SINKRETISME AGAMA: KASUS RITUAL BARITAN (SEDEKAH …
Transcript of SINKRETISME AGAMA: KASUS RITUAL BARITAN (SEDEKAH …
SINKRETISME AGAMA:
KASUS RITUAL BARITAN (SEDEKAH LAUT)
DI DESA ASEMDOYONG PEMALANG
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Prodi Studi Agama-Agama
Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Adiba Zahrotul Wildah
NIM : 11140321000025
PRODI STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
v
ABSTRAK
Adiba Zahrotul Wildah. 2018. Sinkretisme Agama: Kasus Ritual Baritan
(Sedekah Laut) di Desa Asemdoyong Pemalang. Prodi Studi Agama-Agama
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Desa Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang merupakan
desa yang terletak pada pesisir utara Jawa. Desa ini dihuni oleh masyarakat yang
seluruhnya menganut agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas
masyarakat menjalankan syariat Islam sesuai dengan sumber pokok ajaran Islam.
Namun, beberapa kalangan senantiasa melaksanakan tradisi peninggalan nenek
moyang setempat yang mengandung unsur kepercayaan sebelumnya. Salah satu
tradisi yang masih dilestarikan adalah upacara ritual baritan atau yang lebih
dikenal dengan sedekah laut. Upacara baritan mengalami perkembangan, baik dari
segi tujuan maupun pelaksanaan. Mulanya upacara baritan ditujukan kepada para
penguasa laut. Namun, seiring meningkatnya religiusitas masyarakat, upacara
baritan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. yang telah
memberikan rezeki yang melimpah atas hasil tangkap ikan yang didapatkan para
nelayan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
lapangan (field research) yang didukung oleh studi kepustakaan (library
research) dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam
melakukan penelitian adalah pendekatan antropologi dan sosiologi. Teknik
pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan oleh penulis
adalah teknik deskriptif.
Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah dalam pelaksanaan upacara
baritan terjadi sinkretisme agama karena masih mengandung unsur agama Hindu
dan Islam. Percampuran kedua unsur agama tersebut terjadi baik dalam
perlengkapan, pelaksanaan, dan rangkaian acaranya. Hal tersebut menimbulkan
perbedaan pendapat antar kalangan masyarakat dalam menyikapi upacara baritan.
Namun, perbedaan tersebut tidak menjadi suatu pertentangan yang terbuka,
mereka menyadari bahwa hal tersebut hanya sebagai ekspresi keagamaan saja.
Selain itu, upacara baritan juga mengandung beberapa nilai yang bermanfaat bagi
semua kalangan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai Islam, nilai
sosial, dan nilai ekonomi. Dengan demikian, beberapa kalangan yang memiliki
perbedaan dalam menyikapi pelaksanaan upacara baritan, masih bisa menerima
dan menghargai adanya pelaksanaan tradisi tersebut.
Kata Kunci: Sinkretisme, Sedekah Laut, Ritual, Tradisi
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan
kesempurnaan akal pikiran kepada manusia. Shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, para
sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman. Semoga kelak
mendapatkan syafa’atnya. Amin
Tiada kata yang dapat penulis haturkan selain ucapan syukur yang amat
besar kepada Allah SWT. atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis
mampu menyelesaikan tanggung jawab kepada kedua orang tua penulis dengan
skripsi ini. Penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sinkretisme
Agama: Kasus Ritual Baritan (Sedekah Laut) di Desa Asemdoyong Pemalang”
dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak mungkin
dapat selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Sudah sepatutnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua
pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Dari lubuk hati yang
paling dalam, penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Achmad Agus Riyadi dan Eko Setiyowati yang
telah mencurahkan segala kasih sayangnya dalam bentuk apapun yang tak
mungkin dapat terbalaskan. Hanya doa tulus yang dapat penulis panjatkan
untuk Papah dan Mamah, semoga senantiasa diberi kesehatan dan selalu
dalam lindungan-Nya. Teruntuk dua jagoan adik tersayang, Dwi Miftahul
Ajmal dan Muhammad Hasan Sidiq yang menjadi motivasi penulis untuk
terus berjuang supaya kelak dapat menjadi panutan terbaik untuk mereka.
Penulis merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang sederhana dan
penuh kebahagiaan ini. Tak ada yang dapat menggantikan kebahagiaan
lain selain berada di tengah-tengah mereka.
vii
2. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
4. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA., selaku Ketua Prodi Studi Agama-
Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan banyak masukan yang sangat bermakna.
5. Ibu Dra. Halimah S.M., MA., selaku Sekretaris Prodi Studi Agama-
Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam proses
penyelesaian skripsi.
6. Bapak Drs. Dadi Darmadi, MA., selaku Penasihat Akademik yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam proses pengajuan proposal.
7. Bapak Lebba, S.Ag., M.Si., yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk menjadi penguji proposal skripsi.
8. Bapak Drs. M. Nuh Hasan, MA., yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk menjadi penguji komprehensif.
9. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk mengoreksi, mengarahkan, dan membimbing penulisan skripsi
hingga penulis menyelesaikannya dengan baik.
10. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. sebagai Penguji I dan Bapak
Syaiful Azmi, MA. sebagai Penguji II yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk menguji skripsi yang telah disusun oleh penulis.
11. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah berkenan membagi ilmunya dengan
sepenuh hati kepada penulis.
12. Segenap staff perpustakaan, baik Perpustakaan Umum maupun
Perpustakaan Fakultas yang menyediakan berbagai referensi yang
dibutuhkan penulis.
13. Segenap staff dan karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan
membantu penulis dalam mengurus hal pengadaan surat, perihal beasiswa
BLU yang penulis dapatkan hingga akhir semester 8, serta telah
viii
menyediakan sarana dan prasarana yang membuat penulis nyaman dalam
proses belajar di kelas.
14. Segenap masyarakat Desa Asemdoyong yang telah menyediakan tempat
dan waktu untuk penulis dalam melakukan penelitian. Bapak Darusalam
(Kepala Desa Asemdoyong) yang telah memberikan izin secara penuh
kepada penulis untuk melakukan penelitian dan pengambilan data; Bapak
Mukhlis (Sekretaris Desa) yang telah memberikan data mengenai Desa
Asemdoyong; Bapak Suroso (Ketua KUD Mina Misoyo Makmur) dan
Bapak Nur Komilia (Kepala Dusun Karanganyar) yang banyak
memberikan informasi dan pengarahan kepada penulis sebelum melakukan
penelitian, serta mendampingi penulis dalam melakukan penelitian; Bapak
Tahrudi (Ketua Panitia Baritan Tahun 2018) dan Bapak Sali (Sesepuh
nelayan pembuat ambeng laut) yang telah memberikan banyak informasi
dan data yang penulis butuhkan mengenai Upacara Ritual Baritan, serta
memberikan banyak pengetahuan mengenai kehidupan nelayan; Bapak
KH. Muhafidz Abdul Ghani dan Bapak Fatchuri yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk diwawancarai oleh penulis.
15. Sahabat-sahabat penulis Asyifa Darti, Nurul Izazah, Nurul Khikmah,
Indah Normasari, dan Nadia Muna Yusrina yang seringkali menjadi
tempat berkeluh kesah dan selalu memberikan dorongan, motivasi, dan
doa yang sangat bermanfaat bagi penulis.
16. Teman satu atap dalam tiga tahun terakhir Nindy Raisa Hanum, Chusnul
Yunita, dan Fanny Hayatunnisa yang telah menemani hari-hari penulis dan
menjadi saksi mata suka duka yang dihadapi penulis.
17. Teman seperantauan yang terbentuk dalam organisasi primordial Ikatan
Mahasiswa Pelajar Pemalang Jakarta (IMPP-J) yang seringkali membantu
mengurangi rasa rindu terhadap kampung halaman. Terutama Bidadari
IMPP-J 2014 (Ismiyatul Arifiah, Umi Latifah, Fatayatul Khusnia, Rani, Eli
Irmawati, dan lainnya) yang saling menguatkan untuk hidup jauh dari
keluarga.
18. Teman seperjuangan meraih gelar sarjana, Studi Agama-Agama angkatan
2014 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Terutama untuk
ix
kelas A (Binna Ridhatul Shaumi, Nur Afifah, Qonita, Salwa Anwar, Dewi
Purnamasari, Siti Pheuna Tiara Hati, Teti Eliza, Elva Nuzuliah, Ridwan
Efendi, Muhammad Wahyu, dan lainnya) yang telah memberikan banyak
warna selama 4 tahun bersama. Bertemu dengan kalian merupakan
anugerah yang tak mungkin penulis dapatkan di tempat lain.
19. Seorang yang selalu siap siaga “Andriansah Permana”. Terima kasih telah
menjadi segala sosok untuk penulis, sebagai kakak, sahabat, teman, dan
kekasih.
20. Terlalu banyak pihak yang berpengaruh bagi penulis yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis
ucapkan ribuan terima kasih atas segala dukungan, baik dalam bentuk
dorongan, motivasi, dan doa sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
Akhir kata, semoga Allah SWT. membalas segala kebaikan kepada semua
pihak yang membantu, menemani, dan mendukung penulis dalam menjalani
proses perkuliahan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan demi kesempurnaan karya
selanjutnya. Besar harapan dari penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat secara umum bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis.
Jakarta, 12 Desember 2018
Penulis,
Adiba Zahrotul Wildah
NIM 11140321000025
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... iii
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ......................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ....................................................................................... v
HALAMAN KATA PENGANTAR .................................................................... vi
HALAMAN DAFTAR ISI .................................................................................... x
HALAMAN DAFTAR TABEL ......................................................................... xii
HALAMAN DAFTAR GAMBAR .................................................................... xiii
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Masalah ....................................................................................................... 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
D. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7
G. Landasan Teori .......................................................................................... 10
H. Metodologi Penelitian ............................................................................... 13
I. Sistematika Penulisan ............................................................................... 17
BAB II GAMBARAN UMUM DESA ASEMDOYONG PEMALANG......... 18
A. Sejarah Desa Asemdoyong Pemalang ....................................................... 18
B. Kondisi Geografis dan Demografi Desa Asemdoyong Pemalang ............ 19
xi
C. Kondisi Ekonomi Desa Asemdoyong Pemalang ...................................... 23
D. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Asemdoyong Pemalang ....................... 25
E. Kondisi Keagamaan Desa Asemdoyong Pemalang .................................. 28
F. Kondisi Pendidikan Desa Asemdoyong Pemalang ................................... 30
BAB III PROSESI UPACARA RITUAL BARITAN (SEDEKAH LAUT)
DI DESA ASEMDOYONG PEMALANG ........................................................ 33
A. Perkembangan Upacara Ritual Baritan ..................................................... 33
B. Tujuan Upacara Ritual Baritan ................................................................. 38
C. Prosesi Upacara Ritual Baritan ................................................................. 39
1. Persiapan ............................................................................................ 39
2. Pelaksanaan ........................................................................................ 43
D. Baritan dan Masyarakat Desa Asemdoyong ............................................. 53
BAB IV SINKRETISME DAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM UPACARA
RITUAL BARITAN (SEDEKAH LAUT) ........................................................ 58
A. Sinkretisme dalam Upacara Ritual Baritan ............................................... 58
1. Unsur Hindu ....................................................................................... 58
2. Unsur Islam ........................................................................................ 63
B. Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Ritual Baritan ....................................... 65
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 70
A. Kesimpulan ............................................................................................... 70
B. Saran .......................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 77
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 19
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ................................................ 20
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ..................................................... 20
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ............................... 21
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan .......................................... 22
Tabel 2.6 Sarana Perekonomian Desa Asemdoyong ............................................ 24
Tabel 2.7 Sarana Sosial dan Budaya Desa Asemdoyong ...................................... 28
Tabel 2.8 Sarana Keagamaan Desa Asemdoyong................................................. 30
Tabel 2.9 Sarana Pendidikan Formal Desa Asemdoyong ..................................... 31
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bedug ................................................................................................ 27
Gambar 2.2 Masjid Baitussalam ........................................................................... 28
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Surat Seminar Proposal .......................................................... 77
Lampiran II : Hasil Seminar Proposal .......................................................... 78
Lampiran III : Surat Ujian Komprehensif ...................................................... 79
Lampiran IV : Hasil Ujian Komprehensif ...................................................... 80
Lampiran V : Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi .................................. 81
Lampiran VI : Presensi Konsultasi Bimbingan Skripsi .................................. 83
Lampiran VII : Surat Izin Penelitian ................................................................ 84
Lampiran VIII : Surat Keterangan Penelitian ................................................... 85
Lampiran IX : Pedoman Wawancara ............................................................. 86
Lampiran X : Pernyataan Informan ............................................................... 88
Lampiran XI : Hasil Wawancara .................................................................... 94
Lampiran XII : Sertifikat OPAK ................................................................... 113
Lampiran XIII : Sertifikat KKN ...................................................................... 113
Lampiran XIV : Sertifikat TOEFL .................................................................. 114
Lampiran XV : Sertifikat TOAFL ................................................................. 114
Lampiran XVI : Dokumentasi Penelitian ........................................................ 115
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki sejarah keberagamaan yang
menarik. Sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha, masyarakat Indonesia
telah menjadi masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana, dan bersahaja.
Sistem religi yang dianut oleh masyarakat awal adalah animisme dan dinamisme.
Dua kepercayaan inilah yang menjadi inti munculnya ragam kebudayaan di
Indonesia. Pada masa itu, pikiran dan perilaku masyarakat sangat dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan roh gaib yang tidak lain adalah roh-roh para leluhurnya.
Masyarakat melakukan penyembahan terhadap leluhur atau nenek moyangnya
sebagai bentuk penghormatan. Dengan harapan keluarganya akan dilindungi dari
roh-roh jahat dan mendapatkan bantuan dari roh-roh yang baik dalam aktivitas
kesehariannya.1
Kebudayaan asli Indonesia lebih cenderung kepada paham animisme dan
dinamisme. Perubahan besar terhadap kebudayaan Indonesia mulai terjadi setelah
masuknya agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India. Kebudayaan India
memasuki dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia meliputi: sistem
kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan
umum. Kebudayaan Hindu dan Buddha ini disebarkan melalui sarana bahasa yaitu
bahasa sansekerta.2
Indonesia menjadi jalur perdagangan dari Asia Selatan ke Asia Timur,
sehingga muncullah para pendatang. Selain terletak pada jalur perdagangan,
Indonesia juga kaya akan rempah-rempah, emas, dan kekayaan alam yang banyak
diminati di dunia perdagangan. Mulai dari situlah kepercayaan asli masyarakat
Indonesia mulai terakulturasi. Para pendatang masuk ke Indonesia membawa
budaya asal dari negaranya. Tidak hanya itu, mereka juga membawa kepercayaan
1 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa (Malang: UIN
Malang Press, 2008), h. 132-133. 2M. Dimyati Huda, “Peran Dukun terhadap Perkembangan Peradaban Budaya Masyarakat
Jawa,” STAI Negeri Kediri, Vol. 4 (Oktober 2015), h. 5.
2
baru. Hal itu menarik perhatian pangeran-pangeran lokal untuk berkenalan dengan
pandangan politik dan religius luar, terutama India.
Para penguasa Nusantara melihat ideologi yang diajukan oleh para pendeta
Brahmani tepat untuk melegitimasi dan memperluas wawasan mereka. Para
pendeta Brahmani diminta untuk dapat menarik garis nenek moyang mereka
sampai kepada dewa-dewa Hindu dan menyatakan diri sebagai penjelmaan Siwa
atau Wisnu. Kemudian para Raja Jawa dikeramatkan sebagai pusat penjelmaan
dewa, yaitu sebagai titisan dewa atau pembawa esensi kedewataan dunia.
Mulailah muncul kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha.3
Berabad-abad masyarakat Indonesia beradaptasi dan menampung unsur-
unsur berharga dari agama Hindu-Buddha. Kebudayaan dan unsur-unsur impor
berhasil diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi paham-paham Jawa asli,
seperti penghormatan kepada nenek moyang, pandangan-pandangan tentang
kematian dan penebusan kesalahan atau dosa, kepercayaan kepada kekuasaan
kosmis, dan mitos-mitos dari pendahulunya.
Tradisi budaya yang begitu mudah di terima membuat para Mubalig dari
Arab dan Persia masuk membawa ajaran Islam. Pada masa ini, kerajaan Majapahit
memiliki kekuasaan terluas di Nusantara. Namun pada abad ke-15 terjadi
perebutan kekuasaan di kalangan istana yang membuat kondisi kerajaan melemah
hingga kemudian diserang Girindawhardana dari Kediri. Alam Jawa kemudian
berganti suasana dengan berdirinya kerajaan Islam pertama yaitu kerajaan
Demak.4
Jawa kaya akan kebudayaan yang mereka dapatkan secara turun temurun
dari zaman nenek moyangnya. Secara geografis dan kebudayaannya, masyarakat
Jawa terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, Negarigung. Kebudayaan masyarakat
di wilayah Negarigung adalah kebudayaan yang bersumber dari dan berakar pada
dunia keraton. Masyarakat ini disebut sebagai tiyang negari (orang negari) yang
mengutamakan kehalusan, baik dalam bahasa maupun kesenian. Kedua,
mancanegari. Masyarakat di wilayah mancanegari memiliki banyak kesamaan
dengan budaya negarigung dan mengidentifikasi dirinya sebagai tiyang pinggiran
(orang pinggiran) yang memiliki kebudayaan kurang halus dibandingkan dengan
3Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, h. 135-136 . 4Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, h. 144.
3
tiyang negari. Ketiga, pesisiran. Secara geografis, masyarakat yang memiliki
kebudayaan yang tinggal di pesisir utara Jawa, memiliki ciri khas budaya yang
berbeda, berwatak keras, dan terbuka. Masyarakat pesisiran terbagi menjadi dua
kelompok yaitu wilayah Timur terdiri dari: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik,
Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara. Sedangkan wilayah
Barat terdiri dari: Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Wiradesa, Pemalang,
Tegal, dan Brebes.5
Islam di Jawa masuk melalui pesisir utara Jawa yang dimulai dari Tuban.
Masyarakat pesisir memiliki kebudayaan yang berwatak kosmopolit dan egaliter.
Hal itulah memiliki kecocokan dengan Islam yang mengagungkan egalitarianisme
(kesamaan derajat di sisi Tuhan) sehingga mudah di terima oleh masyarakat.
Selain itu, Islam juga dimodifikasi oleh para Wali dengan budaya lokal dan
keyakinan masyarakat sebelumnya yaitu animisme-dinamisme dan Hindu-
Buddha. Sehingga dengan memasukkan unsur-unsur Islam terhadap budaya yang
berkembang, masyarakat akan lebih mudah menerima.6
Pada umumnya, struktur sosial yang terbentuk dalam kehidupan
masyarakat Jawa yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu
dan Islam di Jawa, mewujudkan adanya tiga bagian. Pertama, masyarakat
abangan yang berpusat di pedesaan dan menekankan pentingnya aspek-aspek
animistik. Kedua, masyarakat santri yang berpusat di tempat perdagangan atau
pesisir dan menekankan aspek-aspek Islam. Ketiga, masyarakat priyayi yang
berpusat di kota dan menekankan aspek-aspek Hindu.7 Adanya tiga struktur sosial
yang berlainan tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat
sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang
berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. Sehingga walaupun
masyarakat Desa Asemdoyong seluruhnya beragama Islam, tetapi mereka
memiliki budaya yang sangat melekat yaitu sedekah laut, yang termasuk kepada
tradisi masyarakat abangan. Tradisi masyarakat abangan masih sangat erat
berhubungan dengan roh-roh leluhur. Masyarakat abangan memiliki kepercayaan
5Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 166. 6Nur Syam, Islam Pesisir, h. 167. 7Clifford Geertz, The Religion of Java, terj. Aswab Mahasin “Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. VII.
4
bahwa roh-roh leluhur membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan seharusnya masyarakat muslim sudah tidak lagi melaksanakan tradisi
yang masih mengandung kepercayaan lain. Dalam ajaran Islam, umat muslim
dilarang untuk menyekutukan Allah SWT. karena tidak ada kekuatan lain yang
menandingi kekuatan Allah SWT. yang dapat menghendaki segala yang terjadi
pada kehidupan manusia.
Sedekah laut merupakan tradisi atau upacara yang diadakan tiap 1
Muharam atau dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan 1 Suro. Bulan Muharam
merupakan bulan yang mulia yang termasuk dari empat bulan yang dijadikan
Allah sebagai bulan haram, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya terdapat
empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36)8
Masyarakat pesisir utara Jawa pada malam 1 Muharam mengadakan
pengajian dan keesokan harinya dilaksanakan upacara sedekah laut, seperti yang
dilakukan masyarakat Asemdoyong Pemalang. Mulanya tidak ada pengajian,
hanya ada pangung sandiwara, wayang, dan tradisi dari kepercayaan sebelumnya.
Namun, lambat laun Islam mulai diterima dan seluruh masyarakat menjadi
penganut agama Islam. Mulai dari itulah, masyarakat menginginkan adanya
percampuran atau penggabungan dalam tradisi sedekah laut yang memiliki unsur
animisme dan hinduisme dengan nilai-nilai Islam. Mereka menyebut tradisi
sedekah laut dengan Tradisi Baritan.
Tradisi Baritan ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan
karena telah melimpahkan rezeki di laut yang merupakan sumber mata
pencaharian masyarakat pesisir. Namun, tradisi ini dipadukan dengan budaya
lokal yang berasal dari agama yang dianut masyarakat sebelum Islam, seperti
sesaji, ruwat, slametan, dan pagelaran wayang. Tradisi ini sudah ada sejak nenek
moyang masyarakat Desa Asemdoyong dan terus dilestarikan secara turun
temurun meskipun banyak mengalami perkembangan dan pergeseran. Mulanya
pelaksanaan tradisi ini ditujukan sebagai ucapan terima kasih kepada penguasa
laut (Mbaurekso) dan memberi sajen dengan harapan penguasa laut akan
8Irfan Bahar Nurdin, “Bulan Muharam sebagai Inspirasi Kebangkitan Umat,” Jurnal
Huda Cendekia, Vol. VII/I/2016 No.07 (Bandung: Huda Cendekia, 2016), h. 5.
5
melimpahkan rezeki dan menjauhkan musibah dari para nelayan. Bahkan sebelum
tahun 2015, masyarakat menyambut 1 Muharam dengan pesta dangdut semalam
penuh. Namun, beberapa tahun terakhir sudah mengalami perubahan, yaitu
dengan mengadakan pengajian di malam 1 Muharam.
Prosesi baritan berlangsung selama satu minggu. Mulai dengan persiapan,
membuat ambeng, membuat sesaji, menghias kapal atau perahu, mengadakan
pengajian, ambeng diarak keliling desa, acara puncak yaitu larung sesaji, ruwat,
dan terakhir pementasan wayang. Tradisi ini sangat membutuhkan kerjasama
masyarakat desa dari berbagai kelompok dan hal ini meningkatkan tali
persaudaraan antar masyarakat desa.
Masyarakat Desa Asemdoyong mayoritas sangat antusias dalam
menyambut pelaksanaan tradisi baritan. Tradisi baritan mengandung beberapa
nilai-nilai Islam. Dengan menyambut baik tradisi ini, berarti masyarakat telah
memuliakan bulan Muharam sebagai upaya memperbaiki diri di tahun mendatang,
sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia-Nya, dan sebagai
bentuk pendekatan diri kepada Tuhan.
Uraian masalah di atas, menarik untuk ditelaah lebih jauh. Maka dari itu,
penelitian ini difokuskan untuk membahas prosesi ritual, sinkretisme, dan nilai-
nilai Islam dalam tradisi baritan (sedekah laut) di Desa Asemdoyong Pemalang,
dengan skripsi yang berjudul “Sinkretisme Agama: Kasus Ritual Baritan
(Sedekah Laut) di Desa Asemdoyong Pemalang”.
B. Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis
menemukan masalah sebagai berikut: masyarakat Desa Asemdoyong seluruhnya
beragama Islam, tetapi mereka memiliki budaya yang sangat melekat yaitu
sedekah laut, yang termasuk kepada tradisi masyarakat abangan. Tradisi
masyarakat abangan masih sangat erat berhubungan dengan roh-roh leluhur.
Masyarakat abangan memiliki kepercayaan bahwa roh-roh leluhur membawa
pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan seharusnya masyarakat
muslim sudah tidak lagi melaksanakan tradisi yang masih mengandung unsur dari
kepercayaan lain. Dalam pelaksanaan tradisi ritual baritan juga menimbulkan pro
6
dan kontra dalam kalangan masyarakat. Dalam ajaran Islam, umat muslim
dilarang untuk menyekutukan Allah SWT. karena tidak ada kekuatan lain yang
menandingi kekuatan Allah SWT. yang dapat menghendaki segala yang terjadi
pada kehidupan manusia.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan masalah di atas,
penulis membatasi penelitian ini terfokus kepada Upacara Ritual Baritan di Desa
Asemdoyong saja. Dalam pembatasan masalah tersebut membentuk satu
pertanyaan yang dijadikan rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
“Bagaimana bentuk sinkretisme dan nilai-nilai Islam dalam Upacara Ritual
Baritan (sedekah laut)?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui bagaimana bentuk sinkretisme dan nilai-nilai Islam dalam
upacara ritual baritan (sedekah laut) di Desa Asemdoyong Pemalang.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah di atas,
maka penelitian ini memiliki manfaat antara lain:
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan
mengenai bentuk sinkretisme dalam upacara ritual baritan (sedekah
laut) di Desa Asemdoyong.
b. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) Agama pada Prodi Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dilakukan untuk memberi manfaat khususnya kepada
masyarakat Desa Asemdoyong dan manfaat umumnya bagi para pembaca
7
dalam menambah pengetahuan mengenai bentuk sinkretisme dan nilai-
nilai Islam yang terkandung dalam upacara ritual baritan (sedekah laut) di
Desa Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai ritual sinkretik terhadap tradisi baritan (sedekah laut)
di Desa Asemdoyong Pemalang belum diteliti dalam penelitian-penelitian
sebelumnya. Namun penulis akan membahas penelitian-penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan judul penelitian skripsi ini.
