:

2.a. Komposisi Permintaan Domestik

Page 31: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

30

Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing

industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi:

i) Stuktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing

nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh

dayasaing pada stuktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan

dengan stuktur segmen yang sempit.

ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan

kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi

standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features,

dan pelayanan.

iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri

merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.

2.b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat

persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat

pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan

permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal.

Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan

kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan

dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun

fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas.

2.c. Internasionalisasi Permintaan Domestik

Pembeli yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong

dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar

negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering

mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing produk

negeri yang dikunjungi tersebut.

3) Industri Terkait dan Industri Pendukung

Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki

dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri

hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama

dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,

Page 32: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

31

pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama,

sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.

Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan

bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir

tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.

4) Stuktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan

Stuktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki

oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Stuktur

industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan

perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan stuktur

industri yang bersaing. Stuktur perusahaan yang berada dalam industri sangat

berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan

dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun

internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan

dayasaing global industri yang bersangkutan.

4.a. Stuktur Pasar

Istilah stuktur pasar digunakan untuk nenunjukan tipe pasar. Derajat

persaingan stuktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk

menunjukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan

untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual

di pasar. Stuktur pasar didefinisikan sebagai sifat–sifat organisasi pasar yang

mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan

produk (nature of the product) adalah dimensi–dimensi yang penting dari stuktur

pasar. Adapula dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri

(hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan

melalui iklan, dan lain–lain. Beberapa stuktur pasar yang ada antara lain pasar

persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan

pasar oligopsoni. Biasanya stuktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti

monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam

menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan jumlah perusahaan yang

bergerak dalam suatu industri.

4.b. Persaingan

Page 33: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

32

Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong

bagi perusahaan–perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.

Keberadaan pesaing yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai

motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam

meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan–perusahaan yang telah teruji pada

persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan

persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan–perusahaan yang

belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah.

4.c. Strategi Perusahaan

Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan yang berskala besar

maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waku, pemilik atau

manajer dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke

dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi

khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan

suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan

semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.

5) Peran Pemerintah

Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya

peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor–faktor penentu

dayasaing global. Perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri yang

mampu menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah

merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan–perusahaan dalam

industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan dayasaingnya.

Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku–pelaku industri

terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan–kebijakannnya, seperti

sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu

pengetahuan, dan teknologi serta informasi. Pemerintah juga dapat mendorong

peningkatan dayasaing melalui penetapan standar produk nasional, standar upah

tenaga kerja minimum, dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat

mempengaruhi kondisi permintaan domestik, baik secara langsung melalui

kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya maupun secara langsung

melalui perannya sebagai pembeli produk dan jasa. Kebijakan penerapan bea

Page 34: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

33

keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain–lainnya yang juga menunjukan

terdapat peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing

global.

Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan

yang memperlemah faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak

dapat secara langsung menciptakan dayasaing global adalah memfasilitasi

lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing,

sehingga perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri mampu

mendayagunakan faktor–faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.

6) Peran Kesempatan

Peran kesempatan merupakan faktor yang berada diluar kendali

perusahaan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri

nasional. Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing

global industri nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan

yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi

mata uang), meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih

tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta

berbagai faktor kesempatan lainnya.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Gula merupakan komoditas pokok yang berperan penting dalam konsumsi

domestik dan juga kegiatan produksi karena gula merupakan bahan dasar dari

industri makanan dan minuman. Hal ini membuat konsumsi gula di Indonesia

semakin meningkat terutama berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk dan

perkembangan industri pengolahan makanan dan minuman. Sebagai negara

berpenduduk besar maka Indonesia sangat potensial menjadi salah satu konsumen

gula terbesar di dunia dan bergantung kepada negara lain apabila Indonesia tidak

dapat membangun industri gulanya secara baik. Hal ini dilihat dari produksi gula

sekarang belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat.

Faktanya, terdapat fluktuasi kinerja industri gula di Indonesia pada tiap tahunnya

mulai dari luas areal perkebunan, produksi tebu, dan rendemennya sehingga

membuat produksi gula di Indonesia tidak menentu dan sulit konsisten memenuhi

Page 35: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

34

kebutuhan domestik. Hal ini disebabkan kurangnya penerapan teknologi on farm

dan efisiensi pabrik gula yang rendah.

Tingginya volume impor gula di Indonesia juga disebabkan oleh

rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan

distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, rendahnya proteksi pemerintah

terhadap produk-produk pertanian termasuk gula, dan produksi gula dalam negeri

belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Karena itu, untuk

mengurangi volume impor gula perlu adanya perbaikan dari sisi teknologi on

farm dan efisiensi pabrik gula, sehingga dapat menghasilkan gula domestik yang

lebih banyak dan harga yang dapat lebih berdayasaing pada pasar domestik

maupun pasar internasional. Kebijakan swasembada gula dan didukung

pertumbuhan ekonomi yang baik menjadi momentum pemerintah dalam hal

pembangunan industri gula domestik secara masif.

Penjelasan di atas menggambarkan suatu kondisi yang berhubungan

dengan industri gula di Indonesia saat ini. Penelitian ini dilakukan dengan

menganalisis kinerja industri gula di Indonesia menggunakan pendekatan Matriks

Perbandingan Berpasangan guna melihat kondisi pelaku di dalam industri gula

Indonesia yaitu wilayah penghasil gula di Indonesia. Setelah didapatkan,

peringkat wilayah penghasil gula yang terbaik hingga terburuk dari sisi lima

komponen pembanding, maka dilakukan analisis keunggulan kompetitif dengan

menggunakan pendekatan berlian porter. Pendekatan berlian porter ini dilakukan

untuk menjelaskan adanya wilayah penghasil gula yang terbaik dan wilayah

penghasil gula terburuk di Indonesia. Setalah dilakukan pendekatan berlian porter,

maka didapatkan gambaran yang baik untuk menilai kinerja industri gula di

Indonesia dari segi wilayah penghasil gula. Hal ini penting karena untuk

memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam hal pengembangan industri

gula di Indonesia dari segi pengembangan wilayah. Semua hal yang telah

dijelaskan sebelumnya terangkum dalam kerangka pemikiran operasional yang

terdapat pada Gambar 1.

Page 36: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

35

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

Gula sebagai salah satu kebutuhan

pokok masyarakat Indonesia.

Kesempatan dalam pengembangan

industri gula di Indonesia yang

disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan

swasembada gula nasional.

Gambaran Persaingan Industri Gula di Indonesia

dalam Ruang Lingkup

Wilayah Penghasil Gula

Analisis Kinerja Industri Gula di

Indonesia.

Peningkatan volume impor ini

disebabkan oleh naiknya

konsumsi gula nasional dan

pertumbuhan industri makanan dan minuman.

Adanya fluktuasi kinerja industri

gula, sehingga sulit untuk

memenuhi kebutuhan gula

domestik

Analisis Untuk Menilai Kinerja

Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia

Pendekatan Berlian Porter

Matriks Perbandingan Berpasangan

Gambaran Kinerja Industri

Gula di Indonesia

Page 37: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

36

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian

Penelitian ini membahas tentang kondisi industri gula di Indonesia, kinerja

dan dayasaing industri gula sebagai komoditas yang pokok di Indonesia. Lingkup

penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro). Penelitian

ini mengambil data industri gula di Indonesia tahun 2007 hingga 2011.

Waktu penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Desember 2012

dari mulai penyusunan proposal hingga penyerahan skripsi. Pada peneilitian ini,

terdapat beberapa hal yang dijelaskan pada proses penyusunan proposal hingga

proses sidang. Proses pra penelitian dilakukan pada awal tahun dengan melakukan

pengumpulan data awal di lembaga yangterkait dengan industri gula Indonesia

Pada pra penelitian, peneliti melakukan kunjungan langsung ke pabrik gula di

Jawa Timur yang mendapatkan gambaran awal terhadap industri gula di Indonesia

dan permasalahan yang ada di Indonesia. Serta setelah itu, peneliti melakukan

kunjungan ke pabrik gula di Thailand untuk mendapatkan informasi sebagai

perbandingan antara industri gula Indonesia dean Thailand. Kemudian, proses

penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data inti untuk pembahasan serta

pengolahan data yang melibatkan proses secara kualitatif.

4.2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data

primer. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah berupa data

laporan tahunan kinerja industri gula Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan

Gula Indonesia dan Laporan kinerja perkebunan yang dikeluarkan oleh Direktorat

Jenderal Perkebunan. Kemudian, data primer dalam penelitian ini data yang

didapatkan dari in depth interview dengan peneliti PRIDE tentang keterkaitan

antar komponen dayasaing dalam Berlian Porter dan farm visit yang dilakukan ke

pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Dalam konteks sumber data, data yang

Page 38: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

37

digunakan adalah data kuantitatif yang berupa data produktivitas tebu dan

produktivitas gula untuk ruang lingkup pabrik, wilayah, dan nasional yang ada

pada tahun 2011. Selain itu, dalam penelitian ini digunakan data kualitatif yang

terkait dengan industri gula di Indonesia. Data kualitatif ini berupa pendapat ahli

dari peneliti PRIDE sebagai acuan dalam menilai keterkaitan komponen

dayasaing pada Berlian Porter. Serta, data kualitatif yang didapatkan dari farm

visit ke pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Instrumen atau alat pengumpul

data yang digunakan berupa daftar panduan wawancara yang telah disusun secara

tertulis sesuai dengan masalah, studi literatur, dan alat pencatat.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis dan pengolahan data dilakukan dalam penelitian ini adalah secara

kualitatif. Alasan penggunaan analisis secara kualitatif adalah terdapat beberapa

hal yang dapat digali dan diketahui secara mendalam untuk menjawab

permasalahan penelitian. Jawaban tersebut dapat diperoleh melalui penggunaan

analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis situasi dan

kondisi faktor penentu kinerja industri, khususnya industri gula. Analisis kualitatif

dilakukan dengan menggunakan Matriks Perbandingan Berpasangan dan Teori

Berlian Porter. Proses pengolahan data untuk Matriks Perbandingan Berpasangan

dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2007 untuk

mendapatkan nilai bobot dari hasil perbandingan antara variabel berdasarkan

komponen yang ditentukan. Adapun kesulitan bagi peneliti dalam metode

pengolahan dan analisis data adalah sulitnya menggabungkan data kuantitatif dan

data kualitatif yang telah dikumpulkan untuk membuat analisis yang

komprehensif dan tepat sesuai tujuan penelitian.

4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan

Matriks perbandingan berpasangan merupakan pendekatan untuk

meringkas dan melihat keunggulan variabel yang dihadapkan pada indikator yang

telah ditentukan. Pendekatan matriks perbandingan berpasangan digunanakan

untuk melihat kondisi pelaku industri gula di Indonesia, dengan melihat posisi

dari para pelaku industri berdasarkan komponen yang ditentukan. Matriks ini juga

Page 39: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

38

dapat memberikan dasar untuk mengidentifikasi variabel yang dapat bersaing

melalui posisi yang ditempati oleh variabel tersebut. Langkah-langkah matriks

perbandingan berpasangan dibagi menjadi wilayah penghasil gula dalam menilai

wilayah penghasil gula yang dapat bersaing pada industri gula Indonesia, antara

lain:

1. Menentukan indikator inti dalam melakukan matriks perbandingan berpasangan

wilayah agar membatasi ruang lingkup analisis, adapun komponen yang

digunakan adalah luas lahan (ha), jumlah pabrik (pabrik), produktivitas tebu

(ton tebu/ha), produktivitas gula (ton gula/ton tebu), dan produksi tebu (ton).

Data yang digunakan adalah data tahun 2011 agar mendapatkan hasil kinerja

terbaru dari industri gula. Perbandingan awal dilakukan dengan menggunakan

data numerik sesuai dengan komponen yang ditentukan.

2. Melakukan pembagian wilayah sebagai basis menilai wilayah yang dapat

bersaing di industri gula Indonesia, dimana pembagian menjadi tujuh wilayah

yaitu Jawa Barat-Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Dasar pembagian wilayah

ini adalah menurut lokasi yang memiliki pabrik gula di Indonesia.

2. Mendaftarkan seluruh wilayah penghasil gula yang ada di Indonesia sebagai

basis wilayah yang akan digunakan dalam analisis perbandingan wilayah

tersebut, dimana keseluruhan wilayah tersebut berjumlah tujuh wilayah di

Indonesia. Alasan pemilihan tujuh wilayah ini adalah melihat kondisi

sebenarnya dari pelaku industri gula di Indonesia yang notabenenya diisi

olehtujuh wilayah tersebut.

3. Analisis matriks perbandingan berpasangan ini dilakukan dengan dua tahap

yaitu tahap kuantitatif dengan memasukkan data-data berdasarkan indikator

untuk wilayah ke dalam matriks dan tahap kualitatif dengan mengulas hasil

dari matriks tersebut. Pada tahap kuantitatif, perbandingan dilakukan

menggunakan matriks berpasangan yang nantinya akan dibagi menurut

pasangan perbandingan yang telah ditentukan pada kelima komponen

pembanding, yaitu antar wilayah-wilayah. Adapun tahap kualitatif yaitu

dengan membandingkan antar wilayah dengan wilayah lain. Dasar dari tahapan

Page 40: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

39

yang dilakukan adalah untuk melihat kondisi pelaku industri satu dengan

pelaku lain, yang dalam penelitian ini berfokus pada wilayah penghasil gula.

5. Penilaian matriks dengan menggunakan tabel dan rumus menghitung bobot

dalam analisis matriks perbandingan berpasangan ini diadaptasi dari teori

Internal dan Eksternal Matriks yan terdapat dalam Management Strategies

(David, 2006). Penilaian matriks berpasangan yang didasarkan dari komponen

pembanding yang telah ditetapkan, komponen 1,2,3,4, dan 5 dalam matriks

merupakan komponen pembanding yang akan dibandingkan dari wilayah A

dengan wilayah B. Setiap komponen digunakan skala 1, 2, dan 3 untuk

menentukan bobot. Bobot ini digunakan untuk mengukur nilai keunggulan

antara wilayah A dan wilayah B pada indikator yang telah ditentukan. Skala

yang digunakan untuk menetukan bobot adalah:

1 = jika Wilayah A lebih buruk daripada Wilayah B

2 = jika Wilayah A sama dengan Wilayah B

3 = jika Wilayah A lebih baik dari Wilayah B

Tabel 3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah

penghasil gula dalam Industri Gula Indonesia

Wilayah A Total Bobot

Komponen

Pembanding

1 2 3 4 5

Wilayah

B

1 Xi

2

3

4

5

Total

Sumber: Internal dan Eksternal Matriks dalam Managemen Strategies (David, 2006)

Wilayah A dalah variabel horizontal, Wilayah B adalah variabel vertikal.

Cara membaca perbandingan dimulai dari variabel baris atau variabel

horizontal (variabel X) dibandingkan variabel kolom atau variabel vertikal

Page 41: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

40

(variabel Y) dan harus konsisten. Dibawah ini adalah matriks perbandingan

berpasangan wilayah penghasil gula dalam industri gula Indonesia. Bobot

setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap

jumlah nilai keseluruhan dengan menggunakan rumus:

∝i =

Dimana,

∝i = Bobot variabel ke-i

Xi = Nilai variabel ke-i

n = jumlah data

i = 1,2,3,...n

Sumber: Internal dan Eksternal Matriks (Diadaptasi)

6. Mendaftarkan kembali dengan tabel peringkat wilayah penghasil gula

berdasarkan urutan dari bobot yang terbesar hingga terkecil. Bobot terbesar

membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih baik

dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan. Serta bobot

terkecil membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih

buruk dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan.

7. Setelah itu, didapatkan wilayah penghasil gula yang memiliki kinerja yang baik

dalam industri gula Indonesia adalah wilayah yang menempati posisi teratas

dalam kelima komponen pembanding.

4.4.2. Analisis Berlian Porter

Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dayasaing Industri gula di

Indonesia adalah Teori Berlian Porter. Analisis dilakukan pada tiap komponen

yang terdapat pada Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen

tersebut meliputi :

1) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor–faktor produksi dalam suatu

industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur.

2) Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa

dalam negara.

3) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan

industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.

Page 42: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

41

4) Firm, Strategy, Structur, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut

perusahaan pada umumnya, stuktur industri dan keadaan kompetisi dalam

suatu industri domestik.

Gambar 2. The Complete System of National Competitive Advantage

(Porter, 1990)

Keterangan:

Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang saling

mendukung

Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang mendukung

komponen utama

Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang tidak saling

mendukung

Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang tidak

terjalin atau tidak mendukung komponen utama

Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen

utama tersebut yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama

Page 43: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

42

dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis

komponen penentu dayasaing kita dapat menentukan komponen yang menjadi

keunggulan dan kelemahan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil

keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan

perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari suatu

industri.Komponen–komponen dalam Teori Berlian Porter dapat dilihat pada

Gambar 2.

Pendekatan analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi

dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik,

kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait, serta struktur,

persaingan, dan strategi industri gula di Indonesia. Selain hal tersebut, tedapat

juga dua atribut tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang

mempunyai pengaruh terhadap perkembangan industri gula di Indonesia.

4.5 Definisi Operasional

1. Gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula tebu khususnya white

sugar. White sugar adalah gula berkualitas baik, putih, persen pol > 99,5 dan

dapat dikonsumsi langsung.

2. Produksi gula Indonesia adalah total produksi gula konsumsi masyarakat di

Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun.

3. Konsumsi gula Indonesia adalah total konsumsi gula langsung masyarakat

Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun.

4. Produksi tebu Indonesia adalah total produksi tebu di Indonesia yang

dinyatakan dalam satuan ton per tahun.

5. Luas areal perkebunan tebu adalah luas seluruh areal produktif tanaman tebu di

Indonesia yang dinyatakan dalam satuan hektar.

6. Produktivitas tebu adalah hasil bagi antara produksi tebu Indonesia dengan luas

perkebunan tebu yang dinyatakan dalam satuan ton per hektar.

7. Rendemen adalah kadar kandungan gula dalam setiap batang tebu yang

dinyatakan dalam satuan persen.

Page 44: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

43

8. Impor gula adalah jumlah seluruh impor gula yang dijual atau dipasarkan di

pasar domestik dan tidak termasuk impor ilegal yang dinyatakan dalam satuan

ton.

Page 45: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

44

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

5.1 Industri Pergulaan Indonesia

Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari

keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform

Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai

ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) seperti berikut ini.

5.1.1 Raw Sugar

Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan

dengan bahan bakun dari tebu. Untuk menghasilkan produk ini dibutuhkan proses

sebagai berikut : Tebu – Giling – Nira – Evaporator - kristal merah (raw sugar).

Menurut KPPU (2010) bahwa raw sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600-

12000 UI. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik

penggilingan tebu yang tidak memiliki unit pemutihan yang biasanya jenis gula

inilah yang banyak diimpor untuk nantinya diubah menjadi gula kristal putih

ataupun gula rafinasi.

5.1.2 Refined Sugar

Refined sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari

gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung

dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi dihasilkan

melalui tahapan produksi yaitu : raw sugar preparation affination – carbonasi –

penyaringan – pertukaran ion – evaporasi – sentrifugal – gula rafinasi –

pengemasan. Hal yang membedakan antara gula kristal putih dengan gula rafinasi

adalah gula rafinasi menggunakan proses carbonasi sedangkan gula kristal putih

menggunakan proses sulfitasi.

