Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi...

146
Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

Transcript of Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi...

Page 1: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang:

Dari Riset Menuju Konservasi

Page 2: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 3: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang:

Dari Riset Menuju Konservasi

Penerbit IPB PressJalan Taman Kencana No. 3,

Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2019

Penulis: Wanda Kuswanda

Rozza Tri KwatrinaSriyanti P. BarusEndang KarlinaDones Rinaldi

Pratiara

Editor: Prof. (Ris.) Dr. M. Bismark

Prof. (Ris.) Dr. R. Garsetiasih

Page 4: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Judul Buku:Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

Penulis: Wanda KuswandaRozza Tri KwatrinaSriyanti P. BarusEndang KarlinaDones RinaldiPratiara

Editor: Prof. (Ris.) Dr. M. Bismark Prof. (Ris.) Dr. R. Garsetiasih

Desain Sampul & Penata Isi:Drh. Pujo Setio, M.Si Andreas Levi AladinPratama Desriwan

Jumlah Halaman: 128 + 18 halaman romawi

Edisi/Cetakan:Cetakan 1, Desember 2019

PT Penerbit IPB PressAnggota IKAPIJalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected]

ISBN: 978-602-440-992-0

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - IndonesiaIsi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANGDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

Page 5: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

KATA PENGANTAR PENULIS

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin-Nya sehingga penyusunan Buku “Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi“ dapat kami selesaikan. Buku ini disusun atas dasar keinginan penulis untuk melakukan diseminasi hasil-hasil riset tentang siamang yang belum banyak terpublikasi. Buku ini berisikan berbagai informasi dasar tentang bioekologi siamang, karakteristik habitat, populasi, jenis pakan dan daya dukung, ancaman fragmentasi habitat, hingga strategi konservasi dan pengembangan pemanfaatan siamang (ekowisata, pendidikan dan penelitian).

Konservasi siamang saat ini belum menjadi prioritas para pihak walaupun siamang telah tergolong sebagai satwa terancam punah. Untuk itu, penulisan buku ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan pengambilan kebijakan dan mendorong para pihak untuk mengembangkan strategi dan rencana aksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera.

Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam penyusunannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

Kepala Badan Litbang dan Inovasi yang telah berkenan memberikan 1. sambutan dan bimbingan dalam penyelesaian buku ini.

Kepala Balai Litbang LHK Aek Nauli yang terus memberikan dorongan, 2. motivasi serta sambutan pada buku ini.

Pihak Balai Besar KSDAE Sumatera Utara beserta staf di lapangan yang 3. telah bekerjasama dalam pengambilan data di Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok.

Page 6: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

vi

Para narasumber, pejabat struktural dan peneliti lingkup Badan 4. Penelitian, Pengembangan dan Inovasi.

Masyarakat di sekitar lokasi penelitian yang telah membantu dan 5. mendampingi selama penelitian.

Penelaah ilmiah (Prof. (Ris.) Dr. M. Bismark dan Prof. (Ris.) Dr. R. 6. Garsetiasih), kontributor data dan rekan kerja di Balai Litbang LHK Aek Nauli.

Keluarga (Suami/Istri dan anak-anak) dan para kolega penulis yang 7. telah memberikan doa dan dukungannya serta semua pihak yang telah membantu sampai terselesaikannya buku ini.

Buku ini kami sadari masih jauh dari kata ‘sempurna’ dan membutuhkan masukan lebih lanjut dari berbagai pihak. Penulis berharap kepada semua pihak akan berkenan memberikan saran dan kritikan yang membangun sehingga dapat menyempurnakan isi buku ini pada masa yang akan datang. Penulis tetap optimis dan berharap buku ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam mewujudkan konservasi siamang di Pulau Sumatera.

Aek Nauli, Desember 2019

Penulis

Page 7: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

SAMBUTANKEPALA BALAI LITBANG LHK AEK NAULI

Program konservasi satwaliar saat ini semakin menghadapi tantangan besar dengan masih masifnya pemanfatan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, perambahan habitat serta perdagangan satwa illegal. Berkurangnya tutupan telah berdampak terhadap menurunnya populasi satwaliar dan keseimbangan ekosistem. Disisi lain, program konservasi juga belum dapat optimal karena masih sedikitnya rujukan kebijakan berdasarkan hasil kajian ilmiah yang konprehensif (menyeluruh dan mendalam).

Beragam jenis satwaliar yang menjadi kekayaan dan kebanggaan bangsa Indonesia sudah berada diambang kepunahan, salah satunya adalah siamang yang merupakan satwa endemik Pulau Sumatera. Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) telah menjadi jenis satwa langka yang terancam kelestariannya sehingga upaya konservasinya perlu ditingkatkan melalui peranserta pemerintah dan semua lapisan masyarakat.

Untuk mengimplementasikan program konservasi siamang yang tepat dan berhasil tentunya sangat diperlukan berbagai informasi seperti bio ekologi, sebaran dan potensi ancaman terhadap populasinya. Begitu juga, dalam mendukung dan mengembangkan upaya konservasi dan pemanfaatan siamang berkelanjutan, maka penyediaan data dan informasi dasar mengenai siamang sangat penting dan mendesak untuk dipublikasikan.

Buku ini telah disusun dengan menyajikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti Badan Litbang dan Inovasi yang tentunya dapat dijadikan acuan untuk menyusun strategi konservasi siamang, baik oleh Pemerintah maupun instansi lainnya. Isi buku ini sangat inovatif dan mudah dipahami serta telah dilengkapi rekomendasi startegi yang dapat diaplikasikan oleh semua pihak.

Page 8: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

viii

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para penulis yang telah bekerja dengan penuh dedikasi, para editor, dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian buku ini. Besar harapan kami, buku ini dapat menjadi rujukan para pihak serta dapat digunakan menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan pemahaman dan peranserta masyarakat dalam mendukung upaya konservasi satwaliar terancam punah, khususnya siamang.

Aek Nauli, Desember 2019 Kepala Balai,

Pratiara, S.Hut., M.Si

Page 9: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

SAMBUTANKEPALA BADAN PENELITIAN,

PENGEMBANGAN DAN INOVASI

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

DAN KEHUTANAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas dengan kekayaan tumbuhan dan satwa liar yang tinggi, sehingga menjadi perhatian masyarakat dunia. Hutan tropis Indonesia tersebar di berbagai pulau mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Dengan keunikan biogeografisnya, Indonesia dikenal memiliki endemisitas jenis fauna yang sangat tinggi sehingga rawan terhadap kepunahan apabila tidak dikelola secara tepat.

Karunia beragam jenis fauna yang terdapat di Indonesia tentunya dapat menjadi tantangan bagi para peneliti untuk menyajikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan bahan kebijakan pemerintah, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) adalah salah satu satwa liar dari kelompok primata Indonesia yang hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan sampai saat ini informasinya masih sangat terbatas.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, siamang ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi. Hal ini bermakna, siamang telah menjadi jenis satwa yang

Page 10: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

x

terancam kelestariannya sehingga Pemerintah Indonesia beserta para pihak perlu memprioritaskan upaya konservasinya.

Hutan tropis dan kehatinya adalah kekayaan bangsa Indonesia sekaligus modal pembangunan. Alih fungsi hutan dalam proses pembangunan untuk pengembangan infrastruktur, permukiman, lahan pertanian dan perkebunan adalah bagian tidak terelakkan dari pembangunan itu sendiri. Sebagai satwa Primata yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan, kondisi ini cukup rentan bagi siamang sehingga perlu menjadi perhatian para pihak dalam merencanakan pembangunan yang berkelanjutan agar tidak terjadi fragmentasi hutan secara masif terhadap habitat siamang. Kondisi saat ini dimana sebagian besar habitat siamang semakin sempit dan terdesak hanya pada kawasan konservasi yang terbatas, berpotensi meningkatkan konflik dengan manusia seperti yang sudah terjadi pada jenis satwa lainnya, seperti harimau sumatera dan orangutan. Fenomena ini tentunya akan mengakibatkan populasi siamang semakin terancam, sehingga membutuhkan dukungan upaya konservasi dari semua pihak.

Buku ini telah menyajikan beragam informasi dan rekomendasi konservasi siamang yang disajikan dalam bahasa ilmiah semipopuler sehingga menarik dan mudah untuk dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Pada akhirnya, saya memberikan apresiasi yang tinggi dan ucapan terima kasih kepada para penulis yang telah menyusun buku ini sebagai bagian dari hasil kerja para peneliti dengan minat dan latar belakang kepakaran yang sama di bidang konservasi. Kehadiran buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak sehingga konservasi siamang dapat berhasil dan berdayaguna untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.

Bogor , Desember 2019

Kepala Badan Litbang dan Inovasi,

Dr. Agus Justianto

Page 11: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR PENULIS ............................................................. v

SAMBUTANKEPALA BALAI LITBANG LHK AEK NAULI ................................... vii

SAMBUTANKEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN ..... ix

DAFTAR ISI ..............................................................................................

DAFTAR TABEL .......................................................................................

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................1

A. Kehati Satwaliar dan Pembangunan ..................................1

B. Konservasi Siamang Sudah Mendesak ................................3

C. Riset Bioekologi Siamang di Sumatera Utara .....................5

BAB II. LINGKUNGAN HABITAT SIAMANG ...............................7

A. Hutan Konservasi Cagar Alam Dolok Sipirok ....................7

B. KHDTK Aek Nauli .........................................................11

BAB III. SISTEMATIKA DAN MORFOLOGI SIAMANG..............15

A. Taksonomi Siamang .......................................................15

B. Sebaran Siamang..............................................................16

C. Morfologi Siamang .........................................................18

Page 12: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

xii

BAB IV. BIOEKOLOGI DAN KARAKTERISTIK HABITAT .........23

A. Bioekologi .......................................................................23

B. Lansekap Sebaran Habitat ...............................................27

C. Struktur Vegetasi Habitat .................................................30

D. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan ..................................40

BAB V. POPULASI ..........................................................................47

A. Kepadatan Populasi .........................................................48

B. Struktur Umur dan Sex Rasio .........................................55

C. Life Table dan Parameter Demografi .................................56

D. Model Pertumbuhan Populasi ..........................................60

BAB VI. SUMBER PAKAN DAN DAYA DUKUNG ......................63

A. Jenis Tumbuhan Pakan ....................................................63

B. Produktivitas Tumbuhan Pakan Daun Siamang ...............68

C. Produktivitas Tumbuhan Pakan Buah Siamang ................73

D. Tingkat Konsumsi Pakan .................................................76

E. Daya Dukung Habitat .....................................................77

BAB VII. ANCAMAN FRAGMENTASI HABITAT SIAMANG ........81

A. Pembukaan Lahan Budidaya ............................................82

B. Penebangan Liar ..............................................................85

C. Kebakaran Hutan dan Lahan ...........................................87

D. Pengembangan Infrastruktur ...........................................88

Page 13: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

xiii

Daftar Isi

BAB VIII. STRATEGI KONSERVASI SIAMANG ...............................89

A. Optimalisasi Upaya Pelestarian Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok .........................................................91

B. Pengembangan Konservasi Siamang di Luar CA. Dolok Sipirok ..................................................................96

C. Peningkatan Program Rehabilitasi .................................100

D. Pemilihan Jenis Tanaman untuk Restorasi Habitat .........100

E. Pengkayaan Tumbuhan Pakan dan Pohon Sarang ..........101

F. Membangun Koridor Sebagai Habitat Tambahan Bagi Siamang .................................................................101

G. Pelibatan dan Pemberdayaan SDM Pada Kelembagaan Terkait ...........................................................................102

H. Menggalang Alternatif Dana bagi Konservasi .................103

I. Pengembangan Ekowisata Siamang ................................104

BAB IX. PENUTUP .........................................................................111

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................113

RIWAYAT HIDUP PENULIS .............................................................125

Page 14: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 15: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan di CADS ...................31

Tabel 2. Karakteristik tumbuhan pada tiga status kawasan hutan di sekitar CADS ....................................................................32

Tabel 3. Indeks nilai penting vegetasi tertinggi pada lokasi sebaran siamang di KHDTK Aek Nauli .............................................35

Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis tumbuhan ..............................................................................44

Tabel 5. Sebaran populasi siamang di KHDTK Aek Nauli ..................50

Tabel 5. Dugaan kepadatan kelompok siamang pada beberapa tempat di Sumatera ...............................................................53

Tabel 6. Jenis tumbuhan sumber pakan siamang berdasarkan famili ...63

Tabel 7. Jenis tumbuhan pakan siamang dan bagian yang dimakan .....65

Tabel 8. Karakteristik dan hasil analisis produktivitas daun tumbuhan pakan siamang di CADS ........................................................69

Tabel 9. Hasil analisis biomassa dan produktivitas buah tumbuhan pakan siamang .................................................................................73

Page 16: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 17: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok ............................9

Gambar 2. Orangutan tapanuli salah satu satwa di CA. Dolok Sipirok ........................................................10

Gambar 3. Peta Kawasan dan topografi di KHDTK Aek Nauli ...........13

Gambar 4. H. agilis pada habitat siamang ............................................18

Gambar 5. Siamang jantan dan betina dewasa .....................................19

Gambar 6. Siamang yang menggendong bayinya .................................21

Gambar 7. Siamang yang sedang beristirahat .......................................24

Gambar 8. Pergerakan siamang dengan bergelantung di tajuk pohon ................................................................................25

Gambar 9. Sebaran lokasi pembuatan demplot vegetasi habitat siamang ............................................................................29

Gambar 10. Famili tumbuhan pada habitat siamang di KHDTK Aek Nauli ..........................................................................30

Gambar 11. Komposisi tumbuhan pada hutan lindung .........................33

Gambar 12. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya ....................................................................41

Gambar 13. Indeks kelimpahan jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya ....................................................................42

Page 18: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

xviii

Gambar 14. Indeks kemerataan jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya ....................................................................43

Gambar 15. Peta sebaran siamang di KHDTK Aek Nauli ....................51

Gambar 16. Gambaran distribusi proporsi umur per tahun ...................56

Gambar 17. Grafik pertumbuhan populasi siamang ..............................62

Gambar 18. Dampak Pembakaran Lahan .............................................84

Gambar 19. Tunggak dan lokasi pengolahan kayu penebangan liar .......86

Gambar 20. Siamang dan bentuk ancaman kerusakan habitatnya ..........90

Gambar 21. Kondisi batas dan jenis pakan yang perlu dipantau ............94

Gambar 22. Hutan produksi yang masih utuh dan sisa penebangan ......97

Gambar 23. Jalur untuk wisata ilmiah siamang di dalam KHDTK Aek Nauli ........................................................................107

Gambar 24. Atraksi siamang dan beruk dengan pengunjung ...............108

Page 19: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB I.PENDAHULUAN

Kehati Satwaliar dan Pembangunan A. Hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati (kehati) tumbuhan dan satwaliar yang tinggi merupakan salah satu karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Letak Indonesia di wilayah khatulistiwa dengan segala keunikannya, merupakan tempat bagi ribuan sumber kekayaan hayati yang bisa jadi tidak dijumpai di wilayah lain di dunia. Sebagai sebuah anugerah, hutan dengan segala isi di dalamnya mesti dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga memberikan sebesar-besar manfaat bagi kemakmuran rakyat, tidak saja generasi saat ini namun juga generasi yang akan datang.

Hutan telah dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung sejak peradaban manusia ada hingga kehidupan modern saat ini dan telah memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia. Secara langsung, hutan adalah penyedia sumber kayu, satwa, obat-obatan dan hasil tambang. Secara tidak langsung, hutan dapat berperan sebagai penyedia jasa lingkungan, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi dan penghasil oksigen. Dengan segala manfaat tersebut, sumberdaya hutan telah menjadi modal dasar pembangunan nasional dan sumber devisa negara dengan dampak yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia.

Satwaliar memiliki nilai strategis dalam keanekaragaman hayati Indonesia yang kehidupannya sangat bergantung dengan kondisi hutan. Keberadaan satwaliar mempunyai fungsi dan peranan sangat penting sebagai penyeimbang ekosistem alam maupun bagi kehidupan manusia. Secara ekologis, satwaliar

Page 20: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

2

adalah bagian dari ekosistem dan sangat membantu regenerasi pohon secara alami terutama pada kawasan hutan. Secara ekonomi dan sosial, masyarakat Indonesia telah memanfaatkan lebih dari 1.000 jenis satwa untuk berbagai kebutuhan, seperti kebutuhan pangan (nutrisi), obat obatan, binatang peliharaan, maupun budidaya dan jasa lingkungan kehati. Bahkan beberapa jenis satwaliar sudah berhasil didomestikasi dan dibudidayakan sebagai sumber protein (Indrawan et al., 2012).

Pemanfaatan satwaliar juga diketahui telah memberikan andil yang cukup besar dalam mendukung pembangunan dan perekonomian di Indonesia. Walaupun kontribusi ekonomi tersebut masih relatif lebih kecil dari sektor lainnya, namun pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar ikut menyumbang pendapatan terhadap negara. Pada 2014, nilai ekspor tumbuhan dan satwa liar sebesar Rp 743 juta, tahun 2015 sebesar Rp 5,3 triliun, tahun 2016 meningkat menjadi Rp 6,5 triliun, dan tahun 2017 sebesar Rp 8,3 triliun. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pemanfaatan jenis TSL tahun 2014 sebesar Rp 8,4 miliar, tahun 2015 sebesar Rp 8,6 miliar, dan tahun 2016 meningkat menjadi Rp 9,5 miliar, dan tahun 2017 sebesar Rp 24,7 miliar (Exploitasia, 2018).

Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk maka tingkat kebutuhan terhadap sumberdaya hutan juga semakin tinggi. Hal ini mendorong manusia, baik secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan (Nawir et al., 2008). Eksploitasi hasil hutan terutama kayu secara legal (ijin HPH) maupun ilegal seperti melakukan pembalakan liar, perambahan, pencurian mengakibatkan degradasi dan kerusakan hutan di Indonesia serta berkurangnya habitat satwa tertentu. Nawir et al (2008) menyebutkan bahwa kerusakan hutan Indonesia periode 1985-1997 mencapai 1,6 juta ha/tahun, periode 1997-2000 mencapai rata-rata sebesar 3,8 juta ha/tahun dan periode 2000-2005 mencapai 1,1 juta ha/tahun.

Kompas (2016) menginformasikan bahwa sejak 2010 sampai 2015, Indonesia menempati urutan kedua tertinggi kehilangan luas hutannya, yang mencapai 684.000 hektar tiap tahunnya dari total luas hutan saat ini

Page 21: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

3

Bab I. Pendahuluan

mencapai 124 juta hektar. Di Pulau Sumatera, alih fungsi hutan dan lahan untuk pembangunan dan berkembangnya perkebunan karet dan sawit sejak tahun 1990-an, juga mengakibatkan terjadinya fragmentasi hutan cukup luas, baik yang dilakukan oleh perusahaan secara legal maupun ilegal (Nawir et al., 2008). Sebagai contoh, dalam rentang tahun 2013-2016 telah terjadi deforestasi seluas 718 ribu hektare di Sumatera Utara (Forest Watch Indonesia, 2018). Sebelumnya Tacconi (2003) menguraikan beberapa faktor penyebab berkurangnya hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi selama periode 1985-1997 yang diakibatkan dari aktivitas perkebunan (14%), kebakaran hutan (10%), investor kecil (10%), dan petani pelopor (7%).

Walaupun perubahan hutan menjadi nonhutan adalah konsekuensi tidak terelakkan dari proses pembangunan, namun perubahan vegetasi pada habitat satwaliar menjadi perkebunan, pemukiman dan sarana bagi kehidupan manusia, berdampak terhadap daya adaptasi beberapa kelompok satwa yang tergantung pada hutan, seperti pada kelompok Primata. Satwa dari kelompok Primata sebagian dikenal sebagai satwa yang tergantung pada keberadaan hutan karena mereka merupakan satwa arboreal yang banyak hidup dan mencari makan pada tajuk pohon (Chivers, 1977). Salah satu satwa yang terdampak akibat perubahan vegetasi hutan adalah siamang.

Konservasi Siamang Sudah MendesakB. Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) adalah salah satu jenis Primata dari kelompok Hylobatidae. Di Indonesia sebaran siamang hanya terdapat di Pulau Sumatera, sedangkan di luar wilayah Indonesia, populasi siamang hanya ditemukan di Semenanjung Malaysia dan sedikit di wilayah Thailand. Siamang hidup secara alami di hutan sebagai satwa arboreal yang sebagian besar hidup dan beraktivitas pada tajuk pepohonan (Nijman & Geissman, 2008).

Ancaman utama terhadap populasi siamang adalah penurunan kondisi habitat akibat konversi hutan dan perburuan satwaliar untuk perdagangan satwa (Nijman & Geissman, 2008). Degradasi dan kerusakan hutan hujan

Page 22: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

4

tropika telah menyebabkan penurunan habitat siamang. Akibatnya, populasi siamang sebagian besar terisolasi pada area dengan kondisi daya dukung yang sangat terbatas. Habitat utama yang mendukung kehidupan siamang umumnya hanya tersisa pada hutan-hutan yang statusnya sebagai hutan konservasi yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya seperti taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa. Dalam perdagangan satwa, siamang tergolong pada Appendix 1 berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang berarti spesies ini jumahnya sudah sangat sedikit di alam sehingga perdagangannya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Populasi siamang diperkirakan telah berkurang selama kurun waktu 40 tahun terakhir.

Kondisi tersebut menempatkan siamang sebagai satwa yang terancam kelestariannya. Siamang tercatat sebagai satwa Endangered atau terancam punah menururut Red List International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Di Indonesia, dalam skema konservasi secara luas, Pemerintah memberikan dukungan kebijakan yang mengatur sejak masa kolonial Belanda dalam Peraturan Perlindungan Binatang-binatang Liar Tahun 1931, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa liar dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 mengenai jenis tumbuhan dan satwa dilindungi.

Tindakan konservasi yang sangat mendesak bagi siamang saat ini adalah penyelamatan habitat (Nijman and Geissman, 2008). Namun demikian, upaya konservasi siamang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian banyak pihak. Siamang masih dianggap sebagai satwa yang belum prioritas untuk dikonservasi. Hal ini berbeda dengan perhatian terhadap

Page 23: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

5

Bab I. Pendahuluan

jenis Hylobates lainnya, seperti owa (Hylobathes moloch) di Pulau Jawa. Konservasi owa jawa terus berkembang dan telah mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun berbagai swadaya masyarakat. Panduan strategi Rencana dan Aksi owa jawa juga telah ditetapkan oleh Pemerintah Tahun 2016-2026 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.57/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016.

Upaya rencana dan aksi konservasi siamang perlu segara disusun sehingga para pihak dapat berperan serta dalam perlindungan siamang, pada habitat alaminya atau yang berada di bawah pemeliharaan manusia. Walaupun siamang bisa hidup simpatrik dengan primata lainnya, namun perlindungan siamang sudah mendesak dan perlu menjadi prioritas karena populasinya semakin menurun.

Riset Bioekologi Siamang di Sumatera C. Utara

Keberhasilan upaya konservasi salah satunya ditentukan oleh seberapa besar pemahaman dan landasan ilmiah mengenai suatu spesies. Untuk itu, penyediaan data dan informasi mengenai bioekologi siamang sangat penting untuk mendukung program konservasi, terutama bagi kawasan konservasi dan kawasan lindung di luar kawasan konservasi. Konservasi siamang belum banyak dilakukan oleh para pihak, salah satunya disebabkan sangat terbatasnya riset yang mendukung. Di antara kelompok gibbon lainnya, informasi mengenai siamang saat ini termasuk dalam kategori NRA (No Recent population estimate Available), artinya belum ada informasi terbaru tentang siamang, karena informasi mengenai dugaan yang lebih dari 20 tahun tidak termasuk dalam penilaian (Nijman dan Geissman, 2008).

Penelitian terkait siamang yang dapat dijadikan bahan informasi dan acuan kebijakan untuk merumuskan teknik konservasi secara in-situ maupun eks-situ masih sangat terbatas. Berbagai penelitian yang dipublikasikan terkait dengan bio ekologi siamang diantaranya adalah Chivers (1977),

Page 24: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

6

Palombit (1997), Nijman dan Geissman (2008) dan beberapa penelitian untuk penulisan thesis dan skripsi. Publikasi terkait siamang juga masih sangat rendah sehingga ada kesulitan untuk mendapatkan literatur terkait satwa ini.

Salah satu program penelitian siamang secara periodik telah dilakukan oleh Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli dengan wilayah penelitian di Pulau Sumatera bagian Utara, mulai dari tahun 2010-2014 dengan fokus lokasi di Cagar Alam Dolok Sipirok, Blok Hutan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pada tahun 2018 penelitian siamang dilanjutkan kembali untuk mendukung pengembangan program ekowisata di KHDTK Aek Nauli, Danau Toba. Buku ini disusun berdasarkan rangkaian hasil penelitian tersebut, sebagai bentuk diseminasikan hasil-hasil penelitian dan media penyebarluasan informasi mengenai bioekologi siamang yang telah dilakukan oleh Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Buku ini terdiri dari sembilan bab yang memuat informasi bioekologi siamang yang saling berkaitan meliputi, karakteristik populasi dan parameter demografinya, karakteristik habitat siamang, ancaman fragmentasi habitat, strategi konservasi sampai model pengelolaan jasa lingkungan kehati satwa siamang. Hasil-hasil riset yang disajikan merupakan informasi penting sebagai sumber referensi, bahan pertimbangan, dan acuan awal para pihak dalam pengelolaan populasi dan untuk menyusun rencana dan aksi konservasi siamang.

Page 25: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB II.LINGKUNGAN HABITAT

SIAMANG

Bioekologi siamang dalam rangkaian hasil penelitian yang dituangkan dalam Bab ini merupakan populasi siamang yang hidup pada habitat hutan dengan status hutan konservasi (Cagar Alam Dolok Sipirok) dan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Aek Nauli sebagai kawasan hutan yang dapat dijadikan sebagai lokasi untuk mengembangkan konservasi dan pemanfaatan siamang yang berkelanjutan. Kedua lokasi memiliki hutan dengan tutupan vegetasi lebih dari 60%, dengan tipe tutupan lahan hutan primer maupun hutan sekunder sehingga dapat menjadi referensi untuk pengembangan konservasi siamang.

Hutan Konservasi Cagar Alam Dolok A. Sipirok

Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok merupakan bagian dari gugusan kawasan hutan Batang Toru yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kawasan Batang Toru merupakan kawasan yang sangat penting karena memiliki keanekaragaman hayati dan nilai jasa lingkungan yang tinggi. Kawasan ini merupakan habitat bagi beragam jenis flora dan fauna dan sekaligus sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat Tapanuli dan Provinsi Sumatera Utara pada umumnya. Kawasan Batang Toru memiliki beragam tipe ekosistem yang masih asli, relatif utuh, dan merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (300 meter dpl), hutan batuan gamping (limestone), hutan pegunungan rendah

Page 26: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

8

sampai hutan pegunungan tinggi (Kuswanda, 2014). Kawasan hutan seluas kurang lebih 140.000 hektar pada lansekap Batang Toru ini masih memiliki hutan alam primer dan sekunder (Perbatakusuma et al., 2006).

