SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ...repositori.kemdikbud.go.id/19360/1/Situs Liyangan...

34
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020 SUGENG RIYANTO ISBN 978-602-19675-5-3 SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG

Transcript of SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ...repositori.kemdikbud.go.id/19360/1/Situs Liyangan...

  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

    Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

    Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    2020

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

    Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

    Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    2020

    SUGENG RIYANTO

    ISBN 978-602-19675-5-3

    SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA

    PERADABAN ADILUHUNG

    DI LERENG GUNUNG

  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

    Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

    Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    2020

    SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA

    PERADABAN ADILUHUNG

    DI LERENG GUNUNG

    SUGENG RIYANTO

    TEBAL BUKUTEBAL BUKU

  • SANKSI PELANGGARAN PASAL 72:

    Cetakan Kedua Edisi Revisi, Agustus 2020©Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangTidak Untuk Diperjualbelikan

    Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

    iiiDaftar Isi

    DAFTAR ISISITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA

    PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG

    Penanggung Jawab

    Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta

    Sugeng Riyanto

    Penulis

    Sugeng Riyanto

    Editor

    Novida Abbas

    Redaktur

    Hari Wibowo

    Sekretaris

    Heri Priswanto

    Desain dan Layout

    Jentera Intermedia, Akunnas Pratama

    Penerbit

    Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    Jl. Gedongkuning 174, Yogyakarta 55171

    Telp./Fax.: 0274-377913

    Email: [email protected]

    Laman: arkeologijawa.kemdikbud.go.id

    ISBN

    978-602-19675-5-3

    DAFTAR ISI

    SAMBUTAN

    PENGANTAR

    BAB I. PENGENALAN AWAL

    BAB II. RAGAM TEMUAN CERMIN PERADABAN

    A. Hunian

    B. Bangunan atau Rumah Tinggal

    C. Perkakas Rumah Tangga

    1. Barang Tembikar

    2. Barang Logam

    3. Barang Berbahan Batu

    4. Barang Keramik

    5. Kain atau Tekstil

    D. Pemujaan

    E. Pertanian

    F. Pengetahuan dan Data Baru

    BAB III. MASA HINDU-BUDDHA DI JAWA

    A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa

    B. Matarām Berkuasa di Jawa

    BAB IV. PERMUKIMAN LIYANGAN DAN BHŪMI MATARĀM

    DAFTAR PUSTAKA

    GLOSARIUM

    iii

    v

    vii

    1

    7

    8

    11

    13

    14

    16

    20

    21

    26

    28

    31

    35

    39

    40

    42

    47

    51

    53

  • SAMBUTAN

    Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

    Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

    Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

    Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng

    Gunung ini secara khusus ditujukan untuk dunia pendidikan, sebagai bacaan yang

    ringan. Terbitnya buku ini sangat melegakan dan patut disambut dengan baik.

    Sesungguhnya, perhatian terhadap dunia pendidikan melalui publikasi hasil

    penelitian arkeologi selaras dengan kerangka kebijakan pemerintah, utamanya di

    bidang peningkatan kualitas SDM melalui penguatan pendidikan karakter. Terkait

    dengan hal tersebut, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkelogi di

    Indonesia telah menggagas strategi pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi yang

    difokuskan pada sasaran dunia pendidikan. Strategi tersebut diberi tajuk Rumah

    Peradaban. Selain sebagai sarana pendidikan dan pencerdasan bangsa, Rumah

    Peradaban juga menjadi media untuk mempertemukan masyarakat dengan sejarah

    dan budaya masa lampaunya melalui pemahaman nilai-nilai yang terkandung di

    dalamnya.

    Kegiatan utama dalam program Rumah Peradaban adalah 1) destinasi pendidikan,

    2) pembuatan peraga pendidikan, dan 3) penyusunan buku pengayaan pendidikan.

    Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng

    Gunung cetakan ke-2 yang juga merupakan edisi revisi ini disusun dalam rangka

    program Rumah Peradaban 2020 di situs Liyangan. Terlepas dari segala keterbatasan

    yang ada, buku ini sesungguhnya memiliki dimensi informasi dan pengetahuan baru

    dalam perjalanan sejarah Indonesia. Materi dan substansinya telah disederhanakan

    dari hasil-hasil penelitian yang tadinya bersifat ilmiah.

    Sehubungan dengan hal tersebut, tidak berlebihan jika terbitnya buku ini layak

    disambut dan diapresasi dengan baik, bukan saja sebagai bagian dari program Rumah

    Peradaban tetapi juga sebagai bentuk usaha untuk mendiseminasikan hasil penelitian

    arkeologi kepada dunia pendidikan. Harapannya adalah agar penggalan sejarah

    kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang telah diungkap dapat dimaknai

    guna mendorong rasa cinta pada budaya dan peradaban luhur. Pada gilirannya, hal

    itu sekaligus menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam rangka penguatan

    pendidikan karakter melalui pemahaman jati diri.

    Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum.

    vSambutan

  • Buku ini merupakan edisi revisi dari cetakan pertama yang terbit tahun 2018. Selain

    minat dan permintaan yang tinggi sehingga edisi pertama habis dalam waktu singkat,

    tujuan menerbitkan edisi ini adalah untuk memperbaiki dan menyesuaikan beberapa

    bagiannya sebagai buku pengayaan pendidikan. Bagian-bagian penting yang direvisi

    meliputi 1) penyederhanaan narasi agar lebih mudah dicerna oleh kalangan

    pendidikan utamanya siswa SMA; 2) penambahan data baru; dan 3) penambahan dan

    penggantian ilustrasi. Bagian lain yang diperbaiki adalah cover dan layout,

    redaksional, dan ukuran font yang sedikit diperbesar. Selain itu, judul buku juga

    diperkaya dengan anak judul, yaitu “Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban

    Adiluhung di Lereng Gunung”.

    Di situs Liyangan, Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (atau

    disingkat Balar DIY) tidak sekedar mencari data, tidak sekedar mengumpulkan

    benda-benda, tidak pula menggali candi, tetapi mengumpulkan bagian-bagian

    kebudayaan dan peradaban kuno, karya hebat leluhur bangsa Indonesia. Tidak

    sedikit tanda-tanda kehebatan itu yang hanya ditemukan di Liyangan, tidak ada di

    situs lain yang semasa. Pengetahuan lain yang diperoleh dari hasil penelitian adalah

    gambaran kehidupan masyarakat Liyangan yang sangat kompleks. Begitu pula

    dengan perkembangan dan proses kepercayaan beserta cara-cara pemujaan yang

    kentara sekali jejaknya. Perkembangan tersebut dimulai sejak awal ada hunian hingga

    masuknya unsur-unsur budaya India. Data fisik pertanian kuno jelas merupakan

    salah satu temuan yang spektakuler dan melengkapi keistimewaan situs Liyangan.

    Ada pula data berupa sisa bangunan berbahan kayu, bambu, dan ijuk. Tidak kalah

    menariknya adalah adanya kontak antara Liyangan kuno dengan wilayah lain. Dari

    semua itu, yang lebih penting adalah diketahuinya hubungan antara Liyangan dengan

    kerajaan Matarām Kuno. Itulah sebagian dari deretan keistimewaan kebudayaan

    leluhur bangsa Indonesia yang tercermin dari situs Liyangan.

    Dengan banyaknya pengetahuan dan informasi seperti itu, maka menjadi keharusan

    bagi Balar DIY untuk mendiseminasikannya kepada masyarakat luas, terutama

    kalangan pendidikan. Buku ini disusun dengan tujuan untuk memperkaya khasanah

    sejarah Indonesia, khususnya yang terkait dengan kerajaan Matarām Kuno, bahkan

    juga masa sebelumnya.

    PENGANTAR

    viiPengantar

  • IPENGENALAN

    AWAL

    Tentu saja disadari sepenuhnya adanya ketidaksempurnaan dalam hal substansi

    maupun redaksional yang sangat mungkin menjadi hambatan pembaca dalam

    memahami situs Liyangan. Namun demikian sebagai akumulasi hasil penelitian, buku

    ini diharapkan dapat menjadi bahan yang dapat digunakan dalam upaya memperkaya

    bahan bacaan bagi anak-anak sekolah, khususnya terkait dengan sejarah Indonesia.

    Sebagai penutup, penulis tidak akan pernah melupakan segala kebaikan dan bantuan

    semua pihak, baik dalam proses penelitian maupun penyusunan buku ini.

    Penulis

    viii Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • itus Liyangan berada di Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan

    SNgadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Lokasinya berada di lereng Gunung Sindoro, kira-kira 8 kilometer dari puncaknya. Di sekitar situs merupakan areal pertanian warga, dan sebagian lainnya sekarang menjadi lokasi

    tambang pasir.

    Setelah diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama

    beberapa tahapan, yaitu sejak 2009, terungkap bahwa situs Liyangan dulunya adalah

    permukiman kuno. Bagian-bagian dari permukiman itu ditemukan dalam kondisi

    yang lengkap. Bagian-bagian penting yang menunjukkan sebagai permukiman

    meliputi tiga area, yaitu:

    1) hunian,

    2) pemujaan, dan

    3) pertanian.

    Selain lengkap, bekas-bekas permukiman Liyangan kuno juga sangat jelas wujudnya.

    Beberapa di antaranya bahkan hampir utuh, dapat diibaratkan seperti desa modern

    jaman sekarang. Permukiman kuno Liyangan tadinya tertutup oleh material letusan

    Gunung Sindoro, kira-kira 1.000 tahun yang lalu. Selain itu, tentu saja semua benda

    dan bangunannya sudah sangat kuno, karena dibuat dan dibangun oleh warga

    masyarakat yang hidup di sana lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Diduga orang-orang

    di sana sudah mendiami lokasi itu sejak abad ke-2 Masehi. Ini berarti situs Liyangan

    dulunya dihuni oleh warga masyarakat selama ratusan tahun, yaitu dari abad ke-2

    sampai kira-kira abad ke-11 Masehi, secara terus-menerus.

    Mengapa Liyangan dihuni hanya sampai abad ke-11 ? Hal ini dikarenakan pada abad

    ke-11 itulah Gunung Sindoro meletus dahsyat. Dari letusannya telah dimuntahkan

    jutaan kubik material yang menerjang dan menghanguskan apa pun yang

    dilewatinya, termasuk permukiman kuno Liyangan. Letusan ini terjadi berulang kali

    sehingga permukiman Liyangan kuno akhirnya seperti ditelan bumi. Permukiman

    kuno Liyangan terkubur habis tanpa sisa. Hebatnya, tidak ada korban dalam peristiwa

    bencana alam ini, baik itu korban jiwa, harta benda, bahkan ternak. Masyarakatnya

    pasti sangat cerdas dan arif, karena selain mampu membangun peradaban yang

    hebat juga mampu membaca dinamika alam sehingga berhasil menghindari bencana.