Gula rafinasi mempunyai standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang memiliki

nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA 46-80. Gula

rafinasi ini adalah bahan baku yang digunakan untuk industri makanan dan

minuman. Pendistribusian gula rafinasi dilakukan secara khusus, dimana

distributor gula rafinasi terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan serta

penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh kementerian

Page 46: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

45

perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran gula rafinasi ke

rumah tangga.

5.1.3 Gula Kristal Putih

Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU.

Kementerian perindustrian mengelompokkan gula kristal putih menjadi tiga

bagian yaitu gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, gula kristal putih 2

dengan nilai ICUMSA 250-350, dan gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA

350-350. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula

tersebut serta rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk

konsumen rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula yang dekat

dengan perkebunan tebu dengan cara menggiling dan melakukan proses

pemutihan, yaitu dengan sulfitasi. Berikut rangkain prosesnya : Tebu – Gilingan –

Nira – Evaporator – Kristal – Sentrifugal – Sulfitasi – Gula kristal putih/ gula

pasir.

5.2 Kondisi Industri Gula Saat Ini

5.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu

Pemerintah menyadari bahwa usaha peningkatan produksi gula di Jawa

makin sulit karena harus bersaing dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi hal

tersebut, pemerintah sejak awal tahun 1980-an telah melakukan perluasan lahan

tanaman tebu dan pabrik ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tetapi kenyataan

pada saat ini menunjukkan bahwa kecuali Lampung, pabrik-pabrik gula tersebut

belum ada yang optimal kinerjanya. Menurut Utomo dan Soelistyari (1988),

bahwa yang menjadi masalah adalah bukan kekurangan lahan untuk menanam

tebu, tetapi karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk ditanami tanaman

tebu. Hal tersebut dikarenakan sifat tanahnya yang tidak cocok sehingga

produksinya yang diperoleh rendah.

Utomo dan Soelistyari (1988) juga menjelaskan lahan di luar Jawa adalah

tergolong podsolik merah kuning. Jadi, pada tanah ini tanaman tebu mempunyai

kesempatan besar untuk dikembangkan. Tetapi perlu dikemukakan bahwa tanah

podsolik merah kuning merupakan tanah yang memiliki banyak faktor pembatas

Page 47: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

46

yang menjadi kendala, baik dalam pemanfaatannya maupun usaha menjaga

kelestarian produktivitasnya. Podsolik merah kuning terdapat di daerah dengan

curah hujan tinggi. Telah mengalami pelapukan yang lanjut dan pelindian yang

amat jauh, miskin hara tanaman, struktur tanah tidak mantap sehingga status

pertaniannya rendah (Soeprapto, 1983).

Luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan

kecenderungan meningkat dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Namun,

sebelumnya terjadi penurunan luas areal tanam adalah pada tahun 1999 sebesar

9,91 persen, yang kemudian diikuti penurunan pada tahun 2000. Adapun alasan

terjadinya penurunan tersebut adalah akibat dihapuskannya kebijakan TRI dan

konversi lahan (Dirjen Perkebunan, 2006). Penurunan luas areal tersebut

berdampak pada penurunan produksi tebu sebesar 12,59 persen, dari 71,84 ton/ha

pada tahun 1998 menjadi 62,80 ton/ha pada tahun 1999.

Adapun pada tahun 2011, luas lahan pengembangan tebu di Indonesia naik

sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai 450.297 ha pada tahn

tersebut. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa luas lahan tersebut

tersebar di beberapa dearah, antara lain: Jawa Timur dengan 192.801 ha,

Lampung dengan 128.321 ha, Jawa Tengah dengan 51.955 ha, Jawa Barat dengan

22.487 ha, Sulawesi Selatan dengan 14.039 ha, Sumatera Selatan dengan 15.282

ha, Sumatera Utara dengan 10.046 ha, Gorontalo dengan 8.681 ha, dan DIY

dengan 6.681 ha. Dilihat dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Jawa

masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha

atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Hal ini harus

dihindari karena sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan satu daerah

penyangga produksi gula untuk menyukseskan program swasembada gula tahun

2014.

Adapun terjadinya kenaikan luas lahan pengembangan tebu pada tahun

2011 dikarenakan program pemerintah terkait swasembada gula tahun 2014

sehingga pemerintah berusaha untuk memperluas lahan tebu petani. Akan tetapi

pada tahun tersebut produksi tebu malah menurun sebesar 11,38 persen dari tahun

sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor beyond control yaitu faktor cuaca yang

Page 48: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

47

tidak menentu, dimana pada tahun tersebut curah hujan yang tinggi sehingga

kuantitas tebu yang dihasilkan menjadi lebih sedikit.

Tabel 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan

Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011

Tahun Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Tebu Rendemen

(%) Total

(Ha)

Pertumb

uhan

(%)

Total

(Ton)

Pertum

buhan

(%)

Total

(Ton/Ha)

Pertum

buhan

(%)

1993 420.687 - 37.593.146 89,36 - 6,60

1994 428.726 1,91 30.545.070 -18,75 71,25 -20,27 8,02

1995 420.630 -1,89 30.096.060 -1,47 71,55 0,43 6,97

1996 403.266 -4,13 28.603.531 -4,96 70,93 -0,87 7,32

1997 385.669 -4,36 27.953.841 -2,27 72,48 2,19 7,83

1998 378.293 -1,91 27.177.766 -2,78 71,84 -0,88 5,49

1999 340.800 -9,91 21.401.834 21,25 62,80 -12,59 6,96

2000 340.660 -0,04 24.031.355 12,29 70,54 12,33 7,04

2001 344.441 1,11 25.186.254 4,81 73,12 3,66 6,85

2002 350.723 1,82 25.533.431 1,38 72,80 -0,44 6,88

2003 335.725 -4,28 22.631.109 -11,37 67,41 -7,41 7,21

2004 344.293 2,55 26.743.179 18,17 77,68 15,23 7,67

2005 381.759 10,88 31.242.267 16,82 81,84 5,36 7,18

2006 396.441 3,85 30.232.833 -3,23 76,26 -6,81 7,63

2007 427.178 7,75 33.066.042 9,37 77,41 1,50 7,35

2008 436.504 2,18 32.960.165 -0,32 75,50 -2,47 8,20

2009 422.935 -3,11 32.165.572 -2,41 76,10 0,79 7,83

2010 418.259 -1,11 34.216.549 6,38 81,80 7,49 6,47

2011 450.297 7,66 30.323.228 -11,38 67,30 -17,73 7,35

Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 (Diolah)

Produksi gula juga berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan

mulai ada peningkatan, kecuali tahun 1999, 2003 dan 2010. Pada tahun 1999

terjadi penurunan karena adanya penurunan lahan produksi tebu. Penurunan ini

disumbang oleh efek kebijakan pemerintah terkait TRI dan konversi lahan. Pada

tahun 2003 terjadi penurunan produksi tebu sebesar 11,37 persen, sehingga

menurunkan produksi gula sebesar 6,72 persen. Hal ini terjadi akibat masalah

ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumberdaya iklim

yang memegang peranan penting dalam proses produksi tebu, khususnya pada

lahan kering. Pada tahun tersebut, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang

ditanam periode Mei hingga September mengalani cekaman air (water stress)

pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif.

Page 49: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

48

Tabel 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun 1993-2011

Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012

Kekeringan yang terjadi berdampak lebih besar pada penurunan produksi

tebu dibandingkan dengan fase pembentukan gula maupun fase pematangan.

Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi per satuan luas secara

signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen meningkat. Kondisi yang terjadi

sesuai dengan riset FAO (1997), bahwa kehilangan hasil akibat kekeringan (water

stress) secara kuantitatif dapat mencapai 40 persen dari potensi produksinya

apabila terjadi pada fase kritis tanaman.

Pada tahun 2010, yang terjadi adalah penurunan produksi gula yang cukup

besar dari tahun sebelumnya sebesar 15,61 persen dari tahun 2009. Hal ini

dikarenakan dampak anomali iklim, dimana curah hujan yang tinggi di sepanjang

tahun tersebut. Kejadian ini tidak terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara

produsen gula, seperti Thailand. Faktor beyond control ini memang sulit

diantisipasi karena bersifat risiko murni. Penurunan produksi gula dikarenakan

menurunnya rendemen sebesar 1,36 persen dari tahun 2009 atau setara penurunan

produksi gula sebesar 409.580 ton dari tahun sebelumnya

Tahun Produksi Gula Produktivitas Gula

Total (Ton) Pertumbuhan (%)

Total (Ton/Ha) Pertumbuhan (%)

1993 2.482.725 5,90

1994 2.448.833 -1,37 5,71 -3,22

1995 2.096.471 -14,39 4,98 -12,78

1996 2.094.195 -0,11 5,19 4,22

1997 2.189.974 4,57 5,68 9,44

1998 1.491.553 -31,89 3,94 -30,63

1999 1.488.599 -0,20 4,37 10,91

2000 1.690.667 13,57 4,96 13,50

2001 1.725.467 2,06 5,01 1,01

2002 1.749.427 1,39 5,02 0,20

2003 1.631.830 -6,72 4,84 -3,59

2004 2.051.643 25,73 5,95 22,93

2005 2.241.741 9,27 5,87 -1,34

2006 2.307.027 2,91 5,82 -0,85

2007 2.448.142 6,12 5,71 -1,89

2008 2.703.975 10,45 6,19 8,41

2009 2.624.068 -2,96 6,20 0,16

2010 2.214.488 -15,61 5,29 -14,68

2011 2.228.259 0,62 4,95 -6,43

Page 50: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

49

5.2.2 Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula

Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia

dan memiliki peranan yang krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia.

Komoditas ini memiliki peranan penting dalam hal pemenuhan kebutuhan

masyarakat dan industri makanan dan minuman yang berbahan baku dari produk

olahan tebu ini. Kebutuhan gula di Indonesia berbanding lurus dengan angka

jumlah penduduk Indonesia dan industri makanan dan minuman, sehingga penting

bagi Indonesia membangun dan melindungi industri gula secara baik dan benar

agar tidak berdampak kepada stabilitas ekonomi Indonesia akibat gejolak harga

dan ketersedian gula di pasar konsumen akhir atau industri makanan dan

minuman.

Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat konsumsi gula nasional meningkat

dan begitu pula pada nilai impor gula, dengan catatan pada tahun 2008 terdapat

penurunan yang terjadi pada konsumsi dan berdampak juga pada penurunan

impor, akan tetapi hal ini tidak membuat konsumsi dan impor gula menurun peda

tahun-tahun berikutnya. Secara rata-rata konsumsi pada periode 2006 hingga 2010

adalah mencapai 4,59 juta ton per tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan

konsumsi 4,65 persen. Angka di atas adalah respon atas kenaikan pertumbuhan

penduduk Indonesia per tahunnya sebesar 1,34 persen.

Tabel 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010

Tahun Konsumsi Impor

Jumlah

(Juta Ton)

Pertumbuhan

(%)

Jumlah

(Juta Ton)

Pertumbuhan

(%)

Proporsi

Impor (%)

2006 4,30 1,71 39,77

2007 4,70 9,30 2,84 66,08 60,43

2008 4,34 -7,66 2,04 -28,17 47,00

2009 4,54 4,61 2,75 34,80 60,57

2010 5,10 12,33 2,91 5,82 57,06

Rata-rata

per tahun

4,59 4,65 2,45 19,63 52,87

Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)

Importasi gula yang begitu besar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar

2,18 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi nasional. Kemudian,

dilihat pada periode tahun 2006 hingga 2010, proporsi impor gula terhadap

Page 51: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

50

konsumsi gula total tidak lebih dari 60 persen atau lebih rendah keadaanya dari

tahun 1999, dengan rata-rata persentase impor dengan kebutuhan konsumsi

nasional per tahunnya mencapai 52,97 persen. Adapun negara-negara yang

memasok gula ke Indonesia yaitu Thailand, Brazil, dan India. Akan tetapi ini,

fakta harus segera direspon oleh pihak-pihak terkait industri gula nasional karena

berarti lebih dari setengah kebutuhan konsumsi gula nasional bergantung kepada

importasi sehingga apabila terjadi gejolak pasokan dari negara pengimpor tersebut

maka industri gula domestik akan sangat terganggu dan mengancam stabilitas

ekonomi nasional karena gula merupakan salah satu komoditas pokok di

Indonesia.

Untuk mengatur importasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan

yaitu keputusan menperindag No.643/MPP/KEP/2002 tanggal 23 September 2002

yang mengatur jalannya impor gula nasional. Adapun isi keputusan tersebut

adalah hak impor gula pasir hanya diberikan kepada kalangan perusahaan gula

yang dalam proses produksinya menggunakan lebih dari 75 persen bahan baku

dari petani tebu. Tetapi implementasi kebijakan tersebut belum sesuai dengan

harapan akibat ketidakjelasan jumlah persediaan gula nasional. Untuk melindungi

petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga

gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan

oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok

antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan

gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus

penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula.

5.2.3 Harga Gula

Harga gula merupakan indikator faktual yang mencerminkan kinerja pasar

gula yang baik, antara tingkat konsumsi dengan ketersediaan pasokan gula.

Apabila harga gula mengalami gejolak berarti terjadi masalah antara tingkat

konsumsi atau ketersediaan pasokan gula. Harga gula di tingkat retail atau eceran

terus naik tiap tahunnya. Dilihat dari data harga eceran tahun 2008 hingga 2011,

bahwa terjadi kenaikan harga rata-rata yang cukup tinggi pada tahun 2009 yang

mencapai 35 persen, hal ini dikarenakan tidak tercapainya sasaran produksi gula

Page 52: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

51

tahun 2008 akibat berkurangnya areal pengusahaan tebu rakyat menyusul kurang

kondusifnya harga tahun 2008.

Tabel 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011

Bulan Harga (Rp/Kg) 2008 2009 2010 2011

Januari 6.414 6.649 11.304 11.179

Februari 6.424 7.495 11.198 11.094

Maret 6.439 7.896 10.972 10.806

April 6.307 8.076 10.445 10.832

Mei 6.436 8.405 10.242 10.370

Juni 6.514 8.553 9.960 10.383

Juli 6.449 8.468 10.742 10.499

Agustus 6.462 9.026 10.692 10.511

September 6.446 9.991 10.544 10.500

Oktober 6.409 9.840 10.922 10.451

November 6.433 9.677 11.026 10.457

Desember 6.482 10.185 11.150 10.754

Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 10.653

Pertumbuhan rata-rata (%) - 35,0 23,9 -1,1

Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)

Selain itu, faktor agroklimat pada tahun 2009 juga menjadi penyebab

kenaikan gula domestik, mulai dari kelembaban tinggi yang menstimulasi

pembungaan tebu lebih cepat dan berakibat stagnasi pertumbuhan, hujan

berkepanjangan saat awal giling dengan dampak ketidaklancaran angkutan tebu

dari kebun ke pabrik, hingga kemarau esktrim panas setelah Agustus 2009 yang

berimplikasi terhadap penurunan berat tebu.

Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan harga rata-rata gula

domestik sebesar 1,1 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan produksi gula

dunia, peningkatan tingkat rendemen domestik, dan peningkatan luas lahan tebu

nasional. Ketiga hal tersebut terjadi pada buan Februari hingga Mei sehinggapada

medio bulan-bulan tersebut harga gula domestik turun yang membuat rata-rata

harga gula domestik pada tahun 2011 menjadi lebih rendah 1,1 persen

dibandingkan tahun 2010.

Pada Tabel 10, terlihat pada bulan Januari tahun 2011 adalah posisi

tertinggi harga gula domestik yang mencapai harga Rp.11.179. Pada bulan

Januari, harga rata-rata gula di 33 kota pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen

jika dibandingkan dengan Desember 2010. Perubahan rata-rata harga bulanan

Page 53: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

52

adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar

wilayah. Hingga 31 Januari 2011, produksi gula nasional sebesar 55.051,2 ton.

Stok fisik GKP di gudang sebesar 707.209 ton (67% milik pedagang; 27,7 %

milik PG dan 5,3% milik petani). Harga gula dunia terus naik karena permintaan

yang tinggi dari Indonesia, Rusia, Belarusia dan Kazahktan, serta pasokan yang

berkurang dari Australia dan Brasil.

Untuk bulan Mei tahun 2011 adalah bulan dengan harga gula domestik

terendah pada tahun tersebut. Adapun secara rata-rata nasional, fluktuasi harga

gula pada bulan Mei 2011 relatif stabil yang diindikasikan oleh perubahan rata-

rata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Harga gula domestik mengalami

penurunan yang didukung faktor-faktor antara lain: tingkat rendemen tebu lebih

tinggi dari tingkat rendemen tahun lalu,luas areal lahan tebu diperkirakan

meningkat 15.000 hektar menjadi 445.000 ton dan harga tender gula mengalami

penurunan. Harga gula dunia mengalami penurunan dikarenakan produksi gula di

Meksiko naik sebesar 13 persen dibanding periode yang sama tahun kemarin.

5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia

Pemerintah merupakan elemen terpenting dalam pengembangan industri

gula Indonesia. Pada kontribusinya dalam industri gula nasional, pemerintah telah

banyak menerapkan instrumen kebijakan dalam industri tersebut. Kebijakan

industri gula Indonesia sangat luas dimensinya, mulai dari sektor input, produksi,

distribusi, hingga harga gula. Adapun kebijakan pergulaan Indonesia yang

dijelaskan adalah kebijakan pergulaan Indonesia yang ada pada satu setengah

dekade kebelakang yaitu medio tahun 1997 hingga tahun 2011.

Padamedio tahun 1997 hingga 1998, ketika terjadi resesi ekonomi,

perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh International Moneter Fund

(IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF dan

pemerintah Indonesia adalah membebaskan perdagangan pangan termasuk gula

yang selama itu dipegang oleh Bulog. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka

pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan

Keppres No. 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk

komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Inpres No.

Page 54: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

53

5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat,

perusahaan pekebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Hal ini

dilakukan karena pada saat itu kinerja pergulaan nasional mengalami penurunan,

dari segi areal lahan, produktivitas, maupun produksi.

Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998

yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut

ditindaklanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdaganangan No. 25/1/1998 dan

No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar

dan oleh importir umum. Pada setahun Inpres No. 5/1997 itu diterapkan,

kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 5/1998 yang menghentikan

program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani

menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun

1996. Hal ini menurunkan minat petani untuk menanam tebu dan beralih ke

komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti tanaman pangan.

Pada Mei tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.282/Kpts-

IX/1999 mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani sebesar

Rp.2.500/Kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp.456 milyar. Kebijakan

ini mengatur tataniaga gula pasir yang bertujuan untuk menghindari kerugian

petani dan mendorong peningkatan produksi tebu. Pada bulan Juni tahun 1999,

pemerintah mencabut Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998

dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorienrasi pasar.

Selanjutnya pada bulan Agustus di tahun yang sama pemerintah melalui Menteri

Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Peraturan No.

364/MPP/Kep/VIII/1999 mengenai tataniaga impor gula, dimana impor gula

hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai impor produsen (IP)

melalu perijinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban anggaran

melalui impor gula oleh produsen. Dalam waktu empat bulan, kebijakan itu

dicabut kembali melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/12/1999

yang memberlakukan impor gula oleh importir umum. Pada waktu yang

bersamaan, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No.

568/12/1999 yang meberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20 persen untuk

gula tebu dan 25 persen untuk gula bit yang diberlakukan sejak 1 Januari 2000.