Secara administratif Kawasan Batang Toru termasuk ke dalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan sebagian Tapanuli Utara. Secara fisik geografis, wilayah yang terletak antara 98˚.50’ – 99˚.20’ BT dan 1˚.30’ – 2˚.00 LU ini, berada pada ketinggian mulai dari 50 meter di atas permukaan laut (m dpl) di Sungai Sipan Sihaporas (dekat Kota Sibolga), sampai dengan 1.875 mdpl (puncak gunung Lubuk Raya). Secara umum wilayahnya memiliki kelerengan antara 16% sampai dengan lebih dari 60%, bentuk medan didominasi dengan topografi yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga mempunyai keunikan fenomena geologi berupa sumber-sumber air panas dan geotermal, juga sumber mineral emas dan perak (Perbatakusuma et al., 2006; Kuswanda, 2011).

Kawasan Cagar Alam (CA) Dolok Sipirok ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 226/Kpts/Um/14/1982, tanggal 8 April 1982 dengan luas keseluruhan mencapai 6.970.00 ha. Wilayah ini dapat dicapai dengan kendaraan melalui route : Medan-Tarutung dan Sipirok lebih kurang 350 km atau sekitar 7-8 jam perjalanan. Hutannya dapat dikategorikan menjadi dua sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis-Bakongan yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000 sampai 1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut (Perbatakusuma et al., 2006).

Siamang di kawasan CA. Dolok Sipirok tersebar di seluruh kawasan, terutama pada tutupan lahan hutan primer dan sekunder dengan ketinggian 600-1.200 meter dpl. Berdasarkan peta tutupan lahan, habitat siamang dapat dijumpai pada hutan primer di ketinggian di atas 900-1.200 meter dpl seluas 5.335 ha, sedangkan pada ketinggian 600-900 meter dpl terdapat

Page 27: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

9

Bab II. Lingkungan Habitat Siamang

sekitar 845 ha hutan primer dan sekitar 420 ha hutan sekunder (HS). Selain itu, siamang juga sering ditemukan pada beberapa tipe lahan kebun campur (agroforestri) untuk mencari makan.

Gambar 1. Peta Kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok (Kuswanda, 2011)

Kondisi vegetasi di CA. Sipirok relatif rapat dan banyak dijumpai pohon-pohon yang berdiameter di atas 30 cm. Kelompok flora yang mendominasi diantaranya dari Famili Dipterocarpaceae, Fagaceae, Moraceae, Myrtaceae, Anacardiaceae dan Euphorbiaceae. Jenis tumbuhan yang mendominasi adalah hau dolok (Syzygium sp.), hoteng (Quercus sp) dan mayang (Palaquium sp.). Pada strata dua banyak dijumpai anakan pohon dan perdu yang rapat serta tumbuhan berbunga dan anggrek hutan (Balai KSDA Sumatera

Page 28: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

10

Utara II, 2002; Perbatakusuma et al., 2006). Siamang sering ditemukan menggunakan pohon-pohon tersebut untuk bergerak, mencari makan dan melakukan aktivitas sosial.

Selain siamang, di kawasan CA. Dolok Sipirok juga terdapat jenis-jenis satwa langka, endemik dan dilindungi diantaranya, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), ungko (Hylobates agilis), kambing hutan Sumatera (Naemorhedus sumatrensis sumatrensis), dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Selain itu, kawasan ini juga merupakan habitat beragam jenis burung seperti rangkong dan ikan jurung yang merupakan ikan budaya masyarakat Tapanuli.

Gambar 2. Orangutan tapanuli salah satu satwa di CA. Dolok Sipirok

Di sekitar CA. Dolok Sipirok tinggal masyarakat yang didominasi oleh suku batak Tapanuli dan hanya sebagian kecil yang berasal dari keturunan suku jawa, padang dan daerah lainnya. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani, peladang, dan pembuat gula aren. Mereka juga melakukan budidaya. Jenis tanaman yang dibudidayakan diantaranya padi, kayu manis

Page 29: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

11

Bab II. Lingkungan Habitat Siamang

(Cinammomum burmanii Nees & Th. Nees), kopi (Coffea arabica L.), karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg), salak (Salacca edulis Reinw) dan coklat (Theobroma cacao L). Sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya umumnya masih rendah, sarana kesehatan dan ekonomi seperti pasar juga masih minim (Kuswanda, 2011). Daerah penyangga CA. Dolok Sipirok yang sebagian berupa lahan garapan masyarakat, merupakan bagian dari habitat siamang di hutan Batangtoru. Siamang mengunjungi lahan garapan untuk mengambil buah aren atau jenis tanaman Ficus sp. yang banyak tumbuh di kebun masyarakat.

KHDTK Aek NauliB. Pemerintah Indonesia menetapkan kawasan hutan berdasarkan fungsi pokok yang meliputi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Selain itu, pemerintah juga dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus (KHDTK) yang diperlukan untuk kepentingan umum penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya dengan tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan tersebut (Departemen Kehutanan, 1999). Salah satu institusi yang diberi kewenangan untuk KHDTK adalah Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Penunjukan KHDTK salah satunya merupakan wujud pemenuhan fungsi khusus kawasan hutan sebagai wahana penelitian dan pengembangan IPTEK untuk dapat berkembang secara dinamis. Pemanfaatan KHDTK untuk litbang kehutanan dapat meliputi kegiatan penelitian dasar, penelitian terapan, penerapan dan pengembangan alih teknologi melalui diklat, wisata ilmiah, penyuluhan, dan/atau penerapan dan pengembangan iptek dalam bentuk demplot. Beragam kegiatan dan rencana pengelolaan KHDTK kedepannya harus memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat sehingga akan tercipta dukungan dan partisipasi secara mandiri (Kuswanda dan Pratiara, 2017).

Page 30: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

12

Secara administratif pemerintahan, KHDTK Aek Nauli termasuk ke dalam wilayah Desa Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan sejarah fungsi hutan, KHDTK Aek Nauli berasal dari Hutan Lindung Sibatuloteng. KHDTK Aek Nauli berfungsi sebagai wilayah tangkapan air bagi kawasan di bawahnya termasuk kawasan wisata Danau Toba. Wilayah ini merupakan habitat dari berbagai jenis tumbuhan dan satwaliar yang dilindungi, dan sekaligus sebagai kawasan ekowisata.

KHDTK Aek Nauli telah ditunjuk sebagai salah satu KHDTK yang dikelola oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehuatanan Aek Nauli (BP2LKH Aek Nauli) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut-II/2005, tanggal 7 Pebruari 2005 dengan luas 1.900 Ha. Secara geografis KHDTK Aek Nauli terletak diantara 2˚41’ – 2˚44’ LU dan 98˚57’ – 98˚58’ BT (Kuswanda dan Pratiara, 2017). Kawasan ini sangat mudah untuk dikunjungi karena berada di pinggir jalan negara yang menuju Kawasan Danau Toba. Kunjungan ke kawasan dapat ditempuh dengan dua rute utama. Rute pertama adalah dari Medan (Bandara Kuala Namu di Deli Serdang) – Pematangsiantar – Parapat dengan jalan darat sepanjang lebih kurang 154 km menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dengan lama perjalanan sekitar 4 – 5 jam. Kawasan ini tepatnya berada sekitar 10 km sebelum Kota Parapat (Danau Toba) sehingga memiliki posisi yang sangat strategis karena merupakan lintasan utama menuju kawasan pariwisata tersebut.

Secara fisik, KHDTK Aek Nauli berada di daerah pegunungan pada ketinggian sekitar 1.000 – 1.750 meter dari permukaan laut dengan kelerengan bergelombang antara 3 – 65 % (rata-rata antara 25-40%). Kawasan ini berada pada pinggir Kaldera Toba yang terbentuk dari letusan Supervolcano Toba sekitar 75 k BP sehingga memiliki kondisi topografi yang umumnya perbukitan dan pegunungan dengan kondisi geologis yang labil dan mempunyai tingkat kerawanan erosi tanah sangat tinggi. Kawasan dan tofografi di KHDTK Aek Nauli disajikan pada Peta Kelas Ketinggian seperti pada Gambar 3.

Page 31: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

13

Bab II. Lingkungan Habitat Siamang

Gambar 3. Peta Kawasan dan topografi di KHDTK Aek Nauli

Dari aspek klimatologi, KHDTK Aek Nauli memiliki curah hujan bulanan rata-rata sebesar 206,5 mm dan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2452 mm dengan jumlah hari hujan sekitar 151 hari/tahun. Suhu maksimum bulanan berkisar antara 21,1 – 25˚C dengan kisaran suhu minimum antara 15,8 – 17,8˚C. Kelembaban relatif maksimum dan minimum bulanan rata-rata berkisar antara 67,5%-85,6% dan 49,6%- 73,9%. Pada kondisi musim hujan kelembaban udara dapat mencapai 100%.

Kekayaan kehati di KHDTK Aek Nauli cukup tinggi. Kuswanda et al. (2018), menyatakan bahwa di KHDTK Aek Nauli sedikitnya telah teridentifikasi 90 jenis pohon dan 27 jenis anggrek. Jenis yang mendominasi diantaranya Simartolu (Schima wallichii (DC.) Korth.), Medang (Litsea brachystachys (Laur.) L.), Hoting (Q. gemelliflora atau Q.gmelliflora.) kemenyan (Styrax paralleloneurus Perking) dan jenis jambu-jambuan (Syzygium sp.). Beragam jenis mamalia teridentifikasi, diantaranya Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (M. nemestrina), Siamang (Symphalangus syndactylus), Kijang (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa), dan Rusa (Rusa unicolor). Selain itu juga diketahui keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris

Page 32: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

14

sumatrae) dan beruang madu (Helarctos malayanus). Jenis-jenis burung yang banyak dijumpai diantaranya adalah Kucica hutan (Copsychus malabaricus), Tekukur (Streptopelia chinensis), dan Kutilang (Pycnonotus aurigaster).

Melihat potensi kawasan yang cukup tinggi, maka pengelolaan KHDTK Aek Nauli sesuai dengan fungsi lindung diharapkan mampu memadukan kepentingan perlindungan hutan dan pemanfaatan melalui penelitian dan pengembangan serta wisata ilmiah. Pengelolaan KHDTK Aek Nauli tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip konservasi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata secara berkelanjutan sesuai dengan potensi yang ada dan dikelola secara optimal. Pengembangan riset maupun ketersediaan sarana pendukung harus terus ditingkatkan untuk memberikan acuan strategi dan pengembangan sumber daya alam yang terdapat di KHDTK Aek Nauli lebih bernilai guna bagi masyarakat ilmiah maupun masyarakat lain pada umumnya.

Saat ini, KHDTK Aek Nauli telah menjadi bagian dari destinasi wisata sekitar Danau Toba. Prinsip dasar dalam manajemen aktivitas wisata alam di KHDTK Aek Nauli akan menjamin kelestarian fungsi hutan secara terpadu baik dilihat dari fungsi ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Manajemen aktivitas wisata ilmiah di KHDTK Aek Nauli dikembangkan dengan prinsip edutaiment. Pengembangan prinsip edutaiment yang memiliki fungsi penting sebagai wahana pendidikan sekaligus pertunjukkan dan/atau peragaan wisata bagi kepuasan pengunjung (wisatawan), sangat penting untuk mendukung wisata ilmiah yang memberikan kesan positif dan pengetahuan kepada pengunjung (Kuswanda dan Pratiara, 2017).

Sekitar 60% dari wilayah KHDTK Aek Nauli masih merupakan hutan primer dan sekunder yang menjadi salah satu habitat yang tersisa bagi siamang di sekitar Danau Toba. Keberadaan siamang di sekitar Danau Toba dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata yang menarik sebagai pendukung pariwisata di Danau Toba. Kondisi hutan Aek Nauli yang alami serta sebagai lokasi kegiatan penelitian dan pengembangan tentunya dapat menyajikan model dan paket wisata siamang yang menarik dan memiliki nilai yang kompetitif dibanding lokasi lainnya di sekitar Danau Toba.

Page 33: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB III.SISTEMATIKA DAN MORFOLOGI

SIAMANG

Taksonomi Siamang A. Siamang adalah sebutan nama lokal untuk wilayah Indonesia pada umumnya. Di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Tapanuli Selatan, siamang lebih dikenal dengan nama “imboh”. Siamang sumatera memiliki nama ilmiah Symphalangus syndactylus. Secara taksonomi, siamang memiliki klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1985) :

Filum : Chordata

Sub Filum : Craniata

Klas : Mamallia

Ordo : Primata

Sub Ordo : Haplorrhini

Infraordo : Simiiformes

Super famili : Hominoidea

Famili : Hylobatidae

Genus : Symphalangus

Species : S. syndactylus (Raffles, 1821)

Subspecies : S. s. syndactylus, S. s. continensis

Page 34: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

16

Klasifikasi siamang telah dimodifikasi oleh Groves (2005), Gron (2008) yang menaikkan subgenus Symphalangus menjadi tingkat species sepenuhnya, yang sebelumnya merupakan bagian dari subgenus Hylobates. Berdasarkan jumlah kromosom, Symphalangus memiliki perbedaan dengan kelompok Hylobates lainnya, dimana Symphalangus memiliki 50 kromosom, sedangkan Hylobates hanya 44 kromosom. Famili Hylobatidae memiliki ciri-ciri umum yaitu berupa kera kecil yang tidak memiliki ekor dengan bentuk kepala bulat kecil, hidung tidak menonjol dan rambut tebal halus (Sultan et al., 2009). Hylobatidae memiliki tangan yang lebih panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang (Bismark, 1984). Struktur tangan dan kaki dengan jari-jari panjang memungkinkan siamang untuk menjangkau dahan-dahan di sekitarnya sehingga lebih efektif dalam melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon (Napier dan Napier, 1967).

Siamang merupakan satu-satunya spesies dari genus Symphalangus. Dua subspesies siamang menunjukkan penyebaran siamang, dimana S. s. syndactylus terdapat di Sumatera sehingga disebut siamang sumatera, sedangkan S. s. continensis terdapat di Malaysia, sehingga disebut siamang Malaysia. Genus siamang berbeda dengan jenis owa lainnya karena memiliki selaput diantara jari-jari tungkainya dan kantong suara (gular atau laringial sacs) di bawah dagunya yang dapat mengembang seukuran kepalanya sehingga memungkinkan dapat mengeluarkan suara keras. Rambut siamang berwarna hitam dan sedikit abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya. Siamang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibanding Hylobatidae lain dengan berat siamang dewasa antara 10-15 kg (Palombit, 1997).

Sebaran SiamangB. Jenis satwa dari Famili Hylobatidae dapat ditemukan pada sebagian besar hutan hujan tropis di Asia Tenggara, mulai dari semenanjung Malaysia dan Thailand hingga ke Indonesia (Mubarok, 2012). Di Indonesia terdapat cukup banyak Primata dari suku Hylobatidae, yaitu H. agilis, H. lar, H. klosii, H. moloch dan H. Muelleri dan S. Syndactylus. Untuk wilayah Indonesia,

Page 35: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

17

Bab III. Istematika dan Morfologi Siamang

Siamang hanya dapat dijumpai di Pulau Sumatera dan tersebar hampir di seluruh Propinsi, mulai dari Propinsi Aceh sampai Lampung. Di Asia Tenggara siamang dapat dijumpai di Semenanjung Malaya.

Habitat utama siamang adalah hutan tropis pegunungan. Siamang sering dijumpai pada ketinggian di atas 300 m dpl, namun dapat hidup di hutan dataran rendah. Siamang juga dapat hidup di hutan tebang pilih primer rawa air tawar, hutan tebang pilih dataran rendah, hutan tebang pilih dataran tinggi, dan hutan submontana. Siamang dapat hidup simpatrik (tinggal dan hidup bersama dengan spesies lainnya pada wilayah yang sama) seperti dengan jenis gibbon (Hylobatidae) lainnya.

Di wilayah Sumatera Utara (di atas danau Toba), siamang simpatrik dengan H. lar (White-handed gibbon/Sarudung), sedangkan di bagian selatan danau Toba, siamang simpatrik dengan H. agilis (Dark-handed gibbon/Ungko). Walaupun hidup simpatrik dengan kelompok gibbon lainnya pada beberapa habitat, siamang cendrung memiliki relung ekologi (niche) pada ruang vertikal/tajuk yang lebih atas dibandingkan kelompok gibbon lainnya, sehingga menerapkan strategi berbagi ruang dan waktu. Siamang sangat jarang dijumpai di atas ketinggian 1.500 m walaupun demikian siamang dapat tersebar sampai pada ketinggian 1.828,8 m (Gron, 2008; Kuswanda dan Garsetiasih, 2016).

Page 36: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

18

Gambar 4. H. agilis pada habitat siamang

Morfologi SiamangC. Siamang merupakan primata arboreal yang sebagian besar hidupnya tergantung pada tajuk yang tinggi dan saling bersambungan. Siamang hidup dalam kelompok-kelompok sosial terkecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 1-6 ekor anaknya. Pada tempat yang alami, ukuran kelompok siamang rata-rata 4 ekor (Gittings dan Raemaekers, 1980). Untuk memenuhi kebutuhan hidup, siamang membutuhkan wilayah jelajah yang luas, dengan home range sekitar 15–30 ha (Chivers, 1977). Siamang dapat ditemukan pada habitat hutan primer, hutan sekunder dan hutan rawa (Supriatna et al,. 2000).

Siamang memiliki ukuran tubuh terbesar diantara kelompok gibbon lainnya. Secara fisik terdapat perbedaan seksual pada siamang, yaitu jantan lebih besar dibandingkan betina. Tubuh ditutupi oleh rambut yang panjang

Page 37: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

19

Bab III. Istematika dan Morfologi Siamang

dan keseluruhannya berwarna hitam, kecuali di sekitar mulut dan dagu berwarna lebih muda (Napier dan Napier, 1967). Tinggi siamang dapat mencapai 1 meter, dengan bobot mencapai 14 kg. Pada beberapa sampel di alam diketahui bahwa jantan dewasa memiliki bobot rata-rata 11,9 kg, dan betina dewasa rata-rata 10,7 kg. Hasil beberapa survey di penangkaran, jantan dewasa memiliki bobot rata-rata 12,8 kg dan betina dewasa rata-rata 10,5 kg. Panjang kepala dan tangan berkisar antara 73,7 dan 88,9 cm (Gron 2008).

Gambar 5. Siamang jantan dan betina dewasa

Ciri khas utama dari siamang adalah memiliki kantong suara yang berfungsi untuk memperkeras suara. Pada saat terisi udara, ukuran kantong suara siamang dapat seukuran kepalanya. Siamang tidak memiliki ekor sebagaimana pada semua kelompok kera kecil (lesser apes). Selain itu ciri khas siamang adalah jari kedua dan jari ketiga oleh selaput, sebuah kondisi yang digambarkan dalam nama siamang yaitu syndactylus. Masa bunting siamang

Page 38: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

20

adalah selama 7 bulan, melahirkan setiap 2-3 tahun sekali dan melahirkan satu anak pada setiap kelahiran, kadang-kadang terdapat kelahiran kembar. Bayi siamang disusui selama 2 tahun dan mencapai umur dewasa pada usia 6 – 7 tahun. Jumlah anak yang dilahirkan siamang betina sangat jarang yang mencapai di atas 10 kelahiran selama hidupnya (Gron, 2008).

Komposisi kelompok ditentukan berdasarkan fase pertumbuhan siamang menurut Gittings dan Raemaekers (1980); Nopiansyah (2007), yaitu:

Bayi (1. infant), mulai lahir sampai berumur 2-3 tahun dengan ukuran tubuh yang sangat kecil. Pada tahun pertama digendong dan dibawa oleh induknya, sedangkan pada tahun kedua digendong dan dibawa induk jantan.

Anak (2. juvenile-1), berumur kira-kira 2-4 tahun, badannya kecil dan melakukan perjalanan sendiri, tetapi cenderung untuk selalu dekat dengan induknya.

Muda atau remaja (3. juvenile-2), berumur kira-kira 4-6 tahun, ukuran badannya sedang dan sering melakukan perjalanan sendiri dan mencari makan sendiri.

Sub dewasa (4. sub-adult), yaitu mulai dari umur 6 tahun. Ukuran badannya hampir sama dengan ukuran dewasa dan tetap tinggal di dalam kelompok, tetapi sering memisahkan diri dan belum matang secara seksual.

Dewasa (5. adult), yaitu mempunyai ukuran badan yang maksimal dengan selalu hidup berpasang-pasangan serta selalu dekat dengan anaknya.

Page 39: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

21

Bab III. Istematika dan Morfologi Siamang

Gambar 6. Siamang yang menggendong bayinya

Page 40: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 41: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB IV.BIOEKOLOGI DAN

KARAKTERISTIK HABITAT

Habitat, secara umum didefinisikan oleh Odum pada tahun 1971 yang menyatakan bahwa habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Odum, 1996). Habitat memiliki berbagai fungsi serta mempengaruhi dan membentuk bioekologi tertentu sesuai kondisi dan potensi lingkungan habitat. Habitat siamang memerlukan vegetasi dengan tajuk kontinyu atau saling terhubung antar pohon, sebab siamang termasuk satwa arboreal yang melakukan aktivitas pada tajuk pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan (Sultan et al., 2009). Primata juga memiliki daerah jelajah, yaitu area habitat yang digunakan untuk melakukan aktivitas hidup suatu kelompok satwa primata (Mubarok, 2012). Daerah jelajah dapat berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada ketersediaan sumber pakan, air, perubahan iklim, persaingan antar kelompok dan beberapa masalah perubahan habitat (Rowe, 1996).

BioekologiA. Siamang sangat sesuai hidup pada hutan dengan kanopi rapat dan saling berhubungan, dan sangat jarang turun ke tanah (Gron, 2008). Tajuk pohon yang saling berhubungan membantu siamang untuk berpindah dalam mencari makanan dan berlindung dari pemangsa atau ancaman lainnya. Hal inilah yang mendasari mengapa pada kondisi hutan terpisah satu sama lain (fragmented) dalam bentuk luasan kecil-kecil (patches) karena beberapa sebab, mengakibatkan populasi siamang menjadi terancam. Menurut Geissman et al. (2006) kondisi hutan yang terpisah satu dengan lainnya (patches)

Page 42: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

24

karena adanya penanaman karet secara monokultur misalnya, meski masih menyisakan pohon asli, dapat menyebabkan populasi ungko dan siamang semakin berkurang dan hanya jenis monyet pemakan daun yang sering dijumpai.

Pergerakan utama pada siamang adalah branchiation, atau bergantung di dahan pohon, yang mendominasi hampir 80% dari pergerakannya. Tipe pergerakan lainnya adalah memanjat, melayang, melompat, dan berjalan dengan dua kaki. Jika dibandingkan dengan kelompok gibbon lainnya, pergerakan siamang lebih lambat dan beristirahat dengan cara merebahkan badannya pada pohon (Gron, 2008).

Gambar 7. Siamang yang sedang beristirahat

Siamang hidup dalam kelompok yang dapat terdiri dari 6 individu, namun rata-rata di alam dijumpai 4 individu. Homerange siamang rata-rata adalah 23 hektar. Jelajah harian lebih kecil dibandingkan jenis simpatrik Hylobates lainnya, seringkali kurang dari 1 km. Jelajah harian siamang berkisar 640 – 1.289 m. Iskandar (2008) menjelaskan, penyebaran Hylobates

Page 43: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

25

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

tergantung pada kualitas habitatnya. Kualitas habitat yang semakin baik, semakin banyak pula jumlah kelompok yang ada di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut, maka jarak antar kelompok semakin berdekatan dan angka kepadatannya juga semakin tinggi. Populasi kelompok siamang ditemukan melimpah pada hutan dataran rendah dan submontana dibandingkan tipe hutan lainnya di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (O’Brien 2004). Wilayah jelajah (home range) Hylobatidae dapat berubah dengan adanya gangguan yang memaksanya berpindah/merubah wilayahnya (Sultan, 2009). Gangguan yang mempengaruhi antara lain adanya aktivitas manusia dan pemukiman penduduk sehingga dapat menyebabkan fragmentasi habitat, selain itu juga dipengaruhi kondisi hutan/kerusakan hutan.

Gambar 8. Pergerakan siamang dengan bergelantung di tajuk pohon

Page 44: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

26

Penyebaran populasi siamang dapat dipengaruhi oleh distribusi sumber daya pakan, perilaku sosial, atau faktor lainnya. Sebaran spasial siamang yang mengelompok diduga mengindikasikan suatu kondisi habitat yang tidak seragam atau merata untuk seluruh wilayah penelitian, yang menyebabkan siamang tersebar secara mengelompok. Dugaan ini perlu dibuktikan dengan analisis habitat dan pakan preferensial yang menunjukkan adanya pemilihan habitat dan jenis pakan oleh siamang. Pada beberapa studi yang dilakukan di Malaysia dan Indonesia, diketahui bahwa siamang memakan berbagai macam makanan, termasuk buah, daun, bunga, dan serangga. Kegiatan harian berbeda-beda dari berbagai studi yang pernah dilakukan, namun didominasi oleh aktivitas berpindah, beristirahat, dan makan (Gittins and Raemakers, 1980).

Aktivitas kelompok siamang, baik aktivitas bergerak, bersuara maupun makan, sangat dipengaruhi oleh cuaca. Siamang lebih memilih untuk berteduh di dahan pohon dengan ketinggian di atas 30 meter ketika hujan sehingga jika turun hujan pada pagi hari, suara siamang tidak terdengar sama sekali. Dari hasil penelitian, pada saat cuaca hujan, kelompok siamang pada umumnya akan bersuara kembali ketika hujan reda dan matahari mulai muncul. Jarak jelajah siamang juga sangat berpengaruh ketika sedang hujan. Siamang pada umumnya hanya bergerak di sekitar pohon dengan ketinggian lebih dari 30 meter dan dengan tajuk yang rapat. Kelompok siamang ini memiliki insting yang cukup tinggi terhadap cuaca. Ketika cuaca mulai mendung, kelompok siamang ini akan mempercepat aktivitasnya dan bergerak ke bagian hutan yang lebih aman dan tidak jauh dari pohon tidurnya (Sari & Harianto, 2015).

Salah satu komponen penting dalam habitat siamang adalah pakan. Siamang dikenal sebagai satwa pemakan daun dan buah. Namun beberapa literatur menyebutkan bahwa siamang sumatera lebih suka memakan buah dibanding daun. Menurut Permatasari et al. (2018), tumbuhan yang dimakan oleh siamang yaitu aren (Arenga pinnata Merr.), walek angin (Mallotus paniculatus), kemiri (Aleurites moluccana (L) Willd.), jengkol (Pitchelobium lobatum), rambutan hutan (Cryptocarya nitens (Blume) Koord.&Val.), petai

Page 45: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

27

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

cina (Leucaena leucocephala Lamk), matoa (Pometia pinnata), dan gondang (Ficus fariegata). Primata umumnya memilih lokasi untuk mencari pakan pada bagian tengah dan bagian atas tajuk pohon (Suyanto dan Semiadi, 2004). Iskandar (2008) yang dikutip oleh Bangun et al. (2009) menyatakan bahwa jenis pohon yang digunakan sebagai pohon tempat tidur primata adalah jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai pohon sumber pakan.

