Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

25
A. SKENARIO 1 Seorang wanita 58 tahun ditemukan tewas, dan diduga disebabkan akibat jatuh dari ketinggian 3m. Hematom ditemukan pada kedua daerah orbital, dan darah juga ditemukan pada kedua daerah telinga dan hidungnya. Penyidik dari kepolisian meminta dilakukannya otopsi untuk mengungkapkan penyebab kematian dari korban tersebut. Gambar modul 2.1.0 Gambar modul 2.1.1 Gambar modul 2.1.2 Gambar modul 2.1.3 Gambar modul 2.1.4 B. KATA SULIT 1

description

Laporan PBL blok forensik

Transcript of Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

Page 1: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

A. SKENARIO 1

Seorang wanita 58 tahun ditemukan tewas, dan diduga disebabkan akibat

jatuh dari ketinggian 3m. Hematom ditemukan pada kedua daerah orbital, dan

darah juga ditemukan pada kedua daerah  telinga dan hidungnya. Penyidik dari

kepolisian meminta dilakukannya otopsi untuk mengungkapkan penyebab

kematian dari korban tersebut.

Gambar modul 2.1.0 Gambar modul 2.1.1

Gambar modul 2.1.2 Gambar modul 2.1.3

Gambar modul 2.1.4

1

Page 2: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

B. KATA SULIT

Otopsi: Pemeriksaan post mortem dari sosok mayat untuk menentukan

penyebab kematian / sifat-sifat perubahan patologis dari mayat tersebut.1

C. KALIMAT KUNCI

1. Seorang wanita 58 tahun ditemukan tewas.

2. Diduga disebabkan akibat jatuh dari ketinggian 3m.

3. Hematom ditemukan pada kedua daerah orbital, dan darah juga ditemukan

pada kedua daerah  telinga dan hidungnya.

4. Penyidik dari kepolisian meminta dilakukannya otopsi.

D. PERTANYAAN

1. Bagaimana mekanisme trauma pada skenario?

2. Bagaimana analisis gambar yang terdapat pada skenario? Apakah gambar-

gambar tersebut termasuk intravital atau post mortem?

3. Bagaimana Multiple Cause of Death (MCOD) pada korban tersebut?

4. Bagaimana langkah-langkah otopsi kepala untuk korban tersebut?

5. Jelaskan perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian serta perkiraan

waktunya!

E. JAWABAN

1. Mekanisme trauma pada skenario:

Wanita tersebut jatuh dari ketinggian 3 m menyebabkan trauma tumpul pada

kepala yang menyebabkan fraktur basis cranii anterior dan media. Pada saat

ditemukan tampak hematom di daerah orbita, epistaksis dan perdarahan pada

kedua telinga, manifestasi ini muncul akibat pecahnya pembuluh darah akibat

fraktur basis cranii anterior dan media yang mengenai struktur-struktur berikut:2

2

Page 3: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

- Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior

oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis

spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral

dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina

cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada

lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius. Pada fraktur fossa cranii

anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat

menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien

dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang

merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal

mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital

ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii

fossa anterior.

- Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os

sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan

kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala

minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus

dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars

petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor

os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n,

occulomotorius dan n. abducens. Fraktur pada basis cranii fossa media sering

terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis

cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen

dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan

daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah

dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan

VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N.

cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus

robek.

3

Page 4: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

Perdarahan yang terjadi dapat terakumulasi sesuai doktrin monro kellie lama

kelamaan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Perdarahan

akibat fraktur basis cranii dapat terakumulasi di menings sebagai perdarahan

subarachnoid, subdural ataupun epidural. Nilai TIK normal yaitu <15 mmHg (8-

18 cmH20) untuk dewasa, dan 3-7 mmHg (4-9,5 cmH20) untuk anak; angka ini

dapat bervariasi dengan posisi pasien. Pertimbangan terapi TIK tinggi jika TIK >

20-25 rnmHg.3

Progresivitas yang tinggi dan perdarahan yang sangat luas akan lebih sering

menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebrovaskuler,

karena pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan

tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada

falk serebri atau pada foramen magnum.4

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan

perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.

Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak

di nukleus kaudatus, talamus, dan pons. 4

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoreksia serebral.

Perubahan yang disebabkan oleh anoreksia serebral dapat reversibel untuk waktu

4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoreksia lebih dari 10 menit. Anoreksia

serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti

jantung.4

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif

banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan

tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif

darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat penurunannya tekanan perfusi,

menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. 4

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih

dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%

pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebral dengan volume

4

Page 5: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume

darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. Perdarahan lebih dari 30 cc

sudah dapat menggeser midline shift yang dapat menyebabkan herniasi yang

kemudian dapat menekan pusat pernapasan di batang otak dan menyebabkan

terjadinya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dan tidak ditangani segera akan

menyebabkan kematian.4

2. Analisis gambar:

2.1.0 Hematom di daerah orbita

Hematoma kacamata pada pasien ini disebabkan adanya fraktur basis

kranii yang menyebabkan pecahnya arteri oftalmika yang menyebabkan darah

masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibatnya darah tidak

dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka terbentuk

gambaran hitam kemerahan pada kelopak seperti seseorang yang memakai

kacamata. 5

System vascular dari konjungtiva palpebra berasal dari arteri palpebralis

yang apabila pada palpebra mengalami trauma pada mata (luka memar),

pembuluh darah dapat pecah kemudian terjadi edema konjungtiva (kemosis

konjungtiva). Selain itu arteri palpebralis juga merupakan salah satu cabang arteri

oftalmika, yang apabila terjadi fraktur basis kranii dapat pula pecah dan menjadi 

edema konjungtiva (kemosis konjungtiva). 5

5

Page 6: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa hematoma di daerah

orbita ini terjadi intravital.

