SISTEMATIKA LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET UI TAHUN...
-
Upload
trinhthuan -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of SISTEMATIKA LAPORAN KEMAJUAN HIBAH RISET UI TAHUN...
SISTEMATIKA LAPORAN KEMAJUAN
HIBAH RISET UI TAHUN 2010
1. Tujuan dan Manfaat Riset
2. Metode Riset
3. Perkembangan Riset (Sementara)
4. Hambatan dalam Pelaksanaan
5. Laporan Penggunaan Dana (Sementara)
sesuai dengan RAB yang disetujui
Lampiran
a. Buku Catatan Harian Riset (BCHR) setiap periset (utama dan anggota)
b. Foto kopi bukti keuangan
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 453 / Teknik Telekomunikasi
LAPORAN
PENELITIAN DISERTASI DOKTOR
PENINGKATAN EFISIENSI KINERJA SISTEM KOMUNIKASI
NIRKABEL MENGGUNAKAN LOAD BALANCING DAN WI-FI
OFFLOAD PADA JARINGAN MOBILE ADVANCED DELIVERY
NETWORK (MADNET)
PENGUSUL
Setiyo Budiyanto, ST. MT NIDN : 0312118206
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
NOVEMBER 2015
RINGKASAN
Penelitian dilakukan dengan mengacu pada semakin cepatnya perkembangan komunikasi
yang mengakibatkan adanya jumlah trafik yang besar, serta terbatasnya spektrum makro
seluler. WIreless FIdelity (Wi-Fi) Offload menjadi salah satu solusi dengan menggunakan
keuntungan–keuntungan dari jaringan seluler dan jaringan Wi-Fi mampu menjadi salah satu
solusi dari permasalahan yang ada; akan tetapi masih terdapat suatu kelemahan dari teknologi
tersebut, yaitu : Penerapan offload tanpa adanya protokol yang mengatur proses pemindahan
trafik akan memberikan batasan–batasan terutama bandwidth dan penggunaan energi, karena
setiap node memiliki daya baterai dan kapasitas yang terbatas.
Melalui penerapan protokol yang terdapat pada teknologi Mobile Ad-hoc NETwork
(MANET) dan algoritma Vertical HandOver (VHO) yang disesuaikan dengan jaringan yang
dirancang, beban pada masing–masing jaringan dan penggunaan energi pada setiap node
dapat dikontrol. Media Independent Handover (MIH) dibutuhkan dalam mengatur proses
handover dalam jaringan heterogen tersebut. Genetic Zone Routing Protocol (GZRP) sebagai
hybrid routing protocol memiliki kelebihan yaitu mampu melakukan untuk penyeimbangan
beban trafik (load balancing).
Integrasi jaringan High Speed Downlink Data Access (HSDPA) dan Wi-Fi (802.11g)
dilakukan dengan menggunakan algoritma vertical handover dengan MIH dan kontrol
parameter jaringan, serta protokol routing GZRP. Selain itu pengubahan radius pada protokol
routing dengan transmission power level dapat meningkatkan efisiensi energi dari jaringan.
Peningkatan performa jaringan dengan pengubahan algoritma protokol routing GZRP serta
kontrol VHO dengan parameter jaringan didapatkan jika dibandingkan dengan jaringan VHO
biasa, secara keseluruhan terdapat peningkatan 54% untuk throughput dan peningkatan 50%
pada efisiensi energi.
Kata kunci : Wi-Fi Offload, VHO, GZRP, MIH
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Y.M.E, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
kami dapat menyelesaikan laporan tengah Penelitian Multi Disiplin Perguruan Tinggi.
Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat laporan
kemajuan penelitian yang dilakukan. Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dari berbagai
pihak sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Dr. Ir. Anik Herminingsih, M. Si, selaku Kepala Pusat Penelitian UMB.
(2) Kolega di Fakultas Teknik – Universitas Mercu Buana atas suport yang diberikan.
Sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan laporan ini. Akhir kata,
kami berharap Tuhan Y.M.E berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………………...
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………………
RINGKASAN…………………………………………………………………………….
PRAKATA……………………………………………………………………………......
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………
BAB 1. PENDAHULUAN……………………………………………………………….
1.1.Pendahuluan……………………………………………………………………..........
1.2.Identifikasi Masalah…………………………………………………………………..
1.3.Batasan Penelitian…………………………………………………………………….
1.4.Hipotesis Penelitian…………………………………………………………………..
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………
2.1. Wi-Fi Offload………………………………………………………………………..
2.2. Mobile Ad hoc NETwork (MANET)………………………………………………..
2.3. Genetic Algorithm…………………………………………………………………
2.3.1. Encoding…………………………………………………………………………
2.3.2. Inisiasi, Fitness, Seleksi……………………………………………………………
2.3.3. Cross Over…………………………………………………………………………
2.3.4. Mutasi……………………………………………………………………………...
2.4. HSDPA – Wi-Fi Offload…………………………………………………………….
2.4.1. HSDPA…………………………………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vii
viii
ix
1
1
3
3
4
5
5
6
9
10
11
12
13
13
14
2.4.2. 802.11g…………………………………………………………………………….
2.4.3. Vertical Handover………………………………………………………………….
2.4.4. Media Independent Handover……………………………………………………
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….
3.1. Tujuan Penelitian…………………………………………………………………….
3.2. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………
BAB 4. METODE PENELITIAN………………………………………………………..
4.1. Perancangan Sistem………………………………………………………………….
4.2. Arsitektur Jaringan Offload………………………………………………………….
4.3. Perhitungan Parameter……………………………………………………………….
4.4. Fitness Function……………………………………………………………………...
4.5. Algoritma GZRP – Modified ………………………………………………………
4.6. SNR, BLER, CQI…………………………………………………………………….
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI………………………………………………………
5.1. NS2 dan Modul Terkait……………………………………………………………
5.2. Parameter Simulasi…………………………………………………………………..
5.3. Simulasi……………………………………………………………………………..
5.3.1. Efek Algoritma Genetik pada Jaringan MANET…………………………………
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA……………………………………….
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………….
7.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..
7.2 Saran …………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………
LAMPIRAN
- Submit Paper pada Advanced Research in Electrical and Electronics 2015
15
16
17
19
19
19
20
20
22
23
25
26
32
35
35
35
37
37
47
48
48
48
49
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Parameter Standard IEEE 802.11…………………………………………..
Tabel 2.2. Parameter dan Jenis Hand Off……………………………………………..
Tabel 4.1. Data Rate, TBS dan TTI…………………………………………………...
Tabel 4.2. Hubungan CQI dan TBS…………………………………………………...
Tabel 5.1. Parameter-parameter simulasi……………………………………………
Tabel 5.2. Paramter tambahan simulasi vertical Hand Off……………………………
Tabel 5.3. Hubungan Kecepatan, Daya dan Probabilitas……………………………
Tabel 5.4. Perbandingan Paket Loss…………………………………………………..
15
16
33
34
36
37
43
45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Arsitektur Sederhana Jaringan Offload………………………………….
Gambar 2.2. Komponen ZRP………………………………………………………….
Gambar 2.3. Contoh pemilihan node pada ZRP………………………………………
Gambar 2.4. Diagram Alir Produksi Kromosom……………………………………
Gambar 2.5. Extended ST Encoding…………………………………………………..
Gambar 2.6. Cross Over Extended ST Encoding……………………………………..
Gambar 2.7. Mutasi Exteded ST Encoding …………………………………………
Gambar 2.8. Arsitektur HSDPA ……………………………………………………...
Gambar 2.9. Model Referensi MIH ………………………………………………….
Gambar 4.1. Diagram Alir Jaringan Offload …………………………………………
Gambar 4.2 Perancangan Arsitektur Jaringan Offload………………………………..
Gambar 4.3. Proses Pemilihan Rute Transmisi………………………………………..
Gambar 4.4. Proses Seleksi Roulette – Wheel ………………………………………..
Gambar 4.5. Kurva SNR – BLER pada kanal AWGN ……………………………….
Gambar 5.1. Arsitektur Jaringan MANET ……………………………………………
Gambar 5.2. Konsumsi Energi (J) vs Waktu (s) – ZRP dan GZRP …………………..
Gambar 5.3. Perbandingan Jumlah Paket ZRP dan GZRP …………………………...
Gambar 5.4. Energi (J) vs Waktu (s) – ZRP dan GZRP Modified …………………...
Gambar 5.5. Throughput ZRP dan GZRP …………………………………………….
Gambar 5.6. Arsitektur Jaringan UMTS / HSDPA …………………………………
Gambar 5.7. Offload antara UMTS / HSDPA dengan 802.11g……………………….
Gambar 5.8. Perbandingan konsumsi energy VHO dan VHO modifikasi …………
Gambar 5.9. Perbandingan throughput jaringan HSDPA dan HSDPA – 802.11g …..
Gambar 5.10. Throughput VHO dengan pengubahan algoritma ……………………..
5
7
8
10
11
12
13
14
18
21
22
27
30
32
38
39
40
40
41
42
42
44
45
46
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi telekomunikasi dewasa ini sangat cepat, hal ini ditandai
dengan semakin mudahnya untuk mendapatkan perangkat seluler. Kondisi tersebut
menyebabkan peningkatan kebutuhan akan pemakaian data. Di sisi lain, ketersediaan
spektrum yang dapat digunakan untuk layanan aplikasi mobile sangat terbatas, oleh karena
itu diperlukan adanya suatu solusi untuk meningkatkan kapasitas jaringan mobile. Menurut
Cisco, trafik dari perangkat bergerak mencapai 60% dari total perkembangan trafik [1]. Salah
satu metode yang dilakukan guna mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan carrier to interference ratio sekaligus memperkecil ukuran sel atau dengan
mengimplementasikan teknologi small cell. Wireless Fidelity (Wi-Fi) merupakan salah satu
teknologi small cell yang sudah dikenal dan banyak diimplementasikan secara eksklusif.
Jaringan Wi-Fi memiliki bandwidth yang lebih besar dari 3G dan lebih kecil dari LTE, serta
memiliki efisiensi daya yang lebih baik jika dibandingkan dengan teknologi seluler lainnya,
seperti 3G dan LTE [2]. Penggunaan kentungan-keuntungan yang ditawarkan Wi-Fi dapat
melakukan penyeimbangan trafik atau beban dari jaringan makro seluler dan peningkatan
efisiensi daya pada jaringan, sedangkan batasan cakupan akses yang dimiliki jaringan Wi-Fi
dapat diatasi dengan melakukan integrasi dengan jaringan makro seluler, hal ini dikenal
sebagai Wi-Fi offload. Uji performansi dari 3G –Wi-Fi Offload dilakukan pada jaringan di
perkotaan yang dijelaskan pada [3].
Arsitektur Mobile Advanced Delivery Network (MADNet) memungkinkan jaringan
Wi-Fi meneruskan lalu lintas ke jaringan lainnya dengan cepat; sebagai solusi dari Wi-Fi
Offload dibutuhkan algoritma Vertical Handover (VHO) yang berguna untuk mengatur
pemindahan trafik dari jaringan seluler ke jaringan Wi-Fi. Penggunaan VHO pada jaringan
nirkabel telah dijelaskan pada [4] dan [5]. Permasalahan yang terjadi pada jaringan Wi-Fi
offload adalah tidak adanya protokol yang mengatur pengambilan keputusan offload dan
pengambilan rute yang dapat memenuhi parameter-parameter kedua jaringan secara optimal.
