SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan...
Transcript of SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan...
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 103
A. Pendahuluan
Agama Islam yang berkembang di
Nusantara khusunya di Maluku memiliki
karakter yang sangat unik dan menarik terkait
dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini
dikarenakan penyebaran agama Islam di
nusantara khususnya Maluku lebih pada pola
akulturasi dan asimilasi ajaran Islam dengan
budaya dan tradisi lokal masyarakat di
nusantara dan Maluku itu sendiri. Para penyiar
agama Islam telah berhasil mengkombinasikan
aspek-aspek budaya dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam kepada masyarakat
Maluku dalam menyebarkan ajaran Islam.
Disinyalir bahwa masyarakat Muslim di
Maluku terbentuk sejak abad XV. Menurut M.
Saleh Putuhena, telah terjadi interaksi antara
kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal.
Interaksi itu berpengaruh terhadap
perkembangan kedua kebudayaan tersebut.
Menurutnya bahwa Perkembangan kebudayaan
Islam dapat ditinjau dari dua segi.1
Pertama, dari segi perluasan wilayah
kebudayaan, masyarakat Maluku sejak waktu itu
telah termasuk bahagian dari pendukung
kebudayaan Islam. Kedua, dari segi substansi
kebudayaan, Kebudayaan Islam di Maluku
menerima sebahagian budaya lokal. Dengan
perkembangan melalui akomodasi itu,
kebudayaan Islam di Maluku bernuansa lokal
sebagai ciri khasnya. Namun dari sistem
kepercayaan, kebudayaan Islam tidak menerima
sesuatu unsur kepercayaan lokal seperti
dinamisme, animisme, dan roh nenek moyang
yang mempengaruhi kehidupan anak-cucu
1 M. Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di
Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK Maluku Oktober 2009
SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU
(Studi Tentang Asal Usul Agama pada Masyarakat Hena Lima)
Oleh : M. Syafin Soulisa
Abstract
The development of Islam in Maluku has its own character. This is due to the spread of Islam in
the Maluku archipelago, especially cause the process of acculturation and assimilation with the local
culture and traditions.
Community Hena Lima Muslim majority today than adhering to the teachings of Islam but the
order has not been able to leave their local religious traditions. System of religious traditions Hena Lima
people can be said is a fusion between religion and customs, so for people Hena Five religious system
that is highly valued.
Among these is the tradition and culture of belief in ancestral spirits who have spiritual powers,
the power of faith-based as god, the tradition of pilgrimage to the tomb of certain people, perform
rituals that aim to worship God.
Keywords : Religion, Hena Lima
M. Syafin Soulisa
104 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
mereka. Demikian pula halnya dengan sistem
ritual. Jadi baik sistim kepercayaan maupun
sistim ritual. kebudayaan Islam dapat dikatakan
tidak menerima unsur kebudayaan lokal.
Menurut Putuhena bahwa Kedua unsur
tesebut harus berdasarkan wahyu, Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasulullah. Dalam sistem serimonial
terutama life sycle serimonies seperti upacara
kelahiran, dan upacara perkawinan, dan upacara
kematian, kebudayaan Islam sarat dengan
kebudayaan lokal. Perlu diketengahkan bahwa
kebudayaan Islam yang masuk ke Maluku telah
mengakomodasi kebudayaan lokal lainya seperti
kebudayaan Melayu dan kebudayaan Jawa.
Unsur kebudayaan ini merupakan bagian
dari upacara penggunaan atau peresmian
sesuatu, seperti membangun dan masuk rumah
baru, perahu baru, kebun baru dan sebagainya.
Sebelum Islam dan sesudah Islam untuk
keperluan itu dibacakan mantra atau
semacamnya oleh seseorang yang bertugas
khusus untuk itu. Sebahagian masyarakat adat
khususnya di Maluku Tengah orang seperti itu
disebut maueng. Pada masa Islam untuk hal-hal
sperti tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam.
Selain pola-pola kebudayaan berupa
akulturasi antara kebudayaan Islam dengan
kebudayaan lokal tersebut, kebudayaan Islam
menambah khazanah budaya lokal. Dalam
kesenian misalnya, masyarakat sering
memainkan tari debus-badabus, suatu jenis
tarian kekebalan yang disertai nyanyian dzikir.
Tari sambra atau gambus, hadrat, keduanya
diiringi rebana dan nyanyian berupa dzikir. Tari-
tarian tersebut dapat juga dijumpai pada
beberapa daerah lain di Nusantara.
Hal ini cukup menjadi bukti bahwa
bentuk akulturasi Islam dengan budaya
nusantara khususnya budaya Maluku terjadi
secara dialogis. Akan tetapi tidak dapat di
pungkiri bahwa budaya agama lokal telah
mengakar kuat pada kehidupan individu dan
masyarakat Maluku, olehnya keberadaan agama
lokal tersebut tetap berpengaruh terhadap pola
ritual keagamaan yang dilakukan pada saat
mereka memeluk sala satu agama samawi yang
diyakini.
Masyarakat Maluku sebagian besar
mereka beragama Islam dan Kristen, walau
mereka memeluk kedua agama tersebut namun
masih tampak dari mereka sisa religi sebagai
agama asli mereka. Mereka masih percaya akan
adanya roh-roh halus yang harus dihormati dan
diberi makan, minum dan tempat tinggal agar
tidak menjadi gangguan bagi mereka yang masih
hidup. Roh-roh halus itu diyakini sebagai roh
para leluhur yang senantiasa selalu hidup
bersama mereka.
Leluhur sendiri dalam kosmologi orang
di Maluku menurut Lawalata, hal tersebut
mengarah kepada dua term yaitu Upu dan tete
nene moyang. Upu diartikan sebagai Tuhan atau
tuan atau bapak atau orang yang dimuliakan
atau yang paling dihormati. Menurutnya bahwa
ungkapan orang di Maluku terhadap Upu,
memang cukup beragam dan pemaknaannya
bertolak dari identitas kultural, seperti Upu
Lanite, Up Lera, Upu Wosi, Upi Ume, Duad
Lervuan, Ratu, dan lain-lain, dalam kaitan dengan
keberadaan manusia di dunia, Upu dapat dilihat
sebagai Tuhan dan serentak leluhur yang
melahirkan manusia pertama. 2
2Maryo Lawalata, Kedudukan Tete Nene Moyang
Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa Tanggapan Kontekstual)dalam http://tounusa.wordpress. com/2011/08/26/kedudukan-tete-nene-moyang-dalam-pengakuan-iman-gpm-beberapa-tanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini 2013
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 105
Mus Huliselan mengungkapkan
kosmologi orang Ambon-Maluku ditandai oleh
pandangan dualistik yang membentuk satu
totalitas. Dunia terdiri Upu Lanite (Tuan atau
Tuhan langit) dan Upu Ume (tuan atau Tuhan
tanah/bumi). Upu Lanite dikategorikan sebagai
laki-laki dan Upu Ume atau Ina Ume (ina=ibu)
sebagai perempuan. Pertemuan kedua unsur ini
yang melahirkan manusia-manusia yang
mendiami wilayah Ambon, Lease, dan Seram
Tengah dan Barat. 3 leluhur orang Maluku
memiliki dua peranan yaitu melindungi dan
menghukum anak cucunya. Peranan melindungi
ini sifatnya sangat pribadi yaitu tidak dapat
dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan
kerabat (tete nene moyang) atau senegeri
dihitung dari garis ibu atau ayah.