2.1.1 Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput

lendir  yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang

tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada

minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang  sebelum sianosis

menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.  Pada kebanyakan kasus

forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti

pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah

perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena

akumulasi darah. 6

Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa sianosis tersebut

terjadi intravital.

2.1.2 Kekeruhan pada kornea

6

Page 7: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea

akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di

tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi

lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan

meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak

dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak

kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka,

kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam

saja fundus tidak tampak jelas. Hal ini terjadi akibat metabolisme yang tidak

terjadi setelah kematian sehingga humor aquous tak lagi diproduksi.7

Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa kekeruhan kornea ini

terjadi postmortem.

2.1.3 Petekie Konjunctiva

Petekie konjunctiva atau Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)

merupakan salah satu tanda Kardinal (tanda klasik) Asfiksia. Tardieu’s spot

terjadi karena  peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan

overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama  pada jaringan longgar,

seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit  dibagian belakang telinga, 

circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata.  Selain itu juga bisa terdapat

dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga  terdapat pada lapisan viseral dari

pleura, perikardium, peritoneum, timus,  mukosa laring dan faring, jarang pada

mesentrium dan intestinum.6

Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa peteki di

subkonjungtiva ini terjadi intravital.

7

Page 8: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

2.1.4 Perdarahan subarachnoid

Fraktur basis cranii dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid seperti

pada gambar. Tampak perdarahan di daerah temporal di bawah duramater dan

mengisi sulcus cerebri, dengan lapisan piamater masih terlihat.

Hematoma yang membesar didaerah temporal menyebabkan tekanan pada

lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabakan

bagian medial lobus (unkus dan sebagian dari dari girus hipokampus) menhalami

herniasi di bawah pinggiran tentorium, keadaan ini menyebabkan timbulnya

tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. 4

Tekanan dari herniasinkus pada sirkulasi arteria yeng mengurus formasio

retikularis dimedulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Ditempat ini

juga terdapat nuklei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini

mengakibatkan dilatasi pupil dan ptoptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan

kortokospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabaknan kelemahan

respons motorik kontralateral (yaitu berlawanan dengan tempat hematoma),

refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. 4

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan

terdorong ke arah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang

membesar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain

kekakuan desebral dan gangguan tanda-tanda vital fungsi pernapasan. 4

Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa perdarahan

subarachnoid ini terjadi intravital.

3. Multiple Cause of Death (MCOD) pada korban:

8

Page 9: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

MCOD (multiple cause of death) dengan  menggunakan pendekatan proximus

mortis adalah gagal pernapasan.

Dari kasus di atas, terjadinya kematian pada korban disebabkan terjadinya

gagal pernapasan akibat penekanan pusat pernapasan pada batang otak. Hal ini

disebabkan karena adanya cidera kepala akibat benda tumpul yang

mengakibatkan perdarahan subarachnoid. Perdarahan ini menyebabkan oedema

dan meningkatkan tekanan intracranial sehingga terjadi herniasi batang otak yang

kemudian menyebabkan asfiksia dan apabila tidak ditangani dapat menyebabkan

kematian.

Dari kasus yang adanya hematom oculi, perdarahan pada hidung dan telinga

diakibatkan karena trauma pada basis crania fossa anterior dan media.

MCOD

Ia: gagal pernapasan

Ib: penekanan/herniasi batang otak

Ic: perdarahan subarachnoid

Id: trauma tumpul pada kepala

4. Langkah-langkah pemeriksaan dalam (otopsi kepala):

Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan

mata pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak.

Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung

tengkorak dilepaskan dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas

mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat

dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri

digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan

saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri

diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal

otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat

nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikian pula otak besar

9

Page 10: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi

serebri.8,9

5. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian serta perkiraan waktunya

(tanatologi):7

1. Perubahan pada mata

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea

akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di

tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi

lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan

meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih dalam tidak

dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak

kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka,

kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam

saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi

pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil

dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian

hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula

dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati,

makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam pertama pasca

mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning. Warna kuning juga

tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola vaskular

koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan

pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur

dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca

mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami

segmentasi yang dapat dilihat dengan latar belakang kuning kelabu. Dalam waktu

7 – 10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat

10

Page 11: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali dengan adanya

konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca

mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya

makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.

