Sinopsis Kebebasan Berpikir Kian Terancam · Maftuh Basyuni pada Seminar Internasional Is ......

13
1. Nasr Hamid Abu Zayd “Dicekal” Menteri Agama edisi Desember 2007 5 K alau peristiwa ini terjadi pada masa Orde Baru, mung- kin bisa dimaklumi. Tapi karena terjadi pada era demokrasi dimana kebebasan berpikir dan berekspre- si dijamin konstitusi, maka pelarangan seseorang berbicara sungguh sulit diterima akal sehat. Kali ini menimpa Prof. Nasr Hamid Abu Zayd. Intelektual muslim asal Mesir yang kini tinggal di Belanda dilarang menjadi pembicara atas perintah Menteri Agama (Menag) HM. Maftuh Basyuni pada Seminar Internasional Is- lam di Malang yang digelar Selasa (27/11/2007). Pelarangan itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya, Ming- gu (25/11/2007). Direktur Perguruan Tinggi Islam Departe- men Agama (Depag) Abdurahman Mas’ud beralasan, seperti dilansir the Jakarta Post (Senin, 26/11/2007), pelarangan itu karena Depag mendapat tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam. Atas pembatalan itu, mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meng- undang Abu Zayd untuk berdiskusi dan jumpa pers dengan tema Islam dan Kebebasan Berpikir di Kantor WAHID Insti- tute, Jakarta, Senin (26/11/07). Abu Zayd adalah pemikir Islam asal Mesir yang memperkenal- kan metode pengkajian al-Qur’an dengan pendekatan hermeneu- tika. Karena pemikirannya itu, Abu Zayd difatwa sesat oleh Mufti Mesir. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengaju- kan promosi untuk menjadi guru besar di Fakultas Sastra Univer- sitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan, ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusan: promosi ditolak! “Tapi kini pencekalan itu sudah dicabut. Isteri saya mengajar di Universiar Kairo Mesir,” ujarnya heran mengapa di Indonesia justeru baru sekarang dirinya dicekal, padahal di Mesir justeru sudah dicabut. Kebebasan Berpikir Kian Terancam Sinopsis M engagetkan! Di era demokrasi seperti sekarang ini masih ada pencekalan. Profesor Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir Islam asal Mesir yang sekarang menetap di Leiden Belanda, dicekal oleh Menteri Agama untuk bicara di sebuah kampus di Malang dengan alasan ada tekanan dari ormas Islam. Peristiwa ni menunjukkan, kebebasan berpikir dan berekspresi di Indonesia terancam. Eskalasi penyesatan juga kian subur, seiring terbitnya 10 kreteria sesat yang dikeluarkan MUI. Dari Bulukumba tersiar kabar baru, 20 kepala desa di Kab. Bulukumba sepakat menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Alasannya, polisi tidak mampu menyelesaikan masalah pencurian yang hampir tiap hari terjadi. Dilihat dari politik hukum pidana di Indonesia, hukum potong tangan tidak dikenal. Bila keinginan ini lolos, tentu saja akan muncul banyak masalah, baik pada tingkat politik hukum pidana maupun dari sisi potensi anarkisme hukum. Selain melaporkan peristiswa di atas, Monthly Report V the WAHID Institute kali ini juga dilengkapi tabel untuk merekam peristiwa yang terus terjadi, meliputi penyerangan dan ancaman terhadap Jemaah Ahmadiyah, penangkapan anggota al-Qiyadah al-Islamiyah di berbagai daerah, dan kasus-kasus tempat ibadah. Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari dan Nurun Nisa’ | Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected] Kontributor: Akhdiansyah - NTB, Suhendy - Jawa Barat, Nur Kholik Ridwan - Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Alamsyah M. Dja’far - Jakarta, Zainul Hamdi - Jawa Timur, Syamsul Rijal - Makassar. Kerjasama dengan TIFA Foundation Monthly Report on RELIGIOUS ISSUES

Transcript of Sinopsis Kebebasan Berpikir Kian Terancam · Maftuh Basyuni pada Seminar Internasional Is ......

1. NasrHamidAbuZayd“Dicekal”MenteriAgama

edisi

Desember 2007

5

Kalau peristiwa ini terjadi pada masa Orde Baru, mung­kin bisa dimaklumi. Tapi karena terjadi pada era demokrasi dimana kebebasan berpikir dan berekspre­

si dijamin konstitusi, maka pelarangan seseorang berbicara sungguh sulit diterima akal sehat. Kali ini menimpa Prof. Nasr Hamid Abu Zayd.

Intelektual muslim asal Mesir yang kini tinggal di Belanda dilarang menjadi pembicara atas perintah Menteri Agama (Menag) HM. Maftuh Basyuni pada Seminar Internasional Is­lam di Malang yang digelar Selasa (27/11/2007). Pelarangan itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya, Ming­gu (25/11/2007). Direktur Perguruan Tinggi Islam Departe­men Agama (Depag) Abdurahman Mas’ud beralasan, seperti dilansir the Jakarta Post (Senin, 26/11/2007), pelarangan itu karena Depag mendapat tekanan dari pihak yang menamakan diri masyarakat dan organisasi Islam. Atas pembatalan itu, mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meng­undang Abu Zayd untuk berdiskusi dan jumpa pers dengan tema Islam dan Kebebasan Berpikir di Kantor WAHID Insti­tute, Jakarta, Senin (26/11/07).

Abu Zayd adalah pemikir Islam asal Mesir yang memperkenal­kan metode pengkajian al­Qur’an dengan pendekatan hermeneu­tika. Karena pemikirannya itu, Abu Zayd difatwa sesat oleh Mufti Mesir. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengaju­kan promosi untuk menjadi guru besar di Fakultas Sastra Univer­sitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan, ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusan: promosi ditolak! “Tapi kini pencekalan itu sudah dicabut. Isteri saya mengajar di Universiar Kairo Mesir,” ujarnya heran mengapa di Indonesia justeru baru sekarang dirinya dicekal, padahal di Mesir justeru sudah dicabut.

KebebasanBerpikirKianTerancam

Sinopsis

Mengagetkan! Di era demokrasi seperti sekarang ini masih ada pencekalan. Profesor Nasr Hamid Abu Zayd,

seorang pemikir Islam asal Mesir yang sekarang menetap di Leiden Belanda, dicekal oleh Menteri Agama untuk bicara di sebuah kampus di Malang dengan alasan ada tekanan dari ormas Islam. Peristiwa ni menunjukkan, kebebasan berpikir dan berekspresi di Indonesia terancam. Eskalasi penyesatan juga kian subur, seiring terbitnya 10 kreteria sesat yang dikeluarkan MUI.

Dari Bulukumba tersiar kabar baru, 20 kepala desa di Kab. Bulukumba sepakat menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Alasannya, polisi tidak mampu menyelesaikan masalah pencurian yang hampir tiap hari terjadi. Dilihat dari politik hukum pidana di Indonesia, hukum potong tangan tidak dikenal. Bila keinginan ini lolos, tentu saja akan muncul banyak masalah, baik pada tingkat politik hukum pidana maupun dari sisi potensi anarkisme hukum.