Pada saat penelitian di KHDTK Aek Nauli ditemukan juga dua pohon tidur siamang yang terdapat pada hutan sekunder yaitu pohon tulason (Altingea excelsa) yang memiliki tinggi total pohon 35 m dan dan pohon Ficus parietalis dengan tinggi total 37 m. Pohon tidur siamang diidentifikasi berdasarkan temuan feses siamang di lantai hutan. Feses siamang dapat terlihat dari sisa pakannya berupa biji yang tidak dapat dicerna. Pohon yang digunakan sebagai pohon tidur cenderung memiliki cabang yang relatif besar dan lokasinya dekat dengan sumber air. Karakter pohon tidur yang tinggi dan memiliki tajuk yang besar digunakan untuk menghindar dari predator dan untuk lebih mudah mengamati daerah teritorialnya (Baren, 2002). Pohon tulason ditemukan dipinggir sungai Kisat dan pohon F. parietalis ditemukan pada air terjun musiman sungai Aek Nauli.

Siamang tidak memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan air walaupun letak pohon tidur dekat dengan sumber air. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui siamang memenuhi kebutuhan airnya berasal dari buah-buahan yang dimakan serta air yang tergenang pada lubang atau cekungan pada batang pohon. Siamang juga memilih tidur di sekitar pohon tidur yang berdekatan dengan pohon pakan yang sedang berbuah seperti jenis ficus dan hatinggiran, yang memudahkan siamang dalam memperoleh makan besok harinya.

Lansekap Sebaran HabitatB. Berdasarkan tipe habitat dan ketinggian di kawasan Batangtoru, habitat siamang sedikitnya dapat dikategorikan menjadi 5 kategori, yaitu: hutan

Page 46: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

28

primer pada ketinggian 600 – 900 m dpl, hutan primer pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl, hutan primer di atas ketinggian 1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600 – 900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl. Siamang tidak memilih tipe habitat tertentu sebagai tipe habitat yang disukai. Namun jika dibandingkan dari katagori tipe habitat tersebut, terdapat kecenderungan keberadaan siamang di hutan sekunder dengan ketinggian 600 – 900 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa habitat siamang tidak selalu menggunakan hutan primer semata. Menurut Curtin dan Chivers (1979), walaupun di hutan primer terdapat pohon besar dan tinggi, namun siamang sering beraktivitas pada tajuk pohon dengan ketinggian 15-20 m dari permukaan tanah kecuali pada habitat tertentu seperti tepi sungai.

Kehadiran siamang pada habitat dengan ketinggian tertentu kemungkinan ditentukan oleh jumlah jenis pakan tingkat tiang, luas bidang dasar total tingkat tiang, dan tinggi tumbuhan tingkat tiang. Vegetasi pertumbuhan tingkat tiang memiliki arti sangat penting bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa arboreal siamang sangat tergantung pada keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat pertumbuhan tiang sangat berarti bagi siamang. Tipe habitat tidak memberikan implikasi penting bagi keberadaan siamang di CADS, namun komponen habitat pada tingkat tiang memiliki implikasi penting. Rendahnya ukuran keanekaragaman hayati tingkat tiang dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya perlu mendapat perhatian dalam upaya pengelolaan kawasan CADS sebagai habitat siamang.

Berbeda dengan CADS, habitat siamang di KHDTK Aek Nauli sedikitnya meliputi 3 tipe habitat, yaitu hutan primer, hutan sekunder, dan dominan tanaman pinus. Siamang menempati tipe habitat mulai ketinggian 300 – 1.500 m dpl dan memiliki jenis tumbuhan pakan yang lebih beragam (Kuswanda dan Gersetiasih, 2016). Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengamatan siamang, dimana lokasi yang memiliki peluang perjumpaan lebih tinggi dapat diberi proporsi yang lebih besar dibandingkan areal lainnya (Gambar 9).

Page 47: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

29

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Gambar 9. Sebaran lokasi pembuatan demplot vegetasi habitat siamang

Kondisi vegetasi di KHDTK Aek Nauli cukup beragam. Berdasarkan hasil penelitian pada sembilan lokasi di wilayah tersebut, teridentifikasi 93 jenis tumbuhan dari 32 jenis famili. Jenis tumbuhan yang paling banyak ditemukan adalah loba-loba etek/sihondung (Symplocos cochinchinensis Lour.) sebanyak 143 indivdu, mayang bolon ( Palaquium hexandrum (Griff.) Bailon.) sebanyak 140 individu, dan bayur (Pterospermum javanicum Jungh.blumeanum) sebanyak 116 individu. Semua jenis tumbuhan tersebut, tergolong dalam beberapa famili tumbuhan seperti pada Gambar 10.

Page 48: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

30

Gambar 10. Famili tumbuhan pada habitat siamang di KHDTK Aek Nauli

Kawasan KHDTK Aek Nauli merupakan habitat yang cocok untuk siamang. Secara umum, siamang sering dijumpai di hutan dataran rendah dan memiliki habitat utama di hutan tropis dan hutan pegunungan yang memiliki ketinggian di bawah 2.000 m dpl. Dengan ketinggian antara 1.000-1.650 m dpl merupakan habitat yang ideal bagi siamang dengan suhu yang stabil antara 18˚C - 25˚C dan rata-rata kelembaban udara 70% - 100%.

Struktur Vegetasi HabitatC. Secara fisik ekologis, vegetasi habitat siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS) dapat dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600 – 900 m dpl, hutan primer pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600 – 900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900 – 1.200 m dpl. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi disajikan pada Tabel 1 berikut.

Page 49: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

31

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Tabel 1. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan di CADS

Tingkat vegetasi

Jumlah jenis

tumbuhan (ind.)

Nama lokal Nama LatinKerapatan (ind./ha)

INP (%)

Semai 87 Hau dolok

Siala

Pakis panjang

Syzygium densiflorum Duthie.

Rhodoleia teysmannii Miq.

Asplenium minus Blume.

4.000,0

2.562,5

2.187,5

15,80

9,77

8,95

Pancang 84 Hau dolok

Hoteng

Api-api

Syzygium densiflorum Duthie.

Quercus gemelliflora Blume

Gordonia excelsa Blume.

650,0

240,0

210,0

23,50

11,40

8,25Tiang 56 Hau dolok

Randu kambing

Hoteng

Syzygium densiflorum Duthie.

Alstonia macrophylla Wall.

Quercus gemelliflora Blume

50,0

45,0

42,1

36,13

31,33

26,08

Pohon 78 Hoteng

Hau dolok

Hoteng maranak

Quercus gemelliflora Blume

Syzygium densiflorum Duthie.

Quercus sp.

35,6

30,6

15,0

28,94

28,58

16,18

Sumber : Kwatrina et al. (2011)

Jenis tumbuhan pada habitat CADS didominasi oleh hau dolok yang diindikasikan oleh nilai Indeks Nilai Penting (INP) dan kerapatan tertinggi pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Pada tingkat pohon, jenis tumbuhan didominasi oleh hoteng yang merupakan salah satu jenis tumbuhan pakan Siamang. Kondisi struktur vegetasi seperti di CADS tentunya diperkirakan mampu mendukung pertumbuhan populasi siamang.

Kawasan CADS dan sekitarnya memiliki beberapa status kawasan. Jika dilihat berdasarkan status hutannya, maka kerapatan pohon tertinggi ditemukan pada hutan lindung dan yang terendah di area penggunaan lain (APL) (Tabel 2). Namun, walaupun kerapatannya rendah, area APL justru memiliki tingkat keanekaragaman jenis pohon tertinggi. Kondisi ini bisa terjadi karena akses

Page 50: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

32

terhadap penggunaan area APL lebih mudah dibandingkan hutan lindung dan hutan produksi. Masyarakat sangat mungkin menggunakan area APL sebagai lahan garapan dengan menanam berbagai jenis tumbuhan seperti karet dan durian.

Hasil analisis karakteristik tumbuhan pada berbagai status hutan di sekitar CA. Dolok Sipirok seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik tumbuhan pada tiga status kawasan hutan di sekitar CADS

Status Kawasan

Tingkat Pertumbuhan

D

(m2)K (ind/

ha) F H’ N

Hutan Lindung

Tiang 12,73 750,0 5,1 3,30 34,50Pohon 24,12 277,5 5,6 2,73 24,97

Hutan Produksi

Tiang 14,09 700,0 5,8 2,95 27,19Pohon 28,85 245,0 7,1 2,94 28,17

Area Penggunaan Lain

Tiang 13,64 580,0 4,8 3,18 32,40Pohon 11,78 157,5 5,1 3,13 30,35

Page 51: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

33

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Gambar 11. Komposisi tumbuhan pada hutan lindung

Siamang memiliki range tipe habitat yang cukup luas, namun tidak semua memiliki tingkat kesesuaian habitat yang sama. Vegetasi tingkat tiang adalah komponen penting dalam menilai tingkat kesesuaian habitat siamang, dan hutan lindung di wilayah sekitar CADS merupakan tipe habitat yang paling sesuai bagi siamang. Ada beberapa komponen untuk menetapkannya, yaitu rata-rata jumlah tiang tertinggi (8 pohon/0,01 ha), kerapatan tumbuhan pada tingkat tiang sebesar (750 individu/ha), nilai keragaman dan kelimpahan jenis tertinggi (masing-masing 3,3 dan 34,5).

Hutan produksi juga memiliki potensi sebagai bagian dari habitat siamang, karena memiliki rata-rata tinggi tumbuhan pada tingkat tiang tertinggi dibandingkan di status hutan lainnya. Pada area hutan produksi ditemukan beragam jenis tumbuhan yang memiliki batang lurus dan menjulang, seperti jenis hoteng dan hau dolok dan puspa. Pada lokasi lainnya, jenis ini jarang ditemukan karena sebagian ditebang oleh masyarakat untuk bahan

Page 52: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

34

perumahan. Berdasarkan karakteristik rata-rata tinggi tumbuhan pada tingkat tiang, area hutan produksi termasuk kawasan yang sesuai sebagai habitat siamang. Alasannya adalah karakteristik siamang yang cenderung beraktivitas dan mencari makan pada ketinggian pohon di atas 15 m. Pada ketinggian tersebut, tajuk cenderung saling bersambungan dengan tajuk tumbuhan pada tingkat pohon sehingga memudahkan siamang untuk berpindah tempat. Siamang mengambil makanan, buah atau pucuk daun pada tingkat tiang sambil bergelantungan pada batang/cabang tumbuhan tingkat pohon.

Komponen habitat yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui adalah tingkat dominansi dan peran dari suatu jenis tumbuhan, yang diindikasikan oleh Indeks Nilai Penting (INP). Semakin tinggi nilai INP suatu jenis tumbuhan menunjukkan bahwa dominansi tumbuhan tersebut akan semakin tinggi pada suatu komunitas. Indeks nilai penting suatu jenis tumbuhan pada setiap tingkatan pertumbuhan di masing-masing lokasi penelitian terdapat pada Tabel 3.

Page 53: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

35

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik HabitatTa

bel 3

. In

deks

nila

i pen

ting

vege

tasi

tert

ingg

i pad

a lo

kasi

seba

ran

siam

ang

di K

HD

TK

Aek

Nau

li

Loka

si

Kla

si-

fikas

iN

oN

ama

Loka

lN

ama

Lati

nK

DR

KR

FRIN

P

(ind

.ha

)(%

)(%

)(%

)(%

)

Air

Terju

n

Poho

n1

Hot

ing

bung

aQ

uerc

us p

seudo

-mol

ucca

Bl

ume.

41.6

727

.35

17.2

410

.26

54.8

5

2Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.33

.33

8.43

13.7

915

.38

37.6

1

3Sa

pot-s

apot

Mac

aran

ga g

igan

tea

Mue

ll. A

rg.

29.1

75.

2512

.07

10.2

627

.57

Tian

g1

Mod

ang

land

itLi

tsea

odor

atiss

ima

Kos

term

.33

.33

33.4

411

.76

15.3

860

.59

2H

otin

g bu

nga

Que

rcus

pseu

do-m

oluc

ca

Blum

e.50

.00

10.5

217

.65

23.0

851

.24

3Sa

pot-s

apot

Mac

aran

ga g

igan

tea

Mue

ll. A

rg33

.33

16.0

711

.76

7.69

35.5

3

Tanj

ung

Dol

okPo

hon

1Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.50

.00

27.0

629

.27

17.3

973

.72

2Sa

lagu

ndih

Rhod

oleia

teys

man

nii M

iq.

29.1

728

.88

17.0

713

.04

58.9

9

3G

orin

g-go

ring

Bacc

aure

a du

lcis M

err.

16.6

710

.92

9.76

17.3

938

.07

Tian

g1

Sapo

t-sap

otM

acar

anga

gig

ante

a M

uell.

Arg

.11

6.67

30.1

731

.82

25.0

086

.99

2Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.66

.67

22.7

018

.18

25.0

065

.88

3So

sopa

ndar

iG

ynot

roch

es ax

illar

is Bl

ume

Bijd

r.66

.67

13.5

418

.18

18.7

550

.47

Page 54: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

36

Loka

si

Kla

si-

fikas

iN

oN

ama

Loka

lN

ama

Lati

nK

DR

KR

FRIN

P

(ind

.ha

)(%

)(%

)(%

)(%

)

Baka

ran

Kap

urPo

hon

1Sa

lagu

ndih

Rhod

oleia

teys

man

nii M

iq.

87.5

028

.74

21.4

310

.87

61.0

4

2Sa

nint

enC

asta

nops

is ar

gent

ea

Blum

e A.

DC

.66

.67

17.6

316

.33

10.8

744

.83

3Tu

baD

erris

ellip

tica

Bent

h.54

.17

10.2

413

.27

13.0

436

.55

Tian

g1

Sani

nten

Cas

tano

psis

arge

ntea

Bl

ume

A.D

C.

216.

6723

.21

39.3

919

.05

81.6

5

2Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.33

.33

13.4

36.

069.

5229

.02

3Tu

ngir-

tung

irTa

rriet

ia ja

vani

ca B

I.50

.00

5.91

9.09

9.52

24.5

2

Siba

gand

ing

Poho

n1

Soso

pand

ari

Gyn

otro

ches

axill

aris

Blum

e Bi

jdr.

20.8

327

.44

12.2

014

.29

53.9

2

2Si

tara

kM

acar

anga

low

ii K

ing

ex

Hoo

k.f.

29.1

77.

3217

.07

11.4

335

.83

3M

odan

gLi

tsea

brac

hysta

chys

Boe

rl.16

.67

13.0

19.

7611

.43

34.1

9

Tian

g1

Sita

rak

Mac

aran

ga lo

wii

Kin

g ex

H

ook.

f.50

.00

26.7

523

.08

25.0

074

.82

2M

odan

gLi

tsea

brac

hysta

chys

Boe

rl.33

.33

11.8

915

.38

16.6

743

.94

3Fi

cus E

Ficu

s lat

erifl

ora

Vahl

.33

.33

13.7

815

.38

8.33

37.5

0

Tabe

l 3.

Inde

ks n

ilai

pent

ing

vege

tasi

tert

ingg

i pa

da l

okas

i se

bara

n sia

man

g di

KH

DT

K A

ek N

auli

(lanj

utan

)

Page 55: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

37

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Loka

si

Kla

si-

fikas

iN

oN

ama

Loka

lN

ama

Lati

nK

DR

KR

FRIN

P

(ind

.ha

)(%

)(%

)(%

)(%

)

Pinu

s Bes

arPo

hon

1H

orbo

-hor

boXy

lopi

a sp

.87

.50

18.5

324

.14

11.1

153

.78

2Ap

i-api

Gor

doni

a ex

celsa

Blu

me.

75.0

03.

8320

.69

13.3

337

.85

3Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.29

.17

12.9

28.

058.

8929

.86

Tian

g1

Api-a

piG

ordo

nia

exce

lsa B

lum

e.11

6.67

31.8

636

.84

26.6

795

.37

2So

sopa

ndar

iG

ynot

roch

es ax

illar

is Bl

ume

Bijd

r.33

.33

12.1

110

.53

6.67

29.3

1

3H

atin

ggira

nSy

zygi

um sp

.16

.67

8.46

5.26

6.67

20.3

9

Sung

ai K

isat

Poho

n1

Tula

son/

Ras

amal

a

Altin

gia

exce

lsa N

oron

ha.

116.

6719

.76

27.4

510

.42

57.6

3

2Si

mar

tolu

/Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.50

.00

6.15

11.7

610

.42

28.3

3

3H

otin

g tu

ri-tu

riQ

uerc

us li

neat

a Bl

ume.

16.6

718

.94

3.92

4.17

27.0

3

Tian

g1

Tula

son/

Ras

amal

a

Altin

gia

exce

lsa N

oron

ha.

100.

0022

.59

21.4

318

.18

62.2

0

2K

emen

yan

toba

Styr

ax p

aral

lelon

euru

m

Perk

ins.

66.6

719

.79

14.2

99.

0943

.16

3M

undo

lM

emec

ylon

garc

inio

ides

Blum

e.33

.33

12.0

67.

149.

0928

.29

Tabe

l 3.

Inde

ks n

ilai

pent

ing

vege

tasi

tert

ingg

i pa

da l

okas

i se

bara

n sia

man

g di

KH

DT

K A

ek N

auli

(lanj

utan

)

Page 56: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

38

Loka

si

Kla

si-

fikas

iN

oN

ama

Loka

lN

ama

Lati

nK

DR

KR

FRIN

P

(ind

.ha

)(%

)(%

)(%

)(%

)

Aek

Nau

li Pi

nus

Poho

n1

Pinu

sPi

nus m

erku

sii Ju

ngh.

et

deVr

ies.

550.

0090

.24

94.2

942

.86

227.

38

2Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.16

.67

5.91

2.86

28.5

737

.34

3Ja

mbu

-jam

buEu

geni

a fa

stigi

ata

Miq

.8.

332.

101.

4314

.29

17.8

1

Tian

g1

Sim

arto

lu/ P

uspa

Schi

ma

wal

lichi

i Kor

th.

66.6

722

.43

25.0

025

.00

72.4

3

2H

otin

g tu

ri-tu

riQ

uerc

us li

neat

a Bl

ume.

33.3

319

.19

12.5

012

.50

44.1

9

3H

andi

s bol

onG

arcin

ia ce

lebica

Lin

n33

.33

15.6

012

.50

12.5

040

.60

Buki

t Sisa

e Sa

ePo

hon

1M

ayan

g bo

lon

Pala

quiu

m h

exan

drum

En

gl.

83.3

335

.99

12.8

28.

1656

.97

2H

andi

s bol

onG

arcin

ia ce

lebica

Lin

n10

0.00

8.28

15.3

812

.25

35.9

1

3Ap

i-api

Gor

doni

a ex

celsa

Blu

me.

91.6

76.

8914

.10

12.2

533

.23

Tian

g1

Api-a

piG

ordo

nia

exce

lsa B

lum

e.15

0.00

24.9

532

.14

21.7

478

.83

2H

andi

s bol

onG

arcin

ia ce

lebica

Lin

n66

.67

14.6

014

.29

13.0

441

.93

3H

au h

otan

gPo

doca

rpus

ner

iifol

ius D

. D

on.

33.3

38.

797.

148.

7024

.63

Tabe

l 3.

Inde

ks n

ilai

pent

ing

vege

tasi

tert

ingg

i pa

da l

okas

i se

bara

n sia

man

g di

KH

DT

K A

ek N

auli

(lanj

utan

)

Page 57: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

39

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Loka

si

Kla

si-

fikas

iN

oN

ama

Loka

lN

ama

Lati

nK

DR

KR

FRIN

P

(ind

.ha

)(%

)(%

)(%

)(%

)

Perb

atas

an

Aek

Nau

li da

n Su

ngai

Poho

n1

Sala

gund

ihR

hodo

leia

teys

man

nii

Miq

.66

.67

20.5

617

.98

11.1

149

.65

2Sa

pot-s

apot

Mac

aran

ga g

igan

tea

Mue

ll. A

rg.

45.8

312

.32

12.3

613

.33

38.0

1

3Sa

nint

enC

asta

nops

is ar

gent

ea

Blum

e A.D

C.

45.8

310

.36

12.3

611

.11

33.8

3

Tian

g1

Sapo

t-sap

otM

acar

anga

gig

ante

a M

uell.

Arg

.15

0.00

33.7

031

.03

21.0

585

.78

2Sa

nint

enC

asta

nops

is ar

gent

ea

Blum

e A.D

C.

100.

003.

8420

.69

15.7

940

.32

3Si

mar

tolu

/ Pus

paSc

him

a w

allic

hii K

orth

.33

.33

18.8

66.

9010

.53

36.2

8

Tabe

l 3.

Inde

ks n

ilai

pent

ing

vege

tasi

tert

ingg

i pa

da l

okas

i se

bara

n sia

man

g di

KH

DT

K A

ek N

auli

(lanj

utan

)

Page 58: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

40

Berdasarkan hasil pada Gambar 10 dan Tabel 3, famili tumbuhan yang paling banyak ditemukan yaitu famili Moraceae yaitu sebanyak 12 jenis. Tumbuhan yang berasal dari famili Moraceae memiliki buah yang berdaging tebal dan bertekstur lembek seperti jenis Ficus sp. dan disukai oleh siamang sebagai tumbuhan sumber pakan (Kuswanda dan Gersetiasih 2016). Indeks nilai penting tertinggi pada setiap lokasi yaitu lokasi Air terjun terdapat tumbuhan bayur (Pterospermum javanicum Jungh.) dengan nilai 72.55%, lokasi Tanjung Dolok terdapat tumbuhan sapot-sapot (Macaranga gigantea Muell.Arg) dengan nilai 86.99%, lokasi Sibaganding terdapat tumbuhan sitarak (Macaranga lowii King ex Hook.f.) dengan nilai 74.82%, lokasi Bakaran kapur terdapat tumbuhan saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC.) dengan nilai 81.65%, lokasi Pinus terdapat tumbuhan api-api (Adinandra dasyantha Choisy) dengan nilai 95.37%, lokasi Sungai Kisat terdapat tumbuhan tulason/rasamala (Altingia excelsa Noronha) dengan nilai 62.20%, lokasi Kawasan Aek Nauli terdapat tumbuhan pinus (Pinus merkusii Jungh. et deVries.) dengan nilai 227.38%, lokasi Bukit Sae-Sae terdapat tumbuhan mayang bolon (Palaquium hexandrum Engl.) dengan nilai 84.06% dan pada lokasi Perbatasan sungai Aek Nauli dan Kisat terdapat tumbuhan sapot-sapot (Macaranga gigantea Muell.Arg) dengan nilai 85.78%. Nilai INP yang tinggi menandakan bahwa jenis tumbuhan yang ada di setiap tipe habitat memiliki jumlah individu yang paling banyak sehingga disebut dominan pada setiap tipe habitat.

Keanekaragaman Jenis Tumbuhan D. Tingkat keanekaragaman jenis dapat dilihat dari nilai indeks. Ada beberapa indikator untuk menyatakan tingkat keanekaragaman jenis, yaitu indeks kekayaan jenis, heterogenitas, dan kemerataan. Diantara semua tingkat vegetasi di CADS, tingkat keanekaragaman jenis semai adalah yang tertinggi, sedangkan tingkat tiang adalah yang terendah. Hasil analisis vegetasi

Page 59: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

41

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

disajikan dalam bentuk indeks keanekaragaman, indeks kelimpahan, dan indeks kemerataan jenis vegetasi. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 12, 13, 14 (Kwatrina et al, 2011).

Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon D = indeks kekayaan jenis Margalef

Gambar 12. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya

Page 60: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

42

Keterangan: N = indeks kelimpahan jenis

Gambar 13. Indeks kelimpahan jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya

Ukuran keanekaragaman hayati lainnya adalah indeks kemerataan. Nilai indeks kemerataan merupakan ukuran keseimbangan yang dipengaruhi oleh jumlah jenis yang terdapat dalam suatu komunitas (Ludwig & Reynolds, 1988). Dapat dikatakan semakin tinggi indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka semakin tinggi juga keseimbangan komunitasnya. Indeks kemerataan jenis tumbuhan di CADS dan sekitarnya sedikit berbeda satu dengan lainnya. Kemerataan jenis paling tinggi adalah pada tingkat semai, selanjutnya tingat pancang, tiang, dan terendah pada tingkat pohon. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan kemerataan jenis semakin rendah.

Page 61: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

43

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Keterangan: E1, E2, E3 = indeks kemerataan Evennes

Gambar 14. Indeks kemerataan jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya

Seperti disebutkan dalam bab sebelumnya, salah satu komponen penting dalam habitat siamang adalah pakan. Siamang dikenal sebagai satwa pemakan daun dan buah. Namun beberapa literatur menyebutkan bahwa siamang sumatera lebih suka memakan buah dibanding daun. Hal ini terbukti dari hasil pengamatan yang berhasil mnngidentifikasi 27 jenis tumbuhan pakan siamang. Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan oleh siamang sebagian besar adalah buahnya (70,37%), dan hanya 29,63% saja yang memanfaatkan daun. Jenis tumbuhan paling utama siamang di CADS adalah jenis Hoteng (Ficus sp.) dari famili Moraceae dan beberapa jenis lainnya dari famili Fagaceae. Hoting (Quercus gemelliflora Blume) merupakan jenis pakan utama bagi jenis primata lainnya seperti ungko (Bismark, 1984). Konsumsi dan seleksi terhadap jenis pakan lainnya bertujuan untuk mencapai keseimbangan nutrisi makanan. Pola sebaran jenis pakan di CADS dan sekitarnya seluruhnya mengelompok.

Beberapa jenis tumbuhan teridentifikasi masuk ke dalam daftar IUCN Red List. Jenis-jenis yang tergolong kategori terancam atau endangered (EN)

Page 62: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

44

yaitu bayur (P. blumeanum), hau kumbang (S. faguetiana) dan saninten/hoting (C. argentea). Kategori hampir terancam atau near threaten (NT) yaitu tumbuhan gang (H. crassifolia) dan mayang bolon (P. hexandrum), sedangkan yang termasuk kedalam kategori rentan atau vulnetrable (VU) yaitu hau dolok (S. densiflorum) dan hoting batu (Q. maingayi). Sebagian besar jenis tersebut merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan siamang sebagai sumber pakan. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan terhadap jenis-jenis tumbuhan pakan siamang yang dilindungi untuk tetap menjaga kelestarian dan ketersediannya di alam. Jenis bayur, saninten dan mayang bolon berdasarkan analisis vegetasi memiliki nilai INP tertinggi pada tipe habitat hutan primer dan sekunder.

Nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan digunakan untuk melihat tingkat kestabilan jenis tumbuhan suatu komunitas. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman menurut Barbour et al. (1987) adalah kriteria 0-2 (rendah), 2-3 (sedang), dan > 3 (tinggi). Indeks kemerataan memiliki rentang nilai antara 0-1, jika angka indeks semakin mendekati satu maka penyebaran suatu jenis tumbuhan semakin merata (Odum, 1996). Hasil dari nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis tumbuhan

Lokasi H’ E’Air terjun 2.48 0.90Tanjung dolok 2.20 0.91Sibaganding 2.22 0.91Bakaran kapur 2.43 0.88Pinus 2.49 0.88Sungai kisat 2.80 0.93Kawasan aek nauli 1.54 0.84Bukit sae-sae 2.35 0.87Perbatasan sungai aek nauli dan kisat 2.42 0.90

Page 63: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

45

Bab IV. Bioekologi dan Karakteristik Habitat

Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pada setiap lokasi memiliki nilai yang berbeda, sedangkan indeks kemerataan memiliki nilai yang hampir sama (Tabel 3). Lokasi yang memiliki nilai indeks keanekaragaman paling rendah yaitu lokasi Kawasan Aek Nauli sebesar 1.54 yang memiliki keanekaragaman tumbuhan termasuk ketegori rendah. Pada lokasi lainnya nilai keanekaragaman jenis tumbuhannya (H’ > 2) sehingga masuk kedalam kategori sedang. Nilai indeks kemerataan paling tinggi terdapat pada lokasi Sungai kisat sebesar 0.93 dan nilai yang paling rendah terdapat pada lokasi Kawasan Aek Nauli sebesar 0.84. Kawasan Aek Nauli memiliki tingkat kemerataan jenis tumbuhan terendah karena lokasi tersebut merupakan tipe habitat hutan dominansi pinus sehingga vegetasi yang mendominasi yaitu tumbuhan pinus. Hal ini membuktikan bahwa kemerataan spesies dipengaruhi oleh jumlah jenis dan spesies dalam suatu komunitas (Kusdanartika, 2019).

