SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ...repositori.kemdikbud.go.id/19360/1/Situs Liyangan...
Transcript of SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ...repositori.kemdikbud.go.id/19360/1/Situs Liyangan...
-
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2020
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2020
SUGENG RIYANTO
ISBN 978-602-19675-5-3
SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA
PERADABAN ADILUHUNG
DI LERENG GUNUNG
-
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2020
SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA
PERADABAN ADILUHUNG
DI LERENG GUNUNG
SUGENG RIYANTO
TEBAL BUKUTEBAL BUKU
-
SANKSI PELANGGARAN PASAL 72:
Cetakan Kedua Edisi Revisi, Agustus 2020©Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangTidak Untuk Diperjualbelikan
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
iiiDaftar Isi
DAFTAR ISISITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA
PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG
Penanggung Jawab
Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sugeng Riyanto
Penulis
Sugeng Riyanto
Editor
Novida Abbas
Redaktur
Hari Wibowo
Sekretaris
Heri Priswanto
Desain dan Layout
Jentera Intermedia, Akunnas Pratama
Penerbit
Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jl. Gedongkuning 174, Yogyakarta 55171
Telp./Fax.: 0274-377913
Email: [email protected]
Laman: arkeologijawa.kemdikbud.go.id
ISBN
978-602-19675-5-3
DAFTAR ISI
SAMBUTAN
PENGANTAR
BAB I. PENGENALAN AWAL
BAB II. RAGAM TEMUAN CERMIN PERADABAN
A. Hunian
B. Bangunan atau Rumah Tinggal
C. Perkakas Rumah Tangga
1. Barang Tembikar
2. Barang Logam
3. Barang Berbahan Batu
4. Barang Keramik
5. Kain atau Tekstil
D. Pemujaan
E. Pertanian
F. Pengetahuan dan Data Baru
BAB III. MASA HINDU-BUDDHA DI JAWA
A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa
B. Matarām Berkuasa di Jawa
BAB IV. PERMUKIMAN LIYANGAN DAN BHŪMI MATARĀM
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
iii
v
vii
1
7
8
11
13
14
16
20
21
26
28
31
35
39
40
42
47
51
53
-
SAMBUTAN
Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng
Gunung ini secara khusus ditujukan untuk dunia pendidikan, sebagai bacaan yang
ringan. Terbitnya buku ini sangat melegakan dan patut disambut dengan baik.
Sesungguhnya, perhatian terhadap dunia pendidikan melalui publikasi hasil
penelitian arkeologi selaras dengan kerangka kebijakan pemerintah, utamanya di
bidang peningkatan kualitas SDM melalui penguatan pendidikan karakter. Terkait
dengan hal tersebut, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkelogi di
Indonesia telah menggagas strategi pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi yang
difokuskan pada sasaran dunia pendidikan. Strategi tersebut diberi tajuk Rumah
Peradaban. Selain sebagai sarana pendidikan dan pencerdasan bangsa, Rumah
Peradaban juga menjadi media untuk mempertemukan masyarakat dengan sejarah
dan budaya masa lampaunya melalui pemahaman nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Kegiatan utama dalam program Rumah Peradaban adalah 1) destinasi pendidikan,
2) pembuatan peraga pendidikan, dan 3) penyusunan buku pengayaan pendidikan.
Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng
Gunung cetakan ke-2 yang juga merupakan edisi revisi ini disusun dalam rangka
program Rumah Peradaban 2020 di situs Liyangan. Terlepas dari segala keterbatasan
yang ada, buku ini sesungguhnya memiliki dimensi informasi dan pengetahuan baru
dalam perjalanan sejarah Indonesia. Materi dan substansinya telah disederhanakan
dari hasil-hasil penelitian yang tadinya bersifat ilmiah.
Sehubungan dengan hal tersebut, tidak berlebihan jika terbitnya buku ini layak
disambut dan diapresasi dengan baik, bukan saja sebagai bagian dari program Rumah
Peradaban tetapi juga sebagai bentuk usaha untuk mendiseminasikan hasil penelitian
arkeologi kepada dunia pendidikan. Harapannya adalah agar penggalan sejarah
kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang telah diungkap dapat dimaknai
guna mendorong rasa cinta pada budaya dan peradaban luhur. Pada gilirannya, hal
itu sekaligus menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam rangka penguatan
pendidikan karakter melalui pemahaman jati diri.
Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum.
vSambutan
-
Buku ini merupakan edisi revisi dari cetakan pertama yang terbit tahun 2018. Selain
minat dan permintaan yang tinggi sehingga edisi pertama habis dalam waktu singkat,
tujuan menerbitkan edisi ini adalah untuk memperbaiki dan menyesuaikan beberapa
bagiannya sebagai buku pengayaan pendidikan. Bagian-bagian penting yang direvisi
meliputi 1) penyederhanaan narasi agar lebih mudah dicerna oleh kalangan
pendidikan utamanya siswa SMA; 2) penambahan data baru; dan 3) penambahan dan
penggantian ilustrasi. Bagian lain yang diperbaiki adalah cover dan layout,
redaksional, dan ukuran font yang sedikit diperbesar. Selain itu, judul buku juga
diperkaya dengan anak judul, yaitu “Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban
Adiluhung di Lereng Gunung”.
Di situs Liyangan, Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (atau
disingkat Balar DIY) tidak sekedar mencari data, tidak sekedar mengumpulkan
benda-benda, tidak pula menggali candi, tetapi mengumpulkan bagian-bagian
kebudayaan dan peradaban kuno, karya hebat leluhur bangsa Indonesia. Tidak
sedikit tanda-tanda kehebatan itu yang hanya ditemukan di Liyangan, tidak ada di
situs lain yang semasa. Pengetahuan lain yang diperoleh dari hasil penelitian adalah
gambaran kehidupan masyarakat Liyangan yang sangat kompleks. Begitu pula
dengan perkembangan dan proses kepercayaan beserta cara-cara pemujaan yang
kentara sekali jejaknya. Perkembangan tersebut dimulai sejak awal ada hunian hingga
masuknya unsur-unsur budaya India. Data fisik pertanian kuno jelas merupakan
salah satu temuan yang spektakuler dan melengkapi keistimewaan situs Liyangan.
Ada pula data berupa sisa bangunan berbahan kayu, bambu, dan ijuk. Tidak kalah
menariknya adalah adanya kontak antara Liyangan kuno dengan wilayah lain. Dari
semua itu, yang lebih penting adalah diketahuinya hubungan antara Liyangan dengan
kerajaan Matarām Kuno. Itulah sebagian dari deretan keistimewaan kebudayaan
leluhur bangsa Indonesia yang tercermin dari situs Liyangan.
Dengan banyaknya pengetahuan dan informasi seperti itu, maka menjadi keharusan
bagi Balar DIY untuk mendiseminasikannya kepada masyarakat luas, terutama
kalangan pendidikan. Buku ini disusun dengan tujuan untuk memperkaya khasanah
sejarah Indonesia, khususnya yang terkait dengan kerajaan Matarām Kuno, bahkan
juga masa sebelumnya.
PENGANTAR
viiPengantar
-
IPENGENALAN
AWAL
Tentu saja disadari sepenuhnya adanya ketidaksempurnaan dalam hal substansi
maupun redaksional yang sangat mungkin menjadi hambatan pembaca dalam
memahami situs Liyangan. Namun demikian sebagai akumulasi hasil penelitian, buku
ini diharapkan dapat menjadi bahan yang dapat digunakan dalam upaya memperkaya
bahan bacaan bagi anak-anak sekolah, khususnya terkait dengan sejarah Indonesia.
Sebagai penutup, penulis tidak akan pernah melupakan segala kebaikan dan bantuan
semua pihak, baik dalam proses penelitian maupun penyusunan buku ini.
Penulis
viii Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
itus Liyangan berada di Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan
SNgadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Lokasinya berada di lereng Gunung Sindoro, kira-kira 8 kilometer dari puncaknya. Di sekitar situs merupakan areal pertanian warga, dan sebagian lainnya sekarang menjadi lokasi
tambang pasir.
Setelah diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama
beberapa tahapan, yaitu sejak 2009, terungkap bahwa situs Liyangan dulunya adalah
permukiman kuno. Bagian-bagian dari permukiman itu ditemukan dalam kondisi
yang lengkap. Bagian-bagian penting yang menunjukkan sebagai permukiman
meliputi tiga area, yaitu:
1) hunian,
2) pemujaan, dan
3) pertanian.
Selain lengkap, bekas-bekas permukiman Liyangan kuno juga sangat jelas wujudnya.
Beberapa di antaranya bahkan hampir utuh, dapat diibaratkan seperti desa modern
jaman sekarang. Permukiman kuno Liyangan tadinya tertutup oleh material letusan
Gunung Sindoro, kira-kira 1.000 tahun yang lalu. Selain itu, tentu saja semua benda
dan bangunannya sudah sangat kuno, karena dibuat dan dibangun oleh warga
masyarakat yang hidup di sana lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Diduga orang-orang
di sana sudah mendiami lokasi itu sejak abad ke-2 Masehi. Ini berarti situs Liyangan
dulunya dihuni oleh warga masyarakat selama ratusan tahun, yaitu dari abad ke-2
sampai kira-kira abad ke-11 Masehi, secara terus-menerus.
Mengapa Liyangan dihuni hanya sampai abad ke-11 ? Hal ini dikarenakan pada abad
ke-11 itulah Gunung Sindoro meletus dahsyat. Dari letusannya telah dimuntahkan
jutaan kubik material yang menerjang dan menghanguskan apa pun yang
dilewatinya, termasuk permukiman kuno Liyangan. Letusan ini terjadi berulang kali
sehingga permukiman Liyangan kuno akhirnya seperti ditelan bumi. Permukiman
kuno Liyangan terkubur habis tanpa sisa. Hebatnya, tidak ada korban dalam peristiwa
bencana alam ini, baik itu korban jiwa, harta benda, bahkan ternak. Masyarakatnya
pasti sangat cerdas dan arif, karena selain mampu membangun peradaban yang
hebat juga mampu membaca dinamika alam sehingga berhasil menghindari bencana.