Selain melaporkan peristiswa di atas, Monthly Report V the WAHID Institute kali ini juga dilengkapi tabel untuk merekam peristiwa yang terus terjadi, meliputi penyerangan dan ancaman terhadap Jemaah Ahmadiyah, penangkapan anggota al-Qiyadah al-Islamiyah di berbagai daerah, dan kasus-kasus tempat ibadah. ■

Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari dan Nurun Nisa’ | Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta ­ 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected]

Kontributor: Akhdiansyah ­ NTB, Suhendy ­ Jawa Barat, Nur Kholik Ridwan ­ Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Alamsyah M. Dja’far ­ Jakarta, Zainul Hamdi ­ Jawa Timur, Syamsul Rijal ­ Makassar. Kerjasama dengan TIFA Foundation

Monthly Report on ReligiouS iSSueS

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

Pencekalan yang menimpa Abu Zayd adalah sa­lah satu akibat dari wewenang MUI yang diang­gap tinggi oleh Presiden RI. “Presiden kok ngaku akan nuruti keputusan MUI. Masak, MUI ditinggikan posisinya sederajat dengan Mahkamah Agung,” ujar Gus Dur dalam konferensi pers itu. “Konstitusi menjamin kemerdekaan berpikir dan kebeba­san berbicara. Dan itu dilanggar Menag,” imbuh Gus Dur. Keberanian Menag ini, menurut Gus Dur, karena presidennya penakut.

Abu Zayd menyesalkan pencekalan Menag RI

ini. Karena kegiatan itu sudah mendapat restu dari pemerintah enam bulan sebelumnya. Apa­

lagi, ungkap Abu Zayd, pencekalan hanya diinformasikan melalui SMS oleh Abdur­

rahman Mas’ud. SMS bukanlah surat resmi seperti lazimnya sebuah birokrasi.

“Ada seseorang yang sangat powerful di sini. Sehingga melalui SMS saja dia bisa mence­

kal seseorang untuk berbicara,” ujarnya kesal. Karena keberatan itulah, Abu Zayd mengatakan bukan tidak mungkin dirinya mengajukan pence­kalannya ke Mahkamah Internasional. ■

Peristiwa yang terjadi di Padang Sumatera Barat merupakan efek dari penyesatan pada kelompok al­Qiyadah al­Islamiyah.

Hal ini berawal dari penggerebegan yang ter­jadi pada 2/10/07 pukul 07.30 di kediaman Sdri Maria Ningsih, di Jln. Dr. Soetomo No. 12 Padang. Sekitar 30 orang yang mengaku re­presentasi umat Islam menuduh rumah Maria Ningsih sebagai tempat menyebarkan aliran al­Qiyadah Islamiyah. Dalam penggerebegan itu, Poltabes Padang mengamankan pemilik rumah dan keluarganya untuk menghindari tindakan kekerasan, sementara pihak penyer­bu tidak tersentuh hukum.

Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA Padang) sekaligus anggota Komnas HAM Perwakilan Propinsi Sumatera Barat Sudarto, lantas membuat pernyataan sikap atas nama Direktur PUSAKA dan menulis ar­tikel. Pernyataan itu dimuat The Jakarta Post, Batam Post dan okezone.com. Karena tu­lisan itu, keluarga Maria Ningsih mera­sa mendapat dukungan perihal kebe­basan berkeyakinan. Ia lantas datang ke kantor Komnas HAM Sumatera Barat bermaksud meminta perlindungan atas kasus penyerbuan rumah pribadinya.

Komnas HAM Sumatera Barat menyaran­kan pengikut al­Qiyadah al­Islamiyah mem­buat surat pengaduan terkait hak­hak sipol dan ekosob­nya. Namun sejak awal Komnas HAM mewanti­wanti, bahwa pihaknya tidak membela keyakinan, melainkan martabatnya sebagai warga negara. Pada 22/10/2007, pi­hak al­Qiyadah Islamiyah kembali mendatangi Komnas HAM Sumatera Barat dan diterima

Sudarto (divisi SIPOL). Beberapa hari kemudian, Sudarto diminta

Padang TV untuk menjadi narasumber ka­sus al­Qiyadah al­Islamiyah, dipanel dengan Wakil Front Pembela Islam (FPI) Sumatera Barat, Drg. Amri Mansyur. Dalam pokok­po­kok pikirannya, Sudarto menyatakan, tinda­kan main hakim sendiri atas kelompok yang dianggap sesat berpotensi melanggar HAM. Sementara Amri Mansyur berjanji akan mem­bunuh orang yang melecehkan Islam.

Pada 7/11/07, sekelompok ormas (KPSI, FPI, HTI) di bawah pimpinan Irfianda Abidin SE, melakukan demontrasi ke Poltabes Padang dan Komnas HAM Perwakilan Propinsi Suma­tera Barat. Dalam salah satu spanduknya ter­tulis: Habisi Seluruh Aliran Aesat dan Sudarto. Karena orang yang dicari, Sudarto, tidak ada di kantor, mereka bermaksud menyerbu Kan­tor PUSAKA Padang di Jln. Purus I No. 8

Padang. Namun niat itu diurungkan. Melihat situasi yang tidak mengun­

tungkan, Komnas HAM Sumatera Barat beraudiensi ke Polda Sumatera

Barat yang intinya menjelaskan posisi Komnas HAM dalam kaitan kasus al­Qi­

yadah Islamiyah dan kasus­kasus yang terin­dikasi terjadi pelanggaran HAM lainnya di Su­matera Barat. Mereka juga meminta perlind­ungan keamanan bagi anggota Komnas HAM Sumbar, khususnya Sudarto (9/11/07). Pada 12/11/07, Komnas HAM Subar mengirim su­rat resmi ke Poltabes Padang, yang isinya mo­hon perlindungan keamanan.

Pada 16/11/07, kembali sekelompok ormas Islam (KPSI, FPI dan HTI Sumatera Barat) mela­

2. KasusPUSAKAPadang

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

kukan penggerebegan ke Kantor PUSAKA Pa­dang dan memaksa melakukan pemeriksaan. Ini mereka lakukan, karena ada provokasi bahwa Kantor PUSAKA menjadi markas aliran sesat. Mereka mencari Sudarto, sebagai direkturnya. Namun pemilik rumah menghalangi, hingga terjadi kete­gangan. Akibat penggerebegan dan provokasi

aliran sesat itu, sekelompok pemuda penganggu­ran (preman) memprovokasi untuk membakar

rumah Yosep Bejo Prakoso, meskipun niat itu urung dilaksanakan. Meski demikian, hal ini sempat mengancam keselamatan Yosep, karena dianggap keturunan Ti­

onghoa dan nonmuslim. ■

Pada edisi sebelumnya, sudah dilaporkan bahwa MUI Indramayu mengeluarkan fatwa bahwa penganut Dayak Segandhu

Losarang Indramayu sesat. Fatwa itu diperkuat oleh Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Indramayu. Untuk mempertahan­kan keyakinannya, sejumlah perwakilan aliran kepercayaan pimpinan Takmad Diningrat itu minta perlindungan ke Komnas HAM di Ja­karta (8/11/07). Pimpinan Suku Dayak Losa­rang, Takmad Diningrat melalui juru bicara­nya, Dedi mengungkapkan, pihaknya sengaja datang ke Komnas HAM karena keyakinan dan budaya yang dijalani secara damai telah dihalang­halangi bahkan dianggap sesat, se­hingga harus dibekukan.

