Sk Abies

5
SKABIES 1. Skabies a. Definisi Skabies (the itch, gudig, budukan, gatal agogo) adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian huminis dan produknya ( Mansjoer, 2000). b. Epidemiologi Skabies terdapat di seluruh dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum diketahui sepenuhnya (Sungkar, 1995). Ada dugaan bahwa epidemi skabies dapat berulang selama 30 tahun (Juanda, 1999). Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Frekuensi penyakit ini sama pada pria maupun wanita (Harahap, 1998). Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan dengan angka prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja (Dermatol, 1998). Di negara maju, termasuk Amerika Serikat, prevalensinya sama untuk semua kelompok usia dan skabies pada anak- anak tetap merupakan masalah besar (Dermatol, 1998). Di Indonesia insiden penyakit ini belum ada angka yang pasti, namun berdasar laporan departemen kesehatan, skabies menempati urutan ke-3 dari 10 urutan penyakit kulit terbesar pada pelita IV, Budiastuti, dkk pada tahun 1990-1992, melaporkan bahwa penyakit skabies merupakan pengunjung kedua terbesar dari kunjungan rawat jalan poliklinik Rumah Sakit Dr.Sutomo Surabaya. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain, sosial ekonomi rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiekuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografis serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam penyakit akibat hubungan seksual (Handoko, 1999).

description

jbjbjjbhyv

Transcript of Sk Abies

SKABIES 1. Skabies a. Definisi Skabies (the itch, gudig, budukan, gatal agogo) adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian huminis dan produknya ( Mansjoer, 2000). b. Epidemiologi Skabies terdapat di seluruh dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum diketahui sepenuhnya (Sungkar, 1995). Ada dugaan bahwa epidemi skabies dapat berulang selama 30 tahun (Juanda, 1999). Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Frekuensi penyakit ini sama pada pria maupun wanita (Harahap, 1998). Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan dengan angka prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja (Dermatol, 1998). Di negara maju, termasuk Amerika Serikat, prevalensinya sama untuk semua kelompok usia dan skabies pada anak-anak tetap merupakan masalah besar (Dermatol, 1998). Di Indonesia insiden penyakit ini belum ada angka yang pasti, namun berdasar laporan departemen kesehatan, skabies menempati urutan ke-3 dari 10 urutan penyakit kulit terbesar pada pelita IV, Budiastuti, dkk pada tahun 1990-1992, melaporkan bahwa penyakit skabies merupakan pengunjung kedua terbesar dari kunjungan rawat jalan poliklinik Rumah Sakit Dr.Sutomo Surabaya. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain, sosial ekonomi rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiekuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografis serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam penyakit akibat hubungan seksual (Handoko, 1999). Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara penularan tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya (Burkhat, 1983). Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu diduga mempunyai peranan kecil pada penularan, namun penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal ini memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa penularan skabies dinyatakan bahwa penularan utama adalah melalui selimut, pakaian dalam dan penderita wanita (Sungkar, 1995).

