SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan...
Transcript of SKRIPSI ALVINO MARYANDANI H34080087 - repository.ipb.ac.id filePenelitian ini berkaitan dengan...
1
KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA
SKRIPSI
ALVINO MARYANDANI
H34080087
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
ANALISIS KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA
Oleh
Alvino Maryandani
Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor E-mail: [email protected]
ABSTRACT Sugar is a strategic commodity and one of the basic needs in Indonesia. But until now, the
sugar industry in Indonesia is still not able to fulfill domestic needs. This research is related to the
performance and competitiveness of the sugar Industry in Indonesia. The objective of this research was analyze the performance and competitiveness Indonesia sugar industry, in terms of teritory of
sugar producer. This research uses an analytical tools performance and commpetitiveness
measurement, such as analysis of paired comparison matrix to analyze the performance of industry
and the porter’s diamond to analyze competitiveness the industry. The result from this research
are; 1) East Java and Lampung is the top teritory in Indonesia that produce sugar and both of them
have biggest point in matrix. South sulawesi and Gorontalo have no good performance in sugar
industry Indonesia, because both of teritory have lowest point based on the matrix, 2) Mostly
relation between components in porter’s diamond doesn’t support each others, this indicates that
sugar industry in Indonesia has still weak. Recommendations for Indonesia sugar industry are; 1)
It needs more commitment from all stakeholders to improve the industry competitiveness and
achieve the goal from self sufficiency, 2) it needs more consistency from goverment to develope the system on industry.
Keywords: Sugar, industry, performance, competitiveness
ABSTRAK Gula merupakan komoditas strategis dan salah satu kebutuhan dasar di Indonesia. Namun
hingga saat ini, industri gula di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Penelitian ini berkaitan dengan kinerja dan daya saing industri gula di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kinerja dan daya saing industri Indonesia gula, dalam hal
teritori dari produsen gula. Penelitian ini menggunakan alat analisis kinerja dan pengukuran
commpetitiveness, seperti analisis matriks perbandingan berpasangan untuk menganalisis kinerja
industri dan berlian porter untuk menganalisis daya saing industri. Hasil dari penelitian ini adalah:
1) Jawa Timur dan Lampung adalah wilayah terbaik di Indonesia yang memproduksi gula dan
keduanya memiliki bobot terbesar dalam matriks. Sulawesi selatan dan Gorontalo tidak memiliki
kinerja yang baik di industri gula Indonesia, karena kedua wilayah tersebut memiliki bobot
terendah berdasarkan matriks, 2) Sebagian besar hubungan antara komponen dalam berlian porter
tidak mendukung satu sama lain, hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia masih
memiliki lemah. Rekomendasi untuk industri gula Indonesia adalah: 1) Perlu komitmen yang kuat
dari semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan daya saing industri dan mencapai tujuan dari swasembada, 2) Pemerintah perlu lebih konsisten untuk mengembangkan sistem pada
industri.
Kata Kunci: Gula, industri, kinerja, daya saing
2
RINGKASAN
ALVINO MARYANDANI. Kinerja Industri Gula Indonesia. Di bawah
bimbingan BAYU KRISNAMURTHI.
Gula merupakan salah satu komoditas penting dan strategis bagi
masyarakat. Selain itu, gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan
untuk konsumsi masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri
terkait. Oleh karena itu, komoditas gula senantiasa dicermati oleh pemerintah
terutama dalam hal pergerakan harganya dan pemerintah berusaha untuk
menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang terjangkau
oleh masyarakat.
Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006 hingga
2010 mengalami kenaikan delapan persen per tahunnya. Kenaikan produksi pada
dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm seperti luas
lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm.
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kinerja dan dayasaing
industri gula dan pelaku dalam industri gula di Indonesia. Hasil penelitian
tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas
terhadap kondisi industri gula di Indonesia, dilihat dari segi kinerja dan dayasaing
industri tersebut.
Lingkup penelitian ini terdiri atas industri gula nasional yang dibagi per
wilayah penghasil gula. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Metode analisis data yang digunakan antara lain analisis matriks
perbandingan berpasangan dan analisis berlian Porter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi
pertama dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua dalam segi lima komponen
pembanding yang ditentukan. Kemudian, Gorontalo dan Sulawesi Selatan
menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar lima komponen
pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung saat ini menjadi
wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi gula di Indonesia
dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh swasta dan efisien secara
teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih menjadi produsen terbesar pada
industri gula karena memiliki jumlah pabrik yang lebih banyak daripada wilayah
lain, meskipun kinerjanya di bawah pabrik gula swasta yang ada di wilayah
Lampung.
Sedangkan posisi dua terbawah ditempati oleh Gorontalo dan Sulawesi
Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di Indonesia.
Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut karena dua wilayah tersebut
masih dalam proses pengembangan, disamping pabrik gula yang ada di sana
masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan pabrik-pabrik yang ada di Jawa
dan Sumatera yang sudah lama berdiri.
Hasil analisis dayasaing menggunakan pendekatan Teori Berlian Porter
menunjukkan keterkaitan antar komponen yang saling mendukung seperti faktor
sumberdaya yang mendukung faktor persaingan, struktur, dan strategi industri
gula Indonesia. Selain itu, adapula keterkaitan tidak saling mendukung dalam tiap
komponen dayasaing agribisnis gula seperti faktor persaingan, struktur, dan
3
strategi industri gula Indonesia dengan faktor permintaan. Keterkaitan yang tidak
saling mendukung lebih dominan.
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: perlu
adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk meningkatkan
dayasaing industri gula agar lebih baik dan mencapai sasaran yaitu swasembada
gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan sangat membantu
perkembangan industri gula di Indonesia. Penelitian selanjutnya mengenai
industri gula Indonesia, akan lebih baik jika kebijakan industri gula di Indonesia
dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat petani tebu dan komitmen pabrik
dalam kaitannya pencapaian program swasembada gula 2014.
4
KINERJA INDUSTRI GULA DI INDONESIA
Oleh :
ALVINO MARYANDANI
H34080087
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
5
Judul Proposal : Kinerja Industri Gula di Indonesia
Nama : Alvino Maryandani
NIM : H34080087
Disetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS
NIP. 19641018 198903 1 001
Diketahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
6
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kinerja
Industri Gula di Indonesia” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Alvino Maryandani
H34080087
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Alvino Maryandani lahir pada tanggal 25 Maret 1990 di
Gandaria Utara, sebuah kota yang berada di Jakarta Selatan. Penulis merupakan
putra pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Masagus Yancik dan Nila
Krisnawati. Penulis menjalani pendidikan di sekolah dasar tahun 1996 sampai
dengan tahun 2002 di SDS Tadika Puri, Jakarta Selatan. Selanjutnya meneruskan
pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2002 sampai tahun 2005 di
SLTPN 19 Jakarta. Pada tahun 2005 sampai dengan 2008 penulis melanjutkan ke
SMUN 74 Jakarta.
Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor
(IPB). Penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Agribisnis pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogo
sebagai mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi yaitu International
Association of Agricutural and related Sciences Local Commitee IPB (IAAS LC
IPB), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Izzal IPB (KAMMI IPB),
Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (BP HIPMA), Duta
Anti Korupsi IPB (DAK IPB), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa IPB (BEM KM IPB)
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kinerja Industri Gula di Indonesia”. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis
kinerja dan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil analisis tersebut digunakan
untuk menganalisis kinerja dan keunggulan kompetitif industri gula Indonesia,
dari segi wilayah penghasil gula.
Penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam menyusun skripsi ini.
Namun, penulis menyadari bahwa masih ada berbagai kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Karena itu, penulis mengharapkan masukan yang
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap bahwa skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2013
Penulis
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini,
penulis dibantu oleh beberapa pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan bimbingan yang
sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.
2. Ir. Narni Farmayanti, MSc selaku dosen penguji utama yang telah bersedia
menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk
perbaikan penulisan skripsi ini.
3. Etriya, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen
Agribisnis yang telah mengoreksi kekurangan dalam penulisan ini dan
menyempurnakan penulisan skripsi ini.
4. Sekretariat Dewan Gula Indonesia dan Direktorat Perkebunan Kementerian
Pertanian atas bantuannya selama proses pengambilan data, semoga hasil
penelitian ini dapat berguna bagi stake holder agribisnis gula Indonesia.
5. Agus Herta, S.E selaku peneliti PRIDE yang telah bekerjasama dalam
pengambilan data dan penjelasannya terkait kondisi pergulaan di Indonesia
6. Dwi Endah Wahyuni yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar
penulis dan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi kepercayaan kepada
penulis untuk menjadi pembahas dalam seminarnya.
7. Dosen dan staf penunjang Program Studi Agribisnis atas ilmu dan bantuan
yang diberikan.
8. Kedua orang tua penulis yaitu Ayahanda Masagus Yancik dan Ibunda Nila
Krisnawati, dan adik-adikku tersayang Alfikri Reyhandi Marsha dan Alfatih
Fahreza Norsa Audryan beserta keluarga besar atas doa, cinta, kasih sayang,
perhatian, dan dukungan yang tercurah tiada henti kepada penulis.
9. Issantia Retno Sulistiawati atas doa, perhatian dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dengan tulus.
10
10. Teman-teman seperjuangan di Agritrash; Busrol Elkarim, Nursahaldin Sam,
Arif Pahlevi, Muhammad Adri, Joko Novianto, Rizky Ilham, Abdul Malik,
Dharma Siddiq, Muhammad Fikri, Randy Hazemi, Ryan Iga Septiawan, Ryan
Satria, dan Tommy Gunanta Ginting, terima kasih atas dukungan,
kebersamaan dan keceriaan yang tidak pernah akan terlupakan sampai
kapanpun.
11. Teman satu bimbingan Dwi Endah Wahyuni yang telah memberi semangat
dan dukungannya.
12. Seluruh mahasiswa AGB 45 terima kasih atas persahabatan dan bantuan
selama proses pembuatan skripsi.
Semua pihak yang telah membantu penulis dengan ikhlas dan sukarela yang tidak
dapat dicantumkan semuanya. Terima kasih banyak.
11
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................v
I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................... 3
1.3. Tujuan ................................................................................ 5
1.4. Manfaat ............................................................................. 5
1.5. Ruang Lingkup .................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 7
2.1. Gambaran Agribisnis Gula ................................................ 7
2.1.1. Subsistem Input ....................................................... 7
2.1.2. Subsistem Usahatani ................................................ 7
2.1.3. Subsistem Pengolahan ............................................. 8
2.1.4. Subsistem Tataniaga ................................................ 8
2.1.5. Subsistem Pendukung .............................................. 8
2.2. Penelitian Terdahulu ......................................................... 8
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................. 12
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................ 12
3.1.1. Analisis Berlian Porter ............................................ 12
3.2. Kerangkan Pemikiran Operasional .................................... 17
IV. METODE PENELITIAN ..................................................... 20
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 20
4.2. Data dan Instrumentasi ...................................................... 28
4.3. Metode Pengumpulan Data ............................................... 21
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................. 21
4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan......................... 22
4.4.2 Analisis Berlian Porter................................................ 25
4.5. Definisi Operasional .......................................................... 27
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA
...................................................................................................... 28
5.1. Sekilas Mengenai Komoditas Gula ..............,,................... 28
5.1.1. Raw Sugar ............................................,,.................. 28
5.1.2. Refined Sugar ........................................................... 28
5.1.3. Gula Kristal Putih .................................................... 28
5.2. Kondisi Industri Gula Saat Ini ............................................ 29
5.2.1. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas,
dan Produksi Tebu ................................................... 29
12
5.2.2. Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula ......... .......... 32
5.2.3. Harga Gula ............................................................... 34
5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia .......................................... 36
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 43
6.1. Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan .................... 43
6.1.1. Komponen Pembanding Analisis Matriks
Perbandingan Berpasangan ............................................... 43
6.1.2. Perbandingan Wilayah Berdayasaing....................... 50
6.2. Analisis Komponen Porter’s Diamond ............................. 80
6.1.1. Kondisi Faktor Sumberdaya .................................... 80
6.1.2. Kondisi Permintaan ................................................. 93
6.1.3. Industri Terkait dan Industri Pendukung ..... ........... 96
6.1.4. Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri ............. 105
6.1.5. Peran Pemerintah ...................................................... 110
6.1.6. Peran Kesempatan .................................................... 111
6.3. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s
Diamond System ................................................................ 112
6.4. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan
Komponen Utama .............................................................. 116
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 121
7.1. Kesimpulan ........................................................................ 121
7.2. Saran .................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 123
13
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada
Tahun 2008-2011 (Rp. /Kg) ............................................. 1
2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010
(juta ton) .............................................................................. 2
3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil
Gula dalam Industri Gula Indonesia ................................. 24
4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas
Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011 ...... 30
5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula
Tahun 1993-2011 ................................................................ 31
6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010
............................................................................................... 33
7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada
Tahun 2008-2011 (Rp/Kg) ..................................................... 34
8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 44
9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011 ............................................................ 46
10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun
2007-2011.............................................................................. 48
11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun
2007-2011............................................................................. 50
12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun
2007-2011............................................................................. 51
13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula
di Indonesia Tahun 2011..................................................... 51
14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun
2007-2011 ......................................................................... 53
15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh
Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 53
16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun
2007-2011 ......................................................................... 54
17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh
Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011............ 55
18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011
.......................................................................................... 60
19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah
Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........................ 61
20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta Tahun 2007-2011......................................... 64
21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011...................................................... 65
22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011
14
.......................................................................................... 68
23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh
Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 69
24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011
.......................................................................................... 72
25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah
Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011......................... 73
26.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Lampung, Sumatera
Utara, dan Sumatera Selatan Tahun 2011........................ 74
27.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Jawa Barat-Jawa
Tengah- Yogyakarta dan Jawa Timur Tahun 2011........... 75
28.Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Sulawesi Selatan
Tahun 2011....................................................................... 76
29. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011
.......................................................................................... 76
30. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh
Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011........... 77
31. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa
Tahun 2006-2011 .......................................................... 82
32. Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia
Tahun 2007-2009 .......................................................... 84
33. Struktur dalam Industri Gula Indonesia ....................... 105
34. Jumlah Impor Raw Sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi .. 108
35. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond
System ............................................................................. 115
36. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen
Utama dalam Porter’s Diamond System ........................ 118
15
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional ................................... 19
2. The Complete System of National Competitive
Advantage ....................................................................... 26
3. Saluran Tataniaga Gula Milik Petani ............................. 99
4. Jalur Distribusi Gula Kristal Putih ................................. 101
5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi ............................. 102
6. Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009 ....................... 105
7. Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System
........................................................................................ 118
16
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Gula merupakan salah satu komoditas penting bagi masyarakat. Sebagai
komoditas yang strategis, keberadaan komoditas gula khususnya jalannya industri
gula memegang peranan penting bagi masyarakat dan sektor industri lainnya
karena gula merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk konsumsi
masyarakat, dan juga diperlukan sebagai bahan baku bagi industri terkait.
Tabel 1. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik Tahun 2008-2011 Bulan Harga (Rp./Kg)
2008 2009 2010 2011
Januari 6.414 6.649 11.304 11.179
Februari 6.424 7.495 11.198 11.094
Maret 6.439 7.896 10.972 10.806
April 6.307 8.076 10.445 10.832
Mei 6.436 8.405 10.242 10.370
Juni 6.514 8.553 9.960 10.383
Juli 6.449 8.468 10.742 10.499
Agustus 6.462 9.026 10.692 10.511
September 6.446 9.991 10.544 10.500
Oktober 6.409 9.840 10.922 10.451
November 6.433 9.677 11.026 10.457
Desember 6.482 10.185 11.150 10.754
Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 10.653
Pertumbuhan rata-rata (%) - 35,0 23,9 -1,1 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)
Tabel 1 menunjukkan bahwa harga gula meningkat dari waktu ke waktu
dan hampir tidak pernah terjadi penurunan harga gula. Dilihat pertumbuhan harga
gula tiap tahunnya sebesar 35,0 persen pada tahun 2009, 23,9 persen pada tahun
2010 dan -1,1 persen pada tahun 2011. Ketersediaan gula domestik memiliki
peranan penting dalam menentukan harga gula. Menurut Dewan Gula Indonesia
(2012), hal ini terjadi karena musim giling hanya terjadi pada periode tertentu
yaitu sekitar bulan Mei hingga November (masa giling dilakukan terjadi enam
17
hingga tujuh bulan tergantung kapasitas masing-masing pabrik gula), maka secara
alami akan terjadi kenaikan harga gula di saat tidak musim giling.
Selain terkait dengan musim giling, faktor naiknya konsumsi akibat
pertumbuhan penduduk juga menjadi faktor yang penting bagi pemerintah untuk
mengambil kebijakan terhadap industri gula di Indonesia. Hal ini dilihat dari tren
konsumsi yang terjadi pada lima tahun terakhir. Kebutuhan konsumsi dari
konsumen akhir dan kalangan industri pengolah gula yang semakin meningkat,
kenaikan konsumsi terbesar terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 5,01 juta ton
yang mengakibatkan angka impor gula nasional melonjak 5,8 persen dari tahun
2009 yang hanya 2,75 juta ton. Fakta ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh
Susila (2005) menyebutkan bahwa karena gula masih merupakan kebutuhan
pokok, maka respon konsumsi terhadap perubahan harga gula dan PDB adalah
inelastis, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagai contoh,
elastisitas jangka panjang terhadap perubahan harga eceran dan PDB masing-
masing adalah –0.18 dan 0.11 (Susila, 2005). Namun demikian, konsumsi gula
elastis terhadap perubahan jumlah penduduk, baik untuk jangka pendek maupun
jangka panjang.
Tabel 2. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010
Tahun Konsumsi (juta ton) Impor (juta ton)
2006 4,30 1,71
2007 4,70 2,84
2008 4,34 2,04
2009 4,54 2,75
2010 5,10 2,91 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)
Menurut Dewan Gula Indonesia (2012), saat ini Indonesia memiliki 62
pabrik gula yang aktif berproduksi dengan total kapasitas mencapai 200.000 TCD
yang mampu memroduksi 2,3 juta ton gula dari total kapasitas produksi 3,45 juta
ton. Kebutuhan gula yang tidak mampu dipenuhi dari produksi domestik
diperoleh dari impor gula yang berasal dari Thailand, Brazil, dan Amerika
(Dewan Gula Indonesia, 2012).
Kemudian, adapun kondisi industri gula nasional yang masih kurang
memuaskan dilihat dari tingginya impor membuat masyarakat bertanya
bagaimana sebenarnya kondisi riil dari industri gula di Indonesia. Selanjutnya,
18
kondisi riil industri gula Indonesia dapat dilihat dari kinerja industri tersebut
seperti produktivitas tebu, produktivitas gula, produksi gula, hingga jumlah pabrik
gula. Hal ini merupakan salah satu tonggak dalam menilai industri gula nasional
yang dapat berdayasaing dan pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan domestik
seperti negara penghasil gula di dunia.
1.2 Perumusan Masalah
Industri gula di Indonesia adalah salah satu industri tertua yang pernah
berjaya pada tahun 1930-an dengan pabrik yang berjumlah 179 pabrik di seluruh
Indonesia. Adapun produksiya yang pada saat tersebut mencapai 3 juta ton,
ekspor gula sekitar 2,40 juta ton, dan tingkat rendemen sebesar 11-13,80 persen.
Akan tetapi, setelah hampir 82 tahun setelah masa kejayaan industri tersebut,
pabrik-pabrik gula Indonesia menyusut jumlahnya menjadi 60 pabrik di seluruh
Indonesia saat ini (Dewan Gula Indonesia, 2010).
Masalah yang dihadapi industri gula di Indonesia terkait masalah produksi
dan konsumsi. Dari segi produksi, industri gula di Indonesia pada periode 2006
hingga 2010 mengalami kenaikan per tahunnya yaitu delapan persen. Adapun
kenaikan produksi tersebut tidak diimbangin dengan keseimbangan dalam pola
konsumsi dari pasar industri gula di Indonesia. Selain itu, kenaikan produksi pada
dasarnya adalah hasil dari kinerja dari sektor on farm dan off farm sepeti luas
lahan pada usahatani dan kuantitas dari pabrik gula sebagai sektor yang off farm.
Adapun dampak tidak seimbangnya produksi dan konsumsi adalah adanya
kenaikan impor gula di pasar domestik.
Kenaikan impor tersebut disebabkan oleh pertumbuhan positif konsumsi
gula per tahunnya yang naik sebesar 8,6 persen pada tahun 2006 hingga 2010,
sehingga kenaikan produksi gula harus terus ditingkatkan agar mengimbangi
meningkatnya konsumsi yang begitu tinggi dan dapat menekan angka impor.
Adapun kenaikan angka konsumsi disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk,
kenaikan pendapatan masyararakat, dan pertumbuhan industri makanan dan
minuman. Menurut Mardianto (2005) bahwa sebagai negara berpenduduk besar
dengan pendapatan yang terus meningkat, Indonesia berpotensi menjadi salah satu
konsumen gula terbesar di dunia. Adapun alasan kenaikan impor, antara lain: 1)
19
rendahnya harga gula di pasar internasional sebagi akibat surplus pasokan dan
distorsi kebijakan negara-negara eksportir; 2) rendahnya proteksi pemerintah
terhadap produk pertanian termasuk gula; dan 3) produksi gula dalam negeri yang
belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Kemungkinan peningkatan konsumsi gula pada masa yang akan datang
adalah masalah bagi Indonesia apabila Indonesia tidak dapat mengimbanginya
dengan peningkatan produksi gula yang lebih besar dan menutupi angka impor.
Adapun kenaikan impor yang begitu besar menandakan bahwa ketergantungan
Indonesia terhadap gula dari luar negeri begitu besar dan dapat membebani devisa
untuk membiayai gula impor tersebut, adapun nilai impor mencapai 1,7 miliar
dolar AS pada tahun 2010 (Asosiasi Gula Indonesia, 2011). Ketergantungan
terhadap produk pangan impor berkaitan erat dengan instabilitas ekonomi suatu
negara. Menurut Simatupang et al (2000) bahwa ketahanan pangan merupakan
salah satu indikator stabilitas ekonomi. Maka apabila keadaan industri gula
Indonesia semakin mengalami kemunduran dari segi produksi akan berdampak
pada fluktuasi harga gula yang tinggi, inflasi yang meningkat, ketahanan pangan
yang menurun, dan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia secara makro.
Berdasarkan permasalahan tersebut yang ada maka dilakukan analisis
kinerja industri gula di Indonesia untuk mengetahui sejauh mana kinerja dan
kemampuan dayasaing industri gula dalam memenuhi kebutuhan konsumsi gula
dalam negeri. Penelitian ini berupaya untuk melihat kemampuan bersaing industri
gula Indonesia melalui evaluasi kinerja industri, serta melihat kondisi pelaku
industri dengan melakukan perbandingan atas indikator yang telah ditentukan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kinerja industri gula di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinerja industri gula di
Indonesia dari segi wilayah penghasil gula dan mengetahui dayasaing industri
gula dari segi keunggulan kompetitif yang terdapat pada industri tersebut.
20
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan dalam sektor pertanian, pelaku industri gula, penulis, penulis, maupun
pembaca. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan khususnya pemerintah, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijkan dan
pengambilan keputusan di masa yang akan datnag dalam upaya penyelesaian
masalah gula nasional.
2. Bagi stakeholder industri gula, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dalam upaya mengembangkan industri gula di Indonesia.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menerapkan
ilmu dan wawasan yang telah didapatkan selama menuntut ilmu di IPB.
4. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan
informasi tambahan, literatur, dan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan suatu hasil kajian terhadap
keunggulan kompetitif dari industri gula di Indonesia dan kondisi pelaku industri
gula di Indonesia. Penelitian ini ada untuk menjawab seperti dayasaing industri
gula dan pelaku di dalam industri tersebut. Penelitian ini merupakan bersifat
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan Berlian Porter untuk menganalisis dayasaing industri gula dan untuk
melihat kondisi pelaku industri menggunakan pendekatan matriks perbandingan
berganda. Fokus untuk pendekatan Berlian porter adalah komponen yang ada di
dalam pendekatan tersebut.
Kemudian, fokus untuk pendekatan matriks perbandingan berpasangan
adalah melihat kondisi pelaku industri melalui indikator yang ditentukan yang
kemudian mengurutkannya berdasarkan bobot terbaik sehingga mendapatkan
gambaran kondisi pelaku industri gula Indonesia yang berdayasaing melalui posisi
teratas yang di tempati. Adapun pelaku industri gula di Indonesia dalam di bagi
21
atas pabrik gula dan wilayah penghasil gula. Untuk pabrik gula berjumlah 62
pabrik, sedangkan untuk wilayah penghasil gula yaitu Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Lampung, Jawa Barat- Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan
Gorontalo. Dengan menggunakan dua indikator perbandingan yaitu produktivitas
gula dan produktivitas tebu, yang data diambil berdasarkan data produktivitas
gula dan produktivitas tebu pada tahun 2011.
22
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Gula
2.1.1 Subsistem Input
Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang
ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan yang
akan digunakan untuk subsistem di depannya, yaitu subsistem usahatani. Adapun
contoh usaha dari subsistem input tersebut, antara lain: usaha sarana produksi
pertanian, dan alat serta mesin pertanian. Usaha-usaha tersebut menyalurkan
produk-produknya untuk subsistem usahatani atau on farm dalam hal kegiatan on
farm sebagai bahan baku utama atau bahan baku pendukung.
Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahawa adapun usaha dalam
subsistem input gula yang paling strategis adalah usaha pembibitan (kebun bidang
datar; KBD) karena menyangkut potensi tanaman tebu yang akan diusahakan pada
subsistem usahatani tebu. Usaha ini dilakukan oleh perusahaan besar; baik PTPN
maupun perusahaan swasta serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI). Untuk PTPN, usaha pembibitan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
PTPN sendiri dan perkebunan rakyat. Untuk PTPN yang ada di Jawa, usaha ini ini
lebih difokuskan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan rakyat. Usaha
pembibitan tebu dapat dikatakan berbeda dibandingkan usaha pembibitan lain
pada umunya. Hal ini dikarenakan pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif
cukup luas.
2.1.2 Subsistem Usahatani
Tanaman tebu yang adalah bahan mentah sebelum menjadi gula,
merupakan tanaman yang sangat peka terhadap unsur-unsur iklim. Karena itu,
waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula
dengan optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa
pertumbuhan vegetatif dan membutuhkan sedikit air saat pertumbuhan
23
generatifnya (Mubyarto dan Dayanti, 1991). Teknologi budidaya yang tepat serta
penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat
menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu
diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu
pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat
akan dikirim ke pabrik gula.
Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula
(PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan
perkebunan (estate) dimana PG sekaligus memiliki hak guna usaha (HGU) untuk
pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Sedangkan
PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu
dikelola oleh rakyat. PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan
dengan petani tebu yang menerapkan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar
66 persen dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34 persen (Badan
Litbang Pertanian 2005).
2.1.3 Subsistem Pengolahan
Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa perkembangan produksi
yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG)
dan berdampak pula pada keberadaan PG. Pada dekade terakhir, kinerja PG
cenderung menurun. Disamping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua,
kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh,
PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun
(180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12,8 juta ton sehingga
PG yang berada di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46,2%. Selanjutnya, PG
diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan
baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39,4%. Hal ini
memberikan indikasi bahwa PG yang berada di Jawa perlu melakukan konsolidasi
dan rehabilitasi.
24
2.1.4 Subsistem Tataniaga
Pada subsitem tataniaga gula, dijelaskan Badan Penelitan dan
Pengembangan Pertanian (2009) bahwa tataniaga gula di Indonesia berkaita erat
dengan konteks harga gula dan kebijakan tataniaga gula. Kedua hal ini merupakan
problem yang kerap dibicarakan oleh berbagai kalangan karena saling
mempengaruhi satu sama lain. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi
petani untuk memilih komoditas apa yang bakal dipilih. Dalam situasi harga
cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi,
sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut.
Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa dalam
konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global
sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan
berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Kemudian, harga
gula di pasar domestik secara signifikan oleh kebijakan tataniaga di setiap
periode, produksi, harga gula dunia, dan nilain tukar rupiah/US$ (Badan Penelitan
dan Pengembangan Pertanian, 2009).
Kebijakan tataniaga gula berpengaruh pada dasarnya terhadap harga gula
domestik dan tidak berpengaruh terhadap ketersediaan gula. Menurut Badan
Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa kebijakan tataniaga gula
periode Bulog cenderung untuk stabilisasi atau menekan impor dan harga
domestik untuk menjaga stabilisasi harga, kebijakan tataniaga pada periode
perdagangan bebas hanya signifika mempengaruhi harga domestik dengan
korelasi negatif, sedangkan kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor
signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula
domestik.
2.1.5 Subsistem Pendukung
Menurut Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian (2009) bahwa
subsistem pendukung dari sistem agribisnis suatu Komoditas, terdapat pihak-
pihak yang menyangga subsistem tersebut meliputi lembaga penelitian, asosiasi
pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan,
sumberdaya modal untuk pengembangan suatu Komoditas, sumberdaya
25
infrastruktur yang mendukung kegitan pada sistem agirbisnis, dan peran kebijakan
pemerintah.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait dayasaing industri gula di Indonesia sebelumnya sudah
pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian tersebut meneliti dengan ruang lingkup
yaitu dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Menurut
Cahyani (2008), meneliti tentang dayasaing dan strategi pengembangan agribisnis
gula Indonesia dengan menggunakan analisis Berlian Porter, metode SWOT, dan
arsitektur strategik. Menurut penelitian tersebut bahwa keterkaitan antar
komponen di dalam pendekatan Berlian Porter yang tidak saling mendukung lebih
dominan sehingga menyebabkan agribisnis gula Indonesia masih lemah. Setelah
pendekatan Berlian Porter lalu di dalam penelitian tersebut terdapat perumusan
strategi pengembangan yang menggunakan pendekatan SWOT yang berisi
beberapa strategi antara lain optimalisasi sumberdaya yang ada, pemanfaatan hasil
samping pengolahan gula, penguatan kelembagaan, penyuluhan penerapan
teknologi on farm, menjaga ketersediaan pasokan tebu, peningkatan kualitas dan
efisiensi produksi gula, pengaturan produksi dan impor gula rafinasi, menciptakan
lembaga permodalan bagi petani dan industri gula, rehabilitasi sarana prasarana
penunjang PG, penataan varietas dan pembibitan, pengaturan ketersediaan pupuk
dan bibit dalam waktu, jumlah, jenis, dan harga yang tepat, pengembangan
industri gula di luar Jawa, perbaikan manajemen tebang muat angkut (TMA),
mencari teknik budidaya yang sesuai untuk lahan bukan sawah, dan rehabilitasi
tanaman tebu keprasan (bongkar ratoon). Adapun kaitannya dengan penelitian ini
adalah merujuk beberapa komponen dayasaing yang menjadi dasar penelitian ini
dalam menjelaskan komponen dalam Berlian Porter. Kemudian, perbedaan dari
penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah fokus penjelasan yang
disajikan merujuk kepada kinerja industri gula dengan dijelaskan pula dayasaing
kompetitifnya.
Ginandjar (2011), melakukan penelitian tentang kebijakan gula rafinasi
dalam pembangunan industri gula nasional, di dalam penelitian tersebut
26
menggunakan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan Framework Tinbergen
dengan menganalisis penyebab timbulnya pertentangan dalam kebijakan
pergulaan.hasil dari penelitian tersebut adalah dalam pergulaan di Indonesia
terdapat dua kelompok yaitu samurai untuk para pengusaha yang berada di dalam
industri gula kristal putih dan naga untuk para pengusaha yang berada di dalam
industri gula kristal rafinasi. kendala yang dihadapi oleh perdagangan gula dalam
negeri adalah lemahnya penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan
dan manipulasi dokumen gula impor, setiap eselon satu dalam kementerian terkait
impor gula memiliki data dan kebijakan yang berbeda dalam hal yang sama, dan
tidak mudahnya mengimpor gula kristal mentah dengan kuota besar karena hal itu
yang akan menghentikan industri gula kristal putih dalam negeri. Efek samping
kebijakan industri gula kristal rafinasi terhadap pembangunan industri gula
nasional adalah menyebabkan pasar gula kristal putih terhambat, terutama saat
harga gula kristal mentah rendah dan gula kristal rafinasi merembes ke pasar
konsumsi langsung. Adapun kaitannya dalam penelitian ini adalah merujuk
kepada kebijakan dalam industri gula yang pernah dikeluarkan agar melengkapi
data kebijakan gula yang sudah ada.
Wiryastuti (2002), melakukan studi tentang peningkatan dayasaing
industri gula di Jawa Tengah dengan menggunakan metode Analytical Hierarkhi
Process (AHP). Hasil penelitan menunjukkan bahwa faktor aktor utama yang
berperan dalam meningkatkan dayasaing industri gula di Jawa adalah biaya
produksi sedangkan aktor utama yang berperan meningkatkan dayasaing industri
gula di Jawa adalah manajemen perusahaan dan pemerintah pusat. Penelitian ini
juga menghasilkan prioritas strategi utama yang dilakukan untuk meningkatkan
dayasaing industri gula di Jawa adalah peningkatan efisiensi dan menjalin
kemitraan dengan mitra strategis yang menguasai bahan baku, pasar, modal, dan
teknologi. Adapun kaitannya penelitian terdahulu ini dengan penelitian ini adalah
mendapat gambaran dayasaing industri gula di wilayah Jawa.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap input menunjukkan bahwa
terdapat distorsi pada pasar pupuk. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sistem
Komoditas baik input maupun output terdapat proteksi yaitu kebijakan harga
output berupa tarif dan harga lelang serta subsidi input yang melindungi pelaku
27
industri gula agar tetap mau berproduksi dan distorsi pasar yang ada pada industri
gula, pelaku industri gula diuntungkan karena pelaku industri gula memperoleh
keuntungan yang positif lebih tinggi dari seharusnya yang bernilai negatif dan
adanya kebijakan pemerintah, pelaku industri gula membayar biaya produksi
dengan nilai lebih rendah dari biaya imbangan berproduksinya.
Tinjauan untuk penelitian terdahulu di atas mengungkapkan bahwa kajian
tentang gula secara umum, seperti dayasaing dan peningkatannya, dampak
kebijakan pemerintah terhadap gula, peramalan produksi dan konsumsi gula, dan
faktor yang berhubungan dengan harga gula. Namun penelitian yang
memfokuskan perhatian pada dayasaing gula relatif belum banyak, terutama
tentang dayasaing industri gula dengan melihat keunggulan kompetitif industri
dan melihat keunggulan antar pelaku di dalam industri berdasarkan indikator yang
ditentukan. Penelitian ini melengkapi penelitian dayasaing industri gula di
Indonesia dengan adanya penambahan analisis matriks perbandingan berpasangan
untuk mengukur keunggulan wilayah penghasil gula.
28
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Analisis Berlian Porter
Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Menurut Porter (1990) terdapat
empat faktor utama yang menentukan dayasaing industri yaitu kondisi faktor
sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi industri terkaita dan industri pendukung
serta kondisi stuktur, persaingan dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut
didukung oleh peranan pemerintah dan peranan kesempatan dalam meningkatkan
keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk
suatu sistem yang dikenal dengan the national diamond. Setiap atribut yang
terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin-poin penting yang menjelaskan
secara detail atribut yang ada, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimiliki merupakan
faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor
produksi digolongkan kedalam lima kelompok:
1.a. Sumberdaya Fisik atau Alam
Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing
nasional mencakup biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan (lokasi),
ketersediaan air, mineral, dan energi sumberdaya pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan (termasuk perairan laut lainnya), peternakan, serta
sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi
topografis, dan lain-lain.
1.b. Sumberdaya Manusia
29
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi dayasaing industri nasional
terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan
keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah), dan
etika kerja (termasuk moral).
1.c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar,
pengetahuan teknis, dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan
dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber
pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan
pengembangan, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan, dan sumber
pengetahuan dan teknologi lainnya.
1.d. Sumber Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal),
aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan,
tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter, fiskal, serta
peraturan moneter dan fiskal.
1.e. Sumberdaya Infrastuktur
Sumberdaya infrastuktur yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri
dari ketersediaan, jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastuktur yang
mempengaruhi persaingan. Termasuk sistem transportasi, komunikasi, pos, giro,
pembayaran transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.
2) Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri, terutama mutu permintaan domestik. Mutu permintaan domestik
merupakan sasaran pembelajaran perusahaan-perusahaan domestik untuk bersaing
di pasar global. Mutu permintaan (persaingan yang ketat) di dalam negeri
memberikan tantangan bagi setiap perusahaan untuk meningkatkan dayasaingnya
sebagai tanggapan terhadap mutu persaingan di pasar domestik. Ada tiga faktor
kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing industri nasional yaitu:
2.a. Komposisi Permintaan Domestik
30
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
industri nasional. Karakteristik tersebut meliputi:
i) Stuktur segmen permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
nasional. Pada umumnya perusahaan-perusahaan lebih mudah memperoleh
dayasaing pada stuktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan
dengan stuktur segmen yang sempit.
ii) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan
kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi
standar yang tinggi yang mencakup standar mutu produk, product features,
dan pelayanan.
iii) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri
merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan bersaing.
2.b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat
persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru dan kejenuhan
permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan melakukan penetrasi lebih awal.
Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif dalam suatu industri. Hal ini dapat dilakukan jika industri dilakukan
dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun
fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktivitas.
2.c. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Pembeli yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong
dayasaing industri nasional, karena dapat membawa produk tersebut ke luar
negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering
mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong meningkatnya dayasaing produk
negeri yang dikunjungi tersebut.
3) Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang telah memiliki
dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama
dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,
31
pengiriman tepat waktu dan jumlah sesuai dengan kebutuhan industri utama,
sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.
Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan
bakunya. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir
tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.
4) Stuktur, Persaingan, dan Strategi Perusahaan
Stuktur industri dan perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Stuktur
industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan
perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan stuktur
industri yang bersaing. Stuktur perusahaan yang berada dalam industri sangat
berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan
dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun
internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan
dayasaing global industri yang bersangkutan.
4.a. Stuktur Pasar
Istilah stuktur pasar digunakan untuk nenunjukan tipe pasar. Derajat
persaingan stuktur pasar (degree of competition of market share) dipakai untuk
menunjukan sejauh mana perusahaan-perusahaan individual mempunyai kekuatan
untuk mempengaruhi harga atau ketentuan-ketentuan lain dari produk yang dijual
di pasar. Stuktur pasar didefinisikan sebagai sifat–sifat organisasi pasar yang
mempengaruhi perilaku dan keragaan perusahaan. Jumlah penjual dan keadaan
produk (nature of the product) adalah dimensi–dimensi yang penting dari stuktur
pasar. Adapula dimensi lainnya adalah mudah atau sulitnya memasuki industri
(hambatan masuk pasar), kemampuan perusahaan mempengaruhi permintaan
melalui iklan, dan lain–lain. Beberapa stuktur pasar yang ada antara lain pasar
persaingan sempurna, pasar monopoli, pasar oligopoli, pasar monopsoni, dan
pasar oligopsoni. Biasanya stuktur pasar yang dihadapi suatu industri seperti
monopoli dan oligopoli lebih ditentukan oleh kekuatan perusahaan dalam
menguasai pangsa pasar yang ada, dibandingkan jumlah perusahaan yang
bergerak dalam suatu industri.
4.b. Persaingan
32
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong
bagi perusahaan–perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.
Keberadaan pesaing yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai
motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain dalam
meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan–perusahaan yang telah teruji pada
persaingan ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan
persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan–perusahaan yang
belum memiliki dayasaing yang tingkat persaingannya rendah.
4.c. Strategi Perusahaan
Dalam menjalankan suatu usaha, baik perusahaan yang berskala besar
maupun perusahaan berskala kecil, dengan berjalannya waku, pemilik atau
manajer dipastikan mempunyai keinginan untuk mengembangkan usahanya ke
dalam lingkup yang lebih besar. Untuk mengembangkan usaha, perlu strategi
khusus yang terangkum dalam suatu strategi pengembangan usaha. Penyusunan
suatu strategi diperlukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan
semua faktor yang berpengaruh terhadap organisasi atau perusahaan tersebut.
5) Peran Pemerintah
Peran pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya
peningkatan dayasaing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor–faktor penentu
dayasaing global. Perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri yang
mampu menciptakan dayasaing global secara langsung. Peran pemerintah
merupakan fasilitator bagi upaya untuk mendorong perusahaan–perusahaan dalam
industri agar senantiasa melakukan perbaikan dan meningkatkan dayasaingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku–pelaku industri
terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan–kebijakannnya, seperti
sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya ilmu
pengetahuan, dan teknologi serta informasi. Pemerintah juga dapat mendorong
peningkatan dayasaing melalui penetapan standar produk nasional, standar upah
tenaga kerja minimum, dan berbagai kebijakan terkait lainnya. Pemerintah dapat
mempengaruhi kondisi permintaan domestik, baik secara langsung melalui
kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkannya maupun secara langsung
melalui perannya sebagai pembeli produk dan jasa. Kebijakan penerapan bea
33
keluar dan bea masuk, tarif pajak, dan lain–lainnya yang juga menunjukan
terdapat peran tidak langsung dari pemerintah dalam meningkatkan dayasaing
global.
Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat dayasaing melalui kebijakan
yang memperlemah faktor penentu dayasaing industri, tetapi pemerintah tidak
dapat secara langsung menciptakan dayasaing global adalah memfasilitasi
lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor penentu dayasaing,
sehingga perusahaan–perusahaan yang berada dalam industri mampu
mendayagunakan faktor–faktor penentu tersebut secara efektif dan efisien.
6) Peran Kesempatan
Peran kesempatan merupakan faktor yang berada diluar kendali
perusahaan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri
nasional. Beberapa kesempatan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing
global industri nasional adalah penemuan baru yang murni, biaya perusahaan
yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi
mata uang), meningkatkan permintaan produk industri yang bersangkutan lebih
tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta
berbagai faktor kesempatan lainnya.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Gula merupakan komoditas pokok yang berperan penting dalam konsumsi
domestik dan juga kegiatan produksi karena gula merupakan bahan dasar dari
industri makanan dan minuman. Hal ini membuat konsumsi gula di Indonesia
semakin meningkat terutama berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk dan
perkembangan industri pengolahan makanan dan minuman. Sebagai negara
berpenduduk besar maka Indonesia sangat potensial menjadi salah satu konsumen
gula terbesar di dunia dan bergantung kepada negara lain apabila Indonesia tidak
dapat membangun industri gulanya secara baik. Hal ini dilihat dari produksi gula
sekarang belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu meningkat.
Faktanya, terdapat fluktuasi kinerja industri gula di Indonesia pada tiap tahunnya
mulai dari luas areal perkebunan, produksi tebu, dan rendemennya sehingga
membuat produksi gula di Indonesia tidak menentu dan sulit konsisten memenuhi
34
kebutuhan domestik. Hal ini disebabkan kurangnya penerapan teknologi on farm
dan efisiensi pabrik gula yang rendah.
Tingginya volume impor gula di Indonesia juga disebabkan oleh
rendahnya harga gula di pasar internasional sebagai akibat surplus pasokan dan
distorsi kebijakan dari negara-negara eksportir, rendahnya proteksi pemerintah
terhadap produk-produk pertanian termasuk gula, dan produksi gula dalam negeri
belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Karena itu, untuk
mengurangi volume impor gula perlu adanya perbaikan dari sisi teknologi on
farm dan efisiensi pabrik gula, sehingga dapat menghasilkan gula domestik yang
lebih banyak dan harga yang dapat lebih berdayasaing pada pasar domestik
maupun pasar internasional. Kebijakan swasembada gula dan didukung
pertumbuhan ekonomi yang baik menjadi momentum pemerintah dalam hal
pembangunan industri gula domestik secara masif.
Penjelasan di atas menggambarkan suatu kondisi yang berhubungan
dengan industri gula di Indonesia saat ini. Penelitian ini dilakukan dengan
menganalisis kinerja industri gula di Indonesia menggunakan pendekatan Matriks
Perbandingan Berpasangan guna melihat kondisi pelaku di dalam industri gula
Indonesia yaitu wilayah penghasil gula di Indonesia. Setelah didapatkan,
peringkat wilayah penghasil gula yang terbaik hingga terburuk dari sisi lima
komponen pembanding, maka dilakukan analisis keunggulan kompetitif dengan
menggunakan pendekatan berlian porter. Pendekatan berlian porter ini dilakukan
untuk menjelaskan adanya wilayah penghasil gula yang terbaik dan wilayah
penghasil gula terburuk di Indonesia. Setalah dilakukan pendekatan berlian porter,
maka didapatkan gambaran yang baik untuk menilai kinerja industri gula di
Indonesia dari segi wilayah penghasil gula. Hal ini penting karena untuk
memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam hal pengembangan industri
gula di Indonesia dari segi pengembangan wilayah. Semua hal yang telah
dijelaskan sebelumnya terangkum dalam kerangka pemikiran operasional yang
terdapat pada Gambar 1.
35
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
Gula sebagai salah satu kebutuhan
pokok masyarakat Indonesia.
Kesempatan dalam pengembangan
industri gula di Indonesia yang
disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan
swasembada gula nasional.
Gambaran Persaingan Industri Gula di Indonesia
dalam Ruang Lingkup
Wilayah Penghasil Gula
Analisis Kinerja Industri Gula di
Indonesia.
Peningkatan volume impor ini
disebabkan oleh naiknya
konsumsi gula nasional dan
pertumbuhan industri makanan dan minuman.
Adanya fluktuasi kinerja industri
gula, sehingga sulit untuk
memenuhi kebutuhan gula
domestik
Analisis Untuk Menilai Kinerja
Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia
Pendekatan Berlian Porter
Matriks Perbandingan Berpasangan
Gambaran Kinerja Industri
Gula di Indonesia
36
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Ruang Lingkup dan Waktu Penelitian
Penelitian ini membahas tentang kondisi industri gula di Indonesia, kinerja
dan dayasaing industri gula sebagai komoditas yang pokok di Indonesia. Lingkup
penelitian ini meliputi pengolahan data gula secara nasional (makro). Penelitian
ini mengambil data industri gula di Indonesia tahun 2007 hingga 2011.
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Desember 2012
dari mulai penyusunan proposal hingga penyerahan skripsi. Pada peneilitian ini,
terdapat beberapa hal yang dijelaskan pada proses penyusunan proposal hingga
proses sidang. Proses pra penelitian dilakukan pada awal tahun dengan melakukan
pengumpulan data awal di lembaga yangterkait dengan industri gula Indonesia
Pada pra penelitian, peneliti melakukan kunjungan langsung ke pabrik gula di
Jawa Timur yang mendapatkan gambaran awal terhadap industri gula di Indonesia
dan permasalahan yang ada di Indonesia. Serta setelah itu, peneliti melakukan
kunjungan ke pabrik gula di Thailand untuk mendapatkan informasi sebagai
perbandingan antara industri gula Indonesia dean Thailand. Kemudian, proses
penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data inti untuk pembahasan serta
pengolahan data yang melibatkan proses secara kualitatif.
4.2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data
primer. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah berupa data
laporan tahunan kinerja industri gula Indonesia yang dikeluarkan oleh Dewan
Gula Indonesia dan Laporan kinerja perkebunan yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Perkebunan. Kemudian, data primer dalam penelitian ini data yang
didapatkan dari in depth interview dengan peneliti PRIDE tentang keterkaitan
antar komponen dayasaing dalam Berlian Porter dan farm visit yang dilakukan ke
pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Dalam konteks sumber data, data yang
37
digunakan adalah data kuantitatif yang berupa data produktivitas tebu dan
produktivitas gula untuk ruang lingkup pabrik, wilayah, dan nasional yang ada
pada tahun 2011. Selain itu, dalam penelitian ini digunakan data kualitatif yang
terkait dengan industri gula di Indonesia. Data kualitatif ini berupa pendapat ahli
dari peneliti PRIDE sebagai acuan dalam menilai keterkaitan komponen
dayasaing pada Berlian Porter. Serta, data kualitatif yang didapatkan dari farm
visit ke pabrik gula di Jawa Timur dan Thailand. Instrumen atau alat pengumpul
data yang digunakan berupa daftar panduan wawancara yang telah disusun secara
tertulis sesuai dengan masalah, studi literatur, dan alat pencatat.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis dan pengolahan data dilakukan dalam penelitian ini adalah secara
kualitatif. Alasan penggunaan analisis secara kualitatif adalah terdapat beberapa
hal yang dapat digali dan diketahui secara mendalam untuk menjawab
permasalahan penelitian. Jawaban tersebut dapat diperoleh melalui penggunaan
analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis situasi dan
kondisi faktor penentu kinerja industri, khususnya industri gula. Analisis kualitatif
dilakukan dengan menggunakan Matriks Perbandingan Berpasangan dan Teori
Berlian Porter. Proses pengolahan data untuk Matriks Perbandingan Berpasangan
dilakukan dengan menggunakan Software Microsoft Excel 2007 untuk
mendapatkan nilai bobot dari hasil perbandingan antara variabel berdasarkan
komponen yang ditentukan. Adapun kesulitan bagi peneliti dalam metode
pengolahan dan analisis data adalah sulitnya menggabungkan data kuantitatif dan
data kualitatif yang telah dikumpulkan untuk membuat analisis yang
komprehensif dan tepat sesuai tujuan penelitian.
4.4.1. Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks perbandingan berpasangan merupakan pendekatan untuk
meringkas dan melihat keunggulan variabel yang dihadapkan pada indikator yang
telah ditentukan. Pendekatan matriks perbandingan berpasangan digunanakan
untuk melihat kondisi pelaku industri gula di Indonesia, dengan melihat posisi
dari para pelaku industri berdasarkan komponen yang ditentukan. Matriks ini juga
38
dapat memberikan dasar untuk mengidentifikasi variabel yang dapat bersaing
melalui posisi yang ditempati oleh variabel tersebut. Langkah-langkah matriks
perbandingan berpasangan dibagi menjadi wilayah penghasil gula dalam menilai
wilayah penghasil gula yang dapat bersaing pada industri gula Indonesia, antara
lain:
1. Menentukan indikator inti dalam melakukan matriks perbandingan berpasangan
wilayah agar membatasi ruang lingkup analisis, adapun komponen yang
digunakan adalah luas lahan (ha), jumlah pabrik (pabrik), produktivitas tebu
(ton tebu/ha), produktivitas gula (ton gula/ton tebu), dan produksi tebu (ton).
Data yang digunakan adalah data tahun 2011 agar mendapatkan hasil kinerja
terbaru dari industri gula. Perbandingan awal dilakukan dengan menggunakan
data numerik sesuai dengan komponen yang ditentukan.
2. Melakukan pembagian wilayah sebagai basis menilai wilayah yang dapat
bersaing di industri gula Indonesia, dimana pembagian menjadi tujuh wilayah
yaitu Jawa Barat-Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Dasar pembagian wilayah
ini adalah menurut lokasi yang memiliki pabrik gula di Indonesia.
