SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT HUKUM ISLAM …repository.uinjambi.ac.id/320/1/SKRIPSI YESSI...

77
SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Hukum Ekonomi Syariah Pada Fakultas Syariah OLEH : YESSI SAPUANITA NIM: SHE. 151844 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 1440 H / 2018 M

Transcript of SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT HUKUM ISLAM …repository.uinjambi.ac.id/320/1/SKRIPSI YESSI...

i

SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

Dalam Hukum Ekonomi Syariah

Pada Fakultas Syariah

OLEH :

YESSI SAPUANITA

NIM: SHE. 151844

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

1440 H / 2018 M

ii

iii

iv

MOTTO

... ى فاكتبىه إنى أجم يس آينىا إرا تذاينتى بذي يا أيها انزي

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak

secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya”.(Q.S Al-Baqarah : 282).

v

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem bagi hasil kebun karet antara

pemilik dan penggarap kebun di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab.

Merangin dan untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap bagi hasil

kebun karet di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin, dan dari hasil

penelitian ini agar dapat berguna bagi seluruh masyarakat Desa Muara Kibul

dalam upaya memberi gambaran dan kontribusi bahwa pentingnya bagi hasil

kebun karet. Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah jenis

penelitian kualitatif, dengan menggunakan sumber data primer melalui penelitian

lapangan dan data sekunder data yang diperoleh melalui kepustakaan, data

tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu menguraikan dan

menggambarkan mengenai pokok permasalahan yang ada, kemudian penguraian

tersebut dapat diambil kesimpulan dengan secara deduktif. Masyarakat Desa

Muara Kibul ialah masyarakat mayoritas sebagai petani karet khususnya dalam

sektor perkebunan yang banyak dimiliki oleh masyarakat Desa Muara Kibul ini

adalah kebun karet dan sawit, dengan adanya tanah pertanian kebun karet inilah

masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hukum Islam

dan Fiqh Muamalah akad Bagi Hasil kebun karet antara pemilik dan penggarap

kebun dikenal dengan istilah akad musaqah yaitu dimana terdapat pihak yang

mengikat dirinya untuk menyerahkan kebun karetnya sedangkan pihak lain

menggarap kebun karet dan hasilnya dibagi antara mereka berdua sesuai dengan

kesepakatan, pada umumnya sistem perjanjian/kerjasama bagi hasil kebun karet

ini hanya dilakukan berdasarkan kata sepakat antara pemilik dan penggarap.

Akadnya dilakukan secara lisan dan berdasarkan kepercayaan tidak ada kekuatan

hukum, sehingga banyak memberi peluang antara kedua belah pihak melakukan

hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak terhadap pihak lain.

vi

PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRRAHMAANIRROHIM

Dengan senantiasa sembah sujud serta puji dan syukurku pada mu ya allah yang

menciptakanku dengan bekal yang begitu teramat sempurna. Taburan cinta, kasih

sayang, rahmat dan hidadayahmu telah memberikanku kekuatan, kesehatan,

semangat pantang menyerah dan memberkatiku dengan ilmu pengetahuan. Atas

karunia serta kemudahan yang engkau berikan dan akhirnya tugas akhir ini dapat

diselesaikan. Shalawat dan salam selalu ku limpahkan kehadiratmu Rasulullah

Muhammad SAW.

Alhamdulillah amanah ini usai sudah dengan berbagai suka dan duka serta

doa, usaha dan kesabaran yang selalu mengiri. Ayah & Amak den Tercinta

Lautan kasih sayangmu hantarkan aku ke gerbang kesuksesan tiada kasih

seindah kasihmu, tiada cinta semurni cintamu dalam derap langkahku ada

tetesan keringatmu dalam cintaku ada doa tulusmu, semoga Allah membalas

budi dan jasamu. Ku persemabahkan kado kecil ini sebagai tugas akhir ku

buat kedua orang tua dan keluarga ku tercinta Ayah Den M. Sapuan &

Amak Den Saripah terimakasih atas kasih sayang mu selama ini dan atas

dorongan kasih sayang mu lah aku bisa menyesaikan tugas akhir ku ini

seribuan terimakasih atas didikan dan bekerja keras demi muara kasih mu

kepada kami.

Dan teruntuk Adikku tersayang Ari Wanpahmi, Andre Filtra Pahmi, Febria Lupita

Sari dan M. Furqon Terima Kasih Sudah Saling Menyayangi Dan Mencintai

Karna ALLAH SWT Semoga Kita Berlima Mampu Menjadi Lantera Untuk Amak

& Ayah . Aamiin

Terimakasih Juga Kepada:

Ibu Jusmanita, Ayah Zulkifli, Bang Anggi P, Mantuo Widel, Abang Japar, Ayuk

Misdareti SH & Nonsu Nurul Iklas S.sos yang telah banyak membimbing dan

memberi suppor dalam perjuangan skripsiku, Teman-teman seperjuangan Hukum

Ekonomi Syariah angkatan 2015. dan Sahabatku Nurdiah, Adelia, Dwi dan

Adikku Yani Anugrah terimakasih Telah Memberikan Support Besar Dalam

Perjuangan Kuliahku. Khususnya Terimakasih Kepada Abang Ku M. Ardison

Yang Telah Menjadi Lantera Sejak Masa Berjumpa Hingga Detik Ini, Semoga

Masih Menyayangiku Dan Tetaplah Jadi Abangku. TerimaKasih Untuk Semua

Pihak Yang Telah berpartisipasi Semoga Semua Ini Dapat Menjadi

Bekalku.Amiin Ya Robbal „Alamiin.

vii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr,Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini yang berjudul: SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT

HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab.

Merangin).

Kemudian tidak luput pula sholawat teriring salam kepada Nabi Besar

Muhammad SAW, yang telah memberi kita petunjuk dari alam kebodohan

menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan pada saat sekarang

ini, terang bukan karna lampu yang menyinari dan bukan pula karna bulan dan

matahari akan tetapi terangnya karna ilmu pengetahuan serta iman dan Islam.

Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan Ilmu

Hukum dan memenuhi sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

Strata Satu (S.I) pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Pada kesempatan kali

ini dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan hasil penelitian yang penulis

upayakan secara maksimal dengan segenap keterbatasan dan kekurangan yang

penulis miliki sebagai manusia biasa namun berbekal pengetahuan yang ada serta

arahan dan bimbingan, juga petunjuk dari bapak Dr. H. Bahrul Ma‟ani, M.Ag

selaku pembimbing I bapak Fauzi Muhammad, M.Ag selaku pembimbing II yang

selalu meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk

memberi bimbingan dengan sabar, saran, dan kritik yang membangun,

viii

menebarkan keceriaan serta optimisme kepada penulis dan akan selalu

penulis ingat. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan

semaksimal mungkin untuk kesempurnaan skripsi ini, namun karena keterbatasan

ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis, sehingga masih terdapat kejanggalan

dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA. Rektor UIN STS Jambi

2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag Dekan Fakultas Syari‟ah UIN Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi.

3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc.,M.HI.,Ph.D Wakil Dekan 1 bidang Akademik

Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag.,M.HI, Wakil Dekan ll bidang Akademik

Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

5. Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag.,M.HI Wakil Dekan lll bidang Kemahasiswaan dan

Kerjasama Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

6. Ibu Maryani, S. Ag, M.HI Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas

Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

7. Ibu Pidayan Sasnifa, SH, M.Sy Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Fakultas Syari‟ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

8. Bapak Dr. H. Bahrul Ma‟ani, M.Ag Pembimbing l

9. Bapak Fauzi Muhammad, M.Ag Pembimbing II

ix

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ........................................................................................ i

LEMBAR PERNYATAAN. ............................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING. .................................................................. iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN. ................................................................. iv

MOTTO. ......................................................................................................... v

ABSTRAK. ..................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN. ............................................................................................. vii

KATA PENGANTAR. ................................................................................... viii

DAFTAR ISI. .................................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah. .................................................................. 1

B. Rumusan Masalah. ........................................................................... 5

C. Batasan Masalah. ................................................................................ 6

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................ 6

E. Kerangka Teori. .................................................................................. 7

F. Tinjauan Pustaka. .......................................................................... 20

BAB II METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah. ........................................................................ 22

B. Jenis dan Sumber Data. .................................................................... 22

C. Teknik Pengumpulan Data . ............................................................. 23

D. Teknik Analisis Data. ....................................................................... 24

E. Sistematika Penulisan. ...................................................................... 26

F. Jadwal Penelitian. ............................................................................. 27

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Historis dan Geografis Desa Muara Kibul. ...................................... 29

B. Visi Misi Desa Muara Kibul. ........................................................... 30

C. Keadaan Penduduk dan Mata Pencarian Desa Muara Kibul............ 30

D. Keadaan Agama Dan Pendidikan Desa Muara Kibul…………….. 33

E. Keadaan Sosial Kemasyarakatan Desa Muara Kibul. ...................... 36

F. Struktur Organisasi Desa Muara Kibul. ........................................... 37

xi

Bab IV HASIL PENELITIAN

A. Sistem Pelaksanaan bagi hasil kebun karet di Desa Muara Kibul Kec.

Tabir Barat Kab. Merangin. .......................................................... 38

B. Pandangan hukum Islam terhadap sistem bagi hasil kebun karet di

Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin . .................. 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan. ................................................................................. 62

B. Saran ............................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah dengan alat

perlengkapan yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas, hak dan

kewajibannya di bumi. Semua makhluk lain terutama flora dan fauna diciptakan

Allah SWT untuk manusia, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup

manusia dan kehidupannya. Semua yang ada di alam semesta, langit, bumi serta

sumber-sumber alam lainnya, bahkan harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia

adalah milik Allah, karena Dialah yang menciptakannya. Semua ciptaan Allah itu

tunduk pada kehendak dan ketentuan-Nya. Manusia sebagai khalifah berhak

mengurus dan memanfaatkan alam semesta itu untuk kelangsungan hidup dan

kehidupan manusia dan lingkungannya.1

Manusia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan

dan papan yang tidak pernah berkurang bahkan kian hari kian bertambah.

Mengikuti pertumbuhan manusia itu sendiri, kenyataan tersebut terbukti sejak

pertama manusia diciptakan.

Al-Quran secara tegas menyebutkan macam kebutuhan primer itu dan

mengingatkan manusia pertama tentang keharusan memenuhinya sebelum

manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi, ketika Adam dan Istrinya

Hawa masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua.

1Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, cet. ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4.

2

فق ذاػذ نشجكفهايخزجىكمامىٱنجىةفتشقهىاي ـادمئو ناتؼز,نك ا إوهكؤناتجػفي

ناتض أوكهاتظمؤ, ا .حافي

Artinya:“Maka berkata: Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh

bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampaikan ia

mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu

menjadi celaka. Sesunggungnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya,

dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya, kamu tidak akan merasa

dahaga, dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.2

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan bersusah

payah adalah bekerja dengan keras untuk memenuhi kebutuhan mereka di dunia

tidak diperoleh tanpa kerja, tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau

dalam bahasa ayat di atas tidak lapar dan tidak dahaga.

Soerjono Soekanto, dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar

mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk individu juga sebagai makhluk

sosial tidak dapat berdiri sendiri, ia saling bergantungan satu sama lain, karena

manusia sejak lahir sudah mempunyai hasrat atau keinginan pokok untuk menjadi

satu dengan manusia lain disekelilingnya.3

Dalam Islam, bekerja dinilai sebagai kebaikan, dan kemalasan dinilai

sebagai kejahatan. Dalam kepustakaan Islam modern, orang bisa menemukan

banyak uraian rinci mengenai hal ini. Al-Quran mengemukakan kepada nabi

dengan mengatakan: “dan katakanlah (Muhammad kepada umat muslim) :

bekerjalah, ”Nabi juga telah meriwayatkan melarang mengemis kecuali dalam

keadaan kelaparan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang

2Thaha (20): 117-119.

3Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet. ke-1 ( Jakarta: Rajawali, 1992), hlm.

111.

3

sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban. Kewajiban masyarakat dan

badan yang mewakilinya adalah menyediakan kesempatan-kesempatan kerja

kepada individu.4

Bagi hasil dalam pertanian merupakan bentuk pemanfaatan tanah

merupakan di mana pembagian hasil terdapat dua unsur produksi, yaitu modal dan

kerja dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil tanah. Pembagian

keuntungan lahan dilakukan melalui tingkat hasil yang didapat, bahkan ditetapkan

dalam jumlah yang pasti. Menentukan jumlah keuntungan secara pasti kepada

pihak si pengelola aka menjadikan perjanjian tidak berlaku, si pengelola tidak

diperkenankan untuk turut sta menyediakan modal karena semua ditanggung oleh

pemilik kebun.

