SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT...

81
SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Pendidikan Islam Oleh: MUCHAROM SYARIFUDIN ZUHRI NIM: 083111091 FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012

Transcript of SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT...

SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu dalam

Ilmu Pendidikan Islam

Oleh:

MUCHAROM SYARIFUDIN ZUHRI

NIM: 083111091

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

ii

iii

iv

v

vi

ABSTRAK

Judul : Sifat-Sifat Pendidik Perspektif Al-Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35

Penulis : Mucharom Syarifudin Zuhri NIM : 083 111 091

Skripsi ini membahas tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Kajiannya dilatar belakangi oleh banyaknya pendidik yang hanya mengandalkan kemampuan intelektualnya dalam mendidik, tanpa menyeimbangkan dengan aspek lain yang mendukung proses pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, seperti sifat serta kepribadian yang baik yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Semua perilaku pendidik sangat berpengaruh terhadap peserta didik, karena peserta didik cenderung mencontoh pendidiknya. Pendidik yang diharapkan oleh pendidikan Islam yaitu pendidik yang mampu mengoptimalkan semua kemampuan dalam dirinya guna mendapatkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat Fushshilat ayat 34-35 yang dapat diterapkan oleh setiap pendidik dalam proses pendidikan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau (library research). Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, dalam hal ini ada tiga sumber, yaitu: sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier. Guna mencari jawaban dari beberapa permasalahan yang ada di atas, maka digunakan metode tahlili.

Kajian ini menunjukkan bahwa di dalam kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 terdapat beberapa sifat-sifat sebagai seorang pendidik yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw yang dapat dijadikan teladan bagi para pendidik, yaitu: (1) Memiliki sifat kesabaran, (2) Selalu berbuat baik, (3) Lemah lembut, (4) Kasih sayang terhadap peserta didik, (5) Mampu menahan amarah, dan (6) Memiliki sifat pemaaf, beserta implikasinya dalam system pendidikan Islam.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan rujukan bagi civitas akademik, para mahasiswa, para tenaga pengajar mata kuliah jurusan dan program studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, terutama bagi para pendidik khususnya dalam pendidikan Islam agar senantiasa mengoptimalkan seluruh kemampuan dalam mendidik baik dari segi intelektual, sifat, serta kepribadiannya sesuai yang dengan ajaran agama Islam yang dalam hal ini menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utamanya.

vii

TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi huruf-huruf Arab Latin dalam skripsi ini

berpedoman pada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

R.I. Nomor: 158/1987 dan Nomor: 0543b/1987. Penyimpangan penulisan kata

sandang [al-] disengaja secara konsisten supaya sesuai teks Arabnya.

ẓ ط a ا

ẓ ظ b ب

ع t ت

g غ ṡ ث

f ف j ج

q ق ḥ ح

k ك kh خ

l ل d د

m م ż ذ

n ن r ر

w و z ز

h ه s س

ء sy ش

y ي ṣ ص

ḍ ض

Bacaan Madd: Bacaan Diftong:

ā = a panjang او = au

ū = u panjang اي = ai

ī = i panjang

viii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan

rahmat, taufiq, hidayah, dan kenikmatan kepada penulis berupa kenikmatan

jasmani maupun rohani, sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul

Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35. Sholawat

beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, karena

berkat perjuangan beliau yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju

zaman yang terang benderang ini yaitu zaman Islamiyah.

Niat yang tulus, keikhlasan, kesabaran, dan penuh tanggung jawab, menjadi

bekal utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maka penulis sekali lagi

bersyukur kepada Allah swt yang telah memberikan apa yang tidak diberikan oleh

siapapun berupa pertolongan di dalam menyusun skripsi ini sampai selesai. Daya

dan upaya selalu tercurahkan baik materi maupun pikiran, karena penulis sadari

penulisan skripsi ini tidak semudah yang dibayangkan. Banyak hal yang belum

pernah penulis jumpai dalam penelitian tentang sifat-sifat pendidik perspektif al-

Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35. Akan tetapi semua itu dapat penulis jalani

dengan baik, penuh kesabaran dan penuh tanggung jawab sehingga skripsi ini

dapat penulis susun sebagaimana mestinya. Dengan pengalaman yang sangat

berharga ini, penulis sangat termotivasi untuk terus berusaha melaksanakan

penelitian di waktu yang akan datang, agar tujuan penelitian dapat terwujud.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang

sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat:

1. Dr. Suja’i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Semarang.

2. Drs. Ahmad Sudja’i, M.Ag., selaku Pembimbing I dan Nadhifah,S.Th.I,

M.S.I, selaku Pembimbing II, yang telah berkenan meluangkan waktunya,

tenaga dan pikirannya untuk membimbing, mengarahkan penulis dalam

penyusunan skripsi ini hingga selesai.

3. Para Penguji Skripsi, Dr. Musthofa, M. Ag., Drs. Ahmad Sudja’i, M. Ag.,

Achmad Hasmi Hashona, M.A., dan Yunita Rahmawati, M.A., yang telah

berkenan meluangkan waktunya untuk menguji, skripsi ini.

ix

4. Dosen Pendidikan Agama Islam, dan staf pengajar di IAIN Walisongo

Semarang yang membekali berbagai pengetahuan dan pengalaman.

5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang beserta seluruh staf dan

karyawan yang telah memberikan pelayanan yang baik.

6. Bapak Marjiwo, S.Ag. dan Ibu Maryati, S.Pd.SD selaku ayahanda dan

ibunda tercinta, hanya terima kasih yang bisa anakmu ucapkan atas do’a

restu ayah dan ibu yang tidak pernah lelah untuk mendoakan penulis,

nasihat, dan dukungan serta segala pengorbanan dan kasih sayang selama ini

dalam mendidik penulis dengan penuh kesabaran serta kepada adik-adik

yang selalu menyadarkan penulis setiap penulis melakukan kesalahan.

7. Teman seperjuangan PAI-C 2008 dan seluruh teman PAI angkatan 2008

yang senantiasa menjadi penyemangat bagi penulis.

Atas jasa-jasa mereka penulis hanya dapat memohon doa semoga amal

mereka diterima Allah SWT, dan mendapat pahala yang lebih baik serta

mendapatkan kesuksesan bak di dunia maupun di akhirat. Dan kepada mereka

semua, penulis ucapkan “jazakumullah khairan katsiran“.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa sripsi ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan, semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Semarang, 30 April 2012 Penulis

Mucharom Syarifudin Zuhri NIM. 083111091

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii

PENGESAHAN ........................................................................................... iii

NOTA PEMBIMBING ................................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................. vi

TRANSLITERASI ....................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7

D. Kajian Pustaka .................................................................. 8

E. Metode Penelitian ............................................................. 10

F. Sistematika Pembahasan ................................................... 13

BAB II : KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-

35 ............................................................................................ 14

A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat ayat 34-35 .............. 14

1. Teks, Mufradat dan Terjemah ........................................ 14

2. Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35 .............. 15

3. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah ............................ 15

B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir ........................... 21

1. Tafsir Al Mishbah ......................................................... 21

2. Tafsir Al Maraghi .......................................................... 24

3. Tafsir Ibnu Katsir .......................................................... 26

4. Tafsir Qur’anul Majid An Nuur ..................................... 27

5. At-Tafsir Al-Munir ........................................................ 29

6. Al-Mizan fii Tafsir Al-Qur’an ........................................ 30

C. Rangkuman Tafsir Menurut Para Mufassir ........................ 31

xi

D. Esensi Ayat ....................................................................... 32

BAB III : SIFAT-SIFAT PENDIDIK MENURUT AL-QUR’AN SURAT

FUSHSHILAT AYAT 34-35 .................................................... 34

A. Kesabaran ......................................................................... 34

B. Berbuat Baik ..................................................................... 36

C. Lemah Lembut .................................................................. 38

D. Kasih Sayang ..................................................................... 40

E. Menahan Amarah ............................................................. 42

F. Pemaaf .............................................................................. 43

BAB IV : IMPLIKASI SIFAT-SIFAT PENDIDIK DALAM SISTEM

PENDIDIKAN ISLAM ............................................................ 45

A. Kesabaran pendidik ........................................................... 48

B. Pendidik selalu berbuat baik .............................................. 51

C. Pendidik harus lemah lembut ............................................. 52

D. Pendidik harus bersifat penyayang ..................................... 53

E. Pendidik harus mampu menahan amarah dan Pemaaf ........ 54

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................

B. Saran-saran .......................................................................

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masal ah

Pada dasarnya pendidikan laksana eksperimen yang tidak pernah selesai

sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan

demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban

manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia

yang mamiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupan.1

Pendidikan selalu melekat dalam kehidupan manusia yang tidak terbatas oleh

waktu kecuali datangnya kematian yang akan memutuskan seluruh perkara yang

berhubungan dengan manusia di dunia.

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sentral dan kegiatan yang

disengaja dan terencana untuk membantu mengembangkan seluruh potensi anak

agar dapat bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai individu, masyarakat

dan warga negara yang berilmu atau berintelektual tinggi, serta berwawasan yang

luas dan mampu untuk berpikir bebas.

Pendidikan dalam suatu bangsa mempunyai peranan yang sangat penting

guna menunjang serta menjamin kelangsungan suatu bangsa itu sendiri. Sebab

melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa

tersebut. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know dan how

to do, tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to be

terwujud, maka diperlukan transfer budaya dan kultur.2 Pendidik dalam

pendidikan Islam harus mampu mentransfer ilmu serta mampu mentransfer

budaya dan kultur, agar peserta didik mengetahui serta mampu menghargai

budaya dan kultur yang ada.

1 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali

Press, 2009), hlm. ix 2 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,

(Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm.10

2

Pendidikan merupakan sebuah usaha manusia untuk membina

kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Istilah pendidikan atau paedagogie dapat diartikan sebagai bimbingan atau

pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi

dewasa. Sehingga pendidikan menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan

atau pimpinan yang didalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik,

peserta didik, tujuan dan sebagainya. Selain itu, pendidikan juga merupakan

fenomena manusia yang fundamental, yang mempunyai sifat konstruktif dalam

hidup manusia.3 Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu hal

yang penting bagi manusia untuk merubahnya menjadi lebih dewasa. Baik dewasa

dalam hal jasmani maupun rohani.

Pengertian pendidikan ini tidak jauh berbeda dengan pengertian pendidikan

Islam, namun dalam pendidikan Islam lebih ditekankan lagi pada nilai-nilai Islam.

Menurut Achmadi, pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan

mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya

menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma

Islam.4 Dalam pandangan Islam, insan kamil diformulasikan secara garis besar

sebagai pribadi muslim yakni manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki

berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan,

dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya secara baik, positif, dan

konstruktif.

Mengingat pendidikan merupakan faktor yang tidak dapat terlepas dari

kehidupan manusia, maka jika pendidikan dipandang sebagai suatu proses, dalam

seluruh aktivitasnya harus terfokus pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai.

Bangsa Indoneisa menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa dan membentuk manusia seutuhnya. Sebagaimana yang

tercantum dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal

4 berbunyi :

3 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, hlm. 1 – 8. 4 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 28 – 29.

3

Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa tehadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.5

Sehubungan dengan hal tersebut, maka setiap warga negara Indonesia

mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapat pendidikan, baik

pendidikan di dalam sekolah maupun di luar sekolah guna menjadi bekal bagi

mereka dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman serta kemajuan teknologi

yang semakin pesat. Tidak hanya itu saja, warga negara juga berhak mendapatkan

pendidikan Islam, tidak hanya pendidikan umum saja.

Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat

banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena disamping perannya yang

amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena di

dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan

memerlukan penanganan segera. Bagi mereka yang akan terjun ke dalam bidang

pendidikan Islam harus memiliki wawasan yang cukup tentang pendidikan Islam

dan memiliki kemampuan untuk mengembangkannya sesuai dengan tuntunan

zaman.

Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam secara

umum yaitu membentuk kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan

kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani,

dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada

Allah swt.6 Jadi, peran pendidikan khususnya pendidikan Islam sangatlah penting

bagi anak agar kehidupannya dapat selaras dengan tujuan pendidikan Islam itu

sendiri.

Pendidikan Islam harus diselaraskan dengan tujuan diciptakannya manusia

serta kepada tugas manusia yang paling utama di dunia ini, yaitu beribadah

5 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 7 6 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm. 41

4

kepada Allah dan mengesakan-Nya.7 Seperti yang telah di firmankan dalam al-

Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 :

Dan Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ( adz Dzariyat/51: 56) 8

Dengan berpedoman pada ayat tersebut diatas, pendidikan Islam merupakan

salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, tujuan

pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam; yaitu

untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-

Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akherat.9

Dalam konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang

bertaqwa ini menjadi rahmatan lil’ ālamīn, baik dalam skala kecil maupun besar.

Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan

akhir pendidikan Islam.

Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka pendidik dituntut agar

memiliki kamampuan yang memadai dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya sebagai pendidik, baik yang menyangkut kemampuan membimbing

maupun melatih peserta didik. Dengan kemampuan itu pendidik membantu

peserta didik secara lebih baik dalam mengembangkan aspek intelektual,

emosional, sosial maupun moral spiritual.

Perlu disadari juga, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya semua

hal yang peserta didik lihat, dengar dan rasakan merupakan pendidikan, maka

pendidik harus berusaha memberikan pendidikan yang benar dan maksimal, baik

dari tingkah laku, perkataan dan moral-spiritualnya. Karena tanpa disadari para

peserta didik akan melihat serta mencontoh semua yang dilakukan oleh orang-

7 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,

(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 46. 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: CV. J-ART, 2005), hlm. 523 9 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 8

5

orang disekelilingnya khususnya pendidik atau guru. Pendidik atau guru dalam

mengajarkan ilmu di dalam kelas misalnya, akan dilihat oleh semua peserta didik

dari semua aspek, baik tingkah laku, sifat, sikap, maupun perkataannya.

Al-Ghozali dalam Mahmud, menurut pandangan pendidikannya, kedudukan

pendidik atau guru sangat penting dalam mengajarkan ilmunya. Tidak akan ada

proses pengajaran tanpa adanya pendidik atau guru. Beliau juga menekankan

betapa pentingnya unsur ikhlas dalam mengajar.10

Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami tiga unsur pokok dalam proses

pendidikan, yaitu: pertama, menjaga kelestarian umat harus ada orang yang

berilmu (guru), kedua, tidak ada artinya seorang guru tanpa mengajarkan ilmunya

dan ketiga, mengajar akan berarti bila dilandasi dengan hati yang ikhlas. Ikhlas

menurut Ghozali suatu yang menyangkut nilai yaitu nilai Islam. Jadi, semua ilmu

yang diajarkan guru harus mengandung nilai Islam dan nilai Islam tersebut harus

dibentuk dan ditransfer oleh pendidik atau guru.

Nilai-nilai Islam yang diajarkan pendidik atau guru kepada peserta didik

setidaknya berpedoman kepada al-Qur’an. Pendidik atau guru harus mampu

mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan al-Qur’an yang meliputi agama, sosial

humaniora, serta sains dan teknologi. Dengan itu peserta didik mampu

mengintegrasikan permasalahan kontemporer dengan al-Qur’an, baik masalah

keagamaan, sosial humaniora atau sains dan teknologi.

