Skrip Si
-
Upload
gussix-guk -
Category
Documents
-
view
613 -
download
2
Transcript of Skrip Si
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah kemiskinan telah ada sejak zaman renaissance ( abad XIV-XVII M).
Pada zaman itu Poor Law membagi orang miskin ke dalam dua kategori dalam
penanganannya yakni kategori whorthy poor (orang miskin yang pantas) dan
unwhorty poor (orang miskin yang tidak pantas).1 Dengan adanya klasifikasi
semacam ini maka memberikan pengaruh terhadap cara penanganan terhadap orang
miskin. Bagi gelandangan dan pengemis masuk kepada kategori Whorthy poor (orang
miskin yang pantas), Whorthy poor adalah mereka yang memang tidak memiliki
peluang untuk dapat bekerja sehingga sangat wajar hidup dalam kemiskinan,
misalnya orang yang buta, cacat bawaan, lanjut usia (lansia) dan anak-anak.2
Sedangkan unwhorthy poor adalah mereka yang tidak mau bekerja padahal memiliki
kemampuan untuk bekerja misalnya orang malas, pemabuk, tukang judi3.
Kemiskinan bagi negara Indonesia adalah persoalan yang sangat serius. Sejak
sebelum krisis ekonomi menghantam Indonesia, kemiskinan merupakan bagian dari
persoalan yang belum sepenuhnya berhasil diatasi. Ketimpangan sosial terjadi disana-
sini. Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada akhir 1997, angka kemiskinan
yang ditinggalkan orde baru bahkan melonjak menjadi hingga 27 persen.4
1 Miftahul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta : 2009, hal. 77.
2 Ibid.3 Ibid.4 Agus Dwiyanto, Kemiskinan dan Otonomi Daerah, Lipi Pers, Jakarta : 2005, hal.243.
1
Kemiskinan itu sendiri bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu kemiskinan
absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolute mengacu pada satu standar
yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat atau negara. Sementara
kemiskinan relatif mengacu pada kemiskinan yang berpengaruh dari keadaan suatu
tempat atau negara.5 Kemiskinan yang paling parah terdapat di negara berkembang
yang menghadirkan kaum tunawisma yang berkelana kesana kemari atau yang lebih
dikenal degan sebutan gelandangan.6
Akibat dari kemiskinan itu, maka mulai muncullah gejala gelandangan,
namun ada juga yang memandang gelandangan sebagai sisa kebiasaan mengembara
yang sudah muncul dalam masyarakat tradisional, seperti Onghokham tentang Satrio
Lelono atau Bocah Angon, yang pada masa itu justru dilihat dengan pandang
romantisme. Dalam bidang seni, ada beberapa jenis pengembara lagi, seperti
rombongan tukang ngamen atau pemain reog. Tetapi yang mungkin paling
meresahkan adalah munculnya kaum-kaum pengembara karena sebab-sebab politik,
seperti tekanan pajak atau penyitaan tanah oleh negara sebab mereka ini kemudian
dapat menjadi sumber kegaduhan.7 Indonesia sendiri sebenarnya telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis. Tujuan dikeluarkannya Peraturan ini ialah untuk meniadakan
5 http:/id.wikipedia.org//wikil/kemiskinan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 8 April 2010 Pukul 22.00 Wib).
6 Ibid.7 Aswab Mahasin, Gelandangan: Pandangan Ilmu Sosial, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta :
1994. hal. Vii.
2
gelandangan dan pengemis di negara Indonesia. Namun pada kenyataannya tetap saja
gelandangan dan pengemis masih tersebar di seluruh tanah air Indonesia.
Fenomena gelandangan dan pengemis alias (GEPENG) dan anak jalanan
menjadi persoalan yang sangat mencoreng wajah berbagai kota besar di Indonesia
termasuk Pekanbaru. Melihat kondisi saat ini, gepeng telah banyak menggunakan
beragam modus demi untuk mendapatkan uluran tangan masyarakat di sekelilingnya.
Mulai dari meminta-minta dengan mengulurkan tangan bahkan mereka berani
mengatas namakan sebuah mushala, pesantren dan sebagainya untuk kepentingan
mereka. Padahal jika ditanya, mereka sendiri tidak mengetahui keberadaan pesantren
tersebut. Bahkan lebih parahnya lagi mereka minta dengan paksaan.
Maraknya jumlah gelandangan dan anak-anak jalanan di tengah-tengah kota
besar tentu mengindikasikan meningkatnya tingkat kemiskinan kota yang pada
akhirnya mengemis dan menjadi gelandangan bukan nasib, tapi pilihan hidup mereka.
Namun hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga
eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh
mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap gelandangan dan
pengemis.
Fenomena gelandangan pengemis dan anak jalanan di kota Pekanbaru bisa
dilihat dari faktor kultural maupun struktural. Secara kultural bahwa gelandangan dan
pengemis memiliki watak tidak produktif, enggan berubah dan merasa nyaman dalam
kemiskinan karena mereka dengan mudah menghasilkan uang dari meminta-minta di
jalanan. Dengan mengharapkan simpati dan rasa iba saja mereka bisa dengan
3
gampang mendapatkan uang. Yang pada akhirnya semakin banyak orang memilih
mengemis ketika bulan puasa dan waktu hari raya idul fitri.8
Secara struktural hal ini dapat dilihat dari faktor kemiskinan dan kebodohan.
Sekeras apapun mereka berusaha, uang yang didapat hanya segitu saja. Mereka
miskin bukan karena mereka malas dan tidak mau berusaha, tetapi mereka tidak
berdaya untuk mengubah nasib sehingga mengemis merupakan pilihan hidup.9
Tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan banyaknya gelandangan dan
pengemis yang tersebar di seluruh Kota Indonesia khususnya Pekanbaru. Pekanbaru
sebagai kota berkembang (development city), tak jarang banyak pendatang yang
berasal dari luar kota Pekanbaru yang bertujuan untuk mencari nafkah di kota ini.
Banyak diantara mereka yang melakukan pekerjaan di luar ketentuan yang
seharusnya dilakukan oleh seorang calon tenaga kerja. Pekerjaan yang menyimpang
dari ketentuan seorang calon tenaga kerja tersebut seperti pekerjaan meminta-minta
atau menderma di pinggir jalan mengharapkan belas kasihan orang-orang yang lewat.
Tak jarang, sebagian pengemis merangkap sebagai gelandangan yang berkeliaran
karena tidak memiliki tempat tinggal atau domisili yang tetap. Tak jarang para
gepeng yang tersebar di Pekanbaru merupakan gepeng-gepeng musiman (hanya ada
ketika waktu-waktu tertentu seperti hari raya besar keagamaan) dan merupakan
gepeng-gepeng yang terorganisir oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain
mengganggu ketertiban hadirnya gepeng bisa menimbulkan tingkat kriminal yang
8 www.xa.yimg.com/kq/groups/21462668/gepeng+dan+wajah+pekanbaru.doc, (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 8 April 2010 Pukul 23.00WIB).
9 Ibid.
4
tinggi di suatu kota termasuk kota Pekanbaru. Oleh sebab itu Pemerintah Kota
Pekanbaru menetapkan sanksi pidana yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 12 tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial Pasal 29 :
” Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 3 dan pasal 4 dalam peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).”
Adapun hal yang dimaksud melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Perda No 12 Tahun
2008 Tentang Ketertiban Sosial ini adalah :
Pasal 3 :
(1) :” Dilarang melakukan pengemisan di depan umum dan ditempat umum, di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”
(2) :” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum.”
(3) :” Dilarang bergelandangan tanpa pencaharian ditempat umum dijalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”
Pasal 4 :
(1) :” Setiap orang atau kelompok dilarang melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau mengorganisir gelandangan dan pengemis serta mengeksploitasi mereka yang bertujuan mencari keuntungan materi semata dengan memanfaatkan mereka.”
(2) :” Setiap orang atau badan dilarang menggunakan, menyediakan tempat atau bengunan rumah atau pertokoan atau perkantoran untuk digunakan sebagai tempat penampungan gelandangan dan pengemisan.
Maraknya gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota Pekanbaru
menjadikan masalah ini menjadi suatu permasalahan yang krusial yang menarik
untuk dibahas dan ditemukan solusi penanggulangannya. Gelandangan dan pengemis
5
merupakan salah satu penyakit masyarakat yang biasanya timbul atau tumbuh
berdasarkan musim-musim tertentu (biasanya pada bulan Ramadhan, jumlah
gelandangan dan pengemis meningkat dari jumlah pada bulan-bulan biasanya).
Mereka berdatangan dari penjuru kota ataupun kabupaten yang tersebar di seluruh
Indonesia. Kedatangan mereka ini menyebabkan ketertiban di kota Pekanbaru
menjadi terganggu.
TABEL 1.1
Data Jumlah Gepeng Yang Berhasil Dijaring Dari Tahun 2006-2010 :
Sumber: Dinas Sosial Kota Pekanbaru
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa jumlah gepeng yang berhasil dijaring
oleh Dinas Sosial bersama-sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
mengalami jumlah yang naik turun. Seperti tahun 2006 terjaring sebanyak 168 jumlah
gepeng, lalu dipulangkan ke daerah asalnya sebanyak 60 orang dan tidak satupun
6
Tahun Terjaring Dipulangkan ke daerah
asal
Jenis kerajinan dan jumlah gepeng yang diberikan pelatihan.
2006 168 60 -2007 134 112 Olah pangan / 30 orang2008 119 58 Olah pangan / 20 orang2009 106 60 Sol Sepatu / 20 orang2010 48 20 Olah Pangan / 20 orang
mendapat program pelatihan dari instansi terkait atau pemerintah. Tahun 2007 jumlah
gepeng meningkat menjadi 134 dan berhasil dipulangkan sebanyak 112 orang. 30
orang dari gepeng yang tersisa mendapat pelatihan olah pangan. Di tahun 2008
jumlah gepeng menurun sebanyak 119 dan berhasil dipulangkan sebanyak 58 orang.
20 orang dari gepeng yang tersisa juga mendapat pelatihan yang sama seperti tahun
2007. Tahun 2009 jumlah gepeng menurun sebanyak 106 orang, berhasil dipulangkan
sebanyak 60 orang dan 20 orang lagi mendapat pelatihan untuk kursus membuat sol
sepatu. Di tahun 2010 jumlah gepeng ini menurun drastis sebanyak 48 orang dan
dipulangkan sebanyak 20 orang serta mendapatkan olah pangan sebanyak 20 orang.
Penanganan gelandangan dan pengemis serta kemiskinan di Pekanbaru
tentunya menjadi tanggung jawab bersama semua pihak. Salah satu penanganan
masalah ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Melalui
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Penertiban Gelandangan dan
Pengemis dijadikan dasar hukum dalam penanganan atau penanggulangan
permasalahan sosial yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis.
Sementara itu Satuan Polisi Pamong Praja sebagai aparatur negara berdasarkan
peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 16 Tahun 2008 diberi tugas khusus untuk
menegakkan ketertiban yang ada di Pekanbaru. Agar Satuan Polisi Pamong Praja
dapat menyelenggarakan kesejahteraan umum dan memberi pelayanan sebaik-
baiknya kepada masyarakat maka Satuan Polisi Pamong Praja memerlukan kekuasaan
tertentu untuk bertindak menurut inisiatif dan kebijakan sendiri terutama dalam
7
keadaan yang mendesak dan dimana tidak ada peraturan yang bersangkutan.10 Salah
satu tugas Satuan Polisi Pamong Praja ini ialah pengkoordinasian pemeliharaan dan
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah dengan aparat kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
atau Aparatur lainnya. Sementara fungsi dari Satuan Polisi menurut Peraturan
Walikota ini salah satunya ialah pelaksanaan kebijakan ketentraman dan ketertiban.
Sejauh ini penanganan masalah gelandangan dan pengemis ini dilakukan oleh
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sesuai tugasnya dalam rangka menciptakan
ketertiban umum. Satpol PP juga tidak dapat bekerja sendiri tanpa adanya koordinasi
dari Pemerintah. Pemerintah pun memiliki andil dalam penanganan permasalahan
gelandangan dan pengemis. Salah satu cara yang ditempuh ialah mengurangi tingkat
kemiskinan dan penyediaan rumah gratis bagi masyarakat tidak mampu yang tidak
memiliki tempat tinggal agar jumlah gelandangan berkurang.
Tugas Pamong Praja dalam permasalahan gelandangan dan pengemis
didukung pula oleh masyarakat. Masyarakat berpartisipasi membantu tugas aparat
Satpol PP dalam penanganannya. Ada dua model penyelesain masalah, model
pertama ialah terhadap masalah ketertiban umum (public disorder) dimana
masyarakat boleh ikut serta dalam penanganannya akan tetapi dalam masalah
penegakan hukum (law enforcement), hanya polisi saja yang berwenang
menanganinya.11 Model kedua, penegakan hukum (law eforcement ) bisa dilakukan
10 Bayu Surianingrat, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Rineka Cipta, Jakarta :1990, hal 27.11 Politik Kota dan Hak Warga Kota, Kompas, Jakarta : 2006. hal 105.
8
oleh masyarakat melalui pengembangan sosial. Namun dalam praktek di lapangannya
terdapat berbagai keluhan dari masyarakat tentang tugas yang dijalankan Satpol PP
ini, salah satunya ialah sistem kekerasan yang kadang melanggar HAM. Perlu adanya
tinjauan lebih lanjut lagi atas tugas yang dijalankan oleh Satpol PP ini yang
mengambil peran dalam penertiban gepeng di Pekanbaru.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) permasalahan
gelandangan dan pengemis (GEPENG) termasuk dalam pelanggaran. Hal ini diatur
dalam buku ketiga KUHP pasal 505 ayat (1):
” Barangsiapa dengan tidak mempunyai pencaharian mengembara kemana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan.”
Maksud pelancongan dari kalimat dalam KUHP tersebut ialah pengembara,
termasuk gelandangan yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain serta tidak
memiliki mata pencaharian selain mengemis atau meminta-minta kesana kemari.
