peraturan daerah kabupaten merangin nomor 04 tahun 2014 ...
Transcript of peraturan daerah kabupaten merangin nomor 04 tahun 2014 ...
1
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN
NOMOR 04 TAHUN 2014
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MERANGIN
TAHUN 2014 – 2034
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MERANGIN,
Menimbang: a. Bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang memerlukan penyelenggaraan penataan
ruang yang transparan, efektif dan parsitifatif, agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan demi terwujudnya kesejahteraan umum
dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945;
b. bahwa untuk mengarahkan pembangunan yang memanfaatkan wilayah secara serasi, selaras, seimbang,
berdayaguna, berhasil guna dan berdaya serta berkelanjutan dan untuk meningkatkan ksejahteraan masyarakat yang berkeadilan serta memelihara
ketahanan Nasional, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin;
c. bahwa dalam rangka mewujudkan Visi dan Misi Pemerintahan Kabupaten Merangin dan keterpaduan pembangunan antara sektor maka Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten merupakan arahan dalam pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara
terpadu yang dilaksanakan secara bersama oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin Tahun 2014 - 2034.
Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua.
2. Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung
Jabung Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
2
Republik Indonesia Nomor 3903) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5160);
10. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 10 Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jambi Tahun 2013 – 2033 (Lembaran Daerah Provinsi Jambi Tahun 2013 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jambi Nomor 10.
3
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MERANGIN dan
BUPATI MERANGIN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH (RTRW) KABUPATEN MERANGIN TAHUN 2014 –
2034.
BAB I KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan: 1. Kabupaten adalah Kabupaten Merangin. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan Kabupaten Merangin. 3. Bupati adalah Bupati Merangin.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan kehidupannya. 6. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
7. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
8. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 9. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disebut RTRW
Kabupaten adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kabupaten, yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kabupaten, rencana struktur ruang wilayah kabupaten, rencana
pola ruang wilayah kabupaten, penetapan kawasan strategis kabupaten, arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
10. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
11. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program serta pembiayaan.
12. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
13. Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada
4
aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 14. Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten adalah arahan
pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.
15. Strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan
pola ruang wilayah kabupaten. 16. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
17. Rencana sistem perkotaan di wilayah kabupaten adalah rencana susunan kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan di dalam wilayah kabupaten
yang menunjukkan keterkaitan saat ini maupun rencana yang membentuk hirarki pelayanan dengan cakupan dan dominasi fungsi tertentu dalam wilayah kabupaten.
18. Kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
19. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
20. Pusat Kegiatan Wilayah promosi yang selanjutnya disebut PKWp, adalah kawasan perkotaan yang dipromosikan untuk dikemudian hari ditetapkan sebagai PKW.
21. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota
atau beberapa kecamatan. 22. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau
beberapa desa. 23. Rencana sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten adalah rencana
jaringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala kabupaten.
24. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di
atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
25. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu
hubungan hierarki. 26. Saluran Udara Tegangan Tinggi yang selanjutnya disebut SUTT adalah
saluran udara yang mendistribusikan energi listrik dengan tegangan 275 KvA yang mendistribusikan dari pusat-pusat beban menuju gardu-gardu listrik.
5
27. Saluran Udara Tegangan Menengah yang selanjutnya disebut SUTM adalah saluran tenaga listrik yang menggunakan kawat telanjang
(penghantar) di udara bertegangan di atas 1 KV sampai dengan 35 KV sesuai standar di bidang kelistrikan.
28. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung.
29. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 (dua ribu) kilometer persegi.
30. Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.
31. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
32. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
33. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
34. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
35. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya
maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.
36. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan
tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air
37. Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai,
termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
38. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk.
39. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
40. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
41. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
42. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
43. Cagar budaya adalah kegiatan untuk menjaga atau melakukan
konservasi terhadap benda-benda alam atau buatan manusia yang
6
dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
44. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui membangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana 45. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis,
hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya
tertentu 46. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya buatan
47. Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan budidaya yang
dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan
48. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional;
49. Kawasan perikanan adalah kawasan budidaya perikanan yang ditetapkan dengan kriteria wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
penangkapan, budidaya perikanan, industry pengolahan hasil perikanan, dan tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup;
50. Wilayah pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah
yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional;
51. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
52. Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi oleh
fungsi kepariwisataan, mencakup sebagian areal dalam kawasan lindung atau kawasan budidaya yang lain yang di dalamnya terdapat konsentrasi
daya tarik dan fasilitas penunjang pariwisata; 53. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan
perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
54. Kawasan pertahanan keamanan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara
berdasarkan geostrategi nasional, yang diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba sistem
persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pertahanan; 55. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan Negara, pertahanan dan keamanan Negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
ditetapkan sebagai warisan dunia;
7
56. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan; 57. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan;
58. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten melalui penyusunan dan
pelaksanaan program berserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten;
59. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan instansi pelaksana dalam rangka
mewujudkan ruang Kabupaten yang sesuai dengan rencana tata ruang; 60. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat atau atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang dirupakan dalam bentuk ketentuan
zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disisentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten;
61. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan
umum yang mengatur persyaratan pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang
disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten;
62. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan; 63. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana tata ruang; 64. Arahan sanksi adalah perangkat untuk memberikan hukuman bagi siapa
saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku;
65. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi;
66. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang;
67. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk
masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang;
68. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan
69. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung
pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Merangin dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.
8
Bagian Kedua Kedudukan, Peran dan Fungsi
Pasal 2
Kedudukan RTRW Kabupaten Merangin adalah sebagai penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi dan sebagai matra atau
wadah ruang dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Pasal 3
RTRW Kabupaten berperan sebagai panduan untuk pemanfaatan ruang
dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah Kabupaten Merangin.
Pasal 4
RTRW Kabupaten Merangin berfungsi sebagai pedoman untuk:
a. penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); b. penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah
kabupaten; d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar sektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kabupaten;
Bagian Ketiga Ruang Lingkup Pengaturan
Paragraf 1 Muatan
Pasal 5
RTRW Kabupaten Merangin memuat: a. tujuan, kebijakan dan strategi; b. rencana struktur ruang;
c. rencana pola ruang; d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang; dan f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang.
Paragraf 2 Wilayah Perencanaan
Pasal 6 (1) Wilayah perencanaan mencakup seluruh ruang wilayah Kabupaten
dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif meliputi: a. Kecamatan Jangkat; b. Kecamatan Sungai Tenang;
c. Kecamatan Muara Siau; d. Kecamatan Lembah Mesurai;
e. Kecamatan Tiang Pumpung; f. Kecamatan Pamenang; g. Kecamatan Pamenang Barat;
h. Kecamatan Ranah Pamenang;
9
i. Kecamatan Pamenang Selatan; j. Kecamatan Bangko;
k. Kecamatan Bangko Barat; l. Kecamatan Batang Mesumai;
m. Kecamatan Nalo Tantan; n. Kecamatan Sungai Manau; o. Kecamatan Renah Pembarap;
p. Kecamatan Pangkalan Jambu; q. Kecamatan Tabir; r. Kecamatan Tabir Ulu;
s. Kecamatan Tabir Selatan; t. Kecamatan Tabir Ilir;
u. Kecamatan Tabir Timur; v. Kecamatan Tabir Lintas; w. Kecamatan Margo Tabir; dan
x. Kecamatan Tabir Barat. (2) Batas-batas wilayah Kabupaten meliputi:
a. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bungo; b. sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lebong Provinsi
Bengkulu;
c. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Sarolangun; dan
d. sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci.
(3) Luas wilayah administrasi Kabupaten adalah 767.900 (tujuh ratus enam puluh tujuh ribu sembilan ratus) hektar.
BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang
Pasal 7
Penataan ruang wilayah Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Merangin yang maju, mandiri, dan berbudaya dengan berbasis pada ekonomi
kerakyatan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Bagian Kedua Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang
Pasal 8
(1) Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten meliputi:
a. penguatan dan pemulihan fungsi kawasan lindung yang meliputi Taman Nasional, hutan lindung, sempadan sungai dan mata air, dan
kawasan dengan kelerengan diatas 40 (empat puluh) persen; b. peningkatan produktivitas potensi ekonomi wilayah dalam bentuk
pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan;
c. peningkatan pertumbuhan sektor ekonomi wilayah sesuai keunggulan kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, dikelola secara terpadu dan
ramah lingkungan; d. pembangunan dan peningkatan infrastruktur wilayah dalam rangka
pewujudan pelayanan wilayah; dan
10
e. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan kemananan Negara.
(2) Kebijakan penguatan dan pemulihan fungsi kawasan lindung yang meliputi taman nasional, hutan lindung, sempadan sungai dan mata air,
kawasan dengan kelerengan diatas 40 (empat puluh) persen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
a. menetapkan fungsi kawasan lindung dan budidaya untuk memberikan kepastian rencana pemanfaatan ruang dan investasi;
b. menyusun dan melaksanakan program rehabilitasi lingkungan,
terutama pemulihan fungsi Taman Nasional Kerinci Seblat dan hutan lindung yang berbasis masyarakat; dan
c. meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan.
(3) Kebijakan peningkatan produktivitas potensi ekonomi wilayah dalam
bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan
strategi sebagai berikut: a. meningkatkan produktivitas hasil pertanian, perikanan dan
kehutanan melalui intensifikasi lahan;
b. mengembangkan dan meningkatkan potensi energi alternatif sebagai sumber listrik, seperti pembangkit listrik tenaga mikro hidro, pembangkit listrik tenaga air, dan pembangkit listrik tenaga panas
bumi; c. mengembangkan kegiatan pada kawasan yang bernilai lingkungan dan
sekaligus juga bernilai sosial-konomi, seperti hutan desa dan hutan tanaman rakyat; dan
d. meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan sumber
energi yang terbarukan (renewable energy). (4) Kebijakan peningkatan pertumbuhan sektor ekonomi wilayah sesuai
keunggulan kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, dikelola secara terpadu dan ramah lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
a. memanfaatkan lahan non produktif bagi peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat;
b. meningkatkan teknologi pertanian, perikanan dan kehutanan sehingga
terjadi peningkatan produksi dengan kualitas yang lebih baik dan bernilai ekonomi tinggi;
c. mengembangkan industri pertanian dan perkebunan sebagai kekuatan utama ekonomi wilayah;
d. mengembangkan kegiatan agro sesuai komoditas unggulan kawasan
yang berdaya saing guna mendukung kekuatan ekonomi wilayah; dan e. meningkatkan kegiatan pariwisata melalui peningkatan prasarana dan
sarana pendukung, pengelolaan objek wisata serta pemasaran yang lebih agresif dan efektif.
(5) Kebijakan pembangunan dan peningkatan infrastruktur wilayah dalam
rangka pewujudan pelayanan wilayah sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut: a. meningkatkan fungsi pusat-pusat pelayanan wilayah guna
mendukung tercipatanya pemerataan pembangunan wilayah; b. membangun prasarana dan sarana transportasi yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan secara signifikan dan berimbang; dan
11
c. membangun sistem jaringan prasarana dan fasilitas sosial secara proporsional dan memadai sesuai kebutuhan masyarakat pada setiap
pusat permukiman. (6) Kebijakan peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan melalui strategi sebagai berikut: a. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak
terbangun di sekitar aset-aset pertahanan dan keamanan/TNI; b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di
sekitar aset-aset pertahanan untuk menjaga fungsi pertahanan dan
keamanan/TNI; dan c. memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan/TNI.
BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG
Bagian Kesatu
Pasal 9
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten meliputi:
a. sistem pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
Bagian Kedua
Sistem Pusat Kegiatan
Pasal 10
Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dikembangkan secara hierarki dan dalam bentuk pusat kegiatan, sesuai
kebijakan nasional dan provinsi, potensi, dan rencana pengembangan wilayah kabupaten.
Pasal 11
(1) Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 meliputi: a. Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp); b. Pusat Kegiatan Lokal (PKL); dan
c. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK). (2) PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Perkotaan
Bangko di Kecamatan Bangko yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten, perdagangan dan jasa skala regional, pelayanan transportasi, industri pengolahan, pemukiman perkotaan,
pusat pendidikan, pusat kesehatan, pusat peribadatan dan pusat rekreasi, olahraga dan wisata.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Perkotaan Rantau Panjang di Kecamatan Tabir yang berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub
regional, permukiman perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi,
12
olahraga dan wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi;
b. Perkotaan Pamenang di Kecamatan Pamenang yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional,
permukiman perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi, olahraga dan wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi;
c. Perkotaan Sungai Manau di Kecamatan Sungai Manau berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional, permukiman perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi,
olahraga dan wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi; dan
d. Perkotaan Pasar Masurai di Kecamatan Lembah Masurai berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional, permukiman perkotaan, industri pengolahan, pusat
kesehatan, pusat rekreasi, olahraga dan wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan atau beberapa desa, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan
rumah tangga dan simpul transportasi meliputi: a. Perkotaan Simpang Limbur Merangin di Kecamatan Pamenang Barat
berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, permukiman, pusat
pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, dan simpul
transportasi; b. Perkotaan Rawa Jaya di Kecamatan Tabir Selatan berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
c. Perkotaan Muara Jernih di Kecamatan Tabir Ulu berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; d. Perkotaan Tambang Emas di Kecamatan Pamenang Selatan berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas
umum skala kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
e. Perkotaan Meranti di Kecamatan Renah Pamenang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; f. Perkotaan Muara Madras di Kecamatan Jangkat berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
g. Perkotaan Rantau Suli di Kecamatan Sungai Tenang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; h. Perkotaan Pasar Muara Siau di Kecamatan Muara Siau berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
13
i. Perkotaan Sekancing di Kecamatan Tiang Pumpung berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
j. Perkotaan Pulau Rengas di Kecamatan Bangko Barat berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi dan sentra industri dan pergudangan;
k. Perkotaan Lubuk Gaung di Kecamatan Batang Masumai berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal,
industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; l. Perkotaan Sungai Ulak di Kecamatan Nalo Tantan berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi, dan industri dan
pergudangan; m. Perkotaan Simpang Parit di Kecamatan Renah Pembarap berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas
umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
n. Perkotaan Sungai Jering di Kecamatan Pangkalan Jambu berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal,
industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; o. Perkotaan Rantau Limau Manis di Kecamatan Tabir Ilir berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas
umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
p. Perkotaan Sungai Bulian di Kecamatan Tabir Timur berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; q. Perkotaan Mensango di Kecamatan Tabir Lintas berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi, dan industri dan
pergudangan; r. Perkotaan Tanjung Rejo di Kecamatan Margo Tabir berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; dan
s. Perkotaan Muara Kibul di Kecamatan Tabir Barat berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil
dan kerajinan rumah tangga, dan simpul transportasi.
Pasal 12
Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 akan diatur
lebih lanjut dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
14
Bagian Ketiga Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 13
(1) Sistem Jaringan prasarana utama wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf b meliputi: a. sistem jaringan transportasi darat; dan b. sistem jaringan perkeretaapian.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. jaringan jalan; b. prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan c. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
(3) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. jaringan jalur kereta api umum; dan b. prasarana perkeretaapian.
Paragraf 1 Sistem Jaringan Transportasi Darat
Pasal 14
(1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi: a. jalan arteri primer; b. jalan kolektor primer;
c. jalan lokal primer; dan d. pengembangan jaringan jalan baru.
(2) Jalan arteri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. ruas jalan batas Kabupaten Bungo/Kabupaten Merangin-batas Kota
Bangko;
b. ruas jalan batas Kota Bangko-batas Kabupaten Sarolangun/Kabupaten Merangin;
c. ruas jalan Lintas Sumatra I (Bangko); dan
d. ruas jalan Lintas Sumatra II (Bangko). (3) Jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi: a. ruas jalan Simpang Bukit Tiung Bangko–Sungai Manau–Batas
Kabupaten Kerinci;
b. ruas jalan Simpang Pulau Rengas-Dusun Tuo–Jangkat; c. ruas jalan Simpang Rantau Suli-Beringin Tinggi–Sungai
Keradak/Batas Kabupaten Sarolangun;
d. ruas jalan Sumber Agung – Bungo Tanjung - Sri Sembilan -batas Kabupaten Tebo;
e. ruas jalan Simpang Margoyoso - Sumber Agung - Muara Delang - Bungo Antoi - batas Kabupaten Sarolangun;
f. ruas jalan Simpang Jelatang - batas Kabupaten Sarolangun; dan
g. ruas jalan Simpang Kuamang- batas Kabupaten Bungo. (4) Jaringan jalan lokal primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi: a. ruas jalan Tambang Mas-Tanjung Benuang–Selango - batas Kabupaten
Sarolangun;
b. ruas jalan Simpang Lubuk Gaung - Simpang Tiga Desa Nalo; c. ruas jalan Sungai Ulak - Aur Duri; d. ruas jalan Aur Duri –Telun - Simpang Pulau Layang;
15
e. ruas jalan Simpang Limbur Merangin - Pinang Merah - Simpang Empat Rasau;
f. ruas jalan Rantau Panjang - Rantau Limau Manis; g. ruas jalan Simpang Seling - Muara Jernih- Ngaol;
h. ruas jalan Kotojati; i. ruas jalan Sungai Manau - Sungai Pinang – Sengayau - Ngaol; j. ruas jalan Simpang Pasar Masurai - Tanjung Dalam – Koto Tapus;
k. ruas jalan Kebun Sayur - Simpang Talang Kawo; l. ruas jalan Simpang Talang Kawo – Simpang Empat Rasau; m. ruas jalan Ulak Makam – Kotaraja;
n. ruas jalan Simpang Air Batu – Kotaraja; o. ruas jalan Simpang Mentawak - Sinar Gading - Muara Delang;
p. ruas jalan Simpang Sekancing - Baru Tiang Pumpung - Rantau Limau Kapas;
q. ruas jalan Muara Kibul - Batang Kibul;
r. ruas jalan Jembatan Rasau - Pasar Pamenang; s. ruas jalan Rejosari – Simpang Rasau;
t. ruas jalan Sri Sembilan - Sungai Limau; u. ruas jalan Simpang Kodim - Simpang Talang Kawo; v. ruas jalan Muara Jernih - Danau;
w. ruas jalan BIRR SMA 6 Merangin – Pasar Baru Bangko; x. ruas jalan BIRR Pasar Baru - Salam Buku; dan y. ruas jalan BIRR Sungai Ulak – Kandis
z. ruas jalan Simpang Merkeh – Air Batu (5) Pengembangan jaringan jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d berupa pembangunan dan pengembangan Jalan Bangko Outer Ring Road (BORR) yang meliputi jalur: a. ruas jalan Simpang Langling-Simpang Talang Kawo;
b. ruas jalan Simpang Talang Kawo-Pulau Rengas; c. ruas jalan Simpang Mentawak-Simpang Langling; dan d. ruas jalan Pulau Rengas-Rantau Alai-Sungai Ulak- Simpang
Mentawak. (6) Penetapan status jalan kabupaten diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Bupati:
Pasal 15
(1) Prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. terminal penumpang; dan b. terminal barang.
