skenario 3
-
Upload
nadya-kuncaraning-anugrae -
Category
Documents
-
view
18 -
download
2
description
Transcript of skenario 3
Sistem Pelayanan Dokter Keluarga ( SPDK )Untuk menunjang tugas dan wewenang nya diperlukan Sistem Pelayanan DokterKeluarga yang terdiri atas komponen :
a) Dokter keluarga yang menyelenggarakan pelayanan primer di klinik DokterKeluarga (KDK), b) Dokter Spesialis yang menyelenggarakan pelayanan sekunder diklinik Dokter Spesialis (KDSp), c) Rumah sakit rujukan, d) Asuransi kesehatan/Sistem Pembiayaan, e) Seperangkat peraturan penunjang.
STANDAR PELAYANAN MEDIS DOGA:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
c. Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding
d. Prognosis
e. Konseling membantu pasien (dan keluarga) untuk menentukan pilihan terbaik
penatalaksanaan untuk pasien sendiri.
f. Konsultasi jika diperlukan, dokter keluarga dapat melakukan konsultasi ke dokter lain
(dokter keluarga lain, dokter keluarga konsultan, dokter spesialis, atau dinas kesehatan) yang
dianggap lebih berpengalaman.
g. Rujukan
h. Tindak lanjut
i. Tindakan
j. Pengobatan rasional
k. Pembinaan keluarga dilakukan bila dinilai bahwa penatalaksanaan pasien akan lebih baik
jika adanya partisipasi keluarga.
Pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga banyak macamnya. Secara umum
dapat dibedakan atas tiga macam:
1. Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga hanya pelayanan
rawat jalan saja. Dokter yang menyelenggarakan praktek dokter keluarga tersebut tidak
melakukan pelayanan kunjungan dan perawatan pasien di rumah atau pelayanan rawat inap di
rumah sakit. Semua pasien yang membutuhkan pertolongan diharuskan datang ke tempat praktek
dokter keluarga. Jika kebetulan pasien tersebut memerlukan pelayanan rawat inap, pasien
tersebut dirujuk ke rumah sakit.
2. Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien dirumah.
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga mencakup
pelayanan rawat jalan serta pelayanan kunjungan dan perawatan pasien di rumah. Pelayanan
bentuk ini lazimnya dilaksanakan oleh dokter keluarga yang tidak mempunyai akses dengan
rumah sakit.
3. Menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien di rumah, serta
pelayanan rawat inap di rumah sakit.
Pada bentuk ini, pelayanan yang diselenggarakan pada praktek dokter keluarga telah mencakup
pelayanan rawat jalan, kunjungan dan perawatan pasien di rumah, serta perawatan rawat inap di
rumah sakit. Pelayanan bentuk ini lazimnya diselenggarakan oleh dokter keluarga yang telah
berhasil menjalin kerja sama dengan rumah sakit terdekat dan rumah sakit tersebut memberi
kesempatan kepada dokter keluarga untuk merawat sendiri pasiennya di rumah sakit.
KLINIK DOKTER KELUARGA ( KDK )
a. Merupakan klinik yang menyelenggarakan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK),
b. Sebaiknya mudah dicapai dengan kendaraan umum. (terletak di tempat strategis),
c. Mempunyai bangunan yang memadai,
d. Dilengkapi dengan sarana komunikasi,
e. Mempunyai sejumlah tenaga dokter yang telah lulus pelatihan DK,
f. Mempunyai sejumlah tenaga pembantu klinik dan paramedis telah lulus perlatihan
khususpembantu KDK,
g. Dapat berbentuk praktek mandiri (solo) atau berkelompok.
h. Mempunyai izin yang berorientasi wilayah,
i. Menyelenggarakan pelayanan yang sifatnya paripurna, holistik, terpadu,
danberkesinambungan,
j. Melayani semua jenis penyakit dan golongan umur,
k. Mempunyai sarana medis yang memadai sesuai dengan peringkat klinik ybs
TIU 1 : MM SUMBER PEMBIAYAAN PRAKTEK DOKTER KELUARGA
Keuangan dalam praktik DOGA tercatat secara seksama dengan cara yang umum dan
bersifat transparansi. Manajemen keuangannya dapat mengikuti sistem pembiayaan praupaya
maupun sistem pembiayaan fee for service.
