SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan...

15
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 103 A. Pendahuluan Agama Islam yang berkembang di Nusantara khusunya di Maluku memiliki karakter yang sangat unik dan menarik terkait dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini dikarenakan penyebaran agama Islam di nusantara khususnya Maluku lebih pada pola akulturasi dan asimilasi ajaran Islam dengan budaya dan tradisi lokal masyarakat di nusantara dan Maluku itu sendiri. Para penyiar agama Islam telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek budaya dan spiritual dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat Maluku dalam menyebarkan ajaran Islam. Disinyalir bahwa masyarakat Muslim di Maluku terbentuk sejak abad XV. Menurut M. Saleh Putuhena, telah terjadi interaksi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal. Interaksi itu berpengaruh terhadap perkembangan kedua kebudayaan tersebut. Menurutnya bahwa Perkembangan kebudayaan Islam dapat ditinjau dari dua segi. 1 Pertama, dari segi perluasan wilayah kebudayaan, masyarakat Maluku sejak waktu itu telah termasuk bahagian dari pendukung kebudayaan Islam. Kedua, dari segi substansi kebudayaan, Kebudayaan Islam di Maluku menerima sebahagian budaya lokal. Dengan perkembangan melalui akomodasi itu, kebudayaan Islam di Maluku bernuansa lokal sebagai ciri khasnya. Namun dari sistem kepercayaan, kebudayaan Islam tidak menerima sesuatu unsur kepercayaan lokal seperti dinamisme, animisme, dan roh nenek moyang yang mempengaruhi kehidupan anak-cucu 1 M. Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK Maluku Oktober 2009 SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang Asal Usul Agama pada Masyarakat Hena Lima) Oleh : M. Syafin Soulisa Abstract The development of Islam in Maluku has its own character. This is due to the spread of Islam in the Maluku archipelago, especially cause the process of acculturation and assimilation with the local culture and traditions. Community Hena Lima Muslim majority today than adhering to the teachings of Islam but the order has not been able to leave their local religious traditions. System of religious traditions Hena Lima people can be said is a fusion between religion and customs, so for people Hena Five religious system that is highly valued. Among these is the tradition and culture of belief in ancestral spirits who have spiritual powers, the power of faith-based as god, the tradition of pilgrimage to the tomb of certain people, perform rituals that aim to worship God. Keywords : Religion, Hena Lima

Transcript of SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan...

Page 1: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 103

A. Pendahuluan

Agama Islam yang berkembang di

Nusantara khusunya di Maluku memiliki

karakter yang sangat unik dan menarik terkait

dengan ekspresi keberagamaannya. Hal ini

dikarenakan penyebaran agama Islam di

nusantara khususnya Maluku lebih pada pola

akulturasi dan asimilasi ajaran Islam dengan

budaya dan tradisi lokal masyarakat di

nusantara dan Maluku itu sendiri. Para penyiar

agama Islam telah berhasil mengkombinasikan

aspek-aspek budaya dan spiritual dalam

memperkenalkan Islam kepada masyarakat

Maluku dalam menyebarkan ajaran Islam.

Disinyalir bahwa masyarakat Muslim di

Maluku terbentuk sejak abad XV. Menurut M.

Saleh Putuhena, telah terjadi interaksi antara

kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal.

Interaksi itu berpengaruh terhadap

perkembangan kedua kebudayaan tersebut.

Menurutnya bahwa Perkembangan kebudayaan

Islam dapat ditinjau dari dua segi.1

Pertama, dari segi perluasan wilayah

kebudayaan, masyarakat Maluku sejak waktu itu

telah termasuk bahagian dari pendukung

kebudayaan Islam. Kedua, dari segi substansi

kebudayaan, Kebudayaan Islam di Maluku

menerima sebahagian budaya lokal. Dengan

perkembangan melalui akomodasi itu,

kebudayaan Islam di Maluku bernuansa lokal

sebagai ciri khasnya. Namun dari sistem

kepercayaan, kebudayaan Islam tidak menerima

sesuatu unsur kepercayaan lokal seperti

dinamisme, animisme, dan roh nenek moyang

yang mempengaruhi kehidupan anak-cucu

1 M. Saleh Putuhena, Interaksi Islam dan Budaya di

Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK Maluku Oktober 2009

SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU

(Studi Tentang Asal Usul Agama pada Masyarakat Hena Lima)

Oleh : M. Syafin Soulisa

Abstract

The development of Islam in Maluku has its own character. This is due to the spread of Islam in

the Maluku archipelago, especially cause the process of acculturation and assimilation with the local

culture and traditions.

Community Hena Lima Muslim majority today than adhering to the teachings of Islam but the

order has not been able to leave their local religious traditions. System of religious traditions Hena Lima

people can be said is a fusion between religion and customs, so for people Hena Five religious system

that is highly valued.

Among these is the tradition and culture of belief in ancestral spirits who have spiritual powers,

the power of faith-based as god, the tradition of pilgrimage to the tomb of certain people, perform

rituals that aim to worship God.

Keywords : Religion, Hena Lima

Page 2: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

104 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

mereka. Demikian pula halnya dengan sistem

ritual. Jadi baik sistim kepercayaan maupun

sistim ritual. kebudayaan Islam dapat dikatakan

tidak menerima unsur kebudayaan lokal.

Menurut Putuhena bahwa Kedua unsur

tesebut harus berdasarkan wahyu, Al-Qur‟an

dan Sunnah Rasulullah. Dalam sistem serimonial

terutama life sycle serimonies seperti upacara

kelahiran, dan upacara perkawinan, dan upacara

kematian, kebudayaan Islam sarat dengan

kebudayaan lokal. Perlu diketengahkan bahwa

kebudayaan Islam yang masuk ke Maluku telah

mengakomodasi kebudayaan lokal lainya seperti

kebudayaan Melayu dan kebudayaan Jawa.

Unsur kebudayaan ini merupakan bagian

dari upacara penggunaan atau peresmian

sesuatu, seperti membangun dan masuk rumah

baru, perahu baru, kebun baru dan sebagainya.

Sebelum Islam dan sesudah Islam untuk

keperluan itu dibacakan mantra atau

semacamnya oleh seseorang yang bertugas

khusus untuk itu. Sebahagian masyarakat adat

khususnya di Maluku Tengah orang seperti itu

disebut maueng. Pada masa Islam untuk hal-hal

sperti tersebut disesuaikan dengan ajaran Islam.

Selain pola-pola kebudayaan berupa

akulturasi antara kebudayaan Islam dengan

kebudayaan lokal tersebut, kebudayaan Islam

menambah khazanah budaya lokal. Dalam

kesenian misalnya, masyarakat sering

memainkan tari debus-badabus, suatu jenis

tarian kekebalan yang disertai nyanyian dzikir.

Tari sambra atau gambus, hadrat, keduanya

diiringi rebana dan nyanyian berupa dzikir. Tari-

tarian tersebut dapat juga dijumpai pada

beberapa daerah lain di Nusantara.