2. Perubahan dalam lambung

Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat

digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat

mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat

keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat digunakan

untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan

tersebut.

3. Perubahan rambut 

Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari,

panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat

kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan

mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.

4. Pertumbuhan kuku

Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang

diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat

kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.

5. Perubahan dalam cairan serebrospinal 

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian

belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%

menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10

mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30 jam.

11

Page 12: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

6. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat

untuk memperkirakan saat kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.

7. Kadar semua komponen darah

Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis

darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa

hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta

gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh

selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan

sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam

darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.

8. Reaksi supravital

Yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama

seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat

dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih

dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit pasca mati dan

mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60 – 90 menit pasca mati,

sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1

jam pasca mati.

9. Lebam mayat (Livor mortis)

Livor mortis atau lebam mayat terjadi akibat pengendapan eritrosit

sesudah kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya gravitasi bumi . Eritrosit

akan menempati bagian terbawah badan dan terjadi pada bagian yang bebas dari

tekanan. Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam. Intensitas lebam jenazah

meningkat dan menetap 8-12 jam.

12

Page 13: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

Lebam jenazah normal berwarna merah keunguan. Tetapi pada keracunan

sianaida (CN) dan karbon monoksida (CO) akan berwarna merah cerah (cherry

red).

10. Kaku mayat (Rigor mortis)

Rigor mortis atau kaku jenazah terjadi akibat hilangnya ATP. ATP

digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi

otot. Namun karena pada saat kematian terjadi penurunan cadangan ATP maka

ikatan antara aktin dan myosin akan menetap (menggumpal) dan terjadilah

kekakuan jenazah. Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin

bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian

setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya.

Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24 jam postmortem) kaku jenazah sudah

tidak ada lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah adalah

suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan. Makin tinggi suhu tubuh makin

cepat terjadi kaku jenazah. Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan

sendi fleksi dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.

Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:

1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan

menetap sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena

kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum mati.

2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas

sehingga serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat

yang tersimpan dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang

lama.

3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga

terjadi pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan

sampai otot.

13

Page 14: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

11. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

Pada saat sesudah mati, terjadi karena adanya proses pemindahan panas

dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih dingin secara radiasi, konduksi,

evaporasi dan konveksi. Penurunan suhu badan dipengaruhi oleh suhu

lingkungan, konstitusi tubuh dan pakaian. Bila suhu lingkugan rendah, badannya

kurus dan pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih cepat. Lama

kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan.

Perkiraan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu jenazah

perrektal (Rectal Temperature/RT). Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung

rumus PMI (Post Mortem Interval) berikut.

Formula untuk suhu dalam o Celcius

PMI = 37 o C-RT o C +3

Formula untuk suhu dalam o Fahrenheit

PMI = 98,6 o F-RT o F

1,5

12. Pembusukan (dekomposisi)

Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan putrefaction.

Pembusukan jenazah terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan

kerja bakteri. Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai

dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau busuk karena

terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lainlain. Gas yang terjadi menyebabkan

pembengkakan. Akibat proses pembusukan rambut mudah dicabut, wajah

membengkak, bola mata melotot, kelopak mata membengkak dan lidah terjulur.

Pembusukan lebih mudah terjadi pada udara terbuka suhu lingkungan yang

14

Page 15: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

hangat/panas dan kelembaban tinggi. Bila penyebab kematiannya adalah penyakit

infeksi maka pembusukan berlangsung lebih cepat.

13. Mumifikasi

Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan mengalami

dehidrasi secara cepat dan akan lebih mengalami mumifikasi daripada

dekomposisi. Pada saat kulit mengalami perubahan dari coklat menjadi hitam,

organ-organ interna akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun

menjadi berwarna seperti dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi terjadi bila suhu

hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan

waktu yang lama (12 – 14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang

normal.

f. Adiposera

Adipocere adalah proses terbentuknya bahan yang berwarna keputihan,

lunak dan berminyak yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh postmortem.

Lemak akan terhidrolisis menjadi asam lemak bebas karena kerja lipase endogen

dan enzim bakteri.

Faktor yang mempermudah terbentuknya adipocere adalah kelembaban

dan suhu panas. Pembentukan adipocere membutuhkan waktu beberapa minggu

sampai beberap bulan. Adipocere relatif resisten terhadap pembusukan.

15

Page 16: Skenario 1 Modul 2 Forensik & Medikolegal

DAFTAR PUSTAKA

1. Andersoon, W. douglass. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta:

EGC; 2010.

2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,

Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,

penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.

Jakarta: EGC: 2006. 740-59.

3. ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4935/3724

4. Prince, SA, Wilson, LM. Editor. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit Edisi 4, Jilid 2. Jakarta: EGC; 1995. h.1010

5. Satyanegara. Editor. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama; 2010.

6. Idries, Abdul mu’im. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensic Edisi 1. Jakarta:

Bina Rupa Aksara; 1997.

7. Budiyanto, Arif. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997.

8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Autopsi. Dalam:

Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius.

Jakarta. 2000: 187-9.

9. Teknik Autopsi Forensik. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000.

16