Page 64: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 65: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB V.POPULASI

Populasi merupakan kelompok organisme yang terdiri dari kumpulan individu-individu sejenis yang saling berinteraksi dan mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya pada tempat dan waktu tertentu. Populasi Primata dipengaruhi oleh tipe habitat, bentuk sosial kelompok, serta daerah jelajah dan teritorinya. Populasi suatu jenis juga dapat berubah karena beberapa faktor, yaitu keadaan lingkungan hidup satwa, keadaan sifat hidup satwa (natalitas, mortalitas, survival) dan pergerakan satwa itu sendiri (Alikodra, 2010). Populasi yang besar akan mengakibatkan tingginya persaingan dan tumpang tindih wilayah, namun kondisi ini lebih menjamin kelestarian spesies tersebut daripada populasi yang rendah dalam habitat yang normal (Mubarok, 2012). Kepadatan populasi sering diartikan juga ukuran populasi yang dapat dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per satuan luas atau per satuan volume.

Secara umum, siamang merupakan satwa monogami yaitu satwa yang hanya memiliki satu pasangan seumur hidupnya, dimana pada setiap kelompok umur terdiri dari sepasang induk jantan dan betina beserta anak (Mubarok, 2009). Individu anak tinggal bersama induk jantan dan betina hingga memasuki kelas umur hampir dewasa, setelah itu siamang keluar dari kelompok untuk membentuk kelompok baru, dengan jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lain 3-4 tahun dan siamang dapat bertahan hidup hingga 35 tahun (Supriatna dan Wahyono, 2000). Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lappan et al. (2017) terdapat beberapa pengecualian bahwa tidak semua individu siamang monogami, hal tersebut dibuktikan dari peristiwa poliandri pada siamang yang terjadi di Bukit Barisan Selatan, Sumatera Selatan. Terjadinya kasus dalam satu kelompok terdapat

Page 66: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

48

dua atau lebih individu dewasa jantan dan 1 individu dewasa betina sangat jarang, dimana berbagi individu betina merupakan strategi yang buruk jika dibandingkan dengan pasangan normal yang masing-masing terdiri dari 1 individu jantan dan betina (Shuster dan Wade, 2003).

Kepadatan PopulasiA. Wilayah habitat Siamang di Dolok Sipirok memiliki beberapa kelompok siamang. Dari hasil penelitian di lokasi ini sedikitnya teridentifikasi sebanyak 24 individu yang tersebar dalam 7 kelompok. Perjumpaan yang paling banyak adalah di Daerah Ramba Sihasur yaitu 12 individu yang terdiri dari 4 kelompok dan 1 individu soliter. Berdasarkan survey lokasi-lokasi pengamatan dengan intensitas sampling sebesar ± 2,7%, maka nilai dugaan kepadatan individu adalah sebesar 9,91±3,40 individu/km2. Nilai koefisien variasi (CV) untuk nilai dugaan kepadatan individu tersebut adalah 0,22. Dengan luas CADS 69,7 km2, maka diperkirakan terdapat 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya. Berdasarkan nilai tersebut maka kepadatan individu berkisar antara 6,51-13,31 individu/km2. Nilai koefisien variasi dalam penelitian ini cukup rendah yaitu sebesar 0,22, sehingga nilai dugaan kepadatan memiliki ketelitian cukup tinggi yaitu sebesar 0,78 atau 78% (Kwatrina et al., 2013).

Kepadatan kelompok siamang adalah sebesar 3,71 kelompok/km2. Satu kelompok berukuran 3,43 individu/kelompok. Kelompok Hylobatidae biasanya terdiri dari sepasang induk dengan satu atau dua anak/bayi. Selain kelompok, di CADS juga terdapat individu tunggal di lapangan (4 kali dari 11 kali perjumpaan). Siamang yang soliter ini diduga merupakan individu siamang yang memisahkan diri dari kelompok untuk membentuk kelompok baru (Kwatrina et al., 2013).

Wilayah habitat lainnya adalah Kawasan KHDTK Aek Nauli yang merupakan habitat beragam jenis satwaliar, baik dari kelompok burung, mamalia darat maupun primata. Dengan kondisi penutupan hutan yang relatif lebih baik dibandingkan kondisi hutan dan lahan di sekitarnya, diduga kawasan ini juga

Page 67: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

49

Bab V. Populasi

merupakan habitat kedua dari beragam jenis satwa liar di kawasan Danau Toba. Dalam hal ini, perubahan penutupan sebagian besar kawasan menjadi hutan tananam industri, lahan pertanian dan pemukiman menjadikan hutan-hutan yang berada pada KHDTK Aek Nauli sebagai habitat terakhir beragam jenis satwaliar tersebut (Kuswanda dan Pratiara, 2017).

Ada beragam jenis primata yang teridentifikasi di KHDTK Aek Nauli diantaranya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (M. nemestrina), siamang (Symphalangus syndactylus), lutung simpai (Presbytis melalophos), lutung kedih (Presbytis thomasi). Beragam jenis primata ini tentunya memiliki daya tarik tersediri untuk dikembangkan menjadi obyek ekowisata di KHDTK Aek Nauli. Salah satu jenis primata tersebut yang dijadikan ‘icon’ untuk mengembangkan ekowisata di KHDTK Aek Nauli adalah siamang. Siamang dipilih menjadi ‘key species’ untuk dijadikan sebagai obyek ekowisata dengan pertimbangan merupakan spesies endemik pulau sumatera, sebagai spesies langka dan menarik karena dapat mengeluarkan suara yang keras, morfologi yang unik dan perilaku yang khas seperti bergelantungan pada tajuk pohon (Kuswanda dan Pratiara, 2017). Untuk menemukan siamang tersebut diawali dengan mengidentifikasi lokasi melalui suara dan selanjutnya diamati secara langsung dengan metode concentration count. Saat suara panjang terdengar, dicatat waktu (awal dan akhir), arah sumber suara menggunakan kompas dan estimasi jarak antar pendengar dengan sumber suara dari tempat yang tetap dan selanjutnya mengunjungi lokasi tersebut (Sultan et al., 2009).

Hasil penelitian sebaran populasi di KHDTK Aek Nauli disajikan pada Tabel 5.

Page 68: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

50

Tabel 5. Sebaran populasi siamang di KHDTK Aek Nauli

Kelompok Lokasi PengamatanStruktur Umur

JumlahJD BD HD R A B

1 Air terjun (atas) 1 1 1 1 0 0 42 Air terjun (bawah) 1 1 0 1 1 0 43 Bukit Sae- Sae 1 1 0 1 0 0 34 Hutan Pinus 1 1 0 1 0 0 35 Komplek Aek Nauli 1 1 0 0 0 0 26 Pembakaran kapur 1 1 1 1 1 1 67 Perbatasan Sungai

Aek Nauli 1 1 0 1 0 0 3

8 Sibaganding 1 1 0 0 1 1 49 Sungai Kisat 1 1 1 0 0 0 3

10 Tanjung Dolok 1 1 0 1 1 0 4Keterangan :JD = Jantan dewasa R = RemajaBD = Betina dewasa A = AnakHD = Hampir dewasa B = Bayi

Jumlah siamang yang diidentifikasi sebanyak 36 individu yang meliputi 10 dewasa jantan, 10 dewasa betina, 3 hampir dewasa, 7 remaja, 4 anak dan 2 bayi. Jumlah kelompok atau keluarga siamang yang terdapat di KHDTK Aek Nauli berbeda-beda antara 2 - 6 individu, namun secara umum satu kelompok terdiri dari 3-4 individu. Menurut Sultan et al. (2009), setiap kelompok siamang memiliki komposisinya sendiri berdasarkan kelas umurnya yang dapat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Sebaran kelompok siamang yang berada di KHDTK Aek Nauli sebenarnya hampir ditemukan di seluruh kawasan. Sebaran siamang berada pada ketinggian 1.100-1.700 m dpl yang tersebar pada tipe vegetasi hutan primer, sekunder dan dominasi pinus. Pengamatan kelompok siamang pada ketinggian terendah ada pada 1.174 m dpl di daerah Sibaganding dan tertinggi pada 1.673 m dpl di daerah Bukit Sae-Sae yang merupakan bukit tertinggi di KHDTK Aek Nauli.

Page 69: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

51

Bab V. Populasi

Di KHDTK Aek Nauli, kelompok siamang lebih banyak ditemukan di hutan sekunder pada ketinggian 1.200-1.500 m dpl yang merupakan karakteristik umum KHDTK Aek Nauli. Pada beberapa wilayah, kemungkinan masih terdapat beberapa kelompok siamang, terutama pada areal yang berbatasan dengan lahan masyarakat maupun areal PT. Toba Pulp Lestari.

Gambar 15. Peta sebaran siamang di KHDTK Aek Nauli

Fakta yang menarik tentang primata di KHDTK Aek Nauli adalah overlap habitat, bahkan pohon pakan antar berbagai jenis primata tersebut. Pada saat penelitian ditemukan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang berada di satu pohon yang sama dengan siamang seperti di Daerah Sibaganding. Kedua satwa tersebut bahkan terlihat sedang melakukan perilaku social (berkutu-kutuan). Seperti diketahui, daerah Sibaganding merupakan lokasi yang telah dijadikan sebagai lokasi ekowisata siamang, sehingga setiap individu dari kelompok siamang yang ada di Sibaganding sudah terhabituasi dengan keberadaan satwa lainnya seperti monyet ekor

Page 70: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

52

panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) yang juga mempunyai habitat yang sama dengan siamang. Menurut Mubarok (2012) kondisi simpatrik membuat keduanya memiliki mekanisme hidup masing-masing agar dapat hidup bersama (Raemaekers, 1984). Ketiga jenis primata tersebut sering berada pada daerah yang sama untuk menunggu ‘panggilan’ dan diberi makan.

Berdasarkan hasil analisis peta dari titik-titik koordinat terluar jalur lintasan selama pengamatan wilayah sebaran 10 kelompok siamang tersebut, siamang diperkirakan terdapat pada 550-600 ha atau 31% dari seluruh wilayah KHDTK Aek Nauli. Apabila jumlah siamang yang teridentifikasi selama penelitian sebanyak 36 individu, maka perkiraan kepadatan siamang di KHDTK Aek Nauli sekitar 6,0-6,5 individu/km² dengan kepadatan kelompok 1,74 kelompok/km². Jika dibandingkan dengan kepadatan populasi siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok, Sumatera Utara sekitar 3,71 kelompok/ km² (Kwatrina et al., 2013) maka kepadatan kelompok siamang di KHDTK Aek Nauli lebih rendah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena sebagian kawasan KHDTK Aek Nauli merupakan habitat tanaman pinus dan intensitas manusia memasuki kawasan KHDTK Aek Nauli cukup tinggi. Kepadatan jenis-jenis mamalia yang bergantung pada keberadaan hutan, biasanya akan berubah ketika terjadi isolasi dan perubahan habitat akibat aktivitas manusia (Ickes et al., 2005). Tekanan isolasi habitat menyebabkan populasi tidak dapat berkembang dengan baik akibat menurunya sumberdaya, kemampuan reproduksi serta hilangnya diversitas genetik (Bailey, 2007). Efek ganda dari faktor internal (degradasi genetik) dan faktor eksternal (degradasi lingkungan) dapat menyebabkan populasi siamang menjadi stagnan bahkan cenderung menurun. Gibbons dan Harcourt (2009) menyatakan bahwa dari banyak variabel demografi dan lingkungan, hanya variabel pakan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap keberadaan populasi primata.

Minimnya informasi mengenai populasi siamang Sumatera di Sumatera Utara, menyebabkan tidak adanya data pembanding kepadatan siamang untuk kawasan ini. Namun demikian, beberapa hasil penelitian pernah

Page 71: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

53

Bab V. Populasi

dilakukan pada berbagai tempat di Sumatera terhadap kelompok Hylobatidae, khususnya siamang (Tabel 6). Khusus untuk wilayah Sumatera Utara, hasil penelitian Bangun et al. (2009) dan Sultan et al. (2009) mengenai ungko (satu famili Hylobatidae dengan siamang), di Taman Nasional Batang Gadis menunjukkan kepadatan individu rata-rata 8,82 individu/km2 dan 12,9 individu/km2.

Tabel 6. Dugaan kepadatan kelompok siamang pada beberapa tempat di Sumatera

Lokasi Kepadatan (ind./km2) Habitat Sumber

Ketambe 5,0

7,0

Hutan dataran rendah

Hutan dataran rendah

West, 1981

MacKinnon & MacKinnon, 1980

Kerinci Seblat 24,6

7,2

11,4

18,4

Hutan dataran rendah

Hutan pegunungan

Hutan submontana

Hutan montana

Yanuar, 2001

Way Kambas 2,8 Hutan dataran rendah

Yanuar & Sugardjito, 1993

TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

10,3

4,2

6,7

Hutan dataran rendah

Hutan pegunungan

Hutan submontana

O’Brien, 2004

Sumber: O’Brien et al. (2004)

Jika dibandingkan dengan lokasi lain, kepadatan siamang di CADS tidak terlalu rendah. Untuk tipe habitat yang sama, yaitu hutan submontana dan montana, nilai dugaan kepadatan siamang di CADS lebih tinggi dari kelompok siamang di TNBBS, namun lebih rendah dari Kerinci Seblat. Menurut Palombit (1997) dalam O’Brien et al. (2004) gradien kepadatan

Page 72: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

54

dapat dipengaruhi oleh pakan, struktur dan komposisi vegetasi, dan demografi. Beberapa jenis tumbuhan pakan siamang di CADS, dimanfaatkan buah dan daunnya sebagai sumber pakan, beberapa diantaranya merupakan kelompok Moraceae seperti Ficus aurita Blume dan Ficus grossularoides Burm.f. Ketersediaan sumber pakan ini dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepadatan siamang di CADS.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan beberapa hal yang turut berpengaruh terhadap perubahan populasi kelompok Hylobatidae, termasuk siamang. Perubahan cuaca seperti El Nino di Indonesia, secara umum tidak berpengaruh besar terhadap siamang, kecuali adanya kecenderungan kelompok baru untuk berkoloni selama musim hujan (O’Brien et al., 2008). Perubahan cuaca El Nino akan berdampak besar jika terdapat gangguan habitat akibat kebakaran, yaitu mengakibatkan ukuran kelompok siamang menjadi lebih kecil, dan jumlah bayi sangat sedikit. Kebakaran dan gangguan habitat mengakibatkan perubahan dalam perilaku makan dan berpindah, sehingga produktivitas menjadi rendah dan tingginya kematian kelompok bayi dan anak. Dampak berikutnya adalah potensi reproduksi tidak mencukupi untuk menutupi daya hidup yang rendah, dan kelompok tidak mungkin bertahan lebih dari dua generasi (O’Brien et al., 2003).

Siamang merupakan kelompok gibbon yang paling adaptif terhadap perubahan habitat dibandingkan jenis lainnya. Namun demikian, potensi hilangnya habitat utama siamang, fragmentasi dan penurunan kualitas habitat, merupakan penyebab utama penurunan populasi, selain adanya perburuan liar. O’Brien et al. (2004) menyatakan bahwa masa depan siamang sangat tergantung pada peningkatan upaya, terutama pada habitat yang tersisa pada kawasan konservasi di wilayah Sumatera. Khusus bagi habitat siamang di CADS dan wilayah sekitarnya, konservasi in situ sangat mendesak dilakukan untuk melindungi populasi siamang yang masih tersisa di wilayah tersebut.

Page 73: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

55

Bab V. Populasi

Struktur Umur dan Sex Rasio B. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar dan prospek kelestariannya. Berdasarkan fase pertumbuhan siamang menurut Gittins dan Raemaekers (1980), kelompok siamang dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu bayi, anak, remaja, pradewasa, dan dewasa. Namun demikian, pada penelitian di Cagar Alam Dolok Sipirok hanya dibatasi untuk bayi, anak, remaja, dan dewasa. Proporsi tiap kategori dari hasil penelitian ini adalah 4,17% bayi, 12,5% anak, 29,17% remaja, dan 54,17% dewasa. Proporsi tersebut mengindikasikan jumlah dewasa paling banyak dan bayi paling sedikit jumlahnya. Hal ini cenderung menunjukkan gambaran struktur umur yang menurun, karena minimnya jumlah kelompok bayi.

Cara lain untuk melihat distribusi umur, adalah distribusi umur berdasarkan selang umur masing-masing kategori. Untuk itu, maka penyusunan struktur populasi dalam kelas umur yang sama diperoleh dengan cara membagi ukuran populasi ke dalam selang kelas umurnya. Menurut kategori Gittins dan Raemaekers (1980), selang umur klas umur bayi adalah 0-2 th, anak 2-4 th, remaja 4-6 th, pradewasa 6-7 th, dan dewasa 7-30 th. Berdasarkan kategori tersebut diperoleh gambaran distribusi umur setiap kelas umur sesuai lebar kelasnya (Gambar 16).

Page 74: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

56

Gambar 16. Gambaran distribusi proporsi umur per tahun

Distribusi umur menunjukkan bahwa kelompok remaja merupakan kategori umur dengan jumlah terbanyak dibandingkan kategori lainnya. Bayi merupakan kategori dengan jumlah paling sedikit. Kelompok yang hanya terdiri dari pasangan jantan dan betina adalah 71,4%, sedangkan sisanya sebesar 28,6% hanya terdiri dari betina dewasa dengan remaja, anak, atau bayi. Berdasarkan komposisi kelompok, terlihat bahwa tingkat keberhasilan menghasilkan keturunan tergolong rendah.

Sex rasio merupakan perbandingan antara jumlah jantan terhadap jumlah betina, hanya individu dewasa/kelompok produktif yang diperhitungkan dalam penentuan sex rasio. Hal ini disebabkan sulitnya menentukan jenis kelamin klas umur remaja, anak, dan bayi pada saat pengamatan di lapangan. Sex rasio klas umur dewasa dan pradewasa adalah 1 : 1,17.

Life TableC. dan Parameter DemografiLife table adalah tools yang dapat menggambarkan kondisi dan perkembangan demografi suatu populasi saat ini dan di masa yang akan datang. Tipe life table yang disusun untuk siamang di CADS adalah Static life table. Life

Page 75: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

57

Bab V. Populasi

table disusun berdasarkan kondisi populasi sesungguhnya. Oleh sebab itu, life table untuk populasi siamang disusun dengan menggunakan ketentuan dan asumsi berdasarkan hasil survey lapangan dan studi literatur sebagai berikut:

Siamang dapat hidup di alam hingga umur 30-40 tahun. Dalam 1. perhitungan ini digunakan batas umur 30 tahun (Napier & Napier, 1986).

Siamang mencapai umur dewasa (2. minimum breeding age) pada umur ±8 tahun (Napier & Napier, 1986). Dengan demikian hanya klas umur dewasa saja yang melahirkan.

Interval melahirkan adalah 2-3 tahun, sehingga dalam kurun waktu 23 3. tahun, siamang dapat melahirkan sebanyak 8 kali. Siamang melahirkan tidak lebih dari 10 kelahiran semasa hidupnya (Palombit, 1995).

Jumlah anak yang dilahirkan pada setiap kelahiran adalah 1 anak 4. (Preuschoft, 1990 dalam Nopiansyah, 2007).

Fecundity untuk setiap masa kelahiran adalah 0,5. Fecundity diasumsikan 5. tetap untuk setiap kelas umur betina produktif.

Berdasarkan Chiver (1977) 6. dalam Nopiansyah (2007), sepasang siamang di alam pernah ditemukan hidup sampai berumur 25 tahun.

Jumlah betina dewasa adalah 7 individu. Jika diasumsikan semua betina 7. melahirkan pada waktu yang sama, maka akan diperoleh sebanyak 7 keturunan pada suatu waktu.

Life table hanya mempertimbangkan individu betina. Dengan sex ratio 8. kelahiran anak jantan dan betina 1:1, maka terdapat 3 anak betina. Jumlah anak betina ini akan digunakan dalam penyusunan life table.

Berdasarkan parameter demografi 9. H. agilis dari kelompok Hylobatidae (Mitani, 1990), mortalitas untuk klas umur bayi, anak, dan remaja adalah 0,18, sedangkan untuk klas umur pradewasa dan dewasa adalah 0,43.

Page 76: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

58

Berdasarkan life table ini dapat diperoleh informasi mengenai harapan hidup dari masing-masing kelas umur (ex). Harapan hidup adalah rata-rata panjang usia individu pada setiap kelas umur. Harapan hidup siamang pada klas umur bayi sebesar 3,25 terus menurun seiring penambahan usia. Hal ini juga terjadi pada peluang hidup (px) yang menurun seiring dengan penambahan umur, dan berbanding terbalik dengan kematian (qx). Artinya semakin dewasa, peluang hidup semakin kecil seiring dengan laju kematian yang semakin besar.

Selanjutnya, dengan menggunakan data life table, dapat disusun fecundity table, yang berguna untuk mengetahui potensi reproduksi. Nilai fecundity siamang adalah 0,5. Berdasarkan fecundity table, dapat diketahui bahwa nilai reproduksi bersih (R0) adalah sebesar 0,629. Artinya, populasi akan bertambah sebesar 0,629 kali dari populasi awal pada setiap generasi. Lamanya suatu generasi dapat diperhitungkan berdasarkan nilai reproduksi bersih. Lama generasi adalah (G) periode rata-rata antara kelahiran induk dengan kelahiran anak. Berdasarkan fecundity table, diperoleh lama generasi sebesar 12,56. Artinya, jarak antara kelahiran suatu induk siamang dengan kelahiran anaknya adalah 12,56 tahun.

Lama generasi (G) sangat ditentukan oleh peluang hidup, reproduksi (fecundity dan fertility), serta laju pertumbuhan populasi, sehingga akurasi ketiga nilai tersebut sangat menentukan nilai G yang sesungguhnya. Berdasarkan nilai G, maka diperoleh laju pertumbuhan instantaneous (rm) untuk siamang di CADS, yaitu sebesar -0,04 per individu per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa populasi tidak berkembang, bahkan sebaliknya menurun dengan nilai 0,04. Dengan menggunakan persamaan Lotka (1907,1913) dalam Krebs (1978), maka diperoleh nilai akurat untuk rm, yaitu sebesar -0,0356 per individu per tahun, dengan laju pertumbuhan finite (λ) sebesar 0,965. Berdasarkan nilai rm= -0,04, λ=0,965 per individu per tahun, artinya setiap individu yang ada tahun ini akan 0,965 keberadaannya pada tahun yang akan datang.

Page 77: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

59

Bab V. Populasi

Siamang hidup dalam kelompok yang terdiri dari 6 individu, namun rata-rata 4 individu (Gron, 2008). Ukuran kelompok siamang di CADS relatif kecil (3,43 individu/kelompok) dibandingkan beberapa hasil penelitian, diantaranya di TNBBS yaitu sebesar 3,9 individu per kelompok. Namun demikian masih dalam nilai yang normal untuk kelompok gibbon (Leighton 1986 dalam O’Brien 2004). Dari perjumpaan terhadap individu soliter, diduga merupakan individu yang memisahkan diri dari kelompok untuk membentuk kelompok baru. Individu ini biasanya dari kelompok pradewasa dan dewasa.

Gambaran distribusi umur menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS kemungkinan dapat berkembang pada beberapa tahun awal, namun akan sulit berkembang pada tahun-tahun berikutnya, karena minimnya jumlah kelompok anak dan bayi. Di antara sangat minimnya penelitian mengenai demografi siamang, distribusi umur H.agilis di Gunung Palung, Kalimantan yang diperoleh oleh Mitani (1990) dapat dijadikan perbandingan. Distribusi umur H.agilis juga menunjukkan minimnya proporsi kelas umur anak dan bayi, namun masih di atas 25%. Berbeda halnya dengan kelompok siamang di CADS, yang masing-masing hanya 4,17% dan 12,5% untuk klas umur bayi dan anak. Menurut Tarumingkeng (1994) pada struktur umur seperti ini populasi akan terus menurun, dan jika keadaan tidak berubah populasi akan punah setelah beberapa waktu.

Indikasi terhadap populasi yang sulit berkembang terlihat dari sedikitnya jumlah kelompok yang memiliki keturunan. Rendahnya potensi reproduksi kelompok Hylobatidae, termasuk siamang, pernah dilaporkan oleh Palombit (1995), dimana reproduksi aktual pada Hylobatidae jauh lebih rendah dari yang diketahui sebelumnya yaitu 10 individu selama hidup satwa. Palombit (1995) menemukan bahwa suatu individu siamang sangat jarang menyapih 5 individu selama hidupnya. Menurutnya, ada beberapa penyebab kegagalan reproduksi pada kelompok Hylobatidae. Pertama, adalah kegagalan mendapatkan pasangan. Berdasarkan penelitian ada individu yang tidak berhasil mendapatkan pasangan setelah 4 tahun. Selanjutnya, kegagalan reproduksi disebabkan oleh keterlambatan pengasuhan karena lemahnya

Page 78: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

60

kemampuan mengasuh, serta adanya kelahiran mati. Hal ini terlihat pada penelitian Palombit (1995), dimana hanya satu individu saja yang melahirkan lebih dari satu kali. Di CADS, adanya 4 individu yang masih soliter, dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya reproduksi dan sedikitnya anak yang dilahirkan.

Salah satu indikator potensi reproduksi siamang, adalah nilai reproduksi bersih (R0). Menurut Krebs (1978), jika nilai R0 lebih dari 1, maka suatu populasi akan tergantikan pada generasi berikutnya. Namun jika kurang dari 1, maka populasi tidak akan tergantikan pada generasi berikutnya, dan jika kondisi tersebut berlangsung dalam jangka waktu lama populasi akan terus mengalami penurunan. Berdasarkan nilai R0 sebesar 0,629, maka populasi siamang di CADS akan turun sekitar 3,71% pada setiap generasi dengan memperhitungkan tidak adanya imigrasi. Indikator lainnya adalah laju pertumbuhan instantaneous bernilai negatif. Laju pertumbuhan finite (λ) yang kurang dari 1 mengindikasikan individu pada tahun yang akan datang lebih sedikit dari individu saat ini. Artinya, jika kondisi seperti ini terus berlangsung lama, populasi akan menuju pada kepunahan.

Penyebab penurunan populasi di CADS secara spesifik belum dapat dipastikan. Namun demikian, secara umum populasi siamang menghadapi ancaman terhadap hilangnya habitat, akibat berbagai aktivitas manusia. Sebagai kawasan konservasi, CADS idealnya minim akan ancaman habitat. Namun demikian, potensi ancaman dan gangguan tetap ada berupa perubahan pemanfaatan lahan di sekitar kawasan CADS dan wilayah enclave di dalam kawasan CADS yaitu Desa Rambah Sihasur.