Ketua MUI Kab. Indramayu, KH. Ahmad Jamali membenarkan dirinya telah menerima informasi bahwa Komnas HAM akan melaku­kan pembelaan terkait hasil telaah Pakem. “Si­lahkan saja melakukan pembelaan. Tapi kami dan Pakem akan tetap mempertahankan hasil telaah,” tutur Ahmad Jamali. Semen­tara itu, berbagai kalangan meminta kepolisian segera menangkap Pange­ran Takmad Diningrat (70). Selain membidik pimpinannya, polisi juga di­minta untuk menciduk tokoh­tokoh ser­ta para pengikut aliran yang tumbuh subur di pemukiman Blok Pintu Air, Desa Krimun, Kec. Losarang, Indramayu itu.

Camat Losarang, Drs. Prawoto mengaku belum menerima surat ataupun intsruksi se­cara formal untuk melakukan langkah pem­bekuan. Namun, pihaknya bersama unsur muspika, MUI, serta tokoh masyarakat, telah melangkah lebih jauh untuk menghentikan penyebarannya. Lebih jauh Prawoto menge­

mukakan, jika mereka tidak menghiraukan peringatan ini, maka sanksi yang akan di­jatuhkan mengarah pada pasal 156 KUHP tentang penodaan agama (Radar Cirebon, 9/11/07)

Meski terus mendapat tekanan, komunitas Dayak Losarang tidak tinggal diam. Sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan Pa­kem Kab. Indramayu, ratusan pengikut aliran ini ngelurug Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Indramayu, (20/11/07). Mereka memprotes keras dan menolak hasil telaah Pakem yang menyatakan Suku Dayak sesat dan harus di­bubarkan.

Ratusan pengikut Suku Dayak Losarang diangkut menggunakan truk mendatangi kan­tor Kejari. Kedatangan mereka ditemui Ketua Pakem Indramayu Udjijono SH, didampingi Kapolres AKBP Syamsudin Djanieb, Ketua MUI KH. Ahmad Jamali, serta Dandim 0616 yang diwakili Pasi Intel Kapten (Inf) Andar. Perwakilan Komnas HAM, Ahmad Baso dan

Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika, Elen, yang ikut mengawal Dayak Losa­

rang mengadakan pertemuan secara tertutup dengan anggota Pakem.

Situasi memanas menyusul perang mulut antara ketua dan anggota Suku

Dayak Losarang, Pangeran Takmad Dining­rat dan Tarka, dengan Kapolres AKBP Syam­sudin Djanieb. Takmad dan Tarka tidak terima pemberian batas waktu oleh Kapolres Djanieb selama enam bulan agar Suku Dayak segera menghentikan aktivitasnya. Bahkan, mereka sempat saling dorong dengan Kapol­res Djanieb. Karena situasinya terus mema­nas, Djanieb berusaha menahan emosi dan langsung masuk ke mobil dinasnya.

3. DayakLosarangIndramayuMengadukeKomnasHAM

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

Ahmab Baso, perwakilan Komnas HAM menjelaskan, saat ini pihaknya tetap akan melakukan kajian terhadap keputusan Pakem yang menyatakan Suku Dayak Sesat. Dijelas­kannya, Komnas HAM sebatas melakukan kajian, memantau, melakukan mediasi dan penyuluhan terhadap persoalan ini. ”Jadi, tidak serta merta Pakem bisa langsung begitu saja membubarkan. Akan tetapi perlu dikaji ulang sejauh mana keputusan tersebut,” tandasnya, sera­ya meminta semua pihak arif membuat kepu­tusan, sehingga tidak menimbulkan gejolak.

Sementara Kapolres AKBP Syamsudin Djanieb bersama anggota Pakem lainnya tetap konsisten dengan hasil telaahnya. ”Kami ting­gal menunggu hasil akhir keputusan dari Bu­pati Indramayu. Setelah itu baru kami akan

melakukan tindakan tegas,” katanya. Ketua Suku Dayak Losarang kukuh menolak hasil telaah Pakem itu. Bahkan, Takmad cs meng­

ancam akan melakukan perlawanan dengan siapa pun yang menghalang­halangi keper­

cayaannya.Menurut Takmad, keyakinan

yang digelutinya bersama ribuan pengikut yang tersebar di pelosok

desa itu telah ada sejak 1972. “Suku Dayak bukan agama, melainkan adat atau

budaya yang selama ini diyakini oleh komu­nitas yang jauh dari makanan yang bernyawa.

Pemerintah juga harus adil dalam bertindak. Jangan seenaknya sendiri. Kami bersama ribu­an pengikut Suku Dayak tidak akan membu­barkan diri, meski Pakem menyatakan sesat,” tegas Takmad (Radar Cirebon, 21/11/07). ■

Ratusan orang mengatasnamakan warga Tana Beru Kec. Bontobahari, Buku­kumba Sulawesi Selatan, menyerang

sebuah rumah yang diyakini sebagai tem­pat ibadah jemaah Tarekat Naqsabandiyah (17/11/07) pukul 22.30 WITA. Para penye­rang menggunakan batu dan senjata tajam. Rumah permanen yang menjadi tempat zikir kelompok ini hancur dan rata dengan tanah. Beberapa orang terluka, termasuk Andi Mu­hammad Ridwan, pimpinan tarekat ini. Selain itu, sekitar 60­an jamah tarekat dievakuasi ke kantor Polsek Bontobahari.

Tak diketahui pasti dari mana datangnya orang­orang itu. Tiba­tiba saja mereka sudah menyemut dan berdatangan dari beberapa arah menuju lokasi. Rata­rata mereka membawa pentungan dan batu, deng­an wajah ditutupi cadar atau sarung. Beberapa orang nampak berambut gon­drong. Sampai di lokasi, mereka memutus aliran listrik. Keadaan menjadi gelap. Beber­apa jamaah Naqsabandiayah yang masih ada di lokasi (saat itu sekitar tujuh orang masih di bangunan itu, yang lainnya sudah pulang, karena acara zikir telah selesai), gelagapan. Dai atau penganjur Naqsabandiyah di daerah ini, Ridwan tersandung dan terjatuh hingga keningnya berdarah. Sementara massa yang menyerang mulai melempari bangunan itu.