Dalam praktek di lapangannya terdapat berbagai keluhan dari masyarakat
tentang tugas yang dijalankan Satpol PP ini, salah satunya ialah sistem kekerasan
yang kadang melanggar HAM. Disatu sisi dibenarkan atas apa yang dilakukan oleh
Satpol PP karena Satpol PP mengemban tugas dari Pemerintah, sementara disisi lain
peranannya justru tidak efektif dalam pemberantasan gepeng di Pekanbaru. Perlu
adanya tinjauan lebih lanjut lagi atas tugas yang dijalankan oleh Satpol PP ini yang
mengambil peran dalam penertiban gepeng di Pekanbaru. Berdasarkan serangkaian
uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang peranan pelaksanaan
Satpol PP dalam keamanan dan ketertiban pengemis, dan menuangkannya dalam
9
suatu karya ilmiah berbentuk proposal skripsi dengan judul : “TINJAUAN
TERHADAP PELAKSANAAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG
PRAJA DALAM MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
TINDAK PIDANA GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA
PEKANBARU”.
B. RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang masalah diatas, maka penulis menetapkan
masalah pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam
melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan
pengemis di kota Pekanbaru ?
2. Apa saja faktor penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan
keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di kota
Pekanbaru ?
3. Apa saja upaya Satuan Polisi Pamong Praja kota Pekanbaru dalam mengatasi
faktor penghambat dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana
gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang akan penulis capai dalam penlitian ini adalah:
1
1. Untuk mengetahui pelaksanaan peranan pada Satuan Polisi Pamong Praja
dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan
pengemis di kota Pekanbaru.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam
pelaksanaan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis
di kota Pekanbaru.
3. Untuk mengetahui upaya Satuan Pamong Praja kota Pekanbaru dalam
mengatasi faktor penghambat untuk menertibkan tindak pidana gelandangan
dan pengemis di kota Pekanbaru.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Untuk menambah pengetahuan penulis sendiri, dan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan yang telah penulis peroleh selama perkuliahan.
b. Untuk menyumbangkan pendapat dan informasi pada bidang hukum, khususnya
peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan keamanan dan
ketertiban gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru.
c. Untuk menambah referensi kepustakaan dan sebagai sumbangan penulis
terhadap almamater universitas Riau serta kepada seluruh pembaca.
d. Dapat digunakan sebagai bahan referensi oleh Pemerintah Daerah, Satuan Polisi
Pamong Praja dan para praktisi lainnya dan khususnya praktisi-praktisi hukum.
1
E. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
1. Kerangka Teoritis
a. Teori Penegakan Hukum
Hukum adalah identik dengan keadilan, dengan menegakkan hukum berarti
menegakkan keadilan. Adapun undang-undang adalah suatu upaya manusia untuk
mengejawantahkan tujuan hukum yang sangat identik dengan keadilan itu dalam
peraturan tertulis.12 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-
kaidah yang mantap sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.13
Manusia dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan-
pandangan tertentu mengenal apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-
pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-pasangan tertentu,
misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai
kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian
dengan nilai inovatisme dan sebagainya. Pasangan nilai tersebut perlu diserasikan.
Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan terjadi dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam
hal ini kaidah-kaidah hukum yang berisikan larangan atau kebolehan. Kaidah-kaidah
tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi prilaku atau sikap tindak yang
12 Radisman. F.S. Sumbayak, Beberapa Pemikiran ke Arah Pemantapan Penegakan Hukum, Jakarta : 1984, hal. 2.
13 ? Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta : 1983, hal. 5.
1
dianggap pantas atau lazim atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut
bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.
Penegakkan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.14 Sehingga
hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral. Atas dasar tersebut dapatlah
dikatakan bahwa, gangguan terhadap penegakkan hukum terjadi apabila ada
ketidakserasian antara “tri tunggal” nilai, kaidah, dan pola prilaku. Gangguan tersebut
terjadi apabila terjadi ketidakaserasian antara nilai-nilai yang berpasangan. Oleh
karena itu, dapatlah dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun dalam kenyataan di Indonesia
kecendrungan adalah demikian. Selain itu ada kecendrungan yang kuat untuk
mengartikan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan sementara,
bahwa masalah pokok penegakkan hukum sebenarnya mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tertentu.
Faktor-faktornya adalah:
a. Faktor hukumnya sendiri (peraturan tertulis maupun tidak tertulis).
b. Faktor penegak hukum (hakim, polisi, jaksa).
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukng penegakan hukum.
14 ? Ibid, hal. 7.
1
d. Faktor masyarakat, lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena esensi
dari penegakkan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakkan
hukum.
b. Teori Peranan dan Satuan Polisi Pamong Praja
Secara sosiologis, setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu didalam struktur
kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh karena itu,
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang
peranan (role occupant). Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan kedalam unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Peranan yang ideal ( ideal role ).
2. Peranan yang seharusnya ( expexted role ).
3. Peranan yang dianggap sendiri ( perceived role ).
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan ( actual role ).
1
Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang dinamakan role
performance atau role playing. Kiranya dapat dipahami bahwa peranan yang ideal
dan yang seharusnya datang dari pihak lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh
diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah
tentu bahwa didalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang
berhubungan dengan pihak lain.15
Demikian halnya dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam
menjalankan perannya dalam menjaga ketertiban dimasyarakat dimuat dalam
Peraturan Pemerintah No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ini meliputi
susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas dan kewajiban Satuan
Polisi Pamong Praja. Khusus, mengenai fungsi dan peran dari Satpol PP diatur dalam
beberapa pasal, yaitu:
1. Pasal 3 yang menyebutkan: Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas
memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum,
menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
2. Pasal 4 menyebutkan: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Satpol PP menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan program dan pelaksanaan ketenteraman dan ketertiban umum,
penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah ;
b. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum di Daerah ;
15 Ibid,Hal.16.
1
c. Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah ;
d. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman
dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan
Kepala Daerah, Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, PPNS
dan atau aparatur lainnya ;
e. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan
Daerah dan Keputusan kepala Daerah.16
c. Teori Masalah Sosial
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan
atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial atau menghambat
terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga
menyebabkan kepincangan ikatan sosial.17
Seperti halnya dengan permasalahan gelandangan dan pengemis yang hampir
selalu ada di setiap kota. Permasalahan pengemis merupakan permasalahan yang
ditimbulkan akibat adanya kemiskinan di perkotaan yang dihadapi kota-kota di
Indonesia. Yang paling mudah dan terlihat jelas dari wajah kemiskinan perkotaan ini
adalah kondisi jutaan penduduk yang tinggal di pemukiman kumuh dan liar (slums
dan squatters).18 Kondisi kekumuhan ini menunjukkan seriusnya permasalahan
16 Pasal 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.17 Soerjono Soekanto, op.cit., hal.358.18 Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Jakarta :
2005, hal. 6.
1
sosial-ekonomi, politik dan lingkungan yang bermuara pada kondisi kemiskinan dan
dapat memicu timbulnya kriminalitas.19
Isjoni Ishaq dalam bukunya masalah sosial masyarakat memberikan batasan
secara sederhana tentang masalah sosial, yaitu perubahan gejala tingkah laku manusia
sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dari sejumlah orang dalam
masyarakat.20 Menurutnya masalah sosial adalah:
a. Semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat
masyarakat (dan adat-istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin
kesejahteraan hidup bersama).
b. Situasi Sosial yang dianggap sebagian besar dari warga masyarakat sebagai
mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak.
Maka tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma dan
adat-istiadat, atau tidak berintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai
masalah sosial.21
2. Kerangka Konseptual
Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan judul penelitian ini dan
sebagai landasan penulis dalam penelitian ini serta untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menyediakan konsep-konsep sebagai
berikut :
19 Ibid.20 Isjoni Ishaq, Masalah Sosial Masyarakat, UNRI Press, Pekanbaru : 2002, hal.12-13. 21 B.Simanjutak, Beberapa Aspek Pantologi Sosial, Penerbit Alumni, Bandung : 1981, hal.1-2.
1
1. Tinjauan adalah salah satu meninjau, pandangan, pendapat (sesudah,
menyelidiki, mempelajari) atau perbuatan meninjau.22
2. Pelaksanaan adalah suatu proses, cara, perbuatan dalam melaksanakan
rancangan putusan.
3. Peranan adalah orang yang menjalankan peranan tertentu dalam suatu
peristiwa.
4. Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam
memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta
menegakkan peraturan daerah.23
5. Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan
tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan
ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan keputusan kepala
daerah.24
6. Keamanan adalah ketentraman, keadaan aman.
7. Ketertiban adalah peraturan dalam suatu keadaan masyarakat untuk keadaan
yang serba teratur dan baik.
8. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana.25
9. Gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak
22 Kamus Besar Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta : 1996, hal. 951.
23 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP Pasal 1ayat (4).24 Ibid.25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta : 2002, hal. 54.
1
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap dan mengembara
ditempat umum.26
10. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharap belas kasihan orang lain.27
F. METODA PENELITIAN
1. Jenis penelitian dan sifatnya
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah Yuridis Empiris,
yang dimaksud dengan pendekatan yuridis empiris ialah sebagai usaha mendekati
masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan
yang hidup didalam masyarakat,28 yang melakukan analisa peranan pada satuan polisi
pamong praja dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan
pengemis di kota Pekanbaru Sifat penelitiannya termasuk ke dalam penelitian
Deskriptif yang melukiskan suatu kejadian di daerah tertentu pada saat tertentu yang
mempunyai gambaran data awal permasalahan yang akan diteliti terutama berkaitan
dengan judul ini.29
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih dilakukan di perempatan lampu merah di Jalan
Soekarno Hatta, Arengka, Pekanbaru. 26 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial Bab II
Gelandangan Dan Pengemis pasal 2. 27 Ibid, pasal 2 ayat (2).28 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, CV. Mandar
Maju, Bandug, 1955, Hlm. 61.29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Percetakan UI, Jakarta :2005, hal. 10.
1
3. Teknik Sampling
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.30
Yang termasuk populasi dari responden adalah seluruh anggota Satpol PP kota
Pekanbaru. Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.31 Hal ini
dapat dilihat dalam tabel 1.1, yaitu tentang tabel populasi dan sampel yang penulis
ambil untuk diteliti:
TABEL 1.2Tabel Populasi dan Sampel
NO Responden Populasi Sampel Persentase1. Kepala Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Praja.
1 1 100%
2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pekanbaru.
200 20 10%
3. Gelandangan dan pengemis di Pekanbaru.
53 5 10%
Dalam menentukan sampel penulis menggunakan teknik non probability
sampling yaitu tidak semua jumlah populasi yang ada dijadikan sampel.
4. Sumber Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajawali Pers, Jakarta :2006, hal. 118.31 Ibid, hal. 119.
2
b. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari narasumber
dengan metode observasi (pengamatan), interview (wawancara) terhadap
peranan pada Satpol PP dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban
gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru atau field research.
Penelitian lapangan (field research) penelitian langsung ke lapangan yang
dilakukan di Satpol PP kota Pekanbaru.
c. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum di
perpustakaan serta perundang-undangan, data sekunder terdiri atas:
1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Azazi Manusia,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dan Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban
Sosial.
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, diantaranya Rancangan Undang-undang, hasil-
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.
3. bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder:
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.32
5. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini juga menggunakan alat pengumpulan data antara lain :
32 Soerjono Soekanto, op.cit, hal. 51-52.
2
a. Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
pengamatan langsung di Satpol PP kota Pekanbaru.
b. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan responden,
yaitu:
Kepala Satpol PP kota Pekanbaru.
Anggota Satpol PP kota Pekanbaru.
Gelandangan dan Pengemis yang ada dikota Pekanbaru.
Metode ini digunakan untuk melengkapi informasi dan data yang diperoleh
dari hasil kuisioner.
c. Kuisioner yaitu metode pengumpulan yang dilakukan dengan cara membuat
daftar-daftar pertanyaan yang memiliki hubungan dengan peranan pada Satpol
PP dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis
di kota Pekanbaru, yang pada umumnya daftar pertanyaan itu sudah ada
jawaban yang disediakan.
d. Kajian kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan,
literatur, atau buku pendukung yang memiliki kaitanya dengan permasalahan
atau topik yang diteliti.
Penelitian kepustakaan dilakukan :
Perpustakaan Wilayah Riau.
Perpustakaan Universitas Riau.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Riau.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
2
6. Analisis Data
Data yang telah diperoleh baik itu dari hasil wawancara, kuesioner yang
diberikan kepada responden, observasi, studi kepustakaan akan dianalisis dengan
menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisa kualitatif adalah metode
penelitian yang hasilnya berupa data deskriptif. Data deskriptif adalah data yang
dihasilkan dari apa yang dinyatakan oleh tiap-tiap responden baik itu tertulis ataupun
lisan dan prilaku nyata. Dari pembahasan tersebut, akan ditarik kesimpulan secara
deduktif. Penarikan kesimpulan secara deduktif adalah penarikan kesimpulan dari
yang bersifat umum menjadi khusus.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM MENGENAI GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1. Pengertian Mengenai Gelandangan dan Pengemis
Menurut Soetjipto Wirosardjono mengartikan gelandangan dan pengemis
adalah fenomena kemiskinan, sosial, ekonomi, dan budaya yang dialami sebagian
kecil penduduk kota besar hingga menempatkan mereka pada lapisan sosial paling
bawah dimasyarakat kota. Walaupun menurut mereka telah bekerja keras, punya
kegiatan tertentu dan teratur serta pendapatan yang mendukung daya tahan mereka
untuk bertahan di kota besar tetapi tetap saja cara hidup, nilai dan norma kehidupan
mereka dianggap menyimpang dari nilai yang diterima oleh masyarakat normal.33
Gelandangan dan pengemis adalah suatu kelompok masyarakat yang
kurang beruntung kehidupannya ditengah-tengah kota besar. Mereka selalu
dikalahkan dengan kemiskinan serta masalah sosial yang melanda sehingga terpaksa
menjadi gelandangan dan pengemis. Tidak mempunyai bekal keterampilan dan
kemampuan yang memadai membuat mereka harus mempertahankan profesi atau
pekerjaan mereka. Namun keberadaannya selalu meresahkan masyarakat setempat.34
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Pasal (1) dikatakan bahwa gelandangan
33 Soetjipto Wirosardjono, Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan Penanggulangan,LP3ES, Jakarta : 1988, hal. 66.
34 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).