Itulah sekilas mengenai situs Liyangan, situs yang nantinya mengajarkan kepada kita
tentang peradaban modern leluhur dan juga mengajarkan mitigasi bencana dengan
kearifan dan kecerdasan yang mereka miliki. Situs Liyangan yang kita lihat sekarang
adalah kondisi terakhir dari perkembangan permukiman yang sudah berlangsung
ratusan tahun. Lalu, kira-kira bagaimana gambaran awal permukiman di Liyangan
kuno? Bagaimana pula peradaban di sana berkembang hingga sangat maju?
Dapat dibayangkan bahwa masyarakat Liyangan kuno pada awalnya membangun
hunian, bertani, dan mengadakan pemujaan secara sederhana. Jumlah warganya juga
belum banyak. Seiring berjalannya waktu, warga juga melakukan hubungan dengan
masyarakat di wilayah lain. Hubungan ini mendorong berkembangnya pengetahuan,
teknologi, dan juga cara-cara pemujaan yang akhirnya terpengaruh oleh agama
Hindu. Jumlah penduduknya tentu saja juga semakin banyak dan kehidupan semakin
kompleks.
Foto 1. Situs Liyangan dengan latar belakang Gunung Sindoro.
02 03Pengenalan Awal
Foto 1.
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Aktivitas yang berlangsung juga bertambah banyak, bukan saja pemujaan tetapi juga
bertani, berdagang, dan kegiatan lain. Prasarana dan sarana tentu saja berkembang
dengan pesat, seiring dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan. Contohnya,
bangunan untuk pemujaan bukan hanya berwujud candi, tetapi juga ada petirtaan
dan batur yang dibangun dengan bahan campuran antara batu, kayu, bambu, dan
ijuk. Fasilitas ibadah juga ditambah dengan bangunan-bangunan pendukung yang
terbuat dari bahan kayu, bambu, dan ijuk. Peralatan upacara keagamaan berupa
barang-barang yang terbuat dari bahan tanah liat, keramik, logam, dan juga batu.
Perkakas rumah tangga jumlahnya sangat banyak, bahan dan bentuknya juga
bermacam-macam. Contohnya alat untuk memasak dan menyajikan makanan seperti
Foto 2. Formasi situs Liyangan dilihat dari arah timur, Gunung Sindoro ada di sebelah kiri foto.
04 05Pengenalan Awal
Foto 2.
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
periuk dari tanah liat, mangkuk berbahan keramik, kendi yang dibuat dari tanah liat
atau keramik, dan sebagainya. Ada juga alat yang disebut pipisan dan gandik yang
digunakan untuk menghaluskan bahan makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara
menggiling atau menggilas berulang-ulang. Alat penerangan ada yang sederhana,
yang disebut dengan celupak, dibuat dari tanah liat bakar berbentuk pipih, cekung di
bagian tengah dan ada cerat di tepinya. Alat penerangan yang mewah adalah lampu
gantung, terbuat dari perunggu. Hebatnya lagi, ditemukan sisa kain, ada yang berupa
lipatan, gulungan, bahkan ada yang sudah beruwujud kantong lengkap dengan tali
pengikatnya. Tapi simpan dulu kekaguman kita, karena masih banyak temuan hasil
penelitian lainnya yang juga hebat, karena Liyangan kuno memang merupakan
permukiman yang sudah sangat modern dan ramai.
Dalam kondisi seperti itulah permukiman kuno Liyangan terdampak oleh letusan
Gunung Sindoro pada abad ke-11. Seribu tahun kemudian Liyangan menjadi situs
yang ditemukan dan diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi DIY. Oleh karena itu di situs
Liyangan benda-benda yang ditemukan sangat banyak ragamnya, bahkan terkadang
terlihat rumit.
Yang paling menonjol adalah peninggalan yang digunakan untuk pemujaan dan
terbuat dari batu, seperti candi, petirtaan, batur, dan arca, yang menunjukkan latar
belakang keagamaan Hindu. Akan tetapi, sesungguhnya unsur-unsur kepercayaan
aslinya juga masih ada. Tanda bahwa masyarakat Liyangan kuno sudah taat
melakukan peribadatan sebelum terpengaruh agama Hindu dari India. Ragam
temuan di situs Liyangan lainnya benar-benar mengagumkan, sangat modern untuk
ukuran masyarakat dan peradaban yang hidup lebih dari seribu tahun yang lalu.
Hebatnya lagi, keragaman itu tidak ditemukan di situs mana pun di Indonesia yang
sejaman, baik mengenai huniannya, pemujaannya, maupun pertaniannya.
IIRAGAM
TEMUAN CERMIN
PERADABAN
06 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Keragaman temuan di situs Liyangan menunjukkan detail-detail sisa peradaban yang
terungkap sedikit demi sedikit melalui penelitian arkeologi. Detail-detail itu dapat
dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang menggambarkan wajah permukiman
Liyangan kuno. Ibarat mosaik, bagian-bagian itu tumbuh dan berkembang dari abad
ke-2 hingga abad ke-11, komplet meliputi bagian hunian, bagian pemujaan, dan
bagian pertanian. Kira-kira wajah elok situs Liyangan begini gambarannya.
A. Hunian
Hunian adalah bagian inti dari sebuah permukiman, yaitu tempat masyarakat
berdiam di suatu tempat dengan segala perlengkapan dan aktivitasnya, dalam waktu
yang relatif lama. Tentu saja tidak semua lokasi cocok untuk dijadikan hunian, karena
ada banyak pertimbangan agar kehidupan dapat berlangsung. Pertimbangan paling
mendasar terkait dengan ketersediaan:
1) air,
2) sumber makanan,
3) bahan-bahan alami untuk perlengkapan dan beraktivitas,
4) jalur transportasi dan kemudahan kontak dengan masyarakat
lainnya,
5) keamanan,
6) kesuburan tanah dan bentuk lahan.
Lokasi di mana situs Liyangan berada memiliki unsur-unsur dasar tersebut. Hunian
ini berkembang secara berangsur-angsur dan bertahap. Awalnya berupa hunian yang
sederhana, kemudian Liyangan menjadi permukiman yang modern dan kompleks.
Perkembangan itu membutuhkan waktu ratusan tahun lamanya, bertahap seiring
dengan berkembangnya:
1) hubungan dengan daerah lain,
2) pengetahuan dan teknologi yang dimiliki,
3) perkembangan kepercayaan dari kepercayaan terhadap kekuatan
alam hingga pengaruh Hindu,
4) cara-cara pemujaan,
5) organisasi sosial dan keberadaan kerajaan Matarām Kuno.
Unsur-unsur hunian yang ditemukan di situs Liyangan adalah akumulasi dari
perkembangan yang sudah ratusan tahun lamanya. Apa yang terlihat sekarang
merupakan perkembangan terakhir dari proses pertumbuhan permukiman kuno
Meskipun letusan Gunung Sindoro sangat dahsyat, tetapi masyarakat Liyangan kuno
dapat menyingkir sebelum kejadian sehingga selamat. Mereka rupanya dapat
menebak dengan jitu kapan Sindoro akan meletus melalui tanda-tanda yang
diketahui secara turun-temurun. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan
pengalaman bermukim di lereng Sindoro selama ratusan tahun. Selama itu tentunya
Gunung Sindoro juga meletus beberapa kali meskipun tidak besar; di antaranya
mungkin juga disertai gempa vulkanis. Kejadian-kejadian itu diingat tanda-tandanya
hingga menjadi pengetahuan empiris masyarakat Liyangan kuno dan diajarkan secara
turun-temurun.
Pengetahuan itu nantinya sangat bermanfaat, terutama dalam membaca tanda-tanda
menjelang Gunung Sindoro meletus dengan dahsyat. Karena itu mereka dapat
menyelamatkan diri. Bukan hanya nyawa yang selamat, tetapi juga harta benda,
termasuk ternak piaraan. Itulah sebabnya selama diteliti, di situs tidak dijumpai
adanya korban jiwa maupun hewan ternak, tidak juga benda-benda berharga. Namun
begitu, jutaan meter kubik yang dimuntahkan oleh Gunung Sindoro yang mengubur
Gambar 1. Formasi situs
Liyangan berdasarkan
gambar denah.
yang berhenti secara tiba-tiba pada abad XI. Gunung Sindoro yang pada awalnya
menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat untuk membangun hunian dan
mendorong terbentuknya permukiman, pada akhirnya Gunung Sindoro pula yang
menghentikan peradaban itu. Letusan dahsyat yang terjadi pada abad XI itu lah yang
mengubur lokasi tersebut.
08 09
Gambar 1.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
permukiman tetap saja membuat kita merasa pilu. Arkeolog yang meneliti dan
menyaksikan langsung dampak hebat letusan itu sering membayangkan penderitaan
mereka dan merasa bersedih hati.
Pekerjaan penelitian dilakukan dengan cara menyingkirkan jengkal demi jengkal
material vulkanis. Benda demi benda ditemukan, bangunan demi bangunan
dimunculkan, hingga pada akhirnya situs Liyangan terbuka seperti sekarang.
Liyangan adalah salah satu situs yang mencerminkan kemajuan peradaban kita
ratusan tahun yang lalu.
Majunya permukiman yang dibangun di situs Liyangan dapat dilihat dari benda-
benda dan sisa hunian yang tertinggal dan ditemukan. Itulah wajah peradaban
Liyangan kuno. Ragam temuan sisa hunian tersebut meliputi bekas tempat
tinggal, perkakas rumah tangga, dan sisa aktivitas keseharian lainnya. Berikut ini
ditunjukkan ragam temuan yang menggambarkan aktivitas hunian masyarakat
Liyangan kuno.