Sesuai dengan pandangan kosmologinya,
orang Ambon misalnya sangat percaya kepada
tiga kekuatan besar yang berkaitan dengan
leluhur mereka, yaitu gunung, tanah dan tete
nene moyang. Gunung mewakili unsur laki-laki,
tanah dan dunia bawah mewakili perempuan
dan tete nene moyang mewaliki roh para leluhur
(nitu). Masing-masing punya kekuatan sendiri,
kalau dipadukan memiliki kekuatan yang sangat
besar dan dapat dipakai untuk menolong anak
cucu leluhur di dunia.
Kondisi tersebut menurut Lawalata
bahwa konsep leluhur pada orang-orang
Maluku-Ambon adalah suatu konsep yang
berusaha membina dan menjaga hubungan
secara terus menerus dan teratur antara
manusia yang masih hidup, para leluhur dan
lingkungan hidupnya. Makin baik hubungan
3 Mus Huliselan, Makna dan Kedudukan Leluhur
Dalam Kepercayaan (adat) Ambon, Ambon: 1997 tidak dipublikasikan.
diantara ketiganya semakin baik kehidupan di
dalam kosmosnya. Terpeliharanya leluhur (tete
nene moyang) akan berdampak langsung pada
terpeliharanya lingkungan alam maupun
sosialnya.
Dalam hubungan ini, Cooley mangatakan
bahwa masyarakat Maluku merupakan
persekutuan yang terdiri dari orang-orang hidup
dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena
melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan
arwah para leluhur dipersatukan. Penyatuan ini
didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para
leluhur adalah orang-orang yang telah
menciptakan adat dan manusia yang masih
hidup sekarang adalah pelaksana adat. Mereka
yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil,
sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa
kesulitan.4
Betapa pentingnya ekssitensi leluhur
bagi oang maluku sehingga dapatlah dilihat
dalam segala aktifitas kehidupan sosial
agamanya leluhur senantiasa mendapat tempat
penting. Untuk masuk baileu atau rumah tua
misalnya, harus minta ijin dari leluhur dengan
cara melakukan upacara terlebih dahulu yang
dilakukan oleh tuan negeri yang disebut dengan
mauweng. dengan mengenakan pakaian adat
setempat, jika tidak dengan simbol tertentu
maka akan mendapat teguran dari para leluhur
mereka berupa bencana, wabah penyakit,
kehidupan selalu merasa di gangu dan merasa
ditinggaloleh leluhurnya. Olehnya untuk
menghidarinya atau cara agar keluarga
terhindar dari ganguan tersebut dilakukan ritual
untuk meminta kepada leluhur senantisa hadir
bersama mereka.
4 Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan
Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 109
M. Syafin Soulisa
106 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Valentinja dalam Cooly mengatakan
bahwa orang Ambon meskipun mempunyai ilah-
ilah yang berstatus tinggi dan menengah tidak
tetap dalam berdoa dan ibadah. Kegiatan-
kegiatan keagamaan mereka sebagian besar
didorong oleh adanya krisis dan bencana, jika
tidaka ada maka mereka tidak peduli pada ilah
atau agama. 5
Olehnya itu, Agama atau religi
sebagaimana di definisikan adalah anutan yang
menghubungkan antara manusia dengan Tuhan
(Cicero), agama adalah perasaan berkewajiban
melaksanakan perintah-perintah Tuhan
(Emanuel Kant), agama adalah iman akan adanya
kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang
tidak biasa digambarkan batas waktu atau
tempat (Herbert Spencer), E. B. Taylor menulis
bahwa” Religion is belief in spiritual being” agama
adalah keyakinan tentang adanya mahluk
spiritual.6
Dari definisi agama tersebut dapat di
pahami bahwa agama atau religi adalah
keyakinan manusia akan keberadaan sesuatu
yang bersifat gaib dan Maha Tinggi dan dijadikan
sandaran oleh manusia. Secara sosiologis
menurut Henslin dalam Nanang Martono, agama
merupakan suatu isu yang berkaitan dengan
kepercayaan, olehnya para sosiolog berurusan
dengan hal-hal yang bersifat empiris, hal-hal
yang dapat diamati dan diukur.7
Sistem religi (sistem kepercayaan)
merupakan salah satu unsur kebudayaan
universal yang mewujud sebagai sistim
5 Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan
Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 327
6 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 16-17
7 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern Dan Poskolonial, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 168
keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa,
Roh-roh halus yang termuat dalam sistem
upacara, baik berupa upacara tradisional
maupun modern yang merupakan suatu pranata
yang diperlukan masyarakat sebagai usaha
untuk memenuhi hasratnya dalam melakukan
komunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib
karena didalamnya terdapat simbol yang
berfungsi sebagai alat komunikasi dengan
makhluk lain.
Religi sebagai unsur budaya karena
kebudayaan adalah keseluruhan sistim gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia yang harus didapatinya dengan belajar.8
Olehnya dapat dipahami bahwa setiap tindakan
manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan
yang dalamnya terdapat unsur-unsur secara
keseluruhan bisa didapatkan di dalam semua
kebudayaan dari suku bangsa di dunia.
Koentjaraningrat membagi sistim religi
dalam masyarakat menjadi empat komponen
yaitu Pertama; Emosi Keagamaan, yang
menyebabkan manusia itu bersikap religius,
Kedua; Sistem Keyakinan yang mengandung
segala keyakinan serta bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari
alam gaib (supranatural); serta segala nilai,
norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan,
Ketiga; sistem ritus dan upacara yang
merupakan usaha manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau
mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib,
Keempat; Umat atau kesatuan sosial yang
menganut sistem keyakinan tersebut.9
8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 180 9 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 147
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 107
Emosi keagamaan (Religion Emotion) hal
ini biasanya di alami oleh setiap manusia walau
hanya sementara. Keadaan tersebut yang
mendorong seseorang melakukan sesuatu yang
bersifat religi. Emosi keagamaanlah yang
menyebabkan sesorang menilai suatu benda,
gagasan, tindakan mendapat suatu nilai keramat
dan dianggap keramat.10 Sistim religi atau juga
disebut dengan agama adalah merupakan salah
satu unsur universal dalam kehidupan manusia.