    Itulah sekilas mengenai situs Liyangan, situs yang nantinya mengajarkan kepada kita

    tentang peradaban modern leluhur dan juga mengajarkan mitigasi bencana dengan

    kearifan dan kecerdasan yang mereka miliki. Situs Liyangan yang kita lihat sekarang

    adalah kondisi terakhir dari perkembangan permukiman yang sudah berlangsung

    ratusan tahun. Lalu, kira-kira bagaimana gambaran awal permukiman di Liyangan

    kuno? Bagaimana pula peradaban di sana berkembang hingga sangat maju?

    Dapat dibayangkan bahwa masyarakat Liyangan kuno pada awalnya membangun

    hunian, bertani, dan mengadakan pemujaan secara sederhana. Jumlah warganya juga

    belum banyak. Seiring berjalannya waktu, warga juga melakukan hubungan dengan

    masyarakat di wilayah lain. Hubungan ini mendorong berkembangnya pengetahuan,

    teknologi, dan juga cara-cara pemujaan yang akhirnya terpengaruh oleh agama

    Hindu. Jumlah penduduknya tentu saja juga semakin banyak dan kehidupan semakin

    kompleks.

    Foto 1. Situs Liyangan dengan latar belakang Gunung Sindoro.

    02 03Pengenalan Awal

    Foto 1.

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Aktivitas yang berlangsung juga bertambah banyak, bukan saja pemujaan tetapi juga

    bertani, berdagang, dan kegiatan lain. Prasarana dan sarana tentu saja berkembang

    dengan pesat, seiring dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan. Contohnya,

    bangunan untuk pemujaan bukan hanya berwujud candi, tetapi juga ada petirtaan

    dan batur yang dibangun dengan bahan campuran antara batu, kayu, bambu, dan

    ijuk. Fasilitas ibadah juga ditambah dengan bangunan-bangunan pendukung yang

    terbuat dari bahan kayu, bambu, dan ijuk. Peralatan upacara keagamaan berupa

    barang-barang yang terbuat dari bahan tanah liat, keramik, logam, dan juga batu.

    Perkakas rumah tangga jumlahnya sangat banyak, bahan dan bentuknya juga

    bermacam-macam. Contohnya alat untuk memasak dan menyajikan makanan seperti

    Foto 2. Formasi situs Liyangan dilihat dari arah timur, Gunung Sindoro ada di sebelah kiri foto.

    04 05Pengenalan Awal

    Foto 2.

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • periuk dari tanah liat, mangkuk berbahan keramik, kendi yang dibuat dari tanah liat

    atau keramik, dan sebagainya. Ada juga alat yang disebut pipisan dan gandik yang

    digunakan untuk menghaluskan bahan makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara

    menggiling atau menggilas berulang-ulang. Alat penerangan ada yang sederhana,

    yang disebut dengan celupak, dibuat dari tanah liat bakar berbentuk pipih, cekung di

    bagian tengah dan ada cerat di tepinya. Alat penerangan yang mewah adalah lampu

    gantung, terbuat dari perunggu. Hebatnya lagi, ditemukan sisa kain, ada yang berupa

    lipatan, gulungan, bahkan ada yang sudah beruwujud kantong lengkap dengan tali

    pengikatnya. Tapi simpan dulu kekaguman kita, karena masih banyak temuan hasil

    penelitian lainnya yang juga hebat, karena Liyangan kuno memang merupakan

    permukiman yang sudah sangat modern dan ramai.

    Dalam kondisi seperti itulah permukiman kuno Liyangan terdampak oleh letusan

    Gunung Sindoro pada abad ke-11. Seribu tahun kemudian Liyangan menjadi situs

    yang ditemukan dan diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi DIY. Oleh karena itu di situs

    Liyangan benda-benda yang ditemukan sangat banyak ragamnya, bahkan terkadang

    terlihat rumit.

    Yang paling menonjol adalah peninggalan yang digunakan untuk pemujaan dan

    terbuat dari batu, seperti candi, petirtaan, batur, dan arca, yang menunjukkan latar

    belakang keagamaan Hindu. Akan tetapi, sesungguhnya unsur-unsur kepercayaan

    aslinya juga masih ada. Tanda bahwa masyarakat Liyangan kuno sudah taat

    melakukan peribadatan sebelum terpengaruh agama Hindu dari India. Ragam

    temuan di situs Liyangan lainnya benar-benar mengagumkan, sangat modern untuk

    ukuran masyarakat dan peradaban yang hidup lebih dari seribu tahun yang lalu.

    Hebatnya lagi, keragaman itu tidak ditemukan di situs mana pun di Indonesia yang

    sejaman, baik mengenai huniannya, pemujaannya, maupun pertaniannya.

    IIRAGAM

    TEMUAN CERMIN

    PERADABAN

    06 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Keragaman temuan di situs Liyangan menunjukkan detail-detail sisa peradaban yang

    terungkap sedikit demi sedikit melalui penelitian arkeologi. Detail-detail itu dapat

    dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang menggambarkan wajah permukiman

    Liyangan kuno. Ibarat mosaik, bagian-bagian itu tumbuh dan berkembang dari abad

    ke-2 hingga abad ke-11, komplet meliputi bagian hunian, bagian pemujaan, dan

    bagian pertanian. Kira-kira wajah elok situs Liyangan begini gambarannya.

    A. Hunian

    Hunian adalah bagian inti dari sebuah permukiman, yaitu tempat masyarakat

    berdiam di suatu tempat dengan segala perlengkapan dan aktivitasnya, dalam waktu

    yang relatif lama. Tentu saja tidak semua lokasi cocok untuk dijadikan hunian, karena

    ada banyak pertimbangan agar kehidupan dapat berlangsung. Pertimbangan paling

    mendasar terkait dengan ketersediaan:

    1) air,

    2) sumber makanan,

    3) bahan-bahan alami untuk perlengkapan dan beraktivitas,

    4) jalur transportasi dan kemudahan kontak dengan masyarakat

    lainnya,

    5) keamanan,

    6) kesuburan tanah dan bentuk lahan.

    Lokasi di mana situs Liyangan berada memiliki unsur-unsur dasar tersebut. Hunian

    ini berkembang secara berangsur-angsur dan bertahap. Awalnya berupa hunian yang

    sederhana, kemudian Liyangan menjadi permukiman yang modern dan kompleks.

    Perkembangan itu membutuhkan waktu ratusan tahun lamanya, bertahap seiring

    dengan berkembangnya:

    1) hubungan dengan daerah lain,

    2) pengetahuan dan teknologi yang dimiliki,

    3) perkembangan kepercayaan dari kepercayaan terhadap kekuatan

    alam hingga pengaruh Hindu,

    4) cara-cara pemujaan,

    5) organisasi sosial dan keberadaan kerajaan Matarām Kuno.

    Unsur-unsur hunian yang ditemukan di situs Liyangan adalah akumulasi dari

    perkembangan yang sudah ratusan tahun lamanya. Apa yang terlihat sekarang

    merupakan perkembangan terakhir dari proses pertumbuhan permukiman kuno

    Meskipun letusan Gunung Sindoro sangat dahsyat, tetapi masyarakat Liyangan kuno

    dapat menyingkir sebelum kejadian sehingga selamat. Mereka rupanya dapat

    menebak dengan jitu kapan Sindoro akan meletus melalui tanda-tanda yang

    diketahui secara turun-temurun. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan

    pengalaman bermukim di lereng Sindoro selama ratusan tahun. Selama itu tentunya

    Gunung Sindoro juga meletus beberapa kali meskipun tidak besar; di antaranya

    mungkin juga disertai gempa vulkanis. Kejadian-kejadian itu diingat tanda-tandanya

    hingga menjadi pengetahuan empiris masyarakat Liyangan kuno dan diajarkan secara

    turun-temurun.

    Pengetahuan itu nantinya sangat bermanfaat, terutama dalam membaca tanda-tanda

    menjelang Gunung Sindoro meletus dengan dahsyat. Karena itu mereka dapat

    menyelamatkan diri. Bukan hanya nyawa yang selamat, tetapi juga harta benda,

    termasuk ternak piaraan. Itulah sebabnya selama diteliti, di situs tidak dijumpai

    adanya korban jiwa maupun hewan ternak, tidak juga benda-benda berharga. Namun

    begitu, jutaan meter kubik yang dimuntahkan oleh Gunung Sindoro yang mengubur

    Gambar 1. Formasi situs

    Liyangan berdasarkan

    gambar denah.

    yang berhenti secara tiba-tiba pada abad XI. Gunung Sindoro yang pada awalnya

    menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat untuk membangun hunian dan

    mendorong terbentuknya permukiman, pada akhirnya Gunung Sindoro pula yang

    menghentikan peradaban itu. Letusan dahsyat yang terjadi pada abad XI itu lah yang

    mengubur lokasi tersebut.

    08 09

    Gambar 1.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • permukiman tetap saja membuat kita merasa pilu. Arkeolog yang meneliti dan

    menyaksikan langsung dampak hebat letusan itu sering membayangkan penderitaan

    mereka dan merasa bersedih hati.

    Pekerjaan penelitian dilakukan dengan cara menyingkirkan jengkal demi jengkal

    material vulkanis. Benda demi benda ditemukan, bangunan demi bangunan

    dimunculkan, hingga pada akhirnya situs Liyangan terbuka seperti sekarang.

    Liyangan adalah salah satu situs yang mencerminkan kemajuan peradaban kita

    ratusan tahun yang lalu.

    Majunya permukiman yang dibangun di situs Liyangan dapat dilihat dari benda-

    benda dan sisa hunian yang tertinggal dan ditemukan. Itulah wajah peradaban

    Liyangan kuno. Ragam temuan sisa hunian tersebut meliputi bekas tempat

    tinggal, perkakas rumah tangga, dan sisa aktivitas keseharian lainnya. Berikut ini

    ditunjukkan ragam temuan yang menggambarkan aktivitas hunian masyarakat

    Liyangan kuno.