Pertama, karya dalam bentuk buku yang ditulis oleh Nur Syam yang
berjudul Islam Pesisir. Buku ini terfokus kepada perkembangan kehidupan agama
Islam dalam tradisi masyarakat pesisir Desa Palang, Tuban, Jawa Timur. Dalam
kajiannya melalui pendekatan teori konstruktivisme sosial oleh Peter Berger dan
Thomas Luckman, menjelaskan tentang bagaimana masyarakat pesisir melakukan
berbagai upacara, seperti upacara lingkungan hidup, kalenderikal, upacara tolak
bala, maupun upacara hari-hari baik. Nur Syam berpendapat bahwa konstruksi
sosial pada keberagamaan masyarakat pesisir Palang, umumnya merupakan hasil
dari proses akulturasi ajaran Islam dan budaya lokal. Salah satunya pelaksanaan
upacara sedekah laut yang sudah tidak mengandung unsur dari kepercayaan
sebelumnya. Upacara sedekah laut di Desa Palang dilaksanakan dengan pengajian.
Namun, diakuinya sebagian kecil masih ada yang melakukan selamatan di tepi
pantai.9
Kedua, karya dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh M. Mansur Syariffudin
yang berjudul Islam dan Tradisi Baritan dari IAIN Walisongo Semarang. Jurnal
ini selaras dengan penelitian penulis yaitu membahas tradisi baritan di Desa
Asemdoyong Pemalang. Namun, kajian dalam jurnal ini lebih kepada Islam yang
dinyatakan dalam subbab Islam sebagai Sistem Simbol. Dalam kajian pelaksanaan
tradisi baritan juga terdapat banyak perbedaan karena seiring dengan
perkembangan pola pikir dan religiusitas masyarakat Desa Asemdoyong. Jurnal
9Nur Syam, Islam Pesisir.
8
ini memiliki pendapat bahwa dalam pelaksanaan tradisi baritan telah terjadi proses
sinkretisme antara Islam dengan budaya lokal.10
Ketiga, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Rina H. Muhammad
yang berjudul Tradisi Sinkretik di Kalangan Umat Islam Suma Halmahera
Selatan dari Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Skripsi ini selaras dengan penelitian penulis
yaitu membahas tradisi sinkretik yang berkembang dalam suatu masyarakat.
Namun, tradisi yang dibahas berbeda. Skripsi ini membahas tradisi sinkretik
dalam upacara kematian, pernikahan, relasi sosial, dan kerukunan sosial pada
masyarakat Suma Halmahera Selatan.11
Keempat, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Martia Awaliah
yang berjudul Keberagamaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Tradisi Pesta
Laut di Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang) dari Jurusan Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
Skripsi ini lebih terfokus pada keberagamaan masyarakat Desa Banten yang masih
melestarikan tradisi nenek moyang yaitu tradisi pesta laut. Dalam hal ini, tingkat
keberagamaan masyarakat yang justru merubah konsep pesta laut dengan
memasukkan nilai-nilai keagamaan. Selain itu, skripsi ini juga membahas
pengaruh tradisi pesta laut terhadap unsur religi, psikologi, sosiologi, dan
ekonomi masyarakat.12
Kelima, karya dalam bentuk skripsi yangditulis oleh Umi Kulsum yang
berjudul Perkembangan Tradisi Sedekah Laut di Kelurahan Sugih Waras
Kabupaten Pemalang Tahun 1980-2005 dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang tahun 2007. Skripsi ini pokok pembahasannya
mengenai perkembangan tradisi sedekah laut. Perkembangan tradisi sedekah laut
yang dijabarkan dalam skripsi ini dimulai dari tahun 1980, di mana pada saat itu
pelaksanaan tradisi sedekah laut tidak ada campur tangan dari pemerintah daerah
dan dilaksanakan secara sederhana. Pada tahun 1987, berdasarkan Peraturan
10M. Mansur Syariffudin, “Islam dan Tradisi Baritan,” Jurnal Kebudayaan Islam, Vol. 11
No. 1 (Januari-Juni 2013). 11Rina H. Muhammad, “Tradisi Sinkretik di Kalangan Umat Islam Suma Halmahera
Selatan,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 12Martia Awaliah, “Keberagamaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Tradisi Pesta Laut
di Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016).
9
Daerah Nomor 2 Tahun 1987 bahwa tradisi sedekah laut berada di bawah naungan
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan mulai dari situlah, tradisi sedekah laut
diketahui oleh masyarakat luas. Seiring perkembangan zaman, tradisi sedekah laut
diadakan semakin besar-besaran dan berhasil mengundang masyarakat luas, baik
warga Pemalang maupun sekitarnya. Namun, pada tahun 2000 terjadi pro-kontra
di antara golongan masyarakat, sehingga untuk menyikapinya diadakan pengajian
pada malam setelah pelaksanaan larung sesaji. Pada skripsi juga dijelaskan
mengenai pengaruh perkembangan bagi masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial
dan budaya, dan pendidikan serta pengaruh bagi Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan adalah menambah pemasukan karena semakin bertambahnya
pengunjung saat pelaksanaan tradisi sedekah laut tersebut.13
Keenam, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Dewi Zulaikah yang
berjudul Nilai Islam dalam Tradisi Baritan di Desa Wringinpitu Kabupaten
Banyuwangi dari Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2015. Skripsi
ini memiliki kesamaan yaitu membahas nilai agama (Islam) dalam tradisi baritan.
Namun, tradisi baritan di Desa Wringinpitu ini diartikan sebagai doa bersama
yaitu doa untuk memohon turunnya hujan dan kesuburan tanah. Keadaan tanah di
desa ini lengket, kering, tandus, bahkan membelah, serta sering terjadi kemarau
panjang di setiap tahun. Tradisi baritan ini diyakini masyarakat Desa Wringinpitu
dapat mendatangkan hujan.14
Ketujuh, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Agus Atiq Murtadlo
yang berjudul Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Upacara
Sedekah Laut di Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap dari Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta tahun 2009. Skripsi ini memiliki sudut pandang yang berbeda dengan
peneliti yaitu menggunakan teori akulturasi. Teori akulturasi oleh J. Powel yang
mengungkapkan bahwa akulturasi diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya
asing ke dalam budaya lokal tradisional. Dalam hal ini, budaya asing yang
13Umi Kulsum, “Perkembangan Tradisi Sedekah Laut Di Kelurahan Sugih Waras
Kabupaten Pemalang Tahun 1980-2005,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang, 2007). 14Dewi Zulaikah, “Nilai Islam dalam Tradisi Baritan di Desa Wringinpitu Kabupaten
Banyuwangi,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).
10
dimaksud adalah Islam dan budaya lokal tradisionalnya adalah tradisi upacara
sedekah laut tersebut. Pembahasan skripsi ini meliputi proses akulturasi dari
mulanya banyak yang menolak hingga kini sudah banyak masyarakat yang
menerima, nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara sedekah laut, dan
respon masyarakat dalam menyikapi adanya proses akulturasi tersebut.15
Kedelapan, karya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Ali Wildan yang
berjudul Tradisi Sedekah Laut dalam Etika Ekologi Jawa (Di Desa Gempolsewu
Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal) dari Jurusan Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang tahun 2015. Skripsi ini memiliki kesamaan yaitu pembahasan mengenai
nilai-nilai yang terkandung dalam sedekah laut. Namun, yang membedakan
adalah fokus pembahasannya. Fokus pembahasan skripsi ini adalah etika ekologi
yaitu konsep etika lingkungan di mana dalam tradisi ini terbentuk hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya. Lokasi penelitian
berbeda yaitu berada di Desa Gempolsewu Kecamatan Rowosari Kabupaten
Kendal.16
G. Landasan Teori
Istilah sinkretisme muncul pertama kali dari ahli sejarah yang berasal dari
Yunani yaitu Plutarch. Istilah sinkretisme atau syncretismos digunakan untuk
menggambarkan bagaimana bangsa Cretan bertindak untuk menghentikan
permusuhan sesama mereka dan bersatu untuk menghadapi musuh yang sama.
Menurut Reese, sinkretisme berasal dari kata syncretism atau synkretizein
yang bermaksud menggabungkan. Reese merujuk pada penggabungan antara
falsafah pemikiran, agama, dan budaya yang berbeda. Siv Ellen Kraft merincikan
definisi tersebut sebagai percampuran idea dan praktik agama, dengan maksud
salah satu mengambil sedikit atau banyak prinsip dari lainnya atau keduanya
bersatu secara keseluruhan dan sedikit bentuk politeistik.
15Agus Atiq Murtadlo, “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Upacara
Sedekah Laut di Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap,” (Skripsi S1 Fakultas Adab, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2009). 16Ali Wildan, “Tradisi Sedekah Laut dalam Etika Ekologi Jawa (Di Desa Gempolsewu
Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN
Walisongo Semarang, 2015).
11
Robert Baird muncul dengan membawa kritik yang menyarankan
sinkretisme sebagai konsep yang perlu diharamkan daripada kajian sejarah agama.
Menurutnya, proses percampuran seperti itu adalah hal yang biasa dalam sejarah
agama. Sehingga untuk menjelaskan sesuatu sebagai sinkretik adalah ibarat tidak
menjelaskan sesuatu. Kritik dari Baird inilah yang membuat istilah sinkretisme
banyak diperbincangkan. Hingga muncul dan berkembang dua aliran utama.
Aliran pertama, mereka yang berusaha mengelakkan penilaian (deskriptif). Aliran
pertama lebih bersifat inklusif dan mencadangkan sinkretisme sebagai proses
semula dengan mempertahankan keaslian mereka.
Golongan aliran pertama ini adalah Shaw dan Stewart. Steward
menawarkan konsep sinkretisme dengan lebih luas yaitu sinkretisme dapat
menimbulkan persoalan sejarah mengenai asal usul, hubungan budaya, dan
pengaruh yang diterima. Hal ini dapat dilakukan dalam memahami agama dan
fenomena budaya lain. Prinsip-prinsip asas sinkretisme digunakan untuk
menggambarkan agama dan pada peringkat lebih baik, dapat digolongkan kepada
teori agama. Aliran kedua, mereka menerapkannya secara eksklusif yaitu
mempermasalahkan ketulenan tradisi yang dicampur. Mereka memperbincangkan
sinkretisme daripada perspektif Kristian yang menggunakan tema sinkretisme
yang merujuk hanya kepada proses percampuran yang membawa bahaya kepada
tradisi Kristian.17 Selain itu, Beatty mengutip pendapat Stewart mengemukakan
bahwa sinkretisme merupakan konsep yang mengarahkan pada isu akomodasi,
konteks, kelayakan, indigenisasi, dan menjadi wadah bagi proses antar budaya
yang dinamis. Karena baginya, sinkretisme mengacu kepada proses dinamis dan
berulang terhadap suatu faktor yang konstan, yaitu dalam reproduksi
kebudayaan.18
Menurut Nur Syam yang melihat sinkretisme dalam pandangan Geertz,
Beatty, dan Mulder, menyatakan bahwa Islam yang dianut masyarakat Jawa
adalah Islam sinkretik yang merupakan paduan antara ajaran Islam, Hindu,
Buddha, dan agama lokal (animisme). Sinkretisme digunakan untuk
17Roz Aiza Mohd Mokhtar dan Che Zarrina Sa’ari, “Sinkretisme dalam Adat Tradisi
Masyarakat Islam,” h. 72-73. 18Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion, terj. Achmad Fedyani Saefuddin
“Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), h. 4.
12
menggambarkan upaya memadukan berbagai unsur mengenai keagamaan, tanpa
memecahkan berbagai perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya.
Proses yang terjadi pada Islam sinkretis merupakan proses saling mendominasi
atau saling mengalahkan. Hubungan antara Islam dan budaya lokal pada
kehidupan masyarakat Jawa, yang dominan adalah budaya Jawa dan Islam hanya
sebagai kulit luarnya saja atau bisa disebut pembungkus kebudayaan Jawa.19
Tidak hanya itu, sarjana Islam juga memberi sumbangsih mengenai arti
kata atau makna dari istilah sinkretisme. Hamka dan Abu Jamin Roham memiliki
pendapat yang sama bahwa pada surat al-Kafirun ayat 1 sampai dengan 6
merupakan jawaban persoalan sinkretisme dalam perspektif Islam.20 Surat ini
memberi pedoman tegas bagi umat Nabi Muhammad SAW bahwa aqidah tidak
dapat diperdamaikan, digabungkan, atau dicampurkan. Aqidah dan tauhid tidak
sepadan dengan sinkretisme yang berarti menyatukan antara dua keimanan.
Misalnya menyembelih binatang untuk tujuan memuja hantu atau jin dengan
membaca bismillah dan contoh lainnya.
Malik Bennabi memberikan persepsi mengenai sinkretisme agama dan
budaya. Menurutnya, sifat sebuah kehidupan bukanlah saling memecah-belah
tetapi menggabungkan. Apabila unsur-unsur yang dimilikinya itu sesuai dan dapat
diasimilasikan dalam situasi tidak bercanggah serta mencemar ketulenan agama,
maka akan menjadi satu sintesis. Lain halnya jika unsur-unsurnya berbagai jenis
dan tidak boleh dibandingan karena percanggahan yang dapat mencemarkan
agama, maka akan menimbulkan sinkretisme, timbun-tambah, dan kekalutan.
Menurutnya pula, dunia Islam kini merupakan hasil dari percampuran budaya
yang diwarisi dari zaman selepas kekhalifahan Islam dan peninggalan kebudayaan
baru daripada dunia Barat, yang membentuk pembaharuan yang tidak dapat
ditapiskan.21
Jadi dapat disimpulkan bahwa sinkretisme merupakan penggabungan dan
percampuran dari ide, agama, dan budaya yang berkembang pada masyarakat
yang diambil sedikit atau banyak dari masing-masing unsur tersebut supaya
19Nur Syam, Islam Pesisir, h. 11. 20Roz Aiza Mohd Mokhtar dan Che Zarrina Sa’ari, “Sinkretisme dalam Adat Tradisi
Masyarakat Islam,” h. 76-77. 21Roz Aiza Mohd Mokhtar dan Che Zarrina Sa’ari, “Sinkretisme dalam Adat Tradisi
Masyarakat Islam,” h. 79.
13
mudah diterima oleh masyarakat. Seperti halnya di Jawa, Islam bukan agama
besar pertama yang masuk ke Jawa. Ada Hindu dan Buddha yang sudah melekat
pada masyarakat berabad-abad. Selain itu, kepercayaan asli masyarakat seperti
animisme dan dinamisme tidak dapat hilang dari kehidupan masyarakat Jawa.
Seperti pendapat Geertz, bahwa pada masa sekarang ini sistem keagamaan di
Jawa pada umumnya terdiri dari suatu perpaduan yang seimbang dari unsur-unsur
Hindu dan Islam, membentuk sinkretisme dasar yang merupakan tradisi rakyat
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, Islam masuk dengan mencampurkan budaya
yang telah ada sebelumnya di Jawa supaya mudah di terima, tanpa menghilangkan
atau mengurangi ketauhidan dan ajaran-ajaran Islam.
Salah satu tradisi Jawa yang terjadi proses sinkretisme adalah upacara
ritual baritan di Desa Asemdoyong Pemalang. Upacara ritual baritan ini
merupakan tradisi membuang sajen di tengah laut yang dimaksud sebagai
pemberian kepada makhluk-makhluk yang ada di laut. Pemberian sajen tersebut
memiliki harapan untuk mendapatkan timbal balik bagi para nelayan yang
mencari ikan di laut supaya mendapatkan hasil tangkap ikan yang melimpah.
Seperti teori yang diungkapkan oleh Marcel Mauss dalam karyanya yang berjudul
The Gift atau Pemberian, bahwa tidak ada sesuatu pemberian yang tanpa pamrih.
Karena menurutnya, kehidupan manusia telah berlangsung suatu evolusi secara
alamiah, sehingga manusia memiliki hubungan dengan roh-roh dari mereka yang
sudah meninggal atau dengan para dewa. Jadi dengan melaksanakan pemberian
atau saling tukar-menukar adalah hal yang dianggap penting karena untuk
menghindari adanya kekuatan jahat dari para roh leluhur dan membuat kehidupan
masyarakat menjadi lebih mudah dan aman.22
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Menurut
Denzin dan Licoln (2009), kata kualitatif menyiratkan penekanan pada
22Marcel Mauss, The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies, terj.
Parsudi Suparlan “Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-Menukar di Masyarakat Kuno” (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992), h. 19.
14
proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi
kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekuensinya. Jadi dengan pendekatan
kualitatif ini, peneliti menekankan sifat realitas yang terbangun ketika
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia di lapangan.
Adapun penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis dilaksanakan
pada:
Tanggal : 6 September 2018 - 21 September 2018
Tempat : Desa Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang
Selain itu, peneliti juga melakukan studi kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang dilakukan peneliti dengan menghimpun
data atau informasi tertulis yang dianggap relevan dengan topik yang
diteliti. Data atau informasi tersebut diperoleh dari buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, jurnal ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dan sumber-
sumber lainnya, baik berupa cetak maupun elektronik.23
2. Pendekatan
Penelitian ini mengkaji tentang ritual dalam tradisi baritan yang
merupakan budaya masyarakat pesisir Desa Asemdoyong. Tradisi ini
sangat erat kaitannya dengan agama dan budaya, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi. Selain itu,
peneliti juga menggunakan pendekatan sosiologis karena penelitian ini erat
sekali dengan kehidupan masyarakat.
3. Sumber Data
Data merupakan informasi tentang suatu kenyataan atau fenomena
empiris yang wujudnya dapat berupa seperangkat ukuran (kuantitatif) atau
berupa ungkapan kata-kata (kualitatif). Sumber data yang didapatkan
peneliti yaitu dari masyarakat pesisir Desa Asemdoyong. Penelitian ini
menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari
sumbernya. Data primer umumnya berupa karakteristik demografi atau
23Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 33-34.
15
sosioekonomi, sikap atau pendapat, kesadaran atau pengetahuan,
minat, motivasi, dan perilaku (tindakan dan penggunaan).
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang telah disusun,
dikembangkan, dan diolah dari aslinya kemudian tercatat. Data
sekunder terdiri dari data sekunder internal suatu organisasi (terutama
untuk penelitian terapan dan studi kasus) dan data sekunder eksternal
yang dipublikasikan.24
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data
yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
a. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang didapat
dari pengamatan peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap objek penelitian. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran realistis perilaku atau kejadian dan menjawab pertanyaan.
Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
tidak berstruktur, dimana peneliti harus mampu mengembangkan daya
pengamatannya dalam mengamati objek penelitiannya tersebut.
Dalam hal ini peneliti datang langsung ke lokasi penelitian
yaitu Desa Asemdoyong untuk melihat dan mengamati fenomena-
fenomena yang terjadi dan diharapkan mampu memberikan gambaran
objektif mengenai sinkretisme dan nilai-nilai Islam pada tradisi baritan
tersebut.
b. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan yang
diwawancarai tetapi dapat juga dengan memberikan daftar pertanyaan.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
24Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
h.137.
16
wawancara mendalam, yaitu proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dan tanya jawab dengan bertatap muka antara
pewawancara (peneliti) dengan informan. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi langsung dari sumber-sumber yang
dianggap kompeten, serta untuk memastikan kembali kebenaran data
yang telah didapat peneliti melalui pengamatannya.
Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai beberapa
narasumber yang merupakan pelaku, pelaksana, dan penjaga tradisi
baritan (sedekah laut), antara lain:
1) Bapak Darusalam selaku Kepala Desa Asemdoyong
2) Bapak KH. Muhafidz Abdul Ghani selaku tokoh agama (pemilik
Pondok Pesantren Qothrotunnada)
3) Bapak Fatchuri selaku tokoh agama (ketua NU Ranting
Asemdoyong)
4) Bapak Suroso selaku sesepuh (ketua KUD Mina Misoyo Makmur)
5) Bapak Nur Komilia selaku Kepala Dusun Karanganyar
6) Bapak Sali selaku sesepuh nelayan
7) Bapak Tahrudi selaku nelayan dan Ketua Panitia Baritan 2018.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang
didapat dari dokumen-dokumen atau catatan-catatan yang tersimpan,
seperti autobiografi, surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial,
klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server atau
flashdisk, dan data tersimpan di web site.25
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan cara menganalisis data penelitian,
termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam penelitian.
Jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.26
25Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
h.138-141. 26Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah,
h.163.
17
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2014/2015 yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri
dari lima bab, sebagai berikut :
Bab I, yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, yaitu berisi gambaran umum Desa Asemdoyong yang meliputi
sejarah desa, kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi sosial dan budaya,
kondisi keberagamaan, dan kondisi pendidikan masyarakat Desa Asemdoyong
Pemalang.
Bab III, yaitu membahas tentang prosesi ritual baritan (sedekah laut) di
Desa Asemdoyong Pemalang yang meliputi perkembangan upacara ritual baritan,
tujuan upacara ritual baritan, prosesi upacara ritual baritan, serta baritan dan
masyarakat Desa Asemdoyong.
Bab IV, yaitu membahas sinkretisme dan nilai-nilai Islam dalam upacara
ritual baritan (sedekah laut) yang meliputi sinkretisme dalam upacara ritual
baritan dan nilai-nilai Islam dalam upacara ritual baritan.
Bab V, yaitu penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari penulis.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA ASEMDOYONG PEMALANG
A. Sejarah Desa Asemdoyong Pemalang
Desa Asemdoyong merupakan desa yang berada di Kecamatan Taman
Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Desa Asemdoyong terletak di pesisir
pantai utara Pulau Jawa. Desa Asemdoyong memiliki Pelabuhan Perikanan (PP)
yang sangat potensial dan merupakan aset daerah dalam memperoleh pendapatan
daerah di Kabupaten Pemalang.
Penamaan Desa Asemdoyong berasa dari sesepuh desa yang bernama Ki
Gede Pondoh. Konon ceritanya, Ki Gede Pondoh menemukan pohon asem di tepi
sungai Jurumangu yang hampir roboh (doyong). Ki Gede Pondoh memiliki hewan
peliharaan yaitu seekor kucing hutan besar (harimau) yang diberi nama Mbah
Peko. Mbah Peko dipeliharanya di tempat tersebut. Selain menjadi tempat tinggal
Mbah Peko, Ki Gede Pondoh sering memanjat pohon asem tersebut bersama
saudaranya yang bernama Ki Gede Klinthing. Pohon asem tersebut berdiri
condong ke arah barat dan menghadap ke Sido Ayu yang sekarang disebut Candi
Sedayu. Akhirnya Ki Gede Pondoh menamakan desa tersebut dengan nama Desa
Asemdoyong (pohon asem yang hampir roboh atau berdiri condong). Kemudian
pada masa Lurah Wiro Wongso, pohon asem tersebut ditebang dan dirobohkan.
Batang pohon asem tersebut dibuat bedug dengan diameter 120 cm dan panjang
130 cm yang diletakkan di masjid utama Desa Asemdoyong yaitu Masjid
Baitussalam Dusun Asemdoyong.
Seiring perkembangan jaman, banyak ditemukan bukti-bukti sejarah
mengenai masuknya agama Islam di Desa Asemdoyong. Salah satu buktinya
adalah adanya makam kuno Mbah Jiwo Agung dan Mbah Syeikh Kyai Haji Abu
Bakar yang dikenal sebagai tokoh penyebar agama Islam. Tradisi dan cerita-cerita
lisan dari masa ke masa yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Desa
Asemdoyong turut mewarnai berdirinya Kabupaten Pemalang sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara sosio-historis, kesatuan pemukiman
di Desa Asemdoyong sudah mulai berkembang sebelum menjadi desa.
19
B. Kondisi Geografis dan Demografi Desa Asemdoyong Pemalang
Desa Asemdoyong adalah sebuah desa di Kecamatan Taman Kabupaten
Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa Asemdoyong berdekatan dengan
Ibukota Kabupaten yaitu dengan jarak tempuh 10 Km dan jarak dari Ibukota
Provinsi sejauh 30 Km. Ketinggian wilayah Desa Asemdoyong dari permukaan
laut adalah 2 mdpl, sehingga memiliki suhu maksimal 36˚C. Desa Asemdoyong
memiliki luas wilayah 566,268 ha yang terbagi atas tanah kering dengan luas
218,268 ha, tanah basah dengan luas 75 ha, dan tanah sawah dengan luas 273 ha.27
Selain itu, Desa Asemdoyong juga memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kabunan
3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Danasari dan Desa Kabunan
4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Kedungbanjar dan Desa
Nyamplungsari.28
Data penduduk Desa Asemdoyong yang tercatat pada Kantor Desa
Asemdoyong tahun 2017 adalah sebanyak 17.841 jiwa dengan jumlah
keseluruhan kepala keluarga di Desa Asemdoyong sebanyak 4.939 KK. Adapun
data tersebut akan dipetakan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
9.102 jiwa
8.739 jiwa
51,02%
48,98%
Jumlah Total 17.841 jiwa 100%
Sumber: Data primer yang telah diolah.29
27Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 1-2. 28Naskah RPJM Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2016-2021, h. 22. 29Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 10.
20
Penduduk Desa Asemdoyong berdasarkan data di atas, jumlah laki-laki
lebih banyak dibandingan dengan jumlah perempuan. Faktor dari ketidak
seimbangan tersebut, pertama adalah banyak terjadinya pernikahan dini yang
terjadi pada anak-anak tamatan SD, sehingga terjadi pertumbuhan penduduk dari
luar daerah akibat pernikahan tersebut. Faktor kedua, kurangnya minat masyarakat
terhadap program KB. Karena masyarakat Asemdoyong memiliki keyakinan
bahwa banyak anak membawa banyak rezeki. Angka kelahiran dalam setiap
keluarga lebih dominan berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Islam
Katolik
Protestan
Hindu
Buddha
Konghucu
17.841 jiwa
0 jiwa
0 jiwa
0 jiwa
0 jiwa
0 jiwa
100%
0%
0%
0%
0%
0%
Jumlah Total 17.841 jiwa 100%
Sumber: Data primer yang telah diolah.30
Dari data jumlah penduduk berdasarkan agama terlihat bahwa seluruh
penduduk Desa Asemdoyong menganut agama Islam. Hal ini menunjukan bahwa
masyarakat memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-
hari, masyarakat sering mengadakan kegiatan keagamaan di lingkungan masing-
masing.
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
No. Usia Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
0 – 6 tahun
7 – 12 tahun
13 – 18 tahun
19 – 24 tahun
1.891 jiwa
1.963 jiwa
2.248 jiwa
2.128 jiwa
10,60%
11,00%
12,60%
11,93%
30Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 10.
21
5.
6.
7.
25 – 55 tahun
56 – 79 tahun
80 tahun ke atas
7.882 jiwa
1.646 jiwa
86 jiwa
44,17%
9,22%
0,48%
Jumlah Total 17.841 jiwa 100%
Sumber: Data primer yang telah diolah.31
Dari data jumlah penduduk berdasarkan usia terlihat bahwa penduduk
Desa Asemdoyong paling banyak berusia 25 – 55 tahun yang merupakan
termasuk dalam usia produktif. Seseorang yang berusia produktif, dianggap dapat
berproduksi atau menghasilkan suatu produk atau jasa untuk menjalani
kehidupannya secara optimal.