Berdasarkan kelemahan yang ada tersebut, maka penelitian dilakukan menggunakan protokol
routing pada Mobile Ad-hoc Network (MANET) guna mensolusikan permasalahan yang ada,
dimana setiap terminal mobile memiliki fungsi sebagai node dan router. Parameter-parameter
yang harus dipenuhi dalam jaringan yang diajukan adalah daya, dan bandwidth. Daya
transmisi merupakan parameter yang paling penting karena mempengaruhi berbagai aspek
dalam jaringan. Jangkauan transmisi maksimum ditentukan oleh besarnya daya transmisi
karena mempengaruhi kekuatan sinyal. Lebih lanjut jangkauan transmisi akan mempengaruhi
nilai kapasitas trafik jaringan. Delay juga ditentukan oleh tingkat daya transmisi, karena
dengan lebih besarnya daya transmisi jangkauan menjadi lebih besar, sehingga tidak
diperlukan banyak hop atau perpindahan node untuk mencapai node destinasi.
Genetic Zone Routing Protocol (GZRP) pada MANET digunakan untuk
menyeimbangkan beban antara jaringan seluler dan jaringan Wi-Fi. Berdasarkan [6][7], untuk
memperoleh efisiensi daya yang baik dapat digunakan GZRP. Diimplementasikan
pengembangan algoritma GZRP yang bekerja berdasarkan multicast routing untuk
optimalisasi efisiensi daya. Implementasi GZRP dan VHO pada jaringan 3G UMTS –Wi-Fi
Offload dijelaskan pada [8] dan [9] dimana digunakan beberapa base station dan access point.
Fokus penelitian [8] adalah pada peningkatan performansi dengan VHO dari segi delay,
kekuatan sinyal serta throughput, penggabungan protokol routing GZRP dan AOMDV
dilakukan pada [9], kedua referensi tidak memperhitungkan parameter –parameter dalam
melakukan transmisi. Model yang dirancang pada penelitian ini memfokuskan kepada kontrol
penggunaan energi dan peningkatan throughput dengan memberikan beberapa batasan akibat
kondisi jaringan serta kanal, selain itu terdapat perubahan dalam algoritma GZRP dan
pemilihan parameter jaringan sebagai kontrol dalam VHO. Jaringan yang dirancang
merupakan jaringan delay tolerant, waktu dalam proses routing atau VHO tidak
diperhitungkan.
Simulasi dilakukan dengan empat skenario, yaitu :
1. Simulasi handover antar node mobile maupun statis pada jaringan 802.11g dengan
protokol routing GZRP;
2. Simulasi Vertical Handover (VHO) pada jaringan UMTS/HSDPA –802.11g dengan
GZRP;
3. Handover antar node 802.11g dengan GZRP yang telah dimodifikasi;
4. Handover pada jaringan UMTS/HSDPA –802.11g dengan GZRP yang telah dimodifikasi.
VHO diterapkan pada sisi Gateway GPRS Support Node (GGSN) untuk load balancing
antara kedua jaringan; GZRP diimplementasikan di sisi gateway access point untuk
mendapatkan jalur yang paling optimal dalam efisiensi daya dan penyeimbangan trafik (load
balancing). Hasil dari simulasi dapat membuktikan bahwa penggunaan VHO dan pengubahan
algoritma dari GZRP dengan penyesuaian terhadap fitness function dapat menghasilkan
efisiensi daya yang lebih baik daripada GZRP tanpa pengubahan algoritma. Dengan
penggunaan algoritma ini jaringan mendapatkan peningkatan performa throughput, jaringan
dengan GZRP dapat mencapai 5.5 Mbps dan 9.6 Mbps untuk keseluruhan jaringan yang
dirancang, dibandingkan dengan [9] yang memiliki throughput maksimum 8 Mbps serta [8]
dengan maksimum throughput sebesar 2.5 Mbps untuk GZRP dan 4 Mbps untuk jaringan
VHO. Peningkatan efisiensi energi antara ZRP dan GZRP extended sebesar 0.211509 joule
menjadi 0.209212 joule, dan antara VHO dan model jaringan yang dirancang sebesar 35%.
1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dibatasi pada hal-hal berikut:
1. Vertical Handover (VHO) pada jaringan seluler UMTS/HSDPA dengan Wi-Fi
802.12g
2. Implementasi protokol routing GZRP pada jaringan sebagai load balancing
3. Pengubahan algoritma dan fitness function untuk meningkatkan efisiensi energi yang
terjadi pada jaringan.
1.3. Batasan Penelitian
Batasan peneilitian adalah penerapan konsep load balancing pada Jaringan Mobile Ad-Hoc
Network (MANET) kedalam teknologi Metropolitan Advanced Delivery Network
(MADNET) yakni 3G – WiFi Offload. Model sistem tersebut adalah menggabungkan
Algoritma VHO yang sudah diaplikasikan pada Wi-Fi Offload dengan Load Balancing yang
pernah diaplikasikan pada MANET.
1. Konsep algoritma GZRP pada MANET serta konsep algoritma VHO pada MADNET
2. Algoritma baru dari kombinasi Algoritma GZRP dan VHO untuk optimalisasi load
balancing beban trafik data
3. Simulasi algoritma baru pada simulator NS-2 sehingga mendapatkan hasil yang
menandakan adanya perbaikan sistem load-balancing dan offloading teknologi
jaringan 3G – WiFi Offload.
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitianni adalah sebagai berikut :
1. Teknik algoritma / system cerdas yang menggunakan algoritma GZRP pada mobile
station guna melakukan proses sinkronisasi dengan sistem pada jaringan 3G baik idle
maupun dedicated, memberikan penghematan pada penggunaan power baik disisi
base station maupun mobile station, serta mampu memaksimalkan kualitas throughput
pada sisi customer.
2. Pada proses handover Wi-Fi Offload terdapat teknik algoritma VHO yang mampu
mengalihkan trafik sehingga proses handover dapat berlangsung lebih baik dan durasi
dalam melakukan handover lebih kecil.
3. Penelitian diharapkan dapat diterapkan pada sistem komunikasi nirkabel dan dapat
memberikan kontribusi yang kuat untuk pengembangan teknologi nirkabel di masa
depan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wi-Fi Offload
Salah satu sumber daya alam (SDA) di bidang telekomunikasi yang termasuk dalam
klasifikasi SDA terbatas adalah spektrum radio. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu
pemanfaatan spektrum yang tersedia untuk komunikasi mobile secara optimal. Pada system
komunikasi seluler, terdapat suatu kondisi dimana kondisi kanal yang memadai frekuensi
pembawa digunakan kembali (frequency re-use), hal ini akan meningkatkan kapasitas sistem
dengan cara membuat ukuran sel menjadi lebih kecil. Hal ini memberikan efek yaitu [10]:
Interferensi antar sel yang menggunakan frekuensi yang sama serta peningkatan frekuensi
handover, yang berarti peningkatan delay. Wi-Fi offload memungkinkan pengguna untuk
mentransmisikan data melalui base station atau memindahkan sebagian data ke jaringan Wi-
Fi dari jaringan seluler. Gambar 2.1 menunjukkan arsitektur sederhana dengan menggunakan
kedua jaringan, seluler dan Wi-Fi. Jangkauan geografis pengguna yang berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya (mobile) menjadi lebih luas dengan penggunaan offload.
Gambar 2.1 Arsitektur Sederhana Jaringan Offload [11]
Beberapa faktor, seperti : jarak receiver dengan transmitter, lingkungan propagasi
nirkabel, beban akses jaringan serta kapabilitas teknologi sangat mempengaruhi kinerja
jaringan 3G - WiFi Offload dalam memberikan layanannya kepada pengguna jaringan.
Pengguna jaringan dapat aktif dalam berkomunikasi baik pada jangkauan seluler, Wi-Fi,
maupun keduanya dengan perbedaan kualitas link yang dipengaruhi beberapa faktor yang
telah disebutkan sebelumnya.
Dikenal adanya dua kategori offloading yaitu on the spot dan delayed. Pada
offloading kategori on the spot; data langsung digunakan ketika akses ke jaringan Wi-Fi, dan
ketika pengguna berada di luar jangkauan Wi-Fi maka data yang belum terunduh akan
diproses melalui jaringan seluler. Sedangkan pada delayed offloading akan didefinisikan
maksimum waktu delay yang dapat ditolerir atau disebut dengan deadline, kemudian data
akan diunduh menggunakan koneksi ke jaringan Wi-Fi dan jika data belum selesai diunduh
maka bagian tersebut akan disampaikan ke pengguna dengan menggunakan jaringan seluler.
Delayed offloading dianggap lebih baik digunakan, karena bagi pengguna yang mobile,
waktu dan jangkauan koneksi lebih kecil.
2.2 Mobile Ad hoc NETwork (MANET)
Jaringan Mobile Ad hoc NETwork (MANET) merupakan jaringan nirkabel bergerak
yang tidak memiliki infrastruktur yang tetap, terorganisir secara otomatis dan merupakan
jaringan multi hop dengan topologi yang berubah secara cepat. Dalam MANET node tidak
hanya bertindak sebagai host tetapi juga sebagai router yang memutuskan jalur yang harus
dilalui data ke destinasi dengan efisien dan cost yang rendah. Terdapat beberapa karakteristik
MANET yaitu: topologi yang dinamis, batasan bandwidth, variasi kapasitas link, keamanan
secara fisik yang terbatas, serta batasan energi dalam operasi [6].
Protokol MANET dibagi dalam tiga kelas protokol routing yaitu proaktif, reaktif, dan
hybrid. Protokol routing reaktif hanya dapat membuat rute transmisi ketika dibutuhkan atau
disebut on demand, sedangkan dalam protokol routing proaktif node-node terus melakukan
pembaharuan pada tabel routing yang mereka miliki setiap periode tertentu (table driven).
Pada protokol routing hybrid, digunakan kedua konsep protokol routing konvensional
tersebut dengan pengubahan algoritma pada masing-masing jenis protokol hybrid. Node
dalam MANET dapat berpindah-pindah, topologi berubah secara dinamis sehingga jalur
antara pengirim dan penerima tidak selalu sama dalam proses transmisi data, sedangkan
sumber daya node terbatas. Transmisi secara multicast memungkinkan terbentuknya routing
tree dengan node sumber sebagai root dan node destinasi sebagai leaf, hal ini dikarenakan
dalam transmisi multicast dapat dilakukan transmisi data melalui beberapa jalur secara
bersamaan. Routing tree ini dapat digunakan untuk melakukan pemilihan jalur yang optimal
ketika terjadi perubahan topologi. Penggunaan protokol routing yang tepat dibutuhkan untuk
mendapatkan performa jaringan yang optimal dengan metrik yang sudah ditentukan.