    B. Bangunan atau Rumah Tinggal

    Temuan sisa bangunan yang paling lengkap adalah hasil ekskavasi tahun 2010, 2012,

    dan 2018. Berdasarkan temuan tahun 2010 diketahui bahwa bahan bangunan meliputi

    kayu, bambu dan ijuk. Bangunan tersebut berukuran panjang antara 5 atau 6 meter

    dan lebar sekitar 3 meter. Bentuknya panggung yang ditopang oleh 16 tiang utama,

    yaitu masing-masing 4 di setiap sisinya. Bahan kayu dipergunakan untuk tiang, lantai,

    dan sebagian dinding bangunan. Bahan bambu dipergunakan sebagai dinding yang

    dianyam dan juga dipergunakan untuk konstruksi atap. Bahan ijuk selain sebagai atap

    bangunan juga digunakan untuk membuat tali untuk mengikat konstruksi bangunan.

    Sisa bangunan yang ditemukan dalam penelitian tahun 2010 ini sudah tidak ada lagi

    di situs karena waktu itu lokasinya masih ditambang, sehingga hilang bersama

    dengan material pasirnya.

    Berdasarkan bentuknya, belum dapat dipastikan apakah bangunan tersebut

    merupakan rumah tinggal, karena mungkin saja digunakan untuk keperluan lainnya.

    Namun demikian, setidaknya hasil rekonstruksi dapat menjadi gambaran mengenai

    bentuk rumah pada masa itu, yaitu model panggung dan dibuat dari bahan kayu,

    bambu, dan ijuk.

    Selain sisa bangunan yang ditemukan tahun 2010 juga ada sisa bangunan yang

    ditemukan pada penelitian tahun 2012. Sisa bangunan tersebut masih ada di situs dan

    diamankan secara khusus. Meskipun temuan ini tidak selengkap temuan tahun 2010,

    tetapi menjadi tanda bahwa hunian dan peradaban Liyangan kuno sangat penting

    karena datanya masih ada.

    Hasil analisis laboratorium pada sampel komponen bangunan kayu menunjukkan

    beberapa jenis kayu yang digunakan yaitu:

    • Usuk/reng terbuat dari kayu pasang (suku Fagaceae, marga Quercus,

    Spesies Quercus spp)

    • Dinding terbuat dari kayu puspa (suku Theaceae, marga Schima,

    spesies Schima wallichii)

    • Bagian lain berasal dari kayu Jamuju, Cemara Pandak (suku

    Podocarpaceae, marga Podocarpus, spesies Podocarpus imbricatus)

    (Riyanto, 2012)

    Pada penelitian tahun 2018 ditemukan pelataran atau hamparan halaman beserta

    bangunannya. Bangunan ini juga berupa rumah panggung berbahan kayu, bambu dan

    ijuk. Semua bagian ditemukan dalam bentuk arang karena bangunan rumah itu

    terlanda materi letusan Gunung Sindoro pada abad ke-11.

    Foto 3. Ekskavasi pertama di situs Liyangan pada 2010, para peneliti bekerja di bawah kesibukan para

    penambang; pasir dan batu yang ditambang adalah material letusan Gunung Sindoro yang mengubur

    dan menghentikan perjalanan peradaban Liyangan kuno.

    10 11

    Foto 3.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Pelataran dilindungi dengan talud boulder setinggi sekitar 1,5 meter. Permukaannya

    padat, relatif rata, ada tatanan batu lainnya sebagai pembagi halaman, ada juga

    pecahan kecil-kecil tembikar dan keramik. Terlihat jelas bekas-bekas aktivitas masa

    lalu di permukaan tanah pelataran ini.

    Bangunan rumah ditemukan di lokasi yang jaraknya 10 meter dari talud. Bagian-

    bagiannya terbilang lengkap, yaitu umpak batu sebagai alas tiang, papan untuk lantai,

    balok dan papan penyekat ruangan, anyaman bambu, usuk, reng, hingga tumpukan

    ijuk untuk atapnya. Karena kondisinya sangat rapuh, ekskavasi dilakukan dengan

    sangat hati-hati. Tidak seluruh material vulkanis yang “menyegel” bangunan tersebut

    dibuka. Oleh karena itu ada hal-hal yang belum dapat diketahui, misalnya ukuran

    bangunan, bentuk, arah hadap, dan tata ruangnya. Kronologi sisa “rumah” ini

    didasarkan pada pecahan keramik dari Dinasti Tang, abad ke-9, sehingga dipastikan

    sejaman dengan bagian lain di situs Liyangan.

    Foto 4. Temuan pada ekskavasi 2010

    berupa komponen bangunan berbahan

    kayu, bambu, dan ijuk.

    Foto 5. Temuan anyaman bilah bambu,

    diduga merupakan dinding bangunan.

    Gambar 2. Rekonstruksi bentuk

    bangunan berbahan kayu, bambu, dan

    ijuk berdasarkan hasil ekskavasi tahun

    2010.

    Foto 6. Rumah hasil ekskavasi tahun

    2018. Komponennya tergolong

    lengkap, antara lain meliputi papan

    untuk lantai dan dinding, konstruksi

    balok-balok, bambu, tumpukan ijuk.

    Foto 7. Hasil ekskavasi tahun 2018

    berupa pelataran. Di latar belakang,

    di bawah tenda berawarna biru,

    adalah lokasi temuan sisa bangunan

    rumah.

    C. Perkakas Rumah Tangga

    Perkakas rumah tangga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan pada suatu

    hunian karena menjadi barang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Barang

    yang mudah dikenali sebagai perkakas sehari-hari pada suatu hunian antara lain

    berbagai wadah, alat memasak, pakaian, perhiasan, dan alat penerangan. Di situs

    Liyangan, barang-barang itu termasuk yang paling banyak ditemukan, meskipun

    sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Sisa perkakas yang ada di situs Liyangan dapat

    dibedakan berdasarkan bahannya, yaitu tanah lihat atau barang tembikar, logam,

    batu, serat kain, dan barang keramik atau porselen. Seluruh barang berbahan

    keramik di Liyangan diketahui berasal dari Tiongkok, buatan masa Dinasti Tang, kira-

    kira abad IX.

    12 13

    Gambar 2.

    Foto 4. Foto 5.

    Foto 6.

    Ragam Temuan Cermin Peradaban

    Foto 7.

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Foto 8. Pengelolaan temuan pecahan-pecahan artefak oleh para peneliti, mulai dari membersihkan,

    memilah, merekonstruksi, melabel, tabulasi, hingga entri data ke dalam komputer.

    Foto 9. Periuk hasil rekonstruksi

    dari pecahan-pecahan tembikar

    hasil penelitian.

    Foto 10. Bentuk utuh periuk, alat memasak menanak nasi, banyak ditemukan di situs Liyangan.

    Foto 11. Kendi dan mangkuk tembikar ditemukan dalam posisi menumpuk; dapat dibayangkan betapa

    dinamis kehidupan waktu itu.

    Berikut ini beberapa sisa perkakas rumah tangga yang mencerminkan betapa

    ramainya hunian di Liyangan pada waktu itu.

    1. Barang Tembikar

    Perkakas ini biasa disebut juga gerabah, yaitu wadah atau bentuk lainnya yang dibuat

    dari tanah liat yang dibakar. Artefak jenis ini termasuk yang paling sering ditemukan,

    hampir di semua situs arkeologi. Mengapa? Karena sangat umum dipergunakan

    dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan hingga masa sekarang, masih mudah dijumpai

    masyarakat yang masih menggunakannya sebagai perkakas rumah tangga.

    Jenis barang tembikar yang banyak ditemukan di situs Liyangan adalah kendi, periuk,

    mangkuk, cawan, pasu, lampu (celupak), penyangga wadah (blengker), buyung,

    tempayan, dan hiasan (figurin). Umumnya artefak tembikar ditemukan dalam kondisi

    tidak utuh, beberapa di antaranya malah berupa pecahan kecil-kecil. Jenis barang

    tersebut sebagian besar juga ditemukan di situs lain, dan bahkan beberapa

    diantaranya masih digunakan di masa sekarang.

    Foto 12. Lampu tanah liat

    (celupak). Lampu ini berbahan

    bakar minyak damar atau

    minyak kelapa dengan sumbu

    pada bagian ceratnya.

    14 15

    Foto 8.

    Foto 9.

    Foto 11. Foto 10.

    Foto 12.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • 2. Barang Logam

    Barang logam yang ditemukan di situs Liyangan dapat dipilah berdasarkan kategori

    dan jenisnya. Berikut ini kategori dan jenis barang logam tersebut.

    Tabel 1. Barang-barang logam yang ditemukan di situs Liyangan.

    KATEGORI

    alat bangunan

    alat pertanian

    alat

    rumah tangga

    NOMOR NAMA BENDA

    angkor

    cangkul (?)

    parang

    fr. sabit

    buyung (tersisa hanya bagian

    tepian sampai badan)

    2

    3

    alat/tukang

    alat pande

    alat upacara

    penerangan

    perhiasan

    senjata

    panci

    pisau

    talam

    tangkai wadah

    cungkil

    kapak

    fr. palu

    tatah

    tang

    pelebur logam

    giring-giring

    tempat sesaji

    lampu gantung

    tempat minyak

    cermin/darpana

    pedang

    keris

    tombak

    4

    5

    6

    8

    7

    mangkuk

    Foto 15. Tempat sesaji berbahan perunggu, lengkap dengan tangkai dan kaki sebagai penyangga.

    Foto 16. Genta perunggu (kiri) digunakan dalam upacara keagamaan dan kowi (kanan) adalah alat untuk

    melebur logam.

    Foto 13. Fragmen kendi,

    selain digunakan sehari-

    hari bisa juga digunakan

    dalam prosesi upacara

    keagamaan.

    Foto 14. Bagian tepian

    dari tempayan, wadah air

    yang berukuran besar.

    16 17

    Foto 13. Foto 14.

    Foto 15.

    Foto 16.

    Ragam Temuan Cermin Peradaban

    1

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Foto 17. Kapak besi, sebagian dari alat pertanian berbahan logam.

    Foto 18. Peralatan berbahan besi, berupa alat pertanian (parang dan sabit)

    maupun senjata (keris dan tombak).

    Foto 19. Beberapa jenis alat pertanian berbahan logam.

    Foto 20. Mata tombak berbahan besi, kegunaannya tidak harus untuk

    berperang, tetapi bisa juga sebagai senjata untuk berburu.

    Foto 21. Entong perunggu, ketika ditemuan, di bawahnya terdapat bahan

    makanan sejenis jagung dengan kondisi relatif utuh.

    Foto 22. Pecahan tempayan berbahan perunggu, di dalamnya ditemukan

    belahan buah kelapa.

    Foto 23. Mangkuk berbahan perunggu.

    18 19

    Foto 20.

    Foto 19.

    Foto 18.

    Foto 17.

    Foto 23.