Jamaah Naqsabandiyah yang ada di lokasi, tidak bisa berbuat apa­apa. Mereka hanya bisa diam menyaksikan bangunan yang selama ini mereka tempati beribadah dihancurkan massa. Untung saja, massa tidak menyerang jemaah Naqsabandiyah, sehingga tidak ada korban. Beberapa saat kemudian, kepolisian Kapolsek Bontobahari ditambah personil Kapolres Bulukumba datang. Mereka segera mengevakuasi jemaah Naqsabandiyah yang ada di lokasi. Jemaah dibawa ke Kapolsek Bontobahari. Sebagian bahkan dibawa ke Ka­polres untuk dimintai keterangan.

Soal pengrusakan bangunan, tak ada tindakan berarti dari kepolisian untuk

mencegahnya, kecuali hanya berusaha menenangkan massa. Salah seorang

polisi menjelaskan, mereka tidak sanggup berbuat banyak karena

jumlah massa sangat banyak, sekitar 300 orang. Polisi malah bisa diserang,

katanyaPeristiwa penyerangan Naqsabandiyah di

Tanah Beru ini, jauh hari sudah diprediksi Mardianto, pimpinan Naqsabandiyah di Bu­lukumba, yang juga dosen STAI al­Ghazali. Pimpinan Naqsabandiyah memperingatkan agar aktivitas Naqsabandiyah di Tanah Beru dihentikan sementara. Mardianto mempre­diksi demikian, karena dia mendapat infor­

4. TarekatNaqsabandiyahBulukumbaDiserang

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

masi tentang pandangan masyarakat Tanah Beru terhadap Naqsabandiyah yang negatif. Di masyarakat beredar informasi, Naqsa­bandiyah ini sesat; perekrutan anggota harus bayar, jemaah tidak shalat Jum’at, tidak naik haji, dan perekrutan anggota dimulai dengan ujian yang aneh. Calon jemaah harus terlebih dahulu masuk ke kamar tertentu secara ber­pasangan dan berlainan jenis. Di kamar itu mereka telanjang. Yang bisa bertahan tidak melakukan apa­apa hingga pagi, merekalah yang resmi diterima sebagai jemaah Naqsa­bandiyah.

Informasi inilah yang dijadikan ala­san penyerangan. Jelas, menurut Mardianto, informasi ini keliru. Apa yang diasumsikan masyarakat tentang Naqsabandiyah berbeda 180 derajat dari kenyataannya. Pertanyaannya: siapa yang mengedarkan informasi keliru itu? Informasi yang diperoleh dari lapangan me­nyebutkan, itu muncul dari kalangan jemaah Naqsabandiyah sendiri. Mereka bilang lebih nikmat berzikir ala Naqsabandiyah daripada naik haji. Atau, tidak usah shalat Jum’at bila sudah ikut Naqsabandiyah.

Betulkah demikian? Menurut Mardianto, memang ada jemaah yang menjelaskan Naq­sabandiyah kurang tepat, tapi tidak sejauh itu. Menurutnya, ini bukan persoalan Naq­sabandiyah, tapi soal penolakan terhadap tarekat dan tasawuf oleh beberapa kelompok di masyarakat yang kemudian mengatasna­makan warga Tanah Beru secara keseluruhan. Terbukti, setelah MUI Bulukumba melalui ketuanya KH. Mahdi mengeluarkan pernyata­

an, bahwa Naqsabandiyah tidak sesat dan tarekat mu’tabarah di Indonesia (Tribun Timur, 21/11/07), kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Bonto Bahari masih menolaknya.

Alasan penolakan ini akhirnya terungkap pada saat dialog pemerintah, tokoh masyara­kat, pihak Naqsabandiyah dan beberapa or­ganisasi Islam. Saat itu, pihak Naqsabandiyah membantah semua asumsi tentang mereka yang beredar di masyarakat dan menjelaskan apa sesungguhnya Naqsabandiyah itu. Namun beberapa masyarakat tetap menolak. Saat itu,

orang­orang yang berasal dari jaringan Wah­dah Islamiyah menyatakan tidak bisa

menerima Naqsabandiyah, karena masyarakat di daerah itu belum siap memahami tarekat dan tasawuf.Celakanya, penolakan beberapa kelom­

pok masyarakat itu justru didukung peme­rintah setempat. Baik lurah maupun camat menegaskan, karena masyarakat masih sulit menerima Naqsabandiyah, maka pemerintah tidak bisa memberikan izin. Pihak Kapolsek juga menyatakan tidak bisa memberi jaminan perlindungan terhadap jemaah Naqsabandi­yah bila masih tetap menjalankan aktivitasnya di Tanah Beru, Bonto Bahari.

Pernyataan bahwa masyarakat Tanah Beru sulit menerima tarekat dan tasawuf, tampak aneh. Bukankah masyarakat Tanah Beru ter­kenal dengan hal­hal mistik dan ritual lokal­nya? Tanah Beru terkenal pula sebagai tempat pembuatan perahu Pinisi, yang mulai proses awal pembuatannya sampai siap untuk ber­layar selalu disertai ritual­ritual khas lokal. ■

5. RencanaHukumPotongTangandiBulukumba

Resah dengan maraknya pencurian di wilayahnya, 20 perwakilan desa di Kec. Gantarang, Bukumba sepakat mem­

berlakukan potong tangan bagi pelaku yang tertangkap tangan. Kesepakatan itu terungkap setelah dilakukan pertemuan seluruh kepala desa, Minggu, 18/11/07. Para kepala desa juga sepakat membentuk Forum Peduli Kamtibmas Pallawa Lipu. Ditunjuk sebagai Koordinator Kecamatan adalah Kepala Desa Gantarang, Andi Rukman. Selain pencuri,

pelaku judi dan penikmat minuman keras (miras) juga dikenai hukuman cambuk seban­yak 80 kali.

Beberapa bulan belakangan, pencurian memang marak di wilayah Polsek Gan­

tarang. Selain kendaraan roda dua, hewan peliharaan seperti sapi dan

kuda, juga menjadi sasaran pencuri. Nyaris setiap malam, ada saja desa yang

disatroni maling. Anehnya, hingga saat ini tak satu pun pencuri yang berhasil dibekuk polisi. Jaringan pencuri yang sering beroperasi

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

6. PerusakanMasjidAssalamMirzadiCisurupanGarut

Pagi (10/10/07), sekitar 100 orang yang sebagian warga kampung Janggol Ds. Pamulihan Kec. Cisurupan Garut (500

meter dari lokasi kejadian) berjalan kaki men­datangi Kampung Pangauban. Tanpa ne­gosiasi dengan pengurus Ahmadiyah di Kampung Pangauban, dengan meng­gunakan linggis, palu, kayu dan golok, mereka menghancurkan mas­jid yang biasa dipakai ibadah jema’ah Ahmadiyah. Setelah puas, mereka men­inggalkan lokasi kejadian pukul 11.00 WIB. Selama penghancuran Masjid Assalam Mirza itu, pengurus dan jema’ah Ahmadiyah tidak melakukan reaksi apapun. Bahkan banyak dari mereka melarikan diri dari desanya un­tuk menghindari aksi massa.

