Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

63
Health Technology Assessment Indonesia Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV [Hasil kajian HTA tahun 2009] Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010 Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Transcript of Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

Page 1: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

Health Technology Assessment Indonesia

Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan

Penyebaran HIV

[Hasil kajian HTA tahun 2009]

Dipresentasikan pada Konvensi HTA 16 Juni 2010

Dirjen Bina Pelayanan Medik KEMENTRIAN KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

Page 2: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

2

PANEL AHLI

1. Prof.DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI)

RS Dr. Soetomo, Surabaya

2. Dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS (K) Ikatan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) Divisi Bedah Saraf, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Jakarta

3. Dr. Kiki MK Samsi, SpA RSIA kemang Medical Care, Jakarta

4. Dr. Bagus Rahmat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Jakarta

5. Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Alergi dan Imunologi, Departemen IKA FKUI/RSCM, Jakarta

6. Dr. Sukamto Koesnoe, SpPD (K) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta

7. Dr. Yuyun Soedarmono, MSc. Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia, Jakarta

8. Dr. Ahmad Riviq Said, SpAn Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia, Jakarta

9. Dr. Omo Abdul Madjid, SpOG (K) Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Divisi Obstetri Ginekologi Sosial, Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN 1. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I

2. Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II

3. Dr. K Mohammad Akib, SpRad, MARS Anggota

4. Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota

5. Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota

Page 3: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

3

6. Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota

7. Dr. Ady Thomas Anggota

8. Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota

9. Dr. Titiek Resmisari Anggota

10. Dr. Dimas Seto Prasetyo Anggota

11. Dr. Muthia Sari Anggota

Page 4: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

4

Kajian HTA

SKRINING HIV DI RUMAH SAKIT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYEBARAN HIV

1. Latar Belakang

Pada tahun 2008, di seluruh dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup

dengan HIV. Sejak awal epidemi HIV pada tahun 1981, 25 juta orang meninggal

akibat AIDS. Setiap harinya terdapat 7.400 infeksi baru HIV, 96% dari jumlah

tersebut berada di negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Daerah

subsahara di Afrika merupakan daerah dengan prevalens HIV terbesar,

mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang yang hidup dengan HIV dan 75%

dari jumlah total kematian akibat AIDS. Daerah Asia Tenggara, termasuk di

dalamnya Asia Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV

dengan jumlah penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan

wanita. Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV

yang besar selain Thailand, Myanmar, Nepal, dan India. Di negara-negara ini,

prevalens HIV tinggi di kelompok pekerja seks dan pasangannya, laki-laki yang

berhubungan seksual dengan sesama laki-laki, dan pengguna obat suntik. Angka

epidemi HIV di Indonesia cenderung meningkat dengan cepat sementara di

negara lain justru stabil atau menurun.1

Gambar 1 Distribusi HIV di dunia2

Page 5: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

5

Secara global, jumlah infeksi baru HIV pada tahun 2008, distribusi kasus

HIV/AIDS pada orang dewasa dan anak, serta angka kematian akibat AIDS pada

orang dewasa dan anak hingga tahun 2008 disajikan dalam gambar 2,3,4, dan 5.

Gambar 2 Perkiraan jumlah kasus HIV anak dan dewasa hingga tahun 20083

Gambar 3 Perkiraan jumlah anak dan orang dewasa hidup dengan HIV3

Page 6: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

6

Gambar 4 Perkiraan jumlah infeksi baru HIV pada orang dewasa dan anak3

Gambar 5 Perkiraan kematian akibat AIDS3

Di Indonesia, terdapat kecenderungan kenaikan jumlah kasus HIV dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2008, sebanyak 4.969 kasus baru HIV dilaporkan dan

dari tahun 2000 hingga Maret 2009, tercatat secara kumulatif 16.949 kasus baru

HIV. Dilihat dari proporsi berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS banyak

dilaporkan pada laki-laki yaitu 74,5%, sementara 25% pada wanita.4

Sejak tahun 2000, prevalensi HIV di Indonesia ditemukan mulai konstan di

atas 5% pada populasi kunci, seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, waria,

LSL, sehingga dikatakan Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi. Hasil

Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) tahun 2007, prevalensi rata-rata

Page 7: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

7

HIV pada berbagai populasi kunci tersebut adalah sebagai berikut: WPS langsung

10,4%; WPS tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8% (hasil

survey dari 6 kota pada populasi pelanggan WPS yang terdiri dari supir truk, anak

buah kapal, pekerja pelabuhan dan tukang ojek, dengan prevalens berkisar

antara 0,2%-1,8%); lelaki seks dengan lelaki (LSL) 5,2%; pengguna napza suntik

52,4%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat terdapat pergerakan ke arah

generalized epidemic yang dipicu oleh seks tidak aman dengan prevalensi HIV

sebesar 2,4% pada penduduk usia 15-49 tahun.5

Penyebaran HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci di mana

penularan terjadi melalui perilaku yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik

yang tidak steril pada kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) dan perilaku

seks yang tidak aman baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual.

Namun, jika tidak ditangani dengan cepat maka tidak mustahil penularan HIV

akan menyebar secara luas kepada masyarakat seperti yang telah terjadi di

Papua.4

Kurva Indonesia pada gambar 6 menggambarkan kenaikan prevalens

kasus HIV pada orang dewasa. Jika jumlah penduduk Indonesia 220 juta, maka

jumlah orang dewasa diperkirakan 110 juta (berdasarkan piramida penduduk).

Berdasarkan kurva di atas, jumlah kasus HIV 0,2 % x 110 juta = 220.000 kasus

pada tahun 2007. Angka ini tidak terlalu besar dibandingkan kasus di negara

lainnya, namun sejak tahun 2000 kurva prevalensi Indonesia cenderung terus

meningkat dari tahun ke tahun sementara kurva negara lain cenderung stabil atau

menurun. Kenaikan ini merisaukan.

Gambar 6 Pertumbuhan kasus HIV di negara Asia Tenggara1

Page 8: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

8

Gambar 7 Peta Epidemi HIV di Indonesia 6

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa peta penyebaran AIDS di Indonesia

telah meliputi semua provinsi karena kemudahan transportasi sekarang ini.

Kenyataan bahwa perpindahan orang dengan memanfaatkan sarana transportasi

tidak dapat dicegah. Selain itu peta di atas juga memperlihatkan bahwa epidemi

HIV di Indonesia bervariasi antar wilayah. Kecuali di Papua, epidemi HIV pada

sebagian besar provinsi di Indonesia masih terkonsentrasi pada populasi kunci,

dengan prevalensi >5%. Di Provinsi Papua dan Papua Barat, epidemi sudah

memasuki masyarakat dengan prevalensi berkisar 1,36%-2,41%.6

Dilihat dari cara penularan, proporsi penularan HIV melalui hubungan

seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu

mencapai 60%. Sedangkan penularan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan

sebagian lainnya tertular melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah serta

melalui pajanan saat bekerja. Kecenderungan penularan infeksi HIV di seluruh

propinsi prioritas hampir sama, kecuali di Papua dimana mayoritas di akibatkan

karena hubungan seksual beresiko tanpa kondom yang dilakukan kepada

pasangan tetap maupun tidak tetap.4

Berdasarkan studi modeling dampak yang dilakukan Kaldor dkk,7

diramalkan Indonesia pada tahun 2025 akan memasuki fase generalised

epidemic dengan 1,95 juta orang dengan HIV/AIDS, prevalensi HIV pada orang

dewasa di Indonesia akan lebih dari 1%, dengan 1,5 juta kematian. Papua akan

menjadi wilayah yang paling berat derajat epideminya yaitu prevalensi HIV pada

populasi orang dewasa akan mencapai 7%, dengan 166.000 yatim piatu,

peningkatan biaya pelayanan kesehatan karena 27% tempat tidur RS akan dihuni

pasien HIV sedangkan di Papua angka tersebut pada tahun 2025 adalah 80%.

Pada posisi tersebut pengendalian epidemi akan semakin rumit, sulit dan

menghabiskan biaya dan tenaga yang amat besar.

Page 9: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

9

Tanpa upaya yang serius, pada tahun 2025 di Indonesia akan ada 1,95

juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA), di mana 145.000 orang akan terdapat di

Papua dan sisanya tersebar di propinsi lain yang disebabkan terbatasnya

penggunaan obat antiretroviral baik untuk pengobatan maupun pencegahan

transmisi dari ibu ke janin.7

Jika epidemi ini terus meluas tanpa peningkatan usaha pencegahan, biaya

perawatan pasien HIV dengan infeksi oportunistik dan pengadaan obat

antiretroviral akan meningkat. Pada tahun 2025, biaya pengobatan pasien

HIV/AIDS di Indonesia mencapai lebih dari 3.210 milyar rupiah.7

Gambar 8 Prediksi pertumbuhan kasus HIV/AIDS di propinsi selain Papua7

Gambar 9 Prediksi pertumbuhan kasus HIV/AIDS di Papua7

Page 10: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

10

Salah satu upaya dalam strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS di

Indonesia tahun 2010-2014 adalah program pelayanan konseling dan testing HIV

sukarela (Voluntary Counselling and Testing-VCT). Diharapkan seluruh populasi

kunci mendapat pemeriksaan HIV melalui pelayanan ini. Sejak tahun 1994 hingga

tahun 2008, jumlah layanan VCT terdapat sebanyak 547 unit, baik yang

dilaksanakan oleh pemerintah (383) maupun swasta dan masyarakat (164). Di

daerah yang terjangkau kegiatan pencegahan layanan VCT mengalami

peningkatan. Dalam kurun waktu 2004-2007 terjadi peningkatan layanan VCT

terhadap populasi kunci: Pada wanita penjaja seks (WPS) dari 27% menjadi 41%;

pelanggan WPS dari 6% menjadi 10%; Waria dari 47% menjadi 64%; LSL (laki-

laki berhubungan seksual dengan laki-laki) dari 19% menjadi 37% dan penasun

dari 18% menjadi 41%.8

Tabel 1 Positif rate di beberapa VCT di Indonesia (hingga 30 Juni 2009)9

Provinsi Klinik

VCT

Kunjungan Tes Pascates Positif HIV Tingkat positif

di klinik VCT

Sumatera Utara 7 28.084 23.323 21.830 2.389 10,9

Sumatera

Selatan

7 20.491 20.242 20.219 402 2,0

Banten 7 11.106 6.670 5.693 1.653 29,0

DKI Jakarta 7 27.975 16.576 15.769 6.356 40,3

Jawa Barat 12 22.020 15.118 13.726 2.639 19,2

Jawa Tengah 12 29.447 22.119 18.680 1.348 7,2

DI Yogyakarta 6 7.736 6.648 5.995 663 11,1

Jawa Timur 17 35.724 31.219 29.293 3.868 13,2

Kalimantan

Barat

13 28.686 27.987 26.995 1.709 6,3

Kalimantan

Timur

4 17.486 14.906 13.087 449 3,4

Sulawesi Utara 8 28.458 17.471 17.180 1.362 7,9

Sulawesi

Selatan

5 16.008 14.222 13.891 907 6,5

Nusa Tenggara

Timur

3 10.827 10.193 9.993 318 3,2

Nusa Tenggara

Barat

4 13.818 12.742 12.201 202 1,7

Papua Barat 1 3.569 2.899 2.345 462 19,7

Papua 4 19.200 12.811 12.160 1.437 11,8

Bali 13 7.765 6.210 6.151 1.243 20,2

Kepulauan Riau 3 5.177 3.066 2.882 659 22,9

Riau 2 3.119 1.812 1.673 194 11,6

Total 135 336.696 266.234 249.763 28.260 11,3

Page 11: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

11

Sejak tahun 2007, upaya pencegahan penularan HIV melalui ibu ke bayi

telah dilaksanakan dalam skala yang masih terbatas, khususnya di daerah

dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Hingga tahun 2008 telah tersedia layanan

PMTCT (prevention of mother to child transmission) sebanyak 30 layanan yang

terintegrasi dalam layanan KIA (Antenatal Care). Jumlah ibu hamil yang mengikuti

test HIV sebanyak 5.167 orang, sebagian melalui VCT dan sebagian lainnya

melalui PITC, di mana 1.306 (25%) diantaranya positif HIV. Namun baru 165

orang atau 12,6% yang memperoleh profilaksis antiretroviral (ARV) yang

dilaksanakan di 30 unit layanan. Program PMTCT juga telah dilaksanakan oleh

beberapa lembaga masyarakat khususnya untuk penjangkauan dan memperluas

akses layanan ke PMTCT.8

Untuk mencegah transmisi HIV lewat transfusi darah, maka semua darah

donor harus dilakukan skrining HIV. Dan sejak tahun 1992, Unit Pelayanan Darah

Transfusi telah melakukan skrining HIV terhadap setiap kantong darah yang

diperoleh dari donor.10

Pada tahun 2006, Centre for Disease Control and Prevention (CDC)

mengeluarkan rekomendasi untuk melakukan skrining HIV rutin di sarana

pelayanan kesehatan tanpa melalui konseling. Cara ini dianggap lebih efektif

dalam menjangkau pasien baru karena dengan menjadikan tes HIV sebagai

prosedur rutin di sarana pelayanan kesehatan maka persentase pasien dengan

hasil tes HIV positif yang dapat dideteksi secara dini lebih tinggi dibandingkan

metode konseling terhadap orang dengan faktor risiko, terjadi destigmatisasi

terhadap orang yang diperiksa, dapat memberikan akses yang lebih cepat dan

lebih dini terhadap terapi bagi pasien baru serta menurunkan perilaku risiko tinggi

ketika pasien tahu status HIV-nya.11

Metode skrining di Indonesia belum memberikan hasil yang memuaskan.

Masih ada metode skrining selain VCT yang sudah diterapkan di luar negeri yang

mungkin dapat diaplikasikan di Indonesia. Tetapi dengan fasilitas dan sumber

daya yang terbatas, program yang dirancang belum dapat dipastikan

keberlangsungannya. Untuk itu perlu ditetapkan prioritas sasaran populasi mana

saja yang akan dilakukan skrining. Dalam hal penyediaan darah di PMI, misalnya,

tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan Permenkes tentang kewajiban

skrining HIV terhadap darah donor, dalam hal pemenuhan kebutuhan tenaga,

peralatan maupun reagensia untuk skrining darah terhadap HIV oleh pemerintah.

Dengan adanya keterbatasan tenaga terlatih, peralatan serta reagensia, maka di

Indonesia skrining darah donor sebagian besar masih ditujukan pada deteksi

antibodi HIV dengan metoda cepat, dan sebagian lainnya ditujukan baik pada

antibodi maupun antigen HIV dengan metoda ELISA.

Untuk itu, Health Technology Assessment melakukan pengkajian terhadap

model, metode, sasaran dan cara skrining HIV guna memberikan rekomendasi

Page 12: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

12

kepada pemerintah dan pihak rumah sakit dalam mengambil kebijakan yang

efektif dan efisien dalam rangka menurunkan progresivitas penyakit dan epidemi

di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan aspek etikolegal dan sosiokultural.