    Foto 21. Foto 22.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • 3. Barang Berbahan Batu

    Batu ternyata juga digunakan sebagai bahan untuk pembuatan peralatan atau

    perkakas rumah tangga. Jadi, batu tidak hanya digunakan untuk bahan bangunan.

    Jenis barang dari batu yang ditemukan di situs Liyangan sangat beragam. Hal ini

    menunjukkan keragaman fungsi masing-masing, yaitu untuk keperluan rumah

    tangga biasa atau keperluan upacara keagamaan. Jenis barang dari batu yang umum

    digunakan oleh masyarakat Liyangan kuno adalah, pipisan, gandik, dan lumpang.

    Fungsi pipisan dan gandik adalah untuk menghaluskan bahan makanan atau obat-

    obatan dengan cara menggiling atau menggilas berulang-ulang. Sedangkan lumpang

    digunakan dengan cara menumbuk.

    Foto 24. Talam (baki bundar)

    berbahan perunggu dengan

    motif sankha (kerang) bersayap

    motif khas Mataram Kuno abad

    ke-9.

    Foto 25. Darpana (cermin)

    berbentuk bundar dan

    bergagang, berbahan

    perunggu, ditemukan dalam

    keadaan terbungkus lelehan

    logam lainnya.

    Foto 26. Fragmen lampu

    gantung berbahan perunggu,

    terdiri atas beberapa bagian.

    Foto 27. Tempat sesaji dari batu andesit, bahan yang sama dengan batu candi.

    Foto 28. Lumpang dan gandik, alat untuk menghaluskan biji atau lainnya dengan cara menumbuk.

    Foto 29. Manik-manik berbahan batu untuk perhiasan.

    Foto 30. Pipisan dan gandik, digunakan untuk menghaluskan biji-bijian dengan cara menggilas.

    4. Barang Keramik

    Barang-barang keramik yang ditemukan di Situs Liyangan berasal dari negeri Cina,

    dibuat pada abad IX Masehi, yaitu masa Dinasti Tang. Barang keramik tersebut dibuat

    di beberapa wilayah di Cina, yaitu:

    • dari wilayah Changsha dikenal dengan istilah ‘barang Changsha’

    (Changsha ware),

    • dari wilayah Yue dikenal dengan ‘barang Yue’ (Yue ware),

    • dari wilayah Ding dikenal dengan ‘barang Ding’ (Ding ware), dan

    • keramik yang dibuat di wilayah Guandong dikenal dengan ‘barang

    Guandong’ (Guandong ware). Keramik Cina yang dibuat dari wilayah

    Guandong inilah yang paling banyak ditemukan di Situs Liyangan

    (Eriawati, 2014: 237 ).

    20 21

    Foto 26.

    Foto 24. Foto 25.

    Foto 27. Foto 28.

    Foto 30.

    Foto 29.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Foto 31. Sebagian dari belasan ribu pecahan barang keramik dari situs Liyangan dapat direkonstruksi

    sehingga diketahui berbagai jenis dan bentuknya.

    Wadah keramik yang ditemukan situs Liyangan bermacam-macam bentuknya.

    Masing-masing bentuk memiliki kegunaan yang berbeda-beda. Keragaman bentuk

    mencerminkan keragaman aktivitas dalam kehidupan di Liyangan kuno. Bentuk-

    bentuk tersebut adalah tempayan, guci, pasu, mangkuk, teko, dan botol.

    Foto 32. Tempayan barang

    Guandong; cirinya adalah glasir

    yang tidak rata.

    Foto 33. Guci, barang Guangdong.

    Foto 34. Teko / guci bercerat

    (ewer), barang Guangdong.

    Foto 35. Guci bercerat barang

    sancai (tiga warna), Henan

    merupakan barang langka.

    Foto 36. Tempayan barang Henan

    berwarna biru torquoise, tergolong

    sangat langka.

    Foto 37. Guci bercerat barang

    Changsha berbentuk bulat,

    berglasir coklat.

    22 23

    Foto 31.

    Foto 32.

    Foto 33. Foto 34.

    Foto 35. Foto 36.

    Foto 37.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Foto 42. (kiri) Mangkuk

    barang Guangdong.

    Foto 43. (kanan) mangkuk

    barang Ding.

    Foto 44. Botol, barang

    Sancai, Henan dengan

    glasir hijau dan kuning.

    Foto 38. Teko barang

    Zhazou.

    Foto 39. Teko barang

    Changsha.

    Foto 40. Teko barang

    Sancai, Henan.

    Foto 41. Salah satu guci

    yang relatif utuh. Guci ini

    ditemukan dengan bilah-

    bilah bambu masih

    menempel, yang

    menandakan dulunya

    ada tempat khusus yang

    dibuat dari bambu untuk

    menyimpan perkakas

    rumah tangga.

    24 25

    Foto 38. Foto 39. Foto 40.

    Foto 41.

    Foto 42.

    Foto 44.

    Foto 43.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Foto 45 dan Foto 46, dua varian bentuk pasu.

    5. Kain atau Tekstil

    Selama ini, kita mengetahui bahwa masyarakat Jawa Kuno sudah mengenal kain

    hanya dari prasasti dan relief. Hebatnya, temuan sisa kain di situs Liyangan

    menunjukkan bendanya, kain yang sesungguhnya dan dipakai pada masa itu. Oleh

    karenanya harus dicatat bahwa kain bukanlah barang langka pada jaman kerajaan

    Matarām Kuno.

    Contoh prasasti yang menyebut penggunaan kain adalah prasasti Rongkab (901 M),

    prasasti Luitan (901 M), prasasti Watukura (902 M) dan prasasti Kasugihan (907 M).

    Istilah kain atau tekstil sebagaimana kita kenal sekarang, sama dengan istilah Jawa

    Kuno seperti wḍihan dan ken, dengan satuannya berupa hle dan wlah. (Fitriati, 1990).

    Informasi tentang kain dari relief, salah satunya ada di Candi Prambanan, abad ke-9.

    Dalam adegan cerita Ramayana dan Kresnayana, kain digambarkan sebagai pakaian

    pendeta, bangsawan wanita, raja atau bangsawan pria, wanita biasa, dan abdi laki-

    laki. Berikut ini gambaran penggunaan kain tersebut.

    • untuk pendeta digunakan dua lapis kain, yaitu kain sampai lutut dan

    lainnya diikatkan pada pinggang, ujungnya di-wiru dan menjurai

    hingga pergelangan kaki,

    • bangsawan wanita mengenakan pakaian bawah hingga mata kaki

    dengan aksesoris di bagian perut,

    • raja atau bangsawan laki-laki mengenakan kain dua lapis, yang satu

    dibentuk seperti celana pendek dan lainnya melingkari pinggang

    dengan lipatan wiru di bagian tengah perut,

    Foto 47. Sisa kain yang ditemukan

    kondisinya sangat rapuh, dalam

    keadaan lipatan, ditemukan di dalam

    guci Tiongkok Dinasti Tang abad ke-9.

    Foto 48. Sisa kain gulungan (atas) dan

    kantong kain beserta talinya (bawah).

    • bagi wanita biasa, kain yang dikenakan dua lembar, yang satu panjang

    dari perut hingga kaki dan yang lainnya melingkar di pinggang secara

    sederhana,

    • bagi para abdi laki-laki, kain dikenakan sebagai kancut, dililitkan di

    sekitar perut dan paha hingga mirip celana pendek (Lelono,

    1995/1996).

    26 27

    Foto 45. Foto 46.

    Ragam Temuan Cermin Peradaban

    Foto 47.

    Foto 48.

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • D. Pemujaan

    Di bagian depan sudah disampaikan bahwa situs Liyangan dulunya adalah

    permukiman kuno yang berkembang sekurang-kurangnya sejak abad ke-2 dan

    berhenti akibat meletusnya Gunung Sindoro pada abad ke-11. Jika dikaitkan dengan

    kepercayaan masyarakatnya, maka dapat dibagi dalam dua fase besar, yaitu fase

    sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan fase Hindu-Buddha yang datang

    dari India. Selain itu, jika dikaitkan dengan kerajaan Matarām Kuno yang berdiri pada

    tahun 717 atau awal abad ke-8, maka permukiman Liyangan kuno dapat dibagi ke

    dalam lima fase, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

    a) Sebelum abad ke-5/6 merupakan fase prasejarah khususnya megalitik. Pada

    masa ini masyarakat menganut kepercayaan asli, yaitu percaya pada

    kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Prasarana pemujaan berupa punden atau

    bangunan berundak dan berteras. Semakin tinggi terasnya atau undakannya,

    semakin suci karena dianggap semakin dekat dengan sumber kekuatan itu.

    Bahan bangunan utamanya berupa batu-batu kali yang disusun membentuk

    batur. Di atas batur, di bagian tengah, dibentuk altar. Kemungkinan di atas

    altar ini diletakkan objek pemujaan berupa arca berbentuk sederhana. Objek

    ini merupakan personifikasi kekuatan yang ada di luar dari diri manusia. Di

    atas batur bisa jadi juga dilengkapi dengan bangunan berbahan kayu, bambu,

    dan ijuk.

    b) Antara abad ke-6/7 merupakan fase transisi atau peralihan. Pada masa ini,

    kepercayaan asli mulai terpengaruh oleh agama Hindu. Kekuatan-kekuatan

    yang dipuja mulai diberi nama bergaya India. Sosok dewa mulai dikenal

    sebagai kekuatan baru dengan isitilah dan nama yang juga baru. Beberapa

    istilah dalam prosesi pemujaan diganti dengan istilah dari India yang sangat

    berbeda dengan istilah asli. Bentuk objek pemujaan secara berangsur-angsur

    berubah sesuai dengan kekuatan-kekuatan baru, seperti arca dewa, lingga,

    yoni, dan nandi. Bahan bangunan sedikit-demi sedikit diganti atau

    ditambahkan bahan baru yaitu batu yang dipahat atau dibentuk persegi.

    Nantinya, pengetahuan ini akan berpengaruh pada teknologi di bidang

    arsitektur atau seni bangun, termasuk seni bangun candi dan arca.

    c) Antara abad ke-7/8 merupakan fase yang berlangsung sejak awal

    perkembangan agama Hindu hingga awal perkembangan kerajaan Matarām

    Kuno yang berdiri pada tahun 717. Tentu saja waktu itu wilayah kerajaan juga

    meliputi Liyangan. Pada masa ini kerajaan Matarām Kuno sudah berkembang

    di bidang tata negara, ekonomi-perdagangan, teknologi, pertanian, dan juga

    kepercayaan yang semakin kuat pengaruh Hindunya. Meskipun demikian,

    ternyata kepercayaan asli tidak hilang sama sekali. Unsur-unsur India sama

    sekali tidak menggantikan unsur asli tetapi hanya memperkaya warna saja.