Di dalam Islam terdapat berbagai akad bagi hasil dalam bidang pertanian,

salah satu diantaranya adalah musaqah, di dalam musaqah terdapat pihak yang

mengikrarkan dirinya untuk menyerahkan sebidang kebun sedangkan pihak lain

mengelola kebun tersebut beserta pembiayaannya. Hasil panen yang diperoleh di

bagi sesuai kesepakatan sebelumnya.

Kerjasama semacam ini dipraktekan oleh masyarakat di Desa Muara Kibul.

Di samping mengelola kebun miliknya sendiri juga memperkerjakan orang lain

untuk penggarapannya dengan sistim bagi hasil, yang di dalam kehidupan

masyarakat setempat dikenal dengan istilah motong parah (motong karet) dan di

dalam kepustakaan Islam hampir mirip dengan istilah musaqah, yaitu suatu sistem

persekutuan perkebunan antara pemilik kebun di satu pihak dan penggarap di

4Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif (Ekonomi Islam), cet. ke-1, (Jakarta:

Kencana, 2006), hlm. 5.

4

pihak lain dengan sistem bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat

oleh kedua belah pihak.

Demikian halnya bagi hasil penggarapan kebun karet yang terjadi di Desa

Muara Kibul dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kepercayaan masing-masing

pihak, dan menurut kebiasaan masyarakat setempat, akad dilaksanakan secara

lisan tanpa disaksikan oleh saksi-saksi dan prosedur hukum yang mendukung.

Pelaksanaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak ada bukti

yang kuat telah terjadinya kerjasama kedua belah pihak.

Hal inilah yang menyebabkan terjadinya beberapa pelanggaraan terhadap

kerja sama yang sudah di sepakati sehingga merugikan salah satu pihak, seperti

minsalnya penggarap menjual hasil kebun secara diam-diam kepada orang lain

tanpa sepengatahuan pemilik kebun atau pemilik kebun menetapkan standar harga

karet (parah) secara diam-diam.

Berdasarkan wawancara penulis dengan bapak Rustam menyatakan bahwa:

“Pembagian hasil karet menurut kebiasaan desa Muara Kibul dibagi menjadi tiga

bagian, dua bagian untuk penggarap dan satu bagian untuk pemilik kebun.

Sedangkan sistem jual beli yang berlaku antara penggarap dan toke karet menurut

kebiasaan adalah dengan cara mengurangi timbangan, adapun pemotongan

dilakukan berdasarkan jenis karetnya. Misalnya untuk karet bersih, timbangan

karet (parah) yang basah 80 kilogram maka di potong sebesar 5% untuk karet

yang sudah kering potongan nya lebih sedikit sebesar 2%sedangkan untuk karet

5

yang bertata potongan nya dua kali lipat dari getah bersih, ketentuan jual beli

karet di desa Muara Kibul”.5

Dari sinilah penyusun menelusuri dan meneliti apakah bagi hasil ini terdapat

penipuan dan eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak lain. Adanya realitas

menarik untuk diteliti dan diangkat dalam pembahasan skripsi.

Alasan pemilihan lokasi di Desa Muara Kibul, karena masyarakat di Desa

tersebut mayoritas kerja menjadi penggarap kebun karet dengan sistem bagi hasil

dan respondennya lebih banyak dibandingkan dengan desa-desa lain. Jadi peneliti

mudah mendapatkan responden yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan

dalam penelitian. Sehingga penulis mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan

judul pilihan adalah: “SISTEM BAGI HASIL KEBUN KARET MENURUT

HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat

Kab.Merangin)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, terdapat hal

yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini:

1. Bagaimana pelaksanaan bagi hasil Kebun Karet di Desa Muara Kibul Kec.

Tabir Barat Kab. Merangin?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap bagi hasil di Desa Muara Kibul

Kec. Tabir Barat Kab. Merangin?

5Wawancara, dengan Bapak Rustam selaku penggarap kebun karet, tanggal 15 Februari

2018.

6

C. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian skiripsi ini diperlukan agar pembahasan

dan tujuan terarah dan tidak menjalar menjadi luas, dengan ini maka penulis akan

membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya pada ruang

lingkup Desa Muara Kibul Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk dapat menjelaskan dan menilai bagi hasil kebun karet di Desa Muara

Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin.

b. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap bagi hasil kebun karet Desa

Muara Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara ilmiah, yaitu sebagai sumbangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan

bagi disiplin ilmu hukum Islam serta pengembangannya yang berkaitan dengan

bidang muamalah, khususnya yang berkaitan dengan persoalan pelaksanaan

bagi hasil dan kesimpulan hukumnya.

b. Secara praktis, yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi sumbangan bagi pemerintah dan pihak-pihak lain dalam menyusun

kebijaksanaan yang akan diambil. Khususnya yang berkaitan dengan lapangan

kerja bagi hasil kebun karet ini, baik di tempat lain maupun di Desa Muara

Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin.

7

E. Kerangka Teori

1. Bagi Hasil (Qiradh)

Qiradh secara bahasa berasal dari kata qardh yang artinya potongan sebab

yang mempunyai harta memotong hartanya untuk si perkerja agar dia bisa

bertindak dengan harta itu dan sepotong keuntungan. Dari kata yang sama juga

miqradh yaitu alat memotong, juga dinamakan mudharabah (bagi hasil) karena

memilik arti berjalan di atas muka bumi yang biasa dinamakan bepergian.

Dasar hukum kebolehan qiradh adalah ijma‟ dan qiyas terhadap musaqah

(bagi hasil ladang) dengan kesamaan bahwa setiap pekerjaan yang menghasilkan

sesuatu ada bayarannya walaupun tidak diketahui berapa besarnya, dan karena

musaqah dan qiradh keduanya diperbolehkan karena keperluan di mana orang

yang mempunyai pohon kurma terkadang tidak bisa mengurus tanaman karena

tidak ada waktu dan orang yang bisa bekerja dengan baik terkadang tidak ada

modalnya. Dan makna ini ada pada akad qiradh sebab si pemodal terkadang tidak

bisa menguruskannya dengan baik dan yang bisa bekerja terkadang tidak ada

modal, maka yang pertama perlu tenaga kerja dan yang kedua perlu

bekerja.6Imam Al-Mawardi berdalil tentang keabsahan qiradh dengan firman

Allah SWT:

امىزبكمنيسؼهيكمجىاحؤوتبتغافضم

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu”.7

6Abdul Aziz Muhammad Azzam,Fiqh Muamalat(Sistem Transaksi dalam Islam ), cet. ke-2,

(Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 245-246.

7Al-baqarah (2) : 198.

8

Pada prinsipnya Islam membolehkan semua bentuk kerja sama, selama kerja

sama tersebut saling mendatangkan maslahat yang baik terhadap dirinya dan

masyarakat banyak. Begitu halnya dengan sistem bagi hasil kebun karet di Desa

Muara Kibul. Dalam hukum Islam bagi hasil pengelolaan lahan pertanian ada tiga

macam, yaitu:

a. Muzara’ah

Muzara‟ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, di mana pihak

pertama yaitu pemilik tanah menyerahakan tanahnya kepada pihak kedua yaitu

penggarap untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi di antara

mereka dengan perimbangan setengah setengah, atau sepertiga dua pertiga atau

lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut, sesuai dengan hasil kesepakatan

mereka.8

b. Mukhabarah

Mukhabarah adalah sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah

kepada pekerja dan modal dari pengelola.

Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa muzara‟ah

dan mukhabarah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah

antara muzara‟ah dan mukhabarah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu

pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.

Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut

8Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, cet. ke- 3, ( Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 394.

9

mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka disebut

muzara‟ah.9

c. Musaqah

Musaqah diambil dari kata الى ساقى (al-saqa), yaitu seseorang bekerja pada

pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya

mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang

diurus sebagai imbalan.10

Musaqah adalah suatu akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau

menggarapnya dengan ketentuan hasil buah-buahan dibagi di antara mereka

berdua.11

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara musaqah,

mukhabarah dan muzara‟ah merupakan bagi hasil lahan pertanian (sawah atau

ladang) sedangkan musaqah merupakan bagi hasil dalam mengairi dan

memelihara perkebunan buah-buahan seperti kurma, anggur dan sebagainya.

Pada pokoknya ketentuan yang berkaitan dengan akad muamalah pada

umumnya dan akad musaqah pada khususnya, sebagian besar bersifat ijtihadiyah.

Artinya nass-nass yang mengatur masalah ini tidak memberikan penjelasan yang

terperinci, hanya bersifat global. Sedangkan penjelasan yang terperinci terdapat

pada pemahaman atau pendapat para ulama, pendapat itu juga kadang masih

terjadi perbedaan pandangan antara ulama satu dengan lainnya.

9Hendri Suhendi, Fiqh Muamalah ( Membahas Ekonomi Islam), cet. ke-9, ( Jakarta:

Rajawali Pers, 2013), hlm. 155.

10

Ibid., hlm. 21.

11Ibid., hlm. 405.

10

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam

musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat, bahwa yang boleh dimusaqahkan

hanya kurma saja. Menurut Syafi‟iyah, yang boleh dimusaqahkan hanya kurma

dan anggur saja. Sedangkan menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai

akar kedasar bumi, dapat dimusaqahkan, seperti tebu.12

Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan akad, maka waktu yang

berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad,

sah pula untuk pohon yang berubah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti

terong.

Menurut Imam Maliki, bahwa musaqah dibolehkan untuk semua yang

pohon yang memiliki akar yang kuat, seperti delima, tin, zaitun,dan pohon-pohon

yang serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang

berakaltidak kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki

kemampuan untuk menggarapnya.13

Menurut Madzhab Hanbali, musaqah diperbolehkan untuk semua pohon

yang buahnya dapat dimakan, dalam kitab al-Mughni, Imam Maliki berkata:

musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula pohon-

pohon yang perlu disiram.14

12

Ibid., hlm.149

13 Ibid., hlm. 149.

14Ibid., hlm. 149.

11

2. Dasar Hukum Musaqah

Musaqah merupakan kerjasama bagi hasil antara pemilik tanah pertanian

dengan penggarapnya, dengan demikian merupakan salah satu bentuk tolong-

menolong. Untuk melakukan usaha pertanian ini, adakalanya di perlukan

kerjasama antar pemilik kebun dengan yang memiliki keterampilan dan

kemampuan bertani, karena ada beberapa pemilik kebun tidak sanggup untuk

menggarap kebunnya sendiri.

Asas hukum musaqah ialah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

ش أوصسع وفى سوايت دفع إنى انيهىد خيبش وأس أعطى خي ث بش بشطش يا يخشج ينها ي

نشسىل لله ص و شطش ها أيى انهى وأ هى ها ي يع ضها عهى ا

Artinya: ”Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan,

baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain

dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi,

untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk

Nabi”.(HR. Bukhari-Muslim).15

3. Hukum Musaqah Yang Shahih dan Fasid

Musaqah yang shahih adalah akad yang syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila

syarat-syaratnya tidak terpenuhi, maka musaqah akan menjadi fasid.16

a. Hukum musaqah yang Shahih

Ada beberapa ketentuan hukum yang berlaku untuk musaqah yang shahih.

1) Menurut Hanafiah

15

Ibid., hlm. 148.

16 Ibid., hlm. 410.

12

Ulama Hanafiah mengemukakan tentang ketentuan hukum yang berlaku

untuk musaqah sebagai berikut:

(a) Semua pekerjaan yang berkaitan dengan pemiliharaan pohon merupakan,

kewajiban penggara, sedangkan sesuatu yang dibutuhkan oleh pohon, seperti

biaya perawatan dan pemeliharaan menjadi tanggungjawab bersama antara

pemilik dan penggarap;

(b) Hasil yang diperoleh dibagi antara kedua belah pihak berdasarkan syarat-

syarat yang telah disepakati;

(c) Akad musaqah merupakan akad yang lazim atau mengikat bagi kedua belah

pihak. Oleh karena itu, masing-masing pihak tidak bisa menolak untuk

melaksanakannya atau membatalkannya tanpa persetujuan pihak yang lain,

kecuali karena udzur;

(d) Pemilik boleh memaksa penggarap untuk melakukan pekerjaannya, kecuali

karena udzur;

(e) Dibolehkan menambah hasil (bagian) dari ketetapan yang telah disepakati;

(f) Penggarap tidak boleh memberikan musaqah kepada orang lain, kecuali

diizinkan oleh pemilik kebun.17

2) Menurut Malikiyah

Pada umumnya ulama malikiyah menyepakati hukum-hukum musaqah yang

dikemukakan oleh ulama Hanafiah. Namun, mereka berpendapat dalam hal

penggarapan kebun dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

17

Ibid., hlm. 410-411.

13

(a) Pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan buah-buahan dalam hal

ini penggarap tidak terikat dengan akad dan tidak boleh dijadikan sebagai

syarat;

(b) Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan buah-buahan dan ada bekasnya,

seperti menggali sumur atau membangun gudang untuk menyimpan buah.