2. Tujuan

Tujuan dari dilakukannya pengkajian ini adalah:

1. Tersusunnya rekomendasi mengenai skrining HIV di rumah sakit yang

meliputi:

• Target populasi

• Tatalaksana testing

• Metode dan reagens

• Tindak lanjut jika hasil positif

o Test konfirmasi

o Konseling

2. Diketahuinya biaya skrining, dilengkapi proyeksi biaya yang dibutuhkan di

Indonesia.

3. Metode Pengkajian

a. Metode pencarian literatur

Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, New England Journal of

Medicine, British Medical Journal, Annals of Internal Medicine, Cochrane library.

Informasi juga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh

World Health Organization (WHO), Badan Pusat Statistik, Komisi

Penanggulangan AIDS, Centers for Disease Control and Prevention (CDC).

Kata kunci yang digunakan adalah informed consent for HIV testing,

counseling for HIV, HIV screening, HIV among healthcare worker, stigmatization

on HIV patient, mandatory HIV testing .

b. Penggolongan literatur

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence-based

medicine, ditentukan level of evidence dan tingkat rekomendasi. Level of evidence

dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish

Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh

US Agency for Health Care Policy and Research.

Page 13: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

13

Tingkat pembuktian (Level of evidence):

Ia. Meta-analysis of randomized clinical controlled trials.

Ib. Minimal satu randomized clinical controlled trials.

IIa. Minimal satu non-randomized clinical controlled trials.

IIb. Cohort dan Case control studies

IIIa. Cross-sectional studies

IIIb. Case series dan case report

IV. Konsensus dan pendapat ahli

Tingkat rekomendasi :

A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib

B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb

C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb atau IV

4. Tinjauan Pustaka Skrining HIV

a. Patogenesis infeksi HIV

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif.12

b. Perjalanan penyakit HIV

Infeksi HIV tidak akan langsung menunjukkan tanda atau gejala tertentu.

Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu

setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi

akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik. Masa tanpa gejala ini umumnya

berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang

perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar dua tahun, dan ada pula

yang perjalanannya lambat (non-progressor).12

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai

menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan

menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,

tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain.12

Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak

menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang

terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik

yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik

Page 14: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

14

(tanpa gejala) sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.

Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan

mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan

limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar

replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.12

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel

setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,

muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran

limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.12

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari

80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung

juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan

biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya

penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.

Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan

lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat

menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan

penyakitnya biasanya lebih progresif.12

Transmisi HIV dari satu orang ke orang lain dapat melalui berbagai jalur,

antara lain:

1. Transmisi melalui jalur hubungan seksual

Infeksi HIV dapat menular melalui hubungan seksual, baik

heteroseksual maupun homoseksual. Namun pada tahun 2005, ketika

dilakukan survei di Amerika Serikat, 49% kasus infeksi HIV ditemukan pada

pasangan homoseksual. Virus HIV dapat ditemukan di cairan semen, sediaan

apus serviks, dan cairan vagina. Selain itu, ditemukan kaitan yang erat antara

infeksi HIV dengan hubungan seks anogenital. Berbagai macam infeksi

menular seksual yang menimbulkan ulserasi di daerah genital juga

meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Oleh karena itu,

penatalaksanaan infeksi menular seksual dapat mencegah penularan HIV.

Selain itu, pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa pria yang disunat

memiliki risiko penularan HIV yang lebih rendah dibandingkan pria yang tidak

disunat.13

Page 15: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

15

2. Transmisi melalui darah, produk darah, dan organ donor

Infeksi HIV dapat menular kepada seseorang yang menerima darah

atau produk darah yang terkontaminasi HIV.14 Lima sampai sepuluh persen

dari infeksi HIV di dunia ditularkan melalui transfusi dari darah dan produk

darah terkontaminasi HIV.15 Selain itu, HIV juga bisa menular melalui

pemakaian alat medis (suntikan dan jarum, mesin dialisis) bersama dengan

pasien HIV.13 Melalui skrining serologis rutin terhadap darah, penurunan

resiko diterimanya darah yang terinfeksi menjadi 1/660.000 unit untuk HIV-

1.16

Diperkirakan di Amerika Serikat, risiko penularan HIV melalui jalur

transfusi darah sekitar 1 per 1,5 juta darah donor. Risiko penularan melalui

jalur transfusi darah tidak dapat dihilangkan sepenuhnya oleh karena

teknologi saat ini belum mampu mendeteksi RNA HIV dalam kurun waktu 1 -

2 minggu setelah terinfeksi karena rendahnya jumlah virus dalam darah.

Belum pernah dilaporkan adanya penularan HIV-2 melalui transfusi darah

atau transplantasi organ di Amerika Serikat. Saat ini, terhadap seluruh darah

donor dilakukan skrining terhadap antibody HIV-1 dan HIV-2. Penularan HIV

melalui darah atau produk darah masih merupakan ancaman di negara

berkembang, khususnya di negara-negara di sub-Sahara Afrika, yang tidak

rutin melakukan skrining terhadap darah donor.13

Penularan HIV di pusat dialisis pernah diteliti di Columbia, Amerika

Serikat. Dalam suatu penelitian di beberapa pusat dialisis di Columbia,

Amerika Serikat, pada tahun 1993, dari 59 sampel darah yang diperiksa,

didapatkan 13 sampel darah yang positif HIV dan memiliki kemiripan susunan

virus DNA. Hal ini mengindikasikan terjadinya penularan infeksi HIV di pusat

hemodialisis.17

Pada tahun 2008, PMI melakukan pemeriksaan skrining darah donor

dan hasilnya disajikan pada tabel 2.

Page 16: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

16

Tabel 2 Skrining Darah Tahun 2008

Selain darah dan produk darah, HIV dapat menular melalui jalur

transplantasi organ. Simonds18 tahun 1993 melaporkan bahwa terjadi

transmisi HIV melalui transmisi ginjal (50 kasus), hati (13 kasus) jantung (6

kasus) pankeras (1 kasus), tulang (4 kasus), dan kulit (1 kasus). Kecuali 14

kasus, seluruh kasus transmisi HIV lainnya terjadi pada saat belum

diberlakukannya aturan skrining antibody HIV rutin terhadap organ donor.

Selain itu, juga dilaporkan transplantasi organ terhadap resipien yang HIV

positif sebanyak 24 kasus. Transplantasi yang tidak menularkan HIV yang

dilakukan dari donor yang HIV positif dilaporkan terjadi pada resipien kornea

(9 kasus), tulang (26 kasus), jaringan musculoskeletal lainnya (3 kasus),

duramater (3 kasus), dan ginjal (2 kasus). Dari 40 resipien dengan infeksi

yang terkait transplantasi yang dilakukan tes HIV dalam waktu 6 bulan setelah

transplantasi, 34 (85%) didapati positif; hanya 1 resipien yang hasilnya tetap

negatif setelah 6 bulan pascatransplantasi. Dari situ, Simonds berkesimpulan

bahwa dengan skrining yang saat itu dilakukan, transmisi HIV melalui jalur

transmisi jarang terjadi. Risiko transmisi tampaknya lebih rendah pada

resipien jaringan avaskuler. Respons antibody terhadap infeksi HIV pada

resipien organ yang menerima terapi imunosupresif sama seperti yang

dilaporkan pada orang lain yang terinfeksi.

Yang diperiksa Jumlah Pemeriksaan Positif %

HBsAg 1.311.419 27.976 2.13

Sifilis 1.299.410 5.863 0.45

HCV 1.277.701 7.206 0.56

HIV 1.261.439 736

(Pos +

Indeterminate)

0.06 (RR)

1.310

(yang dirujuk

ke UTDP)

0.10 (IR)

2.739

(Laporan UTDC)

0.22 (IR)

Page 17: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

17

3. Transmisi karena faktor pekerjaan

Faktor pekerjaan juga dapat menjadi faktor yang dapat

mentransmisikan infeksi HIV. Pekerjaan yang berhubungan dengan materi

biologis yang mengandung HIV berisiko menjadi media transmisi HIV.

Pekerjaan tersebut antara lain pekerja di laboratorium, tenaga kesehatan

seperti perawat, atau bahkan pekarya. Mereka pada umumnya tertular HIV

secara tidak sengaja akibat tertusuk jarum atau alat tajam bekas digunakan

pada pasien HIV atau terkena cairan tubuh yang infeksius. Risiko tertular HIV

melalui tusukan jarum mencapai 0,3% sementara risiko tertular HIV bila kulit

atau mukosa yang tidak intak terkena darah mencapai 0,09%. Penularan HIV

melalui kulit yang intak belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan lebih

rendah dibandingkan risiko penularan melalui paparan terhadap membran

mukosa. Cairan tubuh yang dianggap infeksius seperti cairan serebrospinal,

sinovial, pleura, peritoneal, dan amnion. Risiko tertular HIV melalui cairan ini

belum pernah didokumentasikan namun diperkirakan lebih rendah bila

dibandingkan tertular melalui darah. Bahan biologis lainnya seperti feses,

sekret nasal, saliva, sputum, keringat, air mata, urin, dan muntahan dianggap

tidak menjadi sumber infeksius kecuali bila jelas terlihat adanya darah. Kasus

penularan HIV dari pasien ke pasien serta dari tenaga kesehatan ke pasien

diperkirakan disebabkan kurang optimalnya pengendalian infeksi di rumah

sakit serta penggunaan kembali alat-alat medis yang terkontaminasi oleh

HIV.13

Mayoritas kasus di mana terjadi paparan terhadap infeksi HIV dan

serokonversi di tempat pelayanan kesehatan adalah melalui needle-stick

injury.13,19 Oleh sebab itu, penanganan yang tepat terhadap benda-benda

medis yang tajam dapat mengurangi penularan HIV melalui jalur ini secara

signifikan.13 Di negara maju, angka kejadian needle-stick injury berkisar

antara 13 - 15,4%. Angka kejadian needle-stick injury di negara berkembang

sangat sedikit diketahui dan mungkin terdapat bentuk transmisi HIV yang lain

di lingkungan tempat pelayanan kesehatan. Oleh karena pelatihan terhadap

tenaga kesehatan di negara berkembang lebih kurang dibandingkan dengan

di negara maju serta penyediaan perlengkapan pelindung diri yang kurang,

kemungkinan terjadinya paparan infeksi HIV lebih tinggi.20

4. Transmisi maternal-fetal

Infeksi HIV bisa ditransmisikan dari ibu yang terinfeksi ke fetus ketika

dalam kandungan, proses persalinan, dan menyusui. Suatu penelitian

memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anaknya saat

dalam kandungan sebesar 23-30%, ketika proses persalinan 50-65%, dan

Page 18: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

18

saat menyusui 12-20%. Di negara industri, transmisi HIV dari ibu ke fetus

sebesar 15-25% sementara di negara berkembang sebesar 25-35%.

Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam

plasma ibu. Hasil suatu penelitian di Amerika Serikat menunjukkan dengan

kadar virus dalam plasma sebesar <1000 kopi/mL, angka transmisinya 0%;

sementara dengan kadar virus sebesar 1000-10.000 kopi, angka transmisinya

16,6%; angka transmisi menjadi 21,3% bila kadar virus dalam plasma 10.001-

50.000 kopi/mL;30,9% dengan kadar virus 50.001-100.000 kopi/mL; dan

40,6% bila kadar virus >100.000 kopi/mL. Namun belum pernah ditentukan

nilai ambang terendah dimana tidak terjadi infeksi.13

5. Transmisi dari cairan tubuh lain

Meski HIV dapat diisolasi dalam titer yang rendah dari saliva seorang

pengidap HIV, tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa saliva dapat

menularkan infeksi HIV. Saliva sendiri mengandung faktor antivirus endogen

seperti IgA, IgG, dan IgM yang spesifik terhadap HIV yang dapat dideteksi

pada pengidap HIV. Diduga glikoprotein besar seperti musin dan

thrombospondin-1 dapat menggumpalkan HIV untuk dikeluarkan. Selain itu,

terdapat suatu senyawa bernama secretory leukocyte protease inhibitor

(SLPI) yang menghambat infeksi HIV pada suatu percobaan in vitro, dan

substansi tersebut terdapat dalam saliva dalam kadar yang dibutuhkan untuk

menghambat HIV secara in vitro. Oleh karena itu, tingginya kadar SLPI pada

bayi yang menyusu dikaitkan dengan penurunan risiko transmisi HIV lewat

ASI. Selain itu, diperkirakan saliva submandibula mampu mengurangi tingkat

infektifitas HIV serta mampu melisiskan sel yang terinfeksi HIV. Transmisi HIV

melalui gigitan manusia dapat terjadi namun hal ini jarang terjadi. 13

Meskipun virus dapat diidentifikasi dari cairan tubuh manapun, tidak

terdapat bukti bahwa transmisi HIV dapat terjadi akibat paparan terhadap air

mata, keringat, dan urin. Namun pernah dilaporkan terjadinya transmisi HIV

akibat terkena cairan tubuh yang mungkin telah terkontaminasi dengan darah.

Mayoritas kondisi ini terjadi pada hubungan yang sangat erat, seperti pada

perawatan intensif terhadap pasien yang terinfeksi HIV tanpa memperhatikan

kewaspadaan universal dalam menangani cairan tubuh atau kotoran pasien

dengan HIV.13

Page 19: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

19

c. Pemeriksaan laboratorium HIV

Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah

seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karena infeksi pada HIV gejala

klinisnya dapat baru terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.12

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan

diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan

serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk

mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat

dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi

genetik dalam darah pasien.12

Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan

terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring, biasanya digunakan teknik ELISA

(enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding

assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA.12

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini

yaitu adanya masa jendela (window period). Masa jendela adalah waktu sejak

tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan

pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi pada

periode ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV

dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko

terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiga bulan

kemudian.12

World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu

dari tiga strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV seperti disajikan pada tabel 3

dan gambar 10.12

Page 20: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

20

Tabel 3 Strategi pemeriksaan HIV menurut WHO

Tujuan Pemeriksaan Prevalensi infeksi

HIV

Strategi pemeriksaan

Keamanan transfusi dan

transplantasi

Semua prevalensi I

Surveillance >10% I

≤10% II

Diagnosis Bergejala infeksi

HIV/AIDS

>30% I

≤30% II

Tanpa gejala >10% II

≤10% III

Gambar 10 Strategi pemeriksaan HIV21

Page 21: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

21

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, hanya dilakukan

satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai

kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan nonreaktif dianggap tidak

terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus

memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%).12

Strategi II menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada

pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama

hasilnya nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama

menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan

kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau

tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan

kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil

pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang

dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai

indeterminate.12

Strategi III menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan

pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien

tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya

hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes ketiga nonreaktif, atau tes

pertama reaktif, sementara tes kedua dan ketiga nonreaktif, maka keadaan ini

disebut sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki

riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila

hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat

pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan

dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan

ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki

spesifisitas yang lebih tinggi.12

Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan

dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya

infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot

(WB).12

Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus

mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat informasi

yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil

keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil

tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena

orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil tesnya.12

Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik

hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi

Page 22: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

22

mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara

pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan

untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak

berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan

laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi

atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.12

5. Skrining HIV

Skrining HIV mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu

populasi tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan

HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi

HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk

dilakukan skrining, karena: 11

1. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum

timbulnya gejala.

2. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif.

3. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila

pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.

4. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan

diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita

hamil, skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan

pemeriksaan berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah

penularan perinatal.

Saat ini terdapat kontroversi mengenai kapan harus memulai terapi ARV.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa menunda terapi, lebih baik dibandingkan

bila memulai terapi ARV sesegera mungkin.22 Penundaan terapi ARV

dimaksudkan untuk menghindari efek toksik obat, menyiapkan cadangan obat bila

terjadi resistensi kelak, dan menghindari ketidaknyamanan pasien yang menerima

banyak obat untuk jangka panjang.23 Di sisi lain, pengobatan ARV lebih awal

diperkirakan dapat menjaga fungsi sistem imun dan mengurangi risiko transmisi

virus.24

Suatu studi kohort mengenai pelaksanaan program PMTCT di Ukraina oleh

Thorne dkk25 (2000 - 2006) pada 3.356 wanita hamil, yang 21% di antaranya

pernah atau sedang memakai narkoba suntik. Kebanyakan dari mereka

didiagnosis HIV saat kunjungan antenatal dan perbandingan antara klien yang

didiagnosis saat trimester pertama dan trimester kedua meningkat, dari 47% pada

tahun 2000/2001 menjadi 73% di tahun 2006/2007 (p < 0,001). Persentase wanita

yang tidak menerima profilaksis antiretroviral sama sekali menjadi berkurang, dari

18% di tahun 2001 menjadi 7% di tahun 2007 (p < 0,001). Angka bedah sesar

Page 23: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

23

(sectio caesarean-SC) elektif relatif stabil, sekitar 34%. Angka transmisi HIV dari

ibu ke anak berkurang dari 15,2% di tahun 2001 (interval kepercayaan 95%;

10.2–21.4) menjadi 7,0% di tahun 2006 (interval kepercayaan 95%; 2.6–14.6).

Sesudah dilakukan penyesuaian terhadap berbagai macam faktor perancu

disimpulkan bahwa penularan HIV dari ibu ke anak berkurang 43% dengan SC

elektif dibandingkan persalinan pervaginam dan 75% dengan profilaksis zidovudin

dibandingkan tanpa profilaksis.

Penelitian oleh Kitahata dkk26 (2005) membandingkan antara pengidap HIV

asimtomatik yang mendapat terapi ARV lebih awal (dalam waktu 6 bulan) dengan

pengidap HIV yang menunda terapi ARV pada subkelompok yang dibagi

berdasarkan kadar CD4 351-500 sel/mm3 dan CD4 > 500 sel/mm3. Di masing-

masing subkelompok tersebut, diperbandingkan lagi antara pemberian ARV pada

saat kadar CD4 masih di atas nilai tersebut (kelompok yang memulai terapi ARV

lebih awal) dengan pemberian ARV pada saat kadar CD4 di bawah nilai tersebut

(kelompok yang menunda terapi ARV). Hasilnya, pada tiap subkelompok, risiko

meninggal pada pengidap HIV yang menunda pemberian ARV meningkat sebesar

69% dan 94%. Pada anak, diagnosis HIV dan pemberian ARV lebih awal

mengurangi mortalitas sebesar 75% dan progresivitas HIV sebesar 75%.27

Manfaat yang didapat dari memulai terapi ARV lebih awal harus diimbangi

dengan antisipasi terhadap efek samping obat yang mungkin terjadi. ARV yang

baru yang lebih poten memiliki efek samping yang lebih sedikit, dan tidak perlu

diminum sesering mungkin dapat meningkatkan kepatuhan berobat sehingga

dapat menekan perkembangan virus pada tingkat yang rendah. Selain itu,

memulai terapi pada kadar CD4 tinggi dapat menurunkan risiko terjadinya efek

toksik terkait ARV, seperti neuropati, anemia, dan insufisiensi ginjal.26

a. Model Skrining

Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara

lain:28

1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)

Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui

status HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program

pencegahan HIV. Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun

berkelompok. UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya

dapat diketahui segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling

pasca tes baik untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.28

Page 24: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

24

2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan

gejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS,

termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin.28 Pada

pemeriksaan ini, pasien sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga

pasien dapat memutuskan apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau

tidak. Untuk keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan,

seperti pasien psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan dapat

dilakukan bila hasilnya bermanfaat bagi pasien. Jika ini terjadi, harus ada usaha

untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pasien dan

memberitahukan hasil tersebut dengan konseling.29

3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated

Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang:

- Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS)

di klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).28, 70

- Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah

transmisi dari ibu ke bayi.28

- Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV

yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.28

Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk

mendukung sistem perujukan ke pelayanan konseling pascates HIV bagi semua

pasien yang diperiksa, yang menekankan pada pencegahan dan pemberian

dukungan medis serta psikososial bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada

pemeriksaan jenis ini, juga dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja

tidak penuh seperti pada pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal yang

harus diketahui pasien pada saat melakukan informed consent adalah:

- Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan.

- Hak untuk menolak.

- Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan.

- Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi

keharusan untuk menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko

yang mungkin tidak sadar bahwa mereka terpajan dengan HIV.

Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya

untuk tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga

medis juga dapat menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk

memberikan profilaksis antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke

bayi. Konseling pada situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit ”memaksa”

ibu untuk mengikuti program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi

tersebut, pasien tetap memiliki hak untuk menolak.28

Page 25: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

25

4. Skrining HIV wajib

UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan

penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan

untuk transfusi atau pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan

sebelum dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan

cairan atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan

transplantasi organ.28,29

UNAIDS/WHO tidak mendukung pemberlakuan skrining wajib pada tingkat

pelayanan kesehatan individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya

dapat mengubah perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain.

Menyadari bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk

tujuan imigrasi dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan wajib untuk

perekrutan dan pemantauan kesehatan tentaranya, UNAIDS/WHO

merekomendasikan agar pemeriksaan tersebut dilakukan hanya bila diiringi

dengan konseling baik bagi yang hasilnya positif maupun negatif dan sistem

perujukan ke pelayanan medis dan psikososial bagi mereka yang mendapat hasil

positif.28,29

Menyadari pentingnya menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat

layanan pencegahan, pengobatan, dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada

bulan Mei 2007 merilis panduan operasional PITC di tempat pelayanan

kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan UNAIDS/WHO mengenai

pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh VCT dilengkapi dengan

PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat epidemi meluas, dan

fasilitas kesehatan spesialistik (seperti klinik TB, klinik antenatal, dan klinik infeksi

menular seksual) di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi.30

Tahun 2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan

skrining HIV menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan

kesehatan dengan tetap menjaga hak pasien untuk menolak serta menjamin

hubungan tenaga kesehatan dan pasien yang kondusif. Rekomendasi ini

ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan kesehatan, termasuk ruang gawat

darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik infeksi menular seksual, tuberkulosis,

klinik bagi penyalahgunaan zat, klinik umum, serta pelayanan kesehatan tingkat

primer. Tujuan dari rekomendasi CDC ini adalah untuk meningkatkan jumlah

skrining HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan, termasuk ibu

hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV; mengidentifikasi dan

melakukan konseling terhadap orang yang belum diketahui status HIV-nya serta

merujuknya ke tempat pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk

mengurangi transmisi HIV perinatal di Amerika Serikat.11

Page 26: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

26

Latar belakang rekomendasi CDC adalah sebagai berikut:

Diperkirakan 1/4 dari satu juta orang dengan HIV/AIDS di Amerika

Serikat tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi. Hal ini berarti

terdapat 250.000 orang yang dapat menularkan HIV kepada

pasangannya secara tidak sadar. Dengan adanya skrining HIV sebagai

pemeriksaan rutin dalam pelayanan medis, akan lebih banyak orang

mengetahui status HIV-nya.31

Orang-orang dengan HIV dapat menerima pengobatan untuk HIV,

sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup mereka sekaligus

memperpanjang umur mereka, jika HIV didiagnosis lebih dini. Saat ini,

kebanyakan orang mengetahui infeksi HIV setelah munculnya gejala

(dalam suatu studi terhadap orang yang terinfeksi HIV, 65% orang

melaporkan bahwa mereka pertama kali diperiksa HIV karena penyakit

yang mereka derita).31

Banyak orang yang setelah mengetahui status HIV-nya mengubah

perilaku berisiko mereka untuk mengurangi penularan HIV.

Pemeriksaan HIV rutin dapat melindungi pasangan dari orang yang

sebenarnya mengidap HIV namun tidak mengetahui status HIV-nya.

Teorinya, infeksi baru HIV dapat dikurangi 30% setiap tahunnya jika

seluruh orang dengan HIV mengetahui status HIV mereka dan mulai

mengadopsi perilaku untuk mengurangi penularan HIV.31

Pemeriksaan HIV rutin dapat mengurangi stigma terkait pemeriksaan

HIV yang didasarkan pada pengetahuan atau persepsi dari para

tenaga kesehatan mengenai risiko terkait HIV/AIDS.31

Persyaratan mengenai perlunya konseling pra-tes dan informed-

consent tertulis tidak cocok untuk diberlakukan di instalasi gawat

darurat atau tempat pelayanan kesehatan yang sibuk lainnya.31 Oleh

karena itu, CDC merekomendasikan bahwa konseling pencegahan

tidak perlu dimasukkan ke dalam program skrining HIV di sarana

pelayanan kesehatan. Konseling pencegahan sangat disarankan bagi

orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV pada keadaan di mana

perilaku berisiko tersebut dinilai secara rutin (misalnya di klinik IMS)

namun tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan HIV.11

Selain itu, CDC berpendapat bahwa pertama, pemeriksaan HIV

berdasarkan penilaian risiko tidak efektif, khususnya dalam usaha pencegahan

HIV melalui transmisi seksual. Kedua, strategi universal, seperti yang sudah

diterapkan terhadap wanita hamil dan darah donor, terbukti efektif. Ketiga,

kebanyakan orang yang sudah mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV akan

mengurangi perilaku berisiko mereka.32 Isi rekomendasi CDC adalah sebagai

berikut:

Page 27: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

27

Skrining infeksi HIV11

o Di seluruh tempat pelayanan kesehatan, skrining terhadap infeksi

HIV dilakukan secara rutin terhadap seluruh pasien yang berusia 13-

64 tahun. Para petugas kesehatan harus mulai menginisiasi

dilakukannya skrining kecuali prevalens infeksi HIV yang tidak

diketahui < 0,1%. Bila tidak terdapat data mengenai prevalens HIV,

petugas kesehatan harus memulai menginisiasi skrining HIV secara

sukarela sampai didapatkan hasil prevalens < 1 per 1000 pasien

yang diskrining.

o Seluruh pasien yang akan memulai terapi TB diskrining terhadap

HIV secara rutin.

o Seluruh pasien yang mencari pengobatan PMS, termasuk seluruh

pasien yang mengunjungi klinik PMS, diskrining secara rutin setiap

kali kunjungan untuk keluhan baru, tanpa memperhatikan apakah

pasien diketahui atau dicurigai memiliki perilaku berisiko tertular HIV.

Skrining Ulangan11

o Petugas kesehatan harus memeriksa orang-orang yang berisiko

terinfeksi HIV minimal setiap tahun. Orang-orang berisiko terinfeksi

HIV di antaranya adalah pengguna narkoba suntik dan pasangan

seksualnya, pekerja seks, pasangan dari orang yang terinfeksi HIV,

laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki serta pasangan

heteroseksual yang pasangan seksualnya pernah berhubungan

seksual dengan satu atau lebih pasangan seksual lain sejak

pemeriksaan HIV terakhir.

o Petugas kesehatan harus mendorong pasien dan calon pasangan

seksualnya untuk melakukan pemeriksaan HIV sebelum memulai

hubungan yang baru.

o Skrining ulangan terhadap orang yang tidak memiliki perilaku

berisiko tertular HIV harus didasarkan pada penilaian klinis.

o Bila belum terdapat hasil tes HIV terbaru, setiap orang yang darah

atau cairan tubuhnya menjadi sumber penularan HIV terhadap

petugas kesehatan harus diinformasikan dan diperiksa HIV pada

saat terjadi paparan.

Persetujuan dan Informasi Pre-tes11

o Skrining harus dilakukan secara sukarela dan sepengetahuan

pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan HIV.

Page 28: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

28

o Pasien harus diberi informasi secara lisan atau tulisan bahwa dia

akan diperiksa status HIV-nya kecuali bila pasien menolak (opt-out

testing). Informasi tersebut harus mencakup penjelasan mengenai

infeksi HIV dan arti dari hasil tes nantinya, serta pasien juga harus

diberi kesempatan untuk bertanya dan menolak dilakukannya

pemeriksaan. Dengan pemberitahuan seperti itu, persetujuan

dilakukannya skrining HIV harus diikutsertakan pada waktu

dilakukannya informed-consent secara umum untuk tindakan medis

atau pemeriksaan skrining lainnya Tidak direkomendasikan adanya

lembar persetujuan terpisah untuk pemeriksaan HIV.

o Materi informasi yang diberikan harus mudah dimengerti dan

tersedia dalam bahasa yang digunakan setempat.

o Bila pasien menolak dilakukannya pemeriksaan HIV, catat di dalam

rekam medik.

Uji Diagnostik untuk Infeksi HIV11

o Setiap pasien dengan tanda dan gejala yang konsisten dengan

infeksi HIV atau infeksi oportunistik AIDS harus diperiksa HIV.

o Para klinis harus selalu mewaspadai adanya infeksi HIV akut pada

setiap pasien dengan sindrom klinis yang sesuai dan memiliki

perilaku berisiko tinggi. Bila dicurigai terdapat sindrom retroviral akut,

pemeriksaan RNA plasma harus dilakukan bersama dengan

pemeriksaan antibodi HIV untuk mendiagnosis infeksi akut HIV.

o Pasien atau orang yang merawat pasien harus diberitahukan secara

lisan bahwa akan direncanakan pemeriksaan HIV dan implikasi dari

hasil positif atau negatif tes tersebut, serta tetap memberikan

kesempatan untuk bertanya dan menolak tes tersebut. Dengan

informasi semacam itu, persetujuan pasien pada saat menyetujui

tindakan perawatan medis secara umum dianggap sudah cukup

untuk menyetujui dilakukannya pemeriksaan HIV.

Menurut CDC, semua wanita hamil harus menjalani skrining HIV sejalan

dengan rekomendasi terhadap remaja dan dewasa. Skrining HIV dianjurkan untuk

dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin prakonsepsi, untuk memberi

peluang bagi semua wanita untuk mengetahui status HIV sebelum konsepsi.