Hampir setiap ummat manusia mengenal
tentang keberadaan agama. Selain rumusan yang
di sampaikan Koentjaraningrat, Comte juga
merumuskan teori hukum tiga tahapnya, dimana
pada tahap awal perkembangan manusia adalah
Teologis. Pada tahap ini manusia merasakan
keberadaan sesuatu yang memiliki kekuatan
yang melebihi kekuatan dirinya, namun
wujudnya bersifat abstrak dan kemudian
diasumsikan oleh manusia dengan sebuah dewa
atau mahluk yang tidak tampak.11 Emosi
keagamaan itu yang mendorong orang
berperilaku serba religi.
Agama berkaitan erat dengan
kepercayaan manusia akan kekuatan
supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan
dalam berbagai bentuk maupun aktifitas dan
berbagai simbol. Agama kemudian mampu
menggerakan pola fikir manusia, dan mampu
mengendalikan perilaku dan merubah
kehidupan masyarakat manusia.
Dari pemahaman kebudayaan dan sistim
religi masyarakat maka tulisan ini akan
memfokus pada sistim religiusitas yang terdapat
pada masyarakat Negeri Hena Lima- Ambon
10 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, hlm.
376-377 11 George Ritzer, Modern Sociological Theory, terj.
Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 17
dengan pendekatan Teori Sosiologi Agama
tentang asal usul agama dan Kepercayaan.
B. Sejarah singkat Masyarakat Negeri Hena
Lima
Masyarakat Hena Lima (Negeri Lima)
merupakan salah satu negeri yang terletak di
Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.
Dinamakan Negeri Hena Lima, karena terdapat
lima negeri yaitu Hena Nau, Hena Lale, Hena
Helu, Ela Tua dan Hena Ulisiahu yang di
integrasikan menjadi satu negeri besar. Semula
kelima negeri tersebut tinggal di peggunungan
Hena Lima, setelah masuknya agama Islam
kelima negeri tersebut turun ke tepi pantai dan
membentuk satu negeri besar di pimpin
langsung oleh satu Raja atau Kepala desa hingga
sekarang.12
Hena BiNau (Negeri Mawi) berasal dari
Kata “Bi” yang artinya tarik/hela dan “ Nau” yang
berarti mawi (meramal) yang kemudian
disatukan menjadi “Binau” artinya tarik atau
hela mawi. Karena pekerjaan ini dilaksanakan di
suatu tempat khusus, maka dalam bahasa adat di
sebut tempat mawi/perintis atau petunjuk jalan
yang umunya di kenal dengan nama “Nuzum”.
Dalam perkembangan bahasa dan adat istiadat,
maka nama ini dirubah menjadi Uli Nau dan
pada akhirnya menjadi Nau hingga sekarang.
Datuk atau moyang yang mula-mula
menjadi pimpinan pada Hena Nau (kampong
mawi) adalah Kapitan Rakamau yang dikenal
dengan sebutan Latu Ela ( Raja Besar) artinya
orang yang memegang jabatan tertinggi.
12 M. Syafin Soulisa, Interaksi Sosial Dalam Budaya
Gandong Pada Masyarakat Hena lima Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon 2006), hlm. 34
M. Syafin Soulisa
108 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Hena Ulisiahu, Hena ini letaknya kurang
lebih 2 Km di sebelah selatan Negeri Hena Lima.
Nama Hena Ulisiahu ini di ambil dari nama
sejenis umbi yang banyak tumbuh di daerah
pemukiman mereka, yang dalam bahasa daerah
disebut dengan nama “Isiahu”. Dalam
perkembangan dan atas ininsiatif Kapitan
Rakamau (Latu Ela) merasa tidak puas dengan
kehidupan keluarga Hena Ulisiahu, sehingga dia
berusaha untuk menurunkan mereka untuk
menemani masyarakat Hena Nau di pesisir
pantai. Ajakan tersebut disetujui, Maka mereka
pun turun, dalam perjalanan turun terdapat
sebuah batu yang merintangi jalan yang mereka
lalui sehingga mereka berusaha untuk
memindahkan kesebelah jalan, peristiwa ini di
sebut “Talahatu” artinya Tebang Batu atau
memindahkan batu. Mereka berhasil turun ke
pantai dan bergabung dengan penduduk Hena
Nau. Peristiwa memindahkan batu tersebut
(Talahatu) di abadikan menjadi marga asli Hena
Ulisiahu di samping Marga Tuny.hena Ulisiahu
sendiri tidak terlalu berkembang dikarenakan
tidak terlalu banayak marga atau lumtau.
Hena Helu (Negeri Baru), negeri ini
letaknya kurang lebih 8 Km sebelah tenggara
Hena Lima (Negeri Lima). Letaknya sangat
strategis di atas pengunungan. Tempat ini
disebut Hena Helu yang artinya “Kampung Baru”
karena mereka turun ke pantai belakangan.
Kehidupan mereka di pengunungan ini sering
membawa akibat buruk bagi Masyarakat Hena
Nau dan Hena Ulisiahu, karena warga kedua
Hena tersebut sering di culik dan akhirnya di
bunuh oleh Masyarakat Hena Helu. Akibat dari
sering terjadi pembunuhan itu. Orang-orang
yang berada di sekitar pengunungan, seperti
Hena Dali juga Hena Elatua yang masi terdiam di
daerah pengunungan merasa resah maka
datanglah Kapitan Rakamau dari Hena Nau
bersama-sama dengan pimpinan kedua Hena
untuk mengadakan perundingan dengan
Pimpinan Hena Helu agar mereka turun ke
pesisir pantai, kemudian ditempatkan disebelah
barat Hena Nau dan diberi Nama Hena Helu
(Kampong baru). Hingga sekarang tetap di
pertahankan sebagai Soa Hena Helu,
sebagaimana Soa Lainnya. Sedangkan Rumatau
(Marga) asli penduduk Hena Helu adalah Marga
Soumena Letehaha (Soumena diatas ) Soumena
Baelete, Hehalatu dan Sopalau (Berlayar Jauh ).