Dalam hal ini penggarap juga tidak terikat dan tidak boleh dijadikan syarat;

(c) Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan buah tetapi tidak ada bekasnya,

seperti menyiram tanaman atau pohon. Dalam hal ini penggarap terikat

dengan akad dan boleh dijadikan syarat.18

3) Menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah

Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah sepakat dengan Malikiyah dalam

pembatasan pekerjaan penggarap dan hak-haknya. Mereka mengatakan dalam

kaitan dengan penggarap bahwa semua pekerjaan yang manfaatnya untuk buah

atau yang rutin setiap tahun seperti menyirami pohon dan membersihkan saluran

air merupakan kewajiban penggarap. Sedangkan pekerjaan yang tidak rutin dan

manfaatnya untuk tanah, seperti membuat saluran air atau pagar, merupakan

kewajiban pemilik kebun.19

b. Hukum musaqah yang fasid

Akad musaqah menjadi fasid karena tidak terpenuhinya salah satu syarat

yang telah ditentukan oleh syara‟. Menurut Hanafiah, hal-hal yang menyebabkan

fasid-nya akad musaqah adalah sebagai berikut:

18

Ibid.,hlm. 411.

19 Ibid., hlm. 412.

14

1) Adanya syarat bahwa hasil yang diperoleh semuanya untuk salah satu pihak

saja. Dalam hal ini makna syirkah menjadi tidak ada;

2) Adanya syarat bahwa sebagian tertentu dari hasil yang diperoleh untuk salah

satu pihak;

3) Adanya syarat bahwa pemilik kebun ikut serta melakukan penggarapan;

4) Adanya syarat bahwa pemeliharaan setelah pembagiaan hasil menjadi

kewajiban penggarap, karena hal itu bukan garapan musaqah;

5) Adanya syarat bahwa penggarap harus harus tetap bekerja setelah selesainya

masa perjanjian musaqah;

6) Adanya kesepakatan terhadap masa yang menurut kebiasaan buah tidak

mungkin berhasil dalam waktu atau masa tersebut, karena hal itu merugikan

penggarapan dan tidak akan tercapainya tujuan akad musaqah.20

Adapun dampak atau akibat hukum dari fasid-nya musaqah menurut

Hanafiah adalah sebagai berikut:

(a) Penggarap tidak bisa dipaksa untuk bekerja karena akad yang dapat dijadikan

dasar untuk memaksanya tidak sah;

(b) Hasil yang diperoleh seluruhnya untuk si pemilik kebun, karena hal itu

merupakan penambahan atas hak miliknya. Sedangkan amil tidak

memperoleh sama sekali;

(c) Menurut Abu Yusuf, upah yang sepadan harus ditentukan batasnya,

sedangkan menurut Muhammad upah yang sepadan harus secukupnya.21

20

Ibid., hlm. 412-413.

21 Ibid., hlm. 413.

15

4. Rukun dan Syarat Musaqah

Rukun musaqah menurut ulama Syafi‟iyah ada lima, yaitu:

a. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan

samara (kinayah). Disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan

perbuatan saja;

b. Dua orang atau pihak yang berakad (al-„aqidain), disyaratkan bagi orang-orang

yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh,

berakal, dan tidak berada di bawah pengampuan;

c. Objek akad, yaitu pohon;

d. Masa kerja, hendaklah ditentukan masa kontraknya, dan job disciptionnya;

Ditentukan nishbah (bagian masing-masing ketika panen).22

Menurut jumhur ulama rukun musaqah ada tiga, yaitu:

1) Pemilik kebun dan penggarap;

2) Objek akad;

3) Sighat, yaitu ijab dan qabul.23

5. Ketentuan Musaqah Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ketentuan musaqah yaitu

sebagai berikut:

a. Pemilik tanaman wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.

Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.

22

Ibid., hlm. 148-149.

23Ibid., hlm. 407.

16

b. Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan

pekerjaan.

c. Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti

dalam akad.

d. Pemeliharaan tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan

tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.24

6. Berakhirnya Akad Musaqah

Seperti halnya dengan akad muzara‟ah, akad musaqah berakhir karena

beberapa hal seperti berikut:

a. Telah selesainya masa yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam

hubungan ini, Safi‟iyah berpendapat bahwa apabila buah keluar setelah

habisnya masa musaqah maka penggarap tidak berhak untuk mengambil,

karena masa penggarapan sudah habis. Akan tetapi, menurut Hanafiah, apabila

sampai dengan habisnya masa musaqah, buah belum keluar atau belum masak

maka berdasarkan ihtihsan, musaqah masih tetap berlaku sampai buah menjadi

masak dan penggarap diberikan pilihan apakah mau berhenti atau terus bekerja

tanpa diberi upah.

b. Meninggalnya salah satu pihak, baik pemilik maupun penggarap. Apabila

pemilik yang meninggal maka penggarap harus melanjutkan pekerjaannya,

walaupun ahli waris pemilik kebun tidak menyukainya. Apabila penggarap

yang meninggal maka ahli warisnya berkewajiban mengurus buah tersebut

sampai keluar hasilnya, walaupun pemilik pohon tidak menyukainya. Apabila

24

Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, Cet. ke-1, (Jakarta: RajaWali Pers, 2015), hlm.

229-230.

17

kedua-duanya meninggal, maka ahli waris penggarap diberi pilihan untuk

meneruskan pekerjaan. Apabila mereka menolak, maka pilihan diberikan

kepada ahli waris pemilik kebun.25

c. akadnya batal disebabkan „qalah (pernyataan batal) secara jelas atau karena

udzur.di antara udzur tersebut adalah;

1) penggarap sakit sehingga ia tidak mampu bekerja;

2) penggarap sedang bepergian;

3) penggarap terkenal sebagai seorang pencuri yang dikhawatirkan ia akan

mencuri buah sebelum dipetik.

Menurut Syafi‟iyah, musaqah tidak batal karena adanya udzur. Apabila

penggarap berkhianat minsalnya, maka ditunjuklah seorang pengawas yang

mengawasi pekerjaanya sampai selesai. Sedangkan Hanabilah sama pendapatnya

dengan Syafi‟iyah. Yaitu musaqah tidak batal karena adanya udzur. Apabila

penggarap sakit minsalnya, dan ia tidak mampu bekerja maka ditunjuk orang lain

yang menggantikannya untuk sementara, tanpa mencabut kewenangan penggarap.

Demikian beberapa uraian mengenai muzara‟ah dan musaqah, yang

meliputi pengertian dan dasar hukumnya, rukun dan syarat-syaratnya, bentuk-

bentuk dan hukum-hukumnya, serta berakhirnya muzara‟ah dan musaqah.26

7. Hikmah Musaqah

Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan

pohon-pohon lainnya, tetapi dia tidak mampu untuk menyirami (memelihara)

25

Ibid., hlm. 414-415.

26 Ibid., hlm. 414-416.

18

pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang

Maha Bijaksana memperbolehkan orang lain untuk mengadakan suatu perjanjian

dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan

bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:

a. Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat

mencukupi kebutuhan;

b. Saling tukar manfaat di antara manusia.

Di samping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemelihara

telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau seandainya pohon itu

dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum

lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka

jadilah umat ini umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa

yang diperoleh mengadung faedah yang besar.27

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akad adalah suatu perjanjian

atau ikatan yang terjadi antara kedua belah pihak, yang satu menyatakan ijab dan

yang kedua menyatakan qabul, yang kemudian menimbulkan sebuah akibat-akibat

hukum. Dalam fiqh muamalah ada beberapa bentuk akad dalam bidang pertanian

antara lain ialah akad Muzaraah, Mukhabarah, dan Musaqah.

Dalam hal ini penulis beranggapan bahwa sistem bagi hasil dalam bidang

memelihara perkebunan ialah akad musaqah sebuah bentuk kerja sama antara

kedua belah pihak yaitu pemilik kebun dan penggarap dengan tujuan agar kebun

tersebut dapat dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil maksimal.

27

Ibid., hlm. 113-114.

19

Bahwasanya dalam akad musaqah tersebut memiliki hukum tersendiri, syarat dan

rukun yang harus dipenuhi, adapun hikmah dari melaksanakan akad musaqah

ialah dapat menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga

dapat mencukupi kebutuhannya.

Dalam hal muamalah, Islam juga mengenal adat istiadat („urf) yang

merupakan sesuatu yang dibiasakan manusia dalam bermuamalah dan konsisten

(menggunakannya) dalam berbagai persoalan mereka28

. Dan dapat juga dijadikan

sumber Hukum Islam, bila memenuhi syarat sebagai berikut:

1. „Adat atau„Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.

2. „Adat atau„Urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan „adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)

pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian.

4. „Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti.29

Menggunakan„urf masyarakat sebagai dasar hukum dalam bidang

muamalah dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat dan

menghindari mereka dari kesempitan.

Sistem musaqah yang penyusun jadikan sebagai pegangan dalam Islam

mengaji permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sangat umum

dilakukan pada masa Rasulullah Saw dan Khalifah setelah beliau. Seperti

28

Suhar, Metodologi Hukum Islam (Ushul Al-Fiqh),cet. ke-1, (Jambi: Salim Media

Indonesia, 2015), hlm. 137.

29

Amir Syarifuddin, ushul Fiqh, cet. ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 376-377.

20

diketahui bahwa kaum Ansor memintak kaum Muhajirin untuk menjaga kebun-

kebun mereka dengan imbalan pembagian hasil kebun dan Rasulullah Saw

menyetujuinya.

Selanjutnya penentuan hukum bagi hasil Kebun Karet di Desa Muara Kibul

ditinjau dari perspektif hukum Islam akan dibahas berdasarkan prinsip istislah,

yakni salah satu penetapan hukum Islam terdapat suatu peristiwa dengan

memperhatikan faktor kemaslahatan bagi manusia dalam hidup. Dengan

demikian, dapat diketahui sejauh mana bagi hasil tersebut membawa

kemaslahatan dan memberi manfaat bagi pihak-pihak lain yang berakad

khususnya dari masyarakat Muara Kibul pada umumnya.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (penelitian-

penelitian lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fakus/tema yang

diteliti. Di bawah ini adalah Empat penelitianyang memiliki keterkaitan dengan

penelititian ini, yaitu:

Deni Jazuli tentang Bagi Hasil Nelayan di Desa Weru Kecamatan

Lamongan Jawa Timur ditinjau dari Hukum Islam itu hanya menjelaskan tentang

syirkah (Kerja sama dalam bentuk peniagaan dan sejenisnya).30

Laiqoh berjudul tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Bagi

Hasil Tambak Garam di Desa Tireman, Kec, Rembang, Kab. Rembang, dalam

skripsi ini bagaimana masyarakat Tireman yang tidak mempunyai cukup modal

30

Deni Jazuli, “ Bagi Hasil Nelayan di Desa Weru Kecamatan Lamongan Jawa Timur

Ditinhau dari Hukum Islam”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga

(2005).

21

bekerja pada majikan yang memiliki modal, kemudian para buruh tersebut diberi

bagian tertentu dari hasil kerjanya berdasarkan persentase yang telah disepakati

sebelumnya.31

M. Rasyidin berjudul tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil

Pemeliharaan Sapi di Desa Purwodadi Kec. Tipus, Kab. Gunung Kidul. Skripsi ini

membahas tentang praktek bagi hasil pemeliharaan sapi di Desa Purwodadi

termasuk dalam kategori mudharabah, karena sebagian syarat dan rukunnya

sesuai dengan konsep mudharabahwalaupun bentuk modal dan pembagian

keuntungannya berupa hewan sapi.32

Dari hasil pemeriksaan di perpustakaan sejauh kemampuan penyusun,

ternyata belum ada yang melakukan penelitian tentang bagi hasil kebun karet ini.

31

Laiqah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Bagi Hasil Tambak Garam di

Desa Tireman, Kec. Rembang, Kab. Rembang”.Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN

Sunan Kalijaga (2004).

32

M. Rasyidin,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil dalam Pemiliharaan Sapi di

Desa Purwodadi Kec. Tepus, Kab. Gunung Kidul”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas Syari‟ah

UIN Sunan Kalijaga (2002).

22

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis

empiris. Penelitian ini fokus untuk mengetahui tentang sistem bagi hasil menurut

hukum Islam di desa muara kibul kec. Tabir barat kab. Merangin.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data memaparkan corak penelitian yang digunakan apakah itu

penelitian lapangan atau perpustakaan jenis penelitian pada skripsi ini adalah

pendekatan kualitatif, yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian yaitu

subjek dari mana data diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian

ini ada dua data yaitu data primer dan data sekunder.

1. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian, yaitu

diperoleh secara langsung dari sumbernya ataupun dari lokasi objek penelitian,

atau keseluruhan data atau hasil penelitian yang diperoleh dari desa Muara Kibul.