2. Mendaftarkan seluruh wilayah penghasil gula yang ada di Indonesia sebagai
basis wilayah yang akan digunakan dalam analisis perbandingan wilayah
tersebut, dimana keseluruhan wilayah tersebut berjumlah tujuh wilayah di
Indonesia. Alasan pemilihan tujuh wilayah ini adalah melihat kondisi
sebenarnya dari pelaku industri gula di Indonesia yang notabenenya diisi
olehtujuh wilayah tersebut.
3. Analisis matriks perbandingan berpasangan ini dilakukan dengan dua tahap
yaitu tahap kuantitatif dengan memasukkan data-data berdasarkan indikator
untuk wilayah ke dalam matriks dan tahap kualitatif dengan mengulas hasil
dari matriks tersebut. Pada tahap kuantitatif, perbandingan dilakukan
menggunakan matriks berpasangan yang nantinya akan dibagi menurut
pasangan perbandingan yang telah ditentukan pada kelima komponen
pembanding, yaitu antar wilayah-wilayah. Adapun tahap kualitatif yaitu
dengan membandingkan antar wilayah dengan wilayah lain. Dasar dari tahapan
39
yang dilakukan adalah untuk melihat kondisi pelaku industri satu dengan
pelaku lain, yang dalam penelitian ini berfokus pada wilayah penghasil gula.
5. Penilaian matriks dengan menggunakan tabel dan rumus menghitung bobot
dalam analisis matriks perbandingan berpasangan ini diadaptasi dari teori
Internal dan Eksternal Matriks yan terdapat dalam Management Strategies
(David, 2006). Penilaian matriks berpasangan yang didasarkan dari komponen
pembanding yang telah ditetapkan, komponen 1,2,3,4, dan 5 dalam matriks
merupakan komponen pembanding yang akan dibandingkan dari wilayah A
dengan wilayah B. Setiap komponen digunakan skala 1, 2, dan 3 untuk
menentukan bobot. Bobot ini digunakan untuk mengukur nilai keunggulan
antara wilayah A dan wilayah B pada indikator yang telah ditentukan. Skala
yang digunakan untuk menetukan bobot adalah:
1 = jika Wilayah A lebih buruk daripada Wilayah B
2 = jika Wilayah A sama dengan Wilayah B
3 = jika Wilayah A lebih baik dari Wilayah B
Tabel 3. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah
penghasil gula dalam Industri Gula Indonesia
Wilayah A Total Bobot
Komponen
Pembanding
1 2 3 4 5
Wilayah
B
1 Xi
2
3
4
5
Total
Sumber: Internal dan Eksternal Matriks dalam Managemen Strategies (David, 2006)
Wilayah A dalah variabel horizontal, Wilayah B adalah variabel vertikal.
Cara membaca perbandingan dimulai dari variabel baris atau variabel
horizontal (variabel X) dibandingkan variabel kolom atau variabel vertikal
40
(variabel Y) dan harus konsisten. Dibawah ini adalah matriks perbandingan
berpasangan wilayah penghasil gula dalam industri gula Indonesia. Bobot
setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap
jumlah nilai keseluruhan dengan menggunakan rumus:
∝i =
Dimana,
∝i = Bobot variabel ke-i
Xi = Nilai variabel ke-i
n = jumlah data
i = 1,2,3,...n
Sumber: Internal dan Eksternal Matriks (Diadaptasi)
6. Mendaftarkan kembali dengan tabel peringkat wilayah penghasil gula
berdasarkan urutan dari bobot yang terbesar hingga terkecil. Bobot terbesar
membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih baik
dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan. Serta bobot
terkecil membuktikan bahwa wilayah A tersebut memiliki nilai yang lebih
buruk dibanding wilayah B menurut komponen yang dibandingkan.
7. Setelah itu, didapatkan wilayah penghasil gula yang memiliki kinerja yang baik
dalam industri gula Indonesia adalah wilayah yang menempati posisi teratas
dalam kelima komponen pembanding.
4.4.2. Analisis Berlian Porter
Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui dayasaing Industri gula di
Indonesia adalah Teori Berlian Porter. Analisis dilakukan pada tiap komponen
yang terdapat pada Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen
tersebut meliputi :
1) Factor Condition (FC), yaitu keadaan faktor–faktor produksi dalam suatu
industri seperti tenaga kerja dan infrastuktur.
2) Demand Condition (DC), yaitu keadaan permintaan atas barang dan jasa
dalam negara.
3) Related and Supporting Industries (RSI), yaitu keadaan para penyalur dan
industri lainnya yang saling mendukung dan berhubungan.
41
4) Firm, Strategy, Structur, and Rivalry (FSSR), yaitu strategi yang dianut
perusahaan pada umumnya, stuktur industri dan keadaan kompetisi dalam
suatu industri domestik.
Gambar 2. The Complete System of National Competitive Advantage
(Porter, 1990)
Keterangan:
Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang saling
mendukung
Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang mendukung
komponen utama
Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen utama yang tidak saling
mendukung
Garis ( ), menunjukan keterkaitan antar komponen penunjang yang tidak
terjalin atau tidak mendukung komponen utama
Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen
utama tersebut yaitu faktor pemerintah dan kesempatan. Keempat faktor utama
42
dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis
komponen penentu dayasaing kita dapat menentukan komponen yang menjadi
keunggulan dan kelemahan dayasaing industri gula di Indonesia. Hasil
keseluruhan interaksi antar komponen yang saling mendukung sangat menentukan
perkembangan yang dapat menjadi competitive advantage dari suatu
industri.Komponen–komponen dalam Teori Berlian Porter dapat dilihat pada
Gambar 2.
Pendekatan analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi
dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik,
kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait, serta struktur,
persaingan, dan strategi industri gula di Indonesia. Selain hal tersebut, tedapat
juga dua atribut tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan industri gula di Indonesia.
4.5 Definisi Operasional
1. Gula yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gula tebu khususnya white
sugar. White sugar adalah gula berkualitas baik, putih, persen pol > 99,5 dan
dapat dikonsumsi langsung.
2. Produksi gula Indonesia adalah total produksi gula konsumsi masyarakat di
Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun.
3. Konsumsi gula Indonesia adalah total konsumsi gula langsung masyarakat
Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton per tahun.
4. Produksi tebu Indonesia adalah total produksi tebu di Indonesia yang
dinyatakan dalam satuan ton per tahun.
5. Luas areal perkebunan tebu adalah luas seluruh areal produktif tanaman tebu di
Indonesia yang dinyatakan dalam satuan hektar.
6. Produktivitas tebu adalah hasil bagi antara produksi tebu Indonesia dengan luas
perkebunan tebu yang dinyatakan dalam satuan ton per hektar.
7. Rendemen adalah kadar kandungan gula dalam setiap batang tebu yang
dinyatakan dalam satuan persen.
43
8. Impor gula adalah jumlah seluruh impor gula yang dijual atau dipasarkan di
pasar domestik dan tidak termasuk impor ilegal yang dinyatakan dalam satuan
ton.
44
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA
5.1 Industri Pergulaan Indonesia
Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari
keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform
Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai
ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) seperti berikut ini.
5.1.1 Raw Sugar
Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan
dengan bahan bakun dari tebu. Untuk menghasilkan produk ini dibutuhkan proses
sebagai berikut : Tebu – Giling – Nira – Evaporator - kristal merah (raw sugar).
Menurut KPPU (2010) bahwa raw sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600-
12000 UI. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik
penggilingan tebu yang tidak memiliki unit pemutihan yang biasanya jenis gula
inilah yang banyak diimpor untuk nantinya diubah menjadi gula kristal putih
ataupun gula rafinasi.
5.1.2 Refined Sugar
Refined sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari
gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung
dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi dihasilkan
melalui tahapan produksi yaitu : raw sugar preparation affination – carbonasi –
penyaringan – pertukaran ion – evaporasi – sentrifugal – gula rafinasi –
pengemasan. Hal yang membedakan antara gula kristal putih dengan gula rafinasi
adalah gula rafinasi menggunakan proses carbonasi sedangkan gula kristal putih
menggunakan proses sulfitasi.
Gula rafinasi mempunyai standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang memiliki
nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA 46-80. Gula
rafinasi ini adalah bahan baku yang digunakan untuk industri makanan dan
minuman. Pendistribusian gula rafinasi dilakukan secara khusus, dimana
distributor gula rafinasi terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan serta
penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh kementerian
45
perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran gula rafinasi ke
rumah tangga.
5.1.3 Gula Kristal Putih
Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU.
Kementerian perindustrian mengelompokkan gula kristal putih menjadi tiga
bagian yaitu gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, gula kristal putih 2
dengan nilai ICUMSA 250-350, dan gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA
350-350. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula
tersebut serta rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk
konsumen rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula yang dekat
dengan perkebunan tebu dengan cara menggiling dan melakukan proses
pemutihan, yaitu dengan sulfitasi. Berikut rangkain prosesnya : Tebu – Gilingan –
Nira – Evaporator – Kristal – Sentrifugal – Sulfitasi – Gula kristal putih/ gula
pasir.
5.2 Kondisi Industri Gula Saat Ini
5.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu
Pemerintah menyadari bahwa usaha peningkatan produksi gula di Jawa
makin sulit karena harus bersaing dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah sejak awal tahun 1980-an telah melakukan perluasan lahan
tanaman tebu dan pabrik ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tetapi kenyataan
pada saat ini menunjukkan bahwa kecuali Lampung, pabrik-pabrik gula tersebut
belum ada yang optimal kinerjanya. Menurut Utomo dan Soelistyari (1988),
bahwa yang menjadi masalah adalah bukan kekurangan lahan untuk menanam
tebu, tetapi karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk ditanami tanaman
tebu. Hal tersebut dikarenakan sifat tanahnya yang tidak cocok sehingga
produksinya yang diperoleh rendah.
Utomo dan Soelistyari (1988) juga menjelaskan lahan di luar Jawa adalah
tergolong podsolik merah kuning. Jadi, pada tanah ini tanaman tebu mempunyai
kesempatan besar untuk dikembangkan. Tetapi perlu dikemukakan bahwa tanah
podsolik merah kuning merupakan tanah yang memiliki banyak faktor pembatas
46
yang menjadi kendala, baik dalam pemanfaatannya maupun usaha menjaga
kelestarian produktivitasnya. Podsolik merah kuning terdapat di daerah dengan
curah hujan tinggi. Telah mengalami pelapukan yang lanjut dan pelindian yang
amat jauh, miskin hara tanaman, struktur tanah tidak mantap sehingga status
pertaniannya rendah (Soeprapto, 1983).
Luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan
kecenderungan meningkat dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Namun,
sebelumnya terjadi penurunan luas areal tanam adalah pada tahun 1999 sebesar
9,91 persen, yang kemudian diikuti penurunan pada tahun 2000. Adapun alasan
terjadinya penurunan tersebut adalah akibat dihapuskannya kebijakan TRI dan
konversi lahan (Dirjen Perkebunan, 2006). Penurunan luas areal tersebut
berdampak pada penurunan produksi tebu sebesar 12,59 persen, dari 71,84 ton/ha
pada tahun 1998 menjadi 62,80 ton/ha pada tahun 1999.
Adapun pada tahun 2011, luas lahan pengembangan tebu di Indonesia naik
sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai 450.297 ha pada tahn
tersebut. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa luas lahan tersebut
tersebar di beberapa dearah, antara lain: Jawa Timur dengan 192.801 ha,
Lampung dengan 128.321 ha, Jawa Tengah dengan 51.955 ha, Jawa Barat dengan
22.487 ha, Sulawesi Selatan dengan 14.039 ha, Sumatera Selatan dengan 15.282
ha, Sumatera Utara dengan 10.046 ha, Gorontalo dengan 8.681 ha, dan DIY
dengan 6.681 ha. Dilihat dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Jawa
masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha
atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Hal ini harus
dihindari karena sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan satu daerah
penyangga produksi gula untuk menyukseskan program swasembada gula tahun
2014.
Adapun terjadinya kenaikan luas lahan pengembangan tebu pada tahun
2011 dikarenakan program pemerintah terkait swasembada gula tahun 2014
sehingga pemerintah berusaha untuk memperluas lahan tebu petani. Akan tetapi
pada tahun tersebut produksi tebu malah menurun sebesar 11,38 persen dari tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor beyond control yaitu faktor cuaca yang
47
tidak menentu, dimana pada tahun tersebut curah hujan yang tinggi sehingga
kuantitas tebu yang dihasilkan menjadi lebih sedikit.
Tabel 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan
Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011
Tahun Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Tebu Rendemen
(%) Total
(Ha)
Pertumb
uhan
(%)
Total
(Ton)
Pertum
buhan
(%)
Total
(Ton/Ha)
Pertum
buhan
(%)
1993 420.687 - 37.593.146 89,36 - 6,60
1994 428.726 1,91 30.545.070 -18,75 71,25 -20,27 8,02
1995 420.630 -1,89 30.096.060 -1,47 71,55 0,43 6,97
1996 403.266 -4,13 28.603.531 -4,96 70,93 -0,87 7,32
1997 385.669 -4,36 27.953.841 -2,27 72,48 2,19 7,83
1998 378.293 -1,91 27.177.766 -2,78 71,84 -0,88 5,49
1999 340.800 -9,91 21.401.834 21,25 62,80 -12,59 6,96
2000 340.660 -0,04 24.031.355 12,29 70,54 12,33 7,04
2001 344.441 1,11 25.186.254 4,81 73,12 3,66 6,85
2002 350.723 1,82 25.533.431 1,38 72,80 -0,44 6,88
2003 335.725 -4,28 22.631.109 -11,37 67,41 -7,41 7,21
2004 344.293 2,55 26.743.179 18,17 77,68 15,23 7,67
2005 381.759 10,88 31.242.267 16,82 81,84 5,36 7,18
2006 396.441 3,85 30.232.833 -3,23 76,26 -6,81 7,63
2007 427.178 7,75 33.066.042 9,37 77,41 1,50 7,35
2008 436.504 2,18 32.960.165 -0,32 75,50 -2,47 8,20
2009 422.935 -3,11 32.165.572 -2,41 76,10 0,79 7,83
2010 418.259 -1,11 34.216.549 6,38 81,80 7,49 6,47
2011 450.297 7,66 30.323.228 -11,38 67,30 -17,73 7,35
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 (Diolah)
Produksi gula juga berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan
mulai ada peningkatan, kecuali tahun 1999, 2003 dan 2010. Pada tahun 1999
terjadi penurunan karena adanya penurunan lahan produksi tebu. Penurunan ini
disumbang oleh efek kebijakan pemerintah terkait TRI dan konversi lahan. Pada
tahun 2003 terjadi penurunan produksi tebu sebesar 11,37 persen, sehingga
menurunkan produksi gula sebesar 6,72 persen. Hal ini terjadi akibat masalah
ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumberdaya iklim
yang memegang peranan penting dalam proses produksi tebu, khususnya pada
lahan kering. Pada tahun tersebut, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang
ditanam periode Mei hingga September mengalani cekaman air (water stress)
pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif.
48
Tabel 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun 1993-2011
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012
Kekeringan yang terjadi berdampak lebih besar pada penurunan produksi
tebu dibandingkan dengan fase pembentukan gula maupun fase pematangan.
Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi per satuan luas secara
signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen meningkat. Kondisi yang terjadi
sesuai dengan riset FAO (1997), bahwa kehilangan hasil akibat kekeringan (water
stress) secara kuantitatif dapat mencapai 40 persen dari potensi produksinya
apabila terjadi pada fase kritis tanaman.
Pada tahun 2010, yang terjadi adalah penurunan produksi gula yang cukup
besar dari tahun sebelumnya sebesar 15,61 persen dari tahun 2009. Hal ini
dikarenakan dampak anomali iklim, dimana curah hujan yang tinggi di sepanjang
tahun tersebut. Kejadian ini tidak terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara
produsen gula, seperti Thailand. Faktor beyond control ini memang sulit
diantisipasi karena bersifat risiko murni. Penurunan produksi gula dikarenakan
menurunnya rendemen sebesar 1,36 persen dari tahun 2009 atau setara penurunan
produksi gula sebesar 409.580 ton dari tahun sebelumnya
Tahun Produksi Gula Produktivitas Gula
Total (Ton) Pertumbuhan (%)
Total (Ton/Ha) Pertumbuhan (%)
1993 2.482.725 5,90
1994 2.448.833 -1,37 5,71 -3,22
1995 2.096.471 -14,39 4,98 -12,78
1996 2.094.195 -0,11 5,19 4,22
1997 2.189.974 4,57 5,68 9,44
1998 1.491.553 -31,89 3,94 -30,63
1999 1.488.599 -0,20 4,37 10,91
2000 1.690.667 13,57 4,96 13,50
2001 1.725.467 2,06 5,01 1,01
2002 1.749.427 1,39 5,02 0,20
2003 1.631.830 -6,72 4,84 -3,59
2004 2.051.643 25,73 5,95 22,93
2005 2.241.741 9,27 5,87 -1,34
2006 2.307.027 2,91 5,82 -0,85
2007 2.448.142 6,12 5,71 -1,89
2008 2.703.975 10,45 6,19 8,41
2009 2.624.068 -2,96 6,20 0,16
2010 2.214.488 -15,61 5,29 -14,68
2011 2.228.259 0,62 4,95 -6,43
49
5.2.2 Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula
Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia
dan memiliki peranan yang krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia.
Komoditas ini memiliki peranan penting dalam hal pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan industri makanan dan minuman yang berbahan baku dari produk
olahan tebu ini. Kebutuhan gula di Indonesia berbanding lurus dengan angka
jumlah penduduk Indonesia dan industri makanan dan minuman, sehingga penting
bagi Indonesia membangun dan melindungi industri gula secara baik dan benar
agar tidak berdampak kepada stabilitas ekonomi Indonesia akibat gejolak harga
dan ketersedian gula di pasar konsumen akhir atau industri makanan dan
minuman.
Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat konsumsi gula nasional meningkat
dan begitu pula pada nilai impor gula, dengan catatan pada tahun 2008 terdapat
penurunan yang terjadi pada konsumsi dan berdampak juga pada penurunan
impor, akan tetapi hal ini tidak membuat konsumsi dan impor gula menurun peda
tahun-tahun berikutnya. Secara rata-rata konsumsi pada periode 2006 hingga 2010
adalah mencapai 4,59 juta ton per tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan
konsumsi 4,65 persen. Angka di atas adalah respon atas kenaikan pertumbuhan
penduduk Indonesia per tahunnya sebesar 1,34 persen.
Tabel 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010
Tahun Konsumsi Impor
Jumlah
(Juta Ton)
Pertumbuhan
(%)
Jumlah
(Juta Ton)
Pertumbuhan
(%)
Proporsi
Impor (%)
2006 4,30 1,71 39,77
2007 4,70 9,30 2,84 66,08 60,43
2008 4,34 -7,66 2,04 -28,17 47,00
2009 4,54 4,61 2,75 34,80 60,57
2010 5,10 12,33 2,91 5,82 57,06
Rata-rata
per tahun
4,59 4,65 2,45 19,63 52,87
Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah)
Importasi gula yang begitu besar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar
2,18 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi nasional. Kemudian,
dilihat pada periode tahun 2006 hingga 2010, proporsi impor gula terhadap
50
konsumsi gula total tidak lebih dari 60 persen atau lebih rendah keadaanya dari
tahun 1999, dengan rata-rata persentase impor dengan kebutuhan konsumsi
nasional per tahunnya mencapai 52,97 persen. Adapun negara-negara yang
memasok gula ke Indonesia yaitu Thailand, Brazil, dan India. Akan tetapi ini,
fakta harus segera direspon oleh pihak-pihak terkait industri gula nasional karena
berarti lebih dari setengah kebutuhan konsumsi gula nasional bergantung kepada
importasi sehingga apabila terjadi gejolak pasokan dari negara pengimpor tersebut
maka industri gula domestik akan sangat terganggu dan mengancam stabilitas
ekonomi nasional karena gula merupakan salah satu komoditas pokok di
Indonesia.
Untuk mengatur importasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan
yaitu keputusan menperindag No.643/MPP/KEP/2002 tanggal 23 September 2002
yang mengatur jalannya impor gula nasional. Adapun isi keputusan tersebut
adalah hak impor gula pasir hanya diberikan kepada kalangan perusahaan gula
yang dalam proses produksinya menggunakan lebih dari 75 persen bahan baku
dari petani tebu. Tetapi implementasi kebijakan tersebut belum sesuai dengan
harapan akibat ketidakjelasan jumlah persediaan gula nasional. Untuk melindungi
petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga
gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan
oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok
antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan
gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus
penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula.
5.2.3 Harga Gula
Harga gula merupakan indikator faktual yang mencerminkan kinerja pasar
gula yang baik, antara tingkat konsumsi dengan ketersediaan pasokan gula.
Apabila harga gula mengalami gejolak berarti terjadi masalah antara tingkat
konsumsi atau ketersediaan pasokan gula. Harga gula di tingkat retail atau eceran
terus naik tiap tahunnya. Dilihat dari data harga eceran tahun 2008 hingga 2011,
bahwa terjadi kenaikan harga rata-rata yang cukup tinggi pada tahun 2009 yang
mencapai 35 persen, hal ini dikarenakan tidak tercapainya sasaran produksi gula
51
tahun 2008 akibat berkurangnya areal pengusahaan tebu rakyat menyusul kurang
kondusifnya harga tahun 2008.
Tabel 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011
Bulan Harga (Rp/Kg) 2008 2009 2010 2011
Januari 6.414 6.649 11.304 11.179
Februari 6.424 7.495 11.198 11.094
Maret 6.439 7.896 10.972 10.806
April 6.307 8.076 10.445 10.832
Mei 6.436 8.405 10.242 10.370
Juni 6.514 8.553 9.960 10.383
Juli 6.449 8.468 10.742 10.499
Agustus 6.462 9.026 10.692 10.511
September 6.446 9.991 10.544 10.500
Oktober 6.409 9.840 10.922 10.451
November 6.433 9.677 11.026 10.457
Desember 6.482 10.185 11.150 10.754
Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 10.653
Pertumbuhan rata-rata (%) - 35,0 23,9 -1,1
Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah)
Selain itu, faktor agroklimat pada tahun 2009 juga menjadi penyebab
kenaikan gula domestik, mulai dari kelembaban tinggi yang menstimulasi
pembungaan tebu lebih cepat dan berakibat stagnasi pertumbuhan, hujan
berkepanjangan saat awal giling dengan dampak ketidaklancaran angkutan tebu
dari kebun ke pabrik, hingga kemarau esktrim panas setelah Agustus 2009 yang
berimplikasi terhadap penurunan berat tebu.
Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan harga rata-rata gula
domestik sebesar 1,1 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan produksi gula
dunia, peningkatan tingkat rendemen domestik, dan peningkatan luas lahan tebu
nasional. Ketiga hal tersebut terjadi pada buan Februari hingga Mei sehinggapada
medio bulan-bulan tersebut harga gula domestik turun yang membuat rata-rata
harga gula domestik pada tahun 2011 menjadi lebih rendah 1,1 persen
dibandingkan tahun 2010.
Pada Tabel 10, terlihat pada bulan Januari tahun 2011 adalah posisi
tertinggi harga gula domestik yang mencapai harga Rp.11.179. Pada bulan
Januari, harga rata-rata gula di 33 kota pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen
jika dibandingkan dengan Desember 2010. Perubahan rata-rata harga bulanan
52
adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar
wilayah. Hingga 31 Januari 2011, produksi gula nasional sebesar 55.051,2 ton.
Stok fisik GKP di gudang sebesar 707.209 ton (67% milik pedagang; 27,7 %
milik PG dan 5,3% milik petani). Harga gula dunia terus naik karena permintaan
yang tinggi dari Indonesia, Rusia, Belarusia dan Kazahktan, serta pasokan yang
berkurang dari Australia dan Brasil.
Untuk bulan Mei tahun 2011 adalah bulan dengan harga gula domestik
terendah pada tahun tersebut. Adapun secara rata-rata nasional, fluktuasi harga
gula pada bulan Mei 2011 relatif stabil yang diindikasikan oleh perubahan rata-
rata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Harga gula domestik mengalami
penurunan yang didukung faktor-faktor antara lain: tingkat rendemen tebu lebih
tinggi dari tingkat rendemen tahun lalu,luas areal lahan tebu diperkirakan
meningkat 15.000 hektar menjadi 445.000 ton dan harga tender gula mengalami
penurunan. Harga gula dunia mengalami penurunan dikarenakan produksi gula di
Meksiko naik sebesar 13 persen dibanding periode yang sama tahun kemarin.
5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia
Pemerintah merupakan elemen terpenting dalam pengembangan industri
gula Indonesia. Pada kontribusinya dalam industri gula nasional, pemerintah telah
banyak menerapkan instrumen kebijakan dalam industri tersebut. Kebijakan
industri gula Indonesia sangat luas dimensinya, mulai dari sektor input, produksi,
distribusi, hingga harga gula. Adapun kebijakan pergulaan Indonesia yang
dijelaskan adalah kebijakan pergulaan Indonesia yang ada pada satu setengah
dekade kebelakang yaitu medio tahun 1997 hingga tahun 2011.
Padamedio tahun 1997 hingga 1998, ketika terjadi resesi ekonomi,
perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh International Moneter Fund
(IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF dan
pemerintah Indonesia adalah membebaskan perdagangan pangan termasuk gula
yang selama itu dipegang oleh Bulog. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka
pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan
Keppres No. 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk
komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Inpres No.
53
5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat,
perusahaan pekebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Hal ini
dilakukan karena pada saat itu kinerja pergulaan nasional mengalami penurunan,
dari segi areal lahan, produktivitas, maupun produksi.
Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998
yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut
ditindaklanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdaganangan No. 25/1/1998 dan
No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar
dan oleh importir umum. Pada setahun Inpres No. 5/1997 itu diterapkan,
kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 5/1998 yang menghentikan
program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani
menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun
1996. Hal ini menurunkan minat petani untuk menanam tebu dan beralih ke
komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti tanaman pangan.
Pada Mei tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.282/Kpts-
IX/1999 mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani sebesar
Rp.2.500/Kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp.456 milyar. Kebijakan
ini mengatur tataniaga gula pasir yang bertujuan untuk menghindari kerugian
petani dan mendorong peningkatan produksi tebu. Pada bulan Juni tahun 1999,
pemerintah mencabut Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998
dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorienrasi pasar.
Selanjutnya pada bulan Agustus di tahun yang sama pemerintah melalui Menteri
Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Peraturan No.
364/MPP/Kep/VIII/1999 mengenai tataniaga impor gula, dimana impor gula
hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai impor produsen (IP)
melalu perijinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban anggaran
melalui impor gula oleh produsen. Dalam waktu empat bulan, kebijakan itu
dicabut kembali melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/12/1999
yang memberlakukan impor gula oleh importir umum. Pada waktu yang
bersamaan, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
568/12/1999 yang meberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20 persen untuk
gula tebu dan 25 persen untuk gula bit yang diberlakukan sejak 1 Januari 2000.
54
Akan tetapi kebijakan ini belum mampu menahan masuknya gula impor,
sehingga kemudian pada tahun 2000 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan
penetapan harga provenue gula pasir dengan Kepmen Kehutanan dan Perkebunan
No. 145/6/2008. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani
tebu dan meningkatkan gairah menanam tebu dan taraf hidup petani serta menjaga
kepentingan konsumen. Kebijakan ini meningkatkan harga provenue gula petani
menjadi sebesar Rp.2.600/Kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp. 859
milyar. Dana tangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara
itu masih terdapat banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui
fasilitas keringanan bea masuk 0 persen yang ditetapkan SK Menkeu No.
301/2000.
Selanjutnya pada tahun tersebut juga pemerintah mengeluarkan Keppres
No. 109 Tahun 2000 tentang Dewan Gula Nasional. Kebijakan yang merupakan
awal terbentuknya Dewan Gula Nasional, yang bertujuan meningkatkan efisiensi
dan produktivitas inudstri gula serta pemberdayaan petani gula memiliki
dayasaing di pasar global. Pemerintah memasukkan unsur petani, perusahaan
gula, lembaga konsumen, penyalur, pekerja, perguruan tinggi, dan pemerintah
dalam pembentukan Dewan Gula Indonesia.
Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan peraturan No.
456/MPP/Kep/VI/2002 yang merupakan kebijakan tataniaga impor gula kasar
(raw sugar) dikarenakan adanya peningkatan impor gula kasar yang melebihi
kebutuhan industri dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur
tataniaga impor gula kasar dalam rangka perlindungan konsumen dari konsumsi
gula kasar. Selain kebijakan tatniaga impor, pada tahun 2002 pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan No. 324/KMK.01/2002 yang berisikan perubahan tarif
bea masuk atas impor gula yang merupakan kebijakan tataniaga gula impor yang
meliputi gula kasar, gula kristal putih, dan gula rafinasi. Hal ini dikarenakan
dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula nasional dengan
tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, sehinnga
dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula.
Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.
61/MPP/Kep/II/2004 yang berisikan perdagangan gula antar pulau. Kebijakan ini
55
dilatarbelakangi oleh momentum dalam menunjang pelaksanaan tata niaga impor
gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan
terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen, perlu mengatur
perdagangan gula antar pulau. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menunjang
pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas
harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan
konsumen. Pada bulan Mei tahun 2004, peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004
diubah degnan menggunakan Peraturan No. 334/MPP/Kep/V/2004. Perubahan ini
dikarenakan untuk encapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar
pulau sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 61/MPP/Kep/2/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau
dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan
atau pemanfaatannya, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk
mencapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau dan untuk
lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau
pemanfaatannya.
Selain pemerintah mengatur perdagangan gula antar pulau, pada tahun
2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.57/2004. Peraturan tersebut
merupakan kebijakan yang terkait dengan penetapan gula sebagai barang dalam
pengawasan. Kebijakan ini didasarkan karena gula merupakan komoditas yang
mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan
perekonomian masyarakat Indonesia sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat
pengawasan terhadap Komoditas tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk
mewujudkan program pemerintah untuk menciptakan swasembada gula dan
meningkatkan pendapatan petani tebu.
Pada tahun tersebut terjadi kasus pengadaan gula yang berasal dari impor
secara tidak sah dan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada
pendapatan petani tebu/produsen gula dalam negeri. Sehingga pemerintah harus
mengeluarkan kebijakan terkait penanganan gula impor yang tidak sah. Kebijakan
tersebut adalah Peraturan No.58/2004 yang berisi penanganan gula yang diimpor
secara tidak sah, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada gula dan
56
meningkatkan pendapatan petani tebu. Selain adanya peraturan mengenai
penanganan gula impor yang tidak sah, pada tahun 2004 pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 yang berisikan ketentuan
impor gula.
Kebijakan ini didasari oleh momentum pemerintah dalam mewujudkan
ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat
Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta
pendapatan petani tebu dan industri gula, sehingga perlu diambil upaya untuk
menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor.
Terjadi perubahan sebanyak dua kali untuk peraturan ini yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 dan Peraturan No.18/M-
DAG/PER/IV/2007. Pada Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 berisikan perubahan
dari Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004, alasannya adalah dalam rangka
mewujudkan efektivitas kebijakan serta kelancaran pelaksanaan importasi gula,
khususnya berkenaan dengan importasi gula kristal putih (Plantation White
Sugar), dipandang perlu untuk lebih memperhatikan kondisi dan kelaziman yang
berlaku di bidang pergulaan internasional yang menyangkut perhitungan bilangan
ICUMSA atas gula kristal putih (Plantation White Sugar). Untuk itu perlu
dilakukan perubahan bilangan ICUMSA Gula Kristal Putih (Plantation White
Sugar) yang dapat diimpor sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004
tentang Ketentuan Impor Gula.
Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan No.
18/M-DAG/PER/IV/2007 yang mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004
dengan alasan bahwa terjadi perkembangan harga gula Kristal putih di luar negeri
saat ini cenderung menurun. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan
baik petani tebu, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong maupun
masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan
atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
527/MPP/Kep/IX/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yaitu penetapan harga Gula
Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri
Perdagangan.
57
Kemudian pada tahun 2008, pemerintah kembali mengubah Peraturan No.
527/MPP/Kep/IX/2004 dengan Peraturan No.19/M-DAG/PER/V/2008. Hal ini
dilakukan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan
kenaikan biaya produksi GKP di dalam negeri sehingga harga gula di tingkat
petani sebesar Rp.4.900, sebagaimana tercantum pada Peraturan Mendag
No.18/M-DAG/PER/4/2007 dipandang tidak sesuai lagi. Untuk melakukan
penyesuaian harga di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya efisiensi dan
produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di
dalam negeri. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu,
industri pengguna gula maupun masyarakat selaku konsumen, maka dipandang
perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menperindag No.
572/MRP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula.
Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan N0. 11/M-
IND/PER/1/2010 yang berisi perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 116/M-Ind/Perl10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map)
Pengembangan Klaster Industri Gula. Latar belakang kebijakan ini adalah
pencapaian pengembangan klaster industri gula sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-IND/PER/10/2009, perlu
menyempurnakan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana dimaksud
dalam Peta Panduan yang ditetapkan dengan mengubah Peraturan Menteri
dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai pengembangan klastr industri gula
dalam peta panduan. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengeluarkan
Peraturan No.12/M-IND/1/2010 mengenai tim pelaksana rencana aksi revitalisasi
industri gula dengan dimensi kebijakannya adalah on farm dan off farm.
Hal ini didasari oleh pelaksanaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor.
116/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Klaster Industri Gula yang diubah
dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 11 IM-IND/PERI 1 12010 serta
evaluasi, pengkajian dan perumusan Peta Panduan dimaksud sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008,
perlu membentuk Tim Pelaksana.
58
Selain Peraturan No.12/M-IND/1/2010, pemerintah juga mengeluarkan
Peraturan No. 20/M-DAG/PER/5/2010 yang berisikan penetapan harga patokan
petani gula kristal putih. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pertama, dalam
rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula dan
meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula perlu
dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih.
Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan
Impor Gula dan memperhatikan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan
Gula Indonesia Nomor 97/PP.2010/M/3/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal
Usulan Besaran HPP Gula Petani Tahun 2010, perlu menetapkan Harga Patokan
Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Ketiga, dalam
Penetapan HPP perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan
produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di
dalam negeri.
Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan no.19 tahun 2011
yang berisi pengesahan International Sugar Agreement tahun 1992. Peraturan
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional yang berkaitan
degan pergulaan dunia dan isu-isu yang terkait dengan gula, serta dalam rangka
memajukan industri gula nasional. Kemudian, selain peraturan No.19 tahun 2011
tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait Penetapan Harga
Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan
meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula,
perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal
Putih (Plantation White Sugar).
59
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan
6.1.1 Komponen Pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan
Komponen pembanding Analisis Matriks Perbandingan Berpasangan
terbagi atas lima komponen pembanding yang nantinya akan menghasilkan angka
perbandingan antar wilayah yang diteliti. Kelima komponen pembanding tersebut
adalah Luas Lahan, Jumlah Pabrik, Produktivitas Tebu, Produktivitas Hablur,dan
Produksi Hablur. Komponen pembanding ini berpengaruh terhadap dayasaing
industri gula Indonesia yang diwakili oleh komponen pembanding yang dapat
dikatakan indikator kinerja industri gula. Kelima komponen pembanding tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1. Luas Lahan
Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk
ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi
kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang
antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila
tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu,
tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik
yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah
yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5.
Tanaman tebu dapat tumbuh baik dari pantai hingga dataran tinggi, antara
0-1400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m di atas
permukaan laut pertumbuhan tanaman tebu relatif melambat. Kemudian, Suhu
optimal untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar antara 24-300
C, beda
suhu musiman tidak lebih dari 60, dan beda suhu siang dan malam hari tidak lebih
dari 100
C (Direktorat Budidaya Tanaman Semusim, 2006). Adapaun daerah yang
ideal untuk mengusahakan tanaman tebu adala daerah rendah dengan jumlah
curah hujan tanaman 1500-3000 mm dengan penyebaran hujan yang sesuai
dengan pertumbuhan dan kemasakan tebu.
Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat
diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun
60
perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas
pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya
melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak
terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal
di luar Jawa.
Pada awal tahun 1990-an, petani tebu di pulau Jawa menanam tebu di
lahan sawah akan tetapi adanya Undang-Undang Budidaya tahun 1992 yang
membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan, sehingga
terjadi konversi lahan dari lahan sawah untuk tebu menjadi lahan sawah untuk
tanaman pangan. Dengan adanya kejadian tersebut, membuat pergeseran budidaya
tebu dari lahan sawah ke lahan kering atau tegalan. Selain itu, petani cenderung
menggunakan bibit seadanya dan melakukan keprasan berulang kali. Adanya
konversi lahan tanaman tebu menjadi lahan tanaman pangan, pergeseran lahan
sawah ke lahan kering, kecenderungan petani menggunakan bibit seadanya, dan
petani melakukan keprasan berulang kali adalah faktor yang membuat terjadinya
kecenderungan penurunan Produktivitas tebu tebu pada medio tahun 1994 hingga
tahun 1999. Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di
Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Menurut Dewan
Gula Indonesia (2011), bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga
produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan
pengembangan tebu di Indonesia.
Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan
pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun,
yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih
menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau
60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2
persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia
berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun
2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011.
Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah
untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula.
61
Tabel 8. Luas Lahan Tebu di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia
Tahun 2011 Wilayah Penghasil Gula Luas Lahan (ha)
Sumatera Utara 10.046,7
Sumatera Selatan 15.282,6
Lampung 128.321,5 Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah 62.122,4
Jawa Timur 192.307,6
Sulawesi Selatan 14.039,8 Gorontalo 8.681,7
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 8 merupakan wilayah penghasil gula dan luas lahan dari tujuh
wilayah yang diteliti yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa
Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.
Luas lahan dari tujuh wilayah di bawah ini berdasarkan data tahun 2011. Luas
lahan yang tertinggi dimiliki oleh wilayah Jawa Timur dengan 192.307,6 ha dan
luas lahan terendah dimiliki oleh wilayah Gorontalo dengan 8.681,7 ha.
2. Jumlah Pabrik
Di Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN
yang bergerak pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik
gula BUMN dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih,
sedangkan pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal
rafinasi. Di bawah ini terdapat tabel yang berisi wilayah penghasil gula di
Indonesia dengan jumlah pabrik pada setiap wilayahnya.
Tabel 9. Jumlah Pabrik Gula di Tujuh Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah Penghasil Gula Jumlah (Pabrik)
Sumatera Utara 2
Sumatera Selatan 2
Lampung 6 Jawa Barat-Yogyakarta-Jawa Tengah 15
Jawa Timur 33
Sulawesi Selatan 3
Gorontalo 1 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal
putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48
pabrik yang tersebar di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat lima pabrik gula
62
yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa
Tengah terdapat delapan pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan satu pabrik
gula yang dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki
pabrik gula dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut
terdapat dua BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN
XI. Untuk PTPN X mengelola sebelas pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola
enam belas pabrik gula. Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga
terdapat PT. Rajawali Nusantara Indonesia I yang mengelola dua pabrik gula, PT.
Kebon Agung yang mengelola dua pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola
satu pabrik gula dan PT. PG Candi mengelola satu pabrik gula. Kemudian untuk
provinsi DI Yogyakarta terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT.
Madukismo.
Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di tiga provinsi yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat
dua pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan,
terdapat satu pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan satu pabrik gula yang
dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat
pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan
perusahaan swasta. Terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT.
Sugar Group Company mengelola tiga pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis
Indah yang mengelola satu pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang
mengelola satu pabrik gula.
Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi
Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat satu pabrik
gula yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan
terdapat tiga pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat
rencana pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal
pencapaian swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut
dibangun di Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam
kenyataanya, industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang
belum optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi
domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan
63
proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam
revitalisasi pabrik.
Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia
tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk
pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat
terdapat empat pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT.
Jawamanis, PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di
Jawa Tengah terdapat dua pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia
Sukses Utama dan PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat
satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi
Selatan terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene.
3. Produktivitas Tebu
Produktivitas tebu untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya
dukung lahan tebu untuk menghasilkan tanaman tebu pada satuan ton per hektar.
Menurut Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas
tebu tidak menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh
produktivitas tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen
per tahun. Hal ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang
mengalami penurunan padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan
tebu.
Tabel 10. Produktivitas Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011
Tahun Jawa Luar Jawa
Produktivitas Tebu (ton/ha)
Pertumbuhan (%)
Produktivitas Tebu (ton/ha)
Pertumbuhan (%)
2006 80,4 - 78,9 -
2007 82,9 3,11 68,3 -13,43 2008 75,7 -8,69 73,4 7,47
2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09
2010 83,1 12,45 79,4 12,78
2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Terdapat pada Tabel 10 bahwa rata-rata pertumbuhan Produktivitas tebu di
Jawa lebih rendah dibandingkan Produktivitas tebu di luar jawa pada enam tahun
terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69
64
persen sedangkan di luar Jawa adalah -1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat
masalah pada teknologi intensif yang berbeda antara lahan di Jawa dengan luar
Jawa, dimana teknologi yang ada di luar Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa
dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga berpengaruh terhadap produktivitas
tebu. Selain masalah teknologi intensif juga terdapat masalah kepemilikan lahan
tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan lahan oleh petani terkait
penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman input yang termasuk
penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta kesamaan produksi dan
produktivitas antara petani di wilayah tersebut.
Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara
tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut
dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula
sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan
penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang
dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu
diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas
dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas.
Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani
menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat
menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu
yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu
rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga
produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang
lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman
bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap
bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut
menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang
hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.
4. Produktivitas Hablur
Produktivitas hablur merupakan kemampuan daya dukung lahan tebu untuk
menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Di bawah ini, terdapat Tabel yang
65
membuktikan bahwa wilayah penghasil gula di Jawa masih unggul dibandingkan
wilayah penghasil gula dari luar Jawa. Akan tetapi ada persamaan antara dua
wilayah ini untuk lima tahun terakhir yaitu kedua wilayah tersebut mengalami
penurunan produktivitas. Hal yang paling menjadi sorotan adalah penurunan
produktivitas hablur di pulau Jawa yang dimulai dari tahun 2008 yang rata-rata
penurunan per tahun hingga tahun 2011 adalah 4,44 persen. Hal ini cukup
mengkhawatirkan karena apabila tren penurunan ini terjadi terus menerus untuk
beberapa tahun ke depan maka Indonesia akan kehilangan tumpuan wilayah
penghasil gula. Notabenenya bahwa wilayah Jawa masih menjadi pemimpin
dalam memenuhi kebutuhan gula domestik.
Tabel 11. Produktivitas Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011
Tahun Jawa Luar Jawa
Produktivitas
Hablur (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
Produktivitas
Hablur (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
2007 5,49 - 3,66 -
2008 5,35 -2,74 3,98 8,74 2009 5,05 -5,52 4,35 9,39
2010 4,84 -4,23 3,56 -18,17
2011 4,59 -5,27 2,97 -16,43
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
5. Produksi Hablur
Produksi hablur merupakan hasil dari pengolahan tebu menjadi gula melalui
proses di pabrik gula. Dalam penelitian ini, produksi hablur menjadi salah satu
komponen yang dimasukkan sebagai pembanding wilayah penghasil gula yang
dikatakan berdayasaing. Di bawah ini, berisi Tabel yang menjelaskan bahwa
produksi hablur di Indonesia masih dipimpin oleh wilayah penghasil gula di pulau
Jawa. Akan tetapi, persamaan antara wilayah penghasil gula di pulau Jawa dan di
luar pulau Jawa adalah pada tahun 2009 keduanya mengalami penurunan yang
cukup tajam yaitu turun di angka 13,27 persen untuk produksi hablur wilayah di
pulau Jawa dan 10,51 persen untuk produksi hablur di wilayah luar Jawa.
66
Tabel 12. Produksi Hablur di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2007-2011
Tahun Jawa Luar Jawa
Produktivitas
Hablur (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
Produktivitas
Hablur (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
2007 1.582.692,20 - 827.692,70 -
2008 1.628.035,80 2,86 911.466,30 10,12
2009 1.411.983,36 -13,27 815.689,31 -10,51
2010 1.373.037,30 -2,76 752.595,40 -7,74 2011 1.358.751,88 -1,04 752.334,45 -0,03
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
6.1.2 Perbandingan Wilayah Berdayasaing
Perbandingan wilayah berdayasaing dalam analisis kinerja industri gula di
Indonesia ini merupakan hasil dari perbandingan antara tujuh wilayah penghasil
gula di Indonesia melalui lima komponen pembanding. Adapun di bawah ini
adalah Tabel yang berisi rekapitulasi dari perbandingan tujuh wilayah berdasarkan
lima komponen pembanding.
Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Komponen Pembanding Bobot
Rata-
rata
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton)
Sumatera Utara
10.046 2 79,9 4,69 47.122 0,656
Bobot
Rata-rata 0,444 0,500 1,000 0,778 0,556
Sumatera Selatan
15.282,6 2 61,15 3,365 52.232,1 0,567
Bobot
Rata-rata 0,667 0,500 0,556 0,444 0,667
Lampung 128.321,5 6 70,875 5,785 708.396,25 0,822
Bobot Rata-rata
0,667 0,778 0,778 1,000 0,889
Jabar,
Jateng,
Yogya
62.122,4 15 59,45 3,87 235.849,36 0,644
Bobot
Rata-rata 0,667 0,889 0,444 0,444 0,778
Jawa
Timur 192.307,6 33 70,4 5,16 1.122.901,94 0,933
67
Lanjutan Tabel 13. Matriks Perbandingan Berpasangan Wilayah Penghasil Gula
di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Komponen Pembanding Bobot
Rata-
rata
Luas
Lahan (Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu (Ton/Ha)
Produktivitas
Gula (Ton/Ha)
Produksi
Hablur (Ton)
Jawa
Timur 192.307,6 33 70,4 5,16 1.122.901,94 0,933
Bobot Rata-rata
1,000 1,000 0,778 0,889 1,000
Gorontalo
8.681,7 3 29 1,56 21.938,4
0,489
Bobot
Rata-rata 0,444 0,444 0,667 0,556 0,333
Sulawesi Selatan
154.039,8 1 73,5 4,59 39.817,7 0,556
Bobot
Rata-rata 0,778 0,556 0,444 0,444 0,556
Pada Tabel ini menjelaskan bahwa Jawa Timur dan Lampung menempati
posisi tertinggi dalam penilaian bobot rat-rata terhadap empat wilayah lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa Jawa Timur masih menjadi andalan Indonesia dalam
mendorong produksi gula di Indonesia. Munculnya Lampung sebagai kompetitor
Jawa Timur tidak lepas dari kehadiran perusahaan swasta yang menggunakan
teknologi modern pada pabrik gula yang mereka kelola. Kemudian, Sulawesi
Selatan dan Gorontalo yang merupakan wilayah baru dari pengembangan industri
gula Indonesia masih belum dapat bersaing dengan wilayah produsen lainnya di
Indonesia dilihat dari nilai bobot rata-rata yang mereka dapatkan.
Adapun hasil dari perbandingan kinerja wilayah penghasil gula ini akan
dijelaskan per wilayah sehingga dapat dijelaskan secara baik mengenai kinerja
wilayah tersebut. Penjelasan dari perbandingan tiapwilayah dengan region
sumatera, jawa, dan sulawesi berguna untuk melihat posisi wilayah tersebut
terhadap region-region penghasil gula di Indonesia.
1. Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang
berada dibawah naungan PTPN II dengan pabrik gula berjumlah 2 pabrik.
Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang
terjadi. Pada tahun 2011, wilayah Sumatera Utara mengalami pencapainan
68
tertingginya dalam kurun waktu lima tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang
dihasilkan.
Tabel 14. Kinerja Industri Gula di Sumatera Utara Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan
(ha)
Produktivitas tebu
(ton/ha)
Produktivitas gula
(ton/ha)
Produksi
hablur (ton)
2007 13.350,10 46,40 2,83 37.758
2008 12.366,70 54,40 3,28 40.585 2009 11.559,10 47,30 2,68 31.008
2010 8.360,82 61,60 3,71 31.026
2011 10.046,00 79,90 4,69 47.122 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 14 menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Utara mengalami
kenaikan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil
penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sumatera Utara
masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti Lampung, Jawa Timur,
dan gabungan Jawa Barat-Jawa Tengah-Yogyakarta.
Tabel 15. Hasil Perbandingan Sumatera Utara dengan Seluruh Wilayah Penghasil
Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Sumatera Utara
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Selatan 1 2 3 3 1 10 0,667
Lampung 1 1 3 1 1 7 0,467
Jabar,
Jateng,
Yogya 1 1 3 3 3 11 0,733
Jawa Timur 1 1 3 1 1 7 0,467
Gorontalo 3 3 3 3 3 15 1,000
Sulawesi
Selatan 1 1 3 3 1 9 0,600
Bobot Rata-Rata 0,656
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera
Utara mendapatkan nilai bobot sebesar 0,656 terhadap keseluruhan wilayah
penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini berarti Sumatera Utara memiliki daya
69
saing yang baik terhadap ke enam wilayah penghasil gula di Indonesia. Adapun
komponen yang membuat Sumatera Utara dikatakan berdaya saing baik adalah
pada komponen luas lahan jumlah pabrik, dan produksi hablur. Kemudian,
komponen terlemah yang dimiliki Sumatera Utara ada pada produktivitas tebu,
Sumatera Utara dikatakan kalah untuk komponen tersebut.
2. Sumatera Selatan
Sumatera Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang
memiliki pabrik gula berjumlah 2 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007
hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah
Sumatera Utara mengalami pencapaian tertingginya dalam kurun waktu lima
tahun. Ini dilihat dari produksi hablur yang dihasilkan.
Tabel 16. Kinerja Industri Gula di Sumatera Selatan Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan
(ha)
Produktivitas tebu
(ton/ha)
Produktivitas gula
(ton/ha)
Produksi
hablur
(ton)
2007 13.177,60 64,52 4,57 59.963,72
2008 13.168,40 68,63 5,04 66.398,00
2009 11.444,60 63,90 6,50 54.429,46
2010 13.470,60 63,60 3,88 52.259,30 2011 15.282,60 61,15 3,37 52.232,10 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Sumatera Selatan mengalami fluktuasi
dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian
perbandingan kinerja wilayah di Indonesia pada tahun 2011 bahwa Sumatera
Selatan masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain seperti wilayah
penghasil gula di pulau Sumatera (Lampung dan Sumatera Utara), wilayah
penghasil gula di pulau Jawa (Gabungan Jawa Barata-Jawa Tengah-Yogya dan
Jawa Timur), dan Sulawesi Selatan.
70
Tabel 17. Hasil Perbandingan Sumatera Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil
Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Sumatera Selatan
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 3 2 1 1 3 10 0,667
Lampung 3 1 1 1 1 7 0,467
Jabar,
Jateng,
Yogya 1 1 3 1 1 7 0,467
Jawa
Timur 1 1 1 1 1 5 0,333
Gorontalo 3 3 1 1 3 11 0,733
Sulawesi
Selatan 1 1 3 3 3 11 0,733
Bobot Rata-Rata 0,567
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sumatera
Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,567 terhadap keseluruhan wilayah
penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan bahwa Sumatera
Selatan memiliki dayasaing yang baik walau masih belum optimal karena nilai
bobot yang berada di angka 0,560. Keunggulan Sumatera Selatan terhadap
wilayah penghasil gula lain dominan pada komponen luas lahan, dimana
Sumatera Selatan unggul pada tiga wilayah lain.