2
adalah orang-orang yang hidupnya tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang
tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan
pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta belas
kasihan dari orang lain.35
Selain itu terdapat beberapa pengertian gelandangan antara lain :
1. Gelandangan adalah pelancong, pengembara, petualang yang artinya
berkelana kesana kemari, berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat
lain dengan tidak mempunyai mata pencaharian tetap.36
2. Gelandangan merupakan suatu gejala sosial yang ditetapkan oleh
faktor-faktor yang kompleks, secara umum faktor yang paling
berpengaruh adalah faktor ekonomi khususnya efek dari masa tenaga
kerja pengembangan teknologi dan mekanisasi.37
3. Gelandangan adalah mereka yang tidak termasuk tuna wisma, tuna
karya dalam arti tidak mempunyai pekerjaan, buruh, tukang atau kuli,
hidup mengembara tidak mempunyai tempat tinggal.38
4. Gelandangan adalah orang-orang baik merupakan perseorangan laki-
laki atau perempuan remaja atau kanak-kanak maupun keluarga yang
35 Pasal 1 PP No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.36 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali
Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).37 Soejono Dirdjosiswono, Patologi Sosial, Alumni, Bandung : 1997, hal. 15.38 Naning Ramdlon. Problem Gelandangan Dengan Tujuan Psikologi, Armico, Bandung : 1991,
hal. 3.
2
tanpa nafkah kerja adalah berkeliaran dikota-kota tanpa rumah atau
tempat tinggal bahkan tidak terdaftar sebagai warga penduduk.39
Pengertian dan istilah gelandang dan pengemis itu sendiri dalam Undang-
Undang Dasar 1945 tidak diatur secara tegas, namun mengenai hak dan kewajiban
diatur sama seperti warga negara lainnya, secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (2)
yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam uraian tersebut termasuk
didalamnya gelandangan dan pengemis. Para gelandangan dan pengemis pun berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, akan tetapi sebagian mereka hidup tidak
mau diatur, bebas, tidak mau bekerja berat tidur seenaknya sehingga bekerja dengan
orang lain bagi mereka dirasakan sebagai beban yang sangat berat.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai gelandangan dan pengemis
tidak diatur secara khusus, namun dalam Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan bahwa
“fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Gelandangan dan pengemis
dapat dikategorikan sebagai fakir miskin. Pengaturan mengenai masalah gelandangan
dan pengemis diatur dalam perundang-undangan lain. Adapun pengaturan mengenai
gelandangan dan pengemis ini diatur dalam :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 504 dan Pasal 505.
39 Simanjuntak, Beberapa Aspek Patologi Sosial, Alumni, Bandung : 1991, hal. 376.
2
Dalam pasal 504 KUHP diatur mengenai larangan mengemis di depan
umum dapat dijatuhkan pidana kurungan paling lama enam minggu dan
bagi siapa yang melakukan pengemisan lebih dari tiga orang akan dipidana
kurungan paling lama tiga bulan. Sementara dalam pasal 505 KUHP
mengatur tentang gelandangan yang dapat diancam pidana kurungan
selama tiga bulan dan kegiatan pergelandangan yang dilakukan oleh tiga
orang atau lebih diancam pidana kurungan paling lama enam bulan.
2) PP No. 31 Tahun 1980 Tentang Penertiban Gelandangan dan Pengemis.
Dalam peraturan pemerintah ini memuat tentang pengertian gelandangan
dan pengemis secara umum, larangan melakukan kegiatan gelandangan dan
pengemisan serta upaya penertiban gelandangan dan pengemis. Ini
merupakan dasar hukum bagi Satpol PP untuk melakukan penertiban para
gelandangan dan pengemis.
3) Perda Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.
Pengaturan mengenai gelandangan dan pengemis ini diatur dalam pasal 2,
3, dan 4. Pada pasal 2 menjelaskan pengertian mengenai gelandangan dan
pengemis itu sendiri. Pada pasal 3 mengatur mengenai larangan kegiatan
gelandangan dan pengemisan yang dilakukan baik itu di jalan raya, jalur
hijau, persimpangan lampu merah, jembatan penyeberangan dan tempat-
tempat umum lainnya. Selain mengatur larangan kegiatan gelandangan dan
pengemisan, dalam pasal 3 tersebut juga mengatur larangan bagi seseorang
yang memberikan sumbangan bentuk uang dan barang. Pada pasal 4
2
mengatur larangan bagi seseorang atau kelompok yang menyediakan
tempat, membentuk atau mengorganisir gelandangan dan pengemisan.
Terhadap seseorang yang melanggar ketentuan pasal 2, 3, dan 4 Perda kota
Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial akan diberikan
sanksi sesuai dengan pasal 29 yaitu pidana kurungan paling lama 3 bulan
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Masa sekarang ini gejala gelandangan dan pengemis cendrung dipandang
sebagai gaya hidup yang negatif. Pada umumnya gejala ini dipandang sebagai gejala
sosial yang berlawanan dengan arah perkembangan kota, dimana kaum gelandangan
dan pengemis merupakan kelompok masyarakat yang tersingkirkan karena kurang
bisa melibatkan diri dalam proses perkembangan kota atau tidak mempunyai
kemampuan untuk bersaing dengan kelompok masyarakat lain dilingkungan
masyarakat kota.40
Menurut Keith Harth dan Jean Breman menggolongkan para gelandangan
dan pengemisan termasuk kedalam golongan sektor informal, artinya para
gelandangan dan pengemis ini memperoleh penghasilan yang sah dari sektor
informal.41
Gelandangan dan pengemis menurut tarafnya, dapat dikelompokkan
menjadi 3 yaitu :42
40 Y. Argo Tri Kromo, Gelandangan dan Pengemis Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta : 1999, hal. 8.
41 http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 14 Oktober 2010 Pukul 11.00 Wib).
42 Ibid.
2
1) Gelandangan dan pengemis yang masih ada hubungan dengan masyarakat
normal.
Jenis gepeng ini, masih berkelompok dengan para gepeng lainya dan
biasanya mereka menolak makanan yang ada di pembuangan sampah.
Mereka masih mengutamakan mandi, mencuci pakaian, tidur secara
berkelompok dan kelompoknya bersifat terbuka bagi gelandangan dan
pengemis lain.
2) Gelandangan dan pengemis berkelompok dan mempunyai organisasi
tertutup dan tegar.
Mereka pada umumnya mengambil makanan dari tempat sampah dan tidak
berhubungan dengan masyarakat normal. Untuk bersosialisasi hanya
dengan kelompok organisasinya.
3) Gelandangan dan pengemis yang tidak mempunyai kelompok.
Biasanya kelompok gelandangan dan pengemis ini, mengambil makanan
dari tempat sampah, tidak mau berkomunikasi dengan masyarakat normal,
jarang mandi, selalu ingin sendirian dan tidak mempunyai kelompok.
Selain pengelompokan para gelandangan dan pengemis diatas, Muthalib
dan Sudjarwo memberikan 3 gambaran umum kelompok gepeng, yaitu :43
1. Sekelompok orang yang miskin atau yang dimiskinkan oleh masyarakat.
43 Ibid.
2
2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai.
3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan
keterasingan.
2. Tindak Pidana Gelandangan dan Pengemis
Perbuatan seseorang sebagai gelandangan dan pengemis dipandang sebagai
tindak pidana. Dalam bahasa Belanda tindak pidana disebut “straafbaar feit “ yang
terdiri dari kata “straafbaar” dan “feit”, straafbaar diartikan dihukum dan feit berarti
kenyataan. Jadi straafbaar feit adalah sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.44
Pengertian straafbaar feit menurut para ahli :
1. Simons mengartikan straafbaar feit adalah tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh
Undang-Undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.45
2. E.Utrecht mengartikan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana atau
delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau
suatu melalaikan nalaten negatif maupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu). Peristiwa pidana
merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.46
44 ? Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta : 2005, hal. 5.45 Ibid.46 Ibid, hal. 6.
3
3. Pompe mengartikan straafbaar feit adalah pelanggaran norma atau
gangguan terhadap hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.47
4. Moeljatno mengartikan straafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.48
5. Van Hamel mengartikan straafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke
bedraging) yang dirumuskan dalam wet, bersifat melawan hukum, patut
dipidana (straaf waar dig) dan dilakukan dengan kesalahan.49
Disamping itu istilah tindak pidana sebagai terjemahan straafbaar feit juga
diartikan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum,
perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana.50
Pengaturan tentang tindak pidana gelandangan dan pengemis diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
47 Ibid.48 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, Amrico, Cimahi : 1990, hal. 114. 49 Moeljatno, Op. cit. hal. 56. 50 Sofyan Sastrawidjaja.,Op.cit, hal. 111.
3
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat ketentuan yang
mengatur tindak pidana pengemisan sebagaimana dalam Pasal 504 KUHP
yaitu :
(1) : “ Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurung paling lama enam minggu.”
(2) : “ Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.”
Dalam pasal ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana
pengemisan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Melakukan pengemisan di depan umum.
Seseorang melakukan pengemisan di depan umum ini seperti
melakukan kegiatan meminta-minta di jalan raya, jembatan
penyeberangan, persimpangan lampu merah, dan tempat-tempat
lain yang diduga sebagai tepat dilakukannya kegiatan pengemisan.
b. Adanya kegiatan pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau
lebih yang berumur diatas enam belas tahun.
Kegiatan pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih
dapat dikategorikan sebagai adanya suatu sindikat yang telah
mengatur kegiatan orang tersebut. Dan mereka wajib menyetor hasil
pengemisan kepada penggerak.
Kemudian KUHP secara terpisah mengatur tindak pidana gelandangan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 505 KUHP yaitu:
3
(1) :” Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.’’
(2) :“ Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.”
Dalam pasal ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana
gelandangan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a) Melakukan gelandangan tanpa pencarian.
Melakukan gelandangan tanpa pencarian ini maksudnya adalah
seseorang yang melakukan perjalanan tanpa ada tujuan, dalam waktu
lama serta menetap disuatu daerah dianggap melakukan
pergelandangan, karena seseorang tersebut tidak mempunyai tempat
tujuan pasti.
b) Kegiatan gelandangan yang dilakukan tiga orang atau lebih.
Sama halnya dengan tindak pengemisan diatas, tindak pidana
gelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih patut diduga
sebagai suatu sindikat yang telah diatur oleh seseorang sebagai
penggeraknya. Dan hasil kegiatan meminta-minta tersebut harus
disetor kepada penggerak.
2. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang
Ketertiban Sosial.
3
Ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana terhadap pelaku
gelandangan dan pengemis secara khusus diatur dalam Perda Kota
Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial yaitu Pasal 3 dan
Pasal 4 sebagai berikut :
Pasal 3 :
(1) :” Dilarang melakukan pengemisan di depan umum dan ditempat umum, di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”
(2) :” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum.”
(3) :” Dilarang bergelandangan tanpa pencaharian ditempat umum dijalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan.”
Sama halnya dengan ketentuan pasal 504 dan pasal 505 KUHP, dalam
pasal 3 ini, seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana
gelandangan dan pengemisan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a) Melakukan pengemisan di depan umum.
Seseorang dapat diduga melakukan pengemisan jika seseorang
tersebut melakukan kegiatan meminta-minta di depan atau tempat-
tempat umum seperti jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu
merah, jembatan penyeberangan dan tempat-tempat lain yang
dianggap sebagai tempat pengemisan.
b) Memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang.
3
Unsur ini ditujukan kepada seseorang yang diduga memberikan
sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan
dan pengemis. Maka seseorang yang memenuhi unsur ini dapat
dipidana kurungan.
c) Bergelandangan tanpa pencarian.
Sama halnya dengan yang dimaksud dalam pasal 505 KUHP,
bergelandangan tanpa pencarian ini adalah seseorang yang
melakukan perjalanan tanpa ada tujuan yang pasti dan dalam
waktu lama, kemudian melakukan kegiatan meminta-minta patut
diduga melakukan pergelandangan.
Pasal 4 :
(3) :” Setiap orang atau kelompok dilarang melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau mengorganisir gelandangan dan pengemis serta mengeksploitasi mereka yang bertujuan mencari keuntungan materi semata dengan memanfaatkan mereka.”
(4) :” Setiap orang atau badan dilarang menggunakan, menyediakan tempat atau bengunan rumah atau pertokoan atau perkantoran untuk digunakan sebagai tempat penampungan gelandangan dan pengemisan.
Dalam pasal ini, seseorang dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
a) Melakukan usaha penampungan, membentuk dan atau
mengorganisir kegiatan gelandangan dan pengemisan serta
mengeksploitasi mereka guna mendapatkan keuntungan.
3
Jika salah satu dari unsur diatas dipenuhi oleh seseorang, maka
orang tersebut dapat dipidana. Melakukan usaha penampungan,
membentuk dan mengorganisir kegiatan gelandangan dan
pengemis dapat dikategorikan sebagai sindikat yang menggerakan
kegiatan tersebut dengan tujuan pribadi yaitu mendapatkan
keuntungan.
b) Menyediakan tempat atau bangunan rumah, pertokoan, dan
perkantoran untuk menampung gelandangan dan pengemis.
Seseorang yang telah mempergunakan tempat tinggalnya, toko
ataupun kantor untuk menampung gelandangan dan pengemis
dapat dianggap turut serta mendukung kegiatan pergelandangan
dan pengemisan. Terhadap unsur ini dapat dipidana kurungan.
Terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 3 dan 4 ini, maka
akan dijatuhkan sanksi berdasarkan Pasal 29 Perda Kota Pekanbaru No. 12
Tahun 2008 Tentang Ketertiban Umum yaitu :
“ Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 3 dan pasal 4 dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Sanksi yang diberikan oleh Perda ini, masih sangat ringan jika
dibandingkan keuntungan yang gelandangan dan pengemis itu peroleh dari
kegiatan meminta-minta. Pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan tidak
3
wajar diberikan terhadap seseorang (sindikat) yang menggerakkan kegiatan
meminta-minta tersebut. Hukuman pidana yang diberikan terlalu ringan.