(2) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri atas: a. pengembangan terminal tipe A di Perkotaan Bangko; dan
b. pembangunan terminal tipe C di Perkotaan Bangko, Perkotaan Rantau Panjang, Perkotaan Pamenang, Perkotaan Sungai Manau dan
Perkotaan Pasar Masurai. (3) Terminal barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berada di
Kecamatan Bangko.
Pasal 16
(1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c meliputi:
a. angkutan penumpang; dan
16
b. angkutan barang. (2) Angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berupa pengembangan jalur angkutan yang menghubungkan antar pusat – pusat kegiatan meliputi:
a. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun–Bangko-Muara Bungo-Sumatera Barat (Sijunjung);
b. Bangko-Sungai Manau -Sanggaran Agung - Sungai Penuh;
c. Bangko–Sarolangun–Muara Bulian–Jambi; d. Bangko–Bungo; dan e. jalur penghubung antar kecamatan di Kabupaten Merangin.
(3) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun – Bangko -
Muara Bungo - Sumatera Barat (Sijunjung); b. jalur Bangko – Sarolangun – Muara Bulian – Jambi–Kuala
Tungkal/Ujung Jabung/Muara Sabak; dan
c. jalur Bangko-Sungai Manau - Sanggaran Agung - Sungai Penuh.
Paragraf 2 Sistem Jaringan Perkeretaapian
Pasal 17
(1) Jaringan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) huruf a berupa rencana pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan batas Kabupaten Sarolangun–Kec. Pamenang-Kec.
Pamenang Barat-Kec. Bangko-Kec. Nalo Tantan-Kec. Tabir Lintas-Kec. Tabir-batas Kabupaten Bungo.
(2) Prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
huruf b meliputi: a. pembangunan stasiun penumpang di Kecamatan Bangko; dan b. pembangunan stasiun barang di Kecamatan Bangko
Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 18
Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c meliputi: a. sistem jaringan energi dan kelistrikan; b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem jaringan prasarana lainnya.
Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi dan Kelistrikan
Pasal 19
(1) Sistem jaringan energi dan kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 huruf a meliputi: a. pembangkit tenaga listrik;dan b. jaringan transmisi listrik.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
17
a. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Langkup di Kecamatan Jangkat;
b. pengembangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro pada
daerah-daerah potensial yang terisolir dan sulit dijangkau jaringan listrik; dan
c. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di
Kecamatan Jangkat dan Kecamatan Sungai Tenang. (3) Jaringan transmisi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pengembangan gardu induk di Kecamatan Nalo Tantan dan pembangunan gardu induk di Kecamatan Jangkat;
b. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 (seratus lima puluh) kVA yang menghubungkan: 1. Sumatera Barat–Jambi–Sumatera Selatan yang melewati
Kecamatan Tabir–Kecamatan tabir Lintas–Kecamatan Nalo Tantan –Kecamatan Bangko–Kecamatan Pamenang Barat–Kecamatan
Pamenang; dan 2. Kecamatan Bangko-Kecamatan Batang Masumai–Kecamatan Renah
Pembarap–Kecamatan Sungai Manau–dan Kecamatan Pangkalan
Jambu–Batas Kerinci. c. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
dengan kapasitas 50 (lima puluh) kVA menghubungkan antar
kecamatan di Kabupaten Merangin.
Paragraf 2 Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 20
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf b meliputi: a. sistem jaringan kabel; dan
b sistem jaringan nirkabel. (2) Sistem jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi pengembangan jaringan telekomunikasi kabel pada seluruh
kecamatan di wilayah kabupaten; (3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berupa penataan dan efisiensi menara telekomunikasi atau Base Transceiver Station (BTS) yang jangkauan pelayanannya meliputi seluruh
kecamatan di wilayah kabupaten; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan menara telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 21
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf c meliputi:
a. wilayah sungai (WS); b. Cekungan Air Tanah (CAT); c. jaringan irigasi;
d. jaringan air baku untuk air bersih; dan
18
e. sistem pengendalian daya rusak air. (2) Wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. wilayah sungai lintas provinsi Teramang Muar yang mencakup DAS Air Dikit; dan
b. wilayah sungai lintas provinsi Batanghari, yang mencakup Sub DAS Batang Tembesi, Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Batang Merangin dan Sub DAS Batang Masumai.
(3) Cekungan Air Tanah (CAT) sebagaimana dimaksud pada ayat (10 huruf b adalah CAT Bangko-Sarolangun.
(4) Jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa
Daerah Irigasi (DI) kewenangan Kabupaten yang meliputi: a. DI Betuk di Kecamatan Tabir seluas 606 (enam ratus enam) hektar;
b. DI Sei Ulak di Kecamatan Tabir seluas 489 (empat ratus delapan puluh sembilan) hektar;
c. DI Sei Sembilang di Kecamatan Tabir seluas 234 (dua ratus tiga puluh
empat) hektar; d. DI Karang Birahi di Kecamatan Pamenang seluas 70 (tujuh puluh)
hektar; e. DI Sungai Birun di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 119 (seratus
sembilan belas) hektar;
f. DI Sei Supermin di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 70 (tujuh puluh) hektar;
g. DI Sei Tanjung Mudo di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 93
(sembilan puluh tiga) hektar; h. DI Sei Pelipan di Kecamatan Sungai Manau seluas 88 (delapan puluh
delapan) hektar; i. DI Sei Nagan di Kecamatan Sungai Manau 98 (sembilan puluh
delapan) hektar;
j. DI Sei Tiangko di Kecamatan Sungai Manau seluas 175 (seratus tujuh puluh lima) hektar;
k. DI Sei Nilau di Kecamatan Sungai Manau seluas 66 (enam puluh
enam) hektar; l. DI Sei Lintang di Kecamatan Sungai Manau seluas 65 (enam puluh
lima) hektar; m. DI Sei Semayo di Kecamatan Tabir seluas 172 (seratus tujuh puluh
dua) hektar;
n. DI Sei Petepah di Kecamatan Tabir seluas 151 (seratus lima puluh satu) hektar;
o. DI Beringin di Kecamatan Pamenang Barat seluas 62 (enam puluh dua) hektar; dan
p. DI Batang Nibung di Kecamatan Batang Masumai seluas 644 (enam
ratus empat puluh empat) hektar. (5) Jaringan air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi:
a. pengembangan air bersih dengan pipa intake dari Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tembesi, dan Batang Masumai;
b. sumur bor II di Kecamatan Bangko; dan c. rencana pengembangan sumber air baku Sigerincing di Kecamatan
Lembah Masurai.
(6) Sistem pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. pembangunan turap/tanggul di sepanjang wilayah Sungai Teramang Muar, Sungai Batang Merangin, Sungai Batang Tembesi, Sungai Batang Tabir dan Sungai Batang Masumai, dan
b. pembangunan embung di Kecamatan Pamenang.
19
Paragraf 4 Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 22
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf d meliputi:
a. sistem persampahan; b. sistem penyediaaan air minum; c. sistem pengelolaan air limbah;
d. sistem jaringan drainase; dan e. jalur dan ruang evakuasi bencana.
(2) Sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah dengan sistem
lahan urug terkontrol (controled landfill) di Desa Langling Kecamatan Bangko:
b. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara di perkotaan Pamenang, Rantau Panjang, Sungai Manau dan Pasar Masurai; dan
c. Peningkatan sarana prasarana pendukung pelayanan persampahan.
(3) Sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengembangan sistem penyediaan air minum perpipaan di pusat permukiman PKWp, PKL dan PPK; dan
b. Pengembangan sistem penyediaan air minum non perpipaan di seluruh
wilayah kecamatan. (4) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c meliputi:
a. Pengelolaan air limbah permukiman dengan sistem pembuangan air limbah setempat di seluruh kawasan permukiman;
b. Pengembangan sistem pembuangan air limbah dengan menggunakan tanki septik komunal setempat pada kawasan perumahan perkotaan padat penduduk;
c. Pengelolaan air limbah industri dan air limbah medis dilakukan dengan penyediaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tersendiri; dan
d. Pembangunan dan pengembangan unit pengolahan akhir lumpur tinja
di Desa Langling Kecamatan Bangko. (5) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi: a. Pemanfaatan sungai-sungai sebagai jaringan drainase utama (primer)
seperti wilayah sungai teramang Muar, batang tembesi, batang
merangin, batang tabir, dan batang masumai; b. Pembangunan dan pengembangan jaringan drainase sekunder yang
terdapat disepanjang jaringan jalan utama perkotaan dan perdesaan; c. Pembangunan saluran drainase beton pada sungai atau saluran air
yang merupakan drainase sekunder yang berada di kawasan-kawasan
permukiman perkotaan; dan d. Pembangunan dan pengembangan jaringan drainase tersier pada
kawasan-kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan.
(6) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e meliputi:
a. pengembangan jalur evakuasi bencana tanah longsor meliputi: 1. ruas Muara Madras – Pasar Masurai; 2. ruas Rantau Suli – Tanjung Dalam – Pasar Masurai;
3. ruas Ngaol – Sengayau – Sungai Manau;
20
4. ruas Ngaol – Muara Kibul; dan 5. ruas Durian Rambun – Lubuk Birah – Lubuk Beringin – Pasar
Muara Siau. b. pengembangan jalur evakuasi bencana banjir meliputi:
1. ruas Ngaol – Muara Kibul – Muara Jernih – Simpang Seling; 2. ruas Rantau Limau Manis – Rantau Panjang; 3. ruas Nalo – Simpang Lubuk Gaung;
4. ruas Nalo – Sungai Ulak; dan 5. ruas Empang Benao – Tanjung Gedang – Pasar Pemenang
c. pengembangan jalur evakuasi bencana gempa bumi di ruas jalan
Simpang Danau Pauh - Rantau Kermas - Tanjung Kasri - Renah Kemumu - Batas Kabupaten Kerinci:
d. ruang evakuasi bencana berada di kantor kecamatan, bangunan sekolah, dan bangunan pemerintah lainnya meliputi: 1. Kecamatan Jangkat;
2. Kecamatan Sungai Tenang; 3. Kecamatan Lembah Masurai;
4. Kecamatan Muara Siau; 5. Kecamatan Tabir Barat; 6. Kecamatan Tabir Ulu;
7. Kecamatan Sungai Manau; 8. Kecamatan Renah Pembarap; 9. Kecamatan Pangkalan Jambu;
10. Kecamatan Tabir; 11. Kecamatan Tabir Ilir;
12. Kecamatan Nalo Tantan; dan 13. Kecamatan Pamenang.
BAB IV
RENCANA POLA RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 23
(1) Rencana pola ruang wilayah Kabupaten meliputi:
a. rencana pola ruang kawasan lindung; dan b. rencana pola kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 24
Rencana pola ruang kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf a meliputi: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
21
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan e. kawasan rawan bencana alam.
Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung
Pasal 25
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dengan luas kurang lebih 35.484,10 (tiga puluh lima ribu empat ratus
delapan puluh empat koma sepuluh) hektar yang meliputi: a. hutan lindung Gunung Tungkat di Kecamatan Lembah Masurai dan
Kecamatan Sungai Tenang; b. hutan lindung Bukit Muncung Gunung Gamut di Kecamatan Jangkat dan
Kecamatan Sungai Tenang; dan
c. hutan lindung Hulu Landai Bukit Pale di Kecamatan Tiang Pumpung, Kecamatan Muara Siau, Kecamatan Lembah Masurai, dan Kecamatan
Sungai Tenang.
Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya
Pasal 26
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b berupa kawasan resapan air yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Merangin.
Paragraf 3 Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 27
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c meliputi:
a. kawasan sempadan sungai; b. kawasan sempadan danau atau waduk; c. kawasan sempadan mata air; dan
d. Ruang Terbuka Hijau (RTH). (2) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi seluruh sungai yang ada di Kabupaten Merangin dengan kriteria:
a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan
c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi
sungai. (3) Kawasan sempadan danau atau waduk sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi seluruh danau dan waduk yang ada di Kabupaten
Merangin dengan kriteria:
22
a. daratan dengan jarak 50 – 100 meter dari titik pasang teringgi air danau/waduk; atau
b. daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik tepian danau/waduk.
(4) Kawasan sempadan mata air sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa kawasan mata air yang berada di seluruh wilayah Kabupaten Merangin dengan ketentuan:
a. daratan dengan jarak sempadan 50 – 100 meter mengelilingi mata air; dan
b. Secara fisik berupa jalur hijau yang ditanami pohon atau tanaman yang
memiliki fungsi konservasi. (5) Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf
d berada di seluruh kawasan perkotaan meliputi: a. RTH publik berupa taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur
hijau sepanjang jalan dan sungai, serta halaman rumah/gedung milik
pemerintah yang ditanami tumbuhan dengan luas kurang lebih 20 (dua puluh) persen dari luas seluruh kawasan perkotaan;
b. RTH privat berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan dengan luas kurang lebih 10 (sepuluh) persen dari luas kawasan perkotaan; dan
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai RTH perkotaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatur dalam Rencana Detail Tata Ruang.
Paragraf 4 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya
Pasal 28
(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf d meliputi: a. Suaka alam laut dan perairan lainnya; b. taman nasional;
c. taman wisata alam; dan d. kawasan cagar budaya.
(2) Suaka alam laut dan perairan lainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah reservaat atau suaka perikanan Batu Ciri Taman Ciri Sungai Batang Tabir di Desa Telentam Kecamatan Tabir Barat sebagai
Lubuk Inti (zona inti) dan Lubuk Lanca Bemban sebagai lubuk penyangga (zona penyangga);
(3) Taman nasional sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas kurang lebih 163.439 (seratus enam puluh tiga empat ratus tiga puluh sembilan koma
nol) hektar yang meliputi: 1. Kecamatan Tabir Barat; 2. Kecamatan Pangkalan Jambu;
3. Kecamatan Sungai Manau; 4. Kecamatan Muara Siau;
5. Kecamatan Lembah Masurai; 6. Kecamatan Jangkat; dan 7. Kecamatan Sungai Tenang.
(4) Taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. Taman Wisata Alam Arboretum Rio Alif Bangko di Kecamatan Bangko; b. Taman Wisata Alam Sungai Misang di Kecamatan Bangko; c. Taman Wisata Alam Bukit Tiung di Kecamatan Bangko; dan
23
d. Kawasan Geopark di Kecamatan Bangko Barat dan Kecamatan Renah Pembarap.
(5) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. kawasan Cagar Budaya Rumah Tuo Rantau Panjang di Kecamatan Tabir; dan
b. kawasan cagar budaya Batu Bertulis Karang Berahi di Desa Karang
Berahi Kecamatan Pamenang; c. kawasan cagar budaya Batu Larung di Desa Tuo Kecamatan Lembah
Masurai.
(6) Pengaturan tentang Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud pada pasal 4 dan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada pasal 5,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 29
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf e meliputi: a. Kawasan rawan bencana longsor; b. Kawasan rawan bencana banjir; dan
c. Kawasan rawan gempa bumi. (2) Kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi: a. Kecamatan Jangkat; b. Kecamatan Sungai Tenang;
c. Kecamatan Lembah Masurai. d. Kecamatan Muara Siau; e. Kecamatan Tabir Barat; dan
d. Kecamatan Pangkalan Jambu. (3) Kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi: a. Kecamatan Tabir Barat; b. Kecamatan Tabir Ulu;
c. Kecamatan Tabir; d. Kecamatan Tabir Ilir;
e. Kecamatan Nalo Tantan; dan f. Kecamatan Pamenang;
(4) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi: a. Kecamatan Lembah Masurai; b. Kecamatan Jangkat;
c. Kecamatan Sungai Tenang. d. Kecamatan Ma Siau;
e. Kecamatan Tabir Barat; dan a. Kecamatan Pangkalan Jambu.
24
Bagian Ketiga Kawasan Budi Daya
Pasal 30
Rencana pola kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b meliputi:
a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; dan h. kawasan peruntukan lainnya.
Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 huruf a terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas; dan b. kawasan hutan produksi tetap.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki luas kurang lebih 33.381,50 (tiga puluh tiga ribu tiga ratus delapan puluh satu koma lima puluh) hektar yang terdapat di
Kecamatan Lembah Masurai dan Kecamatan Sungai Tenang. (3) Peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b memiliki luas kurang lebih 110.060,00 (seratus sepuluh ribu
enam puluh koma nol) hektar yang meliputi: a. Kecamatan Tabir Barat;
b. Kecamatan Tabir Ulu; c. Kecamatan Nalo Tantan; d. Kecamatan Renah Pembarap;
e. Kecamatan Sungai Manau; f. Kecamatan Pangkalan Jambu;
g. Kecamatan Pamenang Selatan; h. Kecamatan Tiang Pumpung; i. Kecamatan Muara Siau; dan
j. Kecamatan Lembah Masurai.
Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 32
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf b terdiri dari: a. kawasan pertanian tanaman pangan;
b. kawasan pertanian hortikultura; c. kawasan perkebunan; dan d. kawasan peternakan.
25
(2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pertanian tanaman pangan lahan basah dengan luas kurang lebih 5.823,88 (lima ribu delapan ratus dua puluh tiga koma delapan) puluh
delapan ) hektar; b. pertanian tanaman pangan lahan kering dengan luas kurang lebih
51.794,40 (lima puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh empat
koma empat puluh) hektar yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten; dan
c. lahan pertanian tanaman pangan berkelanjutan ditetapkan seluas
kurang lebih 75 (Tujuh puluh lima) persen dari luas kawasan pertanian tanaman pangan dan ditetapkan dengan keputusan Bupati.
(3) Kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 31.426,80 (tiga puluh satu ribu empat ratus dua puluh enam koma delapan puluh) hektar dengan komoditas unggulan
berupa kentang, sayur-sayuran, dan cabe meliputi: a. Kecamatan Lembah Masurai;
b. Kecamatan Jangkat; dan c. Kecamatan Sungai Tenang.
(4) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
memiliki luas kurang lebih 271.979,00 (dua ratus tujuh puluh satu ribu sembilan ratus tujuh puluh sembilan koma nol) hektar dengan komoditas:
a. Perkebunan kelapa sawit yang meliputi wilayah: 1. Kecamatan Pamenang
2. Kecamatan Pamenang Barat; 3. Kecamatan Renah Pamenang; 4. Kecamatan Pamenang Selatan;
5. Kecamatan Bangko Barat; 6. Kecamatan Tabir; 7. Kecamatan Tabir Ulu;
8. Kecamatan Tabir Barat; 9. Kecamatan Tabir Ilir;
10. Kecamatan Tabir Timur; 11. Kecamatan Tabir Selatan; 12. Kecamatan Tabir Lintas;
13. Kecamatan Margo Tabir; 14. Kecamatan Renah Pembarap;
15. Kecamatan Sungai Manau; dan 16. Kecamatan Pangkalan Jambu.
b. Perkebunan karet yang meliputi wilayah:
1. Kecamatan Muara Siau; 2. Kecamatan Lembah Masurai; 3. Kecamatan Tiang Pumpung;
4. Kecamatan Pamenang; 5. Kecamatan Pamenang Barat;
6. Kecamatan Renah Pembarap; 7. Kecamatan Sungai Manau; 8. Kecamatan Pangkalan Jambu;
9. Kecamatan Bangko; 10. Kecamatan Bangko Barat;
11. Kecamatan Batang Masumai; 12. Kecamatan Nalo Tantan; 13. Kecamatan Tabir;
14. Kecamatan Tabir Ulu;
26
15. Kecamatan Tabir Barat; 16. Kecamatan Tabir Lintas; dan
17. Kecamatan Margo Tabir. c. Pekebunan kopi yang meliputi wilayah:
1. Kecamatan Lembah Masurai; 2. Kecamatan Sungai Tenang; dan 3. Kecamatan Jangkat.
d. Perkebunan nilam yang meliputi wilayah: 1. Kecamatan Lembah Masurai; 2. Kecamatan Sungai Tenang; dan
3. Kecamatan Jangkat. (5) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi: a. pengembangan sentra peternakan sapi yang terdapat di:
1. Kecamatan Pamenang;
2. Kecamatan Pamenang Barat; 3. Kecamatan Pamenang Selatan;
4. Kecamatan Tabir; 5. Kecamatan Tabir Selatan; 6. Kecamatan Tabir Ilir;
7. Kecamatan Tabir Timur; dan 8. Kecamatan Margo Tabir.
b. pengembangan sentra peternakan kerbau yang terdapat di:
1. Kecamatan Tabir; 2. Kecamatan Tabir Ulu;
3. Kecamatan Tabir Barat; 4. Kecamatan Sungai Manau; 5. Kecamatan Pangkalan Jambu;
6. Kecamatan Renah Pembarap; 7. Kecamatan Pamenang; 8. Kecamatan Batang Masumai;
9. Kecamatan Muara Siau; 10. Kecamatan Sungai Tenang; dan
11. Kecamatan Jangkat c. Pengembangan sentra peternakan kambing yang terdapat di:
1. Kecamatan Bangko;
2. Kecamatan Bangko Barat; 3. Kecamatan Tiang Pumpung;
4. Kecamatan Muara Siau; 5. Kecamatan Lembah Masurai; 6. Kecamatan Jangkat;
7. Kecamatan Sungai Tenang; 8. Kecamatan Renah Pembarap; 9. Kecamatan Sungai Manau;
10. Kecamatan Pangkalan Jambu; 11. Kecamatan Tabir Ulu; dan
12. Kecamatan Tabir Barat. d. Pengembangan sentra peternakan domba yang terdapat di:
1. KecamatanLembah Masurai;
2. Kecamatan Muara Siau; dan 3. Kecamatan Tiang Pumpung.
e. pengembangan sentra peternakan unggas yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Merangin.
27
Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf c meliputi:
a. kawasan peruntukan perikanan tangkap; b. kawasan peruntukan perikanan budidaya; dan c. prasarana perikanan.
(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa perikanan tangkap diseluruh sungai, danau, rawa
dan cekdam dalam wilayah Kabupaten Merangin; (3) kawasan peruntukan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa perikanan budidaya di kolam, keramba, dan
sawah (mina padi) yang terdapat di Kecamatan Pamenang, Kecamatan Pamenang Barat, Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Pangkalan
Jambu, Kecamatan Jangkat, Kecamatan Renah Pamenang, Kecamatan Tabir, Kecamatan Tabir Lintas, Kecamatan Bangko dan Kecamatan Batang Masumai; dan
(4) Prasarana perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa pengembangan Balai Benih Ikan (BBI) di Kecamatan Bangko.
Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 34
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d adalah wilayah pertambangan (WP) yang meliputi: a. Kawasan peruntukan mineral dan batubara;
b. Kawasan peruntukan minyak dan gas bumi; dan c. Kawasan peruntukan panas bumi.
(2) Kawasan peruntukan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kawasan peruntukan mineral yang terdapat di:
1. Kecamatan Tabir Barat; 2. Kecamatan Tabir Ulu;
3. Kecamatan Pangkalan Jambu; 4. Kecamatan Sungai Manau; 5. Kecamatan Muara Siau;
6. Kecamatan Lembah Masurai; 7. Kecamatan Jangkat; 8. Kecamatan Renah Pembarap;
9. Kecamatan Nalo Tantan; 10. Kecamatan Batang Masumai;
11. Kecamatan Tabir; 12. Kecamatan Tabir Lintas; 13. Kecamatan Margo Tabir;
14. Kecamatan Tabir Ilir; 15. Kecamatan Tabir Selatan;
16. Kecamatan Pamenang Barat; dan 17. Kecamatan Pamenang
b. Kawasan peruntukan batubara yang terdapat di:
1. Kecamatan Bangko Barat;
28
2. Kecamatan Pamenang Selatan; 3. Kecamatan Tiang Pumpung;
4. Kecamatan Renah Pamenang 5. Kecamatan Nalo Tantan;
6. Kecamatan Batang Masumai; 7. Kecamatan Tabir Barat; 8. Kecamatan Tabir Ulu;
9. Kecamatan Renah Pembarap; 10. Kecamatan Sungai Manau; 11. Kecamatan Pangkalan Jambu;
12. Kecamatan Muara Siau; 13. Kecamatan Bangko;
14. Kecamatan Pamenang Barat; dan 15. Kecamatan Pamenang.
(3) Kawasan peruntukan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Pamenang. (4) Kawasan peruntukan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdapat di: a. Kecamatan Jangkat; b. Kecamatan Lembah Masurai; dan
c. Kecamatan Sungai Tenang.
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 35
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf e meliputi: a. kawasan peruntukan industri sedang; dan b. kawasan peruntukan industri rumah tangga.
(2) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan industri pengolahan hasil pertanian dan
perkebunan yang terdapat di: 1. Kecamatan Kecamatan Bangko; 2. Kecamatan Bangko Barat;
3. Kecamatan Lembah Masurai; 4. Kecamatan Nalo Tantan;
5. Kecamatan Pamenang Barat; 6. Kecamatan Pamenang; 7. Kecamatan Tabir;
8. Kecamatan Tabir Lintas; dan 9. Kecamatan Tabir Selatan.
(3) Kawasan peruntukan Industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa industri pengolahan makanan dan kerajinan yang tersebar di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Merangin
Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 36
(1) Kawasan peruntukkan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf f meliputi:
a. kawasan peruntukan pariwisata alam;
29
b. kawasan peruntukan pariwisata budaya; dan c. kawasan peruntukan pariwisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan wisata Taman Nasional Kerinci Seblat di Kecamatan Jangkat; b. kawasan wisata Danau Depati Empat dan Danau Pauh di Desa Rantau
Kermas Kecamatan Jangkat;
c. kawasan wisata arung jeram di Batang Merangin Desa Air Batu Kecamatan Renah Pembarap - Desa Biuku Tanjung Kecamatan Bangko Barat;
d. kawasan wisata Grao yang terletak diantara Desa Tanjung Kasri dan Desa Renah Kemumu di Kecamatan Jangkat;
e. kawasan wisata goa tiangko, goa sengering dan goa sengayau di Kecamatan Sungai Manau
f. kawasan wisata air terjun Sigerincing di Kecamatan Lembah Masurai,
Air Terjun Tepian Dukun Batuah di Kecamatan Sungai Tenang dan Air Terjun Telun Berasap di Kecamatan Pangkalan Jambu;
g. Kawasan wisata Gunung Masurai dan Gunung Sumbing di Kecamatan Lembah masurai;
h. kawasan wisata teluk Wang Sakti di Desa Biuku Tanjung Kecamatan
Bangko Barat; dan i. kawasan wisata geopark yang terdapat di Kecamatan Bangko Barat, dan
Kecamatan Renah Pembarap. (3) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c meliputi:
a. perkampungan Rumah Tuo di Kecamatan Tabir; b. prasasti Batu Bertulis Karang Berahi di Kecamatan Pamenang; dan c. Batu Larung di Desa Tuo dan Nilo Dingin Kecamatan Lembah Masurai
dan di desa Gedang Kecamatan Sungai Tenang. (4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi: a. taman Hutan Kota Arboretum Rio Alip di Kecamatan Bangko; b. dam Betuk di Desa Tambang Baru Kecamatan Tabir Lintas;
c. jam Gento di Kecamatan Bangko; d. Taman Bukit Tiung di Kecamatan Bangko; e. Taman Wisata Sungai Misang di Kecamatan Bangko;
f. Ujung Tanjung Muaro Mesumai di Kecamatan Bangko; dan g. Agrowisata di Kecamatan Lembah Masurai, Kecamatan Jangkat dan
Kecamatan Sungai Tenang.
Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 37
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 huruf g seluas 28.618 (dua puluh delapan ribu enam ratus delapan belas) hektar meliputi: a. kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan peruntukan permukiman perdesaan. (2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi seluruh permukiman di kawasan perkotaan sebagai PKWp, PKL, dan PPK seluruh kecamatan dalam Kabupaten Merangin.
30
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi seluruh permukiman di desa-desa yang
tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Merangin.
Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Lainnya
Pasal 38
(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf h berupa kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. kawasan Komando Distrik Militer (KODIM) di Kecamatan Bangko; b. Kawasan Komando Rayon Militer (KORAMIL) di beberapa kecamatan
dalam Kabupaten Merangin; c. kawasan Kepolisian Resort (POLRES) Kabupaten Merangin di
Kecamatan Bangko; d. kawasan Markas Satuan Brimob Daerah Jambi Detasemen B Pelopor
di Desa Karang Anyar Kecamatan Pamenang Barat; dan
e. kawasan Kepolisian Sektor (POLSEK) di beberapa kecamatan dalam kabupaten merangin.
BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Bagian Pertama Umum
Pasal 39
(1) Penetapan kawasan strategis meliputi:
a. kawasan strategis nasional; b. kawasan strategis provinsi; dan
c. kawasan strategis kabupaten. (2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran III yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Bagian Kedua Kawasan Strategis Nasional
Pasal 40
Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
huruf a berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup berada di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS).
31
Bagian Ketiga Kawasan Strategis Provinsi
Pasal 41
Kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yaitu
Bangko-Sarolangun.
Bagian Keempat
Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 42
(1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1) huruf c merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yang meliputi:
a. kawasan strategis perkotaan Bangko; dan b. kawasan strategis Lembah Jang Tenang yang meliputi Kecamatan
Lembah Masurai, Kecamatan Jangkat, dan Kecamatan Sungai Tenang.
(2) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(3) Pada kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) yang diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu
Umum
Pasal 43
(1) Arahan pemanfaatan ruang berisikan indikasi program pembangunan
utama jangka menengah lima tahunan kabupaten.
(2) Arahan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perwujudan rencana struktur ruang; b. perwujudan rencana pola ruang; dan c. perwujudan kawasan strategis.
(3) Arahan pemanfaatan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa indikasi program terlampir dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam peraturan daerah ini.
Bagian Kedua
Perwujudan Rencana Struktur Ruang
Pasal 44
Perwujudan rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (2) huruf a meliputi: a. perwujudan sistem pusat kegiatan; b. perwujudan sistem jaringan prasarana utama; dan
c. perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya.
32
Paragraf 1 Pasal 45
Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf a meliputi: a. Pengembangan dan Pemantapan Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp); b. Pengembangan dan Pemantapan Pusat Kegiatan Lokal (PKL); dan
c. Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK);
Pasal 46
Pengembangan Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf a berupa pembangunan Perkotaan Bangko meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan
Bangko; b. pembangunan dan pengembangan kawasan perkantoran pemerintahan
terpadu; c. pembangunan pusat perdagangan skala regional meliputi:
1. pengembangan pasar induk regional Bangko;
2. pengembangan dan pembangunan pusat perbelanjaan/mall/ pertokoan; 3. pembangunan SPBU/SPPBE; dan 4. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala regional meliputi: 1. pembangunan perbankan; dan
2. pembangunan hotel/penginapan. e. pembangunan pusat pendidikan skala regional meliputi:
1. pembangunan perpustakaan daerah;
2. pembangunan Perguruan Tinggi (PT); 3. pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK) modern; 4. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
5. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); 6. pembangunan Madrasah Aliyah Negeri (MAN);
7. pengembangan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri; dan 8. pembangunan taman bacaan yang menyatu dengan Ruang Terbuka
Hijau(RTH).
f. pembangunan pusat kesehatan skala regional meliputi: 1. pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe B;
2. pembangunan rumah sakit swasta khusus/spesialis; dan 3. pembangunan rumah sakit bersalin.
g. Pembangunan dan pengembangan Jalan Lingkar Luar Bangko (Bangko Outer Ring Road/BORR) dan Jalan Lingkar Dalam Bangko (Bangko Intra Ring Road/BIRR);
h. Pengembangan Terminal penumpang Tipe A Pulau Tujuh; i. Pembangunan terminal penumpang Tipe C;
j. Pembangunan terminal barang; k. Perbangunan dan pengembangan jalur pejalan kaki (pedestrian) dan jalur
sepeda;
l. pembangunan pusat rekreasi, olahraga dan wisata meliputi: 1. pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) dan kesenian;
2. pembangunan taman kota; 3. Pembangunan Taman bermain (playing ground); 4. Pembangunan dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH);
5. Pembangunan Gedung Serba Guna; dan 6. Pengembangan wisata terpadu.
33
m. pembangunan pusat peribadatan meliputi: 1. pembangunan masjid raya; dan
2. pembangunan islamic center. n. penyusunan Rencana Induk Pembangunan dan Pengembangan Perumahan
dan Permukiman Daerah (RIP4D) Bangko; o. pengadaan lahan untuk Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan
Siap Bangun (Lisiba);
p. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman; q. peningkatan kapasitas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); r. peningkatan pengelolaan sampah dan penyediaan Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) yang ramah lingkungan; dan s. pembangunan instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Pasal 47
(1) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Rantau Panjang
meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan
Rantau Panjang;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Rantau Panjang;
2. pengembangan pertokoan; 3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan 5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan 2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D: 2. Pengembangan puskesmas rawat inap; dan
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan 2. pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional, meliputi; 1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan 3. pembangunan pondok pesantren.
h. pembangunan masjid raya
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi, meliputi: 1. pengembangan terminal Tipe C di Perkotaan Rantau Panjang; dan 2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
j. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman; dan
k. pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara. (2) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Pamenang meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Pamenang;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Pamenang;
2. pengembangan pertokoan;
34
3. pembangunan SPBU/SPPBE; 4. pembangunan pasar hewan; dan
5. pembangunan toko kerajinan/souvenir. d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan 2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D: 2. Pengembangan puskesmas rawat inap; dan
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan 2. pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional; 1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri; 2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan
3. pembangunan pondok pesantren. h. pembangunan masjid raya.
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi, meliputi: 1. pengembangan terminal Tipe C di Perkotaan Pamenang; dan 2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
i. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman; dan
j. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara.
(3) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Sungai Manau
meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan
Sungai Manau;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Sungai Manau;
2. pengembangan pertokoan; 3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan 5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan 2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi: 1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan 2. Pengembangan puskesmas rawat inap.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan 2. pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional; 1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan 3. pembangunan pondok pesantren.
h. pembangunan masjid raya
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi berupa terminal Tipe C di Perkotaan Sungai Manau;
j. pembangunan TPA sub regional; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman.
