Seri Buku BRR - Buku 1 - Kisah

download Seri Buku BRR - Buku 1 - Kisah

of 238

Transcript of Seri Buku BRR - Buku 1 - Kisah

KISAHPerahu yang Dilarungkan

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Ricky Sugiarto : Cendrawati Suhartono (Koordinator) M Agus Susanto Margaret Agusta (Kepala) Rayagung Hidayat : Suhardi Soedjono : Ridza Aziz Ulfah Muhayani

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Surya Mediana

Editor Bahasa Penulis

Penyelaras Akhir : Aichida UlAflaha Intan Kencana Dewi Ricky Sugiarto (Kepala)

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Margaret Agusta : Linda Hollands : Andrea Lucman Harry Bhaskara Nana Nathalia

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199322

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Di rerumputan tepi kolam belakang Kantor Pusat BRR, Banda Aceh, 5 Juli 2006, para deputi saling merapatkan diri untuk mengokohkan tekad dan langkah. Kebersamaan, adalah salah satu modal yang senantiasa dijaga eksistensi maupun intensitasnya oleh para awak BRR. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar isiPendahuluan Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi SamudraLayar Terkembang Perahu Tak Sempurna Bukan Real Estate

x 11 3 6

Bagian 2. Mulai dari Titik Jatuhnya BatuJam Penerbangan Terawal Tiada Peta, Tiada Kompas

13 21

14 17

Bagian 3. Merebut MomentumAir Mata Belum Lagi Kering Perang AntarSerdadu Menakar Kehilangan

21 24 29 35 37 39 42 43 52 57 60 62 64 70

Bagian 4. Tegangan di Garis Start

Satu Jam Bersama Kalla Saya dari Jakarta, Anda dari Aceh Dua Pekan yang Menegangkan Bernapas (Sedikit) Lega Tegang Lagi, Tegang Lagi Jawabnya Harus Langsung Ya Hanya untuk Tangan Bersih

35

Bagian 5. Pekerjaan Gila untuk Orang Gila Bagian 6. Organisasi Pelangi Menata DiriDari Geuceu ke Lueng Bata Bukan Lembaga Biasa Menetapkan Tujuan dan Mengukur Diri Belajar dari Berantem

51 59

Bagian 7. Menggaet LumbungLumbung PundiMeladeni Anggota Dewan Tamu Mulai Berdatangan Thats Good and Huge!

73

73 77 81

Bagian 8. Menyisihkan Kerikil KoordinasiGigi Debut Perdana Benci tapi Sayang Buka Saja Perwakilanmu di Sini Ujian atas Kepekaan PekerjaanRumah Merumahkan Menginisiasi Layanan Seatap Mempertimbangkan Cetak Biru Pesan buat Si Pengayuh RBT Kembalinya Si Anak Hilang Segulung Peta buat Hasan Tiro

87

87 90 94

Bagian 9. Tiada yang Sempurna

101

101 103 111 114 119 122 126 131 140 146

Bagian 10. Dwitunggal Re buat Aceh

119

Bagian 11. Karya dalam Proses

Mendesentralisasi Pusat Anomali Nomenklatur Birokrasi Delegasi Sepenuh Hati

131

Bagian 12. Penyinambungan LangkahA Plus dari Sang Wakil Rakyat Ralat Exit Strategy Zigzag Pelanjut Estafet Gelombang Peresmian Menggenapi Integritas

153

153 156 158 160 162 170 172 174 177 181 182 191 199 206

Bagian 13. Meniti MenitMenit PengakhiranJadi Bubar atau Enggak, sih? Hujan yang Pertama dan Terakhir Masjid: Start dan Finish Pamor Siwah Anugerah (Istana) Hari Ini Milik BRR Muhibah Berbagi kepada Dunia

169

Lampiran

Aceh dan Nias dalam Sesapuan Lajur Waktu Pemulihan Pascatsunami BRR Perkembangan Organisasi BRR dari Waktu ke Waktu

191

Catatan Bibliografi Daftar singkatan

207 210 214

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

x

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara

Pendahuluan

xi

lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku bertajuk Perahu yang Dilarungkan ini menceritakan bagaimana awak perahu BRR tatkala melakukan pelayaran sembari terus membangun konstruksi perahunya. Pengalaman dan etos belajar dari serangkaian kesalahan maupun keberhasilan dalam mengatasi sekaligus menyempurnakan pekerjaan dipaparkan apa adanya. Alhasil, ganjaran di balik layar pun telah menanti: hikmah ajar berharga. Larungan empat tahun yang dilalui dengan jatuhbangun dan hampir tanpa acuan itu, telah menyingkap kesempatan emas bekerja sama antar individu, lembaga, maupun bangsa, atas dasar gelombang samudera semangat yang sama: kemanusiaan.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

xii

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384 127.720orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xiii

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Perahu Under Construction Larungi SamudraBanyak pihak di luar negeri dan tentunya di dalam negeri, termasuk saya, yang dengan obyektif dan terbuka melihat capaian yang dilaksanakan oleh BRR; tentu dalam kerja samanya dengan pihakpihak lain, yang dinilai telah dapat melaksanakan suatu rekonstruksi pascabencana yang berhasil.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan acara Indonesia Thanks the World, 24 Januari 2008

DARI ujung timur mereka menyeberangi lautan hingga ke ujung barat republikini. Titik yang dituju: Banda Aceh. Sang tuan rumah, yakni Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara (BRR NADNias), atau galib disingkat BRR, menerima kunjungan mereka, sebuah tim dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

Layar TerkembangDi penghujung 2008, rombongan itu datang ke Aceh disambut semangat oleh Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana (Kabapel) BRR. Selain singgah di Kantor Pusat BRR di bilangan Lueng Bata untuk melihat langsung bagaimana Bapel BRR bekerja, mereka mengadakan lokakarya selama dua hari. Saya ingin belajar dari sistem yang dikembangkan BRR serta kepemimpinan yang ada di sini. Sangat penting bagi kami untuk melihat bagaimana mereka merekrut orangorang yang memiliki mindset dan semangat untuk membangun Aceh baru, ungkap Barnabas Suebu, Gubernur Papua.

Segera setelah bah tsunami surut, 28 Desember 2004, beberapa warga Banda Aceh berinisiatif menyelamatkan barangbarang tersisa yang masih berfungsi dari reruntuhan rumahnya. Foto: Edy Purnomo

Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra

1

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

2

Menyusul ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Kekerasan (Cessation of Hostilities Agreement) di Jenewa, Swiss, antara Pemerintah RI dan GAM, 12 kompi atau sekitar 1.500 personel TNI dan Brigade Mobil Polri ditarik serentak dari Cot Trieng, Aceh Utara. Demobilisasi pascadrama pengepungan 40 hari di Cot Trieng ini dimulai pada Selasa pagi, 10 Desember 2002. Foto: Dokumentasi Puspen TNI

Ini merupakan hasil dari sebuah perjalanan panjang. Ternyata sudah lama Pemprov Papua mengamati kiprah BRR. Mereka pun berkorespondensi, antara lain melalui Kepala Kantor Perwakilan Nias BRR, William Sabandar, dan Deputi Bidang Infrastruktur, Lingkungan, dan Pemeliharaan, Bastian Sihombing. Korespondensi itu adalah awal dari sebuah pertemuan. Awalnya, disorong oleh inisiatif sendiri, mereka bertandang ke Kantor Perwakilan BRR di Jakarta. Agar mereka lebih memahami kerja BRR, Kuntoro lalu mengundang mereka langsung ke Aceh. Maka berjumpalah kedua belah pihak itu dalam pertemuan yang dikemas sebagai lokakarya. Hanya dua hari memang. Namun Barnabas merasa puas dan mengaku menimba banyak pengalaman berharga dari BRR. Ini hasil kunjungan kerja yang luar biasa. Kita kerja dua tahun belum tentu bisa [mendapatkan pembelajaran] begini, ujarnya. Mereka tertarik mempelajari sistem pengendalian operasi, monitoring dan evaluasi (monev), pemetaan berbasis Geographic Information System (GIS), pangkalan data (database), penegakan antikorupsi, layanan satu atap Tim Terpadu, dan manajemen organisasi BRR. Saya senang. Inilah awal bagi kami untuk membangun good governance (tata pemerintahan yang baik). Rencana aksi (renaksi) jelas, time frame (kerangka waktu) jelas, siapa yang bertanggung jawab jelas, juga instrumen baru yang jelas dari pengalaman BRR, kata Barnabas kepada wartawan seusai pertemuan.

Untuk selanjutnya, beberapa anggota staf BRR membantu mengembangkan desain di sana. Mereka diikutkan pada Pemprov. Atau mungkin juga pada suatu organisasi seperti BRR, siapa tahu? papar Kuntoro. Masinis BRR ini memang tak kuasa menyembunyikan kegembiraannya. Pada akhirnya, hasil kerja keras BRR mendapatkan pengakuan. Saya telah banyak menerima penghargaan dan ucapan terima kasih, tapi inilah yang paling berharga buat saya, ujar Kuntoro. Di tengah masyarakat yang selalu skeptis atau jarang memberikan penghargaan terhadap pencapaian kami, kata Kuntoro, tibatiba ada provinsi di ujung lain Indonesia ingin mengadopsi praktikpraktik BRR. Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, apalagi terjadinya pada masa BRR masih ada.