Dalam hal ini data yang dikumpulkan berasal dari wawancara dan observasi yang

diklasifikasikan dalam tiga tingkatan hurup P, yaitu:

1). P = Person, merupakan sumber data yang diambil dari orang, yaitu antara lain

pemilik kebun, penggarap kebun dan pihak-pihak yang terkait.

22

23

2). P = Palace, merupakan sumber data yang berupa tempat, yakni di desa Muara

Kibul Kec. Tabir Barat Kab. Merangin.

3). P = Paper, merupakan sumber data yang berupa angka, gambar atau sumber

yang ada yang berpengaruh pada penelitian ini.33

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data atau sejumlah keterangan yang diperoleh secara

tidak langsung atau melalui sumber perantara. Data ini diperoleh dengan cara

mengutip dari sumber lain, sehingga tidak bersifat authentic, karena sudah

diperoleh dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya.

2. Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian lapangan pendekatan deskriftif dengan

mengumpulkann data-data yang bersumber dari informan-informan dari hasil

wawancara, observasi, dan dokumentasi yang ada di Desa Muara Kibul.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

fenomena-fenomena yang diselidiki,34

guna memperoleh data yang diperlukan

secara baik, secara langsung maupun yang tidak langsung yang berkaitan dengan

cara perjanjian bagi hasil, hak dan kewajiban kedua belah pihak, beberapa

pelanggaraan, dan pembagi hasil kebun karet di Desa Muara Kibul Kec. Tabir

Barat, Kab. Merangin.

33

Sayuti una (editor), Pedoman Penulisan Skripsi , Edisi Revisi, ( Jambi: Fakultas

Syari‟ah IAIN STS Jambi dan Syari‟ah Press, 2012 ) hlm. 45

34 Sutrisno Hadi, Metodologi Research ll, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

psikologi UGM, 1984), hlm. 136.

24

2. Wawancara

Wawancara adalah salah satu bagian yang terpenting dari setiap survei,

tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh

dengan jalan bertanya lnagsung kepada responden yaitu aparat desa, pemilik

kebun karet, dan penyadap kebun karet. Dalam metode ini penulis menggunakan

wawancara terbuka, yaitu terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang sedemikian

rupa bentuknya, sehingga responden atau informan tidak terbatas dalam jawaban-

jawabannya kepada beberapa kata saja, tetapi dapat menjelaskan keterangan-

keterangan yang panjang mengenai sistem bagi hasil yang ada di Desa muara

Kibul Kec. Tabir Barat, Kab. Merangin.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah sebagai cara mencari data menguraikan hal-hal atau

variabel-variabel yang merupakan catatan menu skripsi, buku, surat khabar,

majalah, notulen rapat, prasasti, legger, agenda, dan sebagainya. Metode

dokumentasi digunakan untuk mendapatkan informasi non manusia, sumber

informasi (data) non manusia ini berupa catatan-catatan dan arsip yang ada

kaitannya dengan fokus penelitian.Metode ini digunakan untuk mengumpulkan

data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen.Fungsinya sebagai penduduk

dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh dari hasil wawancara yang

mendalam.

25

D. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis

data mengalir, yang menurut Miler dan Huherman yang pada prinsipnya kegiatan

analisis data ini dilakukan sepanjang kegiatan penelitian (during and collection)

dan kegiatan yang paling inti mencakup:

1. Reduksi data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakkan dan tranformasi data kasar yang muncul dari

catatan-catatan tertulis dilapangan. Masalah-masalah Sistem Bagi Hasil Kebun

Karet Menurut Hukum Islam di Desa Muara Kibul diambil melalui wawancara

dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengkordinasikan data tersebut

sehingga bisa disajikan.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang memungkinkan peneliti

melakukan penarikan kesimpulan.35

Penyajian data mengenai Bagi Hasi Kebun

Karet Menurut Hukum Islam di Desa Muara Kibul yang telah direduksi melalui

bab-bab yang telah tersedia.

3. Verifikasi/penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan sebagian dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-

kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Kesimpulan dapat

35

Mattehew B. Miles dan A. Michael huburman, Analisis Data Kuantitatif, terj. Tjetjep

Rohedi Rohid, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 16-17.

26

dibuat setelah seluruh data dianalisis mengenai Bagi Hasil Kebun Karet Menurut

Hukum Islam di desa Muara Kibul.

E. Sistematika Penulisan

Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antara babnya yang terdiri dari

sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan tersendiri, tetapi tetap

berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Untuk memberikan

gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai pembahasan skripsi

ini penyusun menggunakan sistematika dengan membagi pembahasan sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta kerangka teori.

Bab kedua, menguraikan tentang tinjauan hukum Islam tentang bagi hasil,

dengan beberapa sub sebagai berikut: pengertian akad, pengertian akad musaqah,

dasar hukum akad musaqah, syarat-syarat dan rukun-rukun akad musaqah, lalu

dibahas mengenai tinjauan hukum Islam terhadap bagi hasil.

Bab ketiga, menggambarkan mengenai pelaksanaan bagi hasil di Desa

Muara kibul. Dalam bab ini yang pertama mendeskripsikan wilayah penelitian ini

bertujuan agar penelitian lebuh valid dan juga sebagai pertimbangan dan

menganalisa pelaksanaan bagi hasil dan pembagian hasilnya di Desa Muara Kibul,

pelaksanaan penggarapan kebun karet yang berisi tentang: pelaksanaan perjanjian,

hak dan kewajiban antara keduapihak, pembagian keuntungan bagi hasil, serta

perselisihan dan cara mengatasinya.

27

Bab keempat, merupakan analisis dari penelitian yang dilakukan terhadap

pelaksanaan bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Muara Kibul

ditinjau dalam hukum Islam.

Bab kelima penutup, pada bab ini akan mengakhiri pembahasan dengan

menampilkan kesipulan dan saran-saran yang bersifat membangun terhadap

permasalahan di atas.

F. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan.Penelitian dlakukan dengan

pembuatan proposal, kemudian dilanjutkan dengan perbaikan hasil seminar

skripsi. Setelah pengesahan judul dan izin riset, maka penulis mengadakan

pengumpulan data, verifikasi dan analisis data dalam waktu yang

berurutan.Hasilnya penulis melakukan konsultasi dengan pembimbing sebelum

diajukan kesidang munaqosah. Adapun jadwal penelitian sebagai berikut:

28

No

Kegiatan

Tahun 2018

Februari Maret April Mei September Oktober

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan

Judul

x

2 Pembuatan

Proposal

X x

3 Bimbingan

Proposal

x x

4 Seminar dan

Perbaikan

x x

5 Surat Izin Riset x

Pengumpulan

Data

6 Pengolahan

dan Analisis

Data

7 Pembuatan

Laporan

8 Bimbingan dan

Perbaikan

Agenda dan

Ujian Skiripsi

10 Perbaikan

Penjili dan

Skiripsi

29

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Historis dan Geografis Desa Muara Kibul

1. Historis

Muara Kibul adalah sebuah Desa yang dibelah oleh sungai, yakni sungai

Batang Kibul, dan tepat nya di Muara Sungai Batang Kibul. Oleh sebab itu pada

saat wilayah ini mau dijadikan sebuah Desa, maka masyarakat bersepakat untuk

membuat Desa ini menjadi Desa Muara Kibul. Sebelum menjadi Desa, Muara

kibul ini adalah dijadikan oleh Marga Muara Kibul sebagai pusat Limo Jurai,

dibawah Beringin tiga Batang sejak zaman Saisuk, Muara Kibul ini telah dihuni

oleh penduduk yang berasal dari Daratan Minang Kabau Sumbar. Dan begitupun

keberadaan kepemimpinan Desa Muara Kibul berubah sesuai dengan peraturan

yang ada.36

2. Geografis

Desa Muara Kibul termasuk wilayah dalam Kecamatan Tabir Barat

Kabupaten Merangin dengan luas wilayah 12.724 Ha. Dan secara administratif

wilayah Desa Muara Kibul dibatasi oleh:

Sebelah utara : Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kab. Bungo

Sebelah Selatan : Nalo Baru Kecamatan Nalo Tantan

Sebelah Barat : Sungai Tabir Kecamatan Tabir Barat

Sebelah Timur : Baru Kibul Kecamatan Tabir Barat

36

Dokumentasi Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat tahun 2016.

29

30

B. Visi Misi Desa Muara Kibul

Visi Desa Muara Kibul Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin

1. Bekerja keras untuk masyarakat menuju muara kibul yang bermartabat,

kemajuan dan semakin meningkat.

Misi Desa Muara Kibul Kecamatan Tabir Barat Kabupaten Merangin

adalah :

1. Menyelenggarakan urusan pemerintahan Desa secara benar, terbuka, dan

bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Melaksanakan pembangunana Desa berdasarkan Demokrasi, Kebersamaan,

Keadilan berwawasan lingkungan serta kemandirian.

3. Meningkatkan organisasi keagamaan dalam pemberdayakan ummat.

4. Berupaya membina dan mengembangkan seluruh aspek potensial yang dimiliki

Desa Muara Kibul, sehingga bisa terwujud masyarakat yang adil damai dan

sejahtera.37

C. Keadaan Penduduk dan Mata Pencarian Desa Muara Kibul

1. Keadaan Penduduk

Penduduk merupakan salah satu syarat untuk mendirikan suatu Negara, desa

atau kampung tanpa adanya penduduk maka Negara, desa atau kampung tidak

akan bisa berdiri.

Berdasarkan data stastik kantor kepala desa Muara Kibul berjumlah 2.845

jiwa, yang terdiri laki-laki sebanyak 1365 jiwa dan perempuan sebanyak 1480

37

Dokumentasi Desa Muara Kibul Kec. Tabir Barat tahun 2016.

31

jiwa, sedangkan jumlah kepala keluarga (KK) 415 untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1

Keadaan penduduk Desa Muara Kibul berdasarkan umur dan jenis

kelamin38

No Umur Laki-laki Perempuan Jumlah

1 0-9 tahun 286 294 580

2 10-19 tahun 102 326 428

3 20-29 tahun 190 314 504

4 30-39 tahun 125 132 257

5 40-49 tahun 265 298 563

6 50-ke atas 264 258 522

Jumlah 1.232 1.622 2.854

2. Mata Pencarian

Mata pencarian merupakan sarana mutlak bagi manusia untuk mendapatkan

sesuatu yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk itu manuasia

harus berusaha sekuat tenaga agar mendapatkan hasil yang diperlukan semaksimal

mungkin. Masyarakat Desa Muara Kibul mempunyai pengetahuan dan profesi

yang berbeda antara satu individu dengan lainnya, hal inilah yang menyebabkan

berbedanya dengan lapangan pekerjaan yang mereka miliki untuk memenuhi

kebutuhan mereka sehari-hari disamping itu pula pengaruh kondisi alam, juga

38

Dokumentasi Keadaan Penduduk Desa Muara Kibul berdasarkan umur dan jenis

kelamin Desa Muara Kibul tahun 2016.

32

mewarnai pekerjaan penduduk setempat. Kondisi desa meliputi padang rumput,

perkebunan karet, lahan pertanian dan hutan-hutan memaksa penduduknya hidup

dari hasil pertanian dan perkebunan, sehingga lebih dari 90% penduduk Desa

Muara Kibul hidup dari mata pencarian sebagai petani. Disamping profesi sebagai

pegawai negri sipil, peternak, jasa angkutan, pertukangan dan pedagang. Untuk

lebih jelasnya mengenai mata pencarian penduduk dapat dilihat dari table dibawah

ini:

Table 2

Keadaan Mata Pencarian Penduduk Desa Muara Kibul39

No Mata Pencarian Jumlah Keterangan

1 Petani 1.854 orang

2 Pengawai negri 10 orang

3 Peternak 347 orang

4 Jasa angkutan 39 orang

5 Pertukangan 307 orang

6 Pedangang 300 orang

Jumlah 2.854

Berdasarkan table di atas dapat di pahami bahwa orang penduduk Desa

Muara Kibul hidup dari hasil petani dan perkebunan, mereka bekerja sebagai

petani yang giat dan rajin, dengan menanam padi, karet, sayur-sayur dan lain

sebagainya, untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

39

Dokumentasi Keadaan Mata Pencarian Penduduk Desa Muara Kibul tahun 2016.

33

D. Keadaan Agama dan Pendidikan Desa Muara Kibul

1. Agama

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari hubungan sesama

manusia dan hubungan kepada sang pencipta. Oleh karena itu harus ada

keserasian antara keduanya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Manusia sebagai makhluk tuhan yang mempunyai kedudukan dan martabat

yang sama dihadapan sang khalik dan semua manusia mempunyai hak dan

menentukan jalan hidupnya sendiri, diantaranya adalah hak untuk memeluk

agama yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan.