Selain gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan gelandangan
dan pengemisan, terhadap seseorang yang ikut memberikan sumbangan
kepada para gelandangan dan pengemis juga diberikan sanksi yaitu
terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Perda No 12 Tahun 2008 Tentang
Ketertiban Sosial yaitu dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
3. Faktor Penyebab Terjadinya Gelandangan dan Pengemis
Faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis dalam
perspektif teoritis tidaklah berarti mencari faktor mana yang kiranya merupakan
faktor sebab akibat, akan tetapi dalam hal ini menerapkan sesuatu faktor yang akan
membawa resiko lebih besar ataupun lebih kecil dalam menyebabkan orang-orang
tertentu menjadi gelandangan. Pribadi yang menyimpang karena kurangnya kontrol
sosial merupakan proses terjadinya rasa inferior (rasa rendah diri) kondisi akan
menjadi parah apabila lingkungan sekitar menghina, menolak atau mengucilkan
dirinya, sehingga dia bisa menjadi sosiopatik. Oleh karena itu sekelompok individu
akan tumbuh dan berkembang dalam kelas sosial yang memilukan, dimana kriminal,
kemiskinan, pola asusila, kebiasaan mengemis, atau gelandangan menjadi cara hidup
(way of life) yang melembaga dalam kelompok tersebut. 51
51 Kartini, Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo, Jakarta : 2005, hal. 57.
3
Dalam situasi dan kondisi demikian pertumbuhan psikologis dari pribadi
seseorang menjadi abnormal atau menyimpang sehingga tingkah laku individu
tersebut menjadi cocok dengan pola prilaku lokal tersebut namun dianggap patologi
oleh masyarakat luas.52
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis
antara lain :
1) Faktor Internal
Faktor internal adalah suatu keadaan didalam diri individu dan keluarga gepeng
yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan gelandangan dan
pengemisan. Adapun faktor internal ini dipengaruhi oleh :53
a. Kemiskinan Keluarga
Kemiskinan individu termasuk salah satu faktor yang menentukan
terjadinya kegiatan gelandangan dan mengemis. Kemiskinan dapat
didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang
menyebabkan individu hidup dibawah standar kehidupan yang layak, atau
kondisi dimana individu mengalami deprivasi relative (tekanan jiwa secara
terus menerus) dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam
masyarakat. Kemiskinan ini membuat mereka berpandangan bahwa profesi
gelandangan dan pengemis ini harus dijalani untuk dapat mempertahankan 52 Ibid. hal. 58.53 http://www. Gedesedana.wordpress.faktor terjadinya gelandangan dan pengemis (Terakhir
Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 11.00 Wib).
3
kehidupannya dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Faktor dari
keluarga juga mendukung seseorang menjadi gelandangan dan pengemis,
karena banyak diantara mereka melakukan kegiatan pengemisan dan
menjadi gelandangan atas suruhan orang tua atau keluarga.
b. Pendidikan Formal
Faktor pendidikan ini sangat mempengaruhi seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis. Hal ini dapat dilihat banyaknya anak-anak
kategori masih dibangku pendidikan tidak melanjutkan pendidikan karena
faktor ekonomi, yang mengharuskan mereka memilih untuk mengelandang
dan mengemis di jalanan. Kurangnya seseorang menikmati pendidikan
membuka peluang untuk melakukan pengemisan dan gelandangan.
c. Rendahnya Keterampilan
Selain pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak dimiliki juga dapat
menjadi faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.
Keterampilan merupakan hal terpenting untuk seseorang agar mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tidak adanya keterampilan yang
dimiliki oleh gelandangan dan pengemis membuat kegiatan gelandangan
dan pengemis adalah pilihan yang gampang untuk dilaksanakan guna
memperoleh penghasilan secara mudah.
d. Sikap Mental
3
Sikap mental dari seseorang yang melakukan kegiatan gelandangan dan
pengemisan cendrung mempunyai pikiran bahwa pekerjaan yang
dilakukannya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja selayaknya pekerjaan
lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-
sumber penghasilan dan keterbatasan dalam sarana dan prasarana serta
keterampilan menyebabkan mereka menjadikan gelandangan dan pengemis
sebagai suatu pekerjaan.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang disebabkan karena pengaruh atau berasal
dari luar antara lain pengaruh urbanisasi, lingkungan, geografis dan ekonomi.
Urbanisasi merupakan arus perpindahan dari desa ke kota, karena berkeinginan
untuk mengubah nasib. Lingkungan merupakan keadaan disekitar kita baik
tempat tinggal maupun tempat kerja. Geografis merupakan suatu keadaan alam,
berupa kondisi tanah, udara, maupun cuaca. Sedangkan ekonomi adalah ukuran
pokok dari tingkat kesejahteraan seseorang. Faktor-faktor inilah yang membuat
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis.
B. TINJAUAN MENGENAI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
1. Pengertian dan Sejarah Satuan Polisi Pamong Praja.
4
Pengertian satuan polisi pamong praja menurut pasal 1 ayat (4) PP No.32
Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja adalah perangkat
pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan
ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah. Sedangkan menurut pasal 1
ayat (5) polisi pamong praja adalah aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan
tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan
ketertiban umum serta menegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Sejarah umum satuan polisi pamong praja (SATPOL PP) dimulai pada
tahun 1620 pada saat pemerintahan Gubernur Jendral VOC telah dibentuk “Bailluw”
yaitu semacam polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas untuk
menangani perselisihan hukum antara warga dan VOC juga menjaga ketertiban dan
ketentraman warga kota. Pasca Raffles (1815) bailluw ini terus berkembang menjadi
organisasi yang tersebar disetiap keresidenan dengan dikendalikan sepenuhnya oleh
resident dan asisten resident. Satuan baru lainnya yang disebut besturpolite atau polisi
pamong praja yang dibentuk dengan tugas membantu pemerintah kewedanan untuk
melakukan tugas ketertiban dan keamanan. Pasca kemerdekaan RI pembentukan
polisi pamong praja tidak secara serempak tetapi bertahap sesuai tuntutan situasi dan
kondisi NKRI pada waktu itu. Yang pertama membentuk polisi pamong praja pada
saat itu adalah DI Yogyakarta tanggal 30 Oktober 1948 dengan nama detasemen
polisi pamong praja. Kemudian tanggal 3 Maret 1950 diseluruh pulau Jawa dan
Madura telah terbentuk satuan polisi pamong praja berdasarkan Keputusan Menteri
4
Dalam Negeri No. UR32/2/21/1950 dan disusul dengan Permendagriotda No. 7
Tahun 1960 tanggal 30 November 1960 untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura.54
Dalam sejarahnya, keberadaan polisi pamong praja telah berkali-kali
berganti nama yaitu :55
1. Tahun 1948 disebut detasemen polisi penjaga keamanan kapanewon yang
diubah pada tahun yang sama menjadi detasemen polisi pamong praja
untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Kepmendagri No. 32/2/20 dan No. 32/2/21 tanggal 3 Maret 1950 secara
nasional disebut kesatuan polisi pamong praja yang kemudian tanggal
inilah menjadi hari ulang tahun satuan polisi pamong praja.
3. Tahun 1962 berubah menjadi pagar baya bedasarkan permen pemerintah
umum dengan otonomi daerah No. 10 tahun 1962.
4. Tahun 1963 berganti menjadi kesatuan pagar praja bedasarkan permen
pemerintahan umum No. 1 tahun 1963 tanggal 11 Februari 1963.
5. UU No. 5 Tahun 1974 disebut dengan nama polisi pamong praja.
2. Peranan Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Melaksanakan Keamanan dan Ketertiban Gelandangan dan Pengemis.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan
masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka
kondisi ketentraman dan ketertiban umum yang kondusif merupakan kebutuhan
mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.
54 www.satpol pohuwanto info.co/index (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 12.00 Wib).
55 Ibid.
4
Satuan polisi pamong praja merupakan suatu misi strategis dalam membantu
Kepala Daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tentram, tertib,
dan teratur sehingga menyelenggarakan roda pemerintahan dapat berjalan
dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman.56
Untuk melaksanakan misi ini, Satpol PP telah diatur secara khusus dalam PP
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Adapun
yang menjadi tugas dan wewenang Satpol PP menurut peraturan pemerintah ini
terdapat dalam Pasal 3, 4, dan 5, yaitu :
1. Tugas
Satuan polisi pamong praja mempunyai tugas memelihara dan
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
diatas, satuan polisi pamong praja menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban
umum, penegakan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
b. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum didaerah.
c. Pelaksanaan kebijakan penegakan peraturan daerah dan keputusan
kepala daerah.
d. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah,
56 Penjelasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.
4
keputusan kepala daerah dengan aparat kepolisian negara, penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya.
e. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
2. Wewenang.
a. Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum
yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah.
c. Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga
masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut, khususnya dalam
penanganan gelandangan dan pengemis Satpol PP harus memperhatikan
prinsip-prinsip penanganan gepeng seperti yang diatur dalam Pasal 7 Perda
Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial yaitu :
1. Prinsip penerimaan gelandangan dan pengemis secara apa adanya.
2. Prinsip tidak menghakimi (non judgedment) gelandangan dan pengemis.
3. Prinsip individualism, dimana setiap gelandangan dan pengemis tidak
disama ratakan begitu saja, tetapi harus dipahami secara khusus sesuai
dengan keunikan pribadi dan masalah mereka masing-masing.
4
4. Prinsip kerahasiaan, dimana setiap informasi yang diperoleh dari
gelandangan dan pengemis dapat dijaga kerahasiaannya sebaik
mungkin, terkecuali digunakan untuk kepentingan pelayanan dan
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis itu sendiri.
5. Prinsip partisipasi, dimana gelandangan dan pengemis beserta orang-
orang terdekat dengan dirinya diikut sertakan dan dapat berperan
optimal dalam upaya pelayanan dan rehabilitasi kembali kemasyarakat.
6. Prinsip komunikasi, dimana kualitas dan intensitas kominikasi antara
gelandangan dan pengemis dengan keluarga dan lingkungan sosialnya
dapat ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga berdampak positif
terhadap upaya rehabilitasi gelandangan dan pengemis.
7. Prinsip kesadaran diri, dimana para pelaksana pelayanan dan rehabilitasi
sosial gelandangan dan pengemis secara sadar wajib menjaga kualitas
hubungan profesionalnya dengan gelandangan dan pengemis, sehingga
tidak jatuh dalam hubungan emosional yang menyulitkan dan
menghambat keberhasilan pelayanan.
Dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban terhadap adanya
gelandangan dan pengemis, Satpol PP mempunyai peran yang penting untuk
memberantas keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut. Adapun peran
Satpol PP ini berkaitan dengan upaya preventif dan upaya represif dalam
memberantas gelangan dan pengemis, yaitu :57
57 Perda Kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Umum.
4
1. Upaya preventif
Upaya preventif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk menghambat dan
atau membatasi tumbuh kembangnya masalah gelandangan dan pengemis
meliputi usaha yang dilaksanakan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan,
keagamaan, kesejahteraan sosial, dan hukum terutama yang bersifat
pencegahan, pembinaan, dan pengembangan. Upaya preventif ini dapat
dilakukan Satpol PP dengan cara melakukan tugas dalam bidang
penertiban, pengamanan dan penyuluhan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.58
2. Upaya Represif
Upaya represif adalah upaya penanganan gelandangan dan pengemis yaitu
usaha-usaha yang terorganisir dengan maksud meniadakan gelandangan
dan pengemis serta mencegah meluasnya didalam masyarakat. Upaya
represif ini dilakukan oleh Satpol PP berkaitan dengan kedudukannya
sebagai penyidik pegawai negeri sipil. Upaya represif ini dilakukan Satpol
PP dengan cara :59
a. Melakukan razia secara berkesinambungan dan melakukan tindakan
yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Melakukan razia merupakan upaya awal Satpol PP dalam
melaksanakan perannya secara represif. Dengan melakukan razia ini,
Satpol PP dapat menindak para gelandangan dan pengemis. Tindakan
58 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.59 Wawancara Dengan Budi Mulya (Kepala Bidang TU Satpol PP kota Pekanbaru) Pada hari
Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP.
4
ini berupa peringatan, teguran, bimbingan atau pengarahan kepada
para gepeng agar tidak melakukan kegiatan meminta-minta. Tindakan
ini bertujuan agar tercipta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat
serta terwujudnya keindahan kota.
b. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan pihak lain yang
terkait dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis.
Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dan pihak lainnya
berkaitan dengan peran Satpol PP sebagai penyidik pegawai negeri
sipil. Dimana Satpol PP berperan memberikan laporan tentang adanya
tindak pidana gelandangan dan pengemisan yang terjadi.
c. Mencari sindikat gelandangan dan pengemis.
Berkaitan dengan peran Satpol PP melakukan koordinasi dengan
institusi lain, Satpol PP juga mempunyai peran untuk melakukan
koordinasi dengan kepolisian terkait adanya sindikat yang
menggerakkan kegiatan meminta-minta dari para gepeng.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4
A. PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM
MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN TINDAK
PIDANA GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.
Satuan polisi pamong praja merupakan salah satu lembaga diluar kepolisian
RI yang mempunyai tugas melaksanakan fungsi kepolisian sekaligus sebagai
perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman
dan ketertiban.60 Untuk mengoptimalkan kinerja Satpol PP perlu dibangun
kelembagaan yang handal sehingga tujuan terwujudnya kondisi daerah yang tentram
dan tertib dapat direalisasikan. Munculnya gangguan ketentraman dan ketertiban
umum serta timbulnya pelanggaran peraturan daerah identik dengan kepadatan
jumlah penduduk disuatu daerah.61 Salah satu bentuk adanya gangguan ketentraman
dan ketertiban ini adalah munculnya gelandangan dan pengemis (gepeng).
Gelandangan dan pengemis adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta
tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu dalam
hidup mengembara ditempat umum serta mengganggu ketertiban, kebersihan dan
keindahan kota.62 Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan
60 http://elisatris.word press.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 2 September 2010 Pukul 14.00 Wib).
61 Penjelasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.62 http://www.penanganan gepeng dikota-kota Indonesia (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29
September 2010 Pukul 09.00 Wib).
4
untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain serta mengganggu ketertiban
umum.63
Kehidupan yang serba bebas, terkesan kumuh membuat masyarakat begitu
jijik pada para gelandangan dan pengemis. Masyarakat begitu enggan menerima
kehidupan para gelandangan yang dianggap serba malas dan pengangguran, tidak
mau berusaha untuk bekerja keras.64 Pandangan masyarakat tersebut memang layak
diterima, hal ini sesuai dengan kenyataan dimana masyarakat merasa para
gelandangan dan pengemis identik dengan kriminalitas. Perasaan was-was
masyarakat tersebut tercipta dengan adanya pemberitaan dimedia massa baik itu
televisi maupun surat kabar. Hal tersebut yang menjadikan opini masyarakat
menganggap para gelandangan dan pengemis adalah suatu penyakit sosial yang harus
diberantas.