Polsek Cisurupan dan Polres Garut serta anggota TNI Kodim 0611 Garut mendatangi TKP setelah para penghancur masjid itu bu­bar. Sekitar pukul 11.45 WIB, di Balai Desa

Pamulihan digelar pertemuan yang dihadiri Kepala Desa Pamulihan Pupu Jumanah,

Kapolsek Cisurupan AKP Sofyan BJ, Ketua MUI Kec. Cisurupan Aceng Ayi, pimpinan jema’ah Ahmadiyah

Desa Pamulihan Nandang, sejumlah tokoh masyarakat setempat serta 11 ang­

gota Ahmadiyah Desa Pamulihan untuk membahas aktifitas mereka yang dianggap su­dah tidak dikehendaki warga.

Sebagaimana kejadian serupa di tempat lain, tidak satu perusak pun dijadikan tersang­ka. Polisi hanya memasang police line di TKP.

di daerah ini memang dikenal sangat rapi dan terorganisir.

Desa Padang Kec. Gantarang yang dikenal sebagai desa percontohan pelaksanaan perda syariat Islam, sudah memberlakukan huku­man cambuk sejak beberapa tahun lalu. Ter­catat, sudah beberapa kali warga setempat di­hukum cambuk. Andi Rukman menegaskan, mereka kurang percaya lagi dengan kinerja aparat kepolisian. Pelaku yang tertangkap tangan, proses hukumnya sangat lama. Sank­sinya juga ringan sehingga membuat pelaku tidak jera. ”Polisi mengaku selalu kesulitan mendapatkan barang bukti,” ujarnya. Ken­dati demikian, lanjut Rukman, pihaknya tetap berhati­hati menerapkan huku­man ini agar tidak bertentangan deng­an aturan hukum yang berlaku.

Kepala Polsek Gantarang, AKP Muham­mad Jufri, mengaku menyambut positif kese­pakatan itu. Hanya saja, kata Kapolsek, terlebih dahulu harus disetujui oleh Bupati atau Muspida setempat. Sebab, aksi itu cukup rawan karena masyarakat bisa berbuat anarkis dan main hakim sendiri.

Rencana memberlakukan hukuman po­tong tangan itu mengundang reaksi keras dari Wakil Bupati Bulukumba, Padasi. Namun, Pa­dasi tak memberi pernyataan setuju atau tidak

terhadap hukuman ini. Dalam waktu dekat, Padasi berjanji akan mengundang seluruh ke­pala desa yang ikut dalam kesepakatan untuk memberlakukan hukum potong tangan di dae­rahnya. ”Saya belum menerima ada laporan seperti itu. Kesepakatan itu akan kita kaji,” kata Padasi di ruang kerjanya (21/11/07). Saat memberi keterangan, Padasi didampingi Asisten II, Rosali Liong, dan Kepala Badan In­fokom, Nasaruddin Gau. Selain mengundang para kepala desa, Padasi juga mempersiapkan sebuah pertemuan khusus dengan Muspida Bulukumba lainnya. Meski belum ada jadwal

pastinya, namun pertemuan ini terlaksana dalam waktu dekat.

Dia menambahkan, kesepakatan kepala desa untuk menerapkan hu­kum potong tangan pada pelaku pen­

curian akan dibicarakan dalam rapat Muspida dalam waktu dekat. Dijelaskan,

dalam perda tahun 2003 tentang perda ke­agamaan, tidak disebutkan bahwa pelaku pen­curian dijatuhi hukum Islam, yakni potong tangan. Dalam perda itu hanya dijelaskan tentang baca tulis al­Qur’an, busana muslim, zakat dan pelarangan minuman keras. Padasi mengingatkan masyarakat agar tidak serta merta melakukan tindakan anarkis yang men­jurus kriminal (Fajar, 22/11/2007). ■

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

Sampai saat ini, jema’ah Ahmadiyah belum membangun kembali masjid itu, karena keta­kutan aksi massa terulang kembali. Menurut H. Baban Sohibul Bayan, tokoh masyarakat dan pengasuh Ponpes Fauzan Garut, aksi itu didasari Fatwa MUI bahwa Ahmadiyah se­sat dan menyimpang dari Islam. (Indosiar, 10/10/07).

Kepala Desa Pamulihan menga­takan, aksi massa dipicu ketidak­hadiran jema’ah Ahmadiyah yang berjumlah 27 orang (tujuh kepala ke­luarga) dalam pertemuan di Balai Desa Pamulihan pada Kamis 8 November 2007 untuk membicarakan laporan bahwa jema’ah Ahmadiyah tidak mau berbaur dengan ma­syarakat sekitar. Dalam hal zakat, mereka ti­dak mau berbagi dengan warga lain. Padahal menurut Kades Pamulihan, pada 2005 mereka

dan warga telah membuat perjanjian bahwa mereka akan berbaur dengan masyarakat dan tidak melakukan kegiatan secara berkelom­pok. Tapi perjanjian itu tidak ditaati jema’ah Ahmadiyah di Pamulihan (Harian Radar Ga-rut, 12/11/ 2007).

Pengurus Ahmadiyah Garut membantah bahwa jema’ah Ahmadiyah meresahkan

masyarakat dan tertutup. Namun mere­ka tidak mau memberi tanggapan atas kasus perusakan Masjid Assalam.

Tia dan Hendra, pengurus Ahmadi­yah Garut mengatakan, berdasarkan hasil

rapat pengurus Ahmadiyah Garut, mereka tidak bisa memberikan tanggapan dan sikap atas peristiwa itu karena hal itu sudah diserah­kan penanganannya kepada Pengurus Pusat Jema’ah Ahmadiyah. ■

7. AksiAntiSyi’ahdiBangilPasuruan

Kebencian terhadap Syi’ah kembali merebak di Bangil. Kali ini diwarnai aksi pengrusakan terhadap rumah

warga Syi”ah dan masjid. Massa bergerak dari sebuah pengajian bulanan menuju perkam­pungan Syi’ah, lalu mengumpat­umpat dan melempari rumah dengan batu.

Senin, 26 November 2007 pengajian bula­nan yang diselenggarakan oleh Yayasan Maje­lis Ta’lim wal Maulid Roudlatussalaf digelar dengan mengundang Habib Thohir bin Abdullah al­Kaff dari Tegal. Pengajian tersebut berisi tentang kebenaran aqidah ahlussunnah wal jamaah dan sesatnya aliran Syiah. Pengajian yang berlangsung jam 20.00 sampai 12.00 WIB ini dihadiri oleh sekitar 3500 orang pengikut ahlussunnah wal jamaah pimpinan Habib Umar bin Abdullah Assegaf.

Setelah pengajian, sebagian jamaah penga­jian mendatangi kampung Syiah yang jara­knya kurang lebih 300 meter dari tempat pengajian, tepatnya di Jl. Dorang Bendo Mun­gal Bangil. Massa yang sudah terbakar oleh isi pengajian Habib Thohir bin Abdullah al­Kaff ini berbondong­bondong mendatangi kam­pung Syiah tersebut dengan mengumpat dan mengolok­olok Syiah sebagai aliran sesat dan kafir.