B. Bangunan atau Rumah Tinggal
Temuan sisa bangunan yang paling lengkap adalah hasil ekskavasi tahun 2010, 2012,
dan 2018. Berdasarkan temuan tahun 2010 diketahui bahwa bahan bangunan meliputi
kayu, bambu dan ijuk. Bangunan tersebut berukuran panjang antara 5 atau 6 meter
dan lebar sekitar 3 meter. Bentuknya panggung yang ditopang oleh 16 tiang utama,
yaitu masing-masing 4 di setiap sisinya. Bahan kayu dipergunakan untuk tiang, lantai,
dan sebagian dinding bangunan. Bahan bambu dipergunakan sebagai dinding yang
dianyam dan juga dipergunakan untuk konstruksi atap. Bahan ijuk selain sebagai atap
bangunan juga digunakan untuk membuat tali untuk mengikat konstruksi bangunan.
Sisa bangunan yang ditemukan dalam penelitian tahun 2010 ini sudah tidak ada lagi
di situs karena waktu itu lokasinya masih ditambang, sehingga hilang bersama
dengan material pasirnya.
Berdasarkan bentuknya, belum dapat dipastikan apakah bangunan tersebut
merupakan rumah tinggal, karena mungkin saja digunakan untuk keperluan lainnya.
Namun demikian, setidaknya hasil rekonstruksi dapat menjadi gambaran mengenai
bentuk rumah pada masa itu, yaitu model panggung dan dibuat dari bahan kayu,
bambu, dan ijuk.
Selain sisa bangunan yang ditemukan tahun 2010 juga ada sisa bangunan yang
ditemukan pada penelitian tahun 2012. Sisa bangunan tersebut masih ada di situs dan
diamankan secara khusus. Meskipun temuan ini tidak selengkap temuan tahun 2010,
tetapi menjadi tanda bahwa hunian dan peradaban Liyangan kuno sangat penting
karena datanya masih ada.
Hasil analisis laboratorium pada sampel komponen bangunan kayu menunjukkan
beberapa jenis kayu yang digunakan yaitu:
• Usuk/reng terbuat dari kayu pasang (suku Fagaceae, marga Quercus,
Spesies Quercus spp)
• Dinding terbuat dari kayu puspa (suku Theaceae, marga Schima,
spesies Schima wallichii)
• Bagian lain berasal dari kayu Jamuju, Cemara Pandak (suku
Podocarpaceae, marga Podocarpus, spesies Podocarpus imbricatus)
(Riyanto, 2012)
Pada penelitian tahun 2018 ditemukan pelataran atau hamparan halaman beserta
bangunannya. Bangunan ini juga berupa rumah panggung berbahan kayu, bambu dan
ijuk. Semua bagian ditemukan dalam bentuk arang karena bangunan rumah itu
terlanda materi letusan Gunung Sindoro pada abad ke-11.
Foto 3. Ekskavasi pertama di situs Liyangan pada 2010, para peneliti bekerja di bawah kesibukan para
penambang; pasir dan batu yang ditambang adalah material letusan Gunung Sindoro yang mengubur
dan menghentikan perjalanan peradaban Liyangan kuno.
10 11
Foto 3.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Pelataran dilindungi dengan talud boulder setinggi sekitar 1,5 meter. Permukaannya
padat, relatif rata, ada tatanan batu lainnya sebagai pembagi halaman, ada juga
pecahan kecil-kecil tembikar dan keramik. Terlihat jelas bekas-bekas aktivitas masa
lalu di permukaan tanah pelataran ini.
Bangunan rumah ditemukan di lokasi yang jaraknya 10 meter dari talud. Bagian-
bagiannya terbilang lengkap, yaitu umpak batu sebagai alas tiang, papan untuk lantai,
balok dan papan penyekat ruangan, anyaman bambu, usuk, reng, hingga tumpukan
ijuk untuk atapnya. Karena kondisinya sangat rapuh, ekskavasi dilakukan dengan
sangat hati-hati. Tidak seluruh material vulkanis yang “menyegel” bangunan tersebut
dibuka. Oleh karena itu ada hal-hal yang belum dapat diketahui, misalnya ukuran
bangunan, bentuk, arah hadap, dan tata ruangnya. Kronologi sisa “rumah” ini
didasarkan pada pecahan keramik dari Dinasti Tang, abad ke-9, sehingga dipastikan
sejaman dengan bagian lain di situs Liyangan.
Foto 4. Temuan pada ekskavasi 2010
berupa komponen bangunan berbahan
kayu, bambu, dan ijuk.
Foto 5. Temuan anyaman bilah bambu,
diduga merupakan dinding bangunan.
Gambar 2. Rekonstruksi bentuk
bangunan berbahan kayu, bambu, dan
ijuk berdasarkan hasil ekskavasi tahun
2010.
Foto 6. Rumah hasil ekskavasi tahun
2018. Komponennya tergolong
lengkap, antara lain meliputi papan
untuk lantai dan dinding, konstruksi
balok-balok, bambu, tumpukan ijuk.
Foto 7. Hasil ekskavasi tahun 2018
berupa pelataran. Di latar belakang,
di bawah tenda berawarna biru,
adalah lokasi temuan sisa bangunan
rumah.
C. Perkakas Rumah Tangga
Perkakas rumah tangga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan pada suatu
hunian karena menjadi barang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Barang
yang mudah dikenali sebagai perkakas sehari-hari pada suatu hunian antara lain
berbagai wadah, alat memasak, pakaian, perhiasan, dan alat penerangan. Di situs
Liyangan, barang-barang itu termasuk yang paling banyak ditemukan, meskipun
sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Sisa perkakas yang ada di situs Liyangan dapat
dibedakan berdasarkan bahannya, yaitu tanah lihat atau barang tembikar, logam,
batu, serat kain, dan barang keramik atau porselen. Seluruh barang berbahan
keramik di Liyangan diketahui berasal dari Tiongkok, buatan masa Dinasti Tang, kira-
kira abad IX.
12 13
Gambar 2.
Foto 4. Foto 5.
Foto 6.
Ragam Temuan Cermin Peradaban
Foto 7.
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Foto 8. Pengelolaan temuan pecahan-pecahan artefak oleh para peneliti, mulai dari membersihkan,
memilah, merekonstruksi, melabel, tabulasi, hingga entri data ke dalam komputer.
Foto 9. Periuk hasil rekonstruksi
dari pecahan-pecahan tembikar
hasil penelitian.
Foto 10. Bentuk utuh periuk, alat memasak menanak nasi, banyak ditemukan di situs Liyangan.
Foto 11. Kendi dan mangkuk tembikar ditemukan dalam posisi menumpuk; dapat dibayangkan betapa
dinamis kehidupan waktu itu.
Berikut ini beberapa sisa perkakas rumah tangga yang mencerminkan betapa
ramainya hunian di Liyangan pada waktu itu.
1. Barang Tembikar
Perkakas ini biasa disebut juga gerabah, yaitu wadah atau bentuk lainnya yang dibuat
dari tanah liat yang dibakar. Artefak jenis ini termasuk yang paling sering ditemukan,
hampir di semua situs arkeologi. Mengapa? Karena sangat umum dipergunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan hingga masa sekarang, masih mudah dijumpai
masyarakat yang masih menggunakannya sebagai perkakas rumah tangga.
Jenis barang tembikar yang banyak ditemukan di situs Liyangan adalah kendi, periuk,
mangkuk, cawan, pasu, lampu (celupak), penyangga wadah (blengker), buyung,
tempayan, dan hiasan (figurin). Umumnya artefak tembikar ditemukan dalam kondisi
tidak utuh, beberapa di antaranya malah berupa pecahan kecil-kecil. Jenis barang
tersebut sebagian besar juga ditemukan di situs lain, dan bahkan beberapa
diantaranya masih digunakan di masa sekarang.
Foto 12. Lampu tanah liat
(celupak). Lampu ini berbahan
bakar minyak damar atau
minyak kelapa dengan sumbu
pada bagian ceratnya.
14 15
Foto 8.
Foto 9.
Foto 11. Foto 10.
Foto 12.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
2. Barang Logam
Barang logam yang ditemukan di situs Liyangan dapat dipilah berdasarkan kategori
dan jenisnya. Berikut ini kategori dan jenis barang logam tersebut.
Tabel 1. Barang-barang logam yang ditemukan di situs Liyangan.
KATEGORI
alat bangunan
alat pertanian
alat
rumah tangga
NOMOR NAMA BENDA
angkor
cangkul (?)
parang
fr. sabit
buyung (tersisa hanya bagian
tepian sampai badan)
2
3
alat/tukang
alat pande
alat upacara
penerangan
perhiasan
senjata
panci
pisau
talam
tangkai wadah
cungkil
kapak
fr. palu
tatah
tang
pelebur logam
giring-giring
tempat sesaji
lampu gantung
tempat minyak
cermin/darpana
pedang
keris
tombak
4
5
6
8
7
mangkuk
Foto 15. Tempat sesaji berbahan perunggu, lengkap dengan tangkai dan kaki sebagai penyangga.
Foto 16. Genta perunggu (kiri) digunakan dalam upacara keagamaan dan kowi (kanan) adalah alat untuk
melebur logam.
Foto 13. Fragmen kendi,
selain digunakan sehari-
hari bisa juga digunakan
dalam prosesi upacara
keagamaan.
Foto 14. Bagian tepian
dari tempayan, wadah air
yang berukuran besar.
16 17
Foto 13. Foto 14.
Foto 15.
Foto 16.
Ragam Temuan Cermin Peradaban
1
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Foto 17. Kapak besi, sebagian dari alat pertanian berbahan logam.
Foto 18. Peralatan berbahan besi, berupa alat pertanian (parang dan sabit)
maupun senjata (keris dan tombak).
Foto 19. Beberapa jenis alat pertanian berbahan logam.
Foto 20. Mata tombak berbahan besi, kegunaannya tidak harus untuk
berperang, tetapi bisa juga sebagai senjata untuk berburu.
Foto 21. Entong perunggu, ketika ditemuan, di bawahnya terdapat bahan
makanan sejenis jagung dengan kondisi relatif utuh.
Foto 22. Pecahan tempayan berbahan perunggu, di dalamnya ditemukan
belahan buah kelapa.
Foto 23. Mangkuk berbahan perunggu.
18 19
Foto 20.
Foto 19.
Foto 18.
Foto 17.
Foto 23.