Jika dilhat dari sisi yang berbeda, para gelandangan dan pengemis ini tidak
ingin hidup dalam keadaan gelandangan dan melakukan kegiatan pengemisan. Ini
diungkapkan oleh Nasir (pengemis di perempatan simpang lampu merah mal SKA).
Beliau mengatakan bahwa tidak pernah menginginkan kegiatan pengemisan ini
terjadi pada dirinya. Nasir telah berusaha mencari pekerjaan yag layak bagi
keluarganya. Namun pekerjaan tersebut tidak juga ia dapatkan, dikarenakan terbatas
pada pendidikan yang ia miliki serta keterampilan. Nasir tidak mempunyai pilihan
lain selain melakukan pengemisan di perempatan jalan demi kehidupan keluarganya65
63 Ibid.64 Kartini Kartono, op cit hal. 139.65 Wawancara dengan Nasir (Pengemis di Perempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA) Pada
Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 15.30 Bertempat di Perempatan Simpang Lampu Merah
4
Mengingat permasalahan penyakit masyarakat atau yang biasa disebut pekat,
gelandangan dan pengemis merupakan bentuk patologi sosial yang terjadi hampir
disetiap kota termasuk kota Pekanbaru. Gelandangan dan pengemis pada dasarnya
adalah warga negara yang tidak memiliki akses dan kesempatan pada pekerjaan yang
layak dalam rangka memperoleh hak atas penghidupan yang layak. Gelandangan dan
pengemis seharusnya diletakkan sebagai entitas warga negara yang rentan (vulnerable
group) yang menuntut tindakan khusus untuk memperoleh kesetaraan yang sama
dengan warga negara lainnya.66 Namun yang menjadi masalah, apakah gelandangan
dan pengemis merupakan orang-orang yang benar-benar miskin atau sangat miskin
sehingga mutlak membutuhkan uluran tangan dari orang lain. Terhadap pertanyaan
tersebut, Komandan Pleton Satuan Polisi Pamong Praja di kota Pekanbaru yaitu
Hendri. Z menjawab permasalahan ini. Beliau mengatakan bahwa di kota Pekanbaru,
para gelandangan dan pengemis lebih dari 50% mereka bukan dari keluarga yang
benar-benar miskin. Mereka melakukan pengemisan hanya untuk mengelabui
masyarakat dengan cara membuat diri mereka seolah-olah cacat atau menderita. Hal
ini dilakukan hanya untuk mendapatkan belas kasihan dari masyarakat.67 Padahal
setelah dilakukan identifikasi, mereka dapat dikatakan berasal dari keluarga yang
cukup mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa harus bekerja sebagai peminta-
minta.68
Mall SKA.66 http : //www.mitranews.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 10.00
Wib).67 Wawancara dengan Komandan Pleton Satpol PP Hendri. Z Pada Hari Kamis Tanggal 30
September 2010 Pukul 10.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP Jalan Kopan.68 Ibid.
5
Selanjutnya Poni Wahyudi selaku Komandan Pleton juga menambahkan
bahwa para gelandangan dan pengemis ini kerap kali melakukan tindakan kriminal
seperti menggores mobil-mobil yang sedang berhenti dilampu merah apabila tidak
diberi uang, melakukan jambret serta kriminal lainnya.69
Pernyataan Poni Wahyudi ini di benarkan oleh salah satu pengemis yang
meminta-minta di simpang lampu merah Harapan Raya yaitu Lis. Beliau mengatakan
bahwa ia pernah melakukan penggoresan pada mobil yang sedang berhenti di lampu
merah. Hal ini dilakukannya karena ia kesal pada pemilik mobil yang tidak mau
membuka kaca mobil pada saat ia meminta-minta.70 Amril menambahkan bahwa
sebagian besar gelandangan dan pengemis yang melakukan pengemisan di simpang
lampu merah Harapan Raya ini, pernah melakukan hal yang sama dengan apa yang
dilakukan ibuk Lis.71
Fenomena yang terjadi pada gelandangan dan pengemis ini, sudah sepatutnya
mendapatkan perhatian yang khusus, karena kehadiran mereka sudah sangat
meresahkan masyarakat dan menganggu keamanan, ketertiban, serta keindahan kota.
Untuk mengatasi fenomena gelandangan dan pengemis ini, maka diperlukan peran
aktif dari Satpol PP. Satpol PP merupakan perangkat pemerintah daerah dalam
69 Wawancara dengan Komandan Pleton Satpol PP Poni Wahyudi Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 09.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP Jalan Kopan.
70 Wawancara dengan Lis (Pengemis di Simpang Lampu Merah Harapan Raya) Pada Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 15.00 Wib Bertempat di Simpang Lampu Merah Harapan Raya.
71 Wawancara dengan Amril (Pengemis di Simpang Lampu Merah Harapan Raya) Pada Hari Minggu Tanggal 7 Oktober 2010 Pukul 16.00 Wib Bertempat di Simpang Lampu Merah Harapan Raya.
5
memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta
menegakkan peraturan daerah.72
Peran Satpol PP ini tidak hanya pada penanganan masalah gelandangan dan
pengemis, tetapi juga terhadap ketertiban sosial lainnya seperti adanya kehadiran
wanita tuna susila, waria, mucikari, penertiban terhadap pedagang kaki lima, adanya
tempat-tempat hiburan malam dan lainnya. Adapun peran Satpol PP dalam
melaksanakan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis di kota
Pekanbaru, antara lain :
1. Peran Preventif
Peran Satpol PP secara preventif dalam penanggulangan gelandang dan
pengemis adalah suatu upaya Satpol PP yang bertujuan untuk menghambat tumbuh
kembangnya masalah gelandangan dan pengemis yang dilaksanakan secara
profesional meliputi usaha-usaha yang dilaksanakan dibidang pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan, keagamaan, kesejahteraan sosial, hukum yang terutama bersifat
pencegahan, pembinaan dan pengembangan.
Pada dasarnya usaha preventif dalam penanganan gelandang dan pengemis ini
tidak saja diperlukan adanya peran Satpol PP sebagai aparatur pemerintah daerah
yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan
ketentraman dan ketertiban umum, namun peran pemerintah, masyarakat, dan pihak
swasta juga mempunyai peran yang adil dalam penanganan gelandangan dan
pengemis. Peran ini ditujukan kepada semua pihak diatas dalam hal memberikan
72 PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP Pasal 1 Ayat (15).
5
penyuluhan, bimbingan, latihan, pendidikan, pemberian bantuan sosial serta
pembinaan lanjutan terhadap gelandangan dan pengemis sehingga akan tercegah
terjadinya :73
a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga terutama yang
sedang dalam keadaan sulit penghidupannya.
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan
dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada
umumnya.
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitasi.
Dalam pemerintah daerah peran serta Satpol PP lah yang sangat penting untuk
menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis. Landasan hukum Satpol
PP dalam melaksanakan ketentraman dan ketertiban umum yaitu PP No. 32 Tahun
2004 Tentang Pedoman Satpol PP. Di kota Pekanbaru sendiri telah mengeluarkan
peraturan daerah kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.
Dimana dalam peraturan daerah tersebut telah mengatur peran Satpol PP untuk
menangani masalah gelandangan dan pengemis yang terdapat dalam Pasal 8 Perda
No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial. Adapun peran Satpol PP kota
Pekanbaru menyangkut peran preventif ini untuk menangani masalah gelandangan
dan pengemis, yaitu :
73 http ://www.kebijakan pemerintah kota Semarang dalam pembinaan gelandangan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 30 September 2010 Pukul 15.00 Wib).
5
1) Melakukan sosialisasi
Melakukan sosialisasi merupakan peran Satpol PP secara preventif. Peran ini
dilakukan oleh Satpol PP untuk mencegah makin berkembangnya kegiatan
pergelandangan dan pengemisan. Peran Satpol PP dalam sosialisasi ini berkaitan
dengan perannya dalam pemerintah daerah. Satpol PP melakukan sosialisasi
terhadap peraturan daerah yang berkaitan dengan ketertiban umum terutama
masalah gelandangan dan pengemis yaitu sosialisasi terhadap Perda No.12 Tahun
2008 Tentang Ketertiban Sosial. Sosialisasi ini dilakukan Satpol PP dengan cara
mendatangi para gelandangan dan pengemis yang berada dijalanan, diperempatan
lampu merah, jembatan penyeberangan serta tempat-tempat lain yang diduga
sebagai tempat berkumpulnya para gelandangan dan pengemis. M. Yasir sebagai
anggota Satpol PP menyatakan bahwa sosialisasi ini dilakukan dalam bentuk
imbauan atau ajakan kepada gelandangan dan pengemis untuk tidak melakukan
kegiatan meminta-minta atau berkeliaran dijalanan tanpa ada tujuan.74 Arifin
sebagai anggota Satpol PP juga menambahkan bahwa dalam sosialisasi yang
dilakukan, kepada para gelandangan dan pengemis juga diberikan pengetahuan
mengenai sanksi apa yang akan dijatuhkan jika mereka melakukan kegiatan
pergelandangan dan pengemisan.75 Walaupun sosialisasi telah dilakukan, namun
fakta dilapangan menunjukkan masih banyaknya gelandangan dan pengemis yang
berkeliaran dijalanan. Sosialisasi yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut seolah-
74 Wawancara dengan M.Yasir anggota Satpol PP Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.00 Wib. Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
75 Wawancara dengan Arifin anggota Satpol PP Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 10.30 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
5
olah tidak digubris oleh para gelandangan dan pengemis. Mereka tetap saja
melakukan kegiatan meminta-minta.
Rita yang merupakan salah satu pengemis yang berada diperempatan lampu
merah mal ska mengatakan bahwa ia pernah mendapatkan sosialisasi dari anggota
Satpol PP. Dimana pada saat sosialisasi tersebut anggota Satpol PP melarang para
pengemis untuk meminta-minta diperempatan lampu merah mal ska, dikarenakan
perbuatan yang dilakukan mereka itu sangat meresahkan masyarakat, mengganggu
ketertiban umum dan merusak keindahan kota Pekanbaru.76
Terhadap sosialisasi tersebut, Rita mengakui tidak begitu menggubris apa yang
telah dikatakan oleh Satpol PP tersebut. Sampai sekarang ini, Rita tetap saja
melakukan kegiatan pengemisan, kegiatan pengemisan ini tetap ia lakukan karena
tidak mempunyai pekerjaan lain. Ia ingin membuka usaha kecil-kecilan tetapi Rita
tidak mempunyai modal untuk usahanya tersebut.77
Jaja menambahkan sosialisasi yang dilakukan oleh Satpol PP tidak begitu
berarti baginya. Yang terpenting bagi Jaja adalah Jaja dapat bertahan hidup
walaupun dalam keadaan mengemis.78
Sosialisasi tersebut tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan tindakan
lebih lanjutnya, seperti menindak para gelandangan dan pengemis yang melakukan
kegiatan meminta-minta dengan memberikan sanksi yang tegas kepada mereka. Jika
76 Wawancara dengan Rita (pengemis) Pada Hari Sabtu Tanggal 25 September 2010 Pukul 15.00 Wib Bertempat di Perempatan Lampu Merah Mal SKA.
77 Ibid.78 Wawancara dengan Jaja (Pengemis Diperempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA) Pada Hari
Minggu Tanggal 10 Oktober 2010 Pukul 12:30 WIB di Perempatan Simpang Lampu Merah Mall SKA.
5
tidak, maka hal yang dilakukan oleh Rita (salah satu pengemis) juga akan dilakukan
oleh gelandangan dan pengemis lain yaitu tidak mengubris sosialisasi yang telah
dilakukan Satpol PP. Selain itu, Satpol PP juga harus selalu mengingatkan para
gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemis
tersebut.
2) Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan yang dilakukan Satpol PP dalam penanganan gelandangan
dan pengemis dilakukan oleh Satpol PP bekerja sama dengan pihak lain seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, pihak swasta dan pihak lainnya.
Kegiatan penyuluhan ini berupa seminar-seminar yang menyangkut:79
a. Gelandangan dan pengemis itu sendiri.
b. Dampak dari gelandangan dan pengemisan.
c. Peran pemerintah dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis.
d. Tindakan Satpol PP yang harus memperhatikan HAM.
e. Dan hal lain-lain yang menyangkut penanggulangan gelandangan dan
pengemis.
f. Rehabilitasi gelandangan dan pengemis.
Penyuluhan ini sangat bermanfaat dalam penanggulangan gelandangan dan
pengemis, karena dengan tema penyuluhan seperti inilah lebih memberikan
pemahaman kepada para gelandangan dan pengemis. Selain itu, penyuluhan yang
79 Wawancara dengan Komandan Pleton Ulhendra Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 13.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
5
telah diberikan sebaiknya tidak sekedar hanya sebagai pembicaraan saja tetapi ada
pelaksanaan dari penyuluhan.
Komandan Pleton Satpol PP Hendri. Z mengatakan bahwa seminar yang
dilakukan diadakan oleh LSM atau mahasiswa dengan mengundang beberapa
gelandangan dan pengemis, Dinas Sosial dan pemakaman, polisi sebagai penegak
hukum dan Satpol PP itu sendiri. Peran Satpol PP dalam penyuluhan adalah
memberikan gambaran mengenai peranan Satpol PP dalam penanggulangan
gelandangan dan pengemis.80 Khusus pada tahun 2010 ini Satpol PP tidak ada
mengadakan kegiatan penyuluhan sama sekali. Penyuluhan dilakukan jika ada
program kerja dari Satpol PP sebelumnya dan ada anggaran untuk penyuluhan.81
Tujuan dari penyuluhan yang dilakukan oleh Satpol PP dalam upaya preventif
ini adalah :
1) Untuk memberikan gambaran kepada para gelandangan dan pengemis
mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan yang merupakan
kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Selain itu juga kegiatan ini
sangat mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat.
2) Memberikan pengetahuan kepada Satpol PP yang berfungsi sebagai
aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan ketentraman dan
ketertiban umum, penanganan gelandangan dan pengemis yang harus
memperhatikan hak asasi manusia dari gelandangan dan pengemis. Hal
80 Wawancara dengan Hendri. Z Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 10.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru..