Menentukan protokol multicast routing yang sesuai dengan jaringan dapat dilakukan
berdasarkan: Path redundancy, Mode dari komputasi rute, Efisiensi energi dan QoS metric
Guna mengantisipasi terjadinya perubahan topologi yang cepat pada jaringan
MANET, maka dibutuhkan protokol routing dengan daya transmisi yang rendah serta
hubungan antara node yang asimetris. Zone Routing Protocol (ZRP) memiliki keuntungan
dari protokol routing proaktif dan reaktif. Dalam zona yang terbatas, ZRP menggunakan
prinsip kerja dari protokol routing proaktif sehingga pengaturan informasi routing dapat
dioptimalisasi, sedangkan node yang jauh dari node sumber dapat dijangkau dengan protokol
routing reaktif. Protokol routing ini digunakan untuk mengurangi control overhead pada
protokol routing proaktif dan mengurangi latensi pada protokol routing reaktif. ZRP bekerja
dengan konsep zona yang didefinisikan bagi setiap node secara terpisah, sehingga terdapat
zona-zona yang overlap, hal ini yang digunakan untuk mencari jalur terbaik dalam proses
transmisi data. Zona routing ini memiliki radius yang diekspresikan dengan jumlah hop ρ.
Terdapat tiga komponen routing pada ZRP yaitu komponen routing proaktif Intrazone
Routing Protocol (IARP), komponen routing reaktif Interzone Routing Protocol (IERP) dan
Bordercast Resolution Protocol (BRP). Arsitektur dari ZRP dijelaskan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Komponen ZRP [12]
Proses paling awal yang dilakukan adalah pendeteksian neighbor node dan kondisi
link yang dilakukan dengan Neighbor Discovery Protocol (NDP) pada layer MAC. NDP
mengirimkan Hello Beacon setiap jangka waktu tertentu dan memperbaharui tabel neighbor
node, setiap terjadi pembaharuan IARP akan mendapatkan peringatan untuk melakukan
perubahan pada tabel routing. IERP menggunakan tabel routing yang dihasilkan IARP untuk
merespon rute query. IERP mengirimkan rute-rute query tersebut ke BRP, yang selanjutnya
memisahkan rute-rute tersebut dengan menggunakan tabel IARP.
Suatu node yang memiliki paket harus memeriksa tujuan dari paket tersebut, jika node
tujuan berada di dalam zona lokal maka hanya akan digunakan informasi yang diberikan
IARP. Node sumber akan mengirimkan route request ke node yang berada di perbatasan zona
lokal dengan menggunakan BRP, kemudian jika node penerima mengetahui alamat
tujuannya, akan dilakukan route reply dengan mengirimkan informasi routing dan kondisi
link hingga mencapai node tujuan. Jika node tujuan tidak berada di dalam zona lokal, maka
node bordercast akan mengirimkan route request ke setiap node pada perbatasan zona,
kemudian node yang dapat mencapai node tujuan akan mengirimkan informasi routing
kembali ke sumber. Sumber akan melakukan perhitungan multicast dan menambahkan
instruksi routing pada paket yang mengandung data yang ingin ditransmisikan, paket akan
dikirimkan ke node destinasi dengan IERP. Gambar 2.3 menunjukkan sejumlah node dan
zona lokal untuk node sumber I. Node D, F, Q, R, S, dan T merupakan node peripheral.
Gambar 2.3. Contoh Pemilihan Node pada ZRP [12]
Kontrol query diperlukan untuk mengatasi masalah node yang meneruskan route
request beberapa kali akibat zona yang overlap, yang menghasilkan lebih besar trafik
daripada yang seharusnya. Node akan mengirimkan query dengan cara bordercasting, akan
tetapi query akan melewati keseluruhan zona routing sehingga mengkakibatkan flooding.
ZRP memiliki mekanisme kontrol query yang dapat mengarahkan paket query agar tidak
dikirimkan ke node perbatasan zona yang sudah menerima paket query.
Implementasi ZRP yang diubah dengan menggunakan algoritma genetik dapat
digunakan untuk menyeimbangkan pembebanan trafik data pada jaringan dan mengatasi
kongesti. Protokol routing untuk mengatasi load balancing dapat dibagi ke dalam tiga
kategori yaitu delay, trafik, dan hybrid. Genetic Zone Routing Protocol (GZRP) merupakan
pengembangan dari ZRP dan termasuk di dalam protokol routing hybrid yang dapat
digunakan untuk mengatasi load balancing dan kongesti. Aktivitas genetik pada GZRP
digunakan untuk efisiensi node pada jalur end to end dan delay dalam proses transmisi.
2.3 Genetic Algorithm
Optimalisasi penggunaan protokol routing untuk memenuhi metric tertentu dapat dilakukan
dengan menggunakan algoritma genetik. Algoritma Genetik berasal dari konsep seleksi
natural dan genetika, dengan set seluruh kemungkinan yang terjadi yang disebut populasi.
Algoritma ini juga berfungsi untuk mencari solusi yang paling memungkinkan, jika tidak
terdapat solusi dalam set populasi yang memiliki nilai optimal maka dapat dihasilkan set
solusi baru dengan kombinasi atau pergantian kromosom pada setiap set. Proses dari
Algoritma Genetik terdiri dari [13]:
- Encoding
- Inisiasi set populasi
- Evaluasi fitness function
- Seleksi
- Reproduksi
- Crossover
- Mutasi
Pertama dibangun sebuah set dari beberapa multicast tree, minimal dua, dari topologi
jaringan yang ada. Tahap selanjutnya adalah dilakukan proses encoding dari pohon-pohon
rute multicast tersebut, kemudian dilakukan inisiasi set populasi. Jalur routing kemudian
dipilih dari beberapa set populasi berdasarkan tingkat kecocokannya terhadap fungsi yang
didefinisikan sebelumnya. Seleksi rute transmisi data dipilih ketika terdapat set kromosom
yang sesuai dengan fitness function, jika set tidak memenuhi fungsi maka akan dibangun set
baru dengan crossover atau mutasi. Gambar 2.4 menjelaskan produksi kromosom dari set
populasi.
Gambar 2.4 Diagram Alir Produksi Kromosom[13]
2.3.1 Encoding
Multicast tree yang terdiri dari beberapa kromosom atau rute dengan sejumlah node
dari jaringan akan diubah kedalam beberapa string dengan proses encoding, selanjutnya
diproses untuk pemilihan jalur terbaik untuk transmisi data pada jaringan. Terdapat tiga tipe
encoding yaitu:
- Prufer number encoding
- Extended ST encoding
- NPI encoding
Prufer number encoding menggunakan angka yang unik dengan sekuensi (n-2). Hasil
encoding memberikan dua string yaitu Pn (prufer number string) dan Pl (leaf node string)
pada pohon set populasi. Extended ST encoding menggunakan sejumlah string integer yang
disebut sebagai kromosom untuk menghasilkan solusi-solusi yang mungkin dari set populasi.
Node Parent Index (NPI) encoding menggunakan sebuah array yang memiliki panjang 2n
elemen dari pohon dengan n buah node. Setiap node akan diberikan indeks berdasarkan
posisinya dan indeks dari posisi parent dari node tersebut.
Tipe encoding yang akan digunakan dalam topologi yang diajukan adalah extended
ST encoding. Langkah pertama dalam proses encoding ini adalah dengan mendefinisikan dua
array integer s[n] dan t[n], serta sebuah integer i untuk mendefinisikan indeks posisi. S[i]
akan mendefinisikan node id, t[i] mendefinisikan indeks posisi parent dari node s[i]. parent
dari node terakhir pada masing-masing cabang akan diberikan id sesuai dengan indeks i
masing-masing node terakhir tersebut. Gambar 2.5 menunjukkan contoh dari extended ST
encoding pada suatu multicast tree.
Gambar 2.5 Extended ST Encoding [14]
Sebagai contoh pada gambar 2.5 didapatkan string sekuensi s {1,4,5,3,6,2,8,7} dan
string topologi t {0,1,2,2,1,5,1,7}. String t{i} diawali dengan indeks 0 karena indeks i 1 tidak
memiliki parent node.
2.3.2 Inisiasi, Fitness, Seleksi
Setiap string yang dihasilkan melalui proses encoding merepresentasikan rute
multicast, selanjutnya dibentuk populasi awal dari string yang sudah dipilih untuk selanjutnya
diproses dengan menguji tingkat kecocokannya dengan fungsi yang didefinisikan. Fitness
function digunakan untuk mengevaluasi efisiensi yang dihasilkan oleh setiap individual
solusi, setiap solusi harus memenuhi metric yang dibutuhkan untuk menyesuaikan aplikasi
jaringan yang dibentuk. Fitness function akan dijelaskan dengan penyesuaian metric yang
diinginkan dalam aplikasi jaringan yang diajukan. Setelah melalui evaluasi, proses seleksi
dilakukan untuk mendapatkan solusi-solusi yang paling cocok dengan fungsi untuk iterasi
selanjutnya. Proses seleksi tidak menjamin keoptimalan global, untuk itu ketika tidak dicapai
solusi yang optimal dari rute multicast maka akan dilakukan proses crossover dan atau
mutasi.
2.3.3 Crossover
Crossover dilakukan untuk mendapatkan jalur routing yang paling sesuai dengan
fitness function. Beberapa pohon routing yang dipilih dari proses seleksi akan menghasilkan
pohon routing yang baru dan optimal. Kromosom parent dipilih dari kumpulan kromosom
pada pohon routing yang dipilih, dimana titik inisiasi dan panjang segmen dari kromosom
parent yang akan ditukar dan digabungkan dipilih secara acak. Crossover yang akan
digunakan disesuaikan dengan proses encoding, yaitu extension ST encoding. Pada proses ini
diawali dengan memilih ukuran node dan panjang dari parent s dan t, dimana nilainya harus
sama. Kemudian dipilih node inisiasi dan node akhir yang akan diambil untuk crossover.
Pengulangan pada kromosom dalam string s[i] tidak diperbolehkan, karena kromosom s
mendefinisikan sekuensi dari kromosom pada set populasi. Kromosom t mendefinisikan
topologi jaringan sehingga diperbolehkan adanya pengulangan. Gambar 2.6 menjelaskan
proses kromosom dari pohon multicast pada contoh sebelumnya. Disini gen kedua hingga
keempat diambil tanpa adanya pengubahan posisi karena sudah sesuai dengan fungsi yang
didefinisikan.
Gambar 2.6 Crossover Extended ST Encoding[14]
Terdapat dua parent, dan gen nomor 2 hingga nomor 4 diambil dari parent pertama,
sedangkan gen lainnya diambil dari parent kedua tanpa menduplikasi sifat yang sudah diiliki
oleh gen dari parent pertama.
2.3.4 Mutasi
Mutasi merupakan proses dimana terjadi pengubahan gen dan perubahan susunan gen
pada kromosom untuk mendapatkan set yang paling optimal. Keuntungan dari mutasi pada
algoritma genetik adalah mutasi mampu untuk melakukan pengujian dan mendukung
populasi yang besar, solusi yang tidak memenuhi fungsi tidak akan mempengaruhi hasil akhir
karena ditolak pada proses evaluasi kecocokan, mutasi dapat dilakukan pada pemenuhan
fungsi yang kompleks maupun sederhana.