35
(4) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Pasar
Masurai meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan
Pasar Masurai; b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Pasar Masurai; 2. pengembangan pertokoan; 3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan 5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi: 1. pembangunan perbankan; dan 2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi: 1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan
2. Pengembangan puskesmas rawat inap. a. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan
2. pengembangan wisata. b. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional, meliputi;
1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan 3. pembangunan pondok pesantren.
c. pembangunan masjid raya; d. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi berupa terminal
Tipe C di Perkotaan Pasar Masurai; dan
e. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman;
f. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara; dan
g. pembangunan dan pengembangan industri pengolahan.
Pasal 48
(1) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Simpang Limbur Merangin meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Simpang Limbur Merangin;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian; dan
2. pembangunan penginapan. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
36
h. pembangunan masjid; i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi, meliputi:
1. pembangunan sub terminal; dan 2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
j. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(2) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Rawa Jaya meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Rawa Jaya; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: 1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata. g. pembangunan Sekolah Menengah Pertama (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman.
(3) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Muara
Jernih meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Muara Jernih;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
37
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(4) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan
Tambang Emas meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Tambang Emas;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal; j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(5) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Meranti meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Meranti; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: 1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata. g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (6) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Muara
Madras meliputi:
38
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Muara Madras meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi, berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(7) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Rantau Suli meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Rantau Suli meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: 1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga;
2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (8) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Pasar
Muara Siau meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Pasar Muara meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
39
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(9) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Sekancing meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Pasar Muara meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: f. pengembangan puskesmas rawat inap; g. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan;
h. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga;
2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
i. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
j. pembangunan masjid. k. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal; l. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan m. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (10) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Pulau
Rengas meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Pulau Rengas meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
40
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata. g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(11) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Lubuk Gaung meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Lubuk Gaung meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: 1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga;
2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal; j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (12) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Sungai Ulak meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Sungai Ulak meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata.
41
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi, meliputi: 1. pembangunan sub terminal; dan
2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA); j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (13) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan
Simpang Parit meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Simpang Parit meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata. g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(14) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Tigo Alur meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Tigo Alur meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: 1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga;
2. pembangunan taman kota; dan 3. pengembangan pariwisata.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal;
42
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (15) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Rantau Limau Manis meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Rantau Limau meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga; 2. pembangunan taman kota; dan
3. pengembangan pariwisata. g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. h. pembangunan masjid.
i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman.
(16) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Sungai Bulian meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Sungai Bulian meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; dan
2. pembangunan taman kota. g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal;
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; dan k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (17) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan
Mensango meliputi:
43
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Mensango meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan
2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan. f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; dan 2. pembangunan taman kota.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi, meliputi:
1. pembangunan sub terminal; dan 2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan;
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(18) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan Tanjung Rejo meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan Tanjung Rejo meliputi;
b. pengembangan perkantoran skala kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi: 1. pembangunan pertokoan/ruko; dan 2. pembangunan pasar.
d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi simpan pinjam/pegadaian.
e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi: f. pengembangan puskesmas rawat inap; dan g. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
h. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi: 1. pembangunan lapangan olahraga; dan
2. pembangunan taman kota. i. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. j. pembangunan masjid.
k. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi, meliputi: 1. pembangunan sub terminal; dan 2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
l. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan; m. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman. (19) Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c berupa pembangunan di Perkotaan
Muara Kibul meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan perkotaan
Tanjung Rejo meliputi; b. pengembangan perkantoran skala kecamatan; c. pembangunan pusat perdagangan skala kecamatan, meliputi:
1. pembangunan pertokoan/ruko; dan
44
2. pembangunan pasar. d. pembangunan jasa skala kecamatan berupa pembangunan koperasi
simpan pinjam/pegadaian. e. pengembangan pusat kesehatan skala kecamatan, meliputi:
1. pengembangan puskesmas rawat inap; dan 2. pengembangan puskesmas pelayanan kecamatan.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan lapangan olahraga; dan 2. pembangunan taman kota.
g. pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri.
h. pembangunan masjid. i. pengembangan dan pembangunan pelayanan transportasi berupa
pembangunan sub terminal; dan j. pembangunan pusat industri kecil dan kerajinan tangan. k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman.
Paragraf 2 Perwujudan Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 49
(1) Perwujudan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 huruf b meliputi: a. perwujudan sistem transportasi darat; dan
b. perwujudan jaringan perkeretaapian. (2) Perwujudan sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi:
a. Perwujudan jaringan jalan; b. Perwujudan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan c. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
(3) Perwujudan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. pengembangan sistem jaringan jalan arteri primer meliputi: 1. ruas Batas Kota muara bungo- BTS Kab. Bungo/Kab. Merangin; 2. ruas Lintas Sumatra I (Bangko); dan
3. ruas Lintas Sumatra II (Bangko); b. pengembangan sistem jaringan jalan kolektor primer meliputi :
1. Simpang Bukit Tiung Bangko – Sungai Manau – Batas Kabupaten Kerinci
2. Ruas Simpang Pulau Rengas – Ma siau-Dusun Tuo – Jangkat –
batang asai- sei salak/BTS. Kab.sorolangun; 3. Ruas Simpang Margoyoso - Bungo Tanjung - Sri Sembilan -batas
Kabupaten Tebo;;
4. Ruas Sumber Agung - Muara Delang - Bungo Antoi - batas Kabupaten Sarolangun; dan
5. Ruas Simpang Jelatang - batas Kabupaten Sarolangun; c. pengembangan sistem jaringan jalan lokal primer meliputi:
1. Ruas Tambang Mas - Tanjung Benuang – Selango - batas
Kabupaten Sarolangun; 2. Ruas Simpang Lubuk Gaung - Simpang Tiga Desa Nalo;
3. Ruas Sungai Ulak - Aur Duri; 4. Ruas Aur Duri –Telun - Simpang Pulau Layang; 5. Ruas Simpang Limbur Merangin - Pinang Merah - Simpang Empat
Rasau;
45
6. Ruas Rantau Panjang - Rantau Limau Manis; 7. Ruas Simpang Seling - Muara Jernih;
8. Ruas Muara Jernih - Ngaol; 9. Ruas jalan Nasional km 19 - Simpang Tugu Rantau Panjang;
10. Ruas jalan Propinsi km 43 Sungai Manau - Sungai Pinang – Sengayau - Ngaol;
11. Ruas jalan Propinsi Pasar Masurai - Tanjung Dalam;
12. Ruas Tanjung Dalam - Koto Tapus; 13. Ruas Kebun Sayur - Simpang Talang Kawo; 14. Ruas Simpang Talang Kawo - Sungai Kapas - Bukit Bungkul;
15. Ruas Bukit Bungkul - Tambang Mas - Simpang Empat Rasau; 16. Ruas Ulak Makam - Tugu TMD Desa Air Batu;
17. Ruas lintas Sumatera - batas Kabupaten Bungo (Kuamang); 18. Ruas Simpang Mentawak - Sinar Gading - Muara Delang; 19. Ruas jalan provinsi Sekancing - Baru Tiang Pumpung - Rantau
Limau Kapas; 20. Ruas jalan Kibul - Batang Kibul;
21. Ruas Jembatan Rasau Jalan Lintas Sumatera - Pasar Pamenang -Simpang Kenalip;
22. Ruas lintas Sumatera Rejosari – Sialang - Simpang Rasau;
23. Ruas kabupaten - Sungai Limau; 24. Ruas lintas Sumatera jalur 2 Kodim - Simpang Talang Kawo; 25. Ruas Jernih - Danau;
26. Ruas Kota Raja Jembatan TMD - Tugu Batas Kabupaten Tabir Ilir; dan
27. Ruas Lintas Sumatera SMA 6 Merangin – Pasar Baru Bangko. d. pengembangan jaringan jalan baru berupa pembangunan dan
pengembangan Jalan Lingkar Luar Bangko (Bangko Outer Ring Road)
yang meliputi ruas : 1. ruas Simpang Dusun Mudo - Langling - Simpang Talang Kawo; 2. ruas Simpang Talang Kawo - Pulau Rengas;
3. ruas Mentawak - Langling. (4) Perwujudan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. pengembangan terminal tipe A di Perkotaan Bangko; b. Pembangunan terminal tipe C di Perkotaan Rantau Panjang, Perkotaan
Pamenang, Perkotaan Sungai Manau dan Perkotaan Pasar Masurai; dan
c. Pengembangan terminal barang di Kecamatan Bangko. (5) Perwujudan jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. pengembangan jalur angkutan penumpang yang menghubungkan antar pusat-pusat kegiatan meliputi: 1. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun–Bangko-
Muara Bungo-Sumatera Barat (Sijunjung); 2. Bangko-Simpang Pulau Rengas-Sanggaran Agung - Sungai Penuh);
3. Bangko–Sarolangun–Muara Bulian–Jambi; 4. Bangko–Bungo; dan 5. jalur penghubung antar kecamatan di Kabupaten Merangin
b. pengembangan jalur angkutan barang meliputi: 1. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun – Bangko -
Muara Bungo - Sumatera Barat (Sijunjung); 2. jalur Bangko – Sarolangun – Muara Bulian – Jambi–Kuala
Tungkal/Ujung Jabung/Muara Sabak ; dan
46
3. jalur Bangko-Simpang Pulau Rengas - Sanggaran Agung - Sungai Penuh.
(6) Perwujudan jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembangunan dan pengembangan jaringan jalur kereta api berada di jalur Kabupaten Sarolangun–Kec. Pamenang-Kec. Pamenang barat-Kec. Bangko-Kec. Nalo tantan-Kec. Tabir lintas-Kec. Tabir-batas Kabupaten
Bungo; dan b. pembangunan stasiun kereta api, meliputi :
1. pembangunan stasiun kereta api penumpang di Kecamatan Bangko,
Kecamatan Pamenang, dan Kecamatan Tabir; 2. pembangunan stasiun kereta api khusus barang di Kecamatan
Bangko
Paragraf 3
Perwujudan Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 50
Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 huruf c meliputi: a. perwujudan sistem jaringan energi dan kelistrikan; b. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
c. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan d. perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
Pasal 51
Perwujudan sistem jaringan energi dan kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi: a. pengembangan kawasan potensi energi listrik tenaga air Batang Langkup
di Kecamatan Jangkat; b. pengembangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PLTMH) pada daerah-daerah potensial yang terisolir dan sulit dijangkau jaringan listrik;
c. pengembangan kawasan potensi panas bumi di Kecamatan Sungai Tenang
dan Kecamatan Jangkat; d. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)
kapasitas 50 (lima puluh) kV yang menghubungkan antar kecamatan di Kabupaten Merangin; dan
e. peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energi terbarukan
untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan.
Pasal 52
Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 huruf b meliputi: a. pembangunan dan pengembangan sistem jaringan telekomunikasi
diseluruh wilayah kabupaten;
b. menciptakan keanekaragaman model dan media telekomunikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan;
c. pengaturan dan penertiban menara Base Transceiver Station (BTS) telepon selular; dan
d. pembangunan menara BTS bersama yang difasilitasi oleh Pemerintah
Kabupaten.
47
Pasal 53
(1) Perwujudan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi:
a. perwujudan pengembangan sistem pengelolaan wilayah sungai; b. perwujudan pengembangan jaringan irigasi; c. perwujudan pengembangan jaringan air baku untuk air bersih; dan
d. perwujudan pengembangan sistem pengendalian daya rusak air. (2) Perwujudan sistem pengelolaan wilayah sungai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa pengembangan dan pengelolaan Wilayah
Sungai lintas provinsi Teramang Ipuh melalui: a. rehabilitasi dan revitalisasi wilayah hulu sungai Teramang Muar yang
bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten yang berbatasan; b. rehabilitasi dan revilitalisasi Sub Das Batang Merangin, Batang
Tembesi, Batang Masumai dan Batang Tabir;
c. penetapan wilayah sempadan sungai sebagai kawasan lindung; d. revitalisasi sungai dan cek dam.
(3) Perwujudan pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. penambahan prasarana dan peningkatan fungsi jaringan irigasi meliputi
saluran irigasi primer, saluran irigasi sekunder, dan saluran irigasi tersier;
b. pengelolaan dan perlindungan daerah irigasi;
c. perbaikan jaringan irigasi teknis; d. pemanfaatan jaringan irigasi untuk mengairi lahan pertanian;
e. konservasi sumber daya lahan dan air serta pemeliharaan jaringan irigasi untuk menjamin tersedianya air untuk keperluan pertanian; dan
f. pengembangan jaringan irigasi dapat dilakukan secara terpadu dengan
program penyediaan air. (4) Perwujudan pengembangan sistem jaringan air baku untuk air bersih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. peningkatan pelayanan air bersih sistem perpipaan; b. Pengembangan potensi air baku sigerincing:
c. pengelolaan dan pembatasan penggunaan air tanah; d. identifikasi dan pengembangan sumber air baku baru; e. kerjasama antar daerah terkait pengelolaan, rehabilitasi dan revitalisasi
daerah aliran sungai; f. peningkatan pelayanan air bersih sistem perpipaan dengan target
pencapaian 80 (delapan puluh) persen sesuai dengan Millenium Development Goals (MDGs) bidang air bersih;
g. pembatasan dan pengendalian penggunaan air tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. pengembangan pemanfaatan air permukaan lainnya sebagai sumber air
baku;
i. pengembangan pelayanan air bersih sistem perpipaan yang memanfaatkan sumber air permukaan dan pengadaan hidran umum
pada kawasan rawan air; dan j. pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terpadu skala
kawasan dan kota serta IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) pada
tiap-tiap lingkungan untuk menjaga kualitas air permukaan dan air tanah.
(5) Perwujudan pengembangan sistem pengendalian daya rusak air berupa banjir dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. normalisasi dan rehabilitasi area kawasan resapan air melalui
penanaman pengkayaan atau reboisasi;
48
b. kerjasama antar Pemerintah Kota/Kabupaten dan lembaga terkait rehabilitasi dan revitalisasi hulu sungai;
c. prioritas pembuatan embung pada kawasan rawan banjir seperti di Kecamatan;
d. menetapkan Garis Sempadan Sungai (GSS) sebagai kawasan lindung serta melakukan reboisasi dan revitalisasi Garis Sempadan Sungai (GSS);
e. revitalisasi kawasan lindung dan membuka RTH publik sebesar 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai; dan
f. pembangunan turap/tanggul di sepanjang wilayah Sungai Teramang
Ipuh, Batang Merangin, Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Masumai, khususnya pada kawasan rawan banjir.
Pasal 54
(1) Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:
a. sistem persampahan; b. sistem penyediaan air minum; c. sistem pengelolaan air limbah;
d. sistem drainase; dan e. jalur dan ruang evakuasi bencana.
(2) Perwujudan sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi: a. penyusunan rencana induk pengolahan persampahan;
b. pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah dengan sistem lahan urug saniter (sanitary landfill) di Desa Langling Kecamatan Bangko;
c. pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara untuk perkotaan rantau panjang, perkotaan pemenang, perkotaan Sungai
Manau dan perkotaan Pasar Masurai d. pengembangan Tempat Pembuangan Sampah Sementara Terpadu
(TPST) di seluruh Kecamatan di Kabupaten Merangin;
(3) Perwujudan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan sistem penyediaan air minum perpipaan di seluruh
Perkotaan PKWp, PKL dan PPK; b. pengembangan sistem penyediaan air minum non perpipaan di
seluruh wilayah kecamatan; c. peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha/swasta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem air minum; d. peningkatan kapasitas dan kualitas pengelolaan penyediaan air
minum; e. pengembangan alternatif sumber pembiayaan penyediaan air minum;
dan f. pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA).