81 Ibid.
5
ini karena gelandangan dan pengemis juga manusia yang mempunyai
hak-hak yang harus dihormati dan hak untuk mendapatkan perlakuan
yang sesuai dengan kemanusiaan.
Dalam menjalankan fungsi dan perannya, sering kali anggota Satpol PP
bertindak diluar kewajaran yang tidak memperhatikan HAM dari gelandangan dan
pengemis itu sendiri. Munculnya gambaran negatif terhadap sosok aparat Satpol PP
tidak lain dan tidak bukan, karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksi represif
yang terkesan arogan dari aparat Satpol PP tersebut saat menjalankan tugasnya
dalam memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum.
Terhadap persepsi ini Drs. Indra Kusuma (Kepala Satpol PP) yang diwakili
oleh Budi Mulya (Kepala Bidang Tata Usaha Satpol PP) menanggapi hal ini. Beliau
mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh sebagian anggota Satpol PP dalam
menertibkan gelandangan dan pengemis ini dilakukan terhadap mereka yang telah
berulang-ulang dirazia dan diproses serta terhadap mereka yang telah mendapatkan
keterampilan atau rehabilitasi tetapi kembali lagi melakukan pergelandangan dan
pengemisan.82
Selain penyuluhan yang bersifat pencegahan tindak pidana gelandangan dan
pengemis, penyuluhan juga diberikan Satpol PP kepada gelandangan dan pengemis
yang berhasil dirazia. Penyuluhan ini diberikan dalam bentuk upaya represif. Budi
Mulya mengatakan bahwa para gelandangan dan pengemis yang berhasil ditangkap
82 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
5
akan dibawa ke kantor Satpol PP. Selanjutnya terhadap para gelandangan dan
pengemis yang untuk pertama kali ditangkap akan diberi penyuluhan terlebih
dahulu. Agar mereka tidak mengulanggi kegiatan pergelandangan dan
pengemisan.83
2. Peran Represif
Peran represif dalam rangka penanggulangan gelandangan dan pengemis adalah
suatu penanganan gelandang atau pengemis yang dilakukan dengan usaha-usaha
yang terorganisir dengan maksud meniadakan gelandangan dan pengemis serta
mencegah meluasnya gelandangan dan pengemis dalam masyarakat.
Dalam peran reprensif ini, Satpol PP kota Pekanbaru telah mengambil langkah-
langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu :
1) Melakukan razia.
Razia adalah kegiatan operasi lapangan secara bersama-sama antara satuan
pelaksana penanggulangan gelandangan dan pengemis dengan melibatkan
berbagai instansi yang terkait. Di kota Pekanbaru, instansi yang mempunyai
peran penting dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis ini adalah
Satpol PP. Landasan hukum Satpol PP kota Pekanbaru melakukan razia
terhadap para gelandangan dan pengemis yaitu Perda No. 12 Tahun 2008
Tentang Ketertiban sosial Pasal 8 :
83 Ibid.
5
(1) : Penertiban gelandangan dan pengemis dilaksanakan razia oleh Satpol
PP, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bekerja sama dengan pihak
kepolisian.
(2) : Razia gelandangan dan pengemis dilakukan secara kontinyu antar
lintas instansi dengan melakukan razia ditempat-tempat umum dimana
biasanya mereka melakukan kegiatan mengelandangan dan mengemis
sehingga diperoleh data yang valid terhadap gelandangan dan pengemis
secara priodik.
(3) : Setiap orang yang terjaring dalam razia akan ditangkap dan diproses
secara hukum yang berlaku.
(4) : Tindak lanjut razia pada ayat (1) dan (2) di koordinasikan dengan
Dinas Sosial dan pemakaman kota Pekanbaru untuk dilakukan pembinaan
dan pelatihan bagi gelandangan dan pengemis baik non panti maupun panti
sosial milik pemerintahan daerah dan atau panti swasta dan atau
pengembalian bagi mereka yang berasal dari luar kota Pekanbaru.
Prioritas sasaran razia yang dilakukan oleh Satpol PP kota Pekanbaru
adalah para gelandangan dan pengemis yang melakukan kegiatan atau
menampilkan diri ditempat-tempat umum yang menganggu keindahan kota
Pekanbaru. Di tempat-tempat umum ini para gelandangan dan pengemis
biasanya berada diperempatan lampu merah, jembatan penyeberangan, ruko-
ruko, dan tempat-tempat lainnya yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya
para gelandangan dan pengemis.
6
Kegiatan merazia para gelandangan dan pengemis ini dilakukan Satpol PP
kota Pekanbaru setiap hari kerja. Ini diungkapkan oleh M. Yasir (anggota
Satpol PP). Beliau mengatakan bahwa razia selalu dilakukan pada setiap hari
kerja yaitu pada pagi hari dan sore hari. Razia dilakukan dengan menyelusuri
jalan-jalan kota Pekanbaru yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para
gelandangan dan pengemis. Pada saat dilakukan razia, para gelandangan dan
pengemis rata-rata dari mereka telah mengetahui keberadaan petugas Satpol PP
dengan melihat mobil dinas Satpol PP, sehingga pada saat Satpol PP berada
ditempat tersebut mereka telah banyak yang melarikan diri. Akibatnya, setiap
tahun data tentang terjaringnya para gelandangan dan pengemis ini selalu
mengalami penurunan, padahal fakta dilapangan menunjukan jumlah para
gepeng ini semakin banyak. Untuk melihat jumlah para gelandangan dan
pengemis yang berhasil dijaring oleh Satpol PP dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
TABEL 3.1Jumlah Gepeng Yang Berhasil Terjaring No. Tahun Jumlah Terjaring1. 2008 119 orang2. 2009 106 orang3. 2010 48 orang
Sumber : Data Dari Dinas Sosial
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa jumlah para gelandangan dan
pengemis yang berhasil terjaring oleh Satpol PP mengalami penurunan setiap
tahunnya. Pada tahun 2008 gepeng yang terjaring sebanyak 119 orang, tahun
2009 mengalami penurunan sebanyak 13 orang yaitu menjadi 106 orang.
6
Jumlah penurunan yang mengejutkan terjadi pada tahun 2010 yaitu dengan
jumlah gepeng hanya 48 orang.
Para gepeng yang berhasil terjaring ini selanjutnya akan dibawa ke kantor
Satpol PP untuk dilakukan pendataan. Dalam pendataan tersebut akan
ditanyakan nama, alamat (bagi gelandangan alamat yang ditanyakan adalah
alamat sebelumnya atau alamat saudara), asal kota, umur, agama, pendidikan,
lama operasi menjadi gelandangan dan pengemis, faktor yang menyebabkan
menjadi gelandangan dan pengemis, rencana ke depan, dan keterampilan yang
dimiliki. Data ini dimuat dalam suatu form. Dimana dalam form tersebut tidak
hanya mencantum identitas para gelandangan dan pengemis tetapi juga memuat
pernyataan atau surat perjanjian gelandangan dan pengemis. Surat pernyataan
ini dibuat untuk mereka yang pertama kali sampai tiga kali terjaring. Jika
melebihi tiga kali maka Satpol PP kota Pekanbaru melanjutkan kepada pihak
kepolisian agar dilakukan tindakan lanjutan. Adapun dalam penuturan Budi
Mulya menyatakan bahwa format isi surat perjanjian atau pernyataan
gelandangan dan pengemis yang disediakan oleh Satpol PP ini adalah :84
1) Para gepeng berjanji untuk tidak melakukan pekerjaan gelandangan dan
pengemisan lagi.
2) Para gelandangan dan pengemis tidak akan mengelandang dan pengemis
di tempat-tempat umum, di jalan protokol, lampu merah, dan jembatan
penyeberangan di kota Pekanbaru.
84 Ibid
6
3) Para gelandangan dan pengemis bersedia diberikan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4) Apabila melakukan pergelandangan dan pengemisan di kota Pekanbaru,
gelandangan dan pengemis bersedia dihukum pidana sesuai dengan
Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial
berupa kurungan selama 3 (tiga) bulan atau denda sebesar Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Surat perjanjian tersebut harus ditandatangani dan dibubuhi materai 6000
rupiah. Menurut Budi Mulya, para gelandangan dan pengemis yang terjaring
dan yang telah membuat surat perjanjian tersebut, mereka masih saja tetap
sering melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan kembali. Mereka
seolah-olah tidak menggubris dan tidak takut atas sanksi yang dijatuhkan.85
Walaupun demikian, Satpol PP tidak dapat berbuat banyak terhadap mereka
yang selalu mengulangi perbuatan pergelandangan dan pengemisan ini. Budi
mulya menambahkan dari data gelandangan dan pengemis yang terjaring tidak
satu pun para gepeng yang dihadapkan kepada pihak kepolisian. Hal ini karena
kurangnya dana yang dimiliki Satpol PP. Satpol PP hanya dapat melakukan
koordinasi dengan Dinas Sosial yang akan menampung para gelandangan dan
pengemis.86
85 Ibid.86 Ibid .
6
Setelah pendataan para gelandangan dan pengemis dilakukan, terhadap
gepeng yang baru melakukan kegiatan pergelandangan dan pengemisan untuk
pertama kali hanya diberikan peringatan atau teguran dengan surat perjanjian
tersebut. Namun terhadap gelandangan dan pengemis yang telah berkali-kali
terjaring selanjutnya Satpol PP melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial dan
pemakaman.
2) Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam penanggulangan
masalah gelandangan dan pengemis.
a. Koordinasi dengan Dinas Sosial.
Bentuk koordinasi Satpol PP dengan Dinas Sosial dan Pemakaman ini
adalah pemindahtanganan gelandangan dan pengemis dari Satpol PP ke
Dinas Sosial untuk mendapatkan pembinaan, bimbingan sosial,
keterampilan, dan pelatihan kerja.
Dinas Sosial terlebih dahulu mendata ulang mengenai identitas
gelandangan dan pengemis ini. Ini diungkapkan oleh Heriani, SST (Seksi
Rehabilitasi Tuna Sosial), beliau mengatakan bahwa setelah penyerahan
gelandangan dan pengemis dari Satpol PP, Dinas Sosial selanjutnya
mendata ulang identitas para gepeng. Jika pendataan selesai dilakukan
maka untuk tiga hari selanjutnya akan dilakukan pembinaan, pelatihan,
bimbingan sosial, dan keterampilan.87
87 Wawancara dengan Heriani, SST (Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial) pada Dinas Sosial Pada Hari Jumat Tanggal 1 Oktober 2010 Pukul 09.00 Wib Bertempat di Kantor Dinas Sosial kota Pekanbaru.
6
Adapun maksud dan tujuan dari pembinaan, pelatihan, bimbingan dan
keterampilan, yaitu :
1. Mengembalikan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.
2. Menimbulkan sikap dan merubah mental.
3. Memberikan dasar keterampilan untuk melanjutkan hidup
TABEL 3.2Jumlah Gepeng Yang Mendapatkan Keterampilan
Sumber : Dari Data Dinas Sosial
Dari data di atas, tiap tahun gelandangan dan pengemis yang terjaring
dan mendapatkan keterampilan ( soft skill ) yang berbeda-beda. Untuk
tahun 2008,keseluruhan gelandangan dan pengemis yang terjaring
sepanjang tahun tahun 2008 mendapat pelatihan mengolah pangan dari
bahan-bahan sederhana ( contohnya pisang, nangka dan nenas yang
diolah menjadi keripik pisang, keripik nangka, dan keripik nenas ).
6
No. Tahun Jumlah Gepeng Yang Mendapatkan Keterampilan
Jenis keterampilan
1 2008 20 orang Olah pangan2 2009 20 orang Sol sepatu3 2010 20 orang Olah pangan
kerajinan
Sementara itu untuk di tahun 2009, seluruh yang terjaring berjumlah 20
orang dan mendapat pelatihan membuat atau memperbaiki sol septau.
Ditahun 2010, pertengahan tahun yang lalu, PSK yang terjaring
berjumlah 20 orang dan seluruhnya mendapatkan pelatihan keterampilan
( soft skill ) berupa olah pangan ditambah dengan kerajinan dari barang –
barang bekas ( contohnya mengolah bungkus-bungkus detergent atau kain
perca menjadi tas, dompet, dan pernak-pernik yang mempunyai nilai jual
di pasaran ).
Hal ini dibenarkan oleh pengemis-pengemis di perempatan lampu
merah SKA dan di perempatan lampu merah Ahmad Yani yaitu Fandi
(15), Hayatun (13), Puspa (16), Ambarwulan (16), dan Kornelius (16)
biasanya hanya nama pasaran mereka ketika bekerja menjalankan
aktivitas meminta-minta) . Seperti halnya Fandi dan Puspa, mereka
pernah terjaring dalam penjaringan yang dilakukan oleh Satpol PP di
tahun 2009 dan 2010. Mereka sempat mendapat pelatihan membuat sol
sepatu. Tapi setelah masa pelatihan habis, Fandi dan Puspa memutuskan
untuk kembali ke jalanan. Seperi penuturan Puspa, ”aku lebih suka jadi
pengemis, walaupun panas tapi hasil yang aku dapatkan lebih besar.” Hal
senada juga dituturkan oleh ketiga rekannya Hayatun, Kornelius, dan
Ambarwulan. Mereka bertiga pernah ikut pelatihan olah pangan dan
kerajinan tangan di pertengahan tahun 2010, namun ketiga-tiganya
memutuskan untuk kembali ke jalan menjani aktivitas mengemisnya.
Bahkan Korenelius yang berasal dari Pematang Siantar Sumut pernah
6
dipulangkan Satpol PP ke daerah asalnya namun di pertengahan jalan
tepatnya di Kandis, Kornelius turun dan kembali ke Pekanbaru.
Alasannya ia lebih betah hidup bersama kawan-kawannya di Pekanbaru
walaupun tidak punya tempat tinggal yang tetap dan bekerja sebagai
peminta-minta.