Page 55: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

54

Akan tetapi kebijakan ini belum mampu menahan masuknya gula impor,

sehingga kemudian pada tahun 2000 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan

penetapan harga provenue gula pasir dengan Kepmen Kehutanan dan Perkebunan

No. 145/6/2008. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani

tebu dan meningkatkan gairah menanam tebu dan taraf hidup petani serta menjaga

kepentingan konsumen. Kebijakan ini meningkatkan harga provenue gula petani

menjadi sebesar Rp.2.600/Kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp. 859

milyar. Dana tangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara

itu masih terdapat banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui

fasilitas keringanan bea masuk 0 persen yang ditetapkan SK Menkeu No.

301/2000.

Selanjutnya pada tahun tersebut juga pemerintah mengeluarkan Keppres

No. 109 Tahun 2000 tentang Dewan Gula Nasional. Kebijakan yang merupakan

awal terbentuknya Dewan Gula Nasional, yang bertujuan meningkatkan efisiensi

dan produktivitas inudstri gula serta pemberdayaan petani gula memiliki

dayasaing di pasar global. Pemerintah memasukkan unsur petani, perusahaan

gula, lembaga konsumen, penyalur, pekerja, perguruan tinggi, dan pemerintah

dalam pembentukan Dewan Gula Indonesia.

Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan peraturan No.

456/MPP/Kep/VI/2002 yang merupakan kebijakan tataniaga impor gula kasar

(raw sugar) dikarenakan adanya peningkatan impor gula kasar yang melebihi

kebutuhan industri dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur

tataniaga impor gula kasar dalam rangka perlindungan konsumen dari konsumsi

gula kasar. Selain kebijakan tatniaga impor, pada tahun 2002 pemerintah juga

mengeluarkan Peraturan No. 324/KMK.01/2002 yang berisikan perubahan tarif

bea masuk atas impor gula yang merupakan kebijakan tataniaga gula impor yang

meliputi gula kasar, gula kristal putih, dan gula rafinasi. Hal ini dikarenakan

dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula nasional dengan

tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, sehinnga

dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula.

Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.

61/MPP/Kep/II/2004 yang berisikan perdagangan gula antar pulau. Kebijakan ini

Page 56: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

55

dilatarbelakangi oleh momentum dalam menunjang pelaksanaan tata niaga impor

gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan

terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen, perlu mengatur

perdagangan gula antar pulau. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menunjang

pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas

harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan

konsumen. Pada bulan Mei tahun 2004, peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004

diubah degnan menggunakan Peraturan No. 334/MPP/Kep/V/2004. Perubahan ini

dikarenakan untuk encapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar

pulau sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Nomor 61/MPP/Kep/2/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau

dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan

atau pemanfaatannya, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan

sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk

mencapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau dan untuk

lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau

pemanfaatannya.

Selain pemerintah mengatur perdagangan gula antar pulau, pada tahun

2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.57/2004. Peraturan tersebut

merupakan kebijakan yang terkait dengan penetapan gula sebagai barang dalam

pengawasan. Kebijakan ini didasarkan karena gula merupakan komoditas yang

mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan

perekonomian masyarakat Indonesia sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat

pengawasan terhadap Komoditas tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk

mewujudkan program pemerintah untuk menciptakan swasembada gula dan

meningkatkan pendapatan petani tebu.

Pada tahun tersebut terjadi kasus pengadaan gula yang berasal dari impor

secara tidak sah dan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada

pendapatan petani tebu/produsen gula dalam negeri. Sehingga pemerintah harus

mengeluarkan kebijakan terkait penanganan gula impor yang tidak sah. Kebijakan

tersebut adalah Peraturan No.58/2004 yang berisi penanganan gula yang diimpor

secara tidak sah, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada gula dan

Page 57: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

56

meningkatkan pendapatan petani tebu. Selain adanya peraturan mengenai

penanganan gula impor yang tidak sah, pada tahun 2004 pemerintah juga

mengeluarkan Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 yang berisikan ketentuan

impor gula.

Kebijakan ini didasari oleh momentum pemerintah dalam mewujudkan

ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat

Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta

pendapatan petani tebu dan industri gula, sehingga perlu diambil upaya untuk

menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor.

Terjadi perubahan sebanyak dua kali untuk peraturan ini yaitu dengan

dikeluarkannya Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 dan Peraturan No.18/M-

DAG/PER/IV/2007. Pada Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 berisikan perubahan

dari Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004, alasannya adalah dalam rangka

mewujudkan efektivitas kebijakan serta kelancaran pelaksanaan importasi gula,

khususnya berkenaan dengan importasi gula kristal putih (Plantation White

Sugar), dipandang perlu untuk lebih memperhatikan kondisi dan kelaziman yang

berlaku di bidang pergulaan internasional yang menyangkut perhitungan bilangan

ICUMSA atas gula kristal putih (Plantation White Sugar). Untuk itu perlu

dilakukan perubahan bilangan ICUMSA Gula Kristal Putih (Plantation White

Sugar) yang dapat diimpor sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004

tentang Ketentuan Impor Gula.

Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan No.

18/M-DAG/PER/IV/2007 yang mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004

dengan alasan bahwa terjadi perkembangan harga gula Kristal putih di luar negeri

saat ini cenderung menurun. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan

baik petani tebu, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong maupun

masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan

atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

527/MPP/Kep/IX/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yaitu penetapan harga Gula

Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri

Perdagangan.

Page 58: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

57

Kemudian pada tahun 2008, pemerintah kembali mengubah Peraturan No.

527/MPP/Kep/IX/2004 dengan Peraturan No.19/M-DAG/PER/V/2008. Hal ini

dilakukan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan

kenaikan biaya produksi GKP di dalam negeri sehingga harga gula di tingkat

petani sebesar Rp.4.900, sebagaimana tercantum pada Peraturan Mendag

No.18/M-DAG/PER/4/2007 dipandang tidak sesuai lagi. Untuk melakukan

penyesuaian harga di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya efisiensi dan

produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di

dalam negeri. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu,

industri pengguna gula maupun masyarakat selaku konsumen, maka dipandang

perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menperindag No.

572/MRP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula.

Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan N0. 11/M-

IND/PER/1/2010 yang berisi perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian

Nomor 116/M-Ind/Perl10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map)

Pengembangan Klaster Industri Gula. Latar belakang kebijakan ini adalah

pencapaian pengembangan klaster industri gula sebagaimana ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-IND/PER/10/2009, perlu

menyempurnakan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana dimaksud

dalam Peta Panduan yang ditetapkan dengan mengubah Peraturan Menteri

dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai pengembangan klastr industri gula

dalam peta panduan. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengeluarkan

Peraturan No.12/M-IND/1/2010 mengenai tim pelaksana rencana aksi revitalisasi

industri gula dengan dimensi kebijakannya adalah on farm dan off farm.

Hal ini didasari oleh pelaksanaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor.

116/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Klaster Industri Gula yang diubah

dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 11 IM-IND/PERI 1 12010 serta

evaluasi, pengkajian dan perumusan Peta Panduan dimaksud sesuai dengan

ketentuan Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008,

perlu membentuk Tim Pelaksana.

Page 59: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

58

Selain Peraturan No.12/M-IND/1/2010, pemerintah juga mengeluarkan

Peraturan No. 20/M-DAG/PER/5/2010 yang berisikan penetapan harga patokan

petani gula kristal putih. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pertama, dalam

rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula dan

meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula perlu

dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih.

Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan

Impor Gula dan memperhatikan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan

Gula Indonesia Nomor 97/PP.2010/M/3/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal

Usulan Besaran HPP Gula Petani Tahun 2010, perlu menetapkan Harga Patokan

Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Ketiga, dalam

Penetapan HPP perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan

produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di

dalam negeri.

Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan no.19 tahun 2011

yang berisi pengesahan International Sugar Agreement tahun 1992. Peraturan

tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional yang berkaitan

degan pergulaan dunia dan isu-isu yang terkait dengan gula, serta dalam rangka

memajukan industri gula nasional. Kemudian, selain peraturan No.19 tahun 2011

tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait Penetapan Harga

Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) dalam rangka

mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan

meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula,

perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal

Putih (Plantation White Sugar).

Page 60: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

59

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan

6.1.1 Komponen Pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan

Komponen pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan

terbagi atas lima komponen pembanding yang nantinya akan menghasilkan angka

perbandingan antar wilayah yang diteliti. Kelima komponen pembanding tersebut

adalah Luas Lahan, Jumlah Pabrik, Produktivitas Tebu, Produktivitas Hablur,dan

Produksi Hablur. Komponen pembanding ini berpengaruh terhadap dayasaing

industri gula Indonesia yang diwakili oleh komponen pembanding yang dapat

dikatakan indikator kinerja industri gula. Kelima komponen pembanding tersebut

dijelaskan sebagai berikut:

1. Luas Lahan

Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk

ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi

kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang

antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila

tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu,

tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik

yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah

yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5.

Tanaman tebu dapat tumbuh baik dari pantai hingga dataran tinggi, antara

0-1400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m di atas

permukaan laut pertumbuhan tanaman tebu relatif melambat. Kemudian, Suhu

optimal untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar antara 24-300

C, beda

suhu musiman tidak lebih dari 60, dan beda suhu siang dan malam hari tidak lebih

dari 100

C (Direktorat Budidaya Tanaman Semusim, 2006). Adapaun daerah yang

ideal untuk mengusahakan tanaman tebu adala daerah rendah dengan jumlah

curah hujan tanaman 1500-3000 mm dengan penyebaran hujan yang sesuai

dengan pertumbuhan dan kemasakan tebu.

Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat

diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun

Page 61: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

60

perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas

pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya

melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak

terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal

di luar Jawa.

Pada awal tahun 1990-an, petani tebu di pulau Jawa menanam tebu di

lahan sawah akan tetapi adanya Undang-Undang Budidaya tahun 1992 yang

membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan, sehingga

terjadi konversi lahan dari lahan sawah untuk tebu menjadi lahan sawah untuk

tanaman pangan. Dengan adanya kejadian tersebut, membuat pergeseran budidaya

tebu dari lahan sawah ke lahan kering atau tegalan. Selain itu, petani cenderung

menggunakan bibit seadanya dan melakukan keprasan berulang kali. Adanya

konversi lahan tanaman tebu menjadi lahan tanaman pangan, pergeseran lahan

sawah ke lahan kering, kecenderungan petani menggunakan bibit seadanya, dan

petani melakukan keprasan berulang kali adalah faktor yang membuat terjadinya

kecenderungan penurunan Produktivitas tebu tebu pada medio tahun 1994 hingga

tahun 1999. Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di

Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Menurut Dewan

Gula Indonesia (2011), bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga

produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan

pengembangan tebu di Indonesia.

Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan

pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun,

yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih

menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau

60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2

persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia

berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun

2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011.

Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah

untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula.

Page 62: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

61

Tabel 8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia

Tahun 2011 Wilayah Penghasil Gula Luas Lahan (ha)

Sumatera Utara 10.046,7

Sumatera Selatan 15.282,6

Lampung 128.321,5 Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah 62.122,4

Jawa Timur 192.307,6

Sulawesi Selatan 14.039,8 Gorontalo 8.681,7

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel 8 merupakan wilayah penghasil gula dan luas lahan dari tujuh

wilayah yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa

Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

Luas lahan dari tujuh wilayah di bawah ini berdasarkan data tahun 2011. Luas

lahan yang tertinggi dimiliki oleh wilayah Jawa Timur dengan 192.307,6 ha dan

luas lahan terendah dimiliki oleh wilayah Gorontalo dengan 8.681,7 ha.

2. Jumlah Pabrik

Di Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN

yang bergerak pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik

gula BUMN dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih,

sedangkan pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal

rafinasi. Di bawah ini terdapat tabel yang berisi wilayah penghasil gula di

Indonesia dengan jumlah pabrik pada setiap wilayahnya.

Tabel 9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah Penghasil Gula Jumlah (Pabrik)

Sumatera Utara 2

Sumatera Selatan 2

Lampung 6 Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah 15

Jawa Timur 33

Sulawesi Selatan 3

Gorontalo 1 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa,

Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal

putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48

pabrik yang tersebar di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.

Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat lima pabrik gula

Page 63: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

62

yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa

Tengah terdapat delapan pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan satu pabrik

gula yang dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki

pabrik gula dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut

terdapat dua BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN

XI. Untuk PTPN X mengelola sebelas pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola

enam belas pabrik gula. Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga

terdapat PT. Rajawali Nusantara Indonesia I yang mengelola dua pabrik gula, PT.

Kebon Agung yang mengelola dua pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola

satu pabrik gula dan PT. PG Candi mengelola satu pabrik gula. Kemudian untuk

provinsi DI Yogyakarta terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT.

Madukismo.

Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di tiga provinsi yaitu Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat

dua pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan,

terdapat satu pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan satu pabrik gula yang

dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat

pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan

perusahaan swasta. Terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT.

Sugar Group Company mengelola tiga pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis

Indah yang mengelola satu pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang

mengelola satu pabrik gula.

Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi

Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat satu pabrik

gula yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan

terdapat tiga pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat

rencana pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal

pencapaian swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut

dibangun di Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam

kenyataanya, industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang

belum optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi

domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan

Page 64: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

63

proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam

revitalisasi pabrik.

Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia

tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk

pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan

Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat

terdapat empat pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT.

Jawamanis, PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di

Jawa Tengah terdapat dua pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia

Sukses Utama dan PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat

satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi

Selatan terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene.

3. Produktivitas Tebu

Produktivitas tebu untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya

dukung lahan tebu untuk menghasilkan tanaman tebu pada satuan ton per hektar.

Menurut Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas

tebu tidak menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh

produktivitas tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen

per tahun. Hal ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang

mengalami penurunan padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan

tebu.

Tabel 10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011

Tahun Jawa Luar Jawa

Produktivitas Tebu (ton/ha)

Pertumbuhan (%)

Produktivitas Tebu (ton/ha)

Pertumbuhan (%)

2006 80,4 - 78,9 -

2007 82,9 3,11 68,3 -13,43 2008 75,7 -8,69 73,4 7,47

2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09

2010 83,1 12,45 79,4 12,78

2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Terdapat pada Tabel 10 bahwa rata-rata pertumbuhan Produktivitas tebu di

Jawa lebih rendah dibandingkan Produktivitas tebu di luar jawa pada enam tahun

terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69

Page 65: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

64

persen sedangkan di luar Jawa adalah -1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat

masalah pada teknologi intensif yang berbeda antara lahan di Jawa dengan luar

Jawa, dimana teknologi yang ada di luar Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa

dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas

tebu. Selain masalah teknologi intensif juga terdapat masalah kepemilikan lahan

tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan lahan oleh petani terkait

penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman input yang termasuk

penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta kesamaan produksi dan

produktivitas antara petani di wilayah tersebut.

Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara

tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut

dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula

sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan

penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang

dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu

diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas

dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas.

Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani

menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat

menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu

yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu

rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga

produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang

lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman

bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap

bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut

menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang

hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.

4. Produktivitas Hablur

Produktivitas hablur merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk

menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Di bawah ini, terdapat Tabel yang

Page 66: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

65

membuktikan bahwa wilayah penghasil gula di Jawa masih unggul dibandingkan

wilayah penghasil gula dari luar Jawa. Akan tetapi ada persamaan antara dua

wilayah ini untuk lima tahun terakhir yaitu kedua wilayah tersebut mengalami

penurunan produktivitas. Hal yang paling menjadi sorotan adalah penurunan

produktivitas hablur di pulau Jawa yang dimulai dari tahun 2008 yang rata-rata

penurunan per tahun hingga tahun 2011 adalah 4,44 persen. Hal ini cukup

mengkhawatirkan karena apabila tren penurunan ini terjadi terus menerus untuk

beberapa tahun ke depan maka Indonesia akan kehilangan tumpuan wilayah

penghasil gula. Notabenenya bahwa wilayah Jawa masih menjadi pemimpin

dalam memenuhi kebutuhan gula domestik.

Tabel 11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011

Tahun Jawa Luar Jawa

Produktivitas

Hablur (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

Produktivitas

Hablur (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

2007 5,49 - 3,66 -

2008 5,35 -2,74 3,98 8,74 2009 5,05 -5,52 4,35 9,39

2010 4,84 -4,23 3,56 -18,17

2011 4,59 -5,27 2,97 -16,43

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

5. Produksi Hablur

Produksi hablur merupakan hasil dari pengolahan tebu menjadi gula melalui

proses di pabrik gula. Dalam penelitian ini, produksi hablur menjadi salah satu

komponen yang dimasukkan sebagai pembanding wilayah penghasil gula yang

dikatakan berdayasaing. Di bawah ini, berisi Tabel yang menjelaskan bahwa

produksi hablur di Indonesia masih dipimpin oleh wilayah penghasil gula di pulau

Jawa. Akan tetapi, persamaan antara wilayah penghasil gula di pulau Jawa dan di

luar pulau Jawa adalah pada tahun 2009 keduanya mengalami penurunan yang

cukup tajam yaitu turun di angka 13,27 persen untuk produksi hablur wilayah di

pulau Jawa dan 10,51 persen untuk produksi hablur di wilayah luar Jawa.

Page 67: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

66

Tabel 12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011

Tahun Jawa Luar Jawa

Produktivitas

Hablur (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

Produktivitas

Hablur (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

2007 1.582.692,20 - 827.692,70 -

2008 1.628.035,80 2,86 911.466,30 10,12

2009 1.411.983,36 -13,27 815.689,31 -10,51

2010 1.373.037,30 -2,76 752.595,40 -7,74 2011 1.358.751,88 -1,04 752.334,45 -0,03

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

6.1.2 Perbandingan Wilayah Berdayasaing

Perbandingan wilayah berdayasaing dalam analisis kinerja industri gula di

Indonesia ini merupakan hasil dari perbandingan antara tujuh wilayah penghasil

gula di Indonesia melalui lima komponen pembanding. Adapun di bawah ini

adalah Tabel yang berisi rekapitulasi dari perbandingan tujuh wilayah berdasarkan

lima komponen pembanding.

Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Komponen Pembanding Bobot

Rata-

rata

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton)

Sumatera Utara

10.046 2 79,9 4,69 47.122 0,656

Bobot

Rata-rata 0,444 0,500 1,000 0,778 0,556

Sumatera Selatan

15.282,6 2 61,15 3,365 52.232,1 0,567

Bobot

Rata-rata 0,667 0,500 0,556 0,444 0,667

Lampung 128.321,5 6 70,875 5,785 708.396,25 0,822

Bobot Rata-rata

0,667 0,778 0,778 1,000 0,889

Jabar,

Jateng,

Yogya

62.122,4 15 59,45 3,87 235.849,36 0,644

Bobot

Rata-rata 0,667 0,889 0,444 0,444 0,778

Jawa

Timur 192.307,6 33 70,4 5,16 1.122.901,94 0,933

Page 68: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

67

Lanjutan Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula

di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Komponen Pembanding Bobot

Rata-

rata

Luas

Lahan (Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu (Ton/Ha)

Produktivitas

Gula (Ton/Ha)

Produksi

Hablur (Ton)

Jawa

Timur 192.307,6 33 70,4 5,16 1.122.901,94 0,933

Bobot Rata-rata

1,000 1,000 0,778 0,889 1,000

Gorontalo

8.681,7 3 29 1,56 21.938,4

0,489

Bobot

Rata-rata 0,444 0,444 0,667 0,556 0,333

Sulawesi Selatan

154.039,8 1 73,5 4,59 39.817,7 0,556

Bobot

Rata-rata 0,778 0,556 0,444 0,444 0,556

Pada Tabel ini menjelaskan bahwa Jawa Timur dan Lampung menempati

posisi tertinggi dalam penilaian bobot rat-rata terhadap empat wilayah lain. Hal ini

mengindikasikan bahwa Jawa Timur masih menjadi andalan Indonesia dalam

mendorong produksi gula di Indonesia. Munculnya Lampung sebagai kompetitor

Jawa Timur tidak lepas dari kehadiran perusahaan swasta yang menggunakan

teknologi modern pada pabrik gula yang mereka kelola. Kemudian, Sulawesi

Selatan dan Gorontalo yang merupakan wilayah baru dari pengembangan industri

gula Indonesia masih belum dapat bersaing dengan wilayah produsen lainnya di

Indonesia dilihat dari nilai bobot rata-rata yang mereka dapatkan.