Hal ini cukup menjadi bukti bahwa

bentuk akulturasi Islam dengan budaya

nusantara khususnya budaya Maluku terjadi

secara dialogis. Akan tetapi tidak dapat di

pungkiri bahwa budaya agama lokal telah

mengakar kuat pada kehidupan individu dan

masyarakat Maluku, olehnya keberadaan agama

lokal tersebut tetap berpengaruh terhadap pola

ritual keagamaan yang dilakukan pada saat

mereka memeluk sala satu agama samawi yang

diyakini.

Masyarakat Maluku sebagian besar

mereka beragama Islam dan Kristen, walau

mereka memeluk kedua agama tersebut namun

masih tampak dari mereka sisa religi sebagai

agama asli mereka. Mereka masih percaya akan

adanya roh-roh halus yang harus dihormati dan

diberi makan, minum dan tempat tinggal agar

tidak menjadi gangguan bagi mereka yang masih

hidup. Roh-roh halus itu diyakini sebagai roh

para leluhur yang senantiasa selalu hidup

bersama mereka.

Leluhur sendiri dalam kosmologi orang

di Maluku menurut Lawalata, hal tersebut

mengarah kepada dua term yaitu Upu dan tete

nene moyang. Upu diartikan sebagai Tuhan atau

tuan atau bapak atau orang yang dimuliakan

atau yang paling dihormati. Menurutnya bahwa

ungkapan orang di Maluku terhadap Upu,

memang cukup beragam dan pemaknaannya

bertolak dari identitas kultural, seperti Upu

Lanite, Up Lera, Upu Wosi, Upi Ume, Duad

Lervuan, Ratu, dan lain-lain, dalam kaitan dengan

keberadaan manusia di dunia, Upu dapat dilihat

sebagai Tuhan dan serentak leluhur yang

melahirkan manusia pertama. 2

2Maryo Lawalata, Kedudukan Tete Nene Moyang

Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa Tanggapan Kontekstual)dalam http://tounusa.wordpress. com/2011/08/26/kedudukan-tete-nene-moyang-dalam-pengakuan-iman-gpm-beberapa-tanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini 2013

Page 3: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 105

Mus Huliselan mengungkapkan

kosmologi orang Ambon-Maluku ditandai oleh

pandangan dualistik yang membentuk satu

totalitas. Dunia terdiri Upu Lanite (Tuan atau

Tuhan langit) dan Upu Ume (tuan atau Tuhan

tanah/bumi). Upu Lanite dikategorikan sebagai

laki-laki dan Upu Ume atau Ina Ume (ina=ibu)

sebagai perempuan. Pertemuan kedua unsur ini

yang melahirkan manusia-manusia yang

mendiami wilayah Ambon, Lease, dan Seram

Tengah dan Barat. 3 leluhur orang Maluku

memiliki dua peranan yaitu melindungi dan

menghukum anak cucunya. Peranan melindungi

ini sifatnya sangat pribadi yaitu tidak dapat

dimanfaatkan oleh orang lain yang bukan

kerabat (tete nene moyang) atau senegeri

dihitung dari garis ibu atau ayah.

Sesuai dengan pandangan kosmologinya,

orang Ambon misalnya sangat percaya kepada

tiga kekuatan besar yang berkaitan dengan

leluhur mereka, yaitu gunung, tanah dan tete

nene moyang. Gunung mewakili unsur laki-laki,

tanah dan dunia bawah mewakili perempuan

dan tete nene moyang mewaliki roh para leluhur

(nitu). Masing-masing punya kekuatan sendiri,

kalau dipadukan memiliki kekuatan yang sangat

besar dan dapat dipakai untuk menolong anak

cucu leluhur di dunia.

Kondisi tersebut menurut Lawalata

bahwa konsep leluhur pada orang-orang

Maluku-Ambon adalah suatu konsep yang

berusaha membina dan menjaga hubungan

secara terus menerus dan teratur antara

manusia yang masih hidup, para leluhur dan

lingkungan hidupnya. Makin baik hubungan

3 Mus Huliselan, Makna dan Kedudukan Leluhur

Dalam Kepercayaan (adat) Ambon, Ambon: 1997 tidak dipublikasikan.

diantara ketiganya semakin baik kehidupan di

dalam kosmosnya. Terpeliharanya leluhur (tete

nene moyang) akan berdampak langsung pada

terpeliharanya lingkungan alam maupun

sosialnya.

Dalam hubungan ini, Cooley mangatakan

bahwa masyarakat Maluku merupakan

persekutuan yang terdiri dari orang-orang hidup

dan juga orang mati. Dikatakan demikian karena

melalui adat, orang-orang yang masih hidup dan

arwah para leluhur dipersatukan. Penyatuan ini

didasarkan pada kepentingan menjaga adat. Para

leluhur adalah orang-orang yang telah

menciptakan adat dan manusia yang masih

hidup sekarang adalah pelaksana adat. Mereka

yang memenuhi tuntutan adat akan berhasil,

sedangkan yang tidak peduli akan tertimpa

kesulitan.4

Betapa pentingnya ekssitensi leluhur

bagi oang maluku sehingga dapatlah dilihat

dalam segala aktifitas kehidupan sosial

agamanya leluhur senantiasa mendapat tempat

penting. Untuk masuk baileu atau rumah tua

misalnya, harus minta ijin dari leluhur dengan

cara melakukan upacara terlebih dahulu yang

dilakukan oleh tuan negeri yang disebut dengan

mauweng. dengan mengenakan pakaian adat

setempat, jika tidak dengan simbol tertentu

maka akan mendapat teguran dari para leluhur

mereka berupa bencana, wabah penyakit,

kehidupan selalu merasa di gangu dan merasa

ditinggaloleh leluhurnya. Olehnya untuk

menghidarinya atau cara agar keluarga

terhindar dari ganguan tersebut dilakukan ritual

untuk meminta kepada leluhur senantisa hadir

bersama mereka.

4 Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan

Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 109

Page 4: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

106 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

Valentinja dalam Cooly mengatakan

bahwa orang Ambon meskipun mempunyai ilah-

ilah yang berstatus tinggi dan menengah tidak

tetap dalam berdoa dan ibadah. Kegiatan-

kegiatan keagamaan mereka sebagian besar

didorong oleh adanya krisis dan bencana, jika

tidaka ada maka mereka tidak peduli pada ilah

atau agama. 5

Olehnya itu, Agama atau religi

sebagaimana di definisikan adalah anutan yang

menghubungkan antara manusia dengan Tuhan

(Cicero), agama adalah perasaan berkewajiban

melaksanakan perintah-perintah Tuhan

(Emanuel Kant), agama adalah iman akan adanya

kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang

tidak biasa digambarkan batas waktu atau

tempat (Herbert Spencer), E. B. Taylor menulis

bahwa” Religion is belief in spiritual being” agama

adalah keyakinan tentang adanya mahluk

spiritual.6

Dari definisi agama tersebut dapat di

pahami bahwa agama atau religi adalah

keyakinan manusia akan keberadaan sesuatu

yang bersifat gaib dan Maha Tinggi dan dijadikan

sandaran oleh manusia. Secara sosiologis

menurut Henslin dalam Nanang Martono, agama

merupakan suatu isu yang berkaitan dengan

kepercayaan, olehnya para sosiolog berurusan

dengan hal-hal yang bersifat empiris, hal-hal

yang dapat diamati dan diukur.7

Sistem religi (sistem kepercayaan)

merupakan salah satu unsur kebudayaan

universal yang mewujud sebagai sistim

5 Frank L. Cooly, Mimbar dan Takhta: Hubungan

Lembaga-lembaga Kegamaan dan pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta: Sinar Harapan,1987), 327

6 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 16-17

7 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern Dan Poskolonial, (Jakarta: Rajawali Pres, 2011), hlm. 168

keyakinan dan gagasan tentang Tuhan, Dewa,

Roh-roh halus yang termuat dalam sistem

upacara, baik berupa upacara tradisional

maupun modern yang merupakan suatu pranata

yang diperlukan masyarakat sebagai usaha

untuk memenuhi hasratnya dalam melakukan

komunikasi dengan kekuatan-kekuatan gaib

karena didalamnya terdapat simbol yang

berfungsi sebagai alat komunikasi dengan

makhluk lain.