Suasana gaduh malam itu membuat panik semua warga di Jl. Dorang Bendo Mungal Bangil yang mayoritas penganut Syiah. Menu­rut keterangan Habib Husein Abdurrahman Assegaf—salah satu tokoh Syiah di Bangil, massa tidak hanya mengeluarkan umpatan dan cacian yang ditujukan kepada penganut Syiah, tetapi juga melakukan pengerusakan terhadap sebagian rumah warga dan masjid Jahrum (masjid Syiah) di daerah pemuki­

man tersebut. “Ini merupakan tindakan kriminal yang diterima jamaah Syiah

dalam menjalankan keyakinannya,” tegas Habib Husein mengomentari

kejadian tersebut ketika ditemui di ke­diamannya. Hingga laporan ini dibuat, suasana tegang

masih menyelimuti warga. Umumnya mereka sangat sensitif dan tertutup terhadap orang asing karena ketakutan mendapat serangan susulan. Seorang penganut Syiah menyebut­kan, aksi 26 November tersebut sebagai “pen­ganiayaan terhadap kebebasan berkeyakinan,” sehingga mayoritas jamaah Syiah di kawasan tersebut sangat ketakutan.

Ketakutan ini beralasan karena ketegangan antara jamaah Sunni dan Syiah di Bangil ini sudah berlangsung lama. Gerakan anti Syiah di Bangil sudah pernah melakukan aksi mas­

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

sa dalam jumlah besar pada Jumat, 20 April 2007. Aksi yang dipimpin langsung oleh Habib Umar bin Abdullah Assegaf tersebut menuntut agar Kejaksaan Negeri Bangil segera membubarkan Syiah yang dianggap sesat dan meresahkan masyarakat Bangil.

Pada aksi April tersebut, Kasi Datun (Per­data dan Tata Usaha Negara) Kantor Kejak­sanaan Negeri Bangil, Aziz Widarto SH, ber­janji akan menindaklanjuti tuntutan itu sam­bil menunggu keputusan Tim Pakem yang sedang mengumpulkan bukti­bukti ‘kese­satan’ ajaran Syiah, dan sejauh mana keresahan masyarakat terhadap per­soalan ini. Waktu itu, Habib Umar menutup aksi dengan menyatakan komitmennya untuk menggelar aksi­aksi serupa yang lebih besar jika janji Kejaksaan ternyata tidak direalisasikan.

Delapan bulan setelah itu, hubungan ja­maah Sunni dan Syi’ah terus diselimuti kete­gangan. Jamaah Sunni pimpinan Habib Umar merasa perlu membentengi diri dari ajaran sesat Syi’ah melalui penegasan kebenaran aqi­dah Sunni. Bahkan pengajian bulanan yang diinisiasi oleh Yayasan Majelis Ta’lim wal Maulid Roudlatussalaf sendiri, sengaja digelar dengan tema­tema ceramah yang kurang lebih berisi tentang hal itu. “Perbedaan Ahlussun­nah wal Jamaah dan Syiah bukan perbedaan furu’iyah, tetapi sudah menyangkut masalah aqidah. Kita harus membentengi jamaah kita dari ajaran­ajaran sesat tersebut,” tegas Habib Umar ketika dihubungi di kediamannya, di sebelah utara Masjid Jami’ Bangil.

Meskipun anti Syi’ah, tapi Habib Umar menolak terlibat dalam aksi kericuhan yang berujung pada pengrusakan rumah warga Syi’ah pada Senin (26/11/07). “Saya tidak ada kaitannya dengan aksi tersebut,” tegasnya. Ia juga menolak hubungan aksi tersebut dengan peng­ajian bulanan yang dihadiri oleh Habib Thohir bin Abdullah al­Kaff. Sekali lagi Habib Umar menegaskan bahwa pengajian bulanan tersebut hanya berisi tentang penegu­han aqidah Sunnu, dan tidak ada himbauan atau agitasi yang mempengaruhi massa untuk menyerbu pemukiman Syi’ah.

Bisa dikatakan, gerombolan yang menyerbu pemukiman Syi’ah itu adalah massa cair yang mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan

aksi teror usai mengikuti pengajian tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dalam pandang­an jamaah Syi’ah. Pengajian itu sendiri menu­rut mereka sudah berlebihan dalam menyam­paikan pesan­pesan kebencian tentang Syi’ah. Habib Husein sendiri menganggap bahwa pengajian itu berlebihan dalam menyampai­kan hal­hal yang sangat sensitif dan bisa mem­bakar kemarahan massa. Seorang ibu (warga Jl. Dorang Bendo Mungal) yang sangat keta­kutan ketika dimintai keterangan mengenai

kronologi penyerbuan pemukiman Syi’ah, serentak menghubung­hubungkan pe­

nyerbuan tersebut dengan isi penga­jian bulanan Majelis Ta’lim wal Mau­

lid Roudlatussalaf. “Itu pengajian yang isinya untuk menghasut dan menganiaya

orang (Syi’ah),” celetuknya ketus.Tidak ada isu baru dalam aksi penyerbuan

dan teror di pemukiman Syi’ah (26/11/07). Semua keterangan yang berhasil dihimpun menjelaskan bahwa aksi tersebut dilatarbe­lakangi oleh anggapan tentang Syi’ah sebagai ajaran sesat dan meresahkan masyarakat Bang­il. Isu ini pula yang mencuat dalam aksi anti Syi’ah pada April 2007.

Sekadar merekam ulang aksi anti Syi’ah pada April 2007, massa di bawah pimpinan Habib Umar bin Abdullah Assegaf waktu itu memang tidak henti­hentinya meneriak­kan hujatan bahwa Syi’ah sebagai ajaran yang menyimpang, sesat, mirip Yahudi dan bukan bagian dari Islam. Dari sejumlah poster dan spanduk yang sempat diabadikan, semua ber­tuliskan nada hujatan tentang Syi’ah yang se­sat, seperti: Bebaskan Bangil dari Syiah; Syi’ah telah menghalalkan zina; Syi’ah = Yahudi;

Muth’ah = zina; Kami tidak rela Syi’ah berkeliaran di negeri kami; dan tentu

masih banyak lagi yang tidak terdoku­mentasi.