Selain itu, skrining pada awal kehamilan berguna bagi wanita yang terinfeksi HIV

serta anaknya untuk dilakukan intervensi yang sesuai (misalnya pemberian

antiretroviral, penentuan jadwal persalinan bedah sesar, dan penghindaran

menyusui). Rekomendasi ini ditujukan bagi klinisi yang merawat wanita hamil dan

Page 29: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

29

neonatus serta pembuat kebijakan kesehatan yang bertanggung jawab pada

populasi ini.11

b. Metode, Cara, dan Target Skrining

CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin

untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan

kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar

pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita

hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada

donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang

perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.28,29

Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode

ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda-

beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat

epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang

meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya

ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna

narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya

tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud

dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di

subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini

menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka

prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita

hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV

telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil

melebihi 1%.33

Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan

kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang

sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu

yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah

dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal;

serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan

penularan HIV.33

Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk

diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB;

pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi

menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan

kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk

Page 30: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

30

remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk

keluarga berencana.33

Untuk daerah dengan tingkat epidemi yang rendah atau terkonsentrasi,

PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi

menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan

antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.33

Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV

merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:34

1. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana

HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis

banding.

2. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.

3. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV

positif.

4. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki

5. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks

dengan laki-laki.

6. Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik.

7. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah

dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%).

8. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di

dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari

negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and

Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006 mengeluarkan panduan

skrining sebagai berikut:35

1. Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV

dengan konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela.

Skrining harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar

pelayanan antenatal, meskipun klien tetap wajib diinformasikan

mengenai manfaat dan risiko pemeriksaan ini serta hak mereka untuk

menolak. Mereka tidak boleh diperiksa tanpa sepengetahuannya.

2. Konseling pre-tes dan keputusan pasien mengenai pemeriksaan ini

harus didokumentasikan di dalam rekam medik pasien.

3. Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap berhak

mendapatkan pelayanan antenatal yang optimal.

Page 31: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

31

4. Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan

pertama ke pelayanan antenatal.

5. Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites

ulang setiap trimester.

6. Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan

tidak diketahui status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti

pemeriksaan HIV ketika masuk RS untuk melahirkan. Wanita yang

berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak diketahui status HIV-nya harus

diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis HIV harus diberikan

pada bayi baru lahir.

7. Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter

yang berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif

HIV.

Review oleh Volmink dkk36 (2009) menyebutkan bahwa pemberian

antiretroviral (ARV) dapat menurunkan transmisi HIV dari ibu ke anak melalui tiga

cara yaitu, (1) menurunkan tingkat replikasi virus sekaligus menurunkan viral load

pada wanita hamil, (2) melalui pemberian ARV pra-paparan kepada bayi melalui

plasenta, (3) pemberian ARV pasca paparan pada bayi yang telah lahir. Dengan

demikian, pemberian ARV pada masa perinatal menurunkan risiko transmisi HIV

dari ibu ke bayi. Pada populasi yang tidak mendapatkan ASI, pemberian

zidovudin jangka panjang pada masa antenatal dan intrapartum serta kepada bayi

setelah lahir menurunkan 66% risiko infeksi HIV pada bayi saat berusia 18 bulan.

Lalu bagaimana dengan pemeriksaan HIV di gawat darurat (GD)?

Systematic review yang dilakukan oleh Rothman dkk37 (2003) mendukung

implementasi skrining HIV di GD. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa

infeksi yang tidak terdeteksi mencerminkan hilangnya peluang untuk memberikan

pengobatan yang memadai bagi pengidap HIV serta mencegah penularan kepada

orang lain. Dan GD dapat menjadi suatu tempat untuk mendeteksi HIV oleh

karena banyak pengidap HIV yang tanpa gejala dan berperilaku risiko tinggi yang

mendatangi GD. Penelitian oleh Kelen dkk38 (1995) menyimpulkan bahwa

program pemeriksaan HIV berbasis GD terhadap populasi berisiko tinggi dapat

mendeteksi orang-orang yang belum terdiagnosis HIV dalam jumlah yang

signifikan. Rekomendasi CDC juga menyarankan untuk dilakukannya

pemeriksaan HIV di GD.11 Memperluas skrining HIV ke tempat pelayanan

kesehatan seperti gawat darurat akan memberikan manfaat yang besar.

Penularan HIV dapat berkurang sebagai akibat pengurangan perilaku berisiko

bagi orang yang menyadari bahwa mereka terinfeksi HIV serta berkurangnya viral

load pada pasien yang mendapat terapi ARV.39

Page 32: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

32

Suatu survei dilakukan pada tahun 1995 di Inggris terhadap para dokter

bedah mengenai pemeriksaan antibodi HIV terhadap pasien bedah. Hasilnya

beragam. Dari 50 (62,5%) dokter yang mengembalikan kuesioner, 66%

berpendapat bahwa mereka menghendaki agar hal tersebut dijadikan

pemeriksaan wajib terhadap pasien bedah, meskipun banyak dari mereka juga

berpandangan bahwa hal tersebut hanya penting dilakukan terhadap pasien yang

dianggap berisiko tinggi. Delapan puluh empat persen responden percaya bahwa

cara tersebut dapat melindungi mereka selama mengerjakan operasi. Empat

puluh delapan persen responden setuju untuk dilakukan pemeriksaan meski

tanpa persetujuan pasien. Hasil tersebut mengungkapkan bahwa dokter bedah

setuju diberlakukannya pemeriksaan antibodi HIV terhadap pasien yang akan

menjalani operasi dengan keyakinan bahwa hal tersebut dapat melindungi

mereka dari terpapar infeksi sewaktu melakukan pembedahan.40 Tampaknya

kebijakan skrining HIV rutin terhadap pasien yang akan menjalani pembedahan

sangat didukung oleh para tenaga kesehatan itu sendiri.41

Fournier dan Zeppa42 (1989) mengungkapkan bahwa alasan untuk

melakukan skrining HIV rutin pada pasien pembedahan antara lain: (1)

mengetahui status HIV memungkinkan dokter bedah bekerja sehati-hati mungkin

untuk menghindari terjadinya infeksi; (2) manfaat pada pasien, yaitu infeksi HIV

dapat mempengaruhi rasio risk-benefit dari suatu prosedur; dan (3) diketahuinya

status HIV pasien tidak akan berpengaruh terhadap bagaimana pasien ditangani.

Namun, mereka juga mengungkapkan alasan keberatan untuk menerapkan

skrining HIV rutin, antara lain: (1) oleh karena risiko pada prosedur yang sifatnya

individual rendah, diketahuinya status HIV tidak berarti mengurangi risiko

penularan; (2) pelayanan terhadap pasien bisa dipengaruhi secara negatif; (3)

ada kemungkinan hasil positif palsu dan; (4) standar etika dari otonomi, privasi,

dan informed-consent tidak selalu diterapkan dalam pemeriksaan HIV.

Mengenai cara pemeriksaan, panduan Eropa tahun 2008 mengenai

pemeriksaan HIV/AIDS merekomendasikan pemeriksaan antibodi HIV-1, HIV-2,

dan antigen HIV-1 p24. Sampel untuk pemeriksaan lebih disukai bila diambil dari

darah vena, namun bila pungsi vena tidak memungkinkan, sampel dapat di ambil

dari tempat lain, seperti darah hasil cukit kulit, cairan mulut atau urin. Hati-hati jika

menggunakan uji cepat karena uji cepat tidak memeriksa antigen p24 sehingga

dapat memberikan hasil negatif palsu. Pemeriksaan viral load juga tidak

direkomendasikan sebab dapat memberikan hasil positif palsu.43

Untuk donor darah dan organ, WHO mewajibkan untuk skrining terhadap

HIV.28 Indonesia sendiri sejak tahun 1992 telah melakukan skrining terhadap HIV

pada setiap kantong darah yang diperoleh dari donor.10 Metode skrining yang

dapat dilakukan terbagi menjadi tiga, tergantung jumlah spesimen donor darah

yang terkumpul. Bila spesimen yang terkumpul mencapai 30 perminggu, metode

yang digunakan adalah uji rapid; bila spesimen yang terkumpul mencapai 30-60

Page 33: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

33

perminggu, metode yang digunakan adalah aglutinasi; sedangkan bila spesimen

yang terkumpul lebih dari 60 sampel perminggu, metode yang digunakan adalah

ELISA.44 Saat ini PMI hanya melaksanakan 2 metode skrining, yakni uji rapid bila

spesimen yang terkumpul di bawah 60 perminggu dan ELISA dengan bila

spesimen yang terkumpul di atas 60 perminggu.

Penelitian mengenai dampak dari pemberlakukan skrining HIV terhadap

darah donor pernah dilaporkan di Mozambik. Mozambik merupakan sebagai salah

satu negara dengan prevalens HIV tertinggi di wilayah subsahara Benua Afrika,

mencapai 16,7% pada tahun 2007. Pada tahun 2005, 121 bank darah di

Mozambik telah memberlakukan skrining HIV terhadap darah donor sejumlah

76.663 kantong darah. Dari jumlah tersebut, 47.823 (62,4%) kantong darah

diperiksa dengan uji cepat sementara sisanya diperiksa dengan ELISA, namun

hasilnya tidak diketahui. Dari jumlah yang diperiksa dengan uji cepat tersebut,

sebanyak 4.304 kantong darah (9%) berpotensi terinfeksi HIV. Dengan asumsi

bahwa 50% transfusi dilakukan pada anak-anak oleh karena infeksi malaria,

pemberlakukan skrining HIV terhadap darah donor dapat menghindari infeksi

sebanyak 6.521 kasus pada anak dan 2.152 pada dewasa.45

Pan American Health Organization pada tahun 2008 mengeluarkan

panduan pemeriksaan HIV menggunakan kombinasi antara uji cepat dengan

ELISA. Panduan tersebut berisi tiga macam algoritme pemeriksaan HIV, dengan

penggunaannya pada kondisi yang spesifik. Algoritme pertama yaitu dengan

pemeriksaan HIV secara serial untuk diterapkan pada daerah dengan prevalens

HIV < 5%. Algoritme kedua juga melakukan pemeriksaan HIV secara serial,

hanya saja pemeriksaan ini untuk diterapkan di daerah dengan prevalens HIV >

5% atau terhadap sasaran pemeriksaan yang memiliki perilaku berisiko tinggi.

Pemeriksaan serial yaitu memeriksakan sampel dengan satu reagen yang sangat

sensitif, kemudian sampel yang reaktif pada pemeriksaan awal diperiksa kembali

dengan reagen kedua yang sangat spesifik. Algoritme ketiga merupakan

pemeriksaan HIV secara paralel, yaitu memeriksakan sampel dengan dua reagen

yang berbeda secara bersamaan. Algoritme ketiga ini diusulkan untuk diterapkan

pada keadaan semisal kunjungan pertama wanita hamil ke klinik layanan

antenatal, yang membutuhkan keputusan cepat apakah akan melakukan

intervensi untuk mencegah penularan HIV ke anaknya. Kondisi lain yang

memungkinkan diterapkannya strategi pemeriksaan secara paralel yaitu pada

keadaan gawat darurat, kecelakaan kerja, dan kekerasan seksual. Ketiga

algoritme tersebut dijabarkan sebagai berikut:46

Page 34: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

34

Gambar 11 Algoritme 1 pemeriksaan HIV berkelanjutan46

Page 35: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

35

Gambar 12 Algoritme 2 pemeriksaan HIV berkelanjutan46

Page 36: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

36

Gambar 13 Algoritme 3 pemeriksaan HIV secara paralel46

c. Perbandingan Model dan Metode Skrining Antarnegara

Negara-negara yang akan dibandingkan berikut ini dianggap berhasil

menggunakan skrining HIV untuk menekan atau menurunkan angka prevalens

HIV. Negara tersebut antara lain Malaysia dan Thailand.

1. Malaysia

HIV/AIDS tidak ditemukan di Malaysia hingga tahun 1986. Antara tahun

1986 hingga Desember 2000, populasi negara ini mencapai hampir 25 juta

penduduk, dengan 38.044 kasus HIV/AIDS. Angka tersebut terus tumbuh, hingga

mencapai 51.256 kasus (tahun 2002) dan 58.012 (tahun 2003). Sampai

September 2004, secara kumulatif terdapat 61.486 orang yang terinfeksi HIV

yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan setempat, 8.955 orang di antaranya

mengidap AIDS dan 7.083 orang meninggal.47

Page 37: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

37

Mayoritas kasus dideteksi dengan proses skrining yang dilakukan di pusat

rehabilitasi ketergantungan obat, penjara, klinik antenatal, atau tes yang dilakukan

pada orang yang pasangannya positif mengidap HIV. Meskipun pemerintah telah

meluncurkan program skrining gratis pada bulan Juni 2003, hanya sebagian kecil

dari orang-orang yang dikategorikan berisiko tinggi yang sukarela untuk

diperiksa.47

Pria menempati proporsi terbesar pengidap HIV dan AIDS, masing-masing

93,4% dan 91,6%. Namun, laju infeksi pada wanita meningkat, dari 1,4% pada

tahun 1990 menjadi 9,9% di tahun 2003 dan lebih banyak mengenai wanita

berstatus ibu rumah tangga dan wanita karir dibandingkan pekerja seksual atau

pecandu obat. Mayoritas (79,4%) laki-laki dan wanita yang terinfeksi berusia

antara 20-an hingga 30-an tahun. Penularan HIV di Malaysia terutama melalui

pemakaian jarum suntik bersama di antara pemakai narkoba (75,6%), diikuti

kontak heteroseksual (12,9%) dan homo/biseksual (1,0%); 0.7% infeksi terjadi

melalui transmisi vertikal dan 0,05% melalui transfusi darah.47

Malaysia kemudian meluncurkan program skrining darah dan pemeriksaan

HIV. Skrining dilakukan mulai tahun 1986 dan hingga tahun 2005, Malaysia telah

memiliki 76 pusat skrining tersebar di seluruh tempat. Efisiensi skrining darah ini

tercermin dari rendahnya tingkat infeksi melalui darah, yaitu hanya 19 kasus

dalam 14 tahun. Pada tahun 2003, dari sekitar 11.905 darah donor yang

diskrining, 14 di antaranya (0,118%) didapati HIV positif, sementara pada tahun

2004, hanya 9 sampel darah (0,077%) yang didapati HIV positif dari 11.693 darah

donor. Uji skrining di Malaysia dilakukan dalam beberapa langkah. Langkah

pertama dan paling sederhana adalah dengan uji cepat (rapid test). Hasilnya bisa

didapat dalam waktu kurang dari 15 menit. Uji ini harus melalui pemeriksaan oleh

Malaysian Institute of Medical Research sebelum diterima untuk digunakan di

klinik. Uji cepat memiliki sensitivitas dan spesifisitas antara 99,8-99,9%. Orang-

orang yang mendapatkan hasil reaktif pada uji cepat ini akan melakukan

pemeriksaan lanjutan berupa uji konfirmasi. Hasil uji konfirmasi bisa diperoleh

dalam satu minggu hingga satu bulan, tergantung tes yang dilakukan, namun

selama menunggu hasilnya klien diingatkan untuk selalu melakukan tindakan

preventif supaya terhindar dari penularan HIV.47

Selain itu, sejak awal tahun 1989, dilakukan surveilans dan skrining rutin

pada kelompok pengguna narkoba suntik dan pekerja seksual di lembaga

rehabilitasi. Hal ini kemudian diperluas ke kelompok penghuni penjara dengan

perilaku berisiko tinggi, pekerja asing, dan pasien tuberkulosis dan infeksi menular

seksual. Dengan program surveilans ini, beban dan kecenderungan pertumbuhan

HIV/AIDS dapat dipantau.47

Kementerian Kesehatan Malaysia meluncurkan program PMTCT yang

ditujukan untuk mengobati seluruh wanita hamil yang HIV positif. Program ini

Page 38: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

38

dimulai tahun 1997 dan hingga saat ini telah diimplementasikan secara luas.

