Si Bongkok Dari Notre-dame

114

description

si bongkok

Transcript of Si Bongkok Dari Notre-dame

Page 1: Si Bongkok Dari Notre-dame
Page 2: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 1 SI PENARI

"AKU kedinginan dan lapar," kata Pierre Gringoire, "dan aku

tak punya uang untuk membeli makanan malam ini. Tak seorang pun mau membeli sajak-sajak dan naskah-naskah sandiwara yang kutulis,

dan tak seorang pun menghendaki aku." Kota Paris, dua belas hari setelah Natal dalam tahun 1482,

adalah sebuah kota yang dingin; dan banyak penduduknya yang miskin, kurus dan kedinginan seperti Pierre Gringoire penyair itu.

"Aku harus berhenti menjadi seorang pengarang," katanya, "kalau tidak, aku akan mati kelaparan." Dimasukkannya kedua tangannya ke dalam sakunya yang kosong lalu dia berjalan ke alun-

alun yang bernama Place de Grve. "Tuh ada orang banyak! Mereka kelihatannya hangat; aku akan menggabungkan diri dengan mereka

dekat api itu." Banyak laki-laki dan perempuan berdiri di tengah alun-alun.

Mereka tampak hitam kena sinar api kayu besar yang merah yang menyala di atas batu. Gringoire bergegas ke arah mereka. Di antara

orang-orang itu dan api ada suatu ruang kosong yang cukup lapang. "Saya kedinginan!" kata Gringoire, sambil menelusup ke

tengah-tengah orang banyak itu. "Mengapa kita tidak lebih mendekati api itu saja?"

"Karena kita tentu harus menyediakan ruang untuk Esmeralda!" sahut seorang laki-laki gendut di sebelahnya.

"Siapa? Saya tak pernah mendengar..."

"Gunakanlah matamu. Tuh lihat dia. Cantik sekali bukan?" Gringoire menjulurkan lehernya untuk dapat melihat melampaui

topi wanita yang ada di depannya, kemudian barulah dia mengerti.

Page 3: Si Bongkok Dari Notre-dame

Itulah dia Esmeralda! Dia menari di antara orang banyak yang menontonnya dan api yang menyala besar.

Mula-mula Gringoire penyair itu tak yakin benar apakah penari yang lentur itu seorang gadis ataukah peri! Dia bertubuh kecil,

berkulit gelap dan rambutnya hitam. Matanya pun hitam pula dan mata itu bersinar waktu dia menari. Kakinya yang kecil bergerak di

atas permadani Persia yang dihamparkannya di atas batu-batu alun-alun itu. Bajunya beraneka warna, cemerlang oleh warna keemasan.

Kaki dan pundaknya indah. Di tangan kanannya dia memegang sebuah rebana, dan dia memainkannya sambil menari berputar-putar.

"Bukan," kata Gringoire nyaring, "dia bukan seorang peri; aku sudah biasa melihat gipsy dengan mata dan rambut seperti itu —tapi

tak ada yang secantik dia!" "Memang dia seorang gipsy," kata laki-laki gendut itu. "Dia

salah seorang dari pengelana-pengelana yang tinggal dalam tenda-

tenda dan berpindah-pindah tempat, dan dia tahu semua gerak-tipu kaum gipsy.... Lihat saja!"

Esmeralda mengambil dua buah pedang dari tanah dan memasangnya berdiri tegak di atas kepalanya. Lalu dia menari-nari.

Warna api yang merah menambah pesona geraknya, sedang orang banyak mengawasi tanpa suara dan keheranan.

"Aku bisa menggubah suatu syair tentang ini," pikir Gringoire. Dia menoleh ke sebelah lain dari api ke sudut alun-alun tempat tiang

gantungan yang mengerikan itu berdiri. Banyak laki-laki dan perempuan telah digantung di situ. Gringoire tiba-tiba merasa takut.

"Tapi mengapa aku harus takut?" pikirnya. "Aku belum pernah melanggar hukum."

Lalu dia menoleh ke sudut lain dari alun-alun, ke bangunan

kecil yang disebut Lubang Tikus. Suster Gudule tinggal di Lubang Tikus itu, dalam sebuah kamar yang hanya berjendela satu dan jendela

itu berjeruji besi. Dia tak pernah bisa keluar: Lubang Tikus itu tak ada

Page 4: Si Bongkok Dari Notre-dame

pintunya. Semua orang tahu bahwa dia membenci gipsy. Dia tentu tak dapat melihat Esmeralda, kalau bisa dia tentu telah meneriakkan

sumpah serapahnya, sebagaimana yang selalu dilakukannya setiap kali kaum gipsy datang ke Place de Greve.

* Tarian Esmeralda makin lama makin cepat, sedang sepasang

mata di antara orang banyak di sekeliling Gringoire, tertancap ke arahnya dengan pandangan aneh. Wajah itu tenang dan kaku, namun

matanya berapi-api. Laki-laki itu berumur tidak lebih dari tiga puluh lima tahun, tetapi rambut di kepalanya tinggal beberapa lembar dan

beruban pula. Gringoire hanya bisa melihat kepalanya: pakaian laki-laki itu tersembunyi di antara orang banyak.

Gadis yang sudah kehabisan nafas itu berhenti menari, dan orang banyak berteriak menyuruhnya menari lagi.

"Djali!" seru Esmeralda.

Gringoire melihat seekor kambing putih kecil mendekatinya. Kakinya berwarna keemasan, dan di lehernya tergantung seuntai

kalung perak. Gringoire semula tidak melihat kambing itu, karena binatang itu tadi berbaring memperhatikan Esmeralda menari.

"Djali," kata gadis itu, "sekarang giliranmu." Dia duduk lalu mengulurkan rebananya pada kambing itu.

"Djali, tanggal berapa hari ini?" tanyanya. Kambing itu mengangkat kakinya lalu memukul rebana itu

enam kali. Alangkah senangnya penonton. "Bagus Djali!" teriak anak-anak di barisan terdepan.

"Sungguh binatang yang hebat!" seru si gendut. "Djali," kata gadis gipsy itu sambil memindahkan rebana itu

sedikit, "jam berapa sekarang?"

Djali mengangkat kakinya yang keemasan lalu memukul rebana tujuh kali. Pada saat itu jam di menara di dekat alun-alun berbunyi

tujuh kali.

Page 5: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Itu semua karya sihir," kata suatu suara jahat di tengah-tengah penonton. Suara itu adalah suara orang yang selalu menatap gadis

gipsy itu. Esmeralda menoleh cepat, tapi penonton yang lain bersorak dan

sorak-sorai itu menghilangkan kata-kata laki-laki itu. Untuk menyenangkan penonton, gadis itu berkata lagi, "Djali,

bagaimana para imam berbicara pada orang banyak dalam gereja?" Kambing itu duduk lalu mengeluarkan suara lucu sambil mengacung-

acungkan kedua kaki depannya dengan cara yang menggelikan. Penonton tertawa dan bersorak nyaring.

"Itu tak benar! Itu jahat!" seru suara laki-laki yang hanya berambut uban beberapa lembar.

Gipsy itu menoleh lagi. "Oh!" katanya, "orang jelek itu rupanya!" lalu dijulurkannya

lidahnya ke arah laki-laki itu. Tapi setelah dia berpaling lagi, matanya

membayangkan ketakutan, kemudian dia berkeliling di tengah-tengah penonton mengumpulkan uang dalam rebananya.

Para penonton itu pemurah, dan waktu gadis itu tiba dekat Gringoire rebananya sudah berisi banyak mata uang emas dan perak,

besar dan kecil. Tanpa sadar, Gringoire merogoh sakunya. Dia tentu tidak mendapat apa-apa karena sakunya kosong. "Setan!" gerutu

Gringoire. Dirasakannya tubuhnya panas dingin dan dungu melihat gadis cantik itu berdiri saja di hadapannya dengan menadahkan

rebananya. Gadis itu memperhatikannya dengan matanya yang indah, sedang laki-laki itu makin merasa dirinya dungu. Kalau saja dia kaya,

akan diberikannya seluruh kekayaannya pada gadis itu! Suatu suara menyelamatkan laki-laki itu, suara wanita dari

sudut yang jauh dari alun-alun itu.

"Pergi gadis jahat! Gipsy!" teriak suara wanita alim dari Lubang Tikus itu.

Page 6: Si Bongkok Dari Notre-dame

Suara yang menjadikan Esmeralda ketakutan itu, menyenangkan anak-anak dan mereka tertawa.

"Itu Suster Gudule!" teriak mereka. "Belum makankah dia? Dia tentu lapar! Mari kita carikan dia makan!" Dan mereka pun lari.

Gringoire jadi ingat betapa laparnya dia dan dia jadi berpikir di mana dia akan bisa memperoleh makanan.

"Suster Gudule yang malang!" kata laki-laki gendut di sebelahnya. "Tak banyak kesenangan dalam hidupnya. Kesedihan apa

gerangan yang menyebabkan dia meninggalkan dunia ramai ini dan hidup menyendiri di Lubang Tikus itu."

"Tak tahukah Anda tentang kisahnya?" tanya Gringoire. "Saya sangka semua orang di Paris ini tahu."

"Tentu saya tahu kisah tentang bayi perempuannya yang dicuri kaum gipsy, tapi saya sama sekali tak percaya. Suster Gudule tua yang malang itu terlalu jelek untuk punya anak yang pantas dicuri."

"Kesedihanlah yang telah membuatnya jelek," kata Gringoire. "Saya percaya bahwa dia cantik enam belas tahun yang lalu, ketika

kaum gipsy menukar bayi perempuannya dengan seorang anak laki-laki yang berumur empat tahun."

"Seorang anak laki-laki yang hanya bermata satu, sedang kaki dan tangannya tak tentu bentuknya. Saya tahu kisah itu, tapi saya tetap

tak percaya bahwa Suster Gudule...." "Tidak pernahkah Anda melihat sepatu bayi kecil di Lubang

Tikus-nya itu? Dan tak pernahkah Anda melihatnya menangisi sepatu itu? Hatinya hancur. Jika Anda punya jiwa penyair barang sedikit saja,

Anda akan mengerti bahwa kisah itu sesuai dengan kenyataannya." "Penyair!" ejeknya. "Nanti Anda bahkan berkata bahwa Anda

sendiri seorang penyair!"

Gringoire tak berkata apa-apa, karena dia mendengar suatu nyanyian asing tapi sangat manis. Esmeralda sedang menyanyikannya.

Page 7: Si Bongkok Dari Notre-dame

Kata-katanya yang dalam bahasa gipsy, penuh keriangan, dan suaranya semerdu dan sebersih suara burung.

Anak-anak yang tadi pergi mencarikan makanan untuk Suster Gudule, telah kembali dari jalan gelap yang sempit. Anak perempuan

yang terbesar membawa sebuah kue. Mereka berdiri lagi di bagian depan dari penonton, mendengarkan lagu yang indah itu. Anak-anak

itu lapar juga. Mereka mendengarkan nyanyian Esmeralda sambil mencubiti kue itu dan memakannya.

Nyanyian itu tidak berlangsung lama. Dari Lubang Tikus terdengar lagi suara teriakan Suster Gudule yang kasar. "Diam. Diam.

Hentikan keributan itu dan berikan kami ketenangan." Nyanyian berhenti tiba-tiba. "Anda mengganggu nyanyian

terindah yang pernah saya dengar!" seru Gringoire. Orang-orang lain juga marah dan berteriak. Beberapa di

antaranya berseru, "Semoga Suster Gudule diambil setan!" dan sambil

menyumpah-nyumpah suster itu, mereka mulai bergerak ke arah Lubang Tikus dengan marah.

Tepat pada saat itu ada sesuatu yang menyebabkan mereka semua berbalik dan bergerak ke sebelah lain dari alun-alun. Dari

kegelapan malam di musim dingin itu, suatu gerombolan lain berjalan menuju mereka dengan membawa obor dan pekik-sorak serta musik

aneh yang jelek. Anak-anak cepat-cepat menghabiskan sisa kue sambil berlari ke

arah gerombolan yang mendekat itu. Mereka lupa Suster Gudule. Demikian pula semua orang di alun-alun itu, karena laki-laki dan

perempuan yang mendekati mereka mengusung di pundak mereka seseorang yang ingin sekali mereka lihat; mereka sedang mengarak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu.

Ebukulawas.blogspot.com

Page 8: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 2 QUASIMODO

SETIAP tahun penduduk Paris memilih seorang Imam

Tertinggi Orang-orang Dungu yang baru, dan pagi itu mereka telah memilihnya dengan cara baru.

Di salah sebuah gereja ada sebuah jendela berlubang sebesar kepala manusia. Semua orang yang terjelek di Paris pergi ke gereja

itu, dan mereka bergantian menjulurkan kepala mereka di lubang bekas tempat kaca itu, supaya orang banyak di luar dapat menentukan

muka mana yang paling jelek. Orang yang mukanya paling jelek akan menjadi Imam Tertinggi Orang-orang Dungu tahun 1482 itu.

Orang-orang bersorak-sorai kesenangan memilihnya.

"Demi setan, aku belum pernah melihat hidung sebesar itu!" teriak seorang serdadu tua.

"Lihatlah mulut itu!" pekik seorang petani sambil tetap memegang tali pengikat leher sapinya.

"Coba kita lihat yang lain lagi. Ayo keluar!" Muncullah sebuah wajah lagi. "Lihat!" teriak seorang laki-laki

jangkung. "Sama benar mukanya dengan sapi itu!" "Besar benar telinganya! Sampai sulit dia mengeluarkannya dari

jendela itu." Makin lama makin nyaring sorak-sorai orang-orang itu melihat

muka-muka jelek yang bermunculan, hingga akhirnya suatu wajah membuat mereka bersorak serempak, "Itu dia! Begitu seharusnya wajah Imam Tertinggi kita! Itu yang kita mau! Itu wajah yang paling

jelek dari semua!" Wajah itu dikelilingi oleh rambut merah yang kotor. Matanya

hanya satu, kuning dan redup. Di atas mata itu terdapat alis yang tebal

Page 9: Si Bongkok Dari Notre-dame

sedang di sebelahnya di tempat yang seharusnya ada mata terdapat segumpal rambut yang lebih besar. Beberapa buah gigi besar

menonjol keluar dari mulut sebesar gua yang sedang tersenyum, sedang kulitnya penuh bintik-bintik hitam.

"Bawa dia keluar dari gereja!" teriak orang banyak itu. "Harus kita arak Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu!"

* Quasimodo, si bongkok, tertawa senang waktu dia keluar di

tangga gereja itu. Inilah saat yang indah baginya: dia belum pernah merasa terkenal seperti sekarang. Biasanya orang-orang benci dan

takut padanya karena dia begitu jelek. Kepalanya terbenam di antara kedua bahunya dan kaki tangannya yang besar-besar tak tentu

bentuknya. Tapi kini orang banyak menghendakinya. Dia tak mengerti karena dia tak bisa mendengar apa-apa. Selaput gendang telinganya yang besar itu telah pecah gara-gara bunyi lonceng yang

dibunyikannya setiap hari di gereja Notre-Dame. Dia mencintai lonceng-lonceng itu, meskipun dia tak bisa mendengarnya, kecuali

kalau lonceng itu berbunyi nyaring sekali. Dia hanya dapat merasakan bunyi lonceng itu, dan lonceng-lonceng itu membahagiakannya lebih

dari apa pun juga dalam hidupnya yang menyedihkan itu. Gilles Clopin, seorang anak muda buruk, menaiki anak tangga

gereja sambil menari-nari lalu berdiri menirukan Quasimodo, dengan kepalanya terbenam di antara kedua bahunya. Dia mengejek-ejek

Quasimodo. Meskipun si bongkok tak dapat mendengar, dia bisa melihat dengan matanya yang satu itu. Clopin sedang memperolok-

olokkannya, dan si bongkok marah. Orang banyak tertawa, tapi si bongkok tidak. Dengan cepat dia mendekati Clopin, diangkatnya anak muda itu dengan tangannya yang jelek tapi kuat itu, diangkatnya

tinggi-tinggi seolah-olah Clopin itu seringan seorang bayi, lalu dilemparkannya ke bawah tangga.

Page 10: Si Bongkok Dari Notre-dame

Orang banyak terdiam, lalu mereka berteriak lebih nyaring lagi. Tapi kebanyakan wanita merasa takut akan Quasimodo.

"Dia seburuk monyet!" kata seorang wanita. "Dan jahatnya sepadan dengan jeleknya!" kata yang lain.

"Saya tinggal dekat Notre-Dame, dan saya mendengarnya berlari-lari di atas atap sepanjang malam."

"Seperti kucing." "Kalau kau sedang mengandung, Louise, jauhilah si bongkok

itu," kata seorang nenek. "Dia mengerikan sekali."

Tapi kaum laki-laki suka sekali pada si bongkok, mereka tertawa dan bersorak waktu melihat kekuatannya. Para pengemis yang

ada di antara orang banyak itu membawa sebuah mahkota dari kertas dan sehelai kain panjang yang digambari dengan warna-warna manyala. Mereka pasang mahkota itu di kepala Quasimodo, sedang

kain panjang disampirkan ke tubuhnya yang buruk itu. Kemudian mereka suruh dia membawa sebuah salib besar dari kayu kasar.

Mereka dudukkan dia di atas sebuah bekas pintu yang sudah tua dan mereka usung dia berkeliling kota dengan musik yang jelek, nyanyian-

nyanyian dan sorak sorai. "Quasimodo!' teriak mereka. "Imam Tertinggi Quasimodo! Beri jalan bagi Imam Tertinggi Orang-orang

Dungu!" ***

Enam belas tahun sebelum kisah ini berawal, pada suatu hari yang cerah dalam musim semi, ditemukan seorang anak sesudah misa

pagi di gereja Notre-Dame. Dia terbaring di tangga. Tubuhnya hanya dibungkus dengan sepotong kain kotor, dan dia menangis dengan cara yang aneh.

Bayi-bayi kecil yang tak diingini ibu mereka sering ditinggalkan di tempat itu di gereja: lalu wanita-wanita yang baik hati

memungutnya dan membesarkannya seolah-olah anaknya sendiri.

Page 11: Si Bongkok Dari Notre-dame

Tapi anak laki-laki yang ini sudah berumur empat tahun. Rambutnya merah, matanya hanya satu dan bentuk tubuhnya tak keruan. Tak

seorang pun menginginkan anak ini. Beberapa orang wanita berdiri memandanginya.

"Makhluk apa itu?" tanya seseorang. "Ampun Tuhan, kalau bayi-bayi lahir begitu sekarang!" kata

yang lain. "Saya ingin melihatnya! Saya tak bisa melihatnya!" seru

seorang gadis cilik cantik yang berpakaian bagus. "Jangan Fleur sayang, dia tak bagus, sama sekali tak bagus,

mari kita pergi dari sini sekarang juga!" dan ibu si Fleur yang kaya itu menarik lengannya.

Bayi laki-laki itu menangis nyaring. Tangisnya tidak seperti anak-anak lain.

"Kurasa itu adalah seekor binatang siluman, sama sekali bukan

anak laki-laki," kata seorang wanita tua ketakutan. "Dia buatan seorang penyihir."

"Anda benar," kata yang lain. "Itu binatang aneh yang jahat." Seorang laki-laki berdiri di belakang perempuan-perempuan itu

dan mendengarkan pembicaraan mereka. Laki-laki muda itu adalah Claude Frollo, seorang imam terkemuka di gereja Notre-Dame, dan

salah seorang di antara sarjana-sarjana terkemuka di Paris. Orang-orang takut melihat wajahnya yang selalu serius, ada pula yang

sampai membisikkan bahwa dia demikian pandainya hingga dia pandai ilmu gaib. Waktu perempuan-perempuan itu melihat Frollo

mereka cepat-cepat menyingkir. Frollo memandangi anak laki-laki kecil itu, dan dia merasa

kasihan sekali. "Tak seorang wanita pun menghendaki kau, Nak,

karena kau lain dari anak-anak yang lain," pikirnya. "Tapi Tuhan telah menciptakanmu dan Tuhan menghendaki semua orang yang telah

Page 12: Si Bongkok Dari Notre-dame

diciptakannya. Kita harus mencintai semua manusia, baik yang cantik maupun yang jelek, seperti juga Dia. Mari ikut aku, anak malang!"

Frollo mengangkat anak itu dan menggendongnya, dan anak itu berhenti menangis. Tiba-tiba imam itu merasa damai. Dia yakin

bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan. "Aku akan merawat dan membesarkanmu, anakku," kata Frollo.

"Sekarang kau jadi anakku. Mari." Dia berjalan melalui gereja sambil menggendong anak itu.

Frollo menamakan anak laki-laki kecil itu Quasimodo. Quasimodo hanya punya satu mata, tapi telinganya semula tidak

cacad. Dia pun bisa berbicara, tapi tidak sejelas pendengarannya, Suaranya kasar dan aneh. Frollo mencoba mengajarnya berbicara

lebih baik, dan anak itu berusaha keras untuk berkembang. Tapi tubuh Quasimodo begitu jelek dan dia tak mau orang lain melihatnya. Dia menyingkirkan diri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak lain, dan

menyembunyikan diri di menara gereja. Dia hanya mau tinggal dengan Frollo, tak mau dengan siapa pun juga yang lain, Frollo

memeliharanya dan mengajarnya membunyikan lonceng-lonceng gereja Notre-Dame.

Lonceng-lonceng itulah yang merusak telinganya, dan menjadikannya tuli, hingga dia sama sekali tak bisa mendengar apa-

apa: lalu Quasimodo tak mau lagi berbicara. Dia terlalu takut orang lain mendengar suaranya yang aneh. Kalau dia berbicara orang-orang

lain mungkin menertawakannya. Frollo telah mencoba menyuruh Quasimodo berbicara, tapi Quasimodo tetap membisu.

Meskipun Quasimodo tak dapat berbicara dengan lidahnya sendiri, si bongkok bisa berbicara dengan seluruh kota Paris melalui lonceng Notre-Dame. Dia mencintai segala sesuatu di gereja yang

indah itu, tapi dia paling mencintai lonceng-loncengnya, terutama lonceng besar yang bernama Marie. Marie tergantung di menara

selatan, dengan sebuah lonceng kecil bernama Jacqueline. Di menara

Page 13: Si Bongkok Dari Notre-dame

yang kedua ada enam buah menara lainnya, sedang enam lonceng yang terkecil ada di menara tengah, dengan lonceng kayu yang hanya

dibunyikan kalau ada orang meninggal. Jadi ada lima belas buah lonceng yang dicintai Quasimodo. Tapi Marie adalah yang paling

dicintainya. Kesenangan Quasimod meluap-luap bila dia bisa membunyikan

semua lonceng pada hari-hari istimewa. Dia dan Frollo berbicara dengan isyarat-isyarat aneh. Baru saja Frollo mengatakan pada si

bongkok bahwa dia sudah bisa mulai membunyikan lonceng-lonceng, Quasimodo berlari menaiki tangga lebih cepat daripada siapa pun juga

kalau menuruni tangga yang sama. Bergegas dia memasuki ruangan tempat lonceng besar itu, dan mengelus Marie seolah-olah lonceng itu

adalah seekor kuda yang baik yang akan memulai perjalanan jauh. Dia merasa kasihan pada lonceng itu karena harus melakukan pekerjaan itu.

Kemudian diberikannya isyarat pada orang-orang di bawah yang harus menarik talinya. Bunyi pertama dari anak lonceng tembaga

itu menggetarkan lantai tempat Quasimodo berdiri seperti sehelai daun dalam badai. Quasimodo ikut bergetar dengan lonceng itu. Nafasnya

menjadi lebih nyaring dan cepat, dengan makin cepatnya bunyi lonceng. Matanya yang hanya satu itu, terbelalak, dan seolah-olah

bersinar oleh cahaya tersendiri dalam menara gelap itu. Lalu semua lonceng mulai berbunyi dan bergetarlah seluruh

menara, batunya, kayunya dan logam semua bergetar bersama-sama, dari atas sampai ke bawah. Quasimodo seperti menjadi gila. Dia

berlari-lari dari lonceng yang satu ke lonceng yang lain, dan tertawa oleh kegaduhan lonceng-lonceng itu, satu-satunya bunyi yang bisa ditangkap oleh telinganya. Kemudian dia berdiri ke dekat sebuah

lonceng kecil dan melompat-lompat sementara lonceng itu berayun-ayun. Akhirnya ditinggalkannya lonceng itu: dia berlari mendapatkan

Marie, dia melompat lalu bergantung pada lonceng itu dengan kaki

Page 14: Si Bongkok Dari Notre-dame

tangannya. Dia merasa seolah-olah dia sedang menunggang awan-awan dalam badai, seperti dalam mimpinya.

Penduduk Paris sering berhenti di jalan dan mendengarkan bunyi lonceng yang seperti suara musik yang indah itu. Setelah itu

semua berakhir, Quasimodo turun ke bawah ke tempat Frollo dan mereka berbicara dengan isyarat-isyarat yang artinya hanya diketahui

mereka berdua. ***

Kini Quasimodo, Imam Tertinggi Orang-orang Dungu, sedang diusung ke Place de Greve. Dia merasa senang sekali seolah-olah dia

berada di atas, di menara dan Marie sedang berbunyi. Dia terayun-ayun di pundak orang-orang banyak itu dengan mahkota kertas di

kepalanya dan kain beraneka warna menutupi punggungnya, serta sebuah salib di tangannya. Dia tertawa waktu melihat makin banyak orang berjalan ke alun-alun mendatanginya.

Seorang pria berlari di depan semua orang itu, pria yang berambut uban tipis dan berjubah hitam itu seorang imam. Dialah

yang telah menatap Esmeralda dengan cara yang aneh dan berteriak padanya. Kini dia mendekat terus sampai Quasimodo bisa melihat

dengan matanya yang hanya satu bahwa dia adalah Frollo, dan dilihatnya bahwa Frollo marah.