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Petani
a. Pemilik tanah
b. Penggarap tanah
c. Buruh tani
Nelayan
Pengusaha
Pengrajin
Buruh
a. Industri
b. Bangunan
c. Perkebunan
Pedagang
Pengangkutan
PNS
TNI / POLRI
Peternak
a. Kerbau
b. Kambing
c. Domba
1.875 jiwa
504 jiwa
474 jiwa
897 jiwa
4.284 jiwa
4 jiwa
35jiwa
564 jiwa
258 jiwa
205 jiwa
101 jiwa
910 jiwa
19 jiwa
17 jiwa
15 jiwa
2.609 jiwa
5 jiwa
71 jiwa
1 jiwa
18,13%
41,42%
0,04%
0,34%
5,45%
8,80%
0,18%
0,16%
0,15%
25,23%
31Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 11.
22
11.
d. Ayam
e. Itik
Pensiunan
2.514 jiwa
18 jiwa
10 jiwa
0,10%
Jumlah Total 10.342 jiwa 100%
Sumber: Data primer yang telah diolah.32
Penduduk Desa Asemdoyong mayoritas bermata pencaharian sebagai
nelayan, baik itu sebagai pemilik kapal maupun buruh dari pemilik kapal. Jika
diurutkan, mata pencaharian yang terunggul dimulai dari nelayan, peternak, dan
petani. Hal tersebut dikarenakan letak Desa Asemdoyong yang berada di pesisir
pantai yang memiliki peluang sangat besar dalam memperoleh rezeki dari
kekayaan laut. Untuk mata pencaharian sebagai peternak lebih dominan menjadi
peternak ayam, baik itu dalam jumlah besar atau dikelola secara pribadi di
halaman rumahnya. Selain itu, Desa Asemdoyong juga masih memiliki tanah
sawah yang cukup luas yaitu 273 ha. Sehingga tidak sedikit masyarakat
memanfaatkan lahan tersebut sebagai sumber penghasilan untuk keluarga mereka.
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan
No. Pendidikan Jumlah Persentase
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Belum Sekolah
Tidak Tamat Sekolah Dasar
Tamat SD/Sederajat
Tamat SLTP/Sederajat
Tamat SLTA/Sederajat
Tamat Akademi/Sederajat
Tamat Perguruan Tinggi
Buta Huruf
5.342 jiwa
3.874 jiwa
6.107 jiwa
1.310 jiwa
812 jiwa
66 jiwa
73 jiwa
257 jiwa
29,94%
21,71%
34,23%
7,34%
4,55%
0,37%
0,41%
1,44%
Jumlah Total 17.841 jiwa 100%
Sumber: Data primer yang telah diolah.33
32Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 12-13. 33Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 13.
23
Data tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Asemdoyong
kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Hal tersebut dinilai dari
banyaknya masyarakat yang hanya belajar sampai pada tingkat SD/sederajat.
Dikarenakan masyarakat menilai bahwa keturunannya akan tetap menjadi nelayan
yang tidak membutuhkan jenjang pendidikan yang tinggi. Selain itu, banyak pula
yang belum sekolah artinya bahwa angka kelahiran di desa ini sangat tinggi.
Namun, jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan lebih tinggi hingga
tingkat akademi maupun perguruan tinggi tiap tahun selalu bertambah. Artinya
perlahan-lahan masyarakat Desa Asemdoyong bisa lebih mengerti akan
pentingnya pendidikan.
C. Kondisi Ekonomi Desa Asemdoyong Pemalang
Desa Asemdoyong terletak di pesisir utara Laut Jawa yang kaya akan jenis
biota laut, seperti ikan, kerang, udang, cumi-cumi, kepiting, dan lainnya.
Kekayaan laut Desa Asemdoyong dinilai lebih unggul daripada di desa lain di
Kabupaten Pemalang. Hal tersebut menjadi peluang sangat besar bagi masyarakat,
sehingga mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan. Fasilitas
ekonomi untuk para nelayan juga lebih diperhatikan, seperti adanya Koperasi Unit
Desa (KUD) yang terletak di pelabuhan perikanan Desa Asemdoyong. Adanya
KUD ini ditujukan untuk membantu masyarakat mengelola pendapatan dari hasil
tangkapannya di laut. Kegiatan besar untuk para nelayan juga setiap tahun
diadakan guna memberikan rasa syukur kepada Allah SWT. atas rezeki yang
mereka dapatkan di laut, sekaligus sebagai ajang silaturahmi atau pesta bagi para
nelayan dan masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dinamakan baritan atau
sedekah laut.34
Masyarakat Desa Asemdoyong ada yang memiliki kapal (tekong) dan
memiliki buruh nelayan untuk dipekerjakan, namun adapula yang memiliki kapal
yang digunakan sendiri untuk mencari ikan bersama anggota keluarganya. Buruh
nelayan mendapatkan upah dari tekong tergantung dari hasil tangkapan ikannya.
Hasil tangkapan ikan dikumpulkan di Pelabuhan Perikanan Pantai. Setelah
dikumpulkan, kemudian dikelompokkan sesuai dengan ukuran yaitu ikan besar,
34Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam, “Kepala Desa Asemdoyong”, Pemalang,
20 September 2018.
24
ikan sedang, dan ikan kecil. Ikan besar akan diperjualbelikan dengan sistem
lelang, biasanya ikan-ikan besar akan di ekspor ke luar kota atau bahkan ke luar
negeri. Ikan sedang diperjualbelikan kepada pengusaha kelas menengah yang
biasanya dijual di super market. Untuk ikan kecil diperjualbelikan kepada
pengusaha kecil yang biasanya dijual di depan pelabuhan ataupun di pasar-pasar
Kabupaten Pemalang. Adapula para nelayan yang melakukan tangkapan ikan
dengan kapal milik pribadi dan hasil tangkapan ikan tersebut langsung dibeli para
pengusaha kecil dengan harga yang relatif murah. Maka dari itu, banyak sekali
masyarakat Desa Asemdoyong yang menggantungkan hidupnya dengan hasil
tangkapan ikan tersebut, baik sebagai bos kapal (tekong), nelayan, maupun
pengusaha atau pedagang.
Masyarakat Desa Asemdoyong selain menjadi nelayan, banyak pula yang
menjadi peternak, petani, pedagang, dan buruh. Desa Asemdoyong banyak
memiliki pekarangan yang dimanfaatkan para peternak untuk memelihara hewan
ternaknya. Hamparan sawah di desa ini juga sangat luas dan sangat membantu
produksi beras baik untuk masyarakat Kabupaten Pemalang maupun luar kota
Pemalang. Masyarakat yang menjadi pedagang ada yang berdagang ikan di
pelabuhan maupun di pasar, ada yang memiliki toko pribadi, adapula yang
menjadi pedagang keliling. Pemalang memiliki bebarapa industri kecil seperti
tekstil dan tenun. Sebagian masyarakat Desa Asemdoyong bekerja sebagai buruh
industri tersebut dan adapula sebagai buruh bangunan.
Dalam melakukan aktifitas perekonomian, tentu masyarakat membutuhkan
sarana sebagai penunjang untuk mencapai tujuan perekonomian. Sarana
perekonomian yang dimiliki Desa Asemdoyong antara lain:
Tabel 2.6 Sarana Perekonomian Desa Asemdoyong
No. Sarana Perekonomian Jumlah
1.
2.
3.
4.
Koperasi
a. Koperasi Unit Desa (KUD)
b. BPKD (BUM Desa)
Pasar Ikan
Toko / Kios / Warung
Bank
1 unit
1 unit
1 unit
827 unit
1 unit
25
5.
6.
Lumbung Desa
Perusahaan / Usaha
a. Industri
1) Besar
2) Kecil
3) Rumah Tangga
b. Rumah Makan
c. Angkutan
1 unit
1 unit
2 unit
17 unit
17 unit
16 unit
Jumlah Total 885 unit
Sumber: Data primer yang telah diolah.35
D. Kondisi Sosial dan Budaya Desa Asemdoyong Pemalang
Desa Asemdoyong memiliki banyak potensi dari para pemudanya, baik
dari segi tenaga maupun pikiran. Para pemuda Desa Asemdoyong membentuk
berbagai perkumpulan guna menjalin silaturahmi dan gotong royong. Salah satu
organisasi kepemudaan yang paling menonjol di desa adalah karang taruna yang
dikenal dengan nama Muda Bahari. Kegiatannya meliputi kegiatan sosial seperti
membantu rehab rumah bagi rumah yang tidak layak huni, kerja bakti, santunan,
membantu hajatan pernikahan, khitanan, dan lainnya. Kelompok karang taruna
juga seringkali mengadakan kegiatan keagamaan seperti yasin dan tahlil,
manaqib, dzikir jamaah, dan kajian seputar agama. Adapula organisasi
kepemudaan di bidang olahraga yaitu PERSEDA (Persatuan Sepak Bola Desa
Asemdoyong). Fokus kegiatannya dilakukan di Lapangan Krida Bahari yang
memiliki luas tanah 1 ha. Untuk organisasi lain yang sering bergerak di bidang
sosial adalah Ikatan Remaja Berjiwa Sosial (IRBAS), komunitas sepeda onthel,
Ikatan Remaja Bulusari (IRB), Ikatan Remaja Kebonan (IREK), dan lainnya.
Desa Asemdoyong merupakan desa yang masih sangat menjaga budaya
leluhurnya. Budaya yang lahir dari leluhurnya masih terus dilestarikan. Daerah
pesisir terkenal memiliki kepercayaan yang sangat kuat akan roh-roh gaib. Namun
seiring berkembangnya zaman, kepercayaan yang sangat kuat itu hidup
35Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 13.
26
berdampingan dengan agama yang dianut masyarakat yaitu agama Islam. Budaya
tersebut seperti:
1. Upacara Baritan (Sedekah Laut)
Upacara baritan merupakan upacara adat jawa yang dilakukan para
nelayan setiap tahun. Kata baritan berarti berbaris-baris, yaitu beberapa
perahu berbaris-baris dan berduyun-duyun ke tengah laut.36 Upacara ini
dilakukan untuk menandai masa awal musim penangkapan ikan setelah
masa paceklik, sehingga dengan melaksanakan upacara ini diharapkan
akan meningkatkan hasil tangkapan ikan yang sangat baik.37
2. Sintren
Sintren merupakan kesenian rakyat khususnya di pantai utara Jawa
Tengah, pemeran utama dipegang oleh gadis berumur belasan tahun,
dibantu gadis lain sebagai pengiring nyanyian, diiringi dengan musik jawa
seperti gamelan, angklung, gong, dan sebagainya.38 Kelompok sintren di
Desa Asemdoyong ini dikenal dengan nama Sintren Sekar Melati dibawah
pimpinan Bapak Warid yang berada di Kampung Baru dekat dengan
pantai. Sintren Sekar Melati pernah mengikuti beberapa acara di wilayah
Karesidenan. Pada masa jayanya, kelompok sintren ini pernah mendapat
kesempatan menampilkan pertunjukannya di Ancol Jakarta Utara.39
3. Krangkeng
Krangkeng merupakan kesenian yang memiliki perpaduan antara
gerak tari, olahraga, ilmu bela diri, dan gerakan akrobatik yang dikemas
menarik untuk menjadi sebuah tontonan. Kesenian krangkeng
mengandung unsur magis yang dapat membuat pemain berhasil melakukan
gerakan akrobatik. Tujuan penciptaan kesenian krangkeng adalah untuk
melatih pencak silat yang diisi kekebalan tubuh, namun dikemas dalam
bentuk kesenian supaya lebih menarik dan sebagai upaya untuk
menyiarkan agama Islam. Penyiaran agama Islam yang terkandung dalam
36Wawancara Pribadi dengan Bapak Fatchuri, “Ketua NU Ranting Asemdoyong”,
Pemalang, 20 September 2018. 37Nur Syam, Islam Pesisir, h. 183. 38Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kelima (Versi Online) (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
2016). 39Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam.
27
kesenian krangkeng terdapat pada iringan musik yang bernafaskan Islam
yaitu genjring, bedug, serta menggunakan lagu-lagu shalawat.40 Namun,
kesenian krangkeng di Desa Asemdoyong sudah berkurang eksistensinya,
karena tidak ada penerus pendirinya dan kurangnya pemuda yang tertarik
akan meneruskan kesenian tersebut.
4. Selametan
Selamatan merupakan sebuah tradisi ritual masyarakat Jawa
sebagai bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau
tetangga. Tujuan pelaksanaan selamatan adalah untuk terhindar dari
gangguan roh-roh jahat setempat dengan upaya tawar-menawar melalui
makanan yang disajikan pada pelaksanaan slametan.41 Dalam kehidupan
masyarakat Desa Asemdoyong sering mengadakan slametan hampir pada
semua kejadian, seperti kelahiran, pernikahan, kematian, pindah rumah,
kelulusan sekolah, hari-hari besar, dan lain sebagainya.
Selain budaya, Desa Asemdoyong memiliki peninggalan dari leluhurnya
yaitu bedug. Bedug tersebut terbuat dari pohon asem yang besar yang dijadikan
sebagai asal usul penamaan Desa Asemdoyong yaitu pohon asem yang doyong
(condong). Sebagai bukti sejarah, pohon asem tersebut diabadikan menjadi bedug
dan diletakkan di Masjid Baitussalam yang merupakan masjid tertua di Desa
Asemdoyong.42
Gambar 2.1 Bedug
(Foto: Dokumen penulis)
40Nurul Amalia, “Bentuk dan Fungsi Kesenian Tradisional Krangkeng di Desa
Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang,” Jurnal Fakultas Bahasa dan Seni, Vol. 4
No. 2 (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2015), h. 2-7. 41Clifford Geertz, The Religion of Java, h. 17-18. 42Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam.
28
Gambar 2.2 Masjid Baitussalam
(Foto: Dokumen penulis)
Dalam menunjang kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat
kesehariannya, Desa Asemdoyong memiliki beberapa sarana sosial dan budaya,
baik milik pribadi masyarakat maupun desa, antara lain:
Tabel 2.7 Sarana Sosial dan Budaya Desa Asemdoyong
No. Sarana Sosial dan Budaya Jumlah
1.
2.
3.
Rumah Penduduk
Pariwisata
a. Pantai
b. Sanggar Kesenian
Kesehatan
a. Poliklinik
b. Puskesmas
c. Apotek
d. Posyandu
3.640 unit
1 unit
3 unit
4 unit
1 unit
1 unit
6 unit
Jumlah Total 3.656 unit
Sumber: Data primer yang telah diolah.43
E. Kondisi Keagamaan Desa Asemdoyong Pemalang
Masyarakat Desa Asemdoyong memiliki jiwa religius yang kuat, karena
agama yang dianut oleh semua kalangan adalah agama Islam yang mayoritas
tergolong dalam kelompok Nahdiyin (NU). Masyarakat desa memiliki jiwa
solidaritas yang sangat tinggi, mereka sering mengadakan perkumpulan sehingga
43Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 7-8.
29
banyak kelompok yang dibentuk untuk mewadahi perkumpulan tersebut. Dalam
hal ini untuk kegiatan keagamaan, masyarakat berkumpul dalam beberapa
organisasi keislaman, baik yang diikuti oleh kalangan pemuda, kaum bapak-
bapak, maupun kaum ibu-ibu. Organisasi keislaman tersebut seperti Ikatan Santri
Asemdoyong Kaffah (IKSAFF), Ikatan Remaja Masjid (IRMA), Jam’iyah
Muslimat, Majelis Qur'an, Majelis Diba, Majelis Qhotrotunnada, Majelis
Berzanji, Kelompok Hadroh As-Salam, dan lainnya. Kegiatan organisasi tersebut
meliputi pengajian, yasin dan tahlil, baca al-Qur’an dan Iqro’, manaqib, asmaul
husna, shalawatan, dzikir bersama, kajian, diskusi maupun kegiatan sosial seperti
bakti sosial dan santunan.
Kegiatan keagamaan yang rutin diadakan di Desa Asemdoyong adalah
sebagai berikut:
1. Mujahadah Nihadul Mustaghfirin yang dipimpin oleh kelompok NU
lanting Asemdoyong. Kegiatan dilaksanakan secara bergilir antar masjid di
Desa Asemdoyong setiap malam Minggu (Sabtu malam) pahing.
2. Khaul Desa di Makam KH. Abu Bakar. Kegiatan khaul desa dilaksanakan
satu kali dalam setiap tahun yaitu pada tanggal 8 Syawal.
3. Asemdoyong Bershalawat. Kegiatan tersebut meliputi pengajian dan
shalawat berjamaah yang biasanya mendatangkan ulama dari luar kota.
Untuk pelaksanaannya satu tahun sekali, namun waktunya tidak
ditentukan.
4. Jamiyahan yang dilaksanakan setiap Kamis malam (malam Jum’at) untuk
kaum bapak-bapak, sedangkan setiap Minggu pagi dan ba’da Jum’at untuk
kaum ibu-ibu.
5. Pengajian rutin setiap Selasa sore, Rabu sore, dan ba’da Jumat yang
dilaksanakan di Pondok Pesantren Qothrotunnada, Pondok Pesantren al-
Mubarok, dan beberapa mushala.44
Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan, Desa Asemdoyong
memiliki beberapa sarana untuk menunjang terlaksananya kegiatan tersebut antara
lain:
44Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam.
30
Tabel 2.8 Sarana Keagamaan Desa Asemdoyong
No. Sarana Keagamaan Jumlah
1.
2.
3.
Tempat Ibadah
a. Masjid
b. Mushala
Pondok Pesantren
Majelis Taklim
5 unit
28 unit
2 unit
35 kelompok
Jumlah Total 35 unit dan
35 kelompok
Sumber: Data primer yang telah diolah.45
F. Kondisi Pendidikan Desa Asemdoyong Pemalang
Pendidikan pada umumnya terbagi menjadi dua jenis yaitu pendidikan
formal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal meliputi Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Lanjut Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjut Tingkat Akhir (SLTA), dan
Perguruan Tinggi. Pada zaman modern saat ini, pendidikan formal bersifat sangat
penting supaya tidak menjadi masyarakat yang terbelakang. Tingkat pendidikan
yang dicapai oleh masyarakat Desa Asemdoyong sesuai dengan data yang penulis
peroleh sebanyak 21,71% jumlah masyarakat tidak tamat SD dan sebanyak
34,23% tamat SD. Anak-anak Desa Asemdoyong lebih memilih menghabiskan
waktunya untuk bermain dengan teman sebayanya. Hal ini dikarenakan kurangnya
motivasi dari orang tua agar anak-anaknya tetap bersekolah dan pengaruh dari
teman sebayanya yang juga tidak melanjutkan pendidikan. Anak-anak mereka
yang umurnya masih belasan tahun biasanya lebih memilih ikut dengan ayahnya
untuk pergi melaut dan hal tersebut diperbolehkan oleh orang tuanya. Namun,
sebagian dari mereka masih ada yang mampu memberikan motivasi hingga
anaknya bisa menyelesaikan pendidikan yang semestinya.
Motivasi yang mereka berikan bahwa anak-anaknya harus bisa sukses dari
orang tuanya, tidak menjadi nelayan. Sehingga sebanyak 7,34% dapat
45Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 7-9.
31
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SLTP dan 4,55% jenjang SLTA.
Pemahaman akan pentingnya menyekolahkan anak dinilai sudah mulai
meningkat. Hal tersebut terbukti dengan mulai banyaknya anak-anak asli Desa
Asemdoyong yang sudah bergelar Ahli Madya dengan persentase 0,37% dan
bergelar sarjana sebanyak 0,41%. Semakin banyak keluarga yang memiliki
tingkat kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan, maka semakin banyak pula
masyarakat lain yang terpengaruh. Selain itu, sosial media dan relasi luar juga
merupakan faktor untuk meningkatkan motivasi masyarakat dalam meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anaknya. Sarana
sebagai penunjang pendidikan formal bagi masyarakat Desa Asemdoyong, antara
lain46:
Tabel 2.9 Sarana Pendidikan Formal Desa Asemdoyong
No. Sarana Pendidikan Formal Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
PAUD
TK
SD Negeri
SD Swasta/MI
SLTP Negeri
SLTP Swasta
SLTA Negeri / Sederajat
SLTA Swasta / Sederajat
Perguruan Tinggi Negeri
Perguruan Tinggi Swasta
2 unit
2 unit
5 unit
1 unit
1 unit
0 unit
0 unit
0 unit
0 unit
0 unit
Jumlah Total 11 unit
Sumber: Data primer yang telah diolah.47
Pendidikan non formal tidak kalah penting dengan pendidikan formal.
Pendidikan non formal disini meliputi kursus, baca iqro’ dan al-Qur’an,
pengajian, dan diskusi. Kursus merupakan pilihan untuk menambah pengetahuan
di luar jam sekolah, biasanya anak-anak mengikuti kursus supaya lebih faham
46Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam. 47Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Tahun
2017, h. 5-7.
32
pelajaran yang sudah didapatkan dari lembaga pendidikan formal. Kursus tidak
hanya dalam bidang pelajaran, adapula dalam bidang keahlian seperti kursus
menjahit, komputer, bahasa, dan lainnya. Biasanya kursus diadakan di tempat
bimbingan belajar, tempat kursus keahlian, bahkan adapula secara pribadi yaitu
datang ke rumah. Sebagian masyarakat memang masih kurang memiliki
pemahaman akan pentingnya pendidikan formal, namun untuk pendidikan baca
iqro’ dan al-Qur’an, masyarakat sangat mewajibkan anak-anaknya. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan adanya pondok pesantren yang memiliki banyak santri
dan banyaknya majelis serta Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). Bagi
masyarakat, pengetahuan akan ayat al-Qur’an sangat penting bagi kehidupan
manusia, baik di dunia dan untuk bekal kelak di akhirat. Sehingga sebagian anak
yang tidak bersekolah, mereka memiliki banyak waktu untuk mengaji, baik iqro’,
juz ‘amma, pengetahuan agama seperti fiqih, akhlak, dan lainnya mereka belajar
di tempat dan waktu yang berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa kekuatan
religius masyarakat Asemdoyong sangat kuat.48
48Wawancara Pribadi dengan Bapak Sali, “Sesepuh Nelayan Desa Asemdoyong”,
Pemalang, 18 September 2018.
33
BAB III
PROSESI UPACARA RITUAL BARITAN (SEDEKAH LAUT)
DI DESA ASEMDOYONG PEMALANG
A. Perkembangan Upacara Ritual Baritan
Masyarakat pesisir memiliki upacara yang khas, salah satunya adalah
upacara baritan atau upacara sedekah laut. Upacara baritan adalah sebuah tradisi
peninggalan dari leluhur yang sudah melekat dan belum bisa dipisahkan dari
kehidupan masyarakat sampai pada masa sekarang.49 Dari berbagai informasi
yang penulis dapatkan, upacara baritan belum diketahui secara pasti kapan mulai
dilaksanakan di Desa Asemdoyong dan bagaimana asal mulanya. Namun, upacara
ini diyakini memang sudah ada semenjak budaya Jawa masih asli, belum
tercampur dengan budaya luar.
Upacara baritan tidak memiliki sejarah tertulis, hanya dilestarikan dan
diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Setiap tradisi
dilestarikan melalui proses pelembagaan yang ada dalam tatanan masyarakat.
Pelembagaan tradisi dimaksudkan agar tradisi yang memiliki rangkaian panjang
dari generari terdahulu tidak hilang atau berkurang, akan tetapi tetap menjadi
bagian dari generasi-generasi berikutnya. Proses pewarisan tradisi dilakukan
melalui beberapa media, antara lain: pengajian, penyebaran informasi melalui
media cetak dan media elektronik, cerita-cerita dari para tokoh, memberikan
pengalaman kepada anak-anak, dan pengulangan tindakan.50
Pertama, pengajian. Pengajian dinilai sebagai sarana paling efektif dalam
pelestarian dan pengembangan tradisi lokal yang tersinkretik dengan agama Islam,
yaitu upacara baritan. Dalam upacara baritan tahun 2018 mendatangkan KH.
Misbahul Musthofa, salah satu tokoh agama dari Tegal. KH. Misbahul Musthofa
dalam ceramahnya mengungkapkan tentang pentingnya peringatan Bulan Suro
atau Bulan Muharam, melaksanakan sedekah, dan menjaga akidah dari kesalahan-
kesalahan penafsiran dalam melaksanakan tradisi. Jadi dengan adanya pengajian,
diharapkan akan menguatkan akidah masyarakat.
49Wawancara Pribadi dengan Bapak Suroso, “Ketua KUD Mina Misoyo Makmur”,
Pemalang, 20 September 2018. 50Nur Syam, Islam Pesisir, h. 211-216.
34
Kedua, penyebaran informasi melalui media cetak (brosur, pamflet, dan
buku) dan media elektronik (internet, televisi, dan radio) mengenai manfaat atau
kegunaan upacara-upacara. Biasanya satu bulan sebelum pelaksanaan, brosur dan
pamflet tentang upacara baritan sudah mulai tersebar di masyarakat Pemalang.
Jadi masyarakat banyak mengetahui info pelaksanaan upacara baritan dari brosur
dan pamflet tersebut. Selain itu, pada saat pelaksanaan upacara baritan juga
banyak mendokumentasikan tradisi tersebut. Kemudian masyarakat yang
mendokumentasikan tersebut, disebarkan melalui sosial media dan adapula yang
dikirim ke Youtube sehingga dapat dilihat oleh generasi-generasi berikutnya.
Ketiga, melalui penguatan-penguatan dari cerita-cerita tentang pengalaman
kehidupan yang bersesuaian dengan tradisi tersebut yang disampaikan oleh para
sesepuh, juru kunci, kiai, dan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini penulis
merasakan hal tersebut karena penulis mendapat berbagai informasi dari para
sesepuh. Para sesepuh menceritakan pengalaman sejak usia dini mengikuti
upacara baritan yang dilaksanakan di tempat tinggalnya setiap tahun. Penulis juga
mendapat cerita dari sesepuh nelayan yang mengalami pengalaman spiritual
sehingga mengetahui sesaji apa saja yang dibutuhkan. Pengalaman spiritual
didapatkan secara turun temurun dalam keluarganya.
Keempat, memberikan pengalaman kepada anak-anak. Dalam setiap
upacara baritan berlangsung, banyak orang tua yang mengajak anaknya untuk
melihat pelaksanaan upacara tersebut. Hal tersebut baik secara langsung atau tidak
langsung akan memberikan pengalaman kepada anak-anak tentang pentingnya
upacara tersebut.