Religi sebagai unsur budaya karena

kebudayaan adalah keseluruhan sistim gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia yang harus didapatinya dengan belajar.8

Olehnya dapat dipahami bahwa setiap tindakan

manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan

yang dalamnya terdapat unsur-unsur secara

keseluruhan bisa didapatkan di dalam semua

kebudayaan dari suku bangsa di dunia.

Koentjaraningrat membagi sistim religi

dalam masyarakat menjadi empat komponen

yaitu Pertama; Emosi Keagamaan, yang

menyebabkan manusia itu bersikap religius,

Kedua; Sistem Keyakinan yang mengandung

segala keyakinan serta bayangan manusia

tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari

alam gaib (supranatural); serta segala nilai,

norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan,

Ketiga; sistem ritus dan upacara yang

merupakan usaha manusia untuk mencari

hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau

mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib,

Keempat; Umat atau kesatuan sosial yang

menganut sistem keyakinan tersebut.9

8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 180 9 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan

Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 147

Page 5: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 107

Emosi keagamaan (Religion Emotion) hal

ini biasanya di alami oleh setiap manusia walau

hanya sementara. Keadaan tersebut yang

mendorong seseorang melakukan sesuatu yang

bersifat religi. Emosi keagamaanlah yang

menyebabkan sesorang menilai suatu benda,

gagasan, tindakan mendapat suatu nilai keramat

dan dianggap keramat.10 Sistim religi atau juga

disebut dengan agama adalah merupakan salah

satu unsur universal dalam kehidupan manusia.

Hampir setiap ummat manusia mengenal

tentang keberadaan agama. Selain rumusan yang

di sampaikan Koentjaraningrat, Comte juga

merumuskan teori hukum tiga tahapnya, dimana

pada tahap awal perkembangan manusia adalah

Teologis. Pada tahap ini manusia merasakan

keberadaan sesuatu yang memiliki kekuatan

yang melebihi kekuatan dirinya, namun

wujudnya bersifat abstrak dan kemudian

diasumsikan oleh manusia dengan sebuah dewa

atau mahluk yang tidak tampak.11 Emosi

keagamaan itu yang mendorong orang

berperilaku serba religi.

Agama berkaitan erat dengan

kepercayaan manusia akan kekuatan

supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan

dalam berbagai bentuk maupun aktifitas dan

berbagai simbol. Agama kemudian mampu

menggerakan pola fikir manusia, dan mampu

mengendalikan perilaku dan merubah

kehidupan masyarakat manusia.

Dari pemahaman kebudayaan dan sistim

religi masyarakat maka tulisan ini akan

memfokus pada sistim religiusitas yang terdapat

pada masyarakat Negeri Hena Lima- Ambon

10 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, hlm.

376-377 11 George Ritzer, Modern Sociological Theory, terj.

Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 17

dengan pendekatan Teori Sosiologi Agama

tentang asal usul agama dan Kepercayaan.

B. Sejarah singkat Masyarakat Negeri Hena

Lima

Masyarakat Hena Lima (Negeri Lima)

merupakan salah satu negeri yang terletak di

Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah.

Dinamakan Negeri Hena Lima, karena terdapat

lima negeri yaitu Hena Nau, Hena Lale, Hena

Helu, Ela Tua dan Hena Ulisiahu yang di

integrasikan menjadi satu negeri besar. Semula

kelima negeri tersebut tinggal di peggunungan

Hena Lima, setelah masuknya agama Islam

kelima negeri tersebut turun ke tepi pantai dan

membentuk satu negeri besar di pimpin

langsung oleh satu Raja atau Kepala desa hingga

sekarang.12

Hena BiNau (Negeri Mawi) berasal dari

Kata “Bi” yang artinya tarik/hela dan “ Nau” yang

berarti mawi (meramal) yang kemudian

disatukan menjadi “Binau” artinya tarik atau

hela mawi. Karena pekerjaan ini dilaksanakan di

suatu tempat khusus, maka dalam bahasa adat di

sebut tempat mawi/perintis atau petunjuk jalan

yang umunya di kenal dengan nama “Nuzum”.

Dalam perkembangan bahasa dan adat istiadat,

maka nama ini dirubah menjadi Uli Nau dan

pada akhirnya menjadi Nau hingga sekarang.

Datuk atau moyang yang mula-mula

menjadi pimpinan pada Hena Nau (kampong

mawi) adalah Kapitan Rakamau yang dikenal

dengan sebutan Latu Ela ( Raja Besar) artinya

orang yang memegang jabatan tertinggi.

12 M. Syafin Soulisa, Interaksi Sosial Dalam Budaya

Gandong Pada Masyarakat Hena lima Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon 2006), hlm. 34

Page 6: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

108 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

Hena Ulisiahu, Hena ini letaknya kurang

lebih 2 Km di sebelah selatan Negeri Hena Lima.

Nama Hena Ulisiahu ini di ambil dari nama

sejenis umbi yang banyak tumbuh di daerah

pemukiman mereka, yang dalam bahasa daerah

disebut dengan nama “Isiahu”. Dalam

perkembangan dan atas ininsiatif Kapitan

Rakamau (Latu Ela) merasa tidak puas dengan

kehidupan keluarga Hena Ulisiahu, sehingga dia

berusaha untuk menurunkan mereka untuk

menemani masyarakat Hena Nau di pesisir

pantai. Ajakan tersebut disetujui, Maka mereka

pun turun, dalam perjalanan turun terdapat

sebuah batu yang merintangi jalan yang mereka

lalui sehingga mereka berusaha untuk

memindahkan kesebelah jalan, peristiwa ini di

sebut “Talahatu” artinya Tebang Batu atau

memindahkan batu. Mereka berhasil turun ke

pantai dan bergabung dengan penduduk Hena

Nau. Peristiwa memindahkan batu tersebut

(Talahatu) di abadikan menjadi marga asli Hena

Ulisiahu di samping Marga Tuny.hena Ulisiahu

sendiri tidak terlalu berkembang dikarenakan

tidak terlalu banayak marga atau lumtau.