Model Pertumbuhan PopulasiD. Model pertumbuhan yang digunakan dalam analisis adalah model terpaut kerapatan atau dikenal juga dengan model persamaan logistik (Rockwood, 2006; Olsson and Hössjer, 2015). Hal ini karena semua pertumbuhan populasi satwa di alam akan dibatasi oleh daya dukung lingkungan yang mampu memenuhi kebutuhannya, seperti ketersedian gizi dan nutrisi

Page 79: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

61

Bab V. Populasi

(Fitzhugh, 1976). Besar kecilnya ukuran kelompok populasi siamang juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kerapatan vegetasi, topografi, iklim atau cuaca, ketersediaan jumlah pakan dan keberadaan competitor atau predator (Sari dan Harianto, 2015). Ukuran populasi awal (No) yang menjadi dasar dalam analisis ini adalah hasil penelitian Kwatrina et al., (2010-2011) yaitu sebesar 691 individu. Untuk memprediksi jumlah populasi tahun ke-1 (N1) adalah dengan menggunakan model matrik Leslie. Dalam penyusunan matrik Leslie, individu yang dihitung hanya individu betina, terutama pada kelas umur dewasa karena untuk kelas umur bayi, anak dan remaja sulit membedakan jenis kelaminya. Batasan yang digunakan dalam penyusunan matrik Leslie adalah sebagai berikut:

Proporsi setiap kelas umur siamang adalah 4,17% bayi, 12,5% anak, 1. 29,17% remaja, dan 54,17% dewasa (Kwatrina et al., 2010), sehingga diperoleh jumlah bayi 29 individu, anak 86 individu, remaja 202 individu dan dewasa 374 individu.

Sex rasio kelas umur dewasa dan pradewasa adalah 1 : 1,17 (Kwatrina 2. et al., 2010-2011).

Fecundity3. untuk setiap masa kelahiran adalah 0,5 (Kwatrina et al., 2010), sehingga jumlah anak yang dilahirkan dari betina dewasa diperkirakan sebesar 102 individu per tahun.

Peluang hidup dari bayi ke anak sebesar 0,82, dari anak ke remaja sebesar 4. 0,707 dan dari remaja ke dewasa sebesar 0,57 (Kwatrina et al., 2010).

Daya dukung habitat bagi populasi siamang adalah sebesar 1.414 5. individu (data primer).

Berdasarkan informasi diatas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan matrik Leslie sehingga diperoleh dugaan populasi tahun ke-1 (N1) sebesar 705 individu. Dari kedua ukuran populasi tersebut kemudian dianalisis nilai r (laju pertumbuhan populasi) dengan menggunakan dasar persamaan pertumbuhan logistik. Nilai r yang diperoleh adalah sebesar 0,039 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tersebut termasuk kategori

Page 80: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

62

titik keseimbangan yang stabil (Rockwood, 2006). Dengan menggunakan nilai r tersebut, maka populasi akan mencapai kondisi stabil (berfluktuasi di sekitar daya dukungnya) adalah pada tahun ke-195 dengan asumsi kondisi habitat di CA. Dolok Sipirok tetap dalam kondisi normal (tidak ada bencana, perubahan habitat dan sebab lainnya secara drastis).

Ukuran populasi siamang akan mencapai kondisi stabil pada tahun ke-150 dengan pertumbuhan populasi yang akan terjadi sangat lamban (Gambar 17). Kondisi ini dapat dimungkinkan karena setiap individu akan bersaing memperebutkan sumberdaya yang sangat terbatas dan tentunya akan mempengaruhi terhadap berbagai perilaku reproduksi terutama bagi betina dewasa. Pertumbuhan populasi siamang di CA. Dolok Sipirok relatif cepat sampai mencapai ambang batas daya dukungnya, dari tahun ke-1 sampai tahun ke 80-an. Pertumbuhan populasi akan melambat sesaat dan mencapai nilai daya dukungnya. Pertumbuhan populasi satwaliar sebenarnya akan berfluktuasi di sekitar daya dukungnya apabila tidak ada bencana alam atau faktor lain yang berubah secara ekstrim.

Gambar 17. Grafik pertumbuhan populasi siamang (Kwatrina et al., 2013)

Page 81: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB VI.SUMBER PAKAN DAN DAYA

DUKUNG

Jenis Tumbuhan PakanA. Cagar Alam Dolok Sipirok memiliki beragam jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai sumber pakan siamang. Sedikitnya telah teridentifikasi 48 jenis tumbuhan pakan yang tergolong ke dalam 21 famili, diantaranya andarasi (Ficus congesta Roxb.), asam hing (Dracontomelon dao Merr.&Rolfe), gala-gala (Ficus racemosa) dan handis (Garcinia celebica Linn), deke-deke (Ficus sp.) dan gumbot/motung (Ficus toxicaria Linn) (Tabel 7). Moraceae adalah kelompok tumbuhan sumber pakan yang paling banyak ditemukan, dimana ada 13 jenis tumbuhan dari famili ini. Siamang menyukai tumbuhan dari famili Moraceae karena karakteristik buah yang tidak keras dan memiliki daging buah cukup banyak. Salah satu jenis yang sering ditemukan adalah dari jenis Ficus sp.

Tabel 7. Jenis tumbuhan sumber pakan siamang berdasarkan famili

No Famili Jumlah Jenis1 Anacardiaceae 12 Aquifaceae 13 Dipterocarpaceae 14 Euphorbiaceae 25 Fagaceae 46 Guttiferae 1

Page 82: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

64

No Famili Jumlah Jenis7 Lauraceae 28 Leguminosae 19 Moraceae 1310 Myristicaceace 111 Myrtaceae 512 Palmae 113 Podocarpaceae 214 Rubiaceae 115 Sapotaceae 516 Sterculiaceae 117 Theaceae 218 Thymelaeaceae 119 Tiliaceae 120 Ulmaceae 121 Zingiberaceae 1

Total 48

Siamang memiliki pemilihan terhadap bagian tumbuhan yang ingin dimakan. Ada tumbuhan yang hanya dimakan daunnya saja, buahnya saja, kulitnya saja, atau justru memakan semua bagian. Siamang termasuk satwa frugivore atau suka memakan buah. Hal ini terlihat dari proporsi bagian yang dikonsumsi dari tumbuhan sumber pakan di lokasi penelitian, dimana lebih dari 75% bagian yang dimakan adalah buahnya (Tabel 8). Cempedak adalah satu-satunya jenis tumbuhan yang semua bagiannya dimakan oleh siamang.

Tabel 7. Jenis tumbuhan sumber pakan siamang berdasarkan famili (lanjutan)

Page 83: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

65

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

Tabel 8. Jenis tumbuhan pakan siamang dan bagian yang dimakan

No Nama lokal Nama ilmiah FamiliBagian yang dikonsumsi

Daun Buah Kulit

1 Andarasi Ficus congesta Roxb.

Moraceae v v

2 Api-api Gordonia excelsa Blume

Theaceae v

3 Aren Arenga pinnata Merr

Palmae v

4 Asam hing Dracontomelon dao Merr.&Rolfe

Anacardiaceae v

5 Balun injuk Myristica lawiana King

Myristicaceace v

6 Baringin/Hau ara Ficus sp.. Moraceae v v

7 Bayur Pterospermum javanicum Jungh.

Sterculiaceae v

8 Cempedak Arthocarpus integer Merr

Moraceae v v v

9 Dapdap Fagara rhetsa Roxb.

Fagaceae v

10 Deke-deke Zingiber officinale Rosc

Zingiberaceae v

11 Gala-gala Ficus racemosa Moraceae v

12 Gumbot jambut Ficus sp.. Moraceae v v

13 Handis Garcinia celebica L.

Guttiferae v

14 Hanyahap Ficus sp.. Moraceae v

15 Hatopul Artocarpus rigidus Blume

Moraceae v v

16 Hau dolok A Syzygium densiflorum Duthie

Myrtaceae v v

17 Hau dolok B Ticalysia javanica Kds.

Rubiaceae v

Page 84: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

66

No Nama lokal Nama ilmiah FamiliBagian yang dikonsumsi

Daun Buah Kulit

18 Hau dolok baringin

Syzygium acuminatum Miq.

Myrtaceae v

19 Hau dolok game-game

Syzygium cymosa Lamk.

Myrtaceae v

20 Hau dolok salam Syzygium sp. Myrtaceae v v

21 Hau dolok jambu Syzygium racemosum DC.

Myrtaceae v v

22 Horsik Ilex pleiobrachiata Loes

Aquifaceae v v

23 Hole misang Ficus sp. Moraceae v

24 Hoteng Quercus sp. Fagaceae v

25 Hoteng maranak Castanopsis rhamifolia (Miq.) Dc.

Fagaceae v v

26 Hoteng barangan Castanopsis inermis Jack

Fagaceae v

27 Hoteng batu Podocarpus beccarii Parl

Podocarpaceae v

28 Junjung buhit Elaeocarpus floribundus Blume

Tiliaceae v

29 Karet Hevea brasiliensis Muell. Arg

Euphorbiaceae v

30 Lacat bodat Shorea hopeifolia Sym.

Dipterocarpaceae v

31 Mayang Palaquium sp. Sapotaceae v

32 Mayang batu Payena leerii (Teijsm.&Binn.) Kurz.

Sapotaceae v

33 Mayang durian Palaquium obovatum Engl., var.

Sapotaceae v

Tabel 8. Jenis tumbuhan pakan siamang dan bagian yang dimakan (lanjutan)

Page 85: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

67

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

No Nama lokal Nama ilmiah FamiliBagian yang dikonsumsi

Daun Buah Kulit

34 Mayang rata Payena glabra H.J Sapotaceae v

35 Mayang susu Palaquium sp. Sapotaceae v

36 Modang kuning Litsea odorifera Valeton

Lauraceae v

37 Motung Ficus toxicaria Linn

Moraceae v v

38 Pege-pege Ficus tenuicuspidata Corner.

Moraceae v

39 Petai hutan Parkia speciosa HASSK

Leguminosae v v

40 Poga/Jambu-jambu

Endospemum diadenum Miq.

Euphorbiaceae v

41 Rambutan hutan Cryptocarya nitens (Blume) Koord.&Val.

Lauraceae v

42 Sampinur tali Podocarpus imbricatus Bl. Var

Podocarpaceae v

43 Simargalunggung Ficus sp. Moraceae v

44 Songgak Aquilaria malaccensis Lamk.

Thymelaeaceae v

45 Takki gatal Gironneiera subaequalis Planch.

Ulmaceae v

46 Tambiski tombak Eurya acuminata A.P.DC.

Theaceae v v

47 Torop Artocarpus elasticus Reinw.

Moraceae v v

48 Tupe Ficus sp. Moraceae v

Sumber : Kuswanda et al. (2012) dan Kwatrina et al. (2011)

Tabel 8. Jenis tumbuhan pakan siamang dan bagian yang dimakan (lanjutan)

Page 86: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

68

Terkait dengan sumber pakan, salah satu parameter yang penting untuk diketahui kerapatan tumbuhan sumber pakan yang menggambarkan seberapa besar potensi sumber pakan di suatu wilayah habitat. Nilai kerapatan vegetasi tingkat tiang di Kawasan CA. Dolok Sipirok adalah 430 individu/ha dan yang teridentifikasi sebagai pakan siamang (yang dikonsumsi daun) hanya sebesar 155 individu/ha dengan Indeks Nilai Penting total sebesar 105,34%. Untuk tingkat pohon dengan kerapatan total vegetasi 236 individu/ha, kerapatan tumbuhan sumber pakan hanya 118 individu/ha (Kwatrina et al., 2011).

Adapun kerapatan jenis tumbuhan pakan yang dikonsumsi buahnya pada tingkat tiang adalah sebesar 120,00 individu per ha (INP=85,88%) dan pada tingkat pohon 91,89 individu per ha (INP=106.29%). Berdasarkan kedua data tersebut maka rata-rata kerapatan tumbuhan pakan daun siamang di CA. Sipirok adalah sebesar 136 individu/ha dan yang hanya dikonsumsi buahnya sebesar 105,95 individu per ha. Nilai kerapatan tumbuhan pakan (daun dan buah) ini sangat berguna untuk menduga ketersediaan tumbuhan sumber pakan melalui analisis produktivitas tumbuhan pakan.

Produktivitas Tumbuhan Pakan Daun B. Siamang

Nilai produktivitas tumbuhan pakan dapat menggambarkan seberapa besar potensi pakan di suatu habitat. Dari hasil pengukuran terhadap 30 pohon pakan siamang, 15 pohon di hutan primer dan 15 pohon di hutan sekunder dapat diketahui beberapa parameter penting, yaitu karakteristik, biomassa dan produktivitas daun di CADS (Tabel 9).

Page 87: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

69

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

Tabel 9. Karakteristik dan hasil analisis produktivitas daun tumbuhan pakan siamang di CADS

NoTipe

hutan

Karakteristik tumbuhan pakan

Berat Biomassa

(kg/ha)

Produktivitas (kg/ha/hari)

Rata-rata Diameter

pohon (cm)

Rata-rata

tinggi total

pohon (cm)

Rata-rata Diameter

tajuk (cm)

Hasil Penga-matan

Hasil Pendu-

gaan

1 Hutan sekunder

21,40 1366,67 484,40 Basah 548,1 10,8 10,9Kering 255,7 6,8 6,8

2 Hutan primer

21,02 1393,33 660,03 Basah 413,4 10,0 10,1Kering 220,3 5,8 4,7

Sumber: Kuswanda dan Garsetiasih (2016)

Rata-rata biomassa daun pada hutan primer adalah 3,04 kg BB/individu (BB adalah berat basah) atau 1,62 kg BK/individu (BK adalah berat kering). Dengan kerapatan tumbuhan pakan daun sebesar 136 individu/ha, maka diperoleh nilai biomassa sebesar 413,44 kg BB/ha atau setara dengan 220,32 kg BK/ha, (Kuswanda, 2011). Untuk hutan primer di CA. Dolok Sipirok yang memiliki luas 6.180 ha maka total biomassa tumbuhan pakan daun adalah sebesar 1.361,6 ton BK. Untuk hutan sekunder, biomassa daun adalah 4,03 kg BB/pohon dan 1,88 kg BK/individu atau sebesar 548,1 kg BB/ha atau 255,68 kg BK/ha pada hutan. Apabila luas hutan sekunder di CA. Sipirok sebesar 420 ha (Kuswanda, 2011), maka total biomassa pada hutan sekunder adalah 107,4 ton BK.

Besarnya rata-rata biomassa tumbuhan pakan contoh per individu pohon atau per hektar pada hutan sekunder dapat terjadi akibat adanya perbedaan intensitas cahaya, iklim mikro serta kondisi bio-fisik lainnya antara hutan sekunder dan hutan primer (Kljun et al., 2007). Menurut Chen (2010); Reddy et al., (2011), biomassa dan regenerasi tumbuhan pada hutan sekunder akan lebih cepat karena belum mencapai kondisi yang klimaks dengan masih banyaknya ditemukan pohon yang muda (diameter <10cm).

Page 88: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

70

Sebagai contoh, intensitas cahaya yang lebih cepat/besar sampai pada pohon strata B (tingkat tiang) dan lantai hutan pada hutan sekunder (kerapatan lebih rendah menurut Kwatrina et al., 2011) dapat lebih mempercepat proses fotosintesis yang dapat mengakibatkan lebih banyak guguran serasah dan kandungan karbonnya (Litton et al., 2007).

Parameter selanjutnya adalah produktivitas daun. Rata-rata produktivitas daun pada hutan primer adalah 1,00 gram/m2/hari atau 10,0 kg BB/ha/hari atau setara dengan 5,8 kg BK/ha/hari. Pada hutan sekunder nilai produktivitasnya adalah 10,8 kg BB/ha/hari atau 6,8 kg BK/ha/hari. Dengan demikian, rata-rata nilai produktivitas daun adalah 10,4 kg BB/ha/hari atau 6,3 kg BK/ha/hari. Nilai produktivitas ini masih merupakan nilai produktivitas primer kotor karena belum memperhitungkan nilai respirasi tumbuhan. Persentase kandungan air pada tumbuhan pakan siamang relative kecil, yaitu 37,1%. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kandungan air pada tumbuhan pakan orangutan di CA. Dolok Sibual-buali sebesar 36,3% (Kuswanda dan Bismark, 2007).

Hal yang menarik adalah, hutan sekunder memiliki nilai produktivitas dan biomassa daun yang lebih besar daripada hutan primer. Hal ini ada kaitannya dengan karateristik pohon, dimana pohon pada hutan sekunder memiliki lebar daun yang lebih besar sehingga diduga proses fotosintesis juga lebih cepat. Beberapa jenis tumbuhan pada hutan sekunder, seperti teurep (Artocarpus elasticus Reinw.) dan cempedak (Arthocarpus integer Merr) memiliki ukuran daun yang lebih besar dibanding ukuran daun dari jenis hau dolok (Syzygium sp.) dan hoteng (Quercus sp.) pada hutan primer. Menurut Ewusie (1990), indeks luas daun (ILD) sangat mempengaruhi proses fotosintesis tumbuhan, selain faktor suhu dan cahaya matahari. Secara umum, produktivitas primer pada hutan hutan tropika, seperti di Pulau Sumatera, jauh lebih tinggi dibandingkan pada hutan iklim sedang dan hutan alpine. Campbell et al., (2002) menyatakan bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan lebih lama penyinaran cahaya matahari akan memiliki kesempatan berfotosintesis yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan produktivitas primer, seperti tumbuhan di hutan tropika.

Page 89: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

71

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Chapin III et al. (2002) yang menyatakan bahwa produktivitas daun pada tumbuhan di hutan hujan tropis sekitar 1,14 gram/m2/hari atau 11,4 kg/ha/hari. Begitu juga Ewusie (1990) menuliskan bahwa guguran serasah daun pada hutan tropis sekitar 18,3 kg/ha/hari atau 6,7 ton/ha/tahun. Menurut Campbell et al., (2002), nilai produktivitas pada ekosistem hutan menunjukkan simpanan energi kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar tumbuhan, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor.

Berdasarkan hasil analisis regresi dengan memasukkan variabel karakteristik tumbuhan (sebagai X) dengan jumlah produktivitas daun (Y) hasil pengukuran di lapangan pada setiap jenis tumbuhan contoh diperoleh persamaan sebagai berikut (Zhao dan Zhou, 2005) :

Hutan Sekunder

Berdasarkan berat basah : Ydb= -2,035 + 0,146 Dp

Berdasarkan berat kering : Ydk= -1,266 + 0,091 Dp

Pada Hutan Primer

Berdasarkan berat basah : Ydb = -0,310 + 0,002 Dtj

Berdasarkan berat kering : Ydk = -0,189 + 0,001 Dtj

Keterangan : Ydb = jumlah produktivitas daunYdk = jumlah produktivitas daunDp = diameter setinggi dada Dtj = diameter tajuk

Pada hutan sekunder menunjukkan bahwa faktor karakteristik tumbuhan yang paling mempengaruhi nilai produktivitas adalah diameter pohon. Hasil output SPSS menunjukan nilai adjusted R2 persamaan tersebut sebesar 0,61 BB dan 0,56 BK. Hal ini berarti variasi produktivitas daun pada hutan sekunder dapat dijelaskan oleh variasi dari Dp sebesar 61,1% BB dan hanya 56,0 % BK sedangkan kemungkinan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor

Page 90: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

72

lain diluar model. Pada hutan primer menunjukkan bahwa faktor yang lebih berpengaruh terhadap nilai produktivitas daun adalah diameter tajuknya dengan nilai adjusted R2 sebesar 0,61 BB dan 0,62 BK. Dari nilai Standard Error of the Estimate (SEE) di kedua lokasi tersebut menunjukan bahwa model regresi berdasarkan BK diduga akan lebih tepat untuk menganalisis model karena memiliki nilai yang lebih kecil, yaitu sebesar 0,67 dibandingkan berdasarkan BB sebesar 0,99.

Berdasarkan persamaan di atas diperoleh nilai dugaan pada hutan sekunder sebesar 6,8 kg/ha/hari BK dan pada hutan primer sebesar 4,7 kg/ha/hari BK. Hasil analisis ini menunjukan bahwa rata-rata produktivitas di lapangan dibandingkan dengan menggunakan model pendugaan tidak jauh berbeda, kecuali pada berat kering di hutan primer. Nilai simpangan baku dari kedua pendekatan di atas sangat kecil, kurang dari 1 gram/m2/hari. Untuk itu direkomendasikan bahwa kedepannya dalam menduga nilai produktivitas daun tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Dolok Sipirok dan sekitarnya dapat menggunakan persamaan di atas. Penelitian hanya perlu mengukur variabel X yang paling berpengaruh, seperti diameter pohon dan diameter tajuk.

Menurut Zhao and Zhou (2005) menyebutkan bahwa karakteritik tumbuhan seperti diameter pohon (DBH) dan volume tajuk memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap nilai produktivitas tumbuhan. Namun demikian, untuk menganalisis nilai produktivitas daun agar menghasilkan nilai yang lebih teliti ke depannya dapat memasukkan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, seperti struktur dan komposisi komunitas, jenis dan usia tumbuhan, cahaya, karbohidrat, air, nutrisi, suhu, dan tanah. Sebagai contoh, suhu sangat berperan terhadap proses produktivitas daun karena berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintesis sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Campbell et al., 2002; Reddy et al., 2011).

Page 91: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

73

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

Produktivitas Tumbuhan Pakan Buah C. Siamang

Hasil pengamatan di hutan primer pada 10 plot pengamatan dengan total seluas 3 ha sedikitnya ditemukan sekitar 12 jenis tumbuhan pakan buah siamang yang sedang berbuah pada waktu penelitian sedangkan pada hutan sekunder (10 plot pengamatan dengan total luasan 3 ha) ditemukan 13 jenis yang sedang berbuah. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah andarasi (Ficus congesta Roxb), asam hing (Dracontomelon dao Merr.&Rolfe), cempedak (Arthocarpus integer Merr), teurep (Artocarpus elasticus Reinw.) dan pege-pege (Ficus tenuicuspidata Corner.) dan handis (Garcinia celebica L.). Hasil pengukuran dan pendugaan nilai biomassa dan produktivitas buah pakan siamang disampaikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil analisis biomassa dan produktivitas buah tumbuhan pakan siamang

NoTipe

hutanBerat

Biomassa hasil

pengamatan

(kg/pohon)

Biomassa (kg/ha)Produktivitas buah (kg/

ha/hari)

Hasil Pengamatan

Hasil Pendugaan

Hasil Pengamatan

Hasil Pendugaan

1 Hutan sekunder

Basah 16,73 1773,01 1814,92 59,10 60,51

Kering 7,70 815,45 839,12 27,18 27,95

2 Hutan primer

Basah 16,70 1769,14 1768,31 58,97 58,94

Kering 7,64 808,94 808,40 26,96 26,93

Sumber : Kuswanda dan Garsetiasih (2016)

Secara keseluruhan, nilai rata-rata biomassa buah hasil pengukuran pada hutan sekunder dan primer tidak jauh berbeda, sekitar 16,7 kg/pohon meskipun jenis tumbuhan yang dijadikan contoh penelitian 90% berbeda. Namun tentunya bila dilihat dari jenis pohonnya sangat berbeda. Sebagai contoh, nilai biomassa buah yang paling kecil adalah ditemukan pada jenis hau dolok jambu (Syzygium racemosum DC) sebesar 2,29 kg/pohon BB dan

Page 92: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

74

yang terbesar adalah pada jenis handis (Garcinia celebica L.) sebesar 117,98 kg/pohon BB. Hasil ini menunjukkan bahwa variasi biomassa buah jenis tumbuhan pakan siamang cukup beragam. Jumlah dan ukuran buah setiap jenis tumbuhan pakan umumnya berbeda. Rata-rata nilai biomassa buah per pohon adalah 16,67 kg/pohon BB dan 7,63 kg/pohon BK.

Berdasarkan hasil analisis regresi dengan memasukkan variabel karakteristik tumbuhan (sebagai X) dengan jumlah biomassa buah (Y) hasil pengukuran di lapangan pada setiap jenis tumbuhan contoh diperoleh persamaan sebagai berikut :

Hutan Sekunder1.

Berdasarkan berat basah : Ybb= 0,07 + 1,111 Dp – 1,316 Ttot•

Berdasarkan berat kering : Ybk= 1,929 + 0,510 Dp – 0,748 Ttot•

Hutan Primer2.

Berdasarkan berat basah : Ybb= -12,598 + 3,275 Dp - 4,299 Ttot•

Berdasarkan berat kering : Ybk= -7,808 + 1,694 Dp - 2,198 Ttot•

Keterangan : Ydb = jumlah produktivitas buah (berat basah)Ydk = jumlah produktivitas buah (berat kering)Dp = diameter setinggi dadaTtot = tinggi pohon

Besarnya nilai adjusted R2 pada hutan sekunder sebesar 0,81 BB dan 0,66 (BK) sedangkan pada hutan primer adalah 0,91 BB dan 0,90 BK. Hal ini berarti selain dari kedua variabel di atas ternyata masih terdapat faktor lain yang masih mempengaruhi produktivitas buah yang tidak dimasukkan dalam penelitian. Faktor lain tersebut dimungkinkan adalah faktor fisik lingkungan seperti adalah suhu, jenis tanah, cahaya dan air yang belum dimasukkan dalam penelitian ini.

Hasil persamaan di atas menginformasikan bahwa karakteristik tumbuhan

Page 93: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

75

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

pakan buah yang paling mempengaruhi jumlah biomassa buah adalah diameter batang dan tinggi total. Nilai dugaan rata-rata biomassa hasil pendugaan (analisis regresi) dengan hasil pengukuran di lapangan tidak begitu berbeda, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder. Nilai rata-rata simpangan baku di bawah 0,5 kg/pohon. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan di atas juga dapat menjadi referensi untuk menduga biomassa buah tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Dolok Sipirok dan sekitarnya.

Merujuk pada Kwatrina et al., (2011) diperoleh rata-rata kerapatan tumbuhan pakan buah siamang di CA. Sipirok sebesar 105,95 ind/ha (tingkat pohon dan tiang) sehingga diperoleh nilai biomassa buah pada hutan sekunder sebesar 1.773 kg/ha BB dan 815 kg/ha BK. Pada hutan primer diperoleh sebesar 1,769 kg/ha BB dan 808 kg/ha BK. Nilai dugaan biomassa ini masih merupakan dugaan kasar karena baru dianalisis dari ketersediaan buah di alam dalam satu musim berbuah. Menurut Meijaard, et. al. (2001), di Sumatera periode berbuahnya tumbuhan pakan satwaliar umumnya mempunyai ritme masing-masing dan dapat menghasilkan buah dalam dua musim atau lebih dalam setahun. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik, jenis dan keragaman jenis tumbuhan yang membangun ekosistem pada suatu kawasan hutan (Evariste et al., 2010; Anitha et al., 2010).

Berdasarkan nilai biomassa, selanjutnya dibagi dengan rata-rata durasi/lamanya waktu (hari) ketersediaan buah matang yang siap dikonsumsi siamang. Menurut Meijaard et al. (2001) dan Kuswanda dan Bismark (2007) menyebutkan bahwa nilai rata-rata lamanya waktu ketersediaan buah matang yang siap dikonsumsi oleh satwaliar sekitar 30 hari untuk satu musim berbuah. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas buah tumbuhan pakan siamang (hutan primer dan sekunder) adalah sebesar 59,04 kg/ha per hari BB dan 27,07 kg/ha per hari BK.