Kelima, penguatan melalui pengulangan tindakan. Upacara baritan
dilakukan secara terus menerus dari tahun ke tahun. Bahkan persiapan upacara ini
juga selama setahun sebelum pelaksanaan. Sehingga tanpa disadari masyarakat
semakin mengetahui arti penting dan makna upacara tersebut bagi kehidupan.
Lima media tersebut sangat berpengaruh dalam proses pelestarian suatu
tradisi. Masyarakat merupakan penggerak utama dalam lima media pelestarian
tradisi tersebut. Namun, kehidupan masyarakat selalu mengalami perubahan, baik
dalam tingkah laku maupun pola pikir. Perubahan tersebut mendorong tatanan
kehidupan masyarakat menjadi berkembang. Faktor yang menjadi penyebab
35
perubahan tersebut antara lain: pertama, perubahan lingkungan alam. Kedua,
perubahan yang disebabkan adanya kontak dengan suatu kelompok lain. Ketiga,
perubahan karena adanya penemuan. Keempat, perubahan yang terjadi karena
masyarakat mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah
dikembangkan oleh masyarakat lain di tempat asalnya. Kelima, perubahan yang
terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi
suatu kepercayaan baru atau karena perubahan dalam pandangan hidup.51 Dalam
hal ini suatu tradisi yang hidup dalam suatu lingkungan tentu akan merasakan
dampak dari perubahan tersebut. Tradisi selalu mengalami perkembangan
menyesuaikan dengan pelaku tradisi dan kepercayaannya.
Pada awal abad ke-20, upacara baritan dilakukan secara sederhana. Dahulu
dilakukan dengan perlengkapan sesaji yang sederhana dan dilakukan oleh masing-
masing pemilik kapal. Upacara baritan dimulai dengan pembuatan sajen,
kemudian didoakan oleh sesepuh. Setelah itu, dilaksanakan larung sesaji ke laut.
Sesaji yang dilarungkan dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih kepada
mbaurekso atau penguasa laut atas limpahan hasil tangkapan para nelayan dan
sebagai permohonan supaya selalu dilindungi dari malapetaka saat pergi ke laut.
Pada masa ini, hiburannya hanya wayang dan balapan perahu. Belum ada orkes
dangdut dan pengajian.52
Pada akhir abad ke-20, upacara baritan mulai mendapat perhatian dari
pemerintah daerah. Sehingga upacara baritan mulai dikenal masyarakat luas.
Upacara baritan memiliki fungsi komunikasi. Pelaksanaan upacara baritan
mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah
daerah yang mulai memberi arahan dan melindungi pelaksanaan upacara baritan.
Secara langsung membutuhkan kerjasama antar pemerintah desa dengan
masyarakat. Kerjasama ini menjadi media komunikasi yang bermanfaat bagi
masyarakat nelayan, karena dapat berbagi persoalan yang dialami para nelayan
dan berharap memperoleh solusi dari pemerintah daerah. Selain fungsi
51Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Edisi Kedua (Jakarta: Kencana,
2011), h. 44. 52Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhafidz Abdul Ghani, “Tokoh Agama Desa
Asemdoyong”, Pemalang, 20 September 2018.
36
komunikasi, adapula perubahan menjadi fungsi hiburan.53 Hiburan mulai
berkembang yaitu dengan adanya pesta dangdut. Hiburan pesta dangdut sangat
diminati oleh semua kalangan. Oleh karena itu, banyak masyarakat dari desa
tetangga yang turut hadir untuk menikmati hiburan tersebut.
Pada masa orde baru tahun 1997, pelaksanaan upacara baritan bersamaan
dengan hari tenang pasca pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden, sehingga
pelaksanaan upacara baritan dilarang oleh pemerintah. Namun masyarakat tetap
melaksanakan tetapi tidak dengan rangkaian upacara resmi dan hiburan meriah,
hanya melaksanakan larung sesaji di laut oleh para nelayan dan keluarganya.54
Memasuki abad ke-21, tradisi baritan mulai dilaksanakan dengan meriah
seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat sehingga mendapat
usulan dari masyarakat untuk meningkatkan hiburan. Pada masa ini, upacara
baritan dimulai dengan acara musik dangdut yaitu pada malam hari sebelum 1
Muharam. Kemudian pada 1 Muharam, dilaksanakan acara inti yaitu larung sesaji
ke laut yang sebelumnya sudah didoakan terlebih dahulu oleh ulama desa. Dalam
waktu bersamaan pula, wayang kulit mulai dimainkan hingga dini hari. Pagelaran
wayang merupakan suatu rangkaian acara yang wajib diselenggarakan setiap
tahun dalam pelaksanaan upacara baritan. Pagelaran wayang pada waktu
bersamaan dengan larung sesaji dikenal dengan istilah ruwatan. Lakon dalam
pelaksanaan ruwatan setiap tahun selalu sama yaitu Badeg Basu. Lakon Badeg
Basu menceritakan kisah asal usul binatang di alam ini, termasuk asal mula ikan.55
Namun, pada tahun 2013 timbul kontra dari kalangan ulama desa. Karena
menurut para ulama tidak pantas jika pesta dangdut dilakukan pada malam 1
Muharam. Pada malam 1 Muharam 1435 (5 November 2013) mayoritas
masyarakat mengikuti acara mujahadah dan pengajian yang dilaksanakan di
lapangan utama Desa Asemdoyong, tetapi di PP Desa Asemdoyong juga
mengadakan pesta dangdut. Menurut para ulama, pada malam itu layaknya
masyarakat merenungi diri atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada tahun
sebelumnya dan berfikir untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi di tahun
53Sri Widati, “Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan: Kajian
Perubahan Bentuk dan Fungsi,” Jurnal PP, Vol. 1, No. 2 (Pekalongan: Desember 2011), h. 146. 54Wawancara Pribadi dengan Bapak Suroso. 55Sri Widati, “Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan: Kajian
Perubahan Bentuk dan Fungsi,” h. 145-146.
37
mendatang. Upaya yang dilakukan adalah dengan membaca doa akhir tahun dan
doa awal tahum, kemudian dzikir dan bermujahadah bersama. Oleh karena itu,
susunan acara pelaksanaan upacara baritan berubah di tahun selanjutnya.
Pada tahun 2014, upacara baritan dimulai dengan pengajian akbar yang
dilaksanakan pada malam 1 Muharam di KUD Mina Misoyo Makmur. Pengajian
akbar menghadirkan ulama dari luar kota. Perubahan tersebut awalnya berat dan
muncul pro kontra dari masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa
upacara baritan akan menjadi kurang ramai. Kemudian diadakan musyawarah
bersama dari kalangan ulama, aparat desa, dan para nelayan. Setelah disadari
bersama, akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa malam 1 Muharam yang
mulanya diadakan pesta dangdut, sekarang berganti untuk kegiatan pengajian.
Kemudian pada tanggal 1 Muharam dilaksanakan acara inti upacara baritan yaitu
dengan larung sesaji ke laut. Dalam waktu bersamaan, wayang kulit mulai
dimainkan oleh dalang hingga dini hari. Kemudian pada tanggal 2 Muharam,
acara musik dangdut di mulai dari pagi hingga malam hari sebagai hiburan bagi
masyarakat Asemdoyong dan sekitarnya.
Pada tahun 2016, muncul kesadaran dari para nelayan untuk mengadakan
santunan yatim dan piatu, serta membantu untuk pembangunan pondok pesantren,
musala, dan masjid. Pelaksanaan santunan masih dalam Bulan Muharam tetapi
untuk tanggal menyesuaikan keadaan.56
Perkembangan upacara baritan telah merubah tradisi yang semula
memiliki fungsi sakral menjadi fungsi hiburan. Bentuk-bentuk upacara yang
diikuti prosesi, tari-tarian, doa bersama, makan bersama, dan upacara korban
dianggap sebagai aktivitas yang unik dan menarik oleh sebagian masyarakat.
Selain itu, dukungan dari pemerintah desa yang memandang tradisi tersebut
sebagai aset budaya yang harus dilestarikan membawa dampak semakin
banyaknya wisatawan yang berkunjung.57 Hiburan yang turut menjadi daya tarik
para wisatawan seperti pertandingan persahabatan sepak bola, drum band, seni
kuda lumping, pagelaran wayang, serta para nelayan yang menyediakan
perahunya untuk para wisatawan yang ingin mengikuti prosesi ritual di tengah
56Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam. 57Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya
(Malang: Intrans Publishing, 2015), h. 113.
38
laut. Hal tersebut yang menjadi penyebab pergeseran fungsi tradisi. Namun,
berbagai perkembangan tersebut memang dimaksudkan untuk kepentingan
masyarakat bersama, karena tradisi diciptakan oleh dan untuk manusia.
B. Tujuan Upacara Ritual Baritan
Upacara baritan atau sedekah laut memiliki arti yang sangat penting bagi
masyarakat Desa Asemdoyong, terutama bagi kalangan nelayan. Sebagian
masyarakat Desa Asemdoyong berpendapat bahwa baritan merupakan pestanya
para nelayan. Upacara baritan dinilai sebagai bentuk selametan yang ditujukan ke
laut supaya menimbulkan timbal balik yang baik kepada nelayan. Timbal balik
yang dimaksudkan adalah para nelayan telah memberikan sesajian kepada laut
yang diharapkan akan menimbulkan kebaikan ketika para nelayan mencari ikan di
laut, mendapat ikan yang banyak dan besar, serta dijauhkan dari marabahaya.
Kepercayaan tersebut seperti teori yang diungkapkan oleh Marcel Mauss dalam
karyanya yang berjudul The Gift atau Pemberian (1992), bahwa tidak ada sesuatu
pemberian yang tanpa pamrih. Jadi para nelayan memberikan sesajian tersebut
disertai dengan harapan mendapatkan timbal balik, tidak hanya memberi dengan
suka rela.
Mulanya masyarakat memberikan sesajian ditujukan untuk para penguasa
laut, seperti Nabi Khidir, Kaki Baurekso, Nini Baurekso, Kaki Rengkeng, Nini
Rengkeng, Mbah Endugras, Mbah Omplok, Kaki Cempalok, dan Nini Cempalok.
Tujuan memberikan sesajian kepada para penguasa laut adalah supaya para
penguasa laut menjaga para nelayan ketika sedang mencari ikan dan hasil tangkap
para nelayan semakin meningkat. Namun, seiring berkembangnya pola pikir dan
meningkatnya religiusitas masyarakat, maka kepercayaan tersebut bergeser.
Mayoritas masyarakat menganggap bahwa upacara baritan sebagai bentuk puji
syukur atas segala rezeki yang diberikan oleh-Nya dan sebagai permohonan
supaya dalam mencari rezeki diberi keselamatan, serta rezekinya bertambah.
Sedangkan bagi sesepuh nelayan, upacara baritan memang ditujukan kepada Allah
SWT., tetapi melalui perantara para penguasa laut.
Tujuan pelaksanaan upacara baritan di Desa Asemdoyong berkembang
sebagai berikut:
39
1. Untuk ajang silaturahmi masyarakat Desa Asemdoyong dan sekitarnya.
Pada pelaksanaan upacara baritan, banyak para pemuda yang bekerja di
luar kota sengaja pulang ke tempat tinggalnya, sehingga mereka bisa
berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. Para nelayan tidak
melakukan aktifitas mencari ikan seperti hari-hari biasanya, sehingga pada
pelaksanaan upacara baritan dimanfaatkan untuk berkumpul bersama
keluarganya.
2. Untuk hiburan bagi masyarakat Desa Asemdoyong. Waktu yang dimiliki
para nelayan setiap harinya mereka habiskan untuk mencari nafkah di laut.
Sehingga pada momen tersebut, para nelayan dapat sejenak melepas lelah
dengan menikmati hiburan-hiburan yang ada.
3. Untuk menghimbau nelayan supaya lebih tertib dan patuh kepada aturan
yang telah diatur oleh pemerintah daerah guna mengurangi hal-hal yang
tidak diinginkan.
4. Untuk menjaga dan melestarikan budaya masyarakat pesisir yang sudah
dilaksanakan secara turun temurun.
C. Prosesi Upacara Ritual Baritan
1. Persiapan
Masyarakat Desa Asemdoyong berpegang teguh dengan prinsip
agama Islam. Namun, dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat terlepas
dari pengaruh kebiasaan leluhurnya terdahulu. Sehingga sering disebut
bahwa masyarakat Jawa masih menganut kepercayaan Kejawen. Kejawen
adalah ajaran spiritual asli leluhur Jawa yang belum mendapat pengaruh
dari budaya luar, yaitu sebelum budaya Hindu dan Buddha masuk.58
Baritan merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa nenek
moyang. Dahulu melaksanakan tradisi tersebut sebagai upaya
persembahan kepada roh-roh gaib yang ada di laut. Namun berbeda
dengan masa kini bahwa persembahan tersebut dilakukan sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT. atas rezeki yang diterima oleh
58Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa (Yogyakarta: CAPS, 2015), h. 158.
40
para nelayan dengan memberi makan kepada makhluk-makhluk di laut.
Persembahan sajen yang diberikan tidak jauh berbeda dari masa ke masa.
Para nelayan mulai mempersiapkan upacara baritan sejak satu
tahun sebelum pelaksanaan. Upacara baritan dilaksanakan setiap tahun
yaitu pada tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Setelah pelaksanaan selesai
dan dilakukan pembubaran panitia, kemudian dilanjutkan pembentukan
panitia untuk pelaksanaan di tahun selanjutnya. Selanjutnya diadakan
musyawarah setiap bulan untuk menentukan dan mematangkan konsep
acara, serta mengakumulasikan dana. Dalam pelaksanaan upacara baritan
ini, dana yang terkumpul merupakan dana dari para nelayan dengan iuran
perkapal.
Persiapan yang paling diperhatikan adalah ambeng laut. Dimulai
dari pembuatan ambeng59, yaitu perahu kecil untuk meletakkan sajen yang
akan di larung ke laut. Pembuatan perahu kecil tersebut dimulai dari satu
bulan sebelum pelaksanaan. Kemudian dua minggu sebelum pelaksanaan,
mulai membelanjakan barang-barang perlengkapan sajen.
Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal empat jenis sesajian,
antara lain: pertama, sesajian dalam bentuk selamatan yang diperuntukkan
kepada para roh-roh yang dianggap suci dan dihormati. Kedua, sesajian
dalam bentuk penolakan yaitu untuk menolak mara bahaya dari pengaruh
ro-roh jahat. Ketiga, sesajian dalam bentuk Wadima. Sesajian yang
dilakukan secara rutin yang diperuntukkan para wali, jin-jin, bidadari, dan
lain-lain. Keempat, sedekah sesajian berupa makanan yang bertujuan untuk
keselamatan orang yang sudah meninggal. Preusz berpendapat bahwa
sesaji atau ritual ini dilakukan karena keterbatasan manusia sehingga
mereka melakukan tindakan-tindakan untuk keperluan hidupnya. Fungsi
sesaji adalah untuk menjadikan upacara sebagai sesuatu yang gembira dan
meriah tetapi juga keramat, bukan sebagai suatu upacara yang khidmad
dan keramat.60
59Pada umumnya masyarakat menyebut ambeng dengan ancak. 60Sulkhan Chakim, “Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen,” Jurnal Dakwah
dan Komunikasi, Vol. 3 No. 1 (Januari-Juni 2009), h. 3.
41
Perlengkapan sesaji tidak asal memilih, tetapi memang permintaan
dari roh gaib yang dipercaya sebagai penguasa laut. Perlengkapan yang
dipersiapkan dalam sajen antara lain61:
Pertama, dolanan atau mainan merupakan simbol kebahagiaan,
dengan harapan para lelembut merasa bahagia karena diberikan mainan
seperti layaknya anak-anak kecil. Mainan yang disajikan seperti sepasang
boneka, ketapel, layangan, kipas tangan, bola bekel, kain selendang, topi,
gatik-gatikan, panggalan, garu luku, otot-otot, dan pecut. Mainan tersebut
dipersembahkan untuk para lelembut atau roh-roh anak kecil.
Kedua, replika rumah dan uang, serta alat-alat dapur seperti sodet,
dandang, kukusan, gayung, centong, tampah, sendok, dan ulekan
merupakan simbol kemuliaan dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Ketiga, kemenyan dan candu (bibit kemenyan). Kemenyan
digunakan untuk menandakan mulai dilakukannya upacara. Candu sebagai
pelengkap dari kemenyan yang harus diikutkan dalam sesaji.
Keempat, alat-alat kecantikan seperti bedak, lipstik, pensil alis,
minyak duyung (parfum), sisir, kaca, dan emas. Alat rias dimaksudkan
sebagai penghormatan kepada roh-roh gaib perempuan supaya ketika
mencari ikan tidak mengganggu dan hasil tangkap selalu melimpah.
Kelima, aneka buah seperti melon, salak, jeruk, semangka, nangka,
nanas, waluh, bengkoang, jambe, dan tujuh macam pisang (longok, kapok,
graite, raja, lengi, rayap, mas).
Keenam, aneka minuman seperti sprite, minuman keras, wedang
santen (terbuat dari campuran air dan santan), wedang jembawut (terbuat
dari campuran kopi dan santan), dawet, kopi manit dan hambar, serta teh
manis dan teh tawar.
Ketujuh, sandang ancak (pakaian perahu) sebagai hiasan yang
terdiri dari kain panjang (selendang), bendera, payung, janur, tikar, dan
terpal.
61Wawancara Pribadi dengan Bapak Sali.
42
Kedelapan, ayam betina dan kepala kerbau yang dikalungkan emas
imitasi sebagai bentuk pengorbanan yang tulus dan membuang kebodohan
atau ketidaktahuan di kalangan nelayan.
Kesembilan, sekar telon yaitu tujuh mata air yang diambil dari
sumur Kalimalang, kali Jembawan, air pancer, air laut, sumur
Asemdoyong, sumur Kabunan, dan sumur Loning. Tujuh mata air berarti
bahwa sumber kehidupan manusia dilambangkan dengan air yang
merupakan sumber kehidupan dari bumi dan langit.
Kesepuluh, bunga setaman yaitu beberapa jenis bunga yang berbau
harum yang ditemukan di kebun. Bunga melambangkan keharuman
dengan harapan semua orang yang terlibat dalam perikanan dapat dikenal
baik oleh para roh setempat.
Kesebelas, sambetan yaitu ulekan beberapa bumbu dapur sebagai
sarana untuk menurunkan kapal atau sebagai pelindung.
Keduabelas, aneka makanan seperti dodol pasar, kinang, singkong
bakar, ubi bakar, kolak pisang raja, arang-arang, kambang, kue cucur,
rujak waluh, sate kambing, ayam bakar, telor basi, clorot, bubur halus,
bubur menir, nasi kuning, rujak daugan (kelapa hijau), dan tumpeng damar
murub.
a. Tumpeng alus merupakan nasi putih yang dibentuk kerucut tanpa
diberi lauk pauk. Tumpeng ini dimaksudkan sebagai permohonan dari
orang-orang yang mengadakan selamatan dikabulkan dan dijauhkan
dari segala godaan.
b. Nasi liwet dicampur ayam dan nasi dicampur tempe dan tahu
dibungkus daun pisang, dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih
kepada para penunggu atau biasa disebut mbaurekso.
c. Nasi kuning berarti semua nelayan bersatu dengan satu tujuan
meminta restu dalam mencari nafkah di laut.
d. Bubur merah putih, merah yang berarti berani dan putih berarti murni.
Berani dimaksudkan bahwa para nelayan harus berani menghadapi
segala hambatan ketika mencari nafkah di laut. Murni dimaksudkan
43
bahwa para nelayan harus jujur sehingga akan mendapatkan hasil dan
jauh dari segala petaka.
e. Jagung disajikan sebagai bentuk penghormatan kepada penunggu
batu, seperti batu karang atau batu-batu lainnya.
f. Kupat luwar disajikan sebagai simbol bahwa orang yang melakukan
selamatan telah menepati janji
g. Kupat lepet disajikan sebagai simbol permohonan maaf atas segala
kesalahan.
h. Kupat buncu lima dimaknai sebagai simbol penghormatan kepada
sedulur papat yang berada di empat penjuru mata angin.
i. Jajan pasar merupakan makanan anak kecil seperti kacang, lempeng,
slondok, dan lainnya yang dibeli di pasar. Jajan pasar diibaratkan ikan
berkerumun seperti pasar sehingga dalam mencari nafkah para
nelayan mendapat lebih banyak ikan.62
Ketigabelas, perlengkapan lain seperti mbakoenak atau rokok dan
dedak (serbuk halus yang terbuat dari kulit padi).
2. Pelaksanaan
Ritual adalah tata cara peribadatan sebagai perwujudan keyakinan
yang dianut manusia terhadap Tuhannya. Peribadatan dimaksudkan
sebagai bentuk penghormatan, ketundukan, mencari perlindungan, dan
pertolongan atas kehidupan manusia di dunia dan kehidupan selanjutnya
setelah kematian.63
Penulis mengklasifikasikan pelaksanaan upacara ritual baritan
dalam tiga bagian yaitu pra-ritual baritan, upacaran ritual baritan, dan
pasca ritual baritan. Pertama, pra-ritual baritan diawali dengan
pertandingan persahabatan sepak bola di lapangan Krida Bahari.
Pertandingan persahabatan dimulai pada tanggal 4 – 11 September 2018.
Pada hari Sabtu malam Minggu tanggal 8 September 2018 dilakukan
undian ambeng laut. Pada hari Senin tanggal 10 September 2018
62Wahyana Giri MC, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: NARASI, 2010), h. 30-
35. 63Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama (Jakarta: UIN Press, 2015),
h. 49.
44
mengadakan tradisi nyajeni. Pada hari Senin malam Selasa mengadakan
pengajian umum. Kedua, acara inti yaitu upacara ritual baritan.
Dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 11 September 2018 (1 Muharam
1440 H) dilaksanakan kirab ambeng laut. Ketiga, pada hari Selasa malam
Rabu dimulai pagelaran wayang kulit. Kemudian ditutup dengan gebyar
orkes dangdut pada hari Rabu 12 September 2018.
a. Pra-ritual baritan
Rangkaian acara ritual baritan, diawali dengan pertandingan
persahabatan sepak bola antar desa di Kabupaten Pemalang.
Pertandingan tersebut diadakan di lapangan Krida Bahari Desa
Asemdoyong. Pertandingan persahabatan diadakan selama 8 hari yaitu
pada tanggal 4 – 11 September 2018. Pertandingan ini diadakan
sebagai ajang silaturahmi dari masyarakat Desa Asemdoyong dengan
warga desa sekitar.
Pada hari Sabtu malam Minggu tanggal 8 September 2018
dilakukan undian ambeng laut. Undian ambeng laut ini dilakukan
untuk menentukan 3 kapal yang akan membawa ambeng laut ke
tengah laut. Hal ini dilakukan guna menghindari saling rebut antar
pemilik kapal karena hampir semua menginginkan kapal mereka yang
membawa ambeng laut.
Pada hari Senin mengadakan tradisi nyajeni. Tradisi nyajeni
merupakan serangkaian acara yang dilakukan sebelum pelaksanaan
ritual baritan. Tradisi nyajeni dilakukan mulai ba’da dhuhur hingga
malam hari. Namun, puncak ramainya pada sore hari. Tradisi nyajeni
merupakan tradisi yang dilakukan masing-masing pemilik kapal
dengan memberikan sesajian yang diletakkan di tempat yang dianggap
keramat, yaitu di perbatasan antara sungai dan laut. Sesajian dalam
tradisi nyajeni berupa makanan seperti tumpeng damar murub, nasi
dan telur yang diletakkan dalam kendil, pisang raja, ikan asin, kupat,
lepet, bubur merah putih, bubur cadil, ketan hitam, rengginang, mie
hijau, kolak, dan jajanan pasar. Selain itu adapula aneka minuman
seperti teh manis dan tawar, kopi hitam manis dan hambar, air santan,
45
dan kepala hijau, serta adapula alat-alat kecantikan seperti bedak,
kaca, pensil alis, parfum, serta ada kemenyan dan air yang diletakkan
pada ember kecil.64
Tradisi nyajeni dimulai dengan bakar kemenyan yang
dilakukan oleh Pak Uritno (sesepuh kampung) sebagai pertanda
dimulainya tradisi nyajeni tersebut. Kemudian dilakukan pembacaan
doa bersama pemilik kapal dan nelayan, serta menyebutkan
permintaan apa saja yang ingin diwujudkan. Setelah selesai, air yang
di ember kecil tersebut di siramkan ke kapal karena dipercaya air
tersebut barokah dan akan memberi keselamatan saat melaut.
Kemudian berbagai makanan yang tadi disajikan, menjadi rebutan
anak-anak kecil dengan kepercayaan makanan tersebut barokah.
Adapula ibu-ibu yang memanfaatkan tampah dan kendil untuk
menambah koleksi dapurnya. Tradisi nyajeni ini dilakukan sebagai
bentuk kepedulian para nelayan terhadap alam gaib. Menurut para
nelayan, laut itu dihuni oleh berbagai macam makhluk gaib, sehingga
untuk menjaga kedamaian perlu memberikan sesaji. Hal tersebut
dipercaya akan memberikan timbal balik bahwa kebaikan akan
dirasakan bersama ketika para nelayan mencari nafkah di laut.
Pada hari Senin malam Selasa tanggal 10 September 2018
diadakan pengajian umum tasyakur baritan. Pengajian ini diadakan di
KUD Mina Misoyo Makmur. Acara di mulai pukul 21:00 WIB yang
dibuka oleh grup hadroh dan dilanjut dengan pembacaan ayat suci al-
Qur’an. Kemudian sambutan dari Bapak Tahrudi selaku ketua panitia
dan Bapak Darusalam selaku kepala desa. Pengajian umum ini diisi
oleh ulama-ulama desa yaitu KH. Asrori dan KH. Saefudin Fahrozi,
serta ulama dari kota Tegal yaitu KH. Misbahul Musthofa. KH. Asrori
dan KH. Saefudin Fahrozi memimpin pembacaan doa akhir tahun dan
awal tahun kemudian dilanjutkan dzikir bersama. Mereka juga
menyampaikan beberapa pesan bahwa masyarakat dihimbau supaya
tidak salah tujuan dalam melaksanakan ritual baritan.
64Wawancara Pribadi dengan Bapak Nur Komilia, “Kepala Dusun Karanganyar Desa
Asemdoyong”, Pemalang, 06 September 2018.