BPJS : Badan Pengelola Jaminan Sosial
Manajemen Pembiayaan Klinik Doga
Berdasarkan bagan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pembiayaan klinik dokter keluarga dapat berasal dari asuransi sosial, asuransi komersial, dan out of pocket. Model pembiayaan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan.
Mekanisme pembiayaan yang ditemukan pada pelayanan kesehatan banyak macamnya. Jika disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua macam. Pertama, pembiayaan secara tunai (fee for service), dalam arti setiap kali pasien datang berobat diharuskan membayar biaya pelayanan. Kedua, pembiayaan melalui program asuransi kesehatan (health insurance), dalam arti setiap kali pasien datang berobat tidak perlu membayar secara tunai, karena pembayaran tersebut telah ditanggung oleh pihak ketiga, yang dalam hat ini adalah badan asuransi.
tidaklah kedua cara pembiayaan ini dinilai sesuai untuk pelayanan dokter keluarga. Dari dua cara pembiayaan yang dikenal tersebut, yang dinilai sesuai untuk pelayanan dokter keluarga hanyalah pembiayaan melalui program asuransi kesehatan saja. Mudah dipahami, karena untuk memperkecil risiko biaya, program asuransi sering menerapkan prinsip membagi risiko (risk sharing) dengan penyelenggara pelayanan, yang untuk mencegah kerugian, tidak ada pilihan lain bagi penyelenggara pelayanan tersebut, kecuali berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, dan atau mencegah para anggota keluarga yang menjadi tanggungannya untuk tidak sampai jatuh sakit. Prinsip kerja yang seperti ini adalah juga prinsip kerja dokter keluarga.
Bentuk - Bentuk Pembiayaan Pra-Upaya
Mengingat bentuk pembayaran pra-upaya banyak menjanjikan keuntungan, maka pada
saaat ini bentuk pembayaran pra-upaya tersebut banyak diterapkan. Pada dasarnya ada tiga
bentuk pembiayaan secara pra-upaya yang dipergunakan.
Ketiga bentuk yang dimaksud adalah:
1. Sistem kapitasi (capitation system)
Yang dimaksud dengan sistem kapitasi adalah sistem pembayaran dimuka yang dilakukan
oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan kesepakatan harga
yang dihitung untuk setiap peserta untuk jangka waktu tertentu. Dengan sistem pembayaran ini,
maka besarnya biaya yang dibayar oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan yang
tidak ditentukan oleh frekwensi penggunaan pelayanan kesehatan oleh peserta, melainkan
ditentukan oleh jumlah peserta dan kesepakatan jangka waktu jaminan.
2. Sistem paket (packet system)
Yang dimaksud dengan sistem paket adalah sistem pembayaran di muka yang dilakukan
oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan kesepakatan harga
yang dihitung untuk suatu paket pelayanan kesehatan tertentu. Dengan sistem pembayaran ini,
maka besarnya biaya yang dibayar oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan tidak ditentukan oleh macam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, melainkan
oleh paket pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan. Penyakit apapun yang dihadapi, jika
termasuk dalam satu paket pelayanan yang sama, mendapatkan biaya dengan besar yang sama.
Sistem pernbiayaan paket ini dikenal pula dengan nama sistem pembiayaan kelompok diagnosis
terkait (diagnosis related group) yang di banyak negara maju telah lama diterapkan.
3. Sistem anggaran (budget system)
Yang dimaksud dengan sistem anggaran adalah sistem pembayaran di muka yang
dilakukan oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan
kesepakatan harga, sesuai dengan besarnya anggaran yang diajukan penyelenggara pelayanan
kesehatan. Sama halnya dengan sistern paket, pada sistem anggaran ini, besarnya biaya yang
dibayar oleh badan asuransi kepada penyelenggara pelayanan kesehatan tidak ditentukan oleh
macam pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, melainkan oleh besarnya anggaran yang
telah disepakati.
Info terbaru terkait sistem pembiayaan dalam SKN:
Salah satu solusi yang dilakukan dalam sumber pembiayaan (termasuk nantinya pembiayaan
praktek dokter keluarga) untuk menyelenggarakan Sistem Kesehatan Nasional yang baik adalah
dengan menyelenggarakan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-
Undang yang telah ditetapkan tahun 2004 ini mengalami kendala dalam realisasinya terkait
pembentukan badan penyelenggaranya (BPJS) yang seharusnya telah ditetapkan saat 2009.