Persentase jenis tumbuhan pakan buah tentunya tidak serentak sepanjang musim berbuah (100%). Sugardjito (1986) menyatakan bahwa jenis tumbuhan berbuah rata-rata hanya berkisar antara 5 – 30 % dalam setiap bulannya. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai produktivitas

Page 94: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

76

buah (mempertimbangkan musim berbuah) rata-rata berkisar antara 6,89 kg/ha per hari BB dan rata-rata sebesar 3,16 kg/ha per hari BK. Rata-rata produktivitas buah tumbuhan pakan siamang lebih kecil bila dibandingkan dengan produktivitas buah pakan orangutan di CA. Dolok Sibual-buali. Menurut Kuswanda dan Bismark (2007), produktivitas buah (mempertimbangkan musim berbuah) tumbuhan pakan orangutan rata-rata sekitar 7,63 kg/ha per hari BB dan 3,23 kg/ha per hari BK.

Siamang, seperti jenis dari Famili Hylobathes lainnya memiliki tingkat kesukaan yang tinggi terhadap buah sehingga dikenal sebagai satwa frugivora/pemakan buah (Geissmann et al., 2006). Siamang sangat selektif dalam memilih makanan. Makanan utama yang dipilih berupa buah-buahan yang masak dan daun muda (Rosyid, 2007). Kelompok siamang akan bergerak pada habitatnya untuk mencari tumbuhan yang sedang berbuah, terutama dari kelompok Ficus sp. Ketersediaan buah pakan di CA. Dolok Sipirok yang tidak serentak diduga sering mengakibatkan kelompok siamang akan bersaing dalam memperebutkan wilayah jelajah. Pada saat penelitian teramati dua kelompok siamang saling berkejaran karena untuk menguasai pohon motung (Ficus toxicaria Linn) yang sedang berbuah masak.

Tingkat Konsumsi PakanD. Tingkat konsumsi adalah jumlah atau berat makanan yang terkonsumsi oleh binatang (McDonald, 2005). Pendugaan tingkat konsumsi pakan satwaliar di alam bebas/habitat alaminya secara kuantitatif sangat sulit dilakukan dengan waktu dan biaya penelitian yang terbatas. Pengukuran nilai konsumsi satwa di alam bebas banyak mengalami kesulitan karena tidak mudah menangkap sejumlah satwaliar untuk dijadikan contoh penelitian dalam pengukuran ransum makanan, tidak seperti pada binatang peliharaan/ternak. Menurut Alikodra (1990), penentuan tingkat konsumsi pakan satwaliar dapat didekati dari nilai berat tubuhnya dimana setiap spesies satwaliar diperkirakan membutuhkan makanan sekitar 10 - 20 % dari berat tubuhnya untuk setiap harinya.

Beberapa literatur seperti Nopiansyah (2007) dan Gron (2008) menyebutkan

Page 95: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

77

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

bahwa ukuran berat tubuh siamang sangat bervariasi sesuai dengan kelas umurnya. Rata-rata berat tubuh siamang umur bayi dan anak (1 – 4 tahun) diperkirakan 0, 6 – 4 kg, muda dan remaja (5-6 tahun) di atas 4 – 7 kg, sub remaja (7-8 tahun) di atas 7 – 10 kg dan dewasa (diatas 9 tahun) untuk betina rata-rata 10,5 kg dan jantan sekitar 12,8 kg. Berdasarkan klasifikasi klas umur tersebut, rata-rata berat tubuh siamang adalah 7,86 kg. Apabila kebutuhan konsumsi siamang diperkirakan 10-20% dari berat tubuhnya untuk setiap hari, maka rata-rata jumlah konsumsi pakan siamang berkisar 0,8 – 1,6 kg per hari atau rata-rata 1,2 kg per hari. Nilai dugaan ini masih merupakan dugaan kasar yang belum mempertimbangkan jumlah energi yang dikeluarkan oleh siamang dalam memperoleh makanan yang sebenarnya akan mempengaruhi besaran konsumsi pakan di alam (Alikodra, 1990).

Daya Dukung HabitatE. Daya dukung habitat individu satwa liar secara umum ditentukan berdasarkan nilai produktivitas tumbuhan pakan pada satuan kg/ha per hari karena faktor yang paling menentukan keberadaan satwaliar dalam habitatnya adalah ketersediaan makanan, yang selanjutnya dibagi tingkat konsumsi pada satuan kg/hari per individu (Abdullah et al., 2009). Pada habitat alaminya, tidak semua kawasan yang ada digunakan dan pakan yang tersedia dapat dikonsumsi oleh satwaliar. Hal ini dilakukan untuk menghindari persaingan ruang dan pakan, menghemat energi atau menghindari dari serangan predator (Alikodra, 1990). Demikian juga dengan alokasi waktu, dimana tidak semua waktu digunakan oleh satwa untuk mencari dan mengkonsumsi makanan. Banyak waktu digunakan untuk aktivitas lainnya seperti aktivitas sosial, bergerak dan istirahat. Bagian makanan yang tersedia di habitatnya, seperti daun atau buah juga tidak seluruhnya dikonsumsi oleh satwa.

Untuk mendapatkan nilai dugaan daya dukung habitat yang lebih realistis, maka dimasukkan berbagai faktor koreksi terhadap persamaan Alikodra (1990), yang menyatakan bahwa nilai daya dukung dapat diperoleh dari nilai produktivitas pakan dibagi besaran konsumsi satwa. Faktor koreksi

Page 96: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

78

tersebut diantaranya sebagai berikut:

Luas kawasan CA. Dolok Sipirok yang merupakan hutan primer sekitar 1. 6.180 ha dan hutan sekunder 420 ha (Kuswanda, 2011).

Persentase luas habitat yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh 2. satwaliar, yaitu sebesar 0,36 (Meijaard et al., 2001).

Persentase jumlah setiap bagian makanan yang dikonsumsi oleh 3. satwaliar. Nilai persentase tersebut adalah sebesar 0,556 untuk buah dan 0,353 untuk daun (Sinaga, 1992).

Persentase waktu yang digunakan oleh satwa untuk mengkonsumsi 4. setiap jenis makanannya. Nilai persentase tersebut adalah sebesar 0,6 untuk buah dan 0,25 untuk daun (Meijaard et al., 2001).

Faktor koreksi terhadap spesies makanan dari individu tumbuhan pakan 5. yang kurang disukai, jatuh dan sebab lainnya. Nilai tersebut menurut Alikodra (1990); Purwanto (2009) adalah sebesar 0,5.

Faktor ketersediaan buah atau rata-rata jumlah jenis tumbuhan berbuah 6. dalam satu musim buah, yaitu antara 5-30% atau sekitar 17,5%.

Dengan menggunakan faktor-faktor koreksi tersebut, maka dapat diketahui dugaan daya dukung habitat untuk hutan primer berdasarkan nilai dugaan produktivitas daun bagi populasi siamang di CA. Dolok Sipirok adalah 540 individu, sedangkan berdasarkan nilai dugaan produktivitas buah adalah 2.106 individu. Untuk hutan sekunder, dugaan daya dukung habitat berdasarkan nilai dugaan produktivitas daun adalah 39 individu sedangkan berdasarkan nilai dugaan produktivitas buah adalah 143 individu. Secara keseluruhan, nilai dugaan daya dukung habitat di CA Dolok Sipirok adalah 579 – 2.249 individu atau rata-rata sekitar 1.414 individu, dengan asumsi kondisi hutan tidak mengalami kerusakan dan siamang selalu mengkonsumsi buah dan daun. Apabila luas keseluruhan hutan primer dan sekunder sekitar 6.600 ha maka kapasitas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok yang akan mampu mendukung pertumbuhan siamang adalah sekitar 4 – 5 ha untuk 1 individu siamang.

Page 97: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

79

Bab VI. Sumber Pakan dan Daya Dukung

Nilai dugaan ini masih cenderung over estimate karena belum memperhatikan faktor persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan primata lainnya, seperti orangutan (Pongo abelii). Jenis tumbuhan pakan siamang sebagaian besar juga merupakan pakan orangutan yang sama-sama menggunakan CA. Dolok Sipirok sebagai habitatnya (Kuswanda, 2011). Menurut Rockwood (2006), adanya kompetisi konsumsi pakan akan mengakibatnya suatu jenis satwaliar tidak optimal untuk memanfaatkan segala sumberdaya yang ada di habitatnya. Untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya persaingan satwa dalam memanfaatkan sumber pakan maupun ruang dilakukan pula analisis daya dukung melalui pendekatan wilayah jelajah/home range.

Menurut Gron (2008), siamang hidup dalam kelompok-kelompok sosial terkecil, terdiri dari jantan dan betina dewasa dengan 1-4 ekor anaknya. Pasangan siamang merupakan pasangan monogami dan hidup dengan pola kelompok dengan sistem kekerabatan yang menggunakan daerah teritori spesifik dimana home range seluas 15–30 ha atau rata-rata sekitar 22, 5 ha. Pada tempat yang alami, ukuran kelompok siamang rata-rata 4 ekor (Gittins dan Raemakers, 1980). Berdasarkan data tersebut, apabila luas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok bagi siamang sekitar 6.600 ha dibagi rata-rata home range nya maka diperoleh daya dukung bagi siamang adalah sebesar 294 kelompok siamang. Selanjutnya apabila setiap kelompok terdiri dari 4 individu, maka kapasitas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok bagi siamang adalah sebanyak 1.173 individu.

Nilai dugaan rata-rata daya dukung (produktivitas pakan dan home range siamang) sebesar 1.294 siamang. Menurut Kwatrina et al., (2010), dugaan kepadatan siamang di CA. Dolok Sipirok saat ini adalah 9,91±3,4 individu/km2 dengan dugaan populasi sekitar 691 individu. Kondisi daya dukung saat ini belum termanfaatkan seluruhnya oleh siamang. Populasi siamang masih dapat berkembang sampai mencapai nilai daya dukungnya. Namun demikian, untuk meningkatkan populasi siamang perlu didukung oleh rencana pengelolaan yang tepat, terutama untuk mengantisipasi perubahan komposisi tumbuhan akibat penyerobotan kawasan menjadi lahan pertanian

Page 98: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

80

atau pemukiman (Maron and Crone, 2006) yang sudah terjadi di beberapa lokasi sekitar CA. Sipirok, seperti sekitar Desa Rambah Siasur dan Daerah Arse, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Page 99: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB VII.ANCAMAN FRAGMENTASI

HABITAT SIAMANG

Hutan tropis, termasuk di Pulau Sumatera merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Manusia adalah penyebab utama terdegradasi dan fragmentasi hutan tropis. Kerusakan hutan tropis di Pulau Sumatera sudah mulai terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Semasa penjajahan Belanda dan Inggris, deforestasi terjadi atas kebijakan perdagangan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang mengijinkan penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kegiatan ini didukung oleh kebijakan ijin pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian untuk memperoleh pendapatan (pajak bumi) dan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), yang memaksakan perubahan fungsi hutan menjadi kebun tebu, kopi, nila dan karet. Pada saat penjajahan Jepang (1942-1945) aktivitas yang mengakibatkan deforestrasi hutan terus berlanjut. Sebagian besar deforestasi pada zaman itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam sebanyak dua kali lipat jatah tebangan tahunan untuk membiayai perang, dan penyewaan lahan kepada penduduk untuk menanam tanaman pangan (seluas 4.428 ha), khususnya di pulau Jawa, yang memicu pembukaan hutan yang lebih luas lagi (Mursidin et al., 1997; Nawir et al., 2008).

Setelah jaman kemerdekaan, deforestasi telah menjadi masalah yang serius pada awal tahun 1970-an; seiring dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ekonomi nasional dengan mengeluarkan ijin penebangan kayu untuk pengusaha di hutan Pulau Jawa (FWI/ GFW 2002). Periode 1975-1990, pemerintah banyak menerbitkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang mengesksploitasi hutan secara besar-besaran, sampai bulan Juni 2000, wilayah hutan yang dikelola

Page 100: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

82

perusahaan HPH te l ah mencapai 41 juta ha (Departemen Kehutanan, 2005).

Baplan, Dephut (2008) menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,8 juta ha per tahun, selama periode 1997-2000 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,84 juta ha per tahun, dan selama periode 2000-2005 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Sejak 2010 sampai 2015, Indonesia diduga menempati urutan kedua tertinggi kehilangan luas hutannya, yang mencapai 684.000 hektar tiap tahunnya dari total luas hutan saat ini mencapai 120,4 juta hektar pada tahun 2017 (Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, Kementerian LHK, 2018).

Fragmentasi terjadi pada berbagai status dan fungsi hutan, baik hutan konservasi, produksi maupun hutan lindung. Fragmentasi tersebut mengakibatkan terputusnya beberapa habitat utama satwa, termasuk pada siamang. Saat ini habitat utama siamang hanya tersisa pada kawasan hutan yang terfragmentasi oleh beragam aktivitas manusia. Hutan yang masih potensial sebagai habitat siamang, hanya tersisa pada sebagian hutan konservasi dan area yang dilindungi yang manfaatnya masih dirasakan oleh manusia, seperti sumber mata air dan umumnya terdapat pada lereng yang terjal.

Pembukaan Lahan BudidayaA. Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan tempat yang diperlukan untuk setiap aktivitas manusia, seperti pertanian, pemukiman, jalan untuk transportasi dan lainnya. Masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan lahan olahan yang paling mudah adalah dengan membuka hutan. Salah satu lahan yang mudah dirambah tentunya adalah hutan negara, yang dimata sebagian masyarakat merupakan tanah terbuka dan tidak dikelola, seperti pada hutan produksi yang sudah ditinggalkan oleh pemilik ijin usahanya. Masyarakat membuka karena merasa aman dan tidak perlu membelinya.

Page 101: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

83

Bab VII. Ancaman Fragmentasi Habitat Siamang

Masyarakat yang tinggal disekitar hutan konservasi disekitar CA. Dolok Sipirok lebih dari 70% masih bermatapencaharian sebagai petani. Tingginya penduduk yang bekerja di sektor tersebut tentunya memberikan konsekuensi akan kebutuhan lahan yang terus meningkat, termasuk di sekitar CA. Dolok Sipirok. Bagi masyarakat di Tapanuli, bertani dan berkebun merupakan pekerjaan yang telah terjadi secara turun temurun. Menurut Alikodra (2012), pertumbuhan penduduk dan mengelola lahan tanpa mempertimbangkan aspek ekologi menjadi faktor yang mendorong berkurangnya sumberdaya hutan.

Kuswanda (2015) menyebutkan bahwa masyarakat sekitar CA. Dolok Sipirok telah menggarap lahan secara turun temurun. Hasil pengamatan secara deskriptif lahan yang mereka buka bukan hanya di kawasan APL akan tetapi meliputi sisa area hutan produksi bahkan hutan lindung. Area hutan Negara, termasuk yang berbatasan langsung dengan kawasan cagar alam sebagian telah dirambah oleh masyarakat. Masyarakat yang membuka hutan bukan hanya masyarakat lokal akan tetapi berasal dari luar desa bahkan yang tinggal diluar Kabupaten Tapanuli Selatan.

Masyarakat pembuka hutan, terutama yang baru membuka lahan (di bawah 4 tahun) justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat pendatang, yang memilih tinggal di desa mereka mengikuti saudara atau keluarga lainnya. Mereka membuka lahan agar tidak membebani keluarga yang ditumpanginya. Pada beberapa lokasi ditemukan pula kasus bahwa masyarakat sendiri yang menjual lahan pada pendatang atau pemilik modal dari luar. Permasalahan lain muncul ketika hutan sudah dibuka atau lahan sudah dibeli masyarakat luar, lahan tersebut tidak dikelola dan hanya ditumbuhi semak belukar (Kuswanda, 2015).

Page 102: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

84

Sumber : (Kuswanda, 2013)

Gambar 18. Dampak Pembakaran Lahan

Masyarakat memiliki luas lahan sangat bervariasi meskipun umumnya mengaku lahan olahanya kurang dari 1 ha. Masyarakat yang mengelola lahan tersebut dengan beragam jenis tanaman. Tanaman yang ditanam merupakan tanaman kombinasi antara tanaman perkebunan dan palawija (semusim). Jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan adalah durian, kopi dan sebagian coklat. Disela-sela tanaman tersebut mereka tanam juga beragam jenis sayuran untuk mereka konsumsi sendiri.

Sebagai satwa arboreal yang tergantung pada pepohonan, pembukaan lahan dapat mengakibatkan siamang kehilangan habitatnya dan semakin mudah untuk diburu. Berkurangnya kawasan hutan untuk berbagai kebutuhan manusia, seperti lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan terbuka yang dilakukan secara tidak terencana dapat menyebabkan satwa terancam karena terhambatnya regenerasi hutan dan berkurangnya daya dukung habitat (Meijaard, et. al, 2001). Pembukaan lahan yang semakin meluas

Page 103: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

85

Bab VII. Ancaman Fragmentasi Habitat Siamang

di sekitar CA. Dolok Sipirok mengakibatkan tumbuhan pakan semakin berkurang sehingga pertumbuhan populasi siamang akan terganggu.

Penebangan LiarB. Penebangan hutan secara eksploitasi telah dilakukan oleh berbagai pihak. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, penebangan kayu merupakan sebagai tindakan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kegiatan penebangan liar juga banyak dilakukan oleh para pengusaha, bahkan pengusaha yang mendapat ijin HPH/IUPHHK juga melakukan penebangan liar di luar areal yang telah ditentukan. Penebangan liar yang terjadi dilakukan pada lahan hutan produksi, hutan lindung, sampai ke dalam kawasan konservasi (Nawir et al, 2008).

Kegiatan penebangan liar secara langsung telah mengakibatkan penurunan kualitas habitat satwaliar, termasuk bagi siamang. Pencurian kayu akan merusak keseimbangan ekosistem alami karena berkurangnya kerapatan tegakan hutan dan hilangnya beragaman jenis pohon sehingga regenerasi secara alami terganggu. Pada berbagai status hutan penebangan kayu terus terjadi meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jenis kayu yang ditebang dipilih jenis yang memiliki harga komersial yang tinggi dan/atau tahan untuk bahan perumahan. Jenis-jenis tersebut sebagian merupakan tumbuhan pakan dan pohon tidur siamang, seperti mayang durian (Palaquium obovatum Engl., var.), hoteng batu (Podocarpus beccarii Parl), dan hau dolok jambu (Syzygium racemosum DC.).

Page 104: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

86

Gambar 19. Tunggak dan lokasi pengolahan kayu penebangan liar (Kuswanda, 2013)

Hasil analisis nilai kerusakan tegakan merupakan salah satu indikator yang akan digunakan untuk penilaian kesesuaian habitat bagi siamang. Area hutan lindung yang tingkat kerusakannya paling rendah dari aspek ini merupakan habitat yang paling potensial untuk siamang. Rendahnya penebangan di hutan lindung dimungkinkan pula karena jaraknya yang masih jauh dari pemukiman dibandingkan status hutan lainnya. Namun bila terus berlanjut bukan tidak mungkin kawasan hutan lindung akan terdegradasi dan mengalami kerusakan serius apabila tidak ada upaya pengamanan dan pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat. Menurut Meijaard et al. (2001), penebangan hutan telah menurunkan produktivitas makanan satwaliar frugifora karena mengganggu siklus hara dan keseimbangan ekosistem.

Page 105: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

87

Bab VII. Ancaman Fragmentasi Habitat Siamang

Kebakaran Hutan dan LahanC. Kebakaran hutan dan lahan dapat diakibatkan karena faktor alam maupun aktivitas manusia yang setiap tahun terjadi di Indonesia. Kebakaran hutan mengganggu kestabilan tumbuh-tumbuhan dan kehidupan satwaliar di sekitarnya. Kebakaran hutan yang besar terjadi pertama kalinya pada tahun 1982-1983 dan mengakibatkan kerusakan hutan yang luas. Penyebab utama kebakaran tersebut adalah pengaruh El Niño, yang mengakibatkan terbakarnya hutan seluas 3,2 juta ha, di mana 2,7 juta ha dari luasan tersebut merupakan hutan hujan tropis yang paling penting, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Pada tahun 1997-1998, terjadi kembali kebakaran hutan yang diperkirakan merusak sekitar 9,8 juta ha lahan, termasuk wilayah hutan seluas 5,4 juta ha, yang sebagian besar terdapat di pulau Kalimantan dan Sumatera (FWI/GFW, 2002).

Pembukaan lahan yang terjadi di sekitar habitat siamang terutama yang statusnya merupakan lahan masyarakat atau area hutan produksi dibuka dengan cara tebas bakar, termasuk sekitar CA. Dolok Sipirok. Hutan yang akan dibuka terlebih dahulu sebagian kayunya ditebang secara tebang pilih. Jenis kayu yang ditebang adalah kayu yang bisa digunakan untuk bahan perumahan atau laku untuk dijual, kemudian dilakukan pembakaran lahan. Masyarakat melakukan pembakaran karena mereka menganggap membakar adalah cara yang paling mudah dan tidak perlu biaya yang mahal untuk membuka hutan. Hasil pengamatan di lapangan, setelah membakar lahan maka lahan ditinggalkan sementara dan tidak ada upaya untuk mengawasi api dan api dibiarkan padam dengan sendirinya.

Pembakaran hutan tentunya bisa berdampak negatif bagi beberapa jenis satwaliar, termasuk siamang yang sangat tergantung pada pohon. Kelompok satwa yang berhasil menyelamatkan diripun kadang harus bersaing dengan kelompok lain untuk memperebutkan habitat yang baru. Persaingan pada satwa berakibat akan terganggunya proses reproduksi sehingga pertumbuhan satwa akan terganggu. Di sekitar area yang sudah terbakar keberadaan satwa yang tersisa juga akan semakin mudah untuk diburu dan ditangkap.

Page 106: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

88

Pengembangan InfrastrukturD. Infrastruktur adalah sarana penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan, seperti pembangunan pemukiman dan sarana jalan. Permasalahan akan timbul ketika pengembangan infrastruktur tersebut memutus habitat satwaliar. Berbagai kasus konflik satwa dengan manusia sudah banyak terjadi, seperti dengan harimau, gajah dan orangutan karena habitat yang terputus/terfragmentasi.

Pengembangan infrastruktur pada kawasan hutan secara langsung dan tidak langsung telah mengakibatkan habitat satwaliar terpecah-pecah dan terisolasi oleh berbagai aktivitas manusia. Dampak lainnya adalah satwa mudah ditemukan dan diburu oleh manusia karena keterbatasan area untuk ’melarikan diri’. Pada kondisi ini bagaimanapun satwa akan kalah dan mengalami kematian. Dampak negatif pengembangan infrastruktur dapat dikurangi apabila terdapat perencanaan penataan dan pemanfaatan ruang secara cermat dan terpadu. Pembangunan pemukiman, jaringan jalan dan sarana lainnya sebaiknya tidak memotong habitat satwa dan diupayakan membangun koridor bagi satwa. Selain itu, pengembangan infrastruktur dapat dioptimalkan pada area APL yang memang direncanakan untuk mengembangkan pra sarana yang mendukung kehidupan manusia.

Page 107: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB VIII.STRATEGI KONSERVASI

SIAMANG

Strategi dan teknik konservasi siamang saat ini sebagian besar dilakunan secara in-situ pada habitat siamang di kawasan konservasi. Upaya tersebut berupa pembinaan populasi dan habitat yang dilakukan oleh masing-masing Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam diberi kewenangan mengelola kawasan habitat siamang. Pengelolaan habitat dan populasi diawali dengan mengetahui potensi populasi. Data populasi siamang di Pulau Sumatera masih sangat minim. Nilai dugaan kepadatan siamang pada habitat alaminya, seperti di CA. Sipirok diperkirakan sebesar 9,91±3,40 individu/km2 sehingga rawan terhadap kepunahan lokal (Kwatrina, 2010). Ukuran populasi setiap habitat ini masih jauh dari standar suatu populasi dapat hidup dan bertahan untuk jangka panjang. Selain itu, ancaman terhadap kerusakan habitat masih tinggi dan sulit dihentikan (Kuswanda et al., 2013) seperti pada Gambar 20.

Page 108: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

90

Sumber : Kuswanda (2013)

Gambar 20. Siamang dan bentuk ancaman kerusakan habitatnya

Pengembangan teknik konservasi siamang berlandaskan pada arahan strategis konservasi prioritas secara nasional yang telah disusun oleh Kementerian Kehutanan dan tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut-II/2008 tentang arahan strategis konservasi spesies nasional. Namun demikian, isi Permenhut No. 57/Menhut-II/2008 dan Departemen Kehutanan (2007) masih bersifat nasional dan menyeluruh sehingga perlu disusun strategi dan teknik konservasi yang lebih spesifik sesuai dengan karakteristik spesies, habitat dan pola kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hal ini untuk lebih memudahkan para pengambil kebijakan, terutama di tingkal lokal/daerah dalam merumuskan strategi konservasi yang tepat dan lebih terarah sesuai dengan karakteristik satwanya.

Strategi terbaik dalam jangka panjang untuk mengupayakan konservasi satwaliar adalah mengembangkan kegiatan konservasi secara in-situ, baik yang tinggal pada kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi, seperti

Page 109: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

91

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

hutan rakyat dan/atau hutan produksi (Primark, et al., 1998) dan Ditjen PHKA (2006). Oleh karena itu, rekomendasi teknik konservasi siamang yang disusun dalam buku ini lebih menekankan pada pengembangkan konservasi secara in-situ, tanpa mengesampingkan kepentingan untuk pengembangan konservasi secara ex-situ.

Optimalisasi Upaya Pelestarian Kawasan A. Cagar Alam Dolok Sipirok

Strategi konservasi paling tepat pada kawasan suaka alam seperti cagar alam adalah meningkatkan perlindungan terhadap habitatnya. Hal ini sejalan dengan tujuan penetapan cagar alam yaitu untuk melindungi kawasan hutan sehingga kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu dapat berkembang secara alami. Pada kawasan cagar alam tidak diperbolehkan melakukan kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan dan pengkayaan tanaman (Departemen Kehutanan, 1999).

Pelestarian kawasan cagar alam bertujuan untuk melindungi, memelihara, mempertahankan, dan mengamankan habitat siamang sehingga daya dukung kawasan meningkat dan populasinya berkembang secara alami. Nilai dugaan daya dukung (berdasarkan nilai produktivitas daun dan buah, serta nilai konsumsi pakan) adalah antara 702 – 2.765 individu atau rata-rata sekitar 1.743 individu dengan asumsi kondisi hutan CA. Sipirok tidak mengalami degradasi atau kerusakan, dan siamang selalu mengkonsumsi kombinasi antara buah dan daun. Dalam kondisi tersebut, populasi siamang masih bisa berkembang cepat (Kuswanda et al, 2012). Untuk mengoptimalkan upaya perlindungan, teknik konservasi yang dapat dikembangkan di hutan konservasi seperti di CA. Dolok Sipirok adalah:

Penataan Batas CA. Dolok Sipirok1.

Tata batas di kawasan CA. Dolok Sipirok perlu dilakukan untuk meminimalisir masyarakat memasuki dan membuka hutan yang sebenarnya sudah termasuk kawasan cagar alam, seperti yang terjadi di

Page 110: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

92

Kecamatan Arse. Sosialisasi di tingkat masyarakat dan multi stakeholder guna menata ulang tata batas harus menjadi prioritas pengelola kawasan konservasi agar tidak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan petugas/Polisi Kehutanan apabila akan ada penertiban atau larangan penghentian pengolahan lahan oleh masyarakat.