Gambar 2.7 Mutasi Extended ST Encoding [14]
Mutasi dalam extended ST encoding dimulai dengan mengambil beberapa gen dari
kromosom t. Nomor-nomor dari kromosom t ini adalah indeks dari parent node, kemudian
didefinisikan core node dari kromosom s yang sesuai dengan indeks pada kromosom t. Node
lainnya merupakan leaf node, dimana node ini akan menggantikan posisi core node. Pada
gambar 2.7 diberikan contoh dari mutasi extended ST encoding ini, dimana kromosom
dengan node id 7 dan 2 pada set S [i] ditukar untuk menghasilkan jalur yang lebih sesuai
dengan fitness function.
2.4 HSDPA –Wi-Fi Offload
Offload dapat digunakan untuk menyeimbangkan trafik dan mengatasi permasalahan-
permasalahan yang terjadi pada setiap jaringan ketika digunakan secara eksklusif. Akan
dirancang simulasi jaringan offload dengan menggunakan teknologi jaringan HSDPA dan
IEEE 802.11g.
2.4.1 HSDPA
High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) merupakan protokol komunikasi
mobile dari keluarga High Speed Packet Access (HSPA) berdasarkan jaringan 3G. Jaringan
ini memberikan latensi yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi 3G lainnya, dan bisa
disebut dengan 3.5 G. Fasa pertama HSDPA didefinisikan dalam 3GPP rel 5 dengan data rate
mencapai 14 Mbit/s [14]. Fasa kedua dari HSDPA dijelaskan dalam 3GPP rel 7 dengan data
rate mencapai 42.2 Mbit/s dengan teknologi Multiple Input Multiple Output (MIMO)[14].
HSDPA didesain untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan efisiensi spektrum,
sehingga lebih banyak pengguna yang dapat menggunakan data rate yang lebih tinggi pada
satu sinyal carrier. HSDPA dapat mencapai data rate pengguna yang tinggi dengan
mengaplikasikan skema modulasi 16 QAM dengan turbo code, satu kanal digunakan untuk
overhead. Terdapat perubahan pada sublayer MAC, menjadi MAC-hs yang ditambahkan
pada node B.
Gambar 2.8 Arsitektur HSDPA [15]
Terdapat tiga teknik dasar yang digunakan dalam HSDPA yaitu Adaptive Modulation
and Coding (AMC), Hybrid Automatic Repeat Request (HARQ), dan Fast Scheduling untuk
meningkatkan throughput dan delay yang lebih rendah. AMC menjaga daya pada node tetap
saat modulasi dan pengkodean diubah untuk beradaptasi dengan variasi kanal. Karena format
modulasi dan pengkodean menyesuaikan kanal maka throughput rata –rata dari sebuah cell
dapat ditingkatkan. Waktu round trip dalam proses retransmisi dikurangi dengan
menggunakan HARQ, dimana paket yang salah disimpan dan dikombinasikan dengan paket
yang ditransmisikan kembali untuk memperbaiki paket yang bebas dari error.
Jaringan ini bekerja berdasarkan fast Node B scheduling, dimana node B menghitung
kualitas kanal dari setiap pengguna HSDPA yang aktif. Ketika node B mengambil keputusan
pengguna yang akan dilayani, data akan dikirimkan secara kontinyu selama nilai TTI 2ms.
2.4.2 802.11g
Standard IEEE yang beroperasi pada frekuensi 2.4 GHz dengan data rate maksimum
mencapai 54 Mbps, 802.11g menggunakan kombinasi transmisi OFDM dan DSSS. Tabel 2.1
memberikan informasi mengenai parameter beberapa standard WLAN 802.11.
Tabel 2.1 Parameter Standard IEEE 802.11 [16]
Throughput yang diberikan 802.11g bergantung kepada jumlah faktor lingkungan dan
aplikasi yang digunakan, dengan aproksimasi sebesar 8 –22 Mbps. 802.11b dan 802.11g
memiliki kanal yang saling “overlap”, akan tetapi dengan penggunaan OFDM pada 802.11g,
access point dengan teknologi 802.11b tidak dapat memproses paket tersebut sebagai
perlindungan dari data collission.
Terdapat hubungan terbalik antara panjang gelombang dan jangkauan transmisi,
sinyal yang ditransmisikan dalam frekuensi spektrum yang lebih rendah akan memiliki
panjang gelombang yang lebih besar, jangkauan propagasi yang lebih jauh, serta lebih baik
dalam propagasi melalui permukaan solid[16]. Faktor selanjutnya yang harus diperhatikan
adalah daya transmisi dan sensitivitas antena penerima. Pemilihan tipe transmisi akan
mempengaruhi nilai daya transmisi maksimum. Daya yang terlalu besar untuk ditangani sisi
penerima akan mempengaruhi sensitivitas antena penerima, fenomena ini dikenal dengan
nama Error Vector Magnitude (EVM). Dengan penggunaan OFDM, 802.11g dapat
meningkatkan data rate dengan daya transmisi yang lebih rendah.
2.4.3 Vertical Handoff
Mobile terminal saat ini sudah dilengkapi dengan beberapa interface, sehingga
pengguna dapat memilih untuk menggunakan jaringan yang diinginkan. Akan tetapi setiap
jaringan dan aplikasi memiliki quality of service (QoS) masing-masing, sehingga untuk
menjaga QoS terpenuhi ketika berpindah dari suatu jaringan ke jaringan lainnya dibutuhkan
suatu algoritma untuk memutuskan jalur yang tepat. Algoritma ini dikenal dengan nama
handoff yang terbagi dalam dua tipe yaitu horizontal handoff dan vertical handoff. Horizontal
handoff digunakan ketika terjadi perpindahan dalam satu teknologi akses jaringan nirkabel.
Sistem Vertical Handoff (VHO) memungkinkan pengguna untuk berpindah di antara
dua atau lebih teknologi akses jaringan nirkabel yang berbeda dalam suatu proses transmisi
atau menerima data tanpa loss dalam QoS. Operasi VHO harus memberikan overhead yang
minimum, autentikasi pengguna jaringan mobile, dan menjaga koneksi untuk meminimalisir
packet loss dan transfer delay. Perbedaan parameter antara horizontal dan vertical handoff
dijelaskan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Parameter dan jenis Handoff [17]
VHO terdiri dari tiga proses yaitu system discovery, vertical handoff decision, dan
vertical handoff execution. Pada system discovery, mobile node melakukan pencarian
terhadap jaringan-jaringan yang dapat dijangkau. Tahap selanjutnya diputuskan jaringan yang
sesuai dengan parameter-parameter dan kondisi dari jaringan yang sedang digunakan dan
jaringan yang akan diakses. Mobile node kemudian berpindah jaringan sesuai dengan
keputusan pada tahapan sebelumnya. Klasifikasi VHO berdasarkan arah, proses, kontrol, dan
keputusan menghasilkan empat tipe yaitu [17]:
- Upward dan downward handoff
- Hard and soft handoff
- Imperative dan alternative handoff
- Mobile controlled dan network controlled handoff
Parameter sangat dibutuhkan dalam melakukan VHO untuk memperoleh performa
jaringan yang lebih baik, akan tetapi dengan banyaknya parameter dan kombinasi dari
parameter statis dan dinamis, dihasilkan waktu membuat keputusan dan kompleksitas
algoritma yang lebih besar. Beberapa grup parameter yang dapat mempengaruhi keputusan
VHO antara lain [17]:
- Network: bandwidth, latensi, RSS, cost, keamanan
- Parameter yang berhubungan dengan terminal: kecepatan, daya baterai, informasi
lokasi
- Parameter yang berhubungan dengan pengguna: profil pengguna dan preferensi
- Parameter yang berhubungan dengan servis: kapasitas servis, QoS
Parameter-parameter ini juga dapat dikategorikan kedalam parameter statis (cost,
keamanan, daya yang dikonsumsi) dan dinamis (bandwidth, latensi, Received Signal
Strength, Throughput, Bit Error Rate, kecepatan, user preference, load balancing). Algoritma
dari VHO berdasarkan sejumlah metric yang diinginkan. Fungsi dari VHO digunakan untuk
memutuskan jaringan yang akan digunakan dan waktu pemakaiannya. Jaringan dengan nilai
Vertical Handoff Decision Function (VHDF) akan dipilih untuk mendapatkan jaringan
terbaik atau jaringan yang sesuai dengan keinginan pengguna. Kualitas dari jaringan
ditentukan dengan fungsi (2.1):
Qj = f (CS, Si, 1 / , NCi, Npi) …………… (2.1)
Dengan CS, adalah biaya dari servis, S, merupakan keamanan, PC, merupakan daya
yang digunakan, NC, adalah kondisi jaringan, dan NP, performa jaringan. Fungsi VHO yang
akan digunakan pada jaringan yang diajukan.
2.4.4 Media Independent Handover
IEEE 802.21 Media Independent Handover (MIH) merupakan standard yang
memungkinkan pembagian informasi link layer dan informasi lainnya mengenai jaringan ke
layer-layer yang lebih tinggi untuk mengoptimalisasi handover antara jaringan heterogen.
MIH digunakan untuk mengatasi permasalahan pada sistem handover seperti delay dan
packet loss, dengan cara mengatur batasan nilai sinyal dan probabilitas untuk terjadinya event
link going down. Merupakan sebuah layer logik yang bertempat diantara link layer dan
network layer. Model MIH dijelaskan dalam gambar 2.9 dimana link layer saling
berhubungan dengan MIH.
Gambar 2.9 Model Referensi MIH [18]
Terdapat tiga pelayanan dalam MIH yaitu media independent event service (MIES),
media independent command service (MICS), serta media independent information services
(MIIS) [18]. MIES mendeteksi seluruh kejadian di layer MAC dan fisik. MICS memberikan
perintah kepada pengguna sebagai properti dari pengontrolan link. MIIS memberikan
informasi mengenai jaringan lainnya dan pelayanan yang diberikan.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah memodelkan dua jaringan nirkabel yang berbeda,
yaitu HSDPA dan IEEE 802.11g dengan Vertical Handover dan penggunaan protokol routing
GZRP untuk mendapatkan peningkatan performa dalam sisi penggunaan energi, dan
penyeimbangan trafik.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi pemahaman terhadap offload dalam
jaringan nirkabel, implementasi protokol routing dari jaringan MANET dalam jaringan
MADNet, serta pengubahan algoritma protokol routing dan penambahan aturan pada proses
VHO sebagai usaha optimalisasi penggunaan daya dan kapasitas. Hasil dari simulasi ini akan
digunakan untuk penelitian lebih lanjut optimalisasi jaringan offload dalam jaringan
MADNet.
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Perancangan Sistem
Sebelum melakukan simulasi, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan seperti
mendefinisikan jaringan yang akan digunakan, menentukan parameter –parameter dan nilai
dari hasil perhitungan, serta algoritma system jaringan. Tahapan dari perancangan jaringan
yang akan disimulasikan dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Mendefinisikan variable keluaran yang diinginkan
- Mendefinisikan protokol routing yang akan digunakan
- Mendefinisikan fungsi fitness yang akan digunakan dalam algoritma protokol routing
- Mendefinisikan tipe serta parameter –parameter jaringan yang ingin digunakan
- Merancang arsitektur jaringan
- Membuat simulasi, simulasi dilakukan dengan bantuan perangkat lunak NS2 dimana
digunakan Otcl dan C++ sebagai bahasa pemrograman. Untuk menjalankan simulasi
parameter jaringan dan algoritma protocol routing didefinisikan dalam skrip tcl dengan
bahasa pemrograman Otcl. Kemudian skrip dapat dijalankan dengan NS2, animasi dapat
dilakukan dengan menggunakan network animator (NAM) yang terintegrasi dengan NS2,
grafik hasil uji performa jaringan didapatkan dengan menggunakan Xgraph yang terintegrasi
dengan NS2.