Hujatan­hujatan ini pula yang ke­luar dari mulut massa yang menyerbu

pemukiman Syi’ah (26/11/ 2007). Tidak ada yang baru dari hujatan tersebut. Semuanya berakar pada pandangan bahwa Syi’ah sudah menyimpang dari ajaran Rasulullah. Habib Umar sendiri tidak ragu dengan kebenaran pandangan tersebut. “Memang demikianlah kebenaran tentang Syi’ah,” jawabnya tegas. Habib menganggap, keberadaan Syi’ah di Bangil sudah tidak bisa ditoleransi karena me­

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

nyinggung kediriannya sebagai Muslim. Syi’ah dianggap menghalalkan apa yang

diharamkan umat Islam. Nikah muth’ah contohnya. Syi’ah juga mengajarkan shalat Jum’at sebagai fardlu ikhti-yari yang tidak wajib dilakukan seorang muslim. Syi’ah juga diang­gap mengajarkan shalat fardlu cukup dilakukan tiga kali sehari, dengan me­ringkas waktu dluhur dan ashar, maghrib dan isya’. Dan yang lebih penting, Syi’ah me­nyerbarkan kebencian terhadap sahabat­saha­bat Nabi SAW dan Aisyah istri Nabi. “Semua

ini bukan furu’iyah, tapi perbedaan aqidah yang bisa merusak umat Islam,” tegas Habib

bersemangat. Demikianlah kurang lebih pandang­

an­pandangan aqidah yang membing­kai aksi anti Syi’ah dan hujatan­hu­

jatan kebencian yang terus mewarnai aksi­aksi tersebut. Bila isu yang mencuat

dari aksi penyerbuan perkampungan Syi’ah tidak berbeda dengan isu aksi pada April 2007, bukan tidak mungkin bahwa pelaku aksi se­benarnya adalah orang­orang yang sama. ■

Aliran keislaman baru yang dituduh sesat juga berkembang di Jambi. Aliran itu menamakan dirinya Islam Model

Baru (IMB) yang didirikan oleh Edi Ridwan (40). Ia ditangkap polisi setempat bersama tiga pengikutnya, yakni Sudibyo (45), Suna­ryo (38) dan Warsito (41). Kapolda Jambi, Brigjen Pol Drs. Carel Risakotta dalam ket­erangan persnya di Jambi, Senin (19/11/07) menegaskan, setelah mendapat laporan dari masyarakat, pendiri dan pengikut aliran sesat IMB dibekuk dan diamankan.

Hasil penyidikan dengan melibatkan tokoh agama dari MUI, Departemen Agama dan tokoh ormas Islam, ali­ran yang baru memiliki pengikut tiga orang itu dinyatakan sesat. Se­lain mengamankan empat tersangka juga diamankan barang bukti terdiri atas empat kitab al­Qur`an, empat kitab Injil, kamus bahasa Arab­Indonesia, dan sejumlah buku tulis serta telpon genggam. Selain itu

juga diamankan puluhan lembar edaran berisi seruan dan peringatan ajaran mereka. Ratusan lembar sudah diedarkan di Jambi dan Jawa.

Dalam keterangan terpisah, Ketua MUI Jambi, Sulaiman Abdullah menjelaskan, ses­atnya aliran IMB karena mereka mengajarkan semua agama yang ada sudah usang dan tidak perlu dipakai lagi. Dan yang mereka ajarkan adalah agama Islam Model Baru. Dalam aja­rannya, Edi Ridwan dituduh mengajarkan, suatu saat akan lahir rasul baru menggantikan Nabi Muhammad. Ia juga tidak mewajibkan

shalat lima waktu dan shalat tidak perlu dilakukan bila akhlak kita belum baik,

karena orang yang rajin shalat saja masih banyak yang berbuat dosa. “Paham yang mereka ajarkan jelas

sesat dan menyimpang atau masuk dalam kategori 10 point yang difatwakan

MUI menyimpang dari ajaran Islam yang ses­ungguhnya,” kata Sulaiman Abdullah. (www.nu.or,id, 20/11/07). ■

7. “IslamModelBaru”diJambi

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

10

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

Jamaah Ahmadiyah indonesia No Tanggal dan

WaktuPeristiwa lokasi Pelaku Korban Dampak

1. 30/10/2007 Berbagai Ormas Islam gerebeg markas Ahmadi­yah Padang

Jalan H Agus Salim, Padang Sumatra Barat

Berbagai or­mas Islam

JAI Padang Perusakan papan nama dan teror psikologis

2. 10 November 2007 Pukul 09.00 sd 11.00 WIB

Masjid jamaah Ahmadi­yah diobrak­abrik massa. Sehingga pengikutnya lari menyelamatkan diri

Kampung Pan­gauban dan Cibu­lakan, Desa Pamuli­han, Cisurupan dua kampung di Keca­matan Cisurupan, Garut Jawa Barat

Massa yang dikoordinis salah satu pesantren di Garut

23 JAI Garut Kerusakan materil dan ketaku­tan psikologis

3. 23 November 2007, pukul 13.15 WIB

Intimidasi dan ancaman penutupan terhadap pusat aktifitas Jemaah Ahmadiyah.

Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat dan Kampung Duri Ja­karta Barat

Kelompok Habib Abdur­rahman As­segaf

JAI Ketakutan dan rasa tidak aman bagi Jemaah Ahmadiyah

4. 23 November 2007

Surat ancaman perang terhadap Jemaah Ah­madiyah Manis Lor, Kuningan

Desa Manislor, Kecamatan Jalak­sana, Kuningan Jawa Barat

17 ormas Islam di Kun­ingan

JAI Manis Lor Kuningan Jawa Barat

Munculnya ketakutan di kalang­an JAI Manis Lor

Al Qiyadah al islamiyahNo Tanggal dan

WaktuPeristiwa Lokasi Pelaku Korban Dampak

1 31/10/2007 Penahanan anggota al Qi­yadah al Islamiyah

Desa Tebau, Peresak, Narmada, Lombok Barat NTB

Polsek Nar­mada, Lobar NTB

Abdul Malik Amrullah (22), anggota jemaah al Qi­yadah

Hilangnya hak­hak kebebasan berkeyakinan

2 2/11/2007 Sweeping anggota al Qiyadah al Islamiyah ke­lompok yang menamakan diri Formas (Forum Masyarakat Santri) di bawah pimpinan Godhi Nurhamidi

Sidomoyo Sleman Formas (Fo­rum Masyara­kat Santri) di bawah pimpi­nan Godhi Nurhamidi

6 pengikut Qiyadah

6 pengikut Qiyadah ini dipak­sa untuk bertobat.45 pengikut Al­Qiyadah datang ke Polsek Depok Timur Sleman untuk meminta per­lindungan keamanan.

3 2/11/2007 Larangan ajaran al Qiya­dah sl Islamiyah di DIY oleh Kajati melalui Surat Keputusan Kepala Kejak­saan Tinggi Nokep 129/O.4/11/2007, yang meru­pakan hasil kesepakatan Tim Badan Pengawasan dan Aliran Kepercayaan Masyarakat 4 Propinsi DIY

DIY Kepala Kejak­saan Tinggi DIY

Aliran al Qiyadah al Islamiyah

Semua hal yg berhubungan dan aliran QI dilarang.