    Ciri bangunan dan tempat pemujaan yang berundak dan berteras masih

    dipertahankan. Selain itu, batu kali alami yang tidak dipahat juga tetap

    digunakan untuk membangun talud, penguat dinding tebing, teras lahan

    pertanian, dan bangunan lainnya.

    d) Antara abad ke-9 sampai tahun 929 merupakan fase kejayaan Matarām Kuno

    utamanya di Jawa Tengah. Pada masa ini permukiman kuno Liyangan

    Foto 49. Kain gulungan,

    serat besar, ditemukan di

    dalam guci Tiongkok Dinasti

    Tang abad ke-9.

    Foto 50. Relief cerita

    Kresnayana di candi

    Prambanan. Para brahmana

    mendatangi Kresna yang

    sedang duduk. Perhatikan

    cara penggunaan kain pada

    pakaian mereka, ada yang

    rumit ada pula yang

    sederhana.

    28 29

    Foto 49.

    Foto 50.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • menjadi bagian dari kerajaan. Oleh karena itu, banyak kesamaan antara situs

    Liyangan dengan situs lain, contohnya Prambanan yang waktu itu juga

    menjadi bagian dari kerajaan Matarām Kuno. Banyak barang yang mirip

    bahkan sama dengan yang ditemukan di Prambanan, misalnya talam atau

    baki berbentuk bundar dan pipisan. Walaupun di wilayah kerajaan sudah

    berkembang agama Hindu dan Buddha, tetapi agama Buddha tidak dianut

    oleh masyarakat Liyangan kuno. Bahkan, meskipun ciri-ciri memuncaknya

    agama Hindu banyak ditemukan, tetapi unsur-unsur kepercayaan asli tidak

    hilang sama sekali. Bahan bangunan berupa batu kali terus digunakan dan

    area pemujaan yang berundak-teras juga tidak diubah. Inilah yang

    membedakan situs Liyangan dengan situs Prambanan atau situs lain yang

    dibangun pada abad ke-9 sampai 10, sedangkan Liyangan dibangun dan

    dihuni sejak abad ke-2.

    e) Tahun 929 sampai abad ke-11 adalah ketika Liyangan kuno memasuki era

    pindahnya pusat kerajaan ke bagian timur Pulau Jawa hingga peristiwa

    meletusnya Gunung Sindoro. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia

    dijelaskan bahwa tahun 929 Raja Sindok memindahkan pusat kerajaannya ke

    bagian timur Jawa. Lokasi yang dipilih bukan daerah baru karena lokasinya

    juga bagian dari kerajaan Matarām. Pu Sindok membangun pusat

    kerajaannya di Tamwlang dan membangun dinasti yang baru, yaitu wangsa

    Iśāna. (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2011: 173-184). Permukiman

    di Liyangan rupanya tidak terpengaruh dengan perpindahan pusat

    pemerintahan Matarām, peradabannya terus berkembang. Bagaiama dengan

    kehidupan religi pada fase tersebut? Ternyata tidak banyak berubah dari fase

    sebelumnya, barangkali malah unsur Hindu menurun dan kepercayaan asli

    kembali menguat. Letusan dahsyat Gunung Sindoro pada abad ke-11 akhirnya

    menghentikan berkembangnya permukiman dan peradaban Liyangan kuno.

    Gambar 4. Lokasi pemujaan berada di antara Kali Liyangan di bagian kiri (barat) dan jalan batu kuno di

    bagian kanan (timur). Area pemujaan bentuknya berundak-teras (I - IV), yang menandakan kuatnya

    unsur kepercayaan dan pemujaan lama, sebelum pengaruh Hindu

    Gambar 3. Lokasi situs Liyangan dilihat dari samping (potongan). Bagian yang paling suci adalah teras

    I. Di teras ini terdapat 1 candi utama, 4 batur pendamping, dan 1 batur besar

    Foto 51. Area pemujaan adalah bagian penting dari permukiman Liyangan kuno

    E. Pertanian

    Jika kita berada di situs Liyangan dan menghadap ke arah Gunung Sindoro, maka

    lokasi area pertanian berada di sisi kiri, di atas jalan batu, meluas hingga puluhan

    meter ke arah gunung. Berikut ini gambaran lokasi pertanian yang tidak lain adalah

    bagian dari permukiman Liyangan kuno.

    30 31

    Gambar 3.

    Foto 51.

    Gambar 4.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Ruang K, L, G, E adalah lokasi-lokasi yang diduga merupakan area pertanian. Ruang C

    adalah jalan batu yang terus ke bawah hingga di bawah teras IV. Area pertanian

    berada pada lokasi di luar area pemujaan, dilengkapi dengan struktur-struktur

    boulder untuk penguat sekaligus sebagai batas lahan.

    Data pertanian yang meliputi bentuk lahan (Foto 53), sistem pengairan (Foto 54-56),

    peralatan pertanian (Foto 17-19) menjadikan situs Liyangan semakin spektakuler dan

    tidak ada duanya. Selain itu, hal ini juga menjadi pengetahuan baru tentang

    peradaban kuno di Jawa, setidaknya pada sekitar abad ke-9.

    32 33

    Foto 53. Lahan pertanian dengan

    ciri-ciri berbentuk gundukan

    memanjang (merah). Teknik ini

    sampai sekarang masih

    digunakan. Bekas tanaman yang

    bertumbangan akibat hempasan

    material vulkanis tercetak pada

    material abu dan pasir (hijau).

    Foto 54. Saluran air lebarnya

    sekitar 1 meter dan pada titik

    tetentu terpotong oleh saluran

    yang lebih kecil. Sistem jaringan

    air seperti ini mengingatkan pada

    sistem irigasi untuk pertanian.

    Gambar 5. Peta situs

    Liyangan hasil penelitian

    tahun 2015.

    Foto 52. Tim peneliti

    Balai Arkeologi Provinsi

    D.I. Yogyakarta sedang

    melakukan ekskavasi

    pada salah satu lokasi

    pertanian kuno.

    Gambar 5.

    Foto 52.

    Foto 53.

    Foto 54.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • F. Pengetahuan dan Data Baru

    Pada penelitian tahun 2018 ditemukan data baru di dua lokasi, seperti terlihat pada

    Foto 60 yang diberi tanda A dan B.

    1) Lokasi A berada di area pemujaan, tepatnya pada bangunan pagar yang

    yang menjadi batas antara teras II dan teras III. Temuan itu berupa susunan

    batu kali (boulder) yang tadinya tertutup oleh konstruksi pagar bebahan

    batu persegi. Rupanya, aslinya pagar ini berbahan batu kali yang dibangun

    pada masa sebelum ada pengaruh India. Pada fase berikutnya pagar ini

    dikembangkan dengan menambah bahan berupa batu persegi (Foto 61).

    2) Lokasi B berada di tepian jalan batu kuno. Di lokasi ini ditemukan tatanan

    batu kali (boulder) dan lubang-lubang yang teratur bentuknya. Keletakan

    lubang-lubang ini rapi, berjejer memanjang sejajar dengan jalan batu.

    Temuan ini penting sekali untuk menjelaskan bahwa jalan batu tidak

    terbuka seperti yang kita lihat sekarang. Jadi, di tepi jalan batu dulunya

    terdapat pagar berbahan kayu dan bambu. Bekasnya berupa lubang-lubang

    tadi, yang bentuk dan letaknya rapi (Foto 62).

    Foto 55. Saluran air ditemukan di dekat Yoni yang berbentuk bundar-pipih. Menurut konsep agama

    Hindu, Yoni bersama Lingga merupakan lambang kesuburan. (Permana, 2016: 197 dan 393-394).

    Foto 56. Yoni bundar-pipih (diameter 100 Cm dan tebal 10 Cm) di dekat saluran air (kalen). Ada

    hubungan fungsi antara yoni sebagai sarana upacara kesuburan dan kalenan sebagai pembagi air di

    area pertanian.

    Foto 57. Temuan gabah, yang hangus akibat sapuan panas material vulaknis Gunung Sindoro. Ketika

    ditemukan, gabah-gabah ini dalam bentuk ikatan-ikatan dan tertata. Hal ini mengingatkan pada cara

    penyimpanan padi di lumbung. Temuan ini menandakan adanya ketersediaan bahan makanan dari hasil

    pertanian oleh masyarakat Liyangan kuno.

    Foto 58. Buah ini belum dapat dipastikan jenisnya. Ada yang memperkirakan ini adalah kluwak. Salah

    satu bahan makanan yang bukan mustahil dihasilkan oleh masyarakat Liyangan kuno melalui kegiatan

    pertanian.

    Foto 59. Daun-daun terjebak dan terawetkan oleh lapisan abu vulkanis. Bentuknya mirip daun nangka.

    Lokasi temuan berada di area pertanian, sehingga diduga pepohonan itu adalah bagian dari pertanian

    kuno Liyangan.

    34 35

    Foto 55. Foto 56.

    Foto 57.

    Foto 59. Foto 58.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • 36 37

    Foto 60. A dan B adalah

    lokasi-lokasi temuan baru

    hasil penelitian 2018,

    sedangkan I, II, III, dan IV

    adalah urutan undak-teras

    area pemujaan. Hingga

    kini undak-teras yang

    ditemukan sudah

    berjumlah empat tetapi

    sangat mungkin nantinya

    akan ditemukan teras V

    dan seterusnya.

    Foto 60.

    Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • IIIMASA

    HINDU-BUDDHA

    DI JAWA

    38

    Foto 61. Lokasi A. Pagar asli berupa susunan boulder sebelum ditutup dengan susunan balok batu.

    Dua fase pembangunan pagar ini menunjukkan bahwa permukiman kuno Liyangan memang sudah ada

    sejak pra-Hindu hingga masa Mataram Kuno.

    Foto 62. Lokasi B. Lubang-lubang bekas pagar kayu dan bambu memanjang di tepian jalan batu.

    Foto 61.

    Foto 62.