Akhirnya pada hari rabu, 28 oktober 2011 sekitar pukul 20.40 WIB, RUU BPJS disahkan
menjadi UU BPJS dengan kesepakatan bahwa BPJS I yang mengurus jaminan kesehatan
diselenggarakan oleh ASKES akan mulai beroperasi pada tanggal 1 januari 2014. Sedangkan
BPJS II (Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang mengurus ketenagakerjaan selambat-lambatnya
beroperasi 1 juli 2015. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan sistem dokter keluarga
dapat menjadi lebih baik.
9. PELAKSANAAN DOGA DI INDONESIA
Mekanisme dan jenjang pelayanan kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan sebenarnya atau idealnya, ada tiga tahap pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh
masyarakat.Ketiga tahap pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut; pertama, Pelayanan
Tingkat Primer. Pelayanan di sini diselenggarakan oleh Dokter Praktik Umum atau yang
selama ini dikenal dengan sebutan Dokter Umum. Tahap ini merupakan kontak pertama pasien
dengan dokter yang biasanya bertempat di Klinik Pribadi, Klinik Dokter Bersama, Puskesmas,
Balai Pengobatan, Klinik Perusahaan, atau Poliklinik Umum di rumah sakit, dsb.
Kedua,`Pelayanan Tingkat Sekunder. Jika diangap perlu, pasien akan dirujuk ke Pelayanan
Tingkat Sekunder. Untuk itu dokter praktik umum akan menulis surat konsultasi atau rujukan
kepada tenaga kesehatan yang lebih ahli, dalam hal ini dokter spesialis. Ketiga, Pelayanan
Tingkat Tersier. Jika masalahnya juga tidak dapat atau tidak mungkin diselesaikan oleh
pelayanan di tingkat sekunder maka pasien akan dikirim ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu
pasien akan dirujuk kepada dokter konsultan atau subspesialis.
Setiap pasien semestinya harus ke pelayanan kesehatan primer terlebih dulu untuk semua
masalah kesehatan yang dihadapinya. Perkecualian tentu saja ada, misalnya untuk kasus
kedaruratan yang parah, pasien bisa langsung ke unit gawat darurat terdekat di manapun. Jika
masalah pasien telah ditangani di tingkat sekunder atau tersier, maka pasien akan dikembalikan
ke dokter umumnya untuk mendapatkan perawatan lanjutan.
Pada dasarnya dokter keluarga adalah dokter praktik umum yang bertugas
menyelenggarakan pelayanan primer. Beberapa negara masih menggunakan istilah dokter
praktik umum, karena memang lulusan dokter yang keluar dari pendidikan kedokteran memang
telah memiliki keterampilan khusus dokter keluarga, dan sistem pelayanan dokter keluarga telah
digunakan secara menyeluruh di negara tersebut. sedang kan beberapa negara termasuk
Indonesia belum menerapkan sistem pelayanan dokter keluarga ini. Lulusan-lulusan dokter dari
berbagai institusi pendidikan kedokteran di Indonesia juga belum memiliki kompetensi dokter
keluarga.
Di Indonesia memang dokter di Puskesmas belum menerapkan fungsi DK, karena masih
terbentur oleh sistem. Yang kedua terbentur pada dokternya sendiri yang belum menguasai
prinsip pelayanan DK. Sistem itu begini, sebenarnya sudah ada bahwa pelayanan kedokteran itu
terdiri dari pelayanan primer, sekunder, dan tersier. Sistem yang ada di program Depkes juga
menyebutkan Puskesmas itu hanya melayani Unit Kesehatan Masyarakat (UKM), namun yang
terjadi Unit Kesehtan Personal (UKP)-nya tidak terlayani. Mungkin saja terlayani, tapi tidak
manfaatnya kurang terasa. Konsep itu yang seharusnnya ada, namun dilapangan kenyataannya
tidak seperti itu. PDKI menghendaki UKM dan UKP berjalan di sebagaimana mestinya,
bagaimana UKP adalah bagian dari UKM, dan bisa dikatakan Puskesmas adalah klinik DK.
Selain peranannya sebagai UKM
Namun, ada banyak hal yang menjadi hambatan bagi pelaksanaan secara komprehensif
sistem pelayanan dokter keluarga. Sebagian besar masyarakat masih belum mengerti denagn
peran sistem pelayanan kesehatan dokter keluarga, serta mekanisme pelayanan kesehatan
berjenjang. Akibatnya, sebagian masayarakat masih datang ke tempat pelayanan kesehatan
sekunder untuk wilayah kerja yang harusya mampu ditangani oleh pelayanan primer. Ini tentu
saja, menyebabkan biaya kesehatan yang dikelurkan oleh masyarat menjadi jauh lebih mahal.