Dalam pandangan Islam, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab

yang sangat besar, bukan hanya sekedar pengajaran atau suatu proses transfer

ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan

segala aspek yang dicakupnya, melainkan pengajaran yang berorientasi pada

pembentukan spesialis peserta didik.11 Oleh karena itu pendidik sebagai pembina

generasi muda harus senantiasa menampilkan sosok pribadi yang patut diteladani.

Sebagai figur yang diteladani dengan kepribadiannya, maka seorang pendidik

harus menjaga wibawa dan citranya di masyarakat dengan senantiasa didasari oleh

10 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2011), hlm.246 11 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

hlm. 3

6

ketaatan dan keteguhan terhadap norma-norma susila, moral, sosial dan agama,

sehingga mampu mengembangkan dan membentuk kepribadian peserta didik

dengan kualitas kepribadian yang tinggi.

Seorang pendidik bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas. Lebih dari

itu, mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlaq mulia, sungguh-sungguh

dalam melaksanakan tugas profesinya serta menerima tanggung jawab profesinya

sebagai amanat yang diberikan Allah kepadanya dan harus dilaksanakan dengan

baik. Di samping memiliki keluasan ilmu pengetahuan, seorang pendidik dituntut

memiliki sifat kasih sayang, lemah lembut, kebapakan, ikhlas dan tidak pamrih,

jujur dan dapat dipercaya, memiliki keteladanan sikap dan tingkah laku berprinsip

kuat dan disiplin.12

Pendidik yang merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan

Islam, diharapkan dapat menjadi sosok pribadi yang memiliki sejumlah atribut

kepribadian yang dapat menempatkannya sebagai panutan, teladan serta orang

yang mempengaruhi secara positif terhadap anak didiknya. Sifat dan pribadinya

harus mencerminkan pribadi yang luhur, sebagaimana halnya Rasulullah saw

yang mampu menunjukkan dengan sempurna bahwa al-Qur’an sebagai jiwa dan

akhlak beliau.

Namun pada realitanya, ternyata masih ada sebagian oknum guru yang

mencemarkan citra dan wibawa guru. Sehingga dalam kenyataannya, tuntunan

ideal pendidikan yang diharapkan akan melahirkan peserta didik yang berahklak

dan berbudi pekerti yang baik, juga pendidik yang benar-benar dapat dijadikan

sumber panutan dan teladan bagi peserta didiknya, ternyata masih sebatas harapan

yang belum terealisasikan dengan optimal.

Dari pernyataan di atas terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk

dikaji lebih mendalam. Pertama, secara logika tuntutan pendidikan untuk

melahirkan output berupa peserta didik yang memiliki sejumlah atribut

kepribadian yang baik. Kedua, sebagai ajaran yang luhur dan mulia, tidak hanya

berisi ajaran mengenai peribadatan ritual belaka, melainkan juga dasar-dasar

12 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA

Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 138

7

konsepsional tentang pendidikan, termasuk didalamnya ayat al-Qur’an yang

berhubungan dengan sifat-sifat pendidik. Ketiga, para cendikiawan muslim telah

berhasil menurunkan disiplin ilmu pendidikan Islam yang berasaskan al-Qur’an

dan as-Sunnah.

Dalam hubungan ketiga hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji

sebagai salah satu bentuk penelitian ilmiah, yakni menggali konsep sifat-sifat

pendidik dari ayat al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35 sebagai fokus dari

penelitian ini dengan menggunakan Pendidikan Islam sebagai pisau analisisnya.

Dengan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut

kandungan dan penafsiran ayat tersebut dalam kaitannya dengan dunia

pendidikan. Selanjutnya permasalahan ini penulis rumuskan dalam sebuah

penelitian yang berjudul : ”Sifat-sifat Pendidik Perspektif al-Qur’an Surat

Fushshilat ayat 34-35.”

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat

dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai fokus dari penelitian sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah sifat-sifat pendidik menurut surat Fushshilat ayat 34-35 ?

2. Bagaimanakah implikasi paedagogis surat Fushshilat ayat 34-35 dalam

Sistem Pendidikan Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka penelitian

ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sifat-sifat pendidik yang terdapat dalam surat

Fushshilat ayat 34-35.

2. Untuk mengetahui implikasi paedagogis sifat-sifat pendidik surat

Fushshilat ayat 34-35 dalam Sistem Pendidikan Islam

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

8

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

terhadap para pendidik tentang isi kandungan surat Fushshilat ayat 34-35

serta dapat menambah wawasan pemikiran bagi para pendidik terutama

mengenai sifat-sifat pendidik.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan memberikan petunjuk tentang isi

kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 untuk dijadikan pedoman para

pendidik dalam melaksanakan tugasnya serta untuk dijadikan gambaran

bagi para pendidik tentang sifat-sifat pendidik yang dihubungkan dengan

surat Fushshilat ayat 34-35.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan kegiatan yang perlu dilakukan dalam penelitian

untuk mencari dasar pijakan atau informasi untuk memperoleh dan membangun

landasan teori, kerangka berfikir, dan menentukan dugaan sementara atau sering

pula disebut dengan hipotesis penelitian, sehingga dengan adanya hal itu maka

para peneliti dapat mengerti, melokasikan, mengorganisasikan dan kemudian

menggunakan variasi kepustakan dalam bidangnya. Dengan kajian pustaka atau

studi kepustakaan peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam

terhadap masalah-masalah yang hendak diteliti. 13

Survey kepustakaan yang sudah peneliti lakukan, menunjukkan hasil

bahwasanya ada beberapa literatur buku dari pihak lain yang menunjukkan adanya

kesesuaian tema dengan penelitian ini. Diantara karya ilmiah atau buku-buku yang

mendukung kajian ini sebagai berikut:

Pertama, skripsi Suntawi yang berjudul “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an

Surat Ali-Imran Ayat 79 dan Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian

Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)”14 didalamnya berisi kepribadian seorang

guru yang menggambarkan perilaku, watak atau kepribadiannya. Kepribadian

13 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2007), hlm. 34. 14 Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan

Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), hlm. 78-79

9

juga dapat diartikan sebagai sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang guru

Pendidikan Agama Islam. Di antara kepribadian guru Pendidikan Agama Islam

yang harus dimiliki dalam setiap tingkah lakunya sehari-hari adalah ikhlas dan

tidak tamak, jujur, adil dan taqwa, lemah lembut, pemaaf dan musyawarah, rendah

hati, wibawa, berilmu luas dan bertubuh sehat, menguasai bahan pengajaran,

mencintai pekerjaan, menguasai kapasitas akal peserta didiknya, selalu ingin

menambah ilmu dan mengajak pada kebaikan. Dan di dalam skripsi ini terfokus

pada konsep Rabbani sebagai peningkatan kepribadian guru.

Kedua, skripsi Nur Dwiastuti yang berjudul “Keteladanan Menurut

Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah

Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam),15di dalamnya berisi Orang tua sebagai

pendidik utama bagi anak, harus menampilkan jiwa keutamaan sebagaimana

contoh yang telah ditampilkan oleh Rasulullah. Menurut Abdullah Nashih Ulwan,

teladan orang tua meliputi: jujur, amanah, iffah, kasih sayang, memberi perhatian

pada anak yang terbesar, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan

teman bagi anaknya. Teladan inilah yang akan menjadi pondasi nilai-nilai dalam

jiwa anak sebagai bekal untuk menapaki kehidupannya kelak. Dan setelah anak

memasuki usia sekolah, maka mereka memerlukan sosok teladan dalam diri

gurunya sebagai pengganti peran orang tua mereka. Menurut Abdullah Nashih

Ulwan, diantara kriteria yang harus dimiliki oleh guru adalah takwa, ikhlas,

mempunyai ilmu pengetahuan, santun, dan bertanggungjawab. Sifat-sifat tersebut

akan mengantarkannya menjadi figur yang baik bagi anak didik.

Ketiga, skripsi Moh. Solichun yang berjudul “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i

tentang Guru”16, di dalamnya berisi guru yang yang pantas menjadi panutan,

teladan dan memiliki idealisme yang tinggi sesuai dengan profesi sebagai

pendidik adalah guru yang memiliki sifat “alim adil”. Pengertian “’alim ‘adil”

tersebut menunjukkan bahwa seorang guru memiliki kedudukan yang agung dan

15 Nur Dwiastuti, “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya

Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam), Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 79

16 Moh. Solichun, “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i Tentang Guru”, Skripsi, (Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006), hlm. 76

10

luhur di hadapan Allah swt. Pendapat KH. Ahmad Rifa’i mengenai guru yang

‘alim ‘adil tersebut dikenal dengan nama syaikhul mursyid yaitu orang-orang yang

memenuhi syarat, yaitu: Islam, ‘aqil, baligh, ‘alim, dan tidak melakukan salah satu

dosa besar dan tidak mengekalkan salah satu dosa kecil.

Dari beberapa penelitian diatas mempunyai kesesuaian tema dengan penelitian

yang akan peneliti kaji, tetapi yang menjadi perbedaan adalah obyek kajian yaitu

dalam penelitian ini yang diteliti adalah Sifat-Sifat Pendidik Dalam Perspektif al-

Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35. Dan inilah yang membedakan penelitian yang

sedang peneliti kaji dengan penelitian sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Sebagaimana karya ilmiah secara umum, setiap pembahasan suatu karya

ilmiah tentunya menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan

suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam

mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan

dijelaskan dengan gamblang dan mudah dipahami. Adapun metode penelitian

yang peneliti gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi empat komponen,

yaitu sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini ialah penelitian kepustakaan (library

research). Artinya, permasalahan dan pengumpulan data berasal dari

kajian kepustakaan sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan dengan

memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian.17 Oleh karena itu,

guna mendapatkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menelaah buku-

buku kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh.

Adapun subjek dari penelitian ini ialah dokumen atau catatan yang

17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), jilid. I, hlm. 9

11

menjadi sumber data.18 Sedangkan jenis sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini ada tiga macam, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data

secara langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.19

Dalam skripsi ini sumber primer yang dimaksud adalah al-Qur’an

surat Fushshilat ayat 34-35.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari

sumber yang lain yang tidak diperoleh dari sumber primer.20 Dalam

skripsi ini sumber-sumber sekunder yang dimaksud adalah kitab-

kitab tafsir al-Quran seperti, Tafsir Al Misbah karya M. Quraish

Shihab, Tafsir Al Maraghi karya Ahmad Mushthafa Al Maraghi,

Tafsir Ibnu Katsir karya Abdullah bin Muhammad bin

Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur karya

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Munir karya

Wahbah al Zuhaily, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an karya Al-

‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai.

c. Sumber Tersier Sumber tersier adalah sumber-sumber yang diambil dari buku-buku

selain sumber primer dan sumber sekunder sebagai pendukung. Yang

dimaksud sumber tersier dalam skripsi ini adalah buku-buku lain yang

berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan skripsi

ini.21 Antara lain : Ruh At-Tarbiyah wa Ta’lim karya Muhammad

‘Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah fii Al-Islam karya Ahmad Fuad

Al-Ahwani, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam karya

18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2006), hlm. 139. 19 Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Edisi I, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001),

Cet. IV, hlm. 150. 20 Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hlm. 91. 21 Saifuddin Anwar, Metodologi Penelitian, hlm. 91

12

Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, Ilmu Pendidikan dalam

Perspektif Islam karya Ahmad Tafsir, serta Pemikiran Pendidikan

Islam karya Mahmud, serta buku-buku lain yang berhubungan

dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

penelitian kepustakaan (library research),22 yaitu dengan

mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema

pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber

kepustakaan.

4. Teknik Analisis Data

Guna mendapatkan jawaban dari beberapa permasalahan di atas,

untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode penafsiran sebagai berikut :

a. Metode Tafsir Analitik (tahlili).

Metode Analitik adalah suatu metode tafsir yang bermaksud

menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya.

Adapun langkah-langkahnya adalah :

1) Menganalisis kosakata (mufradat) dan lafal dari sudut pandang bahasa arab dalam surat Fushshilat ayat 34-35.

2) Menjelaskan tentang sebab-sebab turunnya (asbab an-nuzul) surat Fushshilat ayat 34-35.

3) Menerangkan hubungan (munasabah) surat Fushshilat ayat 34-35, baik antara satu ayat dengan ayat yang lain, maupun satu surah dengan surah yang lain yaitu surat Ghafir dan surat Asy-Syuura serta munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya pada surat Fushshilat.

4) Memaparkan kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 secara umum dan maksudnya.

5) Menerangkan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan penafsiran surat Fushshilat ayat 34-35 tersebut yang diambil dari keterangan ayat-ayat lain, hadits nabi, pendapat sahabat, tabi’in maupun ijtihad mufasir sendiri.23

22 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, hlm. 9. 23 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1998), hlm. 31.

13

Dengan metode ini penulis akan mengulas ayat di atas dari

berbagai sudut, terutama dari bagian yang bisa secara langsung

membantu untuk menarik kesimpulan ayat tersebut.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman pada penelitian ini, maka

peneliti menyusun sistematika pembahasan, yang secara garis besar adalah

sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang kajian tafsir surat Fushshilat ayat 34-35

menurut para mufassir.

Bab ketiga berisi tentang sifat-sifat pendidik menurut al-Qur’an surat

Fushshilat ayat 34-35.

Bab keempat berisi tentang implikasi sifat-sifat pendidik dalam system

pendidikan Islam.

Sedangkan bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan,

dan saran-saran.

14

BAB II

KAJIAN TAFSIR

AL QUR’AN SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

A. Deskripsi Al Qur’an Surat Fushshilat Ayat 34-35

Surat Fushshilat diturunkan di Makkah yang lebih dikenal dengan sebutan

Makiyyah serta tertulis dalam al-Qur’an urutan yang ke-41 setelah surat Ghafir

dan terdiri dari 54 ayat. Pada penelitian ini, penulis meneliti ayat ke 34-35 dari

surat Fushshilat.

1. Teks, Mufrodat, dan Terjemah

a. Teks

b. Mufrodat :

توي ال Tidaklah sama : تس

فع Tolaklah : اد

ة او د Permusuhan : ع

يل و مح يم : Teman yang sangat setia

اما قاه ل Tidak menerima dan tidak menanggung nasehat ini1 : يـ

ظ Bagian yang banyak dari kebaikan2 : ح

c. Terjemah :

1 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, (Semarang: Toha

Putra, 1992), jilid 24, hlm. 240 2 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hlm. 241

15

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41 : 34-35)3

2. Gambaran Umum Surat Fushshilat Ayat 34-35

Dalam Surat Fushshilat ayat 34-35 menerangkan bahwasanya antara

kebaikan dengan kejelekan tidaklah sama. Maksud dari ketidaksamaannya terletak

pada balasan yang diterima manusia di sisi Allah swt. Sesudah itu, Allah swt

menyuruh rasul-Nya agar menolak ketololan dan kebodohan kaum musyrik

dengan cara yang lebih baik, karena dengan demikian maka hati mereka akan

menjadi lunak dan jiwa mereka akan berhenti dari kesesatan dan kembali ke jalan

yang benar (sadar).4

Cara rasul menolak ketololan serta kebodohan kaum musyrik dengan cara

yang sangat bertentangan dengan perbuatan mereka, yaitu dengan cara yang halus,

tegas dan bijaksana akan berimbas kepada kesadaran mereka, akan tetapi Allah

swt menerangkan tentang cara yang dilakukan rasul di atas merupakan suatu

perbuatan yang tidak bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang sabar untuk

menanggung hal-hal yang tidak disukai, seperti apa yang telah diperbuat oleh

kaum musyrik serta orang-orang yang mempunyai bagian besar dari pahala di sisi

Allah.