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa

    Pada awal Masehi, orang-orang dari India, Cina, dan Arab menyebar ke berbagai

    belahan dunia melalui pelayaran samudera. Ketika masuk ke Nusantara mereka

    berhadapan dengan masyarakat yang sudah beradab, teratur, dan mapan. Masyarakat

    di Nusantara pada waktu itu sudah:

    · memiliki organisasi yang teratur setingkat desa dan federasi

    antardesa,

    · menguasai berbagai teknologi,

    · mengenal pelayaran dan perdagangan antarpulau,

    · bertani dan menguasai teknologi pertanian,

    · memiliki kepercayaan pada kekuatan di luar dirinya, dan

    · memiliki kekayaan alam sebagai komoditas dagang di Nusantara

    Kekayaan alam itu antara lain meliputi hasil pertanian, hasil hutan, dan tambang

    emas. Dibandingkan dengan orang Arab atau Cina, waktu itu orang-orang India

    paling mahir dalam mengambil hati kelompok-kelompok masyarakat di Nusantara.

    Hal itu dilakukan melalui pendekatan kepada para pemimpinnya, bahkan selanjutnya

    juga dengan mengawini putri pemimpin atau warga lainnya. Dengan cara itu

    berangsur-angsur terjadi interaksi budaya bahkan juga kepercayaan antara orang

    India dan penduduk Nusantara. Selanjutnya terjadi reaksi, seleksi, dan percampuran

    hingga pada akhirnya dianggap menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.

    Oleh karena budaya India tidak masuk ke daerah yang kosong di Indonesia, maka

    kebudayaan lokal Nusantara memiliki peran penting, karena hal itu merupakan

    proses kontak antarbudaya. Proses tersebut dapat dianggap sebagai perkembangan

    lokal saja (Soeroso, 2006: 124). Pada akhirnya “corak India” memang tampak menonjol

    pada kebudayaan dan peradaban di Jawa khususnya, dan inilah yang disebut dengan

    masa Hindu-Buddha dalam babak sejarah Indonesia.

    Masuknya unsur kebudayaan yang datang dari India ke Indonesia ditandai oleh

    kuatnya aspek kepercayaan yang berlatar belakang agama Hindu dan Buddha.

    Sebenarnya ada aspek lain yang juga cukup kuat yang terbawa dalam proses

    tersebut. Selain bahasa dan aksara, teknologi pertanian menjadi salah satu aspek

    penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Nusantara. Bahkan,

    perkembangan itu selanjutnya mengarah pada terbentuknya kerajaan dengan gaya

    India.

    Kerajaan ini terbentuk melalui penggabungan wilayah-wilayah yang sebelumnya

    sudah berkembang dan teratur. Dengan kata lain, wilayah-wilayah tersebut sudah

    memiliki struktur dan organisasi sosial yang mapan sebelum digabungkan menjadi

    kerajaan. Memang sejak masa prasejarah, atau sebelum masa Hindu-Buddha, telah

    dikenal sistem administrasi kemasyarakatan dalam dua tingkatan, yaitu setingkat

    desa atau dusun dan di atasnya semacam federasi antardesa (Sedyawati dkk, 2012:

    23). Oleh karena itu, secara tegas dapat dikatakan bahwa corak India di Nusantara

    bukanlah hasil “indianisasi” bukan pula dominasi budaya asing atas Nusantara. Lebih

    tepat dikatakan bahwa budaya lokal Nusantara yang justru lebih berperan dalam

    proses itu.

    Orang India mempunyai tradisi dan kemahiran menulis buku-buku pedoman (śāstra)

    menganai berbagai hal seperti:

    · hukum (dharmaśāstra),

    · politik (arthaśāstra), dan

    · pencarian kenikmatan (kāmaśāstra).

    Hal ini ternyata memudahkan proses terserapnya unsur-unsur budaya India oleh

    bangsa Indonesia. Bahkan, ada yang menganggap bahwa sebenarnya orang Indonesia

    sendiri yang lebih aktif memperoleh bebagai ketrampilan dari orang India melalui

    buku-buku pedoman tersebut (Coedes, 2010: 55-56). Penguasaan bahasa Sansekerta

    dan aksara Pallawa oleh bangsa Indonesia menjadi pendorong berkembangnya

    peradaban. Hal ini banyak tercermin dari isi prasasti yang banyak ditemukan di

    berbagai tempat di Indonesia.

    Di Jawa Tengah, prasasti-prasasti pertama yang ditemukan berasal dari awal abad

    ke-8 M. Di dalamnya digambarkan banyak hal terkait dengan terbentuknya kerajaan,

    yaitu:

    · adanya persaingan di antara para penguasa yang telah berhasil

    mempersatukan dan menguasai sejumlah wanua (atau komunitas

    desa),

    · mereka disebut raka atau rakryan yang kemudian menjadi “atasan”

    bagi para rama (pembesar di tingkat wanua),

    · gabungan dari beberapa wanua itu selanjutnya disebut watak

    40 41Masa Hindu-Buddha di JawaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Garis besar sejarah pemerintahan kerajaan Matarām Kuno berdasarkan prasasti

    Mantyasih dan prasasti Wanua Tengah III menurut Kusen adalah sebagai berikut.

    Tabel 2. Daftar Raja-raja Matarām Kuno Menurut Prasasti Mantyasih dan Prasasti

    Wanua Tengah III.

    · watak diperintah oleh rakai, contohnya Rakai Pikatan, yang berarti

    penguasa dari Pikatan; Rakai Watukura, artinya penguasa dari

    Watukura; dan sebagainya,

    · para rakai kemudian banyak membangun bangunan-bangunan suci

    dalam usahanya meningkatkan prestise sebagai penguasa (Lombard,

    1996: 14).

    Dalam masa-masa selanjutnya, para rakai inilah yang banyak disebut dalam prasasti,

    khususnya di Jawa Tengah. Selain mengeluarkan prasasti, rakai juga banyak

    membangun bangunan suci, terutama ketika menjadi raja atau maharaja. Itulah

    mengapa di Jawa Tengah banyak ditemukan bangunan candi yang besar lagi megah.

    Selain itu, prasasti yang ditulis oleh atau atas nama raja juga banyak ditemukan.

    Prasasti-prasasti inilah yang menjadi sumber utama dalam menelusuri sejarah

    perjalanan bangsa Indonesia.

    B. Matarām Berkuasa di Jawa

    Salah satu fase sejarah yang banyak diungkap melalui sumber prasasti adalah masa

    kerajaan Matarām Kuno (bhūmi Matarām) yang berpusat di Jawa bagian tengah.

    Pemerintahan kerajaan ini berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-10 Masehi,

    tepatnya sejak berkuasanya Rakai Matarām saṅ Ratu Sañjaya pada tahun 717 Masehi.

    Akan tetapi hal ini tidak berarti bhūmi Matarām merupakan kerajaan pertama di

    Jawa, karena sebelumnya sudah ada kerajaan yang mendahului. Keberadaan kerajaan

    sebelum Matarām Kuno banyak diceritakan dalam berita Cina. Menurut sumber itu,

    kerajaan-kerajaan tersebut bernama Shepo yang (sudah ada sejak tahun 420 Masehi)

    dan kerajaan Heling (berkuasa pada tahun 618 Masehi). Pada abad ke-9, kerajaan

    Shepo disebut lagi dalam berita Cina (Boechari, 2012: 198).

    Lalu, bagaimana gambaran historiografi Matarām Kuno pada masa-masa berikutnya?

    Prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M) yang dikeluarkan

    oleh Raja Balitung adalah sumber paling penting dalam merekonstruksi historiografi

    Matarām Kuno. Melalui kedua prasasti tersebut, diketahui pemerintahan kerajaan

    setidaknya sejak Sañjaya (abad ke-8) hingga Balitung (abad ke-10). Tentu saja prasasti

    lainnya juga menjadi bahan penting untuk merekonstruksi sejarah. Data arkeologi

    yang sudah diteliti juga banyak memberikan peran dalam rekonstruksi historiografi

    Matarām Kuno; salah satunya adalah situs Liyangan yang akan dijelaskan pada bagian

    lain dalam buku ini.

    Prasasti Mantyasih 907 M Prasasti Wanua Tengah III 908 M

    Rake Watukura Dyah Balitung

    (23 Mei 898 – 1 Oktober 908)

    42 43

    Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya

    Sri Maharaja Rakai Panangkaran

    Sri Maharaja Rakai Panunggalan

    Sri Maharaja Rakai Warak

    -

    Sri Maharaja Rakai Garung

    Sri Maharaja Rakai Pikatan

    Sri Maharaja Rakai Kayuwangi

    -

    -

    -

    Sri Maharaja Rakai Watuhumalang

    Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah

    Balitung

    Rahyangta ri Mdang

    Rake Panangkaran

    (7 Oktober 746 – 1 April 784)

    Rake Panaraban

    (1 April 784 – 28 Maret 803)

    Rake Warak Dyah Manara

    (28 Maret 803 – 5 Agustu 827)

    Dyah Gula

    (5 Agustus 827 – 24 Januari 828)

    Rake Garung

    (24 Januari 828 – 22 Februari 847)

    Rake Pikatan Dyah Saladu

    (22 Februari 847 – 27 Mei 855)

    Rake Kayuwangi Dyah Lokapala

    (27 Mei 855 – 5 Februari 885)

    Dyah Tagwas

    (5 Februari 885 – 27 September 885)

    Rake Panumwangan Dyah Dewendra

    (27 September 885 – 27 Januari 887)

    Rake Gurunwangi Dyah Bhadra

    (27 Januari 887 – 24 Februari 887)

    Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang

    (27 November 894 – 23 Mei 898)

    Masa Hindu-Buddha di Jawa

    Sumber: Kusen, 1994

    Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Ada yang perlu dicatat dan mendapat perhatian berkenaan dengan Tabel 2, terutama

    dalam masa pemerintahan Rake Warak Dyah Manara (28 Maret 803 – 5 Agustus 827),

    yaitu munculnya tokoh Samaratungga. Tokoh ini disebut dalam prasasti

    Karangtengah atau Kayumwungan (824 M) yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu

    Sansekerta dan Jawa Kuno (Kusen, 1994: 85). Bagian yang berbahasa Sansekerta

    menyebut nama Samaratungga dan anaknya yang bernama Pramodāwarddhani,

    sedangkan bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebut Rakarayan Patapan Pu Palar.

    Yang disebut terakhir adalah suami-istri yang telah memberikan sawahnya untuk

    bangunan suci Srimadwenuwana yang dibanguan oleh Pramodāwarddhani (Casparis,

    1950 dalam Kusen, 1994: 85).

    Kembali ke Tabel 2. Setelah masa Balitung, situasi politik semakin tidak menentu

    akibat perebutan kekuasaan, bahkan di kalangan keluarga dan kerabat kerajaan.