Selain itu, sistem pembiayaan kesehatan berbasis asuransi yang masih belum bisa terlaksana
maksimal juga menghambat terlaksananya sistem pelayanan kesehatan dokter keluarga.
Satu hal lain yang juga penting untuk diperbaiki jika kita ingin menerapkan sistem
pelayanan dokter keluarga ini secara konsisten adalah paradigma kita dalam pembangunan
kesehatan. Semua pihak yang terkait, mulai dari pemerintah sebagai penanggung jawab
pelayanan kesehatan, Rumah sakit, PKM, serta penyedia jasa layanan kesehatan lainnya, tenaga
kesehatan, maupun masyarakat harus mampu mengubah paradigma kita dalam pelayanan
kesehatan. “Paradigma orang sakit” yang selama ini kita gunakan, yang mengakibatkan kita lebih
banyak mengarahkan pembiayaan dan upaya-upaya kesehatan untuk pengobatan dan perawatan
pasca sakit, harus diubah ke arah paradigm sehat yaitu sebuah paradigma yang berusaha
mengarahkan upaya dan pembiayaan kesehatan ke arah pencegahan masyarakat dari penyakit
dan pendidikan kesehatan bagi masyarakat agar mampu menjaga kesehatannya secara mandiri.
Dengan paradigma sehat, penulis yakin penyelenggaraan pelayanan kesehatan berbasis dokter
keluarga bisa terwujud dalam waktu dekat.
Mengenai sistem pembiayaan dokter keluarga, ASKES sebagai salah satu BUMN yang digadang menjadi BPJS menerapkan besaran kapitasi Dokter keluarga mengacu pada pola perhitungan yang didasarkan pada 2 (dua) ketentuan popok:
1. Hasil penetapan penggololongan Dokter Keluarga berdasarkan kapasitas pelayan yang dimiliki
2. Penetapan komposisi jenis kelamin dan umur peserta yang terdaftar di Dokter Keluarga tersebut (Community Rating by Class)
Pembayaran besaran kapitasi tersebut, pada prinsipnya hanya dapat dilakukan bila Kantor Cabang telah melaksanakan perhitungan sesuai ketentuan-ketentuan pokok seperti di atas Penetapan penggolongan Dokter Keluarga berdasarkan kapitasi pelayanan yang dimilikinya dilakukan melalui pelaksanaan seleksi PPK (credentialing) dan seleksi kembali PPK (re-credentialing) dengan memperhatihkan indicator-indikator penentu yakni:
1. Hasil penilaian sarana dan prasarana2. Ketersediaan tenaga perawat3. Ketersediaan tenaga administrasi4. Kemampuan penyediaan sarana laboratorium5. Penggolongan besaran kapitasi Dokter Keluarga berdasarkan kapasitas 6. pelayanan yang dimiliki di bagi atas 3 kategori yakni:
-Kategori Kapitasi A yakni apabila Dokter Keluarga memenuhi seluruh indicator (indicator penentu point (1)-(4) point c). besaran kapitasi yang ditetapkan adalah maksimal sebesar Rp 6500,00 per jiwa-Kategori Kapitasi B yakni apabila Dokter Keluarga hanya mampu memenuhi minimal 2 (dua) indicator penentu. Besaran kapitasi yang ditetapkan adalah maksimal sebesar Rp 6000,00 per jiwa-Kategori Kapitasi C yakni apabila Dokter keluarga hanya mampu memenuhi indicator sarana dan prasarana sedangkan indicator penentu lainnya tidak terpenuhi. Besarnya kapitasi yang ditetapkan adalah maksimal Rp 5500,00Penetapan komponen besaran kapitasi yang dibayarkan kepada Dokter Keluarga untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:
1. Kategori Kapitasi A yakni maksimal sebesar Rp 6.500,00 per jiwa, terdiri dari: jasa medis dokter, pelayanan obat dan pelayanan laboratorium sederhana (darah rutin dan urine rutin). Besaran jasa medis dokter adalah sebesar Rp 2.000,00, siasanya adalah biaya obat dan pelayanan laboratorium sederhana (darah rutin dan urine rutin).