Adapun hasil dari perbandingan kinerja wilayah penghasil gula ini akan

dijelaskan per wilayah sehingga dapat dijelaskan secara baik mengenai kinerja

wilayah tersebut. Penjelasan dari perbandingan tiapwilayah dengan region

sumatera, jawa, dan sulawesi berguna untuk melihat posisi wilayah tersebut

terhadap region-region penghasil gula di Indonesia.

1. Sumatera Utara

Sumatera Utara merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang

berada dibawah naungan PTPN II dengan pabrik gula berjumlah 2 pabrik.

Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang

terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Sumatera Utara mengalami pencapainan

Page 69: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

68

tertingginya dalam kurun waktu lima tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang

dihasilkan.

Tabel 14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan

(ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Produktivitas gula

(ton/ha)

Produksi

hablur (ton)

2007 13.350,10 46,40 2,83 37.758

2008 12.366,70 54,40 3,28 40.585 2009 11.559,10 47,30 2,68 31.008

2010 8.360,82 61,60 3,71 31.026

2011 10.046,00 79,90 4,69 47.122 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel 14 menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara mengalami

kenaikan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil

penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sumatera Utara

masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti Lampung, Jawa Timur,

dan gabungan Jawa Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta.

Tabel 15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh Wilayah Penghasil

Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Sumatera Utara

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Selatan 1 2 3 3 1 10 0,667

Lampung 1 1 3 1 1 7 0,467

Jabar,

Jateng,

Yogya 1 1 3 3 3 11 0,733

Jawa Timur 1 1 3 1 1 7 0,467

Gorontalo 3 3 3 3 3 15 1,000

Sulawesi

Selatan 1 1 3 3 1 9 0,600

Bobot Rata-Rata 0,656

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera

Utara mendapatkan nilai bobot sebesar 0,656 terhadap keseluruhan wilayah

penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini berarti Sumatera Utara memiliki daya

Page 70: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

69

saing yang baik terhadap ke enam wilayah penghasil gula di Indonesia. Adapun

komponen yang membuat Sumatera Utara dikatakan berdaya saing baik adalah

pada komponen luas lahan jumlah pabrik, dan produksi hablur. Kemudian,

komponen terlemah yang dimiliki Sumatera Utara ada pada produktivitas tebu,

Sumatera Utara dikatakan kalah untuk komponen tersebut.

2. Sumatera Selatan

Sumatera Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang

memiliki pabrik gula berjumlah 2 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007

hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah

Sumatera Utara mengalami pencapaian tertingginya dalam kurun waktu lima

tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang dihasilkan.

Tabel 16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan

(ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Produktivitas gula

(ton/ha)

Produksi

hablur

(ton)

2007 13.177,60 64,52 4,57 59.963,72

2008 13.168,40 68,63 5,04 66.398,00

2009 11.444,60 63,90 6,50 54.429,46

2010 13.470,60 63,60 3,88 52.259,30 2011 15.282,60 61,15 3,37 52.232,10 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Selatan mengalami fluktuasi

dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian

perbandingan kinerja wilayah di Indonesia pada tahun 2011 bahwa Sumatera

Selatan masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti wilayah

penghasil gula di pulau Sumatera (Lampung dan Sumatera Utara), wilayah

penghasil gula di pulau Jawa (Gabungan Jawa Barata-Jawa Tengah-Yogya dan

Jawa Timur), dan Sulawesi Selatan.

Page 71: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

70

Tabel 17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil

Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Sumatera Selatan

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 3 2 1 1 3 10 0,667

Lampung 3 1 1 1 1 7 0,467

Jabar,

Jateng,

Yogya 1 1 3 1 1 7 0,467

Jawa

Timur 1 1 1 1 1 5 0,333

Gorontalo 3 3 1 1 3 11 0,733

Sulawesi

Selatan 1 1 3 3 3 11 0,733

Bobot Rata-Rata 0,567

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera

Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,567 terhadap keseluruhan wilayah

penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan bahwa Sumatera

Selatan memiliki dayasaing yang baik walau masih belum optimal karena nilai

bobot yang berada di angka 0,560. Keunggulan Sumatera Selatan terhadap

wilayah penghasil gula lain dominan pada komponen luas lahan, dimana

Sumatera Selatan unggul pada tiga wilayah lain.

3. Lampung

Lampung merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada di

pulau Sumatera dengan banyak dikenal masyarakat dari daerah penghasil gula

yang banyak dikuasai oleh perusahaan swasta. Adapun perusahaan yang terkenal

yaitu PT. Sugar Group Companies yang ada di daerah tersebut. Perusahaan swasta

tersebut memiliki tiga pabrik gula yaitu pabrik gula PT Gula Putih Mataram,

pabrik gula PT Sweet Indolampung, dan pabrik gula PT. Indolampung Perkasa.

Adapun pabrik gula yang dimiliki pemerintah adalah pabrik gula Bunga Mayang

yang ada di bawah naungan PTPN VII yang berdomisili di Sumatera Selatan.

Untuk keseluruahan jumlah pabrik gula, Lampung memiliki enam pabrik gula.

Kemudian kinerja wilayah Lampung dalam kinerja industri gulanya pada periode

tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011,

Page 72: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

71

wilayah Lampung mengalami anomali kinerja dimana luas lahan yang ada

mencapai 117.801,5 ha yang merupakan luas lahan yang terbesar dari lima tahun

tapi produksi yang dihasilkan menjadi yang terndah dari lima tahun terakhir. Hal

ini disebabkan cuaca yang terjadi di tahun 2011 yang menyebabkan kualitas tebu

menjadi kurang baik sehingga produksi yang dihasilkan tidak memuaskan.

tertingginya dalam kurun waktu lima tahun

Tabel 18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan

(ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Produktivitas gula

(ton/ha)

Produksi

hablur (ton)

2007 107.945,10 73,88 6,49 709.324,98

2008 111.156,40 78,29 6,98 783.811,30

2009 105.103,90 77,42 7,84 719.114,35

2010 97.063,90 86,46 6,63 648.395,10 2011 117.801,50 67,98 5,36 638.346,25 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel menunjukkan bahwa wilayah Lampung mengalami penurunan

dalam kinerja industri gula di Indonesia. Dalam hasil penelitian perbandingan

kinerja wilayah di Indonesia bahwa Lampung dapat bersaing dengan wilayah lain

dan dapat dikatakan Lampung merupakan penantang terbesar Jawa Timur dalam

wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia. Hal ini perlu didukung karena

dengan berkembangnya wilayah penghasil gula di luar Jawa berarti mengurangi

risiko dampak kegagalan kinerja industri gula di pulau Jawa yang berimbas

kepada pemenuhan kebutuhan gula domestik dan harga gula yang ada di pasar

domestik.

Page 73: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

72

Tabel 19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah Penghasil

Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Lampung

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 3 3 1 3 3 13 0,867

Sumatera

Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867

Jabar,

Jateng,

Yogya 3 1 3 3 3 13 0,867

Jawa

Timur 1 1 3 3 1 9 0,600

Gorontalo 3 3 1 3 3 13 0,867

Sulawesi

Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867

Bobot Rata-Rata 0,822

Dalam keseluruhan komponen dan perbandingan dengan wilayah

penghasil gula lain, Lampung mendapatkan nilai bobot sebesar 0,822 yang berarti

performa komponen dayasaing Lampung pada tahun 2011 adalah sangat baik

terhadap wilayah lain di Indonesia, yang merupakan peringkat kedua dari wilayah

penghasil gula yang memiliki performa yang baik berdasarkan lima komponen

pembanding. Adapun komponen yang dominan unggul dari Lampung terhadap

wilayah lain adalah komponen produktivitas gula.

4. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta merupakan tiga provinsi yang

menjadi penghasil gula di pulau Jawa selain Jawa Timur. Adapun alasan dari tiga

provinsi ini dijadikan menjadi satu wilayah karena ketiga propinsi ini dapat

dikatakan baik untuk diakumulasikan dalam tiap komponen pembandingnya.

Page 74: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

73

Tabel 20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta

Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan (ha)

Produktivitas tebu (ton/ha)

Produktivitas gula (ton/ha)

Produksi hablur

(ton)

2007 67.679,70 72,53 5,04 327.246,70 2008 67.484,80 64,70 4,83 326.535,10

2009 64.195,40 64,80 4,45 274.191,68

2010 61.918,50 76,75 4,57 278.384,10

2011 67.060,20 59,45 3,87 235.849,36 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Yogyakarta mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan

tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta masih dapat bersaing dengan wilayah

lain seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. \

Tabel 21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dengan Seluruh

Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 3 3 1 1 3 11 0,733

Sumatera

Selatan 3 3 1 1 3 11 0,733

Lampung 1 3 1 1 1 7 0,467

Jawa

Timur 1 1 1 1 1 5 0,333

Gorontalo 3 3 1 1 3 11 0,733

Sulawesi

Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867

Bobot Rata-Rata 0,644

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Jawa Barat,

Jawa Tengah, dan Yogyakarta mendapatkan nilai bobot sebesar 0,644 terhadap

keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan

bahwa Jawa barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta memiliki dayasaing yang baik

Page 75: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

74

terhadap wilayah-wilayah lain walau masih perlu perbaikan dari sisi komponen

pembanding terlemah yaitu produktivitas tebu dan produktivitas gula.

5. Jawa Timur

Jawa Timur merupakan wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia yang

memiliki pabrik gula berjumlah 33 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007

hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah

Jawa Timur mengalami pencapaian terendah dalam lima tahun terakhir dalam

produktivitas tebu dan produktivitas gula.

Tabel 22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan (ha)

Produktivitas tebu (ton/ha)

Produktivitas gula (ton/ha)

Produksi hablur (ton)

2007 208.600,20 86,78 5,96 1.255.445,50

2008 211.005,90 77,72 5,87 1.301.500,70

2009 199.448,60 78,32 5,66 1.137.791,68 2010 212.179,60 85,30 5,11 1.094.653,20

2011 211.804,00 72,30 5,30 1.122.902,52 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur mengalami penurunan

dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian

perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Jawa Timur masih menjadi

wilayah paling berdaya saing dengan wilayah lain di Sumatera seperti Sumatera

Utara, Sumatera Barat, dan Lampung.

Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Jawa Timur

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 3 3 1 3 3 13 0,867

Sumatera Selatan 3 3 3 3 3 15 1,000

Page 76: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

75

Lanjutan Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah

Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Jawa Timur

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Lampung 3 3 1 1 3 11 0,733

Jabar,

Jateng,

Yogya 3 3 3 3 3 15 1,000

Gorontalo 3 3 3 3 3 15 1,000

Sulawesi

Selatan 3 3 3 3 3 15 1,000

Bobot Rata-Rata 0,933

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain secara

kesluruhan, Jawa Timur mendapatkan nilai bobot sebesar 0,933 terhadap

keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Jawa

Timur menjadi wilayah yang menempati posisi pertama dalam lima komponen

pembanding. Adapun perbaikan yang harus dilakukan adalah pada komponen

yang belum unggul seperti produktivitas tebu yang masih kalah dari Sumatera

Utara dan Lampung, serta produktivitas gula yang masih kalah dari Lampung

6. Gorontalo

Gorontalo merupakan salath satu wilayah penghasil gula di Indonesia yang

berada wilayah timur Indonesia. Gorontalo dan Sulawasei Selatan merupakan

wilayah pengembangan industri gula di luar Jawa dan Sumatera, adapun wilayah

pengembangan tersebut bermanfaat untuk membagi beban pemenuhan dari

permintaan gula domestik agar tidak tersentralisasi di Jawa dan Sumatera.

Tabel 24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan

(ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Produktivitas gula

(ton/ha)

Produksi

hablur (ton)

2007 7.239,00 77,90 5,36 39.265,00

2008 5.075,00 79,30 5,07 25.736,00 2009 6.468,00 49,40 2,98 19.288,00

2010 5.620,00 81,80 4,88 27.412,00

2011 8.681,70 73,50 4,59 39.817,70 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Page 77: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

76

Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja

yang terjadi dilihat dari kelima komponen pembanding. Pada tahun 2011, wilayah

Gorontalo mengalami pencapaian yang baik dengan mampu menghasilkan

39.817,70 ton dari produksi hablur dan produkvitas hablurnya bernilai 4,59

ton/ha. Tabel 38 menunjukkan bahwa wilayah Gorontalo mengalami fluktuasi

dalam kinerja industri gula di Indonesia pada kurun lima tahun terakhir, akan

tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa

Gorontalo masih belum dapat bersaing dengan keenam wilayah lain.

Tabel 25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di

Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Gorontalo

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 1 1 1 1 1 5 0,333

Sumatera

Selatan 1 1 3 3 1 9 0,600

Lampung 1 1 3 1 1 7 0,467

Jabar,

Jateng,

Yogya 1 1 3 3 1 9 0,600

Jawa

Timur 1 1 1 1 1 5 0,333

Sulawesi

Selatan 3 3 1 1 1 9 0,600

Bobot Rata-Rata 0,489

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Gorontalo

mendapatkan nilai bobot sebesar 0,489 terhadap keseluruhan wilayah penghasil

gula di Indonesia atau mendapatkan bobot terendah dari ketujuh wilayah lain.

Nilai bobot dari Gorontalo menunjukkan bahwa dayasaing Gorontalo berada pada

bobot terendah dalam persaingan industri gula di Indonesia. Hal ini perlu

dicermati karena potensi Gorontalo dapat dioptimalkan agar dapat memperbaiki

posisinya pada industri gula di Indonesia.

Page 78: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

77

7. Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang

berada di pulau Sulawesi bersama dengan wilayah Gorontalo. Kemudian pada

periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat penurunan kinerja yang terjadi. Pada

tahun 2011, wilayah Sulawesi Selatan mengalami penurunan pada komponen

produktivitas tebu, produktivitas gula, dan produksi hablur.

Tabel 26. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011

Tahun Indikator Kinerja

Luas lahan

(ha)

Produktivitas tebu

(ton/ha)

Produktivitas gula

(ton/ha)

Produksi

hablur (ton)

2007 10.289,40 32,80 1,86 19.139,00

2008 12.760,00 49,10 2,78 35.521,00

2009 11.115,00 33,10 4,42 22.857,50 2010 10.237,00 49,40 2,40 24.529,00

2011 14.039,80 29,00 1,56 21.938,40 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Tabel 37 menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Selatan mengalami

penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil

penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sulawesi Selatan

masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain di pulau Jawa dan Sumatera.

Tabel 27. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula

di Indonesia Tahun 2011

Wilayah

Sulawesi Selatan

Luas

Lahan

(Ha)

Jumlah

Pabrik

Produktivitas

Tebu

(Ton/Ha)

Produktivitas

Gula

(Ton/Ha)

Produksi

Hablur

(Ton) Jumlah Bobot

Sumatera

Utara 3 3 1 1 3 11 0,733

Sumatera

Selatan 3 3 1 1 1 9 0,600

Lampung 3 1 1 1 1 7 0,467

Jabar,

Jateng, Yogya 3 1 1 1 1 7 0,467

Jawa

Timur 1 1 1 1 1 5 0,333

Gorontalo 1 1 3 3 3 11 0,733

Bobot Rata-Rata 0,556

Page 79: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

78

Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sulawesi

Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,556 terhadap keseluruhan wilayah

penghasil gula di Indonesia. Adapun nilai bobot yang didapatkan Sulawesi

Selatan untuk perbandingan kepada seluruh wilayah penghasil gula di Indonesia

menunjukkan dayasaing yang baik namun dalam peringkat wilayah penghasil gula

di Indonesia, Sulawesi Selatan menempati posisi kedua dari bawah setelah

Gorontalo. Hal ini harus segera diperbaik agar Sulawesi Selatan dapat menjadi

salah satu tumpuan produsen gula di wilayah timur Indonesia.

6.2 Analisis Komponen Porter’s Diamond System

Pada subbab ini akan dijelaskan terkait dayasaing berdasarkan Porter’s

Diamond System yang menjelaskan secara menyeluruh terkait kondisi yang ada

dalam industri gula di Indonesia dengan sudut pandang Porter’s Diamond System.

Adapun analisis ini dimaksudkan untuk melengkapi dari Analisis Matriks

Perbandingan Berpasangan agar mendapatkan potret industri gula di Indonesia

yang baik dan komprehensif. Serta, dengan Porter’s Diamond System diharapkan

bisa menjadi acuan dalam memberikan masukan kebijakan yang tepat bagi para

pengambil kebijakan.

6.2.1 Kondisi Faktor Sumberdaya

Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap dayasaing industri

gula Indonesia adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu

pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur.

Kelima faktor sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Sumberdaya Alam

a. Syarat, Kondisi, dan Luas Lahan

(1) Syarat dan Kondisi Lahan

Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk

ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi

kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang

antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila

tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu,

tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik

Page 80: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

79

yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah

yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5.

Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat

diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun

perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas

pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya

melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak

terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal

di luar Jawa.

Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di

Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Dari segi syarat

lahan yang baik untuk tebu, maka dapat diterima bahwa dayasaing Sulawesi

Selatan dan Gorontalo berada pada dayasaing yang lemah dan sebalikanya

Lampung dan JawaTimur dapat menjadi yang terbaik pada posisi dayasaing

industri gula di Indonesia dikarenakan karakteristik lahan yang ada di Sumatera

dan Jawa yang baik untuk ditanami tebu.

(2) Luas Lahan

Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan

pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun,

yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih

menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau

60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2

persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia

berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun

2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011.

Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah

untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula. Selain di pulau

Jawa, Komoditas tebu telah diusahakan di daerah Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, NTB, dan Papua. Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa daerah

di luar Jawa yang berpotensi untuk ditanami tebu antara lain Sulawesi Tenggara

dan Papua.

Page 81: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

80

b. Produktivitas Lahan

Produktivitas lahan untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya

dukung lahan tebu untuk menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Menurut

Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas tebu tidak

menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh produktivitas

tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen per tahun. Hal

ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang mengalami penurunan

padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan tebu.