Bentuk lain koordinasi yang dilakukan Satpol PP dengan Dinas Sosial
yaitu Dinas Sosial kerap memberi laporan tentang keberadaan
gelandangan dan pengemis yang sudah sangat meresahkan ketertiban
umum. Jika tindakan gelandangan dan pengemis dianggap telah
mengganggu atau meresahkan orang lain, maka Dinas Sosial meminta
Satpol PP untuk memulangkan mereka ke daerah asalnya (karena
kebanyakan dari mereka merupakan pendatang). Budi Mulya mengatakan
bahwa laporan yang diperoleh dari Dinas Sosial tentang tindakan
gelandangan dan pengemis yang meresahkan masyarakat tersebut, Satpol
PP akan menindak para gepeng dengan memulangkan mereka kekampung
halamannya. Dari segi pendanaan, Satpol PP tidak mempunyai dana
untuk memulangkan mereka, dana tersebut diperoleh dari Dinas Sosial.
Untuk melihat jumlah gepeng yang berhasil dipulangkan keasalnya oleh
Satpol PP adalah sebagai berikut :
TABEL 3.3 Jumlah Gepeng Yang Dipulangkan
No. Tahun Jumlah Gepeng Yang Dipulangkan
1. 2008 58 orang2. 2009 60 orang3. 2010 20 orang
Sumber : Dari Data Dinas Sosial
6
Dari tabel diatas, jumlah gelandangan dan pengemis yang berhasil
dipulangkan cukup sedikit jika dibandingkan dengan jumlah gelandangan
dan pengemis yang terjaring walaupun tidak semua gelandangan dan
pengemis berasal dari daerah lain. Pada tahun 2008 jumlah gelandangan
dan pengemis yang dipulangkan sebanyak 58 orang. Mengalami kenaikan
pada tahun 2009 yaitu berjumlah 60 orang. Sementara pada tahun 2010
jumlah gelandangan dan pengemis yang dipulangkan sangat sedikit yaitu
20 orang.
b. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian
Bentuk koordinasi yang dilakukan oleh Satpol PP dengan pihak
kepolisian adalah dalam hal adanya kegiatan pergelandangan dan
pengemisan yang merupakan tindak pidana. Satpol PP memberikan laporan
tentang tindak pidana pergelandangan dan pengemisan, serta memberikan
informasi tentang adanya sindikat gelandangan dan pengemisan yang
terorganisir. Pada tahun 2010, Satpol PP mempunyai laporan tentang
adanya 2 orang yang diduga sebagai otak dari kegiatan pergelandangan dan
pengemisan, namun laporan tersebut belum disampaikan kepada pihak
yang berwajib. Hal ini dikarenakan kurangnya dana untuk melakukan
koordinasi dengan kepolisian.
c. Koordinasi dengan institusi terkait.
Koordinasi yang dilakukan oleh Satpol PP dalam penanggulangan
gepeng ini selain dilakukan dengan Dinas Sosial, juga dilakukan dengan
6
pihak kepolisian dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan
penanganan gelandangan dan pengemis. Ini sesuai dengan Pasal 23 PP No.
32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP :
(1) : Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama
dengan kepolisian RI dan lembaga-lembaga lainnya.
(2) : Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas
hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati
dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan
hirarki dan kode etik profesi dan birokrasi.
Koordinasi Satpol PP dengan pihak lain ini misalnya dengan pihak
swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Koordinasi
ini dilakukan dalam hal pembinaan, bimbingan, pelatihan, bantuan sosial
dan keterampilan.
3) Mencari dan menangkap otak sindikat gelandangan dan pengemis.
Kegiatan pergelandangan dan pengemisan tidak saja dilakukan sendiri-
sendiri oleh individu, tetapi kegiatan ini telah terorganisir dengan baik.
Berdasarkan keterangan dari Irwanto,S.sos selaku seksi pembinaan dan
pengembangan kapasitas pada Satpol PP menyatakan bahwa ada sekelompok
gelandangan dan pengemis yang beredar di kota Pekanbaru yang cara kerjanya
telah diorganisir atau diatur oleh orang lain yang bukan berasal dari kelompok
6
gepeng. Orang yang mengorganisir kegiatan para gelandangan dan pengemis ini
adalah otak dari kegiatan meminta-minta kelompok gepeng terutama pengemis
anak-anak. Di kota Pekanbaru, kelompok sindikat gelandangan dan pengemis
ini dapat dijumpai diperempatan lampu merah mal SKA Jalan Tuanku
Tambusai. Pada tahun 2010, Satpol PP berhasil menangkap 2 (dua) orang
sebagai otak dari kegiatan pergelandangan dan pengemis. Dua orang tersebut
berasal dari kegiatan gelandangan dan pengemis dimal SKA. Pada awalnya
mereka berdalih bahwa bukan mereka motor penggerak kegiatan para pengemis
diperempatan lampu merah tersebut. Namun Satpol PP tidak begitu saja
percaya dengan apa yang mereka ucapkan.88
Irwanto, S.sos menambahkan dua orang yang diduga sebagai otak
penggerak kegiatan gelandangan dan pengemis diperempatan lampu merah mal
ska itu patut diduga sebagai sindikat. Hal ini melihat fakta yang ada pada saat
terjadi penangkapan mereka, terdapat unsur-unsur tindak pidana didalamnya,
yaitu :89
1.Para gepeng menyetor uang hasil mengemis sebesar 30% kepada
penggerak tersebut. Ini berdasarkan keterangan dari para gelandangan
dan pengemis yang berhasil dijaring bersama otak penggeraknya.
88 Wawancara dengan Irwanto, S.sos (Seksi Pembinaan dan Pengembangan Kapasitas Satpol PP) Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 13.00 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
89 Ibid.
7
2.Pengemis diajarkan cara meminta-minta yang bisa menimbulkan belas
kasihan dari orang lain dengan cara menipu (misalnya pura-pura
pincang, pura-pura buta, dll)
Dari tindakan para gelandangan dan pengemis serta penggeraknya jelas
terdapat unsur tindak pidana yaitu adanya unsur penipuan sebagaimana yang
dimaksud Pasal 378 KUHP :
” Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak baik dengan memakai nama palsu, dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat hutang atau menghapuskan piutang dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Terhadap dua orang yang diduga sebagai otak kegiatan gelandangan dan
pengemis ini, Satpol PP tidak melakukan tindakan represif lebih lanjut lagi
yaitu melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Satpol PP hanya
memberikan peringatan dengan menyuruh mereka menandatangani surat
perjanjian gelandangan dan pengemis.
B. FAKTOR PENGHAMBAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM
MELAKSANAKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN GELANDANG
DAN PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.
Gelandangan dan pengemis merupakan dua objek hasil dan realita kemiskinan.
Dua objek ini bersamaan dalam penanganan yang dilakukan Satpol PP untuk
melakukan keamanan dan ketertiban terhadap gepeng. Satpol PP bergerak dan
7
bertindak sesuai dengan perannya sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban
sosial. Dalam melaksanakan peran tersebut, Satpol PP mengalami beberapa kendala
yang menghambat kerjanya. Adapun faktor penghambat bagi Satpol PP dalam
melaksanakan perannya sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban sosial,
antara lain :
1. Ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP.
Pedoman Satpol PP dalam melaksanakan ketertiban dan ketentraman terhadap
gelandangan dan pengemis diatur dalam PP No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pedoman Satpol PP. Dalam peraturan tersebut peran Satpol PP dalam
melakukan penangkapan gelandangan dan pengemis tidak diberikan
wewenang yang luas. Satpol PP tidak mempunyai hak dan peran untuk
menjatuhkan hukuman atau memasukkan mereka yang terjaring kedalam sel.
Seperti yang diungkapkan Budi Mulya (Kepala Bidang Tata Usaha Satpol
PP), beliau mengatakan bahwa Satpol PP hanya memiliki peran sebagai
penertib ketertiban umum dan keamanan. Satpol PP tidak mempunyai peran
menjatuhkan hukuman bagi para gelandangan dan pengemis yang terjaring.
Hal inilah yang membuat peran Satpol PP sangat terbatas.90
Pada faktor penghambat ini, kewenangan yang dimiliki oleh Satpol PP dalam
menjatuhkan hukuman dan memasukkan gelandangan dan pengemis kedalam
sel dibatasi oleh kewenangan dari institusi lain yaitu penegak hukum seperti
90 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul 11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
7
Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim. Untuk menciptakan ketertiban dan
keamanan terhadap adanya gelandangan dan pengemis ini, Satpol PP harus
melakukan koordinasi dengan pihak lain terutama kepolisian sebagai gerbang
penegakan hukum. Koordinasi ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh PP
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP yang terdapat dalam pasal
23, yaitu :
” Satpol PP dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian RI dengan lembaga-lembaga lainnya.”
Kerjasama sebagaimana yang dimaksud diatas adalah didasarkan atas
hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati dengan
mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hirarki dan kode etik
profesi dan birokrasi.
2. Dana.
Segala macam pembiayaan kegiatan Satpol PP diambil dari APBD. Kepala
Satpol PP Drs. Indra Kesuma yang diwakili oleh Budi Mulya mengatakan
bahwa dana yang tersedia di satuan polisi pamong praja terbatas hanya pada
dana operasional. Untuk biaya pembinaan gelandangan dan pengemis terbatas
pada anggaran yang diberikan. Pembinaan ini seperti memberikan
penyuluhan, dan seminar saja. Sedangkan pada pemulangan gelandangan dan
pengemis serta penampungan sementara gelandangan dan pengemis tidak ada
anggaran untuk itu. Anggaran untuk pemulangan gelandangan dan pengemis
serta penampungan sementara ini dimiliki oleh Dinas Sosial. Akibat
7
keterbatasan pada dana ini ( Budi Mulya tidak dapat menuturkan secara
terperinci berapa jumlah dana untuk penanganan Gelandangan dan Pengemis
ini, dengan alasan beliau bukan orang yang tau pasti berapa anggaran yang
tepat dikeluarkan Pemerintah untuk permasalahan ini ), Satpol PP hanya dapat
menyerahkan permasalahan pemulangan dan penampungan para gelandangan
dan pengemis kepada Dinas Sosial. Sementara Dinas Sosial juga memiliki
keterbatasan dana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Dengan
keterbatasan dana ini, membuat penanganan gelandangan dan pengemis
menjadi terhambat. Akibatnya, para gelandangan dan pengemis yang berhasil
ditangkap hanya dapat ditampung sebatas kapasitas yang ada, sedangkan
untuk pemulangan gelandangan dan pengemis sendiri hanya dapat
dipulangkan dengan jumlah sedikit. Menurut Budi Mulya mengatakan bahwa
dana yang dimiliki Satpol PP untuk pemulangan dan penampungan sementara
bagi gelandangan dan pengemis ini tidak ada anggaran untuk itu. Dalam
penanganan gelandangan dan pengemis ini memang sudah merupakan
kewajiban dan tugas dari Satpol PP.91
3. Faktor masyarakat.
Faktor masyarakat ini sangat mempengaruhi kegiatan para gelandangan dan
pengemisan. Berkembang atau tidaknya kegiatan ini ditentukan oleh faktor
masyarakat.92 Hal ini karena masyarakatlah yang memberikan peluang untuk
91 Ibid. 92 Wawancara dengan dengan Budi Mulya Pada Hari Kamis Tanggal 30 September 2010 Pukul
11.20 Wib Bertempat di Kantor Satpol PP kota Pekanbaru.
7
para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatan ini dengan cara
memberikan uang atau sumbangan kepada mereka. Jadi, untuk meminimalisir
ataupun untuk meniadakan keberadaan gelandangan dan pengemis,
masyarakat sudah sepatutnya tidak memberikan uang kepada mereka.93
Adanya faktor masyarakat ini sangat menghambat kerja Satpol PP untuk
menertibkan para gelandangan dan pengemis. Para gepeng ini merasa kegiatan
meminta-minta yang dilakukannya mendapat simpati dan dukungan dari
masyarakat dalam bentuk pemberian uang atau sumbangan. Dengan
masyarakat memberikan uang atau sumbangan ini justru akan membuat Satpol
PP menjadi kesulitan untuk memberantas para gepeng. Jika saja masyarakat
tidak memberikan uang atau sumbangan, tentu saja para gepeng ini lama-
kelamaan akan jenuh, karena kegiatan mereka tidak mendapatkan hasil yang
berarti. Terhadap masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan ini,
undang-undang telah melarang perbuatan tersebut yaitu terdapat dalam pasal 3
ayat (2) Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial
yang berbunyi :
” Dilarang bagi setiap orang memberikan sumbangan dalam bentuk uang atau barang kepada gelandangan dan pengemis di jalan raya, jalur hijau, persimpangan lampu merah dan jembatan penyeberangan atau di tempat-tempat umum”.
Masyarakat yang melakukan perbuatan tersebut, akan dikenakan sanksi.
Sanksi ini diatur dalam pasal 29 ayat (1) Perda kota Pekanbaru yaitu akan
93 Ibid.
7
dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Untuk menerapkan
sanksi ini, Satpol PP harus melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian
tentang adanya masyarakat yang memberikan uang, sumbangan, dan barang
kepada para gelandangan dan pengemis. Dengan pemberian sanksi ini
diharapkan akan memberikan rasa jera bagi masyarakat lainnya.
4. Kurangnya koordinasi dengan pihak kepolisian.
Kurangnya koordinasi dengan pihak kepolisian ini sangat berhubungan
dengan dana yang dimiliki oleh Satpol PP. Menurut Budi Mulya, beliau
mengatakan bahwa Satpol PP sangat terbatas dalam pendanaan, termasuk
dalam hal melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian. Untuk melakukan
koordinasi tersebut diperlukan dana seperti dalam hal Satpol PP menerima
adanya laporan tentang sindikat kegiatan gelandangan dan pengemis ini.
Terlebih dahulu Satpol PP harus mengumpulkan bukti awal adanya tindak
pidana gelandangan dan pengemis. Untuk mencari bukti awal tersebut, Satpol
PP membutuhkan dana operasional dalam mengungkap tindak pidana
gelandangan dan pengemis.94 Dana operasional yang dimiliki oleh Satpol PP
ini hanya terbatas pada dana untuk melakukan razia, sosialisasi, dan
penyuluhan saja. Sementara dana untuk melakukan koordinasi tidak ada.
Faktor kurangnya dana dalam mengungkap tindak pidana gelandangan dan
pengemis serta keterbatasan dana untuk melakukan koordinasi dengan pihak
94 Ibid.
7
kepolisian ini seharusnya tidak dijadikan faktor penghambat bagi Satpol PP
dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban terhadap kegiatan gelandangan
dan pengemis. Melakukan koordinasi sudah merupakan tugas dan kewajiban
Satpol PP sebagai penyidik pegawai negeri sipil seperti yang telah
diamanatkan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP pasal 7 butir
(c) dan pasal 8 yaitu :
Pasal 7 butir (c) :
” Dalam melaksanakan tugasnya, polisi pamong praja wajib melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana”.