46
Tujuan dalam hal ini bahwa ritual baritan yang dinilai sebagai
sedekah ditujukan sebagai rasa syukur atas rezeki yang Allah berikan
dengan melalui perantara laut dan seisinya yang merupakan ciptaan-
Nya. Sehingga masyarakat bermaksud untuk membagi rezeki yang
telah didapatkan kepada makhluk-makhluk yang ada di laut. Selain
itu, masyarakat juga dihimbau bahwa walaupun ritual baritan tetap
dilestarikan, namun esensi keislaman harus lebih di perkuat supaya
tidak salah tujuan. Bapak KH. Misbahul Musthofa mengatakan bahwa
acara pengajian tersebut sangat tepat diadakan pada malam pergantian
tahun Islam, sehingga masyarakat ramai berkumpul melakukan hal
yang bermanfaat dengan berdoa bersama, bermujahadah bersama, dan
mendengarkan ceramah dari para ulama.
b. Upacara ritual baritan.
Upacara ritual baritan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal
11 September 2018 (1 Muharam 1440 H). Ritual baritan di Desa
Asemdoyong dilakukan setiap tahun yaitu tepat pada tanggal 1
Muharam atau 1 Suro.
Ritual baritan dimulai dari pemberangkatan tiga ambeng laut
(cantrang, garok, dan gemplo) dari rumah pembuat sajen yaitu rumah
Bapak Sali menuju ke Balai Desa Asemdoyong. Ambeng laut
diangkat menggunakan tangga kayu oleh delapan orang menuju ke
mobil pick up. Ambeng laut mulai berangkat dari rumah Bapak Sali
pukul 07:30 WIB dengan diiringi oleh grup rebana (terbangan).
Kemudian setelah sampai di Balai Desa pukul 08:00 WIB,
dilaksanakan upacara pelepasan ambeng laut. Susunan upacara
disampaikan oleh Bapak Asep selaku sekretaris desa. Upacara
pelepasan ambeng laut dimulai dari laporan panitia, sambutan dari
kepala desa, dan doa bersama. Kemudian dilanjutkan potong tali
sebagai simbol pelepasan ambeng laut yang dilakukan oleh Bapak
Darusalam (Kepala Desa Asemdoyong).
Setelah dilakukan pelepasan ambeng laut dari balai desa,
kemudian dilanjutkan kirab ambeng laut. Kirab ambeng laut
47
merupakan ritual membawa ambeng laut keliling Desa Asemdoyong
dengan diiringi oleh grup rebana, grup drum band dari SMP Negeri 1
Taman, dan grup seni kuda lumping dari Beji65. Ambeng laut dibawa
keliling desa hingga sampai ke KUD Mina Misoyo Makmur.
Setelah ambeng laut sampai di KUD Mina Misoyo Makmur
pukul 09:35 WIB, kemudian diadakan upacara pelepasan ambeng laut
dari KUD untuk dilaksanakan larung sesaji di laut. Ambeng laut
diturunkan dari mobil pick up dan diletakkan di atas meja yang telah
disusun. Pada saat itu, KUD sudah sangat dipenuhi oleh masyarakat
dari mana saja. Mereka sengaja menghadiri hanya untuk melihat
bagaimana pelaksanaan prosesi ritual baritan tersebut.
Upacara dimulai dari pembukaan oleh master of ceremony.
Upacara dibuka dengan penampilan tari gambyong66 oleh grup Pandu
Kusuma. Kemudian dilanjutkan laporan keuangan oleh Bapak Tahrudi
selaku ketua panitia. Setelah itu, diselingi dengan hiburan tari goyor
dari grup pandu kusuma sebelum dilanjut oleh sambutan para tamu
undangan. Sambutan yang pertama oleh Bapak Muntohir selaku
kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pemalang. Bapak
Muntohir menyampaikan bahwa sedekah laut yang dilaksanakan
setiap tahun di Desa Asemdoyong merupakan acara dalam rangka
mensyukuri nikmat dan rezeki yang Allah berikan kepada para
nelayan dengan memberikan berbagai makanan sebagai upaya
memberi makan ikan-ikan di laut, bukan termasuk ke dalam perbuatan
syirik. Kemudian dilanjutkan sambutan dari Kapolres Pemalang yang
diwakilkan oleh AKBP Agus Setyawan HP, SH, SIK, Kompol Alkaf.
Isi dari sambutan tersebut adalah himbauan kepada para
pemilik kapal untuk memperhatikan kapasitas kapal dalam membawa
pengunjung yang akan melihat proses ritual baritan di tengah laut.
Beliau menekankan bahwa kapasitas untuk kapal besar maksimal 20
65Beji adalah salah satu kelurahan di Kabupaten Pemalang yang masuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. 66Tari gambyong merupakan suatu tarian yang disajikan untuk menyambut tamu atau
mengawali suatu acara. Tari ini berasal dari daerah Surakarta, Jawa Tengah.
48
orang dan untuk kapal kecil maksimal 10 orang. Himbauan tersebut
sebagai bentuk antisipasi atas kejadian kapal tenggelam pada tahun
2008 lalu. Selesai acara sambutan, kemudian dilanjut pembacaan doa
oleh Bapak KH. Asrori untuk memohon perlindungan kepada Allah
SWT. supaya diberikan keselamatan dan keberkahan dalam
pelaksanaan ritual baritan tersebut. Kemudian penyerahan hadiah
untuk kapal yang terpilih membawa ambeng laut untuk dilarungkan di
laut.
1) Ambeng cantrang dibawa oleh kapal milik Bapak Sohidin.
Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif
dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Cantrang
dioperasikan dengan menebar tali selambar sepanjang ±1000
meter secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring
cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan.
Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai
seluruh bagian kantong jaring terangkat. Penarikan ini dibantu
dengan gardan. Dalam satu kapal, terdapat ±8 orang yang ikut
bekerja. Hasil tangkapan cantrang adalah jenis ikan demersal yaitu
Ikan Petek, Ikan Kuniran, Ikan Layur, dan Ikan Bawal Hitam.
2) Ambeng gemplo atau waring dibawa oleh kapal milik Bapak
Turadi. Gemplo merupakan alat tangkap ikan yang paling
sederhana karena dilakukan secara manual oleh ±12 orang.
Gemplo mempunyai bagian badan yang menyerupai kantong,
sayap yang menyatu dengan badan yang berbentuk kerucut, tali
penarik, dan jaring dengan panjang ±500 meter. Cara
pengoperasian alat tangkap gemplo dimulai dari pelampung tanda
diturunkan kemudian diikuti tali selambar sebelah kiri dengan arah
gerak kapal membentuk lingkaran, kemudian jaring diturunkan
dan diikuti tali selambar kanan hingga bertemu pelampung tanda,
kemudian pelampung tanda dinaikan ke kapal diikuti penarikan
tali selambar, penarikan ini dilakukan dengan manual. Hasil
49
tangkapan gemplo adalah jenis ikan pelagis yaitu Ikan Kembung,
Ikan Tembang, Ikan Teri Nasi, Ikan Tongkol, dan Ikan Tenggiri.67
3) Ambeng garok dibawa oleh kapal milik Bapak Wagirun. Garok
adalah alat khusus untuk menangkap kerang dengan metode
pengoperasiannya menggaruk dasar perairan, tetapi tidak menutup
kemungkinan spesies lain dapat tertangkap. Alat tangkap garok
terdiri dari bingkai, gigi raga, jaring kantong, mulut raga, dan
pemberat. Pengoperasian alat garok dimulai dengan menurunkan
alat tangkap garok dibagian buritan, kemudian diturunkan alat
tangkap garok yang kedua yaitu di sisi sebelah kanan perahu.
Setelah dua alat tangkap diturunkan, kemudian di tarik
menggunakan perahu dengan membentuk lingkaran. Kemudian
setelah alat tangkap garok terasa berat, segera diangkat untuk
diambil hasil tangkapannya. Kemudian dilakukan penyortiran
hasil tangkapan. Dalam melakukan pengoperasian menggunakan
alat tangkap garok, perahu cukup membawa 2-3 orang untuk
bekerja.68
Ketiga ambeng laut dilepas secara simbolis oleh Bapak
Muntohir selaku Dinas Kelautan dan Perikanan. Kemudian masing-
masing ambeng diangkat oleh 8 – 10 orang dengan ditopang tangga
kayu menuju ke kapal yang sudah ditentukan sesuai undian.
Pukul 11:00 WIB, kapal yang membawa ambeng laut mulai
diberangkatkan ke tengah laut. Ketiga kapal berjalan ke masing-
masing tempat dimana mereka mencari ikan dengan diikuti kapal-
kapal lain yang sejenis dengan alat tangkapnya. Setelah hampir
sampai di lokasi, Pak Sali (sesepuh nelayan) mulai membakar
kemenyan sebagai tanda dimulainya ritual baritan. Kemudian Pak Sali
mendoakan para leluhur seperti Nabi Khidir, Kaki Baurekso, Nini
67Fitri Karningsih, dkk, “Analisis Teknis dan Finansial Usaha Perikanan Tangkap
Cantrang dan Payang di Pelabuhan Perikanan Pantai Asemdoyong Kabupaten Pemalang,” Journal
of Fisheries Resources Utilization Management and Technology, Vol. 3, No. 3 (Semarang: 2014),
h. 162-163. 68Aristi Dian P.F., dkk., “Modifikasi Dredged Net Untuk Peningkatan Efektivitas dan
Efisiensi Penangkapan Udang di Tambak Lorok, Semarang,” Buletin Oseanografi Marina, Vol. 1
(Semarang: Oktober 2011), h. 97.
50
Baurekso, Kaki Rengkeng, Nini Rengkeng, Mbah Endugras, Mbah
Omplok, Kaki Cempalok, dan Nini Cempalok. Nama-nama leluhur
tersebut dipercaya sebagai penjaga laut utara Jawa, dimana para
nelayan Asemdoyong mencari nafkah.
Doa yang dibaca Pak Sali antara lain kalimat syahadat
sebanyak tiga kali dan surat-surat pendek seperti al-Fatihah tiga kali,
al-Ikhlas sebelas kali, dan an-Nas satu kali. Pak Sali berdoa tepat di
depan sajen yang akan di larung. Setelah selesai berdoa, kepala kerbau
terlebih dahulu di buang ke laut supaya langsung tenggelam, jadi tidak
diambil oleh masyarakat yang berebut sajen di laut. Setelah kepala
kerbau, kemudian sajen yang berada di dalam ambeng tersebut
dilarungkan secara bersamaan. Kemudian para nelayan dari kapal-
kapal lain berebut mengambil air disekitar pembuangan ambeng laut
untuk dimandikan ke kapalnya masing-masing. Hal tersebut dipercaya
akan membawa rezeki yang melimpah bagi para nelayan yang
mencari nafkah di laut menggunakan kapal yang sudah dimandikan
tersebut. Selain itu, adapula yang membawa pulang air yang sudah
diambil di sekitar pembuangan sajen. Adapula yang berebut
mengambil makanan yang berada di dalam ambeng yang sudah
dilarungkan. Setelah itu, semua kapal berbondong-bondong untuk
kembali ke darat. Prosesi larung sesaji selesai dilaksanakan pukul
11:50 WIB.
Pada saat kapal pembawa ambeng berangkat ke tengah laut,
upacara ruwatan69 juga dilaksanakan bersamaan dengan berjalannya
ritual baritan hingga sore hari. Ruwatan dilaksanakan oleh Sanggar
Bima Laras di KUD Mina Misoyo Makmur. Ruwatan dipimpin oleh
dalang dengan diawali membakar kemenyan sebagai tanda mulainya
upacara ruwatan. Kemudian dalang membaca mantra dan doa untuk
69Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ruwatan adalah upacara membebaskan orang
dari nasib buruk yang akan menimpa. Ruwatan merupakan kebudayaan yang berasal dari jaman
pra-Hindu, yaitu upacara penyembahan terhadap roh nenek moyang. Ngruwat berarti mengatasi
atau menghindarkan suatu kesulitan batin dengan jalan mengadakan pertunjukan wayang kulit dan
mengambil cerita tertentu. Pada hakekatnya ruwatan merupakan suatu bentuk untuk mencapai
kesenangan atau hiburan guna melupakan kesulitan batin.
51
kelancaran ruwatan dan ritual baritan. Setelah itu, musik gamelan
mulai dimainkan. Upacara ruwatan tersebut menceritakan sejarah dari
terciptanya ikan dan makhluk lainnya, cerita tentang sesajian, cerita
tentang peristiwa di laut. Cerita tersebut diungkapkan oleh dalang
dengan memperagakan wayang kulit. Secara tradisional, fungsi
wayang kulit tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk upacara
ruwatan dengan tujuan untuk menangkal marabahaya.70
Ruwatan memiliki beberapa arti bagi masyarakat, antara lain:
pertama, sebagai upaya membuang sial yang ada dalam diri masing-
masing individu. Kedua, ruwatan merupakan media untuk
menyelaraskan energi positif dan membuang energi negatif. Ketiga,
ruwatan dilaksanakan sebagai upaya melestarikan budaya leluhur.
Keempat, ruwatan berarti sedekah kepada sesama.71 Jadi ruwatan
adalah tradisi yang sudah ada dikalangan masyakarat Jawa kuno yang
diadakan sebagai upaya membebaskan orang dari nasib buruk yang
akan menimpanya atau keluarganya atau tempat tinggalnya.
c. Pasca ritual baritan
Pada hari Selasa malam Rabu pukul 21:00 WIB dimulai
pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit dibawakan oleh Ki
Dalang Sigit Anggoro dari Cilacap dengan lakon Kumbakarna Gugur.
Pagelaran wayang kulit ini diadakan semalam penuh hingga dini hari.
Lakon dalam pagelaran wayang kulit ini menceritakan tentang
Kumbakarna yaitu seorang raksasa yang memiliki hati dan perangai
yang baik. Kumbakarna gugur setelah bertempur membela tanah
airnya yaitu Bumi Alengka. Bumi Alengka saat itu menjadi rebutan
para musuh, termasuk Prabu Rama. Kumbakarna bertempur
mengenakan baju serba putih. Baju putih yang dikenakan
Kumbakarna melambangkan penyerahan dirinya terhadap Prabu Rama
yang diyakini sebagai penjelmaan Bathara Wisnu, dewa kebahagiaan.
Kumbakarna memiliki kepercayaan jika mati ditangan Prabu Rama,
70Wawancara Pribadi dengan Bapak Tahrudi, “Nelayan Desa Asemdoyong”, Pemalang,
18 September 2018. 71Suwardi Endraswara, Etnologi Jawa, h. 182.
52
maka akan mendapatkan surga. Mulanya, Kumbakarna berhasil
membunuh ribuan bala tentara Prabu Rama dengan segala
kesaktiannya. Kemudian Lesmana menyerang Kumbakarna dengan
memotong kedua tangan dan kedua kaki Kumbakarna. Wibisana yang
merupakan adik dari Kumbakarna tidak kuasa melihat kondisi
kakaknya yang kesakitan. Akhirnya Wibisana meminta Prabu Rama
untuk mengakhiri penderitaan kakaknya dengan menggunakan panah
miliknya. Kumbakarna gugur di medan perang sebagai pahlawan
membela tanah airnya. Wibisana menangisi kepergian kakaknya yang
paling dicintainya.72
Rangkaian acara Baritan 2018 ditutup dengan gebyar orkes
dangdut New Kendedes dari Jawa Timur. Gebyar orkes dangdut
dilaksanakan pada hari Rabu 12 September 2018 mulai pukul 09:00
WIB hingga 24:00 WIB. Acara ini dipadati oleh seluruh masyarakat
Desa Asemdoyong dan masyarakat desa sekitar yang sengaja datang
untuk menikmati penampilan orkes dangdut Kendedes.
Selain itu, banyak pula masyarakat yang memanfaatkan
momen tersebut untuk berjualan dan membuka lahan parkir. Berbagai
macam dagangan turut memadati wilayah KUD Mina Misoyo
Makmur mulai hari Senin malam Selasa hingga acara orkes dangdut
berakhir. Pedagang yang berjualan datang dari berbagai desa di
Kabupaten Pemalang. Dagangan yang dijual beraneka ragam seperti
lauk pauk, jajanan, sayuran, baju, dan segala bentuk perabotan rumah,
serta adapula wahana mainan untuk anak-anak. Jadi upacara ritual
baritan selain dilaksanakan sebagai upaya untuk melestarikan adat
leluhur, acara ini juga sebagai lahan meningkatkan perekonomian
masyarakat karena banyak masyarakat dari desa lain sengaja
berkunjung dengan tujuan untuk berwisata.
72Iva Ariani, Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur (Yogyakarta: Fakultas Filsafat
UGM Yogyakarta, 2013), h. 80-95.
53
D. Baritan dan Masyarakat Desa Asemdoyong
Kehidupan masyarakat selalu diwarnai dengan perbedaan mengenai segala
sesuatu yang terjadi atau dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terjadi
pada upacara ritual baritan di Desa Asemdoyong. Masyarakat Desa Asemdoyong
memiliki perbedaan dalam menyikapi tradisi tersebut. Mayoritas masyarakat
menerima adanya pelaksanaan upacara ritual baritan, namun tidak dipungkiri
bahwa ada beberapa golongan yang kurang setuju dengan ritual-ritual yang
dilakukan. Perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam kehidupan
masyarakat karena mereka memiliki jiwa solidaritas yang tinggi.
Mayoritas masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan upacara ritual
baritan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan setiap tahun sebagai
upaya untuk melestarikan budaya nenek moyang setempat. Menurut kepercayaan
para nelayan, mereka mendapatkan banyak rezeki dari laut. Maka dari itu, sebagai
bentuk timbal balik, mereka patut memberi sajen kepada para penjaga laut.
Masyarakat memiliki kepercayaan seperti yang dikatakan Bapak Tahrudi, bahwa:
“Upacara ritual baritan belum pernah tidak dilaksanakan. Pada tahun 2008,
pernah tetap dilaksanakan tetapi sesajinya kurang. Akhirnya terjadi
bencana, kapal yang ditumpangi para pengunjung tenggelam dan
mengakibatkan adanya korban yang meninggal dunia. Itu yang ditakutkan
masyarakat. Sesajinya kurang saja memakan korban, apalagi tidak
dilaksanakan.”73
Masyarakat meyakini hubungan antara manusia dengan makhluk gaib
sangat kuat, sehingga untuk menjaga hubungan baik antar keduanya, masyarakat
harus memberikan sesembahan kepada para penjaga laut. Pasca pelaksanaan
upacara ritual baritan 11 September 2018, salah satu sesepuh desa Bapak Suroso
mendapat kunjungan dari seorang anak perempuan berumur 19 tahun yang datang
bersama dengan ibunya yaitu Mbak Vita dan Ibu Tuti. Kemudian Bapak Suroso
menyampaikan maksud kedatangan Mbak Vita dengan ibunya.
“Saya merasa ketakutan mbak, mbuh kui wonge ngomong temenan apa
ora. Pelaksanaan baritan kemarin disini kedatangan tamu gaib Ratu Kidul
dan Dewi Lanjar yang mana tidak senang sekali melihat pemuda yang
hura-hura tersebut, bahkan informasinya mau ditumplek (kapalnya dibalik)
tapi dilarang oleh Tirta Jagad dan Mbak Vita. Mbak Vita bilang, tahun
depan jangan sampai seperti ini, paling tidak kita sakralkan baritan.”74
73Wawancara Pribadi dengan Bapak Tahrudi. 74Wawancara Pribadi dengan Bapak Suroso.
54
Kejadian tersebut menghebohkan masyarakat. Kemudian diadakan
musyawarah bersama antar panitia dan pemerintah desa. Musyawarah tersebut
menghasilkan adanya pelaksanaan pemberian sajen kembali berupa aneka
makanan dan minuman yang dilengkapi dengan satu ekor kambing hidup.
Pemberian sajen tersebut sebagai bentuk permohonan maaf atas kesalahan yang
diperbuat oleh para pemuda Desa Asemdoyong. Acara tersebut dilaksanakan
secara sakral oleh para panitia dan pemerintah desa yang dilaksanakan dua
minggu setelah pelaksanaan baritan.
Dari kejadian tersebut bisa terlihat bahwa masyarakat sangat menerima
tradisi dan kepercayaan-kepercayaan yang ada di dalamnya. Masyarakat Desa
Asemdoyong terutama kalangan nelayan memiliki kekhawatiran apabila tidak
dilaksanakan upacara ritual baritan, para penjaga laut dan nenek moyang setempat
akan marah, sehingga mengakibatkan hasil tangkapan nelayan berkurang dan
terjadi bencana atau musibah yang tidak diinginkan.
Namun dari penelusuran penulis di lapangan, ditemukan beberapa orang
yang kurang setuju dengan ritual inti yang dilaksanakan dalam upacara baritan.
Hal-hal yang menjadi alasan beberapa kalangan tidak menyetujui ritual tersebut
adalah pertama, mengandung unsur syirik75 karena masyarakat terutama para
nelayan memiliki kepercayaan adanya kekuatan lain selain Allah yaitu para
penjaga laut atau roh nenek moyang setempat. Hal tersebut diperkuat lagi dengan
adanya rasa takut dan khawatir apabila tidak melakukan tradisi tersebut, maka
akan menimbulkan bencana. Kedua, mubazir76. Dalam hal ini mubazir karena
sajen yang beraneka ragam di buang di tengah laut sebagai bentuk sesembahan
kepada para penjaga laut. Hal tersebut dinilai terlalu menghamburkan uang,
padahal banyak masyarakat yang masih membutuhkan.77 Pendapat lain menurut
salah satu tokoh agama Desa Asemdoyong yaitu Bapak Fatchuri, bahwa
“Acara baritan dikenal juga dengan sebutan sedekah laut. Istilah nama
dengan menggunakan kata sedekah itu tidak masalah, namun sayangnya,
sekarang bukan sedekah laut melainkan pesta laut. Menurut nelayan, acara
75Syirik adalah penyekutuan Allah SWT. dengan yang lain, misalnya pengakuan
kemampuan ilmu daripada kemampuan dan kekuatan Allah, pengabdian selain kepada Allah SWT
dengan menyembah patung, tempat keramat, dan kuburan, dan kepercayaan terhadap keampuhan
peninggalan nenek moyang yang diyakini akan menentukan dan mempengaruhi jalan kehidupan. 76Mubazir adalah menjadi sia-sia atau tidak berguna atau terbuang-buang. 77Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhafidz Abdul Ghani.
55
itu untuk membuat syukuran ke laut agar laut memberikan timbal balik
(kebaikan) ke nelayan. Namun menurut saya, hal itu kurang tepat. Secara
logika kepala kerbau dibuang ke laut itu mubazir. Daripada dibuang ke
laut tujuannya untuk di makan ikan, lebih baik dibagikan ke masyarakat.
Secara tauhid, berarti tidak percaya dengan yang kuasa (Allah SWT).
Karena mau memberikan makan ikan, padahal tidak diberipun Sang Kuasa
(Allah SWT) sudah memberi makan semua makhluknya. Tapi itu kembali
lagi menjadi haknya para nelayan.”78
Masyarakat yang kontra tersebut tetap menghargai adanya pelaksanaan
upacara ritual baritan. Mereka menyadari bahwa tradisi ini sudah mengakar pada
kehidupan masyarakat Desa Asemdoyong terutama para nelayan, sehingga sulit
untuk dihilangkan. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan memberikan
pengetahuan agama yang mendalam untuk anak-anak Desa Asemdoyong. Anak-
anak Desa Asemdoyong merupakan generasi penerus yang harus memahami
agama lebih dalam.
Anak-anak Desa Asemdoyong diberikan pendidikan agama di beberapa
pondok pesantren. Pemilik pondok pesantren berharap para santrinya dapat
berfikir secara agamis, obyektif, dan kritis terhadap upacara ritual baritan tersebut.
Untuk menanamkan hal tersebut, para pengajar atau ustadz memberi tahu tentang
hukum tradisi tersebut, kemudian menggali maslahat dan mudaratnya. Upaya
yang dilakukan supaya para santri tidak turut serta dalam tradisi tersebut yaitu
pada malam 1 Muharam mengadakan istigasah dan pembacaan doa akhir dan awal
tahun bersama. Pada tanggal 1 Muharam mengadakan acara sendiri seperti lomba-
lomba dan adapula yang diajak berkeliling untuk meminta sumbangan dana guna
pembangunan pondok. Walaupun ritual inti upacara baritan dianggap
mengandung syirik, tetapi dalam pelaksanaan upacara baritan juga terdapat
manfaat, antara lain dapat mengadakan penggalangan dana di tengah jalan di
mana banyak pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah, beberapa
masyarakat yang rumahnya berdekatan dengan pusat acara dapat membuka lahan
parkir, masyarakat dapat berjualan, adanya pengajian yang dapat membantu
meningkatkan keimanan, adanya santunan anak yatim, dan pondok juga mendapat
bantunan untuk pembangunan.79
78Wawancara Pribadi dengan Bapak Fatchuri. 79Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhafidz Abdul Ghani.
56
Perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan perselisihan. Dalam
kehidupan sehari-hari, mereka tetap hidup rukun dan berdampingan. Bahkan
anak-anak Desa Asemdoyong yang merupakan anak dari para nelayan, diberikan
pendidikan agama di pondok pesantren tersebut. Namun, pemilik pondok
melakukan upaya untuk mengurangi kefanatikan terhadap upacara baritan dengan
memberikan pengetahuan mengenai hukum tradisi tersebut dan memberi
pengetahuan bahwa tradisi yang dilakukan mengandung unsur syirik karena
memberikan sesembahan terhadap roh-roh yang dipercaya membawa pengaruh
dalam kehidupan para nelayan. Para santri yang mendapat pelajaran tersebut
diharapkan dalam kehidupannya kelak, dapat merubah tradisi tersebut ke arah
yang lebih bermanfaat dengan tidak membuang makanan dan hal lainnya seperti
yang dilakukan sampai saat ini.
Para nelayan juga menghargai perbedaan pendapat tersebut. Menurut para
nelayan, walaupun mereka melaksanakan tradisi tersebut tetapi mereka juga
percaya kepada Tuhan dan tetap berdoa kepada-Nya. Namun, mereka juga
percaya bahwa nenek moyang setempat memiliki peran yang kuat dalam
kehidupannya. Karena tradisi tersebut merupakan budaya yang sudah ada sejak
nenek moyang tinggal di Desa Asemdoyong dan tradisi tersebut penting bagi
mereka. Sehingga menurut para nelayan, tradisi tersebut harus tetap dilestarikan
dengan mengikuti perkembangan menyelaraskan dengan agama yang di anut
masyarakat, yaitu agama Islam.