Perahu Tak SempurnaPantaslah, pasalnya, di level dalam negeri, terutama di Aceh dan Nias, BRR selalu diserang dari segala penjuru. Kekurangankekurangan kecil, apalagi yang lebih besar lantaran mendapat blow up, terlebih saat dimuati kepentingankepentingan tertentu dan sesaatseolah menutup prestasiprestasi yang ada. Seperti diketahui, sejak dibentuk pada 16 April 2005, lembaga yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2005 yang kemudian dikukuhkan sebagai UndangUndang (UU) Nomor 10 Tahun 2005 ini memikul mandat untuk memimpin proses rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan) AcehNias pascatsunami. Sebuah pekerjaan yang tidak mudahkalau tidak boleh dibilang berat. Diawali, tentu saja, dengan kerusakan akibat gempa bertsunami yang menewaskan sekurangkurangnya 126.741 jiwa dan menghilangkan sekitar 93.285 jiwa lainnya. Ratusan kilometer pesisir Aceh porakporanda pada 26 Desember 2004. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 28 Maret 2005, gempa susulan berkekuatan 8,7 skala Richter (SR) bergerak ke tenggara, mengguncang Kepulauan Nias. Padahal, lebih dari 60 tahun merdeka, negeri ini belum pernah memiliki panduan yang memadai terkait dengan penanganan pascabencana seperti itu. Panduan yang menyangkut hal fisik saja belum tersedia, apalagi yang terkait dengan upaya membangkitkan semangat mereka yang masih bertahan hidup (penyintas). Tak sedikit pihak beropini bahwa bahkan di bagian lain mana pun di dunia belum ada panduan penanganan pascabencana pada skala katastrofik alam sebesar ini.

Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra

Langkah berikutnya bergulir terus. Sekian pekan setelahnya, pada Januari 2009, BRR balas bertamu ke ibu kota Papua. Di sana, tim BRR langsung memberikan pelatihan dalam mempraktikkan cara menggunakan alatalat pendukung sistem yang diminati Pemprov Papua. Formulirformulir kami bagikan, sistem komputer, semuanya. Mereka tidak menyangka, Kuntoro mengisahkan.

3

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

4

Akses sebagian besar masyarakat Nias terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, utamanya air bersih, masih memprihatinkan. Ketiga bocah ini, contohnya, harus rela mengorbankan masamasa emas bermainnya karena setiap hari berjalan cukup jauh untuk mengambil air bersih, 12 September 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Di Aceh, tantangan dan kendalanya semakin berlipat. Pasalnya, selama 30an tahun, bagi sebagian masyarakat di Aceh, sikap antiPemerintah Indonesia atau antimiliter bukan isapan jempol. Hal itulah yang akhirnya membuahkan kondisi yang kurang menguntungkan, sehingga dibutuhkan pendekatan tersendiri dan khas. Konflik pulalah yang pada akhirnya berperan membuat Acehdaerah kaya hasil bumimenjadi kawasan tertinggal dan miskin. Pada masyarakat Kepulauan Nias, minus faktor konflik separatis, derajat ketertinggalan dan kemiskinannya malah lebih memprihatinkan. Takdir sebagai wilayah terluar Indonesia secara geografis telah menempatkan Nias sebagai kawasan yang terpinggirkan. Akibatnya, akses terhadap pengembangan sosialekonomi menjadi terbatas. Nias dan Nias Selatan (Nisel), meski memiliki potensi pariwisata pantai yang molek, tercatat sebagai dua kabupaten termiskin di Sumatera Utara (Sumut). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta indikator ekonomi dan prasarananya sangat rendah dibanding ratarata nasional. Sebelum tsunami 2004, tingkat kemiskinan, indikator kesehatan, tingkat melek huruf, serta akses pada air bersih dan listrik di Kepulauan Nias tertinggal jauh di lingkup nasional dan terendah di tingkat provinsi.1 Bahkan jurang telah menganga sejak 1975

Begitulah. Namun tugas harus dituntaskan. BRR harus memimpin proses pemulihan di kedua kawasan tersebut dan bekerja sama dengan lebih dari 350 lembaga swadaya masyarakat (LSM) sepanjang empat tahun. Terdapat total sekitar 12.500 kegiatan/proyek pemulihan yang berlangsung di AcehNias di bawah koordinasi badan ad hoc Pemerintah Pusat tersebut. Gamang pada awalnya. Namun peresmian pembangunan rumah ke100.000 di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, pada Desember 2007 telah menjadi penanda penting dari kemajuan nyata pemulihan AcehNias. Dalam acara yang juga menandai akhir masa kerja British Red Cross di Aceh, Kabapel BRR dan Nicholas Young, sebagai perwakilan lembaga palang merah itu, menyampaikan sertifikat rumah kepada Muhammad Nasir, bocah 14 tahun asal Pulau Lampoh Kawat. Tsunami telah mensyahidkan kedua orang tuanya. Kini siswa kelas III SMP Padang Kleng itu tinggal bersama kakaknya. Peristiwa itu membukakan mata dan meyakinkan banyak pihak, bahkan BRR sendiri, perihal capaian BRR dan para mitranya dalam pemulihan AcehNias. Sampai akhir Februari 2009, BRR dan mitra pemulihan mencatat kemajuan dalam membangun rumah: 140.304 unit. Selain itu, BRR telah mendirikan 1.115 unit fasilitas kesehatan dan 1.759 gedung sekolah. Prasarana dan sarana dasar (PSD) berupa 3.696 kilometer jalan dan 363 unit jembatan sudah dapat digunakan publik. Turut dikelola pembangunannya oleh BRR: 13 bandara, 23 pelabuhan laut, 996 gedung pemerintahan, dan 3.781 rumah ibadah. Bukan pembangunan fisik semata yang dipulihkan BRR. Bersama mitra pemulihan, dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, hingga akhir 2008 telah dilatih 39.663 guru dan 155.182 tenaga kerja lain. Sebanyak 7.109 unit kapal nelayan disediakan. Sedangkan 195.726 unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah dibantu. Seluas 69.979 hektare lahan pertanian pun telah direhabilitasi sehingga dapat digunakan untuk bercocok tanam kembali. Lalu apakah yang menjadi bekal BRR dalam melaksanakan mandatnya? Ada, sebenarnya. Bekal itu adalah sebuah Rencana Induk yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan mitra internasional. Cetak Biru Pemulihan AcehNias yang disusun dalam waktu sangat singkat itu tentu saja amat berguna sebagai pijakan awal, meskipun belum sepenuhnya persis sesuai dengan kondisi di lapangan. Bagaimana dengan pemulihan Nias? Gempa mengguncang kepulauan itu saat Rencana Induk hampir rampung disusun. Tim penyusun seperti berlomba dengan waktu. Rencana ini harus sudah terbit ketika badan khusus yang akan memimpin pemulihan di dua tempat yang tertimpa bencana berskala besar itu terbentuk.

Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra

antara kawasan pesisir utara (termasuk Kepulauan Nias) dan kawasan lain di Sumut. Pada 2000, saat tingkat kemiskinan provinsi di sektor pertanian mencapai 11,5 persen, angka kemiskinan mencapai puncaknya, yakni 14,5 persen, di kawasan pesisir barat, termasuk Nias.2

5

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

Alhasil, badan khusus pemulihan ini harus bekerja ekstrakeras. Tim perintis, yang sebelumnya pontangpanting memperjuangkan agar badan ini bisa setingkat kementerian serta bertanggung jawab langsung kepada presiden, harus bersigegas melakukan evaluasi terhadap Rencana Induk. Ibaratnya, mereka seperti perahu yang berangkat menuju samudra yang luas dan, uniknya, perahu itu masih under construction (dalam status dibangun).

Bukan Real EstateSerangkaian kelemahan sudah pasti dimiliki BRR terkait dengan langkah yang diambilnya. Kritik berhamburan di sanasini. Sebagian rumah yang dibangun belum ditempati penyintas, sementara masih saja ada penyintas yang seolah tidak mau meninggalkan barak. Para penghuni barak berkeras untuk tidak pindah dengan alasan rumah yang disediakan belum sesuai dengan keinginan mereka atau kebiasaan setempat. Listrik dan sanitasi belum tersedia, permukiman pun jauh dari tempat mereka biasa mencari nafkah. Selain itu, ada sejumlah penyintas yang dengan penuh harap menantinanti agar permohonan dana bantuan rehabilitasi rumah diluluskan BRR seperti dan sebesar yang mereka inginkan. Bertepatan dengan peringatan empat tahun tsunami, sekitar 50 orang yang menyatakan diri sebagai penyintas mengacungacungkan poster di Simpang Tiga, Meulaboh, Aceh Barat. Mereka menuntut diberi rumah bantuan serta menuduh pihak berwenangdalam hal ini BRRabai terhadap kebutuhan para penyintas tsunami dan kehilangan momen untuk membangun Aceh menjadi lebih baik. Menurut laporan sejumlah media massa, demonstrasi serupa terjadi di beberapa kota lain di provinsi itu. Harian nasional Kompas pada 16 Januari 2009 menurunkan berita bahwa ada 2.000an kepala keluarga (KK) yang belum menerima rumah di Aceh Barat dan Banda Aceh hingga akhir 2008. Data BRR sebaliknya menunjukkan bahwa saat itu total yang belum memperoleh rumah di Aceh pada akhir 2008 adalah 346 KK. Itu pun seluruhnya sudah memiliki alokasi rumah yang sedang dan siap dibangun dalam duatiga bulan. Lalu siapa sebagian besar dari 2.000an KK tadi? Hasil verifikasi yang dilakukan BRR menunjukkan bahwa banyak di antara mereka yang ternyata mengaku sebagai korban tsunami dengan harapan memperoleh rumah gratis.Pembangunankembali Aceh memampangkan raut baru muka bumi yang lebih tertata. Rumahrumah, sempadan sungai, dan tanggul pantai baru di Banda Aceh, 3 April 2009, seperti hendak memaklumatkan: inilah Aceh Baru. Foto: BRR/Arif Ariadi