Adanya aktivitas perambahan sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan satwaliar di dalamnya, apalagi beberapa jenis satwaliar sangat sensitif terhadap gangguan dan kehadiran manusia, seperti siamang, sehingga tata batas yang diikuti dengan pengamanan harus dilakukan pada setiap kawasan konservasi untuk meminimalisir gangguan terhadap. Jika terjadi fragmentasi hutan yang disebabkan oleh penebangan kayu atau perambahan secara masif, akan dapat menurunkan ukuran populasi satwaliar, terutama jenis mamalia, karnivora dan burung pemakan buah (Kinnaird et al. 2003; Meijaard et al., 2006).

Upaya lain yang harus dilakukan sebelum program tata batas selesai adalah pendekatan pada masyarakat oleh petugas, seperti penyuluhan maupun sosialisasi tentang fungsi kawasan cagar alam atau kawasan konservasi. Pemahaman bahwa kawasan konservasi diantaranya cagar alam sangat penting untuk keberlangsungan ekosistem dalam menunjang kepentingan manusia diharapkan dapat menjamin terpeliharanya hutan secara alami. Manfaat terjaganya keanekaragaman biotik dan fisik, dan lestarinya keanekaragaman hayati di dalam suatu kawasan harus disosialisasikan pada masyarakat.

Peningkatan pengamanan kawasan2.

Program pengamanan di dalam dan sekitar kawasan cagar alam untuk menjaga keutuhan hutan konservasi harus dilakukan secara periodik. Strategi pengamanan kawasan tidak perlu langsung dilakukan secara represif apabila masih memungkinkan pendekatan secara preventif dan persuasif. Berbagai teknik pengamanan yang dapat dilakukan untuk melindungi habitat siamang dapat diawali dengan pemasangan papan

Page 111: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

93

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

nama/petunjuk dan papan larangan terutama di daerah-daerah yang rawan aktivitas pelanggaran. Selain itu perlu dilakukan pembangunan menara pengintai dan pondok jaga pada kawasan yang sangat rawan terhadap pencurian kayu dan melakukan koordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk menyamakan persepsi dan tindakan dalam menangani pelanggaran, seperti pencurian kayu. Peningkatan sarana pengamanan harus lebih diperhatikan dan ditingkatkan oleh pihak manajemen yaitu Balai Besar KSDA Sumatera Utara. Saat ini hanya ada 1-2 orang Polhut dengan sarana pengamanan yang terbatas untuk menjaga luasan cagar alam yang mencapai 5.000 ha.

Pemantauan dinamika populasi siamang3.

Pemantauan merupakan suatu cara yang efektif untuk menunjukkan reaksi suatu populasi pada perubahan lingkungannya secara tiba-tiba (Alikodra, 2010). Program pemantauan populasi meliputi inventarisasi dan/atau sensus untuk mengetahui perubahan kepadatan dan perilaku siamang, pengkajian mengenai potensi ancaman terhadap populasi siamang yang ada saat ini, serta memastikan bahwa populasi siamang dapat berkembangbiak secara alami. Saat ini struktur umur siamang sudah mulai terganggu. Jika kondisi ini terus berlangsung, populasi akan terus menurun dan dapat terjadi kepunahan. Kegiatan pemantauan harus dilaksanakan secara rutin maupun insidental. Kegiatan rutin dapat dilakukan 4-5 tahun sekali untuk satu jenis kegiatan yang sama. Sedangkan yang sifatnya insidental dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila muncul perubahan dramatis terhadap kondisi alami kawasan.

Pemantauan tumbuhan sumber pakan dan habitat 4.

Keberadaan sumber pakan merupakan komponen utama yang harus selalu tersedia agar siamang hidup dan berkembangbiak. Sebaran satwaliar sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakannya (Alikodra, 1990). Sejauh ini telah teridentifikasi sekitar 48 jenis tumbuhan pakan siamang, yang terdiri dari 12 jenis dikonsumsi daun dan buahnya, 22 hanya dikonsumsi buahnya, 12 jenis hanya daunnya,

Page 112: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

94

2 jenis dikonsumsi buah dan kulitnya dan 1 jenis dikonsumsi semuanya (Kuswanda et al. 2012). Jenis tumbuhan pakan tersebut diantaranya adalah andarasi (Ficus congesta Roxb.), asam hing (Dracontomelon dao Merr.&Rolfe), gala-gala (Ficus racemosa) dan handis (Garcinia celebica L.) seperti yang tercantum dalam Bab sebelumnya.

Sumber : Kuswanda (2013)

Gambar 21. Kondisi batas dan jenis pakan yang perlu dipantau

Beragam jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan CA. Dolok Sipirok seyogyanya dapat dipantau secara rutin, terutama pertumbuhannya agar ketersediaan daya dukung habitat tetap terjaga. Pelaksanaan program ini dapat digabungkan dengan pemantauan kondisi habitat lainnya terutama di sekitar area yang rawan perambahan. Pemantauan perubahan habitat sangat penting karena pengkayaan habitat melalui aktivitas penanaman tidak diperbolehkan pada kawasan cagar alam.

Page 113: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

95

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

Pengembangan manajemen kolobaratif pengelolaan kawasan5.

Pengelolaan kawasan konservasi seyogyanya dilakukan secara terpadu dan bersama antar stakeholder sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang pengelolaan kolaboratif. Perlindungan terhadap hutan konservasi seharusnya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah (Balai Besar KSDA) saja karena tanpa partisipasi para pihak akan sulit untuk berkembang. Partisipasi dari berbagai lembaga terkait dalam pelaksanaan konservasi sangat diperlukan, yang selama ini masih rendah dan tidak terkoordinasi. Pihak Balai Besar KSDA Sumatera Utara dapat membangun pola kemitraan, mulai dari aspek perencanaan program, pelaksanaan, sampai pemantauan dengan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Pihak yang potensial untuk pengembangan kemitraan dalam menjaga keutuhan kawasan CA. Dolok Sipirok diantaranya adalah Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, LSM dan lembaga masyarakat setempat.

Pengembangan SDM dan prasarana penunjang6.

Untuk mendukung keberhasilan perlindungan kawasan CA. Dolok Sipirok tentunya diperlukan SDM dan prasarana yang memadai. Upaya perlindungan terhadap hutan konservasi khususnya CA. Dolok Sipirok akan sulit tercapai apabila hanya ada 1 atau 2 petugas di lapangan. Pengembangan jumlah, pengetahuan, maupun keterampilan staf atau petugas lapangan, terutama pada instansi Pemda dan masyarakat perlu lebih ditingkatkan. Begitu pula pengadaan sarana pendukung yang memadai untuk mendukung pengelolaan hutan dijadikan prioritas program lembaga terkait. Program pengembangan atau peningkatan kapasitas staf dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan secara berkesinambungan, penyuluhan maupun kampanye penyadartahuan tentang konservasi dan lingkungan hidup.

Page 114: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

96

Pengembangan Konservasi Siamang di B. Luar CA. Dolok Sipirok

Pengelolaan habitat satwaliar di luar hutan konservasi khususnya siamang belum banyak dilakukan dibanding dengan di hutan konservasi. Populasi siamang banyak juga ditemukan dan hidup di luar hutan konservasi, terutama di kawasan hutan lindung yang kondisi ekosistem dan lahannya masih relatif utuh. Rekomendasi yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan habitat siamang di wilayah tersebut adalah:

Pelestarian hutan lindung yang merupakan habitat siamang1.

Kondisi hutan lindung saat ini sebagian besar telah terdegradasi dan banyak berubah karena alih fungsi menjadi areal perkebunan dan pemukiman. Kawasan hutan lindung yang masih baik (primer dan sekunder) hanya terdapat di area yang topografinya terjal (sulit dikelola) dan yang dianggap sebagai sumber air bagi masyarakat. Tata batas hutan lindung yang belum jelas telah menyebabkan penyerobatan lahan, terutama oleh perambah yang datang dari luar/pendatang.

Kawasan hutan lindung di sekitar CA. Dolok Sipirok sebagian masih merupakan habitat siamang. Namun, siamang yang terdapat di habitat tersebut sangat rawan terhadap kematian seiring masih meningkatnya perambahan dan pembukaan area hutan. Langkah awal yang harus dilakukan untuk pengamanan hutan lindung adalah melakukan penataan batas. Pemerintah Daerah dapat mengusulkan pelaksanaan penataan batas kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengelolaan kawasan tanpa tata batas yang jelas yang akan sulit dilakukan. Adanya pengelolaan hutan lindung dengan tata batas dan aturan yang jelas serta didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai diharapkan dapat menekan gangguan terhadap kawasan dan bisa dimanfaatkan sebagai habitat siamang.

Page 115: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

97

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

Mengelola habitat pada areal hutan produksi2.

Hutan produksi ditetapkan untuk tujuan memproduksi hasil hutan termasuk kayu. Namun demikian, secara ekologis, hutan produksi dapat menjadi bagian dari habitat satwa sebagai tempat singgah, tempat mencari makan dan lainnya. Nilai ekologis ini perlu dipertahankan dengan cara mempertahankan kesinambungan dan kualitas habitat antar satu bagian (patch) hutan dengan hutan lainnya yang berdekatan.

Gambar 22. Hutan produksi yang masih utuh dan sisa penebangan (Kuswanda, 2013)

Salah satu area hutan produksi yang masih utuh di sekitar kawasan CA Dolok Sipirok di Daerah Latong yang saat ini berfungsi sebagai habitat yang sesuai untuk siamang adalah Desa Marsada dan Desa Sampean. Konservasi pada area tersebut tentunya perlu menjadi prioritas untuk meminimalkan dampak kerusakan seperti pencurian kayu oleh pihak luar. Pemerintah dan masyarakat dapat membentuk tim pengamanan untuk memantau secara periodik atau insidentil ketika ada informasi

Page 116: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

98

perusakan hutan. Ancaman kerusakan pada area hutan produksi di wilayah ini sangat tinggi (Kuswanda et al., 2013) sehingga bila pengamanan hanya dengan mengandalkan masyarakat sulit untuk mempertahankan keberadaan hutan dimaksud. Masyarakat desa di sekitar CA. Dolok Sipirok juga belum memiliki Peraturan Desa tentang tata cara pengelolaaan sumberdaya lahan yang tentunya membantu meningkatkan kualitas hutan dan lahan di wilayah ini.

Penataan lahan masyarakat sebagai fungsi lindung dan budidaya3.

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Peraturan pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menyatakan bahwa pada prinsipnya dalam perencanaan ruang adalah bagaimana menetapkan dan menata kawasan lindung dan kawasan budidaya secara tepat.

Penataan kawasan lindung berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumber daya binaan, nilai sejarah, dan budaya bangsa untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Sedangkan, penataan kawasan budidaya adalah untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya binaan, dan sumberdaya manusia. Lahan yang berada di area penggunaan lain (APL) seperti di sekitar CA. Dolok Sipirok belum tertata dan termanfaatkan secara optimal. Pengetahuan masyarakat terhadap pemanfaatan lahan masih sederhana dan cenderung mengikuti cara yang dicontohkan oleh orangtuanya karena jarangnya penyuluh yang mengunjungi desa mereka (Kepala Desa Arse Nauli, 2013).

Pemanfaatan lahan oleh masyarakat, terutama untuk perkebunan terjadi hampir di semua bentuk lahan, termasuk di kemiringan yang tinggi (> 40%). Penataan kembali peruntukan lahan sesuai peraturan

Page 117: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

99

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

yang berlaku sangat penting agar tidak menjadi sumber bencana bagi masyarakati, seperti kekeringan dan tanah longsor. Menurut Groves (1999), penataan kawasan lahan pada area budidaya dengan menyediakan sedikit area untuk tetap menjadi kawasan hutan sangat penting, terutama bagi satwaliar maupun rintangan fisik bagi manusia. Beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan untuk di hutankan kembali dengan cara memadukan tanaman budidaya dan pohon pakan siamang diantaranya 1) kawasan yang berbatasan langsung dengan cagar alam, 2) kawasan yang merupakan daerah resapan air, sumber mata air, sempadan sungai, sempadan pantai dan kawasan sekitar danau; 3) kawasan yang mempunyai kelerengan di atas 40% dan 4) Kawasan rawan bencana alam seperti gerakan tanah, longsoran, dan banjir bandang atau 5) kawasan yang masih merupakan hutan primer dan/atau hutan sekunder.

Lahan di Area Penggunaan Lain yang dijadikan lahan budidaya perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan potensi pengembangan kegiatan budidaya, seperti lahan yang datar sampai kemiringan 25%. Untuk meningkatkan nilai manfaat lahan perlu adanya penyuluhan intensif pada masyarakat dan mengembangkan model alternatif penambahan pendapatan lainnya, seperti peternakan dan perikanan. Sehingga masyarakat tidak hanya menggantungkan pendapatan dari hasil perkebunan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan lahan yang luas.

Peningkatan kesadartahuan masyarakat tentang siamang dan penegakan 4. hukum (low enforcement)

Masyarakat sekitar Kawasan CA. Dolok Sipirok sebagain besar belum mengetahui bahwa siamang juga merupakan satwa yang dilindungi. Hal ini karena program sosialisasi dan penyuluhan masih terfokus pada orangutan. Meskipun kasus perburuan terhadap siamang jarang ditemukan akan tetapi upaya penyadartahuan masyarakat terutama terkait aspek perburuan harus dilakukan. Begitu juga penegakan

Page 118: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

100

hukum terhadap perburuan satwaliar lainnya yang tergolong langka dan dilindungi, seperti perburuan burung rangkong dan rusa perlu ditegakkan agar membuat efek jera terhadap pemburu liar.

Peningkatan Program Rehabilitasi C. Rehabilitasi hutan merupakan kegiatan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi dapat diselenggarakan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Rehabilitasi hutan dan lahan dapat diimplementasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.

Kegiatan rehabilitasi lahan dapat dilakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi terutama pada areal kosong/lahan tidak produktif sehingga dapat lebih berfungsi sebagai areal habitat tambahan/perluasan bagi satwaliar yang memiliki wilayah jelajah luas, seperti siamang dan menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat lokal (MacKinnon et al., 1993). Tanaman yang dipilih seyogyanya lebih didominasi oleh tumbuhan yang berfungsi sebagai sumber pakan, pohon pelindung, dan atau yang sudah langka dan dilindungi.

Pemilihan Jenis Tanaman untuk Restorasi D. Habitat

Pemilihan Species Matching harus dilakukan secara cermat untuk menghindari kemungkinan adanya invasi jenis tanaman asing/tertentu yang dapat merusak ekosistem asli. Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan untuk merehabilitasi areal terdegradasi di sekitar CA. Dolok Sipirok untuk jenis tanaman kehutanan adalah handis (Garcinia dioica Blume.) mayang (Palaquium obovatum Engl., var.), hoteng (Quercus gemelliflora

Page 119: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

101

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

Blume), hau dolok (Syzygium sp.) dan teurep (Artocarpus elasticus Reinw. ex Blume). Untuk jenis tanaman perkebunan yaitu kemenyan, kayu manis (Cinnamomum verum J.Presl) dan kopi (Coffea arabica L). Penanaman dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari sesuai karakteristik tanah, iklim lokal dan kebutuhan masyarakat setempat.

Pengkayaan Tumbuhan Pakan dan Pohon E. Sarang

Pengkayaan tumbuhan pakan dan pohon sarang bagi siamang dapat difokuskan pada lokasi hutan sekunder yang masih dihuni siamang, seperti di hutan lindung dan hutan produksi atau yang berfungsi sebagai koridor siamang. Pengkayaan tumbuhan pakan untuk sementara bertujuan meningkatkan daya dukung habitat bagi siamang agar populasinya dapat meningkat. Jenis tanaman untuk pengkayaan yang direkomendasikan adalah beringin (Ficus benjamina Linn.), cempedak (Artocarpus integer Merr), hoteng batu (Quercus maingayi Bakh.), gumbot/motung (Ficus toxicaria Linn.) dan andarasi (Ficus glandulifera Wall.). Jenis ini merupakan tanaman penghasil buah yang sering dikonsumsi oleh siamang (Kuswanda et al., 2012).

Membangun Koridor Sebagai Habitat F. Tambahan Bagi Siamang

Pembangunan koridor dapat memfasilitasi terjadinya pergerakan satwa yang mempunyai daerah jelajah yang luas, penyebaran tumbuhan dan pertukaran genetik serta populasi dapat bergerak untuk merespon terjadinya perubahan lingkungan dan bencana alam dan populasi yang terancam punah dapat terpulihkan di kawasan lain (Perbatakusuma, et al., 2006). Hal ini penting karena apabila siamang terisolasi hanya pada kawasan cagar alam akan terisolasi pada unit-unit yang sempit dan hanya sedikit areal yang dapat menjadi penghubung yang aman untuk berpindah tempat.

Page 120: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

102

Pembangunan koridor sebagai penghubung antar habitat akan meningkatkan peluang persaingan, baik dalam persaingan pakan maupun wilayah jelajah perlu menjadi program prioritas dalam pembinaan populasi primata. Pembuatan koridor dapat dilakukan melalui penanaman jenis pohon yang akan memiliki batang besar dan tinggi, tajuk yang rapat dan berkesinambungan, dapat berfungsi sebagai sumber pakan atau pohon sarang, seperti dari beringin (Ficus benjamina Linn.), hoteng (Quercus gemelliflora Blume), dan meranti (Shorea gibbosa Brandis). Saat menunggu waktu pohon tumbuh bisa digunakan oleh siamang, sebagai koridor habitat jangka pendek dengan dibuat tali penghubung dari kawat besi yang dimanipulasi dengan lilitan tumbuhan liana.

Pembangunan koridor dapat dilakukan pada berbagai tipe lahan, seperti area terbuka maupun semak belukar. Pada area semak belukar jenis tanaman yang direkomendasikan adalah meranti (Shorea gibbosa Brandis), durian (Durio zibethinus Murr) dan hau dolok salam (Syzygium sp.) sedangkan pada lahan terbuka adalah durian (Durio zibethinus Murr), petai (Parkia speciosa Hassk.), cempedak (Artocarpus integer Merr) dan mayang durian (Palaquium obovatum (Griff.) Engler). Jenis ini juga masih dapat divariasikan dengan jenis lainnya bergantung pada ketersediaan bibit tanaman. Namun untuk lahan olahan sebaiknya dipilih jenis yang berfungsi sebagai pakan siamang juga dapat di makan oleh manusia, seperti durian (Durio zibethinus Murr), petai (Parkia speciosa Hassk.) dan cempedak (Artocarpus integer Merr).

Pelibatan dan Pemberdayaan SDM Pada G. Kelembagaan Terkait

Upaya konservasi siamang akan sulit dicapai hasilnya apabila hanya dilakukan oleh pihak Balai Besar KSDA Sumatera Utara saja. Pelaksanaan konservasi saat ini harus melibatkan beragam pihak terkait karena konservasi hutan pada dasarnya adalah tanggungjawab semua pihak. Pelibatan para pihak akan meringankan pelaksanaan program di tengah tantangan akan konservasi hutan yang tinggi. Begitu juga adanya koordinasi antar lembaga

Page 121: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

103

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

akan memantapkan pembangunan kolaborasi secara konsisten dan kontinyu dalam perlindungan hutan. Pembentukan Wadah Pengelola yang sifatnya Multi Pihak perlu direalisasikan untuk mendukung konservasi siamang. Selain itu, memperkuat sistem koordinasi terutama dengan lembaga masyarakat lokal untuk mengembangkan tata kelola kawasan yang partisipatif harus terus dilakukan, yang di inisiasi oleh pemerintah.

Pendayagunaan sumberdaya manusia (SDM) dari instansi pemerintah pusat maupun daerah juga harus terus dikembangkan. Sudah tidak semestinya perlindungan kawasan hutan yang luas hanya diserahkan pada 1-2 orang Polisi Hutan saja. Pemberdayaan masyarakat juga perlu mendapat perhatian karena apabila kondisi perekonomian masyarakat masih miskin maka pelaksanaan konservasi sulit untuk berhasil. Pencarian pengembangan ekonomi alternatif bagi masyarakat desa sangat penting agar ketergantungan terhadap sumberdaya hutan semakin berkurang. Peluang pengembangan peternakan, lebah madu dan perikanan cukup tinggi untuk dikembangkan di sekitar CA. Dolok Sipirok.

Menggalang Alternatif Dana bagi H. Konservasi

Menurut Indrawan et al. (2007), pendanaan untuk konservasi selama ini sebagian besar masih bersumber dari dana pemerintah, baik APBN maupun APBD, dana perimbangan, maupun dari pinjaman luar negeri dan hibah. Hibah untuk kegiatan konservasi terbanyak berasal dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (USAID), Jepang (JICA), Norwegia dan masyarakat Uni Eropa lainya. Perkembangan lain dalam pendanaan konservasi adalah pinjaman dari beberapa bank, seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia. Hal ini menyebabkan keberadaan dana konservasi cukup kecil dan menjadi rebutan berbagai kelembagaan secara nasional.

Saat ini, perkembangan paradigma penghargaan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan oleh hutan dapat menjadi peluang sebagai alternatif lain untuk pendanaan program konservasi. Peluang sumber dana dari hasil

Page 122: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

104

pembayaran untuk jasa lingkungan (Payment for Environmental Services, PES) yang dihasilkan oleh hutan harus dikembangkan dan hasilnya dikembalikan untuk kegiatan konservasi. Model PES bukan hanya diberlakukan untuk menilai hutan sebagai sumber air saja, tetapi untuk semua sektor usaha yang keberlanjutan operasional perusahaannya sangat bergantung dari kelestarian hutan, seperti perlindungan keanekaragaman hayati, penyimpan karbon dan ekowisata.

Adanya Isu perdagangan karbon yang dihasilkan dari hutan sejak ditandatanganinya Protokol Kyoto pada tahun 1997 juga merupakan peluang untuk penambahan dana bagi konservasi satwa. Dengan kondisi hutan alam yang masih sangat luas yang mampu menyerap karbon sangat besar tentunya memiliki prospek yang besar bagi keberadaan kawasan CA. Dolok Sipirok untuk mendapatkan tambahan anggaran dari perdagangan karbon oleh Pemerintah Pusat Selain itu, adanya perusahaan di sekitar hutan Batang Toru, seperti perusahaan pertambangan dan air minum diwajibkan untuk mempergunakan dana CSR sebagai pengganti kerusakan lingkungan dan alam yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaannya. Kehilangan habitat akibat aktivitas pertambangan harus diperbaiki dan menjadi kewajiban perusahaan atau perusahaan membantu menghijaukan kembali hutan di luar wilayah kerjanya, seperti di sekitar CA. Dolok Sipirok.

Pengembangan Ekowisata SiamangI. Ekowisata merupakan paradigma pengelolaan lingkungan dalam pengembangan wisata dengan tetap mengutamakan kelestarian lingkungan, namun satu sisi juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Ekowisata menjadi suatu bentuk wisata berwawasan lingkungan yang dari hari ke hari semakin mendapat perhatian dari masyarakat dunia, terutama oleh negara-negara berkembang karena ekowisata lebih menekankan pada pemanfaatan sumber-sumber lokal untuk konservasi, pendidikan pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam upaya peningkatan ekonomi lokal.

Page 123: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

105

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

Daya tarik wisata yang unggul dan berkualitas merupakan faktor kunci yang menentukan motivasi wisatawan untuk berwisata, serta sebagai alasan fundamental yang menjadi pertimbangan mengapa seseorang memilih satu destinasi. Daya tarik juga sangat menentukan kepuasan dan loyalitas wisatawan yang nantinya akan berdampak secara ekonomi terhadap keberlanjutan destinasi wisata. Pengelolaan daya tarik wisata menjadi sangat penting agar tujuan dari ekowisata itu sendiri dapat tercapai.

Pengelolaan ekowisata menuntut adanya beberapa prinsip yang harus diwujudkan diantaranya 1) Learning, pariwisata yang mendasar pada unsur belajar; 2) Rewarding, pariwisata yang memasukkan unsur pemberian penghargaan; 3) Enriching, pariwisata yang memasukkan peluang terjadinya pengkayaan pengetahuan antara wisatawan dengan masyarakat; 4) Adventuring, pariwisata yang dirancang dan dikemas sehingga terbentuk wisata petualangan.

Berdasarkan hasil penelitian, Taman Primata Sibaganding dipandang sudah memiliki sumber daya alam yang sudah cukup memadai untuk mewujudkan unsur learning dan enriching (belajar dan pengkayaan pengetahuan), dalam daya tarik wisata ilmiah. Taman Primata Sibaganding memiliki bentang alam dan aktivitas wisata yang mampu melatih syaraf kognitif dan menambah pengetahuan seperti proses pemanggilan siamang, memberi makan siamang dan sebagainya.

Rewarding atau penghargaan juga merupakan prinsip yang perlu diwujudkan dalam pengemasan daya tarik ekowisata. Pengenalan budaya Batak melalui busana yang dikenakan oleh pemandu wisata patut untuk lebih dikembangkan untuk menambah keunikan serta nilai jual (value of selling) destinasi wisata. Dengan aktivitas belajar seni dan budaya menjadikan wisatawan semakin aware dan menghargai terhadap budaya dan adat setempat. Pada akhirnya tujuan untuk pelestarian nilai seni dan budaya lokal akan tercapai melalui ekowisata.

Pengembangan wisata ilmiah siamang di Kawasan KHDTK Aek Nauli tentunya memiliki prospek yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian,

Page 124: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

106

jumlah populasi siamang di KHDTK Aek Nauli cukup banyak dengan sumber pakan yang masih melimpah. Secara ekologi, kawasan KHDTK Aek Nauli memiliki potensi yang cukup untuk pengembangan wisata siamang namun potensi ini belum menarik karena belum dikembangkan secara optimal. Untuk itu, berbagai rekomendasi untuk meningkatkan nilai jual KHDTK Aek Nauli sebagai lokasi ekowisata siamang diantaranya adalah :

Mengembangkan jalur wisata siamang di Kawasan KHDTK Aek 1. Nauli

Hasil penelitian menunjukan bahwa siamang di KHDTK Aek Nauli banyak tersebar pada hutan sekunder dan berdekatan dengan destinasi wisata lainnya, seperti gajah dan air terjun. Namun saat ini bagi wisatawan untuk melihat siamang masih sangat sulit karena aksesibilitas memasuki lokasi habitat siamang belum tersedia.

Pengembangan jalur wisata siamang di KHDTK Aek Nauli kedepannya sangat penting agar memudahkan pada wisatawan untuk dapat melihat secara langsung atraksi siamang di alam bebas. Hasil analisis dari penelitian sebaran populasi dan habitat siamang maka direkomendasikan lokasi jalur pengamatan siamang seperti pada Gambar 23. Terdapat sedikitnya dua jalur pengamatan yang direkomendasikan untuk pengembangan wisata ilmiah siamang di Kawasan KHDTK Aek Nauli, yaitu :

Route pendek dengan panjang jalur sekitar 2-3 km dari gerbang a. KHDTK Aek Nauli. Pada jalur pendek ini telah ditemukan 3-4 kelompok siamang yang sering melintas di sekitar jalur tersebut. Saat ini jalur tersebut sudah dibuat dan yang layak untuk semua umur wisatawan baru sampai air terjun sekitar 1,5 km. Dari air terjun menuju lokasi sebaran siamang lainnya perlu adanya penataan kembali kondisi jalur wisata sehingga memadai bagi pengunjung.