Gambar 4.1 merupakan prinsip kerja dari jaringan Offload:
Gambar 4.1 Diagram Alir Jaringan Offload
Proses Wi-Fi offload yang dirancang dijelaskan dengan diagram alir pada gambar 4.1.
End Device secara otomatis terhubung dengan jaringan UMTS, jika RSS >RSS threshold
maka akan digunakan jaringan umts, jika nilai RSS lebih kecil dari threshold maka akan
diberikan peringatan link going down dan akan dilakukan inisiasi kondisi jaringan dan
pengecekan RSS pada node Wi-Fi terdekat. Jika jaringan Wi-Fi juga tidak memiliki RSS
yang lebih besar dari threshold, maka permintaan paket dihentikan selama waiting time
tertentu kemudian jaringan end device di non aktifkan. Ketika jaringan yang digunakan
memiliki salah satu parameter yang bernilai 0 dari variabel Mx, maka akan dilakukan vertical
handover. Parameter –parameter yang menentukan handover didefinisikan pada persamaan
4.1.
Mx = F(RSS –RSSth).F(Px –Pth).F(Cx –Cth) 4.1
Dimana RSS merupakan nilai kekuatan sinyal yang diterima, P merupakan energi
yang dimiliki base station atau access point, dan C merupakan kapasitas dari jaringan. Pada
jaringan Wi-Fi diterapkan algoritma dimana ketika kapasitas node yang sedang melakukan
proses transmisi atau menerima data mencapai threshold atau link node tersebut berstatus
“down”diterapkan protokol routing GZRP.
4.2 Arsitektur Jaringan Offload
Arsitektur jaringan yang akan digunakan untuk teknologi offload dijelaskan pada
gambar 4.2. Pada jaringan heterogen, pemindahan jaringan dilakukan yang berarti
pengubahan alamat IP. Hal ini mempengaruhi kondisi dan sesi pada komunikasi yang sedang
berlangsung, sehingga diperlukan algoritma yang mengatur proses handover. Konsep
protokol routing GZRP akan digunakan pada Wireless Access Gateway (WAG). Algoritma
VHO diimplementasikan pada sisi Gateway GPRS Support Node (GGSN) atau biasa disebut
dengan loose coupling. Pada loose coupling mekanisme AAA dilakukan secara terpisah,
yaitu pada bagian jaringan tetap yang terhubung kearah internet, sehingga arsitektur HSDPA
tidak terpengaruh dengan adanya penambahan jaringan Wi-Fi. Pemindahan dan pemrosesan
data pada jaringan heterogen dilakukan pada network layer yang didasarkan penggunaan
mobile IP. GGSN bertindak sebagai gateway antara Radio Network Controller dan core
network. Kekurangan dari penggunaan loose coupling ini adalah pemrosesan vho yang lebih
lambat jika dibandingkan dengan tight coupling.
Gambar 4.2 Perancangan Arsitektur Jaringan Offload
Jalur interkoneksi Wi-Fi serta HSDPA/UMTS bersinggungan pada core network
dengan HLR. Fungsi HLR ini adalah untuk mengubah identifikasi trafik dari suatu jaringan
ke jaringan yang dituju, setiap jaringan memiliki parameter yang berbeda-beda. Untuk
interkoneksi ke arah internet, trafik melalui GGSN apabila berada pada jaringan HSDPA atau
melalui SCE jika berada pada jaringan Wi-Fi. Load balancing yang dilakukan pada akses dari
user ke BTS jika berada pada jaringan HSDPA melalui RNC, atau user ke AP jika berada
dalam jaringan Wi-Fi. Autentikasi dilakukan untuk sekuritas pada kedua sisi jaringan melalui
server AAA Wi-Fi dan AAA UMTS.
4.3 Perhitungan Parameter
Simulasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemakaian teknologi offload dan
protokol routing tertentu pada sisi energi dan beban transmisi, sehingga lingkungan jaringan
diatur agar tidak memberikan pengaruh yang besar. Propagasi dan kanal harus ditentukan
terlebih dahulu, tipe propagasi akan mempengaruhi jangkauan transmisi dan kekuatan sinyal
yang diterima, sedangkan tipe kanal akan mempengaruhi Tipe propagasi Free Space dan
kanal Additive White Gaussian Noise (AWGN).
Pada propagasi free space, receiver berada dalam line of sight (LOS) sehingga tidak
dipengaruhi oleh efek refleksi, difraksi, shadowing, dan scattering. Persamaan 4.2
menjelaskan perhitungan daya yang diterima pada model propagasi Free Space.
Pr = 𝑃t × > ×𝐺𝑟×𝜆² 4.2
(4𝜋 d)2 𝐿
Dimana Pr merupakan Daya yang diterima, Pt merupakan daya yang ditransmisikan,
Gt merupakan Gain transmitter, Gr adalah Gain receiver, λadalah panjang gelombang yang
digunakan, d sebagai jarak antara transmitter dan receiver, serta L merupakan koefisien loss
dari sistem. Estimasi rugi-rugi propagasi dan estimasi jangkauan dapat dilakukan dengan
pendekatan seperti dijelaskan pada persamaan 4.3
L = 32.45 + 20Log10(d) +20Log10(f) 4.3
L merupakan median rugi-rugi propagasi, d merupakan jarak antara transmitter dan
receiver dalam km, dan f merupakan frekuensi yang digunakan dalam MHz. Perhitungan
jangkauan transmisi dalam NS2 dapat dilakukan dengan menjalankan program
~indeps/util/propagation/threshold.cc pada terminal. Dengan mengatur nilai variabel-variabel
yang dibutuhkan akan dihasilkan nilai jangkauan suatu node. Variabel-variabel tersebut
adalah:
1. Model propagasi
2. Daya transmisi (Pt_)
3. Gain antena transmitter (Gt_)
4. Gain antena receiver (Gr_)
5. Rugi –rugi sistem (L_)
6. Carrier sense power (CSThresh_)
7. Frekuensi yang digunakan (Freq_)
8. Collission Threshold (CPThresh_)
Hubungan variabel –variabel tersebut dijelaskan dengan persamaan:
𝑃𝑟 = 1 = k ℎ𝑚∙ℎ𝑏² 4.4
𝑃t 𝐿 𝑟4 𝑓c²
Pr sebagai daya yang diterima, Pt adalah daya yang ditransmisikan, L merupakan rugi
–rugi sistem, hm dan hb merupakan ketinggian antena mobile dan base station, r adalah
radius transmisi, serta fc merupakan frekuensi pembawa.
Penambahan variabel rate yang merepresentasikan persentase banyaknya paket yang
dapat diterima dapat dilakukan dengan perintah –r. Keluaran yang didapatkan adalah
RxThresh_ atau daya penerima, dan d yang merepresentasikan jangkauan transmisi.
CSThresh_ digunakan untuk menentukan apakah sebuah frame dapat dideteksi oleh receiver.
Jika kekuatan sinyal lebih kecil daripada threshold maka frame akan dibuang dari PHY
module. Nilai CSThresh_ pada umumnya identik dengan noise floor antena penerima.
Pemilihan kanal akan mempengaruhi kapasitas jaringan, dalam kanal AWGN kapasitas
mengikuti persamaan kapasitas shanon. Efek interferensi tidak diperhitungkan, kondisi kanal
dianggap ideal tetapi dilakukan penambahan white Gaussian noise. Kapasitas AWGN
memenuhi persamaan 4.4
Cawgn = W log2 (1 + 𝑃 ) [bit/s] 4.5
𝑁o𝑊
Cawgn merupakan nilai kapasitas pada kanal AWGN, W merupakan pita frekuensi, dan
P/NoW merupakan Signal to Noise Ratio yang diterima. Perhitungan SNR dalam NS2
dilakukan pada modul MAC sesuai formula 4.5.
SNR = 10 log(Rx _ Power)/Noise _ 4.6
Dimana Rx_Power merupakan kekuatan sinyal pada antena penerima yang dihitung dari
model propagasi, Noise_ dapat dihitung dengan nilai sensitivitas antena penerima dari data
rate yang digunakan frame. Hasil dari perhitungan ini ditambahkan pada file SNRBLER
dalam bentuk matriks untuk memodelkan jaringan HSDPA –802.11g. Noise dianggap
sebagai error dan direpresentasikan menggunakan file ideal trace.
4.4 Fitness Function
Fitness function merupakan fungsi yang mendefinisikan parameter-parameter dan
kondisi yang harus terpenuhi agar jaringan dapat melakukan proses sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki. Semakin besar nilai kecocokan dengan fungsi ini, semakin besar
kemungkinan sebuah komosom tersebut dipilih. Fungsi ini merupakan bagian dari genetic
algorithm yang diproses setelah tahapan generasi populasi. Diperlukan identifikasi node dari
populasi untuk menentukan apakah node tersebut berada pada jalur yang dapat membawa
data hingga ke destinasi. Hal ini dapat dijabarkan dengan pengkondisian Iij = 1, jika link dari
node i ke node j berada pada jalur routing. 0, lainnya. I merupakan indikator koneksi link,
yang mempunyai peran pada pemetaan kromosom. Cij menspesifikasikan cost dari paket
yang ditransmisikan pada link (i,j), dijabarkan pada fungsi :
4.7
Tujuan dari perancangan jaringan ini adalah untuk mendapatkan penggunaan energi
yang paling efisien dan penyeimbangan beban trafik pada setiap node, maka keduanya akan
menjadi parameter dalam fitness function. Energi yang digunakan merupakan jumlah dari
daya transmisi, daya untuk menerima trafik, daya untuk melakukan koneksi, serta daya yang
digunakan untuk melakukan routing, seperti dijelaskan pada persamaan 3.5. Energi yang
digunakan juga menentukan network lifetime.
E = Ptx + Prx + Pconnect + Prouting (4.8)
Kapasitas juga menjadi parameter penting untuk menghasilkan penggunaan sumber
daya yang efisien. Sehingga fungsi dapat dijabarkan dalam persamaan 4.8.
Cij = A(Cx –Cth) + B(Eth –Ex) (4.9)
Dimana A dan B merupakan koefisien untuk menentukan tingkat kepentingan
pemilihan parameter, Cx merupakan kapasitas node, Cth merupakan kapasitas threshold, Ex
adalah energi yang digunakan sebuah node, sedangkan Eth adalah energi threshold.
Threshold didefinisikan sebagai nilai parameter dari node jaringan sebelumnya.