3. Lampung
Lampung merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang berada di
pulau Sumatera dengan banyak dikenal masyarakat dari daerah penghasil gula
yang banyak dikuasai oleh perusahaan swasta. Adapun perusahaan yang terkenal
yaitu PT. Sugar Group Companies yang ada di daerah tersebut. Perusahaan swasta
tersebut memiliki tiga pabrik gula yaitu pabrik gula PT Gula Putih Mataram,
pabrik gula PT Sweet Indolampung, dan pabrik gula PT. Indolampung Perkasa.
Adapun pabrik gula yang dimiliki pemerintah adalah pabrik gula Bunga Mayang
yang ada di bawah naungan PTPN VII yang berdomisili di Sumatera Selatan.
Untuk keseluruahan jumlah pabrik gula, Lampung memiliki enam pabrik gula.
Kemudian kinerja wilayah Lampung dalam kinerja industri gulanya pada periode
tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011,
71
wilayah Lampung mengalami anomali kinerja dimana luas lahan yang ada
mencapai 117.801,5 ha yang merupakan luas lahan yang terbesar dari lima tahun
tapi produksi yang dihasilkan menjadi yang terndah dari lima tahun terakhir. Hal
ini disebabkan cuaca yang terjadi di tahun 2011 yang menyebabkan kualitas tebu
menjadi kurang baik sehingga produksi yang dihasilkan tidak memuaskan.
tertingginya dalam kurun waktu lima tahun
Tabel 18. Kinerja Industri Gula di Lampung Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan
(ha)
Produktivitas tebu
(ton/ha)
Produktivitas gula
(ton/ha)
Produksi
hablur (ton)
2007 107.945,10 73,88 6,49 709.324,98
2008 111.156,40 78,29 6,98 783.811,30
2009 105.103,90 77,42 7,84 719.114,35
2010 97.063,90 86,46 6,63 648.395,10 2011 117.801,50 67,98 5,36 638.346,25 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Lampung mengalami penurunan
dalam kinerja industri gula di Indonesia. Dalam hasil penelitian perbandingan
kinerja wilayah di Indonesia bahwa Lampung dapat bersaing dengan wilayah lain
dan dapat dikatakan Lampung merupakan penantang terbesar Jawa Timur dalam
wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia. Hal ini perlu didukung karena
dengan berkembangnya wilayah penghasil gula di luar Jawa berarti mengurangi
risiko dampak kegagalan kinerja industri gula di pulau Jawa yang berimbas
kepada pemenuhan kebutuhan gula domestik dan harga gula yang ada di pasar
domestik.
72
Tabel 19. Hasil Perbandingan Lampung dengan Seluruh Wilayah Penghasil
Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Lampung
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 3 3 1 3 3 13 0,867
Sumatera
Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867
Jabar,
Jateng,
Yogya 3 1 3 3 3 13 0,867
Jawa
Timur 1 1 3 3 1 9 0,600
Gorontalo 3 3 1 3 3 13 0,867
Sulawesi
Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867
Bobot Rata-Rata 0,822
Dalam keseluruhan komponen dan perbandingan dengan wilayah
penghasil gula lain, Lampung mendapatkan nilai bobot sebesar 0,822 yang berarti
performa komponen dayasaing Lampung pada tahun 2011 adalah sangat baik
terhadap wilayah lain di Indonesia, yang merupakan peringkat kedua dari wilayah
penghasil gula yang memiliki performa yang baik berdasarkan lima komponen
pembanding. Adapun komponen yang dominan unggul dari Lampung terhadap
wilayah lain adalah komponen produktivitas gula.
4. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta merupakan tiga provinsi yang
menjadi penghasil gula di pulau Jawa selain Jawa Timur. Adapun alasan dari tiga
provinsi ini dijadikan menjadi satu wilayah karena ketiga propinsi ini dapat
dikatakan baik untuk diakumulasikan dalam tiap komponen pembandingnya.
73
Tabel 20. Kinerja Industri Gula di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta
Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan (ha)
Produktivitas tebu (ton/ha)
Produktivitas gula (ton/ha)
Produksi hablur
(ton)
2007 67.679,70 72,53 5,04 327.246,70 2008 67.484,80 64,70 4,83 326.535,10
2009 64.195,40 64,80 4,45 274.191,68
2010 61.918,50 76,75 4,57 278.384,10
2011 67.060,20 59,45 3,87 235.849,36 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta mengalami penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan
tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta masih dapat bersaing dengan wilayah
lain seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. \
Tabel 21. Hasil Perbandingan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dengan Seluruh
Wilayah Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 3 3 1 1 3 11 0,733
Sumatera
Selatan 3 3 1 1 3 11 0,733
Lampung 1 3 1 1 1 7 0,467
Jawa
Timur 1 1 1 1 1 5 0,333
Gorontalo 3 3 1 1 3 11 0,733
Sulawesi
Selatan 1 3 3 3 3 13 0,867
Bobot Rata-Rata 0,644
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Yogyakarta mendapatkan nilai bobot sebesar 0,644 terhadap
keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Nilai bobot ini menunjukkan
bahwa Jawa barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta memiliki dayasaing yang baik
74
terhadap wilayah-wilayah lain walau masih perlu perbaikan dari sisi komponen
pembanding terlemah yaitu produktivitas tebu dan produktivitas gula.
5. Jawa Timur
Jawa Timur merupakan wilayah penghasil gula terbesar di Indonesia yang
memiliki pabrik gula berjumlah 33 pabrik. Kemudian pada periode tahun 2007
hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja yang terjadi. Pada tahun 2011, wilayah
Jawa Timur mengalami pencapaian terendah dalam lima tahun terakhir dalam
produktivitas tebu dan produktivitas gula.
Tabel 22. Kinerja Industri Gula di Jawa Timur Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan (ha)
Produktivitas tebu (ton/ha)
Produktivitas gula (ton/ha)
Produksi hablur (ton)
2007 208.600,20 86,78 5,96 1.255.445,50
2008 211.005,90 77,72 5,87 1.301.500,70
2009 199.448,60 78,32 5,66 1.137.791,68 2010 212.179,60 85,30 5,11 1.094.653,20
2011 211.804,00 72,30 5,30 1.122.902,52 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel menunjukkan bahwa wilayah Jawa Timur mengalami penurunan
dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil penelitian
perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Jawa Timur masih menjadi
wilayah paling berdaya saing dengan wilayah lain di Sumatera seperti Sumatera
Utara, Sumatera Barat, dan Lampung.
Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Jawa Timur
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 3 3 1 3 3 13 0,867
Sumatera Selatan 3 3 3 3 3 15 1,000
75
Lanjutan Tabel 23. Hasil Perbandingan Jawa Timur dengan Seluruh Wilayah
Penghasil Gula di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Jawa Timur
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Lampung 3 3 1 1 3 11 0,733
Jabar,
Jateng,
Yogya 3 3 3 3 3 15 1,000
Gorontalo 3 3 3 3 3 15 1,000
Sulawesi
Selatan 3 3 3 3 3 15 1,000
Bobot Rata-Rata 0,933
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain secara
kesluruhan, Jawa Timur mendapatkan nilai bobot sebesar 0,933 terhadap
keseluruhan wilayah penghasil gula di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa Jawa
Timur menjadi wilayah yang menempati posisi pertama dalam lima komponen
pembanding. Adapun perbaikan yang harus dilakukan adalah pada komponen
yang belum unggul seperti produktivitas tebu yang masih kalah dari Sumatera
Utara dan Lampung, serta produktivitas gula yang masih kalah dari Lampung
6. Gorontalo
Gorontalo merupakan salath satu wilayah penghasil gula di Indonesia yang
berada wilayah timur Indonesia. Gorontalo dan Sulawasei Selatan merupakan
wilayah pengembangan industri gula di luar Jawa dan Sumatera, adapun wilayah
pengembangan tersebut bermanfaat untuk membagi beban pemenuhan dari
permintaan gula domestik agar tidak tersentralisasi di Jawa dan Sumatera.
Tabel 24. Kinerja Industri Gula di Gorontalo Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan
(ha)
Produktivitas tebu
(ton/ha)
Produktivitas gula
(ton/ha)
Produksi
hablur (ton)
2007 7.239,00 77,90 5,36 39.265,00
2008 5.075,00 79,30 5,07 25.736,00 2009 6.468,00 49,40 2,98 19.288,00
2010 5.620,00 81,80 4,88 27.412,00
2011 8.681,70 73,50 4,59 39.817,70 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
76
Kemudian pada periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat fluktuasi kinerja
yang terjadi dilihat dari kelima komponen pembanding. Pada tahun 2011, wilayah
Gorontalo mengalami pencapaian yang baik dengan mampu menghasilkan
39.817,70 ton dari produksi hablur dan produkvitas hablurnya bernilai 4,59
ton/ha. Tabel 38 menunjukkan bahwa wilayah Gorontalo mengalami fluktuasi
dalam kinerja industri gula di Indonesia pada kurun lima tahun terakhir, akan
tetapi dalam hasil penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa
Gorontalo masih belum dapat bersaing dengan keenam wilayah lain.
Tabel 25. Hasil Perbandingan Gorontalo dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula di
Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Gorontalo
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 1 1 1 1 1 5 0,333
Sumatera
Selatan 1 1 3 3 1 9 0,600
Lampung 1 1 3 1 1 7 0,467
Jabar,
Jateng,
Yogya 1 1 3 3 1 9 0,600
Jawa
Timur 1 1 1 1 1 5 0,333
Sulawesi
Selatan 3 3 1 1 1 9 0,600
Bobot Rata-Rata 0,489
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Gorontalo
mendapatkan nilai bobot sebesar 0,489 terhadap keseluruhan wilayah penghasil
gula di Indonesia atau mendapatkan bobot terendah dari ketujuh wilayah lain.
Nilai bobot dari Gorontalo menunjukkan bahwa dayasaing Gorontalo berada pada
bobot terendah dalam persaingan industri gula di Indonesia. Hal ini perlu
dicermati karena potensi Gorontalo dapat dioptimalkan agar dapat memperbaiki
posisinya pada industri gula di Indonesia.
77
7. Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan merupakan wilayah penghasil gula di Indonesia yang
berada di pulau Sulawesi bersama dengan wilayah Gorontalo. Kemudian pada
periode tahun 2007 hingga 2011, terdapat penurunan kinerja yang terjadi. Pada
tahun 2011, wilayah Sulawesi Selatan mengalami penurunan pada komponen
produktivitas tebu, produktivitas gula, dan produksi hablur.
Tabel 26. Kinerja Industri Gula di Sulawesi Selatan Tahun 2007-2011
Tahun Indikator Kinerja
Luas lahan
(ha)
Produktivitas tebu
(ton/ha)
Produktivitas gula
(ton/ha)
Produksi
hablur (ton)
2007 10.289,40 32,80 1,86 19.139,00
2008 12.760,00 49,10 2,78 35.521,00
2009 11.115,00 33,10 4,42 22.857,50 2010 10.237,00 49,40 2,40 24.529,00
2011 14.039,80 29,00 1,56 21.938,40 Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Tabel 37 menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Selatan mengalami
penurunan dalam kinerja industri gula di Indonesia, akan tetapi dalam hasil
penelitian perbandingan kinerja wilayah di Indonesia bahwa Sulawesi Selatan
masih belum dapat bersaing dengan wilayah lain di pulau Jawa dan Sumatera.
Tabel 27. Hasil Perbandingan Sulawesi Selatan dengan Seluruh Wilayah Penghasil Gula
di Indonesia Tahun 2011
Wilayah
Sulawesi Selatan
Luas
Lahan
(Ha)
Jumlah
Pabrik
Produktivitas
Tebu
(Ton/Ha)
Produktivitas
Gula
(Ton/Ha)
Produksi
Hablur
(Ton) Jumlah Bobot
Sumatera
Utara 3 3 1 1 3 11 0,733
Sumatera
Selatan 3 3 1 1 1 9 0,600
Lampung 3 1 1 1 1 7 0,467
Jabar,
Jateng, Yogya 3 1 1 1 1 7 0,467
Jawa
Timur 1 1 1 1 1 5 0,333
Gorontalo 1 1 3 3 3 11 0,733
Bobot Rata-Rata 0,556
78
Dalam hasil perbandingan dengan wilayah penghasil gula lain, Sulawesi
Selatan mendapatkan nilai bobot sebesar 0,556 terhadap keseluruhan wilayah
penghasil gula di Indonesia. Adapun nilai bobot yang didapatkan Sulawesi
Selatan untuk perbandingan kepada seluruh wilayah penghasil gula di Indonesia
menunjukkan dayasaing yang baik namun dalam peringkat wilayah penghasil gula
di Indonesia, Sulawesi Selatan menempati posisi kedua dari bawah setelah
Gorontalo. Hal ini harus segera diperbaik agar Sulawesi Selatan dapat menjadi
salah satu tumpuan produsen gula di wilayah timur Indonesia.
6.2 Analisis Komponen Porter’s Diamond System
Pada subbab ini akan dijelaskan terkait dayasaing berdasarkan Porter’s
Diamond System yang menjelaskan secara menyeluruh terkait kondisi yang ada
dalam industri gula di Indonesia dengan sudut pandang Porter’s Diamond System.
Adapun analisis ini dimaksudkan untuk melengkapi dari Analisis Matriks
Perbandingan Berpasangan agar mendapatkan potret industri gula di Indonesia
yang baik dan komprehensif. Serta, dengan Porter’s Diamond System diharapkan
bisa menjadi acuan dalam memberikan masukan kebijakan yang tepat bagi para
pengambil kebijakan.
6.2.1 Kondisi Faktor Sumberdaya
Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap dayasaing industri
gula Indonesia adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu
pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur.
Kelima faktor sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Sumberdaya Alam
a. Syarat, Kondisi, dan Luas Lahan
(1) Syarat dan Kondisi Lahan
Setiap tanaman memiliki karakteristik kondisi lahan yang baik untuk
ditanami, sama halnya dengan tebu. Adapun kondisi lahan khas yang memenuhi
kesesuaiannya dengan tanaman tebu antara lain lahan sebaiknya bergelombang
antara 0-15 persen, berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila
tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Selain itu,
tanah yang baik untuk tanaman tebu yanitu tanah dengan lapis tebal, lempeng baik
79
yang berkapur maupun berpasir dan lempung liat. Derajat keasaman (pH) tanah
yang cocok untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah berkisar 5,5-7,5.
Budidaya tebu di Indonesia mengenal dua macam lahan yang dapat
diusahakan untuk penanaman tebu yaitu lahan sawah dan lahan kering. Adapun
perbedaan dari dua macam lahan ini adalah lahan sawah memiliki fasilitas
pengairan yang cukup Sedangkan untuk lahan kering, memperoleh pengairannya
melalui air hujan. Lahan sawah untuk tanaman tebu di Indonesia lebih banyak
terdapat di Jawa, sedangkan lahan kering juga terdapat di Jawa dan seluruh areal
di luar Jawa.
Berdasarkan syarat-syarat kesesuaian lahan untuk penanaman tebu, di
Indonesia lahan untuk penanaman tebu lebih banyak ada di Jawa. Dari segi syarat
lahan yang baik untuk tebu, maka dapat diterima bahwa dayasaing Sulawesi
Selatan dan Gorontalo berada pada dayasaing yang lemah dan sebalikanya
Lampung dan JawaTimur dapat menjadi yang terbaik pada posisi dayasaing
industri gula di Indonesia dikarenakan karakteristik lahan yang ada di Sumatera
dan Jawa yang baik untuk ditanami tebu.
(2) Luas Lahan
Menurut data Dewan Gula Indonesia pada tahun 2011, bahwa luas lahan
pengembangan tebu di Indonesia adalah yang mencapai 450.297 ha pada tahun,
yang naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya. Adapun pulau Jawa masih
menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau
60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia dan sisanya sebesar 39,2
persen berada di luar Jawa. Luas areal pengembangan tebu di Indonesia
berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 1993 hingga tahun
2011. Kecenderungan meningkat ada pada medio tahun 2004 hingga tahun 2011.
Kecenderungan peningkatan tersebut merupakan efek dari program pemerintah
untuk meningkatkan produksi dan menciptakan swasembada gula. Selain di pulau
Jawa, Komoditas tebu telah diusahakan di daerah Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, NTB, dan Papua. Menurut Dewan Gula Indonesia (2012) bahwa daerah
di luar Jawa yang berpotensi untuk ditanami tebu antara lain Sulawesi Tenggara
dan Papua.
80
b. Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan untuk tanaman tebu merupakan kemampuan daya
dukung lahan tebu untuk menghasilkan gula pada satuan ton per hektar. Menurut
Hartono (2012) bahwa dalam periode 1970 hingga 2009 produktivitas tebu tidak
menyumbang terhadap kenaikan produksi tebu, ditunjukkan oleh produktivitas
tebu yang tidak meningkat tapi justru menurun sebesar 0,57 persen per tahun. Hal
ini terlihat dari produktivitas tahun 2005 hingga 2007 yang mengalami penurunan
padahal pada medio tersebut terjadi peningkatan lahan tebu.
Tabel 28. Produktivitas Lahan Tebu di Jawa dan Luar Jawa Tahun 2006-2011
Tahun Jawa Luar Jawa
Produktivitas
Tebu (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
Produktivitas
Tebu (ton/ha)
Pertumbuhan
(%)
2006 80,4 - 78,9 -
2007 82,9 3,11 68,3 -13,43
2008 75,7 -8,69 73,4 7,47
2009 73,9 -2,38 70,4 -4,09
2010 83,1 12,45 79,4 12,78
2011 68,2 -17,93 69,7 -12,22
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2012)
Pada Tabel 28 terlihat bahwa terjadi fluktuasi produktivitas tebu pada
medio 2006-2011 di Jawa dan luar Jawa. Terdapat data bahwa rata-rata
pertumbuhan produktivitas lahan di Jawa lebih rendah dibandingkan produktivitas
lahan di luar jawa pada enam tahun terakhir, dimana rata-rata pertumbuhan
produktivitas tebu di Jawa adalah -2,69 persen sedangkan di luar Jawa adalah -
1,90 persen. Hal ini dikarenakan terdapat masalah pada teknologi intensif yang
berbeda antara lahan di Jawa dengan luar Jawa, dimana teknologi yang ada di luar
Jawa lebih baik dibandingkan di Jawa dalam hal pengelolaan lahan tebu sehingga
berpengaruh terhadap produktivitas tebu. Selain masalah teknologi intensif juga
terdapat masalah kepemilikan lahan tebu yang berpengaruh kepada pengelolaan
lahan oleh petani terkait penyeragaman input yang digunakan. Penyeragaman
input yang termasuk penggunaan bibit yang seragam oleh petani agar tercipta
kesamaan produksi dan produktivitas antara petani di wilayah tersebut.
Terkait masalah kepemilikan lahan dilihat dari data luas lahan tebu antara
tebu rakyat dengan tebu swasta. Lahan tebu rakyat merupakan lahan tersebut
81
dikelola oleh petani tebu sepenuhnya tanpa ada campur tangan pabrik gula
sehingga untuk kepentingan kegiatan usahataninya maka itu adalah kewenangan
penuh petani tebu. Sedangkan lahan tebu swasta merupakan lahan tebu yang
dikelola pleh pabrik gula sehingga segala hal tentang kegiatan usahatani tebu
diatur sesuai aturan pabrik tebu, sehingga pabrik dengan baik menetapkan varietas
dan pupuk yang digunakan agar mereka mendapatkan tebu yang berkualitas.
Masalah penyeragaman varietas berawal dari kewenangan petani
menanam bibit tebunya, apabila pada lahan tebu rakyat maka petani dapat
menanam bibit yang sesuai dengan mereka tapi menimbulkan variasi hasil tebu
yang tinggi dihasilkan oleh. Mayoritas lahan tebu di Jawa adalah lahan tebu
rakyat sehingga preferensi penanaman bibit tebu bervariasi setiap petani sehingga
produktivitas di Jawa menjadi beragam. Berbeda dengan lahan di luar jawa yang
lebih banyak lahan tebu swasta sehingga pengelolaan khusus untuk penanaman
bibit dapat dilakukan seragam, karena pabrik gula menetapkan standar bagi tiap
bibit yang ditanam oleh petani di lahan tebu swasta tersebut. Hal tersebut
menghasilkan produktivitas yang seragam dan cenderung lebih baik ketimbang
hasil yang ada pada lahan tebu rakyat.
2. Sumberdaya Manusia
Usahatani tebu yang merupakan elemen penting dalam dayasasaing
industri gula Indonesi saat ini, sebagian besar masih bertumpu pada tebu rakyat
yang diusahakan oleh para petani sebagai pelaku usaha pemasok bahan baku tebu.
Sehingga upaya-upaya untuk mendorong peningkatan produksi tidak akan terlepas
dari keterlibatan, kemampuan dan kemauan petani untuk tetap mengelola dan
mengembangkan usahatani tebunya secara baik dan berkesinambungan. Adapun
kinerja petani tebu Indonesia sangat dipengaruhi oleh luas kepemilikan dan
potensi lahan, modal kerja, serta kemampuan memasarkan hasil panennya.
Menurut Dewan Gula Indonesia (2010) bahwa jumlah petani tebu rakyat
di seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 994.966 orang, dimana proporsi
penyerapan petani tebu di pulau jawa mencapai 99,28 persen sedangkan luar jawa
hanya mencapai 0,72 persen. Pada tahun 2009, jumlah petani di Jawa mengalami
kenaikan sebesar 5,58 persen sedangkan di luar jawa mengalami penurunan
jumlah sebesar 24,98 persen. Kenaikan jumlah petani di Jawa dan luar Jawa
82
dipengaruhi luas lahan tebu rakyat, dimana pada tahun 2009 di Jawa mengalami
peningkatan luas areal tebu rakyat sebesar 5,57 persen sedangkan di luar Jawa
mengalami penurunan sebesar 33,29 persen, sehingga penyerapan lahan di dua
wilayah tersebut mengalami kondisi yang berbanding terbalik akibat luas
lahannya. Namun secara keseluruhan, jumlah petani tebu rakyat di Indonesia
mengalami peningkatan pada tahun 2009 yaitu 5,27 persen dibanding tahun 2008
yang akibat penambahan luas areal tebu rayat sebesar 3,29 persen. Kemudian,
terdapat Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) sebagai wadah petani untuk
memperkuat posisi tawarnya dan sebagai wadah untuk mendapatkan informasi
dan bantuan dari pemerintah. KPTR di Indonesia berjumlah 109 koperasi di
seluruh Indonesia. Setiap KPTR di wilayahnya bekerjasama dengan pabrik gula di
wilayah tersebut, setiap pabrik gula mengampu satu hingga lima KPTR di wilayah
tersebut. Adanya KPTR ini bermanfaat untuk mempermudah pemerintah dalam
pengelolaan bantuan kepada petani tebu, untuk kerjasama pabrik gula dengan
petani, dan untuk memperkuat posisi tawar petani dihadapan pabrik gula dan
pemerintah ketika ada masalah.
Tabel 29. Jumlah Petani Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 2007-2009
Tahun Jawa Luar Jawa Indonesia
Jumlah Petani
(orang)
Pertumbuhan
(%)
Jumlah Petani
(orang)
Pertumbuhan
(%)
Jumlah Petani
(orang)
Pertumbuhan
(%)
2007 933.378 - 7.082 - 940.460 -
2008 935.678 0,25 9.448 33,41 945.125 0,50 2009 987.878 5,58 7.088 -24,98 994.966 5,27
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2010)
Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2011) bahwa untuk menghitung
jumlah tenaga kerja yang ada di usahatani tebu dapat dilakukan dengan
menghitungnya dari perkalian luas areal tebu yang ada di suatu wilayah (ha) dan
standar rasio penggunaan tenaga kerja atau petani di areal tebu tesebut
(orang/ha/tahun). Hal ini digunakan untuk memudahkan dalam penghitungan data
jumlah tenaga kerja dalam usahatani tebu, karena walau pendataan dapat
dilakukan melalui kerjasama dengan pabrik gula, dimana pabrik gula mencatat
83
data petani yang menjadi mitranya dalam pengumpulan hasil panen tapi terdapat
banyak pula petani tebu yang berada di luar kerjasama dengan pabrik gula yang
tidak terdaftar. Sehingga diperlukan metode yang dapat mendata jumlah petani
tersebut. Menurut Direktorat Jendral perkebunan bahwa standar rasio penggunaan
tenaga kerja pada usahatani tebu adalah 1,5 orang/ha/tahun.
Untuk subsektor pengolahan dalam agribisnis gula, sumberdaya manusia
yang berperan di dalamnya adalah para pengelola pabrik gula. Para pengelola
pabrik tersebut antara lain; buruh pabrik, karyawan pabrik, administratur pabrik,
dan jajaran direksi. Mayoritas pabrik gula di Indonesia merupakan padat karya,
dimana tenaga kerja yang ada pada pabrik banyak karena terkait teknologi yang
digunakan yang sudah tua sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja untuk
mengoperasikannya. Kemudian untuk sektor tataniaga, sumberdaya manusia yang
memiliki peranan untuk mendukung pengembangan agribisnis gula yaitu agen
atau grosir, pengecer, dan penyalur atau pengumpul.