    Balitung yang berasal dari Watukura dianggap tidak memiliki hak atas takhta

    kerajaan. Ia dianggap menjadi raja hanya karena perkawinannya dengan putri raja

    sebelumnya dan bukan keturunan langsung dari Pikatan. Sementara itu, Daksa atau

    Śri Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya yang menjabat sebagai putra mahkota

    (Rakryān Mahamantri I Hino) bukan anak Balitung, kemungkinan iparnya.

    Daksa dan Rakai Gurunwangi, keduanya kerabat Rakai Pikatan, bersekongkol untuk

    merebut kembali takhta kerajaan dari Balitung. Daksa akhirnya berhasil naik takhta

    dan memerintah selama kurang lebih 8 tahun, mungkin sejak 910 atau 911 M.

    Sebelumnya, ia mengangkat seorang putra mahkota, yaitu Rakai Layang Dyah

    Tlodhong yang ternyata bukan pejabat tertinggi di kerajaan.

    Selanjutnya Rakai Layang menggantikan Daksa sebagai raja Matarām. Belum jelas

    kapan tepatnya Rakai Layang naik takhta, juga kurang jelas kapan Daksa turun takhta,

    kemungkinan sekitar 918 atau 919 M. Pemerintahan Rakai Layang antara lain ditandai

    dengan pembangunan bendungan di sungai Hariñjing pada 19 September 921 M.

    Sungai Hariñjing disamakan dengan Sungai Serinjing di Kabupaten Kediri, Jawa

    Timur.

    Berikutnya, Rakai Layang digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada tanggal 14

    Februari 928 M. Dyah Wawa menyebut dirinya anak kryān ladheyan sang lumāḥ ring

    alas. Nama tersebut mengingatkan pada nama Rakryān Laṇdayan, adik ipar Rakai

    Kayuwangi pu Lokapāla. Ini berarti Dyah Wawa bukanlah anak Rakai Layang Dyah

    Tlodhong, dan sebenarnya tidak berhak atas takhta kerajaan Matarām. Meskipun

    sempat mengeluarkan beberapa prasasti, namun pemerintahan Dyah Wawa sangat

    singkat bahkan seperti berhenti mendadak karena tidak ada berita lainnya.

    Berita berikutnya langsung tentang Raja Sindok yang memindahkan pusat

    kerajaannya ke bagian timur Jawa pada tahun 929. Daerah yang dipilih Sindok bukan

    daerah baru karena merupakan bagian dari kerajaan Matarām. Contohnya adalah

    44 45

    bendungan di Sungai Hariñjing yang terletak di Kediri sekarang. Begitu pula wilayah

    di sekitar Malang sekarang, yang pernah dikuasai oleh Rakai Kanuruhan. Pu Sindok

    membangun pusat kerajaannya yang baru di daerah yang disebut Tamwlang.

    Walaupun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra, tapi Sindok kemudian

    membangun wangsa yang baru, yaitu wangsa Iśāna (Poesponegoro dan Nugroho

    Notosusanto, 2011: 173-184).

    Masa Hindu-Buddha di JawaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • IVPERMUKIMAN

    LIYANGAN DAN

    BHŪMI MATARĀM

  • Penemuan gabah di situs Liyangan (Foto 57) dapat dikaitkan dengan majunya

    teknologi pertanian dan menjadi pengetahuan tentang ketersediaan bahan pangan di

    permukiman kuno Liyangan. Selain itu padi juga dapat disebut sebagai komoditi

    perdagangan. Sejak masa Matarām Kuno (antara abad ke-9 hingga abad ke-10), padi

    dan beras merupakan komoditas yang menjadi tulang punggung perekonomian

    kerajaan (Suhadi dan Titi Surti Nastiti, 2012: 110).

    Kegiatan perdagangan pada masa Matarām Kuno diberitakan melalui beberapa

    prasasti, antara lain:

    · Prasasti Gondosuli II atau Prasasti Puhawang Glis (827 M), berbahasa

    Melayu Kuno menyebut kata dan puhawan (nahkoda). Keberadaan

    nahkoda dikaitkan dengan kapal atau moda transportasi laut. Pada

    masa itu perdagangan antarpulau sudah sangat ramai sehingga kata

    daŋ puhawaŋ dapat dikaitkan dengan perdagangan

    · Prasasti Tulang Air (850 M), ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, menyebut

    kata marhyaŋ iṅ prasāda kabanyagān (marhyaŋ dalam bangunan suci

    kelompok banyagā). Banyagā adalah salah satu kelompok pedagang

    yang sudah ada pada masa Matarām Kuno. Kelompok ini merupakan

    pedagang berskala besar.

    Ramainya perdagangan di kerajaan Matarām Kuno ditandai dengan dikenalnya

    istilah-istilah untuk empat kelompok pedagang yaitu:

    · Abakul, atau pedagang eceran,

    · Adagaŋ, mungkin semacam grosir,

    · hiliran, yakni sebutan untuk pedagang yang hanya berjualan di bagian

    hilir pada sungai-sungai besar, dan

    · banyagā, yakni pedagang besar yang melakukan perdagangan

    antarpulau atau pedagang yang sudah bertaraf internasional (Suhadi

    dan Titi Surti Nastiti, 2012: 107).

    Jelas sudah bahwa peradaban Liyangan kuno berkembang dan menjadi bagian dari

    peradaban kerajaan Matarām Kuno. Terletak di lereng Sindoro yang subur, Liyangan

    mengandalkan padi dan hasil pertanian lainnya sebagai komoditi perdagangan. Pada

    fase ini, permukiman Liyangan kuno berkembang dengan pesat, seiring dengan

    pesatnya kemajuan-kemajuan yang diraih oleh kerajaan. Jumlah penduduknya

    semakin banyak. Prasarana dan sarana yang digunakan untuk aktivtas sehari-hari,

    seperti untuk pertanian dan untuk beribadah, semakin banyak jumlah dan ragamnya.

    Oleh karena itu ketika situs Liyangan diteliti ditemukan berbagai data yang sangat

    beragam, kompleks, bahkan seringkali rumit.

    Perlu digarisbawahi bahwa dalam masa Hindu-Buddha, peradaban Liyangan

    beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Matarām Kuno. Dalam

    kurun waktu tersebut ada dua orang raja yang dapat dikaitkan dengan keberadaan

    permukiman kuno Liyangan ini.

    Pertama adalah Rakai Watukura Dyah Balitung. Raja Balitung yang berasal dari

    Watukura pernah mengeluarkan prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Rukam.

    Prasasti ini berangka tahun 907 M. Pada waktu ditemukan, prasasti ini satu konteks

    dengan temuan artefak lainnya. Artefak tersebut meliputi:

    · alat-alat upacara berbahan perunggu, yaitu talam atau baki berbentuk

    bundar yang tersusun mulai dari yang kecil sampai dengan yang besar,

    · bokor,

    · cepuk,

    · entong,

    · gantungan lampu,

    · mangkuk-mangkuk perunggu,

    · keramik asing, dan

    · beberapa benda kecil lainnya (Nastiti dkk., 1982, 7).

    Semua jenis barang tersebut juga ditemukan di Liyangan, hal ini membuktikan

    adanya keterkaitan antara prasasti Rukam dengan Liyangan. Perhatikan uraian pada

    Bab II.C.

    Isi prasasti Rukam yang dikaitkan dengan Liyangan adalah bagian kalimat yang

    menyebutkan “… wanua i rukam wanua wanua i dro saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur …”

    yang artinya “… desa Rukam yang termasuk wilayah kutagara atau negeri ageng, yang

    telah hancur oleh letusan gunung…” (Nastiti dkk., 1982: 23, 36). Kondisi situs Liyangan

    yang terkubur material vulkanis Gunung Sindoro itulah yang sering dikaitkan dengan

    prasasti ini, khususnya frasa “... hilaŋ deniŋ guntur …” .

    Akan tetapi, angka tahun prasasti (907) tidak cocok dengan waktu kejadian

    meletusnya Gunung Sindoro pada abad XI. Jadi, desa yang dimaksud dalam prasasti

    Rukam tentu bukan Liyangan. Berikut ini penjelasannya.

    48 49Permukiman Liyangan dan Bhūmi MatarāmSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Anggapan bahwa wanua i rukam adalah desa yang hilang karena terjadinya letusan

    gunung berapi harus dikoreksi. Sebenarnya wanua i rukam adalah desa yang

    menggantikan status sīma dari desa lainnya yang hilang karena letusan gunung

    berapi (Mochtar, 2014: 160). Sayangnya memang di dalam prasasti tidak disebutkan

    desa apa yang terkubur dan gunung apa yang meletus. Yang pasti, Rukam adalah

    desa yang pada tahun 907 M mendapat anugerah sīma dari Balitung untuk

    menggantikan status sīma dari sebuah desa yang hilaŋ deniŋ guntur tersebut. Jadi

    bukan Liyangan yang hancur oleh letusan gunung pada tahun 907 M, karena ketika

    itu permukiman Liyangan masih dalam keadaan yang baik-baik saja.

    Sebagaimana sudah dijelaskan, permukiman Liyangan kuno masih ada setidaknya

    hingga pertengahan abad XI M, sebelum akhirnya juga harus terkubur oleh material

    letusan gunung Sindoro. Letusan itu tentunya terjadi setelah pertengahan abad XI M.

    Kejadian yang menghentikan perjalanan peradaban dan perkumiman Liyangan kuno

    sejak abad ke-2 M.

    Raja Matarām lainnya yang dikaitkan dengan Liyangan adalah Dyah Tlodhong. Nama

    lengkapnya adalah Rakai Layang Dyah Tlodhong. Gelarnya sebagai raka i layang

    inilah yang dihubungkan dengan nama Liyangan. Berikut ini penjelasannya.

    Perhatikan juga bagian akhir bab III. B.

    Daksa mengangkat Tlodhong sebagai putera mahkota setelah ia mengalahkan

    Balitung, pada sekitar tahun 908 M. Pada waktu itu Tlodhong menjadi penguasa

    daerah Layang, oleh karenanya ia bergelar Rakai Layang, atau penguasa daerah

    Layang. Waktu itu sangat mungkin daerah Layang juga dikenal dengan sebutan

    daerah layangan. Kata layangan dan liyangan adalah dua kata yang sangat dekat. Hal

    itu menjadi pertimbangan untuk mengatakan bahwa liyangan adalah layang, yaitu

    daerah yang dikuasai oleh Tlodhong. Dengan demikian, maka situs Liyangan dulunya

    merupakan daerah watak yang salah satu penguasanya bernama Tlodhong. Rakai

    Layang Dyah Tlodhong inilah yang akhirnya juga menjadi raja Matarām dengan

    menggantikan Pu Daksa. Tlodhong memerintah dari tahun 919 M hingga 928 M,

    sebelum digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa.