Tabel 28. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2006-2011

Tahun Jawa Luar Jawa

Produktivitas

Tebu (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

Produktivitas

Tebu (ton/ha)

Pertumbuhan

(%)

2006 80,4 - 78,9 -

2007 82,9 3,11 68,3 -13,43

2008 75,7 -8,69 73,4 7,47

2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09

2010 83,1 12,45 79,4 12,78

2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)

Pada Tabel 28 terlihat bahwa terjadi fluktuasi produktivitas tebu pada

medio 2006-2011 di Jawa dan luar Jawa. Terdapat data bahwa rata-rata

pertumbuhan produktivitas lahan di Jawa lebih rendah dibandingkan produktivitas

lahan di luar jawa pada enam tahun terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan

produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69 persen sedangkan di luar Jawa adalah -

1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat masalah pada teknologi intensif yang

berbeda antara lahan di Jawa dengan luar Jawa, dimana teknologi yang ada di luar

Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga

berpengaruh terhadap produktivitas tebu. Selain masalah teknologi intensif juga

terdapat masalah kepemilikan lahan tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan

lahan oleh petani terkait penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman

input yang termasuk penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta

kesamaan produksi dan produktivitas antara petani di wilayah tersebut.

Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara

tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut

Page 82: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

81

dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula

sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan

penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang

dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu

diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas

dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas.

Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani

menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat

menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu

yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu

rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga

produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang

lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman

bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap

bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut

menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang

hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.

2. Sumberdaya Manusia

Usahatani tebu yang merupakan elemen penting dalam dayasasaing

industri gula Indonesi saat ini, sebagian besar masih bertumpu pada tebu rakyat

yang diusahakan oleh para petani sebagai pelaku usaha pemasok bahan baku tebu.

Sehingga upaya-upaya untuk mendorong peningkatan produksi tidak akan terlepas

dari keterlibatan, kemampuan dan kemauan petani untuk tetap mengelola dan

mengembangkan usahatani tebunya secara baik dan berkesinambungan. Adapun

kinerja petani tebu Indonesia sangat dipengaruhi oleh luas kepemilikan dan

potensi lahan, modal kerja, serta kemampuan memasarkan hasil panennya.

Menurut Dewan Gula Indonesia (2010) bahwa jumlah petani tebu rakyat

di seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 994.966 orang, dimana proporsi

penyerapan petani tebu di pulau jawa mencapai 99,28 persen sedangkan luar jawa

hanya mencapai 0,72 persen. Pada tahun 2009, jumlah petani di Jawa mengalami

kenaikan sebesar 5,58 persen sedangkan di luar jawa mengalami penurunan

jumlah sebesar 24,98 persen. Kenaikan jumlah petani di Jawa dan luar Jawa

Page 83: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

82

dipengaruhi luas lahan tebu rakyat, dimana pada tahun 2009 di Jawa mengalami

peningkatan luas areal tebu rakyat sebesar 5,57 persen sedangkan di luar Jawa

mengalami penurunan sebesar 33,29 persen, sehingga penyerapan lahan di dua

wilayah tersebut mengalami kondisi yang berbanding terbalik akibat luas

lahannya. Namun secara keseluruhan, jumlah petani tebu rakyat di Indonesia

mengalami peningkatan pada tahun 2009 yaitu 5,27 persen dibanding tahun 2008

yang akibat penambahan luas areal tebu rayat sebesar 3,29 persen. Kemudian,

terdapat Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) sebagai wadah petani untuk

memperkuat posisi tawarnya dan sebagai wadah untuk mendapatkan informasi

dan bantuan dari pemerintah. KPTR di Indonesia berjumlah 109 koperasi di

seluruh Indonesia. Setiap KPTR di wilayahnya bekerjasama dengan pabrik gula di

wilayah tersebut, setiap pabrik gula mengampu satu hingga lima KPTR di wilayah

tersebut. Adanya KPTR ini bermanfaat untuk mempermudah pemerintah dalam

pengelolaan bantuan kepada petani tebu, untuk kerjasama pabrik gula dengan

petani, dan untuk memperkuat posisi tawar petani dihadapan pabrik gula dan

pemerintah ketika ada masalah.

Tabel 29. Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 2007-2009

Tahun Jawa Luar Jawa Indonesia

Jumlah Petani

(orang)

Pertumbuhan

(%)

Jumlah Petani

(orang)

Pertumbuhan

(%)

Jumlah Petani

(orang)

Pertumbuhan

(%)

2007 933.378 - 7.082 - 940.460 -

2008 935.678 0,25 9.448 33,41 945.125 0,50 2009 987.878 5,58 7.088 -24,98 994.966 5,27

Sumber: Dewan Gula Indonesia (2010)

Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2011) bahwa untuk menghitung

jumlah tenaga kerja yang ada di usahatani tebu dapat dilakukan dengan

menghitungnya dari perkalian luas areal tebu yang ada di suatu wilayah (ha) dan

standar rasio penggunaan tenaga kerja atau petani di areal tebu tesebut

(orang/ha/tahun). Hal ini digunakan untuk memudahkan dalam penghitungan data

jumlah tenaga kerja dalam usahatani tebu, karena walau pendataan dapat

dilakukan melalui kerjasama dengan pabrik gula, dimana pabrik gula mencatat

Page 84: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

83

data petani yang menjadi mitranya dalam pengumpulan hasil panen tapi terdapat

banyak pula petani tebu yang berada di luar kerjasama dengan pabrik gula yang

tidak terdaftar. Sehingga diperlukan metode yang dapat mendata jumlah petani

tersebut. Menurut Direktorat Jendral perkebunan bahwa standar rasio penggunaan

tenaga kerja pada usahatani tebu adalah 1,5 orang/ha/tahun.

Untuk subsektor pengolahan dalam agribisnis gula, sumberdaya manusia

yang berperan di dalamnya adalah para pengelola pabrik gula. Para pengelola

pabrik tersebut antara lain; buruh pabrik, karyawan pabrik, administratur pabrik,

dan jajaran direksi. Mayoritas pabrik gula di Indonesia merupakan padat karya,

dimana tenaga kerja yang ada pada pabrik banyak karena terkait teknologi yang

digunakan yang sudah tua sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja untuk

mengoperasikannya. Kemudian untuk sektor tataniaga, sumberdaya manusia yang

memiliki peranan untuk mendukung pengembangan agribisnis gula yaitu agen

atau grosir, pengecer, dan penyalur atau pengumpul.

3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peranan yang cukup penting

dalam pengembangan suatu industri, termasuk agribisnis gula Indonesia. Adapun

peranan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut ada dalam seluruh subsektor

agribisnis, mulai dari input, budidaya, hingga pasca panen. Untuk agribisnis gula

di Indonesia, terdapat beberapa pihak yang berperan pengembangan sumberdaya

ilmu pengetahuan dan teknologi agribisnis gula yaitu lembaga penelitian, asosiasi

pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan, dan

sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.

a. Lembaga Penelitian

Lembaga penelitian dalam agribisnis Gula di Indonesia ditangani oleh

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). P3GI memiliki

kantor pusat di Pasuruan, Jawa Timur. Tujuan P3GI adalah untuk menunjang

kemajuan usaha-usaha pada agribisnis gula Indonesia melalui kegiatan penelitian

dan pengembangan teknologi Peran P3GI meliputi mengkaji tentang gula mulai

dari bahan baku, proses produksi, dan teknologi budidaya agar jalannya kegiatan

agribinis gula di Indonesia dapat lebih efisien. Adapun pada program P3GI dalam

pengkajian tersebut yaitu melakukan perakitan varietas bibit tebu untuk

Page 85: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

84

menghasilkan bibit tebu yang unggul, sosialisasi dan percepatan teknologi yang

dihasilkan, serta P3GI juga memiliki peranan untuk melakukan ekspor atau impor

varietas tebu unggul guna bahan persilangan dalam peningkatan dan pelebaran

basic genetic varietas tebu dalam negeri.

b. Asosiasi Pengusaha

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) merupakan asosiasi pengusaha gula di

Indonesia, dimana sebagai koordinasi antara PTPN yang merupakan BUMN dan

PT yang dimiliki oleh pihak swasta yang khusus bergerak di industri produksi

gula. Peran dari asosiasi ini adalah untuk mencari, membagi, dan memberikan

informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang khusus untuk produsen gula dan

konsumen. Adapun salah satu program kerjanya adalah mengadakan seminar

terkait masalah dan solusi yang ada di industri gula Indonesia. AGI juga memiliki

perwakilan di Dewan Gula Indonesia yang dapat mempermudah anggotanya

dalam menyalurkan aspirasi atau permasalahan yang dihadapi kepada pemerintah.

c. Asosiasi Petani

Asosiasi Petani Tebu di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu BK-APTRI

yang merupakan koordinasi dari 8 DPP APTRI yang tersebar di beberapa wilayah

produksi gula di Indonesia dan APTR Wilayah Kerja PTPN XI yang merupakan

koordinasi dari APTR unit di Jawa Timur. Adapun fungsi BK-APTRI adalah

sebagai (1) wadah berhimpun seluruh petani tebu, (2) wahana bertemunya aspirasi

dan komunikasi timbal balik antara sesama petani tebu dan organisasi profesi

yang lain, (3) wahana penggerak dan pengarah peran serta petani tebu, dan (4)

wadah pembinaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan petani tebu. Sedangkan

peran APTR PTPN XI yang sudah dilakukan sampai saat ini antara lain

melakukan kontrol masuknya gula impor ilegal, melakukan stabilisasi harga gula

petani, mempelopori jaringan kerjasama dengan investor melalui sistem dana

talangan dengan konsep harga mengambang. Selain itu, APTR PTPN XI juga

melakukan perbaikan bagi hasil tetes dan gula.

d. Dewan Gula Indonesia

Dewan Gula Indonesia (DGI) merupakan lembaga non struktural yang

berada di bawah dan bertanggung jawab pada Presiden. Dalam penerapan tugas

pokoknya tersebut Dewan Gula Indonesia, memiliki visi yaitu menjadi institusi

Page 86: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

85

yang efisien dan efektif dalam rangka mendorong pembangunan industri gula

nasional sebagai sektor agribisnis yang handal, yang berbasis kemitraan antara

perkebunan besar dan petani, sehingga mampu bersaing dengan produk pokok dan

produk sampingan yang berasal dari impor. Kemudian misi dari Dewan Gula

Indonesia antara lain: a) perumusan kebijaksanaan pengembangan industri

pergulaan nasional; b) menyinergikan komponen-komponen dalam industri

pergulaa; dan 3) memberdayakan dan melindungi usaha agribisnis pergulaan

nasional. Namun dalam kenyataanya bahwa Dewan Gula Indonesia belum dapat

maksimal karena kinerja Dewan Gula Indonesia saat ini hanya sebatas

pengumpulan data terkait pergulaan Indonesia dan penetapan Biaya Pokok

Produksi yang akan dibawa sebagai pijakan dalam penetapan harga jual gula di

pasar.

e. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan yang berperan dalam industri gula Indonesia yaitu

Lembaga Penelitian Perkebunan (LPP), perguruan tinggi, dan lembaga lain.

Lembaga pendidikan dapat berperan dalam menghasilkan informasi dan sumber

wawasan terbaru dan ilmiah yang berkaitan erat dengan agribisnis gula. Hal ini

akan mendorong pengembangan agribisnis gula Indonesia pada segi budidaya,

pengolahan, hingga sumberdaya manusia yang ada dalam agribisnis gula tersebut.

4. Sumberdaya Modal

Permodalan merupakan faktor kunci dalam hal pengembangan Industri

gula Indonesia, baik dari segi budidaya hingga pabrik gula. Kebutuhan modal

yang besar dan berkesinambungan merupakan hal yang penting untuk mendorong

perkembangan industri gula. Kebutuhan permodalan yang cukup besar dan

periode waktu panen yang cukup lama menjadikan petani mengandalkan modal

pinjaman seperti dari kredit. Sedangkan bagi pabrik gula yang mengolah tebu

sendiri, permodalannya merupakan satu kesatuan dengan manajemen pabrik.

Pengembangan modal dalam industri gula Indonesia penting dalam hal

peningkatan kinerja dari tiap pihak yang ada dalam industri tersebut. Adapun

pengembangan modal yang telah dilakukan yaitu bantuan sosial, bantuan modal

berupa subsidi bunga kredit, perluasan lahan dan juga pembukaan pabrik gula

baru di luar Jawa. Adapun pendirian pabrik baru tersebut dilakukan di beberapa

Page 87: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

86

daerah, seperti Aceh, Jambi, Maluku, Kalimantan Barat, dan Merauke. Untuk

pembangunan pabrik gula di Aceh diestimasikan akan membutuhkan areal seluas

120 ha untuk lahan tanaman tebu pabriknya, sedangkan untuk di Merauke

membutuhkan lahan seluas 200 ha untuk tanaman tebu, kedua daerah tersebut

akan diproyeksikan untuk menanam plant cane atau tanaman baru.

Pengembangan industri gula di Merauke ini masuk dalam perencanaan

pengembangan kawasan timur yang dipimpin oleh Unit Percepatan Pembangunan

Papua dan Papua Barat (UP4B). Untuk daerah pengembangan industri gula di

Kalimantan Barat, daerah tersebut hanya diproyeksikan untuk areal penanaman

tebu tanpa ada pembangunan pabrik gula karena hasil dari areal penanaman

tersebut digunakan untuk bahan baku gula merah.

Untuk bantuan sosial, pemerintah telah menjalankan beberapa program

yang antara lain adalah Kebun Bibit Datar (KBD), perluasan lahan atau

ekstensifikasi, dan demplot kebun bibit unggul. Kebun Bibit Datar (KBD) adalah

bantuan pemerintah berupa kebun bibit untuk petani yang nantinya digunakan

sebagai kebun tebu giling yang hasil panennya masuk ke pabrik. Untuk 1 ha hasil

kebun bibit datar ini akan digunakan bagi 7-8 ha kebun tebu giling di Jawa,

sedangan di luar Jawa bahwa 1 ha hasil kebun bibit datar akan menghasilkan 5 ha

kebun bibit tebu giling. Adapun total dana, luas areal KBD, dan daerah sasaran

program ini meningkat pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2010, KBD ini

diberikan untuk dua propinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan

total dana mencapai Rp.6,6 miliar untuk luas areal 50 ha. Pada tahun 2011, KBD

dilakukan pada luas areal lahan 750 ha pada 11 propinsi, meliputi Aceh, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adapun

jumlah dana untuk program KBD pada tahun 2011 adalah sebesar Rp. 24,2 triliun.

Untuk perluasan lahan atau ekstensifikasi adalah program pemerintah

berupa bantuan pendanaan bagi petani yang melakukan penanaman plant cane

atau tanaman baru di areal usahataninya. Terdapat masalah produktivitas pada

petani adalah petani kerap melakukan penanaman hingga musim tanam lebih dari

5 atau tanaman tebu dipanen sebanyak lebih dari 5 kali. Padahal menurut arahan

dari Subdirektorat Budidaya dari Direktorat Jendral Perkebunan adalah untuk

Page 88: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

87

mencapai optimalisasi rendemen maka petani melakukan maksimal 5 kali panen

dalam setiap tanaman tebu karena apabila lebih dari 5 kali maka rendemen

tersebut akan menurun dan berakibat pada penurunan produktivitas hablur untuk

pabrik dan pendapatan yang petani itu sendiri. Sehingga pemerintah berusaha

untuk menarik minat petani agar mau mengikuti arahan dari Subdirektorat

Budidaya Tanaman Semusim dengan cara memberi insentif bagi petani yang

menanam Plant Cane atau tanaman baru agar tercipta keseragaman musim panen

dan mencapai optimalisasi hasil rendemen tebu itu sendiri.

Mekanisme program ini adalah Direktorat Jendral Perkebunan

mengalirkan dana dan pemetaan daerah sasaran pogram kemudia dimandatkan ke

pemerintah daerah sasaran melalui dinas perkebunan daerah sasaran. Wewenang

dari pemerintah daerah melalui dinas perkebunan daerah sasaran adalah

mengawasi program tersebut agar tepat sebagaimana tujuan program tersebut.

Kemudian, dinas perkebunan memandatkan kepada pemerintah kabupaten untuk

melakukan proses seleksi terhadap kelompok tani yang dianggap mampu

menjalankan program ini dengan baik. Apabila sudah ada nama-nama calon

terpilih kelompok tani dan lahan yang menjadi sasaran program maka akan

dikeluarkan SK dari dinas propinsi terkait pencairan dana program perluasan

lahan tersebut bagi para calon terpilih. Setelah itu, kelompok tani terpilih

diwajibkan untuk memiliki rekening sebagai wadah transfer dana bantuan

program. Proses pencairan dilakukan melalui aturan penandatanganan dari tiga

pihak yang merupakan tim teknis program tersebut. Tiga pihak tersebut adalah

pemerintah kabupaten, ketua kelompok tani terpilih, dan ketua KPTR setempat.

Setelah itu maka akan dilakukan pengawasan berkala dari dinas perkebunan

terhadap jalannya program di tingkat kelompok tani.

Program perluasan areal tebu ini mengalami peningkatan dari segi jumlah

areal, propinsi sasaran, dan total dana dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010,

program perluasan areal tebu ini mencapai 723 ha dengan total dana adalah Rp.

12,2 miliar terdapat 6 propinsi yang menjadi sasaran program yaitu Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan

Gorontalo. Pada tahun 2011, luas areal tebu yang meningkat hampir 3 kali lipat

dari tahun sebelumnya. Luas areal tebu yang mencapai 2043 ha dengan total dana

Page 89: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

88

Rp.36,5 miliar Propinsi yang menjadi sasaran program pada tahun 2011 yaitu 11

propinsi, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,

Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa

Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Program demplot kebun bibit unggul adalah salah satu program unggulan

pemerintah dalam peningkatan kinerja usahatani tebu di Indonesia, yang

merupakan bantuan sosial pemerintah terhadap petani. Program ini berbentuk

penbangunan demplot kebun bibit unggul tebu di tingkat petani agar dalam

kegiatan usahataninya, petani dapat menggunakan bibit yang berkualitas unggul

dan diharapkan seragam varietasnya. Program ini mengalami peningkatan dari sisi

luas lahan, dana, dan propinsi sasaran dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010,

program demplot kebun bibit unggul ini hanya mencapai 2 ha dengan jumlah dana

sekitar Rp.34,2 miliar pada satu propinsi yaitu Gorontalo. Kemudian pada tahun

2011, terdapat peningkatan sekitar 100 kali yaitu pada luas areal mencapai 203 ha

dengan total dana Rp.6,9 miliar pada enam propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan

Sulawesi Selatan.

Selain bantuan sosial, pengembangan agribisnis gula di Indonesia juga

terdapat subsidi modal. Subsidi modal untuk petani tebu di Indonesia ini termasuk

pada program KKP-E atau Kredit Ketahanan Pangan-Energi. Tebu termasuk

dalam komoditas yang menyangga ketahanana pangan Indonesia. Adapun

program KKP-E ini dikelola oleh pemerintah dan bank pelaksana. KKP-E ini

merupakan subsidi pemerintah terhadap bunga pinjaman yang dilakukan petani

sehingga beban bunga petani menjadi lebih ringan. Subsidi pemerintah terhadap

beban bunga petani adalah 5 persen dengan bunga komersial bank sebesar 12

persen, sehingga beban bunga yang ditanggung oleh petani adalah sebesar 7

persen. Mekanisme program KKP-E ini adalah kelompok tani mengajukan

permohonan subsidi modal kepada Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) di

wilayahnya. Kemudian KPTR mengajukan permohonan tersebut ke pabrik gula

yang nanti akan memfasilitasi permohonan tersebut ke bank pelaksana. Adapun

bank pelaksana yang ditunjuk pemerintah berjumlah 21 bank, dimana terdapat 10

bank umum dan 11 bank daerah. Adapun 10 bank umum tersebut antara lain bank

Page 90: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

89

mandiri, bank BRI, bank BNI, bank Bukopin, bank BCA, bank agro niaga, bank

BII, bank CIMB Niaga, bank danamon, dan bank Artha Graha. Kemudian, untuk

11 bank daerah tersebut adalah bank daerah yang bertempat pada daerah sasaran

program KKP-E untuk tanaman tebu yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera

Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Untuk tahun 2011,

realisasi program KKP-E untuk tanaman tebu mencapai Rp.931.849.200. Adapun

plafon KKP-E untuk tanaman tebu hanya Rp.299 miliar berarti penyerapan dana

tersebut malah lebih 3 kali lipat dari plafon yang diberikan atau sebesar 311,28

persen.

