Sk1 Repro Eam

2
Gunawan, K., Paul Samuel Kris Manengkei, Dwiana Ocviyanti (2012). Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/ viewFile/1068/1059 - Diakses Februari 2014 Sekitar 50-90% perempuan hamil mengalami keluhan mual dan muntah. Keluhan ini biasanya disertai dengan hipersalivasi, sakit kepala, perut kembung, dan rasa lemah pada badan. Keluhan-keluhan ini secara umum dikenal sebagai “morning sickness.” Apabila mual dan muntah yang dialami mengganggu aktivitas sehari-hari atau menimbulkan komplikasi, keadaan ini disebut hiperemesis gravidarum. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5% berat badan (Gunawan, 2012). Mual dan muntah pada kehamilan biasanya dimulai pada kehamilan minggu ke-9 sampai ke-10, memberat pada minggu ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-12 sampai ke-14. Hanya pada 1-10% kehamilan gejala berlanjut melewati minggu ke-20 sampai ke-22. Pada 0,3-2% kehamilan terjadi hiperemesis gravidarum yang menyebabkan ibu harus ditatalaksana dengan rawat inap (Gunawan, 2012). .Etiologi dan patogenesis emesis dan hiperemesis gravidarum berkaitan erat dengan etiologi dan pathogenesis mual dan muntah pada kehamilan. Penyebab pasti mual dan muntah yang dirasakan ibu hamil belum diketahui, tetapi terdapat beberapa teori yang mengajukan keterlibatan factor-faktor biologis, sosial dan psikologis. Faktor biologis yang paling berperan adalah perubahan kadar hormon selama

description

Bahan skenario 1 Blok Reproduksi

Transcript of Sk1 Repro Eam

Gunawan, K., Paul Samuel Kris Manengkei, Dwiana Ocviyanti (2012). Diagnosis dan Tata Laksana Hiperemesis Gravidarum. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1068/1059 - Diakses Februari 2014

Sekitar 50-90% perempuan hamil mengalami keluhan mual dan muntah. Keluhan ini biasanya disertai dengan hipersalivasi, sakit kepala, perut kembung, dan rasa lemah pada badan. Keluhan-keluhan ini secara umum dikenal sebagai morning sickness. Apabila mual dan muntah yang dialami mengganggu aktivitas sehari-hari atau menimbulkan komplikasi, keadaan ini disebut hiperemesis gravidarum. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5% berat badan (Gunawan, 2012).Mual dan muntah pada kehamilan biasanya dimulai pada kehamilan minggu ke-9 sampai ke-10, memberat pada minggu ke-11 sampai ke-13 dan berakhir pada minggu ke-12 sampai ke-14. Hanya pada 1-10% kehamilan gejala berlanjut melewati minggu ke-20 sampai ke-22. Pada 0,3-2% kehamilan terjadi hiperemesis gravidarum yang menyebabkan ibu harus ditatalaksana dengan rawat inap (Gunawan, 2012)..Etiologi dan patogenesis emesis dan hiperemesis gravidarum berkaitan erat dengan etiologi dan pathogenesis mual dan muntah pada kehamilan. Penyebab pasti mual dan muntah yang dirasakan ibu hamil belum diketahui, tetapi terdapat beberapa teori yang mengajukan keterlibatan factor-faktor biologis, sosial dan psikologis. Faktor biologis yang paling berperan adalah perubahan kadar hormon selama kehamilan. Menurut teori terbaru, peningkatan kadar human chorionic gonadotropin (hCG) akan menginduksi ovarium untuk memproduksi estrogen, yang dapat merangsang mual dan muntah. Perempuan dengan kehamilan ganda atau mola hidatidosa yang diketahui memiliki kadar hCG lebih tinggi daripada perempuan hamil lain mengalami keluhan mual dan muntah yang lebih berat.3-5 Progesteron juga diduga menyebabkan mual dan muntah dengan cara menghambat motilitas lambung dan irama kontraksi otot-otot polos lambung (Gunawan, 2012).

Sulistiawati, W. (2011). Pengetahuan Ibu Postpartum Tentang Metode Amenorea Laktasi Sebagai Kontrasepsi Postpartum Di Rumah Bersalin Hadijah Medan 2009. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24262/4/Chapter%20II.pdf Diakses Februari 2014Penelitian menyatakan bahwa wanita yang memberikan bayinya ASI secara eksklusif dan belum mendapatkan menstruasinya, maka biasanya tidak akan mengalami kehamilan selama 6 bulan setelah melahirkan (Sulistiawati, 2012).Hormon prolaktin yang merangsang produksi ASI turut mengurangi kadar hormon LH yang diperlukan untuk memelihara dan melangsungkan siklus haid. Kadar prolaktin yang tinggi menyebabkan ovarium menjadi kurang sensitif terhadap perangsangan gonadotropin, sehingga mengakibatkan timbulnya inaktivitas ovarium, kadar estrogen yang rendah dan anovulasi. Bahkan pada saat aktivitas ovarium mlai pulih kembali, kadar prolaktin yang tinggi menyebabkan fase luteal yang singkat dan fertilitas yang menurun (Sulistiawati, 2012).