6

Pada sisi lain, perlu disadari bahwa BRR sangat sulit untuk menuntaskan kinerjanya hingga 100 persen. Bahwa kinerja tersebut tidak mencapai 100 persen, saya kira itu manusiawi. Jika capaian kita 95 persen, tetapi yang dipermasalahkan orangorang itu justru yang 5 persen, itu juga wajar saja, kata Kuntoro.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

8

Turun ke bawah menangkap langsung aspirasi masyarakat, terutama pada periode awal rehabilitasi, ditempuh oleh BRR. Kabapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, berdialog dengan salah seorang warga di Ulee Lheue, Banda Aceh, 9 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pihak yang terlibat sedemikian bervariasi. Masingmasing juga memiliki persepsi dan opini yang berbeda. Dengan belasan ribu proyek yang dikelola badan inidalam satu rentang waktu yang sama dan dimulai hampir bersamaancukup mudah bagi siapa saja untuk mengambil angle ekspose tertentu. Pertanyaan yang lebih mendasar: masih adakah hikmah yang dapat dipetik, baik dari yang 95 persen maupun yang 5 persen itu? Bekerja untuk para penyintas bukanlah perkara mudah. Ini bukan seperti pekerjaan real estate, ujar Kuntoro bertamsil. Kalau di real estate, kita memulai dari nol dan masuk secara rapi dan sistematis. Pasalnya, membangun suatu kawasan yang telah hancur oleh bencana alam berbeda dari konstruksi pada galibnya. Kehancuran yang terjadi sedemikian menyeluruh sehingga BRR tidak dapat membangun bermodalkan perencanaan yang runut. Segala sesuaturumah, jalan, jembatan, pelabuhan, sekolah, pasar, apa punperlu dibangun secara bersamaan, secara paralel. BRR lantas merujuk proses ini sebagai konstruksi yang paralel dan holistik. BRR harus siap melakukan semuanya, sekalipun dengan menanggung risiko ada sisa bahan yang berlebihan atau keluarankeluaran yang tidak saling mengisi.3

Kuntoro pun tak bisa berbuat banyak dengan pemberitaan bernada minor. Rileks saja, bekerja saja. Mau apa lagi? Karena the performance will tell. Ya, di balik semua kekurangan yang ada, BRR juga menuai banyak respon positif. Dalam acara diskusi panel Jakarta Foreign Correspondence Club pada 28 Januari 2009 di Jakarta, Direktur Bank Dunia (World Bank, WB) Joachim von Amsberg menyatakan kepada pers bahwa apa yang dicapai oleh pemulihan AcehNias merupakan suatu kisah keberhasilan yang tidak ada presedennya. Amsberg pun mengakui bahwa kisah keberhasilan ini, yang telah diarahkan oleh sebuah kepemimpinan pemerintah, merupakan suatu pembelajaran yang sangat menarik dan semestinya menjadi suatu model khusus untuk kemitraan internasional. Direktur Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank, ADB) untuk Indonesia Edgar Cua, atas nama lembaganya, mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia. Melalui BRR, kemajuan nyata pemulihan AcehNias telah dibuktikan. Tanpa dukungan dari segenap pemangku kepentingan terkait, kata Cua, prestasi tersebut mustahil tercapai. Mengingat skala program rekonstruksi ini merupakan yang terbesar di dunia, ADB melihat bahwa tantangan kelak akan terus dihadapi oleh semua pihak. Terlebih saat memulai kerja transisi, dari fase rekonstruksi, yang dipimpin BRR, ke fase pembangunan berjangka panjang, yang dimasinisi Pemerintah Daerah (Pemda). Direktur Badan Amerika untuk Pembangunan Internasional (United States Agency for International Development, USAID) William M. Frej mengakui keberhasilan upayaupaya yang telah dilakukan mitramitra Indonesianya di BRR, Pemda, dan LSM, serta organisasi internasional yang didanai USAID selama dua tahun terakhir. Frej berterima kasih atas komitmen pribadi dan profesional setiap pihak, pengorbanan yang telah mereka lakukan, serta sumbangan nyata bagi pemulihan kawasan itu. Lebih dari bentuk fisik yang berwujud, sejatinya badan ini pun telah berusaha meletakkan fondasi bagi perwujudan good governance. Dalam acara FutureGovIV di Hotel Grand Hyatt, Bali, pada pertengahan Oktober 2008, Alphabet Medialembaga informasi sektor publik internasionalmenobatkan BRR sebagai pemenang Praktik Terbaik Pengelolaan Informasi melalui aplikasi Pangkalan Data Pemulihan AcehNias (Recovery AcehNias Database, RANdatabase) yang dikembangkannya. BRR, dengan demikian, menyisihkan 450 nomine dari 15 negara di kawasan Asia Pasifik. RANdatabase

Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra

Orang yang mencari rumah real estate pun adalah orangorang yang bahagia. Sedangkan yang BRR bantu adalah orangorang yang kehilangan pasangan hidup, anak, orang tua, dan rumah. Secara kejiwaan, para penyintas berada dalam kondisi tidak seimbang. Tidak mudah menebak kemauan mereka, yang senantiasa berubah. Sudahlah, lakukan saja. Saya tidak kehilangan anakistri. Tapi mereka? Yang kita bantu memang orangorang yang sedang kesusahan, ujar Kuntoro.

9

dinilai unggul dari aspek tujuan, fungsionalitas, dan produktivitas. Sistem pengelolaan proyek ini juga dinilai inovatif, terutama karena solusi berbasis data online yang diusungnya demi memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas.4 Sementara itu, karena sistem dan prosedur kerja pelaporan dan akuntabilitas di internal Bapel BRR masih dalam taraf pengembangan, Laporan Keuangan (LK) BRR 2005/2006 dinilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum memenuhi standar dari empat karakteristik LK. Sajian informasi LK BRR kala itu, terutama soal informasi aset, belum dapat diverifikasi BPK. Tak urung, BPK mengganjar LK BRR dengan opini disclaimer. Predikat ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bapel BRR untuk berbenah. Kedeputian Bidang Keuangan dan Perencanaan yang bertanggung jawab atas penyusunan LK mulai mengembangkan sistem dan tata kerja yang menghasilkan informasi keuangan yang dapat diverifikasi. Selangkah lebih maju, pengelolaan informasi aset semakin diarahkan BRR untuk membenahi inventarisasi aset dan menerapkan Sistem Manajemen Aset (Simas). Setahun kemudian, berkat pembenahan di semua lini, LK BRR 2007 dapat diselesaikan tepat waktu. Verifikasi yang dilakukan BPK terhadap data dan informasi dalam LK itu pun membuahkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Predikat WTPnilai tertinggi audit keuangan terhadap instansi kementerian/lembaga (K/L) pusatdidasarkan pada kriteria kesesuaian terhadap ketentuan yang diberlakukan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan, serta efektivitas sistem pengendalian internal. LK BRR 2007 lantas diikutsertakan dalam ajang kompetisi LK tahunan bagi perusahaan swasta dan badan usaha milik negara (BUMN): Annual Report Award (ARA) 2007. Meski akhirnya tidak dapat diajukan dalam penilaian karena statusnya yang bukan swasta ataupun BUMN, upaya Bapel BRR untuk memajukan prinsipprinsip good governance tersebut merebut apresiasi positif dari dewan juri dan semua peserta. Pada 2006, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BRR berhasil pula meraih predikat terbaik dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN). LAKIP BRR secara meyakinkan berhasil menyisihkan 70 LAKIP dari K/L lainnya. Dalam menyusun LAKIP, Bapel BRR mematuhi sistematika berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 239/ IX/6/8/2003. Di luar penghargaan sebagaimana diuraikan di atas, sejumlah pihak kerap mengaitkan kinerja BRR dengan tingkat realisasi janji (pledge) dana bantuannya. Dari publikasi yang diterbitkan oleh WB dan Bappenas pada Januari 2005, total asesmen kerusakan dan kerugian akibat bencana di Aceh dan Nias mencapai sekitar US$ 4,45 miliar. Berdasarkan kalkulasi BRR, asesmen kebutuhan dana pemulihan AcehNias kirakira senilai US$ 7,1 miliar. Per Agustus 2008, dana bantuan yang dipledgekan telah mencapai sekitar US$ 7,2 miliar. Kirakira 93 persennyasetara dengan US$ 6,7 miliartelah

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

10

berstatus komitmen (commitment) yang diwujudkan dalam bentuk proyek. Besaran nilai pledge ke commitment yang begitu tinggi inibelum pernah tertandingi oleh negara mana pun yang pernah mengalami bencana berskala besaralhasil menangguk pengakuan dan kepercayaan (trust) dunia internasional. Empat tahun berlalu. Badan ini berkemas. Mereka, para pejuang kemanusiaan, begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjuluki, telah merampungkan tugas masingmasing. Ada yang kembali ke tempatnya bekerja semula. Ada yang berkecimpung dalam pekerjaan baru. Kiprah yang telah ditorehkan memang tak sepenuhnya sanggup membuat semua pihak puas. Itu fair. Satu yang tak bisa dimungkiri, mereka semua tercatat telah melakukan pekerjaan yang barangkali sebelumnya terbayangkan pun tidak, yakni menghidupkan kembali sebuah tanah yang nyaris rata dilumat bencana alam, bahkan menjadi lebih baik dan lebih aman.