Hena Elatua, negeri yang sebelum turun
ke pantai, mereka menetap di bawa kaki gunung
Latua kurang lebih berjarak 9,5 km sebela
selatan Hena Lima. Gunung yang berada pada
perbatasan Negeri Hena Lima, Hatu dan Negeri
Alang. Dari nama gunung tersebut mereka
menamakan negeri mereka ketika berada di
pantai dengan sebutan negeri atau Soa Latua.
Marga-marga atau lumatau yang mendiami hena
Latua yakni marga Latuapo, tunny, Hutuely,
Hitaut, Sopaliu dan Teunusun. Marga-marga
tersebut masih ada kecuali marga Sopaliu dan
Teunusun telah punah dikarenakan sudah tidak
ada keturunannya. Adapun raja yang
memerintah pada saat itu adalah raja latuhukul
(raja Gunung Alifuru) dari lumatau marga
Latuapo.
Hena Lale (Negeri Lalat), negeri ini
terletak di daerah pengunungan Wasi Hena Lale
(hutan Negeri Lalat) kurang lebih 10 Km dari
Negeri Hena Lima. Awal mula Hena ini didiami
oleh satu keluarga Batih yang terdiri dari ayah
ibu dan tiga orang anak. ketiga Anak (kakak
beradik) masing-masing “Tauqi” (sulung)
“Tauqa”(tengah) dan “Siti Ehuputy” (bungsuh).
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 109
Mereka adalah Penduduk asli yang di sebut
Alifuru, dimana kehidupanya masi primitif dan
belum mempunyai peradaban.
Perkampungan mereka di sebut Hena
Lale yang artinya negeri yang banyak Lalatnya.
Dikatakan demikian karena kebiasaan yang
dimiliki oleh mereka bahwa bilamana ada orang
asing yang datang menemui mereka, mereka
lantas datang mengerumuni orang tersebut,
sama halnya lalat mengurumuni suatu bangkai.
Ketiga kakak beradik ini setelah kedua orang
tuanya meninggal mereka tidak betah hidup di
pengunungan dan memilih unutk turun ke pantai
Dalam perkembangan selanjutnya maka
Hena-hena tersebut di rubah kedudukannya atau
status di dalam badan pemerintahan Desa dalam
sistem pemerintahan adat Hena Lima (Negeri
Lima) disebut”Soa” yang terdiri dari Soa Nau,
Soa Ulisiahu, Soa Hena Helu,Soa Hena Lale dan
Soa Elatau, dimana setiap Soa tersebut diangkat
dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa, dalam
istilah masyarakat Hena Lima yang disebut
“Tamaela”, sedangkan Raja atau Kapala Desa
disebut “ Upu”. 13
Negeri Hena Lima secara geografis
terletak di sebelah Utara Barat Pulau Ambon.
Secara administarasi pemerintahan berada di
daerah Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku
Tengah. Letak Negeri Hena Lima tidak jauh dari
ibu Kota Provinsi Maluku, Ambon, dengan jarak
kurang lebih 56 kilometer, dengan daya tempuh
tidak kurang dari dua jam perjalanan dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat.
Sementara jarak dari Ibu Kota Kabupaten
Maluku Tengah, Masohi kurang lebih 100
kilometer, sedangkan jarak dari pusat
Kecamatan Leihitu kurang lebih 18 kilometer.14
13 Ibid, hlm. 37-40 14 Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah
Dalam Anggka 2012, hlm. 18
Penduduk Hena Lima 100% beragama
Islam, karena tidak satu pun dari mereka yang
menganut agama lain. Dari jumlah penduduk
yang mencapai 6000-an jiwa ini terdapat empat
buah masjid dan tiga buah mushalah wanita,
yakni Masjid At-Taqwa, Masjid Tailan, Masjid
Baitul Aziz dan Masjid Nurul Hidayah. Sementara
mushalah wanita yakni mushalah Nurul Iman,
Nurul Islam dan Mushalah Nurul Ihsan. Dari
keempat masjid dan ketiga mushalah tersebut,
masjid At Taqwa dijadikan sebagai pusat
kegiatan peribadatan dan kegiatan sosial bagi
masyarakat Hena Lima. Kegiatan ibadah
masyarakat semisal pembinaan mental mulai
dari pengajian Quran, khotbah Jumat, sampai
pada pengajian-pengajian dan kegiatan
keagamaan lainnya. Sementara kegiatan sosial
semisal rapat pertemuan para tokoh adat dan
masyarakat guna membahas persoalan yang
menyangkut dengan kebutuhan masyarakat.15
Masyarakat Negeri Hena Lima
merupakan masyarakat yang sangat kuat dalam
memegang agama dan adat peninggalan
leluhurnya. Hal ini akan terlihat jelas
perbedaannya bila dibandingkan dengan
masyarakat lain di luar Negeri Hena Lima,
diduga karena adanya pengaruh kepercayaan
dari leluhur mereka. Oleh karena itu tulisan ini
dikhususkan kepada Sistem Religiusitas
Masyarakat Hena Lima, dan pengaruh
kepercayaan masyarakat setempat kepada para
leluhur (Upu Wosi) Negeri Hena Lima hingga
memunculkan “believe” dalam diri masyarakat
Hena Lima terhadap adanya Mamolin
(pantangan, pamali) terhadap segala hal yang
tidak diajarkan oleh leluhurnya. Sebagai kajian
teori, maka akan digunakan beberapa teori dari
15 Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012
M. Syafin Soulisa
110 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
para tokoh sosiologi yang berkenaan dengan
masalah Agama dan Sistem kepercayaan.
C. Religiusitas Masyarakat Negeri Hena
Lima
1. Animisme dan pengaruhnya bagi Religiusitas
Masyarakat Negeri Hena Lima.
Animisme adalah merupakan suatu
kelanjutan perubahan kepercayaan secara
perlahan (evolusi) dari kepercayaan kepada roh
nenek moyang atau leluhur. Kepercayaan ini
berasal dari perkembangan berfikir manusia
dalam memahami sebab-musabab gejala-gejala
alam yang terjadi di sekitarnya seiring dengan
perkembangan daya berfikir manusia dalam
memikirkan asal usul gejala-gejala alam seperti
hujan, panas, gunung meletus, gempa bumi,
tumbuh-tumbuhan, angin dan lain sebagainya.16
Ketika dihadapkan dengan fenomena
alam yang terjadi seperti api yang membakar, air
sungai yang mengalir, bencana gunung meletus
manusia memerlukan pemercahan masalah alam
tersebut dengan mencari sebab-sebab fenomena
alam tersebut. Akhirnya, dikarenakan
perkembangan berfikir yang belum berkembang
dengan baik maka kemudian manusia purba
menganggap bahwa penyebab fenomena-
fenomena alam tersebut adalah roh.