(4) Perwujudan pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. pengelolaan limbah domestik berupa IPAL komunal terdapat di
Perkotaan Bangko, Perkotaan Rantau Panjang, Perkotaan Pamenang, Perkotaan Pasar Sungai Manau dan Perkotaan Pasar Masurai.
b. pengelolaan limbah domestik berupa septic tank terdapat di: 1. Perkotaan Simpang Limbur Merangin; 2. Perkotaan Rawa Jaya;
3. Perkotaan Muara Jernih;
49
4. Perkotaan Tambang Mas; 5. Perkotaan Meranti;
6. Perkotaan Muara Madras; 7. Perkotaan Rantau Suli;
8. Perkotaan Pasar Muara Siau; 9. Perkotaan Sekancing; 10. Perkotaan Pulau Rengas;
11. Perkotaan Lubuk Gaung; 12. Perkotaan Sungai Ulak; 13. Perkotaan Simpang Parit;
14. Perkotaan Tigo Alur Pangkalan Jambu; 15. Perkotaan Rantau Limau Manis;
16. Perkotaan Sungai Bulian; 17. Perkotaan Mensango; 18. Perkotaan Tanjung Rejo; dan
19. Perkotaan Muara Kibul. (5) Perwujudan jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d meliputi: a. mempertahankan sistem dan saluran drainase yang ada dan
merevitalisasi saluran drainase eksisting sesuai dengan jenis dan
klasifikasi saluran; b. pengembangan sistem drainase terpadu khususnya bagi kawasan
perkotaan PKWp, PKL, dan PPK serta kawasan peruntukan industri di
Kecamatan Bangko Barat, Pamenang Barat, Pamenang, Lembah Masurai, Nalo Tantan, Tabir Lintas, dan Tabir;
c. pengembangan penahan sekaligus pengatur aliran hasil limpasan air hujan yang tidak terserap tanah sehingga aliran tidak terpusat pada salah satu saluran drainase yang dapat menyebabkan terjadi limpasan
pada daerah sekitarnya; dan d. pembangunan pengendali banjir pada kawasan di sepanjang aliran
wilayah Sungai Teramah Ipuh, Batang Merangin, Batang Tembesi,
Batang Tabir dan Batang Masumai. (6) Perwujudan jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e meliputi: a. pengembangan jalur evakuasi bencana tanah longsor meliputi:
1. ruas Muara Madras – Pasar Masurai;
2. ruas Rantau Suli – Tanjung Dalam – Pasar Masurai; 3. ruas Ngaol – Sengayau – Sungai Manau;
4. ruas Ngaol – Muara Kibul; dan 5. ruas Durian Rambun – Lubuk Birah – Lubuk Beringin – Pasar
Muara Siau
b. pengembangan jalur evakuasi bencana banjir meliputi: 1. ruas Ngaol – Muara Kibul – Muara Jernih – Simpang Seling; 2. ruas Rantau Limau Manis – Rantau Panjang;
3. ruas Nalo – Simpang Lubuk Gaung; 4. ruas Nalo – Sungai Ulak; dan
5. ruas Empang Benao – Tanjung Gedang – Pasar Pemenang. c. pengembangan jalur evakuasi bencana gempa bumi di ruas jalan
Simpang Danau Pauh - Rantau Kermas - Tanjung Kasri - Renah
Kemumu - Batas Kabupaten Kerinci: d. pengembangan ruang evakuasi bencana di kantor kecamatan dan
bangunan sekolah meliputi: 1. Kecamatan Jangkat; 2. Kecamatan Sungai Tenang;
3. Kecamatan Lembah Masurai;
50
4. Kecamatan Muara Siau; 5. Kecamatan Tabir Barat;
6. Kecamatan Tabir Ulu; 7. Kecamatan Sungai Manau;
8. Kecamatan Renah Pembarap; 9. Kecamatan Pangkalan Jambu; 10. Kecamatan Tabir;
11. Kecamatan Tabir Ilir; 12. Kecamatan Nalo Tantan; dan 13. Kecamatan Pamenang
e. Penyusunan peta kawasan rawan bencana; f. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penanggulangan Bencana;
dan g. penyusunan rencana mitigasi bencana.
Bagian Ketiga Perwujudan Rencana Pola Ruang
Pasal 55
(1) Perwujudan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf b meliputi: a. perwujudan kawasan lindung; dan
b. perwujudan kawasan budidaya. (2) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi: a. perwujudan kawasan hutan lindung; b. perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya; c. perwujudan kawasan perlindungan setempat; d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
dan e. perwujudan kawasan rawan bencana alam.
(3) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi;
b. perwujudan kawasan peruntukan pertanian; c. perwujudan kawasan peruntukan perikanan;
d. perwujudan kawasan peruntukan pertambangan; e. perwujudan kawasan peruntukan industri; f. perwujudan kawasan peruntukan pariwisata;
g. perwujudan kawasan peruntukan permukiman; dan h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya.
Pasal 56
Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a meliputi: a. penetapan batas kawasan hutan lindung;
b. rehabilitasi hutan yang diselengggarakan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, konservasi tanah; dan
c. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan kawasan.
51
Pasal 57
Perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b meliputi:
a. penetapan fungsi kawasan; b. rehabilitasi kawasan yang memiliki kerusakan rona alam; c. peningkatan pengelolaan kawasan melalui konservasi tanah dan air
dengan cara pengolahan sistem terasering dan vegetasi yang mampu menahan dan meresapkan air; dan
d. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan.
Pasal 58
(1) Perwujudan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) huruf c meliputi:
a. kawasan sempadan sungai; b. kawasan sempadan danau/waduk;
c. kawasan sempadan mata air; dan d. Ruang Terbuka Hijau (RTH).
(2) Perwujudan kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi: a. pemantapan fungsi pada kawasan sempadan sungai; b. pembangunan jalan inspeksi pada kawasan sungai yang melalui
kawasan perkotaan dan atau permukiman; c. pengembangan jalur hijau melalui penanaman tanaman tahunan lahan
pada jalur kanan kiri sungai yang potensial erosi dan longsor; d. pembangunan prasarana pariwisata; dan e. penertiban bangunan permukiman, publik dan komersial yang berada
pada garis sempadan sungai secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memperhatikan kearifan lokal.
(3) Perwujudan kawasan sempadan danau/waduk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pemantapan fungsi pada kawasan sempadan danau/waduk;
b. penertiban bangunan permukiman, publik dan komersial yang berada pada sempadan danau/waduk secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memperhatikan kearifan lokal; dan
c. pengembangan ruang terbuka hijau dan prasarana pariwisata. (4) Perwujudan kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi: a. pemantapan fungsi pada kawasan sempadan mata air; b. penertiban bangunan permukiman, publik dan komersial yang berada
pada sempadan mata air secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memperhatikan kearifan lokal; dan
c. pengembangan ruang terbuka hijau dan prasarana pariwisata.
(5) Perwujudan kawasan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. pengembangan RTH pekarangan meliputi: 1. pekarangan rumah tinggal; 2. halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha; dan
3. taman pada bangunan. b. pengembangan RTH taman dan hutan kota meliputi;
1. taman RT; 2. taman RW; 3. taman kelurahan;
4. taman kecamatan;
52
5. taman kota; dan 6. hutan kota.
c. pengembangan jalur hijau jalan meliputi: 1. pulau jalan dan median jalan;
2. jalur pejalan kaki sepanjang kiri kanan jalan; 3. RTH sempadan rel kereta api; 4. jalur hijau jaringan tegangan tinggi;
5. RTH sempadan sungai; 6. RTH pengamanan sumber air baku/mata air; dan 7. Pemakaman.
d. pengendalian KDH; dan e. pelaksanaan gerakan satu rumah lima pohon.
Pasal 59
(1) Perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf d meliputi:
a. perwujudan kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; b. perwujudan kawasan taman nasional; c. perwujudan kawasan taman wisata alam; dan
d. perwujudan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. (2) Perwujudan kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan; b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan;
c. perlindungan habitat endemik; d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan.
(3) Perwujudan kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. penetapan batas kawasan;
b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan; c. perlindungan habitat endemik;
d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan
taman nasional.
(4) Perwujudan kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. penetapan batas kawasan; b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan; c. perlindungan habitat endemik;
d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan
taman wisata alam.
(5) Perwujudan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. penetapan dan pemantapan jenis cagar budaya dan ilmu pengetahuan; b. penetapan batas kawasan; c. perencanaan kawasan; dan
d. rehabilitasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, penguatan program dan pemberdayaan masyarakat.
53
Pasal 60
(1) Perwujudan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf e meliputi:
a. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana banjir; b. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana tanah longsor; dan c. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana gempa bumi.
(2) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penyusunan rencana mitigasi bencana banjir;
b. penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana banjir; c. pemetaan kawasan rawan bencana banjir;
d. penghijauan catchment area; e. pengendalian pembangunan fisik dan perkembangan kawasan
budidaya;
f. rehabilitasi saluran drainase primer; g. pembuatan kolam penampung air berupa embung, bendung,
bendungan, sumur resapan, dan biopori; h. pengamanan kawasan sempadan sungai; dan i. sosialisasi teknis mitigasi banjir kepada masyarakat terdampak.
(3) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pemetaan kawasan rawan bencana tanah longsor;
b. pemasangan rambu-rambu bahaya pada daerah rawan longsor di setiap wilayah kecamatan;
c. penyusunan rencana mitigasi bencana tanah longsor; d. penghijauan di kawasan hulu dengan tanaman berakar kuat; e. penanganan kawasan secara teknis dan vegetatif;
f. pengembangan jalur evakuasi bencana tanah longsor; g. penyediaan ruang evakuasi bencana tanah longsor; h. pengendalian pembangunan fisik dan perkembangan kawasan budidaya
di kawasan rawan bencana; dan i. penguatan kelembagaan masyarakat, kerjasama dan partisipasi
organisasi non pemerintah dalam penanganan bencana tanah longsor. (4) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana gempa bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) pada kawasan rawan bencana;
b. penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam menghadapi bahaya gempa bumi;
c. standarisasi kualitas bangunan tahan gempa bumi, terutama
bangunan/obyek vital dan perumahan penduduk di seluruh wilayah Kabupaten;
d. pembangunan dan penguatan sistem komunikasi ke daerah-daerah terpencil;
e. penguatan akses informasi dan komunikasi ke dan dari instansi-
instansi yang menangani kegempaan dan kebencanaan; dan f. penguatan dan peningkatan kerjasama dan partisipasi organisasi non
pemerintah dalam penanganan bencana gempa bumi.
Pasal 61
Perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan;
54
b. penetapan jenis komoditas dan cara penebangan; c. pengolahan hasil hutan produksi baik berupa kayu maupun non kayu;
d. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan melalui pengembangan Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat; dan
e. mensinergikan pengelolaan hutan produksi dengan kegiatan lain yang saling mendukung.
Pasal 62
(1) Perwujudan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (3) huruf b meliputi: a. perwujudan kawasan pertanian tanaman pangan;
b. perwujudan kawasan hortikultura; c. perwujudan kawasan perkebunan; dan d. perwujudan kawasan peternakan.
(2) Perwujudan kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan pertanian tanaman pangan; b. peningkatan jaringan irigasi; c. peningkatan intensifikasi lahan;
d. penyediaan sarana dan prasarana produksi; e. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengelolaan sumber daya
air untuk irigasi, pengadaan sarana produksi, panen, pasca panen dan
pemasaran; dan f. pengembangan kawasan pertanian melalui pendekatan agropolitan pada
kawasan-kawasan potensial. (3) Perwujudan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. penetapan kawasan sentra hortikultura dan penetapan komoditas unggulan;
b. peningkatan sarana dan prasarana hortikultura;
c. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengelolaan sumber daya air untuk irigasi, pengadaan sarana produksi, panen, pasca panen dan
pemasaran; dan d. pengembangan sentra agropolitan.
(4) Perwujudan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi: a. penetapan kawasan sentra perkebunan dan penetapan komoditas
unggulan; b. peningkatan sarana dan prasarana perkebunan; c. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengadaan sarana
produksi, panen, pasca panen dan pemasaran; dan d. pengembangan sentra perkebunan.
(5) Perwujudan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d meliputi: a. penetapan kawasan sentra peternakan dan penetapan komoditas
unggulan; b. pengembangan sentra bibit unggul; c. pengembangan sentra pengolahan pakan ternak;
d. pengembangan pengolahan hasil peternakan; e. pengembangan pengolahan kotoran ternak;
f. peningkatan produktifitas peternakan dengan komoditas sapi, kerbau, kambing, domba, ayam ras petelur, dan ayam ras pedaging; dan
g. peningkatan sarana dan prasarana peternakan.
55
Pasal 63
Perwujudan kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf c meliputi:
a. penetapan kawasan perikanan tangkap dan budidaya; b. pengembangan sarana dan prasana pendukung perikanan; c. penetapan fungsi kawasan perikanan tangkap dan budidaya;
d. pengembangan sentra pengolahan perikanan; e. perluasan jaringan pemasaran perikanan; f. penyediaan Balai Benih Ikan (BBI);
g. penguatan kelembagaan nelayan terkait dengan pengadaan sarana produksi dan pemasaran; dan
h. pengembangan kawasan minapolitan.
Pasal 64
Perwujudan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (3) huruf d meliputi: a. pemetaan dan penetapan batas kawasan pertambangan dan potensi
pertambangan;
b. penerapan sistem eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan prinsip berkelanjutan;
c. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan
tambang; d. pengendalian dampak secara ketat pengelolaan tambang;
e. perbaikan lingkungan pasca tambang melalui rehabilitasi dan reklamasi tambang; dan
f. peningkatan peran serta pelaku pertambangan baik masyarakat maupun
swasta.
Pasal 65
Perwujudan kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (3) huruf e meliputi: a. penetapan batas kawasan peruntukan industri; b. penetapan sentra-sentra industri beserta produk unggulan masing-
masing; c. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang
kawasan peruntukan industri; d. pengembangan sistem pengolahan limbah industri terpadu; dan e. pengelolaan kawasan peruntukan industri secara berkelanjutan.
Pasal 66
Perwujudan kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf f meliputi:
a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA); b. peningkatan daya tarik obyek wisata; c. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang wisata;
d. diversifikasi pengembangan objek wisata; e. pengembangan keterkaitan antar objek wisata, jalur wisata, dan kalender
wisata; f. peningkatan sistem informasi wisata, pemasaran dan promosi kawasan
wisata dalam rangka memperluas pangsa pasar wisata; dan
56
g. pengembangan infrastruktur yang mendukung terhadap pengembangan pariwisata.
Pasal 67
(1) Perwujudan kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (3) huruf g meliputi:
a. perwujudan kawasan permukiman perkotaan; dan b. perwujudan kawasan permukiman perdesaan.
(2) Perwujudan kawasan permukiman perkotaan terdiri atas:
a. penyediaan perumahan yang memadai, aman dan nyaman bagi masyarakat perkotaan;
b. penyediaan sarana dan prasarana permukiman sesuai daya dukung kawasan;
c. pengembangan permukiman produktif dan berkelanjutan;
d. perbaikan lingkungan permukiman kumuh dan kurang layak huni; e. rehabilitasi dan/atau relokasi permukiman yang terletak pada kawasan
rawan bencana; f. konservasi kawasan tradisional/etnis/ bersejarah; g. pencadangan kawasan permukiman baru (kasiba dan lisiba) dengan
rencana pembangunan prasarana permukiman yang lebih terarah, efektif, efisien, produktif, aman dan berkelanjutan;
h. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman; dan i. sosialisasi penggunaan bangunan bertingkat.
(3) Perwujudan kawasan permukiman perdesaan terdiri atas: a. penyediaan perumahan yang memadai, aman dan nyaman bagi
masyarakat perdesaan;
b. penyediaan perumahan masyarakat perdesaan tetap memperhatikan sistem kearifan lokal dan sistem kekerabatan yang berlaku;
c. penyediaan sarana dan prasarana permukiman sesuai daya dukung
kawasan; d. pengembangan permukiman produktif dan berkelanjutan;
e. perbaikan lingkungan permukiman kumuh dan kurang layak huni; f. rehabilitasi dan/atau relokasi permukiman yang terletak pada kawasan
rawan bencana;
g. konservasi kawasan tradisional/etnis/ bersejarah; dan h. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan
permukiman.
Pasal 68
Perwujudan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (3) huruf h meliputi: a. penetapan jenis kawasan yang mempunyai fungsi pertahanan dan
keamanan; b. penetapan batas keamanan dan kepemilikan pada kawasan pertahanan
dan keamanan;
c. penyediaan sarana dan prasarana kawasan pertahanan dan keamanan; dan
d. pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan yang tidak sesuai dengan kepentingan umum.
57
Bagian Keempat Perwujudan Kawasan Strategis
Pasal 69
Perwujudan kawasan strategis di wilayah Kabupaten Merangin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf c meliputi:
a. perwujudan kawasan strategis nasional; b. perwujudan kawasan strategis provinsi; dan c. perwujudan kawasan strategis kabupaten.
Pasal 70
Perwujudan Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 huruf a berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup berada di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Pasal 71 Perwujudan Kawasan strategis provinsi sebagiman dimaksud dalam pasal 69 huruf b berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yaitu
koridor Bangko-Sarolangun.
Pasal 72 Perwujudan kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 huruf c meliputi: a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten; b. penataan batas kawasan;
c. pengendalian perkembangan kegiatan sekitar kawasan; d. penyediaan sarana dan prasarana kawasan; dan
e. pembentukan kelembagaan pengelolaan kawasan.
BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 73
Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan ketentuan yang
diperuntukan sebagai alat penertiban penataan ruang dalam rangka perwujudan RTRW Kabupaten yang terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.
58
Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan zonasi
Pasal 74
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam
menyusun peraturan zonasi. (2) Dalam ketentuan umum peraturan zonasi sesuai dengan rencana rinci
tata ruang dimaksud meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat: a. kegiatan yang diijinkan;
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat; dan c. kegiatan yang dilarang.
(4) Ketentuan teknis meliputi: a. intensitas; b. prasarana dan sarana minimum; dan
c. ketentuan lain-lain. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi dijabarkan lebih lanjut di dalam
Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini. Pasal 75
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (2) huruf a meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem transportasi darat; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan kereta api.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi; c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air;
dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
Pasal 76
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a berupa peraturan zonasi jaringan jalan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jaringan jalan arteri primer; b. jaringan jalan kolektor primer; dan c. jaringan jalan lokal primer.
59
(3) Ketentuan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. kegiatan berkepadatan sedang sampai rendah;
2. penggunaan lahan campuran berupa perumahan, perdagangan dan jasa berkepadatan sedang sampai rendah; dan
3. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai fungsi
konservasi dan penyediaan oksigen. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi
1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas sedang sampai rendah dan menyediakan prasarana tersendiri;
2. perumahan dengan kepadatan sedang sampai rendah dengan syarat tidak berorientasi langsung pada jalan arteri primer;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana dengan memenuhi standart keamanan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas tinggi dan berorientasi langsung pada jalan arteri primer;
2. perumahan dengan kepadatan tinggi yang langsung berorientasi langsung pada jalan arteri primer;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas yang langsung berorientasi langsung pada jalan arteri primer;
4. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan arteri primer; dan
5. alih fungsi lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan
berkelanjutan, kawasan lindung atau fungsi-fungsi lain yang ditetapkan sebagai fungsi lindung.