Hena Helu (Negeri Baru), negeri ini

letaknya kurang lebih 8 Km sebelah tenggara

Hena Lima (Negeri Lima). Letaknya sangat

strategis di atas pengunungan. Tempat ini

disebut Hena Helu yang artinya “Kampung Baru”

karena mereka turun ke pantai belakangan.

Kehidupan mereka di pengunungan ini sering

membawa akibat buruk bagi Masyarakat Hena

Nau dan Hena Ulisiahu, karena warga kedua

Hena tersebut sering di culik dan akhirnya di

bunuh oleh Masyarakat Hena Helu. Akibat dari

sering terjadi pembunuhan itu. Orang-orang

yang berada di sekitar pengunungan, seperti

Hena Dali juga Hena Elatua yang masi terdiam di

daerah pengunungan merasa resah maka

datanglah Kapitan Rakamau dari Hena Nau

bersama-sama dengan pimpinan kedua Hena

untuk mengadakan perundingan dengan

Pimpinan Hena Helu agar mereka turun ke

pesisir pantai, kemudian ditempatkan disebelah

barat Hena Nau dan diberi Nama Hena Helu

(Kampong baru). Hingga sekarang tetap di

pertahankan sebagai Soa Hena Helu,

sebagaimana Soa Lainnya. Sedangkan Rumatau

(Marga) asli penduduk Hena Helu adalah Marga

Soumena Letehaha (Soumena diatas ) Soumena

Baelete, Hehalatu dan Sopalau (Berlayar Jauh ).

Hena Elatua, negeri yang sebelum turun

ke pantai, mereka menetap di bawa kaki gunung

Latua kurang lebih berjarak 9,5 km sebela

selatan Hena Lima. Gunung yang berada pada

perbatasan Negeri Hena Lima, Hatu dan Negeri

Alang. Dari nama gunung tersebut mereka

menamakan negeri mereka ketika berada di

pantai dengan sebutan negeri atau Soa Latua.

Marga-marga atau lumatau yang mendiami hena

Latua yakni marga Latuapo, tunny, Hutuely,

Hitaut, Sopaliu dan Teunusun. Marga-marga

tersebut masih ada kecuali marga Sopaliu dan

Teunusun telah punah dikarenakan sudah tidak

ada keturunannya. Adapun raja yang

memerintah pada saat itu adalah raja latuhukul

(raja Gunung Alifuru) dari lumatau marga

Latuapo.

Hena Lale (Negeri Lalat), negeri ini

terletak di daerah pengunungan Wasi Hena Lale

(hutan Negeri Lalat) kurang lebih 10 Km dari

Negeri Hena Lima. Awal mula Hena ini didiami

oleh satu keluarga Batih yang terdiri dari ayah

ibu dan tiga orang anak. ketiga Anak (kakak

beradik) masing-masing “Tauqi” (sulung)

“Tauqa”(tengah) dan “Siti Ehuputy” (bungsuh).

Page 7: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 109

Mereka adalah Penduduk asli yang di sebut

Alifuru, dimana kehidupanya masi primitif dan

belum mempunyai peradaban.

Perkampungan mereka di sebut Hena

Lale yang artinya negeri yang banyak Lalatnya.

Dikatakan demikian karena kebiasaan yang

dimiliki oleh mereka bahwa bilamana ada orang

asing yang datang menemui mereka, mereka

lantas datang mengerumuni orang tersebut,

sama halnya lalat mengurumuni suatu bangkai.

Ketiga kakak beradik ini setelah kedua orang

tuanya meninggal mereka tidak betah hidup di

pengunungan dan memilih unutk turun ke pantai

Dalam perkembangan selanjutnya maka

Hena-hena tersebut di rubah kedudukannya atau

status di dalam badan pemerintahan Desa dalam

sistem pemerintahan adat Hena Lima (Negeri

Lima) disebut”Soa” yang terdiri dari Soa Nau,

Soa Ulisiahu, Soa Hena Helu,Soa Hena Lale dan

Soa Elatau, dimana setiap Soa tersebut diangkat

dan dipimpin oleh seorang Kepala Soa, dalam

istilah masyarakat Hena Lima yang disebut

“Tamaela”, sedangkan Raja atau Kapala Desa

disebut “ Upu”. 13

Negeri Hena Lima secara geografis

terletak di sebelah Utara Barat Pulau Ambon.

Secara administarasi pemerintahan berada di

daerah Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku

Tengah. Letak Negeri Hena Lima tidak jauh dari

ibu Kota Provinsi Maluku, Ambon, dengan jarak

kurang lebih 56 kilometer, dengan daya tempuh

tidak kurang dari dua jam perjalanan dengan

kendaraan roda dua maupun roda empat.

Sementara jarak dari Ibu Kota Kabupaten

Maluku Tengah, Masohi kurang lebih 100

kilometer, sedangkan jarak dari pusat

Kecamatan Leihitu kurang lebih 18 kilometer.14

13 Ibid, hlm. 37-40 14 Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah

Dalam Anggka 2012, hlm. 18

Penduduk Hena Lima 100% beragama

Islam, karena tidak satu pun dari mereka yang

menganut agama lain. Dari jumlah penduduk

yang mencapai 6000-an jiwa ini terdapat empat

buah masjid dan tiga buah mushalah wanita,

yakni Masjid At-Taqwa, Masjid Tailan, Masjid

Baitul Aziz dan Masjid Nurul Hidayah. Sementara

mushalah wanita yakni mushalah Nurul Iman,

Nurul Islam dan Mushalah Nurul Ihsan. Dari

keempat masjid dan ketiga mushalah tersebut,

masjid At Taqwa dijadikan sebagai pusat

kegiatan peribadatan dan kegiatan sosial bagi

masyarakat Hena Lima. Kegiatan ibadah

masyarakat semisal pembinaan mental mulai

dari pengajian Quran, khotbah Jumat, sampai

pada pengajian-pengajian dan kegiatan

keagamaan lainnya. Sementara kegiatan sosial

semisal rapat pertemuan para tokoh adat dan

masyarakat guna membahas persoalan yang

menyangkut dengan kebutuhan masyarakat.15

Masyarakat Negeri Hena Lima

merupakan masyarakat yang sangat kuat dalam

memegang agama dan adat peninggalan

leluhurnya. Hal ini akan terlihat jelas

perbedaannya bila dibandingkan dengan

masyarakat lain di luar Negeri Hena Lima,

diduga karena adanya pengaruh kepercayaan

dari leluhur mereka. Oleh karena itu tulisan ini

dikhususkan kepada Sistem Religiusitas

Masyarakat Hena Lima, dan pengaruh

kepercayaan masyarakat setempat kepada para

leluhur (Upu Wosi) Negeri Hena Lima hingga

memunculkan “believe” dalam diri masyarakat

Hena Lima terhadap adanya Mamolin

(pantangan, pamali) terhadap segala hal yang

tidak diajarkan oleh leluhurnya. Sebagai kajian

teori, maka akan digunakan beberapa teori dari

15 Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012

Page 8: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

110 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

para tokoh sosiologi yang berkenaan dengan

masalah Agama dan Sistem kepercayaan.

C. Religiusitas Masyarakat Negeri Hena

Lima

1. Animisme dan pengaruhnya bagi Religiusitas

Masyarakat Negeri Hena Lima.