4.5 Algoritma GZRP-modified
Zone routing protocol dapat dimodifikasi untuk melakukan kontrol daya yang
digunakan dengan mengatur level daya transmisi sebagai batasan zona intra routing. Setiap
node menggunakan NDP untuk mencari neighbor node dan menambahkan informasinya pada
tabel routing. Ketika RxThreshold_ dari suatu node bernilai lebih kecil atau sama dengan
nilai Pt_ dari node sumber, maka node akan dimasukkan kedalam tabel sebagai intra node.
Jika RxThreshold_ sama dengan nilai Pt_ node sumber maka node tersebut merupakan
peripheral node yang juga mennjadi batas dari zona intra.
Ketika suatu node ingin mengirimkan paket dengan informasi alamat destinasi dan
nilai daya penerimaan node destinasi, maka langkah pertama adalah mencari node destinasi
atau node yang dapat mencapai destinasi dalam tabel intra routing. Route request dikirimkan
oleh node sumber dan diteruskan hingga mencapai node destinasi. Paket route reply
dikirimkan dari node destinasi ke node sumber dengan informasi kondisi link dan kondisi
node. Node sumber yang telah menerima paket ini akan mengirimkan paket data ke node
destinasi melalui rute ini. Kondisi dimana node destinasi tidak berada dalam zona memiliki
algoritma tambahan, dimana digunakan BRP dan IERP. Route request dikirimkan ke semua
peripheral node dengan informasi node sumber, node destinasi, dan jumlah border cast (NB =
1). Peripheral node menerima paket, kemudian menambahkan nilai NB sebesar 1 serta
informasi node itu sendiri ke paket. Paket diteruskan ke node neighbor hingga node destinasi
ditemukan. Sekuensi alamat dibalik dan dikopi ke paket route reply. Jika node sumber tidak
dapat menemukan peripheral node, akan dikirimkan notifikasi ke node sumber untuk
meningkatkan daya transmisi. Gambar 4.3 merupakan diagram alir dari keseluruhan proses
routing yang terjadi di jaringan 802.11g dengan pengubahan algoritma.
Gambar 4.3 Proses Pemilihan Rute Transmisi
Ringkasan dari algoritma dengan level energi sebagai batasan transmisi adalah
sebagai berikut:
define RxThresh_[i] = Range_[i+1]
Define Pt_[i] = Range_[i]
Set WirelessPhy RxThresh_ = X
Input X into RxThresh_[i]
For (i=0, i<10,i++)
{if Range[i+1] < Range [i]
Then put node i+1 to routing table
Else Range[i+1] > Range [i]
Do IERP
If Range[i+1] = Range [i]
Then put node i+1 as peripheral node }
Pengubahan algoritma dilakukan pada file zrp.h, zrp.cc, dan constants.h, fungsi
pemanggilan nilai radius diubah dari hop count menjadi nilai daya transmisi. Genetic
algorithm diintegrasikan dengan ns2 dengan menggunakan GAUL library, penambahan
fitness function dilakukan pada gaul.cc. Tahapan genetic algorithm adalah sebagai berikut:
1. Inisialisasi
Node access point direpresentasikan sebagai gen dengan node id berupa bilangan riil,
sehingga tidak diperlukan proses encoding. Kromosom merupakan solusi yang mungkin
terjadi, merepresentasikan rute –rute dari source node ke destination node. Nomor dari node
akan dimasukkan kedalam array untuk mendefinisikan kromosom sebagai Kromosom[y] =
[a;b;c;d], a,b,c dan d merepresentasikan node id. Ukuran array dinamik, bergantung kepada
jumlah node pada suatu jalur.
2. Generasi Populasi
Populasi merupakan set dari sejumlah kromosom, nilai populasi selalu konstan untuk
setiap proses algoritma genetik. Secara umum generasi populasi berdasarkan algoritma yang
didefinisikan pada referensi [19].
{
P(0) ;
P(0) ;
t ;
hile (not satisfied and t max t ) do {
t <- t +1;
Select
parents for offspring production;
Apply
reproduction and mutation operators;
Create
a new population of survivors: P(t) ;
Evaluate
P(t) ;
}
P(t) ;
}
3. Evaluasi kecocokan dengan fitness function
Pertama dilakukan evaluasi terhadap setiap node yang berada di dalam list kromosom.
Nilai dari setiap node yang berada pada suatu rute atau kromosom yang sama akan
dijumlahkan kemudian menjadi nilai fitness untuk kromosom tersebut.
void fitness ()
{char *fitness = malloc (sizeof (*fitness) *Num_Elements)
for (i=0; i <nn; i++)
{ if(energy_remain > energyth)
{A=2}
else {A=0}
if(bandwidth_remain > bandwicdthTh)
{B=1}
else {B=0}
X[i] = 1/[A*(energy_remain - energyth) + B*(bandwidth_remain - bandwidthTh)]
fitness = sum (X[i])
}
4. Seleksi dengan model Roulette Wheel dan rank
Seleksi digunakan dengan menggunakan metode roulette wheel dimana setiap
individu mendapatkan bagian pada lingkaran roulette sebesar probabilitasnya yang ditentukan
dengan nilai evaluasi terhadap fitness function. Roda roulette diputar sebanyak N kali,
dimana nilai N sesuai dengan jumlah individual di dalam populasi. Setiap perputaran
individual yang terpilih akan menjadi parent dari proses generasi selanjutnya. Contoh dari
penggunaan metode Roulette Wheel dijelaskan pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Proses Seleksi Roulette Wheel [19]
5. Eliminasi solusi dengan nilai terendah
6. Duplikasi solusi dengan nilai tertinggi
7. Crossover
Crossover dilakukan untuk menemukan solusi yang optimal, ditentukan oleh nilai crossover rate yang
ditentukan sebelumnya. Secara umum algoritma crossover adalah sebagai berikut:
begin
k←0;
while(k<population) do
R[k] ←random(0-1);
if (R[k] < ρc ) then
select Kromosom[k] as parent;
end;
k = k + 1;
end;
end;
8. Mutasi
Mutasi dilakukan dengan mutation rate sebesar 0.1, algoritma mutasi yang digunakan adalah:
• total_gen = number_of_gen_in_Kromosom * number of population
• Do random gen for (1 <= X <= total_gen)
• If X < ρm
then X_pos = kromosom
9. Generasi populasi baru
Setelah proses crossover dan mutasi, node id yang dipilih dalam suatu rute yang dianggap sebagai
solusi berubah. Kromosom yang baru akan diproduksi dengan tahapan yang sama seperti tahapan 1-8
hingga nilai kromosom sama dengan nilai populasi sebelumnya.
10. Output sebagai solusi terbaik
11. END
3.6 SNR, BLER, CQI
HSDPA menggunakan teknik link adaption untuk melakukan kontrol daya yang disesuaikan
dengan kondisi kanal yang digunakan. Teknik ini dilakukan berdasarkan nilai CQI pada physical layer
dan merupakan algoritma yang dinamik pada node-B. Transmit bit rate diatur setiap 2 ms (transmit
time interval) pada HS-DSCH. UE memberikan informasi nilai CQI kepada serving HS-DSCH, hal
ini menandakan bahwa dalam kondisi kanal radio yang saat ini sedang digunakan, UE dapat
menerima nilai CQI tersebut dan nilai lainnya yang lebih rendah pada single transmission BLER
(block error rate) yang tidak lebih dari 0.1[20]. UE melaporkan informasi CQI dan HARQ-ACK ke
node-B. Dengan algoritma yang dinamik ini solusi untuk berbagai kondisi penerima dan variasi
kondisi lingkungan dapat dilakukan secara otomatis, sehingga data rate terbaik dapat diberikan untuk
mengatasi kondisi kanal tersebut.
Jangkauan nilai dari CQI adalah 0 –30, nilai ini mengindikasikan maksimum tbs yang dapat
diterima dengan benar yang memiliki probabilitas sekurang-kurangnya 90%. Terdapat batasan kontrol
daya pada downlink dengan link adaptation, yaitu sekitar 10 dBs hingga 15 dBs[20]. Probabilitas
sebuah blok data diterima dengan baik bergantung pada nilai SNR, CQI, dan implementasi pada
penerima. Setiap CQI memiliki hubungan dengan SNR dan block error rate (BLER). Kurva yang
digunakan dalam simulasi ini adalah SNR vs BLER pada kanal AWGN pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Kurva SNR-BLER Pada Kanal AWGN[20]
Nilai SNR minimum dipilih dari kurva ini untuk mendapatkan transport block tertentu.
Hubungan CQI dan SNR untuk BLER dengan nilai 0.1 dijelaskan dengan fungsi 4.9 yang sesuai
dengan standard 3GPP.
4.10
Hubungan antara data rate, TBS, dan BLER didefinisikan dengan persamaan asumsi TTI
standard 2ms.
4.11
Ru merupakan data rate, TBS adalah transport block size, BLER merupakan block error rate.
Nilai data rate, TBS dan minimal TTI dapat dilihat pada tabel 4.1 sedangkan hubungan antara CQI
dan TBS pada tabel 4.2.
Tabel 4.1 Data Rate, TBS dan TTI[20]
Tabel 4.2 Hubungan CQI dan TBS[21]
CQI yang bernilai 0 menyatakan bahwa node atau UE berada di luar jangkauan. UE yang
berhasil melakukan koneksi adalah yang memiliki probabilitas nilai CQI positif lebih besar.
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
5.1 NS-2 dan Modul Terkait
NS-2 merupakan simulator jaringan berbasis open source yang memakai dua bahasa
penulisan yaitu C++ dan Otcl. Simulator yang digunakan adalah Network Simulator-2 versi
2.35 dengan penambahan modul ZRP dan EURANE. Modul EURANE digunakan untuk
menambahkan arsitektur jaringan UMTS/HSDPA kedalam program. Selain itu ditambahkan
pula modul tcl-GAUL yang terintegrasi dengan GAUL library untuk mendukung
pemrograman genetic algorithm.
Modifikasi dilakukan terhadap ketiga modul karena tidak adanya kesesuaian antara
modul-modul dengan versi ns2. Penambahan algoritma juga dilakukan pada file c dan file
header dari modul zrp dan tcl-gaul untuk mencapai hasil yang diinginkan. Network animator
(NAM) merupakan perangkat animasi berbasis Tcl/TK yang digunakan untuk
mensimulasikan hasil dalam file trace. Grafik trace file dapat ditampilkan dengan perangkat
tambahan yaitu Xgraph setelah hasil sebelumnya diproses dengan file awk.