Roh yang dianggap mengatur fenomena-
fenomena alam dan juga alam semesta karena
bentuknya yang tidak kasatmata atau tidak
dapat ditangkap oleh panca indera dapat berbuat
apa saja yang tidak dapat dilakukan manusia.
Agar manusia senantiasa dapat terus
beraktivitas keseharian dengan penuh
16http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/19/bahan-ajar-perkembangan-sistem-kepercayaan-masyarakat-indonesia/ di akses 09 Februari 2013
ketenangan, kelancaran dan sesuai harapan
maka roh-roh tersebut perlu dihormati.
Penghormatan dan persembahan manusia
kepada roh-roh tersebut dilakukan dengan
melakukan pembacaan doa-doa, pemberian
sesaji ataupun korban.
Menurut William, istilah “animieme”
mengandung banyak variasi,dimana binatang,
tumbuh-tumbuhan, air, gunung, batu dapat
memiliki jiwa sendiri-sendiri. Hutan dapat
dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terikat atau
yang berkeliaran bebas, namun pada umumnya
lebih dekat dengan manusia.17 Animisme
menurut Edwart Tylor memiliki dua arti,
pertama; sebagai suatu sistim kepercayaan
dimana manusia religius khsusnya primitif
membubuhkan jiwa pada manusia, mahluk
hidup dan benda mati. Kedua; animisme timbul
akibat dari pemikiran mengenai beberapa
pengalaman psikis terutama mimpi.18
Pada masa sekarang animisme masih
sangat melekat dalam kehidupan sebagian
masyarakat, baik di kota maupun di desa. Hal ini
disebabkan oleh ketidakmampuan manusia
dalam memahami fenomena alam secara
rasional-ilmiah. Kepercayaan-kepercayaan
tersebut akhirnya masih bertahan ditengah-
tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.
Masyarakat Negeri Hena Lima, mereka
percaya bahwa pada ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan tertentu pula (nitu-nitu-Upu
Wosi). Tempat atau dusun-dusun, sungai,
17 Beni Ahmad Saibani, Pengantar Antropologi, (
Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 245 18 Adeng Muchtar Ghazali, Pengantar Antropologi
Agama, (Bandung: Alfabet, 2011), hlm. 73
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 111
tempat-tempat lereng bukit, pohon, tempat
antara perkampungan dengan hutan, dan
sebagainya, merupakan tempat-tempat yang
didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu (nitu).
Tempat-tempat tersebut didiami mahluk-
mahluk halus dan dianggap mamolin (pamali).
Itulah sebabnya di daerah-daerah tersebut bagi
masyarakat Negeri Hena Lima senantiasa
menjaganya sebagai bentuk penghormatan
terhadap makhluk-makhluk halus agar
masyarakat Hena Lima tehindar dari
malapetaka.
Edward Burnet Taylor dalam teori ruh
sebagaimana dijelaskan oleh Koenjtaraningarat19
bahwa alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa
yang bebas merdeka. E.B. Taylor tidak lagi
menyebutnya sebagai jiwa namun spirit atau
makhluk halus. Ia membedakan antara roh
dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus
dari setiap makhluk yang mampu hidup terus
sesudah jasadnya mati atau sedang tidur,
sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang
ada karena memang dari awal sudah ada dan
tidak dapat ditanggakap oleh panca indra
manusia, dapat melakukan apa yang tidak dapat
dilakukan oleh manusia, serta menghuni alam
dimana manusia tinggal.
Berdasarkan kepercayaan semacam itu,
makhluk halus menjadi obyek penghormatan
dan penyembahan manusia dengan berbagai
upacara keagamaan berupa do’a, sajian, dan
korban. Kepercayaan semacam itulah yang oleh
E.B. Taylor disebut Animisme, yaitu suatu
kepercayaan terhadap adanya roh-roh nenek
moyang.
19 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Agama:
Pokok-Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 195-196
Masyarakat Negeri Hena Lima,
senantiasa melakukan upacara-upacara adat
sebagai bentuk ritual keagamaan terhadap para
leluhur mereka. Upacara-upacara tersebut
seperti upacara pataniti,Sirimasa, Aroha, Jarah
Baliwe. Dalam Jarah Baliwe misalnya, yang di
lakukan sebagai tanda penghormatan kepada
Tete Baliwe sebagai leluhur dari Masyarakat
Negeri Hena Lima. Upacara dilakukan setiap
empat tahun sekali itu, dengan khidmat seraya
memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi
diri sendiri, keluarga maupun negeri-desa secara
keseluruhan.
Ritual kepercayaan seperti itulah yang
mempengaruhi sistem religi masyarakat Negeri
Hena Lima, meskipun penduduk Negeri Hena
Lima mayoritas beragama Islam, akan tetapi
sebagaimana masyarakat adat mereka juga
sangat taat memegang adat-istiadat dan
kepercayaan pada leluhurnya. Artinya, walaupun
mereka menyatakan memeluk agama Islam
namun syariat Islam yang mereka jalankan di
sandingkan dengan adat istiadat.
Bagi masyarakat Negeri Hena Lima,
dalam menjalankan agama, mereka patuh pada
warisan leluhur, seperti sholat, puasa pada bulan
Ramadhan. Artinya, bagi masyarakat Negeri
Hena Lima tidak terpengaruh dengan faham
kegamaan yang bayak bermunculan dalam
masyarakat Islam. Bahwa apa yang telah di
ajarkan oleh leluhur itulah yang di jalankan.
Dinamisme dan istilah Mamolin-Pamali
“Keramat” pada Masyarakat Negeri Hena Lima.
Dinamisme adalah paham-kepercayaan kepada
kekuatan sakti yang ada dalam segala hal.
Kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan
M. Syafin Soulisa
112 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
yang ditandai dengan adanya malapetaka atau
balas budi kepada alam atau anasir alam.20
Masyarakat Negeri Hena Lima percaya
bahwa alam semesta seperti gunung, lautan,
tanah, sungai, pepohonan terdapat
penghhuninnya dan memiliki kekuatan-kekuatan
yang bersifat supernatural. Jika diantara mereka
ada yang akan membuka hutan untuk berkebun
maka mereka senatiasa berpamitan terlebih
dahulu kepada pohon sebelum di tebang, begitu
juga ketika akan melaut atau mengadakan
pekerjaan lainnya. Kekuatan tersebut dianggap
melebihi dari kekuatan yang pernah diketahui
oleh manusia. Adanya peristiwa-peristiwa alam
seperti longsoran gunung, banjir terjadi karena
manusia yang hidup di alam tersebut sudah tidak
bersikap memelihara dan melestarikan alam.