Tidak diterimanya perbuatan rasul kecuali oleh orang yang sabar,

dikarenakan perbuatan rasul tidak terlihat rasa marah atau dendam, akan tetapi

rasul membalasnya dengan cara yang begitu halus atau cara yang baik. Selain itu

pula rasul terkenal akan kesabarannya dalam berdakwah serta sabar menghadapi

kaum musyrik yang berusaha menolak seruannya.

3. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, hlm. 480 4 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 241

16

Mengenai asbabun nuzul serta munasabah surat maupun ayat dalam

pembahasan ini terdapat beberapa pendapat. Adapun asbabun nuzul ayat serta

munasabah surat dan ayat sebagai berikut:

a. Asbabun Nuzul Ayat

Asbabun nuzul ayat 34, tidak secara langsung dijelaskan asbab

nuzulnya. Dalam kitab asbab nuzul yaitu Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul

hanya menerangkan beberapa ayat saja dari keseluruhan ayat dalam surat

Fushshilat. Dalam kitab tersebut langsung menerangkan ayat 22 mengenai

asbabun nuzulnya yang membahas tentang pembicaraan dua orang Tsaqif

dan seorang Quraisy yang membicarakan tentang kemampuan Allah swt

dalam mendengarkan perkataan manusia, baik pelan (bisik-bisik) maupun

keras, serta mengetahui segala perbuatan yang dilakukan manusia.5

Kemudian pada ayat-ayat berikutnya secara umum menjelaskan

tentang perilaku kaum musyrikin terhadap al-Qur’an serta dakwah

Rasulullah saw. Dari hal tersebut, pada ayat 34 Allah swt menjelaskan

kepada Rasulullah saw tentang bagaimana cara menghadapi sikap kaum

musyrikin yang menghalangi dakwahnya.

Mengenai asbabun nuzul surat Fushshilat ayat 34, Zuhaili

menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin

Harb yang merupakan musuh Nabi Muhammad saw yang sangat

membahayakan serta menyakitinya. Akan tetapi dengan kesabaran

Rasulullah saw serta kemuliaan akhlaqnya, Abu Sufyan menjadi sahabat

karib Nabi Muhammad saw yang setia.6

Dalam riwayat lain berkenaan dengan ayat ini, bahwa ayat ini

diturunkan berkaitan dengan Abu Jahal yang menyakiti Nabi Muhammad

saw, kemudian Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk

5 Jalaluddin as-Suyuthi, Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul, terj: M. Abdul Mujieb AS,

(Surabaya: Darul Ihya, 1986), hal.502. 6 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991), Juz. 24, hlm.

228

17

memaafkannya dan setelah peristiwa itu turunlah lanjutan ayat 34 yang

berbunyi :

ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (Q.S. Fushshilat/41: 34)

Pendapat lain tentang asbabun nuzul ayat ini dari Muqatil yang pada

dasarnya sama dengan pendapat di atas yaitu, ayat ini turun mengenai Abu

Sufyan. Dia adalah seorang seteru nabi yang sangat besar. Akan tetapi

ketenangan dan kesabaran nabi telah membuat Abu Sufyan berhubungan

erat dengan nabi, bahkan akhirnya menjadi mertuanya.7

b. Munasabah

Untuk mengetahui munasabah dalam penelitian ini terbagi menjadi

dua yaitu munasabah surat dan munasabah ayat. Adapun munasabahnya

sebagai berikut:

1) Munasabah surat

Munasabah surat Fushshilat dengan surat sebelumnya yaitu surat

Ghafir, yang keduanya memberikan peringatan kepada orang-orang

musyrik Makkah yang mengingkari Nabi Muhammad saw, serta

kedua surat tersebut dimulai dengan menyebut sifat-sifat al-Qur’an.8

Pendapat lain menyebutkan, munasabah surat Fushshilat dengan

surat sebelumnya yaitu surat Ghofir terdapat dua pandangan, yaitu

pertama pembukaan dari kedua surat tersebut dengan menyebutkan

sifat-sifat kitab yang mulia yaitu al-Qur’anul karim, kedua

keterlibatan kedua surat tersebut dalam ancaman-ancaman serta

7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), jilid. 4, hlm.3665 8 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2010),

Jilid VIII, hlm. 586

18

pencelaan yang keras terhadap pembangkangan kaum musyrikin

terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah swt di Makkah dan lainnya.9

Pada akhir surat Ghafir, Allah swt mengancam kaum musyrikin

dengan firman-Nya,

Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Q.S. Ghafir/40: 82)

Kemudian, pada bagian awal surat Fushshilat, Allah swt

kembali mengancam mereka dengan firman-Nya,

Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Aad dan kaum Tsamud". (Q.S. Fushshilat/41:13).

Selain terdapat munasabah dengan surat sebelumnya, yaitu surat

Ghafir, juga terdapat munasabah dengan surat sesudahnya yaitu surat

Asy-Syuura. Pada intinya surat Fushshilat mengutarakan hal-hal yang

berhubungan dengan al-Qur’an dan sikap orang-orang musyrik,

mengutarakan kekuasaan Allah swt di langit dan di bumi, ancaman

Allah swt kepada orang-orang musyrik di dunia dan di akhirat nanti.

Kemudian diterangkan keadaan orang-orang yang selalu beribadah

kepada Tuhannya dan beberapa tabiat manusia pada umumnya.

Sedangkan hubungan surat Fushshilat dengan surat Asy-Syuura,

keduanya sama-sama menerangkan tentang kebenaran al-Qur’an

9 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, Juz. 24, hlm. 179

19

sebagai wahyu Allah swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad

saw, menolak celaan dan kecaman orang-orang kafir terhadapnya,

menghibur Nabi Muhammad saw agar tidak bersedih hati terhadap

sikap, celaan dan ancaman mereka karena telah sewajarnya musuh-

musuh agama itu berusaha menghancurkan yang wajar saja.

Apabila pada ayat-ayat terakhir surat Fushshilat, Allah swt

menyuruh orang-orang yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad

saw dengan menolak al-Qur’an agar mereka merenungkan dan

memikirkan bukti-bukti kebenaran al-Qur’an, maka pada permulaan

surat Asy-Syuura, Allah swt menerangkan bahwa dakwah para rasul

adalah sama.10 Langit, bumi, dan segala isinya adalah di bawah

kekuasaan Allah swt, agar manusia tidak tersesat, maka Allah swt

mengirim para rasul dengan membawa petunjuk kebenaran dan

membimbing manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan

akhirat.

2) Munasabah ayat

Al-Zuhaily dalam tafsirnya menerangkan bahwa setelah Allah

swt menjelaskan tentang suatu perbuatan yang berkaitan dengan

seruan kepada jalan maksiat, serta Allah swt menyatakan keadaan

orang yang melawan seruan terhadap jalan maksiat tersebut yaitu

orang-orang yang mengajak kepada manusia agar bertauhid dan patuh

kepada Tuhannya, kemudian Allah swt menjelaskan tentang sopan

santun dan sifat-sifat mereka ketika membalas kejelekan dengan

kebaikan.11 Selanjutnya menjelaskan agar memohon perlindungan dari

kejelekan tipu daya syaithan yang memalingkan manusia dari

ketentuan syariat Allah.

10 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, Jilid IX, hlm. 20 11 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz. 24, hlm. 228

20

Menurut Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini berkenaan dengan

perintah Allah swt kepada orang-orang yang beriman agar bersabar

ketika marah, lemah lembut ketika menghadapi kebodohan dan

pemaaf ketika menghadapi kesalahan seseorang. Maka apabila

perbuatan tersebut dilakukan, Allah swt akan menjaganya dari godaan

syaithan dan musuh pun akan tunduk seperti sahabat dekat.

Sedangkan menurut pendapat lain bahwa ayat ini berhubungan

dengan ayat sebelumnya yaitu pada ayat ke-5 dari surat Fushshilat.

وا قال ا و ن وبـ ل قـ نة يف مما أك ات ون ع ه د ي ل … إ

Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya …(Q.S. Fushshilat/41:5)

Pada ayat tersebut disebutkan bahwa orang-orang kafir berkata :

“hati kami telah tertutup dari seruan yang dilakukan Nabi Muhammad

saw”, Kemudian Allah swt menyuruh agar Nabi Muhammad saw

untuk bersabar atas tindakan mereka dan menghadapinya dengan

lemah lembut dan memaafkan tindakan tersebut.

Pada ayat sebelumnya, yaitu pada ayat 30 dan 31 dari surat

Fushshilat yang berbunyi,

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Q.S. Fushshilat/41:30-31)

21

Ayat tersebut diatas, pada intinya menjelaskan bahwa Allah swt

memberikan janji kepada orang-orang beriman dan teguh

pendiriannya bahwa mereka selalu didampingi para malaikat yang

menuntunnya ke jalan yang lurus.12 Adapun munasabah dengan ayat

setelahnya berkenaan dengan bukti-bukti yang terdapat pada kejadian

malam, siang, matahari, bulan dan proses bumi yang tandus kemudian

menjadi subur setelah disirami air hujan. Hal ini menjadi bukti

kekuasaan Allah untuk mematikan dan menghidupkan.

B. Penafsiran Ayat Menurut Para Mufassir

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku tafsir untuk

menafsirkan surat Fushshilat ayat 34-35 antara lain:

1. Tafsir Al Mishbah13

Kata la / tidak kedua yang terdapat dalam firman-Nya: wa la tastawi

al-hasanah wa la as-sayyi’ah/tidaklah sama kebaikan dan tidak juga

kejahatan, menjadi pembahasan para ulama. Karena sepintas kata la yang

kedua itu tidak diperlukan. Ulama menilai kata la tersebut hanya berfungsi

sebagai ta’kid (penekanan) makna ketidaksamaan itu, akan tetapi pendapat

yang terbaik adalah dengan memahami penggalan ayat ini mengandung

semacam ihtibak (ikatan) sehingga ia mengisyaratkan adanya satu kata atau

kalimat yang tidak disebut dalam susunannya dan menjadikan penggalan

tersebut bagaikan menyatakan, ”tidak sama kebajikan dengan kejahatan,

tidak sama juga kejahatan dengan kebajikan”.

12 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, jilid. VIII, hlm. 620 13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), jilid 12, hlm. 54

22

Ada juga yang berpendapat bahwa penggalan ayat ini bermaksud

mengisyaratkan adanya peringkat-peringkat bagi kebajikan, sebagaimana

ada pula peringkat bagi kejahatan. Yakni, tidak sama peringkat kebajikan

dan pelakunya. Ada kebajikan yang mencapai puncak dan ada juga yang

biasa saja. Ada kebajikan yang sangat baik, seperti memaafkan sekaligus

berbuat baik kepada yang bersalah, ada juga yang hanya baik, seperti

sekedar memaafkan tanpa berbuat baik.

Kata ahsan pada ayat di atas tidak harus dipahami dalam arti yang

terbaik, tetapi yang baikpun dicakupnya. Memang, kata tersebut berbentuk

superlatif14, tetapi bentuk tersebut dipilih untuk lebih mendorong

menghadapi keburukan dengan kebaikan. Begitu juga menggunakan kata

‘adawah/permusuhan bukan ‘aduww/musuh agar mencakup segala macam

permusuhan dan peringkatnya, dari yang rendah sampai dengan yang

tertinggi.15 Alhasil, ayat ini menganjurkan untuk berusaha berbuat baik

kepada lawan selama dia adalah seorang manusia bukan setan karena

permusuhan setan bersifat abadi.

Ayat di atas menjelaskan betapa besar pengaruh perbuatan baik

terhadap manusia walau terhadap lawan. Sementara para cendekiawan

menguraikan mengapa menggunakan kata fa idza/maka tiba-tiba serta

menguraikan mengapa orang yang tadinya merupakan musuh, tiba-tiba

menjadi teman yang sangat akrab, salah satunya diuraikan oleh Hamid

Thaha al-Khasysyab dalam Tafsir Misbah, jiwa manusia sangat ajaib.16

Tidak jarang menyangkut satu objek pun hatinya bersikap kontradiktif

sehingga, setiap perasaan betapa pun agung dan luhurnya, tetap

mengandung benih-benih perasaan yang bertolak belakang dengannya.

Perasaan mempunyai logika yang berbeda dengan logika akal, karena akal

14 Superlatif dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti tingkat perbandingan yang teratas

(bentuk kata yang menyatakan paling, yaitu ter --) 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55 16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55

23

tidak dapat menggabung dua hal bertolak belakang. Karena itu, tidak ada

cinta tanpa benci, tidak ada rahmat tanpa kekejaman.

Apabila seseorang memusuhi orang lain dan memperlakukannya

secara tidak wajar, pada saat itu pula sebenarnya disadari atau tidak, ada

benih kebaikan dalam diri yang memusuhi itu terhadap yang dimusuhinya,

namun benih itu ditekan dan berusaha dipendam oleh yang memusuhi

kebawah sadarnya. Tetapi bila perlakuan tidak wajar tadi dihadapi oleh

siapa yang memusuhinya dengan sikap lemah lembut dan bersahabat,

kemungkinan besar sikapnya yang lemah lembut dan bersahabat itu

mengundang munculnya benih-benih kebaikan yang dipendam oleh yang

memusuhinya tadi sehingga tiba-tiba pula ia tampak kepermukaan dan

terjadilah apa yang digambarkan ayat di atas: maka tiba-tiba orang yang

antaramu dan antara dia ada permusuhan akan berubah sikapnya

terhadapmu sehingga seolah-olah dia telah menjadi teman yang sangat

setia.

Kata yulaqqaha berasal dari kata laqiya yang berarti bertemu. Bentuk

kata ini merupakan bentuk pasif dan mudhari’. Dengan demikian secara

harfiah kata tersebut berarti dipertemukan. Maksudnya menolak kejahatan

dengan kebajikan adalah satu sifat yang sangat terpuji, ia tidak

dipertemukan dengan seseorang kecuali yang telah terbiasa mengasah

jiwanya dengan kesabaran.17 Penggunaan kata ini mengandung isyarat agar

setiap orang berusaha secara terus menerus untuk mengasah jiwanya

sehingga dapat meraih kebajikan itu.

Kata hazhzh sama dengan kata nashib/bagian atau perolehan.

Sementara ulama membatasinya dalam pengertian bagian atau perolehan

kebajikan. Dari sini, ia dipahami dalam arti keberuntungan. Terlepas apakah

bahasa menggunakannya dalam arti bagian secara mutlak, kebajikan atau

17 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 56

24

keburukan, namun yang dimaksud oleh ayat ini adalah perolehan kebajikan

yakni keberuntungan.

Anjuran memberi maaf atas kesalahan orang lain serta bersikap

bersahabat kepadanya adalah dalam kaitan kesalahan yang tertuju kepada

pribadi seseorang, bukan kesalahan dan kedurhakaan terhadap Allah swt dan

agama-Nya. Rasul saw dikenal sebagai seorang yang amat pemaaf, tetapi

jika hak Allah swt telah dilecehkan, ketika itu beliau marah dan tampil

meluruskan kedurhakaan itu dengan tegas, serta tetap bijaksana.