(4) Ketentuan teknis untuk jaringan jalan arteri primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. intensitas KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan
yang akan dilakukan memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan. b. prasarana dan sarana minimum berupa rambu lalu lintas, marka jalan,
alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali
dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat, dan
fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. penempatan rambu yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan;
2. penempatan iklan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan
pengguna jalan; 3. penyediaan jembatan penyeberangan yang sesuai dengan tipe
penggunaan lahan dan pengguna jalan; dan 4. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan
tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
(5) Ketentuan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi : 1. kegiatan berkepadatan sedang; 2. penggunaan lahan campuran berupa perumahan, perdagangan dan
jasa berkepadatan sedang; dan
60
3. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas sedang dan menyediakan prasarana tersendiri; 2. perumahan dengan kepadatan sedang dengan syarat tidak
berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana dengan memenuhi standart keamanan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas tinggi dan berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
2. perumahan dengan kepadatan tinggi yang langsung berorientasi
langsung pada jalan kolektor primer; 3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga
disediakan secara terbatas yang langsung berorientasi langsung pada jalan kolektor primer;
4. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan
kolektor primer; dan 5. alih fungsi lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan
berkelanjutan, kawasan lindung atau fungsi-fungsi lain yang
ditetapkan sebagai fungsi lindung. (6) Ketentuan teknis untuk jaringan jalan kolektor primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) meliputi: a. intensitas KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan
yang akan dilakukan memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
b. prasarana dan sarana minimum berupa rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan
jalan, fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat, dan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada
di jalan dan di luar badan jalan. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. penyediaan penempatan rambu yang sesuai dengan tipe penggunaan
lahan dan pengguna jalan; 2. penyediaan penempatan iklan yang sesuai dengan tipe penggunaan
lahan dan pengguna jalan; 3. penyediaan jembatan penyeberangan yang sesuai dengan tipe
penggunaan lahan dan pengguna jalan; dan
4. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
(7) Ketentuan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kegiatan berkepadatan sedang sampai tinggi; 2. penggunaan lahan campuran berupa perumahan, perdagangan dan
jasa berkepadatan sedang sampai tinggi; dan
3. pengembangan RTH sepanjang jaringan jalan yang mempunyai fungsi konservasi dan penyediaan oksigen.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. kegiatan komersial berupa industri, perdagangan dan jasa dengan
intensitas sedang sampai tinggi dan menyediakan prasarana
tersendiri;
61
2. perumahan dengan kepadatan sedang sampai tinggi dengan syarat tidak berorientasi langsung pada jalan lokal primer;
3. kegiatan lain berupa pariwisata, pendidikan, kesehatan, olahraga disediakan secara terbatas melalui penyediaan sarana dan prasarana
dengan memenuhi standart keamanan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan lain yang berpotensi membahayakan pengguna jalan lokal primer; dan
2. Alih fungsi lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan
berkelanjutan, kawasan lindung atau fungsi-fungsi lain yang ditetapkan sebagai fungsi lindung.
(8) Ketentuan teknis untuk jaringan jalan lokal primer sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi: a. intensitas KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan
yang akan dilakukan memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan. b. prasarana dan sarana minimum berupa rambu lalu lintas, marka jalan,
alat pemberi isyarat lalu lintas, alat penerangan jalan, alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat, dan
fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. penyediaan penempatan rambu yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan;
2. penyediaan penempatan iklan yang sesuai dengan tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan; dan
3. penyediaan tempat pemberhentian angkutan yang sesuai dengan
tipe penggunaan lahan dan pengguna jalan.
Pasal 77
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan kereta api
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b berupa peraturan zonasi sepanjang kiri kanan jalur kereta api.
(2) Ketentuan zonasi sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kegiatan bongkar muat barang; dan 2. kegiatan pelayanan jasa yang mendukung system jaringan kereta api.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan penunjang angkutan kereta api selama tidak mengganggu perjalanan kereta api;
2. pembatasan perlintasan sebidang antara rel kereta api dengan
jaringan jalan; dan 3. perlintasan jalan dengan rel kereta api harus disertai palang pintu,
rambu-rambu, dan jalur pengaman dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan di sepanjang jalur kereta api yang berorientasi langsung tanpa ada pembatas dalam sempadan rel kereta api; dan
2. kegiatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan jalur kereta api.
(3) Ketentuan teknis jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
62
a. intensitas KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang akan dilakukan memenuhi ketentuan sistem jaringan kereta api.
b. prasarana dan sarana minimum meliputi: 1. jaringan komunikasi sepanjang jalur kereta api;
2. rambu-rambu; dan 3. bangunan pengaman jalur kereta api.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan 2. penyediaan rambu dan marka keselamatan pengguna lalu lintas yang
berhubungan dengan jalur kereta api.
Pasal 78
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a meliputi:
a. jaringan pipa minyak dan gas bumi, panas bumi; dan b. jaringan listrik.
(2) Ketentuan zonasi jaringan pipa minyak dan gas bumi, panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti kaidah keselamatan kawasan sekitar sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (3) Ketentuan zonasi jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. RTH berupa taman; dan
2. pertanian tanaman pangan. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. fasilitas umum dengan kepadatan dan intensitas rendah;
2. fasilitas komersial perdagangan, jasa, dan industri dengan kepadatan dan intensitas rendah.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. fasilitas umum dengan kepadatan dan intensitas tinggi, dengan ketinggian bangunan lebih dari dua lantai;
2. fasilitas komersial perdagangan, jasa, dan industri dengan kepadatan dan intensitas tinggi, dengan ketinggian bangunan lebih dari dua lantai;
3. perumahan dengan kepadatan dan intensitas tinggi, dengan ketinggian bangunan lebih dari dua lantai.
(4) Ketentuan teknis sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Intensitas KDB, KLB, dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan
yang akan dilakukan dengan KDB 50% dan KLB 0,5. b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan pelengkap. c. ketentuan lain-lain melalui penyediaan RTH, pelataran parkir, dan
ruang keamanan pengguna.
Pasal 79
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf b meliputi: a. jaringan kabel; dan
b. jaringan nirkabel. (2) Ketentuan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
63
(3) Ketentuan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 80
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf c merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan kualitas lingkungan di kawasan sekitar
prasarana sumber daya air meliputi: a. Wilayah Sungai (WS);
b. jaringan irigasi; dan c. sumber air baku untuk air bersih.
Pasal 81
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung sungai; 2. pemasangan papan reklame/pengumuman; 3. pemasangan fondasi dan rentangan kabel listrik;
4. fondasi jembatan/jalan; dan 5. bangunan bendung/bendungan dan bangunan lalu lintas air seperti
dermaga, gardu listrik, bangunan telekomunikasi dan pengontrol/pengukur debit air.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata; 2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air; dan 3. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya.
c. kegiatan yang dilarang berupa: 1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi
wilayah sungai; dan 2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi
mencemari sungai.
(2) Ketentuan teknis wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH 90% sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai berupa jalan
setapak, kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan 2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan
badan air.
Pasal 82
Ketentuan peraturan zonasi jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80 huruf b diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
64
Pasal 83
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sumber air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 huruf c diatur sesuai dengan
rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung mata air;
2. bangunan penunjang pemanfaatan mata air antara lain pipa
sambungan air bersih; dan 3. bangunan penampung air untuk didistribusikan sebagai air minum
dan irigasi. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata; dan
2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air. c. kegiatan yang dilarang berupa:
1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi mata air; dan
2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi
mencemari mata air. (2) Ketentuan teknis sistem jaringan sumber air baku untuk air bersih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH 90% sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai berupa jalan setapak, kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir;
c. ketentuan lain-lain meliputi: 1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan 2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan
sumber air.
Pasal 84
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf d meliputi: a. sistem persampahan;
b. sistem air minum; c. sistem pengelolaan air limbah; d. sistem jaringan drainase; dan
e. jalur dan ruang evakuasi bencana.
Pasal 85
(1) Ketentuan zonasi sistem persampahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 huruf a merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
(2) Ketentuan zonasi sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kegiatan pemilihan dan pemilahan, pengolahan sampah; 2. RTH produktif maupun non produktif; dan 3. Bangunan pendukung pengolah sampah.
65
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa kegiatan atau bangunan yang berhubungan dengan sampah seperti penelitian dan pembinaan
masyarakat. c. kegiatan yang dilarang berupa seluruh kegiatan yang tidak
berhubungan dengan pengelolaan sampah. (3) Ketentuan teknis sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi;
a. intensitas besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%;
b. prasarana dan sarana minimum berupa unit pengelolaan sampah
antara lain pembuatan kompos dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS);
c. ketentuan lain-lain berupa kerjasama antara pelaku pengolah sampah dilakukan melalui kerjasama tersendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 86
Ketentuan zonasi sistem air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
Ketentuan zonasi sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 huruf c diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 88
Ketentuan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 huruf d diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 89
Ketentuan zonasi jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf e diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pola Ruang
Pasal 90
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 74 ayat (2) huruf b meliputi: a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; dan b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
66
d. kawasan peruntukan ruang terbuka hijau; e. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
f. kawasan rawan bencana alam. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.
Pasal 91
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a memiliki karakter sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan, sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
pencegahan banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam;
2. memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, dan pemungutan
hasil hutan bukan kayu; dan 3. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam
kawasan hutan; 2. penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi
pokok kawasan hutan; dan
3. penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta pelestarian lingkungan hidup.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan; 2. penambangan dengan pola penambangan terbuka; dan 3. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di
kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan hutan lindung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%,
dan KDH ≥ 90%. b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa
merubah bentang alam hutan lindung antara lain penyediaan jalan
67
setapak, bangunan non permanen yang tidak merusak lingkungan, dan penyediaan prasarana lain penunjang kegiatan.
c. ketentuan lain-lain meliputi: 1. pada kawasan hutan yang mengalami penurunan fungsi maka dapat
dilakukan rehabilitasi hutan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
2. rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarakan kondisi spesifik biofisik;
3. penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat; dan
4. reklamasi pada kawasan hutan bekas area tambang wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pasal 92
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (2) huruf b berupa kawasan resapan air memiliki karakter sebagai kawasan penyangga yang memiliki fungsi menjaga keseimbangan antara hulu dan hillir.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. hutan, lahan pertanian, dan wisata alam; dan 2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. pertanian intensif yang cenderung mempunyai perubahan rona alam; 2. kawasan permukiman dengan syarat kepadatan rendah dan KDH
tinggi; dan 3. pengembangan prasarana wilayah antara lain berupa jalan, sistem
saluran yang dilengkapi dengan sistem peresapan di sekitarnya. c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan berupa bangunan dengan intensitas sedang sampai tinggi;
2. kegiatan yang menimbulkan polusi; dan 3. penambangan terbuka yang potensial merubah bentang alam.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan dengan besaran KDB yang
diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%. b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa
merubah bentang alam kawasan resapan air. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan resapan air berupa hutan, perkebunan, lahan pertanian yang mengalami penurunan fungsi dilakukan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan
teknis konservasi tanah; dan 2. penyelenggaraan rehabilitasi kawasan resapan air diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
68
Pasal 93
Ketentuan umum peraturan zonasi perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf c meliputi:
a. sempadan sungai; dan b. sempadan waduk.
Pasal 94
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 93 huruf a merupakan kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
(2) Ketentuan zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung sungai; 2. pemasangan papan reklame/pengumuman; 3. pemasangan fondasi dan rentangan kabel listrik;
4. fondasi jembatan/jalan; dan 5. bangunan bendung/bendungan dan bangunan lalu lintas air seperti
dermaga, gardu listrik, bangunan telekomunikasi dan
pengontrol/pengukur debit air. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata; 2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air; dan 3. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya.
c. kegiatan yang dilarang berupa: 1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi
wilayah sungai; dan
2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi mencemari sungai.
(3) Ketentuan teknis sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH
90% sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud; b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai berupa jalan
setapak, kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan 2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan
badan air.
Pasal 95
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan danau/waduk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b merupakan kawasan
tertentu di sekeliling waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk .
(2) Ketentuan zonasi sempadan danau/waduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
69
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung danau/waduk;
2. bangunan penunjang pemanfaatan danau/waduk antara lain pipa sambungan air bersih; dan
3. bangunan penampung air untuk didistribusikan sebagai air minum dan irigasi.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata; dan 2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air.
c. kegiatan yang dilarang berupa:
1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi danau/waduk; dan
2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi mencemari danau/waduk.
(3) Ketentuan teknis sempadan danau/waduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH
90% sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud; b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung danau/waduk
berupa jalan setapak, kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan
bangunan pelindung terhadap kemungkinan banjir; c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan
2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan danau/waduk.
Pasal 96
Ketentuan zonasi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf d berupa RTH pada kawasan perkotaan diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 97
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf e
meliputi: a. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
b. kawasan taman nasional; b. kawasan suaka alam; dan c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
Pasal 98
Ketentuan zonasi kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf a diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 99
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan taman nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf b merupakan kawasan pelestarian yang memiliki ekosistem asli dikelola untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi, pendidikan.
70
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan 2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan taman nasional untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan taman nasional; dan
2. penggunaan kawasan taman nasional dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan taman nasional.
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan taman
nasional;dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan
kelestarian lingkungan hidup. (3) Ketentuan teknis pada kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%,
dan KDH ≥ 90%. b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam taman nasional antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen yang tidak merusak lingkungan, dan
penyediaan prasarana lain penunjang kegiatan. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan taman nasional yang mengalami penurunan fungsi
maka dapat dilakukan rehabilitasi taman nasional melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan
teknis konservasi tanah; 2. rehabilitasi taman nasional dilaksanakan berdasarakan kondisi
spesifik biofisik; dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi taman nasional diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka
mengembangkan potensi dan memberdayakan
Pasal 98
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf c merupakan kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi
kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
71
1. penggunaan kawasan suaka alam untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan suaka
alam; dan 2. penggunaan kawasan suaka alam dapat dilakukan tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan suaka alam. c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan suaka alam; dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian lingkungan hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%,
dan KDH ≥ 90%. b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam suaka alam antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen yang tidak merusak lingkungan, dan
penyediaan prasarana lain penunjang kegiatan. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan suaka alam yang mengalami penurunan fungsi maka
dapat dilakukan rehabilitasi suaka alam melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan
teknis konservasi tanah; 2. rehabilitasi suaka alam dilaksanakan berdasarakan kondisi spesifik
biofisik; dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi suaka alam diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
Pasal 99
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf d merupakan
kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas, kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan ditetapkan dengan kriteria sebagai hasil budaya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
2. penggunaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan taman cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
72
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan
kelestarian lingkungan hidup. (3) Ketentuan teknis pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan
≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%. b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam cagar budaya dan ilmu pengetahuan antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen yang tidak merusak
lingkungan, dan penyediaan prasarana lain penunjang kegiatan. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang mengalami penurunan fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi cagar budaya dan ilmu pengetahuan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan,
pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah; 2. rehabilitasi cagar budaya dan ilmu pengetahuan dilaksanakan
berdasarakan kondisi spesifik biofisik; dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi cagar budaya dan ilmu pengetahuan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam
rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
Pasal 100
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf f meliputi:
a. kawasan rawan bencana banjir; b. kawasan rawan bencana tanah longsor; dan
c. kawasan rawan bencana gempa bumi;
Pasal 101
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana banjir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a memiliki karakter banjir tahunan yang disebabkan oleh sedimentasi wilayah sungai taramah ipuh.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan rawan bencana banjir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan
2. bangunan pendukung prasarana wilayah. b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. peternakan dan perikanan; 2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan
dengan intensitas rendah; dan
3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan bencana banjir.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi: 1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan 2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman
tahunan.
73
(3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai
ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan
prasarana kegiatan penunjang hutan, perkebunan dan pertanian tanaman pangan;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana banjir yang mengalami penurunan fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi,
pembuatan jalur hijau, dan pemeliharaan; dan 2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana banjir diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
Pasal 102
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tanah
longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b memiliki
karakter kawasan yang potensial terjadinya perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan 2. bangunan pendukung prasarana wilayah.
b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. peternakan dan perikanan; 2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan
dengan intensitas rendah; dan 3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan bencana
tanah longsor. c. Kegiatan yang dilarang meliputi:
1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan
2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana
tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana kegiatan penunjang hutan, perkebunan dan pertanian
tanaman pangan; c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana tanah longsor yang mengalami
penurunan fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan;
2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana tanah longsor diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif; dan
74
3. reklamasi pada kawasan hutan bekas area tambang wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan
tahapan kegiatan pertambangan.