Penghargaan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI atas Laporan Keuangan BRR 2007 dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian.

Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra

11

Mulai dari Titik Jatuhnya BatuTatkala pertama kali BRR menjejakkan kaki di Aceh, di hadapannya terbentang medan pekerjaan yang, karena sedemikian luas dan kompleksnya kerusakan, tak diketahui harus bagaimana dan dari mana dimulai. Roda waktu terus berputar, tak ada sempat lagi untuk berlamalama menimbang. Sesuatu harus diputuskan. Segera.tanah itu begitu lapang. Tak ada pepohonan, apalagi rumah. Bertumbangan. Karena tak ada lagi penghalang, hawa panas menjalar ke segala arah. Kering dan tandus tibatiba. Itulah ground zero, tepi Pantai Ulee Lheue, salah satu kawasan yang paling parah diterjang tsunami di Aceh. Pemandangan yang menggetarkan ini sertamerta mengerem mobil rombongan itu. Satu per satu penumpangnya turun dan masuk ke salah satu tenda darurat di sana; hunian sementara (huntara) penyintas tsunami. Seorang lelaki paruh baya dengan santun memperkenalkan diri. Saya Kuntoro. Kami dari BRR, lembaga yang dibentuk Pemerintah untuk membangun kembali Aceh, katanya sambil mengenalkan anggota rombongan yang lain. Rombongan itu mendekat, menyalami para penyintas, berbincang, menanyai kondisi mereka. Namun respon mereka terasa dingin. Nama BRR berlalu begitu saja, tidak terlalu penting sepertinya. BRR masih asing di telinga mereka. Di benak mereka, barangkali badan itu tak jauh berbeda dengan LSM. Maklum, sejak masa tanggap darurat, LSM sudah ramai hilirmudik di sana membantu mereka. Bagi para awak pertama BRR, hal itu tidak begitu penting. Hal itu justru menyadarkan BRR agar bergegas bergerak, bertindak, memutuskan sesuatu.

HAMPARAN

Hancur dan rata, adalah dua kata yang mendominasi sejauh mata memandang pada lanskap pesisir Aceh. Bisa dibayangkan, dengan area seluas dan kerusakan sekompleks itu, betapa susahnya megapekerjaan Pemulihan ini dimulai. Foto: Arist von Hehn

Bagian 2. Mulai dari Titik Jatuhnya Batu

13

Jam Penerbangan TerawalSegera setelah diambil sumpahnya sebagai Kabapel BRR oleh Presiden SBY, pada 3 Mei 2005, Kuntoro memimpin rombongan pertama BRR terbang ke Banda Aceh. Berbekal tiket pesawat Garuda Indonesia yang ditanggung oleh Badan Australia untuk Pembangunan Internasional (Australian Agency for International Development, AusAID), mereka langsung berkemas. Rombongan BRR mengambil jadwal penerbangan paling awal. Pagipagi sekali, Kun panggilan akrab Kuntorodidampingi sang istri, Tuti Hermiatin, sudah standby di Bandar Udara (Bandara) SoekarnoHatta, Cengkareng, Provinsi Banten. Hari itu ia mengenakan pakaian lapangan lengan pendek dan celana berwarna cokelat khaki. Langsung bekerja, Pak? sapa salah seorang penumpang. Selamat bekerja ya, Pak, ucap yang lain. Kun membalas dengan senyum dan anggukan, seraya berucap terima kasih dan minta didoakan agar pekerjaan ini berjalan baik. Duduk sepesawat dengannya: orangorang yang akan membantunya bekerja di BRR, antara lain Junius Hutabarat, Eddy Purwanto, Sudirman Said, Bima Haria Wibisana, Widjajanto, Douglas Batubara, Arif Ariadi, dan Bill Nicol. Berat dan masih dipenuhi tanda tanya, karena medan di depan belum mereka kenali sungguh. Setelah empat jam berada di langit, mereka pun mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Kala itu, bandara yang terletak di Kabupaten Aceh Besar tersebut ramai oleh hilirmudik para pekerja kemanusiaan dari dalam dan luar negeri. Para pejabat negara, wartawan pemburu berita, serta pesohor berdatangan menyampaikan dukungan. Sekretaris Bapel BRR Ramli Ibrahim dan beberapa anggota BRR lainnya menyambut mereka. Ramli memang ditugasi Kuntoro untuk berangkat ke tanah kelahirannya sehari sebelum keberangkatan mereka. Untuk mempersiapkan penyambutan rombongan? Tidak ada itu. Kuntoro bahkan melarang siapa saja menyambut rombongannya dengan upacara protokoler kenegaraan. Dalam suasana prihatin, bagi Kuntoro, tidaklah pantas menunjukkan halhal semacam itu. Rombongan yang datang hari itu bermaksud untuk bekerja dan membantu, bukan untuk melakukan kunjungan. Agendanya ringkas saja: berkeliling ke lokasi bencana dan membuat pertemuan yang sudah direncanakan dengan beberapa pejabat daerah. Ramli memandu rombongan. Tujuan pertama sudah pasti Baiturrahman, masjid paling besar di jantung Kutarajanama pemberian Belanda dahulu untuk Banda Aceh sebelum mendatangi daerah yang paling terdampak tsunami di sekitarnya. Rombongan memasuki halamannya yang lapang. Baiturrahman adalah salah satu masjid terindah di Indonesia. Lima kubah masjid berusia ratusan tahun itu tampak seperti menyangga birunya langit Banda Aceh.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

14

Rombongan mengambil air wudu, lalu menapakkan kaki melewati pintu masjid yang berukir pinto Aceh (pintu khas Aceh). Hawa sejuk menyergap begitu mereka memasuki ruangan. Anggota rombongan kemudian melakukan salat berjemaah di masjid yang dibangun kembali pada 1875 setelah dibakar Belanda pada 1873 itu. Seusai menunaikan salat, di dalam masjid itu pula, BRR melayani bertubitubi pertanyaan dari para kuli tinta yang telah menunggu kedatangan mereka. Bill Nicol, seorang konsultan asal Australia, yang diperbantukan oleh AusAID, yang menyertai rombongan, menunggu di mobil. Ia tidak turut masuk ke dalam masjid karena masih raguragu apakah diperbolehkan masuk atau tidak. Padahal, di dalam masjid, banyak juga wartawan asing yang menunggu untuk mewawancarai Kuntoro. Aceh masih merupakan misteri bagi banyak orang, termasuk Bill Nicol. Setelah itu, rombongan menuju Pelabuhan Ulee Lheue di Kecamatan Meuraxa. Jalanjalan menguarkan hawa lengang. Sampah tsunami teronggok di manamana. Pelabuhan ini pertama kali dibangun pada 1992. Lokasinya yang tak jauh dari pusat Kota Banda Aceh membuatnya strategis sekali sebagai penghubung antardaerah di Aceh, terutama dari dan ke Sabang. Sebanyak 600 penumpang dan 15 ton barang keluarmasuk per hari melalui layanan jasa kapal ferinya. Sementara itu, kapal barang besar bertonase 500 ton melayani pelayaran dari dan ke Medan serta pantai barat Aceh.

Segera setelah diambil sumpahnya sebagai Kabapel BRR oleh Presiden SBY, Kuntoro memimpin rombongan pertama BRR bertolak ke Aceh. Kuntoro, beserta istri dan rombongan, menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Bandara SIM, Aceh Besar, pada Selasa, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Mulai dari Titik Jatuhnya Batu

15

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

16

Kuntoro beserta istri dan sejumlah deputi, melantunkan doa di pemakaman massal terbesar tsunami di Lambaro Siron, Kabupaten Aceh Besar, 3 Mei 2005. Lebih dari 50.000 jenazah, setelah sulit dikenali atau tidak sempat ditemukan oleh keluarga, dimakamkan dalam satu liang besar. Foto: BRR/Arif Ariadi

Di sana, tsunami menyisakan Masjid Baiturrahim dan separuh bangunan Rumah Sakit Meuraxa. Selebihnya, sepanjang mata memandang, kawasan yang dulu padat penduduk itu terlihat hampir rata dengan tanah. Sejumlah grafiti menghiasi reruntuhan yang tersisa. Yang pernah bercinta di sini bertobatlah adalah salah satunya. Rombongan itu diam tercekat. Duka dan ketidakberdayaan Aceh, melalui Banda Aceh sebagai salah satu jendela pandang utamanya, sukar diungkap dengan katakata. Sebelumnya, dari arah Bandara SIM menuju kota, iringiringan mobil rombongan BRR berhenti di Lambaro Siron, Kabupaten Aceh Besar. Lebih dari 50.000 jenazah, setelah sulit dikenali atau tidak sempat ditemukan oleh keluarga, dimakamkan dalam satu liang besar. Anggota rombongan turun untuk melantunkan doa di makam massal terbesar di Aceh itu. Pemakaman serupa terdapat pula di Ulee Lheue dan Lhok Nga.