2. Tafsir Al Maraghi18

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ السKebaikan (hasanah) yaitu hal-hal yang diridhai oleh Allah swt dan

diberi pahala atas melakukannya, tidaklah sama dengan keburukan

(sayyi’ah) yaitu hal-hal yang tidak disukai Allah swt, dan dihukum apabila

melakukannya. Dalam pengertian lain disebutkan tidaklah sama seruan

Rasulullah saw kepada agama yang benar dengan cara yang terbaik dan

bersabar atas kebodohan orang-orang kafir, serta tidak membalas dendam

kepada mereka, dengan kekasaran dan kebengisan yang mereka nyatakan

dalam perkataan mereka,

وا قال ا و ن وبـ ل قـ نة يف ونا مما أك ع ه تد ي ل إ

Hati kami berada dalam tutup (yang menutupi) apa yang kamu seru kepadanya (Q.S. Fushshilat/41: 5)

Dapat disimpulakan bahwa tindakanmu, wahai rasul adalah baik

(hasanah), sedangkan tindakan mereka adalah buruk (sayyi’ah). Maka

apabila kamu melakukan yang hasanah ini, kamu patut mendapatkan

penghormatan di dunia dan pahala di akherat. Kemudian Allah swt

18 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 241

25

menyebutkan suatu hasanah dalam membalas perbuatan orang-orang kafir,

yaitu seperti firman-Nya,

فع باليت اد ي ه ن س أح

Tolaklah ketololan dan kebodohan orang-orang kafir dengan cara

yang terbaik. Maksudnya hadapilah tindakan mereka yang buruk dengan

berbuat baik kepada mereka, hadapilah dosa dengan memberi maaf, marah

dengan bersabar dan mendiamkan kekeliruan-kekeliruan serta menanggung

hal-hal yang tidak disukai. Maka apabila kamu melakukan hal ini terus

menerus terhadap mereka, maka mereka akan malu atas akhlak mereka yang

buruk dan tidak akan melakukan perbuatan yang serupa kembali.

Kemudian Allah swt menerangkan hasil-hasil dari tolakan dengan cara

terbaik dalam firman-Nya,

ا إذ نك الذي ف يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

Sesungguhnya jika kamu melakukan dengan cara seperti ini maka mereka akan berbalik dari musuh menjadi kekasih dan dari benci menjadi cinta.

Ibnu Abbas berkata , Allah ta’ala menyuruh Nabi Muhammad saw

pada ayat ini agar bersabar dalam menghadapi kemarahan, bersikap

penyantun, ketika menghadapi kebodohan, memberi maaf ketika

menghadapi perlakuan yang buruk. Apabila manusia melakukan hal-hal

seperti itu, maka Allah swt akan memeliharanya dari setan dan musuh akan

tunduk padanya.

Setelah Allah swt memberikan cara menghadapi orang-orang kafir,

Allah swt menurunkan ayat berikutnya yaitu,

ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين الذ بـ واص ر

Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti itu dan

melaksanakannya kecuali orang-orang yang sabar menanggung hal-hal yang

tidak disukai dan merasakan penderitaan-penderitaan, menahan amarah dan

26

tidak membalas dendam. Semua itu benar-benar berat bagi jiwa, dan

biasanya sulit menanggungnya kecuali bagi orang yang mendapat

perlindungan dari Allah swt.

ا م ا و قاه ل ال يـ و إ ظ ذ ح يم ظ ع

Dan tidak ada yang menerima nasehat seperti ini kecuali orang yang

mempunyai bagian yang besar dari kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Dalam hal ini Qatadah berkata: Al Hazzul Adzim yang dimaksud ialah surga.

Jadi maksud ayat tersebut yaitu tidak ada yang menerima nasehat seperti itu

kecuali orang yang pasti masuk surga.

3. Tafsir Ibnu Katsir19

ال توي و ة تس ن س ال احل ة و يئ الس

Dalam penggalan ayat tersebut, terdapat perbedaan yang sangat besar

antara kebaikan dan kejahatan. Kemudian pada lanjutan ayat tersebut,

فع باليت اد ي ه ن س أح

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, yaitu jika ada

orang yang berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih

baik. Sebagaimana Umar berkata, “Tolaklah menghukum orang yang

berbuat maksiat kepada Allah swt dalam dirimu sebagaimana engkau

berbuat taat kepada Allah swt dalam dirinya”

ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

Pada ayat tersebut yang berarti, “maka tiba-tiba orang yang antaramu

dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia”, yaitu

sebagai teman baik. Jika engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat

jahat kepadamu, maka sesungguhnya kebaikan itu akan mengarahkannya

19 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj: M.

Abdul Ghaffar, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), jilid.8, hlm. 258

27

untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu, sehingga

seakan-akan dia menjadi teman setia, dalam arti mendekatimu dengan rasa

kasih sayang dan berbuat baik. Kemudian Allah swt berfirman,

ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ص

Yang berarti, “sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan

kepada orang-orang yang sabar”, tidak ada yang dapat menerima dan

mengamalkan wasiat ini kecuali orang yang sabar atas hal itu, karena ini

sangat berat untuk jiwa. Lanjutan firman Allah swt dari ayat di atas,

ا م ا و قاه ل ال يـ و إ ظ ذ ح يم ظ ع

Yaitu, orang yang mendapatkan bagian terbesar berupa kebahagiaan di

dunia dan di akherat. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas dalam

menafsirkan ayat ini, “Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman

untuk sabar ketika marah, lapang dada ketika dibodohi, serta memaafkan

ketika disalahkan. Jika mereka melakukan hal itu, niscaya Allah swt

memelihara mereka dari setan serta menundukkan musuh-musuh mereka,

seakan-akan menjadi teman yang setia”.

4. Tafsir Qur’anul Majid An Nuur20

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس

Sama sekali tidak sama antara dakwah kepada Allah swt dan mencela

(mengancam) orang-orang yang berdakwah. Tidaklah sama antara kebajikan

atas kejahatan. Kebajikan diridhai oleh Allah swt dan diberi pahala,

sedangkan kejahatan dibenci oleh Allah swt dan dibalas dengan siksa.

فع باليت اد ي ه ن س أح

20 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,

hlm.3664

28

Ini adalah suatu pedoman yang diberikan oleh Allah swt kepada Nabi

Muhammad saw dalam menghadapi orang-orang musyrik. Allah swt

memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk melawan keburukan dengan

pekerti yang baik, seperti melawan kemarahan dengan sikap sabar, melawan

tindakan yang kasar dengan memberi maaf.

ا إذ نك الذي ف يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

Hai Muhammad, apabila kamu berlaku seperti itu, tentu dapat

mengubah keadaan. Permusuhan menjadi persahabatan, musuh berubah

menjadi teman yang sangat akrab. Muqatil menyebutkan bahwa ayat ini

turun mengenai Abu Sufyan yang merupakan seteru nabi yang sangat besar,.

Akan tetapi ketenangan dan kesabaran nabi membuat Abu Sufyan

berhubungan erat dengan nabi, bahkan menjadi mertuanya.

ا م ل و ايـ ال قاه إ ين وا الذ ر بـ ص

Nasehat-nasehat untuk berbuat baik seperti yang telah dijelaskan ini

tidaklah akan diterima dan diamalkan, melainkan oleh orang-orang yang

sabar menghadapi kesulitan dan kesukaran, dapat menahan amarah dan

tidak membalas sakit hati (menaruh dendam).

Anas menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud orang-orang yang

sabar adalah orang yang apabila dimaki kawannya berkata, “kalau engkau

benar telah mencaci-maki aku, maka mudah-mudahan Allah swt

mengampuni dosamu”.

ا م قا و ل ايـ ال ه و إ ظ ذ ح يم ظ عDan hanyalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan

(keberuntungan) yang sempurna di dunia dan di akherat yang bisa menerima

nasehat-nasehat ini.

29

5. At-Tafsiru Al-Munir21

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ , الس فع باليت اد ي ه ن س أح

Tidaklah sama antara perbuatan yang baik yang diridhai Allah swt

serta mandapatkan pahala, dengan perbuatan yang buruk yang dibenci Allah

serta mendapatkan hukuman atas perbuatan tersebut.22 Perbuatan yang

sopan termasuk dalam perbuatan baik dan perbuatan yang kasar termasuk

dalam perbuatan yang buruk.

Dalam hal tersebut terdapat perintah kepada para da’i (orang-orang

yang berdakwah) untuk menolak perbuatan orang-orang yang berbuat buruk

(jahat) kepadamu dengan berbuat baik kepadanya, yaitu dengan perkataan

yang baik dan menghadapi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta

memberi maaf perbuatan yang salah, menghadapi kemarahan dengan

kesabaran, dan menolak dari perbuatan yang menyimpang serta perbuatan

keji.

ا ن الذي فإذ يـ ك بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

Sesungguhnya apabila kamu melaksanakan hal tersebut, menghadapi

keburukan dengan kebaikan, maka musuh akan menjadi seorang teman

setia. Sangatlah baik perbuatan seseorang yang dapat merubah musuh atau

orang yang hasad menjadi teman setia, seperti halnya teman baik yang

saling tolong menolong ketika mendapatkan cobaan di karenakan belas

kasihan dan kasih sayang.

ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم عظ

Tidak akan ada yang dapat menerima wasiat ini dan mengamalkan

wasiat tersebut, yaitu menolak perbuatan buruk dengan perbuatan baik, serta

21 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 228 22 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 228

30

memberikan seluruh kemampuannya untuk kebiasaan ini, kebiasaan

menolak kejahatan atau keburukan dengan kebaikan kecuali orang-orang

yang bersabar untuk menahan amarah dan perbuatan keji. Apabila kesabaran

melekat pada jiwa, niscaya tidak akan menerima perbuatan keji dan

menahan amarah kecuali orang-orang yang mempunyai nasib kebahagiaan

yang melimpah di dunia dan akherat, begitu juga orang-orang yang

beruntung yang mendapatkan limpahan pahala dan kebaikan.

Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, Allah swt menyuruh

orang-orang yang beriman untuk bersabar ketika marah, berfikir ketika tidak

mengetahui (bodoh), memberi maaf ketika salah, apabila kalian

melaksanakan hal tersebut, Allah swt akan melindungi dari syetan dan

menundukkan kepada mereka musuh-musuh mereka manjadi seperti teman

yang setia.

6. Al-Mizan Fii Tafsir Al-Qur’an23

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس

Ketika disebutkan perkataan yang baik yaitu berdakwah kepada Allah

swt, dan menjalankan suatu perkara yang hak yang dibebankan kepadanya

yaitu kepada Nabi Muhammad saw, dengan menerangkan cara yang paling

baik untuk berdakwah dan yang paling dekat dengan tujuan yang diharapkan

dari dakwah tersebut, yaitu pengaruh dalam jiwa, kemudian Allah swt

menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw dengan firman-Nya,

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ اخل... الس

Dari berbagai pengaruh yang baik dalam jiwa yaitu perilaku baik dan

buruk. Kalimat ال di dalam ــيئة ال الس merupakan suatu tambahan untuk

penekanan larangan.

23 Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai, Al-Miizaan fii Tafsir Al

Qur’an, (Beirut: Muassatu Al-A’lamiy Lilmathbu’at, 1991), jilid. 17, hlm. 392

31

فع باليت اد ي ه ن س أح

Penggunaan kalimat dafa’a dalam permulaan makna seperti halnya

seseorang yang diajak bicara ( Nabi Muhammad saw ) ketika mendengar

firman-Nya تسـتوى ال berkata “apa yang harus saya lakukan ?”, Allah swt

berfirman, idfa’ billatii hiya ahsan, maksudnya tolaklah perilaku yang buruk

yang kamu hadapi dan lawan dengan perilaku yang lebih baik. Tolaklah

kebatilan mereka terhadapmu dengan sesuatu yang hak (kebaikan), tidak

dengan perbuatan yang serupa atau perbuatan yang batil pula, serta dengan

pengetahuanmu atas kebodohan mereka, dan pemberian maafmu atas

kesalahan mereka.

ا نك الذي فإذ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم مح

Ayai ini menjelaskan tentang pengaruh penolakan suatu keburukan

dengan kebaikan dan nilai yang terkandung didalamnya. Maksud dari ayat

ini, apabila kamu menolak dengan sesuatu yang lebih baik, kamu akan

dikejutkan dengan berubahnya musuhmu menjadi teman yang akrab atau

menyayangimu. Kemudian Allah swt memuliakan/mengagungkan

penolakan keburukan dengan kebaikan dan memujinya dengan pujian yang

lebih baik dan menyampaikan pujiannya dengan firman-Nya,

ا م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم عظ

Yaitu suatu keberuntungan yang melimpah dari keutuhan seorang

manusia dan tercapainya suatu kebaikan. Dalam hal ini, terdapat bukti yang

sangat jelas bahwasanya keberuntungan yang sangat besar atau melimpah

hanya khusus untuk orang-orang yang sabar.

C. Rangkuman Tafsir Para Mufassir

Dari penafsiran beberapa mufassir tersebut di atas, masing-masing terdapat

suatu kesamaan dalam menafsirkan serta pendapatnya tentang isi kandungan ayat.

32

Beberapa penafsiran tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan tentang

penafsiran surat fushshilat ayat 34-35, sebagai barikut:

1. Pada ayat pertama yaitu ayat 34, Allah swt menjelaskan kepada Nabi

Muhammad saw, bahwa antara kebaikan dan kejelekan tidaklah sama.

Kemudian Allah swt memerintahkan kepada nabi untuk melawan kejelekan-

kejelekan dengan perbuatan yang lebih baik, bukan dengan kejelekan yang

serupa, serta dalam menghadapi kebodohan seseorang dengan lemah lembut,

memaafkan kesalahan dan menghadapi kemarahan dengan bersabar.

2. Menghadapi kejahatan dengan suatu kebaikan akan memberikan suatu

gejolak jiwa yang sangat besar yaitu berubahnya sifat permusuhan menjadi

persahabatan

3. Secara tersirat di dalam ayat tersebut, Allah swt menyuruh Nabi Muhammad

saw untuk memiliki sifat-sifat yang terkandung di dalam ayat, diantaranya

sabar, lemah lembut, dan pemaaf.

4. Pada ayat selanjutnya yaitu ayat 35, tidaklah semua orang mampu untuk

menolak kejahatan yang menimpanya dengan suatu kebaikan kecuali orang-

orang yang dianugerahi Allah swt sifat kesabaran dalam jiwa mereka dan

keberuntungan yang sangat besar di dunia maupun di akherat.

D. Esensi Ayat

Dalam sejarah kerasulan, Nabi Muhammad saw dikenal dengan sebutan

Nabiyul Ummiy (tidak pandai membaca dan menulis). Dalam keadaan demikian

Nabi Muhammad saw dituntut melaksanakan bimbingan dan dakwah kepada umat

manusia untuk menempuh jalan yang benar demi keselamatan mereka di dunia

dan di akherat. Dan ternyata keberhasilan yang dicapai Nabi Muhammad saw

melebihi keberhasilan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul sebelumnya hingga

terasa sampai sekarang.

Secara logika, tidaklah mungkin seorang yang tidak mampu membaca dan

menulis mampu mengajak kaumnya yang kasar dan keras kepala, menjadi patuh

dan bisa menerima ajarannya tanpa bimbingan Allah swt.

33

Memperhatikan dari prosesnya, bahwa hubungan Nabi Muhammad saw

dengan Allah swt adalah laksana seorang guru dengan murid. Dengan demikian

hubungan Nabi dangan umatnya merupakan hubungan guru atau pembimbing

dengan anak didiknya, karena Nabi adalah seorang yang bertugas membimbing

umat menuju jalan keselamatan.