3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki peranan yang cukup penting
dalam pengembangan suatu industri, termasuk agribisnis gula Indonesia. Adapun
peranan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut ada dalam seluruh subsektor
agribisnis, mulai dari input, budidaya, hingga pasca panen. Untuk agribisnis gula
di Indonesia, terdapat beberapa pihak yang berperan pengembangan sumberdaya
ilmu pengetahuan dan teknologi agribisnis gula yaitu lembaga penelitian, asosiasi
pengusaha, asosiasi petani, dewan gula Indonesia, lembaga pendidikan, dan
sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya.
a. Lembaga Penelitian
Lembaga penelitian dalam agribisnis Gula di Indonesia ditangani oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI). P3GI memiliki
kantor pusat di Pasuruan, Jawa Timur. Tujuan P3GI adalah untuk menunjang
kemajuan usaha-usaha pada agribisnis gula Indonesia melalui kegiatan penelitian
dan pengembangan teknologi Peran P3GI meliputi mengkaji tentang gula mulai
dari bahan baku, proses produksi, dan teknologi budidaya agar jalannya kegiatan
agribinis gula di Indonesia dapat lebih efisien. Adapun pada program P3GI dalam
pengkajian tersebut yaitu melakukan perakitan varietas bibit tebu untuk
84
menghasilkan bibit tebu yang unggul, sosialisasi dan percepatan teknologi yang
dihasilkan, serta P3GI juga memiliki peranan untuk melakukan ekspor atau impor
varietas tebu unggul guna bahan persilangan dalam peningkatan dan pelebaran
basic genetic varietas tebu dalam negeri.
b. Asosiasi Pengusaha
Asosiasi Gula Indonesia (AGI) merupakan asosiasi pengusaha gula di
Indonesia, dimana sebagai koordinasi antara PTPN yang merupakan BUMN dan
PT yang dimiliki oleh pihak swasta yang khusus bergerak di industri produksi
gula. Peran dari asosiasi ini adalah untuk mencari, membagi, dan memberikan
informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang khusus untuk produsen gula dan
konsumen. Adapun salah satu program kerjanya adalah mengadakan seminar
terkait masalah dan solusi yang ada di industri gula Indonesia. AGI juga memiliki
perwakilan di Dewan Gula Indonesia yang dapat mempermudah anggotanya
dalam menyalurkan aspirasi atau permasalahan yang dihadapi kepada pemerintah.
c. Asosiasi Petani
Asosiasi Petani Tebu di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu BK-APTRI
yang merupakan koordinasi dari 8 DPP APTRI yang tersebar di beberapa wilayah
produksi gula di Indonesia dan APTR Wilayah Kerja PTPN XI yang merupakan
koordinasi dari APTR unit di Jawa Timur. Adapun fungsi BK-APTRI adalah
sebagai (1) wadah berhimpun seluruh petani tebu, (2) wahana bertemunya aspirasi
dan komunikasi timbal balik antara sesama petani tebu dan organisasi profesi
yang lain, (3) wahana penggerak dan pengarah peran serta petani tebu, dan (4)
wadah pembinaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan petani tebu. Sedangkan
peran APTR PTPN XI yang sudah dilakukan sampai saat ini antara lain
melakukan kontrol masuknya gula impor ilegal, melakukan stabilisasi harga gula
petani, mempelopori jaringan kerjasama dengan investor melalui sistem dana
talangan dengan konsep harga mengambang. Selain itu, APTR PTPN XI juga
melakukan perbaikan bagi hasil tetes dan gula.
d. Dewan Gula Indonesia
Dewan Gula Indonesia (DGI) merupakan lembaga non struktural yang
berada di bawah dan bertanggung jawab pada Presiden. Dalam penerapan tugas
pokoknya tersebut Dewan Gula Indonesia, memiliki visi yaitu menjadi institusi
85
yang efisien dan efektif dalam rangka mendorong pembangunan industri gula
nasional sebagai sektor agribisnis yang handal, yang berbasis kemitraan antara
perkebunan besar dan petani, sehingga mampu bersaing dengan produk pokok dan
produk sampingan yang berasal dari impor. Kemudian misi dari Dewan Gula
Indonesia antara lain: a) perumusan kebijaksanaan pengembangan industri
pergulaan nasional; b) menyinergikan komponen-komponen dalam industri
pergulaa; dan 3) memberdayakan dan melindungi usaha agribisnis pergulaan
nasional. Namun dalam kenyataanya bahwa Dewan Gula Indonesia belum dapat
maksimal karena kinerja Dewan Gula Indonesia saat ini hanya sebatas
pengumpulan data terkait pergulaan Indonesia dan penetapan Biaya Pokok
Produksi yang akan dibawa sebagai pijakan dalam penetapan harga jual gula di
pasar.
e. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan yang berperan dalam industri gula Indonesia yaitu
Lembaga Penelitian Perkebunan (LPP), perguruan tinggi, dan lembaga lain.
Lembaga pendidikan dapat berperan dalam menghasilkan informasi dan sumber
wawasan terbaru dan ilmiah yang berkaitan erat dengan agribisnis gula. Hal ini
akan mendorong pengembangan agribisnis gula Indonesia pada segi budidaya,
pengolahan, hingga sumberdaya manusia yang ada dalam agribisnis gula tersebut.
4. Sumberdaya Modal
Permodalan merupakan faktor kunci dalam hal pengembangan Industri
gula Indonesia, baik dari segi budidaya hingga pabrik gula. Kebutuhan modal
yang besar dan berkesinambungan merupakan hal yang penting untuk mendorong
perkembangan industri gula. Kebutuhan permodalan yang cukup besar dan
periode waktu panen yang cukup lama menjadikan petani mengandalkan modal
pinjaman seperti dari kredit. Sedangkan bagi pabrik gula yang mengolah tebu
sendiri, permodalannya merupakan satu kesatuan dengan manajemen pabrik.
Pengembangan modal dalam industri gula Indonesia penting dalam hal
peningkatan kinerja dari tiap pihak yang ada dalam industri tersebut. Adapun
pengembangan modal yang telah dilakukan yaitu bantuan sosial, bantuan modal
berupa subsidi bunga kredit, perluasan lahan dan juga pembukaan pabrik gula
baru di luar Jawa. Adapun pendirian pabrik baru tersebut dilakukan di beberapa
86
daerah, seperti Aceh, Jambi, Maluku, Kalimantan Barat, dan Merauke. Untuk
pembangunan pabrik gula di Aceh diestimasikan akan membutuhkan areal seluas
120 ha untuk lahan tanaman tebu pabriknya, sedangkan untuk di Merauke
membutuhkan lahan seluas 200 ha untuk tanaman tebu, kedua daerah tersebut
akan diproyeksikan untuk menanam plant cane atau tanaman baru.
Pengembangan industri gula di Merauke ini masuk dalam perencanaan
pengembangan kawasan timur yang dipimpin oleh Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (UP4B). Untuk daerah pengembangan industri gula di
Kalimantan Barat, daerah tersebut hanya diproyeksikan untuk areal penanaman
tebu tanpa ada pembangunan pabrik gula karena hasil dari areal penanaman
tersebut digunakan untuk bahan baku gula merah.
Untuk bantuan sosial, pemerintah telah menjalankan beberapa program
yang antara lain adalah Kebun Bibit Datar (KBD), perluasan lahan atau
ekstensifikasi, dan demplot kebun bibit unggul. Kebun Bibit Datar (KBD) adalah
bantuan pemerintah berupa kebun bibit untuk petani yang nantinya digunakan
sebagai kebun tebu giling yang hasil panennya masuk ke pabrik. Untuk 1 ha hasil
kebun bibit datar ini akan digunakan bagi 7-8 ha kebun tebu giling di Jawa,
sedangan di luar Jawa bahwa 1 ha hasil kebun bibit datar akan menghasilkan 5 ha
kebun bibit tebu giling. Adapun total dana, luas areal KBD, dan daerah sasaran
program ini meningkat pada dua tahun terakhir. Pada tahun 2010, KBD ini
diberikan untuk dua propinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan
total dana mencapai Rp.6,6 miliar untuk luas areal 50 ha. Pada tahun 2011, KBD
dilakukan pada luas areal lahan 750 ha pada 11 propinsi, meliputi Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adapun
jumlah dana untuk program KBD pada tahun 2011 adalah sebesar Rp. 24,2 triliun.
Untuk perluasan lahan atau ekstensifikasi adalah program pemerintah
berupa bantuan pendanaan bagi petani yang melakukan penanaman plant cane
atau tanaman baru di areal usahataninya. Terdapat masalah produktivitas pada
petani adalah petani kerap melakukan penanaman hingga musim tanam lebih dari
5 atau tanaman tebu dipanen sebanyak lebih dari 5 kali. Padahal menurut arahan
dari Subdirektorat Budidaya dari Direktorat Jendral Perkebunan adalah untuk
87
mencapai optimalisasi rendemen maka petani melakukan maksimal 5 kali panen
dalam setiap tanaman tebu karena apabila lebih dari 5 kali maka rendemen
tersebut akan menurun dan berakibat pada penurunan produktivitas hablur untuk
pabrik dan pendapatan yang petani itu sendiri. Sehingga pemerintah berusaha
untuk menarik minat petani agar mau mengikuti arahan dari Subdirektorat
Budidaya Tanaman Semusim dengan cara memberi insentif bagi petani yang
menanam Plant Cane atau tanaman baru agar tercipta keseragaman musim panen
dan mencapai optimalisasi hasil rendemen tebu itu sendiri.
Mekanisme program ini adalah Direktorat Jendral Perkebunan
mengalirkan dana dan pemetaan daerah sasaran pogram kemudia dimandatkan ke
pemerintah daerah sasaran melalui dinas perkebunan daerah sasaran. Wewenang
dari pemerintah daerah melalui dinas perkebunan daerah sasaran adalah
mengawasi program tersebut agar tepat sebagaimana tujuan program tersebut.
Kemudian, dinas perkebunan memandatkan kepada pemerintah kabupaten untuk
melakukan proses seleksi terhadap kelompok tani yang dianggap mampu
menjalankan program ini dengan baik. Apabila sudah ada nama-nama calon
terpilih kelompok tani dan lahan yang menjadi sasaran program maka akan
dikeluarkan SK dari dinas propinsi terkait pencairan dana program perluasan
lahan tersebut bagi para calon terpilih. Setelah itu, kelompok tani terpilih
diwajibkan untuk memiliki rekening sebagai wadah transfer dana bantuan
program. Proses pencairan dilakukan melalui aturan penandatanganan dari tiga
pihak yang merupakan tim teknis program tersebut. Tiga pihak tersebut adalah
pemerintah kabupaten, ketua kelompok tani terpilih, dan ketua KPTR setempat.
Setelah itu maka akan dilakukan pengawasan berkala dari dinas perkebunan
terhadap jalannya program di tingkat kelompok tani.
Program perluasan areal tebu ini mengalami peningkatan dari segi jumlah
areal, propinsi sasaran, dan total dana dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010,
program perluasan areal tebu ini mencapai 723 ha dengan total dana adalah Rp.
12,2 miliar terdapat 6 propinsi yang menjadi sasaran program yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan
Gorontalo. Pada tahun 2011, luas areal tebu yang meningkat hampir 3 kali lipat
dari tahun sebelumnya. Luas areal tebu yang mencapai 2043 ha dengan total dana
88
Rp.36,5 miliar Propinsi yang menjadi sasaran program pada tahun 2011 yaitu 11
propinsi, meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Program demplot kebun bibit unggul adalah salah satu program unggulan
pemerintah dalam peningkatan kinerja usahatani tebu di Indonesia, yang
merupakan bantuan sosial pemerintah terhadap petani. Program ini berbentuk
penbangunan demplot kebun bibit unggul tebu di tingkat petani agar dalam
kegiatan usahataninya, petani dapat menggunakan bibit yang berkualitas unggul
dan diharapkan seragam varietasnya. Program ini mengalami peningkatan dari sisi
luas lahan, dana, dan propinsi sasaran dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2010,
program demplot kebun bibit unggul ini hanya mencapai 2 ha dengan jumlah dana
sekitar Rp.34,2 miliar pada satu propinsi yaitu Gorontalo. Kemudian pada tahun
2011, terdapat peningkatan sekitar 100 kali yaitu pada luas areal mencapai 203 ha
dengan total dana Rp.6,9 miliar pada enam propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan
Sulawesi Selatan.
Selain bantuan sosial, pengembangan agribisnis gula di Indonesia juga
terdapat subsidi modal. Subsidi modal untuk petani tebu di Indonesia ini termasuk
pada program KKP-E atau Kredit Ketahanan Pangan-Energi. Tebu termasuk
dalam komoditas yang menyangga ketahanana pangan Indonesia. Adapun
program KKP-E ini dikelola oleh pemerintah dan bank pelaksana. KKP-E ini
merupakan subsidi pemerintah terhadap bunga pinjaman yang dilakukan petani
sehingga beban bunga petani menjadi lebih ringan. Subsidi pemerintah terhadap
beban bunga petani adalah 5 persen dengan bunga komersial bank sebesar 12
persen, sehingga beban bunga yang ditanggung oleh petani adalah sebesar 7
persen. Mekanisme program KKP-E ini adalah kelompok tani mengajukan
permohonan subsidi modal kepada Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) di
wilayahnya. Kemudian KPTR mengajukan permohonan tersebut ke pabrik gula
yang nanti akan memfasilitasi permohonan tersebut ke bank pelaksana. Adapun
bank pelaksana yang ditunjuk pemerintah berjumlah 21 bank, dimana terdapat 10
bank umum dan 11 bank daerah. Adapun 10 bank umum tersebut antara lain bank
89
mandiri, bank BRI, bank BNI, bank Bukopin, bank BCA, bank agro niaga, bank
BII, bank CIMB Niaga, bank danamon, dan bank Artha Graha. Kemudian, untuk
11 bank daerah tersebut adalah bank daerah yang bertempat pada daerah sasaran
program KKP-E untuk tanaman tebu yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Untuk tahun 2011,
realisasi program KKP-E untuk tanaman tebu mencapai Rp.931.849.200. Adapun
plafon KKP-E untuk tanaman tebu hanya Rp.299 miliar berarti penyerapan dana
tersebut malah lebih 3 kali lipat dari plafon yang diberikan atau sebesar 311,28
persen.
Pemerintah dengan program-program tersebut adalah cerminan bahwa
pemerintah ingin mengejar visi swasembada gula tahun 2013. Program bantuan
sosial seperti KBD, perluasa lahan, dan demplot kebun bibit unggul adalah
termasuk dalam program akselarasi peningkatan produksi tebu yang sudah
dicanangkan sejak tahun 2002, serta KKP-E yang merupakan implementasi
pemerintah dalam menyelesaikan masalah permodalan di tingkat petani tebu.
Dengan tren peningkatan program tersebut dari segi jumlah dana dan areal lahan,
juga mencerminkan bahwa animo petani untuk tetap menanam tebu dan tidak
terpengaruh untuk melakukan peralihan tanaman seperti yang banyak
diwacanakan tentang konversi lahan tebu menjadi tanaman yang lebih bernilai
dari segi ekonomi.
5. Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastrutur merupakan sumberdaya yang juga penting dalam
mendukung pengembangan agribisnis gula di Indonesia. Sumberdaya infrastruktur
tersebut antara lain irigasi, transportasi seperti jalan raya, pasar, dan alat
telekomunikasi serta informasi. Tidak semua infrastruktur yang ada tersebut dapat
digunakan dengan baik, sebagai contoh irigasi untuk lahan sawah di daerah Jawa
sudah menurun kualitasnya kerana kerusakan alam. Industri gula di Jawa secara
umum memiliki infrastruktur yang cukup mendukung. Namun, irigasi dan sarana
jalan/transportasi untuk mengangkut tebu yang di beberapa tempat belum
memadai. Sebagai contoh, infrastruktur industri gula Kebon Agung di Jawa Timur
sudah cukup memadai, baik itu jalan maupun sarana komunikasi.
90
Kasus lain di PG Jati Barang, Jawa Tengah, sarana jalan untuk
mengangkut tebu di beberapa lokasi kurang memadai. Akibatnya, untuk beberapa
lokasi tersebut ongkos angkut tebu sebagai salah satu komponen biaya utama
menjadi lebih mahal. Infrastruktur industri gula di luar Jawa seperti di Lampung
sudah memadai, khususnya yang dikelola oleh swasta. Sebagai contoh, jalan
kebun sangat memadai sehingga berbagai aktivitas usaha sejak dari tanam sampai
panen berjalan efisien. Infrastruktur PG di Lampung yang dikelola swasta
merupakan salah satu penyebab tingginya efisiensi industri gula tersebut (Dirjen
Perkebunan, 2006).
6.2.2 Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan merupakan faktor yang termasuk penting dalam
peningkatan dayasaing agribisnis gula di Indonesia. Kondisi permintaan akan
dijelaskan melalui tiga sub faktor yaitu komposisi permintaan domestik, jumlah
permintaan dan pola pertumbuhan, dan internasionalisasi permintaan domestik.
1. Komposisi Permintaan Domestik
Permintaan gula yang dilihat saat ini sangat berpengaruh erat dengan
posisi gula sebagai salah satu bahan pokok dan bahan baku industri makanan serta
minuman. Gula merupakan salah satu dari lima bahan pokok yang hingga saat ini
masih diimpor, selain beras, jagung, daging, dan kedelai. Sehingga angka
permintaannya mengikuti laju penduduk. Kemudian, adanya pertumbuhan industri
makanan dan minuman yang positif menimbulkan permintaan gula juga
meningkat. Adapun komposisi permintaan gula di Indonesia perlu ditelaah karena
dengan komposisi permintaan, khususnya domestik, maka Indonesia dapat
melihat kondisi industri gula dari sisi permintaan yang lebih holistik. Sehingga
kebijakan pergulaan dapat berjalan tepat dan tidak merugikan segala pihak.
Komposisi permintaan gula dicerminkan oleh konsumsi gula yang
dibedakan dalam dua pengertian, yaitu konsumsi menurut ketersediaan atau
jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi dan konsumsi langsung oleh rumah
tangga. Konsumsi ketersediaan bersifat agregat, sedangkan konsumsi langsung
adalah jumlah yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Menurut Hafsah
(2002) bahwa konsumsi berdasarkan ketersediaan, meliputi 4 macam penggunaan,
91
yaitu: pemakaian untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, pemakaian oleh
industri dan pembuat makanan atau minuman, persediaan untuk perdagangan, dan
persediaan tambahan untuk tujuan spekulasi, terutama bila keadaan harga tidak
stabil dan cenderung meningkat.
Menurut Dewan Gula Indonesia (2011) bahwa pemetaan konsumsi gula
nasional dibagi terkait dengan jenis gula, yaitu konsumsi gula rafinasi dan
konsumsi gula kristal putih. Untuk pemetaan konsumsi gula rafinasi
diperuntuhkan bagi industri makanan dan minuman, seperti konsumsi industri
kecil, konsumsi industri menengah, dan konsumsi industri besar. Sedangkan untuk
pemetaan konsumsi gula kristal putih diperuntuhkan bagi konsumsi langsung,
seperti konsumsi rumah tangga, konsumsi khusus (rapat,warung rumah makan
dll), dan konsumsi industri rumah tangga. Pemetaan ini penting dilakukan guna
memperkirakan kebutuhan gula Indonesia agar tidak terjadi ekses supply atau
ekses demand. Pemetaan ini dilakukan sebagai metode perencanaan yang menjadi
pijakan bagi pemerintah untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan gula
nasional, mulai dari produksi hingga kebijakan impor gula.
Adapun pemetaan tersebut memiliki patron baku yaitu data survei dari
lembaga-lembaga yang memiliki kredilbilitas. Data survei tersebut dari sucofindo
pada tahun 2007 untuk data kebutuhan konsumsi industri kecil, kebutuhan
konsumsi gula khusus (seperti rapat, warung, rumah makan dll), dan kebutuhan
industri rumah tangga. Adapun angka baku dari survei sucofindo tersebut yaitu
27.565 ton/bulan untuk kebutuhan konsumsi industri kecil dengan kenaikan 5
persen per tahunnya, 2,14 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi khusus, dan
1,16 kg/kap/tahun untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Kemudian, data dari
susenas tahun 2010 untuk data kebutuhan konsumsi rumah tangga yaitu 7,67
kg/kap/tahun. Serta data dari surveyor Indonesia tahun 2009 untuk data kebutuhan
industri menengah dan besar yaitu 144.107 ton/bulan dengan kenaikan 5 persen
per tahunnya.
2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Peningkatan permintaan merupakan cerminan yang krusial dalam melihat
masa depan pergulaan dipandang dari sudut pandang konsumsi. Peningkatan
permintaan akan gula berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan
92
kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan industri makanan dan
minuman. Semakin meningkat jumlah penduduk, kesejahteraan, pertumbuhan
ekonomi dan industri makanan dan minuman maka permintaan akan gula juga
akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pasar untuk gula di Indonesia akan
semakin besar.
Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia (2011), impor gula, konsumsi
gula, dan jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 1993-
2011 seperti pada Lampiran 2. Secara normal, konsumsi gula Indonesia akan
mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk,
peningkatan pendapatan, dan peningkatan industri berbahan baku gula. Pada
tahun 2010, angka konsumsi gula nasional mencapai 5,1 juta ton. Angka ini
termasuk dengan konsumsi langsung dan konsumsi industri. Pada tahun 2010,
untuk memenuhi angka tersebut pemerintah harus melakukan impor sebesar 2,91
juta ton. Kemudian pada tahun 2011, angka konsumsi tersebut naik 11 persen
menjadi 5,75 juta ton. Adapun konsumsi langsung yang tercatat pada tahun 2011
yaitu 2.768.831 ton dan konsumsi industri sebesar 2.985.540 ton.
Konsumsi industri yang dicerminkan dari konsumsi gula rafinasi. Adapun
data pada konsumsi gula rafinasi tahun 2009 bahwa industri yang menjadi
konsumen gula rafinasi digambarkan dalam Gambar 4. Konsumen utama dari gula
rafinasi adalah industri makanan dengan jumlah konsumsi mencapai 35% dari
total produksi gula rafinasi dalam negeri, sedangkan industri minuman menyerap
gula rafinasi sebesar 29%.
Gambar 4. Konsumsi Gula Rafinasi Tahun 2009
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
93
Kebijakan pemerintah sejak tahun 2002 hingga September 2008 adalah
memperbolehkan industri makanan dan minuman untuk mengimpor sendiri gula
rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula rafinasi dalam
negeri dan terus menurunnya harga dunia gula rafinasi yang ternyata berimbas
kepada petani gula, maka kemudian di bulan September 2008 pemerintah
membatasi impor gula rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan
minuman sehingga industri-industri tersebut diarahkan untuk melakukan
pembelian gula rafinasi dari produksi pabrik gula rafinasi dalam negeri. Saat itu
pemerintah membatasi impor gula rafinasi hanya diperbolehkan 500,000 ton10
saja. Di tahun 2008 pun jumlah realisasi impor gula rafinasi menurun menjadi
sekitar 100,000 ton.
3. Internasionalisasi Permintaan Domestik
Indonesia saat ini belum dapat menyediakan sepenuhnya permintaan gula
domestik. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi
permintaan yang ada. Setelah tahun 1984, Indonesia tidak lagi dapat
mempertahankan swasembada gula yang telah dicapai pada tahun tersebut.
Sampai saat ini, Indonesia masih terus melakukan impor gula meskipun
jumlahnya mulai menurun seiring dengan peningkatan produksi gula. Karena itu
Indonesia belum dapat berperan sebagai negara pengekspor di pasar gula dunia.
6.2.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung
Faktor industri terkait dan industri pendukung merupakan faktor penting
dalam hal menganalisis daysaing suatu industri, khusnya industri gula Indonesia.
Adanya industri terkait seperti industri hulu yang memasok input untuk industri
utama dengan harga yang lebih murah dan mutu yang berkualitas merupakan
faktor penting dalam peningkatan dayasaing suatu industri. Sama halnya juga
dengan industri pendukung yang mampu memberikan nilai tambah yang lebih
baik bagi industri utama maka semakin meningkatkan industri dari suatu
komoditas, seperti gula.
94
1. Industri Terkait
a. Industri Pemasok Bahan Baku
Industri pemasok bahan baku yang baik mempengaruhi industri utama
secara positif, adapun industri pemasok bahan baku dalam konteks industri gula
Indonesia meliputi industri saran produksi (pembibitan dan pupuk) dan alat serta
mesin pertanian. Khusus untuk industri pembibitan memiliki peranan yang cukup
penting karena kualitas gula yang baik adalah hasil dari pembibitan tebu yang
berkualitas dalam proses usahataninya. Adapun penyediaan bibit dilakukan secara
khusus oleh pabrik gula yang menggunakan varietas dari P3GI. Usaha pembibitan
kebun bidang datar atau KBD dilakukan oleh perusahaan besar, seperti PTPN,
perusahaan swasta, ataupun P3GI yang terletak di pasuruan. Khusus untuk
pembibitan yang dilakukan oleh PTPN yaitu digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bibit dari lahan tebu PTPN dan lahan tebu rakyat. Akan tetapi di pulau
jawa, usaha pembibitan oleh PTPN lebih diperuntuhkan untuk usahatani tebu
rakyat.
b. Industri Pengolahan
Industri pengolahan memiliki peranan yang sangat penting dalam
dayasaing sebuah komoditas karena dengan adanya industri pengolahan maka
akan ada penambahan nilai dari suatu komoditas menjadi produk. Pada konteks
industri gula di Indonesia, industri pengolahan ini adalah pabrik gula. Di
Indonesia, pabrik gula dimiliki oleh pihak pemerintah atau BUMN yang bergerak
pada pergulaan, perusahaan swasta, dan pabrik gula rafinasi. Pabrik gula BUMN
dan swasta bertuga untuk mengolah tebu menjadi gula kristal putih, sedangkan
pabrik gula rafinasi bertugas mengolah raw sugar menjadi gula kristal rafinasi.