Dari jumlah penduduk yang ada di Desa Muara Kibul ini, semuanya

memeluk agama islam. Para penduduk agama islam di desa ini dapat menulis

kemukakan, bahwa mulai dari cara berpakaian, cara mereka bergaul selalu

menampakkan nilai-nilai ajaran agama islam. Dalam menjalankan kewajiban

terhadap tuhan seperti kewajiban shalat, setiap lima waktu sholat datang mereka

menunaikan denag berjamaah atau sendirian baik di masjid atau pun di rumah

masing-masing. Setelah selesai shalat mereka pergi bekerja atau berdagang,

kesawah maupun kekebun dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya mengenai keadaan

agama penduduk Desa Muara Kibul dapat dilihat table dibawah ini:

34

Tabel 3

Keadaan Penduduk Menurut Agama40

No Agama Jumlah Jiwa Keterangan

1 Islam 2.854

2 Kristen _

3 Hindu/Budha _

4 Konguchu _

Jumlah 2.854

Sedangkan mengenai tempat-temapat ibadah bagi masyarakat Desa Muara

Kibul dapat dilihat pada table dibawah ini;

Tabel 4

Keadaan Sarana Peribadatan41

No Nama Sarana

Peribadatan

Jumlah Keterangan

1 Masjid 3 ADA

2 Langgar 1 ADA

3 Musholla 1 ADA

4 Gereja _ TIDAK ADA

Jumlah 5

40

Dokumentasi Keadaan Penduduk Menurut Agama Desa Muara Kibul 2016.

41 Dokumentasi Keadaan Sarana Peribadatan Desa Muara Kibul tahun 2016.

35

2. Keadaan Pendidikan

Setelah penulis uraikan tentang masyarakat Desa Muara Kibul, di mana

penduduknya mayoritas menganut agama islam dan masih tetap berpegang teguh

kepada norma-norma ajaran agama dan perhatian mereka mengenai pendidikan

pada prinsipnya memadai. Hampir keseluruhan penduduk desa ini sudah

mengecap pendidikan, rata-rata mereka menamatkan pendidikan dasar (sederajat).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table dibawah ini tentang pendidikan

masyarakat Desa Muara Kibul.

Tabel 5

Keadaan Sarana Pendidikan42

No Jenis Sarana

Pendidikan

Jumlah Lokasi

1 TK/PAUD/RA 1 Dalam Kibul

2 SD 1 Dalam Kibul

3 MI 1 Pondok Indah

4 SLTA 1 Pondok Indah

Jumlah 4

Dari tabel diatas dapat dipahami bahwa perkembangan sarana pendidikan

pada saat ini cukup berkembang pesat sekal, hal ini disebabkan akibat proses

perkembangan pemerataan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah telah

menyentuh lapisan masyarakat desa dan semakin pesatnya perkembangan

42

Dokumentasi Keadaan Penduduk Desa Muara Kibul tahun 2016.

36

penduduk sehingga menuntut keseimbangan dari segi sarana pendidikan, sehingga

masyarakat merasakan bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang sangat

mendesak, yang harus dipenuhi saat ini.

E. Keadaan Sosial Kemasyarakatan Desa Muara Kibul

Masyarakat desa Muara Kibul yang sebagian besar mata pencarian sebagai

petani mayoritas beragama islam, sehingga situasi pergaulan mereka dipengaruhi

oleh nilai-nilai ajaran islam. Mereka saling tolong menolong anatara satu dengan

yang lainnya dalam segala hal, tanpa memilih suku atau golongan. Karena itu

mereka bergotong royong seperti membersihkan masjid, lembaga pendidikan,

membuat bangunan jembatan gantung, dan tempat lain-lainnya. Dan mereka

saling membantu satu denagan lainnya begitu pula apabila mengadakan acara

pernikahan mereka bergotong royong dan tolong menolong alat-alat perlengkapan

perkawinan tersebut dengan demikian jelaslah bahwa masyarakat Desa Muara

Kibul selalu bersatu padu dalam membangun desanya dan kehidupan

masyarakatnya berjalan dengan damai dan tenang baik dalam lingkungan keluarga

maupun dalam kehidupan masyarakat.

Apabila salah seorang masyarakat ditimpa musibah (kematian) mereka

datang dengan segera tanpa diundang dan ikut serta bertaziah, yang biasanya

mereka membawa sesuatu seperti uang atau beras sebagai tanda turut berduka cita

yang diberikan kepada keluarga yang sedang ditimpa musibah tersebut. Kemudian

yang sebagian lagi membawa alat-alat untuk menggali kuburan bagi yang

37

meninggal dunisa tersebut dengan demikian dapat meringankan beban penderitaan

ahli waris yang ditinggalkan.43

F. Sturuktur Organisasi Desa Muara Kibul44

KADES

SANDRI CAN INDRA

43

Dokumentasi Keadaan Penduduk Desa Muara Kibul tahun 2016.

44 Dokumentasi Struktur Organisasi Desa Muara Kibul tahun 2016.

SEKDES

MUHAMMAD SYAFRI

A.Md

BPD

JUAINI

Kaur

Pemerintahan

Yusman

Kaur

Pembangunan

Ahmad Bhaki

Kaur Umum

TriAyuningsi

h

Kadus

Pondok Indah

Syargawii

Kadus

Palompek

M. Hadi

Kadus

Kampung Tengah

Darussalam

Kadus

Kampung Aur

M. Nasir

Kadus

Kampung Dalam

Syargawi

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Sistem Pelaksanaan Bagi Hasil Kebun Karet Di Desa Muara Kibul

Di dalam Islam terdapat berbagai akad bagi hasil dalam bidang pertanian,

salah satu diantaranya adalah musaqah, di dalam musaqah terdapat pihak yang

mengikrarkan dirinya untuk menyerahkan sebidang kebun sedangkan pihak lain

mengelola kebun tersebut beserta pembiayaannya. Hasil panen yang diperoleh di

bagi sesuai kesepakatan sebelumnya.

Kerjasama semacam ini dipraktekan oleh masyarakat di Desa Muara Kibul.

Di samping mengelola kebun miliknya sendiri juga memperkerjakan orang lain

untuk penggarapannya dengan sistem bagi hasil, yang di dalam kehidupan

masyarakat setempat dikenal dengan istilah motong parah (motong karet) dan di

dalam kepustakaan Islam hampir mirip dengan istilah musaqah, yaitu suatu sistem

persekutuan perkebunan antara pemilik kebun di satu pihak dan penggarap di

pihak lain dengan sistem bagi hasil sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat

oleh kedua belah pihak.

Demikian halnya bagi hasil penggarapan kebun karet yang terjadi di Desa

Muara Kibul dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kepercayaan masing-masing

pihak, dan menurut kebiasaan masyarakat setempat, akad dilaksanakan secara

lisan tanpa disaksikan oleh saksi-saksi dan prosedur hukum yang mendukung.

Pelaksanaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak ada bukti

yang kuat telah terjadinya kerjasama kedua belah pihak. Sebagaimana hasil

38

39

penelitian maka diperoleh suatu hasil komentar yang mengatakan bahwa ada

beberapa tahapan ataupun cara masyarakat dalam mengadakan perjanjian bagi

hasil kebun karet, yaitu sebagai berikut:

1. Melalui Perundingan Bersama

Perundingan bersama dalam arti adalah kedua belah pihak mengadakan

suatu perjanjian dimana pihak pertama yaitu penggarap menawarkan perundingan

kepada pihak kedua yaitu pemilik kebun, bahwa dirinya akan mengelola kebun

yang dalam keadaan butuh untuk dikelola agar tidak rusak. Kemudian pihak

pemilik kebun memberikan tanggapan bila memang cocok dengan penawaran

yang ditawarkan penggarap tersebut, maka pihak pemilik kebun tersebut tidak

menjadi masalah, karena antara pihak pemilik kebun dan penggarap sudah saling

kenal dan saling percaya satu sama lainnya.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Iwan pihak pemilik kebun karet

menyatakan bahwa:

“Saya memiliki kebun karet seluas 12 Hektar, awalnya kebun karet ini saya

kelola sendiri tapi dikarenakan saya berbisnis dan kebun karet saya pun

terlalu luas dan saya tidak sanggup untuk menggarap sendiri, saya pun sibuk

berbisnis jadi kebun saya tidak ada yang ngurus, jadi saya tawarkan orang

untuk menggarap kebun karet saya tersebut dengan sistem bagi hasil”.45

Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Madi sebagai pihak penggarap

atau pengelola kebun karet menyatakan bahwa:

“Saya ingin menambah pendapat hidup, apalagi saya tidak memiliki

pekerjaan tetap dan saya pun tidak memiliki kebun karet seluas itu, maka

akhirnya saya memutuskan untuk bekerjasama untuk menggarap kebun

45

Wawancara, dengan Bapak Iwan selaku pemilik kebun karet, tanggal 03 september

2018.

40

karet tersebut dengan ketentuan sistem bagi hasil yang telah disepakati

bersama oleh kedua belah pihak”.46

2. Tahap Bagi Hasil

Bagi hasil merupakan Dalam pelaksanaan penimbangan getah (karet) dan

pembagian hasil biasanya pihak pemilik kebun mereka hanya menerima uang

bersih dari pihak pekerja, minsalnya sekali nimbang hanya mendapatkan getah 3

Ton dengan memperoleh uang sejumlah Rp. 2.400.000 yang mana harga getah 1

Kg Rp. 8.000 Rupiah, dari jumlah uang tersebut dibagi tiga bagian yang mana 1

bagian untuk pemilik kebun dan 2 bagian untuk penggarap kebun. Jadi uang yang

diperoleh oleh pemilik kebun sejumlah Rp. 800.000 (Delapan Ratus Ribu Rupiah)

sedangkan untuk penggarap sejumlah Rp. 1.600.000 (Satu Juta Enam Ratus Ribu

Rupiah), namun apabila pekerja ada 2 orang maka dari sejumlah uang Rp.

1.600.000, tersebut yang di peroleh dibagi dua lagi kepada pekerja yang satunya

lagi.47

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibuk Tutit pihak penggarap kebun

karet menyatakan bahwa:

“Biasanya saya nimbang getah karet 2 Ton dalam jangka waktu dua minggu

sekali dengan memperoleh uang sejumlah Rp. 1.600.000 yang mana harga

getah nya 1 kg Rp. 8.000 Rupiah, dari jumlah uang tersebut dibagi menjadi

tiga bagian yang mana 1 bagian untuk pemilik kebun dan 2 bagian untuk

penggarap kebun. Jadi uang yang saya terima sejumlah Rp. 1.066.000 (Satu

Juta Enam puluh Enam Ribu Rupiah) sedangkan untuk pemilik kebun

sejumlah Rp. 553.000 (Lima Ratus Lima Puluh Tiga Rupiah). 48

46

Wawancara, dengan Bapak Madi selaku penggarap kebun karet, tanggal 03 september

2018. 47

Wawancara, dengan Bapak Adis selaku pemilik kebun karet, tanggal 08 september 2018.

48

Wawancara, dengan Ibuk Tutit selaku penggarap kebun karet, tanggal 08 september

2018.

41

Namun di atas sudah penulis kemukakan bahwa sebagian masyarakat

melakukan perundingan pembagian hasil yang diperoleh di bagi tiga bagian antara

pemilik dan penggarap kebun.

3. Jangka Waktu Dalam Pelaksanaan Bagi Hasil Kebun Karet

Perkebunan karet adalah tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur

30 tahunan. Tanaman karet ini memiliki sifat gugur daun sebagai respon tanaman

terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (kekurangan

air/kemarau). Perkebunan karet ini dapat juga menghasilkan manfaat bagi pekerja

dan pemilik kebun karet dengan cara melakukan perawatan dengan baik. Dalam

pelaksanaan perjanjian bagi hasil kebun karet ini yang disepakati oleh kedua belah

pihak antara pihak penggarap dan pihak pemilik kebun karet adalah tergantung

pada kesepakatan kedua belah pihak itu sendiri, karena dalam jangka waktu

nimbang getah karet bisa saja sampai satu atau dua kali 1 bulannya.

Untuk itu jangka waktu pelaksanaan bagi hasil kebun karet sebagaimana

hasil wawancara dengan beberapa pekerja dan pemilik kebun. Hasil wawancara

dengan Bapak M. Nur pemilik kebun karet yang mengatakan bahwa:

“Untuk waktu yang saya lakukan dalam pelaksanaan bagi hasil kebun karet

ini bisa dilakukan satu minggu atau dua minggu sekali nimbang getah karet,

semuanya tergantung kemampuan serta kesanggupan penggarap kebun itu

sendiri, karena kebanyakan yang menentukan biasanya itu adalah seorang

penggarap karena kebun karet ini tidak sama dengan perkebunan lainnya,

bila cuaca nya hujan terus maka mengalami kegagalan untuk nimbang getah

karet tersebut”.49

Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Cuban pihak penggarap kebun

karet menyatakan bahwa:

49

Wawancara, dengan Bapak M. Nur selaku pemilik kebun karet, tanggal 05 september

2018.