2. Kategori Kapitasi B yakni maksimal sebesar Rp 6.000,00 per jiwa terdiri dari : jasa medis dokter, pelayanan obat dan salah satu pelayanan laboratorium sederhana (darah rutin dan urine rutin). Besaran jasa medis dokter adalah sebesar Rp 2.000,00, sisanya adalah biaya obat dan salah satu pelayanan laboratorium sederhana (darah rutin dan urine rutin).
3. Kategori Kapitasi C yakni maksimal sebesar Rp 5.500,00 per jiwa, terdiri dari : jasa medis dokter, pelayanan obat (tanpa pelayanan laboratorium sederhana). Besaran jasa medis dokter adalah sebesar Rp 2.000,00, sisanya adalah pelayanan obat (tanpa pelayanan laboratorium sederhana)
Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal dasar yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
dokter keluarga secara konsisten, yaitu mekanisme pelayanan kesehatan berjenjang dan sistem
pembiayaan kesehatan berbasis asuransi. Sayangnya sistem pembiayaan yang ada, seperti
dilakukan ASKES belum ideal. Penelitian yang dilakukan oleh pakar jaminan sosial Prof.
Hasbullah Thabrany menunjukkan bahwa untuk menyelenggarakan jaminan sosial yang ideal,
paling tidak kapitasina sebesar Rp. 20.000 per jiwa, tentu angka ini masih jauh dibanding yang
telah dilaksanakan (Rp.5.500- Rp. 6500 per jiwa). Tanpa pelaksanaan mekanisme pelayanan
kesehatan berjenjang sangat sulit untuk mengedukasi masyarakat akan peran dan manfaat dokter
keluarga. Tanpa pembiayaan kesehatan berbasis asuransi yang merata, juga akan tetap sangat
sulit bagi masyarkat untuk mengakses pelayanan dokter keluarga. Di berbagai negara,
pelaksanaan pelayanan dokter keluarga telah diintegrasikan dengan mekanisme pembiayaan
kesehatan berbasis asuransi dan mekanisme pelayanan kesehatan berjenjang. Sayangnya sistem
jaminan sosial yang memiliki prinsip asuransi belum terlaksana (2014 akan dilaksanakan)
sehingga saat ini pembiayaan praktek dokter keluarga masih menjadi kendala tersendiri dalam
pelaksanaan sistem ini.
10. KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN
Hubungan yang berlangsung antara dokter/dokter gigi dengan pasiennya selama proses
pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang praktik perorangan, poliklinik, rumah
sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlangsung secara efisien, dengan
tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka
membangun kerja sama antara dokter dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal
dan non-verbal menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan
kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternatif untuk mengatasi
permasalahannya.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan.
Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan
pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi
pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat
berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman
ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin
bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter
tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan
kebutuhan pasien. Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan
untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun
komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya
memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien
dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan
komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan
proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).
Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang
digunakan:
Disease centered communication style atau doctor centered communication style.
Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk
penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
Illness centered communication style atau patient centered communication style. Komunikasi
berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan
pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa yang
menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan
pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama
dari pada doctor centered communication style. Keberhasilan komunikasi antara dokter dan
pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak,
khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat
dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya
dapat dipelajari dan dilatih.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication
in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini
dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut:
1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive
capacity to understand patient’s needs),
2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective sensitivity to
patient’s feelings),
3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a
behavioral ability to convey empathy to patient).
Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan
dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels). Berikut
adalah contoh aplikasi empati tersebut:
Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien
Mengacuhkan pendapat pasien
Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti “Kalau stress ya, mengapa
datang ke sini?” Atau “Ya, lebih baik operasi saja sekarang.”
Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu
“A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan badan, menyiapkan alat, dan
lain-lain
Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implicit
Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”
Dokter, “Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?
Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien
“Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan lebih jauh apa yang
membuat Anda stres?”
Level 4: Dokter mengkonfirmasi kepada pasien
“Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk menyempatkan
berolah raga”
Level 5:Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan pasien.
“Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa pasien pernah
mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat,
khawatir”
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang
pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit.
maka dokter dapat sampai kepada sesi memberikan penjelasan. Tanpa informasi yang akurat di
sesi sebelumnya, dokter dapat terjebak kedalam kecurigaan yang tidak beralasan Secara ringkas
ada 6 (enam) hal yang penting diperhatikan agar efektif dalam berkomunikasi dengan pasien,
yaitu:
1. Materi Informasi apa yang disampaikan
a. Tujuan anamnesis dan pemeriksaan fisik (kemungkinan rasa tidak nyaman/sakit saat
pemeriksaan).
b. Kondisi saat ini dan berbagai kemungkinan diagnosis.
c. Berbagai tindakan medis yang akan dilakukan untuk menentukan diagnosis, termasuk manfaat,
risiko, serta kemungkinan efek samping/komplikasi.
d. Hasil dan interpretasi dari tindakan medis yang telah dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
e. Diagnosis, jenis atau tipe. (??)
f. Pilihan tindakan medis untuk tujuan terapi (kekurangan dan kelebihan masingmasing cara).
g. Prognosis.
h. Dukungan (support) yang tersedia.
2. Siapa yang diberi informasi
a. Pasien, apabila dia menghendaki dan kondisinya memungkinkan.
b. Keluarganya atau orang lain yang ditunjuk oleh pasien.
c. Keluarganya atau pihak lain yang menjadi wali/pengampu dan bertanggung jawab atas pasien
kalau kondisi pasien tidak memungkinkan untuk berkomunikasi sendiri secara langsung
3. Berapa banyak atau sejauh mana
a. Untuk pasien: sebanyak yang pasien kehendaki, yang dokter merasa perlu untuk disampaikan,
dengan memerhatikan kesiapan mental pasien.
b. Untuk keluarga: sebanyak yang pasien/keluarga kehendaki dan sebanyak yang dokter perlukan
agar dapat menentukan tindakan selanjutnya.
4. Kapan menyampaikan informasi
Segera, jika kondisi dan situasinya memungkinkan.
5. Di mana menyampaikannya
a. Di ruang praktik dokter.
b. Di bangsal, ruangan tempat pasien dirawat.
c. Di ruang diskusi.
d. Di tempat lain yang pantas, atas persetujuan bersama, pasien/keluarga dan dokter.
6. Bagaimana menyampaikannya
a. Informasi penting sebaiknya dikomunikasikan secara langsung, tidak melalui telpon, juga
tidak diberikan dalam bentuk tulisan yang dikirim melalui pos, faksimile, sms, internet.
b. Persiapan meliputi:
materi yang akan disampaikan (bila diagnosis, tindakan medis, prognosis sudah disepakati oleh
tim);
ruangan yang nyaman, memperhatikan privasi, tidak terganggu orang lalu lalang, suara gaduh
dari tv/radio, telepon;
waktu yang cukup;
mengetahui orang yang akan hadir (sebaiknya pasien ditemani oleh keluarga/orang yang
ditunjuk; bila hanya keluarga yang hadir sebaiknya lebih dari satu orang).
c. Jajaki sejauh mana pengertian pasien/keluarga tentang hal yang akan dibicarakan.
d. Tanyakan kepada pasien/keluarga, sejauh mana informasi yang diinginkan dan amati kesiapan
pasien/keluarga menerima informasi yang akan diberikan.
Tujuan dan manfaat
Tujuan
Dari sekian banyak tujuan komunikasi maka yang relevan dengan profesi dokter
adalah:
1) Memfasilitasi terciptanya pencapaian tujuan kedua pihak (dokter dan pasien).
2) Membantu pengembangan rencana perawatan pasien bersama pasien, untuk kepentingan pasien
dan atas dasar kemampuan pasien, termasuk kemampuan finansial.
3) Membantu memberikan pilihan dalam upaya penyelesaian masalah kesehatan pasien.
4) Membimbing pasien sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang penyakit/masalah yang
dihadapinya.
5) Membantu mengendalikan kinerja dokter dengan acuan langkah-langkah atau halhal
6) yang telah disetujui pasien.
Manfaat
Berdasarkan hari penelitian, manfaat komunikasi efektif dokter-pasien di antaranya:
1) Meningkatkan kepuasan pasien dalam menerima pelayanan medis dari dokter atau institusi
pelayanan medis.
2) Meningkatkan kepercayaan pasien kepada dokter yang merupakan dasar hubungan dokter-
pasien yang baik.
3) Meningkatkan keberhasilan diagnosis terapi dan tindakan medis.
4) Meningkatkan kepercayaan diri dan ketegaran pada pasien fase terminal dalam menghadapi
penyakitnya.
