Single Parent

download Single Parent

If you can't read please download the document

Transcript of Single Parent

MENJADI SINGLE PARENT SUKSESApa saja ukurannya?

Banyak single parent (SP) yang ingin dibilang sukses dalam

merawat anak. Namun tak dapat dipungkiri, ukuran sukses setiap orang berbeda-beda. "Meskipun tampaknya sepintas sama, sebetulnya penghayatan setiap orang terhadap sukses sangat subjektif. Tergantung pada apa yang menjadi fokus suksesnya," kata Ratih Andjayani Ibrahim, Psi., MM., dari Personal Growth dan LPTUI Jakarta. Ada yang meletakkan kesuksesan pada pendidikan anak; anak dimasukkan ke sekolah favorit, bereputasi terbaik, punya program terbaik, dan sebagainya. Kemudian si anak didorong untuk belajar dan mengejar nilai tertinggi di sekolah. Bila kemudian si anak berprestasi bagus di sekolah, maka dia merasa sudah menjadi SP yang sukses. Ada pula orang yang sudah merasa sukses kalau si anak tidak neko-neko, misalnya bergaul di lingkungan positif, tidak memakai narkoba, bersikap baik di rumah, punya prestasi di bidang tertentu meskipun di sekolah punya nilai pas-pasan. Bahkan ada pula yang merasa sukses bila sudah memberikan segala keinginan anak; anak minta dibelikan komputer dipenuhi, minta dibelikan mobil diberikan, minta ini-itu selalu ada. Padahal, lanjut Ratih, kalau kita mau jujur, prestasi akademik hanyalah salah satu indikasi sukses yang semestinya bukan tujuan. Ada banyak hal yang diperlukan untuk bisa dicapai anak, terutama agar ia bisa tumbuh menjadi dirinya sendiri secara baik, sehat, utuh dan seimbang, dengan self esteem (konsep diri) yang positif, menghargai diri sendiri secara baik, dan mampu bersosialisasi dengan baik juga. "Dan yang paling utama adalah anak yakin bahwa ia dicintai oleh orangtuanya," tandas Ratih. Dengan segala hal tersebut anak dapat tumbuh secara optimal. Irfan Hasuki.

5 MASALAH UTAMA & SOLUSINYAMenjadi single parent (SP) butuh tenaga ekstra dalam merawat anak. Pasalnya, segala masalah anak harus ditangani sendiri, dari kebutuhan makan hingga hiburan. Hal inilah yang sering kali membuat SP sangat kerepotan. Belum lagi dengan kestabilan dirinya, kemapanan dirinya, pemahaman dia atas anaknya, dan kepiawaian dia sebagai orangtua. Tentu hal ini tak mudah didapat oleh si SP. Jika yang bersangkutan tidak siap untuk menjadi orangtua tunggal, bukan tak mungkin hidupnya akan berantakan. Anak pun terkena dampaknya. Tumbuh di lingkungan broken home bisa membuat anak menjadi sangat rentan terhadap pengaruh negatif lingkungan. Tentu hal ini sangat buruk bagi anak. Nah, berikut ini sejumlah masalah yang kerap dialami orangtua tunggal berikut solusinya. 1. Berebut Hak Asuh Perceraian yang dilakukan baik-baik terkadang menyisakan masalah tentang hak asuh, siapa yang berhak mengasuh anak. Apalagi bila perceraian dilakukan dengan tidak baik, tentu kendala ini akan semakin besar. Seharusnya kita mesti melihat bahwa pada dasarnya tak ada anak yang ingin orangtuanya bercerai, karena selain kehilangan keharmonisan dalam keluarga, anak pun akan bingung kepada siapa dia lebih ingin diasuh. Perebutan hak asuh anak umumnya terjadi demi ego si orangtua. Sebenarnya, untuk memberikan solusi harus melihat kasus per kasus sehingga jalan keluar bisa

dihasilkan dengan baik. Sulit sekali untuk menentukan solusi bila masalah yang dihadapi tidak diketahui secara detail. Namun secara umum, Ratih menyarankan kepada orangtua yang paling "mapan", paling tidak secara emosional dan secara finansial berpenghasilan tetap, untuk jadi pihak yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak. "Jika si pihak mapan ini secara finansial belum siap, ia diminta untuk segera mempersiapkan dirinya." Alasan Ratih, diperkirakan seberat apa pun trauma yang dialaminya, si orangtua yang lebih mapan ini akan lebih mampu untuk lebih cepat memulihkan dirinya, lebih tegar dan lebih mampu bangkit kembali demi anakanaknya. Yang dimaksud pihak yang lebih mapan, lanjut Ratih, tidak selalu si ibu atau si ayah. Kalau ibu yang labil, biarpun ia sangat ingin, maka sebaiknya hak asuh utama anak diberikan kepada ayah. Demikian juga sebaliknya. 2. Ketiadaan Figur Ayah/Ibu Figur yang komplet, ayah dan ibu, sangat penting untuk dekat dengan anak agar pertumbuhan fisik dan psikisnya berjalan baik. Umumnya, bila perpisahan yang terjadi berjalan baik, masalah figur bisa teratasi dengan baik. Kedua orangtua bisa berteman dan memelihara tali silaturahmi yang baik sehingga anak tetap memiliki figur orangtua yang lengkap. Akan menjadi sangat merepotkan bila proses perceraian sangat buruk sehingga antara ayah dan ibu terdapat perseteruan dan dendam kesumat. Setelah hak asuh digenggam ayah, ibu menghilang dan tak peduli terhadap anaknya. Begitu pula sebaliknya. Ini sebaiknya tak dilakukan karena anak sangat butuh figur orangtua yang lengkap. Untuk itu, kita harus memahami kebutuhan anak, bukan membesarkan ego masing-masing. Orangtua yang tinggal di luar kota/negeri, harus tetap menjenguk anak secara berkala. Sangat baik bila menyempatkan diri untuk bersama anak seharian atau selama waktu yang dibutuhkan. Lain hal bila salah satu orangtua meninggal, memiliki perjanjian untuk tidak bertemu lagi, sakit yang sangat parah, yang membuatnya tak dapat mengunjungi anak. Untuk kasus ini, ujar Ratih, kita harus mencari pengganti figur ayah/ibu. "Tak harus menikah kembali, kok, karena bisa menggunakan figur kakek, nenek, om, tante dari pihak orangtua. Atau bila memang sudah siap, menikah lagi tak ada salahnya. Hanya kita perlu pertimbangan matang demi kebaikan anak." 3. Sulit Komunikasi Kesulitan berkomunikasi kepada anak juga sering ditemui oleh ayah/ibu. Bila hal ini terjadi, Ratih menyarankan agar kita mencari tahu dulu penyebabnya, akar masalahnya, kenapa sampai sulit berkomunikasi. Bila penyebab dan akar masalah sudah ditemukan baru kita bisa menemukan solusinya. Pasalnya, jika masalah di permukaannya saja yang dibenahi tanpa membereskan sumbernya, berarti yang kita beresi adalah gejala problem komunikasinya saja. Bukan tak mungkin, pada suatu saat akan timbul masalah baru yang ketika digali-gali kembali ternyata sumbernya sama. Misal, kita masih memiliki dendam kepada pasangan yang membuat kita enggan berkomunikasi dengan anak. Suatu saat, kita memaksakan diri untuk berkomunikasi dengan anak. Nah, esoknya, jika dendam masih berlanjut komunikasi pun akan sulit dilakukan lagi. 4. Pengaturan Finansial Urusan finansial sebaiknya sejak awal berpisah memang sudah disepakati bersama dan sungguhsungguh dilakukan. Biasanya, karena ibu adalah pihak yang mengandung dan melahirkan anak, secara hukum, jika ibu tak bermasalah, hak pengasuhan anak akan diberikan kepada ibu. Kecuali jika ibu dinilai tidak mampu. Dan biasanya pencari nafkah utama dalam keluarga adalah ayah. Dengan demikian, meskipun sudah berpisah dengan ibu, ayah tetap wajib menanggung seluruh biaya hidup dan pendidikan anak-anaknya sampai anak-anak ini dewasa dan mampu menanggung hidupnya sendiri. Tidak hanya anak-anak, tetapi juga mensubsidi kebutuhan hidup mantan istrinya, sampai si istri menikah kembali. Sedangkan ibu, meskipun punya penghasilan sendiri, dibebaskan dari kewajiban menanggung si ayah. Meski demikian, tak sedikit orang yang curang sehingga meskipun secara hukum sudah

ditetapkan kewajiban-kewajibannya, ia tetap ingkar. Hal-hal demikian harus juga diperhitungkan oleh si mantan pasangan. Mengapa? Supaya ia sudah siap sejak dari jauh-jauh hari. 5. Waktu dan Tenaga Tentu, SP butuh waktu dan tenaga yang lebih besar dalam merawat anak dan seluruh kebutuhan rumah. Tak heran bila waktu dan tenaga sering terkuras, apalagi bagi ayah/ibu yang sangat sibuk dengan pekerjaan. Kiat mengatasinya, jelas Ratih, bila anak masih kecil gunakan jasa pengasuh untuk mengasuh anak dan pembantu untuk keperluan lain. Jadikan mereka sebagai mitra dalam keluarga, berikan penjelasan secara terperinci apa saja yang harus dikerjakan. Nah, bila anakanak sudah cukup besar, ajaklah mereka untuk terlibat dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Anak perlu dilibatkan, diberi tanggung jawab, selain untuk mengurangi beban juga melatihnya bertanggung jawab. Atur pembagian tugas secara baik, sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Dengan demikian orangtua terbantu, dan punya cukup waktu untuk beristirahat. Selain itu, jalani semuanya dengan ikhlas. Memang menjadi orangtua tunggal itu tidak mudah, sangat berat. Tetapi bila kita menjalaninya dengan ikhlas akan membuatnya lebih ringan dan lebih tertanggungkan untuk dijalani. Bangunlah kedekatan spiritual dengan Tuhan agar jiwa menjadi lebih tenang. Dengan begitu sangat baik untuk membantu kita menjejakkan kaki di bumi dan menjadi lebih kuat.

4 ALASAN MEMILIH SINGLE PARENT"Bila kita bertanya ke orang-orang, bahkan yang ada di kota besar seperti Jakarta, saya yakin, amat sangat sedikit yang secara sadar memilih untuk menjadi single parent," ujar Ratih yang sangat tak yakin kalau banyak orang lebih memilih menjadi single parent daripada double parent dimana merawat anak dan membina rumah tangga dilakukan berdua pasangan. "Masalahnya, tidak semua orang punya kesempatan dan beruntung bisa memiliki pasangan abadi dalam perkawinan dan menjadi orangtua bersama-sama dalam ikatan perkawinan. Ada yang terpaksa harus jadi orangtua tunggal, karena perkawinannya stop di tengah jalan. Walhasil, mau tidak mau predikat single parent pun melekat pada dirinya." Nah, berikut ini 4 alasan menjadi SP sebagaimana dikemukakan oleh Ratih! 1. Tak Bisa Diharapkan Ada kan pasangan, entah suami maupun istri, yang sama sekali tak bisa diharapkan keterlibatannya dalam pengasuhan anak, diistilahkan hopelessly hopeless. Misal, suami yang secara finansial tak bisa memenuhi kebutuhan anak akan pendidikan, kesehatan, bahkan kehidupan sehari-harinya. Atau, istri yang sangat sibuk sehingga tak punya waktu untuk mengurus anak. Bila demikian banyak yang akhirnya memutuskan untuk menjadi single parent. 2. Percaya Diri Seseorang bisa merasa sangat percaya diri bahwa dia tak membutuhkan pasangan untuk merawat anak. Malah, dia merasa kalau pasangannya hanya akan merusak aturan-aturan yang sudah ditetapkannya. Dia juga merasa kalau dia jauh lebih baik dari pasangan sehingga memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Tentu umumnya, entah istri atau suami, secara finansial sudah tercukupi sehingga apa pun aturan yang ingin diterapkan akan berjalan dengan baik. 3. Trauma Seseorang, laki-laki atau perempuan, memiliki pengalaman buruk terhadap pernikahan. Pengalaman ini bisa membekas menjadi trauma berkepanjangan yang sulit untuk dilupakan. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menikah lagi dan memilih menjadi single parent. 4. Cinta Begitu Besar Ada orang yang tak bisa melupakan cinta dan kesetiaannya kepada pasangannya. Sering kali hal ini membuatnya enggan untuk menikah lagi. Begitu pula dengan kesedihan yang begitu besar ketika pasangan meninggal dunia, banyak yang merasa tidak pantas untuk menikah kembali.