Ayat di atas meskipun secara khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad

saw dan diturunkan mengenai persoalan yang khusus, tetapi karena hubungan nabi

dengan umatnya merupakan hubungan antara guru dan murid, maka ayat ini selain

tuntutan bagi nabi juga merupakan tuntuan bagi umatnya untuk melaksanakan

pendidikan.

Perbuatan Nabi Muhammad saw dalam melaksanakan proses pendidikan

serta perilakunya dalam mendidik, sangatlah patut untuk dicontoh oleh pendidik

atau guru pada masa sekarang ini. Sifat-sifat yang dimiliki Nabi Muhammad saw

setidaknya dimiliki pula oleh seorang pendidik atau guru sebelum terjun ke dunia

pendidikan untuk mendidik serta mencetak anak didiknya sesuai tujuan yang

diharapkan oleh pendidikan Islam.

Esensi yang dapat diambil dari ayat ini adalah berkenaan dengan sifat-sifat

yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, dan lebih khusus lagi berkenaan

dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru ketika menghadapi siswa yang

berbuat kesalahan. Sehingga guru tidak menghadapinya dengan kekerasan,

melainkan dengan sifat kesabaran, lemah lembut dan memaafkan.

34

BAB III

SIFAT-SIFAT PENDIDIK MENURUT AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

Pendidik dalam pendidikan Islam harus memenuhi kriteria sebagai pendidik,

diantaranya harus memenuhi sifat-sifat yang baik sebagai seorang pendidik dalam

melaksanakan tugasnya, baik dalam lingkup pendidikan formal, non formal,

maupun informal. Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pendidik

terkandung dalam surat Fushshilat ayat 34-35 yang merupakan wujud pendidikan

Allah kepada nabi Muhammad saw ketika berdakwah atau menyampaikan risalah

yang diembannya, walaupun ayat tersebut secara langsung bukan merupakan ayat

tentang pendidikan. Adapun sifat-sifat tersebut menurut para mufassir adalah:

A. Kesabaran

Kesabaran berasal dari kata dasar sabar yang berarti tenang, dan

kesabaran berarti ketenangan hati dalam menghadapi cobaan atau sifat

tenang.1 Rasulullah saw dalam berdakwah mengajak orang musyrik dan kafir

untuk beriman kepada Allah swt sangat mengedepankan sifat kesabaran.

Berbagai halangan dan rintangan yang dihadapi oleh Rasulullah saw selalu

dihadapi dengan hati yang tenang atau hati yang sabar. Tanpa sifat kesabaran

tersebut, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw akan mengalami

kegagalan dalam mengajak kaum musyrik dan kafir untuk beriman kepada

Allah swt.

Kesabaran menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, bahwa

pada kalimat yang berbunyi wamāyulaqqāhā illallażīna ṣabarū menerangkan

tentang kesabaran. Pada kata ṣabarū yang berarti bersabar, mengindikasikan

bahwa Allah menganjurkan atau menyuruh nabi Muhammad saw untuk

bersabar dalam menghadapi para kaum musyrikin dalam berdakwah.2

1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1334 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 56

35

Penggalan kata tersebut juga mengandung arti untuk selalu berusaha terus

menerus dengan penuh kesabaran hingga apa yang menjadi tujuannya dapat

tercapai dengan baik.

Maraghi mengartikan kata sabar dalam tafsirnya yaitu seseorang yang

selalu tabah dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu perkara yang

tidak disukai atau merasakan penderitaan.3 Kesabaran yang dilakukan rasul

merupakan suatu perbuatan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh

seseorang kecuali orang tersebut telah berhasil dan selalu mengasah jiwanya

untuk selalu menerapkan sifat kesabaran dalam menghadapi segala sesuatu

yang menimpanya dan rasul telah berhasil melukukan hal tersebut karena

didikan dari Allah secara langsung melalui firman-Nya.

Wahbah az-Zuhaili mengartikan kalimat illallażīna ṣabarū (kecuali

orang-orang yang sabar) yaitu suatu sifat yang selalu melekat dalam jiwa

yang selalu menolak untuk berbuat keji dan selalu menahan amarah. Sifat

tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang beruntung di dunia dan

akherat.4 Dari pernyataan beberapa mufassir diatas, pada dasarnya memiliki

kesamaan dalam pemaknaan kata sabar dalam potongan ayat 35 dari surat

Fushshilat. Yang kesemuanya merupakan wujud dari ketenangan dalam

menghadapi cobaan yang datang dari Allah swt sehingga jiwa seseorang tidak

akan memiliki keinginan untuk berbuat keji atau perbuatan yang tidak baik.

Sifat kesabaran inilah yang mempengaruhi keberhasilan dakwah serta

pendidikan Rasulullah saw terhadap orang-orang yang diajaknya untuk

beriman kepada Allah swt. Tingkat kesabaran dan ketabahan rasul sangat kuat

yang memungkinkan orang lain tidak dapat menyamainya. Semua persoalan

yang dihadapi Rasulullah saw, selalu dihadapinya dengan penuh kesabaran.

Belum pernah ada seorangpun yang mendapatkan berbagai macam

musibah, kesulitan, penderitaan, dan keadaan yang kritis, seperti yang dialami

oleh nabi Muhammad saw, sedang beliau tetap sabar dan tegar

3 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 243 4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, juz. 24, hlm. 229

36

menghadapinya.5 Beliau sabar dalam menghadapi kejahatan kaum musyrikin,

sabar dalam menerima ejekan musuh, dan terkadang sabar atas kemenangan

musuh. Ketika beliau diusir, tetap sabar dalam menghadapinya dan tetap

sabar dari semua macam cobaan dan penderitaan yang menimpanya.

Kesabaran merupakan kunci kesuksesan dakwah atau pendidikan yang

dilakukan oleh Rasulullah saw dibawah bimbingan langsung dari Allah swt.

Hanya dengan kesabaran dan tawakkal seorang yang tidak bisa membaca dan

menulis dapat melaksanakan tugas berat dari Allah swt untuk mengajarkan

risalah keislaman dan menyampaikan wahyu yang diterimanya.

B. Berbuat Baik

Pada permulaan surat Fushshilat ayat 34 menyebutkan bahwa tidaklah

sama antar perbuatan baik dengan perbuatan buruk yang kemudian

dilanjutkan dengan perintah untuk menghadapi dengan perbuatan yang lebih

baik. Dapat dilihat dalam ayat yaitu:

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ , الس فع باليت اد ي ه ن س أح

Dari ayat tersebut pada kalimat lā tastawī merupakan penekanan untuk

membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Dalam menghadapi suatu

perbuatan yang buruk, Zuhaili dalam tafsirnya menafsirkan bahwa perbuatan

buruk ditolak dengan perbuatan yang lebih baik yang berarti berlawanan

dengan perbuatan yang dialami yaitu perbuatan buruk dibalas atau ditolak

dengan perbuatan yang baik.6 Dengan pembalasan yang lebih baik akan

memendam bahkan menghilangkan rasa ingin membalas dendam dengan

perbuatan yang serupa.

Seperti halnya yang diutarakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa

pedoman atau pendidikan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad saw

5 `Aidh bin `Abdullah Al-Qarni, Visualisasi Kepribadian Muhammad, (Bandung: Irsyad

Baitus Salam, 2006), hlm. 49. 6 Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain Ath-Thabathabai, Al-Miizaan fii Tafsir Al

Qur’an, jilid. 17, hlm. 392

37

yaitu berbuat baik.7 Perbuatan baik disini dimaksudkan untuk melawan

perbuatan buruk dengan budi pekerti yang lebih baik walaupun yang dihadapi

adalah musuh atau seseorang yang telah berbuat jahat. Sifat ini dapat

mencakup seluruh sifat baik yang lain, yang meliputi kesabaran, pemaaf, dan

sifat-sifat baik yang lainnya. Jadi tidak diartikan sebagai satu perbuatan baik

saja.

Berhubungan dengan cakupan perbuatan baik yaitu mencakup seluruh

perbuatan-perbuatan yang baik, Quraish Shihab dalam tafirnya menerangkan

bahwa kalimat ahsan untuk mendorong seluruh perbuatan-perbuatan yang

baik.8 Pengaruh yang akan dihasilkan dari pembalasan dengan perbuatan

yang berlawanan yaitu dengan perbuatan yang baik bahkan lebih baik, akan

menjadikan seorang musuh menjadi kerabat dekat.

Perbuatan baik kepada lawan akan berpengaruh terhadap kejiwaan

lawan itu sendiri. Karena setiap hati manusia walaupun bersifat jahat, pasti

terdapat suatu benih kebaikan dalam dirinya yang terpendam oleh bawah

sadarnya. Allah swt telah menjelaskan pengaruh yang timbul apabila

melawan perbuatan jahat dengan perbuatan baik yaitu berubahnya suatu

permusuhan menjadi sahabat atau teman baik.

Rasulullah saw sebagai pendidik, selalu mengajarkan yang terbaik

untuk ummatnya serta berbuat baik kepada mereka. Karena sifat tersebut

Rasulullah saw disegani oleh ummatnya. Sifat yang baik ini hendaknya

diikuti oleh seorang pendidik-pendidik Islam. Sifat ini termasuk sarana

terbaik dalam mengajar dan mendidik. Karena seorang murid akan menilai

serta meniru apa yang dilakukan gurunya baik dari sifat maupun sikap atau

perbuatannya. Ia akan lebih meniru seorang guru daripada orang lain. Jika

seorang pendidik memiliki sifat serta sikap yang terpuji dan selalu berbuat

kebaikan, maka akan berdampak positif bagi muridnya. Dalam jiwanya akan

terpatri hal-hal yang baik yang tidak akan dapat dilakukan meski dengan

7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,

hlm. 3665 8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid 12, hlm. 55

38

berpuluh-puluh nasihat dan pelajaran. Oleh karena itu tidak ada yang pantas

dijadikan contoh oleh seorang pendidik untuk mendidik anak-anaknya kecuali

Rasulullah saw.

Budi pekerti seorang pendidik sangat penting dalam pendidikan watak

peserta didik. Pendidik harus menjadi suri tauladan yang baik, karena anak-

anak atau peserta didik memiliki sifat suka meniru kelakuan pendidiknya. Di

antara tujuan pendidikan Islam membentuk akhlak peserta didik yang baik

dan ini hanya dapat dilakukan oleh pendidik yang selalu berbuat baik serta

berkelakuan baik. Sebaliknya seorang pendidik yang selalu berbuat yang

tidak baik serta tidak memiliki kelakuan yang baik, tidak mungkin

dipercayakan untuk mendidik.9

C. Lemah Lembut

Secara bahasa lemah lembut berarti baik hati. Sifat ini melekat pada diri

Rasulullah saw sekaligus menjadi salah satu cara dalam meraih keberhasilan

dakwah beliau. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan mengenai sifat lemah

lembut rasul. Ibnu Abbas dalam Maraghi menyebutkan sifat lemah lembut

serta penyantun rasul ketika menghadapi suatu kebodohan kaum musyrikin.10

Dengan sifat tersebut Allah akan menundukkan musuh kepada orang rasul

serta orang-orang yang mampu mengedepankan sifat kelemahlembutannya

dan penyantun. Musuh akan menjadi teman karib karena ketulusan hatinya

untuk selalu berbuat lemah lembut terhadap orang yang telah berbuat jahat.

Perilaku lemah lembutnya Rasulullah saw yang menjadi pendukung

keberhasilan dakwahnya dalam menghadapi berbagai macam rintangan yang

muncul dari kaum musyrikin diperjelas dalam surat Ali Imran ayat 159 :

9 Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 42 10 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid. 24, hal. 243

39

ا م ب ة ف مح ر ه الل من نت ل م هل و ل و نت ك ا يظ فظ ل لب غ الق النفضوا ن ك م ل و ح فاعف م ه نـ ع ر غف تـ اس و م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم ت فإذ م ز ع كل و تـ لى فـ ه ع إن الل

ه ب الل ني حي ل ك و تـ ﴾١٥٩﴿ الم Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Esensi dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa sifat lemah lembut

untuk menghindari menjauhnya para kaum yang diajaknya untuk berjuang

bersamanya serta beriman pada Allah swt serta untuk menghindari dari

akhlak yang jelek. Sifat lemah lembut yang dimiliki Rasulullah saw juga

diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik ibn al-Huwayris

sebagai berikut,

نا ث د دد ح س , م نا ث د ل ح ي اع مس , إ نا دث ب ح أيـو ن ة أىب ع الب عن ق ان أىب م ي ل سك ال ن م ب رث ي و احل ا :قال ن يـ أتـ لى النيب ص ه الله ي ل ع لم س و ن حن و ة ب ب ش تـ م ون ب ار قا ن فأقم ه ند ع ين ر ة عش ل يـ ن ل ا أنا فظ ن ق تـ ا اش ن ل ا أه ن أل س و من ا ع ن ك ر تـ ا يف ن ل أه

ناه ر بـ فأخ ان ك ا و يق ف ا ر يم ح ر ال ق وا فـ ع ج إىل ار م يك ل أه م وه لم ع فـ م وه ر م لوا و ص وا م أ ك ر وين تم لي يـ ا أص ذ إ و ت ر ض ح ذن الصالة ؤ يـ ل فـ م ك ل م دك مث أح م مك ؤ يـ ل

م ك ر بـ )البخارى اإلمام رواه(.أك

Diriwayatkan Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat.

40

Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam. (H.R. Imam al-Bukhari)11

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Malik ibn al-Huwayris

tersebut, juga menerangkan betapa lemah lembutnya perilaku serta tutur kata

Rasulullah saw. Dari al-Qur’an serta hadits tersebut menunjukkan bahwa

setiap perilaku rasul baik perkataan maupun perbuatan selalu dilakukan

dengan lemah lembut tidak dengan kekerasan dan juga selalu bersikap sopan

santun. Oleh karena itu proses dakwah serta pendidikan yang dilakukan

Rasulullah saw selalu membuahkan hasil yang maksimal.

D. Kasih Sayang

Sifat kasih sayang tidak secara langsung dijelaskan dalam oleh masing-

masing penafsir dalam surat Fushshilat, akan tetapi sifat ini terkandung

didalamnya. Dalam menghadapi suatu kejahatan sifat kasih sayang rasul

selalu terlihat jelas. Rasul tidak menganggap orang yang berbuat jahat adalah

musuh yang sejati, karena musuh manusia yang sejati adalah setan.

Rasulullah saw tetap menyayangi orang-orang yang berbuat jahat dan ingin

menggagalkan dakwahnya dan selalu berbuat baik, sehingga tercipta suatu

persahabatan yang erat.

Sifat kasih sayang tersebut harus tertanam dalam benak pendidik.