Pemerintah dengan program-program tersebut adalah cerminan bahwa

pemerintah ingin mengejar visi swasembada gula tahun 2013. Program bantuan

sosial seperti KBD, perluasa lahan, dan demplot kebun bibit unggul adalah

termasuk dalam program akselarasi peningkatan produksi tebu yang sudah

dicanangkan sejak tahun 2002, serta KKP-E yang merupakan implementasi

pemerintah dalam menyelesaikan masalah permodalan di tingkat petani tebu.

Dengan tren peningkatan program tersebut dari segi jumlah dana dan areal lahan,

juga mencerminkan bahwa animo petani untuk tetap menanam tebu dan tidak

terpengaruh untuk melakukan peralihan tanaman seperti yang banyak

diwacanakan tentang konversi lahan tebu menjadi tanaman yang lebih bernilai

dari segi ekonomi.

5. Sumberdaya Infrastruktur

Sumberdaya infrastrutur merupakan sumberdaya yang juga penting dalam

mendukung pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Sumberdaya infrastruktur

tersebut antara lain irigasi, transportasi seperti jalan raya, pasar, dan alat

telekomunikasi serta informasi. Tidak semua infrastruktur yang ada tersebut dapat

digunakan dengan baik, sebagai contoh irigasi untuk lahan sawah di daerah Jawa

sudah menurun kualitasnya kerana kerusakan alam. Industri gula di Jawa secara

umum memiliki infrastruktur yang cukup mendukung. Namun, irigasi dan sarana

jalan/transportasi untuk mengangkut tebu yang di beberapa tempat belum

memadai. Sebagai contoh, infrastruktur industri gula Kebon Agung di Jawa Timur

sudah cukup memadai, baik itu jalan maupun sarana komunikasi.

Page 91: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

90

Kasus lain di PG Jati Barang, Jawa Tengah, sarana jalan untuk

mengangkut tebu di beberapa lokasi kurang memadai. Akibatnya, untuk beberapa

lokasi tersebut ongkos angkut tebu sebagai salah satu komponen biaya utama

menjadi lebih mahal. Infrastruktur industri gula di luar Jawa seperti di Lampung

sudah memadai, khususnya yang dikelola oleh swasta. Sebagai contoh, jalan

kebun sangat memadai sehingga berbagai aktivitas usaha sejak dari tanam sampai

panen berjalan efisien. Infrastruktur PG di Lampung yang dikelola swasta

merupakan salah satu penyebab tingginya efisiensi industri gula tersebut (Dirjen

Perkebunan, 2006).

6.2.2 Kondisi Permintaan

Kondisi permintaan merupakan faktor yang termasuk penting dalam

peningkatan dayasaing agribisnis gula di Indonesia. Kondisi permintaan akan

dijelaskan melalui tiga sub faktor yaitu komposisi permintaan domestik, jumlah

permintaan dan pola pertumbuhan, dan internasionalisasi permintaan domestik.

1. Komposisi Permintaan Domestik

Permintaan gula yang dilihat saat ini sangat berpengaruh erat dengan

posisi gula sebagai salah satu bahan pokok dan bahan baku industri makanan serta

minuman. Gula merupakan salah satu dari lima bahan pokok yang hingga saat ini

masih diimpor, selain beras, jagung, daging, dan kedelai. Sehingga angka

permintaannya mengikuti laju penduduk. Kemudian, adanya pertumbuhan industri

makanan dan minuman yang positif menimbulkan permintaan gula juga

meningkat. Adapun komposisi permintaan gula di Indonesia perlu ditelaah karena

dengan komposisi permintaan, khususnya domestik, maka Indonesia dapat

melihat kondisi industri gula dari sisi permintaan yang lebih holistik. Sehingga

kebijakan pergulaan dapat berjalan tepat dan tidak merugikan segala pihak.

Komposisi permintaan gula dicerminkan oleh konsumsi gula yang

dibedakan dalam dua pengertian, yaitu konsumsi menurut ketersediaan atau

jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi dan konsumsi langsung oleh rumah

tangga. Konsumsi ketersediaan bersifat agregat, sedangkan konsumsi langsung

adalah jumlah yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Menurut Hafsah

(2002) bahwa konsumsi berdasarkan ketersediaan, meliputi 4 macam penggunaan,

Page 92: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

91

yaitu: pemakaian untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, pemakaian oleh

industri dan pembuat makanan atau minuman, persediaan untuk perdagangan, dan

persediaan tambahan untuk tujuan spekulasi, terutama bila keadaan harga tidak

stabil dan cenderung meningkat.

Menurut Dewan Gula Indonesia (2011) bahwa pemetaan konsumsi gula

nasional dibagi terkait dengan jenis gula, yaitu konsumsi gula rafinasi dan

konsumsi gula kristal putih. Untuk pemetaan konsumsi gula rafinasi

diperuntuhkan bagi industri makanan dan minuman, seperti konsumsi industri

kecil, konsumsi industri menengah, dan konsumsi industri besar. Sedangkan untuk

pemetaan konsumsi gula kristal putih diperuntuhkan bagi konsumsi langsung,

seperti konsumsi rumah tangga, konsumsi khusus (rapat,warung rumah makan

dll), dan konsumsi industri rumah tangga. Pemetaan ini penting dilakukan guna

memperkirakan kebutuhan gula Indonesia agar tidak terjadi ekses supply atau

ekses demand. Pemetaan ini dilakukan sebagai metode perencanaan yang menjadi

pijakan bagi pemerintah untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan gula

nasional, mulai dari produksi hingga kebijakan impor gula.

Adapun pemetaan tersebut memiliki patron baku yaitu data survei dari

lembaga-lembaga yang memiliki kredilbilitas. Data survei tersebut dari sucofindo

pada tahun 2007 untuk data kebutuhan konsumsi industri kecil, kebutuhan

konsumsi gula khusus (seperti rapat, warung, rumah makan dll), dan kebutuhan

industri rumah tangga. Adapun angka baku dari survei sucofindo tersebut yaitu

27.565 ton/bulan untuk kebutuhan konsumsi industri kecil dengan kenaikan 5

persen per tahunnya, 2,14 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi khusus, dan

1,16 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Kemudian, data dari

susenas tahun 2010 untuk data kebutuhan konsumsi rumah tangga yaitu 7,67

kg/kap/tahun. Serta data dari surveyor Indonesia tahun 2009 untuk data kebutuhan

industri menengah dan besar yaitu 144.107 ton/bulan dengan kenaikan 5 persen

per tahunnya.

2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan

Peningkatan permintaan merupakan cerminan yang krusial dalam melihat

masa depan pergulaan dipandang dari sudut pandang konsumsi. Peningkatan

permintaan akan gula berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan

Page 93: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

92

kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan industri makanan dan

minuman. Semakin meningkat jumlah penduduk, kesejahteraan, pertumbuhan

ekonomi dan industri makanan dan minuman maka permintaan akan gula juga

akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pasar untuk gula di Indonesia akan

semakin besar.

Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia (2011), impor gula, konsumsi

gula, dan jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 1993-

2011 seperti pada Lampiran 2. Secara normal, konsumsi gula Indonesia akan

mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,

peningkatan pendapatan, dan peningkatan industri berbahan baku gula. Pada

tahun 2010, angka konsumsi gula nasional mencapai 5,1 juta ton. Angka ini

termasuk dengan konsumsi langsung dan konsumsi industri. Pada tahun 2010,

untuk memenuhi angka tersebut pemerintah harus melakukan impor sebesar 2,91

juta ton. Kemudian pada tahun 2011, angka konsumsi tersebut naik 11 persen

menjadi 5,75 juta ton. Adapun konsumsi langsung yang tercatat pada tahun 2011

yaitu 2.768.831 ton dan konsumsi industri sebesar 2.985.540 ton.

Konsumsi industri yang dicerminkan dari konsumsi gula rafinasi. Adapun

data pada konsumsi gula rafinasi tahun 2009 bahwa industri yang menjadi

konsumen gula rafinasi digambarkan dalam Gambar 4. Konsumen utama dari gula

rafinasi adalah industri makanan dengan jumlah konsumsi mencapai 35% dari

total produksi gula rafinasi dalam negeri, sedangkan industri minuman menyerap

gula rafinasi sebesar 29%.

Gambar 4. Konsumsi Gula Rafinasi Tahun 2009

Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)

Page 94: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

93

Kebijakan pemerintah sejak tahun 2002 hingga September 2008 adalah

memperbolehkan industri makanan dan minuman untuk mengimpor sendiri gula

rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula rafinasi dalam

negeri dan terus menurunnya harga dunia gula rafinasi yang ternyata berimbas

kepada petani gula, maka kemudian di bulan September 2008 pemerintah

membatasi impor gula rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan

minuman sehingga industri-industri tersebut diarahkan untuk melakukan

pembelian gula rafinasi dari produksi pabrik gula rafinasi dalam negeri. Saat itu

pemerintah membatasi impor gula rafinasi hanya diperbolehkan 500,000 ton10

saja. Di tahun 2008 pun jumlah realisasi impor gula rafinasi menurun menjadi

sekitar 100,000 ton.

3. Internasionalisasi Permintaan Domestik

Indonesia saat ini belum dapat menyediakan sepenuhnya permintaan gula

domestik. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi

permintaan yang ada. Setelah tahun 1984, Indonesia tidak lagi dapat

mempertahankan swasembada gula yang telah dicapai pada tahun tersebut.

Sampai saat ini, Indonesia masih terus melakukan impor gula meskipun

jumlahnya mulai menurun seiring dengan peningkatan produksi gula. Karena itu

Indonesia belum dapat berperan sebagai negara pengekspor di pasar gula dunia.

6.2.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung

Faktor industri terkait dan industri pendukung merupakan faktor penting

dalam hal menganalisis daysaing suatu industri, khusnya industri gula Indonesia.

Adanya industri terkait seperti industri hulu yang memasok input untuk industri

utama dengan harga yang lebih murah dan mutu yang berkualitas merupakan

faktor penting dalam peningkatan dayasaing suatu industri. Sama halnya juga

dengan industri pendukung yang mampu memberikan nilai tambah yang lebih

baik bagi industri utama maka semakin meningkatkan industri dari suatu

komoditas, seperti gula.

Page 95: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

94

1. Industri Terkait

a. Industri Pemasok Bahan Baku

Industri pemasok bahan baku yang baik mempengaruhi industri utama

secara positif, adapun industri pemasok bahan baku dalam konteks industri gula

Indonesia meliputi industri saran produksi (pembibitan dan pupuk) dan alat serta

mesin pertanian. Khusus untuk industri pembibitan memiliki peranan yang cukup

penting karena kualitas gula yang baik adalah hasil dari pembibitan tebu yang

berkualitas dalam proses usahataninya. Adapun penyediaan bibit dilakukan secara

khusus oleh pabrik gula yang menggunakan varietas dari P3GI. Usaha pembibitan

kebun bidang datar atau KBD dilakukan oleh perusahaan besar, seperti PTPN,

perusahaan swasta, ataupun P3GI yang terletak di pasuruan. Khusus untuk

pembibitan yang dilakukan oleh PTPN yaitu digunakan untuk memenuhi

kebutuhan bibit dari lahan tebu PTPN dan lahan tebu rakyat. Akan tetapi di pulau

jawa, usaha pembibitan oleh PTPN lebih diperuntuhkan untuk usahatani tebu

rakyat.

b. Industri Pengolahan

Industri pengolahan memiliki peranan yang sangat penting dalam

dayasaing sebuah komoditas karena dengan adanya industri pengolahan maka

akan ada penambahan nilai dari suatu komoditas menjadi produk. Pada konteks

industri gula di Indonesia, industri pengolahan ini adalah pabrik gula. Di

Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN yang bergerak

pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik gula BUMN

dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih, sedangkan

pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal rafinasi.

Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa,

Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal

putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48

pabrik yang tersebar di 4 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.

Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat 5 pabrik gula

yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa

Tengah terdapat 8 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan 1 pabrik gula yang

dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki pabrik gula

Page 96: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

95

dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut terdapat dua

BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN XI. Untuk

PTPN X mengelola 11 pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola 16 pabrik gula.

Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga terdapat PT. Rajawali

Nusantara Indonesia I yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Kebon Agung yang

mengelola 2 pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola 1 pabrik gula dan PT.

PG Candi mengelola 1 pabrik gula. Kemudian untuk provinsi DI Yogyakarta

terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Madukismo.

Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di 3 provinsi yaitu Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat

2 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan,

terdapat 1 pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan 1 pabrik gula yang

dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat

pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan

perusahaan swasta. Terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT.

Sugar Group Company mengelola 3 pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis Indah

yang mengelola 1 pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang mengelola

1 pabrik gula.

Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi

Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat 1 pabrik gula

yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan

terdapat 3 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat rencana

pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal pencapaian

swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut dibangun di

Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam kenyataanya,

industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang belum

optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi

domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan

proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam

revitalisasi pabrik.

Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia

tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk

Page 97: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

96

pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan

Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat

terdapat 4 pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT. Jawamanis,

PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di Jawa Tengah

terdapat 2 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia Sukses Utama dan

PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat 1 pabrik gula yang

dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi Selatan terdapat 1

pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene.

Adapun beberapa masalah yang ada pada industri pengolahan gula kristal

rafinasi adalah pembatasan impor gula rafinasi ini mendapat tentangan dari

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi)

selaku pengguna utama gula rafinasi. Hal ini dikarenakan mutu dari gula rafinasi

dalam negeri yang masih dipertanyakan sementara bagi industri makanan,

minuman dan farmasi memerlukan kualitas dan standar khusus sehingga tidak

bisa sembarangan menggunakan gula rafinasi. Permasalahan lainnya yaitu

muncul saat gula rafinasi membanjiri pasar ritel/rumah tangga karena harganya

yang lebih murah. Hal ini berkaitan erat dengan jalur distribusi dari pabrik gula

rafinasi.

Secara umum tingkat efisiensi pabrik gula (overall recovery, OR) ≤ 80

persen, sedangkan standar internasional mensyaratkan pencapaian OR ≥ 85

persen. Hal ini merupakan akibat dari terlambatnya program rehabilitasi dan

perawatan (maintenance) pabrik. Secara teknis, rendahnya OR tersebut karena

kondisi peralatan yang sudah kurang memadai dan rendahnya mutu bahan baku

tebu. Hal tersebut merupakan penyebab kehilangan gula di dalam proses produksi

tinggi, sehingga pencapaian rendemennya rendah dan menyebabkan biaya

produksi tinggi. Sedangkan dari aspek manajemen, belum tercipta budaya

korporasi dari bagian-bagian utama di dalam pabrik (tanaman, instalasi, proses,

dan keuangan) di sebagian besar PG di Indonesia. Akibatnya, masing-masing

bagian lebih mementingkan pencapaian target atau sasaran program bagiannya

daripada program pabrik dan perusahaan (Dirjen Perkebunan 2006).

Pada umumnya PG di Indonesia mengolah tebu untuk menghasilkan gula

pasir sebagai produk tunggal (Single Product Industry). Padahal tebu juga dapat

Page 98: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

97

digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan tebu. Berkaitan dengan

produk turunan tebu, PG di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintisnya,

namun pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai

jenis produk turunan tebu berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada

4 pabrik alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula.Pada saat ini sudah ada

sekitar 45 buah pabrik produk turunan tebu dengan 14 jenis produk turunan tebu.

Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula.

c. Industri Jasa Tataniaga

Industri tataniaga adalah industri yang tidak kalah penting dengan industri

pengolah dan bahan baku karena dengan peran industri ini maka kinerja dari

industri bahan baku dan pengolahan dapat melihat hasil yang mereka dapatkan

secara riil yaitu dengan harga yang mereka terima. Industri ini melibatkan banyak

pihak yaitu petani, pengumpul/tengkulak/bakul/mediator, pedagang besar/grosir/

agen, pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga

maupun konsumen industri makan dan minuman. Adapun dalam industri

tataniaga ini terdapat dua mekanisme tataniaga gula, yaitu mekanisme lelang dan

mekanisme jual bebas.

(1) Mekanisme Lelang

Sistem lelang terutama bisa dilakukan untuk menjual gula milik pabrik

gula (PG). Namun, PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Lelang

biasanya dilakukan oleh pihak direksi melalui divisi tataniaga/pemasaran seperti

di Jakarta untuk PT RNI (wilayah Jawa Barat), di Solo untuk PTPN IX (Wilayah

Jawa Tengah), di Malang/Surabaya untuk PTPN XI (Wilayah Jawa Timur) dan

Makasar untuk PTPN XIV.

Dalam sistem lelang terdapat dua saluran distribusi yaitu: (1)Gula

PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Pengecer/Retail→ Konsumen Akhir,

(2)Gula PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Konsumen Akhir.

(2) Mekanisme Jual Bebas

Selain dengan melalui sistem lelang, penjualan gula milik petani sebagian

besar dilakukan dengan sistem jual bebas. Mekanisme ini berlaku sejak tahun

1998 yaitu setelah tataniaga gula diserahkan ke pasar bebas. Hal ini berbeda jauh

dengan tahun-tahun sebelumya yang dilakukan oleh BULOG. Pada mekanisme

Page 99: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

98

jual bebas, terdapat beberapa saluran pemasaran yang umumnya dilakukan oleh

petani seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Dari kelima saluran tersebut, umumnya petani lebih menyukai saluran

kelima, saluran kedua/ketiga, saluran pertama dan keempat. Artinya petani lebih

suka menjual langsung ke pengecer atau retail. Hal ini disebabkan harga yang

diterima akan lebih tinggi. Namun, saluran kelima tersebut jarang dilakukan

karena volume gula yang dijual maksimal 5 kuintal. Selain itu apabila petani

langsung menjual ke pengecer, biaya tataniaga seperti transportasi, bongkar muat

menjadi kewajiban petani. Namun, petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani

Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), melakukan kerjasama dengan investor untuk

menjamin harga gula yang dimilikinya.

Gambar 3. Saluran Tataniaga Gula Milik Petani

Sumber: Dirjen Bina Perkebunan (2002)

Adapun industri tataniaga gula ini dapat dijelaskan pula menurut jalur

distribusi berdasarkan jenis gula kristal, yaitu jalur distribusi untuk gula kristal

putih dan jalur distribusi gula kristal rafinasi. Berikut ini adalah jalur distribusi

gula kristal putih:

Page 100: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

99

1. Produsen/Importir – Distributor – Sub distributor – Grosir – Retail Jalur

ini merupakan jalur terpanjang dari rantai distribusi di industri gula

Indonesia. Jalur ini bisa ditemui di daerah yang memang sangat jauh dari

jangkauan pedagang utama gula, mereka akhirnya menggunakan jalur

tradisional yang melibatkan lebih banyak pedagang dengan skala distribusi

yang semakin kecil. Distributor utama sebagian besar keberadaanya dekat

dengan produsen/gudang dimana gula diproduksi/diimpor.

