sken 3

6
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus. Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host. Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisanperiosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous. Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat. PRINSIP TERAPI Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus), dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada

description

tut

Transcript of sken 3

Page 1: sken 3

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisanperiosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.

PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus), dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu bagaimana dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal memiliki “kondisi” khas berupa gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila digunakan mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang tersebut. Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan insisi, oleh karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan prosedur open bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan pemberian terapi farmakologi.

Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain; (1) mempertahankan dan

meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, (2) pemberian antibiotik yang tepat

dengan dosis yang memadai, (3) tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada, (4)

menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi dan (5) evaluasi terhadap efek perawatan

yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi fascial space, pada prinsipnya sama dengan

perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan

agresif (Soemartono, 2000; Mahmood&Mahmood, 2005).

Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita meliputi : (a)

meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin tambahan, diet tinggi kalori

Page 2: sken 3

dan protein, (b)  mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan (c) pemberian

analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan faktor penyebab lain yang menjadi

sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk

mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi (Soemartono, 2000; Mahmood&Mahmood,

2005).

Insisi dan Drainase

Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah

pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan

eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam

jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk mempertahankan drainase dari

pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain,

untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Karasutisna, 2001;

Lopez-Piriz et al., 2007).

Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi

dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan

drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi

dan analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya

mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung

dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab

abses) biasanya dilakukan sesudah pembengkakan  sembuh dan keadaan umum

penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan

gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga

mungkin terjadi osteomyelitis (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz et al., 2007).

Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya

perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah

populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada

daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu

menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah

terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat

juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau

dengan pencabutan gigi penyebab (Karasutisna, 2001).

Terapi Medikasi

Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan tujuan untuk

mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan bakteri

penyebab infeksi. Terdapat dua faktor mikrobiologi  yang harus ada di dalam benak dokter

gigi pada saat memilih antibiotik. Pertama, antibiotik harus efektif melawan

organisme Streptococcus selama bakteri ini paling banyak ditemukan. Kedua, antibiotik

harus efektif melawan bakteri anaerobik sprektrum luas (Mahmood & Mahmood, 2005).

Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap

organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya antibiotik jenis ini

Page 3: sken 3

mengalami resistensi (Mahmood & Mahmood, 2005). Penggunaan penisilin di dalam klinik

antara lain adalah ampisilin dan amoksisilin.

Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang muncul akibat

keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi dentoalveolar yaitu masuknya

mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar (Sukandar &

Elisabeth, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis

dengan pemberian obat analgesik untuk meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya

kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien dengan nyeri akut memerlukan obat yang

dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek samping dari obat lebih dapat ditolerir

daripada nyerinya (Rahayu, 2007). Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik;

sebagai antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam

mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma (Ganiswara, 1995).

Infeksi Odontogen yang Agresif

Apabila riwayat kasus menunjukkan adanya infeksi yang agresif dan terjadi secara

mendadak (misalnya seperti pada plegmon/ angina ludwig), maka perlu dilakukan

pengontrolan terhadap pasien yakni 24 jam setelah perawatan. Pasien harus

mendapatkan perawatan rawat inap untuk memperoleh antibiotik dosis tinggi intravena,

rehidrasi (untuk keseimbangan cairan), prosedur bedah yang ekstensif untuk drainase dan

pemantau secara teratur (Pedersen, 1996; Uluibau et al., 2005). Pasien yang menunjukkan

gejala penjalaran infeksi odontogenik ke leher bagian daam perlu dilakukan hospitalisasi,

sehingga tata laksana utama adalah life saving jika dijumpai obstruksi jalan nafas dengan

menjaga airway tetap paten, jika diperlukan dapat dilakukan intubasifiberoptic, blind

nasal, surgical airway dengan merujuk pasien ke bagian yang terkait, pemberian antibiotik

secara parenteral, intake nutrisi memadai serta oksigenase adequat (Poedjiastoeti &

Santoso, 2005).

Tujuan manajemen infeksi odontogen adalah :

Menjaga saluran nafas tetap bebas o dasar mulut dan lidah yang terangkat ke arah tonsil akan menyebabkan gagal nafas

omengetahui adanya gangguan pernafasan adalah langkah awal diagnosis yang paling penting

dalam manajemen infeksi odontogeno tanda-tanda terjadi gangguan pernafasan adalah pasien terlihat gelisah, tidak dapat tidur

dalam posisi terlentang dengan tenang, mengeluarkan air liur, disfonia, terdengar stridoro saluran nafas yang tertutup merupakan penyebab kematian pasien infeksi odontogen

o jalan nafas yang bebas secara kontinu dievaluasi selama terapi

o dokter bedah harus memutuskan kebutuhan, waktu dan metode operasi untuk

mempertahankan saluran nafas pada saat emergency (gawat darurat).