Foto 21. Foto 22.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
3. Barang Berbahan Batu
Batu ternyata juga digunakan sebagai bahan untuk pembuatan peralatan atau
perkakas rumah tangga. Jadi, batu tidak hanya digunakan untuk bahan bangunan.
Jenis barang dari batu yang ditemukan di situs Liyangan sangat beragam. Hal ini
menunjukkan keragaman fungsi masing-masing, yaitu untuk keperluan rumah
tangga biasa atau keperluan upacara keagamaan. Jenis barang dari batu yang umum
digunakan oleh masyarakat Liyangan kuno adalah, pipisan, gandik, dan lumpang.
Fungsi pipisan dan gandik adalah untuk menghaluskan bahan makanan atau obat-
obatan dengan cara menggiling atau menggilas berulang-ulang. Sedangkan lumpang
digunakan dengan cara menumbuk.
Foto 24. Talam (baki bundar)
berbahan perunggu dengan
motif sankha (kerang) bersayap
motif khas Mataram Kuno abad
ke-9.
Foto 25. Darpana (cermin)
berbentuk bundar dan
bergagang, berbahan
perunggu, ditemukan dalam
keadaan terbungkus lelehan
logam lainnya.
Foto 26. Fragmen lampu
gantung berbahan perunggu,
terdiri atas beberapa bagian.
Foto 27. Tempat sesaji dari batu andesit, bahan yang sama dengan batu candi.
Foto 28. Lumpang dan gandik, alat untuk menghaluskan biji atau lainnya dengan cara menumbuk.
Foto 29. Manik-manik berbahan batu untuk perhiasan.
Foto 30. Pipisan dan gandik, digunakan untuk menghaluskan biji-bijian dengan cara menggilas.
4. Barang Keramik
Barang-barang keramik yang ditemukan di Situs Liyangan berasal dari negeri Cina,
dibuat pada abad IX Masehi, yaitu masa Dinasti Tang. Barang keramik tersebut dibuat
di beberapa wilayah di Cina, yaitu:
• dari wilayah Changsha dikenal dengan istilah ‘barang Changsha’
(Changsha ware),
• dari wilayah Yue dikenal dengan ‘barang Yue’ (Yue ware),
• dari wilayah Ding dikenal dengan ‘barang Ding’ (Ding ware), dan
• keramik yang dibuat di wilayah Guandong dikenal dengan ‘barang
Guandong’ (Guandong ware). Keramik Cina yang dibuat dari wilayah
Guandong inilah yang paling banyak ditemukan di Situs Liyangan
(Eriawati, 2014: 237 ).
20 21
Foto 26.
Foto 24. Foto 25.
Foto 27. Foto 28.
Foto 30.
Foto 29.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Foto 31. Sebagian dari belasan ribu pecahan barang keramik dari situs Liyangan dapat direkonstruksi
sehingga diketahui berbagai jenis dan bentuknya.
Wadah keramik yang ditemukan situs Liyangan bermacam-macam bentuknya.
Masing-masing bentuk memiliki kegunaan yang berbeda-beda. Keragaman bentuk
mencerminkan keragaman aktivitas dalam kehidupan di Liyangan kuno. Bentuk-
bentuk tersebut adalah tempayan, guci, pasu, mangkuk, teko, dan botol.
Foto 32. Tempayan barang
Guandong; cirinya adalah glasir
yang tidak rata.
Foto 33. Guci, barang Guangdong.
Foto 34. Teko / guci bercerat
(ewer), barang Guangdong.
Foto 35. Guci bercerat barang
sancai (tiga warna), Henan
merupakan barang langka.
Foto 36. Tempayan barang Henan
berwarna biru torquoise, tergolong
sangat langka.
Foto 37. Guci bercerat barang
Changsha berbentuk bulat,
berglasir coklat.
22 23
Foto 31.
Foto 32.
Foto 33. Foto 34.
Foto 35. Foto 36.
Foto 37.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Foto 42. (kiri) Mangkuk
barang Guangdong.
Foto 43. (kanan) mangkuk
barang Ding.
Foto 44. Botol, barang
Sancai, Henan dengan
glasir hijau dan kuning.
Foto 38. Teko barang
Zhazou.
Foto 39. Teko barang
Changsha.
Foto 40. Teko barang
Sancai, Henan.
Foto 41. Salah satu guci
yang relatif utuh. Guci ini
ditemukan dengan bilah-
bilah bambu masih
menempel, yang
menandakan dulunya
ada tempat khusus yang
dibuat dari bambu untuk
menyimpan perkakas
rumah tangga.
24 25
Foto 38. Foto 39. Foto 40.
Foto 41.
Foto 42.
Foto 44.
Foto 43.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Foto 45 dan Foto 46, dua varian bentuk pasu.
5. Kain atau Tekstil
Selama ini, kita mengetahui bahwa masyarakat Jawa Kuno sudah mengenal kain
hanya dari prasasti dan relief. Hebatnya, temuan sisa kain di situs Liyangan
menunjukkan bendanya, kain yang sesungguhnya dan dipakai pada masa itu. Oleh
karenanya harus dicatat bahwa kain bukanlah barang langka pada jaman kerajaan
Matarām Kuno.
Contoh prasasti yang menyebut penggunaan kain adalah prasasti Rongkab (901 M),
prasasti Luitan (901 M), prasasti Watukura (902 M) dan prasasti Kasugihan (907 M).
Istilah kain atau tekstil sebagaimana kita kenal sekarang, sama dengan istilah Jawa
Kuno seperti wḍihan dan ken, dengan satuannya berupa hle dan wlah. (Fitriati, 1990).
Informasi tentang kain dari relief, salah satunya ada di Candi Prambanan, abad ke-9.
Dalam adegan cerita Ramayana dan Kresnayana, kain digambarkan sebagai pakaian
pendeta, bangsawan wanita, raja atau bangsawan pria, wanita biasa, dan abdi laki-
laki. Berikut ini gambaran penggunaan kain tersebut.
• untuk pendeta digunakan dua lapis kain, yaitu kain sampai lutut dan
lainnya diikatkan pada pinggang, ujungnya di-wiru dan menjurai
hingga pergelangan kaki,
• bangsawan wanita mengenakan pakaian bawah hingga mata kaki
dengan aksesoris di bagian perut,
• raja atau bangsawan laki-laki mengenakan kain dua lapis, yang satu
dibentuk seperti celana pendek dan lainnya melingkari pinggang
dengan lipatan wiru di bagian tengah perut,
Foto 47. Sisa kain yang ditemukan
kondisinya sangat rapuh, dalam
keadaan lipatan, ditemukan di dalam
guci Tiongkok Dinasti Tang abad ke-9.
Foto 48. Sisa kain gulungan (atas) dan
kantong kain beserta talinya (bawah).
• bagi wanita biasa, kain yang dikenakan dua lembar, yang satu panjang
dari perut hingga kaki dan yang lainnya melingkar di pinggang secara
sederhana,
• bagi para abdi laki-laki, kain dikenakan sebagai kancut, dililitkan di
sekitar perut dan paha hingga mirip celana pendek (Lelono,
1995/1996).
26 27
Foto 45. Foto 46.
Ragam Temuan Cermin Peradaban
Foto 47.
Foto 48.
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
D. Pemujaan
Di bagian depan sudah disampaikan bahwa situs Liyangan dulunya adalah
permukiman kuno yang berkembang sekurang-kurangnya sejak abad ke-2 dan
berhenti akibat meletusnya Gunung Sindoro pada abad ke-11. Jika dikaitkan dengan
kepercayaan masyarakatnya, maka dapat dibagi dalam dua fase besar, yaitu fase
sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan fase Hindu-Buddha yang datang
dari India. Selain itu, jika dikaitkan dengan kerajaan Matarām Kuno yang berdiri pada
tahun 717 atau awal abad ke-8, maka permukiman Liyangan kuno dapat dibagi ke
dalam lima fase, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a) Sebelum abad ke-5/6 merupakan fase prasejarah khususnya megalitik. Pada
masa ini masyarakat menganut kepercayaan asli, yaitu percaya pada
kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Prasarana pemujaan berupa punden atau
bangunan berundak dan berteras. Semakin tinggi terasnya atau undakannya,
semakin suci karena dianggap semakin dekat dengan sumber kekuatan itu.
Bahan bangunan utamanya berupa batu-batu kali yang disusun membentuk
batur. Di atas batur, di bagian tengah, dibentuk altar. Kemungkinan di atas
altar ini diletakkan objek pemujaan berupa arca berbentuk sederhana. Objek
ini merupakan personifikasi kekuatan yang ada di luar dari diri manusia. Di
atas batur bisa jadi juga dilengkapi dengan bangunan berbahan kayu, bambu,
dan ijuk.
b) Antara abad ke-6/7 merupakan fase transisi atau peralihan. Pada masa ini,
kepercayaan asli mulai terpengaruh oleh agama Hindu. Kekuatan-kekuatan
yang dipuja mulai diberi nama bergaya India. Sosok dewa mulai dikenal
sebagai kekuatan baru dengan isitilah dan nama yang juga baru. Beberapa
istilah dalam prosesi pemujaan diganti dengan istilah dari India yang sangat
berbeda dengan istilah asli. Bentuk objek pemujaan secara berangsur-angsur
berubah sesuai dengan kekuatan-kekuatan baru, seperti arca dewa, lingga,
yoni, dan nandi. Bahan bangunan sedikit-demi sedikit diganti atau
ditambahkan bahan baru yaitu batu yang dipahat atau dibentuk persegi.
Nantinya, pengetahuan ini akan berpengaruh pada teknologi di bidang
arsitektur atau seni bangun, termasuk seni bangun candi dan arca.
c) Antara abad ke-7/8 merupakan fase yang berlangsung sejak awal
perkembangan agama Hindu hingga awal perkembangan kerajaan Matarām
Kuno yang berdiri pada tahun 717. Tentu saja waktu itu wilayah kerajaan juga
meliputi Liyangan. Pada masa ini kerajaan Matarām Kuno sudah berkembang
di bidang tata negara, ekonomi-perdagangan, teknologi, pertanian, dan juga
kepercayaan yang semakin kuat pengaruh Hindunya. Meskipun demikian,
ternyata kepercayaan asli tidak hilang sama sekali. Unsur-unsur India sama
sekali tidak menggantikan unsur asli tetapi hanya memperkaya warna saja.