Tiada Peta, Tiada KompasSebelum bertolak ke Ulee Lheue siang itu, rombongan BRR menuju pendapa kantor gubernur. Dalam perjalanan, dapat disaksikan antrean panjang pembagian makanan dan bantuan lain untuk para penyintas. Rombongan sempat singgah di suatu tempat untuk dipeusijeuk. Secara harfiah, peusijeuk berarti penyejuk. Ritual memerciki seseorang dengan tepung tawar ini merupakan adat setempat. Maknanya kuranglebih adalah memercikkan kesejukan, agar kukuhdamai dalam ikatan persaudaraan. Sampai di pendapa kantor gubernur, rombongan dijamu makan siang. Namun hidangan itu tak jua membangkitkan selera makan sebagian besar dari mereka. Bagaimana tidak, penderitaan para penyintas yang baru mereka temui masih terngiang. Kondisi para penyintas masih belum menentu, tinggal berimpitan, berbagi tenda dengan puluhan keluarga lain. Kesedihan dan kelelahan yang menggelayut di muka para penyintas itu begitu membekas di hati. Rasanya seperti berdosa sekali, ujar salah seorang anggota rombongan kepada kawannya, sementara mereka menunggu pembagian beras, kita malah makan enak di sini. Di selasela makan siang itulah Kuntoro kemudian membuka pembicaraan bahwa, untuk harihari ke depan, BRR akan bekerja dengan wajah berbeda, lebih membumi. Tidak akan ada kegiatan protokoler. Staf BRR harus menunjukkan kesederhanaan. Tidak akan ada pengawalan khusus, baik bagi Kuntoro maupun pejabat teras yang lain. Halhal ini tentu secara tak langsung menarik simpati masyarakat. Jamuan makan siang berakhir. Penjabat Sementara Wali Kota Banda Aceh menawarkan ruangan di sebelah kantornya untuk digunakan BRR sebagai kantor sementara. Ada satu kisah yang amat berkesan, yang tak mungkin dilupakan, yakni ketika Kuntoro berdiri di depan Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue. Ia tertegun oleh gersangnya lanskap Meuraxa.

Bagian 2. Mulai dari Titik Jatuhnya Batu

Rombongan bergerak meninggalkan Lambaro Siron. Sekejap, pikiran Kuntoro terbang ke peristiwa ketika ia berpamitan kepada ibunya beberapa hari sebelum berangkat. Rangkaian kata sang ibu membesarkan hatinya. Kun, ini panggilan Gusti Allah. Saatnya kamu membantu orangorang yang ditimpa kesusahan, pesan sang ibu. Memang, selama ini kamu juga sudah membantu mereka yang kurang beruntung, tetapi tidak langsung dengan tangan kamu. Sekaranglah saatnya.

17

Ed! tibatiba Kuntoro memanggil Eddy Purwanto, salah satu deputinya. Kapan kita bisa melihat di Aceh ini alatalat berat mulai bekerja di manamana, ya? ujarnya. Eddy tak menyangka akan disodok tantangan seperti itu.Bagian 2. Mulai dari Titik Jatuhnya Batu

Sambil matanya mengikuti gerak tangan kanan Kuntoro naikturun kirikananmemperagakan gerak alat beratEddy pun menyahut, Sebentar lagi, Pak. Bersamaan dengan saat mereka turun dari mobil, salah satu rekan lain balik bertanya, Kita mulai dari mana, Pak? (Kerusakan) begitu luas, begitu banyak. Tidak ada peta. Tidak ada kompas. Kuntoro tercenung sekian detik. Untuk selanjutnya, dengan tenang, perlahan ia merunduk, memungut sebuah batulebih tepatnya kerikilsebesar biji salak. Batu itu kemudian dilemparkannya ke arah belakang. You lihat di mana batu itu jatuh? Nah, dari situ kita mulai! Kalimat itu bukan berarti BRR tidak memiliki perencanaan. Yang hendak diketengahkan adalah, saking luas dan kompleksnya kerusakan, tidak peduli di mana pun titik medan, yang penting pekerjaan pemulihan harus dimulai.

19

Awak pertama BRR langsung mengunjungi para penyintas tsunami yang ditampung di tendatenda di halaman perkantoran TVRI NAD, Jalan Jenderal Sudirman, Mata Ie, Banda Aceh, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Merebut MomentumGempa bertsunami merupakan ujian pertama yang cukup berat bagi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla, yang belum lama mengecap indahnya bulan madu. Pemerintahan yang baru berjalan dua bulan itu pun bekerja keras. Sebuah perlombaan melawan waktu, sekaligus memanfaatkan momentum emas.

Air Mata Belum Lagi Kering

WARTA itu hinggap juga akhirnya di ujung timur Indonesia. Kala itu, rombongan

Presiden SBY sedang di Nabire, Papua, mengunjungi penyintas gempa bumi. Belum lagi kesedihan di sana mengering, tibatiba dari ujung barat negeri, tersusul warta duka yang lain: Aceh diguncang gempa berkekuatan hampir 9,1 SR. Tak pelak, ini merupakan bencana besar. Dari Nabire, Presiden SBY langsung memerintahkan agar jajaran menteri terkait segera memobilisasi seluruh sumber daya ke Aceh. Di Jakarta, Wakil Presiden (Wapres) Kalla, sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP), langsung menggelar rapat darurat guna membahas langkahlangkah penanganan bencana. Mereka mengikuti instruksi dari Kepala Negara, yang sedang berada di Nabire. Tak disangka, berita susulan lebih mencengangkan lagi. Pemerintah pun segera menetapkannya sebagai bencana nasional. Perintah dari Presiden turun: semua harus mencurahkan perhatian ke Aceh. Penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab Pemerintah. Bantuan makanan, obatobatan, dan tenda darurat, beserta tenaga dokter dan paramedis, segera diberangkatkan.Bantuan dari sejumlah negara sahabat terkumpul di Bandara SIM, 30 Desember 2004. Sedikitnya 34 negara sahabat langsung bergerak mengulurkan tangan membantu Indonesia. Foto: Donang Wahyu

Bagian 3. Merebut Momentum

21

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

22

Alwi Sihab (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, bertopi) dan Lee Hsien Loong (Perdana Menteri Singapura) mengunjungi posko tentara Singapura yang bertugas di Banda Aceh. Alwi dimandati Presiden untuk mengomandoi pelaksanaan tanggap darurat. Foto: Dokumentasi Kantor Menko Kesra RI

Keesokan harinya, 27 Desember 2004, Wapres Kalla sendiri yang tiba di Banda Aceh untuk melihat situasikondisi warga dan wilayah yang terkena bencana. Presiden SBY langsung bertolak ke Aceh. Melihat tingkat kehancuran Aceh, rombongan Bakornas PBP di bawah pimpinan Alwi Shihab, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat, langsung ditugasi ke Aceh. Alwi ditugasi untuk mengomandoi pelaksanaan tanggap darurat di daerah itu. Bukan hanya itu, Presiden memerintahkan agar Alwi tetap tinggal di Aceh. Aceh saat itu adalah wilayah yang terisolasi dan dilanda konflik, sehingga kerja wartawan tidak seleluasa yang diharapkan. Status darurat sipil telah menutup akses ke provinsi berjulukan Seuram Mekkah (Serambi Mekkah) itu. Selain itu, sebagian besar sarana komunikasi di sana lumpuh oleh tsunami. Barulah setelah apa yang terjadi di Aceh itu masuk ke rumahrumah melalui pesawat televisi dan Internet, dunia tersadar bahwa ternyata yang dialami Indonesia lebih parah. Karena itu, bisa dimengerti jika kabar mengenai Aceh dan sebagian wilayah Sumut boleh dikata sedikit terlambat dibandingkan dengan berita tentang bencana yang terjadi di belahan dunia yang lain, misalnya Sri Lanka dan Thailand. Media di sana dengan cepat

mengabarkan apa yang sedang terjadi. Wajar memang, karena wilayah landaan tsunami di kedua negara tersebut telah tersohor sebagai destinasi wisata para pelancong dunia. Seperti menyibak tirai, semua adegan pun terpampang. Mata dunia diam terpaku. Siapa yang bisa lupa dengan lambaian seorang lakilaki yang meminta pertolongan di atas atap rumah yang sudah terendam oleh arus yang deras? Di layar kaca pula bisa disaksikan jasad berserakan memenuhi sungai, teraduk dengan puingpuing. Simpati meluncur dari seluruh penjuru dunia, yang mungkin sebelumnya tak pernah mendengar nama Meulaboh atau Calang. Dukungan (inter)nasional yang menembus sekatsekat antarras, agama, afiliasi politik, bahkan benua itu mengalir deras: tenaga manusia, dana, logistik, peralatan evakuasi, atau sekadar ucapan keprihatinan. Mereka membuka hati, mengulurkan tangan. Di dalam negeri, aksi solidaritas untuk Aceh juga terjadi di manamana. Pos komando (posko) pengumpulan dana menjamur di segenap penjuru negeri. Pesta Tahun Baru pun dibatalkan, digantikan dengan renungan dan doa bersama bagi mereka yang tertimpa bencana. Artisartis yang manggung di berbagai acara hiburan pun merelakan rezeki tahun barunya demi rakyat Aceh.

Presiden SBY mengunjungi lokasi penyintas di Lhokseumawe, 27 Desember 2004 langsung dari kunjungan gempa Nabire, Papua. Kecepatan respon dari pemerintah pada fase tanggap darurat ini, kelak mengilhami kesigapan dalam fase Pemulihan. Foto: Antara/Setpres

Bagian 3. Merebut Momentum

23

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

24

Wapres Jusuf Kalla (kiri) menyimak penjelasan M. Maaruf (Menteri Dalam Negeri) dan Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan), 28 Desember 2004. Kedua menteri menunjukkan area landaan tsunami yang meliputi pesisir Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Foto Antara/Ali Anwar

Tak hanya dari negeri sendiri. Sebanyak 34 negara sahabat sontak terkejut dan tanpa ragu mengulurkan tangan. Mereka datang dengan menyediakan 1 rumah sakit terapung, 9 kapal induk, 14 kapal perang, 82 helikopter, 31 pesawat udara, 117 tim medis, dan 16.000 sukarelawan. SIM, beberapa hari setelah tsunami, berubah menjadi bandara internasional. Bermacammacam etnis, ras, dan warna kulit tumpahruah di Aceh. Orang berlalulalang dengan berbagai seragam: militer, dokter, tenaga sukarelawan, ahli komunikasi, operator mesinmesin berat, juga wartawan, baik lokal maupun asing. Mobil dengan berbagai tulisan logo organisasi hilirmudik melakukan evakuasi dan distribusi logistik.