Pasal 103
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana gempa
bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c memiliki karakter kawasan yang berpotensi tinggi mengalami bencana gempa bumi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan rawan gempa bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan 2. bangunan pendukung prasarana wilayah.
b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. peternakan dan perikanan; 2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan
dengan intensitas rendah; dan 3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan
bencana gempa bumi.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi: 1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan 2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman
tahunan. (3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana gempa bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana
gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai
ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa jalur evakuasi dan tempat
perlindungan; c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana gempa bumi yang mengalami penurunan fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan; dan
2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana gempa bumi diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
Pasal 104
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf a memiliki karakter sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
hutan. (2) Ketentuan zonasi pada kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan
bukan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan kayu. 2. hutan produksi yang berada di hutan lindung boleh diusahakan tapi
harus ada kejelasan deliniasi kawasan hutan produksi dan izin untuk melakukan kegiatan;
75
3. pemanfaatan hutan produksi yang menebang tanaman/pohon diwajibkan untuk melakukan penanaman kembali sebagai salah
satu langkah konservasi; 4. kegiatan budidaya yang diperkenankan pada kawasan hutan
produksi adalah kegiatan yang tidak mengolah tanah secara intensif atau merubah bentang alam yang dapat menjadi penyebab bencana alam; dan
5. kegiatan budidaya di hutan produksi diperbolehkan dengan syarat kelestarian sumber air dan kekayaan hayati di dalam kawasan hutan produksi dipertahankan.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan
hasil hutan; dan 2. pemanfaatan hasil hutan hanya untuk menjaga kestabilan neraca
sumber daya kehutanan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. dilarang apabila kegiatan yang ada di hutan produksi tidak
menjamin keberlangsungan kehidupan di daerah bawahnya atau merusak ekosistem yang dilindungi;
2. siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/
jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan;
3. tidak diperbolehkan adanya perbuatan hukum yang potensial
merusak kelestarian hayati seperti pewarisan untuk permukiman, atau jual beli pada pihak yang ingin mengolah tanah secara intensif
atau membangun bangunan fisik; 4. pembatasan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan hutan
produksi; dan
5. kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tanpa ada izin dari pihak terkait.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. intensitas KDB yang diijinkan 5%, KLB 5%, dan KDH 95%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa pembangunan infrastruktur yang menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan.
c. ketentuan lain-lain, meliputi:
1. hutan produksi di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat (hutan rakyat) dapat diberikan Hak Pakai atau Hak
Milik sesuai dengan syarat subyek sebagai pemegang hak; 2. apabila kriteria kawasan berubah fungsinya menjadi hutan lindung,
pemanfaatannya disesuaikan dengan lebih mengutamakan upaya
konservasi, misal: kawasan hutan produksi dengan tebang pilih; 3. diadakan penertiban penguasaan dan pemilikan tanah serta
pembinaan dan pemanfaatannya yang seimbangn anatara
kepentingan KPH dengan masyarakat setempat bagi kawasan yang fisiknya berupa hutan rakyat, tegalan, atau penggunaan non hutan
dan sudah menjadi lahan garapan masyarakat.
Pasal 105
Karakteristik kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf b meliputi:
a. pertanian tanaman pangan; b. hortikultura;
c. perkebunan; dan d. peternakan.
76
Pasal 106
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf a
memiliki karakter bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian tanaman pangan.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kawasan terbangun baik permukiman, maupun fasilitas sosial
ekonomi, diutamakan pada lahan pertanian tanah kering; 2. bangunan prasarana penunjang pertanian pada lahan pertanian
beririgasi; dan 3. prasarana penunjang pembangunan ekonomi wilayah.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan wisata alam berbasis ekowisata; 2. pembuatan bangunan penunjang pertanian, penelitian dan
pendidikan; dan 3. permukiman petani pemilik lahan yang berdekatan dengan
permukiman lainnya.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi: 1. pengembangan kawasan terbangun pada lahan basah beririgasi; 2. lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak boleh dialihfungsikan
selain untuk pertanian tanaman pangan; dan 3. kegiatan sebagai kawasan terbangun maupun tidak terbangun yang
memutus jaringan irigasi. (3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan diijinkan maksimum 30% di perkotaan dan di kawasan pedesaan maksimum 20% terutama di ruas jalan utama sesuai dengan rencana detail tata ruang;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pemanfaatan untuk pembangunan infrastruktur penunjang kegiatan pertanian (irigasi); dan
c. ketentuan lain-lain meliputi perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi dari pertanian ke non pertanian wajib diikuti oleh penyediaan lahan pertanian beririgasi di tempat yang lain melalui perluasan
jaringan irigasi.
Pasal 107
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan hortikultura
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf b memiliki karakter bidang lahan yang digunakan untuk usaha hortikultura.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kawasan terbangun baik permukiman, maupun fasilitas sosial ekonomi, diutamakan pada lahan pertanian tanah kering;
2. bangunan prasarana penunjang hortikultura yang beririgasi; dan
3. prasarana penunjang pembangunan ekonomi wilayah. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan wisata alam berbasis ekowisata; 2. pembuatan bangunan penunjang pertanian, penelitian dan
pendidikan; dan
77
3. permukiman petani pemilik lahan yang berdekatan dengan permukiman lainnya.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi: 1. pengembangan kawasan terbangun pada lahan hortikultura yang
produktivitasnya tinggi; 2. kegiatan sebagai kawasan terbangun maupun tidak terbangun yang
memutus jaringan irigasi; dan
3. kegiatan yang memiliki potensi pencemaran. (3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas alih fungsi lahan hortikultura diijinkan maksimum 20% baik di perkotaan maupun di perdesaan terutama di ruas jalan utama sesuai
dengan rencana detail tata ruang; b. prasarana dan sarana minimum berupa pemanfaatan untuk
pembangunan infrastruktur penunjang hortikultura (irigasi); dan
c. ketentuan lain-lain meliputi perubahan penggunaan lahan hortikultura untuk kegiatan yang lain diijinkan selama tidak mengganggu produk
unggulan daerah dan merusak lingkungan hidup.
Pasal 108
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf c memiliki karakter segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan
masyarakat. (2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. kawasan terbangun baik permukiman, maupun fasilitas sosial
ekonomi yang menunjang pengembangan perkebunan; 2. industri penunjang perkebunan; dan 3. prasarana penunjang pembangunan ekonomi wilayah.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. kegiatan wisata alam berbasis ekowisata;
2. pengembangan pertanian dan peternakan secara terpadu dengan perkebunan sebagai satu system pertanian progresif;
3. pembuatan bangunan penunjang pertanian, penelitian dan
pendidikan; dan 4. permukiman petani pemilik lahan yang berada di dalam kawasan
perkebunan.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi: 1. pengembangan kawasan terbangun pada lahan yang ditetapkan
sebagai lahan perkebunan yang produktivitasnya tinggi; dan 2. kegiatan yang memiliki potensi pencemaran.
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. intensitas alih fungsi lahan perkebunan diijinkan maksimum 5% dari
luasa lahan perkebunan dengan ketentuan KDB 30%, KLB 0,3, KDH 0,5 sesuai dengan rencana detail tata ruang;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pemanfaatan untuk
pembangunan infrastruktur penunjang perkebunan; dan
78
c. ketentuan lain-lain meliputi perubahan penggunaan lahan perkebunan untuk kegiatan yang lain diijinkan selama tidak mengganggu produksi
perkebunan dan merusak lingkungan hidup.
Pasal 109
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan peternakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 huruf d memiliki karakter bidang lahan yang digunakan untuk usaha peternakan yang menyatu dengan permukiman masyarakat.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 110
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan
sebagaimana dimaksud pada pasal 90 ayat (3) huruf c merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan terhadap kawasan – kawasan yang menjadi sentra produksi perikanan.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. sarana dan prasarana pendukung budidaya ikan dan kegiatan perikanan lainnya;
2. kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana; dan
3. kegiatan penunjang minapolitan.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. kegiatan wisata alam, penelitian dan pendidikan secara terbatas; 2. permukiman, fasilitas sosial dan ekonomi secara terbatas;
3. bangunan pendukung pemijahan, pemeliharaan dan pengolahan perikanan; dan
4. permukiman petani atau nelayan dengan kepadatan rendah. c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. permukiman, fasilitas sosial dan ekonomi dan industri yang
berdampak negatif terhadap perikanan; dan 2. kegiatan yang memiliki dampak langsung atau tidak terhadap
budidaya perikanan. (3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas KDB yang diijinkan 30%, KLB 0,3%, dan KDH 50%; b. prasarana dan sarana minimum berupa sarana dan prasarana
pendukung budidaya ikan dan kegiatan lainnya.
c. ketentuan lain-lain meliputi: 1. perlu pemeliharaan air untuk menjaga kelangsungan usaha
pengembangan perikanan; dan 2. untuk perairan umum perlu diatur jenis dan alat tangkapnya untuk
menjaga kelestarian sumber hayati perikanan.
79
Pasal 111
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf d merupakan
upaya mempertahankan keberlanjutan kelestarian lingkungan kawasan pertambangan baik ketika masih dilakukan penambangan maupun pasca kegiatan penambangan.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian, perkebunan, dan peternakan; 2. bangunan penunjang pengolahan pertambangan; dan
3. pendidikan, penelitian, dan pariwisata penambangan. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. permukiman penunjang pertambangan;
2. industri pengolah hasil tambang; 3. penambangan dalam skala besar pada kawasan budidaya dan/atau
lindung secara terbuka. c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. permukiman yang tidak berhubungan dengan kegiatan
pertambangan; 2. industri yang tidak berhubungan dengan kegiatan pertambangan;
dan
3. penambangan secara terbuka pada kawasan lindung dan/atau pada kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
(4) Ketentuan teknis kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Kawasan terbangun pada kawasan pertambangan dengan intensitas
KDB yang diijinkan 50%, KLB 0,5 dan KDH 25%. b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan penunjang
pertambangan, fasilitas pengangkutan dan penunjangnya, pos
pengawasan dan kantor pengelola, balai penelitian. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan;
2. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona peruntukan yang ditetapkan;
3. pemanfaatan lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal pada area bekas penambangan; dan
4. pengelolaan limbah hasil penambangan untuk menjaga keberlanjutan
ekosistem pada kawasan sekitarnya.
Pasal 112
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf e merupakan upaya mempertahankan keberlanjutan industri sebagai penggerak perekonomian masyarakat serta keberlanjutan kelestarian lingkungan di sekitar kawasan
industri. (2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. permukiman, fasilitas umum penunjang industri;
2. prasarana penunjang industri; dan
80
3. RTH dengan kerapatan tinggi, bertajuk lebar, berdaun lebat di sekeliling kawasan peruntukan industri.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. fasilitas umum dan ekonomi penunjang permukiman pada kawasan
peruntukan industri; 2. penyediaan ruang khusus pada sekitar kawasan industri terkait
dengan permukiman dan fasilitas umum yang ada; dan
3. prasarana penghubung antar wilayah yang tidak berkaitan dengan kawasan peruntukan industri.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. untuk kegiatan atau bangunan baru yang tidak serasi dengan kegiatan industri; dan
2. pemanfaatan lahan untuk fungsi-fungsi yang berdampak negatif terhadap perkembangan industri.
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. intensitas pemanfaatan permukiman, perdagangan, dan jasa serta
fasilitas umum KDB yang diijinkan 50%, KLB 50% dan KDH 25%. b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan produksi/
pengolahan dan penunjang, fasilitas pengangkutan dan penunjangnya,
pos pengawasan dan kantor pengelola. c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau
(greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah;
2. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas; dan
3. setiap kegiatan industri harus menyediakan kebutuhan air baku untuk kegiatan industri tanpa menggunakan sumber utama dari air tanah.
Pasal 113
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf f merupakan
kawasan untuk berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. jenis bangunan yang diijinkan adalah gardu pandang, restoran dan
fasilitas penunjang lainnya, fasilitas rekreasi,olahraga, tempat
pertunjukan, pasar dan pertokoan wisata, serta fasilitas parkir, fasilitas pertemuan, hotel, cottage, kantor pengelola dan pusat
informasi serta bangunan lainnya yang dapat mendukung upaya pengembangan wisata yang ramah lingkungan, disesuaikan dengan karakter dan lokasi wisata yang akan dikembangkan; dan
2. kunjungan atau pelancongan, olahraga dan rekreasi, pertunjukan dan hiburan, komersial, menginap/bermalam, pengamatan, pemantauan,
pengawasan dan pengelolaan kawasan. b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan yang menunjang pariwisata dan kegiatan ekonomi yang
lainnya secara bersinergis;
81
2. penyediaaan sarana dan prasarana penghubung antar wilayah; dan 3. bangunan penunjang pendidikan dan penelitian;
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. bangunan yang tidak berhubungan dengan pariwisata; dan
2. industri dan pertambangan yang berpotensi yang mencemari lingkungan;
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi: a. intensitas pengembangan kawasan terbangun KDB 30%, KLB 0,6, dan
KDH 40%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan yang dapat mendukung upaya pengembangan wisata yang ramah lingkungan
disesuaikan dengan karakter dan lokasi wisata yang akan dikembangkan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. mempertahankan keaslian dan keunikan pariwisata; 2. pelestarian lingkungan hidup pada kawasan pariwisata;
3. peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata; dan
4. peningkatan pelayanan jasa dan industri pariwisata.
Pasal 114
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf g memiliki karakter
sebagai kawasan yang berada di luar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung peri kehidupan dan penghidupan. (2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan permukiman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi: 1. Ruang Terbuka Hijau;
2. Sarana dan prasarana permukiman; 3. Kegiatan industri kecil; dan 4. Fasilitas sosial ekonomi yang merupakan bagian dari permukiman.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi: 1. perubahan fungsi bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan
konservasi tanpa merubah bentuk aslinya; 2. fasilitas umum skala menengah sebagai pusat pelayanan perkotaan
maupun perdesaan;
3. industry menengah dengan syarat mempunyai badan pengolah limbah, prasaran pengunjang dan permukiman untuk buruh industri; dan
4. pariwisata budaya maupun buatan yang bersinergis dengan kawasan permukiman.
c. kegiatan yang dilarang meliputi: 1. kegiatan yang mempunyai intensitas besar yang mengganggu fungsi
kawasan permukiman;
2. industri yang berpotensi mencemari lingkungan; 3. prasarana wilayah yang mengganggu kehidupan di kawasan
permukiman antara lain berupa : pengolah limbah dan TPA; 4. pengembangan kawasan permukiman yang bisa menyebabkan alih
fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan kawasan lindung.
82
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas pengembangan perdagangan dan jasa serta fasilitas umum mengikuti ketentuan Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan dan
Perdesaan; b. Penyediaan prasarana dan sarana permukiman dan sarana
penunjangnya sesuai dengan daya dukung penduduk yang dilayani;
c. Penyediaan RTH secara proporsional dengan fungsi kawasan setidaknya 30% dari kawasan peruntukan permukiman; dan
d. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan permukiman yang mempunyai kepadatan tinggi dan cenderung kumuh diperlukan perbaikan lingkungan permukiman
secara partisipatif; 2. mempertahankan kawasan permukiman yang ditetapkan sebagai
cagar budaya;
3. pengembangan permukiman produktif tanpa harus mengganggu lingkungan sekitarnya;
4. permukiman yang terletak pada kawasan rawan bencana, kawasan perlindungan setempat, hutan lindung maupun fungsi lindung lainnya harus memperhatikan kaidah keberlanjutan permukiman;
dan 5. pada setiap kavling kawasan terbangun dalam kawasan
permukiman harus menyediakan RTH setidaknya 10% dari luas
kavling yang dimiliki.
Pasal 115
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf h berupa kawasan yang digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan yang berada pada kawasan perkotaan dan perdesaan; dan
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan rencana detail
tata ruang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan
Paragraf 1 Umum
Pasal 116
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan
ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Pasal 117
(1) Izin pemanfaatan ruang diberikan untuk: a. Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang,
peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan
c. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.
83
(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona
berdasarkan rencana tata ruang; (3) Dalam proses perolehan izin pemanfaatan ruang dapat dikenakan
retribusi; (4) Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan biaya untuk
administrasi perizinan.
Paragraf 2
Jenis Izin Pemanfaatan Ruang
Pasal 118
(1) Izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3)
dapat berupa:
a. izin prinsip; b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah; d. izin mendirikan bangunan; dan e. izin lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang untuk kegiatan pemanfaatan sumber daya alam diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 119
(1) Izin prinsip dan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a dan b diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten;
(2) Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c diberikan berdasarkan izin lokasi;
(3) Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat
(1) huruf d diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi;
Pasal 120
Pemberian izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 119 disertai dengan persyaratan teknis dan persyaratan administratif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Prosedur Pemberian Izin
Pasal 121
(1) Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada rencana tata ruang dan/atau peraturan zonasi.
(2) Pemberian izin dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan kewenangan dan kepentingan berbagai instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pemberian izin pemanfaatan ruang diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
84
Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 122
(1) Ketentuan Insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
huruf c merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian
insentif dan pengenaan disinsentif. (2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata
ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 123
(1) Insentif yang diberikan terhadap pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2)
terdiri atas: a. Insentif yang diberikan Pemerintah kabupaten kepada masyarakat
dalam pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang;
b. Insentif yang diberikan Pemerintah Kabupaten kepada pengusaha dan swasta dalam pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang; dan
c. Insentif yang diberikan pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa dalam wilayah Kabupaten, atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya
dalam pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. (2) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam bentuk:
a. Keringanan biaya sertifikasi tanah; b. Pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan c. Pemberian penghargaan.
(3) Insentif yang diberikan kepada pengusaha dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk:
a. Kemudahan prosedur perizinan; b. Kompensasi c. Subsidi silang;
d. Imbalan; e. Sewa ruang;Kontribusi saham; dan
f. Pemberian penghargaan. (4) Insentif yang diberikan kepada Pemerintah Desa atau pemerintah
Kabupaten lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
diberikan dalam bentuk pemberian penghargaan.
Pasal 124
(1) Disinsentif yang dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 122 ayat (3) terdiri atas: a. Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta
dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
b. Disinsentif yang dikenakan pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa dalam wilayah Kabupaten, atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya dalam pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
85
(2) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Pengenaan pajak yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang; b. Pembatasan penyediaan infrastruktur; c. Penghentian izin; dan
d. Penalti. (3) Disinsentif yang dikenakan kepada Pemerintah Desa dalam wilayah
Kabupaten, atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa teguran tertulis.
Pasal 125
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi
berwenang; dan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan
pengenaan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Sanksi
Paragraf 1
Umum Pasal 126
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang
dikenakan sanksi administratif.
(2) Pelanggaran di bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
b. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang;
c. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
d. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai milik umum. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang;
i. dan/atau denda administratif.
Pasal 127
(1) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf a meliputi: a. memanfaatkan ruang dengan izin pemanfaatan ruang di lokasi yang
tidak sesuai dengan peruntukkannya;
86
b. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang sesuai peruntukannya; dan/atau
c. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang tidak sesuai peruntukannya.