Quasimodo melompat dari pundak orang yang mengusungnya. Dia bergegas mendatangi majikannya, Frollo, lalu berlutut di

hadapannya. Frollo merenggutkan mahkota dari kepala Quasimodo, merenggutkan kain dari punggungnya dan m-matahkan salib kayu itu.

Quasimodo tetap berlutut. Kemudian orang banyak melihat keduanya membuat isyarat-isyarat aneh. Imam itu marah dan memerintah, sedang si bongkok sedih dan minta dikasihani. Padahal jika dia mau,

si bongkok itu bisa saja melemparkan imam itu ke seberang alun-alun dengan tangan sebelah!

Page 15: Si Bongkok Dari Notre-dame

Akhirnya Frollo menggoncang pundak Quasimodo yang kuat itu, lalu memberi tanda supaya dia bangkit dan menyusulnya. Mereka

berbalik dan pergi. Orang banyak marah karena kehilangan imam Tertinggi Orang-

orang Dungu itu, lalu mengelilingi Frollo dan berteriak-teriak padanya. Tapi Quasimodo lebih cepat dari mereka. Dia berlari ke

depan Frollo dan berdiri dengan merentangkan tangannya, siap untuk memukul siapa saja yang berani mendekat. Lalu imam itu berjalan

perlahan-lahan meninggalkan lapangan itu. Sambil berteriak-teriak seperti seekor binatang yang mengamuk, Quasimodo menyusul

menyelinap di antara orang-orang banyak, dan orang-orang semua ketakutan dan tak berani menyentuh mereka.

Page 16: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 3 JALAN-JALAN YANG BERBAHAYA

"ANEH benar semuanya ini," gumam Gringoire sendiri, "tapi

demi setan, di mana aku bisa mendapatkan makan malamku?" Orang banyak pun meninggalkan alun-alun, mereka masih

merasa heran mengingat cara Imam Tertinggi Orang-orang Dungu itu meninggalkan mereka. Orang berbicara dengan nada marah sambil

berjalan melewati Gringoire, akan pulang atau ke rumah-rumah minum.

"Orang-orang itu beruntung!" pikir Gringoire. "Mereka tahu di mana mereka bisa mendapatkan makanan, minuman dan tempat tidur yang hangat. Sedang bagiku malam ini akan menyiksa sekali, karena

aku sama sekali tak punya uang. Tak seorang pun tahu ke mana aku harus pergi, supaya aku tak mati kelaparan dan kedinginan."

Tak seorang pun di antara orang banyak itu yang memperdulikannya, mereka berjalan terus. Api sudah padam. Waktu

Gringoire bersiap-siap meninggalkan alun-alun yang sudah gelap dan kosong itu, dia melihat Esmeralda dan kambing kecilnya berjalan di

jalan yang sempit di depannya. "Dia tentu punya rumah tempatnya pulang," pikir Gringoire

sambil mulai mengikuti Esmeralda. "Hati wanita gipsy biasanya baik. Mungkin dia mau

membawaku ke tempat yang hangat." Dia berjalan lebih cepat menyusul Esmeralda yang hampir menghilang di tikungan. "Akan kulihat akan ke mana dia!"

Seorang laki-laki tua melangkah ke pintu masuk rumah minum yang diterangi lampu terang, tapi Gringoire bergegas saja

melewatinya. Gringoire mendengar orang-orang tertawa dan

Page 17: Si Bongkok Dari Notre-dame

bernyanyi-nyanyi senang di dalam. Kemudian pintu ditutup. Dan jalan menjadi gelap dan sepi, hanya diwarnai oleh derap kaki saja. Dia

berlari ke tikungan dan dilihatnya gadis itu berjalan di depannya lagi dengan kambingnya. Mereka tidak menoleh. Gringoire berjalan

lambat supaya gadis itu tidak tahu bahwa dia sedang mengikuti mereka.

Mereka berjalan terus. Malam makin lama makin gelap. Di jalan-jalan yang dingin dan gelap itu mereka hanya berpapasan

dengan dua orang miskin. Esmeralda dan Djali berjalan melalui jalan-jalan sempit yang berliku-liku. Kemudian Gringoire tak tahu lagi di

mana dia berada. Kemudian Esmeralda membelok ke suatu tikungan lalu

memasuki sebuah jalan yang tidak segelap yang lain-lain. Ketika Gringoire memasuki jalan itu dilihatnya bahwa Esmeralda sedang menunggu di samping sebuah etalase toko yang terang, di mana roti

dibuat untuk esok paginya. Mungkin dia mendengar suara jejak kakinya. Dia lalu menoleh akan melihat siapa orangnya. Esmeralda

memandangnya tanpa berkata apa-apa. Dia tersenyum sedikit dengan senyum yang mengandung iba di wajahnya yang cantik: dia tahu

bahwa Gringoire lemah dan tak mungkin menyakitinya. Kemudian dia berjalan terus dengan cepat di jalan yang sempit itu. Kambingnya

yang kecil berlari-lari kecil dengan senangnya di sampingnya dan kakinya yang keemasan berkilau di atas batu.

Gringoire merasa dirinya dungu, mukanya terasa merah waktu dia berdiri dekat etalase yang terang itu. Dia berdiri terus sampai

Esmeralda membelok ke kanan di ujung jalan, lalu disusulnya lambat-lambat.

Waktu dia tiba di tikungan di dengarnya suatu pekik ketakutan.

Suara itu suara Esmeralda. Gringoire bergegas mendekatinya. Jalan itu gelap oleh bermacam-macam bayangan, tapi di ujung

jalan ada lampu kecil menyala. Lampu itu lampu minyak yang

Page 18: Si Bongkok Dari Notre-dame

terdapat dalam kotak besi kecil, dinyalakan sebagai penghormatan terhadap Bunda Maria, ibu Kristus yang patung batunya berdiri di

atasnya. Dalam cahaya lampu itu, Gringoire bisa melihat Esmeralda. Dia sedang berjuang dalam cengkraman dua orang laki-laki. Salah

seorang laki-laki itu berpakaian hitam. Mereka mencoba menghentikan pekik Esmeralda, sedang kambing kecilnya yang

malang ketakutan dan menundukkan kepalanya sambil mengembik-embik.

"Tolong! Tolong!" teriak Gringoire. "Tolong pasukan ronda, tolong di sini!"

Salah seorang dari yang mencengkram Esmeralda itu menoleh padanya. Laki-laki itu hanya bermata satu dan mukanya jelek sekali.

Dia adalah Quasimodo! Gringoire tidak melarikan diri, tapi dia tidak pula mendekat

barang selangkah pun.

Quasimodo berlari mendatanginya dan menghantamnya dengan punggung sebelah tangannya saja sampai Gringoire jatuh ke batu.

Kemudian Quasimodo mengangkat gadis itu, lalu menggendongnya seolah-olah dia seringan bulu. Mereka menghilang dalam gelap. Laki-

laki yang seorang lagi menyusul mereka. "Pembunuh! Pembunuh!" teriak gadis itu. Dan kambing kecil

itu pun lari. Tiba-tiba saja terdengar suatu suara yang dalam dan besar

seperti suara dentuman meriam. Suara itu suara seorang laki-laki penunggang kuda.

"Berhenti-berhenti! Lepaskan wanita itu!" Dia adalah kapten pasukan raja. Dia tiba-tiba muncul dari jalan

lain. Dia bersenjata lengkap dan di tangannya ada pedang.

Diambilnya gadis gipsy itu dari tangan si bongkokyang amat terkejut, lalu didudukkannya di atas kuda di depannya. Quasimodo

mengejarnya akan mengambil kembali Esmeralda, tapi lima belas atau

Page 19: Si Bongkok Dari Notre-dame

enam belas orang prajurit yang masing-masing memegang pedang terhunus muncul di belakang pemimpin mereka. Prajurit-prajurit itu

mengepung Quasimodo, mereka menangkapnya lalu menahannya. Dia berteriak-teriak, melawan dan menggigit, tapi mereka tak mau

melepaskannya. Laki-laki yang berpakaian hitam tadi melarikan diri lalu menghilang dari jalan itu.

Esmeralda kini duduk di depan kapten di atas kudanya yang besar. Diletakkannya tangannya ke pundak anak muda itu dan

dipandangnya wajahnya yang tampan. Kemudian dia bertanya sambil tersenyum, "Kapten, siapakah nama Anda?"

"Kapten Phoebus, siap melayani Anda, Gadis cantik," sahut perwira itu sambil menegakkan duduknya.

"Terima kasih," kata Esmeralda. "Terima kasih, kapten yang baik."

Sedang kapten Phoebus memegang janggut kecilnya dengan

bangga, Esmeralda menjatuhkan dirinya dari kuda dan melarikan diri dalam gelap.

"Setan sialan!" umpat kapten itu sambil mengeratkan ikatan tali di tubuh Quasimodo dan melihat mukanya yang jelek, ''Aku lebih

senang menahan gadis itu!" ***

Gringoire terbaring di jalan di bawah lampu kecil itu. Dia tak ingat bagaimana dia sampai berada di situ, dan waktu dia memandang

ke atas, terlihat kaki Bunda Maria dari batu itu, tapi kemudian dia merasa seolah-olah tubuh Bunda Maria itu berputar-putar sangat

cepat. "Apa yang telah terjadi?" pikirnya. "Dan apa ini, yang dingin

membeku di punggungku?"

Dipegangnya pakaiannya. Semuanya basah oleh air jalanan yang kotor dan dingin.

Page 20: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Benar-benar tempat yang buruk untuk tidur di malam sedingin ini!" Dia berusaha untuk berdiri.... tapi geraknya lambat sekali, karena

kepalanya masih terasa aneh. Rasanya berputar ke arah terbalik sekarang. Dia berbaring lagi.

Kemudian didengarnya suara anak-anak laki-laki berteriak-teriak nyaring sekali, "Michel sudah mati! Michel sudah mati!

Pengemis tua sudah mati! Mari kita bakar kasur tuanya yang kotor itu di hadapan Bunda Maria!"

Gringoire merasa ada sesuatu yang lembut jatuh di atasnya. "Berat sekali benda ini," pikir Gringoire, "lagi pula busuk

baunya." Anak-anak itu tidak melihatnya terbaring di jalan. Salah seorang di antaranya menyalakan sepotong kain pada lampu di bawah

kaki Bunda Maria, untuk membakar kasur yang telah mereka lemparkan.

"Aku mencium sesuatu yang terbakar!... ya, ini asap!....matang

aku kalau aku tetap di sini!" pikir Gringoire. "Tolong!" teriaknya. Dia berusaha keluar dari bawah kasur itu.

Kemudian kasur itu diambilnya, dilemparkannya ke arah anak-anak itu lalu lari secepat mungkin.

"Hei, itu arwah pengemis itu!" teriak anak-anak itu. "Ayo lari!" Mereka lari ke arah lain.

Gringoire berjalan dari satu jalan ke jalan lain tanpa tahu ke mana dia pergi. Akhirnya dia berhenti, menyandarkan punggungnya

pada dinding sebuah rumah. Dibukanya mulutnya lebar-lebar untuk menghirup udara malam yang dingin.

"Bodoh benar aku!" pikirnya. "Seharusnya aku tidak melarikan diri dari anak-anak itu. Mereka pun ketakutan melihat aku! Aku seharusnya diam-diam di sana dan menghangatkan diriku dekat api

yang mereka nyalakan, atau bahkan — kalau anak-anak itu sudah pergi dan aku bisa memadamkan apinya— kasur tua itu akan bisa

Page 21: Si Bongkok Dari Notre-dame

menjadi milikku dan aku bisa menidurinya enak-enak! Sebaiknya aku cepat-cepat kembali ke sana!"

Dia berbalik, lalu berjalan memasuki jalan gelap tadi. Dia bergegas terus, dan sering membelok ke kanan dan ke kiri — ke arah

yang salah — sampai akhirnya dia tiba ke suatu jalan di mana ada sesuatu yang menyala.

"Itulah dia!" serunya, "itu kasurku!" dan dia mulai berlari. "Berilah uang sedikit untuk pengemis miskin dan tua!"

terdengar suara jelek di sampingnya, dan Gringoire melihat suatu makhluk tanpa kaki mendatanginya dari kegelapan.

"Maaf," kata Gringoire, "Saya sendiri sama sekali tak punya uang."

"Berilah uang sedikit saja!" Pengemis tanpa kaki itu berjalan dengan bantuan dua buah tongkat di belakang Gringoire.

"Berilah saya sesuatu, Tuan!" seru suatu suara kasar lagi, dan

muncullah pengemis kedua, yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat.

"Sudah kukatakan, aku sendiri tak punya apa-apa, sahabatku," kata Gringoire.

Kemudian muncul lagi seorang pengemis di hadapannya. Dia seorang laki-laki kecil yang buta, berjanggut hitam yang panjang,

dengan sebuah tongkat putih dan seekor anjing besar yang kasar untuk menuntunnya.

"Demi Tuhan yang Maha Pengasih, beri saya uang!" bisik pengemis buta dengan suara lemah.

"Aku tak punya apa-apa, tak ada apa-apa!" seru Gringoire. Ketiga pengemis itu mengikutinya. Dia mulai merasa takut. Mereka mengikutinya terus.

"Saya tak bisa memberi kalian apa-apa, Sahabat-sahabatku. Jangan ikuti saya terus!" Dia mulai berlari.

Page 22: Si Bongkok Dari Notre-dame

Pengemis-pengemis itu mengikutinya dan Gringoire keheranan karena mereka pun berlari cepat. Dua laki-laki tak berkaki tadi

melemparkan tongkatnya dan kelihatanlah bahwa mereka sebenarnya punya dua kaki yang kuat! Orang yang buta sebenarnya bisa melihat

dengan jelas, dan larinya lebih cepat daripada anjingnya yang besar! Mereka semua mengejar Gringoire. Mereka makin lama makin dekat.

Gringoire gemetar ketakutan hingga kakinya hampir-hampir tak terangkat lagi.

Tiba-tiba dilihatnya bahwa dia berada di sebuah alun-alun yang besar. Banyak api menyala di batu-batu. Ada pula kelompok orang-

orang, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ada yang masak, yang lain berteriak, menyanyi dan menari. Mereka adalah orang-orang yang

paling kotor di kota Paris. Mereka kelihatan miskin-miskin, dan rumah-rumah di alun-alun itu tua, reot dan jelek-jelek — tapi orang-orangnya sebenarnya kaya. Mereka berpura-pura miskin dan sakit

seperti pengemis-pengemis yang mengejar Gringoire. Mereka berpura-pura miskin, sakit atau buta supaya bisa meminta uang lebih

banyak dari pria dan wanita pemurah yang mempercayai mereka. Tapi kini mereka berada di alun-alun mereka sendiri. Alun-alun para

pengemis, dan pencuri-pencuri, pembohong-pembohong dan pembunuh-pembunuh itu tidak lagi berpura-pura tak bertangan,

berkaki atau bermata. Banyak orang yang tak berkaki sedang menari, dan orang-orang buta sedang main kartu.

"Aku rasanya tak bisa percaya," pikir Gringoire. "Ini tak mungkin suatu kenyataan! Mungkin aku sedang tidur enak-enak di

kasurku, dan ini semua hanya suatu mimpi buruk. Aku rasanya tak bisa mempercayai penglihatanku!"

Tapi itu bukan suatu mimpi. Tiga orang pengemis tadi sedang

berteriak-teriak mengelilinginya, "Bawa dia menghadap Raja! Bawa dia menghadap Raja!"

Page 23: Si Bongkok Dari Notre-dame

Pengemis-pengemis lain datang pula dan mengelilinginya, dan mereka semua ikut berteriak, "Menghadap Raja! Menghadap Raja!"

"Raja mereka tentu setan!" pikir Gringoire waktu para pengemis itu berebut-rebut untuk mendekatinya. Tapi ketiga pengemis tadi

berteriak pada yang lain, "Dia kepunyaan kami! Biar kami yang menanganinya! Dia

kepunyaan kami!" Mereka menangkapnya, mencakarnya dengan kuku mereka

yang panjang dan patah-patah, dan berteriak, "Menghadap Raja! Dia kepunyaan kami!" Sementara itu mereka menyeretnya terus.

"Aduh Bunda Maria, Bunda Jesus, tolonglah aku!" dia mencoba berdoa. "Kasihanilah aku dan selamatkanlah aku dari setan-setan ini!"

Page 24: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 4 CANGKIR PECAH

GRINGOIRE melihat bahwa dia berada di sebuah dapur.

Sebuah dapur yang kelihatannya seperti tempat setan. Laki-laki dan perempuan sedang duduk-duduk di sana dengan muka kotor dan

berkeringat sambil minum minuman keras. Dari lampu-lampu yang tergantung, minyak menetes-netes ke meja-meja yang sudah rusak.

Beberapa di antara laki-laki itu sedang menanggalkan pembalut dari kaki dan tangan mereka dan mereka membuang "luka-luka" — bukan

luka-luka sungguhan, melainkan luka-luka yang dicorengkan di kulit mereka. Yang lain sedang membersihkan cat hitam dari mata mereka hingga hilanglah kesan butanya. Ruangan itu dipenuhi oleh suara tawa

dan nyanyian-nyanyian kotor. Seorang anak yang dicuri dari ibunya yang kaya, sedang duduk di meja dan memukul-mukul sebuah kaleng

dengan sendok. "Ayo ikut!" teriak pengemis yang pertama, dan Gringoire

didorongnya ke arah api. Di dekat api itu duduklah seorang laki-laki gemuk dengan sebuah mahkota emas di kepalanya. Rupanya seperti

seorang gipsy. Seekor anjing hitam yang besar terbaring dekat kakinya.

"Buka topimu di hadapan Raja kami!" teriak pengemis yang kedua. Gringoire merasa topinya direnggutkan dari kepalanya. Dia

menoleh, tapi topinya sudah hilang. Hampir saja dia tersandung seorang anak kecil yang tergolek di lantai yang kotor.

"Berdiri, Tolol!" teriak suatu suara marah.

"Siapa orang ini?" tanya Raja. Dia mengacungkan sebuah tongkat tajam ke arah Gringoire, "Siapa dia?"

Page 25: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Tuan... tuanku... Raja…..bagaimana saya harus menyebut Anda?" tanya Gringoire.

"Sebut saja aku sesuka hatimu. Asal kau cepat dan bela dirimu." "Membela diriku?" bisik Gringoire. "Membela diriku terhadap

apa?" "Jangan membuang-buang waktuku," teriak Raja. "Aku

hakimmu. Kau telah datang ke dalam kerajaanku yaitu kerajaan para pengemis. Tak seorang pun mengundangmu ke sini. Kau harus

diganjar karena kau datang. Nah, siapa kau?" "Tuan.... saya seorang pengarang...."

"Cukup!" teriak raja itu. "Pengarang-pengarang selalu menceritakan yang jahat-jahat tentang rakyatku, para pengemis."

"Tapi saya ini Gringoire si penyair, dan naskah-naskah sandiwara saya...."

"Aku sudah melihat salah satu sandiwaramu. Buruk, buruk

sekali. Orang yang menulisnya tentu sepantasnya digantung." "Tapi, Anda tentu tidak akan membunuh saya tanpa

mendengarkan apa yang saya katakan?" seru Gringoire. Seorang anak menyiramkan sebotol kecil minyak ke api, dan

nyala apinya menjadi besar sekali. Terdengarlah pekik-sorak dan suara tawa. Daging yang sedang dimasak, hangus mengeluarkan bau

sangit dan asap tebal. "Jaga masakan itu, Goblok!" seru suatu suara berat.

"Diam!" teriak Raja para pengemis. Dia memberikan isyarat kasar pada beberapa orang di ujung dapur, lalu berpaling lagi pada

Gringoire, "Aku tidak bisa mendapatkan alasan mengapa kau tak perlu digantung.

Gringoire menjadi pucat ketakutan.

"Tapi," Raja melanjutkan, "kalian orang-orang baik-baik agaknya tak suka digantung, kan? Dan, lebih-lebih kami tak mau

menyakitimu. Coba kupikirkan dulu...." lalu Raja itu menggosok-

Page 26: Si Bongkok Dari Notre-dame

gosokkan tangannya di mukanya yang hitam itu. "Aku tahu," katanya akhirnya. "Ada suatu jalan keluar, kau bisa menjadi salah seorang

anggota kami, seorang pencuri seperti kami semua. Bagaimana?" Gringoire bisa bernafas lagi mendapatkan kesempatan hidup ini.

"Oh ya, saya mau!" serunya, "tentu saya mau!" "Maukah kau menjadi anggota barisan kami?"

"Ya, ya saya mau, dan saya mau disuruh pergi ke mana pun juga!"

"Menjadi seorang pencuri seperti kami?" "Menjadi seorang pencuri seperti kalian!"

"Demi jiwamu?" "Demi jiwa saya."

"Tentu harus kuberi tahu kau bahwa akibatnya kau akan digantung."

"Benarkah?" bisik Gringoire, yang lalu merasa panas dingin

ketakutan. "Tapi kau akan digantung oleh orang-orang Paris yang jujur di

tiang gantungan yang bagus dengan cara yang lebih baik. Itu suatu hiburan juga, bukan?"

"Ya memang, benar!" sahut Gringoire. "Dan kau tidak usah membayar apa-apa pada pemerintah. Kau

boleh berbuat apa saja di kota Paris ini!" "Ya, ya benar!"

"Dan kau mau menjadi salah seorang anak buahku?" "Tentu."

"Tidak cukup hanya mau saja. Keinginan baik saja tak ada gunanya, kecuali hanya untuk masuk surga. Jika kau mau menjadi salah seorang anggotaku, kau harus membuktikan bahwa engkau

pandai mengerjakan pekerjaan kami. Nah, kau harus mencuri dari si George, orang kecil kami."

Page 27: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Saya akan mencuri dari siapa pun yang Anda kehendaki," kata Gringoire.

Raja memberi isyarat, dan beberapa orang meninggalkan lingkaran untuk mengambil sesuatu. Sebentar kemudian mereka

kembali dengan dua buah tiang kayu dan mendirikannya di lantai. Melintang di atas kedua tiang itu mereka memasang sepotong kayu

lagi, dan dari kayu itu mereka menggantungkan sepotong tali. Keseluruhannya merupakan sebuah tiang gantungan yang sempurna.

Gringoire merasa ngeri sekali. "Bagaimana kesudahan semuanya ini?" tanyanya sendiri.

Bunyi lonceng-lonceng kecil menyebabkan dia berhenti berpikir. Bunyi itu berasal dari seorang manusia tiruan yang dibuat

dari kain, yang digantung pencuri-pencuri itu dari tali pada tiang gantungan itu. Orang-orangan itu diberi pakaian merah, dilengkapi dengan lonceng-lonceng kecil dari tembaga. Lonceng-Ionceng kecil

itu berbunyi bagus sebentar, waktu tali itu berayun, tapi suaranya makin lama makin halus dan menghilang sama sekali ketika orang-

orangan itu menjadi diam tak bergerak. Raja mengacungkan tongkatnya ke arah sebuah kursi tua yang

ada di bawah orang-orangan merah itu, lalu berkata pada Gringoire, "Berdirilah di atas kursi itu."

"Setan!" kata Gringoire. "Bisa patah leher saya! Kakinya yang satu lebih pendek daripada yang tiga."

"Naik," ulang Raja itu dengan tenang. Gringoire naik dan berdiri di atas kursi itu, terhuyung-huyung

ke belakang dan ke depan beberapa kali, tapi dia tidak jatuh. "Nah," kata Raja, "ulurkanlah badanmu sampai setinggi

mungkin."

"Apakah Anda ingin tulang-tulang saya patah?" tanya Gringoire.

Page 28: Si Bongkok Dari Notre-dame

Sang Raja menggeleng. "Dengarkan, Sahabat," katanya, "kau terlalu banyak bicara. Dengar, ini yang harus kaulakukan: ulurkan

badanmu sampai setinggi mungkin, sampai kau bisa menjangkau saku merah si George kecil kami. Masukkan tanganmu ke dalamnya dan

keluarkan uang yang tersembunyi di dalamnya. Jika semuanya itu bisa kaulakukan tanpa lonceng itu berbunyi sedikit pun, baguslah — maka

kau akan menjadi salah seorang anak buahku." "Saya akan berhati-hati sekali," kata Gringoire. "Tapi kalau

lonceng-lonceng di tubuh George berbunyi ....... ?" "Jika lonceng-loncengnya berbunyi, kau akan digantung

menggantikan dia, sahabatku. Nah sekarang kerjakan, jangan bicara lagi. Dan ingat, kalau ada satu lonceng yang berbunyi sedikit saja,

lehermu akan digantung di situ!" Semua pencuri melingkari tiang gantungan itu, mereka berteriak

dan tertawa-tawa tanpa rasa kasihan barang sedikit juga pun.

Gringoire sadar bahwa dia sama sekali tak punya harapan kecuali kalau dilakukannya sebagaimana yang diperintahkan. Dia

menengadah memandang pada George, dan berdoa sepenuh hati terhadap orang-orangan merah itu, hatinya tentu lebih lembut daripada

hati pencuri-pencuri yang berdiri menontonnya. Lonceng-lonceng logam itu kelihatan seperti lebah yang sedang marah dan bersiap-siap

akan menyerangnya. Gringoire masih mendapat suatu harapan terakhir, dia berpaling

pada Raja dan bertanya, "Bagaimana kalau angin bertiup dan meniup lonceng-lonceng itu sampai berbunyi?"