Rasulullah saw menegaskan agar para pendidik memiliki sifat kasih sayang

terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam lembaga pendidikan sebagai wakil

dari pendidik pertama haruslah menganggap serta menyayangi peserta didik

seperti halnya anak sendiri, agar tercipta keharmonisan dalam proses belajar

mengajar. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

نا ث د ح و ر أبـ ك د ب ن حمم ان ب أب نا ث د د ح ي ز ي ن ن ب و ار ه يك عن ر ش ث عن ي ل عنة م ر عك ن ن ع باس اب ع : قال ل قال و س لى اهللا ر ص ه اهللا ي ل لم ع س : (و س ي نا ل م

11 Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah), juz. 7, hlm. 101

41

ن م م مل ح ر نا يـ ر يـ غ ص قـر و يـ ا و ن ر يـ ب ك ر أم ي و ف و ر ع بالم ه ن يـ ن و ر ع نك رواه( )الم )الرتميذى

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar. (H.R. Tirmidzi)12

Hadist tersebut merupakan indikasi bahwa setiap orang dewasa

hendaknya menyayangi mereka yang masih kecil atau anak-anak, dan

sebaliknya anak-anak menghormati yang dewasa. Keadaan saling

menyayangi tidak hanya terjadi dalam keluarga atau masyarakat saja, begitu

pula di dalam lembaga pendidikan tentunya saling menyayangi seperti seperti

seorang pendidik menyayangi peserta didiknya. Dalam pergaulan atau dalam

proses pendidikan harus terjadi komunikasi yang baik, sehingga terjadi

interaksi timbal balik dari pendidik atau orang tua dengan anak didiknya atau

dari orang dewasa dengan orang yang belum dewasa.13 Dengan demikian

akan terjalin rasa kasih sayang yang dapat menjadikan tercapainya tujuan

yang diharapkan.

Rasa kasih sayang penting dalam menanamkan sesuatu yang diinginkan

oleh pendidik atau orang tua. Dengan kasih sayang proses pergaulan akan

berlangsung alami, artinya peserta didik tentunya menerima, kemudian

menimbulkan kesadarannya, dan memahami apa yang dikehendaki pendidik.

Dengan kesadaran tersebut, peserta didik akan melaksanakan apa yang

diharapkan oleh pendidik atau orang tua dan pada gilirannya akan menjadi

suatu kebiasaan dalam kehidupan. Kasih sayang akan menjadikan peserta

didik merasa memiliki hati yang senang, dan kesenangan merupakan modal

dalam melakukan suatu pekerjaan sehingga tidak terasa berat. Pergaulan atau

interaksi dalam proses pendidikan yang dilandasi rasa kasih sayang, akan

12 Sunan Tirmidzi, Mushowwat al-Hadits, (abwaabu birri wa shillah, bab maa jaa’a fii rahmati ash shibyan) no 1986, Hadits Digital.

13 Mohammad Surya, dkk, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru Yang Baik, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 46

42

terjadi situasi yang menyenangkan, sehingga tujuan yang menjadi target

proses pendidikan akan mudah tercapai.

E. Menahan Amarah

Menahan amarah telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw ketika beliau

menolak kejahatan yang menimpanya dengan kebikan. Penggalan ayat yang

berbunyai idfa’ billatī hiya ahsan merupakan perintah untuk berbuat baik,

serta merupakan indikasi penahanan suatu amarah yang dicontohkan

Rasulullah saw. Dalam ayat tersebut juga mengandung pelajaran bahwa

menghadapi amarah bukan dengan amarah, akan tetapi dengan perbuatan

baik.

Kalimat idfa’ billatī hiya ahsan dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan

bahwa kalimat tersebut berarti menolak dengan cara yang lebih baik, jika ada

orang yang berlaku buruk.14 Begitu juga diterangkan dalam tafsir lain dan

pada intinya terdapat kesamaan dari segi penafsiran antara mufassir satu

dengan yang lainnya, yang mengatakan bahwa dalam menghadapi suatu

keburukan hendaknya dengan perbuatan yang jauh lebih baik. Seperti yang

telah diterangkan Quraish Shihab dalam tafsirnya bahwa kata ahsan

mencakup seluruh perbuatan baik.

Menurut Hasbi ash-Shiddiqie penggalan ayat tersebut merupakan

sebuah pedoman yang diberikan Allah swt kepada nabi Muhammad saw

mengenai cara terbaik dalam menghadapi suatu keburukan yang dilakukan

oleh orang-orang musyrik.15 Dengan cara tersebut yaitu menolak keburukan

dengan kebaikan yang dapat dimisalkan melawan keburukan atau kejahatan

yang datang dari kaum musyrikin dengan pekerti yang baik, niscaya proses

dakwah akan menuai suatu keberhasilan.

14 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, terj: M.

Abdul Ghaffar, jilid.8, hlm. 258 15 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid. 4,

hlm. 3665

43

F. Pemaaf

Sifat pemaaf terkandung dalam kalimat idfa’ billatī hiya ahsan seperti

halnya menahan amarah. Dalam diri Rasulullah saw tidak ada rasa ingin balas

dendam kepada yang menyakitinya, bahkan Rasulullah saw mendoakannya

agar menyadari perbuatannya serta tidak melakukannya kembali. Sifat

pemaaf ini termasuk dalam cakupan perbuatan baik atau ahsan. Para mufassir

dalam penelitian ini sepakat bahwa sifat pemaaf yang ada pada diri

Rasulullah saw merupakan wujud penolakan kejahatan yang ditimpanya,

yaitu dengan memaafkan orang yang berbuat jahat padanya.

Anjuran memberikan maaf terhadap kesalahan orang lain yang

dicontohkan oleh Rasulullah saw perlu diperhatikan dengan seksama. Rasul

terkenal sebagai seorang yang sangat mudah memaafkan kesalan orang lain

selama dalam hubungan antara manusia. Akan tetapi apabila kesalahan

tersebut berhubungan dengan kedurhakaan terhadap Allah swt dan agama-

Nya, Rasul akan tetap bertindak mengingatkan secara tegas namun masih

dalam kategori bijaksana.

Dari keterangan tersebut di atas, bahwasanya sifat pemaaf sangatlah

melekat pada diri rasul. Terlihat dari cara rasul dalam menghadapi musuh

serta menganggap musuh tersebut seperti halnya kerabat, karena musuh

manusia yang utama dan abadi adalah setan. Oleh karena itu setiap orang

yang berbuat jahat kepada rasul akan berubah menjadi orang yang paling

dekat dengannya. Bahkan terdapat sebuah riwayat dari Muqattil, yang

mengatakan bahwa Abu Sufyan yang merupakan orang yang paling benci

terhadap nabi, dikarenakan kemuliaan hati beliau, Abu Sufyan berubah

menjadi sahabat karib bahkan menjadi mertua nabi Muhammad saw.

Sifat-sifat tersebut diatas yang merupakan isi kandungan dari surat

Fushshilat ayat 34-35 sangatlah melekat dalam jiwa serta pribadi Rasulullah saw.

Dalam surat ini diterangkan pula, bahwa sifat yang muncul pada isi kandungan

surat Fushshilat ayat 34-35 merupakan wujud pendidikan Allah swt kepada nabi

Muhammad saw dalam berdakwah menyampaikan wahyu. Melihat dari wujud

44

didikan langsung dari Allah swt kepada nabi, setidaknya para pendidik

menjadikan ini sebagai acuan dari segi sifat-sifat rasul dalam berdakwah.

Para pendidik Islam menjadikan sosok Rasulullah saw sebagai suri tauladan

yang baik dari segala segi. Baik dari sikap, sifat, maupun kepribadian Rasulullah

saw. Allah swt telah menjadikan Rasulullah saw sebagai contoh yang paling baik

dan sempurna, dan diabadikan dalam al-Qur’an yang berbunyi:

د ق ل ان ك م ك ل ول يف س ة الله ر و أس ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله ثريا ﴾٢١﴿ ك

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21) Sifat-sifat pendidik juga telah banyak dipaparkan oleh para ahli pendidikan

Islam sebagai acuan para pendidik-pendidik Islam khususnya ketika mendidik

dalam lingkup pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Sifat-sifat

pendidik selain menjadi acuan yang dicontoh dari kepribadian Rasulullah saw,

juga menjadi syarat yang harus dimiliki oleh setiap pendidik sebelum mendidik

peserta didiknya. Tanpa sifat-sifat yang melekat pada diri pendidik, hasil yang

akan didapatkan dari peserta didik tidak akan maksimal, karena peserta didik

melihat sekaligus mencontoh perilaku-perilaku yang dilakukan pendidiknya atau

gurunya.

45

BAB IV

IMPLIKASI SIFAT-SIFAT PENDIDIK DALAM

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam konteks pendidikan

Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi,1 mu’allim,2 mu’addib,3

mudarris,4 dan mursyid.5 Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan

dalam konteks Islam, mengenai tugasnya, sama dengan teori pendidikan barat,

yaitu mendidik, baik dalam segi potensi psikomotorik, potensi kognitif maupun

potensi afektif. Ketiga potensi tersebut harus dikembangkan secara seimbang ke

tingkat yang lebih tinggi dengan berlandaskan ajaran agama Islam.6

Dalam penggunaan kelima istilah tersebut dalam dunia pendidikan

khususnya pendidikan Islam mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas

masing-masing sesuai maksud yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut.

Penggunaan julukan pendidik dalam pendidikan kadang kala disebut melalui

gelarnya seperti ustadz atau guru7dalam istilah pendidikan nasional.

Secara terminologis, guru (pendidik) sering diartikan sebagai orang yang

bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa/peserta didik dengan

1 Murabbi adalah: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

2 Mu’allim adalah: orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.

3 Mu’addib adalah: orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

4 Mudarris adalah: orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.

5 Mursyid adalah: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.

6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 74

7 Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 87

46

mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik, baik potensi

kognitif, afektif, dan psikomotorik.8 Pendidik juga diartikan sebagai orang dewasa

yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada mereka

yang masih dalam proses menuju ke tingkat dewasa yaitu peserta didik dalam

perkembangan jasmani dan rohaninya, agar tercapai tingkat kedewasaan serta

mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya.

Mengenai pengertian pendidik dalam Islam tidak jauh beda dengan

pengertian pendidik secara umum. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa guru atau pendidik

mencakup semua elemen yang ikut serta dalam mencerdaskan anak bangsa.

Diperjelas dalam Bab I pasal 1 ayat 6 :

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.9

Selanjutnya dalam Bab XI pasal 39, dinyatakan bahwa :

Pendidik (guru) adalah: tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.10 Hal ini dipertegas dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen, Bab 1 pasal 1 ayat 1, bahwa yang dimaksud dengan guru adalah :

Pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.11

8 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 56 9 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, hlm. 3 10 Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, hlm. 27 11 Undang-Undang Guru dan Dosen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 3

47

Pengertian pendidik yang telah dijelaskan oleh undang-undang diatas, dapat

juga digunakan sebagai pengertian pendidik Islam. Dalam hal ini terdapat sedikit

perbedaan antara pendidik secara umum dengan pendidik Islam. Perbedaan

tersebut dapat terlihat dari tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu

membentuk insan kamil yang bertakwa dan senantiasa beriman kepada Allah swt,

tidak hanya mengembangkan kemampuan intelegensi peserta didik, akan tetapi

juga menanamkan nilai-nilai keislaman dalam diri peserta didik.

Uraian diatas menunjukkan begitu beratnya tugas seorang pendidik dalam

membentuk sosok peserta didik yang kompeten atau insan kamil. Tugas pendidik

dalam Islam khususnya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu akan tetapi dituntut

untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak atau peserta didik. Orang tua

yang merupakan pendidik pertama dan utama harus mampu menanamkan nilai-

nilai akhlaq terlebih dahulu kepada anak kemudian mengajarkan berbagai macam

ilmu menurut kemampuan orang tua.

Akan tetapi tidak semua orang tua mampu untuk melakukan hal tersebut

secara maksimal karena keterbatasan waktu yang dimiliki, keterbatasan ilmu

pengetahuan dan teknologi, efisiensi biaya yang dibutuhkan, dan efisiensi

program pendidikan anak.12 Oleh karena itu, para orang tua memasukkan anak-

anaknya ke dalam lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat sosok pendidik

sebagai pengganti orang tua atau yang sering dikenal sebagai pendidik kedua atau

guru.

Pendidik dituntut untuk mampu menggantikan orang tua dalam mendidik

anak-anak mereka. Pendidik dalam lembaga pendidikan harus bisa menghasilkan

output sesuai dengan harapan serta tujuan dari pendidikan khususnya pendidikan

Islam. Di dalam lembaga pendidikan, sebenarnya tugas pendidik / guru tidak

hanya mengajar, akan tetapi pendidik bertugas melaksanakan hal-hal yang

bersangkutan dengan mengajar. Soejono yang dikutip Ahmad Tafsir merinci tugas

pendidik termasuk guru sebagai berikut:

12 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam (Pengembangan Pendidikan Intefratif di Sekolah,

Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 41

48

1. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada peserta didik dengan berbagai cara seperti, observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, dan sebagainya.

2. Berusaha menolong peserta didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.

3. Memperlihatkan kepada peserta didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar peserta didik memilihnya dengan tepat.

4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan peserta didik berjalan dengan baik.

5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala peserta didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.13

Penjelasan tersebut diatas merupakan gambaran tugas, peranan, dan sifat

pendidik dalam pendidikan. Sosok pendidik yang berkompeten bukan hanya

pendidik yang memiliki ilmu tinggi, akan tetapi sifat-sifat yang baik juga harus

melekat dalam diri masing-masing pendidik. Beberapa sifat yang harus dimiliki

oleh pendidik telah diuraikan juga pada bab sebelumnya. Dalam pembahasan pada

bab ini mengenai implikasi sifat-sifat pendidik terhadap sistem pendidikan Islam.

Adapun imlikasi sifat-sifat tersebut sebagai berikut:

A. Kesabaran Pendidik

Kesabaran merupakan suatu hal yang sangat berat dilakukan oleh seseorang

manakala menghadapi suatu permasalahan yang pelik, kecuali orang-orang yang

telah terbiasa mengasah jiwanya untuk bersabar. Dalam kaitannya dengan dunia

pendidikan , kesabaran memiliki keterlibatan yang sangat besar dalam mendidik

peserta didik guna mencapai tujuan yang hendak dicapai.

Menghadapi peserta didik yang memiliki berbagai karakter yang sangat

berbeda satu dengan yang lainnya, dibutuhkan kesabaran yang ekstra dalam

penyampaian materi pembelajaran. Pasalnya tidak semua peserta didik memiliki

kesamaan tingkat intelektual serta pemahaman. Tingkat penerimaan materi peserta

didik juga sangat jauh berbeda. Tanpa kesabaran yang harus dimiliki oleh setiap

pendidik seperti halnya yang dilakukan oleh nabi Muhammad saw dalam

13 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 79

49

kandungan tafsir surat Fushshilat ayat 34-35, seorang pendidik tidak akan

mendapatkan hasil yang maksimal atau tidak dapat mencetak output yang

memiliki intelektual tinggi.

Melihat tugas pendidik pada jaman yang semakin modern ini yang

terpengaruh oleh munculnya istilah dikhotomi ilmu pengetahuan, pendidik

memiliki tugas ganda dalam proses pendidikan. Secara tidak langsung, tugas

pendidik dalam pendidikan Islam harus mampu mengikis dikhotomi tersebut

dengan cara yang telah disepakati dalam konferensi Makkah 1977 yaitu

mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dengan ilmu agama. Hal tersebut tidak

lain membutuhkan kesabaran yang sangat tinggi, karena pengaruh IPTEK tehadap

peserta didik sangat kuat dan bagaiman seorang pendidik dapat masuk

kedalamnya dengan cara mengintegrasikan IPTEK tersebut dengan ilmu-ilmu

agama yang dibuktikan dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan assunnah.