Pasal 8 :
” Sebagian anggota polisi pamong praja ditetapkan menjadi penyidik pegawai negeri sipil”.
Dalam pasal diatas, sudah jelas mengatur kewajiban Satpol PP yang harus
melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian tentang adanya tindak pidana.
Alasan tidak adanya dana tidak dapat dijadikan penghambat untuk menangkap
para pelaku gelandangan dan pengemis ini. Sudah seharusnya Satpol PP
menyadari akan kewajiban yang dimilikinya.
C. UPAYA DALAM MENGATASI FAKTOR PENGHAMBAT SATUAN
POLISI PAMONG PRAJA DALAM MELAKSANAKAN KEAMANAN
DAN KETERTIBAN TINDAK PIDANA GELANDANGAN DAN
PENGEMIS DI KOTA PEKANBARU.
7
Upaya yang dapat dilakukan oleh Satpol PP untuk mengatasi faktor
penghambat dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban tindak pidana
gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru menurut penuturan Budi Mulya,
adalah :95
1. Faktor penghambat ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman
Satpol PP ini dalam hal memberikan kewenangan yang luas kepada Satpol PP
untuk melakukan tindakan lebih lanjut terhadap penangkapan gelandangan
dan pengemis serta menjatuhkan hukuman bagi mereka, Satpol PP tidak dapat
melakukan hal banyak. Karena kewenangan ini telah diatur dalam peraturan
yang berlaku. Selain itu juga, kewenangan ini juga telah dibatasi oleh
kewenangan institusi lain yaitu kewenangan untuk melakukan penangkapan
dan menjatuhkan hukuman hanya dapat dilakukan oleh penegak hukum.
Koordinasi selama ini yang dilakukan oleh Satpol PP kepada pihak kepolisian
belum berjalan maksimal. Ini dapat dilihat dengan tidak adanya tindak pidana
gelandangan dan pengemis yang diajukan ke meja hijau. Padahal gelandangan
dan pengemis yang berhasil dijaring atau ditangkap cukup banyak. Selain itu,
sindikat gelandangan dan pengemis juga ada yang ditangkap oleh Satpol PP
tetapi tidak dilaporkan ke polisi.
2. Pada faktor pendanaan terhadap pemulangan dan tempat penampungan
sementara bagi para gelandangan dan pengemis ini, Satpol PP hanya dapat
memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang tidak adanya dana
95 Ibid.
7
yang tersedia guna pemulangan gelandangan dan pengemis ataupun tempat
sementara bagi gelandangan dan pengemis yang terjaring.
Budi Mulya mengatakan bahwa upaya untuk mengatasi faktor penghambat
pada pendanaan ini dapat dilakukan dengan cara Kepala Satpol PP mewakili
institusi memberitahukan kepada pemerintah daerah tentang keterbatasan dana
mengenai pemulangan dan tempat sementara bagi gelandangan yang terjaring
dalam rapat kerja yang dilakukan. Dengan cara ini, pemerintah daerah
menjadi tahu kendala yang selama ini dihadapi oleh Satpol PP. Dengan begitu
diharapkan untuk selanjutnya ada anggaran untuk keperluan tersebut.96
Budi Mulya menambahkan Kepala Satpol PP telah pernah memberitahukan
hal in dalam rapat pertanggungjawaban kerja yang dilakukan dengan
pemerintah daerah pada tahun 2009, namun hal ini masih dipertimbangkan
oleh pemerintah daerah mengingat dana mengenai penampungan dan tempat
sementara bagi gelandangan dan pengemis tersebut telah ada di Dinas Sosial.97
3. Dalam faktor masyarakat, Satpol PP akan melakukan tindakan kepada
masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan kepada para gelandangan
dan pengemis. Cara ini cukup efektif untuk meminimalisir ataupun
meniadakan kegiatan gelandangan dan pengemisan. Jika masyarakat tidak
memberikan uang atau sumbangan maka para gepeng ini tentunya tidak
mempunyai penghasilan dari kegiatan tersebut. Budi Mulya mengatakan,
96 Ibid.97 Ibid.
7
selama ini belum ada masyarakat yang ditindak dalam memberikan uang
kepada para gepeng. Dan dari pihak Satpol PP, selama melakukan razia
mereka juga tidak menemukan masyarakat yang memberikan uang. Hal ini
dikarenakan tidak adanya masyarakat yang tertangkap tangan waktu
memberikan uang atau sumbangan tersebut. Namun dalam kenyataanya hal
tersebut banyak dilakukan oleh masyarakat. Upaya dalam mengatasi faktor
penghambat ini, sangat baik jika dilakukan. Dengan menindak masyarakat
yang memberikan uang atau sumbangan ini, setidaknya memberikan jera
kepada masyarakat yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.
Tindakan Satpol PP untuk menindak masyarakat yang memberikan uang,
sumbangan, dan barang kepada gelandangan dan pengemis ini dapat
dilakukan dengan cara menangkap dan menyerahkannya kepada penegak
hukum untuk diberikan sanksi berdasarkan undang-undang yang ada yaitu
pasal 29 Perda kota Pekanbaru No. 12 Tahun 2008 Tentang ketertiban Sosial
yaitu pidana kurungan 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 50.000.000,-(lima puluh
juta rupiah). Tindakan ini diharapkan dapat dilakukan Satpol PP mengingat
sampai saat ini tidak adanya masyarakat yang ditindak dan yang diproses
secara hukum.
4. Faktor kurangnya koordinasi Satpol PP terhadap kepolisian dalam hal
adanya tindak pidana gelandangan dan pengemisan berhubungan
dengan keterbatasan dana yang tersedia, untuk mengatasi hambatan ini
Satpol PP hanya dapat melakukan pemberitahuan yang dalam hal ini
8
diwakili oleh Kepala Satpol PP kepada pemerintah daerah kota
Pekanbaru. Pemberitahuan ini bertujuan agar pada anggaran
selanjutnya mengalami peningkatan, sehingga faktor ini tidak menjadi
penghambat bagi Satpol PP dalam memberantas gelandangan dan
pengemis. Sejauh ini permasalahan tentang keberadaan gelandangan
dan pengemis di Pekanbaru hanya selesai dari tangan Satpol PP dan
Dinas Sosial saja. Hukuman-hukuman atau sanksi-sanksi seperti yang
tersebut dalam Perda ataupun KUHP tentang gelandangan dan
pengemis hanya sebatas uraian teori saja, pada kenyataannya Satpol
PP tidak diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bahkan
tidak ada hak untuk sekedar mengurung para gelandangan dan
pengemis untuk beberapa hari walaupun dengan alasan efek jera bagi
mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diungkap diatas, maka dapat ditarik kesimpulan
mengenai peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban gelandangan
dan pengemis di kota Pekanbaru, antara lain :
1. Peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana
gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru terdapat 2 (dua) peranan yaitu
peran preventif dan peran represif. Peran preventif ini ditunjukan Satpol PP
8
dengan cara melakukan sosialisasi, dan penyuluhan. Sedangkan peran represif
ditunjukan dengan cara melakukan razia, melakukan koordinasi dengan Dinas
Sosial, kepolisian, dan pihak lainnya dalam penanggulangan gelandangan dan
pengemis, serta mengungkap adanya sindikat kegiatan gelandangan dan
pengemis yang telah terorganisir.
2. Faktor penghambat Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban
tindak pidana gelandangan dan pengemis adalah faktor ketidaktegasan Perda
itu sendiri yang memberikan sanksi namun tidak memberikan jalan keluar
yang bijaksana mengenai penanganan gelandangan dan pengemis oleh piha-
pihak yang terkait, keterbatasan dana yang selalu dijadikan alasan pihak-pihak
terkait mengenai penanganan gelandangan dan pengemis sehingga selalu saja
dijadikan penghambat dalam penaganannya secara tuntas, faktor masyarakat
yang masih sering memberi sejumlah uang kepada gelandangan dan pengemis
di jalan raya , dan kurangnya koordinasi atau kerjasama antara Satpol PP
dengan pihak kepolisian sehingga sanksi yang terdapat di peraturan-peraturan
tertulis ( KUHP dan Perda ) mengenai gelandangan dan pengemis tidak
pernah berjalan sebagaimana mestinya.
3. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi faktor penghambat Satpol PP
melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis
adalah menindak masyarakat yang memberikan uang atau sumbangan kepada
para gelandangan dan pengemis, memberikan masukan kepada pemerintah
daerah tentang kurangnya dana untuk melakukan pemulangan dan tempat
8
sementara bagi gepeng yang terjaring. Dalam faktor penghambat
ketidaktegasan PP No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol PP
tidak banyak melakukan upaya. Ini karenakan telah adanya pengaturan
mengenai kewenangan Satpol PP dan dibatasi adanya kewenangan lain dari
penegak hukum. Faktor penghambat dalam melakukan koordinasi dengan
pihak kepolisian, Satpol PP mempunyai kendala pada dana yang dimiliki.
Untuk mengatasi faktor penghambat ini, Satpol PP hanya dapat memberikan
pemberitahuan kepada pemerintah daerah tentang keterbatasan dana agar
untuk anggaran selanjutnya pendanaan ini menjadi meningkat.
B. SARAN
Dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh Satpol PP dalam
melakukan keamanan dan ketertiban gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru,
maka dibawah ini ada beberapa saran yang dapat diambil sebagai masukan, antara
lain :
1. Bagi masyarakat sudah sepatutnya tidak memberikan uang atau sumbangan
untuk para gelandangan dan pengemis.
8
2. Bagi Satpol PP, tidak melakukan tindakan yang arogan kepada para
gelandangan dan pengemis. Hal ini karena mereka juga mempunyai HAM
yang harus dihormati.
3. Pemerintah daerah kota Pekanbaru lebih peka terhadap kekurangan yang
dimiliki institusi yang ada dibawahnya terutama mengenai pendanaan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdullah, Rozali, 2004, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia.
Dwiyanto, Agus, 2005, Kemiskinan dan Otonomi Daerah, Jakarta. Lipi Pers.
Dirdjosiswono, Soejono, 1997, Patologi Sosial, Bandung, Alumni.
Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Jakarta. CV. Mandar Maju.
8
Huda Miftahul, 2009, Pekerjan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta. CV. Maju.
Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika.
Ishaq, Isjoni, 2002, Masalah Sosial Masyarakat, Pekanbaru. Unri Press.
Kartono, Kartini, 2007, Patologi Sosial, Jakarta. Raja Grafindo Persada.
--------------------, 2005, Patologi Sosial, Jakarta, Raja Grafindo.
Mahasin, Aswab, 1994, Gelandangan: Pandangan Ilmu Sosial,Jakarta.Pustaka LP3ES Indonesia.
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, Jakarta.
Rasuanto, Bur, 2005, Keadilan Sosial, Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ramdlon, Naning, 1991, Problem Gelandangan Dengan Tujuan Psikologi, Bandung, Armico.
Simanjutak, B, 1981, Beberapa Aspek Pantologi Sosial, Bandung, Alumni.
------------------,1991. Beberapa Aspek Patologi Sosial, Bandung, Alumni.
Soejono, Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
------------------------, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta. PT. Rajawali Pers.
Suriangrat, Bayu,1990, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Jakarta.Rineka Cipta.
Soegijoko, Budhy Tjahjati sugijanto, 2005, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, Jakarta. Urban and Regional Development Institute (URDI).
Sastrawidjaja, Sofjan, 1990, Hukum Pidana, Cimahi, Amrico.
Triwulan, Titik Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka Raya.
8
Tri Kromo, Y Argo, 1999, Gelandangan dan Pengemis Yogyakarta, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Wirosardjono, Soetjipto, 1988, Gelandangan dan Pilihan Kebijaksanaan Penanggulangan, Jakarta, LP3ES.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja Presiden Republik Indonesia.
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Ketertiban Sosial.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan
Dan Pengemis.
WEBSITE
www.xa.yimg.com/kq/groups/21462668/gepeng+dan+wajah+pekanbaru.doc.http://www.docstoc.com. Kebijakan Pemerintah Dalam Menanggulangi Gepeng (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 09.00 Wib).
http://www. Gedesedana.wordpress.faktor terjadinya gelandangan dan pengemis (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 11.00 Wib).www.Satpol pohuwanto info.co/index (Terakhir Dikunjungi Tanggal 23 September 2010 Pukul 12.00 Wib).
http ://www.kebijakan pemerintah kota Semarang dalam pembinaan gelandangan (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 30 September 2010 Pukul 15.00 Wib).
8
http : //www.mitranews.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 10.00 Wib).http://elisatris.word press.com (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 2 September 2010 Pukul 14.00 Wib).
http://www.penanganan gepeng dikota-kota Indonesia (Terakhir Kali Dikunjungi Tanggal 29 September 2010 Pukul 09.00 Wib).
8
LAMPIRAN I :
DAFTAR WAWANCARA DENGAN SATPOL PP
1. Bagaimana peranan Satpol PP dalam melakukan keamanan dan ketertiban tindak
pidana gelandangan dan pengemis di kota Pekanbaru ?
2. Apa saja yang menjadi faktor penghambat bagi Satpol PP dalam melakukan
keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di kota
Pekanbaru ?
3. Apa upaya yang dilakukan Satpol PP untuk mengatasi faktor penghambat dalam
melakukan keamanan dan ketertiban tindak pidana gelandangan dan pengemis di
kota Pekanbaru ?
8
LAMPIRAN II :
DAFTAR WAWANCARA DENGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1. Apa yang melatarbelakangi para gelandangan dan pengemis melakukan
kegiatan gelandangan dan pengemisan ?
2. Pernahkah para gelandangan dan pengemis ini ditangkap oleh Satpol PP kota
Pekanbaru ?
3. Apa saja yang dilakukan oleh Satpol PP pada saat para gelandangan dan
pengemis ini ditangkap ?
4. Pernahkah para gelandangan dan pengemis ini diberikan sosialisasi atau
penyuluhan oleh Satpol PP ?
5. Apa sanksi yang diberikan petugas Satpol PP pada saat para gelandangan dan
pengemis ini ditangkap ?
8