Hal ini menyangkut perkara tolak ukur moral.Tolak ukur moral ini adalah
manfaat dan keseimbangan. Adanya keseimbangan merupakan wujud ideal dari
tolak ukur moral tersebut. Pengalaman-pengalaman agama dalam norma-
normanya yang luas membentuk pribadi manusia yang memberi watak Islami.80
Dalam melakukan upacara ritual baritan ini, masyarakat Desa Asemdoyong
menganggap bahwa tradisi ini penting dan memiliki manfaat tersendiri bagi
mereka, dengan menyeimbangkan agama yang mereka anut, yaitu agama Islam.
Dalam ritual ini dapat terlihat bagaimana perasaan keagamaan mereka sebagai
masyarakat Jawa yang beragama Islam.
80Abdurrahman Wahid, Tabayun Gusdur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010), h.138-139.
57
Perasaan keagamaan seseorang itu tidak dapat dilihat dari siapa mereka
sebenarnya. Baik atau buruknya seseorang yang terlihat dari luar tidak dapat
mewakili perasaan keagamaan orang yang sebenarnya. Sebab, pengalaman
beragama itu memiliki dua ekspresi, yaitu ekspresi implisit dan ekspresi eksplisit.
Ekspresi implisit lebih ke dalam, sedangkan yang eksplisit mengikuti ajaran
agama secara tuntas. Dua-duanya ini memiliki hak yang sama dan sama-sama
Islam.81 Dengan catatan bahwa ia dapat menggambarkan dengan tepat visi Islam.
Ketika perbuatan atau ekspresi keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat masih
bermanfaat, kegiatan tersebut masih dapat dipakai. Sedangkan, jika tidak
bermanfaat dan malah berakibat keburukan, maka kegiatan atau hal tersebut harus
dijauhkan. Dengan demikian perbedaan antara masyarakat yang pro dan kontra
mengenai upacara ritual baritan di Desa Asemdoyong ini merupakan wujud dari
dua ekspresi kegamaan tersebut. Ada yang benar-benar mengikuti ajaran Islam
dan ada yang mengikutinya tanpa meninggalkan tradisinya. Dalam mewujudkan
ekspresi keagamaan itulah, masyarakat Desa Asemdoyong baik yang pro maupun
yang kontra dapat hidup secara berdampingan dan saling menghargai.
81Abdurrahman Wahid, Tabayun Gusdur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi
Kultural, h.138.
58
BAB IV
SINKRETISME DAN NILAI-NILAI ISLAM
DALAM UPACARA RITUAL BARITAN (SEDEKAH LAUT)
A. Sinkretisme dalam Upacara Ritual Baritan
Tradisi bermula dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
awal. Tradisi yang dilakukan tentunya berasal dari kepercayaan yang dianut.
Kebiasaan tersebut dinilai penting oleh masyarakat sehingga terus dilestarikan dan
dikembangkan oleh masyarakat hingga masa sekarang.
Tradisi ritual baritan dalam perkembangannya melalui proses sinkretis,
dimana terjadi suatu perpaduan dari unsur-unsur Hindu dan Islam yang
membentuk sinkretisme dasar dan menjadi tradisi rakyat yang sesungguhnya.
Reese mengartikan sinkretisme sebagai percampuran antara falsafah pemikiran,
agama, dan budaya yang berbeda.82 Dalam hal ini, penulis melihat bentuk
sinkretisme yaitu dengan adanya percampuran antara unsur Hindu dan Islam
dalam ritual baritan di Desa Asemdoyong.
1. Unsur Hindu
Masuknya agama Hindu yang berasal dari India tentunya
membawa pengaruh besar akan perubahan yang terjadi pada budaya Jawa.
Hindu adalah agama yang para penganutnya menyembah dan memuja
dewa-dewa Wisnu, Siwa, Sakti, Avatara (penjelmaannya), anak-anaknya
dan sebagainya. Dalam pengertian lain, agama Hindu juga percaya dan
menyembah dewa-dewa alam yang jumlahnya banyak yang dianggap
pengatur alam dan penting kedudukannya dalam suatu upacara. Dewa-
dewa ini diharapkan memberi kesenangan, kebahagiaan, dan ketenangan,
dengan harapan, apabila para dewa merasa senang, maka para dewa akan
mengabulkan keinginannya.83 Upacara ritual baritan mengandung
beberapa unsur dalam agama Hindu, antara lain:
82Roz Aiza Mohd Mokhtar dan Che Zarrina Sa’ari, “Sinkretisme dalam Adat Tradisi
Masyarakat Islam,” h. 71. 83Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 55-56.
59
Pertama, meyakini adanya kekuatan roh-roh leluhur yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, roh-roh
orang yang sudah meninggal tetap hidup di sekeliling tempat tinggalnya
dan membawa kekuatan baik untuk membantu kehidupan masyarakat atau
bahkan membawa kekuatan buruk untuk membuat celaka. Masyarakat
meyakini bahwa semua kejadian di alam ini merupakan akibat dari roh.
Kepercayaan ini sudah menjadi dasar religiusitas masyarakat Jawa
sejak zaman pra-sejarah hingga saat ini. Sehingga meskipun Jawa sudah
mendapat banyak pengaruh budaya dan agama dari luar, tetapi sebagian
masyarakat masih mempercayai adanya kekuatan roh-roh. Roh-roh
tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelas, antara lain:
a. Roh-roh dari alam yang memusuhi manusia dan mendatangkan
penyakit. Roh-roh ini biasa disebut Saitan, Setan, dan Iblis.
b. Roh-roh yang melakukan perintah atas permintaan atau penyumpahan
dendan atau balasan. Roh-roh ini dinamakan Mejim, Memedi, dan
Medi.
c. Roh-roh dari orang-orang yang sudah meninggal dan masih
berkeliaran di bumi atau tinggal di hutan-hutan. Roh-roh ini dianggap
sebagai sosok pelindung dan pemenuh kehendak atas permintaan
pemohon keselamatan. Roh-roh ini biasa disebut Jiwa, Sukma, Nyawa
atau Roh.84
Kepercayaan terhadap roh-roh leluhur masih sangat kuat bagi
masyarakat Desa Asemdoyong. Sebagian masyarakat meyakini bahwa
penguasa laut yang membantu nelayan atas limpahan hasil tangkap ikan
dan menjaga keselamatan para nelayan saat pergi mencari ikan di laut.
Sehingga masyarakat mengadakan upacara ritual baritan guna memberikan
timbal balik atas kebaikan para penguasa laut. Mereka yang diyakini
masyakarat adalah Nabi Khidir, Kaki Baurekso, Nini Baurekso, Kaki
Rengkeng, Nini Rengkeng, Mbah Endugras, Mbah Omplok, Kaki
Cempalok, dan Nini Cempalok. Seperti yang diyakini Bapak Sali seorang
sesepuh nelayan yang dipercaya membuat sajen, mengakui bahwa macam-
84R. P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis (Yogyakarta: LKiS,
2009), h. 76-77.
60
macam sajen yang disediakan merupakan permintaan dari para roh-roh
yang diperolehnya melalui mimpi.85
Kedua, sajen. Sajen merupakan upaya masyarakat untuk membuat
roh-roh atau dewa yang ada di laut merasa senang, sehingga akan
membantu para nelayan dalam melimpahkan hasil tangkapnya. Sajen yang
diberikan pun tidak sembarangan, tetapi memang sudah permintaan dan
mengandung permohonan masing-masing. Sajen tersebut akan dinikmati
sarinya oleh para roh. Jadi meskipun wujud sajen masih utuh, namun
masyarakat percaya bahwa sajen tersebut menjadi hambar tidak ada
kandungannya karena sari yang dikandung dari sajen tersebut sudah di
makan oleh para roh atau dewa.
Ketiga, nyajeni. Nyajeni masuk dalam rangkaian acara pra-ritual
baritan karena dilaksanakan pada hari sebelum pelaksanaan upacara
baritan. Nyajeni merupakan bentuk syukuran atau selamatan yang
diadakan oleh para pemilik kapal dan keluarganya dengan menaruh sajen
di tempat keramat yaitu perbatasan muara sungai dengan laut. Tradisi
selamatan mulanya merupakan bentuk tradisi dari agama Hindu.
Selamatan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan perbedaan
antara sesama manusia dan manusia bisa terhindar dari roh-roh jahat yang
mengganggu dan membahayakan manusia.86
Selain itu, tujuan diadakannya selamatan bagi masyarakat
Asemdoyong adalah untuk mendapatkan keberkahan, keselamatan, dan
sebagai bentuk rasa syukur atas segala rezeki yang didapatkan dalam satu
tahun terakhir. Sinkretisme ini terjadi saat sesepuh desa mendoakan sajen-
sajen yang telah diletakkan di tempat keramat dengan bacaan doa dalam
Islam. Selain itu, meskipun sajen-sajen tersebut ditujukan untuk para roh,
namun beberapa masyarakat juga meyakini bahwa tujuan dari adanya
tumpeng yang berbentuk kerucut adalah untuk mengingatkan adanya
kekuasaan tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Keempat, pagelaran wayang kulit. Wayang memiliki arti sebuah
bayangan yaitu bayangan hidup manusia. Pengertian wayang kulit jika
85Wawancara Pribadi dengan Bapak Sali. 86Clifford Geertz, The Religion of Java, h. 17-18.
61
dilihat dari wujudnya adalah sebuah boneka bertangkai yang terbuat dari
kulit yang dipahat pipih dan diberi warna atau dilukis sesuai dengan
karakter dari tokoh-tokoh yang digambarkan. Asal mula pagelaran wayang
kulit tertulis pada Prasasti Kuti yang dimulai pada abad ke-9. Istilah yang
diperkenalkan dalam Prasasti Kuti adalah haringgit yang artinya wayang.
Keterangan lain ditemukan dalam Prasasti Wukajana bahwa pagelaran
wayang pada masa itu adalah “mawayang buat hyang” yang artinya
pertunjukan wayang untuk Hyang. Hyang adalah sebutan untuk sosok
yang dihormati oleh umat Hindu seperti Tuhan atau dewa atau nenek
moyang.87
Selain dari beberapa bukti prasasti yang ditemukan, beberapa ahli
juga memiliki pendapat mengenai asal usul wayang. Hagemen, Poensen,
dan Prof. Vert memiliki pendapat yang sama bahwa wayang berasal dari
pengaruh Hindu. Hagemen berpendapat bahwa wayang diciptakan oleh
Raden Panji Kertapati pada abad ke XII pada masa kejayaan kebudayaan
yang dipengaruhi Hindu. Poensen setuju dengan teori yang diungkapkan
oleh Hagemen, yaitu pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan
bantuan dan bimbingan orang Hindu. Pendapat yang sama diungkapkan
oleh Prof. Vert bahwa wayang dan gamelan mendapat pengaruh dari suatu
bangsa yang memiliki peradaban yang lebih tinggi, yaitu Hindu.
Sedangkan pendapat berbeda datang dari Prof. Niemann dan Dr. Brandes.
Menurut Niemann, wayang tidak mungkin berasal dari Hindu. Lebih
jelasnya diungkapkan oleh Dr. Brandes bahwa orang Hindu memiliki
teater yang sangat berbeda dengan teater Jawa dan dalam wayang istilah
yang digunakan merupakan khas Jawa, bukan Sansekerta.88
Lakon Kumbakarna Gugur yang menjadi pertunjukan di Desa
Asemdoyong termasuk ke dalam epos Ramayana. Ramayana merupakan
cerita dari India yang menceritakan petualangan Rama sebagai titisan
Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu. Dalam ceritanya, Kumbakarna gugur
di medan pertempuran melawan pasukan Prabu Rama demi membela
87Iva Ariani, Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur, h. 10-15. 88Sri Mulyono, Wayang: Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: ALDA, 1975),
h.9-10.
62
tanah airnya yaitu bumi Alengka. Harapan Kumbakarna untuk gugur di
tangan Prabu Rama terlaksana, namun Kumbakarna tidak dapat masuk
surga. Karena Kumbakarna membela tanah airnya yang salah, tanah air
yang penuh dengan keserakahan kakaknya yaitu Dasamuka. Hal tersebut
dinilai bertentangan dengan ajaran Hyang Widhi (Tuhan). Akhirnya
Kumbakarna harus mengulangi hidup kembali (reinkarnasi) untuk
mendarmakan baktinya demi kebenaran dan keadilan yang pada kehidupan
sebelumnya tidak dilakukan. Untuk menyempurnakan perbuatannya di
dunia, Kumbakarna harus menyatukan rohnya ke dalam diri Bima dalam
perang Bhatarayudha.89
Dari cerita lakon Kumbakarna mengandung nilai bahwa manusia
memang harus membela negara, namun negara yang berada dalam posisi
yang benar dan baik. Pagelaran wayang selalu menampilkan pesan-pesan
moral untuk kehidupan masyarakat. Pada masa sekarang, isi dan fungsi
wayang dinilai telah bergeser dari ritual agama Hindu menjadi sarana
pendidikan, dakwah, dan komunikasi. Namun dalam pertunjukannya,
masih menceritakan tokoh-tokoh dari Hindu, seperti lakon Kumbakarna
Gugur yang ditampilkan pada pelaksanaan upacara ritual baritan di Desa
Asemdoyong.
Kelima, korban. Upacara korban dilakukan oleh umat weda untuk
memuliakan para leluhur dan dengan harapan supaya para dewa
melindungi manusia dari gangguan roh jahat, serta memberikan
kelancaran, kemurahan, ketenangan, dan ketentraman. Benda yang
dipersembahkan merupakan benda-benda yang disukai manusia, mulai
dari buah-buahan, sayur-sayuran, susu, kue, dan binatang. Persembahan
seperti buah dan sayuran merupakan sesaji yang sangat sederhana untuk
pelaksanaan upacara korban kecil. Upacara korban kecil dilakukan sendiri
oleh pemilik rumah sebagai penanggungjawab anggota keluarganya.
Persembahan korban binatang merupakan bukti korban manusia yang pasti
diterima oleh para dewa.90
89Iva Ariani, Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur, h. 112-113. 90Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h.65-66.
63
Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Asemdoyong,
dalam pelaksanaan upacara baritan terdapat persembahan berupa kepala
kerbau dan ayam betina. Selain itu, panitia juga memberikan sajen kembali
berupa korban kambing hidup sebagai pengganti nyawa manusia. Korban
kambing hidup dipersembahkan sebagai bentuk permohonan maaf
mengenai kedatangan Ratu Kidul dan Dewi Lanjar yang tidak suka dengan
para pemuda yang hura-hura di atas kapal yang turut mengiringi kapal
pembawa ambeng laut. Dari kejadian tersebut dapat terlihat bahwa unsur
agama Hindu masih sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Desa
Asemdoyong.
2. Unsur Islam
Kedatangan Islam di Nusantara diperkirakan mulai pada abad ke-8
dengan adanya orang-orang Islam yang bermukim di Nusantara dalam
kapasitas sebagai pedagang dan pendakwah. Pendapat lain menyatakan
bahwa pada abad ke-13 merupakan awal perkembangan Islam di
Nusantara dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam yang secara politis telah
menjadi instrumen bagi penyebaran Islam. Menurut Graaf, terdapat tiga
metode penyebaran Islam yaitu pertama, oleh pedagang muslim yang
menyebarkan Islam melalui jalur perdagangan secara damai. Kedua, oleh
pendakwah sufi yaitu para da’i dan orang suci (wali) yang sengaja datang
dari Arab dengan tujuan mengislamkan orang-orang kafir dan
meningkatkan pengetahuan bagi yang telah beriman. Ketiga, politik yaitu
dengan kekuasaan atau memaklumkan perang terhadap negara-negara
penyembah berhala.91
Penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan munculnya para wali
pada masa kehancuran kerajaan Majapahit. Metode yang digunakan para
wali dalam menyebarkan Islam adalah dengan menggunakan tradisi yang
telah ada misalnya medium kesenian dan numerology92 dengan cara
mengubahnya menjadi bernafaskan Islam. Para wali memulai pelembagaan
Islam dengan mendirikan masjid, pesantren, dan kerajaan sebagai pusat
91Nur Syam, Islam Pesisir, h.62-63. 92Numerology adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara nomor
dengan beberapa kejadian.
64
pengembangan Islam. Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kerajaan
Demak. Sasaran utama Kerajaan Demak adalah Kerajaan Majapahit yang
saat itu kondisinya sudah lemah. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh,
dimulailah era baru dari kerajaan Hindu ke kerajaan Islam yaitu pada abad
ke-15.93
Perubahan tersebut memberi dampak kepada masyarakat. Tradisi
pada masyarakat yang semula kental dengan ajaran Hindu-Jawa menjadi
tercampur dengan unsur Islam. Hal ini terjadi pada tradisi masyarakat Desa
Asemdoyong yaitu upacara ritual baritan yang kini dikenal dengan istilah
Sedekah Laut. Dalam Islam, sedekah berasal dari akar kata sha-da-qa yang
berarti jujur, benar, dan memberi dengan ikhlas. Makna dari pengertian
sha-da-qa tersebut mengisyaratkan bahwa orang-orang yang bersedekah
berarti telah berlaku jujur kepada dirinya sendiri mengenai kelebihan yang
telah diberikan oleh Allah SWT. Manfaat sedekah dalam Islam adalah
untuk membuka pintu rezeki, mengikis sifat kikir, membersihkan harta,
dan menolak musibah.94 Penggunaan istilah sedekah dalam upacara baritan
merupakan bentuk tujuan dari masyarakat Desa Asemdoyong. Tujuan
masyarakat yang dahulu murni sebagai persembahan kepada para penguasa
laut, kini berubah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. atas
segala rezeki yang telah diberikan dan berharap akan diberikan rezeki yang
lebih melimpah dari sebelumnya serta diberi keselamatan dalam mencari
nafkah di laut.
Pelaksanaan upacara baritan dahulu menggunakan bacaan mantra-
mantra atau pujian terhadap roh nenek moyang dan dewa-dewa. Namun,
setelah Islam memasuki wilayah Desa Asemdoyong, masyarakat mulai
mengenal bacaan doa dalam Islam. Seperti yang dilakukan oleh Pak Sali
sebelum sajen di larung di tengah laut, Pak Sali membakar kemenyan
kemudian mendoakan sajen tersebut dengan membacakan Syahadat, Surat
Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, dan Surat An-Nas.
93Nur Syam, Islam Pesisir, h. 70-77. 94Saadiyah Binti Syekh Bahmid, “Sedekah dalam Pandangan Al-qur’an,” Jurnal Rausyan
Fikr, Vol. 10 No. 2 (Juli-Desember 2014), h. 197-213.
65
Seiring dengan semakin meningkatnya keimanan masyarakat Desa
Asemdoyong, dalam pelaksanaan upacara baritan ditambahkan acara
pengajian oleh ulama besar dari kota lain. Dalam pengajian tersebut para
ulama memberikan pengetahuan agama, membantu meluruskan niat dalam
pelaksanaan sedekah laut, kemudian melakukan pembacaan doa akhir dan
awal tahun, serta zikir bersama.
Kedua unsur agama tersebut berproses secara sinkretis untuk
menyelaraskan antara tradisi yang telah ada dengan agama yang dianut oleh
masyarakat. Hal tersebut dilakukan supaya tradisi yang telah ada tetap dapat
dilestarikan dan tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Namun, beberapa
kalangan tidak setuju dengan ritual inti dalam upacara baritan karena dinilai unsur
dari kepercayaan sebelumnya masih terlalu kuat sehingga menyimpang dari
ketauhidan Islam. Perbedaan dalam menyikapi upacara baritan tidak menjadi
halangan dalam pelaksanaan setiap tahunnya, karena perkembangan upacara
baritan menimbulkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat Desa
Asemdoyong.
B. Nilai-Nilai Islam dalam Upacara Ritual Baritan
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan, dan
dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Sesuatu yang
dikatakan memiliki nilai apabila berguna, berharga, indah, bermoral, dan
religius.95 Upacara baritan merupakan tradisi dari nenek moyang setempat yang
terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Asemdoyong. Tradisi dalam sebuah
masyarakat akan tetap dilestarikan apabila memiliki manfaat bagi kehidupannya.
Upacara baritan mengandung nilai-nilai Islam yang bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat.
Masyarakat Desa Asemdoyong tergolong masyarakat yang taat terhadap
agama. Sehingga kegiatan dalam sehari-hari selalu mengarah kepada agama.
Dalam hal ini adalah agama Islam yang dianut oleh seluruh masyarakat Desa
Asemdoyong. Perkembangan upacara ritual baritan semakin menuju ke arah nilai-
nilai Islam. Pelaksanaan upacara ritual baritan yang mengandung nilai-nilai Islam,
95Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Edisi Kedua, h. 31.
66
antara lain seperti sedekah, pembacaan al-Qur’an, pembacaan doa, dzikir,
pengajian, dan shalawat.
Mulanya upacara baritan ditujukan hanya kepada para penguasa laut.
Namun, semakin meningkat religiusitas masyarakat, tujuan mereka mengadakan
upacara baritan adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala
rezeki yang mereka dapatkan. Rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk
sedekah atau shodaqoh. Sedekah memiliki banyak manfaat antara lain untuk
membuka pintu rezeki, mengikis sifat kikir, membersihkan harta, dan menolak
musibah.96
Rasa syukur yang diucapkan oleh masyarakat tentunya memberikan
banyak manfaat. Sehingga dengan mewujudkan rasa syukur dalam bentuk
sedekah, diharapkan akan memberikan rezeki yang melimpah kepada masyarakat
dan keluarganya, serta mengurangi sifat kikir dengan berbagi kepada sesama
makhluk-Nya, membersihkan harta karena sebagian harta yang dimiliki
merupakan hak orang lain yang membutuhkan, dan mengharapkan perlindungan
dari Allah SWT.
Dalam pelaksanaan upacara baritan, terdapat kegiatan pembacaan al-
Qur’an pada acara pengajian dan upacara pelepasan ambeng laut. Pembacaan al-
Qur’an tentu saja mengandung nilai Islam, diantaranya baik bagi pembaca dan
pendengar mendapatkan pahala dari Allah SWT., serta masyarakat mengharapkan
rahmat dan keberkahan dalam pelaksanaan upacara baritan. Selain itu,untuk
mengingatkan masyarakat sebagai umat Islam agar selalu berpegang teguh pada
pada Al-Qur’an dan meresapi maknanya serta mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Selain itu, ada pula pembacaan doa yang dilakukan oleh tokoh ulama pada
saat acara pengajian dan pelepasan ambeng laut, serta oleh sesepuh nelayan pada
saat pelaksaan ritual larung sesaji. Doa memiliki arti meminta, memohon,
memanggil, dan memuji. Pada umumnya, manusia berdoa untuk memohon
sesuatu kepada Allah dengan cara-cara tertentu. Pembacaan doa tersebut sebagai
upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan harapan mendapatkan
keberkahan dan keselamatan dalam menjalani kehidupan. Pembacaan doa ini juga
96Saadiyah Binti Syekh Bahmid, “Sedekah dalam Pandangan Al-qur’an,” Jurnal Rausyan
Fikr, Vol. 10 No. 2 (Juli-Desember 2014), h. 197-213.
67
mengingatkan masyarakat agar selalu meminta dan memohon sesuatu apa pun
hanya kepada Allah SWT tidak kepada yang lainnya sehingga tidak
menyekutukan Allah SWT.
Acara zikir bersama dalam pengajian juga mengandung nilai Islam. Zikir
merupakan bentuk ibadah umat Islam dengan menyebut nama Allah dan
menghayatinya dengan sepenuh hati. Umat Islam yang selalu berzikir, maka
dirinya akan selalu mengingat Allah SWT. dan merasa dekat dengan-Nya. Zikir
dapat menghilangkan kegelisahan hati dan kecemasan emosi, dengan berzikir
manusia akan mendapatkan ketenangan batin.97
Selain itu, shalawat yang selalu dilantunkan dalam prosesi pelepasan
ambeng laut juga mengandung nilai Islam. Shalawat juga termasuk bentuk ibadah
umat Islam yaitu dengan melantunkan puji-pujian terhadap Allah SWT. dan
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW. Umat muslim sangat meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW. sangat berjasa dalam mencapai kemerdekaan agama dan umat
Islam, sehingga umat muslim selalu mengagungkannya dengan syair-syair
shalawat. Dalam melantunkan shalawat, umat muslim tentu akan selalu mengingat
jasa para Nabinya dan mengharapkan syafaat untuk di akhirat kelak. Berbagai
unsur Islam yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara ritual baritan terdapat
banyak nilai Islam. Dari berbagai nilai tersebut tentu memiliki tujuan yaitu untuk
membantu meningkatkan keimanan dan mensyukuri nikmat Allah SWT.
Pelaksanaan upacara baritan tidak hanya mengandung nilai Islam,
melainkan juga mengandung nilai sosial dan nilai ekonomi. Nilai sosial yang
dapat diambil oleh masyarakat pada upacara baritan sama seperti pandangan
Hildred Geertz dalam tatanan nilai keluarga orang Jawa.
Pertama, penghormatan. Upacara baritan merupakan tradisi peninggalan
nenek moyang setempat yang dapat terus dilestarikan. Pelaksanaan upacara
baritan dijadikan sebagai upaya untuk menghormati para leluhur atau nenek
moyang yang pernah bertempat tinggal di Desa Asemdoyong. Pelaksanaan
upacara baritan memiliki harapan supaya roh nenek moyang yang masih berada di
tengah masyarakat, dapat berdampingan baik dengan masyarakat serta tidak
mengganggu kehidupan masyarakat Desa Asemdoyong. Sikap hormat didasarkan
97Harmathilda H. Sholeh, “Do’a dan Zikir dalam Meningkatkan Kecerdasan Emosi,”
Jurnal Psikologi Islam, Vol. 2 No. 1 (Juni 2016), h. 30.
68
atas hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang bersifat hierarki. Karena dalam
tatanan kehidupan masyarakat, setiap generasi memiliki hubungan keluarga
terhadap roh leluhurnya. Oleh karena itu, memelihara tradisi peninggalan leluhur
merupakan suatu kebaikan.
Kedua, rukun. Nilai sosial dalam upacara baritan dapat dilihat dari tahap
persiapan dan tahan pelaksanaannya. Tahap persiapan sangat panjang dan
membutuhkan banyak orang, sehingga gotong royong sangat diperlukan dalam
tahap ini. Sikap gotong royong inilah yang membentuk nilai rukun sehingga
menimbulkan keharmonisan dan meningkatkan ukhuwah antara semua lapisan
masyarakat Desa Asemdoyong. Sikap rukun tidak hanya dilihat dari adanya saling
gotong royong saja, tetapi dengan tidak adanya pertentangan antar pribadi secara
terbuka. Meskipun beberapa masyarakat Asemdoyong memiliki perbedaan dalam
menyikapi baritan, tidak ada pertentangan dalam hubungan sosialnya dengan
masyarakat lain. Mereka saling menghormati dan memberi manfaat dalam
pelaksanaannya.