Route panjang dengan panjang jalur sekitar 4-5 km dari gerbang b. KHDTK Aek Nauli. Berdasarkan hasil pengamatan pada jalur ini sering ditemukan 4-5 kelompok siamang. Jalur ini merupakan jalur

Page 125: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

107

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

alternative yang saat ini belum ada jalur untuk wisatawan. Pada jalur ini akan terlewati juga lokasi “Pinus Terbesar” yang terdapat di KHDTK Aek Nauli dengan diameter sekitar 150 cm. Pada jalur ini pengunjung selain bisa menikmati atraksi siamang juga dapat melihat dan mengetahui keindahan beragam jenis tumbuhan yang merupakan khas dataran tinggi, seperti jenis-jenis anggrek dan tanaman lainnya.

Gambar 23. Jalur untuk wisata ilmiah siamang di dalam KHDTK Aek Nauli

Menata dan Mengembangkan Fasilitas pada Taman Wisata Ilmiah 2. Primata Sibaganding

Lokasi wisata Taman Primata Sibaganding yang sudah dikenal dan menjadi tujuan wisata perlu ditata dan dikembangkan kembali sehingga menarik bagi wisatawan. Berbagai prasarana yang sudah rusak dan kurang memadai seperti jalan menuju lokasi atraksi perlu diperbaiki dan ditambah fasilitas yang mendukung edukasi siamang bagi pengunjung.

Page 126: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

108

Saat ini setelah dikembangkan program pemberian pakan tambahan jumlah satwa yang sering datang ke lokasi tersebut bertambah cukup signifikan, seperti pada Tabel 11. Hal ini tentunya akan menambah daya tarik bagi wisatawan karena bisa berinteraksi dengan ratusan satwa, terutama jenis beruk dan monyet ekor panjang. Walaupun rute yang dilewati wisatawan sangat pendek, dengan penataan dan penambahan nilai edukasi tentang lingkungan alam dan ekologi akan menghasilkan wisata petualangan ringan yang bernilai edukasi.

Gambar 24. Atraksi siamang dan beruk dengan pengunjung

Strategi lainnya untuk mengembangkan wisata ilmiah di KHDTK Aek 3. Nauli adalah :

Mengoptimalkan sumberdaya manusia yang terdapat di Balai a. Litbang LHK Aek Nauli untuk mengembangkan promosi dan operasional pengelolaan wisata ilmiah siamang. Peningkatan kapasitas SDM perlu segera dilakukan sehingga siap untuk mengembangkan ekowisata primata sesuai dengan demand wisatawan;

Page 127: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

109

Bab VIII. Strategi Konservasi Siamang

Pembinaan habitat primata sekitar jalur wisata. Pembinaan habitat b. dimaksudkan untuk menjaga keanekaragaman tipe habitat yang ada saat ini, seperti hutan sekunder dan memperbaiki habitat yang ada menjadi lebih baik. Pembinaan habitat siamang seperti penanaman jenis vegetasi dengan jenis pakan, pelindung dan jenis vegetasi yang menjadi kesukaan satwa akan berdampak satwa akan tetap di sekitar jalur wisata sehingga tidak kesulitan untuk menemukannya apabila ada wisatawan.

Membentuk dan melibatkan “Masyarakat Pecinta Primata” sekitar c. KHDTK Aek Nauli

Pembentukan dan pelibatan masyarakat desa sangat penting sebagai bagian dari program pemberdayaan dan pembinaan masyarakat. Masyarakat diajak berperanserta dalam pengembangan wisata siamang di KHDTK Aek Nauli. Pembinaan masyarakat juga perlu dilakukan untuk mengurangi terjadinya kerusakan baik habitat maupun mengganggu populasi satwa. Pembinaan dapat dilakukan dengan cara penyuluhan rutin yang dilakukan satu bulan sekali terhadap masyarakat tentang lingkungan, melibatkan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kebersihan seperti taman wisata, menjadi pemandu wisata dan berwirausaha.

Melakukan promosi yang intensif kepada masyarakat luas baik d. secara nasional maupun secara internasional melalui media cetak, internet dan televisi. Persepsi pengunjung yang menyatakan sangat setuju pengembangan wisata siamang adalah peluang yang tinggi untuk mempromosikan wisata siamang pada masyarakat yang lebih luas.

Page 128: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 129: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

BAB IX.PENUTUP

Siamang adalah kekayaan hayati Indonesia yang harus dijaga kelestariannya. Dalam dinamika perubahan hutan dan lahan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, tantangan untuk mempertahankan Siamang sebagai kekayaan kehati agar memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat juga menjadi semakin besar. Habitat siamang di Pulau Sumatera semakin berkurang dan perburuannya masih terjadi secara masif. Penurunan kualitas habitat, terutama keberadaan pohon-pohon yang memiliki tajuk lebat dan berkesinambungan di dalam hutan, akan berdampak terhadap pergerakan siamang yang sangat tergantung kepada keberadaan pohon sebagai satwa yang bersifat arboreal dan melakukan aktivitasnya secara bergantung pada cabang-cabang atau ranting (branchiation). Akses terhadap habitat menjadi terbatas, seperti yang terjadi pada Lansekap Hutan Batang Toru. Beragam ancaman penebangan liar, pembakaran hutan dan peningkatan kebutuhan lahan olahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk sekitar hutan juga berpotensi menjadi ancaman terhadap pertumbuhan populasi siamang secara alami jika tidak diatasi sejak dini.

Saat ini, konservasi siamang sudah seharusnya menjadi prioritas para pihak agar keberadaan siamang dapat dilestarikan dan dikembangkan menjadi sumber pendapatan negara dan masyarakat seperti melalui pengembangan ekowisata. Sesuai dengan target pembangunan berkelanjutan, maka konservasi yang dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan ekologi, ekonomi, dan sosial, serta berbasis riset adalah jawaban untuk tantangan tersebut.

Page 130: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

112

Buku ini telah menyajikan berbagai informasi terkait bio-ekologi siamang dan strategi yang dapat dikembangkan dalam mengimplementasikan konservasi siamang pada berbagai status hutan. Buku ini dapat digunakan oleh para pihak yang memiliki tugas dan kewenangan dalam pengelolaan hutan, baik hutan konservasi, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) maupun di KHDTK. Selain itu, data, informasi, analisis, dan sintesis yang disajikan dari hasil penelitian multiyears dapat dijadikan acuan ilmiah yang cukup lengkap ditengah keterbatasan publikasi terkait dengan siamang saat ini. Saran dan rekomendasi untuk mengembangkan program konservasi siamang berbasis hasil riset ini dapat digunakan sebagai pembuka jalan menuju pelaksanaan konservasi siamang oleh para pihak.

Page 131: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Iskandar JT, Choesin DN dan Sjarmidi A. 2009. Estimasi Daya Dukung Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck) Berdasarkan Aktivitas Harian dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis sebagai Solusi Konflik dengan Lahan Pertanian. Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 3B (29–36), 2009.

Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.

Alikodra, H. S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar, dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Press. Bogor.

Alikodra, H. S. 2012. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Pendekatan Ecosophy bagi Penyelamatan Bumi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Anitha K, S. Joseph, R.J. Chandran, E.V. Ramasamy, S.N. Prasad. 2010. Tree species diversity and community composition in a human-dominated tropical forest of Western Ghats biodiversity hotspot, India. Ecological Complexity 7:217-224.

Bailey S. 2007. Increasing connectivity in fragmented landscapes: an investigation of evidence for biodiversity gain in woodlands. Forest Ecology and Management. 238(1-3): 7–23

Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons. Network.

Page 132: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

114

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. 2011. Buku Informasi Kawasan Konservasi. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. Kementerian Kehutanan. Medan.

Bangun, TM., SS. Mansjoer, M. Bismark. 2009. Populasi dan habitat ungko (Hylobathes agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia 6(1): 19-24.

Barbour GM, Burk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York (US): The Benyamin/Cummings Publishing Company Inc.

Baren, O. 2002. Positional mode dalam kelompok umur – jenis kelamin pada siamang (Hylobates syndactylus) di Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Lampung [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.

Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi (terjemahan), Edisi kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Chapin III, F. S., P.A. Matson and H.A. Mooney. 2002. Principles of terrestrial ecosystem ecology. Springer. United States of America. Pp : 1- 265

Chen, P., Tremblay, N., Wang, J., Vigneaulta, P., 2010. New index for crop canopy fresh biomass estimation. Spectrosc. Spectr. Anal. 30, 512–517

Chivers DJ. 1977. The lesser apes. Di dalam: Prince Rainier III of Monaco and Bourne GH, [Eds.]. Primate Conservation. New York: Academic Press. Primate Conservation. New York: Academic Press.

Cole S. 2006. Cultural Tourism, Community, Participation and Empowerment. Di dalam: Smith MK dan Robinsom M, editor. Tourism and Cultural Change: Cultural Tourism in a Changing World Politics, Participation and (Re)presentation 7th Ed. Britain (UK): Channel View Publications.

Page 133: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

115

Daftar Pustaka

Curtin, S.H dan D.J Chivers. 1979. Leaf Eating Primate of Peninsular Malaysia,. The Siamang and The Dusky Leaf Monkey. The Ecology of Arboreal. Folivores..

Departemen Kehutanan. 1990. Undang-undang No. 5 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tanggal 10 Agustus 1990. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah No. 9 tentang Pengawetan Jenis Tmbuhan dan Satwa tanggal 27 Januari 1999. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2005. Peta Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 44/Menhut – II/2005 tentang Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Sumatera Utara, tanggal 16 Pebruari 2005. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007- 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Permenhut No. P48/Menhut-II/2008 Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia & Satwa Liar. Departeme Kehutanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2006. Kebijakan dan strategi pemerintah dalam konservasi in-situ orangutan Sumatera. Makalah pada Lokakarya ”Masa Depan Orangutan dan Pembangunan di Kawasan Hutan DAS Batang Toru”, 17-18 Januari 2006. Sibolga.

Evariste F. F., N. Bernard-Aloys and T. Nole. 2010. The important of habit characteristics for tree diversity in the Mengame Gorilla Reserve (South Cameroun). International Journal of Biodiversity and Conservation 2:155-165.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika :Membicarakan alam ekologi tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. Terjemahan Usman Tabuwidjaja. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Page 134: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

116

Exploitasia, I. 2018. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. https://www.forestdigest.com/detail/164/pemanfaatan-jenis-tum-buhan-dan-satwa-liar.

Fitzhugh Jr, H. A. 1976. Analysis of Growth Curves and Strategies for Altering Their Shape. Animal Science Journal, Vol. 42, No. 4 :1036-1051.

Forest Watch Indonesia. 2018. Deforestasi Tanpa Henti : Potret Deforestasi di Sumatera Utara,Kalimantan Timur dan Maluku Utara. Forest Watch Indonesia. Bogor

Geissman, T. 2007. Status reassessment of the gibbons: Results of the Asian Primate Red List Workshop 2006. Gibbon Journal. 3(1): 5-15.

Geissmann, T, Nijman V, Dallmann R. 2006. The fate of diurnal primates in Southern Sumatra. Gibbon Journal 2(1): 18-24.

Gibbons, MA, Harcourt AH. 2009. Biological correlates of extinction and persistence of primates in small forest fragments: a global analysis. Tropical Conservation Science. 2(4): 388-403.

Gittins, S.P. and J.J. Raemakers. 1980. Siamang, lar, and agile gibbons. Journals of Mammology.53(1):198-201.

Gron, KJ. 2008. Primate Factsheets: Siamang (Symphalangus syndactylus) Taxonomy, Morphology, & Ecology. http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/siamang.

Groves, C.P. 1999. The taxonomy of orangutans. In. C. Yeager (Ed). Orangutan Action Plan. Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta, WWF Indonesia and Center for Environmental Research and Conservation (CERC) Colombia University. New York.

Hill, MO. 1973. “Diversity and Evenness: A Unifying Notation and Its Consequences.” Ecology 54: 427–432.

Ickes K, Paciorek CJ, Thomas SC. 2005. Impacts of nest construction by native pigs (sus scrofa) on lowland malaysian rain forest saplings. Ecology 86(6): 1540–1547.

Page 135: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

117

Daftar Pustaka

Indrawan, M. B., R. Primark, J. Supriatna, dan P. Kramadibrata. 2012. Biologi Konservasi Edisi ke III. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Iskandar F. 2008. Habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch Audebert, 1797) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

IUCN. 2009. 2009 IUCN Red List of Threatened Species. http ://www.redlist.org/. Diakses tanggal 5 September 2010.

Kinnaird, M. F., E. W. Sanderson, T. G. O’Brein, H. T. Wibisono and G. Woolmer. 2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered large mammals.Conservation Biology17 : 245-257.

Kljun, N., T. A. Black, T. J. Griffis, A. G. Barr, D. Gaumont-Guay, K. Morgenstern, and Z. Nesic. 2007. Response of net ecosystem productivity of three boreal forest stands to drought. Ecosystems 10: 1039–1055.

Krebs CJ. 1978. Ecology the Experimental Analysis of Distribution and Ambundance. New York (US) : Harper and Row Publication.

Kusdanartika T. 2019. Karakteristik populasi dan habitat siamang (Symphalangus Syndactylus Raffles, 1821) di Resor Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Kuswanda W, Gersetiasih R. 2016. Daya dukung dan pertumbuhan populasi siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok, Sumatera Utara. Jurnal Plasma Nutfah. 22(1): 67-80.

Kuswanda W, Pratiara L. 2017. Rencana Pengelolaan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (Khdtk) Aek Nauli Dengan Konsep Edutainment. Pematang Siantar (ID) : BP2LHK Aek Nauli.

Kuswanda W. 2013. Seleksi sumberdaya habitat orangutan (Pongo abelii Lesson 1827) Di Cagar Alam Sipirok. Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 10(3) : 255-271.

Page 136: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

118

Kuswanda, 2014. Orangutan Batangtoru : Kritis diambang Punah. Forda Press. Bogor. Hlm: 1-188.

Kuswanda, W. 2011. Model Pemanfaatan dan Kebijakan untuk Mengurangi Perburuan Satwaliar di Sekitar Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Jurnal INOVASI Media Litbang Propinsi Sumatera Utara Vol. 8 No. 4. Medan.

Kuswanda, W. dan M. Bismark. 2007. Pengembangan Strategi Konservasi dan Peran Kelembagaan dalam Pelestarian Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 6. Departemen Kehutanan.

Kuswanda, W. S.P. Barus, J. Ginting dan E.P. Manik. 2012. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara: pendugaan produktivitas dan daya dukung habitat. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan.

Kuswanda, W. S.P. Barus, P. Mudiana dan E.P. Manik. 2013. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara: kesesuaian dan ancaman habitat di sekitar CA. Dolok Sipirok. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan.

Kwatrina RT, Kuswanda W, Setyawati T. 2013. Sebaran dan kepadatan populasi siamang (Symphalangus syndactylus) di Cagar Alam Dolok Sipirok dan sekitarnya, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 10(1): 81-91.

Kwatrina, R.T, W. Kuswanda, J. Ginting dan E.P. Manik. 2010. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan.

Page 137: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

119

Daftar Pustaka

Kwatrina, R.T, W. Kuswanda, J. Ginting dan E.P. Manik. 2011. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara: pendugaan populasi siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Pematangsiantar. Tidak dipublikasikan.

Lappan S, Andayani N, Kinnaird MF, Morino L, Nurcahyo A, O’Brien TG. 2017. Social polyandry among siamangs: the role of habitat quality. Animal Behaviour. 133(2017): 145-152.

Litton, C. M., J. W. Raich and M. G. Ryan. 2007. Carbon allocation in forest ecosystems. Global Change Biology 13:, 2089–2109. http://dx.doi.org/ 10.1111/j.1365-2486.2007. 01420.x

Ludwig JA dan Reynold JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York (US): John Wiley & Sons.

MacKinnon, K., John MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Maron, J.L and Crone, E. 2006. Herbivory: effects on plant abundance, distribution andpopulation growth. Proc. R. Soc. B: Biol. Sci. 273: 2575–2584.

McDonald, L.L., J.R. Alldredge, M.S. Boyce and W.P. Erickson. 2005. Measuring Availability and Vertebrate Use of Terrestrial Habitats and Foods. Pages 465-488 in C.E. Braun, editor. Techniques for Wildlife Investigations and Management. The Wildlife Society Bethesda, Naryland, USA.

Meijaard, E., D. Sheil, R. Nasi, D. Augeri, B. Rosenbaum, D. Iskandar, T. Setyawati, M. Lammertink, I. Rachmatika, A. Wong, T. Soehartono, S. Stanley, T. Gunawan, dan T. O’Brein. 2006. Hutan Pasca Pemanenan : Melindungi satwaliar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. Center for International Forestry Research. Jakarta.

Page 138: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

120

Meijaard, E., H. D. Rijksen, dan S. N. Kartikasari. 2001. Diambang Kepunahan ! : Kondisi orangutan liar di awal abad ke – 21. Publikasi The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta.

Mitani JC. 1990. Demography of Agile Hylobatidaes (Hylobates agilis). International Journal Primatology 11: 409-422.

Mubarok A. 2012. Distribusi dan Kepadatan Simpatrik Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasna Hutan Batang Toru, Sumatera Utara [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mursidin, Priyo, T., Achlil, R., Yuliarsana, N., Soewondho, Wartam, Basuki, B. dan Sudarto (Ed.). 1997. 35 tahun penghijauan di Indonesia. Presidium Kelompok Pelestari Sumberdaya Alam, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. Jakarta.

Napier JR and Napier PH. 1967. A Hand Book of Living Primates: Morphology. Ecology. and Behaviour of Non Human Primates. London (UK) : Academic Press.

Napier JR and Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. London (UK): Academic Press.

Nawir, A.A., Murniati, Rumboko, L., (eds.) 2008. Rehabilitasi hutan di Indonesia: akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa? . Review of Forest Rehabilitation: Lessons from the Past Bogor, Indonesia, Center for International Forestry Research (CIFOR). 283p. ISBN: 978-979-1412-35-3.

Nijman, V. & Geissman, T. 2008. Symphalangus syndactylus. In: IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2. <www.iucnredlist.org>. Diakses pada 26 Januari 2010

Nopiansyah F. 2007. Penggunaan Parameter Morfometrik untuk Pendugaan Umur Siamang Sumtera (Hylobates syndactylus syndactylus Raffles) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 139: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

121

Daftar Pustaka

O’Brien TG, Kinnaird MF, Nurcahyo A, Iqbal M, Rusmanto M. 2004. Abundance and distribution of sympatric gibbons in a threatened Sumatran rain forest. International Journal of Primatology. 25(2): 267-284

O’Brien, T., M.Kinnaird, A.Nurcahyo, M.Prasetyaningrum and M.Iqbal. 2003. Fire, demography and the persistence of siamang (Symphalangus syndactylus: Hylobatidae) in a Sumatran rainforest. Animal Conservation 6:115-121.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Philidelphia (US): WE Saunders.

Olsson, F and O. Hössjer. 2015. Estimation of the variance effective population size in age structured populations. Theoretical Population Biology 101 (2015) 9–23

Palombit RA. 1997. Inter and Intraspesific Variation in Diets of Sympatric Siamang (Hylobates syndactylus) and Lar Hylobatidaes (Hylobates lar). Folia primatol 68: 321-337.

Peraturan Menteri Kehutanan. 2018. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 106 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Jakarta (ID) : Sekretariat Negara.

Perbatakusuma, E.A, J. Supriatna, R.S.E. Siregar, D. Wurjanto, L. Sihombing dan D. Sitaparasti. 2006. Mengarustamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Teknik Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia- Departemen Kehutanan. Pandan.

Permatasari BI. 2018. Deskripsi kondisi habitat siamang (Symphalangus syndactylus) di Hutan Lindung Register 28 Pematang Neba Kabupaten Tanggamus [skripsi]. Bandar Lampung (ID) : Universitas Lampung.

Primack, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan and P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Page 140: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

122

Raemaekers JJ. 1984. Large Versus Small Hylobatidaes: Relative Roles of Bioenergetics and Competition in Their Ecological Segregation in Sympatry. Di dalam: Preuschoft H, Chivers DJ, Brockelman WY, Creel N, [Eds.]. The Lesser Apes: Evolutionary and Behavioral Biology. Edinburgh: Edinburgh University Press: 209–218.

Reddy C.S., S. Babar, G. Amarnath and C. Pattanaik. 2011. Structure and floristic composition of tree stand in tropical forest in the Eastern Ghats of Andhra Pradesh, India. Journal of Forestry Research 22:491-500.

Rockwood, L.L. 2006. Introduction to population ecology. Blackwell Publishing. Australia. Pp : 1 – 315

Rosyid A. 2007. Perilaku makan siamang dewasa (Hylobates syndactylus Raffles, 1821) yang hidup di hutan terganggu dan tidak terganggu. Agroland. 14(3) : 237-240.

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US): Pogonian Press.

Sari EM dan Harianto SP. 2015. Studi kelompok siamang (Hylobates syndactylus) di Repong Damar Pahmungan Pesisir Barat. Jurnal Sylva Lestari. 3(3): 85-94.

Shuster SM dan Wade MJ. 2003. Mating Systems and Strategies. Princeton (NJ): Princeton University Press.

Sinaga, T. 1992. Studi habitat dan perilaku orangutan (Pongo abelii) di Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser. Thesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Sugardjito, J. 1986. Ecological Constrains on the Behaviour of Sumatran Orangutan in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. Thesis Utrecht.

Sultan K, Mansjoer SS, Bismark M. 2009. Populasi dan distribusi ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Primatologi Indonesia. 6(1): 25-31.

Page 141: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

123

Daftar Pustaka

Supriatna J dan Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Suyanto, A dan G. Semiadi. 2004. Keragaman Mamalia di Sekitar Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak. Berita Biologi Vol. 7 Nomor 1 dan 2. Pusat Penelitian Biologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor

Tacconi L. 2003. Proses Pembelajaran (Learning Lesson) Promosi Sertifikasi Hutan Dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. Center For International Forestry Research. Bogor

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi : Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan.

Zhao, M. and G.S. Zhou. 2005. Estimation of biomass and net primary productivity of mayor planted forest in China based on forest inventory data. Forest Ecological Management 207: 295-313.

Page 142: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan
Page 143: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

RIWAYAT HIDUP PENULIS

WANDA KUSWANDA dilahirkan di Subang-Jawa Barat pada tanggal 06 Agustus 1977. Gelar Sarjana diperoleh di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Februari 2000) pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Selanjutnya, pada April 2011 mendapatkan gelar Master of Science (M.Sc) dengan predikat sebagai lulusan terbaik dari Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mulai September 2017,

penulis tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Universitas Sumatera Utara.

Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli sejak Desember 2001 dan pada Desember tahun 2016 telah menduduki jabatan sebagai Peneliti Ahli Utama. Penulis telah mempublikasikan sedikitnya 45 jurnal ilmiah baik jurnal internasional maupun nasional dan 55 publikasi pada proseding dan media lainnya. Bidang kepakaran penulis adalah konservasi satwaliar, pengelolaan taman nasional dan jasa lingkungan. Buku ini merupakan hasil karya penulis yang keempat setelah buku pertamanya berjudul ‘Orangutan Batangtoru diambang Punah ‘ (2014), Konservasi dan Ekowisata Gajah : Sebuah Model dari KHDTK Aek Nauli (2018) dan Ekologi Orangutan Tapanuli (2019). Penulis sering diminta juga sebagai nara sumber, pembimbing mahasiswa dan aktif dalam berbagai organisasi.

Page 144: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

126

ROZZA TRI KWATRINA Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dengan bidang kepakaran Konservasi dan Pengaruh Hutan, serta Konservasi Keanekaragaman Hayati. Pendidikan Sarjana diselesaikan di Universitas Andalas, sedangkan Magister dan Doktor diselesaikan di IPB University. Dengan latar belakang ilmu Biologi dan Konservasi Biodiversitas Tropika, penulis telah mempublikasikan lebih dari 50 artikel ilmiah

nasional maupun internasional, serta aktif sebagai editor dan reviewer pada beberapa media publikasi. Selain itu, penulis juga aktif bekerja sama dengan peneliti dalam berbagai kegiatan di bidang konservasi satwaliar.

SRIYANTI PUSPITA BARUS lahir di Tomohon-Sulawesi Utara pada 18 Mei 1979. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di Medan dan pendidikan menengah atas dan tinggi di Makassar. Gelar Sarjana Kehutanan (S1) diperoleh di Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2002 dan gelar Magister Pertanian (S2) diperoleh pada tahun 2005 di Program Studi Sistem-Sistem

Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis memulai tugasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Balai Teknologi Pengelolaan DAS IBT Makassar pada tahun 2006. Saat ini penulis bertugas di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli. Penulis telah menduduki jabatan sebagai Peneliti Muda dengan bidang kepakaran Konservasi Sumber Daya Hutan. Penulis telah menghasilkan berbagai karya tulis ilmiah baik yang terbit dalam bentuk buku, jurnal ilmiah dan prosiding.

Page 145: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

127

Riwayat Hidup Penuli

ENDANG KARLINA dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 08 September 1964. Gelar Sarjana diperoleh di Fakultas Kehutanan, Universitas Nusa Bangsa Bogor (2000) pada Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Selanjutnya, pada April 2010 mendapatkan gelar Master of Science (M.Si) pada Program Studi Menajamen Ekowisata dan Jasa Lingkungan (MEJ) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan

Strata tiga (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) dan mendapatkan gelar DOKTOR pada tahun 2016.

Penulis bekerja sebagai Teknisi peneliti pada tahun 1991 dan pada tahun 2001 penulis menjabat sebagai peneliti di Pusat Litbang Hutan Bogor. Pada tahun 2017 penulis menduduki jabatan sebagai Peneliti Ahli Madya pada bidang kepakaran Konservasi dan Nilai Hutan pada Pusat Litbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penulis telah mempublikasikan beberapa jurnal dan prosiding ilmiah baik pada jurnal nasional maupun internasional. Penulis sering juga diundang sebagai narasumber pada pertemuan ilmiah dan program kerja suatu instansi atau lembaga khususnya pada bidang konservasi dan ekowisata.

DONES RINALDI lahir di Bukittinggi-Sumatera Barat pada tanggal 18 Mei 1961. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Kehutanan (S1) pada Bulan Agustus 1985 di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada Bulan September 1999 telah menyelesaikan program Pascasarjana (S2) di Institute of Tropical Silviculture, Georg-August-Univesity, Göttingen. Penulis sejak tahun 1989 bekerja sebagai Dosen pada Departemen Konservasi

Page 146: Siamang - FORDAaksi konservasi siamang dan mengimplementasikannya pada berbagai status dan fungsi hutan di Pulau Sumatera. Buku ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat dukungan

Siamang: Dari Riset Menuju Konservasi

128

Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Mata ajaran yang diasuh terkait Perilaku dan Ekologi Satwa. Bidang keahlian lain yang ditekuni saat ini adalah GIS/Spatial Planning, Multimedia Program and Fotograpi.

Penulis sejak tahun 1986 telah melakukan berbagai penelitian pada satwa primata, khususnya pada famili Hylobatidae - Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Ungko (Hylobates agilis, Klawat (Hylobates muelleri) dan Owa jawa (Hylobates moloch), serta beberapa species primata lainnya dari Genus Presbytis spp. dan Macaca spp. di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Puluhan publikasi telah dihasilkan penulis yang diterbitkan pada jurnal internasional maupun nasional, proseding dan media lainnya.