42

“Biasanya waktu pelaksanaan bagi hasil kebun karet Saya lakukan dua

minggu sekali, tetapi saya juga penah melakukan dua bulan satu kali,

dikarenakan saya mengalami kerugian waktu itu harga getah karet turun

drastis harganya sangat murah, sehingga saya memutuskan untuk berhenti

bekerja untuk beberapa bulan di karenakan saya juga sakit, setelah saya

sembuh dan akhirnya saya bekerja kembali”.50

Selanjutnya hasil wawancara dengan Ibuk Jarimah pihak pemilik kebun

karet menyatakan bahwa:

“Untuk pelaksanaan perjanjian bagi hasil kebun karet ini bisa dilakukan satu

kali seminggu jika getah karet nya banyak tapi jika getah karetnya kurang

maka pembagiannya bisa dilakukan dua minggu atau satu bulan sekali,

semuannya tergantung atas kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah

pihak dan tergantung udah berapa banyak getah karet yang di dapatkan, jika

getah karetnya banyak maka banyak pula hasil pembagiannya yang di

dapatkan”.51

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Herman pihak penggarap

kebun karet menyatakan bahwa:

“Waktu yang saya lakukan dalam pelaksanaan bagi hasil kebun karet ini

biasanya satu bulan sekali, karena di dalam jangka waktu satu bulan itu

cukup lama jadi agak lumayan banyak untuk menghasilkan getah

karetnya”.52

Dalam beberapa hasil wawancara di atas maka dapat diambil suatu

pemahaman bahwa tentang jangka waktu yang telah dilakukan masyarakat dalam

bagi hasil kebun karet ini tergantung hasil yang didapatkan dan kesepakatan atas

kedua belah pihak, termasuk kondisi cuaca dan harga getah karet tersebut apakah

mahal atau murah, karena apabila kondisi cuaca sedang musim hujan maka butuh

50

Wawancara, dengan Bapak Cuban selaku penggarap kebun karet, tanggal 05 september

2018.

51

Wawancara, dengan Ibuk Jarimah selaku pemilik kebun karet, tanggal 07 september

2018.

52

Wawancara, dengan Bapak Herman selaku penggarap kebun karet, tanggal 07 september

2018.

43

waktu yang lama untuk nimbang getah karet tersebut dan untuk kondisi harga

getah karet apakah mahal atau murah, hal ini sangat perlu diperhatikan karena

apabila harga getah karet murah maka akan terjadi kerugian bagi penggarap dan

pemilik kebun.

Adapun beberapa kewajiban yang dilakukan oleh pemilik kebun dalam

pencapaian hasil karet yang di inginkan yaitu sebagai berikut:

1. Penyediaan Lahan Karet

Penyediaan lahan karet merupakan kewajiban bagi pemilik kebun karet

yang dimana lahan tersebut dikelola dan kemudian ditanam oleh pemilik kebun

karet, jika pemilik karet tidak bisa melakukan penggarapan, maka pemilik kebun

karet mencari orang lain atau pekerja untuk menggarap dan merawat kebun

karetnya tersebut dengan sistem bagi hasil antara pemilik dan penggarap, dalam

menyediakan lahan untuk penanaman bibit sekitar 1.500 (Seribu lima ratus)

batang luas lahan yang digunakan adalah sekitar 4 hektar dengan penanaman karet

dengan jarak dan kerapan tanaman karet adalah sebagai berikut: jarak tanam dari

satu batang dengan yang lain berkisar rata-rata 2,8 meter, atau 3,0 meter. Dengan

demikian pertumbuhan yang diserap oleh tanaman karet tersebut menjadi

maksimal.

Dalam luas lahan 4 hektar sangat tidak dianjurkan terlalu rapat, jarak

antara satu pohon dengan pohon yang lainnya. Maka karet dewasa kepadatan dan

44

kerapatan pohon setiap hektarnya tidak melebihi dari jumlah 1.000 sampai dengan

500 pohon.53

2. Menanggung modal dan seluruh biaya-biaya yang terdapat dalam proses

penggarapan seperti biaya pupuk dan bibit karet

a. Penyediaan pupuk karet

Penyediaan pupuk juga dilakukan oleh pemilik kebun karet, biaya

pembalian pupuk juga dilakukan oleh pemilik kebun karet, penggarap hanya

memupuknya saja tapi tidak ikut membeli. Cara yang dilakukan dalam memupuk

sedikit rumit dan akan memakan waktu paling lama satu minggu, untuk

melakukan pemupukan hal yang pertama adalah persiapkan pupuk seperti pupuk

urea sebanyak 10 karung pupuk untuk bibit batang karet berjumlah 500 batang.

Selain puput persiapkan juga cangkul untuk menggali dan ember untuk

menempatkan pupuk tersebut.

Tahap yang harus dilakukan yaitu cangkul terlebih dahulu tanah yang ada

disekeliling batang karet, cangkul jangan terlalu dalam. Kemudian pupuk tersebut

tanamkan dikeliling batang karet atau dekat dengan akar karet agar mudah diserap

oleh akar karet, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mendapatkan getah

karet yang berkualitas yang banyak keluar getah karetnya. Apabila sudah

ditanamkan pupuk tersebut kemudian tutup kembali dengan tanah dan setelah itu

siram dengan air agar lebih meresap kedalam akar.

53

Wawancara, dengan Bapak Hasan selaku pemilik kebun karet, tanggal 13 september

2018

45

b. Penyediaan bibit karet

Penyediaan bibit karet dan semua pembelian bibit dilakukan oleh pemilik

kebun karet.

Adapun beberapa kewajiban yang dilakukan oleh penggarap kebun karet

dalam pencapaian hasil karet yang di inginkan antara lain sebagai berikut:

1. Penyediaan alat untuk menggarap

Penyediaan alat untuk menggarap yaitu sebagai berikut:

a. Pahat

Pahat digunakan untuk memahat kulit karet yang akan digarap, penyediaan

pahat ini dibeli sendiri oleh seorang yang akan menggarap. Pahat yang akan

digunakan untuk menggarap adalah pahat yang tajam, pahat yang tidak mudah

patah ketika digunakan untuk menyadap karet.

Tahap pemahatan ini dilakukan setiap hari oleh penggarap, dalam

penggarapan dipersiapkan pahat dan air tawar untuk menjaga-jaga ketika terjadi

hujan dipertengahan penggarapan. Pahat yang digunakan haruslah tajam agar

mudah memahat kulit karet dalam proses pahatannya dan cepat keluar getah karet

yang dipahat.

b. Bak karet/penampungan

Semua getah karet yang selesai disadap, dimasukan ke dalam bak

karet/penampungan disediakan oleh penggarap sendiri, karena bak karet ini bukan

kewajiban bagi pemilik kebun tetapi kewajiban bagi penggarap kebun.

Dalam proses pembekuan digunakan berbagai campuran supaya

mendapatkan pembekuan yang bagus, bahannya seperti cuka, param dan air tawas

46

supaya getah karet menempel dan tidak mudah hancur ketika dikeluarkan dari bak

getah. Cuka, param dan air tawas disiramkan kedalam bak yang berisi getah karet.

Setelah sudah disiramkan dan dicampurkan semua, getah karet tersebut di

endapkan selama kurang lebih 15 menit agar getah tersebut benar-benar jadi dan

menempel menjadi kepingan karet.

c. Ember karet

Ember karet digunakan untuk menggambil getah karet yang sudah disadap,

untuk penyediaan ember ini juga dilakukan dan disediakan sendiri oleh

penggarap. Untuk mengambil getah karet dalam penampungan getah karet di desa

Muara Kibul menggambil getah karet sering disebut ngangkit. Tempat

penampungan getah karet yang sudah penuh diambil selama satu minggu.

Cara melakukannya adalah pertama batang karet tersebut dipahat terlebih

dahulu sama seperti pemahatan biasanya setelah itu jika sudah dipahat semua

diendapkan selama kurang lebih satu jam untuk menunggu getah karet yang

keluar hingga tidak menetes lagi barulah bisa melakukan pengambilan getah karet

secara keseluruhan pada bagian yang sudah dipahat.

Kemudian ambil getah karet dalam tempat penampungan karet yang berisi

getah karet kemudian letakan ke dalam ember yang berisi air dengan campuran

soda api, soda api berguna agar air atau getah karet yang sudah diambil dan

dimasukkan ke dalam ember agar tidak cepat beku, untuk semua getah karet yang

sudah diambil dari tempat penampungan karet dan sudah diletakkan ke dalam

ember kemudian dimasukan lagi ke dalam bak getah karet untuk diolah dan di

proses membentuk kepingan karet yang siap untuk dijual.

47

2. Membersihkan lahan

3. Memberikan pupuk

4. Panen dan menimbang hasil getah karet

5. Mengantarkan dan menjual hasil panen ke pabrik atau pun kepada toke getah

6. Bertanggung jawab penuh terhadap perkebunan yang digarapnya.

Sistem pelaksanaan bagi hasil getah karet antara pemilik dan penggarap

kebun karet dilakukan oleh petani kebun karet antara pemilik dan penggarap karet

menggunakan ikatan kesepakatan dan perjanjian kerjasama yang telah

dikompromikan terlebih dahulu untuk menentukan berapa besar pembagian hasil

antara pemilik dan penggarap kebun karet.yang mana pembagian hasil karet

menurut kebiasaan di desa Muara Kibul dibagi menjadi tiga (3) bagian, dua (2)

bagian untuk penggarap dan satu (1) bagian untuk pemilik kebun.

Dalam sistem bagi hasil ini terlebih dahulu getah karet tersebut dijual

kepada toke karet. Penjualan dan pembelian getah karet, melibatkan beberapa

orang yang terkait dalam proses jual beli getah karet yaitu sebagai berikut:

a) Pemilik karet atau orang yang mempunyai kebun karet yang menggarap sendiri

yang menjual sendiri hasil getah karet selama penggarapan satu bulan kepada

toke karet atau pembeli getah karet.

b) Penggarap karet atau orang menggarap punya orang lain ialah orang yang tidak

memiliki kebun karet untuk mereka garap sendiri, tetapi mereka menggarap

punya orang lain sebagai suatu pekerjaan untuk membantu kebutuhan hidup

sehari-hari. Tetapi dengan resiko jika menggarap punya orang lain hasil yang

48

didapat selama penggarapan di bagi hasil antara pemilik dan penggarap kebun

karet tersebut.

c) Toke karet sebagai pemilik sekaligus pembeli getah karet adalah orang yang

memiliki kebun karet sendiri dan juga langsung membeli getah karet baik dari

orang yang menggarap kebun karetnya maupun orang lain yang menggarap

punya orang lain yang hanya sengaja menjual getah karetnya kepada toke karet

tersebut.

Di dalam sistem bagi hasil kebun karet di desa Muara Kibul ada beberapa

Keuntungan Bagi Hasil dan Kerugian Bagi Hasil yaitu sebagai berikut:

1. Keuntungan Bagi Hasil

Dalam pelaksanaan kerja sama menggunakan sistem bagi hasil kebun karet

ini jika mendapat getah karet dengan jumlah yang banyak dapat menimbulkan

keuntungan antara lain:

a. Bila hasil getah banyak maka akan memberikan keuntungan baik bagi pemilik

maupun penggarap kebun,

b. Pihak pemilik kebun yang cukup luas bisa membantu masyarakat yang

berekonomi lemah,

c. Menambah pendapatan bagi masyarakat itu sendiri dan memperbaiki taraf

hidup mereka,

d. Mendidik masyarakat yang kaya untuk selalu peduli dan membantu masyarakat

yang berekonomi lemah,

e. Dapat menarik tenaga kerja karena kondisi krisis sekarang ini bagi masyarakat

memang sulit untuk mendapakan pekerjaan dan keuntungan, sehingga warga

49

yang tidak memiliki pendapatan bisa ikut bertani sehingga mendapatkan

penghasilan dan menggurangi penggangguran yang ada,

f. Dari pada kebun karet tersebut terbengkalai dan tidak terurus dapat juga

dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak memiliki kebun atau pekerjaan

sebagai tempat mata pencaria kehidupannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Heri pemilik kebun karet

menyatakan bahwa:

“Manfaat dalam bagi hasil kebun karet ini sangat menguntungkan dan

sangat membantu masyarakat yang berekonomian lemah, karena bagi yang

tidak memiliki kebun tentunya sulit untuk menambah penghasilan apalagi

dalam kesulitan ekonomi seperti sekarang ini, dan dari pada kebun tersebut

tidak terurus lebih baik dimanfaatkan dengan menyerahkan kebun tersebut

kepada orang lain yg mau merawat dan menggarap atau mengelola kebun

tersebut dengan melalui sistem bagi hasil”.54

Dari hasil wawancara dengan Bapak Edi pihak penggarap kebun karet

menyatakan bahwa:

“Manfaat bagi hasil kebun karet ini sangat menguntungkan dan membantu

masyarakat yang penggaguran, dan juga membantu masyarakat yang kurang

mampu, sebab tanpa adanya cara seperti ini masyarakat yang kurang mampu

akan semakin sulit untuk mendapakan pekerjaan atau memperoleh

pendapatan”.55

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dayat pihak pemilik kebun

karet menyatakan bahwa:

“Menurut saya sangat bermanfaat sekali karena bisa membantu masyarakat

yang tidak memiliki pekerjaan dan dapat menambah pendapatan, dari pada

kebun karetnya tidak terurus dan bersemak lebih baik diserahkan kepada

54

Wawancara, dengan Bapak Heri selaku pemilik kebun karet, tanggal 13 september 2018.

