Memaknai Demokrasi Di Era Reformasi (Pendapat Masyarakat ...
sistem demokrasi dan syariah dalam masyarakat
-
Upload
intan-rianti-hafsari -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of sistem demokrasi dan syariah dalam masyarakat
INTISARI
Tulisan ini berisi tentang penerapan sistem demokrasi dalam falsafah pancasila di
indonesia. Dimana di dalam terdapat materi-materi tentang pengertian sistem
demokrasi dan juga perbandingan dengan sistem syariah islam, kelemahan-kelemahan
demokrasi, kontradiksi demokrasi dengan islam, efek- efek negatif demokrasi dalam
penerapannya di Indonesia, dan kesimpulan tentang manakah sistem yang lebih baik
bagi kehidupan bermasyarakat untuk diterapakan.
PENDAHULUAN
Penulis mengambil judul “system demokrasi dan system syariah dalam masyarakat”
adalah bertujuan untuk coba menguak lebih jelas dan sedikit lebih dalam tentang
demokrasi dan syariah, dimana dalam penggunaan system demokrasi banyak
menimbulkan efek bias dalam penerapannya karena system ini dihasilkan melalui
pemikiran seorang manusia yang apabila diterapkan sering kali menimbulkan banyak
perbedaan dalam pengertian dari demokrasi tersebut,
contohnya seorang presiden Soekarno juga mengusung istilah demokrasi, Namun di
sisi lain, banyak kalangan yang menilainya juga sangat diktator. Setidaknya untuk
kurun dan kalangan tertentu.
Bukankah presiden Soeharto juga mengusung istilah demokrasi? Namun semua kita
tahu bahwa istilah demokrasi yang dimaksud oleh seorang presiden Soeharto tentu
sangat berbeda dengan istilah yang dimaksud oleh presiden Soekarno.
Hasilnya, kita boleh bilang bahwa meski demokrasi itu digunakan semua orang, tapi
isi, esensi, makna dan batasannya bisa saja sangat berbeda.
Berdasarkan hal-hal tersebut penulis coba membandingkan demokrasi dan syariah
lewat tulisan ini dimana syariah merupakan suatu system yang absolut, dan
berdasarkan sumber-sumber yang absolut pula yaitu Al-quran serta AL hadits.
URAIAN
Ilusi Demokrasi
Secara teori demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang memberikan
kesetaraan (equality) kepada siapapun untuk mengatur pemerintahan baik secara
langsung atau melalui perwakilan. Hal ini karena demokrasi menghormati dan
menjamin terwujudnya kebebasan setiap orang untuk berbuat (freedom of behaviour),
beragama (freedom of religion), berpendapat (freedom of speech) dan memiliki
(freedom of property).
Salah satu bentuk kebebasan tersebut adalah kebebasan dalam menetapkan
aturan dan perundang-undangan. Tak aneh, dalam demokrasi aturan apapun dapat
berubah jika para legislator menghendakinya. Penetapan aturan bukan lagi didasarkan
pada agama, sebab agama dalam demokrasi bukanlah standar kebenaran, bahkan ia
harus dijauhkan dari ranah politik. Standar kebenaran demokrasi adalah suara
terbanyak.
Meski di dalam demokrasi terdapat pembagian kekuasaan yakni legislatif,
eksekutif dan yudikatif sebagaimana yang diajarkan oleh John Locke dalam “Two
Treeties of Goverment” (1690) dan Montesquieu dalam l’espirite des lois (1748),
namun tetap saja keadilan dan kesejahteraan yang diharapkan tidak pernah tercapai.
Yang terjadi justru monopoli kekuasaan dan kekayaan oleh segelintir orang sementara
angka kemiskinan, penindasan dan berbagai kejahatan sosial makin tinggi. Ini karena
berbagai aturan yang digunakan merupakan produk akal yang bersifat nisbi.