Animisme adalah merupakan suatu

kelanjutan perubahan kepercayaan secara

perlahan (evolusi) dari kepercayaan kepada roh

nenek moyang atau leluhur. Kepercayaan ini

berasal dari perkembangan berfikir manusia

dalam memahami sebab-musabab gejala-gejala

alam yang terjadi di sekitarnya seiring dengan

perkembangan daya berfikir manusia dalam

memikirkan asal usul gejala-gejala alam seperti

hujan, panas, gunung meletus, gempa bumi,

tumbuh-tumbuhan, angin dan lain sebagainya.16

Ketika dihadapkan dengan fenomena

alam yang terjadi seperti api yang membakar, air

sungai yang mengalir, bencana gunung meletus

manusia memerlukan pemercahan masalah alam

tersebut dengan mencari sebab-sebab fenomena

alam tersebut. Akhirnya, dikarenakan

perkembangan berfikir yang belum berkembang

dengan baik maka kemudian manusia purba

menganggap bahwa penyebab fenomena-

fenomena alam tersebut adalah roh.

Roh yang dianggap mengatur fenomena-

fenomena alam dan juga alam semesta karena

bentuknya yang tidak kasatmata atau tidak

dapat ditangkap oleh panca indera dapat berbuat

apa saja yang tidak dapat dilakukan manusia.

Agar manusia senantiasa dapat terus

beraktivitas keseharian dengan penuh

16http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/19/bahan-ajar-perkembangan-sistem-kepercayaan-masyarakat-indonesia/ di akses 09 Februari 2013

ketenangan, kelancaran dan sesuai harapan

maka roh-roh tersebut perlu dihormati.

Penghormatan dan persembahan manusia

kepada roh-roh tersebut dilakukan dengan

melakukan pembacaan doa-doa, pemberian

sesaji ataupun korban.

Menurut William, istilah “animieme”

mengandung banyak variasi,dimana binatang,

tumbuh-tumbuhan, air, gunung, batu dapat

memiliki jiwa sendiri-sendiri. Hutan dapat

dipenuhi oleh roh-roh yang tidak terikat atau

yang berkeliaran bebas, namun pada umumnya

lebih dekat dengan manusia.17 Animisme

menurut Edwart Tylor memiliki dua arti,

pertama; sebagai suatu sistim kepercayaan

dimana manusia religius khsusnya primitif

membubuhkan jiwa pada manusia, mahluk

hidup dan benda mati. Kedua; animisme timbul

akibat dari pemikiran mengenai beberapa

pengalaman psikis terutama mimpi.18

Pada masa sekarang animisme masih

sangat melekat dalam kehidupan sebagian

masyarakat, baik di kota maupun di desa. Hal ini

disebabkan oleh ketidakmampuan manusia

dalam memahami fenomena alam secara

rasional-ilmiah. Kepercayaan-kepercayaan

tersebut akhirnya masih bertahan ditengah-

tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi modern.

Masyarakat Negeri Hena Lima, mereka

percaya bahwa pada ruang atau tempat-tempat

yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh

kekuatan-kekuatan tertentu pula (nitu-nitu-Upu

Wosi). Tempat atau dusun-dusun, sungai,

17 Beni Ahmad Saibani, Pengantar Antropologi, (

Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 245 18 Adeng Muchtar Ghazali, Pengantar Antropologi

Agama, (Bandung: Alfabet, 2011), hlm. 73

Page 9: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 111

tempat-tempat lereng bukit, pohon, tempat

antara perkampungan dengan hutan, dan

sebagainya, merupakan tempat-tempat yang

didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu (nitu).

Tempat-tempat tersebut didiami mahluk-

mahluk halus dan dianggap mamolin (pamali).

Itulah sebabnya di daerah-daerah tersebut bagi

masyarakat Negeri Hena Lima senantiasa

menjaganya sebagai bentuk penghormatan

terhadap makhluk-makhluk halus agar

masyarakat Hena Lima tehindar dari

malapetaka.

Edward Burnet Taylor dalam teori ruh

sebagaimana dijelaskan oleh Koenjtaraningarat19

bahwa alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa

yang bebas merdeka. E.B. Taylor tidak lagi

menyebutnya sebagai jiwa namun spirit atau

makhluk halus. Ia membedakan antara roh

dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus

dari setiap makhluk yang mampu hidup terus

sesudah jasadnya mati atau sedang tidur,

sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang

ada karena memang dari awal sudah ada dan

tidak dapat ditanggakap oleh panca indra

manusia, dapat melakukan apa yang tidak dapat

dilakukan oleh manusia, serta menghuni alam

dimana manusia tinggal.

Berdasarkan kepercayaan semacam itu,

makhluk halus menjadi obyek penghormatan

dan penyembahan manusia dengan berbagai

upacara keagamaan berupa do’a, sajian, dan

korban. Kepercayaan semacam itulah yang oleh

E.B. Taylor disebut Animisme, yaitu suatu

kepercayaan terhadap adanya roh-roh nenek

moyang.

19 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Agama:

Pokok-Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 195-196

Masyarakat Negeri Hena Lima,

senantiasa melakukan upacara-upacara adat

sebagai bentuk ritual keagamaan terhadap para

leluhur mereka. Upacara-upacara tersebut

seperti upacara pataniti,Sirimasa, Aroha, Jarah

Baliwe. Dalam Jarah Baliwe misalnya, yang di

lakukan sebagai tanda penghormatan kepada

Tete Baliwe sebagai leluhur dari Masyarakat

Negeri Hena Lima. Upacara dilakukan setiap

empat tahun sekali itu, dengan khidmat seraya

memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi

diri sendiri, keluarga maupun negeri-desa secara

keseluruhan.

Ritual kepercayaan seperti itulah yang

mempengaruhi sistem religi masyarakat Negeri

Hena Lima, meskipun penduduk Negeri Hena

Lima mayoritas beragama Islam, akan tetapi

sebagaimana masyarakat adat mereka juga

sangat taat memegang adat-istiadat dan

kepercayaan pada leluhurnya. Artinya, walaupun

mereka menyatakan memeluk agama Islam

namun syariat Islam yang mereka jalankan di

sandingkan dengan adat istiadat.

Bagi masyarakat Negeri Hena Lima,

dalam menjalankan agama, mereka patuh pada

warisan leluhur, seperti sholat, puasa pada bulan

Ramadhan. Artinya, bagi masyarakat Negeri

Hena Lima tidak terpengaruh dengan faham

kegamaan yang bayak bermunculan dalam

masyarakat Islam. Bahwa apa yang telah di

ajarkan oleh leluhur itulah yang di jalankan.

Dinamisme dan istilah Mamolin-Pamali

“Keramat” pada Masyarakat Negeri Hena Lima.

Dinamisme adalah paham-kepercayaan kepada

kekuatan sakti yang ada dalam segala hal.