55 Wawancara, dengan Bapak Edi selaku penggarap kebun karet, tanggal 13 september

2018.

50

orang yang bersedia menggarapnya dan hasilnya akan dibagi sesuai dengan

kesepakatan bersama”.56

Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Datuk pihak penggarap kebun

karet menyatakan bahwa:

“Dalam usaha sistem bagi hasil kebun karet ini sangat bermanfaat dan

menguntunkan karena sangat membantu bagi masyarakat yang miskin dan

yang berekonomian lemah. Hal ini akan memberikan dampak manfaat yang

besar dari kedua belah pihak”.57

Dari hasil wawancara dan permasalah di atas, maka dapat diambil suatu

pemahaman, bahwa keuntungan terhadap pelaksanaan sistem bagi hasil kebun

karet ini sangat besar sekali karena dapat saling tolong menolong dan saling

membantu satu sama lainnya.

2. Kerugian Bagi Hasil

Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pelaksanaan sistem bagi hasil

kebun karet ini, dan adapun kerugiannya sebagai berikut:

a. Bila tidak saling menjaga kepercayaan dan menjaga kesepakatan satu sama lain

bisa saja menimbulkan konflik ataupun perpecahan antara kedua belah pihak,

sementara tujuan melakukan kerja sama sistem bagi hasil ini untuk saling

membantu dan tolong menolong antara keduanya.

b. Bila hasil panen ataupun garapan sedikit, sementara pihak pekerja telah

mengeluarkan biaya yang cukup besar yang dibiayai selama pengelolaan kebun

karet dan hasilnya lebih sedikit daripada biaya yang dikeluarkan pekerja, maka

pekerja merugi.

56

Wawancara, dengan Bapak Dayat selaku pemilik kebun karet, tanggal 08 september

2018.

57

Wawancara, dengan Bapak Datuk selaku penggarap kebun karet, tanggal 07 september

2018.

51

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibuk Wokiyah pihak pimilik kebun

karet menyatakan bahwa:

“Untuk masalah ingkar janji tentunya bagi kami pernah terjadi, karena kita

tidak pernah mengontrol bagaimana pekerjaan yang dilakukan oleh pihak

penggarap oleh karena itu pihak penggarap lari dari tanggung jawabnya dan

pihak pemilik kebun merugi disebabkan biaya-biaya selama pengelolaaan

kebun karet tersebut menjadi tanggungan pemilik kebun. Memang dampak

negatif disini kebanyakan hasil panen atau garapan sedikit, tetapi hal ini

jarang terjadi”.58

Selanjutnya hasil wawancara dengan Bapak Adis selaku pemilik kebun

karet menyatakan bahwa:

“Hampir belasan tahun saya menyerahkan kebun karet saya dengan orang

yang menggarap kebun karet tersebut, untuk masalah inkar janji emang

pernah pernah terjadi karena seorang penggarap pernah menjual hasil karet

secara diam-diam, awalnya saya tenggur sampai dua kali tetapi ia teus

melakukannya, maka dari itu saya memberhentikan ia untuk berkerja”.59

Kemudian hasil wawancara dengan Bapak Subhan pihak penggarap kebun

karet menyatakan bahwa:

“Dampak yang terjadi di dalam sistem bagi hasil kebun karet ini bila hasil

panennya sedikit, karena pihak sudah bekerja keras dan juga sangat

menguras tenaga, waktu, dan kesempatan. Hal ini tentunya pihak pekerja

ataupun penggarap akan rugi dan masalah ingkar janji pernah terjadi, karena

saya kurang teliti dan saya pun jarang mengontrol kebun tersebut”.60

Selanjutnya hasil observasi penulis di Desa Muara Kibul dapat diperoleh

suatu gambaran bahwa, bila keadaan cuaca atau iklim ini tidak stabil maka akan

jadi penghambat bagi penggarap untuk memotong karet. Penggarap terkadang

tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di

58

Wawancara, dengan Ibuk Wokiyah selaku pemilik kebun karet, tanggal 12 september

2018.

59

Wawancara, dengan Bapak Adis selaku pemilik kebun karet, tanggal 08 september 2018.

60 Wawancara, dengan Bapak Subhan selaku penggarap kebun karet, tanggal 12 september

2018.

52

kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena

sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras Karena sakit

atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal). Apabila

dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara

langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka

musaqah tidak menjadi batal, tetapi penggarap diwajibkan untuk mendapatkan

penggantinya selama ia berhalangan itu.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun kerugian tidak

sering terjadi, maka perlu diwaspadai oleh pihak penggarap, agar tidak terjadi

permasalahan dan menimbulkan kerugian pada pihak pemilik ataupun pekerja,

jadi cara mengatasi agar tidak terjadinya penipuan ataupun keselisihpahaman

dengan cara menegur dan musyawarah bersama, supaya kejadian itu tidak akan

terulang lagi untuk kedepannya.

B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Bagi Hasil Kebun Karet di

Desa Muara Kibul

Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa poin besar yang

menjadi bahan untuk dapat dianalisis dengan mengkaji dari hukum Islam dalam

praktek bagi hasil penggarap karet yang dilakukan mayarakat Desa Muara Kibul,

untuk lebih memudahkan analisis peneliti membagi bagian-bagian yang sesuai

dengan apa tujuan penelitian tesebut, dari data yang dikumpulkan telah dijelaskan

di dalam bab-bab sebelumnya untuk menganalisis praktek akad bagi hasil kebun

karet antara pemilik dan penggarap kebun.

53

Dalam hukum Islam/Fiqh Muamalah sangat luas pembahasannya bukan

hanya dalam bidang ekonomi saja tetapi juga dalam bidang pertanian dan juga

dalam bidang perkebunan, di dalam fiqh muamalah ada beberapa yang membahas

tentang pertanian dan perkebunan antara lain yaitu akad Muzara‟ah, Mukhabarah

dan Musaqah.

Salah satu bentuk kerjasama antara pemilik dan penggarap kebun karet

adalah bagi hasil yang dilandasi tolong menolong dan kepercayaan satu sama lain.

Dari berbagai permasalahan yang penulis kemukakan di atas, pada dasarnya

sistem bagi hasil ini sangat baik dan memberikan manfaat yang besar bagi kedua

belah pihak baik pihak penggarap maupun pihak pemilik kebun karena mereka

merasa terbantu terhadap kondisi perekonomian mereka.

Karena itu Islam meninjau dari segi manfaat yang ada dalam pelaksanaan

perjanjian sistem bagi hasil, bila sistem bagi hasil ini menguntungkan dan

memberi manfaat yang cukup besar maka sangat dianjurkan dan dibolehkan.

Akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan

petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga

memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, agar sesuatu yang dihasilkan pihak

kedua merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan

kesepakatan yang mereka buat.61

Dalam konsep muamalah musaqah yaitu

penyerahan pohon kepada penggarap untuk dipelihara dan disiram dengan

pembagian hasil dari kebun tersebut.

61

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. ke-1, hlm. 109-

110.

54

Dari segi praktek akad bagi hasil atau musaqah diperbolehkan menurut

hukum Islam karena telah memenuhi rukun dan syarat musaqah.

Dalam akad musaqah mempunyai rukun musaqah meliputi yaitu:

1. Pemilik kebun dan penggarap;

2. Objek akad;

3. Ijab dan qabul.

Akad musaqah memiliki syarat yang harus di penuhi antara lain ialah:

a. Pohon yang di musaqah kan harus diketahui dengan dilihat atau disebutkan

sifat-sifatnya yang sebenarnya. Transaksi dianggap batal jika pohon tidak

diketahui dengan jelas;

b. Jangka waktu yang dibutuhkan harus diketahui dengan jelas dan pasti. Sebab,

transaksi musaqah hampir mirip dengan transaksi ijarah (sewa). Jika jangka

waktu telah diketahui maka itu akan menutup kemungkinan adanya unsur

gharar (penuh risiko);

c. Imbalan yang akan diterima oleh penggarap harus diketahui dan ditentukan

dengan jelas, minsalnya setengah atau sepertiga.62

Dari rukun dan syarat di atas dapat disimpulkan bahwa rukun musaqah

ialah kedua belah pihak yang berakad antara pemilik dan penggarap kebun,

objeknya yaitu berupa tanaman pohon karet yang sudah siap disadap, dan hasil

getah karet ditentukan masing-masing pihak dengan ijab dan qabul. Sedangkan

syarat akad musaqah ialah berupa perkebunan karet yang di sadap dan dirawat

dimana pemilik kebun menyerahkan sepenuhnya pengurusan kebun karet kepada

62

Ibid., hlm. 873-874.

55

penggarap minsalnya dalam pemupukan kebun karet, pembersihkan tanaman,

penggarapan lahan karet dan menjaga sistem penyadapan tetap baik dan tidak

merusak kulit batang dan lain-lain. Hasil yang diperoleh di bagi atas kesepakatan

antara pemilik dan penggarap kebun karet.

Berdasarkan dari penjelasanya tesebut. Maka dapat dinyatakan bahwa bagi

hasil penggarap di Desa Muara Kibul sudah memenuhi rukun dan syarat akad

musaqah sehingga akad tersebut menjadi sah atau boleh, karena adanya pemilik

dan penggarap kebun, objek yang di musaqah kan yaitu berupa dari hasil sadapan

dari pohon karet tersebut, ijab dan qabul dinyatakan sebelum pohon karet tersebut

memperoleh penghasilan dari penggarap.

Dalam kerjasama bagi hasil antara pemilik kebun dan penggarap karet yang

selama ini dilakukan Masyarakat Desa Muara Kibul ialah berdasarkan pada adat-

istiadat yang sudah pernah terjadi dahulu sampai sekarang, mereka selalu

menggunakan kebiasaan yang terjadi di Masyarakat. Dalam hal bermuamalah,

Islam juga mengenal dengan adat istiadat (urf) dapat dijadikan dasar sumber

hukum apabila tidak bertentangan dengan sumber Al-Quran dan Al-Hadits.

Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah,

adapun dasar hukum musaqah adalah:

1. Al-Quran

Musaqah merupakan kerjasama bagi hasil antara pemilik tanah pertanian

dengan penggarapnya, dengan demikian merupakan salah satu bentuk tolong-

menolong. Untuk melakukan usaha pertanian ini, adakalanya di perlukan

kerjasama antar pemilik kebun dengan yang memiliki keterampilan dan

56

kemampuan bertani, karena ada beberapa pemilik kebun tidak sanggup untuk

menggarap kebunnya sendiri.

Salah satu bentuk kerjasama antara pemilik dan penggarap perkebunan karet

adalah bagi hasil yang dilandasi tolong menolong dan kepercayaan satu sama lain.

Sebab ada orang yang memiliki kebun tetapi tidak memiliki keahlian dalam

menjalani usaha perkebunan. Ada juga orang yang mempunyai modal tetapi

memiliki keahlian, dengan demikian apabila ada kerjasama dalam menggerakan

roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan

modal dan keahlian dipadukan menjadi satu. Seperti yang dijelaskan dalam firman

Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat (5): 2 yang berbunyi:

إن ان اتقا انه ان انؼذ وا ػه انئثم نا تؼا انتق وا ػه انبز شذيذ انؼقابتؼا ه

Artinya:“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya”.63

2. Hadits

Dalam dalil yang lain, yang dijadikan landasan jumhur mengenai

dibolehkannya musaqah adalah Hadits Ibnu Umar yang shahih.

ا ا ػه أن يؼمه أرض د خيبز وخم خيبز سهم د فغ إن ي ػهي ل انه مه أن رس

صم ل انه نزس م ، ان ا. أم سهم شطز ثمز ػهي انه

Artinya: ”Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma Khaibar dan

tanahnya kepadao orang-orang Yahudi Khaibar agar mereka

63

Al-Maidah (5): 2.