c. Etiologi Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai akibat investasi tungau yang dinamakan acarus scabiei atau sarcoptes scabiei varian hominis (Makatutu, 1998). Sarcoptes scabiei termasuk filum arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var hominis. Selain itu terdapat Sarcoptes scabiei yang lain, misalnya pada kambing dan babi (Handoko, 1999). Tungau ini berbentuk oval, berwarna putih kotor, translusen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut, tidak bermata. Tungau ini pertama kali dideteksi oleh Bonmi tahun 1687 dan merupakan arthropoda kecil dengan ukuran betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Sarcoptes scabiei bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedang pada jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat. Seluruh tubuhnya ditumbuhi oleh duri-duri kecil (Handoko, 1999). d. Patogenesis Tungau jantan dan betina berkopulasi pada terowongan yang dangkal pada kulit, kemudian tungau betina yang telah dibuahi akan menggali lubang kedalam lapisan epidermis dan selanjutnya membuat terowongan didalam dan di bawah lapisan stratum korneum dengan mensekresikan substansi yang melarutkan kulit, kemudian dikonsumsi dan dicerna oleh tungau. Beberapa jam setelah menggali terowongan telur-telur mulai diletakkan. Terowongan ini merupakan tempat tinggalnya selama 1-2 bulan dan selanjutnya akan bertelur disini. Setiap hari tungau tersebut bertelur 2-3 butir, dan menetas dalam waktu 3-4 hari menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki, larva ini dapat tinggal di dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar, dengan cara melubangi atap terowongan, kemudian larva tersebut menggali terowongan pendek (moulting pockets) dimana mereka berubah menjadi nimfa. Selanjutnya akan berubah menjadi bentuk dewasa setelah 7-10 hari kemudian. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerluan waktu antara 8-12 hari. Tungau betina dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu, terowongan pada kuit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum (Predinville, 2000). Jumlah tungau betina yang terdapat pada seorang penderita skabies hanya 10-15 ekor saja, namun kemampuan seekor tungau dewasa betina untuk bertelur sepanjang hidupnya 40-50 butir dan tungau ini dapat bergerak dengan kecepatan 2-3 mm per hari (Roo K,1986 dan Burn, 1998).Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek daripada tungau betina,dan mempunyai peran yang kecil pada patogenesis penyakit. Biasanya hanya hidup dipermukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina (Soedarto, 2003). Tungau akan mati pada suhu sedang (moderate temperature).pada suhu 500 C diluar hospes, baik pada udara kring maupun lembab, tungau akan mati dalam waktu 10 menit. Pada suhu 250C tungau bertahan hidup selama 3 hari pada kelembaban relatif 90%. Periode paling lama untuk tungau bertahan diluar kulit manusia adalah 14 hari pada udara lembab dengan suhu 210 C. Sedangkan pada suhu yang lebih rendah kemampuan hidup menurun (Soedarto, 2003). Mellanby (1994) menyatakan bahwa sensitisasi terjadi kira-kira satu bulan sesudah penyakit dimulai. Selama satu bulan parasit itu bisa terdapat diatas kulit atau dalam terowongn tanpa disertai rasa gatal dan gangguan-gangguan lainnya. Gejala gatal timbul setelah penderita tersensitisasi oleh ekskreta kutu. Pada reinfeksi rasa gatal dapat langsung terjadi.menggaruk setelah terjadinya sensitisasi membantu dalam membatasi meluasnya infestasi (Predinville, 2000).

1. 2. Berbagai APC seperti makrofag jaringan kulit (jendritik/Langerhans) menangkap, mengikat, dan memakan partikel antigen 3. makrofag mempresentasikan antigen ke sel T 4. Sel T yang diaktifkan bermigrasi ke tempat infeksi memberi bantuan ke makrofag kemudian produk dari mikroba dan produk dari sel T memacu transkripsi APC untuk memproduksi IL-12 yang memacu diferensiasi sel CD4+ menjadi sel efektor Th15. Pajanan ulang sekret dari Sarcoptes scabei menginduksi sel efektor Th16. Pada fase ini sel Th1 melepaskan berbagai sitokin seperti (IFN, dll) yang mengerahkan, mengaktifkan, dan meningkatkan fungsi makrofag dan sel imun lainnya7. Produk makrofag (seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi) dapat menimbulkan destruksi pathogen namun juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan pejamu dan pada beberapa hal antigen tidak dapat dibersihkan sehingga respons DTH memanjang dan makrofag yang dikerahkan akan melepaskan faktor fibrogenik dan merangsang pembentukan jaringan granuloma dan fibrotic di bawah pengaruh Th1. 8. Granuloma terbentuk bila makrofag terus menerus diaktifkan dan menempel satu dengan lainnya yang kadang berfusi membentuk sel datia multinuclear yang disebut sel datia. Sel datia tersebut mendorong jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang dapat diraba dan melepas sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringan sekitar. pembuluh darah dapat dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan.9. Memproduksi papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus Papul eritem, multiple, milier, diskret