Operasi drainaseo pemberian antibiotika tanpa drainase pus tidak akan menyelesaikan masalah penyakit

abseso memulai terapi antibiotika tanpa pewarnaan gram dan kultur akan menyebabkan

kesalahan dalam mengidentifikasi organisme penyebab penyakit infeksi odontogeno penting untuk mengalirkan semua ruang primer apalagi bila pada pemeriksaan, ruang

sekunder potensial terinfeksi juga

Page 4: sken 3

o CT scan dapat membantu mengidentifikasi ruang-ruang yang terkena infeksi

o Foto rontgen panoramik dapat membantu identifikasi bila diduga gigi terlibat infeksi

o Abses canine, sublingual dan vestibular didrainase intraoral

o Abses ruang masseterik, pterygomandibular, dan pharyngea lateral bisa didrainase dengan

kombinasi intraoral dan ekstraoralo Abses ruang temporal, submandibular, submental, retropharyngeal, dan buccal disarankan

diincisi ekstraoral dan didrainase.

Medikamentosao rehidrasi (karena kemungkinan pasien menderita dehidrasi adalah sangat besar)

o merawat pasien yang memiliki faktor predisposisi terkena infeksi (contohnya Diabetes

Mellitus)o mengoreksi gangguan atau kelainan elektrolit

o memberikan analgetika dan merawat infeksi dasar bila pasien menderita trismus,

pembengkakan atau rasa sakit di mulut.

Identifikasi bakteri penyebabo diharapkan penyebabnya adalah alpha-hemolytic Streptococcus dan bakteri anaerob

lainnyao kultur harus dilakukan pada semua pasien melalui incisi dan drainase dan uji sensitivitas

dilakukan bila pasien tidak kunjung membaik (kemungkinan resisten terhadap antibiotika)o Hasil aspirasi dari abses bisa dikirim untuk kultur dan uji sensitivitas jika incisi dan

drainase terlambat dilakukan

Menyeleksi terapi antibotika yang tepato penicillin parenteral

o metronidazole dikombinasikan dengan penicillin bisa dipakai pada infeksi yang berat

o Clindamycin untuk pasien yang alergi penicillin

o Cephalosporins (cephalosporins generasi pertama) 

o antibiotika jangan diganti selama incisi dan drainase pada kasus infeksi odontogen yang

signifikano jika mediastinal dicurigai terkena infeksi harus dilakukan CT scan thorax segera dan

konsultasi kepada dokter bedah thorax kardiovaskularo ekstraksi gigi penyebab akan menyembuhkan infeksi odontogen

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang menilai tiga fungsi , yaitu mata (E=eyes), verbal (V), dan gerak motorik (M). Ketiga fungsi masing-masing dinilai dan pada akhirnya dijumlahkan dan hasilnya merupakan derajat kesadaran. Semakin tinggi nilai menunjukkan semakin baik nilai kesadaran. Nilai terendah adalah 3 (koma dalam atau meninggal), dan yang tertinggi adalah nilai 15 (kesadaran penuh).

Respon Mata (Eyes)

1. Tidak dapat membuka mata2. Mata membuka dengan rangsang nyeri. Biasanya rangsang nyeri pada dasar kuku-kuku jari; atau tekanan pada supraorbita, atau tulang dada, atau tulang iga3. Mata membuka dengan rangsang suara. (jangan keliru dengan pasien yang baru terbangun dari tidur, pasien seperti demikian mendapat nilai 4 bukan 3)4. Mata membuka spontan

Respon Verbal (V)

1. Tidak ada respon suara2. Suara-suara tak berarti (mengerang/mengeluh dan tidak berbentuk kata-kata)3. Kata-kata tidak berhubungan (Berkata-kata acak atau berseru-seru, namun tidak sesuai percakapan4. Bingung atau disorientasi (pasien merespon pertanyaan tapi terdapat kebingungan dan disorientasi)

Page 5: sken 3

5. Orientasi baik (pasien merespon dengan baik dan benar terhadap pernyataan, seperti nama, umur, posisi sekarang dimana dan mengapa, bulan, tahun, dsb)

Respon Motorik (M)

1. Tidak ada respon gerakan2. Ekstensi terhadap rangsang nyeri (abduksi jari tangan, bahu rotasi interna, pronasi lengan bawah,ekstensi pergelangan tangan)3. Fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (adduksi jari-jari tangan, bahu rotasi interna, pronasi lengan bawah, flexi pergelangan tangan)4. Flexi/penarikan terhadap rangsang nyeri (fleksi siku, supinasi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan saat ditekan daerah supraorbita; menarik bagian tubuh saat dasar kuku ditekan)5. Dapat melokalisasi nyeri (gerakan terarah dan bertujuan ke arah rangsang nyeri; misal tangan menyilang dan mengarah ke atas klavikula saat area supraorbita ditekan6. Dapat bergerak mengikuti perintah (melakukan gerakan sederhana seperti yang diminta)

Interpretasi

Nilai masing-masing elemen dan jumlah keseluruhan sangatlah penting, sehingga nilai ditulis dalam bentuk, misalnya “GCS 9 = E2 V4 M3 pada 07:35″.Secara umum, cedera otak diklasifikasikan sebagai berikut :• Berat, dengan GCS ≤ 8• Sedang, GCS 9 – 12• Ringan, GCS ≥ 13.