5.2 Parameter Simulasi
Simulasi dibagi dalam enam skenario dengan parameter –parameter dan nilai yang
sama untuk melihat pengaruh dari pengubahan algoritma offload terhadap energi dan
throughput. Pertama dilakukan simulasi dalam MANET yang hanya terdiri dari 10 node
802.11g dengan satu mobile node dan ZRP. Tahapan simulasi kedua menggunakan arsitektur
MANET yang sama dengan GZRP. Skenario ketiga menggunakan GZRP yang telah
dimodifikasi. Selanjutnya dilakukan skenario menggunakan algoritma GZRP dengan
tambahan arsitektur dan lingkungan UMTS/HSDPA. Simulasi terakhir menggunakan
protokol routing GZRP yang dimodifikasi. Pameter –parameter yang digunakan dalam
simulasi ini dijelaskan pada tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 5.1 Parameter –Parameter Simulasi
Tipe Data UDP
Tipe Trafik CBR
Layer PHYExt, MAC, LL
Antena
Max Antrian Paket
Jumlah Node
Ukuran Topologi
Protokol Routing
Omni
50
10
700 x 700
GZRP, modified_GZRP
Energi:
- Inisiasi
- Receiver
- Transmitter
- Idle
100
0.05
0.1
0.025
Transition Time 0.05
Parameter GA:
-population size
-crossover rate
-mutation rate
- selection type
100
0.6
0.1
Roulette Wheel
Kecepatan Mobile Node 10 km/h
Data rate 11 Mbps
Jangkauan Transmisi Maksimum 50 m
Level Daya 20 mW, 50 mW
Pada simulasi vertical handover pada jaringan HSDPA –802.11g digunakan arsitektur
jaringan seperti pada gambar 2.2. Tabel 5.2 menjelaskan parameter tambahan yang
digunakan.
Tabel 5.2. Parameter Tambahan Simulasi Vertical Handover
Data rate 14.4 Mbps
Jangkauan Transmisi 500 m
Daya Transmisi 50 dBm
Layer MAC_HS
Kecepatan UE 3 km/h
5.3 Simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan agen udp karena tidak diperlukan
perhitungan paket yang ditransmisikan kembali (retransmission). Agen udp menerima
potongan data dari sebuah aplikasi dan melakukan segmentasi jika diperlukan. Pada NS-2
aplikasi yang digunakan oleh agen UDP adalah constant bit rate (CBR). Waktu simulasi
untuk seluruh skenario adalah 50 s. Jaringan dianggap delay tolerant, simulasi difokuskan
pada efisiensi energi. Digunakan loose coupling antara jaringan UMTS dengan 802.11g
dimana gateway 802.11g terhubung dengan ggsn UMTS sehingga autentikasi tidak
dioptimasi. Terdapat tiga jenis pengubahan algoritma yang dilakukan yaitu GZRP extended,
VHO extended, dan proposed model. GZRP extended merupakan protokol routing GZRP
yang ditambahkan dengan algoritma berbasis energi. VHO extended adalah algoritma vho
dengan penambahan perhitungan parameter jaringan serta link going down event. Proposed
model merupakan penggabungan dari seluruh algoritma yang telah dirancang.
5.3.1 Efek Algoritma Genetik Pada Jaringan MANET
Skenario pertama dan kedua dilakukan dengan menggunakan 10 node dengan mac
layer 802.11g, salah satu node dianggap sebagai end user dengan kecepatan 10 km/h.
Diinginkan perbandingan antara keefektifan penggunaan genetic algorithm, oleh karena itu
dilakukan simulasi pertama dengan protokol routing ZRP dan simulasi kedua dengan
protokol routing GZRP. Gambar 5.1 merupakan cuplikan dari simulasi dengan menggunakan
arsitektur MANET pada kedua simulasi.
Gambar 5.1. Arsitektur jaringan MANET
Jaringan dianggap ideal dengan model propagasi free space, parameter yang menjadi batasan
dalam simulasi menggunakan MANET ini adalah jangkauan transmisi yang selanjutnya dipakai untuk
seluruh node pada keenam simulasi sebagai berikut:
Phy/WirelessPhy set CPThresh 10.0
Phy/WirelessPhy set CSThresh_ 2.78869e-09
Phy/WirelessPhy set RXThresh_ 1.11548e-08
Phy/WirelessPhy set Pt_ 0.2818
Phy/WirelessPhy set freq_ 2.4e9
Phy/WirelessPhy set L_ 1.0
Nilai RxThresh membatasi jangkauan transmisi sejauh 50 meter, sedangkan nilai CSThresh
memberikan batasan jangkauan paket yang dapat didengarkan oleh node. Gambar 5.2 menjelaskan
efek penggunaan algoritma genetik pada jaringan dalam parameter penggunaan energi (dalam joule)
untuk sebuah node terhadap waktu. Dapat dilihat bahwa penggunaan energi dengan menggunakan
GZRP lebih tinggi dibandingkan dengan skenario yang menggunakan ZRP. hal ini dimungkinkan
karena jumlah kromosom yang sedikit, untuk melakukan optimasi dalam algoritma ini dibutuhkan
pemrosesan lebih lanjut untuk memilih node dan rute yang sesuai kriteria sebelum melakukan routing
sehingga dibutuhkan penggunaan energi tambahan dibandingkan dengan protokol routing ZRP yang
langsung meneruskan paket ke node selanjutnya dalam tabel routing. Penggunaan GZRP ini akan
lebih efisien dengan jumlah node dan kemungkinan banyak rute yang lebih besar.
Gambar 5.2 Konsumsi Energi (J) vs Waktu (s) ZRP dan GZRP
Pembuktian hal ini dapat dilakukan dengan gambar 5.3 dimana jumlah paket data dan
routing dibandingkan. Jumlah paket data kedua simulasi sama besar seperti yang sudah diatur
pada main.tcl, akan tetapi jumlah paket routing dari skenario dua dengan GZRP lebih banyak
daripada skenario pertama. Untuk itu perlu dilakukan pengubahan algoritma GZRP sebagai
langkah optimalisasi efisiensi energi jaringan. Selain itu pengaruh dari metode roulette wheel
juga menjadi faktor, dimana optimum global tidak tercapai karena adanya dominasi dari
kromosom yang memiliki nilai fitness terbesar sehingga selalu dipilih sebagai parent.
Gambar 5.3. Perbandingan Jumlah Paket ZRP-GZRP
Skenario ketiga menggunakan parameter yang sama dengan kedua skenario sebelumnya,
perbedaan dilakukan pada file ZRP.cc dan ZRP.h dimana radius yang sebelumnya menggunakan hop
count diubah menjadi daya transmisi. Gambar 5.4 memperlihatkan bahwa penggunaan energi pada
sebuah node dengan pengubahan algoritma ini lebih rendah dibandingkan kedua skenario
sebelumnya.
Gambar 5.4 Energi (J) vs Waktu (s) ZRP dan GZRP modifikasi
Pada umumnya access point dikonfigurasi dengan daya transmisi sebesar 100 mw. Hal ini
memberikan beberapa permasalahan dilihat dari sisi efisiensi energi yang digunakan serta sensitivitas
antena penerima, daya transmisi yang lebih besar dari nilai sensitivitas penerimaan receiver akan
merusak antena tersebut. Pada skenario dengan algoritma yang diajukan digunakan dua level daya 20
mW dan 50 mW, sehingga node dapat meneruskan paket ke node lainnya yang berada dalam
jangkauan dengan level daya transmisi yang dimilikinya. Jika node destinasi berada dalam jangkauan
atau intra routing, maka node tidak perlu mengeluarkan daya transmisi maksimum. Dalam kondisi
Inter routing, algoritma ini juga lebih unggul karena beban dan energi yang harus digunakan oleh
node sumber dapat dibagi dengan node –node perantara yang dapat mencapai node destinasi.
Load balancing dapat dioptimalisasi dengan menggunakan algoritma genetik seperti yang
ditampilkan pada gambar 5.5. Nilai Throughput pada skenario pertama lebih rendah dibandingkan
skenario kedua dan ketiga yang menggunakan GZRP. Hal ini dikarenakan penggunaan fitness
function pada algoritma genetik, sehingga rute yang dipilih adalah rute dengan rata –rata kapasitas
node terbesar untuk jalur transmisi dari node i ke node j.
Gambar 5.5. Throughput ZRP dan GZRP
Secara keseluruhan throughput dengan GZRP lebih besar, dengan nilai throughput maksimum
5.54 Mbps untuk GZRP dan 5.10 Mbps untuk ZRP, serta throughput rata –rata senilai 3.37 Mbps
untuk GZRP dan 3.11 Mbps untuk ZRP. Pada jangkauan waktu 35 hingga 40 detik terlihat nilai
throughput jaringan dengan menggunakan ZRP lebih besar daripada jaringan dengan GZRP.
Throughput merupakan hasil dari perhitungan jumlah paket yang diterima terhadap waktu dalam
Mbps, jika dilihat dari file hasil simulasi pada jangkauan waktu tersebut terdapat beberapa kali paket
drop. Hal ini diperkirakan karena posisi node penerima yang berjalan menjauhi beberapa node, diluar
dari jangkauan node sumber sehingga diperlukan perhitungan kembali jalur yang harus diambil node
sumber. ZRP hanya menggunakan IARP dan IERP, sedangkan GZRP harus mencari nilai optimum
untuk kondisi jaringan pada jangkauan waktu tersebut, sehingga waktu pencarian lebih lama dan
mengakibatkan paket di drop. Jika dilihat dari konsumsi energi terjadi pengurangan energi dari
99.23811 ke 98.99323 untuk ZRP dan 99.287 ke 98.91901 untuk GZRP, konsumsi energi sebuah
node lebih besar dengan menggunakan GZRP pada jangka waktu tersebut dan merupakan perbedaan
konsumsi terbesar dibandingkan slot waktu lainnya.
4.3.2 Efek Penggunaan Offload
Skenario keempat dilakukan dengan menambahkan arsitektur jaringan UMTS/HSDPA,
dimana terdapat kombinasi antara elemen nirkabel dan elemen jaringan tetap. Jaringan terdiri atas
base station UMTS, RNC, SGSN sebagai gateway, GGSN, base station 802.11g, multi interface node,
UE, serta access point.Gambar 5.6 dan 5.7 merupakan cuplikan simulasi skenario keempat.
Gambar 5.6. Arsitektur Jaringan UMTS/HSDPA
Gambar 5.7. Offload antara UMTS/HSDPA dengan 802.11g
Pada jaringan HSDPA ditambahkan nilai SNR/BLER serta model error pada bts agar
mendekati dengan kondisi nyata. Model SNR/BLER menggunakan kanal AWGN dengan jangkauan
transmisi 500 meter dan kecepatan UE 3km/h sesuai dengan tabel 5.3 untuk skenario pejalan kaki A.
Efek dopler diabaikan, karena kecepatan terminal bergerak yang kecil sesuai dengan tabel dan kondisi
jaringan yang diatur mendekati ideal.
Tabel 5.3. Hubungan Kecepatan, Daya dan Probabilitas
Pertama-tama dilakukan perbandingan energi antara skenario keempat yang
melakukan handover antara UMTS/HSDPA dengan 802.11g menggunakan GZRP dengan
skenario kelima dengan algoritma GZRP yang telah dimodifikasi. Dapat dilihat dari gambar
5.8 bahwa penggunaan energi sebuah node pada skenario empat lebih besar dibandingkan
skenario lima. Skenario keempat hanya menggunakan MIH untuk melakukan handover
sedangkan pada skenario kelima menggunakan algoritma keputusan VHO. Dibandingkan
dengan Wi-Fi jaringan seluler menggunakan daya yang lebih rendah untuk tetap berada
dalam jaringan, akan tetapi daya yang digunakan lebih besar dalam melakukan transmisi serta
penerimaan data. Hal inilah yang diperhitungkan pada skenario kelima, dimana dilakukan
pembatasan dalam penerimaan dan pengiriman data selama berada di jaringan HSDPA serta
penggunaan GZRP ketika node mencapai nilai energi threshold.