Ciri bangunan dan tempat pemujaan yang berundak dan berteras masih
dipertahankan. Selain itu, batu kali alami yang tidak dipahat juga tetap
digunakan untuk membangun talud, penguat dinding tebing, teras lahan
pertanian, dan bangunan lainnya.
d) Antara abad ke-9 sampai tahun 929 merupakan fase kejayaan Matarām Kuno
utamanya di Jawa Tengah. Pada masa ini permukiman kuno Liyangan
Foto 49. Kain gulungan,
serat besar, ditemukan di
dalam guci Tiongkok Dinasti
Tang abad ke-9.
Foto 50. Relief cerita
Kresnayana di candi
Prambanan. Para brahmana
mendatangi Kresna yang
sedang duduk. Perhatikan
cara penggunaan kain pada
pakaian mereka, ada yang
rumit ada pula yang
sederhana.
28 29
Foto 49.
Foto 50.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
menjadi bagian dari kerajaan. Oleh karena itu, banyak kesamaan antara situs
Liyangan dengan situs lain, contohnya Prambanan yang waktu itu juga
menjadi bagian dari kerajaan Matarām Kuno. Banyak barang yang mirip
bahkan sama dengan yang ditemukan di Prambanan, misalnya talam atau
baki berbentuk bundar dan pipisan. Walaupun di wilayah kerajaan sudah
berkembang agama Hindu dan Buddha, tetapi agama Buddha tidak dianut
oleh masyarakat Liyangan kuno. Bahkan, meskipun ciri-ciri memuncaknya
agama Hindu banyak ditemukan, tetapi unsur-unsur kepercayaan asli tidak
hilang sama sekali. Bahan bangunan berupa batu kali terus digunakan dan
area pemujaan yang berundak-teras juga tidak diubah. Inilah yang
membedakan situs Liyangan dengan situs Prambanan atau situs lain yang
dibangun pada abad ke-9 sampai 10, sedangkan Liyangan dibangun dan
dihuni sejak abad ke-2.
e) Tahun 929 sampai abad ke-11 adalah ketika Liyangan kuno memasuki era
pindahnya pusat kerajaan ke bagian timur Pulau Jawa hingga peristiwa
meletusnya Gunung Sindoro. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia
dijelaskan bahwa tahun 929 Raja Sindok memindahkan pusat kerajaannya ke
bagian timur Jawa. Lokasi yang dipilih bukan daerah baru karena lokasinya
juga bagian dari kerajaan Matarām. Pu Sindok membangun pusat
kerajaannya di Tamwlang dan membangun dinasti yang baru, yaitu wangsa
Iśāna. (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2011: 173-184). Permukiman
di Liyangan rupanya tidak terpengaruh dengan perpindahan pusat
pemerintahan Matarām, peradabannya terus berkembang. Bagaiama dengan
kehidupan religi pada fase tersebut? Ternyata tidak banyak berubah dari fase
sebelumnya, barangkali malah unsur Hindu menurun dan kepercayaan asli
kembali menguat. Letusan dahsyat Gunung Sindoro pada abad ke-11 akhirnya
menghentikan berkembangnya permukiman dan peradaban Liyangan kuno.
Gambar 4. Lokasi pemujaan berada di antara Kali Liyangan di bagian kiri (barat) dan jalan batu kuno di
bagian kanan (timur). Area pemujaan bentuknya berundak-teras (I - IV), yang menandakan kuatnya
unsur kepercayaan dan pemujaan lama, sebelum pengaruh Hindu
Gambar 3. Lokasi situs Liyangan dilihat dari samping (potongan). Bagian yang paling suci adalah teras
I. Di teras ini terdapat 1 candi utama, 4 batur pendamping, dan 1 batur besar
Foto 51. Area pemujaan adalah bagian penting dari permukiman Liyangan kuno
E. Pertanian
Jika kita berada di situs Liyangan dan menghadap ke arah Gunung Sindoro, maka
lokasi area pertanian berada di sisi kiri, di atas jalan batu, meluas hingga puluhan
meter ke arah gunung. Berikut ini gambaran lokasi pertanian yang tidak lain adalah
bagian dari permukiman Liyangan kuno.
30 31
Gambar 3.
Foto 51.
Gambar 4.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Ruang K, L, G, E adalah lokasi-lokasi yang diduga merupakan area pertanian. Ruang C
adalah jalan batu yang terus ke bawah hingga di bawah teras IV. Area pertanian
berada pada lokasi di luar area pemujaan, dilengkapi dengan struktur-struktur
boulder untuk penguat sekaligus sebagai batas lahan.
Data pertanian yang meliputi bentuk lahan (Foto 53), sistem pengairan (Foto 54-56),
peralatan pertanian (Foto 17-19) menjadikan situs Liyangan semakin spektakuler dan
tidak ada duanya. Selain itu, hal ini juga menjadi pengetahuan baru tentang
peradaban kuno di Jawa, setidaknya pada sekitar abad ke-9.
32 33
Foto 53. Lahan pertanian dengan
ciri-ciri berbentuk gundukan
memanjang (merah). Teknik ini
sampai sekarang masih
digunakan. Bekas tanaman yang
bertumbangan akibat hempasan
material vulkanis tercetak pada
material abu dan pasir (hijau).
Foto 54. Saluran air lebarnya
sekitar 1 meter dan pada titik
tetentu terpotong oleh saluran
yang lebih kecil. Sistem jaringan
air seperti ini mengingatkan pada
sistem irigasi untuk pertanian.
Gambar 5. Peta situs
Liyangan hasil penelitian
tahun 2015.
Foto 52. Tim peneliti
Balai Arkeologi Provinsi
D.I. Yogyakarta sedang
melakukan ekskavasi
pada salah satu lokasi
pertanian kuno.
Gambar 5.
Foto 52.
Foto 53.
Foto 54.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
F. Pengetahuan dan Data Baru
Pada penelitian tahun 2018 ditemukan data baru di dua lokasi, seperti terlihat pada
Foto 60 yang diberi tanda A dan B.
1) Lokasi A berada di area pemujaan, tepatnya pada bangunan pagar yang
yang menjadi batas antara teras II dan teras III. Temuan itu berupa susunan
batu kali (boulder) yang tadinya tertutup oleh konstruksi pagar bebahan
batu persegi. Rupanya, aslinya pagar ini berbahan batu kali yang dibangun
pada masa sebelum ada pengaruh India. Pada fase berikutnya pagar ini
dikembangkan dengan menambah bahan berupa batu persegi (Foto 61).
2) Lokasi B berada di tepian jalan batu kuno. Di lokasi ini ditemukan tatanan
batu kali (boulder) dan lubang-lubang yang teratur bentuknya. Keletakan
lubang-lubang ini rapi, berjejer memanjang sejajar dengan jalan batu.
Temuan ini penting sekali untuk menjelaskan bahwa jalan batu tidak
terbuka seperti yang kita lihat sekarang. Jadi, di tepi jalan batu dulunya
terdapat pagar berbahan kayu dan bambu. Bekasnya berupa lubang-lubang
tadi, yang bentuk dan letaknya rapi (Foto 62).
Foto 55. Saluran air ditemukan di dekat Yoni yang berbentuk bundar-pipih. Menurut konsep agama
Hindu, Yoni bersama Lingga merupakan lambang kesuburan. (Permana, 2016: 197 dan 393-394).
Foto 56. Yoni bundar-pipih (diameter 100 Cm dan tebal 10 Cm) di dekat saluran air (kalen). Ada
hubungan fungsi antara yoni sebagai sarana upacara kesuburan dan kalenan sebagai pembagi air di
area pertanian.
Foto 57. Temuan gabah, yang hangus akibat sapuan panas material vulaknis Gunung Sindoro. Ketika
ditemukan, gabah-gabah ini dalam bentuk ikatan-ikatan dan tertata. Hal ini mengingatkan pada cara
penyimpanan padi di lumbung. Temuan ini menandakan adanya ketersediaan bahan makanan dari hasil
pertanian oleh masyarakat Liyangan kuno.
Foto 58. Buah ini belum dapat dipastikan jenisnya. Ada yang memperkirakan ini adalah kluwak. Salah
satu bahan makanan yang bukan mustahil dihasilkan oleh masyarakat Liyangan kuno melalui kegiatan
pertanian.
Foto 59. Daun-daun terjebak dan terawetkan oleh lapisan abu vulkanis. Bentuknya mirip daun nangka.
Lokasi temuan berada di area pertanian, sehingga diduga pepohonan itu adalah bagian dari pertanian
kuno Liyangan.
34 35
Foto 55. Foto 56.
Foto 57.
Foto 59. Foto 58.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
36 37
Foto 60. A dan B adalah
lokasi-lokasi temuan baru
hasil penelitian 2018,
sedangkan I, II, III, dan IV
adalah urutan undak-teras
area pemujaan. Hingga
kini undak-teras yang
ditemukan sudah
berjumlah empat tetapi
sangat mungkin nantinya
akan ditemukan teras V
dan seterusnya.
Foto 60.
Ragam Temuan Cermin PeradabanSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
IIIMASA
HINDU-BUDDHA
DI JAWA
38
Foto 61. Lokasi A. Pagar asli berupa susunan boulder sebelum ditutup dengan susunan balok batu.
Dua fase pembangunan pagar ini menunjukkan bahwa permukiman kuno Liyangan memang sudah ada
sejak pra-Hindu hingga masa Mataram Kuno.
Foto 62. Lokasi B. Lubang-lubang bekas pagar kayu dan bambu memanjang di tepian jalan batu.
Foto 61.
Foto 62.