57

mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan

setengah dari buahnya ”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim).64

Di samping itu, akad musaqah ini dibutuhkan oleh manusia karena

terkadang di satu pihak pemilik pephonan atau perkebunan tidak sempat atau tidak

dapat mengurus dan merawatnya, sedangkan di pihak lain ada orang yang mampu

dan sempat mengurus dan merawat pepohonan atau perkebunan, namun ia tidak

memiliki pepohonan atau perkebunan tersebut. Dengan demikian, pihak pertama

memerlukan penggarap, sedangkan pihak lain („amil) memerlukan pekerjaan.

3. Ijma‟

Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai abjek yang boleh di musaqah

kan, di antara mereka ada yang membatasi objek musaqah hanya pada pohon

kurma, seperti Dawud ada yang menambahkannya dengan pohon anggur, seperti

Asy-Syafi‟i dan ada pula yang tidak membatasi objek musaqah pada pohon

tertentu, seperti kalangan mazhab Hanafi. Menurut Maliki, objek musaqah adalah

setiap yang memiliki akar tetap di tanah, seperti pohon delima, zaitun, dan semua

pohon sejenis yang bukan merupakan tanaman merambat, seperti semangka.

Adapun menurut kalangan mazhab Hambali, objek musaqah adalah segala jenis

pohon atau tumbuhan yang berbuah dan dapat di makan.65

Dalam menentukan keabsahan akad musaqah dari segi syara‟, terdapat

perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka

berpendirian bahwa akad al-musaqah dengan ketentuan petani penggarap

mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musaqah

64

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 483

65 Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Fikih Sunnah Sayyid Sabid, cet. Ke-1, (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 874.

58

seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang

akan dipanen dari kebun itu.

Musaqah juga didasarkan atas ijma‟ (kesepakatan para ulama), karena sudah

merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia

dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu.

4. Qiyas

Kerjasama bagi hasil kebun karet yang di lakukan oleh masyarakat Desa

Muara Kibul. Membolehkan bagi hasil di dalam ketentuan hukum Islam di

dasarkan kepada perbuatan Nabi Muhammad SAW dan juga pernah dipraktekkan

oleh para sahabat beliau. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas,

bahwa Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah

sebagian dari bijian dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah

Khaibar. Rasulullah SAW pernah melakukan akad musaqah dengan penduduk

Khaibar sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

م خيبز بشطزما يخز ج مه ثمز أ ل االله صه الله ػهي سهم ػامم أ ػه ابه ػمزأن رس

سرع )راي مسهم(.

Artinya:“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun

beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan

perjanjian mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari

buah-buahan maupun hasil tanamannya”.(HR. Muslim).66

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan

Praktek musaqah selama masa hidup beliau dengan penduduk Khaibar. Beliau

66

Ibid., hlm. 110.

59

memperkerjakan mereka untuk mengurusi lahan pertanian dengan imbalan

separuh dari hasil panen.

Yusuf Qardawi menjelaskan dalam hal ini perkara benar dan dikenal.

Rasulullah SAW mempraktekkannya hingga wafat, kemudian diteruskan oleh

khulafaur Rasyidin RA hingga mereka wafat, kemudian dilanjutkan oleh keluarga

mereka, tidak seorang pun dari Ahlul Bait yang ada di Madinah kecuali

mengamalkannya. Isteri-isteri Nabi juga mengamalkannya sepeninggal beliau.67

5. „Urf

Dalam hal muamalah, Islam juga mengenal adat istiadat („urf) yang

merupakan sesuatu yang dibiasakan manusia dalam bermuamalah dan konsisten

(menggunakannya) dalam berbagai persoalan mereka. Sebagaimana definisi „Urf

dari segi terminologi, yaitu mengandung makna:

ػه ا إطلاق نفظ تؼا رف م، أ مه كم فؼم شا ع بيى ا ػهي سار مؼى ما اػتا دي انىاص

. لا يتبادر غيزي ػىذ سما ػ انهغ خاص لا تآ نف

Artinya: “Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya

dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun

suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan

dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak

memahaminya dalam pengertian lain”.

Kata „Urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah

(kebiasaan), yaitu:

ل. انطبا ع انسهيمة بانقب تهقت ل ة انؼق ص مه ج ما استقز في انىف

Artinya:”Sesusatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima

oleh akal yang sehat dan watak yang benar”.

67

https://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/36/.

60

Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara

berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Dari penjelasan di atas

dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli

(kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf al-fi‟li (kebiasaan dalam bentuk

perbuatan).68

Sebuah ketentuan hukum yang sifatnya tidak tertulis, seperti kaidah

fiqhiyah berikut ini:

تا نعادة يحك

Artinya: ”Adat kebiasaan dapat menjadi hukum”.

Menggunakan „Urf sebagai dasar hukum dalam bidang muamalah

dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat dan menghindari

mereka dari kesempitan. Sebuah perkiraan-perkiraan baru yang berupa ijtihad

termasuk di dalamnya akad kebiasaan yang mempunyai peranan penting dalam

masyarakat sangat diperlukan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang

tedapat di dalam al-Quran dan Sunnagh Rasul, demikian pula untuk memperoleh

ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang baru timbul sesuai dengan

perkembangan masyarakat. Syarat-syarat suatu adat kebiasaan dapat dijadikan

suatu landasan hukum yaitu sebagai berikut:

Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat yang

menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan maksiat,

a. Perbuatan maupun perkataan yang dilakukan berulang-ulang. Tidak

bertentangan dengan ketentuan nash al-Quran dan Hadist,

68

Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. Ke-3, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 209.

61

b. Tidak mendatangkan kemudaratan.

Dari uraian yang di dikemukakan di atas jelas terlihat bahwa perjanjian

bagi hasil ini tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, bahwa Nabi

Muhammad SAW beserta sahabatnya pernah mengadakan perjanjian bagi hasil.

Bahwa perjanjian bagi hasil ini di pandang lebih baik dari pada perjanjian sewa-

menyewa tanah pertanian, sebab sewa-menyewa tanah pertanian ini lebih

bermanfaat untuk keuntungan dari pada perjanjian bagi hasil, karena hasil yang

diperoleh (diproduksi) tanah pertanian yang disewa tersebut belum diketahui

jumlahnya, sedangkan pembayarannya sudah ditetapkan terlebih dahulu. Berbeda

halnya dengan perjanjian bagi hasil, penetuan bagian masing-masing (untuk

pemilik kebun dan pengelolah kebun) ditentukan setelah hasil produksi pertanian

diketahui besar atau jumlahnya. Dan sistem bagi hasil inipun sudah menjadi „urf

dalam masyarakat di Desa Muara Kibul. Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia

dalam pergaulannya dan telah mantap urusan-urusannya dan dalam sistem bagi

hasil ini sudah berlangsung turun temurun hingga sekarang dan hal ini dapat

diterima, dapat diketahui dan diakui. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di

dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syariat Islam,

merupakan sesuatu yang baik pula disisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan

semacam ini sah-sah saja untuk tetap dijalankan atau dipertahankan.

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab pembahasan sebagai jawaban atas

permasalahan yang timbul dalam bab pendahuluan skripsi ini, dapatlah ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Bagi hasil penggarapan kebun karet di Desa Muara Kibul adalah aplikasi dari

kerjasama dalam bidang pertanian musaqah dan pembagian hasil dilaksanakan

menurut adat kebiasaan yang telah menjadi ketentuan hukum adat dan telah di

setujui serta dijalankan oleh masyarakat di Desa Muara Kibul. Cara pembagian

hasil dilakukan sesuai dengan syariat Islam. Dengan menyebutkan bagian hasil

dengan jelas seperti 1/2, 1/3, 1/4, dan tidak terdapat unsur penipuan. Perjanjian

kerjasama penggarapan kebun karet di Desa Muara Kibul di lakukan secara

lisan dan menurut mereka hal tersbut lebih mudah mengerjakannya dari pada

perjanjian dengan sistem tertulis. Perjanjian tidak bertentangan dengan hukum

Islam.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap sistem pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara

pemilik kebun dan penggarap di Desa Muara Kibul sudah sesuai dengan rukun

dan syarat-syarat musaqah dalam Islam, dimana pemilik kebun dan penggarap

melakukan kesepakatan dan perjanjian bagi hasil yang mana jumlahnya jelas,

setelah rukun dan syarat telah terpenuhi maka dapat disebut dengan praktek

musaqah dalam hukum Islam. Maka perjanjian akad bagi hasil kebun karet

62

63

yang terjadi di Desa Muara Kibul sah dan di bolehkan menurut hukum Syariah

Islam.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini, penyusun mencoba

memberikan saran kepada pihak yang melakukan kerjasama bagi hasil di Desa

Muara Kibul, dengan harapan bisa dijadikan bahan pertimbangan atau masukan

demi tegaknya hukum Islam yang bertujuan untuk mendidik manusia agar

memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, menegakkan keadilan dalam

masyarakat dan memenuhi kepentingan atau memelihara kemaslahatan yang

hakiki.

1. Pelaksanaan bagi hasil secara lisan hendaknya di rubah dengan perjanjian

tertulis agar dijadikan bukti dan mendapatkan kepastian hukum,

2. Petani yang melakukan kerjasama bagi hasil penggarap kebun karet hendaklah

tetap senantiasa berpegang pada rasa keadilan dan saling tolong-menolong.

64

DAFTAR PUSTAKA

A. Al- Quran dan Al- Hadist

Surah Thaha (20): 117-119.

Surah Al-Maidah (5): 2.

Hadist, Musaqah, HR. Bukhari dan Muslim.

B. Buku-Buku

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat (Sistem Transaksi dalam Islam ),

cet. ke-2, (Jakarta: Amzah, 2014).

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2010).

Abdullah Sulaiman, Sumber-sumber Hukum Islam, Permasalahan dan

Fleksibilitasnya (Jakarta: Sinar Grafika, 1995).

Amir Syarifuddin, ushul Fiqh, cet. ke-2, (Jakarta: Kencana, 2008).

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, Cet. ke- 3, ( Jakarta: Amzah, 2015).

Hendri Suhendi, Fiqh Muamalah ( Membahas Ekonomi Islam), cet. ke-9,( Jakarta:

Rajawali Pers, 2013).

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).

Kusuma Hadi Halima, Hukum Perjanjian adat, ( Bandung: PT. Citra Aditya,

1990).

Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, Cet. ke-1, (Jakarta: RajaWali Pers,

2015).

Mattehew B. Miles dan A. Michael huburman, Analisis Data Kuantitatif, terj.

Tjetjep Rohedi Rohid, (Jakarta: UI Press, 2007).

Nasution Edwin Mustafa, Pengenalan Eksklusif (Ekonomi Islam), Cet. ke-1,

(Jakarta: Kencana, 2006).

Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, cet. Ke-3, (Jakarta: Amzah, 2014).

Sayuti Una (editor), Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, ( Jambi: Fakultas

Syari‟ah IAIN STS Jambi dan Syari‟ah Press, 2012).

64

65

Suhar, Metodologi Hukum Islam (Ushul Al-Fiqh), cet.ke-1, (Jambi: Salim Media

Indonesia, 2015).

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke-1 ( Jakarta: Rajawali,

1992).

Sutrisno Hadi, Metodologi Research ll, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas

psikologi UGM, 1984).

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Fikih Sunnah Sayyid Sabid, cet. Ke-1,

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013).

Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, cet. ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

C. Wawancara

Wawancara dengan Bapak Adis selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Cuban selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Datuk selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Dayat selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Edi selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Hasan selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Heri selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Herman selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Iwan selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Ibuk Jarimah selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Madi selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak M. Nur selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Rustam selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Bapak Subhan selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Ibuk Tutit selaku penggarap kebun karet.

Wawancara dengan Ibuk Wokiyah selaku pemilik kebun karet.

Wawancara dengan Tri Yuningsih Putri S.Sos Sebagai Kaur Umum Desa Muara

Kibul Kec.Tabir Barat.

66

Wawancara dengan Bapak Yusman Sebagai Kaur Pemerintahan Desa Mura Kibul

Kec. Tabir Barat.

D. Lain-lain

Dokumentasi Desa Muara Kibul.

https://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/36/.

Deni Jazuli, “ Bagi Hasil Nelayan di Desa Weru Kecamatan Lamongan Jawa

Timur Ditinhau dari Hukum Islam”. Skripsi tidak diterbitkan Fakultas

Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga (2005).

Laiqah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Bagi Hasil Tambak

Garam di Desa Tireman, Kec. Rembang, Kab. Rembang”.Skripsi tidak

diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga (2004).

M. Rasyidin,”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil dalam Pemiliharaan

Sapi di Desa Purwodadi Kec. Tepus, Kab. Gunung Kidul”. Skripsi tidak

diterbitkan Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga (2002).