Hingga bulan Desember 2003, didapatkan 619 wanita hamil yang positif

mengidap HIV dari sekitar 1,8 juta wanita hamil yang diskrining (0,035%); sekitar

4,55% dari bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi yang menjalani pemeriksaan

ditemukan positif mengidap HIV.47

Di Malaysia, juga diberlakukan tes HIV wajib terhadap pasangan yang mau

menikah, antara lain untuk melindungi calon istri/suami dan bayi yang akan

dilahirkan kemudian.48

Perkembangan kasus HIV/AIDS di Malaysia disajikan dalam gambar 14.

Gambar 14 Jumlah orang dengan HIV, tahun 1990-200749

2. Thailand

Respons pemerintah Thailand terhadap HIV/AIDS merupakan suatu

pencapaian yang sangat mengagumkan. Sejak tahun 1991, infeksi baru setiap

tahunnya turun secara dramatis dan jutaan nyawa dapat diselamatkan. Thailand

merupakan salah satu negara yang lebih dulu mewujudkan Tujuan Pembangunan

Milenium (Millenium Development Goals-MDGs) yang keenam, yaitu mulai untuk

membalikkan perluasan HIV/AIDS pada tahun 2015, sebelum waktunya.50

Page 39: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

39

Thailand menunjukkan bahwa kebijakan yang didukung secara politik,

disokong dengan pendanaan yang memadai, serta dilakukan dengan cerdas

dapat mengubah perjalanan epidemi HIV/AIDS. Setelah mencapai puncak pada

tahun 1991 dengan jumlah 143.000 kasus, jumlah infeksi HIV baru setiap

tahunnya merosot hingga sekitar 19.000 pada tahun 2003. Prevalens HIV pada

orang dewasa secara nasional juga terus menurun, dan diperkirakan pada akhir

tahun 2003 mencapai 1,5%. Secara kumulatif, jumlah infeksi HIV/AIDS mencapai

lebih dari 1 juta orang dan kematian karena AIDS mencapai 460 ribu kasus.

Jumlah orang dengan HIV/AIDS pada tahun 2003 mencapai 604 ribu.50

Thailand merupakan satu dari beberapa negara berkembang di Asia yang

pertama kali secara sistematis melakukan pencegahan penularan melalui

transfusi darah. Hal ini dilakukan setelah seorang pekerja pabrik tertular HIV

setelah menjalani pembedahan dan sejak tahun 1986, program skrining darah

diubah dengan mengikutsertakan skrining terhadap HIV. Hingga tahun 1989,

seluruh rumah sakit umum memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan

ini. Hal ini juga didukung pemerintah dengan menjamin keamanan persediaan

darah, termasuk ketersediaan unit pelayanan darah di tiap provinsi di Thailand.

Sampai pertengahan tahun 1990, seluruh spesimen darah diskrining terhadap

HIV, menggunakan uji antibodi HIVdan antigen p24. Pada akhir tahun 1990,

mayoritas bank darah di Thailand memiliki data elektronik terkait data pendonor.

Sebuah kuesioner yang dapat diisi sendiri untuk menskrining pendonor juga

diberlakukan. Hal ini menurunkan risiko transmisi HIV melalui darah hingga

sekitar 1 dari 80.000 transfusi, angka terendah di antara negara berkembang. 50

Di Thailand, VCT yang efektif merupakan hal yang vital dalam

mengidentifikasikan orang-orang yang dapat memperoleh manfaat dari

penanganan lebih dini, mempromosikan kepatuhan dalam menjalani terapi, serta

meningkatkan langkah preventif. Layanan VCT sudah tersedia di sekitar 1.000

rumah sakit dan klinik di seluruh Thailand. Namun cakupannya tidak merata.

Menurut survei yang dilakukan pada akhir tahun 2003, orang-orang yang tinggal

di Bangkok dapat dengan mudah mengakses klinik VCT secara gratis atau

terjangkau, namun di daerah rural cakupannya kurang dari 50%. Survei tersebut

tidak dapat menentukan jumlah pengguna layanan VCT yang sebenarnya,

meskipun pada tahun sebelumnya diketahui bahwa terdapat sekitar 12.500 orang

yang menggunakan layanan VCT yang diselenggarakan oleh Palang Merah

Thailand. Pengeluaran untuk layanan VCT meningkat pada tahun 2003 namun

proporsinya hanya sekitar 2% dari pengeluaran total untuk HIV/AIDS.50

Usaha dini untuk membatasi transmisi dari ibu ke anak dipusatkan pada

penyediaan pendidikan keluarga dan konseling pranikah. Pasangan muda

ditekankan untuk mengikuti tes HIV sebelum memiliki anak. Pada tahun 1990-

1991, sejumlah rumah sakit umum mengintegrasikan skrining HIV ke dalam

layanan antenatal. Setelah itu, skrining HIV mulai diperkenalkan di beberapa

Page 40: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

40

rumah sakit komunitas lainnya. Salah satu programnya adalah program

pemberian susu untuk anak, di mana susu formula diberikan kepada ibu

menyusui yang positif mengidap HIV. Namun, pemberian susu melalui botol

secara tidak langsung menandakan status HIV ibu sehingga hal ini memberatkan

untuk beberapa ibu.50

Selama satu dekade berjalan, diketahui bahwa proporsi terbesar dari

infeksi baru HIV mulai muncul di antara wanita. Akibatnya, transmisi dari ibu ke

anak juga meningkat. Kebijakan publik mengenai penggunaan AZT (zidovudin)

belum ada, terutama disebabkan tingginya biaya produksi obat. Namun, setelah

dilakukan penelitian mengenai efektivitas AZT jangka pendek untuk mencegah

penularan dari ibu ke anak memberikan hasil penurunan peluang penularan HIV

dari ibu ke anak sebesar 50%, maka pemberian AZT mulai dimasukkan ke dalam

program PMTCT.50

Meski begitu, pelaksanaan PMTCT tidak selalu mulus. Adanya

ketimpangan dalam praktik di lapangan masih harus dibenahi sebelum

memperluas program ini ke seluruh daerah. Misalnya, di beberapa rumah sakit,

hak kerahasiaan pasien dihadapkan dengan kurangnya ruang privat untuk

konseling dan penggunaan simbol yang dicantumkan pada kartu berobat (yang

menandakan status HIV ibu tersebut). Selain itu, tidak semua wanita hamil

mampu mengakses fasilitas layanan antenatal. Pada suatu review tahun 2000-

2001, ditemukan bahwa 12% dari wanita dengan HIV positif tidak mengikuti

perawatan antenatal.50

Pada tahun 2000, Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand

mengeluarkan panduan klinis mengenai pelayanan standar dalam program

PMTCT, mengembangkan kebijakan nasional dan meluncurkan program nasional

berdasarkan kebijakan tersebut. Hingga saat ini, AZT telah digunakan di banyak

rumah sakit di Thailand. Pada evaluasi tahun pertama, diketahui pemanfaatannya

sangat tinggi dan jumlah bayi baru lahir yang mendapatkan profilaksis

antiretroviral meningkat. Tanpa usaha semacam itu, diperkirakan bahwa hampir

5.000 anak dengan HIV positif akan lahir setiap tahunnya. Dengan program

nasional ini, angka tersebut dapat dipangkas hingga setengahnya.50

PMTCT di Thailand dijadikan contoh untuk ditiru di beberapa negara

berkembang. Usaha tersebut dilakukan dalam keadaan mendesak namun

sistematis, sehingga hasil dari penelitian dan program percontohan dapat

ditransformasikan dengan cepat menjadi suatu program nasional. Seiring dengan

program pengentasan HIV/AIDS lainnya, Thailand juga menikmati manfaat

lainnya, termasuk infrastruktur layanan antenatal yang kuat dan antiretrovirus

generik produksi dalam negeri yang mungkin tidak dinikmati oleh negara lain.50

Page 41: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

41

Gambar 15 Prevalens HIV pada wanita hamil50

Pertumbuhan kasus HIV/AIDS dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16 Jumlah orang dengan HIV, tahun 1990-200751

Page 42: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

42

d. Alat Pemeriksaan dan Besaran Biaya Skrining

Untuk melakukan pemeriksaan HIV, spesimen yang disukai adalah darah

vena. Pengambilan sampel selain darah vena harus dihindari kecuali pungsi vena

sulit atau tidak mungkin dilakukan. Bila sampel diambil dari sumber selain darah

vena, misalnya darah dari ujung jari, cairan mulut, atau urin, harus dilakukan

pengambilan sampel darah bila hasilnya reaktif atau indeterminat.43

Alat skrining ELISA generasi keempat yang secara bersamaan mampu

memeriksa antibodi HIV-1, antigen p24 HIV-1, dan antibodi HIV-2

direkomendasikan untuk digunakan sebagai alat skrining HIV di klinik infeksi

menular seksual di Eropa. Sensitivitasnya mencapai 99,78-100% sementara

spesifisitasnya mencapai 99,5-99,93%.43

Pemeriksaan amplifikasi asam nukleat (HIV-1 viral load) tidak

direkomendasikan sebagai metode skrining diagnostik oleh karena hanya sedikit

manfaat yang bisa diperoleh dengan mendeteksi infeksi primer HIV serta adanya

kemungkinan hasil positif palsu. Pemakaian uji cepat HIV harus hati-hati

mengingat uji ini tidak memeriksa antigen p24 HIV-1 dan dapat memberikan hasil

negatif palsu pada masa infeksi primer HIV atau AIDS lanjut.34,43

Ilustrasi pembiayaan skrining antibodi dan antigen HIV pada darah donor di

Indonesia di tahun 2008 adalah sebagai berikut. Bila terdapat sekitar 1,7 juta

kantong darah yang dites dan masing-masing kantong darah membutuhkan biaya

US$ 3, sehingga biaya total yang diperlukan adalah sekitar US$ 5,1 juta (sekitar

Rp 48,45 miliar).

Page 43: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

43

Rincian pemeriksaan HIV untuk poliklinik dan GD untuk satu orang pasien

disajikan dalam tabel 4:

Tabel 4 Estimasi biaya pemeriksaan HIV di RSCM

Komponen biaya Poliklinik

umum

dewasa

/Pokdisus

(Rp)

Poliklinik

layanan

antenatal

(Rp)

GD

(Rp)

Poliklinik kulit

kelamin

(Rp)

Bangsal

rawat inap

(Rp)

Konsultasi/konseling

pra tes

Gratis 60.000

Tes HIV ELISA:

110.000-

115.000

ELISA:

110.000-

115.000

ELISA:

120.000

ELISA:

110.000-

115.000

ELISA:

110.000-

115.000

Konseling pasca tes Gratis 60.000

Tindak lanjut: care

and support treatment

ARV gratis

Di Indonesia, digunakan metode ELISA dengan reagen untuk HIV-1 dan

HIV-2 generasi IV dari Abbot™ yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-

masing 100% dan 99,43%.52 Saat ini terdapat dua metoda tes HIV yang dapat

digunakan yaitu tes Rapid dan ELISA dengan kelebihan dan kelemahan masing-

masing. Kelebihan dan kelemahan metoda Rapid dan ELISA dapat dilihat pada

tabel 5.

Meskipun biaya per-tes metoda ELISA tidak begitu jauh dibandingkan

dengan biaya per-tes metoda rapid, namun pada metoda ELISA perlu

diperhitungkan pembiayaan peralatan dan infrastruktur. Namun demikian,

walaupun dari perhitungan di atas biaya total metoda ELISA mungkin lebih tinggi

dari biaya total metoda Rapid, perlu diingat bahwa tes ELISA lebih akurat karena

pembacaan hasil menggunakan peralatan, sehingga hasil positif palsu dan negatif

palsu lebih dapat dihindarkan.

Page 44: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

44

Tabel 5 Perbandingan antara metode rapid dan ELISA

Item perbedaan Tes Rapid Tes ELISA

1. Parameter yang

dapat dideteksi

Anti-HIV atau kombinasi anti-

HIV dan P24 HIV

Anti-HIV, atau Ag HIV (P24), atau

kombinasi anti-HIV dan P24 HIV

2. Peralatan Tanpa alat Alat ELISA yang terdiri dari:

incubator, washer dan reader

(spectrophotometer)

3. Petugas Hanya memerlukan pelatihan

singkat

Petugas perlu pelatihan lebih

khusus

4. Infrastruktur Hampir tidak memerlukan

infrastruktur khusus sehingga

dapat digunakan di lapangan

Perlu listrik dengan voltage stabil

dan air yang memenuhi

persyaratan

5. Efisiensi biaya Biaya per-tes relatif lebih

murah (perkiraan Rp. 18.000

– 22.000,- per-tes)

Untuk unit pemeriksa dimana

spesimen datang satu per

satu lebih efisien

Bila digunakan Rapid

kombinasi dapat menangkap

individu yang berada dalam

masa jendela infeksi

Biaya per-tes relatif tidak jauh

berbeda dengan tes rapid

(perkiraan Rp. 14.000 – 22.000,-

per-tes).

Ada biaya investasi dan

pemeliharaan peralatan serta

biaya infrasturktur seperti listrik

dan air

Untuk unit pemeriksa dimana

jumlah spesimen banyak lebih

efisien

Bila digunakan ELISA kombinasi

dapat menangkap individu yang

berada dalam masa jendela

infeksi

Di lain pihak, walaupun biaya total metoda Rapid relatif lebih murah,

disertai dengan pengerjaan yang lebih sederhana dan cepat, namun kebanyakan

tes rapid yang digunakan saat ini adalah yang hanya dapat mendeteksi

keberadaan anti-HIV. Dengan demikian, individu dalam masa jendela infeksi

tidak dapat terdeteksi. Selain itu karena pembacaan dilakukan dengan mata dan

jika dilakukan tergesa-gesa atau sekaligus untuk jumlah spesimen banyak, dapat

terjadi kesalahan dengan akibat tes harus diulangi sehingga dapat berdampak

pada pembiayaan. Untuk itu disarankan agar: 53

Untuk kepentingan surveilans dan skrining darah donor didaerah dengan

prevelansi infeksi rendah dan jumlah donasi sedikit, tes Rapid masih dapat

digunakan dengan catatan taat pada prosedur standar.