"Maka kau akan digantung," sahut Raja segera. Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Gringoire mulai

menjalankan tugasnya. Dia meninggikan dirinya sedapat-dapatnya,

dan perlahan-lahan menjangkaukan tangannya. Tapi pada saat tangannya menyentuh kain merah itu, dirasakannya dirinya jatuh ke

kursi, dan untuk bertahan dia berpegang pada George. Pada saat itu

Page 29: Si Bongkok Dari Notre-dame

pula semua lonceng mulai berbunyi dan jatuhlah Gringoire ke lantai dengan suara lonceng itu memenuhi telinganya. George terayun-ayun

ke belakang dan ke depan di atasnya, di antara kedua buah tiang. "Tolong!" teriak Gringoire, waktu dia jatuh dan dia tersungkur

di lantai seolah-olah mati. Lonceng-lonceng itu berbunyi terus, dan pencuri-pencuri itu

tertawa. "Angkat orang itu, dan gantung dia segera," kata sang Raja.

Gringoire bangun sendiri. Pencuri-pencuri itu telah menurunkan George untuk digantikan tempatnya oleh Gringoire nanti. Mereka

mengangkat penyair itu ke atas sebuah kursi, dan sang Raja memasang tali ke lehernya.

"Selamat jalan, Sahabat," kata sang Raja. "Kau tak bisa lolos lagi sekarang, tak ada kesempatan lagi!"

Kata 'kasihanilah' tak jadi diucapkan oleh Gringoire. Dia

melihat ke sekelilingnya, namun tidak melihat bayangan harapan barang sedikit jua pun. Semua muka itu tertawa seperti setan.

"Nah sekarang kalian bertiga sini," kata Raja, "seorang menangani kayu melintang itu, seorang siap untuk menyepak kursi

tempatnya berdiri, dan seorang lagi menarik kakinya." Ketiga pengemis yang membawa Gringoire tadi, maju. Yang

kecil dan berjanggut hitam, dengan cepat memanjat kayu melintang dan melongok ke bawah, tertawa pada Gringoire. Kedua orang yang

lain berdiri di bawah dan menunggu saatnya melakukan apa yang diperintahkan.

"Bila tongkatku memukul meja...." kata sang Raja. Dia memasukkan beberapa potong kayu kecil-kecil ke dalam perapian. Keadaan sepi dan tegang.

"Sudah siapkah kalian?"' tanyanya. "Siap!" jawab mereka bertiga dengan suara datar.

Page 30: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Sudah siap?" tanyanya lagi, sambil mengangkat tongkatnya. Tangannya tak bergerak menunggu: sedetik lagi, maka....

Tetapi dia terhenti. Dia tiba-tiba teringat akan sesuatu. "Tunggu dulu," katanya. "Aku lupa kebiasaan kita untuk tidak

menggantung seseorang, sebelum bertanya apakah tak ada wanita kita yang mau menjadikannya suaminya. Inilah kesempatanmu yang

terakhir sahabat: pilih salah satu, kawin dengan salah seorang wanita kami atau kawin dengan tali gantungan kami."

Gringoire bernafas lega. "Nah," kata sang Raja, "mari sini, kalian kaum wanita dan

gadis-gadis! Ini ada seorang laki-laki yang bisa kalian kawini dengan cuma-cuma! Siapa yang mau?"

Perempuan-perempuan itu tak suka melihat rupanya. "Gantung saja dia! Kami akan senang!" teriak salah seorang di

antaranya. Banyak yang tertawa.

Tapi tiga orang di antaranya, keluar dari kumpulannya lalu memandangnya. Yang pertama, seorang wanita muda berwajah segi

empat, mengamat-amati pakaiannya yang buruk. "Perlihatkan jasmu," perintahnya pada Gringoire.

"Sudah hilang," sahut Gringoire. "Topimu?"

"Sudah mereka rampas daripadaku." "Sepatumu?"

"Tinggal sedikit sekali bagian yang tersisa." "Apa isi sakumu?" "Kosong. Menyesal saya harus mengatakan saya tak punya

uang sesen pun." "Kalau begitu biar saja orang menggantungmu, aku tak peduli,"

katanya, lalu berbalik.

Wanita kedua, sudah tua dan berkulit gelap, berjalan mengelilinginya.

"Dia terlalu kurus," katanya, lalu meninggalkannya.

Page 31: Si Bongkok Dari Notre-dame

Yang ketiga masih muda, berwajah cukup cantik. "Selamatkanlah saya!" bisik laki-laki malang itu. Wanita itu

memandangnya dengan iba, lalu menekur. Dia tak bisa mengambil keputusan. Gringoire memperhatikan setiap gerak wanita itu. Itulah

harapannya yang terakhir. Kemudian wanita itu mengambil keputusan.

"Tidak," katanya; "Henri nanti memukulku." Dia kembali ke kumpulannya.

"Jadi tak adakah yang mengingini si penyair?" kata sang Raja. "Bagaimana.... bagaimana...." lalu dia berpaling ke tiang gantungan itu

seolah-olah akan memberikan kata terakhir. Pada saat itu terdengar suatu teriakan dari ujung lain ruangan

itu, "Esmeralda! Esmeralda!" Gringoire terkejut, dan menoleh. Orang-orang menyisih dan

memberi jalan pada seorang gadis yang bersih dan cemerlang. Dia adalah gadis gipsy tadi.

"Esmeralda!" bisik Gringoire dengan suara penuh rasa kagum. Kecantikan dan keanggunan sikapnya memberikan semarak

pada ruangan itu, dan wajah pencuri-pencuri yang keras dan kejam menjadi lembut waktu dia melewati mereka. Djali, kambing kecilnya,

mengikutinya. Esmeralda mendekati Gringoire yang merasa dirinya lebih

mendekati kematian daripada hidup. Dipandanginya Gringoire beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa.

"Apakah Anda akan menggantung orang ini?" tanyanya dengan tenang pada Raja.

"Benar, Saudara," jawabnya; "kecuali kalau kau mau

mengambilnya sebagai suamimu." "Aku mau mengambilnya," katanya.

Page 32: Si Bongkok Dari Notre-dame

Gringoire yakin bahwa dia bermimpi sejak pagi-pagi tadi. Mereka melepaskan tali dan membantunya turun dari kursi. Tanpa

berkata apa-apa, sang Raja mengambil sebuah cangkir dari meja lalu memberikannya pada Esmeralda. Esmeralda memberikannya pula

pada Gringoire. "Lemparkan ke lantai," katanya.

Cangkir itu pecah menjadi empat. "Sahabat," kata sang Raja, sambil meletakkan tangannya ke

kepala Gringoire dan Esmeralda, "dia menjadi istrimu, Saudara, dia suamimu — selama empat tahun. Pergilah."

Ebukulawas.blogspot.com

Page 33: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 5 MALAM PENGANTIN

KAMAR kecil itu hangat dan nyaman. Gringoire langsung

duduk, dan Esmeralda membawa barang-barang dari rak, supaya Gringoire bisa makan malam.

Dia sama sekali tidak mengacuhkan Gringoire waktu dia melewatinya membawa sebuah piring, pisau dan cangkir. Gringoire

memperhatikan Esmeralda, dan merasa seolah-olah dirinya berada dalam sebuah dongeng. Sambil hilir-mudik itu, Esmeralda berbicara

dengan kambing kecilnya. Suaranya terlalu halus hingga tak dapat Gringoire mendengarnya. Akhirnya Esmeralda mendatanginya dan duduk dekat meja, dan Gringoire dapat melihatnya dengan jelas.

"Sungguh cantik dia!" pikirnya. "Dan gadis cantik yang biasa menari di jalan ini, telah menyelamatkan nyawaku. Dia tentu tergila-

gila padaku, maka dia mau mengambilku. Dan kini aku suaminya!" Gringoire bangkit, mendekatinya, lalu tersenyum. Tapi

Esmeralda menjauh. "Mau apa kau?" serunya.

"Mengapa masih kautanyakan, Esmeralda-ku yang cantik?" sahutnya.

"Aku tak tahu apa maksudmu," kata Esmeralda. "Bagaimana mungkin! Bukankah aku milikmu, Manis? Dan kau

kepunyaanku?" Gringoire merangkul Esmeralda. Seperti seekor ular Esmeralda melepaskan dirinya dari

rangkulan itu. Dia berlari ke ujung kamar dan berbalik ke arah

Gringoire dengan sebuah pisau kec il di tangannya. Matanya berapi-api karena marah. Pada saat yang sama kambing kecil putih berdiri di

depannya, dan menggoyang-goyangkan kepalanya yang bertanduk

Page 34: Si Bongkok Dari Notre-dame

keemasan yang tajam, seolah-olah akan mengatakan pada Gringoire supaya menjauh.

Gringoire melihat pada kambing dan gipsy itu. "Demi Bunda Maria," kata Gringoire, "tipu muslihat apa yang

sedang kaulakukan atas diriku sekarang ini?" Esmeralda terdiam.

"Kau tentunya laki-laki pemberani," kata Esmeralda akhirnya, "karena kau begitu berani mendekati Esmeralda!"

"Maafkan aku, perempuan yang baik," kata Gringoire dengan tersenyum, "tapi mengapa kaukawini aku?"

"Apakah harus kubiarkan mereka menggantungmu?" "Jadi," kata Gringoire dengan sedih karena harapan-harapan

cintanya lenyap, "kau tak punya tujuan lain waktu mengawiniku, selain akan menyelamatkan aku dari tiang gantungan?"

"Lalu kausangka tujuan lain apa yang ada padaku?"

Gringoire menggigit bibirnya. "Yah," katanya, "aku rupanya tak berhasil dalam bercinta, sebagaimana yang kuharapkan! Tapi, lalu apa

gunanya pemecahan cangkir segala tadi, kalau kau tak menghendaki diriku sebagai seorang suami?"

Pisau Esmeralda dan tanduk Djali masih teracung padanya. "Aku menyadari," kata Gringoire, "bahwa aku tidak akan

mendapatkan cinta. Tapi setelah segala macam kejadian atas diriku hari ini, aku benar-benar butuh makanan."

Esmeralda tidak berkata apa-apa. Dia mendongakkan kepalanya, lalu tertawa. Pisau kecil tadi menghilang secepat dia

mengeluarkannya tadi. Gringoire tak sempat melihat di mana dia menyembunyikannya.

Sesaat kemudian sebatang roti, sepotong daging, beberapa buah

apel yang keriput serta sekendi anggur sudah tersedia di meja. Gringoire mulai makan dengan lahap. Bunyi pisau yang nyaring di

Page 35: Si Bongkok Dari Notre-dame

piring membuktikan bahwa rasa cinta telah berubah menjadi rasa lapar.

Esmeralda duduk di dekatnya, memperhatikannya tanpa berbicara. Dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sekali-sekali

dia tersenyum, sementara tangannya membelai kepala kambingnya lalu menekannya dengan lembut ke lututnya. Lampu memantulkan

cahaya kuning kepada mereka. Setelah Gringoire merasa kenyang dia merasa malu karena yang

tersisa hanyalah sebuah apel dan roti sedikit sekali. "Esmeralda," katanya, "kau sendiri tak makan."

Esmeralda menggeleng, tapi tidak berkata apa-apa. Dia masih tenggelam dalam angan-angannya. Gringoire ingin tahu apa yang

diangankannya. Gringoire memanggilnya, tapi Esmeralda tetap diam. Sekali lagi dia memanggil, tapi Esmeralda tetap tak memperdulikannya. Tapi tak demikian dengan kambingnya, binatang

itu menarik baju gadis itu perlahan-lahan. "Mau apa kau Djali?" tanya gipsy itu.

"Djali lapar," kata Gringoire, dia senang karena bisa berbicara lagi dengan gadis itu. Esmeralda mengambil roti lalu memotongnya

sedikit dengan tangannya. Djali memakannya. Sebelum Esmeralda sempat berpikir lagi, Gringoire bertanya

dengan suara sedih, "Jadi tetap tak maukah kau mengambilku sebagai suamimu?"

Esmeralda memandang tenang padanya, dan menjawab, "Tidak."

"Sebagai pacarmu?" "Tidak." "Sebagai sahabatmu?"

Esmeralda berpikir, lalu menyahut, "Mungkin." "Tahukah kau apa arti persahabatan?" tanya Gringoire.

Page 36: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Ya," sahutnya, "yaitu kita harus seperti saudara saja — dua jiwa yang bertemu tapi tidak bersatu seperti dua jari pada satu tangan."

"Sedang cinta?" "Oh, cinta!" katanya dengan mata berbinar-binar, "itu berarti

dua namun tetap satu. Cinta itu surga!" Ketika dia berbicara itu wajahnya kelihatan lebih cantik lagi.

"Laki-laki macam mana yang akan membahagiakanmu?" tanya Gringoire.

"Seorang prajurit dengan pedang di tangannya. Dia bersenjata lengkap, dan dia menunggang kuda yang bagus."

"Dan cintakah kau pada laki-laki seperti itu?" "Hal itu akan segera kuketahui," sahutnya.

"Tapi tak bisakah kau mencintai seorang penyair?" tanya Gringoire perlahan, "tak bisakah kau mencintaiku?"

Esmeralda memandangnya dengan serius, lalu berkata, "Aku

tak bisa mencintai laki-laki yang tak bisa melindungiku." Gringoire merasa malu karena dia ingat bahwa dia tak bisa

membantu Esmeralda di jalan dua jam yang lalu. Dia teringat lagi akan pergumulan tadi, dan dia bertanya, "Bagaimana kau bisa lolos

dari cengkraman Quasimodo?" "Oh, si bongkok jahat itu!" seru Esmeralda. Ditutupnya

mukanya dengan kedua belah tangannya, dan dia gemetar seolah-olah kedinginan.

"Memang jahat," kata Gringoire. "Tapi bagaimana kau bisa lepas dari dia?"

Esmeralda tersenyum, dan diam-diam dia kembali pada kenangannya. Lalu dia mulai bersenandung halus. Gringoire memotong nyanyian itu lalu bertanya,

"Mengapa orang menamakanmu Esmeralda?" "Entahlah," sahutnya. "Mungkin karena ini." Dari dalam

bajunya dikeluarkannya sebuah kantong kecil yang tergantung pada

Page 37: Si Bongkok Dari Notre-dame

seutas rantai perak di lehernya. Kantong itu terbuat dari sutera hijau, di mana dilekatkan sepotong kaca hijau cerah.

"Kata orang memang ada batu mulia yang berwarna hijau cerah seperti ini, dan kami kaum gipsy menyebutnya 'La Esmeralda'."

"Bagus sekali," kata Gringoire, sambil mengulurkan tangannya ke kantong itu.

"Jangan!" seru Esmeralda, "jangan sentuh, ini ada tenaga gaibnya." Dimasukkannya lagi kantong itu ke dalam bajunya.

"Siapa yang memberimu barang itu?" tanya Gringoire, tapi Esmeralda meletakkan jarinya ke bibirnya dan tak mau menjawab.

"Masih hidupkah ibu-bapakmu?" tanyanya. Esmeralda lalu menyanyikan lagu tua,

“Ibuku adalah burung, ayahku juga burung,

di udara, melalui air 'ku terbang, selalu bebas aku terbang,

ibuku adalah burung, demikian pula ayahku."

"Tahun lalu aku datang ke Paris ini," kisahnya. "Waktu Djali

dan aku berjalan melalui gerbang kota, seekor burung kecil terbang ke luar, dan aku berkata, 'Musim salju ini akan dingin sekali.' "

"Dan ternyata memang demikian!" seru Gringoire. "Sepanjang waktu tiada lain kerjaku, harus meniup-niup tanganku terus untuk

menghangatkannya. Kau seorang peramal yang baik!" "Bukan," katanya. Lalu Gringoire menceritakan tentang dirinya.

"Aku tak punya ayah dan ibu," kisahnya. "Keduanya meninggal waktu aku masih bayi. Aku dibesarkan dan diajar oleh para imam,

supaya kalau aku sudah besar aku akan bisa menjadi seorang imam

Page 38: Si Bongkok Dari Notre-dame

dan guru pula. Imam-imam itu pandai sekali. Claude Frollo, yang paling terpelajar di Paris ini pun pernah memberi aku pelajaran! Tapi

aku ingin menjadi seorang pengarang, dan kini aku memang seorang penulis. Bukan," katanya lagi dengan sedih, "semula aku memang

seorang penulis. Tapi aku tak bisa mendapatkan uang yang cukup untuk membeli rotiku saja. Bagaimana kita berdua bisa hidup, setelah

kita jadi suami istri ini?" Gringoire menunggu supaya Esmeralda berbicara, tapi dia

menekur saja. Lalu dia berkata perlahan sekali, "Phoebus... Phoebus." Lalu dia mengangkat kepalanya memandang Gringoire.

"Apa arti kata itu?" tanyanya. Gringoire tak mengerti mengapa Esmeralda ingin tahu arti kata

itu, tapi dia senang bisa menunjukkan kepandaiannya. "Itu suatu perkataan dari bahasa lain," katanya, "dan berarti

'matahari'!"

"Matahari!" ulang Esmeralda, dengan senyum yang manis sekali, "matahari!"

"Phoebus adalah dewa yang mulia dan cemerlang." "Seorang dewa!" ulang Esmeralda, dengan suara merenung dan

rasa kagum. Kemudian, sebelum Gringoire mengerti apa yang akan terjadi,

Esmeralda sudah lari ke luar. Kambingnya cepat melompat menyusulnya. Pintu ditutupnya. Gringoire bangkit dan cepat

menyusulnya. Tapi lalu didengarnya kunci diputar. Dia menggedor pintu sampai tangannya sakit.

"Jadi aku harus menghabiskan malam pengantinku ini seorang diri," katanya dengan sedih. "Kuharap saja dia sekurang-kurangnya menyediakan tempat bagiku di sini!"

Tapi yang didapatinya di kamar itu hanyalah sebuah peti kayu panjang, dan dia meletakkan tubuhnya di situ. Dia begitu letihnya

hingga dia langsung tertidur.

Page 39: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 6 RUANG SIKSAAN

PRAJURIT-PRAJURIT berhasil menangkap Quasimodo di

jalan waktu dia mencoba melarikan Esmeralda, lalu mereka membawanya ke penjara. Di sana, sepanjang malam dia ketakutan.

Esok paginya dia dihadapkan pada hakim di pengadilan. Quasimodo tak dapat mendengar sepatah pun dari apa-apa yang

dikatakan di sana. Waktu pertanyaan-pertanyaan diajukan, dia bisa melihat bahwa orang berbicara dengan dia, dan diperhatikannya gerak

bibir orang-orang itu. Lalu dia mencoba menjawab sedapat-dapatnya. Tapi jawaban-jawabannya tak ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaannya, dan ruang pengadilan itu pun langsung riuh oleh suara

tawa orang. Hakim menjadi marah sekali. Pak hakim semalam menghadiri suatu jamuan makan besar dan penting. Kini perutnya

terasa tak enak karena kebanyakan makan, dan kepalanya sakit sekali gara-gara kebanyakan minum minuman keras. Pada sangkanya si

bongkok bermata satu ini sedang mempermainkan dia, terutama karena telinga pak hakim sendiri pun tidak begitu baik juga meskipun

dia pura-pura bisa mendengar segala-galanya dengan baik sekali, sedang orang-orang takut menunjukkan kesalahan-kesalahannya.

Pak hakim tadi mulai terlambat, padahal hari itu dia harus mengadili banyak perkara, oleh karenanya dia ingin cepat

menyelesaikan perkara Quasimodo. Diperintahkannya saja supaya si bongkok dipasung di roda dan dipukuli selama satu jam.

Quasimodo tak mendengar sepatah pun apa yang dikatakan pak

hakim, jadi dia berbicara lagi, "Mungkin Anda ingin tahu nama saya? Nama saya

Quasimodo...."

Page 40: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Diam!" teriak seorang perwira. Tapi Quasimodo tak mendengar.

"Pekerjaan saya membunyikan lonceng di gereja Notre-Dame...."

"Diam! Diam!" "Dan umur saya...."

Pak hakim makin marah dan mukanya yang kuning jadi merah padam.

"Bawa orang itu ke luar!" teriaknya, "dan biarkan dia di ruang siksa itu satu jam lagi. Biar dia jera! Tak ada gunanya

mempermainkan hukum, Saudara!" Maka dibawalah Quasimodo pergi, sedang pak hakim

melanjutkan dengan perkara selanjutnya. ***

Roda itu berada di puncak suatu menara batu di sebelah tiang

gantungan, di Place de Grve. Di dalamnya tak ada apa-apa kecuali beberapa anak tangga yang kasar dan curam yang menuju ke

puncaknya. Di puncak itu, ada sebuah roda besar. Orang-orang yang bersalah diikat pada roda itu dengan cara yang menyakitkan,

punggungnya menghadap alun-alun dan lengannya diikat pada lututnya. Lalu mereka dipukuli, dan sementara itu roda itu diputar

perlahan-lahan terus supaya semua orang di alun-alun bisa melihat mereka menderita. Quasimodo dibawa ke ruang siksa itu.

Semalam Quasimodo dibawa ke alun-alun, diusung dengan sorak-sorai, nyanyi dan tawa, sebagai Imam Tertinggi Orang-orang

Dungu. Waktu itu orang-orang banyak menghendakinya. Kini mereka tak tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya, tapi hati mereka telah menjadi batu, sekeras dan sedingin batu ruang siksa itu dan mereka

datang untuk menambah siksaannya. Suster Gudule menjenguk melalui jeruji besi jendela Lubang

Tikus waktu didengarnya orang-orang lewat menuju ke Roda di Place

Page 41: Si Bongkok Dari Notre-dame

de Grve. Dia mencoba menjulurkan kepalanya, dan matanya bersinar dengan sinar kegila-gilaan lalu berteriak pada prajurit-prajurit yang

lewat: "Demi Tuhan yang Pengasih, mudah-mudahan itu seorang

gipsy! Mudah-mudahan yang akan dipukul hari ini adalah seorang gipsy!"

"Kali ini doa Anda tak makbul, Suster," katanya sambil tertawa dan berjalan terus cepat-cepat.

"Kukutuk mereka itu!" teriaknya, "kukutuk semua gipsy!" Suster Gudule masuk kembali ke Lubang Tikusnya, berbaring di lantai

yang dingin dan kotor dan membaca doa-doanya. Para prajurit menggabungkan diri dengan orang banyak di

sekeliling ruang siksa, dan melihat apa yang terjadi atas diri Quasimodo. Lengan si bongkok diikat demikian kuat hingga kulitnya luka.

Tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit sama sekali, atau bahkan tak mengerti apa yang sedang dilakukan orang-orang atas

dirinya. Dia acuh tak acuh saja, seolah-olah dia buta. Orang-orang mendorongnya supaya berlutut di Roda. Dia sama

sekali tidak mencoba membela dirinya. Mereka membuka jas dan kemejanya, lalu mengikatnya dengan rantai, tapi dia tetap tak

bergerak. Dia hanya sekali-kali menarik nafas dengan suara nyaring, seperti seekor binatang sebelum disembelih.

Orang banyak tertawa waktu melihat punggung Quasimodo tanpa pakaian, dan mereka merasa lucu sekali waktu melihat

pundaknya yang jelek penuh dengan rambut. Bagi orang-orang yang tak kenal rasa kasihan itu, dia seperti suatu makhluk aneh dalam suatu pertunjukan.

Algojo menaiki tangga di menara dan berdiri dekat roda. Algojo adalah seseorang yang menyiksa dan amat menyakiti orang lain.

Algojo ditugaskan untuk menyiksa orang-orang yang telah berbuat

Page 42: Si Bongkok Dari Notre-dame

salah, atau menyakiti seorang terhukum untuk memaksanya mengakui kesalahannya. Orang-orang banyak berteriak kesenangan waktu

mereka melihat algojo itu muncul. Ditaruhnya sebuah 'botol-jam' yang tinggi di samping roda itu.

Benda itu merupakan dua buah cangkir besar dari kaca yang disusun ke atas. Cangkir yang di atas penuh pasir merah, yang jatuh sedikit -

sedikit melalui suatu celah ke dalam cangkir yang di bawah. Setelah satu jam, pasir itu baru habis. Selama waktu itu, Quasimodo harus

dipukuli. Kemudian algojo itu bersiap-siap untuk memukul Quasimodo

dengan tali-tali yang diikatkan pada sepotong kayu. Tali-tali itu banyak simpul-simpulnya, dan di ujung tali-tali itu terdapat logam

yang tajam-tajam. Setelah semuanya siap, sang algojo memberikan isyarat, roda

mulai berputar, dan terdengar suara mendengung dari kumpulan

orang-orang banyak. Wajah Quasimodo membayangkan keheranan amat sangat waktu merasa dirinya bergerak. Algojo mengangkat

tangannya, dan jatuhlah pukulan yang pertama di pundak si bongkok yang malang itu.

Tubuh Quasimodo bergerak seperti orang yang baru bangun tidur. Tubuhnya gemetar kesakitan, tapi dia tidak mengeluarkan suara.

Hanya kepalanya yang digoyang-goyangkannya ke kiri dan ke kanan seperti seekor binatang yang mencoba untuk mengusir lalat yang ada

di punggungnya. Orang-orang bersorak. Tali-tali pemukul jatuh lagi ke pundaknya —pukulan kedua —

ketiga — sekali lagi — dan lagi. Roda berputar terus-menerus, dan tali-tali memukulnya terus. Darah pun mengalir dari punggung dan pundak Quasimodo, sampai tali yang putih tadi menjadi merah. Lalu

si bongkok berjuang untuk melepaskan diri. Matanya bersinar penuh ketakutan, dan dia mengumpulkan seluruh tenaganya untuk

melepaskan rantai yang mencengkeram dirinya.