Sejumlah karya dan riset ilmiah yang mengkaji dampak penerapan demokrasi
dalam kehidupan manusia, telah membuktikan hal tersebut. Dari riset-riset tersebut
ditemukan beberapa hal antara lain:
1. Demokrasi telah membuat orang-orang yang memiliki kekuasaan dan orang -
orang kaya semakin menonjol sementara orang miskin dan lemah makin
terpuruk dalam kehidupan. Sebagai contoh dalam laporan Departemen
Pertanian AS (1999) dengan judul “A Citizen’s Guide To Food Recovery”
dinyatakan bahwa dari 1/5 penduduk AS yang membuang sisa makanan
mereka setiap tahun nilainya mencapai 31 miliar dollar. Padahal jumlah
tersebut cukup untuk memberi makan 49 juta jiwa atau dua kali lipat dari
jumlah orang yang meninggal tiap tahunnya akibat kelaparan.
2. Demokrasi telah membolehkan orang untuk melakukan segala cara untuk
memperoleh keuntungan. Untuk menguasai minyak dan gas Irak, yang
merupakan penghasil minyak terbesar ke-2 setelah Arab Saudi dan penghasil
gas terbesar dunia, AS tidak segan menginvasi negara tersebut.
3. Kekuasaan dimonopoli oleh mereka yang memiliki kekuatan dan kekayaan
dan terus dimanfaatkan untuk mengakumulasi kekayaan dan memperluas
pengaruh meski mengakibatkan kematian dan melukai banyak orang. Haiti
misalnya pulahan tahun sebelumnya mampu memenuhi 95% kebutuhan
berasnya. Namun setelah mendapatkan hutang dari IMF, negara tersebut
disyaratkan untuk menurunkan tarif impornya yang sebelumnya 35%.
Akibatnya kini negara tersebut dibanjiri 75% beras impor dari AS. Angka
kemiskinan dan kekurangan pangan di negara tersebut melonjak hingga
hampir mencapai 50%.
4. Polusi merupakan konsekuensi logis dari demokrasi yang mendorong manusia
tamak dalam berproduksi. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Global
Warming International Centre (GWIC), hingga kini misalnya AS sebagai
negara industri terbesar enggan meratifikasi protokol Kyoto meski negara
tersebut merupakan negara penghasil emisi gas terbesar di dunia sebesar
36.1%. selain itu negara tersebut juga menyumbang 25% seluruh emisi
karbondioksida. Padahal penduduk negara tersebut hanya 4% dari populasi
dunia .
5. Demokrasi telah melegalkan hubungan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis
baik antara laki-laki (homoseksual) maupan sesama jenis perempuan (lesbian)
telah dilegalkan di sejumlah negara meski ditentang oleh para pemuka agama.
6. Demokrasi telah mendorong manusia untuk menghabiskan waktunya untuk
kesenangan dan foya-foya. Sebagai contoh berdasarkan hasil riset Nielsen
Media Research (1999) ditemukan bahwa setiap harinya rata-rata orang AS
menghabiskan 3 jam 46 menit hanya untuk menonton tv equivalen dengan 52
hari dalam setahun menonton tayangan tv secara non-stop. Jika usia seseorang
65 tahun maka 9 tahun usianya digunakan untuk menonton tv.
7. Demokrasi dengan prinsip kebebasannya telah melahirkan hak untuk merusak
moral manusia melalui sin of city (kota yang bertabur dosa) seperti pelacuran
dan minuman keras. Global Issue melaporkan pada tahun 1998 saja belanja
penduduk AS untuk minuman keras sebesar 105 miliar dollar.
8. Demokrasi telah melegalkan perang yang menghabiskan triliunan dolar dalam
rangka mempertahankan gaya hidup pendukungnya. Perang Irak misalnya
sebagaimana yang dilaporkan oleh Stiglitz telah menghabiskan lebih dari 3
triliun dollar.