Kepercayaan bahwa alam memiliki kekuatan

Page 10: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

112 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

yang ditandai dengan adanya malapetaka atau

balas budi kepada alam atau anasir alam.20

Masyarakat Negeri Hena Lima percaya

bahwa alam semesta seperti gunung, lautan,

tanah, sungai, pepohonan terdapat

penghhuninnya dan memiliki kekuatan-kekuatan

yang bersifat supernatural. Jika diantara mereka

ada yang akan membuka hutan untuk berkebun

maka mereka senatiasa berpamitan terlebih

dahulu kepada pohon sebelum di tebang, begitu

juga ketika akan melaut atau mengadakan

pekerjaan lainnya. Kekuatan tersebut dianggap

melebihi dari kekuatan yang pernah diketahui

oleh manusia. Adanya peristiwa-peristiwa alam

seperti longsoran gunung, banjir terjadi karena

manusia yang hidup di alam tersebut sudah tidak

bersikap memelihara dan melestarikan alam.

Sehingga alam yang semula tenang dan damai

seakan-akan “marah” karena perilaku tidak baik

manusia. jika pohon-pohon tersebut ditebang

tentunya sangat berbahaya, dengan terjadi

bencana longsor dan banjir karena tanah yang

sudah keropos.

R.R. Marret menjelaskan bahwa agama

dan sikap religius manusia terjadi karena adanya

kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang

terdapat di lingkungan alam sekelilingnya.

Dengan sanggahan terhadap Edwarb B. Taylor

yang mengatakan bahwa timbulnya agama

karena adanya kesadaran manusia terhadap

adanya jiwa. Menurut Marret terlalu rumit - bila

kesadaran keagamaan itu muncul ketika

manusia sudah menyadari akan adanya jiwa,

karena Jiwa merupakan sesuatu yang bersifat

abstrak, begitu pula dengan makhluk halus- dan

terlalu kompleks bila harus mengkaji tentang

20 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000), 38

hakikat roh maupun makhluk halus. Maka dari

itulah dia menganggap bahwa kekuatan

supernatural dari alam lebih dahulu

mempengaruhi system kepercayaan manusia

sebelum mempercayai akan adanya kekuatan

dari makhluk halus. Asumsi Marret inilah yang

memunculkan kepercayaan preanisme atau lebih

dikenal dengan istilah dinamisme21 yaitu suatu

kepercayaan terhadap adanya kekuatan

supernatural dari alam.

Pada Masyarakat Negeri Hena Lima,

menurut Abdul Mutalib Assel bahwa bencana

yang terjadi selain di sebabkan karena perilaku

tidak baik dari manusia juga di sebabkan oleh

perilaku yang melanggar hukum adat atau dalam

istilah masyarakat Hena Lima disebut hal yang

Mamolin (Tabu atau Pamali). Istilah Mamolin ini

merupakan salah satu kebiasaan yang ada dan di

yakini oleh masyarakat Hena Lima pada

umumnya terlebih lagi pada orang tua dan

pemangku adat. 22

Kebiasaan ini mengindikasikan adanya

sebuah larangan (baik yang bersifat sosial

Maupun kultural) yang diwariskan secara turun

temurun dalam masyarakat tersebut. Mamolin

merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis

yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh

setiap orang dalam masyarakat tersebut. Contoh

hal yang di anggap mamolin (Tabu atau Pamali)

di masyarakat Negeri Hena Lima seperti dalam

pembangunan rumah dan Masjid

2. Kesederhanaan Pola Pikir Masyarakat Negeri

Hena Lima.

Masyarakat Negeri Hena Lima dari segi

tingkat pendidikan dapat dikatakan telah maju

21 Ibid, hlm. 28 22 H. Abdul Mutalib Assel (tokoh adat Hena Lima)

Wawancara 16 Agustus 2013

Page 11: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 113

dan berkembang hal ini dapat dilihat dengan

keberadaan lembaga pendidikan dari Taman

Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah

Atas (SMA), namun dikarenakan masyarakat

Hena Lima adalah masyarakat yang masih

berpegang pada aturan adat istiadat dari para

leluhurnya sehingga ikut mempengaruhi

kesederhanaan cara fikir.

Masyarakat Negeri Hena Lima menyadari

bahwa semua permasalahan yang mereka

rasakan tidak semuanya bisa memperoleh

jawaban dari proses berfikir melalui akal, karena

anggapan mereka akal tidak selalu bisa

menafsirkan hukum adat yang berlaku. Ketika

Sesuatu yang disebut dengan mamolin ataupun

tabu sehingga pantang untuk dilanggar maka

mereka hanya bisa memahami sebagai aturan

adat yang tidak boleh dilanggar, menghormati

para leluhur, atau agar terhindar dari petaka.

Semisal dianggap mamolin atau tabu untuk

membicarakan soal keberadaan leluhur dan asal-

usul mereka, karena mungkin juga sulit untuk

menjelaskan atau mencari informasi yang detail

dan akurat berkenaan dengan asal-usul leluhur

selain juga karena pamali untuk diceritakan.

Mereka juga menganggap dengan

mematuhi adat seperti itu, ada hal magis yang di

tempuh dalam menjalankan aturan adat. ketika

Mereka menyadari ada kekuatan di luar

keterbatasan akal mereka yang mendiami

tempat-tempat tertentu yang dianggap suci

maupun angker. Dari situlah timbul anggapan

bahwa kekuatan-kekuatan luar biasa tersebut

tidak akan mendatangkan mala petaka terhadap

masyarakat Negeri Hena Lima jika masyarakat

tidak melanggar ajaran dari para leluhur.

James G. Frazer dalam Teori Batas

Akalnya menyatakan bahwa permulaan

terjadinya agama dikarenakan manusia

mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan

oleh akalnya. Menurut Frazer 23 manusia biasa

memecahkan berbagai persolaan hidupnya

dengan akal dan sistem pengetahuannya Tetapi

akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya,

dan batas akal itu meluas sejalan dengan

meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi.

Oleh karena itu makin maju kebudayaan

manusia makin luas batas akalnya. Pada

masyarakat yang kebudayaannya masih sangat

sederhana batas akal manusia masih sangat

sempit.

Oleh karena itulah berbagai persoalan

hidup banyak yang tidak dapat di pecahkan

dengan akal mereka. Maka mereka

memecahkannya melalui magis atau ilmu gaib.

Magis adalah segala perbuatan manusia untuk

mencapai suatu maksud tertentu melalui

berbagai kekuatan yang ada di alam semesta

serta seluruh kompleksitas anggapan yang ada di

belakangnya. Pada mulanya manusia hanya

menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan

soal-soal hidupnya yang ada di luar batas

kemampuan dan pengetahuan akalnya.

Lambat laun terbukti banyak perbuatan

magisnya itu tidak ada hasilnya. Oleh karena

itulah ia mulai percaya bahwa alam ini di diami

oleh makhluk-makhluk halus yang lebih

berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai

mencari hubungan yang baik dengan makhluk-

makhluk halus yang mendiami alam itu. Dengan

demikian hubungan baik ini menyebabkan

manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada

kekuatan yang di anggap lebih dari dirinya yang

pada akhirnya memunculkan sistem religi.

23 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya. 2000), hlm. 26

Page 12: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

114 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

3. Masyarakat Negeri Hena Lima dalam

menghadapi Krisis.