Page 45: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

45

Untuk skrining darah donor di daerah dengan prevalensi infeksi tinggi

sangat disarankan menggunakan metoda ELISA kombinasi. Jika jumlah

spesimen sedikit karena jumlah donasi rendah, untuk standarisasi, skrining

darah donor dengan metoda ELISA kombinasi dapat disentralisasi di UTD

yang lebih mampu dengan mempertimbangkan kemudahan transportasi

dan jaminan rantai dingin spesimen.

Untuk diagnosa tes HIV harus dengan metoda ELISA disertai tes

konfirmasi.

6. Diskusi

a. Metode dan sasaran skrining di Indonesia

Telah dijabarkan sebelumnya mengenai metode skrining HIV yang dapat

dilakukan di Indonesia, yaitu VCT, PITC, pemeriksaan rutin, dan skrining wajib.

VCT telah sejak lama diterapkan di Indonesia namun belum mampu menjaring

pengidap HIV yang belum terdiagnosis karena harus menunggu inisiatif dari klien.

Selain itu, adanya keengganan untuk mengikuti pemeriksaan HIV oleh karena

ketakutan akan stigma yang berkembang di masyarakat menimbulkan hambatan

pada pelaksanaan VCT.54,55 Meski begitu, VCT tetap dipandang sebagai suatu

bagian yang penting dalam program pencegahan penularan HIV/AIDS.

VCT dapat dianggap sebagai pintu masuk menuju program pencegahan

dan pengobatan HIV. VCT mampu mempromosikan perubahan perilaku dan

berhubungan dengan intervensi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak

(PMTCT), mencegah infeksi menular seksual, serta mencegah dan mengobati TB

serta infeksi oportunistik lainnya. VCT juga memfasilitasi perujukan dini ke pusat

layanan kesehatan berbasis komunitas dan klinis yang lebih komprehensif,

termasuk akses untuk mendapatkan terapi antiretroviral. VCT dapat memperbaiki

kualitas hidup dan mengurangi stigma.54,56

UNAIDS dalam sebuah proyek penelitian mengenai VCT di Zambia,

Zimbabwe, dan Afrika Selatan menjabarkan aplikasi VCT di dalam program

PMTCT, pengentasan TB, populasi orang muda, dan populasi umum. Proyek

tersebut meyakini bahwa penetapan populasi orang muda sebagai target VCT

sangat penting dan potensi VCT sebagai intervensi yang penting dalam

pencegahan HIV sangat besar dalam kelompok populasi ini.57

Proyek UNAIDS tersebut menggunakan uji cepat (rapid test) untuk

memeriksa HIV. Perkembangan dalam hal uji cepat HIV yang memungkinkan

dilakukannya pemeriksaan HIV oleh orang yang bukan seorang tenaga

laboratorium, dengan peralatan minimal dan dapat disimpan dalam suhu kamar

akan membuat pelayanan VCT lebih berkembang luas. Banyak klien VCT

Page 46: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

46

menghendaki untuk mendapatkan hasil pemeriksaan HIV secara cepat, bahkan

konselor pun berpendapat bahwa uji cepat HIV dapat diterima dan bermanfaat

bagi kliennya. Oleh karena keakuratan pemeriksaan HIV sangat penting, harus

dilakukan kendali mutu di semua klinik VCT menggunakan algoritma uji cepat.

Algoritma uji cepat yang digunakan dalam proyek itu adalah sebagai berikut:57

Gambar 17 Algoritma uji cepat HIV57

VCT dianggap memakan banyak waktu bagi konselor. Untuk itu,

pernah diusulkan untuk dipersingkat atau diadakan suatu sesi pemaparan

informasi dalam suatu kelompok besar di tempat di mana tenaga konselor

terbatas. Namun, klinik VCT pada proyek UNAIDS tersebut melaporkan bahwa

suatu konseling pra tes yang adekuat membutuhkan waktu minimal 15-20 menit.

Oleh karena itu, perhitungan mengenai kebutuhan staf di klinik VCT harus tepat

jika ingin mengembangkan klinik VCT. Para kader juga dapat diberikan pelatihan

untuk menjadi tenaga konselor.57

Dalam rangka mempromosikan dan mengembangkan VCT, perlu

dimunculkan manfaat VCT terhadap pengurangan transmisi HIV, perbaikan akses

terhadap pelayanan medis dan sosial, kemudahan mendapat layanan PMTCT,

dan pengembangan mekanisme coping bagi ODHA.54 Dengan demikian, VCT di

Indonesia akan mampu menjangkau lebih banyak lagi pengidap HIV/AIDS.

Page 47: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

47

Sehingga para pengidap HIV/AIDS tersebut bisa memperoleh pelayanan dan

perawatan terkait HIV/AIDS.

Selain VCT, juga terdapat PITC. Pada PITC, inisiatif untuk memeriksa HIV

ada pada petugas kesehatan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sarana

pelayanan kesehatan merupakan titik penting dalam kaitan dengan pengidap HIV

yang membutuhkan pelayanan dan dukungan kesehatan. Namun peluang untuk

melakukan pemeriksaan dan konseling HIV bagi orang-orang yang mengunjungi

sarana pelayanan kesehatan seringkali diabaikan. Di Australia diketahui bahwa

lebih dari setengah pasien HIV positif yang terlambat didiagnosis pernah

mengunjungi sarana pelayanan kesehatan dan hampir semuanya memiliki paling

tidak satu faktor yang mengharuskan petugas kesehatan mempertimbangkan

perlunya dilakukan pemeriksaan HIV. Di Uganda, di antara orang dewasa yang

ditawarkan mengikuti pemeriksaan HIV, 83%-nya tidak mengetahui status HIV

mereka, meskipun 88% dari mereka pernah mengunjungi sarana pelayanan

kesehatan enam bulan sebelumnya. Atas dasar itulah PITC dianggap sebagai

suatu kesempatan untuk menjamin bahwa HIV dapat didiagnosis secara

sistematis di sarana pelayanan kesehatan untuk memfasilitasi kebutuhan pasien

akan layanan pengobatan dan dukungan33

Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode

ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda-

beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat

epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang

meluas.33 Indonesia sendiri memiliki prevalens HIV yang berbeda di tiap daerah.

Kecuali di Papua, epidemi HIV pada sebagian besar provinsi di Indonesia masih

terkonsentrasi pada populasi kunci, dengan prevalensi >5%. Secara nasional,

prevalens HIV pada orang dewasa di Indonesia pada tahun 2007 diperkirakan

0,2%.58 Dengan demikian, PITC dapat dilakukan di tiap-tiap daerah di Indonesia

sesuai tingkat epidemi HIV.

Sebagai contoh, di Papua, prevalens HIV sudah mencapai 1,36% - 2,41%6,

yang artinya sudah memasuki fase generalized epidemic. Oleh karena itu, PITC

direkomendasikan untuk diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan,

termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum;

pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang

berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia ≤ 10 tahun; pelayanan kesehatan

untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi,

termasuk keluarga berencana.33

Indonesia sebagian besar berada pada fase concentrated epidemic,

karenanya PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat

pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling

berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta pelayanan

Page 48: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

48

untuk TB.33 Khusus untuk TB, Indonesia sendiri merupakan negera dengan

penderita TB nomor tiga di dunia setelah India dan Cina dan diperkirakan tiap

tahun terjadi 239 kasus baru TB per 100.000 penduduk, dengan estimasi

prevalens HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report

2007). Survei yang dilaksanakan oleh Balitbang Depkes (2003) menunjukkan

bahwa pasien dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS dan

Rutan/Lapas di beberapa propinsi dan TB ditemukan sebagai infeksi oportunis

utama pada pasien AIDS di RS.59 Menurut Laporan Triwulan Situasi

Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia tahun 2009, hingga bulan September

2009, TB menempati kasus infeksi oportunistik tertinggi di antara penderita

HIV/AIDS.60 Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan

gambaran HIV di antara pasien TB. Studi pertama tentang sero prevalensi HIV

pada TB yang dilaksanakan di Yogyakarta menunjukkan angka 2%. Data dari RS

propinsi di Jayapura menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 di antara 40

pasien TB ternyata positif HIV. Data dari klinik Perkumpulan Pemberantasan

Tuberkulosis Indonesia (PPTI) di Jakarta sejak 2004 - 2007 menunjukkan

prevalens HIV pada suspek TB dengan faktor risiko antara 3 - 5% dan prevalensi

pada pasien TB antara 5 - 10% dengan kecenderungan meningkat setiap

tahunnya.59 Namun demikian, tidak dapat diasumsikan bahwa keberhasilan PITC

pada pasien TBC akan berlaku untuk pasien infeksi menular seksual karena

terdapat faktor etika dan pengaturan sumber daya yang terbatas.70

Tanpa melihat angka prevalens dan tingkat epidemi, di Indonesia PITC pun

dapat dilakukan kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan

tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak

yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau

malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan

terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi

sebagai pencegahan penularan HIV.33 Apalagi diperkirakan pada tahun 2014, di

Indonesia akan terdapat 6.240 anak penderita HIV/AIDS dan 1.590 anak

penderita baru HIV.61

Skrining HIV wajib di Indonesia selama ini telah dilakukan oleh PMI

terhadap persediaan darah donor.10 UNAIDS/WHO juga merekomendasikan

dilakukannya skrining HIV wajib terhadap darah donor. Selain darah, yang wajib

dilakukan skrining HIV adalah organ donor. Meski begitu, UNAIDS/WHO tidak

mendukung dilakukannya skrining HIV wajib di sarana pelayanan kesehatan dan

lebih mendukung dilakukannya pemeriksaan HIV sukarela.28 UNAIDS/WHO lebih

merekomendasikan agar VCT yang sudah dilakukan saat ini ditambahkan PITC.

Skrining universal terhadap antibodi HIV pada persediaan darah menjadi

elemen penting dari program pencegahan penularan HIV melalui transfusi darah.

Meski begitu, masih banyak negara yang tidak mampu memenuhi hal tersebut

yang merupakan komponen paling mendasar dari program keamanan darah.

Page 49: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

49

Pemerintah telah memandatkan dilakukannya skrining terhadap seluruh proses

transfusi darah, namun dukungan terhadap program tersebut, baik oleh

pemerintah itu sendiri maupun organisasi internasional seringkali tidak

mencukupi. Faktor-faktor lain yang juga berkontribusi pada meningkatnya risiko

HIV melalui transfusi antara lain pencatatan data yang buruk, pelabelan dan

penyimpanan kantung darah yang sudah diskrining yang tidak teratur,

pengambilan darah dari saudara untuk transfusi segera ketika tidak tersedia uji

cepat HIV, serta praktik rumah sakit yang tidak menskrining transfusi yang

dilakukan dari ibu ke anak disebabkan asumsi yang salah bahwa ibu dan anak

memiliki status HIV yang sama. Perbaikan infrastruktur lokal untuk mendukung

manajemen bank darah memiliki dampak yang penting terhadap keamanan

persediaan darah. 62

Jadi, skrining HIV wajib di Indonesia saat ini paling mungkin dilakukan

terhadap darah atau organ donor. Namun bukan tidak mungkin skrining wajib

nantinya diterapkan di seluruh tempat pelayanan kesehatan. Di tahun-tahun yang

akan datang, masih terbuka peluang untuk menerapkan skrining HIV wajib secara

luas di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya.

b. Analisis cost-effectiveness skrining HIV

Dampak HIV sangat luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam

bidang ekonomi, terdapat biaya langsung dan tak langsung sebagai akibat dari

HIV ini. Biaya langsungnya meliputi biaya-biaya yang terkait dengan pengobatan

HIV, sementara biaya tak langsung mencakup beban akibat hilangnya

produktivitas oleh karena penyakit, disabilitas, serta kematian prematur. Pada

tahun 2002, di Amerika Serikat, terdapat 40 ribu kasus infeksi baru HIV. Biaya

akibat infeksi baru HIV mencapai US$ 36,4 miliar (sekitar Rp 345,8 triliun). Dari

jumlah tersebut, biaya langsungnya mencapai US$ 6,7 miliar (sekitar Rp 63,65

triliun) dan beban akibat hilangnya produktivitas mencapai US$ 29,7 miliar (sekitar

Rp 282,15 triliun).63

Untuk itu, pada tahun 2006, CDC mengeluarkan rekomendasi untuk

melakukan skrining HIV rutin di sarana pelayanan kesehatan tanpa melalui

konseling. Sarana pelayanan kesehatan itu meliputi sarana pelayanan kesehatan

publik dan swasta, seperti instalasi gawat darurat di rumah sakit, unit rawat jalan,

klinik ketergantungan obat, pelayanan kesehatan tingkat komunitas, dan klinik

pribadi.11 CDC merekomendasikan untuk menyingkirkan beberapa aspek dalam

konseling dan testing HIV yang dinilai cukup menyita waktu. Tidak diperlukan

persetujuan khusus mengenai pemeriksaan HIV serta penilaian risiko. Konseling

pascates dapat ditawarkan kepada orang dengan hasil seronegatif dengan

Page 50: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

50

perilaku berisiko tinggi. Untuk orang dengan hasil pemeriksaan seropositif,

mereka dibantu dalam hal pelayanan, pengobatan, dan pencegahan.64

Rekomendasi CDC tersebut tentunya membutuhkan biaya dan

menimbulkan konsekuensi tertentu, tergantung skenario pemeriksaan yang

dilakukan. Pada tahun 2007 Holtgrave64 meneliti tentang beberapa kemungkinan

skenario skrining HIV yang dilakukan di Amerika Serikat sesuai rekomendasi CDC

serta perkiraan biaya yang dibutuhkan. Parameter yang dinilai sebagai masukan

dalam penelitian tersebut dipaparkan dalam tabel 6.

Tabel 6 Parameter masukan penelitian dan nilainya

Parameter Nilai

Jumlah penduduk usia 13 – 64 tahun 210.000.000

Jumlah orang dengan HIV/AIDS 1.000.000

Persentase orang yang tidak menyadari mengidap HIV 25%

Persentase pasien baru HIV yang sebelumnya memiliki riwayat kontak dengan

sistem pelayanan kesehatan

73%

Persentase cakupan jumlah pemeriksaan sesuai rekomendasi 52,2%

Persentase populasi dewasa yang sudah pernah mendapat pemeriksaan HIV 21,0%

Persentase orang HIV positif yang telah menyadari atau belum menerima hasil

pemeriksaan

37%

Biaya konseling dan testing untuk 1 orang klien HIV negatif (US$) 28,18

Biaya konseling dan testing untuk 1 orang klien HIV positif (US$) 103,92

Biaya pengobatan pertahun untuk 1 orang pasien HIV positif (US$) 22.511

Tingkat transmisi dari orang yang tidak mengetahui status HIV positifnya 8,8%

Tingkat transmisi dari orang yang mengetahui status HIV positifnya 2,4%

Persentase orang dalam kelompok umur tersebut yang memiliki risiko tinggi

terinfeksi HIV

11,7%

Persentase orang dengan HIV positif yang tidak mengikuti asuransi atau dalam

bantuan layanan kesehatan publik

75%

Holtgrave64 membuat empat skenario yang diasumsikan untuk dijalankan

yaitu skenario dasar sesuai rekomendasi CDC (Opt-out testing). Dalam hal ini,

diasumsikan bahwa penghilangan konseling HIV terhadap orang yang seronegatif

Page 51: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

51

dengan perilaku berisiko tinggi tidak memiliki dampak buruk. Skenario kedua yaitu

konseling dan testing secara rutin. Kali ini, diasumsikan klien selalu mendapatkan

konseling dan testing. Meski dengan penambahan berupa konseling akan

meningkatkan biaya, skenario ini diperkirakan dapat mencegah infeksi pada orang

seronegatif dengan perilaku berisiko tinggi dan menurunkan insidens infeksi HIV

pada orang seronegatif berperilaku risiko tinggi sebesar 15%.