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa
Pada awal Masehi, orang-orang dari India, Cina, dan Arab menyebar ke berbagai
belahan dunia melalui pelayaran samudera. Ketika masuk ke Nusantara mereka
berhadapan dengan masyarakat yang sudah beradab, teratur, dan mapan. Masyarakat
di Nusantara pada waktu itu sudah:
· memiliki organisasi yang teratur setingkat desa dan federasi
antardesa,
· menguasai berbagai teknologi,
· mengenal pelayaran dan perdagangan antarpulau,
· bertani dan menguasai teknologi pertanian,
· memiliki kepercayaan pada kekuatan di luar dirinya, dan
· memiliki kekayaan alam sebagai komoditas dagang di Nusantara
Kekayaan alam itu antara lain meliputi hasil pertanian, hasil hutan, dan tambang
emas. Dibandingkan dengan orang Arab atau Cina, waktu itu orang-orang India
paling mahir dalam mengambil hati kelompok-kelompok masyarakat di Nusantara.
Hal itu dilakukan melalui pendekatan kepada para pemimpinnya, bahkan selanjutnya
juga dengan mengawini putri pemimpin atau warga lainnya. Dengan cara itu
berangsur-angsur terjadi interaksi budaya bahkan juga kepercayaan antara orang
India dan penduduk Nusantara. Selanjutnya terjadi reaksi, seleksi, dan percampuran
hingga pada akhirnya dianggap menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.
Oleh karena budaya India tidak masuk ke daerah yang kosong di Indonesia, maka
kebudayaan lokal Nusantara memiliki peran penting, karena hal itu merupakan
proses kontak antarbudaya. Proses tersebut dapat dianggap sebagai perkembangan
lokal saja (Soeroso, 2006: 124). Pada akhirnya “corak India” memang tampak menonjol
pada kebudayaan dan peradaban di Jawa khususnya, dan inilah yang disebut dengan
masa Hindu-Buddha dalam babak sejarah Indonesia.
Masuknya unsur kebudayaan yang datang dari India ke Indonesia ditandai oleh
kuatnya aspek kepercayaan yang berlatar belakang agama Hindu dan Buddha.
Sebenarnya ada aspek lain yang juga cukup kuat yang terbawa dalam proses
tersebut. Selain bahasa dan aksara, teknologi pertanian menjadi salah satu aspek
penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Nusantara. Bahkan,
perkembangan itu selanjutnya mengarah pada terbentuknya kerajaan dengan gaya
India.
Kerajaan ini terbentuk melalui penggabungan wilayah-wilayah yang sebelumnya
sudah berkembang dan teratur. Dengan kata lain, wilayah-wilayah tersebut sudah
memiliki struktur dan organisasi sosial yang mapan sebelum digabungkan menjadi
kerajaan. Memang sejak masa prasejarah, atau sebelum masa Hindu-Buddha, telah
dikenal sistem administrasi kemasyarakatan dalam dua tingkatan, yaitu setingkat
desa atau dusun dan di atasnya semacam federasi antardesa (Sedyawati dkk, 2012:
23). Oleh karena itu, secara tegas dapat dikatakan bahwa corak India di Nusantara
bukanlah hasil “indianisasi” bukan pula dominasi budaya asing atas Nusantara. Lebih
tepat dikatakan bahwa budaya lokal Nusantara yang justru lebih berperan dalam
proses itu.
Orang India mempunyai tradisi dan kemahiran menulis buku-buku pedoman (śāstra)
menganai berbagai hal seperti:
· hukum (dharmaśāstra),
· politik (arthaśāstra), dan
· pencarian kenikmatan (kāmaśāstra).
Hal ini ternyata memudahkan proses terserapnya unsur-unsur budaya India oleh
bangsa Indonesia. Bahkan, ada yang menganggap bahwa sebenarnya orang Indonesia
sendiri yang lebih aktif memperoleh bebagai ketrampilan dari orang India melalui
buku-buku pedoman tersebut (Coedes, 2010: 55-56). Penguasaan bahasa Sansekerta
dan aksara Pallawa oleh bangsa Indonesia menjadi pendorong berkembangnya
peradaban. Hal ini banyak tercermin dari isi prasasti yang banyak ditemukan di
berbagai tempat di Indonesia.
Di Jawa Tengah, prasasti-prasasti pertama yang ditemukan berasal dari awal abad
ke-8 M. Di dalamnya digambarkan banyak hal terkait dengan terbentuknya kerajaan,
yaitu:
· adanya persaingan di antara para penguasa yang telah berhasil
mempersatukan dan menguasai sejumlah wanua (atau komunitas
desa),
· mereka disebut raka atau rakryan yang kemudian menjadi “atasan”
bagi para rama (pembesar di tingkat wanua),
· gabungan dari beberapa wanua itu selanjutnya disebut watak
40 41Masa Hindu-Buddha di JawaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Garis besar sejarah pemerintahan kerajaan Matarām Kuno berdasarkan prasasti
Mantyasih dan prasasti Wanua Tengah III menurut Kusen adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Daftar Raja-raja Matarām Kuno Menurut Prasasti Mantyasih dan Prasasti
Wanua Tengah III.
· watak diperintah oleh rakai, contohnya Rakai Pikatan, yang berarti
penguasa dari Pikatan; Rakai Watukura, artinya penguasa dari
Watukura; dan sebagainya,
· para rakai kemudian banyak membangun bangunan-bangunan suci
dalam usahanya meningkatkan prestise sebagai penguasa (Lombard,
1996: 14).
Dalam masa-masa selanjutnya, para rakai inilah yang banyak disebut dalam prasasti,
khususnya di Jawa Tengah. Selain mengeluarkan prasasti, rakai juga banyak
membangun bangunan suci, terutama ketika menjadi raja atau maharaja. Itulah
mengapa di Jawa Tengah banyak ditemukan bangunan candi yang besar lagi megah.
Selain itu, prasasti yang ditulis oleh atau atas nama raja juga banyak ditemukan.
Prasasti-prasasti inilah yang menjadi sumber utama dalam menelusuri sejarah
perjalanan bangsa Indonesia.
B. Matarām Berkuasa di Jawa
Salah satu fase sejarah yang banyak diungkap melalui sumber prasasti adalah masa
kerajaan Matarām Kuno (bhūmi Matarām) yang berpusat di Jawa bagian tengah.
Pemerintahan kerajaan ini berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-10 Masehi,
tepatnya sejak berkuasanya Rakai Matarām saṅ Ratu Sañjaya pada tahun 717 Masehi.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bhūmi Matarām merupakan kerajaan pertama di
Jawa, karena sebelumnya sudah ada kerajaan yang mendahului. Keberadaan kerajaan
sebelum Matarām Kuno banyak diceritakan dalam berita Cina. Menurut sumber itu,
kerajaan-kerajaan tersebut bernama Shepo yang (sudah ada sejak tahun 420 Masehi)
dan kerajaan Heling (berkuasa pada tahun 618 Masehi). Pada abad ke-9, kerajaan
Shepo disebut lagi dalam berita Cina (Boechari, 2012: 198).
Lalu, bagaimana gambaran historiografi Matarām Kuno pada masa-masa berikutnya?
Prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M) yang dikeluarkan
oleh Raja Balitung adalah sumber paling penting dalam merekonstruksi historiografi
Matarām Kuno. Melalui kedua prasasti tersebut, diketahui pemerintahan kerajaan
setidaknya sejak Sañjaya (abad ke-8) hingga Balitung (abad ke-10). Tentu saja prasasti
lainnya juga menjadi bahan penting untuk merekonstruksi sejarah. Data arkeologi
yang sudah diteliti juga banyak memberikan peran dalam rekonstruksi historiografi
Matarām Kuno; salah satunya adalah situs Liyangan yang akan dijelaskan pada bagian
lain dalam buku ini.
Prasasti Mantyasih 907 M Prasasti Wanua Tengah III 908 M
Rake Watukura Dyah Balitung
(23 Mei 898 – 1 Oktober 908)
42 43
Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya
Sri Maharaja Rakai Panangkaran
Sri Maharaja Rakai Panunggalan
Sri Maharaja Rakai Warak
-
Sri Maharaja Rakai Garung
Sri Maharaja Rakai Pikatan
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
-
-
-
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung
Rahyangta ri Mdang
Rake Panangkaran
(7 Oktober 746 – 1 April 784)
Rake Panaraban
(1 April 784 – 28 Maret 803)
Rake Warak Dyah Manara
(28 Maret 803 – 5 Agustu 827)
Dyah Gula
(5 Agustus 827 – 24 Januari 828)
Rake Garung
(24 Januari 828 – 22 Februari 847)
Rake Pikatan Dyah Saladu
(22 Februari 847 – 27 Mei 855)
Rake Kayuwangi Dyah Lokapala
(27 Mei 855 – 5 Februari 885)
Dyah Tagwas
(5 Februari 885 – 27 September 885)
Rake Panumwangan Dyah Dewendra
(27 September 885 – 27 Januari 887)
Rake Gurunwangi Dyah Bhadra
(27 Januari 887 – 24 Februari 887)
Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang
(27 November 894 – 23 Mei 898)
Masa Hindu-Buddha di Jawa
Sumber: Kusen, 1994
Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Ada yang perlu dicatat dan mendapat perhatian berkenaan dengan Tabel 2, terutama
dalam masa pemerintahan Rake Warak Dyah Manara (28 Maret 803 – 5 Agustus 827),
yaitu munculnya tokoh Samaratungga. Tokoh ini disebut dalam prasasti
Karangtengah atau Kayumwungan (824 M) yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu
Sansekerta dan Jawa Kuno (Kusen, 1994: 85). Bagian yang berbahasa Sansekerta
menyebut nama Samaratungga dan anaknya yang bernama Pramodāwarddhani,
sedangkan bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebut Rakarayan Patapan Pu Palar.
Yang disebut terakhir adalah suami-istri yang telah memberikan sawahnya untuk
bangunan suci Srimadwenuwana yang dibanguan oleh Pramodāwarddhani (Casparis,
1950 dalam Kusen, 1994: 85).
Kembali ke Tabel 2. Setelah masa Balitung, situasi politik semakin tidak menentu
akibat perebutan kekuasaan, bahkan di kalangan keluarga dan kerabat kerajaan.