Perang AntarSerdaduBantuan dan tangan para sukarelawan tentu ada batasnya. Mereka tidak bisa menjangkau daerah yang rusak dan sulit ditembus kendaraan. Tak ada pilihan lain, hanya kalangan militer yang bisa, karena mereka memiliki alat dan mobilitas yang lebih memadai.

Tidak perlu waktu lama, segeralah terpampang potret hidup yang sampai kapan pun tak akan lekang: Aceh menjadi sebuah medan bagi para serdadu lintas negara dan lintas strata untuk berperang. Bedanya, perang ini adalah perang minus mesiu. Perang kali ini adalah perang dalam mencurahkan kontribusi kemanusiaan. Meski status Aceh pada saat tsunami masih darurat sipilyang salah satu isinya melarang kehadiran pasukan militer asingPresiden SBY telah mengizinkan kehadiran mereka (hanya) dalam rangka operasi kemanusiaan. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Endriartono Sutarto lantas menjalankan tugas dari Presiden untuk mengatur keterlibatan militer asing tersebut. Tak kurang dari 24 jam setelah tsunami, Panglima Angkatan Bersenjata Australia Jenderal Peter Cosgrove berbicara di ujung telepon dengan rekannya di Indonesia, Jenderal Sutarto. Jenderal yang pernah menjadi Panglima Pasukan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) di Timor Timur pada 1999 itu dimintai bantuan oleh Sutarto, We dont have enough planes to supply the area. Can you fly your C130s directly to Aceh instead of Jakarta? Sebuah kalimat yang lugas, jujur, tanpa basabasi. Setelah itu, telepon Jenderal Sutarto tidak pernah berhenti berdering. Singapura, Jepang, Amerika Serikat (AS), dan masih banyak lagi menawarkan bantuan serupa. Inilah operasi militer terbesar nonperang setelah Perang Dunia II.

Pasukan marinir Paman Sam tengah menyalurkan bantuan logistik bagi penyintas tsunami di area yang sulit terjangkau sarana transportasi darat, 4 Januari 2005. Sebanyak tiga kapal induk dan puluhan helikopter dikerahkan Amerika Serikat dalam aksi kemanusiaan di AcehNias. Foto: Ng Swan Ti

Bagian 3. Merebut Momentum

25

Ketika pertama kali mendapat kabar tentang tsunami, Panglima Angkatan Perang Singapura Letnan Jenderal Ng Yat Chung memerintahkan agar semua anak buahnya be ready to move. Pemerintah AS mengeluarkan keputusan untuk memberikan bantuan ke negaranegara landaan tsunami di Asia. Para komandan, termasuk Laksamana Fargo, beserta awak kapal induk USS Abraham Lincoln, sedang merapat di Hong Kong. Bukannya merayakan Natal dan Tahun Baru sebelum pulang ke kampung halaman, mereka malah harus mengarah ke kawasan di ujung Pulau Sumatera. Operasi tersebut berada di bawah komando Jenderal Blackman. Mereka tiba di perairan Aceh pada 1 Januari 2005 dan langsung menggelar operasi yang, seperti dikatakan Blackman, berbeda dibandingkan dengan operasi yang sering kalian lakukan. Operasi yang digelar itu adalah memberikan bantuan bagi para penyintas tsunami, terutama yang minim akses pertolongan dari luar. Mereka membagibagikan air minum dan air bersih. Seperti kata Duta Besar AS untuk Indonesia Lynn Pascoe, apa yang mereka lakukan telah membantu mencegah wabah kolera yang mengancam akibat tiadanya akses pada air yang higienis. AS juga menerbangkan misi kemanusiaan ke kawasan yang sama sekali tak bisa dijangkau melalui darat. Mereka membawa berbagai kebutuhan pokok, seperti air minum, bahan makanan, dan obatobatan, selain melakukan evakuasi dan perawatan bagi para penyintas. Secara total, lebih dari 2.800 misi bantuan diterbangkan. Tak kurang dari 2.200 pasien medis dirawat dan 4.000 ton bantuan diberikan. Tak pelak, kehadiran mereka sangat dinantikan. Blackman mengatakan kepada para awak kapalnya, Kalian memberikan harapan yang sangat dibutuhkan bagi para penyintas pada saatsaat tersulit. Sementara itu, sekalipun turut mengalami kerugian harta dan jiwa, armada TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tetap menjadi tulang punggung evakuasi selama masa tanggap darurat. Mereka menyediakan transportasi udara, darat, dan laut; membuka isolasi dengan membangun prasarana darurat; serta tentu saja mendukung keamanan. Mereka melakukan operasi search and rescue (SAR) di berbagai titik. Bersamasama 530 anggota organik Komando Daerah Militer (Kodam), 1.398 personel dari Batalyon Infanteri (Yonif) 122, Batalyon Artileri Pertahanan Udara (Yonarhanud) 11, dan Batalyon Gabungan mengevakuasi jenazah, membersihkan kota, serta membuat jalan dan jembatan di Banda Aceh. Batalyon Gabungan yang dimaksud terdiri atas 40 anggota posko satuan setingkat batalyon (SSY) dan satuan setingkat kompi (SSK) Yonif 126, SSK Batalyon Kavaleri (Yonkav) 6, SSK Batalyon Artileri Medan (Yonarmed) 2, serta satuan setingkat peleton (SST) Batalyon Zeni Tempur (Yon Zipur) 1. Sedangkan Akademi TNI mengirimkan 611 orang untuk membersihkan dan mengevakuasi jenazah di Banda Aceh, khususnya di lingkungan Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, masjid raya, dan tempattempat umum lain.5

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

26

Sebanyak 118 anggota Tim Kesehatan Lapangan Distrik Kesatuan Angkatan Darat (Keslapditkesad) mendirikan rumah sakit lapangan di Meulaboh, Teunom, Calang, dan Lamno. Terdapat 60 anggota Batalyon Zeni Konstruksi (Yon Zikon) yang membangun jembatan di Tapaktuan, ibu kota Kabupaten Aceh Selatan. Sementara itu, 114 anggota Direktorat Perbekalan dan Angkutan Angkatan Darat (Ditbekangad), Perbekalan Udara (Perbekud), dan Demolisi Zipur membangun jalan dan jembatan di Leupung, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar. Keterlibatan TNI Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) pun tak ketinggalan. Sekitar 1.500 anggota TNI AL mengevakuasi jenazah serta ikut membangun jalan dan jembatan di Calang. Sebanyak 247 anggota TNI AU menjalankan kegiatan operasional bandara. Markas Besar (Mabes) TNI sendiri melakukan distribusi logistik dengan mengerahkan 95 personel.6 Namun insideninsiden, meski skalanya kecil, tak bisa dihindari. Sepanjang rentang 26 Desember 2004 hingga 19 Februari 2005, terjadi kontak senjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), selain 13 kasus aksi kekerasan terhadap warga sipil. Di samping itu, anggota Kepolisian Daerah (Polda) Aceh yang diperkuat oleh petugas dari Mabes Polri, hingga akhir Januari 2005, menangkap 61 tersangka penjarahan di 26 lokasi berbeda di Banda Aceh pascabencana.7

Para anggota marinir TNI Angkatan Laut sedang melakukan bongkar muatan bantuan berupa mie instan, susu, dan air minum di Pelabuhan Ujong Karang, Meulaboh, Aceh Barat, 4 Januari 2005. Foto: Dokumentasi Puspen TNI