9 3/11/2007 P5enahanan anggota al Qi6yadah al Islamiyah

Lombok Timur NTB

Polres Lombok Timur

Salah satu anggota je­maah al Qiya­dah berinisial HR

Hilangnya hak­hak kebebasan berkeyakinan

MatriksOktober-November2007

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute 11

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

Al Qiyadah al islamiyahNo Tanggal dan

WaktuPeristiwa Lokasi Pelaku Korban Dampak

10 5/11/2007 An7caman pengerahan 90080 massa untuk me­mantau aliran­aliran yg dianggap sesat oleh Ketua Paguyuban Dukuh Kabu­paten Bantul, Sulistyo SH di KR.

Bantul, DIY Ketua Paguyu­ban Dukuh Kabupaten Bantul, Su­listyo SH

Anggota ali­ran yg diang­gap sesat sesat

Di wilayah Ngaglik Sleman, tak kurang 50 pengikut aliran tersebut datang ke Polsek Nga­glik Sleman untuk meminta perlindungan.

11 6/11/2007 Kewajiban lapor bagi 21 pengikut al­Qiyadah al­islamiyah (QI)

Karanganyar, Jawa Tengah

Polres/Kapol­res Karangnyar, AKBP Rik­wanto. Kepala MUI, dan Kandepag

21 anggota QI Karangnyar di bawah pimpi­nan Wahyu (29)

Dipaksa pindah keyakinan

12 8/112007 Tuntutan untuk men­ghukum mati Ahmad Mushadeq (AM) di depan Kantor Kejaksaan karena dianggap dianggap meni­stakan agama Islam.dan perwujudan bela Pancasi­la, UUD dan NKRI.

Slawi, Tegal, Jawa Tengah

GP Ansor dan Banser Tegal

Ahmad Mush­adeq

Memprovokasi dan mengan­cam nyawa seorang warga neg­ara bernama AM (pimpinan al­qiyadah al­islamiyah) dan pengikutnya.

Tempat ibadah

No Tanggal dan Waktu Peristiwa lokasi Pelaku Korban Dampak

1 November 2007

Pembatalan Pembangunan PURA PENATARAN AGUNG RINJANI ­ LOMBOK (PURA Ter­besar nomor dua di Asia Tenggara)

Dusun Kabaloan, Desa Senaru Keca­matan Bayan Lom­bok Barat (dibawah kaki Gunung Rinjani)

FKUB, Bupati Lombok Barat, MUI Lombok Barat, Tokoh Agama, Ormas Islam, OKP Islam dan se­sepuh Agama Islam

Umat hindu NTB

Pembubaran panitia pemban­gunan pura. Sehingga pemban­gunan tempat ibadah tersebut terbengkalai

22 November 2007

Upaya Penutupan keg­iatan ibadah umat Katolik

Kelurahan Duri Se­latan, Kec. Tambora Jakarta Barat

Massa yang mengatasna­makan Forum Kerjasama Masjid ­ Musholla dan Majlis Ta’lim sekelurahan Duri Selatan. Lurah Duri Selatan dan Camat Tam­bora

Jemaat Gereja Damai Kristus Paroki Kam­pung Duri

Kegiatan ibadah berhenti.

lanjutan

MatriksOktober-November2007

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

1�

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007

The Wahid Institute

Analisis

Eskalasi penyesatan dan pembatasan ke­bebasan berbicara

dan berekspresi tampak meningkat, di samping gelombang peyesatan yang terus terjadi diikuti intimidasi dan ancaman tindak kekerasan, bu­kan hanya kepada komu­nitas yang dianggap sesat, tapi juga terhadap siapa saja yang mencoba mem­bela hak­hak kelompok itu sebagai warga negara. Kasus Sudarto di Padang jelas menunjukkan hal itu. Sebagaimana telah dising­gung pada edisi sebe­lumnya, berbagai kasus penyesatan terhadap kelompok tertentu tidak dapat dilepaskan dari “jasa” MUI. Lembaga yang didirikan pemerin­tah Orde Baru ini sema­kin menunjukkan gejala radikalisasi dan menjadi “polisi” yang bisa “men­yemprit” aliran­aliran ke­agamaan. Gejala ini seti­daknya dikarenakan dua hal. Pertama, masuknya

eksponen­eksponen “Islam berbaju sempit” dalam tubuh MUI, baik melalui struk­

tur resmi maupun asistensi­asistensi yang memasok informasi ke elit

MUI. Radikalisasi yang ada dalam tubuh MUI tidak bisa

dilepaskan dari gejala ini. Memang, di dalam MUI ada unsur NU dan Mu­

hammadiyah, namun kare­na baju keagamaan MUI yang

terlanjur menyempit, tokoh­to­koh NU dan Muhammadiyah itu

terpaksa menyesuaikan diri dengan langgam keagamaan MUI. Kedua, pemerintah Indonesia tidak mem­punyai visi keagamaan yang clear. Sebagai pemegang amanat konstitusi dan undang­undang, pemerintah seharusnya berpegang teguh pada ukuran­ukuran ini, bukan ukuran keagamaan, apalagi pendapat MUI. Sayangnya, pemerintah Indonesia tampak tidak cukup mempunyai keberanian untuk menjalankan konstitusi dan undang­undang secara konsekuen, apalagi jika hal itu berta­brakan dengan pendapat MUI. Gejala inilah yang bisa digunakan untuk melihat “pencekalan” oleh Menag RI terha­dap Nasr Hamid Abu Zayd untuk bercera­mah di Malang. MUI dan aliansi­aliansinya mampu mempengaruhi dan menakut­nakuti Menag, sehingga hanya dengan SMS acara yang sudah dirancang enam bulan bisa di­batalkan. ■

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute 1�

Monthly Report on Religious Issues, Edisi V, Desember 2007 ■

The Wahid Institute

Suhendy­Cianjur, Marzuki Rais­Cirebon, Samsu Rijal­Makassar, Ahmad Zainul Hamdi,

Yuni­Surabaya, dan Rumadi­Jakarta

Berdasar uraian di atas, hal penting yang harus mendapat perhatian serius adalah:

Pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dan undang­un­dang harus bisa memberi jaminan perlindungan kepada seluruh warga negara. Perlindungan itu diberikan karena hal itu menjadi hak warga negara dan kewajiban pemer­intah, tanpa dikait­kaitkan dengan agama dan keyaki­nan. Perlindungan kepada warga negara diberikan karena dia sebagai warga negara, bukan karena warga negara bergama dan berkeyakinan ini dan itu. Bila pemerintah dengan segala aparatusnya gagal melakukan fungsi ini maka tidak berlebihan kalau Indonesia menjadi “negara gagal”.

Pemerintah seharusnya menjadi kekuatan netral yang tidak mudah ditekan­oleh kelom­pok­kelompok tertentu. Bila pemerintah mempu­nyai visi yang jelas tentang kebebasan berpikir dan berekspresi, maka peristiwa memalukan “pencekalan” terhadap Nasr Hamid Abu Zayd tidak terulang kembali. Bila kondisi seperti ini dibiarkan, bukan tidak mungkin wajah otoritarianisme orde baru akan muncul kembali dalam rupa yang berbeda. ■

1.

2.

Rekomendasi