Kedua sikap tersebut memiliki hubugan erat. Karena dalam mewujudkan
sikap saling menghormati dalam kehidupan masyarakat, tentu akan menimbulkan
kehidupan yang rukun antar masyarakat. Keadaan yang demikian dipandang
sebagai cita-cita leluhur dalam kehidupan masyarakat Jawa.98
Nilai ekonomi dalam pelaksanaan upacara baritan semakin meningkat
dikarenakan adanya pergeseran fungsi, dari fungsi sakral menjadi fungsi wisata
atau hiburan. Upacara baritan terdiri dari prosesi ritual, kesenian, doa bersama,
makan bersama, dan upacara korban. Bentuk upacara tersebut dianggap unik dan
menarik bagi masyarakat dan mengundang para wisatawan untuk berkunjung. Hal
tersebut membantu meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa
Asemdoyong dan pemerintah juga dapat terbantu dalam memperkenalkan tempat
wisata yang ada yaitu Pantai Asemdoyong.99
Berkunjungnya para wisatawan tentu membawa manfaat bagi masyarakat
terutama dalam bidang ekonomi. Kedatangan para wisatawan dapat dimanfaatkan
masyarakat dengan membuka lapangan kerja, seperti berjualan, membuka lahan
98Hildred Geertz, The Javanese Family, terj. Hersri “Keluarga Jawa” (Jakarta: Grafiti
Pers, 1983), h. 153-156. 99Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya, h.113.
69
parkir, menyediakan perahu untuk dinaiki pengunjung, dan memfasilitasi
pengadaan sumbangan atau infak yang biasanya digunakan untuk pembangunan
masjid atau perbaikan jalan desa. Nilai ekonomi sangat dirasakan oleh semua
kalangan masyarakat Desa Asemdoyong dalam meningkatkan pendapatan harian.
Para pedagang yang menjajakan dagangannya selama pelaksanaan upacara baritan
tidak hanya masyarakat asli Desa Asemdoyong, namun ada juga para pedagang
yang datang dari desa sekitar yang terikat dalam paguyuban pedagang musiman.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upacara baritan merupakan sebuah tradisi peninggalan dari leluhur yang
sudah melekat dan belum dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Desa
Asemdoyong. Asal mula upacara baritan menjadi bagian dari masyarakat Desa
Asemdoyong tidak diketahui secara pasti. Namun upacara baritan dipercaya
sebagai bagian tradisi yang telah dilakukan sejak nenek moyang mereka hidup.
Masyarakat berupaya untuk terus melestarikan upacara baritan karena keyakinan
yang telah mereka dapatkan dari orang tua sebelum mereka bahwa upacara baritan
adalah tradisi yang sangat penting untuk dilaksanakan. Masyarakat masih
meyakini bahwa apabila upacara baritan tidak dilaksanakan, maka akan
menimbulkan musibah bagi kehidupan masyarakat Desa Asemdoyong.
Upacara baritan mengalami perkembangan pada setiap generasi
masyarakat. Perkembangan tersebut berubah mengikuti pelaku tradisi dan
kepercayaannya. Perkembangan yang sangat nampak dapat dilihat dari tujuan
pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara baritan mulanya ditujukan sebagai
sesembahan kepada penguasa laut yang dipercaya telah memberikan hasil
tangkapan ikan yang melimpah. Namun, setelah Islam masuk dan dianut oleh
seluruh masyarakat Desa Asemdoyong, tujuan tersebut perlahan bergeser menuju
pada konsepsi Islam. Kini, tujuan pelaksanaan upacara baritan sebagai bentuk rasa
syukur kepada Allah SWT. atas segala rezeki yang didapatkan ketika mencari
ikan. Sedangkan pelaksanaan larung sesaji sebagai bentuk sedekah yaitu dengan
berbagi rezeki kepada makhluk yang berada di laut.
Meskipun secara umum pelaksanaan upacara baritan semakin menuju
kepada konseps Islam. Namun, upacara baritan masih mengandung unsur dari
agama yang dianut masyarakat sebelumnya. Sehingga sinkretisme agama terjadi
pada pelaksanaan upacara ritual baritan. Bentuk sinkretisme yang terjadi dalam
upacara ritual baritan adalah karena adanya unsur dari agama Hindu, yaitu dengan
adanya kepercayaan terhadap roh-roh leluhur dan penguasa laut, adanya sajen,
adanya pagelaran wayang, dan adanya korban. Pengaruh tersebut yang membuat
71
beberapa kelompok masyarakat memiliki perbedaan dalam menyikapi upacara
baritan. Sebagian dari masyarakat tidak setuju dengan rangkaian inti upacara
baritan, yaitu pada saat pelaksanaan ritual larung sesaji. Hal tersebut dinilai
mengandung unsur syirik dan mubazir. Namun, hal tersebut tidak menimbulkan
pertentangan. Kelompok yang memiliki pandangan bahwa upacara baritan
mengandung unsur syirik dan mubazir, tetap menghargai tradisi yang sudah
melekat di kalangan nelayan Desa Asemdoyong.
Rangkaian pelaksanaan upacara baritan juga selalu mengalami perubahan.
Mulanya upacara baritan dilaksanakan secara sakral. Namun, seiring
berkembangnya pola pikir dan meningkatnya religiusitas serta kebutuhan
masyarakat, pelaksanaan upacara baritan beralih fungsi menjadi fungsi hiburan.
Hal tersebut dilakukan supaya tradisi ini dapat terus dilestarikan karena
memberikan banyak manfaat. Upacara baritan mengandung beberapa nilai Islam,
sosial, dan ekonomi. Berbagai kegiatan keagamaan dan pertunjukan hiburan
diadakan. Dengan tujuan untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.,
meningkatkan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, dan meningkatkan
pendapatan harian masyarakat dengan banyaknya pengunjung yang sengaja
datang untuk melihat pelaksanaan upacara baritan. Nilai-nilai tersebut menjadi
tolak ukur bahwa upacara baritan masih dapat dilestarikan.
B. Saran
Dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis, penulis beranggapan bahwa
upacara ritual baritan harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Selain upacara
ini menjadi tradisi khas Kabupaten Pemalang, juga dikarenakan memiliki nilai
sosial yang sangat kuat. Secara tidak langsung, nilai tersebut dirasakan oleh
semua kalangan masyarakat yang turut serta dalam pelaksanaan upacara baritan.
Masyarakat saling bekerjasama mensukseskan pelaksanaan upacara baritan
sehingga dapat menciptakan keharmonisan dan kerukunan antar masyarakat. Hal
tersebut merupakan suatu identitas masyarakat Jawa yang harus selalu dijaga.
Perlu adanya pertimbangan logis dalam melaksanakan upacara ritual
baritan. Tidak hanya sekedar melaksanakan warisan tradisi dari nenek moyang
setempat, tetapi masyarakat harus menyadari dan mempertimbangkan apakah
72
upacara ritual baritan sudah sesuai dengan syariat agama yang dianut oleh seluruh
masyarakat Desa Asemdoyong, yaitu agama Islam.
Para tokoh ulama desa hendaknya menyatukan kekuatan untuk melakukan
pendekatan kepada masyarakat yang masih meyakini kepercayaan sebelum Islam.
Sehingga Islam yang dianut tidak sekedar sebagai identitas kependudukan, tetapi
juga sebagai pedoman kehidupan masyarakat sehari-hari. Upaya yang dilakukan
bisa dalam bentuk dakwah secara pribadi maupun dalam skala besar dengan tema
syariat dan hukum-hukum dalam Islam, guna menyentuh dan menimbulkan
semangat ibadah bagi masyarakat. Tradisi-tradisi dalam masyarakat juga lebih
diarahkan kepada konsep Islam. Meskipun upaya tersebut telah dilakukan oleh
para ulama, penulis berharap para ulama tidak menyerah dan terus berjuang demi
menciptakan masyarakat yang lebih Islami.
Demikian penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, sumbangan saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diharapkan demi kesempurnaan pada penulisan selanjutnya. Namun, dari
ketidaksempurnaan tersebut, penulis memiliki harapan semoga karya ini dapat
membantu melengkapi penelitian sebelumnya dan menjadi acuan untuk penelitian
selanjutnya.
73
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Ariani, Iva. Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur. Yogyakarta: Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta, 2013.
Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion. Terj. Achmad Fedyani Saefuddin
“Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi”. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001.
Endraswara, Suwardi. Etnologi Jawa. Yogyakarta: CAPS, 2015.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Terj. Aswab Mahasin “Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Geertz, Hildred. The Javanese Family. Terj. Hersri “Keluarga Jawa”. Jakarta:
Grafiti Pers, 1983.
Khalil, Ahmad. Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Mauss, Marcel. The Gift: Form and Functions of Exchange in Archaic Societies.
Terj. Parsudi Suparlan “Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-Menukar di
Masyarakat Kuno”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
MC, Wahyana Giri. Sajen dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: NARASI, 2010.
Mulyono, Sri. Wayang: Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: ALDA,
1975.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana, 2012.
Pujileksono, Sugeng. Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya.
Malang: Intrans Publishing, 2015.
Romdhon, dkk. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988.
Setiadi, Elly M., dkk. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Edisi Kedua. Jakarta:
Kencana, 2011.
Suyono, R. P. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis. Yogyakarta:
LKiS, 2009.
74
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS, 2005.
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Press,
2015.
Wahid, Abdurrahman. Tabayun Gusdur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas,
Reformasi Kultural. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010.
Sumber Jurnal dan Skripsi:
Amalia, Nurul. “Bentuk dan Fungsi Kesenian Tradisional Krangkeng di Desa
Asemdoyong Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang.” Jurnal Fakultas
Bahasa dan Seni, Vol. 4 No. 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang,
2015.
Awaliah, Martia. “Keberagamaan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Tradisi Pesta
Laut di Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang).” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kelima (Versi Online). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2016.
Chakim, Sulkhan. “Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen.” Jurnal
Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3 No. 1. Januari-Juni 2009.
Data Monografi Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang,
Tahun 2017.
F., Aristi Dian P., dkk. “Modifikasi Dredged Net Untuk Peningkatan Efektivitas
dan Efisiensi Penangkapan Udang di Tambak Lorok, Semarang.” Buletin
Oseanografi Marina, Vol. 1 (Semarang: Oktober 2011).
Huda, M. Dimyati. “Peran Dukun terhadap Perkembangan Peradaban Budaya
Masyarakat Jawa.” STAI Negeri Kediri, Vol. 4. Oktober 2015.
Karningsih, Fitri, dkk. “Analisis Teknis dan Finansial Usaha Perikanan Tangkap
Cantrang dan Payang di Pelabuhan Perikanan Pantai Asemdoyong
Kabupaten Pemalang.” Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology, Vol. 3, No. 3. Semarang: 2014.
75
Kulsum, Umi. “Perkembangan Tradisi Sedekah Laut Di Kelurahan Sugih Waras
Kabupaten Pemalang Tahun 1980-2005.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang, 2007.
Muhammad, Rina H. “Tradisi Sinkretik di Kalangan Umat Islam Suma
Halmahera Selatan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
Murtadlo, Agus Atiq. “Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Upacara
Sedekah Laut di Pantai Teluk Penyu Kabupaten Cilacap.” Skripsi S1
Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Naskah RPJM Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang,
Tahun 2016-2021.
Nurdin, Irfan Bahar. “Bulan Muharam sebagai Inspirasi Kebangkitan Umat.”
Jurnal Huda Cendekia, Vol. VII/I/2016 No.07. Bandung: Huda Cendekia,
2016.
Roz Aiza Mohd Mokhtar dan Che Zarrina Sa’ari, “Sinkretisme dalam Adat
Tradisi Masyarakat Islam,” Jurnal Usuluddin 43. Malaysia: 2016.
Saadiyah Binti Syekh Bahmid. “Sedekah dalam Pandangan Al-qur’an.” Jurnal
Rausyan Fikr, Vol. 10 No. 2. Juli-Desember 2014.
Sholeh, Harmathilda H. “Do’a dan Zikir dalam Meningkatkan Kecerdasan
Emosi.” Jurnal Psikologi Islam, Vol. 2 No. 1. Juni 2016.
Syariffudin, M. Mansur. “Islam dan Tradisi Baritan.” Jurnal Kebudayaan Islam,
Vol. 11 No. 1. Januari-Juni 2013.
Widati, Sri. “Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan: Kajian
Perubahan Bentuk dan Fungsi.” Jurnal PP, Vol. 1, No. 2. Pekalongan:
Desember 2011.
Wildan, Ali. “Tradisi Sedekah Laut dalam Etika Ekologi Jawa (Di Desa
Gempolsewu KecamatanRowosari Kabupaten Kendal).” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang, 2015.
Zulaikah, Dewi. “Nilai Islam dalam Tradisi Baritan di Desa Wringinpitu
Kabupaten Banyuwangi.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2015.
76
Sumber Wawancara:
Wawancara Pribadi dengan Bapak Darusalam, “Kepala Desa Asemdoyong”,
Pemalang, 20 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fatchuri, “Ketua NU Ranting Asemdoyong”,
Pemalang, 20 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhafidz Abdul Ghani, “Tokoh Agama Desa
Asemdoyong”, Pemalang, 20 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nur Komilia, “Kepala Dusun Karanganyar
Desa Asemdoyong”, Pemalang, 06 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sali, “Sesepuh Nelayan Desa Asemdoyong”,
Pemalang, 18 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Suroso, “Ketua KUD Mina Misoyo Makmur”,
Pemalang, 20 September 2018.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tahrudi, “Nelayan Desa Asemdoyong”,
Pemalang, 18 September 2018.
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
77
77
Lampiran I : Surat Seminar Proposal
78
Lampiran II : Hasil Seminar Proposal
79
Lampiran III : Surat Ujian Komprehensif
80
Lampiran IV : Hasil Ujian Komprehensif
81
Lampiran V : Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi
82
83
Lampiran VI : Presensi Konsultasi Bimbingan Skripsi
84
Lampiran VII : Surat Izin Penelitian
85
Lampiran VIII : Surat Keterangan Penelitian
86
Lampiran IX: Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA
Data Informan
Nama :
Umur :
Alamat :
Jabatan :
Waktu Wawancara :
Tempat Wawancara :
Daftar Pertanyaan
A. Gambaran Umum Desa Asemdoyong
1. Bagaimana asal usul Desa Asemdoyong?
2. Bagaimana kondisi geografis Desa Asemdoyong?
3. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Desa Asemdoyong?
4. Bagaimana kondisi sosial dan budaya Desa Asemdoyong?
5. Bagaimana kondisi keagamaan masyarakat Desa Asemdoyong?
6. Bagaimana kondisi pendidikan masyarakat Desa Asemdoyong?
B. Sekilas tentang Upacara Baritan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
2. Apakah filosofi dan makna dari Upacara Baritan bagi masyarakat Desa
Asemdoyong?
3. Apa tujuan dilaksanakannya Upacara Baritan?
4. Kapan dan dimana Upacara Baritan dilaksanakan?
5. Mengapa Upacara Baritan harus dilaksanakan setiap tahun?
6. Apa akibatnya jika Upacara Baritan tidak dilaksanakan?
7. Bagaimana perkembangan Upacara Baritan?
8. Bagaimana masyarakat menyikapi pelaksanaan Upacara Baritan?
87
C. Sinkretisme dan Nilai-Nilaidalam Upacara Baritan
1. Sejak kapan Upacara Baritan menjadi bagian dari agama Islam?
2. Apakah sesuai dengan syariat Islam?
3. Apakah pelaksanaan Upacara Baritan mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
4. Apakah manfaat pelaksanaan Upacara Baritan?
5. Adakah nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pelaksanaan
Upacara Baritan?
88
Lampiran X : Pernyataan Informan
89
90
91
92
93
94
Lampiran XI : Hasil Wawancara
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Darusalam, S.Ag
Umur : 50 Tahun
Alamat : Dusun Trinem RT.29/RW.05 Asemdoyong
Jabatan : Kepala Desa Asemdoyong
Tanggal wawancara : 20 September 2018, pukul 11:53 WIB
Tempat wawancara : Balai Desa Asemdoyong
Daftar Pertanyaan
A. Gambaran Umum Desa Asemdoyong
1. Bagaimana asal usul Desa Asemdoyong?
Jawab: Nama Asemdoyong diambil dulu dari adanya pohon besar,
namanya pohon asem yang condong ke barat berada di dusun 1 yang
sekarang disebut Dusun Doyong di tepi kali (sungai). Dulu pohon asem
yang besar itu dijadikan sebuah nama asal usul Asemdoyong. Konon
ceritanya, ada salah satu sesepuh desa yang domisili di situ dan memiliki
peliharaan. Salah satu dari peninggalan asem tersebut diabadikan menjadi
bedug yang diletakkan di Masjid Baitussalam yang merupakan masjid
tertua di Asemdoyong.
2. Bagaimana kondisi geografis Desa Asemdoyong?
Jawab: Dari segi kecamatan merupakan wilayah paling utara dari
Kecamatan Taman. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Nyamplungsari
dan Desa Kedungbanjar. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Kabunan. Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Elon atau Sungai
Waluh. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Asemdoyong
merupakan salah satu desa di Kecamatan Taman yang mempunyai pantai
atau laut.
95
3. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Desa Asemdoyong?
Jawab: Mayoritas berkerja sebagai nelayan, kemudian pertanian,
perkebunan, sisanya pedagang dan pegawai. Untuk fasilitas ekonomi lebih
banyak ditujukan untuk para nelayan, seperti adanya baritan atau sedekah
laut.
4. Bagaimana kondisi sosial dan budaya Desa Asemdoyong?
Jawab: Banyak organisasi keislaman, pemuda, jamiyah baik untuk bapak-
bapak maupun ibu-ibu. Dari jamiyah muslimat, bersifat kepemudaan yang
biasanya bernuansa pada kegiatan keagamaan seperti jamiyah tahlil,
manaqib, barzanji, asmaul husna, dan ada juga karang taruna. Karang
taruna bernama Muda Bahari, fokus kegiatannya pada kegiatan olahraga
dan bakti sosial, contoh rehab rumah untuk rumah yang kebakaran dan
rumah yang tidak layak huni. Adapula kegiatan sepakbola di bawah
organisasi PERSEDA yang fokus kegiatannya dilakukan di Lapangan
Krida Bahari. Untuk kebudayaan ada kegiatan seni Sintren namanya
Sintren Sekar Melati di bawah pimpinan Bapak Warid di Kampung Baru
dekat pantai. Pernah mengikuti acara tingkat Kabupaten, bahkan pernah
juga di Ancol pada masa jayanya. Adapula kelompok remaja seperti
rebana atau hadroh, yang sudah melahirkan kelompok hadroh terkenal
yang bernama As Salam.
5. Bagaimana kondisi keagamaan masyarakat Desa Asemdoyong?
Jawab: Masyarakat Asemdoyong mayoritas beragama Islam, tidak ada
agama lain. Mayoritas masuk dalam organisasi Nahdiyin, meskipun ada
yang lain tetapi hanya sebagian kecil dan mereka belum menujukkan
identitas organisasi mereka. Belum ada pengakuan formal dari kalangan
mereka, saya hanya menilai dari penampilan dan sikap yang mereka
perlihatkan dan mereka merupakan orang-orang pendatang. Untuk
kegiatan keagamaan yang rutin seperti Mujahadah Nihadul Mustaghfirin
yang dipimpin oleh kelompok NU ranting Asemdoyong. Kegiatan tersebut
dilaksanakan secara bergilir antar masjid di Asemdoyong setiap malam
Minggu pahing (Sabtu malam). Kegiatan Khaul Desa di Makam KH. Abu
Bakar setiap 8 Syawal. Kegiatan Asemdoyong bershalawat untuk
96
pelaksanaannya tidak ditentukan. Adapula kegiatan Jamiyah yang
dilaksanakan setiap Kamis malam (malam Jum’at) untuk kaum bapak-
bapak, sedangkan setiap Minggu pagi dan ba’da Jum’at untuk kaum ibu-
ibu.
6. Bagaimana kondisi pendidikan masyarakat Desa Asemdoyong?
Jawab: Lembagapendidikan yang ada di Asemdoyong mulai dari PAUD
yaitu Ibnu Sabil, As Salam, yang masih rintisan ada Qothrotunnada.Kalau
TK, ada TK Pertiwi dan Tunas Nusantara. Kalau SD ada SDI Roudhotul
Muta’alimin dan SD Negeri 01-05. MI tidak ada. SMP ada SMP N 6
Taman. SMA tidak ada. Untuk sekarang, mayoritas masyarakat lulus
sampai tingkat SMP – SMA. Termasuk sarjana S1 S2 sudah mulai banyak.
Kalau dulu zaman saya masih bisa dihitung jari, sekarang alhamdulillah
termasuk tingkat kesadaran akan pendidikan semakin meningkat.
Persentase kesadaran tersebut meningkat ±50%.
B. Sekilas tentang Upacara Baritan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
Jawab: Sebenarnya yang mendasari baritan adalah bentuk rasa syukur,
mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Karena aktivitasnya di laut maka
digandeng dengan lokasinya sehingga namanya sedekah laut. Terjemah
bebasnya sedekah kepada ikan-ikan supaya tidak terjerumus ke khurafat.
Versi kita ya washilnya ke Nabi Khidir. Shodaqoh yang dilaksanakan oleh
warga nelayan Asemdoyong dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah
Allah berikan atau rezeki yang Allah berikan. Dengan shodaqoh
harapannya semoga dalam mencari rezeki di laut selamat dan diberi rezeki
yang tambah bermanfaat untuk nafkah keluarga dan biaya pendidikan. Arti
kata Baritan memiliki banyak versi. Waktu saya kajian di BAPPEDA, ada
yang berpendapat baritan diambil dari kata barito atau perahu. Tetapi
sebenarnya di daerah lain, acara baritan itu tidak dilaut saja.
2. Apa tujuan dilaksanakannya Upacara Baritan?
Jawab: Agar dalam mencari rezeki diberi keselamatan dan rezekinya
bertambah, serta sebagai upaya mensyukuri nikmat yang Allah berikan.
97
3. Kapan dan dimana Upacara Baritan dilaksanakan?
Jawab: Kalau pusat pelaksanaannya ada di Pelabuhan Perikanan (PP) Desa
Asemdoyong. Sedangkan waktu pelaksanaannya setiap 1 Muharam.
4. Mengapa Upacara Baritan harus dilaksanakan setiap tahun?
Jawab: Itu sudah menjadi kemufakatan. Dikaitkan dengan momen Suro
sehingga disepakati baritan diagendakan setiap 1 Suro atau 1 Muharam.
Namun seiring berkembangnya waktu, mungkin dulu diadakan hanya
sekedar bancakan, kesejahteraan meningkat kemudian mendapat usulan
dari masyarakat untuk meningkatkan hiburan. Dulu orkesnya bertepatan
pada 1 Suro, setelah saya menjabat kemudian saya ubah. Mulai diubah
pada tahun 2014. Karena pada tahun 2013, ketika di
kelurahanmengadakan mujahadah, di TPI malah ada dangdutan.Momen
tersebut tidak sesuai dilaksanakan pada 1 Suro. Akhirnya saya berfikir
supaya sinkron. Awalnya berat dan banyak pro kontra dari masyarakat.
Ada yang berpendapat nanti kurang ramai, tapi setelah disadari bersama,
akhirnya sepakat bahwa malam 1 Suro yang tadinya untuk acara
dangdutan, sekarang untuk kegiatan pengajian atau mujahadah atau
istighozah. Kemudian akhir-akhir ini muncul kesadaran dari para nelayan
untuk mengadakan santunan yatim dan piatu walaupun volumenya belum
sebesar hiburan. Santunan mulai diadakan tahun 2016.
5. Apakah ritual dalam Upacara Baritan dilaksanakan sesuai dengan syari’at
Islam?
Jawab: Hanya acaranya yang disesuaikan dengan syariat Islam. Contoh
saat pemberangkatan ada kegiatan doa. Kalau untuk sajennya saya
memandang sebagai shodaqoh. Itu sudah tradisi jadi sulit untuk diubah.
6. Bagaimana masyarakat menyikapi pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Sangat antusias sekali, bahkan melebihi hari raya umat muslim.
Baritan kan ibarat lebarannya perahu. Kalau lebaran, masyarakat se-
Pemalang tidak memadati desa ini tapi kalau Baritan, desa ini penuh orang
dari mana saja.
98
C. Sinkretisme dan Nilai-Nilai dalam Upacara Baritan
1. Sejak kapan Upacara Baritan menjadi bagian dari agama Islam?
Jawab: Diadakan Baritan, sejak Islam masuk di Asemdoyong karena
pelaksananya orang-orang muslim.
2. Apakah pelaksanaan Upacara Baritan mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
Jawab: Ada, kalau dari kajian sesajinya berasal dari Hindu karena mulanya
Indonesia berbasis Hinduisme. Versi orang agama itu dianggap sebagai
shodaqoh pada ikan, namun bagi masyarakat yang notabenenya orang-
orang model Kejawen maka mengarah ke sesaji. Dari dulu sudah ada
istilah buang sajen yaitu penyajian, terlepas pada siapa itu adalah pengaruh
Hindu. Adapula kepercayaan terhadap roh-roh gaib yang dikenal dengan
mbah baurekso.
3. Apakah manfaat pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Dari shodaqoh tersebut hati kita diberi ketenangan jiwa dengan
mensyukuri nikmat. Dari segi ekonomi warga mengadakan pesta dan
pendapatan masuk ke keluarga dengan berdagang, membuka lahan parkir
dan sebagainya. Masyarakat terhibur sehingga kadangkala tolak ukurnya
pada hiburan-hiburan yang diadakan.
4. Adakah nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pelaksanaan
Upacara Baritan?
Jawab: Dilihat dari segi agama, mendidik masyarakat supaya pandai
mensyukuri nikmat Allah. Kedua, bagaimanapun kalau itu tradisi baik,
maka perlu dilestarikan. Baik atau tidaknya kembali kepada manusianya.
Tahap demi tahap baritan digiring supaya mengarah kepada nilai
mensyukuri nikmat. Dari segi ekonomi, membuka lapangan kerja yaitu
dengan berjualan, membuka lahan parkir, sehingga membantu
meningkatkan pendapatan harian masyarakat. Dari segi sosial,
meningkatkan keharmonisan dan kebersamaan dalam tatanan masyarakat.
99
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : KH. Muhafidz Abdul Ghani
Umur : 57 Tahun
Alamat : Dusun Beran RT.19/RW.03 Asemdoyong
Jabatan : Pemilik Pondok Pesantren Qothrotunnada
Tanggal wawancara : 20 September 2018 pukul 17:07 WIB
Tempat wawancara : Rumah Bapak Muhafidz
Daftar Pertanyaan
A. Sekilas tentang Upacara Baritan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
Jawab:Upacara Baritan adalah acara adatnya nelayan yang dari dulu-dulu
sudah dilaksanakan. Waktunya juga tetap tidak berubah-ubah setiap
tanggal 1 Muharam.
2. Apakah filosofi dan makna dari Upacara Baritan bagi masyarakat Desa
Asemdoyong?
Jawab: Maknanya syukuran para nelayan, karena dalam satu tahun nelayan
mencari rezeki di laut dan menjalani kehidupan di dorong hasil kelautan
untuk menutupi kebutuhan keluarga sehingga setiap 1 Muharam
dilaksanakan syukuran. Namun, semakin kesini acaranya ada yang sesuai
dan ada yang tidak sesuai. Syukuran yang kita ketahui adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan adat nelayan barangkali
menggunakan sajen. Ada kepercayaan-kepercayaan secara Islam agak
bertentangan, yaitu pada acara puncak di acara Baritan itu membuang
kepala kerbau di laut, itu kan kita memandang tidak sesuai secara agama.
Sedangkan keyakinan nelayan harus membuang kepala kerbau itu. Kalau
acara yang lain hanya untuk memeriahkan.
100
3. Apa akibatnya jika Upacara Baritan tidak dilaksanakan?
Jawab:Itu hanya keyakinan nelayan. Kalau yang kita percaya tidak ada
kekuatan lain selain dari kekuatan Allah, maka itu tidak ada pengaruh apa-
apa.
4. Apakah ritual dalam Upacara Baritan dilaksanakan sesuai dengan syari’at
Islam?
Jawab: Kalau saya melihatnya pada puncak acara ini tidak sesuai dengan
Islam karena nelayan punya pemahaman bahwa ini harus begini harus
begitu. Istilahnya dalam pembuatan ancak ada aturan khusus. Kita juga
punya keyakinan bahwa tidak ada wewenang lain selain Allah. Sedangkan
disitu menganggap ada wewenang lain. Setidaknya kalau kita meyakini
itu, kepala kerbau dibuangkan mubazir. Kepala kerbau jika diambil
dagingnya itu sampai 10 kg. Setidaknya kalau kita tidak punya keyakinan
seperti itu, kan kita termasuk orang yang memubazirkan sesuatu. Islam
tidak memperbolehkan itu.
B. Sinkretisme dan Nilai-Nilai dalam Upacara Baritan
1. Sejak kapan Upacara Baritan menjadi bagian dari agama Islam?
Jawab: Sejak saya kecil sudah ada, keluarga saya pendatang tapi saya
dibesarkan di daerah ini. Sejak saya kecil sudah ada Baritan, namun tidak
semeriah ini, cuma ada balapan perahu dan tidak ada orkes. Pengajian juga
belum ada, pengajian baru ada kira-kira 10 tahun terakhir. Dari dulu
sampai sekarang malah semakin meriah hiburannya saja. Orang dulu juga
berpikir, baritan merupakan tradisi dari leluhur dan itu yang kadang-
kadang membuat keyakinannya bertambah kuat
2. Apakah sesuai dengan syariat Islam?
Jawab: Hal itu syirik. Karena sebenarnya tidak ada kaitannya dengan
syariat Islam. Kemudian di acara Baritan ini, banyak yang
menyalahgunakan. Kalau saya melihatnya, banyak yang hura-hura secara
berlebihan, terutama para pemudanya. Orang yang melakukan merasa
senang tapi kita tidak senang melihatnya.
101
3. Apakah pelaksanaan Upacara Baritan mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
Jawab: Sebenarnya upacara Baritan itu bukan acara Islam, tapi kita hanya
meluruskan supaya ada nilai-nilai agama Islam, seperti ada pengajian,
sebelum mulaimembaca doa bersama, kadang-kadang ada acara
istighosah. Dari pengaruhnya sih saya kurang mengerti, tetapi acara ini
yang pastinya bukan dari agama Islam, tetapi ada yang menamai acara ini
dengan istilah sedekah. Itupun acaranya ada sedekah dengan memberikan
rezeki kepada orang, tujuannya mungkin supaya berkurang mudharatnya.
4. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap tradisi tersebut?
Jawab: Kalau yang memahami agama sebenarnya biasa-biasa saja, hanya
sekedar menghormati, istilahnya tidak banyak omong. Menghormati
sebagai identitas Asemdoyong. Hanya saja bagi mereka yang kurang
memahami agama, baritan ini menjadi hari raya kedua setelah Idul Fitri.
Saya punya anak-anak santri yang saya jaga. Saya ingin anak-anak santri
berpikir bagus, agamis, kritis melihat manfaatnya agar tidak semuanya
diikuti. Karena kadang-kadang pada acara 1 Muharam, saya ajak untuk
mencari dana, ada acara pengajian dan istighosah sampai jam 10 malam di
pondok. Anak-anak sebagai generasimuda harus memiliki pengetahuan
agama yang dalam. Anak-anak juga banyak yang jenuh dengan baritan,
karena sudah terbiasa diadakan setiap tahun.
5. Apakah manfaat pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Tentu saja manfaatnya sebagai nelayan menjadikan Baritan di
tanggal 1 Muharam untuk melaksanakan penggalangan dana, kemudian
diberikan kepada sosial keagamaan, kepada yatim piatu, dan memberikan
bantuan atau sumbangan kepada pondok pesantren, TPI, dan yang lainnya.
Ada juga yang memanfaatkan situasi itu untuk menggalang dana dengan
menyediakan tempat parkir untuk sholat di masjid. Satu kepanitiaan
mushola tempat acara itu mengumpulkan sampai 10 juta ke atas, itu juga
termasuk kemanfaatan. Kami sendiri juga menyuruh anak-anak untuk
menggalang dana. Hal itu kita gunakan kemanfaatannya dalam acara itu.
102
6. Adakah nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pelaksanaan
Upacara Baritan?
Jawab: Adanya acara Baritan kita bisa mendapat dana, karena ada bagi-
bagi infaq, kepada anak yatim dan piatu. Besok pada tanggal 3 Oktober
akan ada santunan di Desa Asemdoyong dan ada yang digunakan untuk
pembangunan pondok.
103
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Fatchuri
Umur : 41 Tahun
Alamat : Dusun Beran RT.19/RW.03 Asemdoyong
Jabatan : Ketua NU Ranting Asemdoyong
Tanggal wawancara : 20 September 2018, pukul 17:45 WIB
Tempat wawancara : Rumah Bapak Fatchuri
Daftar Pertanyaan
A. Sekilas tentang Upacara Baritan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
Jawab: Baritan itu adat Jawa yang dilakukan para nelayan. Acara ini
dikenal dengan acara sedekah laut, mungkin karena pekerjaannya di
laut,kemudian diartikan nelayan sebagai Baritan. Namun, sampai sekarang
sebenarnya bukan sedekah laut tetapi pesta laut. Jadi menurut saya, acara
ini kurang tepat, karena terlalu menghamburkan biaya. Walaupun itu hak
mereka karena uang mereka tetapi lebih baik dialokasikan ke yang lain.
Banyak yang lebih memerlukan, baik untuk pendidikan ataupun orang
miskin, anak yatim, dan yang lain-lain.
2. Apakah filosofi dan makna dari Upacara Baritan bagi masyarakat Desa
Asemdoyong?
Jawab: Baritan merupakan adat Jawa, yang berarti berbaris-baris.
Maksudnya, beberapa perahu berbaris-baris atau berduyun-duyun ke laut.
3. Apa tujuan dilaksanakannya Upacara Baritan?
Jawab: Acara baritan dikenal juga dengan sebutan sedekah laut. Istilah
nama dengan menggunakan kata sedekah itu tidak masalah, namun
sayangnya, sekarang bukan sedekah laut melainkan pesta laut. Menurut
nelayan, acara itu untuk membuat syukuran ke laut agar laut memberikan
timbal balik (kebaikan) ke nelayan. Namun menurut saya, hal itu kurang
tepat. Secara logika kepala kerbau dibuang kelaut itu mubazir. Daripada
104
dibuang kelauttujuannya untuk di makan ikan, lebih baik dibagikan ke
masyarakat. Secara tauhid, berarti tidak percaya dengan yang kuasa (Allah
SWT). Karena mau memberikan makan ikan, padahal tidak diberipun
Sang Kuasa (Allah SWT) sudah memberi makan kesemua makhluknya.
Tapi itu kembali lagi menjadi haknya para nelayan.
4. Apakah manfaat pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Tergantung pelaksanaannya, dulu pernah ada anggaran 20% yang
dialokasikan kepada anak yatim, namun seingat saya cuman satu kali.
Pernah juga dialokasikan untuk lembaga pendidikan atau masjid yang saat
itu sedang ada perbaikan dan renovasi pembangunan, hanya satu atau dua
kali saja. Jadi persentasenya untuk alokasi ke lembaga pendidikan atapun
tempat-tempat ibadah dan anak yatim hanya 10% dari jumlah kegiatan dan
kalau dari jumlah nominal waktu itu hanya 20%. Tetapi dari jumlah
kegiatan dalam kurun beberapa tahun,kurang dari 10%. Dapat dikatakan
misal baritan sudah dilaksanakan 20 kali, tetapi kegiatan yang bersifat
sosial keagamaan baru dilaksanakn palinghanya satu atau dua kali saja.
5. Bagaimana perkembangan Upacara Baritan?
Jawab: Perubahan dari segi keramaian selalu meningkat setiap tahunnya.
Namun, dari segi agama jumlahnya menurun dan berkurang, karena
terlalu banyak hura-hura.Namun, menurut nelayan itu sangat bagus karena
para nelayan butuh hiburan. Walaupun diselingi dengan pengajian,
sebenarnya dari para nelayan hal itu diadakan agar tidak ada protes dari
para ulama, jadi diadakan pengajian agarseimbang. Padahal jelas tidak
imbang, pengajian dari segi kegiatan dilaksanakan hanya satu hari, tetapi
kegiatan yang lain sampai beberapa hari, seperti sepak bola selama 7 hari,
ada wayang, ada orkes (dangdut) yang lebih banyak memakan waktu.
Dalam segi pendanaan juga tidak ada 10% dari dana yang dialokasikan
utuh. Jadi menurut saya,panitia hanya berusaha mengimbangi ulama
Asemdoyong, tapi menurut saya lebik tidak usah dilaksanakan sekalian
supayapara tokoh agama bisa lebih gampang melakukan protes.
105
B. Sinkretisme dan Nilai-Nilai dalam Upacara Baritan
1. Apakah sesuai dengan syariat Islam?
Jawab: Saat ini Baritan tidak memenuhi syariat Islam. Tetapi kalau
diselingi dengan acara pengajian, berarti pengajiannya yang memenuhi
syariat. Seperti yang sudah saya katakan,pengajiandilaksanakanhanya
beberapa jam saja, namun kegiatan lain yang diluar syariat Islamjustru
dilaksanakan lebih lama. Jadi menurut saya, belum sesuai syariat Islam
walaupun sudah diselingi dengan acara pengajian. Para tokoh ulama disini,
mungkin mengatakan hal yang sama.
2. Apakah pelaksanaan Upacara Baritan mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
Jawab: Setau saya sesajen diberikan untuk penghuni laut. Karena
anggapan para nelayan dengan memberikan sajen, ketika mereka melaut
akan mendapatkan hasil ikan yang banyak. Secara tidak langsung, yang
pertama mereka tidak percaya pada Yang Kuasa Allah SWT.; yang kedua
mereka tidak percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur; yang ketiga
mubazir karena membuang makanan kelaut.
3. Adakah nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pelaksanaan
Upacara Baritan?
Jawab: Nilai yang dapat diambil itu adanya pengajian.Masyarakat
jugadapat memanfaatkan pengunjung untuk dimintai infak. Hal itu
menjadi nilai tambah. Contoh, kemarin dalam pembangunan masjid
mendapat pemasukan dana dari pengguna jalan. Tiap tahun pengguna jalan
meningkat 100%. Pendapatan infak dari pengguan jalan juga
meningkat,walaupun tidak semua pengunjung memberikan infak.
106
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Suroso
Umur : 65 Tahun
Alamat : Dusun Beran RT.16/RW.03 Asemdoyong
Jabatan : Ketua KUD Mina Misoyo Makmur (Sesepuh Desa)
Tanggal wawancara : 18 September 2018 pukul 11:59 WIB
Tempat wawancara : KUD Mina Misoyo Makmur
Daftar Pertanyaan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
Jawab: Tradisi baritan itu ibarat seperti kalimat pepatah bahwa “Dimana
bumi dipijak, disana langit dijunjung” yang artinya dimana kita berada,
kita harus menghormati leluhur artinya karena tradisi sini ya adat istiadat
disini harus kita hormati dan kita junjung. Kalau tidak kita hormati, nanti
menimbulkan kontra dan akan muncul permasalahan di tengah kehidupan
masyarakat. Baritan tidak ada cerita tertulis tetapi sejak saya kecil sudah
ada. Dari dulu semua kalangan masyarakat menerima. Namun, seiring
berjalannya waktu selalu saja ada pro dan kontra. Saya pernah
menanyakan di depan umum, bagaimana kalau tahun depan tidak
mengadakan Baritan. Jawaban masyarakat tidak mau, mereka tetap
menginginkan tradisi ini terus dilestarikan. Terkadang saya juga berfikir,
untuk apa tradisi ini terus dilestarikan. Tetapi karena memang kepercayaan
itu sudah melekat sampai sekarang dan belum dapat dipisahkan, maka kita
ikutin saja budaya dari leluhur ini. Akhirnya kita sebagai generasi penerus,
tidak ada salahnya turut melestarikan budaya leluhur kita. Kemarin kyai
cerita bahwa baritan dilaksanakan pada bulan Suro itu tepat karena
pertama ada laut adalah pada bulan Suro. Hanya saja, semakin kesini di
tengah pelaksanaan baritan banyak pemuda yang hura-hura. Sehingga saya
ingin menegur mereka karena menurut saya hal tersebut kurang sesuai,
ritual baritan seharusnya dilaksanakan secara sakral. Hal tersebut
107
menimbulkan permasalahan. Saya merasa ketakutan mbak, mbuh kui
wonge ngomong temenan apa ora. Pelaksanaan baritan kemarin disini
kedatangan tamu gaib Ratu Kidul dan Dewi Lanjar yang mana tidak
senang sekali melihat pemuda yang hura-hura tersebut, bahkan
informasinya mau ditumplek (kapalnya dibalik) tapi dilarangoleh Tirta
Jagad dan Mbak Vita. Mbak Vita bilang, tahun depan jangan sampai
seperti ini, paling tidak kita sakralkan baritan. Mendapat informasi
tersebut, saya langsung menyampaikan kepada panitia dan aparat desa.
Kemudian kami sepakat untuk memberikan sajen lagi berupa kambing
hidup sebagai bentuk permohonan maaf dan mengganti nyawa manusia
yang mulanya akan mendapat musibah.
2. Apakah filosofi dan makna dari Upacara Baritan bagi masyarakat Desa
Asemdoyong?
Jawab: Kalau menurut saya, yang pertama adalah syukuran, merasa syukur
kepada Allah SWT. bahwasanya dalam setahun penuh, aktivitas nelayan di
laut diberi keselamatan dan diberi rezeki. Yang kedua, memohon kepada
Allah mudah-mudahan hari ini akan lebih baik daripada hari kemarin.
Adapun aburampe dan lain-lain silahkan, yang penting dalam upacara
disini kita menggunakan doa menurut Islam. Kalau bagi saya, mengenai
sajen itu ditujukan supaya ikan-ikan mendapat makan. Seperti kepala
kerbau dimakan ikan supaya ikan yang kurus menjadi gemuk, ikan yang
kecil menjadi besar.
3. Apa tujuan dilaksanakannya Upacara Baritan?
Jawab: Untuk menghimbau nelayan supaya lebih tertib dan patuh kepada
aturan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan.
4. Mengapa Upacara Baritan harus dilaksanakan setiap tahun?
Jawab: Tanggal 1 Suro dipandang oleh leluhur kita merupakan tanggal
yang keramat. Upacara baritan dilaksanakanntuk melestarikan budaya
leluhur Desa Asemdoyong.
108
5. Bagaimana perkembangan Upacara Baritan?
Jawab: Pada zaman orde baru, pelaksanaan baritan bersamaan dengan
pelaksanaan PEMILU yaitu bertepatan dengan hari tenang. Kemudian
dilarang oleh pemerintah, namun masyarakat tetap melaksanakan tetapi
tidak ada upacara, hanya melaksanakan larung sesaji di laut. Dari dulu
hingga sekarang pelaksanaan baritan selalu di tanggal tersebut. Jadi setiap
tahun setelah pelaksanaan selesai, kemudian pembubaran panitia, dilanjut
pembentukan panitia lagi untuk tahun selanjutnya dan pendapatan nelayan
mulai dipotong untuk iuran pelaksanaan baritan pada tahun selanjutnya.
109
HASIL WAWANCARA
Data Informan
Nama : Tahrudi
Umur : 55 Tahun
Alamat : Dusun Beran RT.17/RW.03 Asemdoyong
Jabatan : Nelayan
Tanggal wawancara : 18 September 2018 pukul 13:42 WIB
Tempat wawancara : Rumah Bapak Tahrudi
Daftar Pertanyaan
A. Gambaran Umum Desa Asemdoyong
1. Bagaimana asal usul Desa Asemdoyong?
Jawab: Asemdoyong sejarahnya itu ada pohon asem dan pohonya itu
memang doyong (condong). Pohon asemnya sangat besar sekali, bahkan di
cakup tiga orang saja tidak bisa. Kemudian batang pohon asem tersebut
sudah dijakan bedug masjid.
B. Sekilas tentang Upacara Baritan
1. Apakah yang dimaksud dari Upacara Baritan?
Jawab: Baritan adalah ritual yang dilaksanakan setiap tahun dan termasuk
budaya di Asemdoyong. Sejak saya belum ada, mungkin sudah ada yang
namanya baritan. Baritan itu adalah bahasa wisata. Di Asemdoyong
dinamakan baritan, mungkin di Jawa Barat berbeda istilah. Ada yang
disebut sedekah laut, petik laut, atau apa lah yang lainnya. Kalau istilah
bahasa arabnya adalah tasyakuran dalam bentuk sedekah laut.
2. Apakah filosofi dan makna dari Upacara Baritan bagi masyarakat Desa
Asemdoyong?
Jawab: Maknanya adalah ritual membuang sesaji kelautan.
110
3. Apa tujuan dilaksanakannya Upacara Baritan?
Jawab: Baritan ini sudah termasuk budaya. Tujuanya adalah untuk
menambah barokah, khususnya yang melaut. Pelaksanaannya setiap
tanggal 1 Suro atau 1 Muharam.
4. Mengapa Upacara Baritan harus dilaksanakan setiap tahun?
Jawab: Ya bisa dikatakan karena sudah membudaya setiap tahun, bahkan
sejak nenek moyang sudah ada, jadi kita tinggal meneruskan tradisi nenek
moyang tersebut.
5. Apa akibatnya jika Upacara Baritan tidak dilaksanakan?
Jawab: Upacara ritual baritan belum pernah tidak dilaksanakan. Pada
tahun 2008, pernah tetap dilaksanakan tetapi sesajinya kurang. Akhirnya
terjadi bencana, kapal yang ditumpangi para pengunjung tenggelam dan
mengakibatkan adanya korban yang meninggal dunia. Itu yang ditakutkan
masyarakat. Sesajinya kurang saja memakan korban, apalagi tidak
dilaksanakan.
6. Bagaimana perkembangan Upacara Baritan?
Jawab: Yang jelas semakin bagus, terutama dari sisi ekonomi. Peningkatan
itu jelas setiap tahun pasti ada. Apalagi kemaritiman laut Asemdoyong
mendapat juara satu dan setiap tahun itu tidak kurang dari satu miliar
untuk pemasukan pemerintah dan kualitas ikannyaselalu bagus.
7. Bagaimana masyarakat menyikapi pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Ya jelas sangat antusias. Apalagi tahun ini hiburan lebih
menunjang, yang 99% jelas pada suka. Untuk yang tidak suka jelas pasti
ada tetepi tidak terlihat karena tertutup oleh 99% yang suka.
C. Sinkretisme dan Nilai-Nilai dalam Upacara Baritan
1. Sejak kapan Upacara Baritan menjadi bagian dari agama Islam?
Jawab: Ya sejak Islam masuk ke Asemdoyong. Bahasanya itu sudah
menyatu. Dari tokoh agama dan tokoh ulama Islam juga mendukung. Pada
pelaksanaan baritan juga mengundang para ulama dari luar kota, ada yang
111
dari Tegal, Semrang, dan lainnya untuk mengisi pengajian dalam rangka
memperingati tahun baru Islam di bulan Muharam.
2. Apakah pelaksanaan Upacara Baritan mendapat pengaruh dari agama lain
selain Islam?
Jawab: Kalau khusus Asemdoyong, mayoritas Islam jadi tidak ada
pengaruh selain Islam. Memang terjadi pro dan kontra, karena dianggap
sesaji itu disediakan untuk setan dan makhluk gaib. Hal tersebut anggapan
bagi orang yang tidak tahu. Pada kenyataannya memang sesaji dibuat
sesuai dengan permintaan makhluk gaib dan tahu apa saja yang diminta itu
setelah akan dilaksanakan. Ada kejadian aneh setelah pelaksanaan baritan
kemarin. Pada waktu melarung sesaji ke laut, Ibu Dewi Lanjar marah
dikarenakan salah satu kapal yang turut mengiringi ancak tersebut berisi
para pemuda yang dalam keadaan mabuk. Dewi Lanjar adalah penguasa
laur utara Jawa. Sesaji itu merupakan barang yang suci jadi jangan
dikotori.
3. Apakah manfaat pelaksanaan Upacara Baritan?
Jawab: Kalau manfaatnya, orang melaut itukan jenuh, setiap hari kerja di
laut. Dengan adanya pelaksanaan baritan, maka para nelayan mendapat
hiburan dan nikmatnya takterhingga. Hiburan yang diadakan seperti sepak
bola, orkes dangdut, ada wayang, ada juga pengajiannya, ada kuda
lumping, ada drum band, musik angklung dan banyak lainya. Sebagian
besar acara yang diadakan adalah untuk hiburan masyarakat semata.
4. Adakah nilai-nilai yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pelaksanaan
Upacara Baritan?
Jawab: Yang jelas kebersamaan dan untuk membangun ukhuwah para
nelayan. Karena yang jelas, dananya juga dari nelayan satu persatu
dikumpulkan dan dijadikannya upacara baritan. Sistemnya iuran dana
perkapal senilai lima ratus ribu rupiah (Rp500.000,-),
kemudiandiakumulasikan kurang lebih 700an kapal yang aktif dan masuk
ke pelelangan semua. Ya ada juga biaya dari sponsor untuk menunjang
kekurangan dan juga untuk saling menguntungkan. Selain itu, para
pedagang juga mendapat keuntungan dari pelaksanaan acara baritan itu
112
sendiri. Ada juga pengajian, biasanya malam pengajian dulu, besok
paginya ritual membuang sesaji kelaut dan langsung dilakukan
ruwatan.Ruwatan itu istilahnya menceritakan sejarah dari terciptanya ikan,
yang tahu ceritanya itu hanya dalang. Dalang menceritakan tentang sesaji
dimakan siapa dan kejadiannya apa. Hiburannya ada wayang semalem
suntuk, penampilan jaran ebeg atau kuda lumping, musik angklung, dan
malam berikutnya acara dangdutan satu hari satu malam.
113
Lampiran XII : Sertifikat OPAK
Lampiran XIII : Sertifikat KKN
114
Lampiran XIV : Sertifikat TOEFL
Lampiran XV : Sertifikat TOAFL
115
Lampiran XVI : Dokumentasi Penelitian
Foto 1. Ritual Nyajeni
Perbatasan sungai dan laut (tempat pelaksanaan ritual nyajeni)
Sajen dalam ritual nyajeni
Pembakaran kemenyan dan pembacaan doa
116
Foto 2. Pengajian Malam 1 Muharam
Pengajian oleh KH. Misbahul Musthofa (Ulama dari Tegal)
Penampilan hadroh
Pengunjung pengajian
117
Foto 3. Sajen
Candu (bibit kemenyan)
Penataan sajen
Sajen lengkap
118
Ambeng Cantrang
Ambeng Gemplo
Ambeng Garok
119
Foto 4. Upacara Pelepasan Ambeng dan diarak Keliling Desa
Ambeng keluar dari rumah Bapak Sali menuju Balai Desa
Upacara pelepasa di Balai Desa
Ambeng diarak keliling desa diiringi rebana, drumband, kuda lumping, dan angklung
120
Foto 5. Pelaksanaan Upacara Ritual Baritan
Susunan Acara
Susunan Panitia
Sambutan oleh Bapak Muntohir (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pemalang)
121
Para tamu undangan dan pengunjung
Pemberian hadiah bagi pemenang undian pembawa ambeng
Ambeng menuju kapal
122
Ambeng menuju ke tengah laut
Kapal para nelayan mengikuti kapal pembawa ambeng
Pembakaran kemenyan dan pembacaan doa oleh Bapak Sali
123
Sajen dalam ambeng laut
Ambeng laut di larungkan di tengah laut
Berebut mengambil air di sekitar pelarungan sajen untuk memandikan kapal
124
Berebut mengambil sajen
Foto bersama Bapak Sali (pembuat sajen) dan Bapak Sugiri (anggota TNI AL)
setelah melakukan ritual larung sesaji
Pelaksanaan ruwatan oleh dalang dari Sanggar Bima Laras
125
Foto 6. Alat Tangkap Ikan Nelayan Desa Asemdoyong
Alat tangkap cantrang
Alat tangkap garok
Alat tangkap gemplo
126
Foto 7. Dokumentasi Wawancara
Wawancara dengan Bapak KH. Muhafidz Abdul Ghani
Wawancara dengan Bapak Fatchuri
Wawancara dengan Bapak Sali
127
Wawancara dengan Bapak Tahrudi
Wawancara dengan Bapak Suroso
Kepala Desa Asemdoyong beserta jajarannya