Bagian 3. Merebut Momentum

27

Kalangan sipil dan militer bahumembahu turun ke lapangan. Presiden SBY menugasi Mayor Jenderal Bambang Darmono untuk mengatur semua unit militer dari berbagai negara. Sedangkan untuk kendali di lapangan, Pemerintah menunjuk Bakornas PBP. Sejak hari pertama bertugas, Bakornas PBP beserta jaringan organisasinya di tingkat daerah, yakni Satuan Koordinasi dan Pelaksana (Satkorlak) dan Satuan Pelaksana (Satlak), dengan segala kemampuannya yang terbatas, segera melaksanakan koordinasi kegiatan tanggap darurat. Tantangan di lapangan yang begitu besar ditanggulangi dengan bekerja sama dengan pasukan militer. Satu fakta yang tak bisa disangsikan: pada akhirnya, tsunami telah membuka Aceh. Setelah manuver operasi kemanusiaan, mata dunia internasional pun tertuju ke sana. Tak sedikit tokoh internasional yang berkunjung ke Indonesia, antara lain Kofi Annan (Sekretaris Jenderal PBB), Colin Powell (Menteri Luar Negeri AS), William Bill Clinton (Utusan Khusus PBB untuk Pemulihan Tsunami), Javier Solana (Sekretaris Jenderal Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri), dan George Bush Senior (mantan Presiden AS). Bukan hanya tokoh pemerintahan, militer, pekerja sosial, dan khalayak umum yang menghampiri para penyintas di Aceh dan Nias. Pekerja seni dan olahraga pun banyak yang tergerak hatinya untuk mengulurkan tangan kepada mereka. Ambil contoh aktor kawakan Hong Kong,Jackie Chan, dan pesepak bola asal Portugal, Cristiano Ronaldo. Chanyang juga menjadi Duta Kemanusiaan Dana AnakAnak PBB (United Nations Childrens Fund, UNICEF)mengunjungi para penyintas di Aceh pada 1820 April 2005 untuk menyampaikan donasi sebesar US$ 4,8 juta. Donasi itu merupakan hasil konser penggalangan dana pada 7 Januari 2005 bersama aktor dan aktris lain, seperti Jet Li, Jacky Cheung, Andy Lau, dan penyanyi asal Taiwan, Chang Huimei. Saya sangat bahagia dan bangga telah menjadi bagian kecil dari Hong Kong yang peduli terhadap penderitaan di bagian lain dunia, papar Chan dalam pernyataannya. Tidak sedikit orang Hong Kong yang menyumbang lebih dari sekali, lo. Sementara itu, Ronaldo hadir untuk menyampaikan dana bantuan di Stadion Neusu, Banda Aceh, pada 11 Juni 2005. Kehadiran bintang Manchester United itu diawali oleh kisah Martunis, seorang buyung Aceh yang selamat dari gulungan tsunami setelah berjuang hidup selama 19 hari. Gambar Martunis yang berkostum tim nasional Portugal dengan nomor punggung 10 milik Rui Costa sebelumnya terpancar melalui stasiun televisi CNN ke seluruh dunia. Publik Portugal tercengang. Badan tertinggi sepak bola Portugal berupaya mencari tahu siapa gerangan bocah tersebut. Tiga hari setelah gambar Martunis disiarkan, Kedutaan Besar Indonesia di Portugal mengontak Kompas. Anda bisa membantu kami mencari tahu di manakah sekarang Martunis berada? Orangorang Portugal sibuk mencarinya, kata Ahmad Ghozali, anggota staf Kedutaan Besar RI di Lisabon, di ujung telepon.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

28

Di akhir Mei 2005, Martunis pun tiba di Lisabon, Portugal, atas undangan khusus Federasi Sepak Bola Portugal untuk menyaksikan langsung pertandingan babak kualifikasi Piala Dunia 2006. Didampingi ayahnya, bocah yang kehilangan ibu kandung beserta saudarasaudaranya itu menyaksikan kesebelasan Portugal menaklukkan Slowakia 20 di Stadion Luz. Mereka duduk berdampingan dengan Rui Costa. Sebelum pertandingan, pejabatpejabat penting sepak bola Eropa bergantian menyalami anak dan ayah itu. Legenda sepak bola Portugal, Eusebio, bahkan memeluk Martunis. Setelah itu, simpati datang dari segenap Portugal. Pelatih tim nasional Portugal, Luiz Felipe Scolari, mengoordinasi dana untuk membangun rumah bagi Martunis di Banda Aceh. Federasi Sepak Bola Portugal juga menyumbangkan 40.000 euro atau sekitar Rp 470 juta untuk keluarga Martunis. Namun Ronaldolah yang mulamula melontarkan ungkapan simpati kepada Martunis. Martunis akan saya undang ke Manchester untuk jalanjalan dan menyaksikan pertandingan Manchester United, ujarnya tak lama setelah gambar Martunis terpampang di layar CNN. Ronaldo datang ke Aceh bukan sekadar mewakili tim nasionalnya atau bangsa Portugal. Dia datang lebih sebagai duta anak muda yang peduli pada penderitaan orang yang belum pernah dikenalnya di bagian lain dunia.

Menakar KehilanganRuangan berpenyejuk udara di kantor Bappenas itu sesak oleh orang. Mereka adalah para ahli pengelolaan pascabencana atau, mungkin lebih tepatnya, pembangunan. Mereka duduk bersama untuk menyepakati penggunaan metode damage and loss assessment (asesmen kerusakan dan kerugian, DLA). Akhirnya disepakatilah untuk menggunakan metode Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin dan Karibia (United Nations Economic Commission for Latin America and the Caribbean, UNECLAC). Metode yang pertama kali digunakan pada awal 1970an ini telah mengalami uji coba, modifikasi, dan penyempurnaan selama lebih dari tiga dasawarsa hingga menjadi metodologi andalan. Sejak Januari 2005, Bappenas dan mitra multinasional pun melakukan DLA di Aceh, yang selanjutnya ditambah dengan Kepulauan Nias, hingga didapatkan besaran DLA sekitar Rp 41,4 triliun.8 Langkah ini menunjukkan respon Pemerintah yang cepat. Menteri Negara (Menneg) Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Sri Mulyani pun segera menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 001/M.PPN/01/2005 pada 10 Januari 2005 tentang pembentukan Tim Koordinasi Perencanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Bagian 3. Merebut Momentum

29

Kerusakan Akibat Gempa dan Tsunami di AcehNiasRUMAH SAKIT

KANTOR AGAM A

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

1 2 3 4

Perumahan Infrastruktur Pendidikan Kesehatan

Total 139.195 rumah hancur, 635.384 orang kehilangan tempat tinggalnya

TRADISIONAL

PASAR

Sekitar 2.618 kilometer jalan rusak, 119 jembatan rusak, 22 pelabuhan rusak parah dan 8 lapangan udara atau airstrip rusak. Lebih dari 2.827 gedung sekolah di Aceh dan 588 unit di Nias rusak. 1.927 orang guru dan 45.000 murid turut menjadi korban meninggal atau hilang. 517 sarana kesehatan rusak atau hancur, diantaranya 6 rumah sakit dan 215 puskesmas. Kerusakan sebesar Rp 13,8 triliun pada sektor produktif. Dengan asumsi PDB nonmigas terkoreksi 40 persen, pendapatan per kapita pada 2005 menurun sebesar 32 persen. Proyeksi penurunan perekonomian sebesar 5 persen di Aceh dan 20 persen di Nias. Beberapa bulan setelah tsunami, IHK di Kota Banda Aceh mencapai 14,7 persen sebagai akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, terutama bahan kebutuhan pokok. Inflasi tahunan bulan Oktober 2005 sekitar 30 persen di Banda Aceh, tertinggi dibanding kotakota lain di Indonesia. Inflasi masih menjadi masalah besar setelah masa transisi dari tanggap darurat ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi karena dipicu oleh kenaikan harga berbagai bahan bangunan (50 persen) dan upah pekerja bangunan (3040 persen). Dari total 2.254.155 orang angkatan kerja, 25 persen (600800 ribu orang) kehilangan pekerjaan: sekitar 300.000 orang di sektor pertanian, sekitar 170.000 orang di sektor UKM, dan lebihkurang 130.000 orang nelayan. Sekitar 100.000 unit UKM gulung tikar; 92.000 industri kecil di Aceh dan 12.500 unit di Nias, dengan total aset Rp 3,1 triliun rusak; kerusakan aset industri manufaktur skala menengah mencapai Rp 84 miliar. Secara umum, UMKM terkena tsunami sebesar 20,88 persen (5.176 unit), dengan rincian: hotel 59 unit (30,41 persen), restoran 1.119 unit (17,2 persen), pasar 195 unit (1,29 persen), dan warung 7.529 unit (16,71 persen). Sebanyak 25 unit (17,61 persen) bank umum dan 4 unit (8,89 persen) BPR rusak. Kredit bermasalah mencapai Rp 2 triliun dari total kredit yang disalurkan sebesar Rp 3,9 triliun. 13.828 perahu nelayan hilang, hancur atau tenggelam, 27.593 hektare tambak rusak atau tidak berfungsi, 19 unit tempat pelelangan ikan (TPI) rusak berat, dan 63 pangkalan pendaratan ikan (PPI) rusak berat. Sarana pendukung seperti saluran irigasi rusak. Lahan sawah 23.330 hektare, kebun 102.461 hektare, dan ladang 24.345 hektare rusak. Ternak sapi, kerbau, kambing, dan unggas hilang 1.904.587 ekor. Perkebunan tanaman rakyat 37.558 hektare rusak, kelapa 23.533 hektare, kelapa sawit 1.600 hektare, karet 5.395 hektare, kopi 6.242 hektare, mete 6.931 hektare, pinang 2.761 hektare, kakao 2.768 hektare, nilam 710 hektare, cengkeh 4.600 hektare, pala 1.808 hektare, dan jahe 218 hektare. Lebihkurang 2.500 hektare kawasan lindung, pendukung produktivitas perikanan, hutan bakau, dan terumbu karang rusak.

30

5

Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Industri

6

Perikanan dan Kelautan

7

Pertanian dan Kehutanan

8

Lingkungan

Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (PR2MAS). Di samping itu, upaya tanggap darurat terus diintensifkan. Muncullah banyak pemikiran, termasuk bagaimana cara mengumpulkan dana untuk membangun Aceh. Pada 6 Januari 2005, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) yang bertajuk Pertemuan Khusus Para Pemimpin ASEAN Mengenai Dampak Gempa Bumi dan Tsunami di Jakarta. Pertemuan yang juga dikenal sebagai Tsunami Summit itu dipimpin langsung oleh Presiden SBY dan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan serta sejumlah pemimpin negara sahabat. Penyelenggaraan pertemuan itu berangkat dari percakapan Presiden SBY dengan Lee Hsien Loong (Perdana Menteri Singapura), Abdullah Badawi (Perdana Menteri Malaysia), dan para pemimpin Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations, ASEAN) lainnya. Pemerintah Indonesia kemudian mempersiapkan KTT dalam rentang waktu kurang dari seminggu. Sejarah mencatat, Tsunami Summit sukses dalam membangun sebuah solidaritas global, terutama untuk membantu pemulihan pascabencana Aceh dan kemudian Nias.