Skenario selanjutnya yaitu Behavioral Offset Case. Sebenarnya skenario

ini mirip dengan skenario pertama sesuai rekomendasi CDC, dengan satu

pengecualian. Dalam skenario pertama sesuai rekomendasi CDC, penghilangan

konseling diasumsikan tidak akan berdampak buruk bagi klien yang mengikuti

pemeriksaan HIV. Namun pada skenario ini, penghilangan konseling tersebut

justru dapat meningkatkan risiko klien terinfeksi HIV, oleh karena diketahui bahwa

4 dari 10 penduduk AS memiliki pemahaman yang salah terhadap HIV. Oleh

karena itu, pada skenario ini, diperkirakan 11,7% dari populasi berusia 15-44

tahun memiliki perilaku berisiko tinggi tertular HIV.64

Skenario terakhir yang diuji adalah pemeriksaan dan konseling terhadap

target populasi tertentu. Pada skenario ini, diasumsikan bahwa pemeriksaan dan

konseling HIV hanya ditawarkan pada populasi yang berisiko tinggi tertular HIV.

Persentase populasi tersebut diperkirakan mencapai 50%. Penetapan sasaran

pemeriksaan dan konseling tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan

surveilans sehingga tidak diperlukan biaya tambahan untuk penentuan sasaran

pemeriksaan. Pada skenario ini, diasumsikan bahwa 1% dari orang yang

diperiksa akan memberi hasil seropositif.64 Perbandingan antara keempat

skenario itu disajikan dalam tabel 7.

Page 52: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

52

Tabel 7 Konsekuensi dan biaya dari masing-masing skenario pemeriksaan HIV (modifikasi dari

Holtgrave 2007)64

Keluaran Rekomendasi CDC

(Opt-Out Testing)

Behavioral Offset

Case

Pemeriksaan dan

Konseling Rutin

Pemeriksaan dan

Konseling dengan

Target

Jumlah orang yang

diperiksa

65.520.000 65.520.000 65.520.000 29.868.308

Jumlah orang dengan HIV

positif yang tidak

terdiagnosis yang dapat

dijangkau

56.940 56.940 56.940 188.170

Jumlah orang dengan HIV

negatif yang memiliki

risiko tinggi yang dapat

dijangkau

NA 7.649.048 7.649.048 14.636.964

Biaya program

keseluruhan (US$)

864.207.288 864.207.288 1.419.250.220 864.207.288

Jumlah transmisi yang

dapat dihindari

3.644 3.644 3.644 12.043

Infeksi yang dapat

dihindari

Tidak relevan (569)* 1.689 2.510

Jumlah transmisi dan

infeksi yang dapat

dihindari

3.644 3.076 5.333 14.533

Biaya keseluruhan untuk

tiap infeksi atau transmisi

yang dapat dihindari (US$)

237.149 280.993 266.128 59.383

Dukungan publik yang

dibutuhkan untuk

perawatan HIV (US$)

961.335.502 961.335.502 961.335.502 3.176.937.598

*) Di skenario ini, jumlah tersebut merupakan peningkatan jumlah infeksi, bukan infeksi

yang dapat dihindari

Persentase jumlah cakupan pemeriksaan sesuai rekomendasi CDC adalah

52,2% dari seluruh populasi. Namun, terdapat 21% proporsi populasi AS yang

sudah pernah mengikuti pemeriksaan HIV. Oleh karena itu, jumlah sebenarnya

yang mengikuti pemeriksaan sesuai rekomendasi yang baru itu adalah 31,2% dari

populasi keseluruhan (65.520.000 jiwa). Dari tabel di atas, tampak bahwa dengan

menentukan sasaran populasi tertentu untuk dilakukan skrining, biaya program

tidak terlalu berbeda dibandingkan biaya bila melakukan pemeriksaan sesuai

rekomendasi CDC (opt-out). Namun jumlah transmisi dan infeksi HIV yang dapat

dihindari jauh lebih banyak serta biaya keseluruhan untuk tiap infeksi dan

transmisi yang dapat dihindarkan paling rendah. Konsekuensinya, dibutuhkan

biaya lebih besar untuk menindaklanjutinya dalam bentuk perawatan HIV. Selain

itu, dari tabel 7, tampak bahwa penerapan konseling dan testing secara rutin

membutuhkan biaya paling besar namun jumlah infeksi dan transmisi yang dapat

dihindari tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan pemeriksaan terhadap

target populasi tertentu. Selain itu, biaya untuk tiap infeksi dan transmisi yang

dihindari jauh lebih besar dibandingkan bila dilakukan pemeriksaan terhadap

target populasi tertentu.64

Page 53: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

53

Dari tabel 7, tampak bahwa dana sebesar US$864,2 juta (sekitar Rp

8.209,9 miliar) akan lebih efektif bila dialokasikan pada program pemeriksaan dan

konseling HIV dengan target populasi tertentu sebab program ini mampu

menjangkau 3/4 populasi penduduk yang tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi

HIV. Selain itu, cara ini dapat mencegah sekitar 36,4% insidens infeksi HIV.

Sekalipun skenario ini dilakukan di daerah dengan tingkat seropositif 0,3% atau

meskipun tidak terdapat manfaat sama sekali dari melakukan konseling terhadap

orang yang seronegatif, pemeriksaan dan konseling HIV yang ditargetkan pada

populasi tertentu masih lebih disukai dibandingkan pemeriksaan opt-out tanpa

konseling. 64

Analisis cost-effectiveness skrining HIV oleh Sanders dkk65 (2005)

menyebutkan bahwa dengan memperhitungkan benefit yang didapat pada pasien

yang diperiksa, skrining HIV yang dilakukan satu kali meningkatkan harapan

hidup sebesar 3,92 hari atau 2,92 quality-adjusted days, dengan membutuhkan

penambahan biaya sebesar US$ 333 (sekitar Rp 3.163.500) dibandingkan bila

tidak dilakukan skrining (US$ 51.517 atau sekitar Rp 489.411.500). Bila

memasukkan benefit yang didapat pasangannya, dibutuhkan penambahan biaya

sekitar US$ 194 (sekitar Rp 1.843.000) dari biaya yang dikeluarkan bila tidak

dilakukan skrining (US$ 52.623 atau sekitar Rp 499.918.500) dan meningkatkan

harapan hidup sebesar 5,48 hari atau 4,70 quality-adjusted days. Skrining yang

dilakukan pada daerah yang prevalens HIV serendah-rendahnya 0,5% masih

memberikan rasio cost-effectiveness sebesar US$ 50.000 per-QALY. Sementara

itu, skrining yang dilakukan setiap lima tahun sekali hanya memberikan efek

penambahan yang sedikit bila dibandingkan skrining yang dilakukan sekali.

Owens dkk66 (1996) meneliti tentang analisis cost-effectiveness

pelaksanaan skrining di pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Hasilnya, dalam

tahun pertama, pelaksanaan skrining di daerah dengan seroprevalens HIV

sebesar 1% atau lebih diperkirakan dapat mengidentifikasi 110.000 kasus infeksi

HIV yang tidak terdeteksi. Program ini membutuhkan dana sebesar US$ 171 juta

(sekitar Rp 1.624,5 miliar) untuk pelaksanaan konseling dan pemeriksaan, serta

US$ 2 miliar (sekitar Rp 19 triliun) untuk pelayanan kesehatan bagi orang yang

teridentifikasi mengidap HIV. Bila seroprevalens HIV 1%, nilai cost-effectiveness

skrining mencapai US$ 47.200 (sekitar Rp 448.400.000) untuk tiap tahun usia

hidup yang dapat diselamatkan. Pengurangan kebiasaan berisiko tinggi akibat

diberlakukannya skrining juga dapat meningkatkan cost-effectiveness skrining

dengan mencegah transmisi HIV.

Walensky dkk67 (2005) melakukan penelitian mengenai evaluasi ekonomi

pada pelaksanaan pemeriksaan HIV secara rutin. Hasilnya, pada tingkat

prevalens 1% dan tingkat partisipasi 33%, skrining HIV meningkatkan quality-

adjusted life expectancy sebesar 6,13 tahun per 1000 pasien rawat inap, dengan

rasio cost-effectiveness US$ 35.400 (sekitar Rp 336.300.000) per-QALY yang

Page 54: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

54

diperoleh. Perluasan skrining ke daerah dengan prevalens HIV serendah-

rendahnya 0,1% meningkatkan rasio tersebut menjadi US$ 64.500 (sekitar Rp

612.750.000) per-QALY yang diperoleh. Peningkatan biaya konseling dari US$ 53

menjadi US$ 103 tiap orang masih memberikan rasio cost-effectiveness di bawah

US 100.000 per-QALY yang diperoleh. Kesimpulannya, program skrining HIV rutin

pada pasien rawat inap bernilai cost-effective, bahkan bila diterapkan pada

daerah dengan prevalens HIV sepuluh kali di bawah batas ambang yang

direkomendasikan. Oleh karena itu, panduan konseling, testing, dan perujukan

HIV harus diimplementasikan secara luas sebagai jalan untuk menghubungkan

pasien dengan tempat pelayanan kesehatan.

Analisis cost-effectiveness mengenai pelaksanaan skrining HIV secara

menyeluruh terhadap wanita hamil pernah dilakukan oleh Postma dkk68 di Inggris

tahun 1996. Pada penelitiannya, diasumsikan bahwa biaya perawatan seumur

hidup untuk anak yang terinfeksi HIV mencapai UK£ 178.300 (sekitar Rp

2.674.500.000). Penerapan skrining terhadap wanita hamil dapat mengurangi

beban tersebut sekaligus memperpanjang usia harapan hidup bagi ibu dan

anaknya. Skrining HIV antenatal secara universal merupakan suatu intervensi

yang cost-effective yang berpotensi menghemat sejumlah dana bila dilakukan

pada daerah dengan prevalens HIV pada wanita hamil tinggi. Pada tempat

dengan prevalens rendah, rasio cost-effectiveness-nya di bawah UK£ 20.000

(sekitar Rp 300.000.000) dan skrining antenatal secara universal dapat

dipertimbangkan.

Immergluck dkk69 (2000) membandingkan cost-effectiveness dari

pemberlakuan skrining universal dengan skrining secara sukarela terhadap wanita

hamil di Chicago, Amerika Serikat. Hasil penelitian tersebut menyatakan

pemeriksaan bahwa penerapan skrining universal akan membutuhkan dana US$

11,1 juta (sekitar Rp 105,45 miliar)) untuk menskrining 100.000 wanita hamil dan

mengobati 40 kasus HIV anak. Sementara, dengan penerapan pemeriksaan HIV

secara sukarela, dengan tingkat partisipasi 92,7%, dibutuhkan US$ 11,35 juta

(sekitar Rp 107,825 miliar) untuk menskrining 100.000 wanita hamil dan

mengobati 44,8 kasus HIV anak. Oleh karena itu, dibandingkan skrining secara

sukarela, skrining universal dapat menghindari 4,8 kasus HIV anak dan

menghemat US$ 269.445 (sekitar Rp 2.559.727.500) untuk tiap 100.000 wanita

hamil yang diskrining. Kemudian, bila dibandingkan dengan tidak dilakukan

skrining sama sekali, skrining secara universal dapat menghemat hingga US$

3,69 juta (sekitar Rp 35,055 miliar) untuk tiap 100.000 wanita hamil yang

diskrining dan menghindari 64,6 kasus HIV anak.

Immergluck dkk69 menyimpulkan bahwa skrining HIV universal terhadap

wanita hamil di Chicago dapat menurunkan jumlah bayi baru lahir yang terinfeksi

HIV dan lebih cost-effective dibandingkan dengan skrining yang dilakukan secara

sukarela. Baik pada daerah dengan prevalens HIV pada ibu hamil > 0,21% atau <

Page 55: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

55

0,21% pemberlakukan skrining secara universal dinilai lebih efektif dan lebih cost-

effective daripada skrining secara sukarela. Oleh karena itu, manfaat skrining

secara universal dapat lebih besar jika diterapkan pada masyarakat di mana para

ibu hamil enggan mengikuti pemeriksaan HIV secara sukarela. Skrining universal

juga mengurangi beban para tenaga kesehatan untuk memotivasi pasien untuk

dilakukan skrining.

Page 56: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

56

Rekomendasi

No Rekomendasi Tingkat

Rekomendasi &

Level of Evidence

Referensi

1. Skrining terhadap HIV harus dilakukan di rumah sakit dan fasilitas

kesehatan lainnya untuk menjaring orang-orang dengan HIV/AIDS

yang belum mengetahui status HIV-nya dan merujuk orang-orang

yang seropositif untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan ARV.

Dengan mengetahui status HIV lebih awal, orang-orang dengan HIV

positif bisa segera memulai terapi ARV sehingga angka morbiditas

dan mortalitasnya berkurang.

B (IIb) 11,26,31,

54,57

2. Skrining HIV direkomendasikan untuk dilakukan terhadap target

populasi tertentu sebab dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan

apabila dilakukan secara rutin dapat menjaring kasus HIV lebih

banyak.

C 64

3. Sasaran skrining di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya

meliputi:

- Seluruh pasien di instalasi gawat darurat A (Ia) 37,38,39

- Ibu hamil di pelayanan antenatal A (Ia) 11,25,35,36

- Anak dari orang tua yang positif HIV atau memiliki perilaku berisiko

tinggi

A (Ib) 27,33

- Pasien TB C (IV) 11,33

- Pasien klinik infeksi menular seksual C (IV) 11,33,34

- Darah dan organ donor A (Ia) 10,28,29,

45,62

- Pasien bedah C (IIIa) 40,41,42

4. PITC direkomendasikan untuk diterapkan kepada:

- Pasien pengunjung tempat pelayanan infeksi menular seksual

B (IIa) 33,70

- Orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis

yang sesuai dengan infeksi HIV

- Anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV

positif

- Anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah

dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi

yang optimal;

- Pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko (contoh:

pekerja seks dan kliennya, pengguna narkoba suntik, laki-laki yang

berhubungan seksual dengan laki-laki, narapidana, imigran,

pengungsi).