Sehingga alam yang semula tenang dan damai
seakan-akan “marah” karena perilaku tidak baik
manusia. jika pohon-pohon tersebut ditebang
tentunya sangat berbahaya, dengan terjadi
bencana longsor dan banjir karena tanah yang
sudah keropos.
R.R. Marret menjelaskan bahwa agama
dan sikap religius manusia terjadi karena adanya
kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang
terdapat di lingkungan alam sekelilingnya.
Dengan sanggahan terhadap Edwarb B. Taylor
yang mengatakan bahwa timbulnya agama
karena adanya kesadaran manusia terhadap
adanya jiwa. Menurut Marret terlalu rumit - bila
kesadaran keagamaan itu muncul ketika
manusia sudah menyadari akan adanya jiwa,
karena Jiwa merupakan sesuatu yang bersifat
abstrak, begitu pula dengan makhluk halus- dan
terlalu kompleks bila harus mengkaji tentang
20 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), 38
hakikat roh maupun makhluk halus. Maka dari
itulah dia menganggap bahwa kekuatan
supernatural dari alam lebih dahulu
mempengaruhi system kepercayaan manusia
sebelum mempercayai akan adanya kekuatan
dari makhluk halus. Asumsi Marret inilah yang
memunculkan kepercayaan preanisme atau lebih
dikenal dengan istilah dinamisme21 yaitu suatu
kepercayaan terhadap adanya kekuatan
supernatural dari alam.
Pada Masyarakat Negeri Hena Lima,
menurut Abdul Mutalib Assel bahwa bencana
yang terjadi selain di sebabkan karena perilaku
tidak baik dari manusia juga di sebabkan oleh
perilaku yang melanggar hukum adat atau dalam
istilah masyarakat Hena Lima disebut hal yang
Mamolin (Tabu atau Pamali). Istilah Mamolin ini
merupakan salah satu kebiasaan yang ada dan di
yakini oleh masyarakat Hena Lima pada
umumnya terlebih lagi pada orang tua dan
pemangku adat. 22
Kebiasaan ini mengindikasikan adanya
sebuah larangan (baik yang bersifat sosial
Maupun kultural) yang diwariskan secara turun
temurun dalam masyarakat tersebut. Mamolin
merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis
yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh
setiap orang dalam masyarakat tersebut. Contoh
hal yang di anggap mamolin (Tabu atau Pamali)
di masyarakat Negeri Hena Lima seperti dalam
pembangunan rumah dan Masjid
2. Kesederhanaan Pola Pikir Masyarakat Negeri
Hena Lima.
Masyarakat Negeri Hena Lima dari segi
tingkat pendidikan dapat dikatakan telah maju
21 Ibid, hlm. 28 22 H. Abdul Mutalib Assel (tokoh adat Hena Lima)
Wawancara 16 Agustus 2013
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 113
dan berkembang hal ini dapat dilihat dengan
keberadaan lembaga pendidikan dari Taman
Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah
Atas (SMA), namun dikarenakan masyarakat
Hena Lima adalah masyarakat yang masih
berpegang pada aturan adat istiadat dari para
leluhurnya sehingga ikut mempengaruhi
kesederhanaan cara fikir.
Masyarakat Negeri Hena Lima menyadari
bahwa semua permasalahan yang mereka
rasakan tidak semuanya bisa memperoleh
jawaban dari proses berfikir melalui akal, karena
anggapan mereka akal tidak selalu bisa
menafsirkan hukum adat yang berlaku. Ketika
Sesuatu yang disebut dengan mamolin ataupun
tabu sehingga pantang untuk dilanggar maka
mereka hanya bisa memahami sebagai aturan
adat yang tidak boleh dilanggar, menghormati
para leluhur, atau agar terhindar dari petaka.
Semisal dianggap mamolin atau tabu untuk
membicarakan soal keberadaan leluhur dan asal-
usul mereka, karena mungkin juga sulit untuk
menjelaskan atau mencari informasi yang detail
dan akurat berkenaan dengan asal-usul leluhur
selain juga karena pamali untuk diceritakan.
Mereka juga menganggap dengan
mematuhi adat seperti itu, ada hal magis yang di
tempuh dalam menjalankan aturan adat. ketika
Mereka menyadari ada kekuatan di luar
keterbatasan akal mereka yang mendiami
tempat-tempat tertentu yang dianggap suci
maupun angker. Dari situlah timbul anggapan
bahwa kekuatan-kekuatan luar biasa tersebut
tidak akan mendatangkan mala petaka terhadap
masyarakat Negeri Hena Lima jika masyarakat
tidak melanggar ajaran dari para leluhur.
James G. Frazer dalam Teori Batas
Akalnya menyatakan bahwa permulaan
terjadinya agama dikarenakan manusia
mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan
oleh akalnya. Menurut Frazer 23 manusia biasa
memecahkan berbagai persolaan hidupnya
dengan akal dan sistem pengetahuannya Tetapi
akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya,
dan batas akal itu meluas sejalan dengan
meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi.
Oleh karena itu makin maju kebudayaan
manusia makin luas batas akalnya. Pada
masyarakat yang kebudayaannya masih sangat
sederhana batas akal manusia masih sangat
sempit.
Oleh karena itulah berbagai persoalan
hidup banyak yang tidak dapat di pecahkan
dengan akal mereka. Maka mereka
memecahkannya melalui magis atau ilmu gaib.
Magis adalah segala perbuatan manusia untuk
mencapai suatu maksud tertentu melalui
berbagai kekuatan yang ada di alam semesta
serta seluruh kompleksitas anggapan yang ada di
belakangnya. Pada mulanya manusia hanya
menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan
soal-soal hidupnya yang ada di luar batas
kemampuan dan pengetahuan akalnya.
Lambat laun terbukti banyak perbuatan
magisnya itu tidak ada hasilnya. Oleh karena
itulah ia mulai percaya bahwa alam ini di diami
oleh makhluk-makhluk halus yang lebih
berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai
mencari hubungan yang baik dengan makhluk-
makhluk halus yang mendiami alam itu. Dengan
demikian hubungan baik ini menyebabkan
manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada
kekuatan yang di anggap lebih dari dirinya yang
pada akhirnya memunculkan sistem religi.
23 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2000), hlm. 26
M. Syafin Soulisa
114 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
3. Masyarakat Negeri Hena Lima dalam
menghadapi Krisis.
Pada masyarakat Negeri Hena Lima yang
masih sangat memegang adat istiadat dari
leluhurnya, mereka percaya bahwa dengan
menjalankan kehidupan dengan tidak melanggar
aturan-aturan hukum adat yang berlaku maka
mereka telah melestarikan ajaran dari para
leluhur mereka, dampaknya adalah mereka akan
terhindar dari malapetaka.