Berkenaan dengan tugas pendidik Islam, tugas pendidik saat ini bisa

dikatakan sangat berat, berbagai tantangan yang dihadapi para pendidik beraneka

ragam dan dapat dikatakan tantangan ganda yang akan dialami oleh pendidik-

pendidik pada abad sekarang.14 Pendidikan agama pada masa sekarang ini tidak

lagi menjadi hal yang utama karena terhalang oleh pendidikan non-agama atau

ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga yang menjadi bahan ajar yang utama

bukanlah ilmu-ilmu agama melainkan ilmu pengetahuan umum dan teknologi dan

ilmu agama mendapatkan porsi kecil atau bahkan tidak sama sekali. Hal tersebut

dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh materialisme, empirisme, rasionalisme dan

kuantitatif.

Menanggapi hal tersebut diatas, tindakan yang dapat dilakukan pendidik

agar ajaran agama dapat terus hidup dengan melibatkan system serta ilmu-ilmu

pengetahuan umum dalam proses pengajaran agama.15 Dengan itu pendidik akan

14 Slamet Iman Santoso, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu

Pengetahuan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 77 15 Slamet Iman Santoso, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu

Pengetahuan, hlm. 84

50

dapat terus mengembangkan serta menegakkan pendidikan agama pada masa

zaman ilmu pengetahuan dan teknologi ini.

Tidak hanya terhenti pada tantangan di atas, tantangan lain atau tugas lain

bagi para pendidik yaitu permasalahan dikotomi ilmu pengetahuan, antara ilmu-

ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum.16 Dikotomi dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia diartikan sebagai pembagian dalam dua kelompok yang saling

bertentangan. Ikrom memaparkan dalam buku Paradigma Pendidikan Islam bahwa

dikotomi juga dikenal sebagai dualitas budaya di negara muslim yaitu dua sistem

pendidikan yang sangat bertentangan,17 pertama disebut sistem pendidikan

tradisional yang cenderung melahirkan golongan muslim tradisional, kedua sistem

pendidikan sekuler yang cenderung melahirkan golongan muslim modern yang

kebarat-baratan.

Dikotomi ilmu pengetahuan inilah yang harus diperhatikan khusus oleh

pendidik serta mengupayakan untuk menghilangkan dikotomi ilmu dan berusaha

untuk mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama

khusunya Islam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk

menghilangkan dikotomi sistem pendidikan yang telah diajukan dalam konferensi

Makkah tahun 1977 yang merupakan konferensi muslim pertama dengan cara

mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan ajaran-ajaran Islam.18 Pendidik

harus mengerahkan kemampuannya serta mampu berpikir futuristic dalam

mengajarkan agama pada era ilmu pengetahuan dan teknologi, menggabungkan

ilmu pengetahuan dengan ilmu agama.

Berangkat dari permasalahan tersebut yang senada dengan ulasan Slamet

Iman Santoso dalam bukunya Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada

Abad Ilmu Pengetahuan, di dalam hasil konferensi Makkah mengklasifikasikan

pendidikan menjadi dua jenis yaitu pertama ilmu pengetahuan agama (perennial

16 Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hlm. 191 17 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud, dkk,

Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 81 18 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud, dkk,

Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 90

51

knowledge) yang meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlaq serta kedua ilmu-ilmu

sosian dan humaniora serta kealaman (acquired knowladge).19 Inilah yang

menjadi tantangan pendidik seperti yang diutarakan Slamet, bagaimana upaya

pendidik untuk menggabungkan kedua jenis ilmu tersebut dalam mengajarkan

serta mempertahankan pengetahuan agama dan untuk menghapus dikhotomi ilmu.

Mengenai sifat sabar yang harus dimiliki oleh pendidik, Abdurrahman an-

Nahlawi juga menghendaki bahwa setiap pendidik memiliki sifat sabar dan

bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai proporsinya sehingga mampu

mengontrol dan menguasai peserta didik.20 Sifat tersebut dimaksudkan untuk

menghadapi kenakalan peserta didik dan upaya untuk menanggulangi kenakalan

peserta didik dan member peringatan dalam batas yang wajar.

B. Pendidik selalu Berbuat Baik

Berbuat baik dalam sifat-sifat pendidik dalam surat Fushshilat ayat 34-35

memiliki keterlibatan yang besar dengan pendidikan Islam, terutama ketika

seorang pendidik berada dalam lingkungan pendidikan, baik mengajar maupun

tidak mengajar. Seorang pendidik yang selalu berbuat baik akan selalu

mendapatkan sorotan oleh peserta didik bahkan dapat menjadi idola peserta didik.

Dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Islam sifat selalu berbuat

baik sangatlah penting, terutama ketika menghadapi kenakalan peserta didik.

Rasulullah saw telah mencontohkan cara yang baik dalam menghadapi suatu

keburukan baik itu kejahatan maupun celaan dengan selalu membalas dengan

perbuatan yang lebih baik. Dari hal tersebut, seorang pendidik hendaknya mampu

menerapkan perilaku yang serupa dengan rasul, tanpa membalas atau menghukum

kenakalan peserta didik dengan hukuman yang tidak mendidik.

Seringkali terjadi seorang pendidik tidak memberikan hukuman yang baik,

dalam hal ini hukuman yang bersifat mendidik seperti mengerjakan soal atau

19 CD Hasil Konferensi Makkah pada tanggal 31 Maret – 8 April 1977 yang dilaksanakan

di Hotel Intercontinental Makkah al-Mukarromah. 20 Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, hlm.

49.

52

hukuman lain, akan tetapi hukuman yang diberikan bersifat fisik yang dapat

menimbulkan kemarahan peserta didik atau menjadikan peserta didik membenci

sang pendidik yang menghukumnya dengan tidak wajar. Oleh karena itu,

implikasi berbuat baik dalam pendidikan Islam sangat jelas, guna meningkatkan

kualitas pendidikan dan menghasilkan suasana pendidikan yang harmonis dalam

lembaga pendidikan.

Seperti yang dipaparkan Abrasyi mengenai sifat yang harus dimiliki oleh

pendidik yaitu pendidik harus bisa menjadi contoh akan keadilan, kesucian

(perbuatan yang baik), kesempurnaan.21 Sifat tersebut hendaknya selalu melekat

pada diri pendidik. Perbuatan yang baik yang dilakukannya akan menjadi contoh

bagi para peserta didik. Pendidik akan lebih senang mencontoh pendidik yang

selalu berbuat baik kepada peserta didik maupaun kepada pendidik-pendidik yang

lain dalam lembaga pendidikan.

C. Pendidik harus Lemah Lembut

Ahmad Musthafa Al-Maraghi telah menjelaskan tentang kandungan ayat

159 dari surat Ali Imran, yang dapat diambil implikasi paedagogis dalam

pendidikan Islam yaitu dalam proses bimbingan dan pengarahan yang merupakan

tugas lain dari seorang pendidik, hendaknya dilakukan dengan penuh

kelemahlembutan kepada peserta didik. Apabial hal tersebut tidak diterapkan,

peserta didik akan lari atau tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh pendidik

tersebut.

Seperti kandungan tafsir surat Ali Imran ayat 159 yang telah dijelaskan

diatas yang intinya, andaikata engkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak

dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai

(bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak

bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus.22

Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun, lemah lembut

dan kasih sayang kepada setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila

21 Muhammad ‘Athiyah Al Abrasyi, Ruh At-Tarbiyah wa At- Ta’lim, hlm. 207 22 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, hlm. 193

53

tidak, maka kekasaran itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai

tujuan pendidikan.

Tidak hanya ketika dalam pergaulan dengan peserta didik, seorang pendidik

menerapkan sifat lemah lembut, akan tetapi dalam hal bimbingan belajar atau

pengarahan harus dilakukan dengan lemah lembut, selain mudah diterima oleh

peserta didik, respon yang baik akan muncul dari diri peserta didik dan peserta

didik merasa nyaman dengan bimbingan dan pengarahan pendidik.

D. Pendidik harus Bersifat Penyayang

Kasih sayang yang dilakukan rasul terhadap orang yang memusuhi dan

mengganggunya ketika berdakwah memiliki implikasi yang besar dalam

pendidikan Islam. Menurut Mahmud Yunus yang dikutip oleh Ahmad Tafsir

dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, dan senada dengan

Abrasyi dalam bukunya Ruh at-Tarbiyah wa Ta’lim menghendaki salah satu sifat

yang hendaknya dimiliki oleh pendidik yaitu menyayangi muridnya dan

memperlakukan mereka seperti menyayangi dan memperlakukan anak sendiri.23

Sifat tersebut akan membantu pendidik dalam mendidik, membimbing, serta

mengajar peserta didik tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.

Pendidik tidak hanya mereka yang mengajar di sekolah/madrasah, akan

tetapi orang tua juga merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anak mereka.

Sifat kasih sayang harus melekat pada diri orang tua sebagai pendidik pertama.

Dari sinilah peran orang tua sebagai pendidik utama dan pertama terhadap anak

sangatlah penting. Orang tua bertanggungjawab penuh atas kemajuan

perkembangan anak-anak mereka, karena pada dasarnya kesuksesan anak adalah

sukses orang tua juga.24 Tugas orang tua selaras dengan firman Allah swt dalam

surat at-Tahrim ayat 6:

ا ا ي أيـه ين نوا الذ قوا آم م ك أنفس م يك ل أه و ﴾٦﴿ … نارا

23 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, hlm. 83 24 Chaerul Rochman, Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru

Menjadi Guru yang Dicintai dan Diteladani oleh Siswa, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2011), hlm. 24

54

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka … (Q.S. at-Tahrim/66:6)

Dalam ayat tersebut jelaslah, bahwa Allah telah menyuruh orang-orang yang

beriman termasuk didalamnya orang tua, untuk menjaga dan memelihara keluarga

dari api neraka. Mendidik anak dengan penuh rasa tanggung jawab termasuk juga

dalam konteks menjaga dan memelihara, sebagai tugas serta peran utama orang

tua dalam keluarga yaitu pendidik. Apabila orang tua kurang mampu dalam

mendidik, barulah diserahkan kepada pendidik kedua, yang merupakan pendidik

pada lembaga pendidikan.

Seorang pendidik dalam proses mendidik baik pendidik pertama yaitu orang

tua maupun pendidik kedua yaitu pendidik dalam lembaga pendidikan, apabila

ingin melakukan pendekatan emosional dengan peserta didik akan lebih mudah

apabila telah melekat dalam diri pendidik sifat kebapakan atau kasih sayang.

Peserta didik akan lebih merasa diperhatikan oleh pendidik yang dapat

menimbulkan rasa hormat serta segan dan mudah menerima apa yang

disampaikan oleh pendidik ketika member arahan, mengajar atau ketiaka diluar

jam mengajar. Dari hal tersebut, implikasi sifat lemah lembut dalam pendidikan

Islam sangat dalam yaitu dapat membantu dalam pembentukan akhlak peserta

didik terhadap sesama terutama terhadap para pendidik dan orang tua.

Pendidik dalam lembaga pendidikan diharapkan untuk memiliki sifat

kebapakan karena pendidik tersebut merupakan spiritual dan intellectual father,25

bagi peserta didik di lembaga pendidikan. Pendidik dalam lembaga pendidikan

merupakan orang tua kedua setelah orang tua pertama di dalam keluarga. Oleh

karena itu dari segi tugasnya hampir memiliki kesamaan antara pendidik pertama

dengan pendidik kedua.

E. Pendidik harus Mampu Menahan Amarah dan Pemaaf

Allah swt tidak menghendaki nabi Muhammad saw untuk membalas

perbuatan buruk dengan perbuatan serupa. Akan tetapi menghimbau kepada nabi

25 Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatu al-Aulad fii al-Islam, (Kairo: Daru as-Salaam, 1997), jilid 2, hlm. 578

55

Muhammad saw untuk membalasnya dengan perbuatan yang jauh lebih baik. Hal

tersebut dapat diindikasikan bahwa Allah swt menghendaki sifat dalam diri nabi

Muhammad saw yaitu sifat menahan amarah dan pemaaf.

Seruan untuk menolak suatu keburukan dengan kebaikan selain dalam surat

Fushshilat ayat 34-35, juga telah dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat

an-Nahl ayat 125 dan al-Mu’minun ayat 96 yang didalamnya mengandung

indikasi untuk menahan amarah dan memaafkan kesalahan, yaitu:

ادع ىل إ يل ب بك س ة ر م ك ة باحل ظ ع و الم نة و س م احل هل اد ج باليت و ي ه ن س .… أح Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Q.S. an-Nahl/16:125)

فع باليت اد ي ه ن س أح ة يئ …الس Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. (Q.S. al-Mu’minuun/23:96) Ayat tersebut merupakan anjuran Allah swt atau didikan-Nya kepada nabi

Muhammad saw dalam berdakwah untuk mengajarkan ajaran al-Qur’an dengan

baik dan lemah lembut serta menolak keburukan dengan perbuatan yang lebih

baik. Ayat ini senada dengan anjuran Allah swt kepada nabi Muhammad saw

dalam surat Fushshilat ayat 34-35. Wujud dari persamaan kedua surat tersebut

selain menjelaskan tentang sifat Rasulullah saw dalam berdakwah, juga

menjelasakan bagaimana metode dakwah yang digunakan Rasulullah saw. Metode

yang terkandung dalam kedua surat tersebut yaitu:

1. Hikmah, yaitu kata-kata yang tegas dan benar yang dapat membedakan

antara yang hak dan yang bathil.

2. Nasihat yang baik.

3. Menolak bantahan dari orang-orang yang menentangnya dengan

memberikan argumentasi yang jauh lebih baik, sehingga mereka yang

menentang dakwah beliau tidak dapat berkutik.

56

4. Memperlakukan musuh-musuh beliau seperti memperlakukan sahabat

karib.

Poin-poin diatas merupakan cara yang dianjurkan Allah swt kepada nabi

Muhammad saw. Tidak terlihat perintah untuk membalas dengan perbuatan

serupa, bahkan pada poin keempat, memperlakukan musuh seperti halnya

memperlakukan sahabat sendiri. Hal tersebut jelas mengatakan bahwa tidak ada

sifat amarah dalam diri nabi Muhammad saw dan terdapat sifat pemaaf

didalamnya dari cara perlakuannya kepada musuh.

Kedua sifat ini memiliki keterkaitan yang erat dalam pengaplikasiannya.

Menahan amarah dalam menghadapi kenakalan peserta didik dan memaafkannya

termasuk dalam perbuatan yang baik yang akan mempengaruhi kejiwaan peserta

didik. Kedua sifat ini telah dicontohkan oleh rasul dan menuai hasil yang sangat

positif atau baik. Terbukti dengan penerapan sifat ini, musuh-musuh rasul serta

orang yang membenci rasul berubah menjadi seorang sahabat karib bagi rasul,

bahkan ada yang menjadi mertua rasul.

57

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berawal dari beberapa permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam

skripsi yang berjudul “Sifat-sifat Pendidik dalam Perspektif al-Qur’an Surat

Fushshilat Ayat 34-35”, maka penulis dapat menarik kesimpulan mengenai sifat-

sifat pendidik serta implikasi paedagogis al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35,

yaitu :

1. Sifat-sifat pendidik perspektif al-Qur’an surat Fushshilat ayat 34-35

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidik

dalam mendidik peserta didik yaitu mengenai sifat-sifat yang terdapat

dalam diri pendidik. Sifat-sifat yang melekat pada setiap pendidik, akan

memberikan pengaruh yang besar terhadap peserta didik serta

keberhasilan proses pendidikan. Dengan sifat-sifat seorang pendidik

yang baik, akan tercipta suasana pendidikan yang efektif serta efisien

dan terdapat keharmonisan antara pendidik dengan peserta didik di

rumah atau di sekolah.