Balitung yang berasal dari Watukura dianggap tidak memiliki hak atas takhta
kerajaan. Ia dianggap menjadi raja hanya karena perkawinannya dengan putri raja
sebelumnya dan bukan keturunan langsung dari Pikatan. Sementara itu, Daksa atau
Śri Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya yang menjabat sebagai putra mahkota
(Rakryān Mahamantri I Hino) bukan anak Balitung, kemungkinan iparnya.
Daksa dan Rakai Gurunwangi, keduanya kerabat Rakai Pikatan, bersekongkol untuk
merebut kembali takhta kerajaan dari Balitung. Daksa akhirnya berhasil naik takhta
dan memerintah selama kurang lebih 8 tahun, mungkin sejak 910 atau 911 M.
Sebelumnya, ia mengangkat seorang putra mahkota, yaitu Rakai Layang Dyah
Tlodhong yang ternyata bukan pejabat tertinggi di kerajaan.
Selanjutnya Rakai Layang menggantikan Daksa sebagai raja Matarām. Belum jelas
kapan tepatnya Rakai Layang naik takhta, juga kurang jelas kapan Daksa turun takhta,
kemungkinan sekitar 918 atau 919 M. Pemerintahan Rakai Layang antara lain ditandai
dengan pembangunan bendungan di sungai Hariñjing pada 19 September 921 M.
Sungai Hariñjing disamakan dengan Sungai Serinjing di Kabupaten Kediri, Jawa
Timur.
Berikutnya, Rakai Layang digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada tanggal 14
Februari 928 M. Dyah Wawa menyebut dirinya anak kryān ladheyan sang lumāḥ ring
alas. Nama tersebut mengingatkan pada nama Rakryān Laṇdayan, adik ipar Rakai
Kayuwangi pu Lokapāla. Ini berarti Dyah Wawa bukanlah anak Rakai Layang Dyah
Tlodhong, dan sebenarnya tidak berhak atas takhta kerajaan Matarām. Meskipun
sempat mengeluarkan beberapa prasasti, namun pemerintahan Dyah Wawa sangat
singkat bahkan seperti berhenti mendadak karena tidak ada berita lainnya.
Berita berikutnya langsung tentang Raja Sindok yang memindahkan pusat
kerajaannya ke bagian timur Jawa pada tahun 929. Daerah yang dipilih Sindok bukan
daerah baru karena merupakan bagian dari kerajaan Matarām. Contohnya adalah
44 45
bendungan di Sungai Hariñjing yang terletak di Kediri sekarang. Begitu pula wilayah
di sekitar Malang sekarang, yang pernah dikuasai oleh Rakai Kanuruhan. Pu Sindok
membangun pusat kerajaannya yang baru di daerah yang disebut Tamwlang.
Walaupun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra, tapi Sindok kemudian
membangun wangsa yang baru, yaitu wangsa Iśāna (Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, 2011: 173-184).
Masa Hindu-Buddha di JawaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
IVPERMUKIMAN
LIYANGAN DAN
BHŪMI MATARĀM
-
Penemuan gabah di situs Liyangan (Foto 57) dapat dikaitkan dengan majunya
teknologi pertanian dan menjadi pengetahuan tentang ketersediaan bahan pangan di
permukiman kuno Liyangan. Selain itu padi juga dapat disebut sebagai komoditi
perdagangan. Sejak masa Matarām Kuno (antara abad ke-9 hingga abad ke-10), padi
dan beras merupakan komoditas yang menjadi tulang punggung perekonomian
kerajaan (Suhadi dan Titi Surti Nastiti, 2012: 110).
Kegiatan perdagangan pada masa Matarām Kuno diberitakan melalui beberapa
prasasti, antara lain:
· Prasasti Gondosuli II atau Prasasti Puhawang Glis (827 M), berbahasa
Melayu Kuno menyebut kata dan puhawan (nahkoda). Keberadaan
nahkoda dikaitkan dengan kapal atau moda transportasi laut. Pada
masa itu perdagangan antarpulau sudah sangat ramai sehingga kata
daŋ puhawaŋ dapat dikaitkan dengan perdagangan
· Prasasti Tulang Air (850 M), ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, menyebut
kata marhyaŋ iṅ prasāda kabanyagān (marhyaŋ dalam bangunan suci
kelompok banyagā). Banyagā adalah salah satu kelompok pedagang
yang sudah ada pada masa Matarām Kuno. Kelompok ini merupakan
pedagang berskala besar.
Ramainya perdagangan di kerajaan Matarām Kuno ditandai dengan dikenalnya
istilah-istilah untuk empat kelompok pedagang yaitu:
· Abakul, atau pedagang eceran,
· Adagaŋ, mungkin semacam grosir,
· hiliran, yakni sebutan untuk pedagang yang hanya berjualan di bagian
hilir pada sungai-sungai besar, dan
· banyagā, yakni pedagang besar yang melakukan perdagangan
antarpulau atau pedagang yang sudah bertaraf internasional (Suhadi
dan Titi Surti Nastiti, 2012: 107).
Jelas sudah bahwa peradaban Liyangan kuno berkembang dan menjadi bagian dari
peradaban kerajaan Matarām Kuno. Terletak di lereng Sindoro yang subur, Liyangan
mengandalkan padi dan hasil pertanian lainnya sebagai komoditi perdagangan. Pada
fase ini, permukiman Liyangan kuno berkembang dengan pesat, seiring dengan
pesatnya kemajuan-kemajuan yang diraih oleh kerajaan. Jumlah penduduknya
semakin banyak. Prasarana dan sarana yang digunakan untuk aktivtas sehari-hari,
seperti untuk pertanian dan untuk beribadah, semakin banyak jumlah dan ragamnya.
Oleh karena itu ketika situs Liyangan diteliti ditemukan berbagai data yang sangat
beragam, kompleks, bahkan seringkali rumit.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam masa Hindu-Buddha, peradaban Liyangan
beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Matarām Kuno. Dalam
kurun waktu tersebut ada dua orang raja yang dapat dikaitkan dengan keberadaan
permukiman kuno Liyangan ini.
Pertama adalah Rakai Watukura Dyah Balitung. Raja Balitung yang berasal dari
Watukura pernah mengeluarkan prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Rukam.
Prasasti ini berangka tahun 907 M. Pada waktu ditemukan, prasasti ini satu konteks
dengan temuan artefak lainnya. Artefak tersebut meliputi:
· alat-alat upacara berbahan perunggu, yaitu talam atau baki berbentuk
bundar yang tersusun mulai dari yang kecil sampai dengan yang besar,
· bokor,
· cepuk,
· entong,
· gantungan lampu,
· mangkuk-mangkuk perunggu,
· keramik asing, dan
· beberapa benda kecil lainnya (Nastiti dkk., 1982, 7).
Semua jenis barang tersebut juga ditemukan di Liyangan, hal ini membuktikan
adanya keterkaitan antara prasasti Rukam dengan Liyangan. Perhatikan uraian pada
Bab II.C.
Isi prasasti Rukam yang dikaitkan dengan Liyangan adalah bagian kalimat yang
menyebutkan “… wanua i rukam wanua wanua i dro saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur …”
yang artinya “… desa Rukam yang termasuk wilayah kutagara atau negeri ageng, yang
telah hancur oleh letusan gunung…” (Nastiti dkk., 1982: 23, 36). Kondisi situs Liyangan
yang terkubur material vulkanis Gunung Sindoro itulah yang sering dikaitkan dengan
prasasti ini, khususnya frasa “... hilaŋ deniŋ guntur …” .
Akan tetapi, angka tahun prasasti (907) tidak cocok dengan waktu kejadian
meletusnya Gunung Sindoro pada abad XI. Jadi, desa yang dimaksud dalam prasasti
Rukam tentu bukan Liyangan. Berikut ini penjelasannya.
48 49Permukiman Liyangan dan Bhūmi MatarāmSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Anggapan bahwa wanua i rukam adalah desa yang hilang karena terjadinya letusan
gunung berapi harus dikoreksi. Sebenarnya wanua i rukam adalah desa yang
menggantikan status sīma dari desa lainnya yang hilang karena letusan gunung
berapi (Mochtar, 2014: 160). Sayangnya memang di dalam prasasti tidak disebutkan
desa apa yang terkubur dan gunung apa yang meletus. Yang pasti, Rukam adalah
desa yang pada tahun 907 M mendapat anugerah sīma dari Balitung untuk
menggantikan status sīma dari sebuah desa yang hilaŋ deniŋ guntur tersebut. Jadi
bukan Liyangan yang hancur oleh letusan gunung pada tahun 907 M, karena ketika
itu permukiman Liyangan masih dalam keadaan yang baik-baik saja.
Sebagaimana sudah dijelaskan, permukiman Liyangan kuno masih ada setidaknya
hingga pertengahan abad XI M, sebelum akhirnya juga harus terkubur oleh material
letusan gunung Sindoro. Letusan itu tentunya terjadi setelah pertengahan abad XI M.
Kejadian yang menghentikan perjalanan peradaban dan perkumiman Liyangan kuno
sejak abad ke-2 M.
Raja Matarām lainnya yang dikaitkan dengan Liyangan adalah Dyah Tlodhong. Nama
lengkapnya adalah Rakai Layang Dyah Tlodhong. Gelarnya sebagai raka i layang
inilah yang dihubungkan dengan nama Liyangan. Berikut ini penjelasannya.
Perhatikan juga bagian akhir bab III. B.
Daksa mengangkat Tlodhong sebagai putera mahkota setelah ia mengalahkan
Balitung, pada sekitar tahun 908 M. Pada waktu itu Tlodhong menjadi penguasa
daerah Layang, oleh karenanya ia bergelar Rakai Layang, atau penguasa daerah
Layang. Waktu itu sangat mungkin daerah Layang juga dikenal dengan sebutan
daerah layangan. Kata layangan dan liyangan adalah dua kata yang sangat dekat. Hal
itu menjadi pertimbangan untuk mengatakan bahwa liyangan adalah layang, yaitu
daerah yang dikuasai oleh Tlodhong. Dengan demikian, maka situs Liyangan dulunya
merupakan daerah watak yang salah satu penguasanya bernama Tlodhong. Rakai
Layang Dyah Tlodhong inilah yang akhirnya juga menjadi raja Matarām dengan
menggantikan Pu Daksa. Tlodhong memerintah dari tahun 919 M hingga 928 M,
sebelum digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa.