Masyarakat Negeri Hena Lima ketika ada
di antara mereka mengalami sakit selain ke
pihak medis, mereka juga melaksanakan ritual
Hulasi 24 Wae Kubur25 dan Jarah Baliwe26(segala
sikap perbuatan yang menjadi gambaran dari
sistem kepercayaan kepada leluhur yang di anut)
adalah kepercayaan yang mereka yakini akan
mendatangkan penyembuhan. Ritual-ritual
tersebut sebagai penggambaran dari sistem
religi yang mereka yakini untuk menjawab
segala hal ketidakpastian, kelangkaan, dan
ketidakberdayaan.
Menurut Afandi Uluputty,27 masyarakat
beranggapan bahwa dengan menjalankan ritual-
ritual tersebut maka mereka telah berusaha
untuk mencari solusi dari kemungkinan-
kemungkinan timbulnya krisis (terutama berupa
bencana, seperti sakit dan maut) dalam
hidupnya. Seperti ketika masyarakat Negeri
Hena Lima melakukan ritual upacara jara baliwe
yang dilaksanakan oleh seluruh warga anak adat
24 Hulasi adalah bentuk ritual pengobatan yang
dilakukan ketika seseorang dalam kondisi sakit, bahannya berupa daun siri, kapur dan pinang
25 Wae Kubur yakni air yang di ambil dengan cara berjiarah ke makam kuburan orang tua atau leluhur yang di awali dengan pembacaan Yasin dan Tahlilan
26 Jarah Baliwe adalah bentuk permohonan kepada Leluhur dalam bentuk berjiarah ke makamnya.
27 Afandi Uluputty (Toko Adat Negeri Hena Lima), Wawancara Agustus 2013
Negeri Hena Lima, baik yang bertempat tinggal
di Negeri Hena Lima maupun desa atau negeri
tentangga. Maksud dan tujuan inti dari upacara
Jara Baliwe adalah untuk memohon berkah dan
keselamatan kepada leluhur Hena Lima, yaitu
Tete Baliwe serta menyatakan rasa syukur
kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala
nikmat yang telah diberikan kepada seluruh
warga.
Dalam mengomentari pemikiran M.
Crawley, Dadang Kahmad menjelaskan bahwa
kelakuan keagamaan manusia mulanya muncul
untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam
kehidupan manusia itu sendiri. Menurut kedua
sarjana ini, Dalam jangka waktu sejarah
hidupnya manusia mengalami banyak krisis
yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis
tersebut menjadi obyek perhatian manusia dan
sangat menakutkan.
Betapapun bahagianya seseorang, ia
harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan
timbulnya krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis
tersebut terutama berupa bencana seperti sakit
dan maut yang memang sangat sukar untuk di
hindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan
dan kekayaan harta benda. Karena selama
hidupnya ada beberapa masa krisis, maka
manusia membutuhkan sesuatu untuk
memperteguh dan menguatkan dirinya.
Perbuatan yang berupa upacara sakral pada
masa krisis merupakan pangkal dari
keberagamaan manusia.28
D. Karamat Baliwe sebagai Simbol
Masyarakat Negeri Hena Lima.
Masyarakat Negeri Hena Lima
merasakan adanya getaran jiwa terhadap
28 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, …, 28
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 115
lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini
terlihat ketika mereka berprilaku baik terhadap
alam sekitar mereka. Menurut mereka prilaku
yang baik itu tergambar ketika mereka
memelihara dan menaati adat istiadat dari para
leluhur mereka. Dengan tidak melanggar hukum
adat maka dimungkinkan masyarakat Negeri
Hena Lima akan terhindar dari mala petaka.
Misalnya ketika terjadi bencana Wae Ela, dalam
kepercayaan masyarakat bahwa runtuhnya
gunung Ulak Hatu pada tanggal 13 Juli 2012 dan
bencana banjir Wae Ela pada tanggal 25 Juli
2013 adalah bentuk kemarahan dari leluhur
akibat dari masyarakat Negeri Hena Lima telah
banyak melanggar hukum adat dan agama yang
menjadi warisan leluhur.
Kemudian rasa keterikatan, bakti,
maupun rasa cinta terhadap sesama masyarakat
agar terhindar dari marabahaya itulah yang
menjadi dasar timbulnya sentiment
kemasyarakatan. Durkheim menjelaskan bahwa
agama yang permulaan itu muncul karena
adanya suatu getaran, suatu emosi yang timbul
dalam jiwa manusia sebagai akibat dari
pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga
masyarakat (sentiment kemasyarakatan).
Durkheim menyebutnya sebagai getaran jiwa
atau emosi keagamaan. Sentiment
kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu
berupa suatu kompleksitas perasaan yang
mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan
perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana
ia hidup. Sentiment kemasyarakatan tersebut
harus selalu dipelihara agar tidak melemah dan
menjadi laten, maka dari itu harus selalu
dikobarkan dengan mengadakan satu kontraksi
masyarakat yaitu dengan mengumpulkan
seluruh masyarakat dalam pertemuan-
pertemuan raksasa. Pertemuan tersebut
merupakan suatu keadaan dimana seluruh
anggota masyarakat berkumpul dalam suatu
acara besar yang pelaksanaannya sudah diyakini
bersama dapat mempererat rasa kesatuan
seluruh anggota masyarakat.
Emosi keagamaan yang timbul karena
rasa sentiment kemasyarakatan membutuhkan
suatu obyek tujuan. Sifat yang menyebabkan
sesuatu itu menjadi obyek dari emosi keagamaan
bukan karena sifat luar biasanya, anehnya,
megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan
anggapan umum masyarakat. Obyek itu ada
karena terjadinya satu peristiwa secara
kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu
masyarakat masa lampau yang menarik
perhatian orang banyak di dalam masyarakat
tersebut. Obyek yang menjadi tujuan emosi
keagamaan juga obyek yang bersifat keramat.
Dan objek keramat itu sebenarnya merupakan
suatu Lambang masyarakat (Totem).29
Pada Masyarakat Negeri Hena Lima,
Contoh dari prilaku baik yang tergambar dari
prilaku memelihara adat istiadat mereka yaitu
ketika mereka melaksanakan ritual upacara jara
baliwe. Menurut Afandi Uluputy 30bahwa
Upacara jara baliwe merupakan upacara ziarah
dan membersihkan makam. Sebelumnya para
peserta upacara harus melaksanakan beberapa
tahap upacara. Mereka harus mandi dan
membersihkan diri dari segala kotoran. Selesai
mandi mereka berwudlu kemudian mengenakan
pakaian rapi sementara berputih-putih adalah
lebih baik. Secara teratur mereka berjalan
menuju karamat tete baliwe, jaraknya sekitar 1
29 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi; Pokok-
Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 198-199 30 H. Afandy Uluputy (Tua Adat Negeri Hena Lima)
Wawancara tanggal 1 Agustus 2013
M. Syafin Soulisa
116 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
kilommeter di atas gunung Baliwe. Sebelum
masuk ke makam karamat tete baliwe mereka
mengucapakan salam terlabih dahulu sebagai
tanda penghormatan, kemudian masuk dan
duduk secara bersila.