Surat Fushshilat ayat 34-35 dan didukung dengan ayat lain dapat

dijadikan sebuah rujukan bagi para pendidik-pendidik Islam mengenai

sifat-sifat yang terdapat dalam diri Rasulullah saw ketika berdakwah,

dan dapat dijadikan sebagai tauladan yang sangat baik. Rasulullah saw

merupakan pendidik teragung bagi ummat manusia dan Rasullah yang

paling baik dijadikan sebagai suri tauladan yang baik bagi para pendidik

Islam. Adapun sifat-sifat Rasulullah saw dapat disimpulkan sebagai

berikut,

a. Kesabaran

b. Berbuat baik

c. Lemah lembut

d. Kasih sayang

e. Menahan amarah

58

f. Pemaaf

Sifat-sifat inilah yang terdapat dalam kandungan surat Fushshilat

ayat 34-35 yang ada dalam diri Rasulullah saw sang pendidik utama

bagi umat manusia dan dukung dengan ayat-ayat lain yang

berkesinambungan guna memperkuat sifat-sifat Rasulullah saw yang

ada dalam surat Fushshilat ayat 34-35. Sifat-sifat tersebutlah yang

hendaknya dicontoh dan ditanamkan dalam diri pendidik-pendidik

Islam guna terciptanya suasana belajar mengajar yang efektif serta

mendapatkan output yang maksimal.

2. Implikasi paedagogis surat Fushshilat ayat 34-35 dalam sistem

pendidikan Islam

Kandungan surat Fushshilat ayat 34-35 tidak hanya sebatas sifat-

sifat Rasulullah saw yang dapat menjadi tauladan yang baik bagi para

pendidik, juga mengandung implikasi paedagogis dalam sistem

pendidikan Islam, yaitu:

a. Dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik Islam, baik formal,

informal dan nonformal hendaknya menjadikan Rasulullah saw yang

merupakan pendidik utama sebagai suri tauladan yang baik.

b. Tertanam di dalam dirinya jiwa seorang pendidik yang bertanggung

jawab akan tugasnya.

c. Pendidik harus memiliki sifat kesabaran dalam menghadapi peserta

didik yang berbeda karakter

d. Pendidik harus selalu berbuat baik agar dapat dicontoh oleh peserta

didik

e. Pendidik harus memiliki sifat lemah lembut agar para peserta didik

merasa nyaman ketika menghadapi pendidik tersebut

f. Kasih sayang seorang pendidik juga harus selalu ditonjolkan dan

menganggap peserta didik seperti anak sendiri apabila dalam

59

lembaga pendidikan. Di luar lembaga pendidikan tentunya harus

tetap memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didik.

g. Pendidik hendaknya tidak memiliki sifat pemarah, akan tetapi

mampu menahan amarah dalam menghadapi permasalahan yang

muncul ketika proses pendidikan berlangsung.

h. Pendidik juga harus memiliki sifat pemaah guna mendukung sifat

menahan amarah, memperlakukan orang lain yang bersalah atau

memperlakukan peserta didik yang bersalah seperti memperlakukan

kerabat.

i. Penentuan berhasil atau tidaknya dalam pencapaian tujuan

pendidikan Islam sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat pendidik.

B. Saran-Saran

Sejalan dengan beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini,

maka penulis perlu menyampaikan saran-saran yang berkenaan dengan pendidik

Islam sebagai berikut :

1. Hendaknya seorang pendidik dapat menjadi suri tauladan yang baik

bagi para peserta didiknya, yaitu memiliki sifat, sikap, serta kepribadian

yang baik seperti kesabaran, berbuat baik, lemah lembut, kasih sayang,

menahan amarah, dan pemaaf. Sebab sifat, sikap, kepribadian serta

tingkah laku pendidik menjadi perhatian khusus bagi para peserta

didiknya di sekolah maupun di luar sekolah. Ada pepatah mengatakan

apabila guru buang air kecil berdiri maka murid buang air kecil berlari

sebab seorang guru haruslah dapat digugu dan ditiru.

2. Nasib pendidikan anak berada dibawah tanggung jawan para pendidik,

yaitu pendidik pertama (orang tua) atau pendidik kedua (guru), oleh

karena itu dalam proses pendidikan harus dilakukan dengan penuh

tanggung jawab guna mendapatkan anak/peserta didik yang

berintelektual tinggi.

3. Pendidikan Agama yang diberikan kepada peserta didik hendaknya

menggunakan metode mengajar yang bervariasi agar dapat menarik

60

minat belajar peserta didik untuk lebih memperdalam lagi keilmuan

tentang Pendidikan Agama Islam.

4. Hendaknya pendidik tidak hanya menekankan pada aspek kognitifnya

saja, akan tetapi menekankan juga pada aspek psikomotorik dan aspek

afektif. Ini dilakukan agar pengetahuan keagamaan peserta didik dapat

tercermin dan tertuang di dalam keseharian dan kehidupan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam : Paradigma Humanisme Teosentris,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Ruh At-Tarbiyah wa At- Ta’lim, Mesir: Daar

Ihyaai Al-Kutub Al-‘Arabiyah, 1955 Al-Ahwani, Ahmad Fuad, At Tarbiyatu Fii Al-Islam, Mesir: Dar al-Ma’aarif, t.t.

Al-Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, t.t. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, terj.Hery Noer Aly, Semarang:

Toha Putra, 1992

Al-Qarni, `Aidh bin `Abdullah, Visualisasi Kepribadian Muhammad, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006

Alu Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, terj: Ghaffar, M. Abdul, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008

An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta : Gema Insani Press, 1995

Anwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000

As-Suyuthi, Jalaluddin, Lubabun Nuqul fii Asbabun Nuzul, terj: M. Abdul Mujieb AS, Surabaya: Darul Ihya, 1986

Ath-Thabathabai, Al-‘Allaamah As-Sayyid Muhammad Husain, Al-Miizaan fii Tafsir Al Qur’an, Beirut: Muassatu Al-A’lamiy Lilmathbu’at, 1991

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al Munir, Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1991 Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1998 CD Hasil Konferensi Makkah pada tanggal 31 Maret – 8 April 1977 yang

dilaksanakan di Hotel Intercontinental Makkah al-Mukarromah. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2004

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta: CV. J-ART, 2005

Dwiastuti, Nur, “Keteladanan Menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Aktualisasinya Dalam Kepribadian Guru (Telaah Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam), Skripsi, Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2000 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan : Umum dan Agama Islam, Jakarta:

Rajawali Press, 2009 Ikhrom “Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Abdurrachman Mas’ud,

dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 Kementerian Agama RI, AlQur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Ikrar Mandiriabadi,

2010 Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2011

Mochtar, Buchori, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994

Mujib, Abdul, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Edisi I, Jakarta : Bumi Aksara, 2001

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008

Rochman, Chaerul, Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru Menjadi Guru yang Dicintai dan Diteladani oleh Siswa, Bandung: Nuansa Cendekia, 2011

Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam (Pengembangan Pendidikan Intefratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LKiS, 2009

Santoso, Slamet Iman, Tantangan Ganda dalam Pendidikan Agama pada Abad Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1985

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992

________________, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Solichun, Moh., “Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i Tentang Guru”, Skripsi,

Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya,

Jakarta: Bumi Aksara, 2007 Suntawi, “Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surat Ali-Imran Ayat 79 dan

Pengembangannya Dalam Peningkatan Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam (PAI), Skripsi, Semarang, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005

Surya, Mohammad, dkk, Landasan Pendidikan: Menjadi Guru Yang Baik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010

Tirmidzi, Sunan, Mushowwat al-Hadits, (abwaabu birri wa shillah, bab maa jaa’a fii rahmati ash shibyan) no 1986, Hadits Digital.

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997

Ulwan, Abdullah Nasih, Tarbiyatu al-Aulad fii al-Islam, Kairo: Daru as-Salaam, 1997

Undang-Undang Guru dan Dosen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

Undang-Undang Sisdiknas no.20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika,2010

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Mucharom Syarifudin Zuhri

Nomor Induk Mahasiswa : 083111091

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

TTL : Kebumen, 01 Oktober 1986

Alamat Asal : Kliwonan RT 02/V Prembun Kebumen

Jawa Tengah 54394

Pendidikan Formal :

1. TK PGRI Prembun tahun 1992

2. SD Negeri 2 Prembun tahun 1998

3. SLTP Negeri 1 Prembun tahun 2001

4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidian Agama

Islam angkatan 2008

Pendidikan Non-Formal :

1. Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 2006

Yang menyatakan,

Mucharom Syarifudin Zuhri

Lampiran 1:

DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس فع باليت اد ه ي ن س ا أح ذ نك الذي فإ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم ا ﴾٣٤﴿ مح م ا و قاه ل ال يـ إ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل ال يـ ظ ذو إ ح يم ظ ع

﴿٣٥﴾

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41 : 34-35)

م ل وا أفـ ري س ي ض يف ر وا األ نظر ي ف فـ ي ك ان ك ة ب اق ع ين ن الذ م ه ل ب قـ انوا م ك ر ثـ أك م ه نـ د م أش و وة قـ آثارا و ض يف ر ا األ فم ىن م أغ ه نـ ا ع انوا م ك ون ب س ك ي

Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Q.S. Ghafir/40: 82)

وا فإن ض ر أع قل فـ م تك ر ص أنذ ة ق اع ثل ة م ق اع ص اد ود ع مث و

Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum `Aad dan kaum Tsamud". (Q.S. Fushshilat/41:13)

الوا ق ا و ن نة في قـلوبـ ا أك ع مم اتد ه ون لي إ يف ا و ن ان آذ ر قـ ن و م ا و ن ن ي نك بـ ي بـ اب و ج ح ل ا فاعم نـن إ ون ل ام ﴾٥﴿ ع

Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)".(Q.S. Fushshilat/41:5)

ل ا إن ين ا قالوا ذ بـن ر وا مث الله ام ق تـ اس زل نـ تـ تـ م ه ي ل ع ة ئك ال افوا أال الم ال خت نوا و ز حتوا ر ش أب نة و اليت باجل نتم ك ون د .توع ن حن م اؤك ي ل أو اة يف ي ا احل ي نـ الد يف و ة ر خ اآل م ك ل و

ا يه ا ف تهي م تش م ك أنفس م ك ل ا و يه ا ف م ون تدع

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (Q.S. Fushshilat/41:30-31)

Lampiran 2:

DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

ا م ة فب مح ر ه من الل نت ل م هل و ل و نت ك فظا ل لب يظ غ الق النفضوا ن ك م ل و ح

فاعف م ه نـ ع ر غف تـ اس و م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم إذ ف ت م ز ع كل و تـ لى فـ ه ع ن الل إ ه اللب ني حي ل ك و تـ ﴾١٥٩﴿ الم

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran/3:159)

د لق ان ك م لك ول يف س ة أ الله ر و س ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله ثريا ﴾٢١﴿ ك

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21)

نا ث د دد ح س , م نا ث د ل ح ي اع مس , إ نا ث د ب ح أيـو ن ة أىب ع الب عن ق ان أىب م ي ل ك س ال من ب رث ي و احل ا :قال ن يـ أتـ ل النيب ىص ه الله ي ل ع لم س و ن حن و ة ب ب ش ون ب ار ق تـ ا م ن فأقم ه ند ع

ين ر عش ة ل يـ ا أنا فظن ل ن ق تـ ا اش ن ل ا أه ن أل س و من ا ع ن ك تـر ا يف ن ل أه ناه ر بـ فأخ ان ك ا و يق ف را يم ح ر ال ق وا فـ ع ج ىل ار إ ل أه م يك م وه لم ع فـ م وه ر م لوا و ص ا و م ك وين تم أيـ لي ر ا أص ذ إ و

ت ر ض ح الصالة ذن ؤ يـ ل فـ م ك ل م دك مث أح م مك ؤ يـ ل م ك ر بـ )البخارى اإلمام رواه(.أك

Diriwayatkan Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluarga dan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayang lalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam. (H.R. Imam al-Bukhari)

نا ث د ح و ر أبـ ك ن حممد ب ان ب أب نا ث د د ح ي ز ي ن ن ب و ار ه ن يك ع ر ش ن ث ع ي ل ن عة م ر عك ن عن باس اب ع : قال ل قال و س لى اهللا ر ص ه اهللا ي ل لم ع س : (و س ي نا ل م ن م ملم ح ر نا يـ ر يـ غ ص قـر و يـ نا و ر يـ ب ك ر أم ي و ف و ر ع بالم نه يـ ن و ر ع نك )الرتميذى رواه( )الم

Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar. (H.R. Tirmidzi)

Lampiran 3:

DAFTAR SURAT DALAM SKRIPSI SIFAT-SIFAT PENDIDIK PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SURAT FUSHSHILAT AYAT 34-35

ا ا ي أيـه ين نوا الذ قوا آم م ك أنفس م يك ل أه نار و ا ا ه قود و ة الناس ار ج احل ا و ه يـ ل ع ة ك ئ ال م

ظ اد غال د ال ش ون ص ع يـ ا الله م م ه ر أم ون ل ع ف يـ ا و م ون ر م ؤ ﴾٦﴿ يـ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At Tahrim/66:6)

ال توي و تس ة ن س ال احل و ة يئ الس فع باليت اد ي ه ن س ا أح ذ نك الذي فإ يـ بـ ه ن يـ بـ ة و او د ع أنه ك يل و يم ا ﴾٣٤﴿ مح م ا و قاه ل إال يـ ين وا الذ ر بـ ا ص م ا و قاه ل و إال يـ ظ ذ ح يم ظ ع

﴿٣٥﴾ Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Q.S. Fushshilat/41: 34-35)

د ق ل ان ك م ك ل ول يف س ة الله ر و أس ة ن س ن ح لم ان و ك ج ر يـ الله م و اليـ و ر خ اآل ر ذك و الله

ريا ث ﴾٢١﴿ ك Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab/33:21)

ع ى اد يل إل ب بك س ة ر م ك ظة بالح ع و الم ة و ن س م الح له اد ج تيبال و ي ه ن س إن أحبك ر و ه م ل ن أع ل مب ه عن ض يل ب س و ه و م ل أع ين تد ه ﴾١٢٥﴿ بالم

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl/16:125)

فع بالتي اد ي ه ن س أح ة يئ الس ن حن م ل ا أع مب فون ص ﴾٩٦﴿ ي

Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.(Q.S. Al Mu’minun/23:96)

ا م ة فب مح ر ه من الل نت ل م هل و ل و نت ك ا يظ فظ ب غل ل النفضوا الق ن ك م ل و فاعف ح م ه نـ ع و ر غف تـ اس م هل م ه ر او ش و ر يف ا األم ذ ت فإ م ز ع كل و تـ ى فـ ل ه ع إن الل ه ب الل حي

ني كل و تـ ﴾١٥٩﴿ الم Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran/3:159)

رب ى فاص ل ا ع م ولون ق يـ بح س و د م بك حب ر ل ب وع قـ ل ط س الشم ل ب قـ وب و الغر

Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam (nya). (Q.S. Qaaf/50: 39)