Pabrik gula di Indonesia tersebar di beberapa pulau saja yaitu Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi. Pada ketiga pulau tersebut tersebar pabrik gula kristal
putih dan pabrik gula kristal rafinasi. Untuk pabrik gula di Jawa terdapat 48
pabrik yang tersebar di 4 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, DI.
Yogyakarta, dan Jawa timur. Pada provinsi Jawa Barat terdapat 5 pabrik gula
yang dikelola oleh PT. Rajawali Nusantara Indonesia II. Untuk provinsi Jawa
Tengah terdapat 8 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN IX dan 1 pabrik gula yang
dikelola oleh PT. IGN. Kemudian di provinsi Jawa Timur memiliki pabrik gula
95
dengan jumlah terbanyak di Indonesia karena pada provinsi tersebut terdapat dua
BUMN yang fokus pada sektor perkebunan yaitu PTPN X dan PTPN XI. Untuk
PTPN X mengelola 11 pabrik gula dan untuk PTPN XI mengelola 16 pabrik gula.
Selain PTPN X dan PTPN XI, di Jawa Timur juga terdapat PT. Rajawali
Nusantara Indonesia I yang mengelola 2 pabrik gula, PT. Kebon Agung yang
mengelola 2 pabrik gula, PT. Pakis Baru yang mengelola 1 pabrik gula dan PT.
PG Candi mengelola 1 pabrik gula. Kemudian untuk provinsi DI Yogyakarta
terdapat satu pabrik gula yang dikelola oleh PT. Madukismo.
Untuk Pabrik gula di Sumatera terdapat di 3 provinsi yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. Untuk di provinsi Sumater Utara, terdapat
2 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN II. Untuk di provinsi Sumatera Selatan,
terdapat 1 pabrik gula yng dikelola oleh PTPN VII dan 1 pabrik gula yang
dikelola oleh PT. Laju Perdana Indah. Untuk di provinsi Lampung terdapat
pabrik-pabrik gula yang dimiliki oleh BUMN sektor perkebunan dengan
perusahaan swasta. Terdapat 1 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN VII, PT.
Sugar Group Company mengelola 3 pabrik gula, PT. Pemuka Sakti Manis Indah
yang mengelola 1 pabrik gula, dan PT. Gunung Madu Plantation yang mengelola
1 pabrik gula.
Untuk pabrik gula yang terletak di Sulawesi yaitu terdapat di provinsi
Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Untuk provinsi Gorontalo terdapat 1 pabrik gula
yang dikelola oleh PT. PG Gorontalo dan untuk di provinsi Sulawesi Selatan
terdapat 3 pabrik gula yang dikelola oleh PTPN XIV. Kemudian terdapat rencana
pemerintah untuk membangun beberapa pabrik baru dalam hal pencapaian
swasembada gula. Rencananya pabrik gula kristal putih tersebut dibangun di
Aceh, Merauke, Jambi, Maluku, dan Kalimantan Barat. Dalam kenyataanya,
industri pengolahan tebu menjadi gula di Indonesia saat ini memang belum
optimal karena belum dapat menahan arus impor dan memenuhi konsumsi
domestik. Hal tersebut dikarenakan teknologi yang digunakan sudah tua dan
proses regenerasi teknologi yang lambat akibat keterbatasan pendanaan dalam
revitalisasi pabrik.
Pabrik-pabrik gula yang di atas yang tersebar di tiga pulau di Indonesia
tersebut adalah pabrik gula yang memroduksi gula kristal putih, sedangkan untuk
96
pabrik gula yang memroduksi gula kristal rafinasi terdapat di Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi. Adapun di Jawa tersebar di beberapa provinsi yaitu di Jawa Barat
terdapat 4 pabrik gula, yang dikelola oleh PT. Angles Product, PT. Jawamanis,
PT. Sentar Usahatama Jaya, dan PT. Duta Sugar International. Di Jawa Tengah
terdapat 2 pabrik gula yang dikelola oleh PT. Permata Dunia Sukses Utama dan
PT. Dharmapala Usaha Sukses. Di provinsi lampung terdapat 1 pabrik gula yang
dikelola oleh PT. Sugar Labinta. Untuk provinsi Sulawesi Selatan terdapat 1
pabrik gula yang dikelola oleh PT. Makasar Tene.
Adapun beberapa masalah yang ada pada industri pengolahan gula kristal
rafinasi adalah pembatasan impor gula rafinasi ini mendapat tentangan dari
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi)
selaku pengguna utama gula rafinasi. Hal ini dikarenakan mutu dari gula rafinasi
dalam negeri yang masih dipertanyakan sementara bagi industri makanan,
minuman dan farmasi memerlukan kualitas dan standar khusus sehingga tidak
bisa sembarangan menggunakan gula rafinasi. Permasalahan lainnya yaitu
muncul saat gula rafinasi membanjiri pasar ritel/rumah tangga karena harganya
yang lebih murah. Hal ini berkaitan erat dengan jalur distribusi dari pabrik gula
rafinasi.
Secara umum tingkat efisiensi pabrik gula (overall recovery, OR) ≤ 80
persen, sedangkan standar internasional mensyaratkan pencapaian OR ≥ 85
persen. Hal ini merupakan akibat dari terlambatnya program rehabilitasi dan
perawatan (maintenance) pabrik. Secara teknis, rendahnya OR tersebut karena
kondisi peralatan yang sudah kurang memadai dan rendahnya mutu bahan baku
tebu. Hal tersebut merupakan penyebab kehilangan gula di dalam proses produksi
tinggi, sehingga pencapaian rendemennya rendah dan menyebabkan biaya
produksi tinggi. Sedangkan dari aspek manajemen, belum tercipta budaya
korporasi dari bagian-bagian utama di dalam pabrik (tanaman, instalasi, proses,
dan keuangan) di sebagian besar PG di Indonesia. Akibatnya, masing-masing
bagian lebih mementingkan pencapaian target atau sasaran program bagiannya
daripada program pabrik dan perusahaan (Dirjen Perkebunan 2006).
Pada umumnya PG di Indonesia mengolah tebu untuk menghasilkan gula
pasir sebagai produk tunggal (Single Product Industry). Padahal tebu juga dapat
97
digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan tebu. Berkaitan dengan
produk turunan tebu, PG di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintisnya,
namun pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai
jenis produk turunan tebu berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada
4 pabrik alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula.Pada saat ini sudah ada
sekitar 45 buah pabrik produk turunan tebu dengan 14 jenis produk turunan tebu.
Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula.
c. Industri Jasa Tataniaga
Industri tataniaga adalah industri yang tidak kalah penting dengan industri
pengolah dan bahan baku karena dengan peran industri ini maka kinerja dari
industri bahan baku dan pengolahan dapat melihat hasil yang mereka dapatkan
secara riil yaitu dengan harga yang mereka terima. Industri ini melibatkan banyak
pihak yaitu petani, pengumpul/tengkulak/bakul/mediator, pedagang besar/grosir/
agen, pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga
maupun konsumen industri makan dan minuman. Adapun dalam industri
tataniaga ini terdapat dua mekanisme tataniaga gula, yaitu mekanisme lelang dan
mekanisme jual bebas.
(1) Mekanisme Lelang
Sistem lelang terutama bisa dilakukan untuk menjual gula milik pabrik
gula (PG). Namun, PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Lelang
biasanya dilakukan oleh pihak direksi melalui divisi tataniaga/pemasaran seperti
di Jakarta untuk PT RNI (wilayah Jawa Barat), di Solo untuk PTPN IX (Wilayah
Jawa Tengah), di Malang/Surabaya untuk PTPN XI (Wilayah Jawa Timur) dan
Makasar untuk PTPN XIV.
Dalam sistem lelang terdapat dua saluran distribusi yaitu: (1)Gula
PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Pengecer/Retail→ Konsumen Akhir,
(2)Gula PG/Gula Petani→Distributor/Grosir/Agen→Konsumen Akhir.
(2) Mekanisme Jual Bebas
Selain dengan melalui sistem lelang, penjualan gula milik petani sebagian
besar dilakukan dengan sistem jual bebas. Mekanisme ini berlaku sejak tahun
1998 yaitu setelah tataniaga gula diserahkan ke pasar bebas. Hal ini berbeda jauh
dengan tahun-tahun sebelumya yang dilakukan oleh BULOG. Pada mekanisme
98
jual bebas, terdapat beberapa saluran pemasaran yang umumnya dilakukan oleh
petani seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Dari kelima saluran tersebut, umumnya petani lebih menyukai saluran
kelima, saluran kedua/ketiga, saluran pertama dan keempat. Artinya petani lebih
suka menjual langsung ke pengecer atau retail. Hal ini disebabkan harga yang
diterima akan lebih tinggi. Namun, saluran kelima tersebut jarang dilakukan
karena volume gula yang dijual maksimal 5 kuintal. Selain itu apabila petani
langsung menjual ke pengecer, biaya tataniaga seperti transportasi, bongkar muat
menjadi kewajiban petani. Namun, petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), melakukan kerjasama dengan investor untuk
menjamin harga gula yang dimilikinya.
Gambar 3. Saluran Tataniaga Gula Milik Petani
Sumber: Dirjen Bina Perkebunan (2002)
Adapun industri tataniaga gula ini dapat dijelaskan pula menurut jalur
distribusi berdasarkan jenis gula kristal, yaitu jalur distribusi untuk gula kristal
putih dan jalur distribusi gula kristal rafinasi. Berikut ini adalah jalur distribusi
gula kristal putih:
99
1. Produsen/Importir – Distributor – Sub distributor – Grosir – Retail Jalur
ini merupakan jalur terpanjang dari rantai distribusi di industri gula
Indonesia. Jalur ini bisa ditemui di daerah yang memang sangat jauh dari
jangkauan pedagang utama gula, mereka akhirnya menggunakan jalur
tradisional yang melibatkan lebih banyak pedagang dengan skala distribusi
yang semakin kecil. Distributor utama sebagian besar keberadaanya dekat
dengan produsen/gudang dimana gula diproduksi/diimpor.
Khusus untuk gula petani yang dilelang, distributor (pemenang lelang)
seperti hanya menjadi kepanjangan tangan saja untuk memindahkan gula
yang dimenangkan melalui lelang. Gula hasil lelang dijual saat itu juga
kepada sub distributor yang langsung mengambilnya. Margin keuntungan
penjualan, hanyalah selisih harga lelang dengan harga tebus oleh sub
distributor. Akitivitas distributor lebih terfokus pada upaya memenangkan
lelang saja. Dari distributor ini maka kemudian gula mulai tersebar melalui
sub distributor yang keberadaannya hampir ada di setiap kabupaten.
Setelah itu gula kemudian dijual ke grosir dan akhirnya ke retailer.
2. Produsen/Importir – Distributor – Grosir – Retailer
Kondisi distribusi dengan jalur seperti ini memiliki beberapa kemungkinan
antara lain:
i) Rantai setelah distributor (sub distributor) secara ekonomis tidak lagi
dibutuhkan. Artinya grosir dapat melakukan pembelian langsung ke
distributor, tanpa melalui sub distributor yang justru menimbulkan
inefisiensi. Misalnya karena jarak antara gudang distributor dengan
grosir sangat dekat.
ii) Sub distributor dimiliki langsung oleh distributor, sehingga dalam jalur
distribusi tersebut keberadaan sub distributor menjadi seperti menyatu
dengan distributor dan tidak tampak menjadi bagian dari distributor.
3. Produsen/Importir – Distributor – Retailer
Jalur distribusi ini mereduksi peran sub distributor dan grosir. Hal ini
memiliki dua kemungkinan :
i) Secara ekonomis ada keuntungan yang luar biasa bagi distributor
ketika dapat menyalurkan langsung ke retailer. Hal ini dimungkinkan
100
karena tidak ada lagi kendala ekonomis yang dihadapi oleh distributor
untuk menyalurkan langsung ke retailer yang mampu membeli dengan
skala sangat besar. Misalnya tidak ada kendala terkait dengan angkutan
dan biaya transportasi lainnya.
ii) Dalam pola yang lebih maju seperti yang dilakukan oleh Garuda Panca
Arta (Lampung) yang mendistribusikan produk Gulaku, maka tidak
ada hambatan berarti untuk langsung mendistribusikan produknya
tersebut ke retailer. Dalam hal ini perusahaan industri gula mendirikan
anak perusahaan yang bergerak di distribusi gula.
4. Produsen – Retailer
Model seperti ini juga dilakukan oleh beberapa PTPN tetapi dalam skala
yang sangat kecil, biasanya dilakukan pendistribusian ke beberapa
koperasi pesantren di provinsi Jawa Timur yang selama ini menjadi
lumbung gula Indonesia. Dari koperasi inilah para anggotanya kemudian
mengkonsumsi langsung gula.
101
Berikut ini adalah gambara dari jalur distribusi gula kristal putih yang telah
dijelaskan seperti di atas.
Gambar 4. Jalur Distribusi Gula Kristal Putih
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Sementara itu, jalur distribusi gula rafinasi sangat berbeda dengan jalur
distribusi gula kristal putih. Jika distribusi pada gula kristal putih dibebaskan siapa
saja boleh berdagang, maka distribusi gula rafinasi ini lebih ketat karena
distributor ditunjuk langsung oleh pabrik gula rafinasi dan sub distributor ditunjuk
langsung oleh distributor. Tidak sembarangan pihak bisa menjadi distributor
maupun sub distributor gula rafinasi.
102
Gambar 5. Jalur Distribusi Gula Kristal Rafinasi
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Distributor dan sub distributor yang ditunjuk pun harus didaftarkan di
Kementrian Perindustrian terlebih dahulu dan untuk kemudian mendapat
persetujuan. Pengaturan yang ketat dalam jalur distribusi gula rafinasi ini
dilakukan agar gula rafinasi tidak merembes ke pasaran ritel. Dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk maka jumlah kebutuhan konsumsi gula juga
diperkirakan bertambah. Tidak hanya konsumsi gula secara langsung tetapi juga
gula yang digunakan dalam memproduksi makanan dan minuman. Peningkatan
jumlah penduduk, perkembangan industri makanan dan minuman serta
meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan kebutuhan akan gula.
2. Industri Pendukung
Industri pendukung dalam agribisnis gula adalah industri yang
menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Industri tersebut antara lain
industri makanan, minuman, dan farmasi. Penggunaan sumber pemanis oleh
industri tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan,
harga bahan pemanis, serta selera konsumen. Industri tersebut secara tidak
langsung mendukung agribisnis gula yang memiliki kontribusi tidak langsung
secara vertikal karena industri tersebut menggunakan gula sebagai bahan bakunya.
Meskipun secara agregat konsumsi gula masih didominasi oleh rumah tangga,
akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi oleh industri lebih tinggi (Pakhpahan,
2005). Gula yang dibutuhkan untuk industri biasanya berasal dari gula rafinasi
maka kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dengan gula
impor. Meskipun impor gula sebagai bahan baku industri merupakan gula rafinasi
namun ada beberapa importir yang menjual gula tersebut langsung ke pasaran
103
dengan harga lebih murah yang menyebabkan gula lokal kalah bersaing dengan
gula impor tersebut.
6.2.4 Persaingan, Struktur, dan Strategi Industri
Persaingan, struktur, dan strategi industri merupakan salah satu faktor
pendukung dalam menganalisis dayasaing
1. Persaingan
Usahatani tebu terutama di daerah Jawa sebagian besar dikelola oleh
rakyat atau yang sering disebut tebu rakyat. Selain itu, adapula usahatani tebu
yang dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana
PG sekaligus pemilik lahan HGU. Gula diproduksi oleh PG baik yang dikelola
oleh BUMN dan swasta. Seluruh gula yang diproduksi oleh PG digunakan untuk
memenuhi konsumsi dalam negeri. Karena untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri produksinya belum mencukupi maka Indonesia belum dapat mengekspor
produk gulanya.
2. Struktur
Menurut Mardianto et al. (2005) perdagangan gula di dalam negeri
sebenarnya memiliki struktur pasar yang bersifat oligopolistik. Hal ini dapat
dilihat pada setiap lelang yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa
pedagang yang terlibat sehingga tingkat kompetisinya tidak mencerminkan
kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya.
Tabel 30. Struktur dalam Industri Gula Indonesia
No. Posisi Pelaku Usaha Struktur
1 Produsen Oligopoli 2 Distributor Oligopoli
3 Sub Distributor Banyak pelaku usaha terlibat
4 Grosir Retailer Banyak pelaku usaha terlibat Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Seperti yang digambarkan diatas, produsen dan distributor gula merupakan
oligopolis dimana hanya sedikit pemain yang terlibat. Pada sisi produsen, pemain
utama terdiri dari Sugar Group dan BUMN perkebunan berskala besar seperti
PTPN IX, XI dan RNI. Sedangkan distributor gula dikuasai oleh beberapa
pedagang besar yang terkenal dengan sebutan ‘8 samurai’. Berbeda dengan sisi
104
sub distributor maupun grosir/ritel dimana banyak pelaku usaha yang terlibat
didalamnya. Dengan struktur yang seperti itu maka wajar jika stok gula hanya
dikuasai oleh beberapa pelaku/pedagang saja. Dengan kekuatan pedagang itulah
maka mereka kemudian tahu bahwa hanya mereka yang akan memasok gula ke
masyarakat.
Adapun pada industri gula lokal hanyalah industri gula kristal putih.
Sementara untuk gula rafinasi masih dilakukan impor. Namun sejak tahun 2000-
an ketika harga gula dunia (raw sugar) melonjak tinggi, pemerintah mengijinkan
untuk dibangunnya pabrik gula rafinasi. Untuk itu pembahasan mengenai struktur
industri gula dibagi menjadi dua yaitu struktur industri gula kristal putih dan
struktur industri gula kristal rafinasi.
2.1. Industri Gula Kristal Putih
Sejak dahulu, pemain dalam industri gula kristal putih didominasi oleh
BUMN, yaitu PTPN dan RNI. Jumlahnya mencapai hampir 10 perusahaan yang
tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Bisa dikatakan mulai dari produsen gula
hingga distributor gula hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar saja
(oligopolistik). Pasokan gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal
dari enam pelaku usaha saja yakni PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung
Madu dan Sugar Group Companies. Adapun struktur industri gula kristal putih
dalam negeri pada saat musim giling pada umumnya bersifat oligopsoni sehingga
produsen (petani tebu dan pabrik gula, PTPN/RNI) tidak menerima harga yang
wajar. Dan sebaliknya saat di luar musim giling, struktur industri gula kristal putih
bersifat oligopoli sehingga harga di tingkat konsumen relatif tinggi dan produsen
tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian
besar stok gula kristal putih dikuasai oleh hanya beberapa pedagang besar saja.
Secara keseluruhan, jumlah pasokan gula kristal putih dapat dilihat dalam Gambar
dibawah ini.
105
Gambar 6. Produksi Gula Kristal Putih Tahun 2009
Sumber: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2010)
Pada gambar 8 terlihat bahwa PTPN X, PTPN XI dan Sugar Group
merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun
2009 yaitu 18,72%, 15,64% dan 18,96%. Sugar Group mampu menjadi leader
dalam industri ini karena perusahaan tersebut merupakan satu-satunya perusahaan
yang telah efisien dalam industri gula ini.
2.2. Industri Gula Rafinasi
Sebelum tahun 2000, pemenuhan gula rafinasi adalah melalui impor
karena harga gula saat itu sedang murah. Namun dengan ekspektasi harga gula
dunia yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri yang menurun,
kemudian terdorong juga untuk membangun pabrik gula rafinasi. Bahan baku
yang digunakan pabrik gula rafinasi tersebut adalah raw sugar yang diimpor. Pada
tahun 2004, baru terdapat tiga pelaku usaha gula rafinasi. Dengan tiga pelaku
usaha tersebut di tahun 2003-2005 mampu men-supply kebutuhan gula rafinasi
untuk industri makanan, minuman dan farmasi sekitar 300.000 ton –1.500.000 ton
per tahun. Kemudian di tahun 2006-2008 pelaku usaha di industri gula rafinasi ini
bertambah menjadi 7 pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat
menjadi sekitar 1,2 juta – 1,5 juta ton per tahun. Baru kemudian di tahun 2009
total pelaku usaha dalam industri gula rafinasi ini menjadi delapan sehingga pada
tahun 2009 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per
tahun8. Berikut pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi.
a. PT. Angles Product, Bojonagara, Serang- Banten
106
b. PT. Jawamanis, Jl. Raya Anyer – Cilegon-Banten
c. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten
d. PT. Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap - Jawa Tengah
e. PT. Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap – Jawa Tengah
f. PT. Sugar Labinta
g. PT. Makassar Tene
h. PT Duta Sugar International.
Pelaku-pelaku dalam industri gula rafinasi dalam negeri sepenuhnya
mengimpor raw sugar untuk kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Seiring
peningkatan jumlah pabrik gula rafinasi dalam negeri maka meningkat juga
jumlah raw sugar yang diimpor setiap tahunnya. Peningkatan impor raw sugar
yang paling besar terjadi pada tahun 2006 dan 2007 sehingga di tahun-tahun
tersebut pabrik gula rafinasi terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi
kebutuhan industri-industri dalam negeri yang membutuhkan gula rafinasi.
Tabel 32. Jumlah Impor Raw sugar Untuk Pabrik Gula Rafinasi
Tahun Perusahaan Rekomendasi Izin Impor Jumlah (ton)
2003 5 394.700 398.070 350.582 2004 5 923.000 757.750 478.250
2005 5 1.226.000 999.100 808.200
2006 6 1.081.000 1.056.250 952.387 2007 6 1.492.450 1.447.700 1.255.522
2008 7 1.661.230 1.404.730 1.213.470
2009 8 1.670.000 1.670.000 1.670.000 Sumber: Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (2010)
Di tahun 2009, seluruh raw sugar yang direkomendasi diserap oleh pabrik
gula rafinasi. Berikut ini pada gambar 9 terdapat perkembangan industri rafinasi
dari sisi realisasi produksi masing-masing perusahaan. Pelaku-pelaku lama dalam
industri gula rafinasi merupakan penghasil utama gula rafinasi di Indonesia. Jika
dilihat berdasarkan pangsa produksinya di tahun 2009, PT Permata DSU dan PT
Sentra Usahatama Jaya meminpin pasar dengan pangsa 20% dan pemain utama
lainnya yaitu PT Jawamanis Rafinasi dan PT Angels Products yang masing-
masing pangsa produksinya 15% dan 16%.
107
3. Strategi
Gula dapat secara langsung dikonsumsi dalam campuran minuman atau
membuat aneka makanan. Sebagian besar di Indonesia gula masih dijual dalam
bentuk komoditas. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan
nilai tambah komoditas gula menjadi produk gula yang memiliki merek. Sebagai
contoh Sugar Group mengeluarkan produk gula kemasan bermerek Gulaku. Sugar
Group mendapatkan nilai tambah lebih tinggi daripada produsen gula lainnya
dengan memproduksi gula kemasan yang kualitasnya tentu saja lebih baik
daripada komoditas gula tanpa kemasan.
Menurut Pakpahan (2005), petani sebenarnya memiliki potensi yang besar
untuk melakukan hal serupa dengan Sugar Group karena setiap tahunnya tidak
kurang dari 600.000 ton gula menjadi milik petani. Kalau saja 25 persen dari
jumlah tersebut dijual dalam bentuk kemasan tentu akan memberi manfaat yang
besar. Namun, potensi tersebut mengalami kendala pada mutu gula petani yang
dihasilkan oleh PG BUMN. Mutu gula yang dihasilkan tidak konsisten dari satu
musim giling ke musim giling berikutnya, terkadang putih di musim ini tetapi
kuning di musim berikutnya.
Sejak diberlakukannnya Inpres Tahun 1975 tentang TRI (Tebu Rakyat
Intensifikasi), kedudukan PTPN di atas para petani. Pada waktu itu nilai tawar
(bargaining position) petani sangat rendah karena petani hanya berperan pasif dan
mau tidak mau harus mengikuti sistem yang telah ada meskipun itu merugikan.
Monopoli BULOG juga membuat petani tidak bisa mandiri, bahkan PTPN pun
juga demikian. Pada tahun 1998 Inpres tersebut dicabut dan BULOG tidak lagi
memonopoli perdagangan gula di Indonesia. Karena petani secara langsung
dihadapkan kepada mekanisme pasar, banyak oknum-oknum yang mencari
keuntungan dari kebingungan petani menghadapi sistem baru ini.
Setelah tahun 2000, para petani tebu secara keseluruhan sepakat untuk
menjual gulanya secara bersama-sama agar seluruh petani menikmati harga gula
yang sama dan untuk menghilangkan celah bagi oknum untuk memainkan harga
gula. Pada tahun 2001 APTRI mencetuskan sistem Dana Talangan dan Jaminan
Harga Minimal. Dana talangan membantu petani mendapatkan dana lebih awal
108
untuk mengolah lahannya. Sedangkan Jaminan Harga Minimal menjamin petani
untuk mendapatkan jaminan harga agar tidak rugi ketika harga turun.
Produsen gula atau PG-PG di Indonesia sebagian besar tidak melakukan
promosi untuk meningkatkan konsumsi akan gula. Hal ini dikarenakan, tanpa
promosi pun permintaan gula yang ada belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh
produsen dalam negeri. Promosi dilakukan ketika akan dilakukan pelelangan baik
gula PG maupun petani. Adanya website Perusahaan Gula juga membantu
mempromosikan gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu. Gula yang dihasilkan
oleh PG baik itu milik petani atau PG dapat dijual dengan dua sistem, yaitu sistem
lelang dan sistem jual bebas. Sedangkan dalam sistem jual bebas terdapat lima
saluran distribusi dimana lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya antara lain,
Petani tebu, pengumpul/tengkulak/ bakul/mediator, padagang besar/grosir/agen,
pedagang kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga
maupun konsumen industri.