Khusus untuk gula petani yang dilelang, distributor (pemenang lelang)

seperti hanya menjadi kepanjangan tangan saja untuk memindahkan gula

yang dimenangkan melalui lelang. Gula hasil lelang dijual saat itu juga

kepada sub distributor yang langsung mengambilnya. Margin keuntungan

penjualan, hanyalah selisih harga lelang dengan harga tebus oleh sub

distributor. Akitivitas distributor lebih terfokus pada upaya memenangkan

lelang saja. Dari distributor ini maka kemudian gula mulai tersebar melalui

sub distributor yang keberadaannya hampir ada di setiap kabupaten.

Setelah itu gula kemudian dijual ke grosir dan akhirnya ke retailer.

2. Produsen/Importir – Distributor – Grosir – Retailer

Kondisi distribusi dengan jalur seperti ini memiliki beberapa kemungkinan

antara lain:

i) Rantai setelah distributor (sub distributor) secara ekonomis tidak lagi

dibutuhkan. Artinya grosir dapat melakukan pembelian langsung ke

distributor, tanpa melalui sub distributor yang justru menimbulkan

inefisiensi. Misalnya karena jarak antara gudang distributor dengan

grosir sangat dekat.

ii) Sub distributor dimiliki langsung oleh distributor, sehingga dalam jalur

distribusi tersebut keberadaan sub distributor menjadi seperti menyatu

dengan distributor dan tidak tampak menjadi bagian dari distributor.

3. Produsen/Importir – Distributor – Retailer

Jalur distribusi ini mereduksi peran sub distributor dan grosir. Hal ini

memiliki dua kemungkinan :

i) Secara ekonomis ada keuntungan yang luar biasa bagi distributor

ketika dapat menyalurkan langsung ke retailer. Hal ini dimungkinkan

Page 101: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

100

karena tidak ada lagi kendala ekonomis yang dihadapi oleh distributor

untuk menyalurkan langsung ke retailer yang mampu membeli dengan

skala sangat besar. Misalnya tidak ada kendala terkait dengan angkutan

dan biaya transportasi lainnya.

ii) Dalam pola yang lebih maju seperti yang dilakukan oleh Garuda Panca

Arta (Lampung) yang mendistribusikan produk Gulaku, maka tidak

ada hambatan berarti untuk langsung mendistribusikan produknya

tersebut ke retailer. Dalam hal ini perusahaan industri gula mendirikan

anak perusahaan yang bergerak di distribusi gula.

4. Produsen – Retailer

Model seperti ini juga dilakukan oleh beberapa PTPN tetapi dalam skala

yang sangat kecil, biasanya dilakukan pendistribusian ke beberapa

koperasi pesantren di provinsi Jawa Timur yang selama ini menjadi

lumbung gula Indonesia. Dari koperasi inilah para anggotanya kemudian

mengkonsumsi langsung gula.

Page 102: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

101

Berikut ini adalah gambara dari jalur distribusi gula kristal putih yang telah

dijelaskan seperti di atas.

Gambar 4. Jalur Distribusi Gula Kristal Putih

Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)

Sementara itu, jalur distribusi gula rafinasi sangat berbeda dengan jalur

distribusi gula kristal putih. Jika distribusi pada gula kristal putih dibebaskan siapa

saja boleh berdagang, maka distribusi gula rafinasi ini lebih ketat karena

distributor ditunjuk langsung oleh pabrik gula rafinasi dan sub distributor ditunjuk

langsung oleh distributor. Tidak sembarangan pihak bisa menjadi distributor

maupun sub distributor gula rafinasi.

Page 103: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

102

Gambar 5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi

Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)

Distributor dan sub distributor yang ditunjuk pun harus didaftarkan di

Kementrian Perindustrian terlebih dahulu dan untuk kemudian mendapat

persetujuan. Pengaturan yang ketat dalam jalur distribusi gula rafinasi ini

dilakukan agar gula rafinasi tidak merembes ke pasaran ritel. Dengan semakin

bertambahnya jumlah penduduk maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga

diperkirakan bertambah. Tidak hanya konsumsi gula secara langsung tetapi juga

gula yang digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Peningkatan

jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan minuman serta

meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan akan gula.

2. Industri Pendukung

Industri pendukung dalam agribisnis gula adalah industri yang

menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Industri tersebut antara lain

industri makanan, minuman, dan farmasi. Penggunaan sumber pemanis oleh

industri tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan,

harga bahan pemanis, serta selera konsumen. Industri tersebut secara tidak

langsung mendukung agribisnis gula yang memiliki kontribusi tidak langsung

secara vertikal karena industri tersebut menggunakan gula sebagai bahan bakunya.

Meskipun secara agregat konsumsi gula masih didominasi oleh rumah tangga,

akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi oleh industri lebih tinggi (Pakhpahan,

2005). Gula yang dibutuhkan untuk industri biasanya berasal dari gula rafinasi

maka kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dengan gula

impor. Meskipun impor gula sebagai bahan baku industri merupakan gula rafinasi

namun ada beberapa importir yang menjual gula tersebut langsung ke pasaran

Page 104: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

103

dengan harga lebih murah yang menyebabkan gula lokal kalah bersaing dengan

gula impor tersebut.

6.2.4 Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri

Persaingan, struktur, dan strategi industri merupakan salah satu faktor

pendukung dalam menganalisis dayasaing

1. Persaingan

Usahatani tebu terutama di daerah Jawa sebagian besar dikelola oleh

rakyat atau yang sering disebut tebu rakyat. Selain itu, adapula usahatani tebu

yang dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana

PG sekaligus pemilik lahan HGU. Gula diproduksi oleh PG baik yang dikelola

oleh BUMN dan swasta. Seluruh gula yang diproduksi oleh PG digunakan untuk

memenuhi konsumsi dalam negeri. Karena untuk memenuhi kebutuhan dalam

negeri produksinya belum mencukupi maka Indonesia belum dapat mengekspor

produk gulanya.

2. Struktur

Menurut Mardianto et al. (2005) perdagangan gula di dalam negeri

sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Hal ini dapat

dilihat pada setiap lelang yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa

pedagang yang terlibat sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan

kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya.

Tabel 30. Struktur dalam Industri Gula Indonesia

No. Posisi Pelaku Usaha Struktur

1 Produsen Oligopoli 2 Distributor Oligopoli

3 Sub Distributor Banyak pelaku usaha terlibat

4 Grosir Retailer Banyak pelaku usaha terlibat Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)

Seperti yang digambarkan diatas, produsen dan distributor gula merupakan

oligopolis dimana hanya sedikit pemain yang terlibat. Pada sisi produsen, pemain

utama terdiri dari Sugar Group dan BUMN perkebunan berskala besar seperti

PTPN IX, XI dan RNI. Sedangkan distributor gula dikuasai oleh beberapa

pedagang besar yang terkenal dengan sebutan ‘8 samurai’. Berbeda dengan sisi

Page 105: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

104

sub distributor maupun grosir/ritel dimana banyak pelaku usaha yang terlibat

didalamnya. Dengan struktur yang seperti itu maka wajar jika stok gula hanya

dikuasai oleh beberapa pelaku/pedagang saja. Dengan kekuatan pedagang itulah

maka mereka kemudian tahu bahwa hanya mereka yang akan memasok gula ke

masyarakat.

Adapun pada industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih.

Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000-

an ketika harga gula dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan

untuk dibangunnya pabrik gula rafinasi. Untuk itu pembahasan mengenai struktur

industri gula dibagi menjadi dua yaitu struktur industri gula kristal putih dan

struktur industri gula kristal rafinasi.

2.1. Industri Gula Kristal Putih

Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh

BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang

tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula

hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja

(oligopolistik). Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal

dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung

Madu dan Sugar Group Companies. Adapun struktur industri gula kristal putih

dalam negeri pada saat musim giling pada umumnya bersifat oligopsoni sehingga

produsen (petani tebu dan pabrik gula, PTPN/RNI) tidak menerima harga yang

wajar. Dan sebaliknya saat di luar musim giling, struktur industri gula kristal putih

bersifat oligopoli sehingga harga di tingkat konsumen relatif tinggi dan produsen

tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian

besar stok gula kristal putih dikuasai oleh hanya beberapa pedagang besar saja.

Secara keseluruhan, jumlah pasokan gula kristal putih dapat dilihat dalam Gambar

dibawah ini.

Page 106: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

105

Gambar 6. Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009

Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)

Pada gambar 8 terlihat bahwa PTPN X, PTPN XI dan Sugar Group

merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun

2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu menjadi leader

dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan

yang telah efisien dalam industri gula ini.

2.2. Industri Gula Rafinasi

Sebelum tahun 2000, pemenuhan gula rafinasi adalah melalui impor

karena harga gula saat itu sedang murah. Namun dengan ekspektasi harga gula

dunia yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri yang menurun,

kemudian terdorong juga untuk membangun pabrik gula rafinasi. Bahan baku

yang digunakan pabrik gula rafinasi tersebut adalah raw sugar yang diimpor. Pada

tahun 2004, baru terdapat tiga pelaku usaha gula rafinasi. Dengan tiga pelaku

usaha tersebut di tahun 2003-2005 mampu men-supply kebutuhan gula rafinasi

untuk industri makanan, minuman dan farmasi sekitar 300.000 ton –1.500.000 ton

per tahun. Kemudian di tahun 2006-2008 pelaku usaha di industri gula rafinasi ini

bertambah menjadi 7 pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat

menjadi sekitar 1,2 juta – 1,5 juta ton per tahun. Baru kemudian di tahun 2009

total pelaku usaha dalam industri gula rafinasi ini menjadi delapan sehingga pada

tahun 2009 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per

tahun8. Berikut pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi.

a. PT. Angles Product, Bojonagara, Serang- Banten

Page 107: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

106

b. PT. Jawamanis, Jl. Raya Anyer – Cilegon-Banten

c. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten

d. PT. Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap - Jawa Tengah

e. PT. Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap – Jawa Tengah

f. PT. Sugar Labinta

g. PT. Makassar Tene

h. PT Duta Sugar International.

Pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi dalam negeri sepenuhnya

mengimpor raw sugar untuk kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Seiring

peningkatan jumlah pabrik gula rafinasi dalam negeri maka meningkat juga

jumlah raw sugar yang diimpor setiap tahunnya. Peningkatan impor raw sugar

yang paling besar terjadi pada tahun 2006 dan 2007 sehingga di tahun-tahun

tersebut pabrik gula rafinasi terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi

kebutuhan industri-industri dalam negeri yang membutuhkan gula rafinasi.

Tabel 32. Jumlah Impor Raw sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi

Tahun Perusahaan Rekomendasi Izin Impor Jumlah (ton)

2003 5 394.700 398.070 350.582 2004 5 923.000 757.750 478.250

2005 5 1.226.000 999.100 808.200

2006 6 1.081.000 1.056.250 952.387 2007 6 1.492.450 1.447.700 1.255.522

2008 7 1.661.230 1.404.730 1.213.470

2009 8 1.670.000 1.670.000 1.670.000 Sumber: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (2010)

Di tahun 2009, seluruh raw sugar yang direkomendasi diserap oleh pabrik

gula rafinasi. Berikut ini pada gambar 9 terdapat perkembangan industri rafinasi

dari sisi realisasi produksi masing-masing perusahaan. Pelaku-pelaku lama dalam

industri gula rafinasi merupakan penghasil utama gula rafinasi di Indonesia. Jika

dilihat berdasarkan pangsa produksinya di tahun 2009, PT Permata DSU dan PT

Sentra Usahatama Jaya meminpin pasar dengan pangsa 20% dan pemain utama

lainnya yaitu PT Jawamanis Rafinasi dan PT Angels Products yang masing-

masing pangsa produksinya 15% dan 16%.

Page 108: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

107

3. Strategi

Gula dapat secara langsung dikonsumsi dalam campuran minuman atau

membuat aneka makanan. Sebagian besar di Indonesia gula masih dijual dalam

bentuk komoditas. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan

nilai tambah komoditas gula menjadi produk gula yang memiliki merek. Sebagai

contoh Sugar Group mengeluarkan produk gula kemasan bermerek Gulaku. Sugar

Group mendapatkan nilai tambah lebih tinggi daripada produsen gula lainnya

dengan memproduksi gula kemasan yang kualitasnya tentu saja lebih baik

daripada komoditas gula tanpa kemasan.

Menurut Pakpahan (2005), petani sebenarnya memiliki potensi yang besar

untuk melakukan hal serupa dengan Sugar Group karena setiap tahunnya tidak

kurang dari 600.000 ton gula menjadi milik petani. Kalau saja 25 persen dari

jumlah tersebut dijual dalam bentuk kemasan tentu akan memberi manfaat yang

besar. Namun, potensi tersebut mengalami kendala pada mutu gula petani yang

dihasilkan oleh PG BUMN. Mutu gula yang dihasilkan tidak konsisten dari satu

musim giling ke musim giling berikutnya, terkadang putih di musim ini tetapi

kuning di musim berikutnya.

Sejak diberlakukannnya Inpres Tahun 1975 tentang TRI (Tebu Rakyat

Intensifikasi), kedudukan PTPN di atas para petani. Pada waktu itu nilai tawar

(bargaining position) petani sangat rendah karena petani hanya berperan pasif dan

mau tidak mau harus mengikuti sistem yang telah ada meskipun itu merugikan.

Monopoli BULOG juga membuat petani tidak bisa mandiri, bahkan PTPN pun

juga demikian. Pada tahun 1998 Inpres tersebut dicabut dan BULOG tidak lagi

memonopoli perdagangan gula di Indonesia. Karena petani secara langsung

dihadapkan kepada mekanisme pasar, banyak oknum-oknum yang mencari

keuntungan dari kebingungan petani menghadapi sistem baru ini.

Setelah tahun 2000, para petani tebu secara keseluruhan sepakat untuk

menjual gulanya secara bersama-sama agar seluruh petani menikmati harga gula

yang sama dan untuk menghilangkan celah bagi oknum untuk memainkan harga

gula. Pada tahun 2001 APTRI mencetuskan sistem Dana Talangan dan Jaminan

Harga Minimal. Dana talangan membantu petani mendapatkan dana lebih awal

Page 109: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

108

untuk mengolah lahannya. Sedangkan Jaminan Harga Minimal menjamin petani

untuk mendapatkan jaminan harga agar tidak rugi ketika harga turun.

Produsen gula atau PG-PG di Indonesia sebagian besar tidak melakukan

promosi untuk meningkatkan konsumsi akan gula. Hal ini dikarenakan, tanpa

promosi pun permintaan gula yang ada belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh

produsen dalam negeri. Promosi dilakukan ketika akan dilakukan pelelangan baik

gula PG maupun petani. Adanya website Perusahaan Gula juga membantu

mempromosikan gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu. Gula yang dihasilkan

oleh PG baik itu milik petani atau PG dapat dijual dengan dua sistem, yaitu sistem

lelang dan sistem jual bebas. Sedangkan dalam sistem jual bebas terdapat lima

saluran distribusi dimana lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya antara lain,

Petani tebu, pengumpul/tengkulak/ bakul/mediator, padagang besar/grosir/agen,

pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga

maupun konsumen industri.

6.2.5 Peran Pemerintah

Peran pemerintah terhadap pengembangan agribisnis gula sangat besar

dibuktikan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung

maupun tidak langsung berkaitan dengan agribisnis gula di Indonesia. Kebijakan

pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input

dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Sejalan dengan kebijakan-kebijakan

di atas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri

pemerintah menggulirkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula

Nasional 2002-2007.

Di samping itu untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan

internasional, pemerintah juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara

simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa subsidi

bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3

triliun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasarana pengairan

sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk

pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan dukungan dana untuk

penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Dalam rangka untuk

Page 110: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

109

meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan dayasaing produksi dalam

negeri, tim tarif nasional melakukan harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk

produk-produk dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan

kebijakan pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen untuk

mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun,

efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan

mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula.

6.2.6. Peran Kesempatan

Peran kesempatan adalah faktor yang ada di luar kendali para stakeholder

industri. Dalam konteks industri gula Indonesia, terdapat kesempatan yang dapat

dimanfaatkan sebagai modal untuk industri gula Indonesia bersaing dengan gula

impor secara kompetitif pada pasar domestik atau memenuhi kebutuhan dalam

negeri. kesempatan tersebut adalah kondisi pasa yang makin mengarah kepada

pasar dunia yang kompetitif dan proyeksi krisis energi yang dalam jangka panjang

tidak dapat dihindari menjadi kesempatan industri gula di Indonesia berkembang.

Pasar gula dunia akan semakin kompetitif sebagai akibat distorsi pasar gula dunia

akan semakin menurun pada masa mendatang. Selain itu, krisis energi (kenaikan

harga BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat

diabaikan karena BBM merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat

diperbaharui. Jika sebagian besar negara produsen gula menggunakan tebu

sebagai bahan bakar, maka tebu yang akan digiling menjadi gula akan berkurang

dan harga gula dalam jangka panjang akan semakin meningkat, khususnya untuk

gula kristal putih.

Harga gula dunia dilihat dari tahun 2008 hingga 2010 mengalami kenaikan

dua kali lipat. Pada tahun 2008, harga gula dunia yang mengacu pada harga pasar

london mencapai rata-rata per bulannya adalah US$ 300an per ton dengan

fluktuasi terendah pada US$ 314 per ton dan tertinggi adalah US$397,15 per ton.

Kemudian pada tahun 2009, harga gula dunia di pasar london mulai merangkak

naik ke angka US$ 400an per ton pada bulan april dan pada penutup tahun yaitu

bulan desember, harga gula dunia di pasar london mencapai US$ 656,79 per ton.

Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan harga yang lebih dari dua kali lipat

pada penghujung tahun 2008 ke penghujung tahun 2009.

Page 111: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

110

Pada tahun 2010, harga dunia melonjak pada awal tahun di bulan januari

di angka US$ 733,43per ton dan pada sepanjang tahun tersebut harga dunia

mengalami fluktuasi yang begitu tajam karena bergerak pada selang US$ 400an

per ton hingga US$ 700an per ton. Pada bulan desember tahun 2010, harga gula

dunia ditutup pada angka US$ 769,33 per ton. Dilihat dari data tersebut bahwa

pasar gula dunia semakin menggeliat dan dapat memacu kesempatan industri gula

Indonesia untuk tumbuh karena harga yang semakin naik akan menarik para

stakeholder untuk sama-sama ikut andil dalam pasar gula tersebut nantinya.