Gambar 5.8. Perbandingan Konsumsi Energi VHO dan VHO modifikasi
Menggunakan GZRP dapat dilakukan load balancing karena mengurangi penggunaan
bandwidth yang didapat jika mendapatkan proactive routing protocol karena menggunakan routing
table yang harus diupdate dan dikirimkan informasinya ke semua node, mengurangi delay yang
didapat jika mendapatkan reactive routing protocol yang perlu melakukan route discovery,
mengurangi daya yang digunakan node karena tidak perlu melakukan route discovery jika destination
node berada dalam radius hop.
Skenario Keempat memberikan throughput yang lebih besar daripada jaringan yang hanya
menggunakan HSDPA karena adanya load balancing dengan jaringan 802.11g, seperti pada gambar
5.9. Pada jaringan seluler performansi sistem berkurang karena efek kongesti, hal ini terjadi akibat
daya transmisi yang maksimum pada base station yang lebih lanjut mengakibatkan interferensi.
Dengan adanya node relay, pada kasus ini node Wi-Fi, daya transmisi dapat dikurangi sesuai dengan
kebutuhan dan jangkauan. Selain itu adanya pengaturan query pada GZRP juga membantu dalam
pengaturan jangkauan transmisi.
Gambar 5.9. Perbandingan Throughput Jaringan HSDPA dan HSDPA-802.11g
Sebagai perhitungan lebih lanjut terhadap keefektifan algoritma VHO ini, dilakukan
perbandingan packet loss antara skenario keempat dan kelima seperti pada tabel 4.4 yaitu 53% untuk
VHO dan 29% untuk VHO dengan pengubahan algoritma. Pengambilan keputusan handover dengan
parameter RSS meningkatkan keefektifan dalam proses transmisi data terlihat dengan lebih rendahnya
nilai packet loss, karena jaringan akan melakukan koneksi dengan jaringan lainnya ketika nilai RSS
jaringan yang sedang digunakan berada dibawah threshold. Efek ping-pong dari kedua jaringan diatasi
dengan penambahan parameter keputusan dalam fungsi Mx .
Tabel 5.4. Perbandingan Packet Loss
Skenario Jumlah Paket Paket Drop
VHO extended 34546904 29%
VHO 18757800 53%
Nilai throughput dengan pengubahan algoritma VHO pada MIH meningkat.
Penggunaan RSSThreshold dan pembatasan parameter yang didefinisikan pada fungsi Mx
terbukti memberikan peningkatan efisiensi. Dengan adanya batasan threshold sebagai trigger
pelaksanaan link going down event sehingga sebelum pengguna terputus dari koneksi yang
sedang digunakan, informasi mengenai jaringan lainnya dan pemilihan jaringan selanjutnya
dapat dilakukan. Hal ini dapat mengurangi jumlah paket yang hilang atau drop selama
pencarian dan pemindahan jaringan. Terbukti dengan nilai throughput pada gambar 5.10.
Gambar 5.10. Throughput VHO dengan pengubahan algoritma
Perbandingan energi keseluruhan jaringan dilakukan antara jaringan VHO dan
proposed model. Jaringan vho dengan algoritma yang telah didesain memiliki performa yang
lebih baik dari jaringan vho biasa sebesar 54% untuk throughput dan peningkatan 50% pada
efisiensi energi.
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Sampai dengan tengah periode pelaksanan riset, simulasi dapat dilakukan dengan
mengasumsikan lingkungan dalam kondisi ideal Free Space Loss; Tahapan selanjutnya yang
akan dilakukan terkait riset adalah:
1. Model Propagasi
Dilakukan riset dengan memperhatikan factor lingkungan yaitu pada urban area
yang digunakan sebagai referensi untuk offloading, diantaranya memperhatikan
factor:
- Okumura – Hatta model
- Shadowing
- Scattering
2. Interferensi
- Pada UMTS terdapat interferensi pada penggunaan aplikasi Multiple Input
Multiple Output
- Pada jarigan 802.11g terdapat interferensi sebagai akibat digunakannya Single
Input Single Output
- Offload digunakan SIMO (802.11g ke UMTS) & MISO (UMTS ke 802.11g)
3. Noise
4. Doppler shift effect (erlang)
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.3 Kesimpulan
1. Simulasi dilakukan dengan lima skenario dengan jaringan HSDPA – 802.11g,
Model path loss Free Space, kanal AWGN, dengan pembatasan jangkauan antena
dan daya pada base station serta access point.
2. Konsumsi energi dengan menggunakan GZRP dan 10 node lebih besar 5.5%
untuk sebuah node penerima daripada skenario dengan menggunakan ZRP.
3. Penambahan algoritma untuk efisiensi energi pada GZRP memberikan penurunan
konsumsi energi rata –rata yaitu 0.211509 joule dengan ZRP menjadi 0.209212
joule, hal ini dimungkinkan karena penggunaan metode roulette wheel yang
memberikan nilai lokal optimum serta lebih banyaknya paket routing pada
komunikasi dengan menggunakan GZRP. nilai throughput maksimum 5.54 Mbps
untuk GZRP dan 5.10 Mbps untuk ZRP, serta throughput rata –rata senilai 3.37
Mbps untuk GZRP dan 3.11 Mbps untuk ZRP.
4. Penggunaan algoritma VHO dengan MIH dan pemenuhan fungsi Mx
menunjukkan hasil yang lebih baik dari segi konsumsi energi yaitu dengan nilai
rata –rata 0.253972 untuk VHO extended serta 0.261047 untuk VHO. Throughput
maksimum untuk proposed model lebih besar dari VHO yaitu 9.595362 Mbps dan
4.3632 Mbps secara berurutan. Paket drop berkurang dari 53% untuk VHO
menjadi 29% untuk vho extended.
5. Pengubahan algoritma radius dengan level daya transmisi pada GZRP, serta
kontrol vho dengan link going down event dan parameter jaringan memberikan
performa yang lebih baik dari jaringan vho biasa sebesar 54% untuk throughput
dan peningkatan 50% pada efisiensi energi.
7.4 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka untuk pelaksanaan di waktu ke
depan hendaknya memperhatikan factor lingkungan dimana penelitian dilakukan sehingga
hasil penelitian mendekati kondisi yang sesungguhnya dalam aplikasi di kehidupan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Da, Zhang & Chai, K.Y.(2012). Optimal Handing-back Point in Mobile Data
Offloading. IEEE Vehicular Networking Conference.
[2] Energy consumption effects of WiFi off-loading access in 3G / LTE public wireless
networks. February, 2015. http://ssrn.com/abstract=2143313
[3] M. Solarski, P.Vidales, O.Schneider, P.Zerfos, J.P. Singh. An Experimental
Evaluation of Urban Networking Using IEEE 802.11 Technology. September 2006.
IEEE OpComm 2006.
[4] S. Giovanni, B. Stefano, M. Marco, F. Gianluigi, I. Nicola.Vertical Handover in
Heterogeneous Networks: a Comparative Experimental and Simulation-based
Investigation. WASN Lab, Dept. Information Engineering, University of Parma,
Italy.
[5] Rekhapatil, B. Shivaprasad. Genetic Algorithm for Joint Relaying Topology Routing
and Scheduling Optimization in Multihop Cellular Network.2013. International
Journal of Computer Trends and Technology (IJCTT) –volume 4 Issue 8 August
2013. http://www.ijcttjournal.org
[6] B. Setiyo, A. Muhammad, G. Dadang. 2013. Implementation of Genetic Zone
Routing Protocol (GZRP) in 3G-WiFi Offload Multi Base Station.
[7] B. Setiyo, A. Muhammad, G. Dadang. Performance Analysis of Genetic Zone
Routing Protocol Combined With Vertical Handover Algorithm for 3G-WiFi Offload.
J. ICT Res. Appl., Vol. 8, No. 1, 2014, 49-63
[8] A. Muhammad, B. Setiyo, G. Dadang. An Intelligent Load Balancing and Offloading
in 3G –WiFi Offload Network Using Hybrid and Distance Vector Algorithm. 2014
IEEE Symposium on Wireless Technology and Application, Sept 28 –Oct 1, 2014,
Kota Kinabalu, Malaysia.
[9] Goldsmith, Andrea. Wirelss Communication. 2004. Wiley & Sons.
[10] T. Sireen, D. Mohamad, F. Jamal, D. Zaher, H. Hazem. On the Design of Energy-
Aware 3G/WiFi Heterogeneous Networks Under Realistic Conditions. 2013. IEEE
Computer Society.
[11] B. Nicklas. Zone Routing Protocol. [email protected]
[12] L.A. Hussein, M.M.S.A Ahmed. Efficient Routing Protocol in the Mobile Ad-hoc
Network (MANET) by using Genetic Algorithm (GA). IOSR Journal of Computer
Engineering (IOSR-JCE) e-ISSN: 2278-0661, p- ISSN: 2278- 8727Volume 16, Issue
1, Ver. III (Jan. 2014), PP 47-54 www.iosrjournals.org
[13] S. Sumathy, E. Sri Harsha, B. Yuvaraj. SURVEY OF GENETIC BASED
APPROACH FOR MULTICAST ROUTING IN MANET. International Journal of
Engineering and Technology (IJET) Vol 4 No 6 Dec 2012-Jan 2013.
[14] F. Maria Elsa Feliz. HSDPA CQI Mapping Optimization Based on Real Network
Layouts Thesis. 2008.
[15] CAPACITY, COVERAGE, AND DEPLOYMENT CONSIDERATIONS FOR IEEE
802.11G. 2005. Cisco white paper
[16] K. K. DHEEPAK, S. MADHAN, I. MOHAMMED SHAREEF. SIMULATION OF
MEDIA INDEPENDENT HANDOVER ACROSS HETEROGENEOUS
NETWORKS (802.21) IN NS2 APRIL 2006. Chennai
[17] J. Khalid, M. Mohammed. Selection Methods for Genetic Algorithms. Int. J. Emerg.
Sci., 3(4), 333-344, December 2013
[18] Eurane user guide 1.5.
http://kom.aau.dk/group/05gr995/05995/Linksfiles/eurane_user_guide_1_5.pdf.
diunduh 11 Juli 2015.
[19] Popov, Andrey. Genetic Algorithm for optimization Matlab user manual version 1.0.
2005. Hamburg
[20] D. Ravilla, R.C.S Putta. Energy Management in Zone Routing Protocol. International
Journal of Emerging Technology and Advanced Engineering Website:
www.ijetae.com (ISSN 2250-2459, Volume 2, Issue 5, May 2012)
[21] RF Path Loss & Transmission Distance Calculations Walter Debus Axonn Technical
Memorandum August 4, 2006
[22] Fettouh, Abdessadeq; El Kamoun, Najib; El Fazziki, Abdelaziz. Applications over
Heterogeneous Wireless Networks. International Journal of Computer Applications
(0975 –8887) Volume 62–No.21, January 2013
[23] Stefano Busanelli, Marco Martal`o, Gianluigi Ferrari, and Giovanni Spigoni. Vertical
Handover between WiFi and UMTS Networks: Experimental Performance Analysis.
International Journal of Energy, Information and Communications Vol. 2, Issue 1,
February 2011