Pada masyarakat Negeri Hena Lima yang

masih sangat memegang adat istiadat dari

leluhurnya, mereka percaya bahwa dengan

menjalankan kehidupan dengan tidak melanggar

aturan-aturan hukum adat yang berlaku maka

mereka telah melestarikan ajaran dari para

leluhur mereka, dampaknya adalah mereka akan

terhindar dari malapetaka.

Masyarakat Negeri Hena Lima ketika ada

di antara mereka mengalami sakit selain ke

pihak medis, mereka juga melaksanakan ritual

Hulasi 24 Wae Kubur25 dan Jarah Baliwe26(segala

sikap perbuatan yang menjadi gambaran dari

sistem kepercayaan kepada leluhur yang di anut)

adalah kepercayaan yang mereka yakini akan

mendatangkan penyembuhan. Ritual-ritual

tersebut sebagai penggambaran dari sistem

religi yang mereka yakini untuk menjawab

segala hal ketidakpastian, kelangkaan, dan

ketidakberdayaan.

Menurut Afandi Uluputty,27 masyarakat

beranggapan bahwa dengan menjalankan ritual-

ritual tersebut maka mereka telah berusaha

untuk mencari solusi dari kemungkinan-

kemungkinan timbulnya krisis (terutama berupa

bencana, seperti sakit dan maut) dalam

hidupnya. Seperti ketika masyarakat Negeri

Hena Lima melakukan ritual upacara jara baliwe

yang dilaksanakan oleh seluruh warga anak adat

24 Hulasi adalah bentuk ritual pengobatan yang

dilakukan ketika seseorang dalam kondisi sakit, bahannya berupa daun siri, kapur dan pinang

25 Wae Kubur yakni air yang di ambil dengan cara berjiarah ke makam kuburan orang tua atau leluhur yang di awali dengan pembacaan Yasin dan Tahlilan

26 Jarah Baliwe adalah bentuk permohonan kepada Leluhur dalam bentuk berjiarah ke makamnya.

27 Afandi Uluputty (Toko Adat Negeri Hena Lima), Wawancara Agustus 2013

Negeri Hena Lima, baik yang bertempat tinggal

di Negeri Hena Lima maupun desa atau negeri

tentangga. Maksud dan tujuan inti dari upacara

Jara Baliwe adalah untuk memohon berkah dan

keselamatan kepada leluhur Hena Lima, yaitu

Tete Baliwe serta menyatakan rasa syukur

kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala

nikmat yang telah diberikan kepada seluruh

warga.

Dalam mengomentari pemikiran M.

Crawley, Dadang Kahmad menjelaskan bahwa

kelakuan keagamaan manusia mulanya muncul

untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam

kehidupan manusia itu sendiri. Menurut kedua

sarjana ini, Dalam jangka waktu sejarah

hidupnya manusia mengalami banyak krisis

yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis

tersebut menjadi obyek perhatian manusia dan

sangat menakutkan.

Betapapun bahagianya seseorang, ia

harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan

timbulnya krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis

tersebut terutama berupa bencana seperti sakit

dan maut yang memang sangat sukar untuk di

hindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan

dan kekayaan harta benda. Karena selama

hidupnya ada beberapa masa krisis, maka

manusia membutuhkan sesuatu untuk

memperteguh dan menguatkan dirinya.

Perbuatan yang berupa upacara sakral pada

masa krisis merupakan pangkal dari

keberagamaan manusia.28

D. Karamat Baliwe sebagai Simbol

Masyarakat Negeri Hena Lima.

Masyarakat Negeri Hena Lima

merasakan adanya getaran jiwa terhadap

28 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, …, 28

Page 13: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 115

lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini

terlihat ketika mereka berprilaku baik terhadap

alam sekitar mereka. Menurut mereka prilaku

yang baik itu tergambar ketika mereka

memelihara dan menaati adat istiadat dari para

leluhur mereka. Dengan tidak melanggar hukum

adat maka dimungkinkan masyarakat Negeri

Hena Lima akan terhindar dari mala petaka.

Misalnya ketika terjadi bencana Wae Ela, dalam

kepercayaan masyarakat bahwa runtuhnya

gunung Ulak Hatu pada tanggal 13 Juli 2012 dan

bencana banjir Wae Ela pada tanggal 25 Juli

2013 adalah bentuk kemarahan dari leluhur

akibat dari masyarakat Negeri Hena Lima telah

banyak melanggar hukum adat dan agama yang

menjadi warisan leluhur.

Kemudian rasa keterikatan, bakti,

maupun rasa cinta terhadap sesama masyarakat

agar terhindar dari marabahaya itulah yang

menjadi dasar timbulnya sentiment

kemasyarakatan. Durkheim menjelaskan bahwa

agama yang permulaan itu muncul karena

adanya suatu getaran, suatu emosi yang timbul

dalam jiwa manusia sebagai akibat dari

pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga

masyarakat (sentiment kemasyarakatan).

Durkheim menyebutnya sebagai getaran jiwa

atau emosi keagamaan. Sentiment

kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu

berupa suatu kompleksitas perasaan yang

mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan

perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana

ia hidup. Sentiment kemasyarakatan tersebut

harus selalu dipelihara agar tidak melemah dan

menjadi laten, maka dari itu harus selalu

dikobarkan dengan mengadakan satu kontraksi

masyarakat yaitu dengan mengumpulkan

seluruh masyarakat dalam pertemuan-

pertemuan raksasa. Pertemuan tersebut

merupakan suatu keadaan dimana seluruh

anggota masyarakat berkumpul dalam suatu

acara besar yang pelaksanaannya sudah diyakini

bersama dapat mempererat rasa kesatuan

seluruh anggota masyarakat.

Emosi keagamaan yang timbul karena

rasa sentiment kemasyarakatan membutuhkan

suatu obyek tujuan. Sifat yang menyebabkan

sesuatu itu menjadi obyek dari emosi keagamaan

bukan karena sifat luar biasanya, anehnya,

megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan

anggapan umum masyarakat. Obyek itu ada

karena terjadinya satu peristiwa secara

kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu

masyarakat masa lampau yang menarik

perhatian orang banyak di dalam masyarakat

tersebut. Obyek yang menjadi tujuan emosi

keagamaan juga obyek yang bersifat keramat.

Dan objek keramat itu sebenarnya merupakan

suatu Lambang masyarakat (Totem).29

Pada Masyarakat Negeri Hena Lima,

Contoh dari prilaku baik yang tergambar dari

prilaku memelihara adat istiadat mereka yaitu

ketika mereka melaksanakan ritual upacara jara

baliwe. Menurut Afandi Uluputy 30bahwa

Upacara jara baliwe merupakan upacara ziarah

dan membersihkan makam. Sebelumnya para

peserta upacara harus melaksanakan beberapa

tahap upacara. Mereka harus mandi dan

membersihkan diri dari segala kotoran. Selesai

mandi mereka berwudlu kemudian mengenakan

pakaian rapi sementara berputih-putih adalah

lebih baik. Secara teratur mereka berjalan

menuju karamat tete baliwe, jaraknya sekitar 1

29 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi; Pokok-

Pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 198-199 30 H. Afandy Uluputy (Tua Adat Negeri Hena Lima)

Wawancara tanggal 1 Agustus 2013

Page 14: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

M. Syafin Soulisa

116 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon

kilommeter di atas gunung Baliwe. Sebelum

masuk ke makam karamat tete baliwe mereka

mengucapakan salam terlabih dahulu sebagai

tanda penghormatan, kemudian masuk dan

duduk secara bersila.