Page 43: Si Bongkok Dari Notre-dame

Tapi sia-sia. Dia tak dapat melepaskan diri. Jadi dia menyerah dan tak peduli lagi. Dia sama sekali tak bergerak lagi, sedang sang

algojo makin lama makin geram dan memukul makin kuat untuk melukai si bongkok. Quasimodo menutup matanya.

Akhirnya habislah pasir merah itu jatuh ke cangkir yang di bawah. Satu jam pertama yang mengerikan sudah berlalu. Seorang

pegawai pengadilan yang duduk di atas seekor kuda besar yang hitam dan mengawasi, mengangkat tombaknya lalu menunjuk ke arah pasir

merah. Sang algojo berhenti. Roda juga berhenti. Si bongkok perlahan-lahan membuka matanya yang hanya satu itu. Dua orang

prajurit mengoleskan minyak obat ke luka Quasimodo di punggungnya, hingga darah tidak mengalir lagi. Lalu punggung itu

mereka tutup dengan sehelai kain kuning. Sang algojo mencuci darah dari tali-tali pemukul dalam air seember.

Tapi siksaan bagi si bongkok belumlah berakhir. Dia masih

harus tinggal di ruang siksaan itu satu jam lagi. Maka botol yang berisi pasir merah itu dibalikkan lagi, dan dia dibiarkan terikat pada

roda. Orang banyak tak suka pada si bongkok karena dia jelek.

Mereka meneriakinya, tapi dia tak bisa mendengar. Mereka bahkan melemparinya dengan batu, dan itu menyakitinya. Ditahannya rasa

sakit itu beberapa lamanya tanpa bergerak. Tapi kemudian waktu dia melihat ke bawah ke wajah-wajah kaku yang menertawakannya, dia

merasa benci sekali, dan dia mulai memberontak. Hal itu menyebabkan roda itu bergerak berputar-putar dan orang banyak

makin nyaring tertawa. Quasimodo menyerah, seperti seekor binatang yang tak dapat memutuskan rantai yang mengikat lehernya. Perasaan yang menyebabkan darahnya mendidih, menjadikan warna mukanya

makin lama makin merah. Seorang imam yang menunggang seekor keledai melalui

kumpulan orang banyak itu. Quasimodo melihatnya, dan kemarahan

Page 44: Si Bongkok Dari Notre-dame

yang membayang di muka si bongkok menghilang. Dia merasa senang melihat Claude Frollo, dan dia tersenyum. Tapi waktu Frollo cukup

dekat untuk melihat siapa orang yang di ruang siksaan itu, dia cepat-cepat menunduk dan — sebelum Quasimodo sempat berbicara

padanya atau menunjukkan bahwa mereka saling mengenal — dia membelokkan keledainya dan memberi isyarat pada keledainya

supaya cepat-cepat lari meninggalkan orang banyak itu. Muka si bongkok menjadi lebih merah, senyumnya menjadi

sedih dan kemudian hilang sama sekali. Waktu berlalu. Sudah hampir satu setengah jam dia berada di

situ, dan dia tidak berucap barang sepatah kata pun. Kini dia memberontak lagi dalam rantainya, hingga roda itu bergoyang-

goyang, dan dia berteriak senyaring-nyaringnya dengan suara yang menyerupai suara anjing yang melolong, mengatakan, "Air!"

Orang banyak menertawakan jeritnya itu dan mengolok-

olokkan rasa hausnya itu. Mereka tak mau menolongnya. Lidahnya terjulur, dan matanya berputar-putar.

Pasir merah terus jatuh sedikit demi sedikit, kemudian dengan suara yang lebih mengerikan, terdengarlah lagi jeritan, "Air!"

Semua orang tertawa. "Minumlah ini!" teriak seorang laki-laki. Dipungutnya selembar

kain basah dari jalan yang kotor. "Pakailah ini untuk menghilangkan hausmu!" seru seseorang

yang lain, lalu dilemparkannya sebuah cangkir pecah ke kepala si bongkok.

"Air!" teriak Quasimodo untuk ketiga kalinya. Kemudian, tampillah dari kumpulan orang banyak itu seorang

gadis, yang diikuti oleh seekor kambing kecil — gadis itu adalah gadis

yang akan dibawanya lari semalam. Esmeralda berlari menaiki tangga ruang siksa itu dengan membawa sebuah botol. Tanpa mengatakan

apa-apa dibukanya botol itu lalu ditaruhnya ke bibir laki-laki malang

Page 45: Si Bongkok Dari Notre-dame

itu. Meleleh air mata Quasimodo. Esmeralda terus menuangkan isi botol itu ke mulutnya.

Quasimodo meminumnya dengan lahapnya. Dia haus sekali. Setelah puas dia minum, Quasimodo memoncongkan bibirnya

yang hitam untuk mencium tangan orang yang telah menolongnya. Tapi Esmeralda yang ingat akan serangan Quasimodo dan usahanya

untuk membawanya lari, menarik tangannya, seperti anak kecil yang takut kalau-kalau dia digigit binatang.

Orang banyak pun terkesan melihat gadis cantik yang berdiri dekat laki-laki cacad di ruang siksaan itu. Sesaat sebelum itu ejekan-

ejekan mereka menyiksa laki-laki itu. Kini mereka merasa iba dan bersorak memuji kebaikan budi gadis itu.

Pada saat itu Suster Gudule dari Lubang Tikus melihat Esmeralda.

"Kutukanku atas dirimu, gipsy yang jahat!" teriaknya.

"Kutukanku atas dirimu selalu!"

Page 46: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 7 Mengeja Rahasia

LEBIH dari dua bulan telah berlalu. Malam pada awal musim

semi itu terasa hangat dan nyaman, dan Notre-Dame tampak cantik. Di seberang jalan, sebuah rumah yang bagus di tikungan sedang

bermandikan cahaya merah dari matahari yang mulai terbenam. Di loteng dekat jendela, duduklah beberapa orang gadis cantik

berpakaian bagus-bagus. Semua gadis itu berasal dari keluarga-keluarga kaya, dan mereka datang mengunjungi sahabat mereka Fleur,

yang tinggal di rumah itu bersama ibunya — seorang wanita gemuk yang agak dungu. Ayah Fleur sudah meninggal.

Fleur duduk agak terpisah dari gadis-gadis lain. Dia sedang

bercakap-cakap dengan pemuda yang diharapkan ibunya akan mengawininya — Kapten Phoebus de Chtheaupers. Ibu Fleur

tersenyum memandangi mereka. "Pasangan yang serasi sekali mereka, bukan?" katanya pada

Alice, seorang gadis berambut hitam yang merupakan sahabat karib Fleur. Tapi Kapten Phoebus sudah bosan pada Fleur yang cantik itu.

Dia tak bisa memikirkan apa lagi yang akan dikatakannya pada gadis itu. Dia berdiri diam saja sambil menggosok-gosok gagang pedangnya

atau mempermainkan kancing bajunya. Fleur menengadah melihat padanya. "Kau kan pernah bercerita

bahwa kau telah menyelamatkan seorang gadis gipsy beberapa bulan yang lalu?" katanya.

"Memang benar," sahut kapten itu.

"Nah," kata gadis itu lagi, "mungkin itu dia gadis yang sedang menari di bawah sana, di alun-alun di depan Notre-Dame. Coba

lihatlah."

Page 47: Si Bongkok Dari Notre-dame

Diajaknya Phoebus ke jendela besar yang menjorok ke jalan, lalu digandengnya Phoebus. "Lihat itu di bawah itu," katanya. "Gadis

gipsy-mukah yang sedang menari itu?" Phoebus melihat, lalu tersenyum,

"Benar saya mengenalinya karena kambingnya." "Cantik benar kambingnya!" seru Fleur. Gadis-gadis yang lain

datang pula ke jendela itu. "Bisakah kau melihat, Monique?" tanya Alice pada adiknya,

sambil mengangkatnya supaya bisa melihat lebih baik. "Kambing cantik! Kambing cantik!" teriak si Monique kecil.

"Bertanduk emas di kepalanya yang indah! Sungguh cantik!" seru Fleur, dan dia tersenyum memandang Kapten Phoebus.

Ibu Fleur tak bergerak dari kursinya, "Apakah itu salah seorang gipsy itu, Sayang?" tanyanya, "kurasa mereka seharusnya tak diijinkan masuk ke Paris. Mereka itu orang kotor yang berbahaya. Jangan

percayai mereka." "Lihat orang laki-laki di sana itu!" seru Monique kecil, "laki-

laki yang berpakaian hitam itu." "Yang mana, Sayang?" tanya Fleur. Monique menunjuk ke

suatu sosok di menara sebelah utara Notre-Dame. Laki-laki itu berpakaian hitam. Dia sedang menopang kepalanya dan dia sedang

melihat ke bawah ke tarian gipsy itu. Dia berdiri diam tak bergerak hingga tampaknya seolah-olah dia merupakan bagian dari menara itu.

"Dia seorang imam," kata Fleur. "Asyik benar dia memandangi penari kecil itu!" seru Alice.

"Seperti seekor burung hitam yang jahat saja dia, yang sedang menunggu kesempatannya untuk terbang ke bawah, mengangkatnya dan membawanya lari!"

"Tariannya memang bagus sekali," kata seorang gadis berbaju sutera biru.

Page 48: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Phoebus," teriak Fleur tiba-tiba, "karena kau kenal gadis gipsy itu, coba lambai dia supaya dia mau naik ke mari! Suruh dia

menghibur kita. Biarkan dia datang ya Bu. Kami tidak akan membiarkan dia membuat kami kotor, dan kalau dia mencoba

menyusahkan kita... yah, kapten kita akan melindungi kita, ya kan Phoebus?"

"Baiklah, Sayang," sahut ibunya, "selama Kapten Phoebus yang pemberani ada di sini!"

"Ah," kata Phoebus, "dia pasti sudah lupa padaku, dan aku bahkan tak tahu namanya.... Tapi karena kalian mengingininya akan

kucoba." Diulurkannya kepalanya dari jendela itu, lalu berseru, "Si Kecil yang di bawah itu! Lihat ke mari, Gadis kecil!"

Pada saat itu Esmeralda sedang tidak memainkan rebananya. Dia mendongak, tampak olehnya Phoebus, dan dia tiba-tiba berhenti menari.

"Gadis kecil!" ulangnya, lalu dilambaikannya tangannya mengisyaratkan supaya dia naik.

Esmeralda melihat padanya lagi, wajahnya bersemu dadu, dan dia lalu berjalan menerobos orang banyak ke arah rumah.

Dalam waktu singkat saja Esmeralda sudah berada di kamar itu, tapi dia tak berani mendekat barang selangkah pun lagi.

Sebelum Esmeralda masuk, semua gadis dalam kamar berusaha untuk menyenangkan hati Kapten Phoebus yang tampan itu.

Semua gadis itu kira-kira sama cantiknya. Tapi segera setelah gadis gipsy itu muncul dengan wajahnya yang elok, kecantikan semua

gadis yang lain itu menjadi pudar. Gadis-gadis itu menyadari hal itu dan mereka memandang Esmeralda dengan pandangan sedingin es.

Phoebus-lah yang pertama-tama memecah kesunyian itu.

"Dia benar-benar makhluk yang cantik!" katanya. "Boleh juga," sahut Fleur dengan suara dingin. ''Dia membawa

kecantikannya sendiri." Gadis-gadis yang lain berbisik-bisik.

Page 49: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Gadis yang baik," kata Phoebus, sambil maju mendekati Esmeralda, "masih ingatkah kau padaku?"

"Oh ya," sahutnya. "Saya masih ingat." "Ingatannya baik," kata Fleur.

"Tapi kau cepat sekali melarikan diri malam itu," sambung Phoebus. "Apakah kau takut padaku?"

"Ah tidak," kata Esmeralda. "Alangkah merdu suaranya," pikir Phoebus.

Fleur juga berpikiran demikian, dan dia mulai merasa tak senang. Perlukah Phoebus berbicara begitu banyak pada gadis itu dan

dengan cara seramah itu pula? "Kau meninggalkan seorang laki-laki yang jelek sekali waktu

itu," kata Phoebus. "Apa yang diinginkannya darimu?" "Saya tak tahu," jawab Esmeralda. "Yah, perlu kukatakan bahwa dia menebus perbuatannya itu!

Dia telah dipasung di roda dan dipukuli." "Ya, kasihan dia," kata Esmeralda. Dia teringat akan

Quasimodo di roda itu. "Malang benar dia. Saya kasihan benar padanya!"

Gadis-gadis yang lain terus berbisik-bisik. "Aneh benar pakaiannya!" kata Alice. "Jelek ya?"

"Memang," kata gadis yang lain. "Lihat lengannya! Terbakar matahari!"

"Kakinya juga," kata gadis lain. "Jelek sekali bajunya! Aku tak pernah melihat baju sejelek itu!"

"Aduhai!" kata gadis yang berbaju sutera biru. "Kelihatannya kapten kita mudah terbakar oleh mata gipsy yang cemerlang!"

"Mengapa tidak?" kata Phoebus.

Tiba-tiba ibu Fleur berteriak, "Apa itu? Binatang? Pergi kau, binatang kotor!"

Page 50: Si Bongkok Dari Notre-dame

Rupanya kambing putih itu. Dia telah masuk untuk mencari majikannya. Waktu dia bergegas masuk mendekati Esmeralda,

tanduknya tersangkut pada baju wanita yang sedang duduk itu. Tanpa berkata apa-apa, Esmeralda melepaskan tanduk Djali. Lalu dia

berlutut dan meletakkan kepalanya ke sisi badan kambing itu, seolah-olah akan mengatakan penyesalannya bahwa dia telah meninggalkan

Djali. Alice mendekati Fleur dan berbisik, "Bagaimana aku bisa lupa

tadi! Kami sudah pernah mendengar tentang dia. Inilah dia gipsy dengan kambing, yang dikatakan orang bisa melakukan banyak hal

dengan ilmu gaib. Dia itu tukang sihir." Fleur berpaling pada Esmeralda lalu berkata, "Coba suruh

kambingmu memperlihatkan kepandaian-kepandaiannya untuk menghibur kami. Kepandaian-kepandaian yang dilakukannya dengan ilmu gaib itu!"

"Saya tak mengerti maksud Anda," sahut Esmeralda, sambil meletakkan tangannya di kepala kambing itu.

Pada saat itu, Fleur menampak sebuah kantong coklat tergantung di leher kambing itu.

"Apa itu?" tanyanya. Esmeralda memandang Fleur, "Itu rahasia saya," jawabnya

dengan tenang. Fleur menjauh. Dia ingin sekali tahu apa rahasia itu!

"Hei gipsy," kata ibu Fleur, "kalau kau maupun kambingmu tidak juga akan menghibur kami, untuk apa kalian di sini?"

Esmeralda berjalan ke pintu tanpa menjawab, dan gadis-gadis itu mengawasinya. Tak seorang pun melihat si Monique kecil, yang memegang sepotong kue, yang membujuk Djali ke sudut dan cepat-

cepat menanggalkan kantong coklat itu dari leher kambing itu akan melihat isinya. Isinya adalah beberapa potongan kayu kecil, yang

masing-masing bertuliskan suatu huruf berwarna merah. Djali

Page 51: Si Bongkok Dari Notre-dame

menghabiskan kue tadi, sedang Monique menuangkan isi kantong itu ke lantai.

Sesampai di pintu, gipsy itu menoleh. Dia berhenti sambil memandang Phoebus dengan mata yang mengandung air mata.

"Astaga!" seru Phoebus, "kau tak boleh pergi dalam keadaan begini. Mari masuk lagi dan menarilah untuk kami! Ngomong-

ngomong, siapa namamu?" "Esmeralda," sahutnya.

"Es-mer-al-da! Hebat sekali!" Gadis-gadis yang lain tertawa karena gipsy itu punya nama sehebat itu.

"Lihat Alice, pandai sekali kambing ini!" teriak Monique kecil. "Dia bisa menyusun suatu perkataan! Suatu perkataankah ini? Apa

bacaannya ini?" Dengan kakinya yang keemasan, Djali telah menyusun huruf-

huruf itu sebagaimana yang telah diajarkan Esmeralda padanya.

Gadis-gadis itu berlari ingin melihat perkataan itu. "Hei, tulisannya P-H-O-E-B-U-S, Phoebus!" teriak Alice.

"Phoebus!" Memang benar, perkataan itulah yang telah dibentuk oleh

kambing itu. "Padahal 'Phoebus' kan nama kapten!" Alice melanjutkan.

"Jadi, itulah rupanya rahasia gadis itu," pikir Fleur. Dia menangis lalu menutup mukanya dengan kedua belah

tangannya. "Dia seorang tukang sihir!" Lalu dia jatuh pingsan ke lantai.

"Anakku! Anakku" seru ibunya. Lalu dia berpaling dan berteriak, "Pergi kau gipsy jahat, pergi sekarang juga!"

Esmeralda mengumpulkan huruf-huruf itu ke dalam

kantongnya, memberi isyarat pada Djali lalu lari dari kamar itu. Pada saat yang bersamaan Fleur diangkat melalui pintu yang lain.

Page 52: Si Bongkok Dari Notre-dame

Sesaat lamanya Phoebus berdiri saja di antara Kedua buah pintu itu. Dia belum bisa memutuskan akan pergi ke pintu yang manakah

dia. Kemudian sambil tersenyum, dia menyusul gipsy itu.

Page 53: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 8 Frollo Bertanya-tanya

LAKI-LAKI berpakaian hitam yang dilihat Monique di menara

adalah Claude Frollo. Dia ada di kamar kecil di menara Notre-Dame. Setiap malam dia ke kamar itu untuk belajar. Tapi tarian Esmeralda

lebih menyenangkan hatinya daripada buku-bukunya, meskipun dia amat menyukai buku-buku itu. Sementara matahari terbenam, dia

berdiri dan memuaskan matanya dengan kecantikan Esmeralda yang berada di jalan di bawahnya. Kemudian dilihatnya seseorang lain.

Seorang laki-laki yang berjas merah-kuning sekali-sekali berjalan mengelilingi orang banyak yang menonton penari itu. Lalu laki-laki itu duduk di kursi, dekat Esmeralda dengan kambing di

sebelahnya. "Siapakah laki-laki itu?" tanya imam itu sendiri dengan marah.

"Dia bisa begitu dekat dengan gadis itu, terlalu dekat! Sebelum ini aku selalu melihat dia seorang diri dengan kambingnya." Frollo berlari

menuruni tangga dengan nafas tersengal-sengal. Dalam perjalanannya turun itu dia melalui sebuah jendela kecil.

Quasimodo berdiri di jendela itu, memandangi jalan di bawahnya. Setelah kembali dari ruang siksa, Quasimodo tidak sesering dulu lagi

membunyikan lonceng-loncengnya. Tapi yang menyebabkan dia meninggalkan tugasnya itu bukanlah karena dia lemah, melainkan

kesenangan. Bunyi lonceng-lonceng itu mengingatkannya pada gipsy yang cantik itu, yang begitu baik hati padanya. Dia berdiri di antara lonceng-loncengnya dengan hati penuh bahagia, memikirkannya, dan

lupalah dia untuk membunyikan loncengnya.

Page 54: Si Bongkok Dari Notre-dame

Frollo tidak melihat Quasimodo berdiri di situ. Dia bergegas terus turun. Sesampai di jalan, dia menggabungkan diri dengan orang

banyak. Tapi gipsy itu telah tiada! "Mana dia?" tanyanya.

"Dia baru saja pergi ke rumah yang di sana itu," kata laki-laki di sebelahnya, "saya rasa untuk mempertunjukkan beberapa tari-tarian

istimewa. Rumah besar yang di sudut itu." Di atas permadani Persia, di mana Esmeralda biasanya menari,

laki-laki yang berpakaian merah-kuning kini sedang mencoba menghibur orang-orang. Dia berjalan berkeliling sambil

mendongakkan kepalanya hingga mukanya kelihatan merah berkeringat. Dia menggigit sebuah kursi dan seekor kucing terikat

pada kursi itu. Laki-laki itu melewati Frollo dekat sekali. "Aku kenal orang itu!" kata Frollo sendiri. "Aku pernah

mengajarnya waktu dia sedang belajar untuk menjadi seorang imam.

Lihat apa jadinya dia sekarang, menjadi orang yang mencoba mencari nafkah dengan mengumpulkan uang dari orang banyak dengan

pertunjukan-pertunjukan dungu itu!" Waktu laki-laki itu mendekat lagi dalam putaran berikutnya,

Frollo memanggilnya, "Pierre Gringoire, beginikah caramu menggunakan pelajaran

yang telah kuberikan padamu? Sungguh memalukan." Gringoire demikian terkejut hingga kursi dan kucingnya jatuh

ke tengah-tengah orang banyak. Kucing itu membebaskan diri dari kursi itu, dan mencakar muka seorang laki-laki tua dan dua orang

wanita! Untuk meloloskan diri dari kemarahan orang itu, Gringoire lari masuk ke dalam Notre-Dame. Imam menyusulnya.

"Mari naik ke kamarku," kata Frollo. Mereka menaiki tangga.

"Nah, Pierre," kata Frollo setelah mereka duduk di tengah-tengah buku-buku imam yang terpelajar itu, "ceritakan bagaimana kau

sampai melakukan perbuatan dungu seperti itu."

Page 55: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Saya tahu itu pekerjaan rendah," kata Gringoire, "tidak semulia pekerjaan seorang pengarang. Tapi dengan cara itu saya mendapatkan

penghasilan, lebih-lebih karena saya sudah kawin." "Kawin!" teriak Frollo. "Kawin? Siapa yang begitu beruntung

menjadi istrimu?'" "Anda tak mungkin mengenalnya," kata Gringoire, "dia hanya

seorang gipsy...." "Seorang gipsy!" teriak imam itu, dengan pandangan yang

mengerikan, "sudah begitu jauhnya kau dari Tuhan sampai-sampai kau mau main cinta dengan seorang gipsy?"

"Tapi saya tak pernah main cinta dengan dia," kata Gringoire. "Sungguh mati, tak pernah, meskipun dia istriku."

"Aneh sekali," kata imam itu. "Kalau orang sudah kawin...." "Memang kami sudah kawin, sebaiknya saya ceritakan

bagaimana kami menjadi suami-istri." Maka berceritalah penyair itu

tentang pertemuannya dengan raja para pengemis itu. Dikisahkannya tentang George, orang-orangan berpakaian merah dengan lonceng-

lonceng kecil, dan tentang cangkir yang dipecahkan. "Dan dengan demikian, kawinlah saya dengan dia," katanya

mengakhiri ceritanya. "Tapi kami tak boleh main cinta, katanya tak boleh."

"Baguslah kalau begitu!" kata imam. "Alasannya adalah ilmu gaib."

"Gaib?" "Ya, begitulah kata Raja Gipsy pada saya," kata Gringoire.

"Diceritakannya bahwa Esmeralda waktu masih bayi ditemukan oleh kaum gipsy, jadi dia tak tahu siapa ibu-bapaknya. Tapi Esmeralda yakin bahwa dia akan menemukannya pada suatu hari, dengan

bantuan sebuah kantong yang selalu tergantung di lehernya. Kantong itu mempunyai kekuatan gaib, tapi kekuatan gaib itu akan segera

Page 56: Si Bongkok Dari Notre-dame

hilang kalau dia main cinta dengan seorang laki-laki, laki-laki mana pun juga, bahkan suaminya."

"Oh begitu," kata Frollo, yang kini kelihatan lebih senang. "Jadi tak adakah laki-laki yang rnencoba main cinta dengan dia?"

"Kalau laki-laki itu mau selamat tentu tidak!" "Mengapa? Siapa yang akan membunuhnya?"

"Dia sendiri yang akan membunuh laki-laki itu dengan sebuah pisau kecil yang selalu dibawanya dalam bajunya. Dia tak kenal

takut," kisah Gringoire. "Tak kenal takut?"

"Tidak," kata Gringoire. Kemudian dia berpikir sejenak dan menambahkan, "Ya ada, dia takut pada dua orang —pada Suster

Gudule, yang selalu meneriakkan kata-kata yang mengerikan dari Lubang Tikus itu, dan pada seorang laki-laki yang mengenakan jubah hitam seorang imam, dan yang matanya bersinar seperti api. Mata itu

membakar ingatannya pada malam si bongkok mencoba membawanya lari, dan dia merasa bahwa mata itu mengikutinya terus ke mana pun

dia pergi." "Oh, suatu angan-angan yang dungu!" seru Frollo, dan dia tiba-

tiba bangkit dan berdiri di jendela. "Dia tentu gadis yang dungu sekali!"

"Sudah saya katakan padanya bahwa itu semua hanya mimpi buruk, dan sudah saya minta supaya dia melupakannya," kata

Gringoire. "Kau benar!" seru imam itu. "Ya, kau memang benar, Pierre.

Tak ada yang perlu ditakutkannya." "Saya mencoba untuk membujuknya. Dia gadis yang manis." "Begitukah?"

"Saya cinta sekali padanya. Dia baik hati sekali, bukan hanya terhadap saya saja, tapi terhadap semua makhluk. Caranya merawat

Djali luar biasa sekali."

Page 57: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Siapa Djali itu?" tanya Frollo. "Kambingnya yang berkaki dan bertanduk emas itu. Akan saya

ceritakan bagaimana Esmeralda mengajar Djali." Kemudian Gringoire menerangkan bagaimana gipsy itu melatih kambingnya hingga pandai

memukul rebana untuk menunjukkan jam berapa atau tanggal berapa. Djali tahu benar berapa kali dia harus memukul rebana itu dengan

melihat bagaimana Esmeralda memegang rebana itu. "Dan," Gringoire menambahkan dengan bangga, "Esmeralda

hanya memerlukan dua bulan untuk mengajar Djali bagaimana menyusun huruf-huruf menjadi 'Phoebus'!"