6.2.5 Peran Pemerintah
Peran pemerintah terhadap pengembangan agribisnis gula sangat besar
dibuktikan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan agribisnis gula di Indonesia. Kebijakan
pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input
dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga. Sejalan dengan kebijakan-kebijakan
di atas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri
pemerintah menggulirkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula
Nasional 2002-2007.
Di samping itu untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan
internasional, pemerintah juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara
simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa subsidi
bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3
triliun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasarana pengairan
sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk
pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan dukungan dana untuk
penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan. Dalam rangka untuk
109
meningkatkan kepastian berusaha serta meningkatkan dayasaing produksi dalam
negeri, tim tarif nasional melakukan harmonisasi tarif tahun 2005-2010 untuk
produk-produk dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga sudah mengeluarkan
kebijakan pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen untuk
mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun,
efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan
mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula.
6.2.6. Peran Kesempatan
Peran kesempatan adalah faktor yang ada di luar kendali para stakeholder
industri. Dalam konteks industri gula Indonesia, terdapat kesempatan yang dapat
dimanfaatkan sebagai modal untuk industri gula Indonesia bersaing dengan gula
impor secara kompetitif pada pasar domestik atau memenuhi kebutuhan dalam
negeri. kesempatan tersebut adalah kondisi pasa yang makin mengarah kepada
pasar dunia yang kompetitif dan proyeksi krisis energi yang dalam jangka panjang
tidak dapat dihindari menjadi kesempatan industri gula di Indonesia berkembang.
Pasar gula dunia akan semakin kompetitif sebagai akibat distorsi pasar gula dunia
akan semakin menurun pada masa mendatang. Selain itu, krisis energi (kenaikan
harga BBM) merupakan kecenderungan jangka panjang yang tidak dapat
diabaikan karena BBM merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat
diperbaharui. Jika sebagian besar negara produsen gula menggunakan tebu
sebagai bahan bakar, maka tebu yang akan digiling menjadi gula akan berkurang
dan harga gula dalam jangka panjang akan semakin meningkat, khususnya untuk
gula kristal putih.
Harga gula dunia dilihat dari tahun 2008 hingga 2010 mengalami kenaikan
dua kali lipat. Pada tahun 2008, harga gula dunia yang mengacu pada harga pasar
london mencapai rata-rata per bulannya adalah US$ 300an per ton dengan
fluktuasi terendah pada US$ 314 per ton dan tertinggi adalah US$397,15 per ton.
Kemudian pada tahun 2009, harga gula dunia di pasar london mulai merangkak
naik ke angka US$ 400an per ton pada bulan april dan pada penutup tahun yaitu
bulan desember, harga gula dunia di pasar london mencapai US$ 656,79 per ton.
Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan harga yang lebih dari dua kali lipat
pada penghujung tahun 2008 ke penghujung tahun 2009.
110
Pada tahun 2010, harga dunia melonjak pada awal tahun di bulan januari
di angka US$ 733,43per ton dan pada sepanjang tahun tersebut harga dunia
mengalami fluktuasi yang begitu tajam karena bergerak pada selang US$ 400an
per ton hingga US$ 700an per ton. Pada bulan desember tahun 2010, harga gula
dunia ditutup pada angka US$ 769,33 per ton. Dilihat dari data tersebut bahwa
pasar gula dunia semakin menggeliat dan dapat memacu kesempatan industri gula
Indonesia untuk tumbuh karena harga yang semakin naik akan menarik para
stakeholder untuk sama-sama ikut andil dalam pasar gula tersebut nantinya.
6.4 Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System
Tahapan setelah menganalisis komponen-komponen pada Porter’s
diamond system adalah menganalisis keterkaitan antar komponen utama pada
Porter’s diamond system. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen
utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth interviews yang dilakukan
dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian dari Cahyani (2008) adalah
sebagai berikut:
1) Persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor sumberdaya
Keterkaitan antar komponen utama yang saling mendukung dapat dilihat
pada komponen persaingan, struktur, dan strategi dengan kondisi faktor
sumberdaya industri gula. Hal ini dikarenakan strategi yang dilakukan oleh
komponen dalam industri mengoptimalkan kondisi faktor sumberdaya yang ada,
dalam hal ini adalah sumberdaya manusia, dimana pihak APTRI sebagai satuan
wadah aspirasi petani tebu yang mencetuskan sistem dana talangan dan jaminan
harga minimal pada tahun 2001 yang membuat kondisi sumberdaya manusia
yang ada di dalam industri tidak lantas meninggalkan industri akibat kondisi
sumberdaya alam yang belum mendukung. Tapi malah mendorong untuk menarik
banyak petani tebu untuk mau kembali ke dalam industri gula. Seperti kita
ketahui bahwa minat para petani tebu menurun sejak adanya Inpres No. 5/1998
yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk
membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai
dengan UU No.12 Tahun 1996. Hal ini dikarenakan harga yang tidak menarik
bagi petani sehingga mereka mengonversi lahan tebunya menjadi lahan tanaman
pangan atau tanaman yang lebih menguntungkan. Dengan adanya sistem tersebut,
111
diharapkan para petani non tebu dapat mau menanam tebu karena adanya dana
talangan dan juga jaminan harga minimal. Selain menarik sumebrdaya manusia di
luar industri, juga menjaga agar sumberdaya manusia yang ada di dalam industri
tidak melakukan konversi tanaman tebu ke tanaman lainnya. Karena kita ketahui,
bahwa sumberdaya manusia sangat penting dalam hal pengembangan industri,
khususnya sumberdaya manusia yang berada di on farm.
Selain itu, strategi yang dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi faktor
sumberdaya oleh persaingan dan struktur industri adalah adanya sistem tataniaga
yang terbagi menjadi dua yaitu sistem lelang dan sistem jual bebas. Hal ini
memang belum berjalan optimal dalam hal melindungi petani dari kejatuhan harga
gula akibat masuknya gula rafinasi ke pasar. Namun dengan strategi ini telah
dapat menekan efek dari penyimpangan para spekulan gula rafinasi di pasar
kebutuhan rumah tangga. Kemudian, dukungan kondisi faktor sumberdaya untuk
peningkatan kinerja persaingan, struktur, dan strategi industri adalah sumberdaya
alam seperti luas lahan yang meningkat 7,66 persen pada tahun 2011 dan
sumberdaya manusia yang juga meningkat seiring dengan semakin besarnya areal
lahan tebu, sehingga dapat memudahkan implementasi strategi pengembangan
industri.
2) Kondisi faktor sumberdaya dengan industri terkait dan industri
pendukung
Keterkaitan tidak saling mendukung dapat dilihat dari kondisi faktor
sumberdaya dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi
sumberdaya yang ada belum dapat mendorong industri terkait dan industri
pendukung kompetitif. Hal ini dilihat dari belum terasanya efek langsung dari
peningkatan sumberdaya lahan, adanya bantuan modal yang merupakan
sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur yang belum memadai walau
sudah berjalan program akselerasi gula nasional. Kondisi industri terkait dan
industri pendukung yang masih belum memenuhi kebutuhan domestik dan
berdayasaing dengan produk industri luar negeri, seperti Thailand. Kemudian,
industri terkait dan industri pendukung juga belum secara optimal
mendayagunakan sumberdaya yang ada seperti pemanfaatan produk turunan
sebagai pupuk yang nantinya dapat menjadi input bagi tebu.
112
3) Kondisi permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung
Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada kondisi
permintaan dengan industri terkait dan industri pendukung, dimana kondisi
permintaan yang excess demand belum dapat dimanfaatkan industri terkait dan
industri pendukung untuk melakukan peningkatan produksi gulanya. Adapun
yang ada adalah semakin banyaknya gula impor yang memenuhi pasar domestik
dari tahun ke tahun.
4) Industri terkait dan industri pendukung dengan Persaingan, struktur, dan
strategi
Keterkaitan yang tidak saling mendukung juga terjadi pada industri tekrait
dan industri pendukung dengan persaingan, struktur, dan strategi, dimana industri
terkait dan industri pendukung belum dapat berdayasaing akibat adanya
perbedaan strategi yang dilakukan oleh industri yang berasal dari swasta dan
industri yang berasal dari BUMN. Pada industri pengolahan yaitu pabrik gula, PG
yang berasal dari swasta cenderung memiliki strategi yang lebih siap dan baik. Ini
terlihat bahwa PG swasta lebih efisien sehingga biaya pengolahan yang
dikeluarkan lebih rendah dan keuntungannya lebih tinggi. Hal tersebut membuat
PG swasta dapat melakukan strategi diferensiasi produk yang notabenenya
meningkatkan nilai tambah produk, seperti membuat kemasan untuk produk gula
atau promosi di media massa. Hal ini membuat PG dari BUMN sulit untuk
bersaing diakibatkan belum efisiennya pabrik dan revitalisasi pabrik belum
berjalan sempurna. Berbeda dengan PG swasta yang pabriknya sudah menerapkan
mekanisasi, sehingga biaya pengolahan PG BUMN masih relatif tinggi dan
imbasnya PG BUMN belum dapat membuat nilai tambah pada produknya.
Selain itu pada industri pengolahan makanan dan minuman masih
mendapatkan bahan bakunya dari gula impor sehingga ada stigma negatif bahwa
pasokan gula impor untuk indutri pengolahan makanan dan minuman itu banyak
yang bocor ke pasar rumah tangga. Hal ini membuat gula lokal yang notabenenya
adalah produk asli dalam negeri menjadi sulit bersaing karena harga gula impor
yang lebih murah dan kualitasnya yang lebih baik. Kesulitan bersaing itu
membuat bargaining position industri gula lokal menjadi menurun dari segi
dayasaingnya.
113
5) Kondisi permintaan dengan persaingan, struktur, dan strategi
Kondisi permintaan dengan persaingan, stuktur dan strategi memiliki
keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini disebabkan karena tren
konsumsi gula dalam negeri yang meningkat akan berpengaruh positif terhadap
kondisi permintaan namun hal ini justru mengakibatkan Indonesia terus
mengimpor gula dari negara lain, seperti Thailand. Selain itu, strategi yang telah
dilakukan belum mampu meningkatkan produksi gula setara pemenuhan
kebutuhan domestik dan mendorong permintaan domestik kepada gula lokal.
Kondisi tersebut telah mengakibatkan gula lokal bersaing dengan gula impor dan
sulit memperoleh pasar.
6) Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan
Kondisi faktor sumberdaya dengan kondisi permintaan memiliki
keterkaitan yang tidak saling mendukung. Hal ini dikarenakan faktor sumberdaya
belum mampu memenuhi permintaan domestik. Begitu pula sebaliknya, kondisi
permintaan yang semakin meningkat tidak mendukung adanya faktor sumberdaya
karena meskipun permintaan domestik semakin meningkat, namun permintaan
tersebut merupakan permintaan terhadap gula impor dan bukan terhadap gula
lokal. Hal ini dikarenakan gula impor memiliki harga dan kualitas yang lebih baik
dari gula lokal.
Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond System
No. Komponen A Komponen B Keterkaitan
Antar Komponen
Keterangan
1 Persaingan,
struktur, dan strategi
Kondisi faktor
sumberdaya
Saling
mendukung Strategi pada industri
digunakan untuk
meningkatkan kinerja kondisi faktor
sumberdayanya.
2 Kondisi faktor sumberdaya
Industri terkait dan industri
pendukung
Tidak saling mendukung
Kondisi faktor
sumberdaya belum dapat membuat industri terkait
dan pendukung berjalan
kompetitif.
3 Kondisi permintaan
Industri terkait dan industri
pendukung
Tidak saling mendukung
Kondisi permintaan
yang tinggi belum dapat membuat industri terkait
dan industri pendukung
berjalan kompetitif .
114
Lanjutan Tabel 33. Keterkaitan Antar Komponen Utama Porter’s Diamond
System
No. Komponen A Komponen B Keterkaitan Antar Komponen
Keterangan
4 Industri terkait
dan industri
pendukung
Persaingan,
struktur, dan
strategi
Tidak saling
mendukung Strategi yang ada belum
dapat meningkatkan
industri terkait dan
pendukung. 5 Kondisi
permintaan
Persaingan,
struktur, dan
strategi
Tidak saling
mendukung Strategi yang digunakan
belum dapat mememnuhi
kebutuhan domestik
6 Kondisi sumberdaya
Kondisi permintaan
Tidak saling mendukung
Kondisi sumberdaya
yang belum dapat memenuhi kebutuhan
domestik
6.5. Keterkaitan Antar Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
Selain terdapat keterkaitan antar komponen utama, seperti yang telah
dijelaskan di atas, juga terdapat keterkaitan antar komponen penunjang dengan
komponen utama. Adapun penjelasan dari keterkaitan antar komponen penunjang
dengan komponen utama pada Berlian Porter ini didasarkan pada in depth
interviews yang dilakukan dengan Peneliti PRIDE dan merujuk kepada penelitian
dari Cahyani (2008) adalah sebagai berikut:
1) Peranan pemerintah dengan semua komponen utama
Peran pemerintah sangat mendukung setiap komponen dayasaing industri
gula di Indonesia melalui kebijakan dan program-program yang telah dilakukan.
Bentuk dukungan pemerintah terhadap kondisi faktor sumberdaya yaitu melalui
program-program pengembangan dan percepatan industri gula nasional dan
kebijakan yang kerap dikeluarkan terkait on farm dan tataniaga gula selama ini.
Adapun kebijakan nyata yang berkembang adalah kebijakan swasembada gula
yang diterjemahkan dalam program akselerasi gula, dimana program ini
mendorong produksi gula agar dapat memnuhi kebutuhan domestik dengan
perluasan lahan areal tebu, revitalisasi pabrik dan pembangunan pabrik baru,
dengan fokus pembangunan di luar pulau jawa. Bantuan kredit untuk petani tebu
melalui kredit KKP-TR dan KKP-PE juga dilakukan untuk mendorong minat
petani dalam menanam tebu agar bahan baku gula dapat meningkat dan
diharapkan produksi gula juga ikut meningkat. Pemerintah juga berperan dalam
115
hal mengusahakan temuan-temuan baru dalam industri gula, dengan mendorong
P3GI dan Balitbang pertanian untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang
unggul.
Selain itu peran pemerintah juga mendukung industri terkait dan
pendukung. Dalam industri pemasok bahan baku, peran pemerintah sebagai
penyaluran dan regulator untuk mendistribusikan benih melalui P3GI yang akan
disalurkan ke petani dengan bantuan pabrik gula, khusunys pabrik gula di bawah
naungan PTPTN. Dalam industri pengolahan, peran pemerintah sebagai
pendorong agar pabrik gula BUMN untuk bekerja lebih efisien dan meningkatkan
produksinya dengan cara memberikan bantuan revitalisasi pabrik dan
pembangunan pabrik baru yang termasuk dalam program akselerasi gula nasional.
Dalam industri tataniaga, pemerintah berperan langsung dalam regulasi atau
kebijakan pengaturan tataniaga gula yang adil dan melindungi konsumen, petani
tebu, serta pabrik gula agar tidak mengalami kerugian dari kegiatan tataniaga gula
yang ada.
Kondisi permintaan yang diperkirakan akan semakin meningkat tersebut
mendorong pemerintah untuk mewujudkan program swasembada gula agar
Indonesia tidak tergantung pada gula impor. Dukungan pemerintah juga diberikan
pada komponen persaingan, struktur, dan strategi yaitu dengan menetapkan harga
patokan agar harga yang fluktuatif tidak merugikan produsen. Serta pemerintah
juga menjadi regulator dari persaingan dan struktur industri gula dengan
memisahkan antara produsen gula kristal putih dan produsen gula kristal rafinasi
agar tidak terjadi kekacauan dalam kegiatan produksinya.
2) Peranan kesempatan dengan semua komponen utama
Dari hasil analisis komponen Porter’s Diamond dapat diketahui bahwa
komponen penunjang hanya memiliki keterkaitan dengan industri terkait dan
industri pendukung, serta persaingan, struktur, dan strategi yang ada dalam
industri. Keterkaitan tersebut terlihat dari peran kesempatan yang diwujudkan
dalam tren bioethanol yang berbahan baku gula dan harga gula dunia yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan tren energi dunia ke
energi yang terbarui membuat gula diambil sebagai bahan dasar dalam pembuatan
bioethanol, hal ini membuat nilai tambah dari komoditas gula menjadi lebih
116
tinggi. Perkembangan tersebut membuka peluang industri pendukung yang ada di
dalam negeri untuk dapat memanfaatkannya dengan membangun industri hilir di
bidang biethanol. Adapun efek apabila industri pendukung komoditas gula yaitu
industri bioethanol dapat membantu menyelesaikan masalah energi di Indonesia.
Adanya fakta bahwa harga gula dunia yang semakin meningkat membuat pabrik
gula di dalam industri meningkatkan efisiensinya agar dapat mendapatkan profit
yang lebih besar. Serta, tingginya harga gula dunia dari tahun ke tahun dapat
menarik minat petani tebu untuk meningkatkan produksinya. Adapun hasil
analisis keterkaitan komponen penunjang dengan komponen utama, seperti
kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan belum memiliki keterkaitan
dengan komponen peran kesempatan.
Pada Gambar 7, akan terlihat bagaimana keterkaitan antar komponen
dayasaing industri gula Indonesia. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sebagian
besar antar komponen inti dayasaing pada industri gula Indonesia tidak saling
mendukung. Keterkaitan antar komponen yang tidak saling mendukung lebih
dominan dalam penelitian ini. Hal ini berarti bahwa dayasaing industri gula
Indonesia masih lemah. Namun adanya peran pemerintah dan kesempatan dapat
mendorong upaya peningkatan dayasaing industri gula.
Tabel 54. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen Utama
dalam Porter’s Diamond System No. Komponen
Penunjang
Komponen
Utama
Keterkaitan Antar
Komponen
Keterangan
1 Peran
pemerintah
Kondisi
faktor
sumberdaya
Mendukung
Pembiayaan bagi
kegiatan usahatani tebu
dan perluasan lahan.
Industri terkait dan
industri
pendukung
Mendukung
Pemerintah mendukung
industri terkait dan pendukung melalui
kebijakan dan program
akselerasi gula nasional
Kondisi Permintaan
Mendukung
Upaya untuk
mewujudkan swasembada gula agar memnuhi
kebutuhan domestik
Persaingan,
struktur, dan strategi
Mendukung
Pemerintah mendukung
persaingan, struktur, dan
strategi dengan mengeluarkan kebijakan
harga dan tataniaga
117
Lanjutan Tabel 54. Keterkaitan Komponen Penunjang dengan Komponen
Utama dalam Porter’s Diamond System
No. Komponen
Penunjang
Komponen
Utama
Keterkaitan Antar
Komponen
Keterangan
2 Peran
kesempatan
Kondisi
faktor sumberdaya
Tidak terkait
Peran kesempatan
belum memiliki kaitan
dengan kondisi faktor sumberdaya
Industri
terkait dan industri
pendukung
Mendukung Berkembangnya isu
bioethanol membuat
industri pendukung yang ada dapat memanfaatkan
kesempatan dalam
pengembangannya di
dalam negeri
Kondisi
permintaan
Tidak terkait Peran kesempatan
belum memiliki kaitannya
dengan kondisi permintaan
Persaingan,
struktur, dan strategi
Mendukung Kesempatan harga gula
dunia yang semakin
meningkat membuat pabrik gula di dalam
industri meningkatkan
efisiensinya agar dapat mendapatkan profit yang
lebih besar
118
Gambar 7. Keterkaitan Antar Komponen Porter`s Diamond System
Keterangan: Garis ( ), menunjukkan keterkaitan antar komponen utama yang
saling mendukung
Persaingan, Struktur,
dan Strategi Perusahan
Kondisi Permintaan
Domestik
Kondisi Faktor
Sumberdaya
Industri Pendukung
dan Terkait
Peran
Kesempatan
Peran
Pemerintah
119
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang diperoleh
adalah sebagai berikut:
1. Dari matriks perbandingan berpasangan didapatkan berdasarkan lima
komponen pembanding bahwa wilayah Jawa Timur menepati posisi pertama
dengan diikuti oleh Lampung di posisi kedua. Kemudian, Gorontalo dan
Sulawesi Selatan menempati dua posisi terbawah dalam peringkat berdasar
lima komponen pembanding. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Lampung
saat ini menjadi wilayah pesaing dari Jawa Timur dalam menopang produksi
guladi Indonesia dikarenakan kinerja pabrik gulanya yang dikelola oleh
swasta dan efisien secara teknis dan ekonomis. Wilayah Jawa Timur masih
menjadiprodusen terbesar pada industri gula dikarenakan memiliki pabrik-
pabrik yang lebih banyak dari pabrik-pabrik di wilayah lain, walau masih
kalah kinerjanya dibandingkan pabrik gula swasta yang ada di wilayah
Lampung. Sedangkan pada dua posisi terbawah terdapat Gorontalo dan
Sulawesi Selatan yang menjadi wilayah baru pengembangan industri gula di
Indonesia. Posisi yang didapatkan oleh dua wilayah tersebut dapat dimaklumi
karena dua wilayah tersebut masih dalam proses pengembangan, disamping
pabrik gula yang ada di sana masih jauh jumlah dan kinerjanya dibandingkan
pabrik-pabrik yang ada di Jawa dan Sumatera yang notabenenya sudah lama
berdiri.
2. Dari tiap komponen dayasaing industri gula di Indonesia, terdapat keterkaitan
antar komponen yang saling mendukung dan tidak saling mendukung.
Keterkaitan yang tidak saling mendukung lebih dominan dalam penelitian ini.
Hal ini menunjukkan bahwa industri gula di Indonesia memiliki dayasaing
yang masih lemah.
120
7.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Perlu adanya komitmen dari seluruh stake holder industri gula untuk
meningkatkan dayasaing industri gula untuk mencapai sasaran
swasembada gula berdayasaing. Konsistensi kebijakan pemerintah akan
sangat membantu perkembangan industri gula di Indonesia.
2. Penelitian selanjutnya mengenai industri gula Indonesia, adapun kebijakan
industri gula di Indonesia dapat dihitung pengaruhnya terhadap minat
petani tebu dan komitmen pabrik dalam kaitanna pencapaian program
swasembada gula 2014.
121
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian. 2009. Prospek dan arah
pengembangan agribisnis tebu. Jakarta: Departemen Pertanian.
Badan Pusat Statistika. 2011. Data Strategis. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Badan Pusat Statistika. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-
Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian. Jakarta.
Bakrie, F. dan A. Susmiadi. 1999. Prospek pergulaan nasional ditinjau dari
perspektif internasional. Gula Indonesia, Ikatan Ahli Gula Indonesia
XXIV(2): 35−41.
Cahyani, Utari Evy. 2008. Analisis Dayasaing dan Srtategi Pengembangan
Agribisnis Gula Indonesia [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
David FR. 2006. Management Strategies. Ed ke-10. Budi IS, penerjemah. Jakarta:
Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategies Management.
Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan
Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Dewan Gula Indonesia. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia. 2000. Pabrik Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan
Gula Indonesia. Jakarta.
Dewan Gula Indonesia. 2012. Agribisnis Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan
Gula Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2000. Statistik Perkebunan: Gula. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Ginandjar, Gina. 2011. Kebijakan Gula Rafinasi dalam Pembangunan Industri
Gula Nasional [Disertasi]. Bandung: Program Studi Ekonomi Pertanian.
Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.
Mubyarto dan Dayanti. 1991. Gula: Kajian sosial ekonomi. Yogyakarta: Aditya
Media.
Meryana E. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia di Pasar
122
Internasional [skripsi]. Bogor : Program Studi Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press.
Purwanti, Eko Bambang. 2006. Analisis peramalan konsumsi dan produksi gula
serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula di Indonesia
[skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Simatupang, P., A. Rachman, dan L. Pelitasari. 1999. Gula dalam kebijakan
pangan nasional: Analisis historis. hlm. 481−546. Dalam A.H. Sawit, P.
Suharno, dan A. Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soentoro, V. Indiarto, dan A.M.S. Ali. 1999. Usaha tani dan tebu rakyat
intensifikasi di Jawa. hlm. 69−130. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A.
Rachman (Ed.). Ekonomi Gula Indonesia, Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000.
Dampak Deregulasi Industri Gula terhadap Realokasi Sumber Daya,
Produksi Pangan, dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian,
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Susila, Wayan R. dan Sinaga, Bonaga M. 2005. Pengembangan industri gula \
Indonesia yang kompetitif pada situasi persaingan yang adil. Jurnal
Litbang Pertanian. Bogor.
Susila, Wayan R. 2005.Pengembangan industri gula Indonesia: Analisis
kebijakan dari keterpaduan sistem produksi [disertasi]. Bogor.
Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Susmiadi, A. 1998. Krisis Moneter dan Pengaruhnya terhadap Industri Gula
Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Krisis Moneter
dan Langkah Antisipatif Penanggulangan Dampak Kekeringan pada
Produksi Gula. Pasuruan, 10 Desember 1998.
Tarsono. 2006. Analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing
industri gula: Kasus industri gula di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
123
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tjokrodirdjo, H.S., L.M. Syafein, dan B. Subroto. 1999. Industri gula di luar
Jawa. hlm. 131−206. Dalam A.H. Sawit, P. Suharno, dan A. Rachman
(Ed.).Ekonomi Gula Indonesia, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Widyastutik. 2005. Mungkinkah Indonesia mencapai swasembada gula secara
berkelanjutan? [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Wiryastuti. 2002. Strategi peningkatan dayasaing industri gula di Jawa [skripsi].
Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.