Hal itu dilakukan sebagai tanda

penghormatan dan merendahkan diri. Kemudian

diawali dengan pembacaan surah Alfatiha,

Tahlilan dan Ratibul Hadad yang di pimpin oleh

Imam atau sala seorang dari penghulu masjid,

sambil memohon keselamatan, kesejahteraan,

dan kehendak masing-masing jamaah. Setelah itu

barulah membaca ayat-ayat Suci Al-Quran dan

diakhri dengan doa bersama. Dari ritual itu maka

bisa diambil kesimpulan bahwa karamat baliwe

merupakan simbol atau lambang keramat bagi

kehidupan masyarakat Negeri Hena Lima.

E. Manwai Baliwe sebagai Leluhur

Masyarakat Hena Lima.

Masyarakat Negeri Hena Lima sangat

menghormati leluhurnya yaitu Manwai Baliwe.

Dinamakan Manwai Baliwe karena kuburan

karamatnya terletak di puncak gunung Baliwe

Negeri Hena Lima. Manwai Baliwe dikenal

sebagai seorang ulama besar Timur Tengah yang

diyakini datang ke Negeri Hena Lima untuk

menyebarkan Agama Islam.

Masyarakat Negeri Hena Lima meyakini

bahwa Manwai Baliwe merupakan leluhur

mereka. Dari sejarahnya memang diduga

sebelum bahwa Manwai Baliwe menyebarkan

ajaran Agama Islam. Sebagai seorang wali Allah

beliau mendapatkan petunjuk Allah dan pada

akhirnya meninggal dan memiliki karamah di

puncak gunung Baliwe. Olehnya, sampai

sekarang masyarakat Negeri Hena Lima

berkeyakinan bahwa dari ajaran yang dibawa

Manwai Baliwe maka sistem religi menjadi suatu

pedoman hidup masyarakat Hena Lima.

Menurut Andrew Lang, sebagaimana di

jelaskan oleh Dadang Kahmad,31 bahwa kelakuan

religius manusia terjadi karena mendapat wahyu

dari Tuhan. Lang yang juga sebagai ahli

kesusastraan banyak membaca tentang

kesusastraan rakyat dari banyak suku bangsa di

dunia. Dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering

mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang

oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan

dianggap dewa tertinggi. Kepercayaan pada

seorang tokoh dewa tertinggi tampak pada suku-

suku bangsa yang sangat rendah kebudayaannya

dan yang hidup dari berburu dan meramu.

Keadaan itu membuktikan bahwa kepercayaan

terhadap satu tuhan itu tidak timbul karena

pengaruh agama nasrani atau agama Islam.

Kepercayaan seperti itu dalam

perkembangannya bahkan tampak terdesak oleh

kepercayaan akan makhluk-makhluk halus,

dewa-dewi alam, roh, dan hantu. Lang

menyimpulkan bahwa kepercayaan kepada

dewa tertinggi merupakan suatu kepercayaan

yang sudah tua, dan mungkin merupakan bentuk

religi manusia yang tertua.

F. Penutup

Tulisan ini menunjukan bahwa sistim

religi masyarakat Maluku Khusunya masyarakat

Negeri Hena Lima sangat tinggi. Religiusitas

masyarakat Negeri Hena Lima bersifat sinkretis,

karena ekspresi keagamaan telah disatukan

dengan ajaran-ajaran pra-Islam, khususnya

Animisme dan Hinduisme. Hal ini karenakan

masyarakat Negeri Hena Lima memiliki

kebajikan dan kearifan lokal yang diserap dari

31 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,…. Ibid, 30-31

Page 15: SISTEM RELIGI MASYARAKAT MALUKU (Studi Tentang · PDF fileMaluku: Perspektif Historis dan Relegio-Politik), makalah disampaikan pada seminar Budaya Maluku di Gedung PKK ... Sistem

Sistem Religi Masyarakat Maluku

Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 117

berbagai akar budaya, serta tradisi yang sudah

mengakar kuat di Nusantara khususnya Maluku,

bahkan jauh sebelum kehadiran Islam di Maluku

ini.

Dalam tulisan ini penulis mencoba

mengimformasikan tentang percampuran dan

ambiguitas bentuk-bentuk singkretik yang

merupakan ciri utama sistim religi-agama di

Negeri Hena Lima. Campurnya kebudayaan

agama lokal dengan agama Islam menjadi ciri

khas tersendiri bagi sistim religiusitas

(keberagamaan) masyarakat di Maluku

khususnya masyarakat Negeri Hena Lima.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Saibani, Beni, Pengantar Antropologi,

Bandung: Pustaka Setia, 2012

Badan Pusat Statistik (BPS), Maluku Tengah

Dalam Anggka 2012

Cooly, Frank L, Mimbar dan Takhta: Hubungan

Lembaga-lembaga Kegamaan dan

Pemerintah di Maluku Tengah, Jakarta:

Sinar Harapan,1987)

Ghazali, Adeng Muchtar, Pengantar Antropologi

Agama, Bandung: Alfabet, 2011

Huliselan, Mus, Makna dan Kedudukan Leluhur

Dalam Kepercayaan (adat) Ambon,

Ambon: 1997 tidak dipublikasikan.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi,

Jakarta: Rineka Cipta, 2000

--------------------, Kebudayaan Mentalitas dan

Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1984

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi

Agama: Pokok-Pokok Etnografi II,

Jakarta: Rineka Cipta, 2005

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2000

Kantor Desa Negeri Lima Tahun 2012

Lawalata, Maryo, Kedudukan Tete Nene Moyang

Dalam Pengakuan Iman GPM (Beberapa

Tanggapan Kontekstual)dalam

http://tounusa.wordpress.com/2011/0

8/26/kedudukan-tete-nene-moyang-

dalam-pengakuan-iman-gpm-beberapa-

tanggapan-kontekstual/ di akses 27 Jini

2013

Martono, Nanang, Sosiologi Perubahan Sosial:

Prespektif Klasik, Moderen, Pos-Modern

Dan Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pres,

2011

Putuhena, M. Saleh, Interaksi Islam dan Budaya di

Maluku: Perspektif Historis dan Relegio-

Politik), makalah disampaikan pada

seminar Budaya Maluku di Gedung PKK

Maluku Oktober 2009

Ritzer, George, Modern Sociological Theory, terj.

Teori Sosiologi Modern, Jakarta:

Kencana, 2008

Soulisa, M. Syafin, Interaksi Sosial Dalam Budaya

Gandong Pada Masyarakat Hena lima

Dan Hena Hatu (Skripsi: STAIN Ambon

2006)

http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/1

9/bahan-ajar-perkembangan-sistem-

kepercayaan-masyarakat-indonesia/ di

akses 09 Februari 2013