6.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System

Tahapan setelah menganalisis komponen-komponen pada Porter’s

diamond system adalah menganalisis keterkaitan antar komponen utama pada

Porter’s diamond system. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen

utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth interviews yang dilakukan

dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian dari Cahyani (2008) adalah

sebagai berikut:

1) Persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya

Keterkaitan antar komponen utama yang saling mendukung dapat dilihat

pada komponen persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor

sumberdaya industri gula. Hal ini dikarenakan strategi yang dilakukan oleh

komponen dalam industri mengoptimalkan kondisi faktor sumberdaya yang ada,

dalam hal ini adalah sumberdaya manusia, dimana pihak APTRI sebagai satuan

wadah aspirasi petani tebu yang mencetuskan sistem dana talangan dan jaminan

harga minimal pada tahun 2001 yang membuat kondisi sumberdaya manusia

yang ada di dalam industri tidak lantas meninggalkan industri akibat kondisi

sumberdaya alam yang belum mendukung. Tapi malah mendorong untuk menarik

banyak petani tebu untuk mau kembali ke dalam industri gula. Seperti kita

ketahui bahwa minat para petani tebu menurun sejak adanya Inpres No. 5/1998

yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk

membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai

dengan UU No.12 Tahun 1996. Hal ini dikarenakan harga yang tidak menarik

bagi petani sehingga mereka mengonversi lahan tebunya menjadi lahan tanaman

pangan atau tanaman yang lebih menguntungkan. Dengan adanya sistem tersebut,

Page 112: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

111

diharapkan para petani non tebu dapat mau menanam tebu karena adanya dana

talangan dan juga jaminan harga minimal. Selain menarik sumebrdaya manusia di

luar industri, juga menjaga agar sumberdaya manusia yang ada di dalam industri

tidak melakukan konversi tanaman tebu ke tanaman lainnya. Karena kita ketahui,

bahwa sumberdaya manusia sangat penting dalam hal pengembangan industri,

khususnya sumberdaya manusia yang berada di on farm.

Selain itu, strategi yang dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi faktor

sumberdaya oleh persaingan dan struktur industri adalah adanya sistem tataniaga

yang terbagi menjadi dua yaitu sistem lelang dan sistem jual bebas. Hal ini

memang belum berjalan optimal dalam hal melindungi petani dari kejatuhan harga

gula akibat masuknya gula rafinasi ke pasar. Namun dengan strategi ini telah

dapat menekan efek dari penyimpangan para spekulan gula rafinasi di pasar

kebutuhan rumah tangga. Kemudian, dukungan kondisi faktor sumberdaya untuk

peningkatan kinerja persaingan, struktur, dan strategi industri adalah sumberdaya

alam seperti luas lahan yang meningkat 7,66 persen pada tahun 2011 dan

sumberdaya manusia yang juga meningkat seiring dengan semakin besarnya areal

lahan tebu, sehingga dapat memudahkan implementasi strategi pengembangan

industri.

2) Kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri

pendukung

Keterkaitan tidak saling mendukung dapat dilihat dari kondisi faktor

sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi

sumberdaya yang ada belum dapat mendorong industri terkait dan industri

pendukung kompetitif. Hal ini dilihat dari belum terasanya efek langsung dari

peningkatan sumberdaya lahan, adanya bantuan modal yang merupakan

sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur yang belum memadai walau

sudah berjalan program akselerasi gula nasional. Kondisi industri terkait dan

industri pendukung yang masih belum memenuhi kebutuhan domestik dan

berdayasaing dengan produk industri luar negeri, seperti Thailand. Kemudian,

industri terkait dan industri pendukung juga belum secara optimal

mendayagunakan sumberdaya yang ada seperti pemanfaatan produk turunan

sebagai pupuk yang nantinya dapat menjadi input bagi tebu.

Page 113: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

112

3) Kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung

Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada kondisi

permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi

permintaan yang excess demand belum dapat dimanfaatkan industri terkait dan

industri pendukung untuk melakukan peningkatan produksi gulanya. Adapun

yang ada adalah semakin banyaknya gula impor yang memenuhi pasar domestik

dari tahun ke tahun.

4) Industri terkait dan industri pendukung dengan Persaingan, struktur, dan

strategi

Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada industri tekrait

dan industri pendukung dengan persaingan, struktur, dan strategi, dimana industri

terkait dan industri pendukung belum dapat berdayasaing akibat adanya

perbedaan strategi yang dilakukan oleh industri yang berasal dari swasta dan

industri yang berasal dari BUMN. Pada industri pengolahan yaitu pabrik gula, PG

yang berasal dari swasta cenderung memiliki strategi yang lebih siap dan baik. Ini

terlihat bahwa PG swasta lebih efisien sehingga biaya pengolahan yang

dikeluarkan lebih rendah dan keuntungannya lebih tinggi. Hal tersebut membuat

PG swasta dapat melakukan strategi diferensiasi produk yang notabenenya

meningkatkan nilai tambah produk, seperti membuat kemasan untuk produk gula

atau promosi di media massa. Hal ini membuat PG dari BUMN sulit untuk

bersaing diakibatkan belum efisiennya pabrik dan revitalisasi pabrik belum

berjalan sempurna. Berbeda dengan PG swasta yang pabriknya sudah menerapkan

mekanisasi, sehingga biaya pengolahan PG BUMN masih relatif tinggi dan

imbasnya PG BUMN belum dapat membuat nilai tambah pada produknya.

Selain itu pada industri pengolahan makanan dan minuman masih

mendapatkan bahan bakunya dari gula impor sehingga ada stigma negatif bahwa

pasokan gula impor untuk indutri pengolahan makanan dan minuman itu banyak

yang bocor ke pasar rumah tangga. Hal ini membuat gula lokal yang notabenenya

adalah produk asli dalam negeri menjadi sulit bersaing karena harga gula impor

yang lebih murah dan kualitasnya yang lebih baik. Kesulitan bersaing itu

membuat bargaining position industri gula lokal menjadi menurun dari segi

dayasaingnya.

Page 114: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

113

5) Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur, dan strategi

Kondisi permintaan dengan persaingan, stuktur dan strategi memiliki

keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini disebabkan karena tren

konsumsi gula dalam negeri yang meningkat akan berpengaruh positif terhadap

kondisi permintaan namun hal ini justru mengakibatkan Indonesia terus

mengimpor gula dari negara lain, seperti Thailand. Selain itu, strategi yang telah

dilakukan belum mampu meningkatkan produksi gula setara pemenuhan

kebutuhan domestik dan mendorong permintaan domestik kepada gula lokal.

Kondisi tersebut telah mengakibatkan gula lokal bersaing dengan gula impor dan

sulit memperoleh pasar.

6) Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan

Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki

keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini dikarenakan faktor sumberdaya

belum mampu memenuhi permintaan domestik. Begitu pula sebaliknya, kondisi

permintaan yang semakin meningkat tidak mendukung adanya faktor sumberdaya

karena meskipun permintaan domestik semakin meningkat, namun permintaan

tersebut merupakan permintaan terhadap gula impor dan bukan terhadap gula

lokal. Hal ini dikarenakan gula impor memiliki harga dan kualitas yang lebih baik

dari gula lokal.

Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System

No. Komponen A Komponen B Keterkaitan

Antar Komponen

Keterangan

1 Persaingan,

struktur, dan strategi

Kondisi faktor

sumberdaya

Saling

mendukung Strategi pada industri

digunakan untuk

meningkatkan kinerja kondisi faktor

sumberdayanya.

2 Kondisi faktor sumberdaya

Industri terkait dan industri

pendukung

Tidak saling mendukung

Kondisi faktor

sumberdaya belum dapat membuat industri terkait

dan pendukung berjalan

kompetitif.

3 Kondisi permintaan

Industri terkait dan industri

pendukung

Tidak saling mendukung

Kondisi permintaan

yang tinggi belum dapat membuat industri terkait

dan industri pendukung

berjalan kompetitif .

Page 115: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

114

Lanjutan Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond

System

No. Komponen A Komponen B Keterkaitan Antar Komponen

Keterangan

4 Industri terkait

dan industri

pendukung

Persaingan,

struktur, dan

strategi

Tidak saling

mendukung Strategi yang ada belum

dapat meningkatkan

industri terkait dan

pendukung. 5 Kondisi

permintaan

Persaingan,

struktur, dan

strategi

Tidak saling

mendukung Strategi yang digunakan

belum dapat mememnuhi

kebutuhan domestik

6 Kondisi sumberdaya

Kondisi permintaan

Tidak saling mendukung

Kondisi sumberdaya

yang belum dapat memenuhi kebutuhan

domestik

6.5. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama

Selain terdapat keterkaitan antar komponen utama, seperti yang telah

dijelaskan di atas, juga terdapat keterkaitan antar komponen penunjang dengan

komponen utama. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen penunjang

dengan komponen utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth

interviews yang dilakukan dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian

dari Cahyani (2008) adalah sebagai berikut:

1) Peranan pemerintah dengan semua komponen utama

Peran pemerintah sangat mendukung setiap komponen dayasaing industri

gula di Indonesia melalui kebijakan dan program-program yang telah dilakukan.

Bentuk dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumberdaya yaitu melalui

program-program pengembangan dan percepatan industri gula nasional dan

kebijakan yang kerap dikeluarkan terkait on farm dan tataniaga gula selama ini.

Adapun kebijakan nyata yang berkembang adalah kebijakan swasembada gula

yang diterjemahkan dalam program akselerasi gula, dimana program ini

mendorong produksi gula agar dapat memnuhi kebutuhan domestik dengan

perluasan lahan areal tebu, revitalisasi pabrik dan pembangunan pabrik baru,

dengan fokus pembangunan di luar pulau jawa. Bantuan kredit untuk petani tebu

melalui kredit KKP-TR dan KKP-PE juga dilakukan untuk mendorong minat

petani dalam menanam tebu agar bahan baku gula dapat meningkat dan

diharapkan produksi gula juga ikut meningkat. Pemerintah juga berperan dalam

Page 116: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

115

hal mengusahakan temuan-temuan baru dalam industri gula, dengan mendorong

P3GI dan Balitbang pertanian untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang

unggul.

Selain itu peran pemerintah juga mendukung industri terkait dan

pendukung. Dalam industri pemasok bahan baku, peran pemerintah sebagai

penyaluran dan regulator untuk mendistribusikan benih melalui P3GI yang akan

disalurkan ke petani dengan bantuan pabrik gula, khusunys pabrik gula di bawah

naungan PTPTN. Dalam industri pengolahan, peran pemerintah sebagai

pendorong agar pabrik gula BUMN untuk bekerja lebih efisien dan meningkatkan

produksinya dengan cara memberikan bantuan revitalisasi pabrik dan

pembangunan pabrik baru yang termasuk dalam program akselerasi gula nasional.

Dalam industri tataniaga, pemerintah berperan langsung dalam regulasi atau

kebijakan pengaturan tataniaga gula yang adil dan melindungi konsumen, petani

tebu, serta pabrik gula agar tidak mengalami kerugian dari kegiatan tataniaga gula

yang ada.

Kondisi permintaan yang diperkirakan akan semakin meningkat tersebut

mendorong pemerintah untuk mewujudkan program swasembada gula agar

Indonesia tidak tergantung pada gula impor. Dukungan pemerintah juga diberikan

pada komponen persaingan, struktur, dan strategi yaitu dengan menetapkan harga

patokan agar harga yang fluktuatif tidak merugikan produsen. Serta pemerintah

juga menjadi regulator dari persaingan dan struktur industri gula dengan

memisahkan antara produsen gula kristal putih dan produsen gula kristal rafinasi

agar tidak terjadi kekacauan dalam kegiatan produksinya.

2) Peranan kesempatan dengan semua komponen utama

Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui bahwa

komponen penunjang hanya memiliki keterkaitan dengan industri terkait dan

industri pendukung, serta persaingan, struktur, dan strategi yang ada dalam

industri. Keterkaitan tersebut terlihat dari peran kesempatan yang diwujudkan

dalam tren bioethanol yang berbahan baku gula dan harga gula dunia yang

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan tren energi dunia ke

energi yang terbarui membuat gula diambil sebagai bahan dasar dalam pembuatan

bioethanol, hal ini membuat nilai tambah dari komoditas gula menjadi lebih

Page 117: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

116

tinggi. Perkembangan tersebut membuka peluang industri pendukung yang ada di

dalam negeri untuk dapat memanfaatkannya dengan membangun industri hilir di

bidang biethanol. Adapun efek apabila industri pendukung komoditas gula yaitu

industri bioethanol dapat membantu menyelesaikan masalah energi di Indonesia.

Adanya fakta bahwa harga gula dunia yang semakin meningkat membuat pabrik

gula di dalam industri meningkatkan efisiensinya agar dapat mendapatkan profit

yang lebih besar. Serta, tingginya harga gula dunia dari tahun ke tahun dapat

menarik minat petani tebu untuk meningkatkan produksinya. Adapun hasil

analisis keterkaitan komponen penunjang dengan komponen utama, seperti

kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan belum memiliki keterkaitan

dengan komponen peran kesempatan.

Pada Gambar 7, akan terlihat bagaimana keterkaitan antar komponen

dayasaing industri gula Indonesia. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebagian

besar antar komponen inti dayasaing pada industri gula Indonesia tidak saling

mendukung. Keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung lebih

dominan dalam penelitian ini. Hal ini berarti bahwa dayasaing industri gula

Indonesia masih lemah. Namun adanya peran pemerintah dan kesempatan dapat

mendorong upaya peningkatan dayasaing industri gula.

Tabel 54. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen Utama

dalam Porter’s Diamond System No. Komponen

Penunjang

Komponen

Utama

Keterkaitan Antar

Komponen

Keterangan

1 Peran

pemerintah

Kondisi

faktor

sumberdaya

Mendukung

Pembiayaan bagi

kegiatan usahatani tebu

dan perluasan lahan.

Industri terkait dan

industri

pendukung

Mendukung

Pemerintah mendukung

industri terkait dan pendukung melalui

kebijakan dan program

akselerasi gula nasional

Kondisi Permintaan

Mendukung

Upaya untuk

mewujudkan swasembada gula agar memnuhi

kebutuhan domestik

Persaingan,

struktur, dan strategi

Mendukung

Pemerintah mendukung

persaingan, struktur, dan

strategi dengan mengeluarkan kebijakan

harga dan tataniaga

Page 118: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

117

Lanjutan Tabel 54. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen

Utama dalam Porter’s Diamond System

No. Komponen

Penunjang

Komponen

Utama

Keterkaitan Antar

Komponen

Keterangan

2 Peran

kesempatan

Kondisi

faktor sumberdaya

Tidak terkait

Peran kesempatan

belum memiliki kaitan

dengan kondisi faktor sumberdaya

Industri

terkait dan industri

pendukung

Mendukung Berkembangnya isu

bioethanol membuat

industri pendukung yang ada dapat memanfaatkan

kesempatan dalam

pengembangannya di

dalam negeri

Kondisi

permintaan

Tidak terkait Peran kesempatan

belum memiliki kaitannya

dengan kondisi permintaan

Persaingan,

struktur, dan strategi

Mendukung Kesempatan harga gula

dunia yang semakin

meningkat membuat pabrik gula di dalam

industri meningkatkan

efisiensinya agar dapat mendapatkan profit yang

lebih besar

Page 119: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

118

Gambar 7. Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System

Keterangan: Garis ( ), menunjukkan keterkaitan antar komponen utama yang

saling mendukung

Persaingan, Struktur,

dan Strategi Perusahan

Kondisi Permintaan

Domestik

Kondisi Faktor

Sumberdaya

Industri Pendukung

dan Terkait

Peran

Kesempatan

Peran

Pemerintah

Page 120: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

119

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh

adalah sebagai berikut:

1. Dari matriks perbandingan berpasangan didapatkan berdasarkan lima

komponen pembanding bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi pertama

dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua. Kemudian, Gorontalo dan

Sulawesi Selatan menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar

lima komponen pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung

saat ini menjadi wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi

guladi Indonesia dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh

swasta dan efisien secara teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih

menjadiprodusen terbesar pada industri gula dikarenakan memiliki pabrik-

pabrik yang lebih banyak dari pabrik-pabrik di wilayah lain, walau masih

kalah kinerjanya dibandingkan pabrik gula swasta yang ada di wilayah

Lampung. Sedangkan pada dua posisi terbawah terdapat Gorontalo dan

Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di

Indonesia. Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut dapat dimaklumi

karena dua wilayah tersebut masih dalam proses pengembangan, disamping

pabrik gula yang ada di sana masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan

pabrik-pabrik yang ada di Jawa dan Sumatera yang notabenenya sudah lama

berdiri.

2. Dari tiap komponen dayasaing industri gula di Indonesia, terdapat keterkaitan

antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung.

Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini.

Hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia memiliki dayasaing

yang masih lemah.

Page 121: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

120

7.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Perlu adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk

meningkatkan dayasaing industri gula untuk mencapai sasaran

swasembada gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan

sangat membantu perkembangan industri gula di Indonesia.

2. Penelitian selanjutnya mengenai industri gula Indonesia, adapun kebijakan

industri gula di Indonesia dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat

petani tebu dan komitmen pabrik dalam kaitanna pencapaian program

swasembada gula 2014.

Page 122: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

121

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan arah

pengembangan agribisnis tebu. Jakarta: Departemen Pertanian.

Badan Pusat Statistika. 2011. Data Strategis. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-

Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah

Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta.

Bakrie, F. dan A. Susmiadi. 1999. Prospek pergulaan nasional ditinjau dari

perspektif internasional. Gula Indonesia, Ikatan Ahli Gula Indonesia

XXIV(2): 35−41.

Cahyani, Utari Evy. 2008. Analisis Dayasaing dan Srtategi Pengembangan

Agribisnis Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen

Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

David FR. 2006. Management Strategies. Ed ke-10. Budi IS, penerjemah. Jakarta:

Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategies Management.

Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan

Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia. Jakarta.

Dewan Gula Indonesia. 2000. Pabrik Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan

Gula Indonesia. Jakarta.

Dewan Gula Indonesia. 2012. Agribisnis Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan

Gula Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2000. Statistik Perkebunan: Gula. Direktorat

Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Ginandjar, Gina. 2011. Kebijakan Gula Rafinasi dalam Pembangunan Industri

Gula Nasional [Disertasi]. Bandung: Program Studi Ekonomi Pertanian.

Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.

Mubyarto dan Dayanti. 1991. Gula: Kajian sosial ekonomi. Yogyakarta: Aditya

Media.

Meryana E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar

Page 123: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

122

Internasional [skripsi]. Bogor : Program Studi Manajemen Agribisnis.

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat

Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press.

Purwanti, Eko Bambang. 2006. Analisis peramalan konsumsi dan produksi gula

serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula di Indonesia

[skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Simatupang, P., A. Rachman, dan L. Pelitasari. 1999. Gula dalam kebijakan

pangan nasional: Analisis historis. hlm. 481−546. Dalam A.H. Sawit, P.

Suharno, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Soentoro, V. Indiarto, dan A.M.S. Ali. 1999. Usaha tani dan tebu rakyat

intensifikasi di Jawa. hlm. 69−130. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A.

Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia, Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian. Bogor.

Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000.

Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumber Daya,

Produksi Pangan, dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian,

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Susila, Wayan R. dan Sinaga, Bonaga M. 2005. Pengembangan industri gula \

Indonesia yang kompetitif pada situasi persaingan yang adil. Jurnal

Litbang Pertanian. Bogor.

Susila, Wayan R. 2005.Pengembangan industri gula Indonesia: Analisis

kebijakan dari keterpaduan sistem produksi [disertasi]. Bogor.

Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter dan Pengaruhnya terhadap Industri Gula

Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter

dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada

Produksi Gula. Pasuruan, 10 Desember 1998.

Tarsono. 2006. Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing

industri gula: Kasus industri gula di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

Page 124: SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. ... seperti analisis matriks perbandingan

123

[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tjokrodirdjo, H.S., L.M. Syafein, dan B. Subroto. 1999. Industri gula di luar

Jawa. hlm. 131−206. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A. Rachman

(Ed.).Ekonomi Gula Indonesia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, Bogor.

Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara

berkelanjutan? [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Wiryastuti. 2002. Strategi peningkatan dayasaing industri gula di Jawa [skripsi].

Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.