Hingga pertengahan abad ke-11, permukiman Liyangan kuno masih ada dan terus
berkembang. Setelah Tlodhong menjadi raja Matarām, yang berkuasa di watak layang
tentunya kerabat Tlodhong sendiri. Sangat mungkin pengganti Tlodhong juga
bergelar Rakai Layang, artinya penguasa daerah Layangan. Tempat inilah yang
sekarang menjadi nama dusun di Desa Purbosari, dan akhirnya menjadi nama situs,
yaitu situs Liyangan.
DAFTAR PUSTAKA
Boechari. 2012. “Satu atau Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuno?”. Melacak Sejarah
Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Penerbit
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Hlm. 197-202
Coedes, George. 2010. Aisa Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia)
Eriawati, Yusmaini. 2014. “Keramik Cina Dinasti Tang Abad IX Masehi Dari Situs
Liangan, Temanggung, Jawa Tengah”, dalam Liangan, Mosaik Peradaban
Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: Kepel Press. Hlm. 215-266
Fitriati, Rita. 1990. “Pasak-pasak dari Prasasti Masa Balitung dan Siṇḍok”. Monumen,
Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Lembaran Sastra Seri
Penerbitan Ilmiah No. 11 Edisi Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Hlm. 102-124
Kusen. 1994. “Raja-raja Matarām Kuno dari Sañjaya sampai Balitung, Sebuah
Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi,
Tahun XIV, Edisi Khusus. Hlm. 82-94
Lelono, T.M. Hari. 1995/1996. “Penelitian Pakaian dan Organisasi Sosial Pada Masa
Klasik (Tahap II)”. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta.
Tidak terbit
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Sejarah Kajian Terpadu. Jilid III:
Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama
Mochtar, Agni S. 2014. “Wanua I Rukam, Nama Asli Liangan? Kajian Terhadap Prasasti
Rukam 907 M Sebagai Data Pendukung Penelitian Situs Liangan ”, dalam
Liangan, Mosaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta:
Kepel Press. Hlm. 149-163
Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti Dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P & K
Permana, Cecep Eka. 2016. Kamus Istilah Arkeologi – Cagar Budaya. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2011. Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid II Zaman Kuno. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia
(Ed.). Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke-5. Jakarta: Balai Pustaka.
50 51Daftar PustakaSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Riyanto, Sugeng. 2012. “Laporan Penelitian Arkeologi, Permukiman Mataram Kuno
Situs Liyangan”. Balai Arkeologi Yogyakarta. Tidak terbit
Sedyawati, Edi dkk. 2012. “Pengenalan Masa Hindu-Buddha”. Indonesia Dalam Arus
Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hlm. 5-35
Soeroso. 2006. “Awal Pembentukan Kerajaan-kerajaan”. Permukiman di Indonesia
Perspektif Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm.
122-136
Suhadi, Machi dan Titi Surti Nastiti. 2012. “Perdagangan dan Politik”. Indonesia Dalam
Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hlm. 107-169
52 53
GLOSARIUM
A
Analisis karbon-14 dilakukan oleh arkeolog untuk untuk memperoleh umur atau
penanggalan (dating) suatu situs atau data arkeologi. Sampel yang dipakai adalah
bahan organis yang ditemukan di situs seperti arang karena mengandung isotop
radioaktif karbon yang memiliki inti terdiri atas 6 proton dan 8 neutron.
Arkeologi adalah ilmu yang mempeajari manusia dan kebudayaan beserta lingkungan
masa lalu berdasarkan bukti-bukti tinggalan untuk dimanfaatkan di masa kini dan
masa yang akan datang.
Arkeolog adalah orang yang ahli di bidang arkeologi.
Artefak adalah benda yang sudah diubah sebagian atau seluruhnya oleh manusia
untuk dipergunakan dalam membantu aktifitas kehidupan.
B
Blah sama dengan wlah.
Blengker digunakan oleh warga Desa Purbosari dan mungkin juga di tempat lain,
untuk menyebut perkakas yang digunakan sebagai alas antara tungku dan alat masak;
berbahan tanah liat bakar atau tembikar, berbentuk bundar-pipih, lebar antartepinya
sekitar 10 cm.
Bokor, pinggan yang cekung dan bertepi lebar, dibuat dari logam.
Buyung adalah perkakas yang berfungsi untuk menampung dan membawa air,
berbahan tembikar, batuan, porselen, atau logam.
C
Celupak adalah lampu berbahan tanah liat yang dibakar, berukuran sekitar 10 cm,
berbentuk pipih dengan cekungan di bagian tengah dan ada cerat di tepinya.
Cekungan di tengah berguna untuk menampung bahan bakar berupa minyak kelapa
atau damar, sedangkan cerat digunakan untuk menaruh sumbunya.
GlosariumSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
Cepuk, wadah yang berukuran kecil, biasanya digunakan untuk menyimpan
perhiasan.
D
Dating adalah penentuan umur atau kisaran kronologi suatu data arkeologi dan situs
melalui metode tertentu, seperti analisis karbon-14, analogi atau perbandingan
dengan data arkeologi di tempat lain yang memiliki kesamaan dan sudah diketahui
umur atau kisaran kronologinya, dan sebagainya.
E
Empiris merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman seperti
percobaan dan pengamatan secara terus-menerus.
F
Figurin merupakan salah satu bentuk dari keramik, baik tembikar, batuan, atau
porselen, biasanya berbentuk figur manusia atau hewan sebagai barang hiasan.
G
Gandik adalah pasangan dari pipisan, berbahan batu, berbentuk silindris dengan
diameter sekitar 5-10 cm.
Gerabah atau tembikar adalah wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar 0 0dengan suhu di bawah 950 - 1100 C. Dalam klasifikasi keramik, gerabah disebut
earthen-ware karena bahannya dari tanah liat biasa; keramik yang berbahan batuan
disebut stone-ware, dan keramik yang dibuat dari bahan kaolin disebut porcelain.
Giring-giring adalah genta kecil berbahan logam, biasanya berbentuk membulat dan
berisi benda lain di dalamnya sehingga akan berbunyi ketika digerak-gerakan.
H
Hle digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam
ukuran tertentu, selain wlah.
L
Liyangan adalah situs arkeologi yang namanya mengacu pada nama dusun, yaitu
Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung,
Jawa Tengah.
K
Ken digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain wḍihan.
Keramik sebenarnya digunakan untuk menyebut barang-barang yang dibuat dari
bahan mineral tanah yang dibakar, tetapi pada umumnya keramik digunakan untuk
membedakan dengan gerabah (earthen-ware), sehingga keramik sering digunkana
untuk menyebut barang yang dibuat dari bahan batuan (stone-ware) dan kaolin 0 (porcelain). Keramik berbahan batuan (stone-ware) matang pada suhu antara 1200 -
01290 C, sedangkan keramik berbahan kaolin (porcelain) hanya akan lebur dan matang 0 dengan baik pada suhu 1500 C.
Kowi atau alat pelebur logam, bentuknya mirip celupak, berbahan logam atau gerbah,
dengan ukuran sangat variatif. Bagian cekungan di tengah berguna untuk
menampung cairan logam sedangkan bagian cerat berfungsi untuk menyalurkannya
ke tempat cetakan.
M
Matarām (Kuno) muncul pertama kali sebagai kerajaan pada tahun 717 M pada masa
pemerintahan raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram, sampai pemerintahan
Dharmawangsa Tguh meskipun berkedudukan di Jawa Timur.
Mosaik adalah gambaran utuh yang tersusun dari bagian-bagian yang sebelumnya
saling terpisah.
P
Pasu merupakan perkakas berupa wadah air, terbuat dari bahan tembikar, batuan,
atau porselen. Bentuknya bundar dengan diameter sekitar 30 cm.
Pemujaan merupakan proses memuja kekuatan tertentu seperti dewa atau sesuatu
yang dipercaya memiliki kekuatan menurut kepercayaan tertentu; pemujaan juga
berarti tempat atau lokasi yang digunakan untuk memuja.
Pipisan adalah alat rumah tangga terbuat dari bahan batu, berbentuk memanjang,
berukuran sekitar 30 cm, terdiri atas dua bagian yaitu bagian permukaan yang rata
dan halus, dan bagian kaki. Bagian permukaan digunakan untuk menghaluskan bahan
makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara menggiling atau menggilas berulang-
ulang menggunakan gandik yang berbentuk silindris dan terbuat dari bahan batu
juga. Bagian kaki berguna untuk meletakan pipisan sehingga stabil ketika digunakan.
5554 GlosariumSitus Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung
-
S
Sīma, sebidang tanah berupa sawah atau kebun yang statusnya diubah menjadi
wilayah perdikan atau swatantra yang bebas dari pungutan pajak.
Situs adalah lokasi atau tempat ditemukannya sejumlah benda atau data arkeologi.
T
Talam adalah perkakas berbahan logam berbentuk bundar-ceper dan ada lis di
tepinya. Pada masa Matarām Kuno, talam termasuk benda yang sering ditemukan,
biasanya berbahan perunggu dan ada hiasan di bagian tengahnya, antara lain hiasan
sangkha bersayap dan guci bersulur. Fungsinya selain sebagai tempat untuk
meletakkan dan membawa perkakas yang lain seperti mangkuk dan kendi, juga
digunakan dalam prosesi keagamaan yaitu untuk membawa bunga dan kelengkapan
prosesi lainnya.
Tembikar sama dengan gerabah.
Tempayan adalah salah satu bentuk keramik, berbahan tembikar, batuan, maupun
porselen berukuran besar; bagian badan lebih besar dibandingkan bagian mulutnya,
biasanya digunakan untuk menampung air. Tempayan merupakan salah satu artefak
yang sering ditemukan dalam penelitian arkeologi.
V
Vulkanis segala sesuatu yang berhubungan dengan gunung berapi.
W
Wḍihan digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain ken.
Wlah digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam
ukuran tertentu, selain hle.
56 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung