Shinta Putri f Lapsus NEW
-
Upload
fida-ed-farqad -
Category
Documents
-
view
63 -
download
10
description
Transcript of Shinta Putri f Lapsus NEW
Laporan Kasus
Asites ec Sirosis Hepatis
Oleh:
Shinta Putri Fidayanti
I4A011078
Pembimbing:
dr. H. A. Soefyani, Sp.PD - KGEH
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
November, 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus
Asites ec Sirosis Hepatis
Oleh
Shinta Putri Fidayanti
Pembimbing
dr. H.A Soefyani, Sp.PD - KGEH
Banjarmasin, November 2015
Telah setuju diajukan
.……………………….dr. H.A Soefyani, Sp.PD - KGEH
Telah selesai dipresentasikan
.………………………dr. H.A Soefyani, Sp.PD - KGEH
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................iHALAMAN PENGESAHAN.............................................................iiDAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB IPENDAHULUAN...............................................................................1
BAB IILAPORAN KASUS............................................................................2
BAB IIIPEMBAHASAN.................................................................................12
BAB IVPENUTUP..........................................................................................28
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
3
BAB I
PENDAHULUAN
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit
hati. Istilah sirosis diambil dari bahasa yunina scirruh atau kirrhos yang artinya
warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning
kecoklatan yang tampak pada permukaan hati saat otopsi (4).
Sirosis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak
teratur dan terjadi jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi (1). Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks
ekstraselular (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon
fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun, pada sebagian besar
pasien sirosis, proses fibrosis biasanya irreversibel (4,5).
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemkan waktu waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.
Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus
kronik. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya ada laporan-
laporan dari beberapa pusat pendidikan. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta jumlah
4
pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit
dalam dalam kurun waktu 1 tahun (3).
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6-1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun.
Adapun pada pasien ini, berjenis kelamin wanita dengan usia 54 tahun (6).
Diagnosis klinis sirosis hati dibuat berdasarkan kriteria Soedjono dan
Soebandiri, yaitu bila ditemukan 5 dari 7 keadaan seperti eritema palmaris, spider
nevi, vena kolateral atau varises esofagus, asites dengan atau tanpa edema,
splenomegali, hematemesis dan melena, rasio albumin dan globulin terbalik.
Timbulnya komplikasikomplikasi seperti asites, ensefalopati,varises esofagus
menandai terjadinya pergantian dari sirosis hepatis fase kompensasi yang
asimtomatik menjadi sirosis hati dekompensata (2). Pada pasien didapatkan hanya
3 kriteria yaitu asites tanpa edema, splenomegali, dan venectasi.
Berikut ini akan dilaporkan kasus seorang wanita berusia 54 tahun yang
didiagnosis asites ec sirosis hepatis. Pasien dirawat sejak tanggal 27 Oktober 2015
sebagai pasien rawat di bangsal Tulip (Penyakit Dalam Pria) RSUD Ulin
Banjarmasin.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas pasien
Nama : Tn. Norjanah
Umur : 54 tahun
Agama : Islam
Suku : Banjar
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Pengambangan RT.10 No.9, Banjarmasin
MRS : 27 Oktober 2015
RMK : 1-08-85-38
2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 10 November 2015
3.2.I KELUHAN UTAMA
Perut membesar
3.2.II RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan perut membesar sejak 3 bulan yang lalu. Perut
membesar secara perlahan-lahan. Pasien mengeluhkan nyeri jika bergerak, nyeri
seperti ditarik di bagian perut. Nafsu makan pasien menurun diikuti dengan
6
penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir. Pasien merasa perutnya penuh dan
merasa sesak jika makan. Sesak juga dirasakan saat berbaring. Mual (+), Muntah
(-), Demam dirasakan hilang timbul namun tidak terlalu tinggi. Menggigil dan
keringat dingin disangkal. BAB 2 bulan terakhir jarang, jika keluar BAB sedikit-
sedikit dengan konsistensi sedikit keras, berwarna kekuningan dan berbau busuk.
BAK dikeluhkan pasien sedikit-sedikit 2-4 kali sehari, satu kali berkemih kurang
dari setengah gelas, warna kuning cerah. Pasien selalu merasa lemas hal ini
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien rutin transfusi karena memiliki kelainan
darah. Pasien mengatakan bahwa 2 bulan yang lalu badan pasien kuning
keseluruhan dan sempat dirawat di RSUD ulin Banjarmasin.
3.2.III RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Anemia aplastik (+) Sakit kuning (+), DM (-), Hipertensi (-), pasien
pernah dirawat di RSUD Ulin sebelumnya dengan keluhan muntah dan badan
kuning tahun 2014.
3.2.IV RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat penyakit serupa (-), DM (-), Hipertensi (-)
3. Pemeriksaan fisik
KU : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Kesan gizi kurang
Berat badan : 47kg
Kesadaran : Compos mentis GCS : 4-5-6
Tekanan darah : 100/70 mmHg pada lengan kanan dengan
tensimeter pegas
7
Laju nadi : 82 kali/menit, kuat angkat, teratur
Laju nafas : 20 kali/menit
Suhu tubuh (aksiler) : 36,3 oC
Kepala dan leher
Kulit : Normal, ptekie (-), spider nevi (-)
Kepala : normosefali
Leher : pembesaran KGB (-/-), nyeri tekan (-/-),
JVP normal
Mata : konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga : nyeri tekan (-/-) serumen minimal (-/-)
Hidung : sekret (-/-)
Mulut : mukosa lembap, ulkus (-)
Toraks
Paru Ins : dada asimetris, thoracoabdominal
Pal : Fremitus vokal asimetris (sinistra minimal)
Per : Suara perkusi sonor (+/-)
Aus : Nafas bronchovesicular, rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung Ins : Ictus cordis tidak terlihat
Pal : Ictus cordis teraba di ICS V Midaxilla sinistra,
getaran/ thrill (-)
Per : Suara perkusi pekak, batas sulit dievaluasi
8
Aus : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar
suara bising.
Abdomen
Inspeksi : Cembung, distensi (+), venectasi (+)
Auskultasi : Bising usus menurun
Perkusi : Shifting dullness (+) undulasi (+)
Palpasi : Turgor cepat kembali, nyeri tekan
+ + -- - -- - -
Liver span 15 cm Hepatomegali 4 cm BAC
Splenomegali scuffner 3
Eksremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-),
palmar eritema (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)
4. Pemeriksaan Penunjang (terlampir)
5. Daftar masalah
Berdasarkan data-data di atas didapatkan beberapa daftar masalah:
- Nyeri perut kanan atas
- Nyeri ulu hati
- Mual
- Sesak
- Asites
9
- Hepatosplenomegali
- Pansitopenia dengan anemia mikrositik hipokromik
6. Rencana awal
1. Nyeri perut kanan atas + asites + sesak + hepatosplenomegali
a. Assessment : abdominal pain + asites + dyspneu ec sirosis hepatis
dd sirosis hepatis degenerasi maligna (HCC)
b. Planning : 1. Diagnostik : Laboratorium: albumin, globulin,
Serum elektrolit, AST,ALT, HbsAg,
anti-HBV, anti-HCV, AFP
Radiologi: USG abdomen, CXR
Lainnya: Biopsi Hepar
2. Terapi : Inj. Ketorolax 3x10 mg
Inj. Furosemid 1x40 mg
PO. Spironolacton 1x 50 mg
Diet protein 1,2-1,5 g/ KgBB/hr
Kalori 35-40 g/KgBB/hr
Retriksi garam 6-8 g/hr
3. Monitoring : KU, tanda vital, fungsi hati, fungsi
ginjal, lingkar perut, kadar albumin
4. Edukasi : tirah baring, diet lunak, hindari
obat-obatan hepatotoksik
2. Nyeri ulu hati + mual
10
a. Assessment : epigastric pain + nausea ec dispepsia syndrome dd
sirosis hepatis
b. Planning : 1. Diagnostik : -
2. Terapi : Inj metocloperamide 3x10mg
Inj Omeprazole 1x40mg
3. Monitoring : KU, tanda vital, monitoring
subjektif
4. Edukasi : tirah baring, diet lunak.
3. Pansitopenia dengan anemia mikrositik hipokromik
a. Assessment : Pansitopenia (anemia mikrositik hipokromik) ec
anemia aplastik dengan defisiensi besi
b. Planning : 1. Diagnostik : SI, TIBC, Feritin, MDT
2. Terapi : Inj. Metilprednisolon 2x125 mg
Transfusi PRC 1 kolf/hari hingga
target Hb ≥8 mg/dl
3. Monitoring : DR, KU, tanda vital
4. Edukasi : tirah baring, diet tnggi zat besi.
11
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 3 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri disertai dengan penambahan lingkar perut
secara perlahan-lahan. Saat ini keluhan disertai mual, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan. Sebelumnya pasien sempat di rawat di RSUD Ulin
Banjarmasin dengan keluhan badan kuning. Keluhan-keluhan pasien tersebut
bersifat tidak khas dan pendekatan diagnostik sementara mengarah pada penyakit
sirosis hepatis.
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit
hati. Istilah sirosis diambil dari bahasa yunina scirruh atau kirrhos yang artinya
warna oranye dan dipakai untuk menunjukkan warna oranye atau kuning
kecoklatan yang tampak pada permukaan hati saat otopsi (4).
Sirosis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak
teratur dan terjadi jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami
regenerasi (1). Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks
12
ekstraselular (seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon
fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun, pada sebagian besar
pasien sirosis, proses fibrosis biasanya irreversibel (4,5).
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6-1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun.
Adapun pada pasien ini, berjenis kelamin wanita dengan usia 54 tahun (6).
Etiologi yang umumnya mengakibatkan sirosis hati adalah:
1. Penyakit infeksi terutama hepatitis B dan hepatitis C
2. Penyakit keturunan dan kelainan metabolik
3. Obat dan toksin. Misalnya alkohol, penyakit perlemakan hati non
alkoholik, sirosis bilier primer, kolangitis sklerosis primer).
4. Penyebab lain atau tidak terbukti (penyakit usus inflamasi kronik, fibrosis
kistik, pintas jejunoileal, sarkoidosis).
Pada pasien ini, etiologi yang mungkin menyebabkan terjadinya sirosis
hepatis adalah infeksi virus hepatitis kronis (hepatitis B atau hepatitis C). Hal ini
dicurigai berdasarkan anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, didapatkan
riwayat badan kuning sejak 2 bulan yang lalu.
Beberapa keluhan dengan gejala yang sering timbul pada pasien sirosis
antara lain: kulit berwarna kuning, rasa mudah lelah, nafsu makan menurun, gatal,
mual, penurunan berat badan, nyeri perut dan perdarahan (4,8,9). Pada pasien
sirosis juga dapat mengalami keluhan dan gejala akibat komplikasi dari sirosis
13
hatinya. Gejala tersebut dapat berupa ikterus, perdarahan varises, asites dan
ensefalopati.
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung dari hepatitis virus
menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :
1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya
Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblas dan
pembentukan jaringan ikat.
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum
lobulus hepar yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk
terjadinya daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian
parenkim hati yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi (11).
2. Teori Imunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai
peranan penting dalam hepatitis kronis.
Ada dua bentuk hepatitis kronis
-Hepatitis kronik tipe B
-Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung
14
virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang
berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati (11).
Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati
dapat menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling berhubungan,
yaitu reaksi sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan abnormalitas
perkembangan sel hati yang tersisa. Perlukaan terhadap sel hati dapat
menyebabkan kematian sel, yang kemudian diikuti terjadinya jaringan parut
(fibrosis) atau pembentukan nodul regenerasi. Hal tersebut selanjutnya akan
menyebabkan gangguan fungsi hati, nekrosis sel hati dan hipertensi porta (11).
Hipertensi porta mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga
perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga
aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan
elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi
retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan (11).
Temuan klinis pada pasien sirosis hepatis meliputi (3)
Spider nevi, merupakan suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-
vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, danlengan atas.
Mekanisme ini terjadinya tidak diketahui, ada anggapan diakitkan dengan
peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar pada
telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme
hormon estrogen.
15
Perubahan kuku-kuku Murchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui,
dierkirakan akibat hipoalbuminemia.
Ginekomastia, hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki dan
menstruasi yang cepat berhenti pada perempuan, kemungkinan akibat
peningkatan androstenedion.
Atrofi testis hipogonadisme yang menyebabkan impotensi dan infertilitas.
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, ataupun
mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan noduler.
Splenomegali, sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
non alkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti ginjal dikarenakan
hipertensi porta.
Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi
porta dan hipoalbuminemia
Ikterus, terjadi pada kulit dan membran mukosa, disebabkan oleh oleh
bilirubinemia. Bila konsentrasi kurang dari 2-3 mg/dl ikterik tidak terlihat.
Asterixiz, bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerapan mengepak-
ngepakkan dari tangan, dorsofleksi tangan.
Tanda lain yang menyertai diantaranya adalah (3)
Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar.
Batu pada vesika felea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis hati alkoholik.
16
Pada pasien didapatkan temuan klinis berupa hepatomegali, splenomegali,
asites, dan demam yang tidak tinggi
Secara morfologi, Sherlock membagi sirosis hati atas 3 jenis, yaitu:
1. Mikronoduler (terbentuk septa tebal teratur yang terdapat dalam parenkim hati,
mengandung nodul halus dan kecil tersebar diseluruh lobus, berukuran 3mm).
2. Makronuduler ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya bervariasi
dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi parenkim,
tipe campuran terdapat mikro dan makronodular yang tampak.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro dan makronodular) (7).
Secara fungsional sirosis terbagi atas:
1. Sirosis hati kompensata, sering disebut dengan laten sirosis hati, pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini
ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati dekompensata. Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini
biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya: spider nevi, ascites, edema dan
ikterus (1).
Pada pasien ini didapatkan gejala yang jelas berupa ascites hal ini merujuk ke
sirosis hati dekompensata.
Sesuai dengan konsensus Braveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan
menjadi 4 stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan
perdarahan varises (9):
Stadium I : tidak ada varises, tidak ada ascites
Stadium II : varises tanpa ascites
17
Stadium III : ascites dengan atau tanpa varises
Stadium IV : perdarahan dengan atau tanpa ascites
Stadium I dan II dimasukkan kedalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium III dan IV dimasukkan dalam kelompok sirosis dekompensata.
Pada pasien ini , didapatkan adanya ascites tanpa perdarahan sehingga
memperkuat diagnosis sirosis hepatis dekompensata.
Diagnosis klinis sirosis hati berdasarkan kriteria Soedjono dan Soebandiri,
yaitu bila ditemukan 5 dari 7 keadaan seperti eritema palmaris, spider nevi, vena
kolateral atau varises esofagus, asites dengan atau tanpa edema, splenomegali,
hematemesis dan melena, rasio albumin dan globulin terbalik. Timbulnya
komplikasi-komplikasi seperti asites, ensefalopati,varises esofagus menandai
terjadinya pergantian dari sirosis hepatis fase kompensasi yang asimtomatik
menjadi sirosis hati dekompensata (2). Pada pasien didapatkan hanya 3 kriteria
yaitu venectasi, asites tanpa edema dan splenomegali.
18
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnosis sirosis hati adalah: (1)
1. Pemeriksaan laboratorium
Parameter hematologi: Hb, leukosit, hitung trombosit, waktu
protrombin (INR).
Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkaline
fosfatase, gama-GT, albumin dan globulin, imunoglobulin, feritin
serum dan saturasi transferin.
Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (Na, K, Cl), ureum
creatinin, serta urinalisis (urin tampung 24 jam).
Deteksi/pemantauan etiologi: penanda serologi hepatitis B dan C,
profil lipid dan glukosa, penanda autoimun dan sebagainya.
19
2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologi, merupakan baku emas untuk
diagnosis dan klasifikasi derajat sirosis.
3. Pemeriksaan radiologi (non invasif), bertujuan untuk mendeteksi nodul
hati atau tanda hipertensi porta, USG, CT scan/ MRI.
4. Pemeriksaan OMD untuk deteksi varises esofagus.
5. Prediktor sirosis
a. Rasio AST/ALT >1. Namun, rasio sebaliknya tidak mengeksklusikan
kejadian sirosis.
b. Skor APRI = AST (IU/l) x 100 Hitung trombosit (109/L)
c. Skor FIB4 = Usia (tahun x AST (IU.L)
Hitung trombosit (109/Li) x √ALT (IU/Li)
d. Indeks forns
Adanya sirosis hati dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium
antara lain (3,10).
1. SGOT dan SGPT meningkat tapi tidak terlalu tinggi. SGOT>SGPT.
Namun, bila transminase normal, tidak mengesampingkan adanya sirosis
2. Alkaline fosfatase meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal
atas.
3. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut.
4. Albumin menurun sedangkan globulin meningkat
5. PT memanjang
20
6. Na menurun terutama dengan sirosis komplikasi asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
7. Kelainan hematologi meliputi anemia, trombositopenia, leukopenia, dan
netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi
porta..
Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium HbsAg negatif,
anti-HCV nonreaktif, SGOT 47, SGPT 25, Hemoglobin 4,4 g/dl dengan MCV
77.2 fl dan MCH 24.4 pg gambaran mikrositik hipokromik, Trombosit 121
ribu/ul, leukosit 2,4 ribu/ul.
Diagnosis sirosis hati ditegakkan dengan pemeriksaan biopsi hati,
meskipun biopsi hati standar diagnostik yang tidak sempurna diakibatkan
kesalahan pengambilan sampel, tingkat fibrosis dapat diperkirakan dengan
pengukuran biomarker, seperti tipe I dan tipe III kolagen, laminin, dan asam
hyaluronic. Fibrosure biomarker assay memiliki sensitivitas 85 persen dan
spesifisitas 72,2 persen dalam evaluasi fibrosis hati. Fibrosis hati juga dapat
diperkirakan dengan menggunakan indeks klinis, seperti kombinasi pengukuran
transaminase, jumlah trombosit, dan usia (12).
Beberapa komplikasi yang dapat berkembang dari sirosis hepatis adalah:
1. Edema dan ascites
Ketika sirosis hati menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal
untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-
tama berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki
21
dan kaki-kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan
ini disebut edema atau pitting edema. (Pitting edema merujuk pada fakta bahwa
menekan sebuah ujung jari dengan kuat pada suatu pergelangan atau kaki dengan
edema menyebabkan suatu lekukan pada kulit yang berlangsung untuk beberapa
waktu setelah pelepasan dari tekanan. Ketika sirosis memburuk dan lebih banyak
garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin berakumulasi dalam rongga
perut antara dinding perut dan organ-organ perut. Akumulasi cairan ini (disebut
ascites) menyebabkan pembengkakkan perut, ketidaknyamanan perut, dan berat
badan yang meningkat.
2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut (ascites) adalah tempat yang sempurna untuk
bakteri-bakteri berkembang. Secara normal, rongga perut mengandung suatu
jumlah yang sangat kecil cairan yang mampu melawan infeksi dengan baik, dan
bakteri-bakteri yang masuk ke perut (biasanya dari usus) dibunuh atau
menemukan jalan mereka kedalam vena portal dan ke hati dimana mereka
dibunuh. Pada sirosis, cairan yang mengumpul didalam perut tidak mampu untuk
melawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak bakteri-bakteri
menemukan jalan mereka dari usus kedalam ascites. Oleh karenanya, infeksi
didalam perut dan ascites, dirujuk sebagai spontaneous bacterial peritonitis atau
SBP, kemungkinan terjadi. SBP adalah suatu komplikasi yang mengancam
nyawa. Beberapa pasien-pasien dengan SBP tdak mempunyai gejala-gejala,
dimana yang lainnya mempunyai demam, kedinginan, sakit perut dan kelembutan
perut, diare, dan memburuknya ascites.
22
3. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal Varices)
Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke
jantung dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi
portal). Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan
darah mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih
rendah untuk mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah
untuk membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari
kerongkongan (esophagus) dan bagian atas dari lambung.
Sebagai suatu akibat dari aliran darah yang meningkat dan peningkatan tekanan
yang diakibatkannya, vena-vena pada kerongkongan yang lebih bawah dan
lambung bagian atas mengembang dan mereka dirujuk sebagai esophageal dan
gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar varices-varices dan lebih
mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-varices kedalam
kerongkongan (esophagus) atau lambung.
Perdarahan juga mungkin terjadi dari varices-varices yang terbentuk
dimana saja didalam usus-usus, contohnya, usus besar (kolon), namun ini adalah
jarang. Untuk sebab-sebab yang belum diketahui, pasien-pasien yang diopname
karena perdarahan yang secara aktif dari varices-varices kerongkongan
mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan spontaneous bacterial
peritonitis.
4. Hepatic encephalopathy
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan
dan penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam
23
usus. Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-
bakteri membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur
ini kemudian dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini,
contohnya, ammonia, dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya,
unsur-unsur beracun ini diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana
mereka dikeluarkan dari darah dan di-detoksifikasi (dihilangkan racunnya).
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi dari
otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu
siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal)
adalah diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-
gejala lain termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau
melakukan perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau
tingkat-tingkat kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang
parah/berat menyebabkan koma dan kematian.
5. Hepatorenal syndrome
Pasien-pasien dengan sirosis yang memburuk dapat mengembangkan
hepatorenal syndrome. Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana
fungsi dari ginjal-ginjal berkurang. Itu adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-
ginjal, yaitu, tidak ada kerusakn fisik pada ginjal-ginjal. Sebagai gantinya, fungsi
yang berkurang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam cara darah mengalir
melalui ginjal-ginjalnya. Hepatorenal syndrome didefinisikan sebagai kegagalan
yang progresif dari ginjal-ginjal untuk membersihkan unsur-unsur dari darah dan
menghasilkan jumlah-jumlah urin yang memadai walaupun beberapa fungsi-
24
fungsi penting lain dari ginjal-ginjal, seperti penahanan garam,
dipelihara/dipertahankan.
6. Hepatopulmonary syndrome
Jarang, beberapa pasien-pasien dengan sirosis yang berlanjut dapat
mengembangkan hepatopulmonary syndrome. Pasien-pasien ini dapat mengalami
kesulitan bernapas karena hormon-hormon tertentu yang dilepas pada sirosis yang
telah berlanjut menyebabkan paru-paru berfungsi secara abnormal. Persoalan
dasar dalam paru adalah bahwa tidak cukup darah mengalir melalui pembuluh-
pembuluh darah kecil dalam paru-paru yang berhubungan dengan alveoli
(kantung-kantung udara) dari paru-paru. Darah yang mengalir melalui paru-paru
dilangsir sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup oksigen dari udara
didalam alveoli. Sebagai akibatnya pasien mengalami sesak napas, terutama
dengan pengerahan tenaga.
7. Hyperspleenism
Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter)
untuk mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan
platelet-platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah)
yang lebih tua. Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam
vena portal dari usus-usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia
bertambah menghalangi aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan
berakumulasi dalam limpa, dan limpa membengkak dalam ukurannya, suatu
kondisi yang dirujuk sebagai splenomegaly. Adakalanya, limpa begitu
bengkaknya sehingga ia menyebabkan sakit perut.
25
Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-
sel darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah
berkurang. Hypersplenism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kondisi ini, dan itu behubungan dengan suatu jumlah sel darah merah yang rendah
(anemia), jumlah sel darah putih yang rendah (leucopenia), dan/atau suatu jumlah
platelet yang rendah (thrombocytopenia). Anemia dapat menyebabkan kelemahan,
leucopenia dapat menjurus pada infeksi-infeksi, dan thrombocytopenia dapat
mengganggu pembekuan darah dan berakibat pada perdarahan yang diperpanjang
(lama).
8. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko
kanker hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk
pada fakta bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu
yang berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastase) ke hati.
Penanganan sirosis hepatis bergantung dari etiologinya. Terapi ditujukan
untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi (Nurjanah,
2007). Bila mana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein
1g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari Di Amerika dan di beberapa
negara-negara lain pada umumnya penanganan dipusatkan pada penghentian
konsumsi alkohol. Kemudian perlu ditambahkan juga multivitamin (3).
Tatalaksana sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresivitas
kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi,
26
diantaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik. Pada hepatitis autoimun
bisa diberikan steroid atau imunosupresif. Pada penyakit hati nonalkoholik,
menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis (3).
Pada pasien, etiologi hepatitis C dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
anti HCV yang non reaktif, namun hepatitis B belum dapat ditegakkan
dikarenakan hanya terdapat pemeriksaan hepatitis B berupa HbsAg. Jika
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan anti HBc yang reaktif dan
ditemukan tanda-tanda inflamasi atau fibrosis derajat sedang atau lebih, terapi
hepatitis B dapat diberikan (3).
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)
merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg
secara oral setiap hari selama satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan
subcutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan (3).
Pada pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifitas antifibrotik
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti
peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis (3).
27
Pada sirosis hepatis yang sudah mengalami komplikasi, terdapat beberapa
tambahan terapi. Berikut adalah alur terapi pada sirosis dengan komplikasi (12).
Pada sirosis dekompensata, yang sudah terdapat komplikasi asites
dilakukan terapi retriksi garam, diuretik, dan parasintesis (12). Konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obat diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-
200 mg sekali sehari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema
kaki. Bilamana spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
28
dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosis 160 mg/hari. Parasentesis asites
bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin (3).
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengruhi sejumlah faktor meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lainnya. Klasifikasi
Child-Pugh berkaitan dengan kelangsungan dengan kelangsungan hidup juga
menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi. Klasifikasi ini
terdiri dari Child A, B, dan C dengan angka kelangsungan hidup berturut-turut
100, 80, dan 45% (3).
Gambaran hepatosplenomegali disertai asites juga mengarah kepada
malignancy. Faktor resiko usia seperti pada pasien mengarah kepada karsinoma
hati (HCC). Etiologi dari HCC yang tersering adalah hepatitis. Pasien dengan
HbsAg positif memiliki risiko terkena HCC hingga 98 kali lebih tinggi daripada
mereka yang negatif. Sifat karsinogenisitas VHB terhadap hati kemungkinan
terjadi melalui inflamasi kronis, proliferasi hepatosit, integrasi DNA VHB
kedalam DNA sel pejamu, dan proses protein spesifik dari VHB yang berinteraksi
dengan gen hati. Siklus hepatosit menjadi sel yang aktif bereplikasi diaktifkan
29
sebagai bentuk kompensasi proliferatif respon nekroinflamasi sel hati ditambah
ekspresi berlebihan gen yang bermutasi akibat VHB (1).
Di indonesia, HCC umumnya ditemukan pada usia 50-60 tahun dan rasio
antara kasus pada laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6:1 (3). Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan yang tidak nyaman pada
kuadran kanan atas pasien, hal ini sama seperti yang dikeluhkan oleh pasien.
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau diare.
Sesak napas dapat dirasakan akibat besamya tumor yang menekan diafragma, atau
karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar pasien HCC sudah menderita
sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah
menunjukkan tanda-tanda gagal hati sepedi malaise, anoreksia, penurunan berat
badan dan ikterus. Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan
atau tanpa 'bruit' hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot.
Sebagian dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises
esofagus atau peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC
Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% daripasien HCC telah
menderita asites hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja.
(3). Pada pasien didapatkan keluhan pendukung yang diperoleh dari anamnesis
berupa, rasa sesak, rasa penuh pada bagian perut, lemas (malaise), penurunan
berat badan, riwayat ikterus dan pada saat perawatan saat dilakukan pungsi asites
didapatkan asites yang hemoragik. Namun, pada saat hasil laboratorium AFP
dilakukan pada tanggal 2/11/15 nilai AFP 1,54 UI/l. AFP adalah protein serum
utama pada janin mamalia. AFP merupakan pemeriksaan yang dipakai untuk
30
kecurigaan terhadap adanya keganasan pada hati, misal hepatoma. Tingkat normal
AFP adalah 0-15 ug/l. Nilai AFP diatas 400-500 ug/L telah dianggap diagnostik
utama untuk karsinoma hepatoceluler (HCC) pada pasien dengan sirosis. Namun,
nilai AFP yang normal, tidak menyingkirkan diferensial diagnosis ini. Hal yang
harus dilakukan adalah melakukan Ctscan untuk menegakkan diagnosis ini.
Kembali pada keluhan utama pasien yaitu perut membesar yang diikuti
oleh gambaran asites. Asites adalah keadaan patologis berupa terkumpulnya
cairan dalam rongga peritoneal abdomen. Asites biasanya merupakan tanda dari
proses penyakit kronis yang mungkin sebelumnya bersifat subklinis. Seperti
pengumpulan cairan lainnya, asites secara klinis dikelompokkan menjadi eksudat
atau transudate (13)
Asites eksudatif memiliki kandungan protein tinggi dan terjadi pada
peradangan (biasanya infektif, misalnya TB) atau proses keganasan.
Asites transudatif terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan
perubahan bersihan (clearence) natrium ginjal. Konstriksi perikardium dan
sindrom nefrotik juga bisa menyebabkan asites transudatif.
Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat diantaranya: (13)
Pemeriksaan cairan asites: memeriksa warna, protein, hitung sel bakteri
dan keganasan. Cairan asites biasanya berwarna kekuningan pada sirosis,
kemerahan pada keganasan, dan keruh pada infeksi. Hitung leukosit adalah
>250 PMn (polimorfonuklear)/mL, pada peritonitis bakterialis (umumnya
pneumokokus, jarang tuberkulosis). Pemeriksaan sitologi (spesimen harus
31
dalam jumlah banyak dan segar) bisa menegakkan diagnosis keganasan.
Pada pankreatitis juga dapat terjadi asites, jadi amilase harus diukur.
USG abdomen: untuk mengukur ukuran hati (kecl pada sirosis), tanda-
tanda hipertensi portal (splenomegali), dan lebarnya vena portal dan vena
hepatika (untuk menyingkirkan dugaan trombosis vena hepatika dan
sindrom Budd-Chiari). Juga bermanfaat untuk menemukan kelainan fokal
(mengarahkan dugaan ke keganasan diseminata) dan untuk diagnosis
tumor intraabdomen (misalnya tumor ovarium).
Tes darah lainnya: tes biokimia dan tes fungsi hati untuk mencari penanda
sirosis hepatis (kadar albumin rendah, hiperbilirubinemia, kenaikan enzim
hati, trombositopenia, dan lain-lain). Pemeriksaan penanda tumor jika ada
dugaan keganasan (terutama alfa fetoprotein untuk hepatoma, CA 125
untuk kanker ovarium).
Pada pasien dilakukan pemeriksaan CA 125 pada tanggal 6/11/15 dan
didapatkan hasil 110.84 U/l. Hal ini mendukung untuk diagnosis ke arah kanker
ovarium.
Untuk nyeri ulu hati dan rasa mual pasien diberikan obat-obatan injeksi
metocloperamide dan omeprazole. Pasien juga mendapatkan transfusi PRC hingga
Hb ≥ 8 g/dl dan injeksi metilprednisolon. Pasien direncanakan melakukan
pemeriksaan radiologi CTscan tuntuk menunjang diagnosis kanker ovarium dan
HCC.
32
BAB IV
PENUTUP
33
Telah dilaporkan kasus seorang perempuan berusia 54 tahun dengan
diagnosis asites ec sirosis hepatis. Diagnosis pada pasien tersebut belum tegak,
kecurigaan terakhir diagnosis mengarah pada keganasan dibidang kandungan
yang telah di konsultasikan ke ahli kandungan. Penegakan diagnosis menunggu
hasil Ctscan yang akan dilakukan pada tanggal 13 November 2015, namun pasien
memutuskan untuk pulang paksa pada tanggal 12 November 2015. Pasien telah
ditatalaksana dengan terapi suportif dan simptomatik sesuai kecurigaan diagnosa.
Pasien dirawat sejak tanggal 27 oktober 2015 hingga 12 November 2015.
DAFTAR PUSTAKA
1. Klarisa C., Liwang F., Hasan I. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculaptus. 2014.
34
2. Wahyudo R. A 78 Years Old woman with hepatic cirrhosis. J Meula Unila. 2014; 3(1):174=184.
3. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I Edisi IV. Jakarta: FK UI. 2006
4. Cheney C.P., Goldberg E.M., Chopra S. Cirrhosis and portal hypertension: an over view. Churchill Livingstone. 2004: 125-138
5. Friedman S.L. Hepatic Fibrosis. Lippincon-Raven. 2003; 409-428.
6. Hernomo K. Pengelolaan perdarahan masif varises esofagus pada sirosis hati. Thesis. Surabaya: Airlangga University Press. 1983.
7. Guadalupe G. Prevention and management of gastroeshophageal varices and variceal hemorrage in cirrhosis. American Journal of Gastroenterology. 2007; 17(1)
8. Sylvia A.P., Lorraine M.W. Patofisiologi edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC. 2005
9. Saksana R.A., Bayupurnama P., Indrarti F., Ratnasari N., Maduseno S. Correlation between the severe of liver cirrhosis (Child-pugh score and QTc interval Prolongation. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy. 2012; 13(3): 157-161.
10. Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2007.
11. Starr S.P., Raines D. Cirrhosis: Diagnosis, Management, and Prevention. American Academy of Family Physicians. 2011; 84(12): 1353-1359.
12. Davey P. At a glance MEDICINE. PT. Gelora Aksara Pratama. 2002.
35
36