9. Demokrasi telah mendorong manusia untuk menciptakan berbagai jenis
produk-produk keuangan untuk memuaskan ketamakan mereka meski
menghancurkan sendi-sendi perekonomian. Perbankan ribawi, mata uang
kertas dan pasar derivatif (CDO, MBS, dll) adalah contohnya. Akibat terlibat
dalam transaksi subprime mortgage, nilai kekayaan Citigroup merosot dari
225 miliar dollar (kwartal II-2007) AS menjadi hanya 19 miliar dollar pada 20
Januari 2009. Akibatnya pemerintah AS, negara-negara Eropa melakukan bail
out (suntikan dana) dengan menggunakan uang hasil pajak rakyatnya.
Dengan fakta tersebut, seharusnya manusia yang berakal menyadari bahwa demokrasi
tidak seindah teorinya. Inilah ilusi demokrasi.
Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Folks populi folks dei. Suara rakyat adalah suara tuhan. Demikian salah satu adagium
dalam demokrasi. Dalam sistem ini manusia ditempatkan sejajar dengan tuhan.
Sebuah pengingkaran terhadap Aqidah Islam.
Dengan mencermati realitas pemikiran dan praktek demokrasi, maka disimpulkan
bahwa ide tersebut sangat kontradiktif dengan Islam. Hal ini didasarkan pada
sejumlah alasan, antara lain:
Pertama, Demokrasi adalah sistem kehidupan yang dirancang dan dibuat oleh
akal dan hawa nafsu manusia. Sementara Islam adalah sistem kehidupan yang
berasal dari Allah Swt, diturunkan untuk seluruh manusia. Hanya dengan
Islam, manusia mendapatkan ridhai-Nya.
�ا د�ين م� ال� �س اإل �م� �ك ل ض�يت� و�ر� �ي �عم�ت ن �م ك �ي ع�ل م�مت� �ت و�أ �م �ك د�ين �م �ك ل م�لت� ك� أ �وم� ي ال
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agama bagimu (QS al-Maidah [5]: 3)
ر�ين� خ�اس� ال م�ن� ة� �خ�ر� اآل ف�ي و�ه�و� ه� م�ن �ل� �قب ي �ن ف�ل �ا د�ين � م ال� �س اإل ر� غ�ي �غ� ت �ب ي و�م�ن
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85).
Kedua, Dalam demokrasi, otoritas membuat undang-undang berada di tangan
rakyat. Kemudian secara praktis, otoritas itu dilimpahkan kepada parlemen
yang dianggap menjadi representasi rakyat. Sedangkan dalam Islam, satu-
satunya yang berhak menetapkan undang-undang adalah Allah Swt.
Konsekuensinya, seluruh hukum yang berlaku wajib bersumber dari wahyu
(al-Quran dan al-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijma’
Sahabat dan al-Qiyas).
�ين� ف�اص�ل ال ر� ي خ� و�ه�و� ح�ق3 ال �ق�ص6 ي 3ه� �ل ل �ال3 إ م� ح�ك ال �ن� إ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS al-An’am [6]:
57).
Menurut As- Syaukany di dalam Fathul Qadir, ayat diatas bermakna tidak
satupun hukum yang ada tentang sesuatu kecuali berasal dari Allah swt.
Di samping itu terdapat sejumlah ayat yang mencela pembuatan hukum dari
selain Allah swt.
�ال3 إ وا �م�ر� أ و�م�ا �م� ي م�ر ن� اب يح� م�س� و�ال 3ه� الل د�ون� م�ن �ا �اب ب ر� أ �ه�م �ان هب و�ر� ه�م �ار� ب ح
� أ 3خ�ذ�وا ات
�ون� ر�ك �ش ي ع�م3ا �ه� ان ح� ب س� ه�و� �ال3 إ �ه� �ل إ ال� و�اح�د�ا �ه�ا �ل إ �د�وا �عب �ي ل
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan (QS al-Taubah [9]: 31).Menurut At Thabary
asbabu an-nuzul ayat ini berkenaan dengan kisah Adiy bin Hatim:
: Cصليب �قي ع�ن وفي وسلم عليه الله صلى الله رسول� أتيت قال حاتم بن عدي عن
: ! : وانتهيت فطرحته، قال عنقك من الوثن� هذا اطرح ،Oعدي يا فقال ذهب، من
): ” �ا “ أرباب هبانهم ور� أحبارهم اتخذوا اآلية هذه فقرأ ، براءة سورة في يقرأ وهو إليه
: ! : ( ما مون Tيحر أليس فقال نعبد�هم لسنا إنا الله، رسول يا قلت قال ، الله دون من
: ! : : فتلك قال بلى قلت قال فتحل6ونه؟ الله م حر3 ما ويحل6ون مونه، Tفتحر الله أحل3
عبادتهم
Dari Adiy bin Hatim ia berkata: “Saya mendatangi Rasulullah saw sementara
di leher saya tergantung salib yang terbuat dari emas.” Beliau bersabda:
“Wahai Adiy, buang sesembahan itu dari lehermu.” Saya pun membuangnya.
Setelah itu saya menemuinya lalu beliau membaca surah Baraah: “Mereka
menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” Saya
kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyebahnya. Beliua
menjawab: bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu
kalian mengharamkannya. Mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan
Allah lalu kalian menghalalkannya? Saya menjawab: betul. Beliau berkata:
“demikianlah bentuk ibadah mereka.” (Tafsir at-Thabary vol.21 hal.210).
Ketiga, Metode dalam penetapan hukum. Dalam demokrasi, semua keputusan
hukum diputuskan berdasarkan suara terbanyak. Setiap perbedaan dan
perselisihan, diselesaikan dengan jalan voting (pemungutan suara) ataupun
lobi. Sedangkan dalam Islam, semua keputusan hukum berdasarkan pada dalil
syara’. Perbedaan pendapat dalam masalah hukum harus diselesaikan oleh
imam dengan jalan mengambil hukum yang paling kuat dalilnya.
Di dalam Al Quran dijelaskan bahwa setiap perkara yang diperselisihkan
wajib dikembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah.
�ا 6ه�ا ي ي� 3ذ�ين� أ �وا ال �م�ن �ط�يع�وا آ 3ه� أ �ط�يع�وا الل ول� و�أ س� �ول�ي الر3 �مر� و�أ �م األ ك �ن م�ن �م ف�إ عت �از� �ن ت
ء] ف�ي ي د6وه� ش� �ل�ى ف�ر� 3ه� إ س�ول� الل �ن و�الر3 �م إ ت �ن �ون� ك �ؤم�ن 3ه� ت �الل � ب �وم ي �خ�ر� و�ال �ك� اآل رC ذ�ل ي خ�
ن� �حس� و�يال� و�أ �أ ت
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS al-
Nisa’ [4]: 59).
Kelemahan-kelemahan demokrasi di Indonesia
Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI beberapa waktu lalu
tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga mereka yang
berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan alasan utama di
balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.
Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon pemilih
—setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih golput. Pertama:
alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih golput sudah semakin
sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak menjanjikan kesejahteraan apapun bagi
rakyat. Bagi mereka, selama ini terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau
presiden dan wakil presiden yang serba baru tidak membawa perubahaan apa-apa
yang bisa sedikit saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, sebagaimana
dikatakan pengamat politik J Kristiadi, "Harapan masyarakat sebenarnya sederhana.
Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih
baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan
terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan kesejahteraan itu." (Kompas,
2/2/2009).
Kedua: alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini,
Pemilu (baca: demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun.
Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengokohkan sekularisme. Padahal
sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang terjadi.
Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang menyingkirkan
peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim,
sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek
kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, sosial, dll).
Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui
penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai
survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei seperti PPIM UIN Syarif
Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002). Roy Morgan Research (2008), SEM
Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata menunjukkan bahwa 70-80%
masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam dalam negara (Lihat
kembali: Al-Islam, Edisi 434/XII/08). Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya
mengatakan, adanya survey yang menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia
mendukung syariah memang cukup masuk akal. “Itu terjadi karena adanya kejenuhan
dari masyarakat terhadap sistem yang ada,” ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).
Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa
partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004 lalu dan
kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh jadi mereka
melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan
penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena itulah, di antara mereka
yang pro syariah ini lebih memilih golput.
Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih dulu
—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu
—yang menolak golput.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan
syariah Islam secara kâffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari Allah SWT
yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang sesungguhnya lebih
layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa MUI tahun 2005 yang
telah memfatwakan haramnya sekularisme.
Demokrasi: Memiskinkan Rakyat
Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh
sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia adalah negeri
yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi,
gas, batubara, emas, tembaga dan beberapa yang lain bahkan ada di negeri ini dengan
kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut
lainnya juga luar biasa. Indonesia pun memiliki areal hutan tropis yang sangat luas.
Dengan semua kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya
makmur dan sejahtera, dan tidak ada yang miskin.
Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini
merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh
segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh kecil: Di Bumi
Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40
triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT
Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji
seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp 432 miliar pertahun (=Rp
36 miliar perbulan atau rata-rata Rp 1.4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri
hingga saat ini hanya berpenghasilan Rp 2 juta saja pertahun (=Rp 167 ribu perbulan).
Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa
dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).
Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas
16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun
(2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3
miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang
(12.4 persen) tergolong miskin.
Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun
2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG
dengan operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978, Namun, Aceh
menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk
miskinnya sekitar 28.5 persen.
Itulah secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan
demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling demokratis
di dunia.
Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun,
termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para kapitalis/pemilik
modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan banyak UU dan peraturan
yang lebih berpihak kepada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui
kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang
notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden
sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak
swasta terlibat dalam pengelolaan (baca: penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak
tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam
Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta
untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN.
Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain
ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik,
termasuk BUMN, hingga 95 persen.
Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya
intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD
amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan.
Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas.
Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik dan UU Sumber Daya Air (SDA) yang sarat
dengan kepentingan asing. Dampaknya, tentu saja adalah semakin leluasanya pihak
asing untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik
rakyat. Dampak lanjutannya, rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi
pihak yang selalu dikorbankan; hanya menjadi 'tumbal' demokrasi, yang ironisnya
selalu mengatasnamakan rakyat.
KESIMPULAN
Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan
menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering
dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang Pemilu—
maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus berani
mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik demokrasi dan
sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Selanjutnya,
seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan syariah Islam secara kâffah
dalam negara; baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial,
keamanan dan pertahanan, dll dalam kehidupan berpancasila di Indonesia. Yakinlah,
hanya dalam negara yang menerapkan syariah secara kâffah-lah—yang dalam sistem
politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan rakyat bakal benar-benar
terwujud.
Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan
kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun Kekhilafahan Islam pada masa
lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.
Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/634-644 M),
misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat merata
ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal
sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-
Qaradhawi, 1995).
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), hanya
dalam 3 tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil
menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata,
"Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah
memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun,
saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan
setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan." (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah
'Umar bin Abdul 'Azîz, hlm. 59).
Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata
di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu Ubaid, Al-
Amwâl, hlm. 256).
Mahabenar Allah Yang berfirman:
Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan
membukakan pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi (QS al-A'raf
[7]: 96)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.muslimdaily.net/
Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung:Mizan.
Anderson, Benedict, 1999, Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang AsalUsul dan Penyebaran Nasionalisme (terj.), Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
http://mediamuslim.blogdetik.com/
TUGAS MATA KULIAH UMUM PANCASILA
PENERAPAN SISTEM DEMOKRASI DALAM FALSAFAH PANCASILA di
INDONESIA
NAMA : KUKUH MUKTI SUBEKTI
NIM : 2010430057
SEMESTER: 1
FAKULTAS: Tehnik kimia
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA2010/2011