11.RUJUKAN
Masalah Konsultasi dan Rujukan
Masalah yang dimaksud mencakup antara lain:
1. Apabila konsultasi dan atau rujukan tersebut dilakukan atas inisiatif dokter serta penjelasan
yang dilakukan tidak dapat meyakinkan pasien, daat menimbulkan rasa kurang percaya pasien
terhadap dokter. Sebenarnya timbul rasa kurang percaya pasien ini tidak perlu terlalu dirisaukan
dalam praktik sehari-hari. Malah telah terbukti, dokter yang bijaksana serta berpikiran dewasa,
untuk kebaikan pasien tidak segan-segan melakukan konsultasi atau rujukan. Yang perlu
dilakukan di sini hanyalah memberikan penjelasan yang sebaik-baiknya kepada pasien tentang
alasan serta maksud dilaksanakannya konsultasi atau rujukan tersebut.
2. Apabila konsultasi dan atau rujukan tersebut dilakukan atas permintaan pasien, dapat
menimbulkan rasa kurang senang pada diri dokter. Dalam hal ini dokter harus meyakinkan
pasien tentang perlu atau tidaknya konsultasi atau rujukan yang dimintakan pasien tersebut.
Tetapi apabila pasien tetap meminta, dokter yang bijaksana lazimnya tidak menolak permintaan
pasien.
3. Apabila tidak ada jawaban dari konsultasi
4. Apabila tidak sependapat dengan saran/tindakan dokter konsultan
5. Apabila ada pembatas dalam melakukan konsultasi dan ataupun rujukan. Ada yang berasal
dari dokter, misalnya sikap dan perilaku yang tidak menunjang. Ada yang berasal dari pasien,
misalnya tidak bersedia dan ataupun yang terpenting karena tidak cukup biaya atau karena
kesulitan transportasi. Atau ada pula yang berasal dari pihak ketiga, misalnya berbagai ketentuan
program asuransi kesehatan, dan ataupun perusahaan yang menanggung biaya pelayanan
kesehatan. Penyelesaian terhadap berbagai pembatas ini harus dapat dilakukan dengan sebaik-
baiknya, dengan catatan seyogyanya sikap dan perilaku dokter sendiri tidak bersifat negatif
terhadap konsultasi atau rujukan.
6. Apabila pasien tidak bersedia untuk dikonsultasikan dan ataupun dirujuk. Banyak yang
berperan di sini. Mulai dari hambatan sosial budaya sampai dengan hambatan sosial ekonomi. Di
Indonesia hambatan yang paling banyak ditemukan adalah karena keadaan ekonomi penduduk
yang belum memuaskan, dan karenanya tidak bersedia dan atau tidak dapat memenuhi anjuran
konsultasi dan atau rujukan tersebut.
Tata cara rujukan
• Pasien harus dijelaskan selengkap mungkin alasan akan dilakukan konsultasi dan rujukan.
Penjelasan ini sangat perlu, terutama jika menyangkut hal-hal yang peka, seperti dokter ahli
tertentu.
• Dokter yang melakukan konsultasi harus melakukan komunikasi langsung dengan dokter yang
dimintai konsultasi. Biasanya berupa surat atau bentuk tertulis yang memuat informasi secara
lengkap tentang identitas, riwayat penyakit dan penanganan yang dilakukan oleh dokter
keluarga.
• Keterangan yang disampaikan tentang pasien yang dikonsultasikan harus selengkap mungkin.
Tujuan konsultasi pun harus jelas, apakah hanya untuk memastikan diagnosis,
menginterpretasikan hasil pemeriksaaan khusus, memintakan nasihat pengobatan atau yang
lainnya.
• Sesuai dengan kode etik profesi, seyogianya dokter dimintakan konsultasi wajib memberikan
bantuan profesional yang diperlukan. Apabila merasa diluar keahliannya, harus menasihatkan
agar berkonsultasi ke dokter ahli lain yang lebih sesuai.
• Terbatas hanya pada masalah penyakit yang dirujuk saja
• Tetap berkomunikasi antara dokter konsultan dan dokter yg meminta rujukan
• Perlu disepakati pembagian wewenang dan tanggungjawab masing-masing pihak
Pembagian wewenang & tanggungjawab
1. Interval referral, pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter
konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb tidak ikut
menanganinya.
2. Collateral referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita hanya
untuk satu masalah kedokteran khusus saja.
3. Cross referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya
kepada dokter lain untuk selamanya.
4. Split referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya
kepada beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab tersebut dokter pemberi rujukan tidak ikut campur.