" 'Phoebus'!" kata Frollo. "Mengapa 'Phoebus'?" "Entahlah," sahut Gringoire. "Mungkin disangkanya perkataan

itu mengandung kekuatan gaib. Dia sering-sering mengulang-ulangnya sendiri perlahan-lahan bila disangkanya tak ada orang lain di dekatnya."

"Yakinkah kau bahwa itu bukan suatu nama?" tanya Frollo tajam.

"Nama siapa?" tanya penyair itu. "Mana aku tahu?" kata imam.

"Agaknya kaum gipsy itu menyangka bahwa matahari adalah dewa mereka," kata Gringoire, "tapi Esmeralda tidak tahu akan hal itu,

sebelum saya memberitahukan padanya, bahwa orang lain menyebut dewa itu 'Phoebus'. Kelihatannya dia suka akan nama itu. Djali bisa

menyusun nama itu setiap kali!" Imam tampak merenung. Lalu tiba-tiba dia berpaling pada

Gringoire dan berkata padanya dengan suara rendah, "Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar tak pernah

main cinta dengan gipsy itu, dan bersumpah bahwa kau tidak akan

pernah berbuat demikian?"

Page 58: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Saya bisa saja bersumpah kalau saya mau," kata Gringoire dengan marah. "Tapi sekarang giliran saya bertanya pada Anda."

"Berbicaralah, Pierre. Akan kucoba menjawabnya." "Apakah soal itu tadi urusan Anda?"

Wajah imam yang pucat itu menjadi merah karena marah. Dia diam sebentar, Kemudian dia berkata, "Dengar, Pierre. Kuberi tahu

kau, kalau kau main cinta dengan seorang gipsy, rohmu akan dibakar dalam api neraka selama-lamanya. Hal itu tertulis dalam banyak buku

yang terdapat di rak-rak buku dalam kamar ini juga! Maka itu jangan sentuh dia."

"Dia cantik sekali," kata Gringoire sedih, "saya bangga menjadi suaminya."

"Kalau begitu pergilah!" seru imam itu dengan pandangannya yang menakutkan, "pergilah ke neraka!" lalu ditangkapnya pundak Gringoire yang keheranan dan didorongnya ke luar kamar.

Page 59: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 9 Kapten dan gadis-gadis

FROLLO kini tinggal seorang diri di kamarnya, berlutut lalu

menadahkan tangannya berdoa. Matanya dipejamkannya rapat-rapat dan dia mencoba memikirkan tentang Tuhan. Bibirnya mengucapkan

doa-doa, tapi pikirannya tidak tertuju pada Tuhan, melainkan tertuju pada gipsy yang cantik itu. Sejak dia melihatnya pertama kali,

Esmeralda selalu memenuhi pikirannya sepanjang hari, dan tariannya membungai impiannya sepanjang malam.

Frollo mengucapkan doa-doanya nyaring-nyaring. Kemudian lonceng-lonceng berbunyi, dan dia menyaringkan suaranya, seolah-olah Tuhan tak bisa mendengar kata-katanya gara-gara suara lonceng-

lonceng itu. Suaranya makin lama makin nyaring, hingga akhirnya imam itu berteriak. Tapi tak ada satu perkataan pun yang masuk ke

pikirannya, dan dia tidak memikirkan Tuhan barang sesaat pun. "Ah, gipsy itu!" teriak Frollo. Dia berdiri. "Aku serasa selalu

melihatnya berada dalam pelukan laki-laki lain, dan aku tak tahan membayangkan orang lain memilikinya, sedang aku sendiri tak bisa!"

Dia berjalan hilir-mudik dalam kamar itu di tengah buku-bukunya, seperti seekor binatang liar dalam kandang.

"Aku tak tahan lagi!" serunya. "Aku tak bisa tinggal di sini. Kalau aku tinggal di sini, aku bisa menjadi gila. Aku harus

menemukannya, di mana pun dia berada. Di mana aku akan mulai mencarinya malam ini?"

Dia berhenti dan berpikir sejenak.

"Aku tahu!" katanya, "aku akan mulai di rumah besar di tikungan itu. Ke sanalah dia pergi untuk menari sebelum aku bertemu

dengan suaminya — terkutuk laki-laki itu!" Diambilnya sebuah pisau

Page 60: Si Bongkok Dari Notre-dame

kecil, disembunyikannya dalam jubahnya, lalu dia keluar dari kamar itu.

Nyaring benar bunyi lonceng itu, seolah-olah menertawakannya, sementara Frollo bergegas melalui gereja dan

keluar ke malam gelap. Bintang-bintang gemerlapan terang, seperti permata dan bulan bersinar di langit.

*** Pintu rumah di tikungan itu terbuka. Dia bersembunyi dalam

gelap waktu beberapa orang gadis berpakaian bagus-bagus keluar. Dia memasang telinga, mendengarkan mereka:

"Aku yakin dia akan merasa lebih baik besok," kata seseorang. "Memang! Kasihan si Fleur, aku benar-benar kasihan padanya,"

kata yang lain. "Benar kata ibunya tentang kaum gipsy, bukan? Phoebus

seharusnya jangan memintanya untuk naik tadi!" seru yang ketiga.

"Tapi dia lalu menyusul gadis itu! Itulah yang paling memalukan!" "'Phoebus'?" kata Frollo. "Phoebus! Kalau begitu Phoebus itu

nama seorang laki-laki, sebagaimana yang kukuatirkan, dan dia sekarang berada bersama si gipsy!"

Gadis-gadis itu terus berjalan, dan Frollo tak dapat lagi mendengar apa yang mereka katakan. Dia berlari ke rumah itu.

Pembantu rumah itu — seorang perempuan gemuk yang sederhana — baru saja akan menutup pintu. Waktu dilihatnya imam itu, dia tak jadi

menutup pintu itu. "Anda tentu akan menemui putri majikan saya yang malang,"

katanya. "Imam-imam baik hati seperti Anda, segera datang begitu mendengar ada orang dalam kesusahan! Silakan masuk saja, meskipun malam ini gadis manis itu sebenarnya tak bisa menerima tamu karena

sakitnya — meski seorang imam sekali pun." "Saya akan masuk sebentar saja," sahut Frollo, "untuk

mendengar dari Anda sendiri apa sebenarnya yang telah terjadi, dan

Page 61: Si Bongkok Dari Notre-dame

bagaimana keadaan Fleur, sesudah itu saya akan pergi dan besok saya akan kembali lagi."

Mereka masuk ke lorong rumah, dan pembantu itu bercerita pada Frollo. Air matanya berlinang waktu dia mengisahkan keadaan

Fleur, tapi bila dia menceritakan tentang Kapten Phoebus, dia jadi marah sekali.

"Saya sudah sering mengatakan bahwa dia laki-laki jahat," katanya, "tak pantas dia berada dalam jarak satu mil dari Fleur kami

yang cantik itu!" "Memang," kata Frollo, "dan apa yang Anda ketahui tentang

dirinya?" "Banyak sekali!" katanya. "Dengarkan!" lalu diajaknya imam

itu ke sudut. "Setiap minggu dia mengejar perempuan lain! Wajahnya yang tampan itu dengan mudah menarik mereka, perempuan-perempuan dungu itu! Mereka tergila-gila akan pundaknya yang

kekar, janggutnya, serta langkahnya yang tegap. Dia bisa berbuat sesuka hatinya terhadap gadis-gadis itu. Dan dia memang berbuat

sesukanya! Saya bahkan tahu di mana dia berbuat!" "Di mana?" tanya imam. Dia mencoba menahan diri supaya

tidak kelihatan dia terlalu ingin tahu. "Di rumah perempuan tua di jembatan Saint Michel. Perempuan

yang benama Falourdel. Bayangkan bahwa Fleur kami yang cantik dan masih murni itu...."

Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari kamar di loteng. "Saya harus pergi segera!" seru pembantu itu. "Gadis kecilku

tersayang membutuhkan saya!" lalu berlarilah dia menaiki tangga tanpa berkata sepatah pun lagi.

Frollo membuka pintu lalu keluar ke jalan. Pikirannya terbakar

oleh api setan dan tangannya terasa panas di gagang pisau yang tersembunyi waktu dia berjalan melalui jalan-jalan sempit menuju

jembatan Saint Michel.

Page 62: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 10 Rumah di tepi sungai

SEBUAH rumah di jembatan Saint Michel kelihatan lebih tua,

lebih kecil dan lebih kotor daripada yang lain-lain. Dindingnya di sebelah luar kasar, dan kalau seseorang mau memanjatnya bisa saja.

Tapi satu-satunya alasan untuk mau memanjat rumah seburuk itu tentulah alasan yang buruk pula.

Perempuan tua yang bernama Falourdel, sama buruknya dengan rumahnya. Dia bungkuk sekali hingga tubuhnya seperti terlipat dua,

dan dia gemetar waktu berjalan lambat-lambat untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya. Dengan tangan yang gemetar dia memegang sebuah lampu. Lampu itu tergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan dan

membuat bayangan yang bergerak seperti raksasa pada dinding kelabu yang gelap.

"Siapa itu?" serunya, dengan suaranya yang melengking. "Kapten Phoebus," kata suara laki-laki di luar, dan perempuan

itu membuka pintu. "Oh, Anda lagi," katanya sambil mengangkat mukanya yang

berkerut yang berambut putih di dagunya, "masuklah." Kapten Phoebus masuk diiringi oleh Esmeralda dan

kambingnya. "Kamar yang terbaik," kata Phoebus dengan tajam.

Esmeralda kelihatan takut, tapi Phoebus menuntunnya dan dia kelihatan lebih senang. Phoebus memberikan sebuah mata uang perak pada perempuan tua itu, yang dimasukkannya ke dalam sebuah kotak

di atas meja yang berdebu. Mereka meninggalkan ruangan itu. Seorang anak laki-laki

keluar dari tempat tersembunyi, perlahan-lahan mengeluarkan mata

Page 63: Si Bongkok Dari Notre-dame

uang itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Sepotong kayu yang masih ada daun keringnya, terletak di dekat tempat berdiang yang

dingin. Anak laki-laki itu mematahkan kayu itu sedikit demi sedikit di bagian yang masih ada daun keringnya, lalu dimasukkannya ke dalam

kotak di mana mata uang tadi dimasukkan. Dia mendengar orang-orang naik ke loteng. Dia tahu bahwa tak seorang pun melihatnya dan

kalau digoncang kotak itu tidak akan terdengar kosong. "Aku seorang pencuri yang pandai sekali!" pikirnya.

Kamar ke mana Phoebus mengajak Esmeralda, kecil dan kotor, dan di dalamnya tak banyak perabot. Jendelanya yang menghadap ke

sungai, kacanya pecah. Bulan bersinar terang menerangi sungai, tapi kemudian ditutupi awan.

Esmeralda dan Phoebus duduk berdampingan. "Oh, Phoebus," katanya, "kurasa aku berbuat dosa!"

"Dalam hal apa, Sayang?" tanya Phoebus.

"Karena aku ikut kau ke mari," kata Esmeralda. "Aku harus bekerja keras dan berbicara berjam-jam dalam

usahaku membawamu ke mari," kata Phoebus. "Aku tak ingin melanggar janjiku bahwa aku tidak akan main

cinta," kata Esmeralda lagi. "Sebab jika kulanggar kekuatan gaibnya akan hilang dan aku tak akan bisa menemukan ibu-bapakku. Tapi aku

kan tidak membutuhkan mereka lagi ya?" tanyanya penuh bahagia, sambil memandangi Phoebus dengan air mata berlinang.

"Aku sungguh tak mengerti kau!" seru Phoebus. Esmeralda diam sejenak, air matanya menitik, lalu dia berkata

lagi, "Aduh, aku cinta padamu, sungguh cinta!" "Kau cinta padaku!" desah Phoebus, lalu merangkulnya. Sinar bulan di jendela ditutupi oleh sesuatu yang lebih gelap

daripada awan, yaitu seorang laki-laki — tapi baik Esmeralda maupun Phoebus tidak melihatnya karena mereka membelakangi jendela itu.

Apa lagi, mata maupun pikiran mereka hanya terpaku untuk mereka

Page 64: Si Bongkok Dari Notre-dame

berdua saja. Imam di jendela itu memperhatikan mereka. Matanya berapi-api dan bibirnya terasa kering waktu dia menggertakkan

giginya. "Phoebus," kata Esmeralda, sambil melepaskan rangkulan

Phoebus dengan halus, kau baik—kau pemurah — kau telah menyelamatkan diriku, seorang gadis gipsy yang miskin tanpa ibu dan

bapak. Sudah lama aku memimpikan seorang prajurit yang akan menyelamatkan hidupku. Aku memimpikan dirimu, Phoebus sayang,

sejak sebelum aku pernah bertemu denganmu." Kapten tampak puas akan dirinya, waktu Esmeralda berkata

lagi, "Pahlawan dalam mimpiku berpakaian bagus seperti kau, bergaya anggun dan mempunyai pedang. Namamu Phoebus: suatu nama yang

bagus. Aku cinta pada nama itu, aku cinta pada pedangmu. Coba cabut pedangmu Phoebus, supaya aku bisa melihatnya."

"Ah, Anak bodoh!" kata Kapten. Dia tersenyum lalu mencabut

pedangnya. Gadis itu melihatnya, diciumnya pedang itu lalu dia berbisik,

"Kau pedang seorang pria pemberani. Aku cinta pada kaptenku!"

Imam yang mengintai di jendela, marah dan panas benar hatinya, dipegangnya mata pisau yang tersembunyi dalam jubahnya.

Mata pisau itu tajam dan imam itu tersenyum puas. "Dengarkan sayangku...." kata Phoebus sambil menggeser

mendekati Esmeralda. Esmeralda menjauh, "Tidak, aku tak mau mendengarkan.

Cintakah kau padaku? Aku ingin kau mengucapkan bahwa kau cinta padaku."

"Ragukah kau akan cintaku, jantung hatiku?" seru kapten. Dia

berlutut dekat Esmeralda. "Tubuhku, darahku, jiwaku — semuanya milikmu. Aku cinta padamu, dan aku tak pernah mencintai orang lain

kecuali kau!"

Page 65: Si Bongkok Dari Notre-dame

Telah sering sekali dia mengucapkan kata-kata itu pada gadis-gadis lain, pada berpuluh-puluh kesempatan seperti sekarang, hingga

kata-kata itu diucapkannya selancar seorang dramawan jempolan. Gipsy itu memandangnya penuh bahagia.

"Aduhai," seru Esmeralda, "saat seperti inilah saat yang baik untuk mati bersama!"

"Mati? Tidak. Tidak, jangan manisku." Kemudian dia menambahkan sambil tertawa, "Aku tahu seorang gadis berpakaian

bagus-bagus yang pada saat ini sedang terbakar oleh kemarahannya!" "Siapa?" tanya Esmeralda tiba-tiba penuh perhatian.

"Ah, tak usahlah kita peduli padanya," kata Phoebus. "Cintakah kau padaku?"

"Aduh, mengapa kau masih harus bertanya?" seru Esmeralda. "Aku tahu kau cinta padaku," katanya, "dan kita akan benar-

benar berbahagia. Kita akan mendapatkan sebuah kamar kecil di jalan

yang bagus, dan akan kusuruh prajurit-prajuritku berbaris hilir-mudik di bawah jendelamu. Lalu akan kubawa kau melihat singa di kebun

raja, singa-singa itu binatang yang cantik, dan semua wanita suka sekali melihatnya."

Beberapa saat lamanya Esmeralda terbuai oleh suaranya, dia tidak mendengarkan kata-katanya.

“Ya, kau akan berbahagia sekali!” kapten melanjutkan, dan matanya bersinar-sinar.

Esmeralda berpaling padanya: "Phoebus —Phoebus," katanya dengan suara penuh kecintaan, "ajari aku tentang Tuhanmu dan

gerejamu." "Tuhanku dan Gerejaku!" serunya lalu tertawa nyaring. "Apa saja yang kauharapkan dari hal-hal itu?"

"Supaya kita bisa kawin," sahut Esmeralda. Wajah Phoebus berubah, "Mengapa orang harus kawin?"

tanyanya parau.

Page 66: Si Bongkok Dari Notre-dame

Esmeralda berpaling, "Aduhai...." bisiknya. "Kekasihku sayang," katanya lembut, "apakah artinya semua

gagasan dungu itu? Perkawinan memang bagus, tapi orang-orang yang betul-betul saling mencintai seperti kita, tidak membutuhkan

perkawinan." Imam mendengar setiap perkataan itu dan melihat semua gerak

dalam kamar itu. Tiba-tiba baru terpandang oleh Phoebus kantong hijau yang

tergantung di leher Esmeralda. "Apa itu?" tanyanya, lalu dia mendekati Esmeralda, dia berpura-pura melihat kantong itu, tapi dia

lebih tertarik pada orangnya daripada kantong itu. "Jangan sentuh!" kata Esmeralda cepat. "Ini pelindungku. Inilah

yang akan membantuku menemukan ibu dan bapakku. Aduh, lepaskan aku Kapten Phoebus! Ibuku! Ibuku yang malang! Di mana kau? Datanglah dan selamatkan aku! Kapten, kasihanilah aku!"

Phoebus menjauh lalu berkata dingin, "Sudah jelas bagiku bahwa kau tidak cinta padaku."

"Bagaimana mungkin!" seru gadis itu pilu, dan dia pun merangkul Phoebus lalu ditariknya supaya laki-laki itu duduk di

sisinya. "Tidak cinta padamu, Phoebus? Mengapa kau berbicara seolah-olah kau musuhku saja? Apakah kau ingin menghancurkan

hatiku? Aduhai, kemarilah! — aku milikmu." Sambil menangis dia berkata lagi, "Tenaga gaib kantong

hijauku ini kini tak berarti lagi bagiku. Aku sudah memiliki kau, jadi aku tidak membutuhkan seorang ayah atau seorang ibu lagi. Tak

usahlah kita kawin, sebab kau tidak menghendakinya. Aku akan menjadi pembantumu, asal kaucintai aku, Phoebus! Gadis-gadis gipsy tidak membutuhkan apa-apa kecuali cinta. Beri aku cintamu!"

Esmeralda tersenyum dengan air mata bercucuran. Wajahnya berseri-seri oleh kebahagiaan, seolah-olah dia berada dalam surga, lalu

dia memandang ke bulan melalui jendela.

Page 67: Si Bongkok Dari Notre-dame

Tiba-tiba, di atas kepala Phoebus dilihatnya suatu wajah kelabu yang tersiksa — suatu wajah manusia yang kehilangan jiwa. Kecuali

wajah yang mengerikan itu tampak pula tangan yang memegang sebilah pisau kecil. Yang dilihatnya itu adalah wajah dan tangan

imam. Dia telah memanjat jendela dan kini dia sudah masuk ke dalam kamar itu. Phoebus tidak bisa melihatnya. Gadis itu bagai membeku

ketakutan. Dia tak dapat bergerak atau berteriak. Dilihatnya pisau itu

ditikamkan pada Phoebus dan dicabut kembali dalam keadaan merah oleh darah.

Dia pingsan. Waktu matanya terpejam, dia merasa seolah-olah bibirnya

disentuh, suatu ciuman sepanas api. Sesudah itu segala sesuatu menjadi gelap.

Waktu dibukanya lagi matanya, dilihatnya prajurit-prajurit

mengelilinginya. Dilihatnya pula orang-orang menggotong kapten. Dia bermandikan darah. Imam itu sudah menghilang, dan jendela

yang kacanya pecah yang menghadap ke sungai sudah terbuka lebar. Seolah dalam mimpi dia mendengar orang berkata,

"Gadis ini telah mencoba membunuh kapten!" Dan suatu suara lain berkata,

"Ya….dengan ilmu sihirnya!"

Page 68: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 11 Sidang Pengadilan

ESMERALDA telah menghilang. Gringoire tidak melihatnya

sepanjang hari. Didatanginya Raja kaum pengemis. "Esmeralda telah menghilang. Sudah sepanjang hari ini dia tak

kembali." "Kamulah suaminya," kata Raja kaum pengemis itu, "kaulah

yang harus mencoba mencarinya." "Tapi bagaimana saya bisa, seorang diri?" tanya Gringoire.

"Aku akan membantumu," kata seorang pengemis tua, "besok kau kubantu."

"Aku juga!" kata yang lain.

"Dan aku juga," seru seorang anak muda yang berhidung besar dan jelek, "aku akan mulai malam ini juga. Kita butuh Esmeralda di

sini, dialah yang membuat tempat ini semarak dan menyenangkan." "Ya, kita harus menemukannya!" teriak salah seorang

sahabatnya. "Ayo, Sahabat-sahabat!" Dan keluarlah dia dari rumah itu, disusul oleh serombongan besar pengemis.

Tapi malam itu mereka tidak menemukannya, esok harinya pun tidak, lusanya pun belum pula ditemukan. Sebulan lamanya mereka

tak tahu dimana Esmeralda. Dia dan Djali telah menghilang tanpa bekas.

*** Pada suatu hari, ketika Gringoire berjalan ke arah Kantor

Pengadilan, dilihatnya banyak orang berdiri di salah satu pintunya.

Seorang laki-laki muda keluar, Gringoire mencegatnya. "Ada apa di situ?" tanyanya.

Page 69: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Ada sidang pengadilan seorang gadis atas percobaan membunuh seorang kapten," katanya. "Kata orang, mungkin dia

menggunakan ilmu sihir. Jadi ada imam-imam di pengadilan, banyak mereka. Perkaranya kotor," katanya, lalu dia melanjutkan

perjalanannya. Gringoire masuk ke ruang sidang. Dia mengikuti seorang imam

menaiki tangga ke dalam bangsal yang besar. "Mana tertuduhnya?" tanya Gringoire pada seorang laki-laki

jangkung yang berdiri di sampingnya. "Tuh," sahutnya, "Yang duduk di belakang orang banyak itu.

Saya sendiri pun hampir tak bisa melihatnya, jadi Anda tentu sama sekali tak bisa melihatnya. Punggungnya menghadap kita. Tapi saya

rasa Anda bisa melihat perempuan tua yang sedang berbicara sekarang, bisa? Namanya Falourdell."

"Terima kasih," kata Gringoire, dan dia lalu mendengarkan

suara perempuan tua yang jelek itu. "Lalu," kata perempuan tua itu, "masuklah seekor kambing

sungguhan, bertanduk keemasan— benar-benar jenis kambing yang selalu dimiliki seorang tukang sihir. Saya sama sekali tak senang,

benar-benar tak senang! Kambing itu mengikuti gadis itu ke loteng, dan rumah sunyi-sepi sebentar. Saya mendengar suara mereka dari

kamar saya yang terbaik. Suara kapten dan suara gadis itu, sama sekali tak ada suara lain, hingga tiba-tiba kapten berteriak mengerikan dan

terdengar sesuatu yang berat, jatuh. Saya bergegas naik secepat mungkin. Dan saya jumpai kapten itu terkapar di lantai, dengan

sebuah pisau tertancap di tengkuknya!" Dia berhenti berbicara dan semua yang mendengarkan menahan

nafasnya. Sebentar kemudian dia melanjutkan; "lantai kamar saya

yang terbaik penuh darah —dan di mana-mana darah. Saya belum sempat rnembersihkannya sama sekali, ketika para prajurit datang.

Page 70: Si Bongkok Dari Notre-dame

Mereka menggotong kapten yang malang itu, dan membawa pergi gadis dan kambing itu."

"Dan apakah itu akhir cerita Anda?" tanya seorang imam yang berleher kurus— panjang dan berambut hitam. Kelihatannya dia orang

penting. "Belum, Pak," kata perempuan tua itu, "masih ada yang lebih

aneh lagi yang harus saya ceritakan. Keesokan paginya saya memerlukan uang untuk membeli telur, maka saya pergi akan

mengambilnya dari kotak di mana malam sebelumnya saya menaruh uang perak. Uang perak itu hilang, yang saya temukan di situ

hanyalah sepotong kayu kecil yang ada daun keringnya!" Perempuan tua itu berhenti dan terdengarlah bisik-bisik

ketakutan di antara orang banyak. "Seekor kambing memang sering kali merupakan teman

seorang tukang sihir," kata seorang laki-laki di sebelah Gringoire.

"Dan daun kering itu!" sambung seorang wanita gemuk di sebelahnya lagi, "hanya ilmu sihir yang bisa mengubah mata uang

perak menjadi sepotong kayu dengan daun kering!" Kini hakim berbicara,

"Saudara- saudara, pada Anda ada kesaksian tertulis yang telah diucapkan oleh Kapten Phoebus."

Mendengar nama itu, gadis yang sedang diadili berdiri melompat, kini kelihatan kepalanya. Dia Esmeralda — tapi Esmeralda

yang sudah sangat berubah! Mukanya pucat sekali, rambutnya yang selama ini terpelihara

rapi, kini menutupi sebagian mukanya dan acak-acakan, bibirnya biru, matanya mengerikan.

"Phoebus!" teriaknya, "di mana dia? Bapak-bapak! Sebelum

kalian membunuh saya, kasihanilah saya dan katakanlah apakah dia masih hidup!"

"Diam," jawab hakim, "itu bukan urusanmu."

Page 71: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Aduh kasihanilah! Kasihanilah saya! Katakanlah apakah dia masih hidup," ulangnya, sambil mengangkat tangannya yang indah -

kecil. Rantai pengikat tangannya mengeluarkan bunyi yang kejam waktu bersentuhan dengan pakaiannya.

"Yah," kata hakim dengan kasar, "dia hampir meninggal. Cukup?"

Gadis malang yang tak dapat lagi berbicara atau menangis itu, terduduk lagi dan berubah seolah-olah dia sudah menjadi batu.

"Bawa masuk terhukum yang kedua!" teriak seorang laki-laki yang memegang sebuah tongkat perak.

Semua mata kini tertuju pada sebuah pintu kecil yang kini terbuka. Melalui pintu itu masuklah seekor kambing bagus yang

bertanduk dan berkaki keemasan. Sejenak lamanya kambing itu berdiri saja dan memandang sekelilingnya. Lalu dilihatnya gipsy itu, dia berlari ke arahnya, melompati meja, lalu bergolek di kakinya

seolah-olah mengharapkan sentuhan tangannya. Tapi gadis yang malang itu tidak bergerak, dia bahkan tidak melihat pada Djali!

"Itulah binatang jahatnya!" seru perempuan tua Falourdel, "saya tahu benar pasangan itu."

Imam yang berleher panjang berdiri, dan berkata dengan suara nyaring, "Jika roh jahat kambing ini menakuti pengadilan dengan

perbuatan-perbuatannya yang jahat, binatang ini harus kita bawa ke tiang gantungan."

"Ke tiang gantungan!" bisik Gringoire. "Akan mereka apakan makhluk malang itu di sana?" Dilihatnya imam itu mengambil rebana

Esmeralda dari meja, lalu memegangnya dengan cara yang khusus. "Jam berapa sekarang?" tanya imam pada kambing itu. Kambing itu memandangnnya dengan mata yang cerdas,

diangkatnya kakinya lalu dipukulnya rebana itu tujuh kali. Waktu itu memang jam tujuh. Orang-orang di ruangan itu ketakutan semua.

Page 72: Si Bongkok Dari Notre-dame

Dalam ketakutannya Gringoire tak dapat menahan dirinya dan berteriak,

"Binatang malang itu akan membunuh dirinya, dia tak tahu apa yang diperbuatnya!"

"Diam di belakang sana!" Imam itu memutar rebana, dan menyuruh kambing

memperlihatkan tanggal hari itu. Diputarnya lagi, dan disuruhnya kambing menghitung bulan keberapa waktu itu.

Beberapa minggu sebelumnya, di alun-alun kota, kepandaian-kepandaian Djali itu menjadikan orang banyak senang, kini

kepandaian-kepandaian yang sama hanya menimbulkan ketakutan. Orang-orang yakin bahwa kambing itu adalah setan-setan dalam

bentuk kambing. Imam itu mengambil sebuah kantong coklat dari leher kambing itu, lalu menuangkan potongan-potongan kayu dari kantong itu ke lantai. Pada potongan-potongan kayu itu tertulis huruf-

huruf merah, dan dengan kakinya yang keemasan kambing itu menyusun nama yang berbahaya 'Phoebus'. Orang banyak berteriak.

Esmeralda mematung saja, dia seolah-olah tak bernyawa. Dia seolah-olah tak mendengar atau melihat apa-apa. Seorang prajurit

bertubuh besar menggoncang lengannya waktu imam itu berseru padanya,

"Apakah kau masih tetap berkata bahwa kau tidak mencoba membunuh Kapten Phoebus, dengan ilmu sihir dan dengan bantuan

tenaga setan kambing ini?" "Aduhai Phoebus!" tangis Esmeralda, lalu dia menutup

mukanya dengan tangannya. "Phoebus-ku! Ini lebih buruk daripada kematian!"

"Masihkah kau berkata bahwa kau tidak mencoba

membunuhnya?" tanya imam dingin.

Page 73: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Membunuhnya!" seru Esmeralda dengan suara ngeri, "saya tidak akan pernah punya niat untuk membunuhnya — tak pernah!"

"Lalu bagaimana penjelasanmu mengenai hal-hal yang sudah kami dengar dan lihat?"

Esmeralda menjawab dengan terbata-bata, "Sudah saya katakan siapa yang mencoba membunuhnya. Dia adalah — seorang imam

seorang imam yang tidak saya kenal — seorang imam yang rupanya seperti setan dan yang mengikuti saya!"

"Seorang imam seperti setan!" ulang imam itu dengan tawa yang kejam.

"Bapak-bapak, kasihanilah saya! Saya ini hanyalah seorang gadis malang...."

"Seorang gipsy!" kata hakim. Imam mengangkat tangannya lalu berteriak, "Karena dia tak

mau mengakui kesalahannya, saya tuntut supaya dia disiksa!"

"Dia akan disiksa," kata hakim. Gadis malang itu gemetar ketakutan, namun dia bangkit, waktu

diperintahkan seorang prajurit, dan berjalan di sepanjang bangsal itu dengan langkah-langkah pasti. Sebuah pintu di ujung bangsal terbuka,

lalu tertutup lagi setelah Esmeralda memasukinya. Bagi Gringoire, pintu itu seolah-olah sebuah mulut yang mengerikan yang baru saja

memakan Esmeralda. Setelah dia menghilang, terdengarlah suatu jeritan. Jeritan itu

adalah jeritan kambing kecil itu.

Page 74: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 12 Siksaan

ESMERALDA dituntun menuruni tangga dan melalui banyak

lorong gelap hingga dia sampai di kamar di mana para terhukum disiksa. Dia terhenti di pintu.

"Jalan terus!" kata suatu suara kasar di belakangnya. "Kita tak bisa membuang-buang waktu. Makin cepat kau mengaku, makin cepat

semuanya ini berlalu. Jadi jalan terus, cepat!" Seorang prajurit memegang lengannya lalu mendorongnya

masuk ke kamar itu. Kamar itu gelap, di sana ada cahaya merah dari perapian yang besar, tak ada jendela. Banyak batangan besi yang berbentuk macam-macam, tergantung di atas arang yang terbakar itu

supaya menjadi panas sekali. Besi-besi itu adalah beberapa dari alat siksaan. Yang lain terletak di lantai dan banyak lagi yang tergantung

dari atap — berbentuk aneh dan jelek. Esmeralda memandang barang-barang yang mengerikan itu.

"Tidak, tidak!" teriaknya, "saya tak tahan!" "Kau tak perlu merasakan satu pun dari barang-barang yang

menyakiti ini," kata seorang imam yang ikut serta ke ruang itu. "Kau hanya harus berkata bahwa kau telah mencoba membunuh Kapten

Phoebus dengan ilmu sihir, maka kau akan segera boleh berbalik dari alat-alat ini dan langsung ke luar — lihat, pintu ini tetap kita buka

bagimu!" Esmeralda mengangkat matanya lalu memandang ke sana

kemari, seperti binatang yang diburu. Orang-orang yang kelihatan

hitam saja dengan pakaian kasar siap berdiri di sudut-sudut ruangan, sedang algojonya sendiri duduk bersila di tempat tidur hitam dari

Page 75: Si Bongkok Dari Notre-dame

kayu. Dia memandang Esmeralda, dan bangkit. Mukanya kejam. Esmeralda mundur ketakutan sambil berteriak.

Imam berbicara lagi. "Tak maukah kau mengaku pada kami?" tanyanya.

"Saya sudah mengaku," bisik Esmeralda dan dia menutup matanya.

"Baiklah," katanya dengan suara yang lebih keras, "akan kita lihat apa yang kaukatakan setelah algojo membantumu berbicara.

Mari kita mulai." Seorang prajurit berpakaian merah mengeluarkan pedangnya

dan dengan ujungnya dia menunjuk sebuah sepatu besar yang terbuat dari kayu, yang terletak di bawah tempat tidur.

"Mulai dengan ini," katanya. Dengan tersenyum ditambahkannya, "Kelihatannya terlalu besar untuk kaki penari kita yang kecil, tapi kau bisa mengecilkan sepatu ini bukan, algojo?"

"Kita bisa menjadikannya sedang untuk semua ukuran kaki, baik besar maupun kecil," sahutnya.

"Ya, ini sepatu tua yang bagus, benar-benar cantik!" Dipegangnya dan diangkatnya sepatu itu dengan kedua belah

tangannya lalu dia tertawa. Dua orang prajurit memegang kedua lengan Esmeralda lalu

mendorongnya ke tempat tidur, algojo mengenakan sepatu kayu itu ke kaki kanan Esmeralda, kemudian dia bersiap-siap akan memutar

sepotong logam yang bisa mendekatkan bagian atas dan telapak sepatu perlahan-lahan hingga kaki Esmeralda akan terjepit sampai

remuk tulang-tulangnya. Maka gadis itu terbelalak ketakutan. "Kau datang tepat pada waktunya," kata perwira berpakaian

merah kepada seseorang yang kini masuk dari arah belakang

Esmeralda. Dia adalah imam yang berleher panjang, "Tepat pada waktunya membawa berita yang akan menjadikannya benar-benar

senang!" katanya, lalu dia berjalan mendekati Esmeralda dan berdiri di

Page 76: Si Bongkok Dari Notre-dame

hadapannya. Sang algojo tinggal diam. Sebentar kemudian imam itu berkata,

"Nah, kau telah berhasil!" katanya, sambil menatapnya, "kau telah berhasil dalam percobaanmu membunuh Kapten Phoebus. Dia

meninggal lima menit yang lalu!" "Meninggal?" bisik Esmeralda, "Aduhai! Kalau dia meninggal,

aku tak bisa hidup!" "Dia sudah meninggal, dan engkaulah yang membunuhnya,"

kata imam itu. "Kau dan kambingmu yang telah membunuhnya dengan ilmu sihir, bukan?"

Lama keadaan sepi. Tak seorang pun bergerak. Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. "Ya!" serunya,

"ya!" Matanya berapi-api waktu dia menoleh pada perwira, "ya, saya telah membunuhnya! Saya telah membunuhnya dengan ilmu sihir. Anda menginginkan supaya saya mengakui hal itu, bukan?"

Imam itu cepat memandang perwira, sang algojo mengumpat sendiri.

"Kami menginginkan pengakuan," kata imam itu, "dan aku yakin, Nak, bahwa akhirnya kini telah kauberikan pengakuan yang

sebenarnya. Puji syukur bagi Tuhan!" Seluruh tubuh Esmeralda gemetar, dan dia menutup matanya.

"Tanggalkan sepatu itu," kata perwira pada algojo yang dengan sedih mematuhi perintah itu.

"Anakku," kata imam sambil menggenggam tangan Esmeralda yang dingin, "setelah kauakui kebenarannya, kini kau tinggal harus

membayar kematian Phoebus dengan kematianmu sendiri. Kau akan digantung secepatnya."

"Saya harap demikian," kata Esmeralda dengan suara hampa.

Orang-orang membantunya berdiri karena dia hampir tak bisa berdiri lagi. Perwira terpaksa menggendongnya keluar, di sepanjang

Page 77: Si Bongkok Dari Notre-dame

lorong sampai ke kamar di mana dia harus tinggal sampai hari kematiannya di tiang gantungan.

Page 78: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 13 Jalan Untuk Lolos

JAUH di bawah tanah ada ruangan-ruangan tempat menahan

para terhukum secara terpisah, selama menunggu kematiannya. Kamar-kamar itu kecil dan saling berjauhan. Tak ada bunyi yang

dapat didengar, dan para terhukum itu tak dapat membedakan siang dari malam karena kamar-kamar itu tak berjendela. Dinding-dinding

dan lantai-lantainya basah, dan dingin seperti es. Waktu Esmeralda mendengar tentang kematian Phoebus,

hidupnya seolah-olah kehilangan matahari. Dia tak punya keinginan untuk hidup lagi.

Masa telah berhenti baginya. Kamar yang ditempatinya dingin

gelap seperti kuburan. Waktu pintu yang tebal itu terbuka, dia semula tidak tahu. Kemudian matanya terasa silau, kemudian baru dilihatnya

bahwa di kamar itu ada lampu, seorang laki-laki memegang lampu itu. Perlahan-lahan dia mulai berpikir dan akhirnya dia berbicara.

"Siapakah Anda?" tanyanya. "Seorang imam."

Dia merasa takut, karena suara itu bergema dalam ingatannya, tapi dia tak bisa ingat suara siapa itu. Suara itu berkata lagi,

"Sudah siapkah kau?" "Siap untuk……untuk apa?"

"Siap untuk mati," katanya. "Akan segerakah?" tanya Esmeralda. "Besok."

"Mengapa tidak hari ini saja?" bisiknya. "Apakah arti perbedaan sehari bagi mereka?"

"Sedih sekalikah kau?"

Page 79: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Saya dingin sekali," sahutnya. Imam itu memandang Esmeralda yang duduk di lantai yang

basah. Tangannya kurus dan kotor, dan perlahan-lahan digosok-gosoknya kakinya dengan tangannya yang kurus itu.

"Tanpa penerangan!" katanya. "Tanpa perapian! Dan seluruh kamar basah, mengerikan sekali!"

"Ya," bisik Esmeralda. "Semua orang menikmati siang hari. Mengapa saya hanya diberi malam?"

"Tahukah kau mengapa kau berada di sini?" "Saya rasa saya pernah tahu," jawab Esmeralda, lalu

dipejamkannya matanya dan berpikir, "tapi sekarang saya tak tahu. Saya tak ingat."

Lalu dia menangis seperti anak kecil. "Saya ingin pergi dari sini," kata Esmeralda. "Saya kedinginan

dan takut."

"Kalau begitu, ikut aku." Imam itu memegang lengannya, dan meskipun dia merasa

dingin, dirasanya tangan imam itu dingin seperti es. "Tangan kematian!" bisiknya, "siapakah Anda?"

Claude Frollo mendekatkan lampu itu ke mukanya lalu berlutut dekat Esmeralda. Esmeralda memandangnya, lalu matanya ditutupnya

rapat-rapat dengan tangannya, dan dia gemetar ketakutan. "Imam!" serunya, "andalah imam itu!" dan dia mencoba

menjauh darinya. "Mengapa kau memandangiku begitu?" tanya Frollo. "Mengapa

kau begitu takut?" Esmeralda tak menjawab. "Mengapa?" tanyanya lagi.

"Andalah imam itu," bisik Esmeralda, "imam yang membunuhnya — membunuh Phoebus-ku!" lalu dia menangis.

Page 80: Si Bongkok Dari Notre-dame

Kemudian dia berkata dengan air mata bercucuran, "Apa yang telah kuperbuat terhadap Anda? Mengapa Anda membenciku?

Pernahkah saya menyakiti Anda?" "Aku cinta padamu!" seru imam itu.

Dia tiba-tiba berhenti menangis, dipandanginya imam itu dengan mata hampa, seakan-akan dia gila.

"Adakah kau dengar? Aku cinta padamu!" seru imam itu lagi. "Cinta yang bagaimanakah cinta Anda pada saya itu?" bisiknya.

"Cinta seseorang yang telah kehilangan pegangan!" Mereka diam beberapa lamanya, lalu akhirnya berkatalah imam

itu dengan suara yang tenang tapi aneh, "Dengarkan akan kuceritakan segalanya, juga semua rahasia yang selama ini kusembunyikan bahkan

terhadap diriku sendiri….kecuali pada jam-jam sunyi-sepi malam hari bila keadaan begitu gelap hingga Tuhan hampir tak dapat melihat kita. Dengarkan. Sebelum aku bertemu denganmu aku bahagia...."

"Saya pun berbahagia waktu itu!" sahut Esmeralda. "Aku harus berbicara denganmu," kata Frollo, "aku harus

menceritakan segalanya padamu. Aku semula bahagia, jiwaku penuh cahaya...."

Imam itu berbicara terus, tapi Esmeralda tak mendengarnya. Dia terlalu lemah untuk mendengarkan cerita yang mengerikan

tentang nafsu imam itu terhadapnya. Imam itu bercerita terus, sambil berlutut di dekatnya di lantai yang dingin dan basah. Esmeralda tak

merasa apa-apa, tak melihat apa-apa, kecuali suatu dinding awan kelabu yang rasanya ditutupkan ke matanya. Kemudian akhirnya

semua kata-kata imam itu masuk ke pikirannya. "Aku membunuhnya demi kau!" serunya, "demi kau! Aku bisa

menyelamatkanmu. Ikutlah dengan aku sekarang aku cinta padamu!

Kita bisa hidup berdua di suatu kota kecil jauh dari sini. Kita berdua bisa berbahagia!"

Page 81: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Aku benci padamu," bisik Esmeralda. "Tenagaku tinggal sedikit, tapi aku membencimu dengan seluruh tenaga yang tersisa itu!

Aku membencimu sekarang. Besok pun aku membencimu, padahal besok aku akan mati. Jadi akan kubawa rasa benciku padamu untuk

selamanya." Dipejamkannya matanya, lalu dia bersandar ke dinding. Imam itu melompat berdiri sambil memekik seperti binatang

luka. Esmeralda seperti tidak mendengar waktu imam itu mengumpatnya.

Ditinggalkannya Esmeralda dengan membanting pintu kamar itu, tapi Esmeralda tetap tak bergerak. Waktu berlalu. Kemudian,

perlahan-lahan digerakkannya tangannya dan dia mulai menggosok-gosok kakinya.

"Dingin benar aku — dingin benar!" katanya berulang-ulang, dan air matanya meleleh di pipinya.

Page 82: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 14 Tali

”MENYINGKIRLAH!” teriak Suster Gudule dari jeruji besi

Lubang Tikusnya. "Kepalamu yang bebal itu menghalangi pemandanganku, Anak muda!"

"Ya, ya baiklah perempuan tua, masih belum ada yang akan dilihat." Namun prajurit itu menyingkir juga. "Gerobak itu belum lagi

membelok di tikungan." "Kalau dia membelok, tolong beritahu aku. Tak banyak yang

dapat dilihat dari jendela ini, aku tak mau kehilangan kesempatan melihat gipsy itu pergi ke tiang gantungan."

"Keras benar hati Anda, Suster Gudule, sekeras batu!" kata

prajurit itu. "Kau tak tahu apa-apa tentang hatiku atau apa yang telah

ditanggungnya, jadi urus saja urusanmu sendiri!" "Jaga sopan santunmu, perempuan tua!" kata prajurit itu, dan

dia lalu berdiri di depan jendela hingga suster itu tak bisa melihat. "Jaga sopan santunmu, kalau tidak, aku akan tetap berdiri di sini

sepanjang siang ini!" Orang-orang yang berada di dekat situ tertawa. "Betul itu!"

teriak seorang laki-laki gemuk. "Ajar dia supaya tahu sopan santun, Prajurit!"

"Dia sudah terlalu tua untuk belajar," kata temannya. "Tuh dia!" teriak seorang wanita jangkung yang berdiri di dekat

mereka, dan semua orang menoleh ke arah tikungan, "gerobak yang

membawa tukang sihir itu datang!" Orang-orang terdiam waktu gerobak itu mendekat. Gerobak itu

ditarik oleh seekor kuda besar berwarna kelabu, dan serdadu-serdadu

Page 83: Si Bongkok Dari Notre-dame

berpakaian merah dan kuning menunggang kuda di kiri kanannya. Mereka membawa salib putih.

"Aku tak bisa melihat," teriak Suster Gudule, "menyingkirlah!" "Tutup mulutmu," kata prajurit tadi, tapi dia menyingkir juga.

Kalau Anda bicara sepatah kata saja lagi, saya akan kembali, lihat saja!"

Suster Gudule memegang jeruji dan berdiri berjingkat supaya bisa melihat, tapi dia tak cukup tinggi dan dia tak bisa melihat

Esmeralda. Gadis malang itu duduk dengan sedapat mungkin merendahkan

dirinya dalam gerobak, untuk menyembunyikan dirinya dari orang banyak. Tangan dan kakinya diikat dan kepalanya ditundukkannya

saja karena malu. Dia mengenakan baju putih, dan rambutnya yang hitam terurai di bahunya. Orang di tiang gantungan akan segera memotong rambut itu, tapi kini rambut itu ditiup angin. Ketika rambut

itu tertiup-tiup angin, sekali-sekali terlihat rantai perak dan kantong sutera hijau yang masih tergantung di lehernya. Matahari musim salju

yang pucat muncul sebentar dan kaca hijau di kantong bersinar cemerlang.

Derap kaki kuda mengeluarkan bunyi — Plok! Plok! Plok! — sementara mereka melewati alun-alun, dan roda-roda gerobak

gemeratak di atas batu, tapi orang-orang tidak bersuara. Mereka merasa kasihan sekali pada gadis yang seperti anak kecil yang letih

dan sesat yang duduk di lantai gerobak itu. Wajahnya seputih bajunya, dan dia kelihatan seperti setengah tidur.

"Kelihatannya dia membunuh seekor tikus pun tak sanggup!" kata seorang prajurit. "Aku tak yakin dia telah membunuh Kapten Phoebus."

"Pasti dia yang membunuhnya," kata wanita jangkung tadi, "dengan ilmu sihir."

Page 84: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Seorang tukang sihir perlu tubuh yang kuat," kata laki-laki gendut.

"Sumber kekuatannya adalah roh jahatnya," sahut wanita tadi, "tapi dia memang kelihatan lemah sekali."

"Mana dia?" teriak Suster Gudule "Adakah dia dalam gerobak itu? Adakah dia di situ, kasihan

benar gadis kecil yang malang itu," jawab prajurit. "Hei gipsy, dengarkan," teriak perempuan tua itu dari Lubang

Tikusnya, "dengarkan kutukan seorang ibu yang bayinya telah dicuri rumpun bangsamu yang jahat itu!"

Prajurit itu berpaling dengan marah pada Suster Gudule. Dimasukkannya pedangnya ke celah jeruji jendela hingga ujungnya

hampir mengenai dadanya yang pipih. "Tutup mulutmu, kalau kau masih mau hidup!" bentaknya. Suster Gudule melepaskan jeruji itu lalu berlutut di lantai

Lubang Tikus, supaya pedang panjang itu tak bisa mencapainya lagi. "Bawa serta kutukan ke tiang gantungan!” teriaknya, "bawa

serta kutukanku sampai matimu!" Suaranya terdengar lantang, kejam dan keras, tapi Esmeralda seolah-olah tak mendengarnya.

"Diam!" teriak orang-orang dekat Lubang Tikus itu,"sudah cukup penderitaan gadis itu."

Dari gerobak terdengar jeritan binatang yang kesakitan. "Itu kambingnya," kata wanita jangkung itu. 'Dia tahu bahwa

dia akan dibunuh bersama majikannya." Djali terbaring di kaki Esmeralda. Kakinya terikat menjadi satu,

dan dia hanya dapat menggoyang-goyangkan kepalanya. Kini pun dia sedang berbuat demikian, digoyang-goyangnya dari kiri ke kanan, dan dia mengembik karena tali itu melukai kakinya.

"Djali yang malang! bisik Esmeralda, "tapi hidup kita berdua akan segera berakhir, dan kita akan mendapat kedamaian."

Page 85: Si Bongkok Dari Notre-dame

Pintu-pintu Notre-Dame yang besar terbuka. Di alun-alun di mana banyak orang berkumpul dan menunggu di samping tiang

gantungan terdengar suara nyanyian sedih dan lambat dari gereja. Sebarisan imam keluar melalui pintu-pintu itu. Mereka semua

berpakaian hitam. Mereka berjalan lambat dan bergerak menuruni tangga seperti seekor ular gemuk, ke antara barisan orang-orang

banyak. Mata semua orang tertuju ke arah gerobak itu, tak seorang pun

yang mengangkat muka, melihat ke bagian atas pintu-pintu Notre-Dame. Di sana, di antara patung-patung batu berdirilah seorang aneh.

Dia memegang seutas tali, dan ujungnya diikatkannya pada sebuah pilar batu. Ujung yang satu lagi dijuntaikannya ke alun-alun, di

sepanjang dinding batu yang kelabu. Setelah tali itu terpasang seperti yang diingininya, laki-laki itu

berdiri diam. Dia adalah Quasimodo, dan mukanya sama jeleknya

dengan gargoyle — yaitu makhluk-makhluk aneh yang terpahat pada batu dan yang mulutnya menjadi saluran air hujan dari atap Notre-

Dame. Beberapa ekor burung terbang melalui si bongkok, dan dia tersenyum sambil memandangi alun-alun di bawahnya.

Gerobak berhenti di depan tangga, dan empat orang melepaskan tali-tali yang mengikat Esmeralda dan Djali. Kambing itu mengembik

kegirangan ketika dia dapat menggerakkan kakinya lagi, tapi Esmeralda memandang imam-imam di hadapannya dengan mata

ngeri. Frollo ada di antara mereka. Mukanya putih sepucat orang mati dan matanya merah seperti api.

Esmeralda melihatnya, dan dia hampir pingsan. Dia hampir jatuh, tapi dua orang memegangnya dan mengangkatnya dari gerobak. Orang-orang lain mengangkat kambingnya, dan menaruhnya di

sampingnya. Nyanyian dari Notre-Dame berakhir, dan Esmeralda serta Djali berdiri dan melihat ke dalam gereja yang besar dan gelap

Page 86: Si Bongkok Dari Notre-dame

melalui pintu-pintunya yang terbuka. Para imam mulai berdoa, suara bersama mereka terdengar seperti badai di laut.

Tiba-tiba si bongkok memegang tali dengan kedua belah tangannya, dijepitkannya di antara lutut dan kakinya dan dia meluncur

ke bawah secepat monyet. Dia menjatuhkan diri di tangga, berlari di antara para imam dan berdiri di hadapan Esmeralda. Dengan

tangannya yang besar dan kuat, sebentar saja dia menjatuhkan kedua orang yang memegang Esmeralda, lalu dengan tangan sebelah dia

mengangkat Esmeralda dan dengan tangan sebelah lagi mengangkat Djali, kemudian berlari menaiki tangga-tangga Notre-Dame selincah

kucing. Dalam gereja, semua orang bebas dari undang-undang. Tak

seorang pun berhak mengganggu gugat gipsy dan kambing itu di dalam Notre-Dame. Mereka selamat selama mereka berada di dalamnya.

"Dia selamat di sini!" kata Quasimodo setelah dia memasuki pintu. Diangkatnya Esmeralda ke atas kepalanya lalu dia berteriak,

"Dia selamat!" "Dia selamat! Dia selamat!" ulang orang banyak hiruk-pikuk.

Keributan itu menyebabkan Esmeralda membuka matanya. Dia memandang Quasimodo, lalu cepat-cepat memejamkan matanya lagi,

karena si bongkok yang telah menyelamatkan jiwanya itu terlalu mengerikan untuk dilihat. Kepalanya yang besar dan berambut lebat

itu seperti kepala singa. Quasimodo menggendong Esmeralda dengan sangat hati-hati seolah dia takut Esmeralda akan pecah. Dia seakan-

akan menyadari bahwa sesuatu yang seindah itu tak sesuai dengan tangannya yang kasar.

Kemudian tiba-tiba didekapnya Esmeralda erat-erat ke dadanya

yang buruk, seolah-olah gadis itu adalah harta miliknya sendiri, seorang anak yang berharga. Quasimodo mendekapnya seperti

Page 87: Si Bongkok Dari Notre-dame

seorang ibu mendekap anaknya. Ditatapnya wajah gadis itu, dengan sedih dan iba.

Sedang di luar, di alun-alun, orang banyak melihat seolah-olah tubuh Quasimodo yang mengerikan itu memancarkan keindahan

tersendiri. Para wanita tertawa dan menangis, sedang yang laki-laki bersorak-sorai. Dia baik sekali. Dia anak bongkok yang tak berayah-

ibu, yang telah dibuang orang banyak, kini merasa bahwa dia kuat dan hebat. Dia memandang ke bawah ke wajah orang-orang yang telah

melarangnya untuk hidup bersama mereka. Dia telah mengalahkan kekuatan undang-undang mereka dengan tenaga gaib Tuhannya.

Quasimodo berlari masuk lebih jauh ke dalam gereja dengan Esmeralda dalam gendongannya. Kambing mengikuti mereka. Tanduk

dan kakinya bersinar keemasan dalam gelapnya Notre-Dame. Orang-orang banyak berdiri diam dan ingin tahu apa yang akan

terjadi lagi. Lalu si bongkok muncul lagi. Dia berada di ujung lorong

jauh di atas pintu-pintu. Diacungkannya gadis itu tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Dia selamat!" Orang-orang banyak mengulangi teriakannya

itu. Dia menghilang, dan sejenak kemudian dia menampakkan

dirinya di tempat yang lebih tinggi, sambil menggendong Esmeralda seolah-olah dia seringan sekuntum bunga. Orang banyak berteriak

kegirangan lagi, dan Quasimodo menghilang lagi. Mereka melihatnya untuk ketiga kalinya ketika dia berada di

puncak menara lonceng besar. Dari sana seolah-olah akan memperlihatkan gadis itu pada seluruh kota. Terdengar lantang

suaranya meneriakkan pekik kemenangan, "Aman! Aman! Aman!" Orang banyak membalas pekik itu dengan kegirangan yang

meluap-luap sampai-sampai menggetarkan jeruji Lubang Tikus di mana Suster Gudule terus meneriakkan kutukannya.

Page 88: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 15 Di Atas Kota

QUASIMODO membawa Esmeralda ke sebuah kamar kecil di

bawah atap menara. Selama berada dalam gendongan Quasimodo, Esmeralda merasa seolah-olah dia terbang dalam tidurnya. Sekali-

sekali didengarnya suara si bongkok tertawa nyaring dan suaranya yang kasar. Rasanya suara itu adalah suara dalam mimpinya.

Esmeralda membuka matanya sedikit dan dilihatnya atap-atap rumah di kota Paris, jauh di bawahnya. Waktu dia kemudian memandang ke

atas dilihatnya muka si bongkok yang jelek berseri-seri karena kegirangan. Esmeralda memejamkan matanya lagi dan berpikir, "Mungkin aku sudah mati di tiang gantungan dan rohku sedang

dibawa oleh suatu makhluk aneh — suatu roh dari dunia lain." Quasimodo membaringkannya di kamar kecil itu. Esmeralda

terbangun. Kini mata dan pikirannya bisa bekerja lagi. Dilihatnya bahwa dia berada di menara. Dia ingat bahwa dia tadi telah

dibebaskan dari orang-orang yang akan membunuhnya. Dia berpaling pada Quasimodo.

"Mengapa kau selamatkan aku?" tanyanya. Quasimodo tampak heran, seolah-olah dia mencoba memahami apa yang dikatakan

Esmeralda. "Mengapa kau menyelamatkan aku?" tanya Esmeralda lagi.

Quasimodo memandangnya dengan sedih sekali, lalu pergi. Esmeralda keheranan, dia tak tahu bahwa Quasimodo tuli. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa pakaian

yang diletakkannya dekat kaki Esmeralda. Seorang wanita yang baik hati telah meletakkan pakaian itu di tangga Notre-Dame. Esmeralda

Page 89: Si Bongkok Dari Notre-dame

melihat ke dirinya sendiri dan dilihatnya bahwa dia hanya memakai baju putih yang tipis. Dia membelakangi Quasimodo.

Rupanya Quasimodo mengerti. Tangannya yang besar ditutupkannya ke matanya lalu dia keluar dari kamar itu. Esmeralda

mengenakan pakaian itu sederhana namun hangat. Baru saja dia selesai, Quasimodo sudah kembali. Tangan

sebelahnya menjinjing sebuah keranjang sedang di tangan yang sebelah lagi dia mengepit alat-alat tidur. Dalam keranjang itu terdapat

sebuah botol, roti dan makanan lainnya. Diletakkannya keranjang itu ke lantai dan dia berkata, "Makan." Alat-alat tidurnya

dibentangkannya lalu berkata, "Tidur." Yang dibawa si bongkok itu adalah makanan dan alat tidurnya

sendiri. Esmeralda mengangkat matanya memandang Quasimodo akan mengucapkan terima kasih, namun kata-kata itu tak terucapkan. Laki-laki itu jeleknya bukan kepalang!

"Kau takut padaku," kata si bongkok. "Aku jelek sekali ya? Jangan lihat aku, dengarkan saja aku. Siang hari kau harus tetap

tinggal di sini, malam hari kau bebas berjalan ke mana saja dalam gereja ini. Tapi jangan keluar gereja barang selangkah jua pun, baik

siang maupun malam. Kau akan tersesat. Mereka akan membunuhmu, dan aku akan mati."

Perlahan-lahan Esmeralda mengangkat kepalanya akan menjawab, tapi dia sudah tiada. Setelah tinggal seorang diri,

Esmeralda mengingat lagi kata-kata aneh yang diucapkan makhluk jelek itu, dan tentang suaranya, begitu kasar namun begitu lembut.

Kemudian Esmeralda melihat-lihat kamarnya. Kamar itu hanya cukup untuk sebuah tempat tidur, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada sebuah jendelanya terulur kepala tiga ekor binatang dari batu yang

menyalurkan air ke luar melalui lehernya yang panjang. Binatang-binatang gargoyle itu jelek, namun jauh kurang jeleknya daripada si

bongkok.

Page 90: Si Bongkok Dari Notre-dame

Jauh dari atap gereja, Esmeralda melihat banyak cerobong asap, yang mengepulkan asap api dari kota Paris. Dibayangkannya

keluarga-keluarga yang duduk mengelilingi perapian di rumah mereka, dan dia merasa sedih seorang diri, tak bisa meninggalkan

kamar itu siang hari dan tak boleh meninggalkan gereja siang maupun malam. Dia duduk di atas tempat tidur dan berpikir-pikir apa yang

akan terjadi atas dirinya. Tiba-tiba dirasanya suatu kepala berbulu digesek-gesekkan di

tangannya. Esmeralda memandang kepala itu. Rupanya Djali. Diciumnya kepala kambing itu, "Djali sayang," katanya, "aku sampai

lupa padamu, namun kau tetap ingat padaku!" Pada saat itu juga, seolah-olah ada tangan yang tak kelihatan

mengangkat pintu bendungan yang selama ini menahan air matanya, dia pun menangis dan dengan mengalirnya air matanya, dirasanya kesedihannya yang paling menusuk ikut mengalir meninggalkan

dirinya. Ketika malam tiba, malam baginya begitu indah, cahaya bulan

begitu lembut. Dia berjalan-jalan di menara dan melihat ke bawah ke kota yang sedang tidur. Bumi kelihatan begitu tenang bila ditinjau dari

tempat yang tinggi. Dia merasa agak bahagia lagi, berada di bawah langit yang berbintang, sedang kota berada begitu jauh di bawah

kakinya. Keesokan paginya sinar cerah matahari yang baru terbit

memancar melalui jendela menyinari muka Esmeralda. Bersamaan dengan matahari, Esmeralda melihat sesuatu yang lain di jendela,

sesuatu yang menjadikannya takut. Wajah Quasimodo yang jelek. Esmeralda memejamkan matanya lagi ketakutan, tapi dia mendengar suatu suara kasar berkata sangat lembut,

"Jangan takut. Aku sahabatmu. Aku datang untuk melihat kau tidur. Kau tidak keberatan, bukan, kalau aku datang dan melihatmu

tidur? Bukankah tidak apa-apa kalau aku di sini, sedang kau

Page 91: Si Bongkok Dari Notre-dame

memejamkan matamu? Aku akan pergi sekarang. Nah! Aku bersembunyi di balik dinding, sekarang kau boleh melihat matahari

lagi." Esmeralda merasa terharu oleh suara Quasimodo yang sedih.

Dibukanya matanya dan memang Quasimodo tak ada lagi di jendela itu. Esmeralda pergi ke jendela dan dilihatnya si bongkok

menyelipkan dirinya di dinding. Dikuatkannya dirinya untuk mengatasi rasa mual yang timbul begitu melihatnya.

"Kemarilah," kata Esmeralda padanya lembut. Dari gerak bibirnya, Quasimodo menyangka bahwa Esmeralda menyuruhnya

pergi. Ditutupnya matanya dengan tangannya, dan dia menjauh. "Kataku, kemarilah!" ulang Esmeralda, tapi si bongkok menjauh terus.

Lalu Esmeralda berlari keluar dari kamar, bergegas mendatanginya dan memegang lengannya. Merasakan sentuhan tangan Esmeralda, seluruh tubuh Quasimodo gemetar. Dipandanginya

Esmeralda dengan matanya yang satu itu dengan penuh kesedihan. Tapi ketika dilihatnya bahwa Esmeralda mencoba menariknya untuk

mendekatinya, mukanya bersinar kesenangan. Esmeralda mengajaknya masuk ke kamarnya, tapi dia tak mau.

Djali berdiri saja di pintu, sedang Esmeralda duduk di tempat tidur sambil memandanginya. Setiap saat dilihatnya suatu segi

keindahan pada tubuhnya yang buruk itu. Quasimodo-lah yang mula-mula memecah kesepian."Jadi

benar-benarkah kau menyuruhku kembali?" "Ya," kata Esmeralda.

Quasimodo mengerti apa maksudnya dari anggukan kepalanya saja. Kemudian dia berkata lagi sedih dan perlahan,

"Aku — aku tuli."

"Kasihan benar kau!" kata gipsy itu dengan suara penuh iba. "Ya, aku tuli. Begitulah aku diciptakan. Aku jelek sekali.

Sedang kau — kau begitu cantik."

Page 92: Si Bongkok Dari Notre-dame

Suaranya kedengaran begitu sedih hingga Esmeralda tak sampai hati untuk mengucapkan sepatah kata pun. Si bongkok berkata

lagi, "Aku tak pernah menyadari diriku sebelum ini. Bagimu aku tentu seperti binatang saja. Sedang kau — kau seperti seberkas sinar

matahari, sekuntum bunga, seekor burung. Aku ini — aku bukan manusia, tapi bukan pula binatang."

Lalu dia tertawa, dan suara tawanya ituiah yang paling menyedihkan. Dia berkata lagi, "Ya, aku tuli, tapi kau bisa berbicara

memakai isyarat denganku. Aku punya majikan yang berbicara dengan cara demikian denganku. Maka dalam waktu singkat aku akan

tahu apa yang kauingini dari gerak bibirmu, dan dari caramu memandangku."

"Kalau begitu coba ceritakan, mengapa kau menyelamatkanku," kata Esmeralda sambil tersenyum.

Si bongkok memperhatikannya dengan teliti sementara dia

berbicara. "Aku mengerti," sahutnya. "Kau bertanya mengapa aku

menyelamatkan kau. Kau telah melupakan seorang malang yang jahat, yang pada suatu malam mencoba melarikanmu — pada makhluk

malang yang sama itu pula kauberikan bantuan pada esok harinya, waktu dia berada di ruang siksaan yang mengerikan itu, berupa air dan

rasa belas kasihan. Untuk itu tak cukup kalau kubalas dengan hidupku saja. Kau telah melupakan makhluk malang itu, tapi dia ingat."

Laki-laki aneh ini menimbulkan rasa sedih Esmeralda. Quasimodo mulai menjauh. Esmeralda memberikan isyarat supaya dia

jangan pergi. "Tidak, tidak, aku tak boleh tinggal terlalu lama. Hanya karena

kau kasihan padaku sajalah maka kau tidak membuang muka. Aku

akan pergi ke suatu tempat dari mana aku bisa melihatmu tanpa kau bisa melihatku, cara itu lebih baik "

Dari sakunya dikeluarkannya sebuah peluit kecil dari logam.

Page 93: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Ini," katanya, "kalau kau membutuhkan aku atau kalau kau ingin aku datang, tiuplah peluit ini. Aku bisa mendengar bunyinya."

Diletakkannya peluit itu di lantai lalu dia pergi.

Page 94: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 16 Rencana Serangan

WAKTU berlalu, dan jiwa Esmeralda perlahan-lahan menjadi

tenang kembali. Kesedihan yang terlalu besar, tak bisa bertahan lama, sebagaimana halnya kegembiraan yang terlalu besar. Hati kita tak kuat

menanggungnya. Keindahan Notre-Dame membantu penyembuhan luka hatinya.

Dia mendengarkan nyanyian-nyanyian khidmat, dan mulai melupakan rasa sakitnya. Musik yang agung menjadikannya ingin hidup lagi, dan

bila orang-orang di gereja menyanyi, dia ingin menyanyi pula. Tapi yang paling disukainya adalah suara lonceng-lonceng. Bunyinya mengaliri pikirannya dan dia merasa terhibur.

Tak pernah dia meniup peluit yang diberikan Quasimodo padanya, tapi dia sering datang selama hari-hari pertama, meskipun

tak dipanggil. Dia membawakan keranjang makanan dan botol air minum. Tapi gerakan terkecil yang dibuat Esmeralda untuk berpaling

dari dirinya dapat dirasakannya dengan segera, dan dalam keadaan demikian dia pergi dengan sedih.

Pada suatu hari dia datang pada saat Esmeralda sedang bermain-main dengan Djali. Beberapa saat lamanya dia berdiri,

memandangi keserasian gadis dan binatang itu. Akhirnya dia berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar dan jelek itu,

"Buruk benar nasibku, aku lebih menyerupai manusia. Betapa senangnya kalau aku benar-benar merupakan seekor binatang, seperti kambing umpamanya."

Esmeralda memandangnya dengan heran. Melihat keheranan Esmeralda itu, dia berkata lagi, "Mungkin

kau tak bisa mengerti, tapi aku — aku tahu betul!" lalu dia pergi.

Page 95: Si Bongkok Dari Notre-dame

Pada kesempatan lain dia tiba di pintu kamar waktu Esmeralda sedang menyanyikan sebuah lagu Spanyol tua. Dia tak tahu apa arti

kata-katanya, tapi dia masih ingat karena waktu dia masih kecil, perempuan gipsy selalu menyanyikan lagu itu untuk menidurkannya.

Melihat wajah jelek Quasimodo, yang datang tiba-tiba di tengah-tengah nyanyiannya itu, Esmeralda menghentikan nyanyiannya

dengan sikap ketakutan. Quasimodo mengatupkan kedua tangannya yang jelek, lalu

berseru, "Teruskan, kumohon! Jangan suruh aku pergi." Esmeralda tak

mau menyakiti hatinya, dia meneruskan nyanyiannya. Rasa takutnya perlahan-lahan hilang, dan dalam meresapi keindahan lagu itu dia

melupakan Quasimodo. Selama itu Quasimodo diam dengan sikap seperti semula yaitu seperti orang berdoa. Dia seolah-olah takut bernafas dan menatap mata Esmeralda seolah-olah dia dapat membaca

lagu itu di sana. Pada peristiwa lain dia mendatangi Esmeralda seperti orang ketakutan.

"Dengarkan," katanya, seolah-olah dia harus berjuang untuk mengucapkan kata-katanya. "Ada sesuatu yang harus kukatakan

padamu." Esmeralda memberi isyarat bahwa dia mendengarkan.

Quasimodo membuka mulutnya sedikit akan berbicara, kelihatan berpikir sebentar, lalu menggeleng dan kemudian pergi perlahan-

lahan, sambil menutup matanya dengan tangannya. Esmeralda merasa heran.

Di antara makhluk-makhluk gargoyle di luar jendela Esmeralda, Quasimodo paling menyukai semacam binatang yang aneh. Dia seringkali memandanginya seakan-akan binatang itu dapat mengerti

apa yang dikatakannya. Pada suatu kali Esmeralda mendengar dia berkata pada binatang itu,

"Mengapa aku tidak terbuat dari batu seperti kau?"

Page 96: Si Bongkok Dari Notre-dame

Belas kasihan yang dirasakan Esmeralda terhadap Quasimodo, mengusir rasa takutnya terhadap laki-laki lain. Dia mulai melupakan

algojo penyiksa dan imam yang matanya mengerikan. Tapi imam dengan mata yang mengerikan itu tidak

melupakannya. Berjam-jam setiap hari dia mengurung dirinya dalam kamarnya di antara buku-bukunya dan berjuang melawan

keinginannya untuk mendatanginya. Padahal, dia ada di menara di sebelahnya dalam gedung yang sama!

Meskipun dia sering pergi mematai-matainya, dia tak pernah berani menampakkan dirinya. Dia bersembunyi di tempat-tempat

gelap dan memperhatikannya bila dia berjalan-jalan dalam gereja malam hari. Disembunyikannya dirinya di tangga dan diperhatikannya

Quasimodo yang mengunjunginya siang hari. Siang malam pikirannya dipenuhi oleh bayangan Esmeralda.

"Lihat bagaimana si bongkok itu memandangnya!" gumamnya

sendiri pada suatu petang waktu dilihatnya mereka sedang berdua. "Pandangan seperti itu kulihat juga ketika dia mencoba

melarikannya dan Kapten Phoebus menghalang-halanginya. Dan lihat pula bagaimana gadis itu memandang Quasimodo!"

Air muka Esmeralda yang manis mengandung iba menjadikan Frollo marah sekali. Ingin dia berlari mendatangi mereka,

menghantam si bongkok dan memeluk gadis itu. Tapi dia tahu itu tak mungkin, dan dengan berlari dia menuruni tangga masuk ke gereja.

Nyanyian yang indah itu terdengar bagaikan bunyi yang jahat baginya, dan dia berlari menjauhkan dirinya naik ke kamarnya sendiri seperti

orang gila. Malam itu mimpinya lebih mengerikan daripada biasanya. Ada seorang laki-laki lain yang bermimpi buruk pula tentang

Esmeralda, dia adalah Gringoire si penyair. Dia ada di antara orang-orang banyak waktu Quasimodo melarikan Esmeralda dan Djali

masuk ke Notre-Dame.

Page 97: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Syukurlah!" seru Gringoire waktu dilihatnya bahwa Esmeralda selamat, dan dia berteriak kegirangan sampai suaranya habis.

Kemudian dia mulai berpikir-pikir bagaimana dia bisa menemukannya kembali.

"Aku suaminya," katanya sendiri, "dan aku harus mencoba untuk memperolehnya kembali. Dia tak bisa menghabiskan sisa

hidupnya di Notre-Dame! Aku harus mencoba menemukannya kembali."

Setiap hari dia pergi ke gereja untuk mencarinya, tapi ia tak pernah melihatnya. Dicobanya pula menemukan Quasimodo, tapi si

bongkok itu tak pernah turun dari menara bila Gringoire ada di sana. Juga Claude Frollo agaknya sudah menghilang.

Dalam mimpinya, Gringoire sering melihat Esmeralda dalam pelukan si bongkok, maka dia berteriak dan bangun. Ditinggalkannya tempat tidurnya dan dia bergumam,

"Sesudah mimpi seburuk itu, aku tak akan bisa tidur lagi malam ini. Sebaiknya aku pergi berjalan-jalan saja sampai pagi." Berjalanlah

dia dalam gelap, di kota yang sepi itu. Tanpa disadarinya dia berjalan ke arah Notre-Dame.

"Tentunya nasib yang membawaku ke mari!" bisiknya, waktu didapatinya dia telah berada di luar gereja itu, " aku yakin aku akan

menemukan Esmeralda sekarang!" Bergegas dia menaiki tangga ke pintu-pintu yang besar, tapi pintu-pintu itu tertutup rapat dan dia tak

bisa menggerakkannya. Tiba-tiba terdengar suatu suara berkata di telinganya,

"Jangan sentuh pintu-pintu itu malam ini, Sahabatku!" Sebuah tangan yang kuat menggenggam lengan Gringoire.

Gringoire gemetar ketakutan memandang dalam gelap akan melihat

tangan siapa gerangan itu.

Page 98: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Kau tidak akan pernah menjadi seorang pencuri yang baik kalau kau tak bisa melihat dalam gelap gulita!" kata laki-laki itu

sambil tertawa kecil. "Siapa kau?" seru Gringoire.

"Rajamu!" kata laki-laki itu, dan mukanya didekatkannya ke arah Gringoire, "bisakah kau melihatku sekarang, Penyair?"

"Ya—ya bisa," kata Gringoire. Orang itu adalah Raja kaum pengemis. Gigi gipsy laki-laki itu putih bersinar waktu dia

menertawakan penyair yang ketakutan itu. "Sedang mencari istrimu yang cantik itukah kau?" tanya sang

Raja. "Benar," sahut Gringoire berbisik. "Tahukah kau' di mana dia?"

"Kau tidak akan menemukannya malam ini," kata Raja, "meskipun aku tahu di mana dia... Mari ikut aku sekarang, akan kuceritakan tentang rencanaku." Dia bergegas menuruni tangga,

dengan terus mencengkam lengan Gringoire. Mereka berjalan tanpa berkata-kata melalui jalan-jalan sampai

mereka tiba di jembatan Saint Michel. Raja kaum Pengemis itu menuntun Gringoire ke tepi air.

"Ini tempat tenang yang baik untuk berbicara," katanya. "Aku tak suka membicarakan tentang rencanaku itu di mana

orang lain bisa mendengarkan. Terutama karena rencanaku adalah untuk mencuri barang-barang dari gereja Notre-Dame yang masyhur

itu." "Mencuri dari Notre-Dame!" bisik Gringoire terkejut.

"Di gereja itu banyak emas, permata-permata dan uang, kata Raja kaum pengemis, "semua barang yang disukai rakyatku dan aku," lanjutnya, "Esmeralda ada di sana, dan kita menginginkannya kembali

ke tengah-tengah kita, bukan?" "Ya, ya!" seru Gringoire.

Page 99: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Akan kita bawa dia keluar dari Notre-Dame besok malam," kata Raja, "dan kita akan membawa cukup banyak emas juga, untuk

menjamin kita sepanjang sisa hidup kita!"

Page 100: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 17 Keributan Malam Hari

MALAM berikutnya tak ada awan di langit, dan bulan bersinar.

Sinar bulan menerangi lantai Notre-Dame yang gelap menjadi berwarna biru seperti laut.

Esmeralda sedang berjalan-jalan di sana dan Djali berada di sampingnya. Gerak-gerik Esmeralda tenang sekali, tapi jejak kaki

Djali yang keemasan bergema tajam di lantai batu itu. Kadang-kadang dia berhenti, diangkatnya kambingnya lalu diciumnya.

"Gereja ini cantik di malam hari, bukan Djali?" bisiknya. "Begitu sepi, begitu tenang, hingga kadang-kadang kurasa aku akan senang tinggal di sini selama-lamanya." Diturunkannya kambing itu

lalu dia mulai berjalan lagi. "Tapi kadang-kadang kuingin bisa keluar ke kota, dan bebas

hidup dengan caraku sendiri," katanya. Dia berhenti lagi, berdiri sambil merenung.

"Rasanya sudah bertahun-tahun aku tak menyanyi di jalan-jalan lagi ya Djali? Aku ingin tahu apakah aku masih bisa menari! Apakah

menurut kau aku masih bisa, sahabat kecilku? Kucoba ya?" Dia mulai menyanyi dan menggerakkan kakinya dengan halus

di atas lantai batu yang dingin dalam gereja itu. Suaranya terdengar kecil dan halus dalam gedung yang besar

itu, dan dia kelihatan begitu kecil waktu dia menari sendiri itu. Dia tersenyum girang ketika menarikan tarian yang selalu diingatnya itu.

Si bongkok memperhatikannya dari tempat yang gelap itu,

mulutnya ternganga lebar. Dia lupa segala-galanya karena senangnya melihat gerak-gerik yang begitu lentur, dan dia mulai melompat-

lompat kesenangan. Gadis itu berputar-putar makin lama makin cepat,

Page 101: Si Bongkok Dari Notre-dame

dan kambing itu mulai menggerakkan kakinya yang keemasan pula. Quasimodo merasa begitu senang hingga dia tertawa nyaring. Dia

tidak mendengar suaranya sendiri, tapi suara tawanya yang aneh, yang serupa dengan bunyi binatang kasar, bergema nyaring dalam gereja

yang kosong. Gadis itu berhenti, tapi dia tidak merasa takut. Dia sudah kenal

benar suara Quasimodo sekarang, hingga tidak lagi ngeri. Dia menoleh sambil tersenyum, dan melihat di mana Quasimodo berdiri.

Lalu dia berlari mendatanginya, diulurkannya tangannya akan menunjukkan bahwa dia senang melihatnya, dan kemudian memegang

tangannya. Djali mengejarnya dan berbaring dekat kakinya. "Mari!" kata Esmeralda, dan ditariknya Quasimodo ke tengah-

tengah gereja. "Akan kutarikan suatu tarian khusus untuk penjaga loncengku

yang baik!"

Wajah Quasimodo penuh kebahagiaan waktu Esmeralda mulai menari dan menyanyi lagi.

Tiba-tiba terdengar bunyi yang kuat dan nyaring di luar pintu-pintu gereja yang besar. Mula-mula Esmeralda tidak mendengar bunyi

itu karena asyiknya menyanyi dan menari, tapi sebentar kemudian dia mendengarnya. Dia berhenti tiba-tiba lalu memandang Quasimodo

dengan ketakutan. Quasimodo tak mengerti mengapa dia berhenti, karena dia tidak mendengar keributan di luar meskipun bunyi itu

makin lama makin nyaring. Kedengarannya seperti orang banyak sedang mencoba merusak pintu-pintu.

"Mengapa tak kauteruskan tarianmu yang indah itu?" tanyanya. "Apakah aku menyebabkan kau takut lagi? Ada apa?"

Esmeralda menunjuk ke pintu-pintu, dan membuat isyarat-

isyarat yang mengatakan apa yang didengarnya. "Mari ikut aku!" teriaknya, segera setelah dia mengerti.

Page 102: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Aku tak tahu siapa itu, tapi aku akan menyelamatkanmu. Jangan takut!". Dipegangnya tangan Esmeralda lalu dibawanya lari ke

arah menara dan menaiki tangga ke kamarnya. Kambingnya menyusul tak jauh dari mereka. "Tetaplah tinggal di situ sampai aku kembali

padamu," teriaknya, lalu dia berlari ke atap dan melihat ke alun-alun di bawahnya.

Alun-alun itu penuh manusia membawa obor, dan ada pula yang berada di tangga Notre-Dame. Mereka sedang mencoba

memecahkan pintu dengan sebatang kayu besar dan panjang, suatu pohon yang besar. Mereka berlari ke pintu-pintu itu berulang kali.

Pintu-pintu itu kuat sekali, dan dilapisi logam, tapi tentu tidak akan kuat menahan orang-orang dengan pohon-pohon itu. Orang-orang itu

berulang-kali berlari menaiki tangga dan menghantam pintu-pintu itu dengan pohon.

"Mereka itu bukan prajurit-prajurit," kata Quasimodo sendiri,

waktu diperhatikannya orang-orang itu. "Siapakah mereka itu? Kelihatannya mereka sangat miskin dan

kasar-kasar. Aku harus menyembunyikan kekasihku terhadap mereka!"

Dia berlari kembali pada Esmeralda. "Aku tak tahu siapa mereka atau apa yang mereka ingini,

katanya pada Esmeralda. Esmeralda sedang duduk di tempat tidur sambil mendekap kambingnya yang ketakutan.

"Tapi aku akan menjaga keselamatanmu, biar pun aku harus mati!"

Dari sakunya dikeluarkannya sebuah kunci. "Hanya ada sebuah kunci lain untuk pintu kamarmu," katanya,

"dan itu disimpan majikanku. Aku harus mengurungmu di sini dan

membawa kunci ini. Segera setelah aku yakin bahwa tak ada seorang pun dalam gereja ini yang akan mengancam keselamatanmu, aku akan

kembali dan membuka pintu ini. Kau akan aman sampai aku kembali."

Page 103: Si Bongkok Dari Notre-dame

Wajahnya penuh rasa kuatir waktu dia berkata-kata itu, namun dia mencoba tersenyum pada Esmeralda sebelum dia meninggalkannya.

Esmeralda mendengar kunci diputar di pintu, dan dia mendekap Djali makin erat.

"Apa yang akan terjadi atas diri kita sekarang? Apa yang akan terjadi?" bisiknya, dan dia memejamkan matanya.

*** Siang hari, orang bekerja memperbaiki atap Notre-Dame.

Mereka pulang senja hari, tapi alat-alat kerja mereka ditinggalkan di menara. Quasimodo berlari di sepanjang atap ke tempat alat-alat

disimpan. Ditemukannya setumpuk batu-batu besar, banyak kepingan logam panjang — logam itu adalah timah hitam yang berat. Ada pula

sebuah tungku besi tempat pekerja-pekerja itu membuat api. Mereka memanaskan timah-timah hitam di api itu lalu menuangkan logam cair itu ke lubang-lubang di atap.

"Inilah yang kuperlukan!" teriak Quasimodo, dan dia tertawa sambil mengangkat batu yang ada di dekatnya. Batu itu berat sekali,

hingga dengan susah-payah sekali dia bisa mengangkatnya tinggi, padahal kekuatannya sama dengan kekuatan tiga orang.

Diangkatnya batu itu di atas kepalanya, dia pergi ke tepi atap lalu dijatuhkannya batu itu ke orang-orang banyak di bawah. Dia tidak

menunggu lagi untuk melihat apa yang terjadi di bawah sebagai akibat perbuatannya itu, melainkan ia lari kembali untuk mengambil sebuah

batu besar lagi dan melemparkannya lagi. Sesudah itu barulah dia berhenti untuk melihat apakah dia berhasil.

Orang-orang banyak kini berada agak jauh, tangga gereja kosong; yang tinggal hanya beberapa tubuh manusia yang terbaring seperti orang mati. Pohon pendorong tadi terletak di tanah, tapi dua

puluh orang keluar lagi dari kumpulan orang banyak, mengangkat pohon itu dan membawanya lari kembali ke tangga.

Page 104: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Sekarang akan kupanasi mereka!" teriak Quasimodo. Dia pergi ke tungku lalu menghidupkan api para pekerja.

Beberapa saat kemudian, asap naik ke udara. Api di tungku mulai menyala besar dan si bongkok membesarkannya dengan

potongan-potongan kayu besar. Kemudian digantungkannya sebuah periuk besar penuh timah hitam di atas api itu.

Di alun-alun di bawah, seseorang yang sedang memegang sebuah pedang panjang menunjuk ke atap dan berteriak,

"Lihat! Kebakaran! Atap itu terbakar!" "Ayo, orang-orang!" teriak Raja kaum pengemis.

"Api telah datang dari langit untuk membantu kita! Dewa ingin menghancurkan gereja! Ayo!"

Orang-orang yang memegang pohon, berlari maju ke tangga, terus ke pintu. Kayu-kayu mulai berderak, tapi besinya hanya cacad sedikit.

"Lagi!" teriak orang-orang itu, "kita hantam lagi!" dan mereka pun berlari-lari lagi ke tangga, bersiap-siap akan membentur pintu

lagi. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh di tengah-tengah pohon itu,

hingga pohon itu terlepas dari tangan mereka, sedang seorang kena dan dia tewas seketika. Tiga orang lainnya tertindih pohon itu, dan

kakinya patah. Terdengar pekik yang dahsyat. Satu lagi batu besar jatuh ke tengah-tengah orang banyak, dan

orang-orang yang sempat menyingkir, lari. "Jangan takut, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja.

"Jangan mau dikalahkan oleh beberapa batu saja! Ayo, maju lagi!" Anak buahnya mengikutinya menaiki tangga sambil berteriak, lalu menghantamkan pohon itu berulang-ulang lagi ke pintu.

"Retak pintunya makin besar!" seru orang-orang yang memegang bagian depan pohon itu.

Page 105: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Lagi! Lagi!" dan mereka maju terus di antara batu-batu yang jatuh bergantian dari atas.

Kalau seseorang kena, yang lain menggantikannya memegang pohon itu, sedang orang yang lain menyingkirkan orang yang kena

tadi. Alun-alun penuh dengan pengemis dan pencuri.

"Sudah mulai terbuka! Sudah mulai terbuka!" teriak seorang laki-laki kecil yang berdiri dekat pintu.

"Tiga kali lagi, dan kita sudah bisa masuk!" "Satu!"

Lubang pada kayu pintu sebelah kiri sudah hampir cukup besar untuk dimasuki seorang anak kecil.

"Dua!" Besi yang melintang pada lubang itu patah dengan bunyi yang nyaring, dan orang banyak bersorak.

Tak ada lagi batu yang jatuh, dan orang-orang yang membawa

pohon berlari dan menghantam pintu dengan sekuat tenaga mereka. "Ingat emas, sahabat-sahabatku!" teriak sang Raja.

"Emas itu akan menjadi milik kita!" "Tiga!"

Orang-orang itu berlari menaiki tangga dengan pohon itu dan menghantam pintu dengan dorongan hebat yang terakhir. Lubangnya

sudah cukup besar untuk dimasuki seorang dewasa. Tapi sebelum ada orang yang sempat masuk, terdengar pekik mengerikan dari orang-

orang yang berada terdekat dengan pintu. Timah panas tercurah ke kepala mereka. Timah cair itu keluar

melalui gargoyle batu yang dibuat untuk menyalurkan air hujan dari atap. Orang-orang itu jatuh, sambil berteriak kesakitan, dan yang tak sempat lolos, mati dalam arus logam yang mendidih. Orang-orang lari

menuruni tangga, sedang timah cair makin lama makin banyak tercurah dari gargoyle itu.

Page 106: Si Bongkok Dari Notre-dame

Orang banyak dapat melihat si bongkok. Suatu sosok hitam yang bergerak di depan api di atas menara. Mereka mengutuknya, tapi

dia tak bisa mendengarnya. "Masih ada cukup timah cair untuk mencegah mereka masuk

selama beberapa menit," katanya. "Sekarang aku akan lari memanggil prajurit-prajurit!"

Dia menuruni atap dan berlari terus di sepanjang lorong ke tempat tali lonceng yang besar. Dengan suatu lompatan dia

menjangkau tali itu lalu menariknya sekuat-kuatnya. Lonceng itu berdentang, dan bunyinya memecahkan kesunyian malam. Quasimodo

tertawa nyaring. "Bunyi itu akan memanggil prajurit-prajurit dan mereka akan

datang!" serunya. Lalu dilepaskannya tali itu. "Sekarang aku akan menyiapkan timah panas lagi!" teriaknya

seperti orang gila sambil lari kembali ke tungku di atas atap.

Dalam perjalanannya ke atas atap itu, dia tiba-tiba berhenti. "Apa itu?" serunya ketakutan. Digelengkannya kepalanya, seolah-olah

tak mempercayai telinganya. Yang didengar adalah bunyi peluit yang tajam, dan bunyi itu melengking seperti pedang yang ditusukkan ke

kepalanya. Sambil berteriak ketakutan dia bergegas lari ke kamar di mana

Esmeralda ditinggalkannya. Esmeralda memerlukan bantuannya! Bunyi peluit itu terdengar lagi dari pintu kamar itu.

Quasimodo tidak membuang-buang waktu. Didorongkannya tubuhnya ke pintu itu, dan pintu itu rusak seketika.

Dia berlari masuk. Imam Frollo sedang berdiri dekat tempat tidur. Dia menoleh ketika si bongkok masuk. Esmeralda yang mukanya seputih salju, terbaring sambil mendekap Djali.

Peluit terjatuh dari bibir Esmeralda waktu Quasimodo masuk. Matanya membelalak ketakutan, sedang mata imam itu tampak liar

terbakar nafsu.

Page 107: Si Bongkok Dari Notre-dame

Quasimodo tidak mengacuhkan Frollo. Imam itu didorongnya ke samping, dia berlutut di tempat tidur, lalu menggendong gadis yang

ketakutan itu. "Kau selamat sekarang!" katanya, "kau selamat bersamaku!"

Esmeralda memejamkan matanya dan berteriak kecil kegirangan.

"Apakah dia mengganggumu?" tanya Quasimodo. "Disentuhnyakah kau?"

"Tidak, tidak!" bisik Esmeralda. "Aku segera memanggilmu begitu dia masuk. Aku tak apa-apa."

Quasimodo tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi dia bisa membaca air muka yang pucat itu, seperti membaca buku saja.

Kini Quasimodo baru mengangkat mukanya memandang imam, yang berdiri saja di situ seperti patung.

Tiba-tiba Frollo berlari cepat melewati si bongkok dengan

berteriak aneh, lalu berlari terus di sepanjang lorong ke atap. Perlahan-lahan Quasimodo berdiri.

"Aku akan kembali," katanya. "Percayalah." Dia pergi menyusul Frollo. Gerak-geriknya penuh keyakinan dan kekuatan yang

dahsyat.

Page 108: Si Bongkok Dari Notre-dame

Chapter 18 Yang Hilang dan Yang Ditemukan

SETELAH timah panas itu berhenti mengalir dari mulut

gargoyle ke tangga Notre-Dame, pencuri-pencuri yang ketakutan tadi mendapatkan keberaniannya kembali.

"Nah, saudara-saudara, sekarang tak ada lagi penghalang antara kita dan emas kita!" teriak Raja gipsY

"Ikut aku!" Diayunkannya pedangnya di atas kepalanya dan dia memimpin

anak buahnya menuju tangga, melalui lorong kecil yang tak dialiri logam cair itu.

"Maju terus, ke tempat emas!" teriak orang banyak, dan mereka

menyusul pemimpin mereka ke dalam Notre-Dame. Di antara orang-orang yang terdepan terdapat Gringoire.

Pada saat itu terdengar teriakan dari belakang orang banyak itu. "Serdadu datang! Serdadu!"

Sebagaimana yang diharapkan oleh Quasimodo, lonceng telah memanggil mereka dan kini para prajurit pengawal memasuki alun-

alun. Prajurit-prajurit itu mengayunkan pedang mereka ke kiri dan ke

kanan, dan banyak pencuri yang terinjak-injak kuda. Darah mulai mengalir. Pekik ketakutan dan kemarahan memenuhi alun-alun.

Di dalam gereja, Raja berteriak, "Mari kita ambil apa yang bisa diambil!" dan dia berlari ke

tempat piring-piring dan cangkir dari emas yang bersinar kena cahaya

obor para pencuri itu. Emas itu menyebabkannya melupakan niatnya untuk membawa lari penari gipsy dari gereja itu.

Page 109: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Semuanya kepunyaan kita, semua emas ini emas kita!" seru orang-orang itu, dan mereka mengambil semuanya yang bisa mereka

bawa. "Cepat ambil semua!"

"Aku tak suka begini," gumam Gringoire sendiri. "Kalau aku tetap di sini, aku akan dianggap pencuri pula.

Saatnya belum tepat untuk mencari istriku. Aku akan keluar lewat jalan lain saja!" Dia berlari ke ujung gereja, di sebelah lain dari alun-

alun. "Seingatku, di sebelah ini ada sebuah pintu kecil," katanya dan

dia bergegas ke tempat itu. "Benar ini dia!" Pintu itu tertutup rapat dengan palang besi. Gringoire menarik

palang besi itu dengan sekuat tenaganya. Dia berhasil. Di langit sudah kelihatan tanda-tanda fajar, waktu dia berlari

keluar dari Notre-Dame dan langsung ke jalan.

*** Setelah Quasimodo meninggalkan Esmeralda di tempat tidur,

dia tetap berbaring di situ beberapa lamanya sambil tetap mendekap Djali untuk menenangkan hatinya. Didengarkannya keributan-

keributan aneh yang memenuhi gereja, dan dia bertanya-tanya keributan apakah itu gerangan. Akhirnya dia bangkit, pergi ke pintu

kamarnya dan melihat ke bawah tangga. Dilihatnya banyak bayangan bergerak —bayangan itu disebabkan oleh obor yang dibawa pencuri-

pencuri. "Sebaiknya kita kembali ke kamar kita, Djali," katanya. Tapi

pada saat itu, terdengar suatu pekik yang mengerikan dari sebuah jendela yang menjorok ke atap, dekat kepalanya.

"Apa itu?" serunya, "siapa itu?"

Pekik itu terdengar terus beberapa lamanya, kemudian hilang. Tapi kambing itu tidak menunggu sampai suara itu hilang. Binatang

yang ketakutan itu lari dari Esmeralda, dan lari terus menuruni tangga.

Page 110: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Djali!" teriak gadis gipsy itu. "Djali, kemari, kemari!" Gadis itu tidak mengingat bahaya yang mengancam dirinya sendiri, barang

sesaat pun, disusulnya kambingnya menuruni tangga. Tangga itu berakhir di dekat pintu kecil yang dilalui Gringoire

waktu keluar tadi. Pintu itu dibiarkannya terbuka tadi. Esmeralda tiba di kaki tangga, dan sempat melihat Djali keluar dari pintu itu. Dia

menyusulnya. "Djali!" panggilnya, "Djali!"

Pencuri-pencuri di dalam gereja itu semuanya terlalu sibuk, hingga mereka tak melihat gadis itu melewati gereja tadi dan terus

keluar. Tak seorang pun melihatnya. Ketika dia berlari di jalan itu, didengarnya lagi suara teriakan

yang mengerikan tadi dari atas, tapi dia tidak berhenti untuk melihatnya.

Teriakan itu keluar dari bibir Frollo, bibir yang putih ketakutan.

Waktu dia meninggalkan kamar gadis gipsy itu, dia merasa seolah-olah dia terbakar. Dia ingin mencari udara, udara sejuk di malam buta

itu. Dilihatnya sebuah pintu yang terbuka dan langit di luarnya dan dia berlari ke atap. Di sana dia berbaring dengan nafas yang tersengal-

sengal. Kemudian didengarnya si bongkok menyusulnya. Dia bangkit,

lalu berlari terus di sepanjang atap. Kakinya tersandung, lalu dia jatuh ke arah luar atap. Dia sempat berpegang pada leher salah satu

gargoyle, dan bergantung saja di situ. Jalan berada jauh di bawahnya, dan waktu dia melihat ke bawah, dia berteriak sehabis suaranya,

karena ngeri. Kemudian dia menengadah. Di atasnya, berdirilah si bongkok.

Air mukanya polos sekali, tiada membayangkan perasaan apa-apa, dia

hanya menatap imam itu. "Tolong aku!" teriak Frollo.

Quasimodo tidak bergerak.

Page 111: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Demi Tuhan, tolonglah aku!" pekik Frollo lagi. Dengan hanya mengulurkan tangannya dan menariknya saja, si

bongkok sebenarnya sudah bisa menyelamatkan imam itu. Namun Quasimodo berdiri saja dengan kedua belah tangannya tergantung di

sisinya. Dia tidak berkata apa-apa, tidak pula berbuat apa-apa. Dia hanya menunggu akan menyaksikan imam itu jatuh sampai mati.

Imam itu melihat ke jalan.yang berada jauh di bawahnya dan dia mulai berteriak lagi. Kemudian diangkatnya lagi kepalanya, dan

digigitnya bibirnya yang gemetar sampai berdarah. Kekuatannya makin berkurang. Dia tak bisa bertahan lama lagi.

Namun si bongkok tetap berdiri mengawasinya menderita. Jari-jari yang mencengkam leher gargoyle itu mulai melemas.

*** Setelah Gringoire meninggalkan Notre-Dame dia berjalan cepat

sepanjang jalan yang sempit, tapi kemudian dia berhenti dan berpikir.

"Aku harus tetap menjauh dari para prajurit," katanya, "dan aku harus tetap menjauh dari pencuri-pencuri yang membawa emas itu.

Kalau aku berjalan tenang-tenang seorang diri saja, aku akan selamat." Dia baru saja akan mulai berjalan lagi, waktu dilihatnya seekor

binatang putih berlari di jalan itu ke arahnya. "Itu si Djali!" serunya waktu dilihatnya tanduk keemasan

kambing itu. "Djali, mari, kemari!" Tapi kambing yang ketakutan itu berlari

terus melewatinya. Gringoire berbalik akan mengejar kambing itu, tapi kemudian

dilihatnya Esmeralda berlari melewatinya pula dengan rambutnya yang hitam terurai-urai.

"Berhenti!" teriaknya, "berhenti! berhenti!" dan dia berlari

bersisian dengan Esmeralda. Esmeralda tak menoleh untuk melihat siapa dia. Seluruh

pikirannya tertuju pada Djali. Dia tak tahu lagi ke mana dia berlari dan

Page 112: Si Bongkok Dari Notre-dame

demikian pula Gringoire. Mereka berdua hanya mengikuti kambing itu saja, di sepanjang jalan kecil itu. "Esmeralda!" panggilnya,

"istriku!" Esmeralda tetap seperti tak mendengarnya. "Esmeralda! Esmeralda!"

Mereka membelok dan di sana ada sekumpulan orang banyak. Dua di antara orang-orang itu sedang memegang Djali. Yang lain

sedang menyerang sebuah bangunan kecil dengan segala macam alat yang berat dan tajam. Sebagian dari bangunan itu sudah runtuh.

"Itu Esmeralda!" teriak laki-laki yang telah menangkap Djali, "itu penari cantik kita!"

Mereka itu rupanya pencuri-pencuri, demikian pula yang lain yang sedang merusak. Esmeralda pernah tinggal dengan mereka.

"Esmeralda!" teriak mereka. Barulah gadis gipsy itu melihat di mana dia berada. Dia sedang

berdiri di samping Lubang Tikus, dan pencuri-pencuri itu sedang

menghancurkannya. Yang tinggal dari bangunan itu hanyalah setengah dari dindingnya saja lagi, dari dalamnya Suster Gudule

berteriak, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"

"Apa salahnya?" tanya Esmeralda. "Mengapa kalian menghancurkan rumahnya?"

"Dia suka mengutuk kita. Kami ingin memberi pelajaran padanya."

"Benar!" teriak seorang laki-laki kecil yang membawa obor, "kita akan segera memberi pelajaran padanya!" Suaranya, suara orang

yang telah minum anggur terlalu banyak. "Kasihan wanita tua itu, biar aku masuk menemuinya!" kata

gadis si gipsy lalu menyelinap di tengah-tengah orang-orang itu.

Suster Gudule terbaring di lantai, seperti binatang yang sudah kalah. Dia menggenggam sesuatu erat-erat dan dia berteriak berulang

kali, "Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku! Jangan ganggu aku!"

Page 113: Si Bongkok Dari Notre-dame

Esmeralda berlutut di sampingnya. "Mereka tidak akan mengganggu Anda," katanya. "Saya tidak

akan membiarkan mereka mengganggu Anda. Jangan takut!" Dirangkulnya pundak wanita tua itu. Barulah Suster Gudule

menyadari kehadiran gadis itu di sampingnya. Dia mendongak memandang Esmeralda dalam keremangan fajar dan obor pencuri-

pencuri yang mulai memudar itu. "Siapa kau?" tanyanya. "Aku kenal kau! Rupamu seperti gipsy!

Kau...." Tiba-tiba dia terhenti. Sesuatu terjatuh dari tangannya, dan dia

menjatuhkan dirinya ke lantai untuk mencarinya. "Nah ini dia! Untung tak hilang!" serunya, lalu dipungutnya

sebelah sepatu bayi. "Coba saya lihat sepatu itu!" seru Esmeralda. "Saya harus

melihatnya."

Setelah dilihatnya, gadis itu lalu membuka kantong hijau yang berkaca hijau, yang selalu digantungkannya di lehernya. Dari kantong

itu dikeluarkannya sebelah sepatu bayi pula, yang sama benar dengan kepunyaan Suster Gudule. Pada sepatu itu tertulis dengan tinta yang

sudah mengabur, kata-kata berikut,

"Bila kaujumpai pasangan sepatu ini, akan kaujumpai pula ibumu."

Wanita tua itu dengan cepat menyamakan kedua sepatu tersebut

dan mengamat-amatinya, kemudian dibacanya tulisan pada kertas itu, dan dipandangnya Esmeralda.

"Anakku!" teriaknya, "anakku!"

Esmeralda merangkul ibunya, dan menciumnya berulang kali, sedang wanita tua itu berbisik, "Anakku! Aku telah menemukan

anakku!"

Page 114: Si Bongkok Dari Notre-dame

"Cepat lari!" teriak pencuri yang tadi menangkap Djali. "Cepat lari, sebelum serdadu-sedadu itu datang." Dibantunya

Esmeralda berdiri. "Kami akan melindungimu lagi," katanya. "Ya, kami akan

menjagamu," kata yang lain. "Aku tak bisa meninggalkan ibuku," kata Esmeralda.

"Kami akan melindungi dia juga," katanya. "Kalian berdua akan aman dengan kami, tapi cepatlah ikut kami!"

*** Setelah Frollo jatuh sampai mati di jalan di bawah menara itu,

Quasimodo perlahan-lahan kembali ke kamar Esmeralda. Waktu dilihatnya bahwa kamar itu kosong, dia berbaring di tempat tidur lalu

menangis seperti anak kecil. Akhirnya dia bangkit lalu pergi ke jendela.

Matahari telah terbit dan kota telah bangun. Dia melihat terus

ke bawah, seolah-olah mencari gipsy cantik itu, yang tersembunyi di kota di bawahnya. Kemudian matanya tertuju ke arah Lubang Tikus

yang sudah rusak dan kosong. Tapi reruntuhan yang sudah ditinggalkan itu terlalu jauh, hingga dia tak dapat melihatnya. Berjam-

jam dia berdiri di situ, seperti salah satu gargoyle yang selalu melihat ke bawah, siang malam, dari menara-menara Notre-Dame.

Setelah matahari di musim salju itu mulai memudar, barulah dia masuk perlahan-lahan. Sebentar kemudian salah sebuah lonceng

Notre-Dame mulai berbunyi dengan nada-nada sedih yang aneh, yang terus berlangsung sampai jauh malam.

END

AmaR
Typewriter