- Pelayanan antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan

- Pasien klinik pelayanan TB

C (IV) 33

5. Khusus di Papua, PITC direkomendasikan untuk diterapkan kepada:

- Pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun

- Klien pada pelayanan kesehatan untuk remaja

C (IV) 6,33

Page 57: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

57

- Pasien pelayanan pembedahan

- Klien layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana

Rekomendasi ini ditetapkan khusus di Papua sebab Papua saat ini

sudah memasuki generalized epidemics phase

6. Skrining HIV wajib dilakukan pada darah atau organ donor A (Ia) 10,28,29,

45,62

7. Pemeriksaan HIV dapat menggunakan metode ELISA dan uji cepat

(rapid test). Untuk skrining direkomendasikan untuk menggunakan

ELISA reagen generasi ketiga atau yang lebih mutakhir. Semua

pemeriksaan HIV harus dilanjutkan dengan uji konfirmasi.

C (IV) 34,52

7a. Untuk kepentingan surveilans dan skrining darah donor didaerah

dengan prevelansi infeksi rendah dan jumlah donasi sedikit, tes Rapid

masih dapat digunakan.

C 53

7b. Untuk skrining darah donor di daerah dengan prevalensi infeksi tinggi

sangat disarankan menggunakan metoda ELISA kombinasi. Jika

jumlah spesimen sedikit karena jumlah donasi rendah, untuk

standarisasi, skrining darah donor dengan metoda ELISA kombinasi

dapat disentralisasi di UTD yang lebih mampu dengan

mempertimbangkan kemudahan transportasi dan jaminan rantai

dingin spesimen.

C 53

Page 58: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

58

DAFTAR ISTILAH

AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome

ARV Antiretroviral

CDC Centre for Disease Control and Prevention

ELISA Enzyme-linked immunosorbent assay

HIV Humman Immunodeficiency Virus

ODHA Orang dengan HIV/AIDS

Opt-out Hak pasien untuk menolak pemeriksaan medis yang ditawarkan

PITC Provider-Initiated HIV Testing and Counselling (Konseling dan testing HIV yang

diinisiasi oleh tenaga kesehatan)

PMTCT Prevention Mother-to-Child Transmission (Pencegahan penularan HIV dari Ibu ke

Bayi)

QALY Quality-adjusted life years

UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV/AIDS

VCT Voluntary Counseling and Testing (konseling dan testing secara sukarela)

Wanita Penjaja Seks

(WPS) Langsung

Wanita yang menjual seks sebagai pekerjaan atau sumber penghasilan utama

mereka, baik yang berbasis di rumah bordil/lokalisasi atau bekerja di jalanan.

WPS Tidak

Langsung

Wanita yang bekerja di bisnis-bisnis hiburan seperti bar, karaoke, salon atau panti

pijat yang menambah penghasilan mereka dengan menjual seks. Namun, tidak

semua mereka yang bekerja ditempat-tempat tersebut terindikasi menjual seks.

Page 59: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

59

DAFTAR PUSTAKA

1 WHO. HIV Burden.2008

2 UNAIDS.Report on the global AIDS epidemic.2008.

3 UNAIDS.AIDS Epidemic Update. 2009

4 Situasi HIV & AIDS di Indonesia.Komisi Penanggulangan AIDS.2009

5 Departemen Kesehatan Republik Indonesia Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku.2007

6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku.2006.

7 AusAID. Impacts of HIV/AIDS 2005–2025 in Papua New Guinea, Indonesia and East

Timor.2006

8 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi dan Rencana Aksi Nasional

Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.2009.

9 Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan 30

September 2009. Depkes.2009

10 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 622/MENKES/SK/VII/1992

11 Branson BM, Handsfield HH, Lampe MA, Janssen RS, Taylor AW, Lyss SB, et al. Revised

Recommendations for HIV Testing of Adults, Adolescents, and Pregnant Women in Health-

Care Settings. Center for Disease Control and Prevention. 2006

12 Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.Jakarta.2006.hal 1825-30

13 Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders.In: Fauci AS, Kasper DL,

Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editors. Harrison’s Principle of

Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill.USA.2008

14 Constantine Niel T, Saville R D, Dax E M. Retroviral testing and Quality Assurance

Essentials for Laboratory Diagnosis. MedMira Laboratories, 2005: 32.

15 WHO Blood Safety Aide-Memoire for NationalBlood Programmes. WHO/BCT/0203. July

2002

16 Gandhi M.J, Yang G.G, Mc Mahon B.J dan Vyas G.N. Hepatitis B virion isolated with

antibodies to the pre-S1 domain reveal occult viremia by PCR in Alaska Native HBV carriers

who have seroconverted. Transfusion. 2000;40:910-916.

17 HIV Transmission in a dialysis center Colombia 1991-1993. CDC.1995

18 Simonds RJ.HIV transmission by organ and tissue transplantation.AIDS. 1993 Nov;7

Suppl 2:S35-8.Abstract.

Page 60: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

60

19 Tokars JI, Bell DM, Culver DH, Marcus R, Mendelson MH, Sloan EP, et al. Percutaneous injuries during surgical procedurs. JAMA. 1992;267:2899-2904

20 Gumodoka B, Favot I, Berege ZA, Dolmas WMV. Occupational exposure to the risk of HIV

infection among healthcare workers in Mwanza Region, United Republic of Tanzania.

Bulletin of the World Health Organization 1997;75(2):133-40.

21 Sato PA, Maskill WJ, Tamashira H, Heymann DL. Strategies for laboratory HIV testing: an

examination of alternative approaches not requiring Western blot. Bulletin of the World

Health Organization, 1994, 72 (1): 129-34.

22 Thaker HK, Snow MH. HIV viral suppression in the era of antiretroviral therapy. Postgrad

Med J 2003;79:36–42

23 Phillips AN, Staszewski S, Weber R, Kirk O, Francioli P, Miller V, et al. HIV viral load

response to antiretroviral therapy according to the baseline CD4 cell count and viral load.

JAMA. 2001;286:2560-2567

24 Ahdieh-Grant L, Yamashita TE, Phair JP, Detels R, Wolinsky SM, Margolick JB , et al.

When to initiate highly active antiretroviral therapy: a cohort approach. Am J Epidemiol

2003;157:738–746

25 Thorne C, Semenenko I, Pilipenko T, Malyuta R,et al.Progress in prevention of mother-to-

child transmission of HIV infection in Ukraine: results from a birth cohort study. BMC

Infectious Diseases 2009, 9:40.

26 Kitahata MM, Gange SJ, Abraham AG, Merriman B, Saag MS, Justice AC, et al. Effect of

early versus deferred antiretroviral therapy for HIV on survival. N Engl J Med

2009;360:1815-26

27 Violari A, Cotton MF, Gibb DM, Babiker AG, Steyn J, Madhi SA, et al. Early antiretroviral

therapy and mortality among HIV-infected infants. N Engl J Med 2008;359:2233-44.

28 UNAIDS.UNAIDS/WHO Policy Statement on HIV Testing.2004

29 Wanyenze R, Madra P, Ronald A. Testing and Counseling. In: Volberding PA, Sande MA,

Greene WC, Lange JMA, Gallant JE, Walsh CC, editors. Global HIV/AIDS

Medicine.Saunders Elsevier. China.2008.p 111-21

30UNAIDS. HIV testing and counseling. Tersedia di

www.unaids.org/en/PolicyAndPractice/CounsellingAndTesting/default.asp. Diakses 25 Maret

2010.

31 CDC. CDC HIV/AIDS Science Facts: CDC released revised HIV testing recommendation

in healthcare settings. 2006.

32 Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins Jr R, Owens DK. Screening for HIV in Health

Care Settings: A Guidance Statement From the American College of Physicians and HIV

Medicine Association. Ann Intern Med. 2009;150:125-131.

Page 61: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

61

33 WHO.Guidance on Provider-Initiated HIV Testing and Counselling in Health

Facilities.2007

34 BHIVA. UK National Guidelines for HIV Testing 2008

35 Keenan-Lindsay L, Yudin MH, Boucher M, Cohen HR, Gruslin A, MacKinnon CJ, et al.

SOGC Clinical Practice Guideline: HIV screening in pregnancy. J Obstet Gynaecol Can

2006;28(12):1103–1107

36 Volmink J, Siegfried N, van der Merwe L, Brocklehurst P. Antiretrovirals for reducing the

risk of mother-to-child transmission of HIV infection (Review). The Cochrane Collaboration

2009.

37 Rothman RE, Ketlogetswe KS, Dolan T, Wyer PC, Kelen GD. Preventive Care in the

Emergency Department: Should Emergency Departments Conduct Routine HIV Screening?

A Systematic Review. Acad Emerg Med. March 2003. Vol 10 No 3

38 Kelen GD, Hexter DA, Hansen KA, Tang N, Pretorius S, Quinn TC. Trends in human

immunodeficiency virus (HIV) infection among a patient population of an inner-city

emergency department: implications for emergency department-based screening programs

for HIV infection. Clin Infect Dis. 1995; 21:867–75.

39 Lyss SB, Branson BM, Kroc KA, Couture EF, Newman DR, Weinstein RA. Detecting

unsuspected HIV infection with a rapid whole-blood HIV test in an urban emergency

department. J Acquir Immune Defic Syndr 2007;44:435–442

40 Chapman K, Meadows J, Catalan J, Gazzard B. Testing patients for HIV before surgery:

the views of doctors performing surgery. AIDS Care, Volume 7, Issue 2 April 1995 , pages

125 – 128. Abstract.

41 Onyekwe LO, Okosa MC, Apakama A. Perception and Attitude of Hospital Workers

towards Pre-operative HIV Screening of Patients in an Eye Hospital.Port Harcourt Medical

Journal Vol 3(1). 2008.p 91-5.Abstraks.

42 Fournier AM, Zeppa R. Preoperative screening for HIV infection. A balanced view for the

practicing surgeon. Arch Surg. 1989 Sep;124(9):1038-40.

43 Poljak M, Smit E, Ross J. 2008 European Guideline on HIV Testing. International Journal

on STD and AIDS Vol 20. Februari 2009.p 77-83

44 WHO.Safe Blood and Blood Products. Distance Learning Materials Module 2: Screening

for HIV and other infectious agents. World Health Organization Global Programme on AIDS.

Geneva. 2002. Page 58

45 Chambo E, Marsh K, Ferreira O, Ibrahimo D, Nelson L, Benech I. The impact of safe

blood bank screening and transfusion practices on HIV infections potentially averted among

children and adults in Mozambique. Abstract. Dipresentasikan di 2007 HIV/AIDS

Implementer’s Meeting Kigali, Rwanda.

Page 62: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

62

46 Pan American Health Organization. Guidelines for the Implementation of Reliable and

Efficient diagnostic of HIV Testing. Washington DC. 2008

47 "Malaysia," Fighting a Rising Tide: The Response to AIDS in East Asia; (eds. Tadashi

Yamamoto and Satoko Itoh). Tokyo: Japan Center for International Exchange, 2006, pp.

195-206.

48 Djoerban Z.Update HIV/AIDS.MPPK IDI.2009

49 UNAIDS/WHO. Epidemiological fact sheet on HIV and AIDS: Malaysia. 2008

50 UNDP.Thailand’s Response to HIV/AIDS: Progress and Challenges.2004

51 UNAIDS/WHO. Epidemiological fact sheet on HIV and AIDS: Thailand. 2008

52 Departemen Kesehatan RI. Hasil Evaluasi reagensia HIV di Indonesia. 2006.

53 Constantine N.T, Saville R.D, Dax E.M. Retroviral testing and quality assurance:

Essensial for laboratory diagnosis. A non profit effort supported through an educational grant

from MedMira Laboratories. Canada: MedMira Laboratories, Inc; 2005. p 100-125

54 UNAIDS/WHO. Voluntary Counselling and Testing (VCT): Technical update. May 2000.

55 Ford K, Wirawan DN, Sumantera GM, Sawitri AAS, Stahre M. Voluntary HIV testing,

disclosure, and stigma among injection drug users in Bali, Indonesia. In: Susami H,

Gunawan S, Hira S, editors. HIV/AIDS Research Inventory 1995-2009.National AIDS

Comission. Jakarta, Indonesia. 2009

56 Family Health International. VCT Toolkit: A guide to establishing voluntary counseling and

testing services for HIV. September 2002.

57 UNAIDS/WHO. HIV Voluntary Counselling and Testing: a gateway to prevention and care.

June 2002.

58 UNAIDS/WHO. Epidemiological fact sheet on HIV and AIDS: Indonesia. 2008

59 Kebijakan Nasional Kolaborasi TB/HIV.Depkes.2007

60 Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan 30

September 2009. Departemen Kesehatan.2009.

61 Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia 2008 – 2014. Departemen Kesehatan.

2008.

62 Chamberland ME, Lackritz EM, Busch MP. HIV screening of the blood supply in

developed and developing countries. AIDS Rev 2001;3:24-35.

63 Hutchinson AB, Farnham PG, Dean HD, Ekwueme DU, del Rio C, Kamimoto L, et al. The

economic burden of HIV in the United States in the era of highly active antiretroviral therapy:

evidence of continuing racial and ethnic differences. J Acquir Immune Defic Syndr

2006;43:451–457.

Page 63: Skrining HIV Di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebara

HTA Indonesia_ 2010_Skrining HIV di Rumah Sakit Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran HIV

63

64 Holtgrave DR. Cost and consequences of the US Centers for Disease Control and

Prevention’s recommendations for opt-out HIV testing. PLoS Medicine Vol. 4 Issue 6. June

2007.p 1011-18.

65 Sanders GD, Bayoumi AM, Sundaram V, Bilir SP, Neukermans CP, Rydzak CE, et al.

Cost-effectiveness of screening for HIV in the era of highly active antiretroviral therapy. N

Engl J Med 2005;352:570-85.

66 Owens DK, Nease RF Jr, Harris RA. Cost-effectiveness of HIV screening in acute care

settings. Arch Intern Med. 1996 Feb 26;156(4):394-404.

67 Walensky RP, Weinstein MC, Kimmel AD, Seage GR 3rd, Losina E, Sax PE, et al.

Routine human immunodeficiency virus testing: an economic evaluation of current

guidelines. Am J Med. 2005 Mar;118(3):292-300.

68 Postma MJ, Beck EJ, Mandalia S, Sherr L, Walters MDS, Houweling H, et al. Universal

HIV screening of pregnant women in England: cost effectiveness analysis. BMJ

1999;318:1656–60

69 Immergluck LC, Cull WL, Schwartz A, Elstein AS. Cost-effectiveness of universal

compared with voluntary screening for Human Immunodeficiency Virus among pregnant

women in Chicago. Pediatrics 2000;105(4).

70 Leon N, Naidoo P, Mathews C, Lewin S, Lombard C. The impact of provider-initiated HIV screening on test uptake among STI patients in Cape Town:A controlled trial.Implementation Science 2010, 5:8