    Hingga pertengahan abad ke-11, permukiman Liyangan kuno masih ada dan terus

    berkembang. Setelah Tlodhong menjadi raja Matarām, yang berkuasa di watak layang

    tentunya kerabat Tlodhong sendiri. Sangat mungkin pengganti Tlodhong juga

    bergelar Rakai Layang, artinya penguasa daerah Layangan. Tempat inilah yang

    sekarang menjadi nama dusun di Desa Purbosari, dan akhirnya menjadi nama situs,

    yaitu situs Liyangan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Boechari. 2012. “Satu atau Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuno?”. Melacak Sejarah

    Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Penerbit

    KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Hlm. 197-202

    Coedes, George. 2010. Aisa Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: KPG (Kepustakaan

    Populer Gramedia)

    Eriawati, Yusmaini. 2014. “Keramik Cina Dinasti Tang Abad IX Masehi Dari Situs

    Liangan, Temanggung, Jawa Tengah”, dalam Liangan, Mosaik Peradaban

    Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: Kepel Press. Hlm. 215-266

    Fitriati, Rita. 1990. “Pasak-pasak dari Prasasti Masa Balitung dan Siṇḍok”. Monumen,

    Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Lembaran Sastra Seri

    Penerbitan Ilmiah No. 11 Edisi Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas

    Indonesia. Hlm. 102-124

    Kusen. 1994. “Raja-raja Matarām Kuno dari Sañjaya sampai Balitung, Sebuah

    Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi,

    Tahun XIV, Edisi Khusus. Hlm. 82-94

    Lelono, T.M. Hari. 1995/1996. “Penelitian Pakaian dan Organisasi Sosial Pada Masa

    Klasik (Tahap II)”. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta.

    Tidak terbit

    Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Sejarah Kajian Terpadu. Jilid III:

    Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Penerbit PT Gramedia

    Pustaka Utama

    Mochtar, Agni S. 2014. “Wanua I Rukam, Nama Asli Liangan? Kajian Terhadap Prasasti

    Rukam 907 M Sebagai Data Pendukung Penelitian Situs Liangan ”, dalam

    Liangan, Mosaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta:

    Kepel Press. Hlm. 149-163

    Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti Dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat

    Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P & K

    Permana, Cecep Eka. 2016. Kamus Istilah Arkeologi – Cagar Budaya. Jakarta:

    Wedatama Widya Sastra

    Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2011. Sejarah Nasional

    Indonesia, Jilid II Zaman Kuno. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia

    (Ed.). Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke-5. Jakarta: Balai Pustaka.

    50 51Daftar PustakaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Riyanto, Sugeng. 2012. “Laporan Penelitian Arkeologi, Permukiman Mataram Kuno

    Situs Liyangan”. Balai Arkeologi Yogyakarta. Tidak terbit

    Sedyawati, Edi dkk. 2012. “Pengenalan Masa Hindu-Buddha”. Indonesia Dalam Arus

    Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

    Hlm. 5-35

    Soeroso. 2006. “Awal Pembentukan Kerajaan-kerajaan”. Permukiman di Indonesia

    Perspektif Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm.

    122-136

    Suhadi, Machi dan Titi Surti Nastiti. 2012. “Perdagangan dan Politik”. Indonesia Dalam

    Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

    Hlm. 107-169

    52 53

    GLOSARIUM

    A

    Analisis karbon-14 dilakukan oleh arkeolog untuk untuk memperoleh umur atau

    penanggalan (dating) suatu situs atau data arkeologi. Sampel yang dipakai adalah

    bahan organis yang ditemukan di situs seperti arang karena mengandung isotop

    radioaktif karbon yang memiliki inti terdiri atas 6 proton dan 8 neutron.

    Arkeologi adalah ilmu yang mempeajari manusia dan kebudayaan beserta lingkungan

    masa lalu berdasarkan bukti-bukti tinggalan untuk dimanfaatkan di masa kini dan

    masa yang akan datang.

    Arkeolog adalah orang yang ahli di bidang arkeologi.

    Artefak adalah benda yang sudah diubah sebagian atau seluruhnya oleh manusia

    untuk dipergunakan dalam membantu aktifitas kehidupan.

    B

    Blah sama dengan wlah.

    Blengker digunakan oleh warga Desa Purbosari dan mungkin juga di tempat lain,

    untuk menyebut perkakas yang digunakan sebagai alas antara tungku dan alat masak;

    berbahan tanah liat bakar atau tembikar, berbentuk bundar-pipih, lebar antartepinya

    sekitar 10 cm.

    Bokor, pinggan yang cekung dan bertepi lebar, dibuat dari logam.

    Buyung adalah perkakas yang berfungsi untuk menampung dan membawa air,

    berbahan tembikar, batuan, porselen, atau logam.

    C

    Celupak adalah lampu berbahan tanah liat yang dibakar, berukuran sekitar 10 cm,

    berbentuk pipih dengan cekungan di bagian tengah dan ada cerat di tepinya.

    Cekungan di tengah berguna untuk menampung bahan bakar berupa minyak kelapa

    atau damar, sedangkan cerat digunakan untuk menaruh sumbunya.

    GlosariumSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • Cepuk, wadah yang berukuran kecil, biasanya digunakan untuk menyimpan

    perhiasan.

    D

    Dating adalah penentuan umur atau kisaran kronologi suatu data arkeologi dan situs

    melalui metode tertentu, seperti analisis karbon-14, analogi atau perbandingan

    dengan data arkeologi di tempat lain yang memiliki kesamaan dan sudah diketahui

    umur atau kisaran kronologinya, dan sebagainya.

    E

    Empiris merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman seperti

    percobaan dan pengamatan secara terus-menerus.

    F

    Figurin merupakan salah satu bentuk dari keramik, baik tembikar, batuan, atau

    porselen, biasanya berbentuk figur manusia atau hewan sebagai barang hiasan.

    G

    Gandik adalah pasangan dari pipisan, berbahan batu, berbentuk silindris dengan

    diameter sekitar 5-10 cm.

    Gerabah atau tembikar adalah wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar 0 0dengan suhu di bawah 950 - 1100 C. Dalam klasifikasi keramik, gerabah disebut

    earthen-ware karena bahannya dari tanah liat biasa; keramik yang berbahan batuan

    disebut stone-ware, dan keramik yang dibuat dari bahan kaolin disebut porcelain.

    Giring-giring adalah genta kecil berbahan logam, biasanya berbentuk membulat dan

    berisi benda lain di dalamnya sehingga akan berbunyi ketika digerak-gerakan.

    H

    Hle digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam

    ukuran tertentu, selain wlah.

    L

    Liyangan adalah situs arkeologi yang namanya mengacu pada nama dusun, yaitu

    Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung,

    Jawa Tengah.

    K

    Ken digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain wḍihan.

    Keramik sebenarnya digunakan untuk menyebut barang-barang yang dibuat dari

    bahan mineral tanah yang dibakar, tetapi pada umumnya keramik digunakan untuk

    membedakan dengan gerabah (earthen-ware), sehingga keramik sering digunkana

    untuk menyebut barang yang dibuat dari bahan batuan (stone-ware) dan kaolin 0 (porcelain). Keramik berbahan batuan (stone-ware) matang pada suhu antara 1200 -

    01290 C, sedangkan keramik berbahan kaolin (porcelain) hanya akan lebur dan matang 0 dengan baik pada suhu 1500 C.

    Kowi atau alat pelebur logam, bentuknya mirip celupak, berbahan logam atau gerbah,

    dengan ukuran sangat variatif. Bagian cekungan di tengah berguna untuk

    menampung cairan logam sedangkan bagian cerat berfungsi untuk menyalurkannya

    ke tempat cetakan.

    M

    Matarām (Kuno) muncul pertama kali sebagai kerajaan pada tahun 717 M pada masa

    pemerintahan raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram, sampai pemerintahan

    Dharmawangsa Tguh meskipun berkedudukan di Jawa Timur.

    Mosaik adalah gambaran utuh yang tersusun dari bagian-bagian yang sebelumnya

    saling terpisah.

    P

    Pasu merupakan perkakas berupa wadah air, terbuat dari bahan tembikar, batuan,

    atau porselen. Bentuknya bundar dengan diameter sekitar 30 cm.

    Pemujaan merupakan proses memuja kekuatan tertentu seperti dewa atau sesuatu

    yang dipercaya memiliki kekuatan menurut kepercayaan tertentu; pemujaan juga

    berarti tempat atau lokasi yang digunakan untuk memuja.

    Pipisan adalah alat rumah tangga terbuat dari bahan batu, berbentuk memanjang,

    berukuran sekitar 30 cm, terdiri atas dua bagian yaitu bagian permukaan yang rata

    dan halus, dan bagian kaki. Bagian permukaan digunakan untuk menghaluskan bahan

    makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara menggiling atau menggilas berulang-

    ulang menggunakan gandik yang berbentuk silindris dan terbuat dari bahan batu

    juga. Bagian kaki berguna untuk meletakan pipisan sehingga stabil ketika digunakan.

    5554 GlosariumSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

  • S

    Sīma, sebidang tanah berupa sawah atau kebun yang statusnya diubah menjadi

    wilayah perdikan atau swatantra yang bebas dari pungutan pajak.

    Situs adalah lokasi atau tempat ditemukannya sejumlah benda atau data arkeologi.

    T

    Talam adalah perkakas berbahan logam berbentuk bundar-ceper dan ada lis di

    tepinya. Pada masa Matarām Kuno, talam termasuk benda yang sering ditemukan,

    biasanya berbahan perunggu dan ada hiasan di bagian tengahnya, antara lain hiasan

    sangkha bersayap dan guci bersulur. Fungsinya selain sebagai tempat untuk

    meletakkan dan membawa perkakas yang lain seperti mangkuk dan kendi, juga

    digunakan dalam prosesi keagamaan yaitu untuk membawa bunga dan kelengkapan

    prosesi lainnya.

    Tembikar sama dengan gerabah.

    Tempayan adalah salah satu bentuk keramik, berbahan tembikar, batuan, maupun

    porselen berukuran besar; bagian badan lebih besar dibandingkan bagian mulutnya,

    biasanya digunakan untuk menampung air. Tempayan merupakan salah satu artefak

    yang sering ditemukan dalam penelitian arkeologi.

    V

    Vulkanis segala sesuatu yang berhubungan dengan gunung berapi.

    W

    Wḍihan digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain ken.

    Wlah digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam

    ukuran tertentu, selain hle.

    56 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung