Sindrom Metabolik APG II
-
Upload
akhmad-isna-n -
Category
Documents
-
view
175 -
download
22
Transcript of Sindrom Metabolik APG II
Jurnal Kedokteran IndonesiaEdisi No 07 Vol XXXVII - 2011 - Artikel Konsep
`Sindrom Metabolik pada Penggunaan Antipsikotik Atipikal
YUSRI HAPSARI UTAMIDepartemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pendahuluan
Antipsikotik generasi kedua saat ini telah luas digunakan sebagai pengobatan skizofrenia dan
gangguan mental lainnya. Antipsikotik generasi kedua ini dihubungkan dengan rendahnya
insiden sindrom ekstra-piramidal. Antipsikotik generasi ini lebih efektif dibandingkan generasi
pertama untuk simptom negatif, simptom mood, dan gangguan kognitif. Selain itu, efikasinya
lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama.1 Meski demikian, pemberiannya tidak
terlepas dari risiko diabetes, weight gain, dan dislipidemia.2 Pada 2005, The Clinical
Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness (CATIE) mengindikasikan bahwa efektivitas
penggunaan antipsikotik generasi kedua ini berkontribusi pula pada peningkatan prevalensi
sindrom metabolik.1,2 Awalnya hanya terlihat jelas hubungannya dengan peningkatan berat
badan dan obesitas. Namun, penelitian saat ini menyatakan bahwa risiko dislipidemia,
diabetes, penyakit kardiovaskuler, dan kematian mendadak dihubungkan dengan penggunaan
antipsikotik ini.
Epidemiologi
Seseorang dengan gangguan mental mengalami peningkatan kesakitan dan kematian, terutama
dikaitkan dengan penyakit kardiovaskuler.3 Hasil penelitian meta-analisis pada pasien dengan
skizofrenia memperlihatkan risiko kematian dini akibat kondisi medis lebih besar 2 kali lipat
dibandingkan populasi umum. Di Amerika Serikat, penyakit kardiovaskuler merupakan
penyebab kematian utama seseorang dengan penyakit mental. Studi di Swedia pada pasien
rawat skizofrenia menunjukkan yang meninggal dengan penyebab kardivaskuler meningkat
secara dramatis selama periode 1976-1995. Peningkatan paling tajam dari 1991 sampai 1995,
di mana pada laki-laki 8,3 kali lipat dan pada wanita 5 kali lipat.4
Di Amerika Serikat, sindrom metabolik terjadi pada sekitar 30% penduduk.5 Sampai saat ini,
penyebab sindrom metabolik tidak diketahui. Namun, diduga ada keterlibatan obesitas,
resistansi insulin, serta kerentanan genetik. Mengenali peningkatan risiko kardiometabolik
yang dihubungkan dengan gangguan mental berat ini diharapkan dapat turut memecahkan
masalah yang turut berkontribusi seperti obesitas, dislipidemia, hipertensi, merokok, dan
hiperglikemia.6
Sindrom Metabolik
Istilah sindrom metabolik pertama kali dikenalkan pada 1970 oleh peneliti German yang
menghubungkannya dengan aterosklerosis. Istilah lain yaitu resistansi insulin, mulai dikenal
tahun 1980-an. Sindrom metabolik dikenal juga sebagai “Sindrom Resintansi Insulin atau
Sindrom X.5 Sindrom metabolik adalah gangguan multi-sistem di mana terdapat kelompok
gangguan (ketidaknormalan) disertai peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan obesitas.
Termasuk di dalamnya gangguan keseimbangan metabolisme glukosa, obesitas,
hiperlipidemia, dan hipertensi.1,5 Secara umum, kecenderungan sindrom metabolik dapat
terjadi apabila seseorang memiliki faktor risiko berikut: usia > 65 tahun, pasca-menopause,
Body Mass Index (BMI=IMT) tinggi, merokok, pendapatan rendah, intake karbohidrat tinggi,
tidak mengonsumsi alkohol, dan aktivitas fisik rendah.4,5
Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila terdapat 3 atau lebih dari 5 faktor risiko
sebagai berikut: obesitas abdominal, kadar trigliserida tinggi, kadar kolesterol High Density
Low rendah, hipertensi, dan peningkatan kadar glukosa puasa.3 Berikut adalah tabel kriteria
klinis sindrom metabolik.
Menurut data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) III, pasien
dengan skizofrenia, terutama wanita, memiliki BMI lebih tinggi dibandingkan wanita tidak
dengan skizofrenia.8
Antipsikotik Generasi Kedua
Antagonis serotonin-dopamin dikenal juga sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik
generasi kedua (APG II). Mekanisme kerja antipsikotik ini adalah berafinitas terhadap
Reseptor Dopamine (D2) dan Reseptor Serotonin 5 HT2 yang dapat menurukan kejadian
Extra Piramidal Sindrome dan efektif mengatasi gejala negatif. APG II tidak hanya bekerja
pada antagonis reseptor 5HT2A dan D2, tetapi juga beberapa subtipe: 5HT1A, 5HT1D,
5HT2C, 5HT3, 5HT6, 5HT7, dan D1, D3, D4 juga muskarinik (M1); histamin (AH1); a1 dan
a2 yang dapat memperbaiki mood dan menurunkan kejadian bunuh diri (suicide). Tidak hanya
pada skizofrenia, tapi juga pada penderita bipolar. Termasuk dalam kelompok ini adalah
risperidone, olanzapine, quetiapine, clozapine dan ziprazidone, dan aripripazole (partial).5
Tabel 1: Kriteria klinis sindrom metabolik menurut WHO
Tabel 2: Faktor risiko penyakit kardiometabolik pada skizofrenia dan gangguan bipolar.
Antipsikotik generasi kedua diketahui berimplikasi menyebabkan sindrom metabolik.
Peningkatan berat badan dihubungkan dengan pemakaian clozapin dan olanzapin, peningkatan
sedang pada penggunaan risperidone dan quetiapin, namun tidak demikian pada penggunaan
Aripiprazole dan Ziprasidone. Risiko kardiometabolik ini juga dihubungkan dengan
farmakologi obat antipsikotik tersebut.2,7,8 Efek pada pemakaian antipsikotik dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3: Implikasi klinis antipsikotik dan reseptor
Antipsikotik dan Obesitas
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kriteria berat badan normal berdasarkan Indeks
Massa Tubuh (Body Mass Index -BMI) adalah antara 18,5 – 25 kg/m2. Seseorang dengan BMI
25-30 kg/m2 dikatakan overweight dan seseorang dengan BMI > 30 kg/m2 dikatakan obese.6
Obesitas menjadi fokus ini karena kaitannya sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular serta
secara independen menjadi faktor risiko kesakitan dan kematian. Ada hubungan yang
bermakna antara obesitas dengan risiko diabetes melitus tipe 2. Selain itu, terdapat risiko relatif
peningkatan BMI dan diabetes apabila dibandingkan dengan hipertensi, penyakit jantung
koroner atau kolelitiasis.6
Obesitas abdominal dan peningkatan kadar glukosa puasa membentuk 2 komponen sindrom
metabolik, yaitu peningkatan faktor risiko kardiovaskular, gangguan metabolisme yang
dihubungkan dengan resintansi insulin dan/atau hiperinsulinemia. Pada pasien dengan sindrom
metabolik, risiko relatif untuk diabetes dan penyakit jantung koroner berkisar antara 1,5
sampai 5 kali.7
Pada pemakaian antipsikotik jangka panjang, peningkatan berat badan merupakan masalah
potensial pada banyak pasien. Secara klinis, hal tersebut bermakna bila terdapat peningkatan
sebesar > 7% dari berat badan sebelumnya. Di AS, insiden peningkatan berat badan dengan
menggunakan antipsikotik generasi kedua sebagai berikut: olanzapin 29%, quetiapin 23%,
risperidone 18%, ziprazidone 10%, dan aripripazole 8%.7 Suatu penelitian lain di AS dengan
menggunakan clinical trial selama 52 minggu menyatakan bahwa olanzapin yang tertinggi
dalam peningkatan berat badan di antara antipsikotik generasi kedua lainnya. Menurut
penelitian ini, dalam waktu 52 minggu peningkatan berat badan pada penggunaan quetiapine
rata-rata 3,6 kg; risperidone 2,2 kg; sedangkan aripripazole dan ziprasidone rata-rata 1 kg.8
Penelitian Tandon dan Halbriech berhasil mengurutkan berdasarkan risiko tertinggi yang
menyebabkan peningkatan berat badan, yaitu clozapine > olanzapine > risperidone =
quetiapine > ziprazidone = aripripazole.7
Antipsikotik dan Risiko Kardiometabolik
Antipsikotik atipikal memiliki pola ikatan reseptor neurotranmitter yang kompleks. Reseptor
Antagonis serotonin (5HT) 2A dan Reseptor D2 berinteraksi dengan subtipe reseptor
dopamine dan serotonin, termasuk transpoter 5HT1, 5HT2, 5HT3, 5HT4, 5HT5, 5HT6, 5HT7,
serta D1, D3, dan D4. Antipsikotik atipikal mempunyai efek pada neurotransmitter lain
dengan menghambat transporter norepinefrin dan juga reseptor muskarinik 1, muskarinik 2,
histamin 1, alpha 1 adrenergik, dan alpha-2 adrenergik. Antipsikotik ini juga mempunyai aksi
yang menyebabkan gangguan resintansi insulin seluler dan meningkatkan kadar trigliserida
melalui aksinya pada reseptor yang kemudian dikenal sebagai reseptor X.9
Tabel 4: Antipsikotik yang berisiko terhadap peningkatan berat badan menurut FDA*8
Tabel 5: Antipsikotik dan risiko kardiometabolik
Reseptor serotonin -2C (5HT-2C), muskarinik-3 (M3), dan histamin-1 (H1) serta suatu
reseptor yang dikenal dengan reseptor X adalah reseptor yang secara hipotesis dihubungkan
dengan risiko kardiometabolik. Antagonis reseptor 5HT2C dan H1 dihubungkan dengan
peningkatan berat badan. Menurut penelitian, hal ini karena antipsikotik tersebut memiliki
potensi aksi simultan pada reseptor H1 dan 5HT2C paling tinggi. Jika kedua reseptor ini
diblokade oleh histamine (H1) antagonis dengan serotonin-2C (5HT2C) antagonis pada saat
bersamaan maka pusat makan di hipotalamus akan dipengaruhi sehingga terjadi peningkatan
nafsu makan.9
Sementara itu, antagonis M3 dapat menyebabkan gangguan pada regulasi insulin. Reseptor X
ini yang diduga mempercepat terjadinya resintansi insulin dan peningkatan kadar trigliserida
puasa. Terjadinya dislipidemi dan resintansi insulin ini memudahkan terjadinya diabetes
melitus dan penyakit kardivaskular. Mekanisme farmakologisnya belum diketahui jelas,
namun diduga karena adanya ikatan antipsikotik dengan reseptor X di jaringan lemak, hati, dan
otot.9
Selanjutnya, peningkatan berat badan akan mempermudah terjadinya obesitas dan diabetes
melitus serta penyakit kardiovaskuler dan inilah yang disebut metabolic highway.9 Metabolic
highway dimulai dari peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, dan berlanjut pada
obesitas, resintansi insulin, serta dislipidemia dengan peningkatan kadar trigliserida puasa.
Keadaan hiperinsulinemia mengakibatkan kegagalan sel beta pankreas, prediabetes, dan
diabetes. Bila telah terdapat diabetes melitus maka risiko penyakit kardivaskuler akan
meningkat dan berisiko terjadi kematian dini.9,10 Faktor genetik dan lingkungan juga berperan
pada penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Faktor gaya hidup seperti diet yang buruk,
ketiadaan latihan/ olah raga, adanya stres, serta merokok akan berinteraksi dengan faktor risiko
genetik . Adanya riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler dan diabetes dihubungkan
dengan kode genetik yang rentan secara molekular.9
Efek antipsikotik pada dislipidemia dilaporkan oleh Koro. Berdasarkan penelitiannya
diketahui olanzapine dihubungkan dengan peningkatan 5 kali lipat risiko terjadinya
hiperlipidemia apabila dibandingkan tanpa antipsikotik. Sedangkan bila dibandingkan dengan
antipsikotik generasi pertama, peningkatannya 3 kali lipat. Hasil percobaan tersebut sejalan
menurut CATIE, yaitu risiko tertinggi dislipidemia pada pemakaian olanzapine.7
Mekanisme lain adalah blokade reseptor kolinergik M3. Mekanisme ini kejadian yang tiba-tiba
Diabetic Ketoacidosis (DKA). Meskipun jarang, namun mekanisme ini merupakan risiko
kardiometabolik yang mengancam hidup. Kondisi ini juga dihubungkan dengan
hyperglycemic hyperosmolar syndrome (HHS). Mekanisme ini kompleks dan multifaktorial
dan saat ini masih terus diteliti. Diduga terdapat resintansi insulin, prediabetes, dan diabetes
yang tidak terdiagnosis dalam keadaan hiperinsulinemia yang terkompensasi, namun
kemudian menjadi dekompesasi pada pemberian antipsikotik atipikal akibat mekanisme
farmakologi yang terjadi.6
Neuron kolinergik parasimpatetik yang menginervasi pankreas bekerja pada reseptor M3 paska
sinaps yang terletak di sel Beta pankreas untuk pengaturan sekresi insulin. Sel Beta inilah
yang mensekresi insulin. Obat yang memblokade resptor kolinergik M3 di tempat ini, seperti
olanzapin dan clozapin yang merupakan antagonis muskarinik kolinergik (M3) reseptor, akan
menurunkan pengeluaran insulin.9 Bila hal ini terjadi pada pasien yang tergantung pengaturan
kolinergiknya pada pengeluaran insulin, dapat menjadi faktor yang menyebabkan defisiensi
insulin dan mempermudah terjadinya DKA/HHS. Sebetulnya, hal ini masih spekulasi
mengingat banyak pasien dengan blokade M3 reseptor tidak mengalami gangguan pada
sekresi insulinnya.9
Monitoring
Penting untuk memonitor dan mengatur respons metabolik pada pasien yang diberikan
antipsikotik atipikal. Pasien yang diberikan terapi antipsikotik generasi kedua sebaiknya
diukur berat badan serta indeks massa tubuhnya untuk mendeteksi berat badan dan memeriksa
kemungkinan diabetes dengan memeriksa kadar glukosa puasa terlebih dahulu, kadar
trigliserida puasa (baseline) , serta riwayat keluarga. Setelah itu, dimonitor secara periodik
selama pemakaian terapi.
Monitoring selanjutnya adalah dengan mengukur kadar trigliserida puasa sebelum dan sesudah
pemberian antipsikotik atipikal, sekaligus menilai apakah antipsikotik tersebut menyebabkan
dislipidemia dan peningkatan resintansi insulin. Jika terdapat peningkatan bermakna BMI dan
kadar trigliserida puasa maka perlu dipikirkan pemakaian antipsikotik lain. Pada pasien dengan
obesitas, dislipidemia, prediabetes dan diabetes, penting untuk memonitor tekanan darah, kadar
glukosa puasa, serta ukuran lingkar pinggar sebelum dan sesudah pemberian antipsikotik
atipikal. Untuk memberikan gambaran akurat tentang pasien sebaiknya dibuat dokumentasi
dalam tabel sederhana yang memuat 4 parameter utama yaitu: berat badan dan BMI, kadar
trigliserida puasa, kadar glukosa puasa, dan tekanan darah.
Pencatatan dilakukan secara berkala pada setiap pertemuan. Sebagai contoh, seseorang yang
diberikan antipsikotik sebaiknya diberikan jadwal untuk menilai berat badannya pada minggu
ke-4, ke-8, dan ke-12, dan seterusnya. Pemeriksaan tekanan darah, kadar gula darah puasa, dan
pengukuran profil lipid sebaiknya diulang minimal 12 minggu sesudah pemberian antipsikotik
pertama kali. Apabila ditemukan gejala seperti poliuria atau polidipsi yang merupakan indi-
kator hiperglikiemia ataupun didapatkan tanda-tanda ketoasidosis diabetik seperti nausea, mual
atau gangguan kesadaran, butuh evaluasi lebih lanjut serta bekerjasama spesialis medis lain
terkait.7
Tabel 6: Panduan skrining sebelum menggunakan antipsikotik generasi kedua
Tabel 7: Monitoring metabolik untuk penggunaan antipsikotik atipikal
Manajemen untuk pasien dengan risiko penyakit kardiometabolik dapat dibagi menjadi 3
kriteria, yaitu unmanageable, seperti adanya faktor genetik dan usia, modestly manageable
contohnya mengubah gaya hidup, dengan diet, latihan, berhenti merokok dan most
manageable seperti mengganti antipsikotik.9,10
Penatalaksanaan
Penting mempertimbangkan compliance pasien pada pemberian antipsikotik atipikal ini
mengingat risiko kardiometabolik yang dapat timbul. Pasien sebaiknya diberi informasi
mengenai risiko ini pada awal pemberian terapi. Selain itu, pasien dianjurkan juga melakukan
latihan/olah raga serta konseling mengenai dietnya. Jika telah terjadi peningkatan berat badan,
mengganti antipsikotik yang digunakan dengan ziprazidone atau aripiprazole dapat
dipertimbangkan.9,10
Pada penggunaan clozapine bila telah diabetes, sebaiknya dievalusi ulang apakah
keuntungannya dibandingkan risiko yang timbul. Jika telah timbul diabetes dengan ketoa-
sidosis, sebaiknya clozapine dihentikan. Pada penggunaan risperidone, peningkatan berat
badan, peningkatan plasma lipid atau resintansi insulin relatif rendah. Meski demikian, tetap
dilakukan monitoring. Hal yang sama juga dilakukan pada penggunaan quetiapin. Sementara
itu, pada penggunaan olanzapine penting untuk melakukan monitoring secara teliti. Bila telah
terjadi peningkatan berat badan, menurut penelitian pemberian topiramat 100-200 mg per hari
dapat menurunkan berat badan. Pemberian H2 bloker seperti nizatidine dan famotidine dapat
membantu penurunan berat badan pula. Metformin dapat diberikan bila telah terjadi gangguan
metabolik. Untuk penggunaan ziprazidone dan aripriprazole, monitoring tetap penting
dilakukan.9,10
Kesimpulan
Seorang klinisi sebaiknya tidak mengabaikan timbulnya tanda dan gejala sindrom metabolik
yang diinduksi pemakaian antipsikotik seperti peningkatan berat badan, hiperglikemia,
peningkatan kadar glukosa atau diabetes. Monitoring dan manajemen terhadap pasien yang
berisiko dapat membantu meminimalkan terjadinya risiko penyakit kardiometabolik. Pada
pasien dengan skizofrenia dan telah memiliki risiko diabetes, perlu dipertimbangkan
pemilihan antipsikotik yang akan diberikan sebelum memulai terapi. Demikian juga pasien
yang telah mengalami peningkatan berat badan dan kadar trigliserida, sebaiknya
dipertimbangkan pemilihan antipsikotiknya, anjuran mengubah gaya hidup, atau keduanya.
Penting memonitor tekanan darah, kadar glukosa puasa lingkar pinggang sebelum dan selama
terapi antipsikotik.
Daftar Pustaka
1. Kannabiran M, Singh Vinod. Metabolic Syndrome and Atypical Antipsychotics:
2. German Journal of Psychiatry diakses dari · http://www.gjpsy.uni-goettingen.de · ISSN
1433-1055 30 Januari 2010.
3. diakses dari http://www.springerlink.com/content/v845v6748j827712 pada 30 januari
2010
4. Harris EC, Barraclough B. Excess mortality of mental disorder. Br J Psychiatry 1998;
173:11-53.
5. Osby U, Correia N, Brandt L, et al. Mortality and causes of death in schizophrenia in
Stockholm Country, Sweden. Schizophr Res 2000;45:21-28.
6. Sadock, Benyamin J. Eating Disorder dalam Kaplan& Sadock’s Synopsis of Psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. 10ed. Virginia Alcott Sadock. 2007.
7. World Health Organization. Body Mass Index (BMI). Diakses dari www.
who.int/nutrition20030507_1. Diakses pada Januari 2010.
8. John WN. Antipsychotic medication:Metabolic and Cardivaskular Risk. 2007 J
ClinPsychiatry; 68:8-13.
9. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch SM & Haffner SM. NCEP-defined metabolic
syndrome, diabetes, and prevalence of coronary heart disease among NHANES III
participants age 50 years and older. Diabetes 2003;52: 1210-1214.
10. Stahl, SM. Stahl’s Esensial psychopharmacology: Neuroscientific Basis and Practical
Applications. 3rd ed. Cambridge NewYork. 2008.
11. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2004;6[suppl 2]:8–13 diakses dari
http://www.springerlink.com/ pada 30 Januari 2010.