Hal itu dilakukan sebagai tanda
penghormatan dan merendahkan diri. Kemudian
diawali dengan pembacaan surah Alfatiha,
Tahlilan dan Ratibul Hadad yang di pimpin oleh
Imam atau sala seorang dari penghulu masjid,
sambil memohon keselamatan, kesejahteraan,
dan kehendak masing-masing jamaah. Setelah itu
barulah membaca ayat-ayat Suci Al-Quran dan
diakhri dengan doa bersama. Dari ritual itu maka
bisa diambil kesimpulan bahwa karamat baliwe
merupakan simbol atau lambang keramat bagi
kehidupan masyarakat Negeri Hena Lima.
E. Manwai Baliwe sebagai Leluhur
Masyarakat Hena Lima.
Masyarakat Negeri Hena Lima sangat
menghormati leluhurnya yaitu Manwai Baliwe.
Dinamakan Manwai Baliwe karena kuburan
karamatnya terletak di puncak gunung Baliwe
Negeri Hena Lima. Manwai Baliwe dikenal
sebagai seorang ulama besar Timur Tengah yang
diyakini datang ke Negeri Hena Lima untuk
menyebarkan Agama Islam.
Masyarakat Negeri Hena Lima meyakini
bahwa Manwai Baliwe merupakan leluhur
mereka. Dari sejarahnya memang diduga
sebelum bahwa Manwai Baliwe menyebarkan
ajaran Agama Islam. Sebagai seorang wali Allah
beliau mendapatkan petunjuk Allah dan pada
akhirnya meninggal dan memiliki karamah di
puncak gunung Baliwe. Olehnya, sampai
sekarang masyarakat Negeri Hena Lima
berkeyakinan bahwa dari ajaran yang dibawa
Manwai Baliwe maka sistem religi menjadi suatu
pedoman hidup masyarakat Hena Lima.
Menurut Andrew Lang, sebagaimana di
jelaskan oleh Dadang Kahmad,31 bahwa kelakuan
religius manusia terjadi karena mendapat wahyu
dari Tuhan. Lang yang juga sebagai ahli
kesusastraan banyak membaca tentang
kesusastraan rakyat dari banyak suku bangsa di
dunia. Dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering
mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang
oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan
dianggap dewa tertinggi. Kepercayaan pada
seorang tokoh dewa tertinggi tampak pada suku-
suku bangsa yang sangat rendah kebudayaannya
dan yang hidup dari berburu dan meramu.
Keadaan itu membuktikan bahwa kepercayaan
terhadap satu tuhan itu tidak timbul karena
pengaruh agama nasrani atau agama Islam.
Kepercayaan seperti itu dalam
perkembangannya bahkan tampak terdesak oleh
kepercayaan akan makhluk-makhluk halus,
dewa-dewi alam, roh, dan hantu. Lang
menyimpulkan bahwa kepercayaan kepada
dewa tertinggi merupakan suatu kepercayaan
yang sudah tua, dan mungkin merupakan bentuk
religi manusia yang tertua.
F. Penutup
Tulisan ini menunjukan bahwa sistim
religi masyarakat Maluku Khusunya masyarakat
Negeri Hena Lima sangat tinggi. Religiusitas
masyarakat Negeri Hena Lima bersifat sinkretis,
karena ekspresi keagamaan telah disatukan
dengan ajaran-ajaran pra-Islam, khususnya
Animisme dan Hinduisme. Hal ini karenakan
masyarakat Negeri Hena Lima memiliki
kebajikan dan kearifan lokal yang diserap dari
31 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,…. Ibid, 30-31
Sistem Religi Masyarakat Maluku
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 117
berbagai akar budaya, serta tradisi yang sudah
mengakar kuat di Nusantara khususnya Maluku,
bahkan jauh sebelum kehadiran Islam di Maluku
ini.
Dalam tulisan ini penulis mencoba
mengimformasikan tentang percampuran dan
ambiguitas bentuk-bentuk singkretik yang
merupakan ciri utama sistim religi-agama di
Negeri Hena Lima. Campurnya kebudayaan
agama lokal dengan agama Islam menjadi ciri
khas tersendiri bagi sistim religiusitas
(keberagamaan) masyarakat di Maluku
khususnya masyarakat Negeri Hena Lima.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saibani, Beni, Pengantar Antropologi,
Bandung: Pustaka Setia, 2012
Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah
Dalam Anggka 2012
Cooly, Frank L, Mimbar dan Takhta: Hubungan
Lembaga-lembaga Kegamaan dan
Pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta:
Sinar Harapan,1987)
Ghazali, Adeng Muchtar, Pengantar Antropologi
Agama, Bandung: Alfabet, 2011
Huliselan, Mus, Makna dan Kedudukan Leluhur
Dalam Kepercayaan (adat) Ambon,
Ambon: 1997 tidak dipublikasikan.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi,
Jakarta: Rineka Cipta, 2000
--------------------, Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1984
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi
Agama: Pokok-Pokok Etnografi II,
Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000
Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012
Lawalata, Maryo, Kedudukan Tete Nene Moyang
Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa
Tanggapan Kontekstual)dalam
http://tounusa.wordpress.com/2011/0
8/26/kedudukan-tete-nene-moyang-
dalam-pengakuan-iman-gpm-beberapa-
tanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini
2013
Martono, Nanang, Sosiologi Perubahan Sosial:
Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern
Dan Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pres,
2011
Putuhena, M. Saleh, Interaksi Islam dan Budaya di
Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-
Politik), makalah disampaikan pada
seminar Budaya Maluku di Gedung PKK
Maluku Oktober 2009
Ritzer, George, Modern Sociological Theory, terj.
Teori Sosiologi Modern, Jakarta:
Kencana, 2008
Soulisa, M. Syafin, Interaksi Sosial Dalam Budaya
Gandong Pada Masyarakat Hena lima
Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon
2006)
http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/1
9/bahan-ajar-perkembangan-sistem-
kepercayaan-masyarakat-indonesia/ di
akses 09 Februari 2013