Kewajiban dan Hak Pasien
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 7 mengatur
kewajiban dan hak pasien sebagai berikut:
Kewajiban Pasien
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Hak Pasien
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain (second opinion)
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis; dan
5. Mendapatkan isi rekam medis
Kewajiban dan Hak Dokter
Sebagaimana lazimnya suatu perikatan, perjanjian medik pun memberikan hak dan kewajiban
bagi dokter. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, hak
dan kewajiban dokter atau dokter gigi terdapat dalam paragraf 6, yaitu;
Kewajiban Dokter/Dokter Gigi
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
meninggal dunia;
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas mampu melakukannya;
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Hak Dokter/Dokter Gigi
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
4. menerima imbalan jasa.
“Pelayanan islami di sini (RS Sari Asih) misalnya, membaca doa sebelum minum obat, memberikan
bimbingan rohani kepada semua pasien rawat inap, pemutaran murottal (pengajian) pada pagi
hari di rumah sakit dan berlaku ramah dan sopan santun terhadap tamu yang dating
IKHLAS : Melindungi dari segala hal yang diharamkan Allah SWT
I : Ilmiah yang dijiwai keimana dan ketaqwaan kepada Allah SWT dalam memberikan pelayanan kesehatan yang akan menghasilkan hidayah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada Illahi.
K : Kualitas pelayanan yang kami berikan adalah terbaik untuk kesembuhan pasien.
H : Hemat dan efisien dalam memenuhi proses penyembuhan pasien dalam hal biaya dan tenaga.
L : Lancar dalam setiap pelayanan.
A : Asri dan Aman lingkungan tempat pasien dirawat sehingga pasien merasa nyaman.
S : Sabar, Santun, sopan serta senyum adalah sikap yang kami terapkan pada setiap pelayanan.
Prilaku petugas kesehatan:
1. Ikhlas dalam setiap pekerjaan . amalan yang ikhlas adalah amalan yang semata-mata hanya mengharapkan keridhaan dan balasan dari ALLAH . sebagai mana ALLAH berfirman:Dan tidaklah mereka diuruh kecuali supaya menyembah ALLAH dengan memurnikan ketaatan (mukhlis) kepadanya dalam menjalankan agama. Al-bayyinah :5
2. Murooqobah merasakan adanya pengawasan dari ALLAH secara langsung saat melakukan segalahal ,jika petugas kesehatan memiliki sikap seperti ini maka tidak akan ada kecurangan dan kebohongan karena setiap petugas merasa ALLAH selalu mengawasinya dan akan mendapat balasan yang setimpal. Qudamah 1997
3. Muhaasabah. Senantiasa melakukan introspeksi diri dengan hisab (perhitungan-perhitungan). Dengan introspeksi diri seseorang akan tau kekurangan-kekurangannya dalam katagori ini yaitu dengan mendengarkan kritik dan saran dari orang lain. Gymnastiar 2000
4. Mujaahadah. Dalam konteks prilaku adalah bersungguh-sungguh berjuang mengendalikan diri. Mujaahadan merupakan kerelaan untuk memaksakan diri melakukan sebuah amalan yang di ridhai oleh ALLAH dan tidak ada kata lelah untuk ketaatan.
Dengan memiliki sifat ini maka kita akan giat dalam melakukan pekerjaan dan dalam mengejar ridha dari ALLAH.
5. Sabar, merupakan aakhlak islami yang paling dan menjadi keharusan seorang hamba. Jika dilihat dari pengertian manajemen modern, salah satu model sabar adalah Adversity Quotient (AQ) yaitu ketahanan seseorang dalam menghadapi permasalahan , tantangan dan hambatan yang menghadangnya.
6. Kerja ihsan (optimal), optimalisasi hasil kerja dengan cara melakukan pekerjaan sebai mungkin.
7. Tawadlu’ kerendahan hati , contohnya tida meremehkan oranglain.8. Berpenampilan fisik sederhhana / islami, 9. Cinta bersih, 10. Rasa bahagia, sikap toleran dan lemah lembut secara otomatis menimbulkan
penampilan yang selau ceria, penuh gembira dan murah senyum.
Prilaku antar petugas kesehatan:
1. Budaya menasehati / amar ma’ruf nahi munkar2. Kerjasama /ta’awun 3. Menjauhi budaya menggunjing / ghibah4. Toleransi / as-samaah5. Silaturahmi6. As- salam