(2) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf b meliputi:
a. tidak menindaklanjuti izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan; dan/atau
b. memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang tercantum
dalam izin pemanfaatan ruang. (3) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf c meliputi: a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;
b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan; c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan dan koefisien dasar
hijau; d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan; e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan;
dan/atau f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan
persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.
(4) Menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-undangan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 126 ayat (2) huruf d meliputi: a. menutup akses ke pesisir sungai, danau, waduk, dan sumber daya alam
serta prasarana publik;
b. menutup akses terhadap sumber air; c. menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau; d. menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;
e. menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan/atau f. menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Paragraf 2 Kriteria dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 128
Sanksi administratif terhadap pelanggaran penataan ruang dikenakan berdasarkan kriteria:
a. besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang;
b. nilai manfaat pemberian sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran
penataan ruang; dan/atau c. kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang.
Pasal 129
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf
a dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari pejabat yang berwenang.
(2) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. rincian pelanggaran dalam penataan ruang;
87
b kewajiban untuk menyesuaikan kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang; dan
c tindakan pengenaan sanksi yang akan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan berupa pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf b sampai dengan huruf i sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 130
(1) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf b dilakukan melalui tahapan: a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 129; b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan
penghentian sementara kegiatan pemanfaatan ruang; c. berdasarkan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
pejabat yang berwenang melakukan penghentian sementara kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan
d. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b. (2) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 126 ayat (3) huruf c dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan penghentian sementara pelayanan umum dengan memuat penjelasan
dan rincian jenis pelayanan umum yang akan dihentikan sementara; c. berdasarkan surat keputusan penghentian sementara pelayanan umum
sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang
menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan sementara pelayanan kepada orang yang melakukan
pelanggaran; dan d. setelah pelayanan umum dihentikan kepada orang yang melakukan
pelanggaran, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan untuk
memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada orang yang melakukan pelanggaran tersebut sampai dengan terpenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b.
(3) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf d dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan Pasal 129;
b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan penutupan lokasi;
c. berdasarkan surat keputusan penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penutupan lokasi
88
dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan
d. setelah dilakukan penutupan lokasi, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak
dibuka kembali sampai dengan orang yang melakukan pelanggaran memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b.
(4) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf e dilakukan melalui tahapan: a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai
ketentuan Pasal 129; b. apabila surat peringatan tertulis sebagamana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang mencabut izin menerbitkan surat keputusan pencabutan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pencabutan izin sebagaimana dimaksud
pada huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang melakukan pelanggaran mengenai status izin yang telah dicabut
sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang yang telah dicabut izinnya; dan
d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf f dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan Pasal 129;
b. apabila surat peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan pembatalan izin, menerbitkan surat keputusan pembatalan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pembatalan izin sebagaimana dimaksud
pada huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang melakukan pelanggaran mengenai status izin yang telah
dibatalkan sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang yang telah dibatalkan izinnya; dan
d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (6) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3)
huruf g dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a
diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembongkaran bangunan; dan
c. berdasarkan surat keputusan pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf h dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan Pasal 129;
89
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah
pemulihan fungsi ruang; c. berdasarkan surat perintah sebagaimana dimaksud pada huruf b,
pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang melakukan pelanggaran mengenai ketentuan pemulihan fungsi ruang dan cara pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan dalam
jangka waktu tertentu; d. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan
pemulihan fungsi ruang; dan
e. apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak dapat dipenuhi orang yang melakukan pelanggaran, pejabat yang berwenang
melakukan tindakan pemulihan fungsi ruang secara paksa.
Pasal 131
Apabila orang yang melakukan pelanggaran dinilai tidak mampu membiayai
kegiatan pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (7) huruf c, pemerintah daerah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah daerah atas beban orang yang
melakukan pelanggaran tersebut di kemudian hari.
Pasal 132
Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf i
dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131.
Bagian Keenam
Penegakkan Peraturan Daerah
Pasal 133
Penegakan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan kewenangannya,
berkoordinasi dengan Kepolisian, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 134
Dalam penataan ruang wilayah, setiap masyarakat berhak: a. mengetahui rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul; d. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; e. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang ijin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian; dan
90
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 135
Dalam pemanfaatan ruang wilayah, setiap orang wajib: a. menaati RTRW Kabupaten dan penjabarannya yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang yang diperoleh; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan
ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 136
(1) Pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 huruf d, adalah
untuk kawasan milik umum, yang aksesibilitasnya memenuhi syarat:
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
(2) Kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang
terbuka publik dan fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku.
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 137
(1) Peran masyarakat dalam penataan ruang meliputi:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. masukan mengenai : 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang. b. kerjasama pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam perencanaan tata ruang. (3) Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerjasama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
91
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan
memperhatikan karifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat meliputi: a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif fan disinsentif serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana
tata ruang yang telah ditetapkan;
c. pelaporan terhadap instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menentukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan
pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan
d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 138
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah daerah membangun sistem informasi dan komunikasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat
Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan peran masyarakat dalam penataan ruang di daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
KELEMBAGAAN
Pasal 140
(1) Dalam rangka koordinasi penyelenggaraan penataan ruang di daerah,
dibentuk BKPRD.
(2) Pembentukan BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(3) BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi penataan ruang, meliputi pembinaan penataan ruang, pelaksanaan penataan ruang dan pengawasan penataan ruang di
kabupaten.
92
BAB X KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 141
(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Merangin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 diberi wewenang untuk
melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan ketentuan dalam peraturan daerah ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalaha :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang agar
keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas. b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatann yang dilakukan
sehubungan dengan bidang penataan ruang. c. meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang. d. memeriksa buku catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang penataan ruang.
e. melakukan penggeledahan umtuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang.
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaiman
dimaksud pada huruf e. h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidanan di bidang
penataan ruang.
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
j. menghentikan penyidikan, dan k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidanan di bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 142
(1) Setiap pejabat yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
93
BAB XI KETENTUAN LAIN LAIN
Pasal 143
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin adalah
20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan
bencana alam skala besar, perubahan batas teritorial Negara, dan/atau
perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin dapat ditinjau kembali
lebih dari 1(satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan
apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang
mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten;
Pasal 144
(1) Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merangin tahun 2014-2034 dilengkapi dengan Materi Teknis dan Album Peta yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini;
(2) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum
ditetapkan pada saat Peraturan Daerah ini diundangkan, maka Materi Tekhnis dan Album Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan yang telah ditetapkan
bersama Menteri Kehutanan merupakan bagian dan terintegrasi dari Peraturan Daerah ini.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 145
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah
ada dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. ijin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. ijin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, ijin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai ijin terkait habis masa
berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
94
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, ijin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan.
c. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa ijin dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan
dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
BAB XIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 146
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten
Merangin Nomor 04 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 147
95
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Merangin.
Ditetapkan di Bangko
pada tanggal 07 Februari 2014
BUPATI MERANGIN,
AL HARIS
Diundangkan di Bangko Pada Tanggal 08 Februari 2014
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MERANGIN
SIBAWAIHI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN TAHUN 2014 NOMOR 04
96
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN
NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MERANGIN TAHUN 2014–2034
I. UMUM
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa penataan ruang wilayah Nasional,
wilayah Provinsi, wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Penataan ruang dimaksud, disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai
batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Kabupaten Merangin merupakan satu kesatuan ruang dengan cakupan
luasan sebesar 767.900 Hektar atau 7.679 Km2 yang secara administratif terbagi atas 24 Kecamatan yang terdiri atas komponen ruang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri atas
kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; kawasan perlindungan setempat; kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; dan kawasan rawan bencana alam. Kawasan budidaya
terdiri atas kawasan hutan produksi; kawasan pertanian; kawasan perkebunan; kawasan perikanan; kawasan pertambangan; kawasan
industri; kawasan pariwisata; kawasan permukiman; dan kawasan peruntukan lainnya.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan, ruang wilayah Kabupaten
Merangin perlu dikelola, dimanfaatkan dan dilindungi untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Ruang dalam arti wadah kehidupan manusia yang meliputi tanah, air dan ruang
angkasa beserta sumber alam yang terkandung di dalamnya sebagai satu kesatuan, ketersediaannya bukan tak terbatas, baik dalam pengertian
mutlak maupun dalam pengertian nisbi, sehingga kegiatan budidaya untuk pemanfataannya yang tak terkendali akan menyebabkan rusaknya lingkungan ruang itu sendiri yang pada akhirnya dapat berakibat
malapetaka bagi penghuninya.
Pada dasarnya ruang mempunyai sifat hubungan komplementer dengan
kegiatan manusia, baik kehidupan sehari-hari maupun kegiatan-kegiatan usaha. Semua kegiatan manusia membutuhkan ruang dan terkait dengan pengembangan wilayah melalui lokasi dan besaran kegiatan tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa suatu ruang tertentu pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk menampung berbagai kegiatan, demikian juga suatu kegiatan tertentu dapat berlokasi pada beberapa alternatif ruang.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka penataan ruang merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, dan oleh karena itu perlu adanya
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin yang mengatur semua rencana dan kegiatan pemanfaatannya agar dapat dilakukan secara optimal dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan, keterpaduan,
ketertiban, kelestarian dan dapat dipertahankan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Bahwa perkembangan pembangunan di Kabupaten Merangin yang berkaitan dengan pembangunan sektor-sektor ekonomi disatu sisi berjalan
97
sangat cepat yang berakibat terjadinya tekanan-tekanan terhadap lingkungan fisik, sebaliknya pada sisi yang lain sangat dibutuhkan upaya-
upaya untuk mencegah atau mengatasi tekanan atau ancaman dari kegiatan tersebut agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
kelestarian lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial-budaya. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah melakukan kegiatan penataan ruang yang meliputi proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam lingkup Wilayah Kabupaten Merangin, yang perencanannya dituangkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan selanjutnya ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin 2014 – 2034 ini
dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang. RTRW Kabupaten Merangin yang bersifat umum disusun berdasarkan pendekatan wilayah administratif kabupaten dengan muatan substansi
meliputi rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. RTRW juga disusun berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan/atau
kegiatan kawasan dengan muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan ketentuan umum zonasi peruntukan. Penetapan ketentuan umum zonasi tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana
umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan indikasi arahan peraturan zonasi. Ketentuan umum peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap zona peruntukan.
Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula melalui
perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang
harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana,
dan/atau sanksi perdata sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah
daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan.
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang
tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti. Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu
upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan ketentuan umum peraturan zonasi.
Dalam Peraturan Daerah ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan
pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah
98
yang berwenang yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Sesuai dengan hal-hal tersebut, maka untuk mencapai tujuan pemanfaatan ruang wilayah secara optimal, serasi, seimbang dan lestari
diperlukan tindak penetapan fungsi ruang yang jelas, tegas dan menyeluruh serta memberikan kepastian hukum bagi upaya perencanaan dan pemanfaatan ruang serta pengendalian dan pengawasan
pembangunan, melalui penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merangin.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2
Cukup jelas Pasal 3
Cukup jelas Pasal 4
Cukup jelas Pasal 5
Cukup jelas Pasal 6
Cukup jelas Pasal 7
Cukup Jelas Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9 Cukup jelas
Pasal 10 Cukup jelas
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12 Cukup jelas
Pasal 13 Cukup jelas
Pasal 14 Cukup jelas
Pasal 15 Cukup jelas
Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20 Cukup Jelas
Pasal 21 Cukup jelas
Pasal 22 Cukup jelas
Pasal 23
99
Cukup jelas Pasal 24
Cukup jelas Pasal 25
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas Pasal 27
Cukup jelas Pasal 28
Cukup jelas Pasal 29
Cukup jelas Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31 Cukup jelas
Pasal 32 Cukup jelas
Pasal 33 Cukup jelas
Pasal 34 Cukup jelas
Pasal 35 Cukup jelas
Pasal 36 Cukup jelas
Pasal 37 Cukup jelas
Pasal 38 Cukup jelas
Pasal 39 Cukup jelas
Pasal 40 Cukup jelas
Pasal 41 Cukup jelas
Pasal 42 Cukup jelas
Pasal 43 Cukup jelas
Pasal 44 Cukup jelas
Pasal 45 Cukup jelas
Pasal 46 Cukup jelas
Pasal 47 Cukup jelas
Pasal 48 Cukup jelas
Pasal 49 Cukup jelas
Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51 Cukup jelas
Pasal 52 Cukup jelas
Pasal 53
100
Cukup jelas Pasal 54
Cukup jelas Pasal 55
Cukup jelas Pasal 56
Cukup jelas Pasal 57
Cukup jelas Pasal 58
Cukup jelas Pasal 59
Cukup jelas Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61 Cukup jelas
Pasal 62 Cukup jelas
Pasal 63 Cukup jelas
Pasal 64 Cukup jelas
Pasal 65 Cukup jelas
Pasal 66 Cukup jelas
Pasal 67 Cukup jelas
Pasal 68 Cukup jelas
Pasal 69 Cukup jelas
Pasal 70 Cukup jelas
Pasal 71 Cukup jelas
Pasal 72 Cukup jelas
Pasal 73 Cukup jelas
Pasal 74 Cukup jelas
Pasal 75 Cukup jelas
Pasal 76 Cukup jelas
Pasal 77 Cukup jelas
Pasal 78 Cukup jelas
Pasal 79 Cukup jelas
Pasal 80 Cukup jelas
Pasal 81 Cukup jelas
Pasal 82 Cukup jelas
Pasal 83
101
Cukup jelas Pasal 84
Cukup jelas Pasal 85
Cukup jelas Pasal 86
Cukup jelas Pasal 87
Cukup jelas Pasal 88
Cukup jelas Pasal 89
Cukup jelas Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91 Cukup jelas
Pasal 92 Cukup jelas
Pasal 93 Cukup jelas
Pasal 94 Cukup jelas
Pasal 95 cukup jelas
Pasal 96 Cukup jelas
Pasal 97 Cukup jelas
Pasal 98 Cukup jelas
Pasal 99 Cukup jelas
Pasal 100 Cukup jelas
Pasal 101 Cukup jelas
Pasal 102 Cukup jelas
Pasal 103 Cukup jelas
Pasal 104 Cukup jelas
Pasal 105 Cukup jelas
Pasal 106 Cukup jelas
Pasal 107 Cukup jelas
Pasal 108 Cukup jelas
Pasal 109 Cukup jelas
Pasal 110 Cukup jelas
Pasal 111 Cukup jelas
Pasal 112 Cukup jelas
Pasal 113
102
Cukup jelas Pasal 114
Cukup jelas Pasal 115
Cukup jelas Pasal 116
Cukup jelas Pasal 117
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4)
Retribusi dalam perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk membiayai administrasi perizinan pemanfaatan ruang, dan oleh karena itu penarikan retribusi izin pemanfaatan ruang tidak dimaksudkan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Dengan demikian pemerintah daerah tidak perlu menetapkan target pendapatan asli daerah dari retribusi perizinan pemanfaatan ruang.
Pasal 118
Ayat (1) huruf a
Yang dimaksud dengan “izin prinsip” adalah surat izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan atau beroperasi. Izin prinsip merupakan pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek teknis, politis, dan sosial budaya sebagai dasar dalam pemberian izin lokasi. Izin prinsip dapat berupa Surat Penunjukan Penggunaan Lahan (SPPL).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “izin lokasi” adalah izin yang diberikan kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang diperlukan dalam rangka melakukan aktivitasnya. Izin lokasi merupakan dasar untuk melakukan pembebasan lahan dalam rangka pemanfaatan ruang. Izin lokasi diberikan berdasarkan izin prinsip apabila berdasarkan peraturan daerah yang berlaku diperlukan izin prinsip.
Huruf c Izin penggunaan pemanfaatan tanah merupakan dasar untuk permohonan mendirikan bangunan.
Huruf d Izin mendirikan bangunan merupakan dasar dalam
103
mendirikan bangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.
Huruf e Cukup jelas
Ayat (2) Sumber daya alam dimaksud meliputi sumber daya alam di darat dan di udara. Termasuk dalam sumber daya alam di darat antara lain sumber daya hutan dan sumber daya mineral.
Pasal 119 Ayat (1)
Izin prinsip belum dapat dijadikan dasar untuk
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang. Izin lokasi diperlukan untuk pemanfaatan ruang lebih dari 1 (satu) hektar untuk kegiatan bukan pertanian dan lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar untuk kegiatan pertanian.
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Izin mendirikan bangunan diberikan berdasarkan Peraturan Zonasi sebagai dasar bagi pemegang izin untuk mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan dalam rencana teknis bangunan dan gedung yang telah disetujui oleh Pemerintah daerah.
Pasal 120 Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah ketentuan tentang perizinan yang diterbitkan oleh masing-masing sektor dan/atau instansi yang berwenang, misalnya ketentuan izin lokasi untuk kegiatan pembangunan perumahan skala besar harus sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 121 Cukup jelas.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Cukup jelas.
Pasal 124 Cukup jelas.
Pasal 125 Cukup jelas
Pasal 126 Cukup jelas.
Pasal 127 Cukup jelas.
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Ayat (1)
Cukup jelas
104
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali, yang masing-masing diterbitkan dalam rentang waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup Jelas Pasal 130
Cukup jelas. Pasal 131
Cukup jelas. Pasal 132
Cukup jelas. Pasal 133
Cukup jelas. Pasal 134
Cukup jelas. Pasal 135
Cukup jelas. Pasal 136
Cukup jelas. Pasal 137
Cukup jelas. Pasal 138
Cukup jelas Pasal 139
Cukup jelas. Pasal 140
Cukup jelas. Pasal 141
Cukup jelas. Pasal 142
Cukup jelas. Pasal 143
Cukup jelas. Pasal 144
Cukup jelas. Pasal 145
Cukup jelas. Pasal 146
Cukup jelas. Pasal 147
Cukup jelas.