Wajah muka bumi Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat, Juli 2005. Semula, sebelum Calang diketahui kabarnya, Meulaboh diprediksi sebagai area landaan terparah tsunami. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Merebut Momentum

31

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

32

Presiden SBY (kanan) dan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan (kiri) tengah berbincang di Balai Sidang Jakarta pada Pertemuan Khusus Para Pemimpin ASEAN mengenai Penanganan Pascagempa dan Tsunami, 6 Januari 2005. Foto: AFP/Inoong

Para pemimpin duniautusan kenegaraan dan pemimpin organisasi dunia berkumpul pada Rabu itu untuk mengeksplorasi jalan ke arah pemulihan negaranegara landaan tsunami secara lebih nyata. Dalam pertemuan itu akhirnya disetujui bahwa akan dikucurkan dana bantuan bagi pemulihan semua negara landaan tsunami. Selain itu, negaranegara kreditor yang tergabung dalam Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (Consultative Group on Indonesia, CGI) bertemu pada 1920 Januari 2005. Tujuannya adalah membahas bantuan untuk pemulihan Aceh. Untuk 2005, CGI memberikan pledge bantuan senilai US$ 5,4 miliar. Pada Februari 2005, Menteri Keuangan Jusuf Anwar mendorong WB untuk merancang mekanisme dana perwalian (trust fund) demi mendukung proses pemulihan Aceh. WB, bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan sejumlah negara donor, kemudian membentuk Dana Perwalian MultiDonor (MultiDonor Trust Fund, MDTF) pada 10 Mei 2005. MDTF ini kelak menjadi pendana internasional gabungan terbesar untuk pemulihan AcehNias. Mekanisme ini menjadi landasan para donor untuk melakukan pembicaraan dan koordinasi sehingga akhirnya secara bersamasama mereka menyumbangkan sekitar 10 persen dari total dana pemulihan.9

Persis dua bulan sebelum MDTF terbentuk, para kreditor yang tergabung dalam Paris Club telah menawarkan moratorium utang ke negaranegara landaan tsunami. Untuk Indonesia, moratorium utang yang disetujui Paris Club (hingga akhir 2005) senilai kuranglebih US$ 2,7 miliar. US$ 2,1 miliar di antaranya khusus ditujukan bagi kebutuhan pemulihan pascabencana di Aceh dan Nias.Bagian 3. Merebut Momentum

Bersamaan dengan itu, pembahasan tentang Aceh dan penanganan pascabencana terus mewarnai pembicaraan di berbagai kalangan, dari media, akademisi, politisi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga para duta besar negara sahabat. Topik yang paling hangat saat itu: perlukah Pemerintah membentuk semacam badan otorita khusus untuk memulihkan Aceh? Dalam harihari pada Januari 2005, Pemerintah terus menggodok konsep badan otorita khusus tersebut. Rapat konsultasi pimpinan DPR sendiri sepakat akan meminta pembentukan badan otorita sebagai suatu solusi atas kurangnya koordinasi bantuan di daerah landaan bencana. Badan otorita ini direncanakan bertanggung jawab atas proses pemulihan di Aceh. Di pihak lain, agar tidak timbul masalah hukum di kemudian hari, DPR merasa perlu menyediakan payung hukum bagi penggunaan bantuan di daerah landaan bencana. Mengingat masalah ini sangat mendesak, Perpu mungkin dibutuhkan, kata Ketua DPR Agung Laksono. DPR juga akan meminta agar proyek pemulihan Aceh dibuka seluasluasnya kepada publik. Wapres Kalla, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan kembali Aceh, Pemerintah telah mempertimbangkan bahwa akan dibentuk sebuah badan pelaksana. Kelak badan pelaksana tersebut bersifat operasionalberbeda dengan badan otorita, yang lebih bersifat pengumpulan kewenangan. Yang penting, kata Kalla, adalah kegiatan membangunnya, bukan kekuasaan lembaganya. Badan otorita lebih cocok untuk daerah yang masih kosong struktur pemerintahannya, sehingga kurang tepat untuk Aceh. Pada awalnya Kalla memberikan penjelasan bahwa badan pelaksana itu nantinya dikendalikan oleh wakil gubernur dan lebih banyak bekerja layaknya pemimpin proyek. Badan pelaksana akan bertanggung jawab langsung kepada presiden dan masa tugasnya dibatasi (ad hoc). Badan ini, ujar Kalla, diharapkan juga melakukan pengawasan yang ketat terhadap seluruh bantuan, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri, demi meminimalisasi tindak korupsi. Jangan sampai simpati berubah menjadi antipati, kata Kalla. Wacana terus bergulir. Konsultasi antara Pemerintah dan DPR untuk mencapai kata sepakat pun semakin intensif dilakukan. Dilihat dari pengelolaan penanganan bencana alam di negeri ini, upayaupaya tersebut jelas merupakan sebuah langkah maju. Tidak hanya sampai di situ, sebenarnya. Terutama untuk memanfaatkan tsunami sebagai momentum emas, secara simultan, terobosanterobosan yang terkait dengan perundingan perdamaian di Aceh pun diupayakan.

33

Tegangan di Garis StartMenyusul berakhirnya masa tanggap darurat, badan khusus harus sudah terbentuk. Pemulihan AcehNias tidak bisa ditundatunda lagi. Inilah likaliku di balik layar pembentukan BRR. Tidak semulus yang dikira, ternyata. Tawarmenawar, tarikulur, majumundur, dan tegangkendur mewarnai prosesnya.itu tibatiba datang dari orang nomor dua di negeri ini. Wapres secara khusus meminta Kuntoro datang ke rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Ada apa gerangan? Apa yang menyebabkan Kalla memanggil Kuntoro, yang saat itu sudah jauh dari birokrasi, untuk sebuah perbincangan yang serius?

UNDANGAN

Satu Jam Bersama KallaSebelum pukul lima, waktu yang dijadwalkan, Kuntoro sudah tiba di rumah itu. Pada akhir pekan keempat Januari 2005 itu, Kuntoro datang dan diterima Muhammad Abduh, anggota staf ahli Kalla. Kuntoro mendugaduga, panggilan ini berkaitan dengan Aceh. Ia memang sempat mendengar desasdesus bahwa dirinya masuk sebagai kandidat Kepala Bapel untuk menangani proses pemulihan Aceh. Saya mendengar kabar itu dari Ibu Sri Mulyani, katanya merujuk pada Kepala Bappenas pada waktu itu. Ternyata benar. Pemanggilan itu tak lain berkaitan dengan urusan Aceh. Dalam pembicaraan yang berlangsung selama satu jam ituditemani AbduhKalla mengemukakan pemikirannya tentang Aceh. Dengan mempertimbangkan kerusakankerusakan akibat tsunami, Kalla berpandangan bahwa badan otorita khusus perlu dibuat. Nah, secara tak langsung, Kalla juga mengukur kesediaan Kuntoro untuk memimpin badan tersebut.Kabapel BRR, Kuntoro Mangkusubroto, menyimak jalannya rapat anggaran dengan DPR RI mengenai pengesahan DIPA untuk BRR, Juni 2005. Momentum ini menyimpan cerita yang menarik, terutama bagi perjalanan BRR. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tegangan di Garis Start

35

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

36

Dari kiri ke kanan: Widjajanto, Amin Subekti, dan Fuad Rahmany, terlibat diskusi serius seputar persiapan pembentukan BRR. Diskusi ini berlangsung di markas Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), di Jalan Pulombangkeng, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, April 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Kuntoro tidak sertamerta mengiyakan. Panjanglebar Kuntoro mengungkapkan pendapatnya. Menurut dia, persoalan Aceh teramat rumit. Bukan semata karena bencana, tapi juga lantaran banyak persoalan yang terjadi di sana. Konflik yang tak kunjung usai serta gubernur yang dipenjara karena kasus korupsi merupakan potret beratnya persoalan birokrasi Pemda. Bagi saya, tawaran ini merupakan kehormatan, tapi saya memerlukan proteksi politik, ungkap Kuntoro tegas. Seketika itu pula Wapres memotong, Maksud Anda? Saya akan bekerja di wilayah yang sulit, Pak. Dalam rangkaian kalimat berikutnya, Kuntoro mengungkapkan alasannya. Semua persoalan, dari bencana, konflik, birokrasi yang lumpuh dan runyam, hingga letak Aceh yang begitu jauh dari Jakarta, tak pelak membuatnya butuh pengamanan politik. Apa pun lembaga yang akan saya pimpin nanti, perlu dibentuk berdasarkan UU, Kuntoro menjabarkan lebih jauh. Penjelasan ini membuat Wapres bertanya lagi, Lalu apa bentuknya? Perlindungan seperti apa maksudnya? Saya tidak tahu bentuknya, Pak. Yang pasti, badan ini memerlukan UU yang akan melindunginya dari halhal yang akan menghalangi pekerjaannya kelak, termasuk dalam melawan korupsi. Dan nantinya saya ingin bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Mendengar penjelasan yang cukup panjang dari Kuntoro, Kalla langsung mengatakan, Wah, kita tidak punya UU yang mengatur hal seperti itu. Penjelasan Kuntoro terhenti di sini. Bagi Kuntoro, apa yang diusulkannya itu sangat penting. Pengalamannya di ranah birokrasi Indonesia telah mengajarkan banyak hal yang mengharuskannya berhatihati dan mengambil tindakan yang terukur. Ia tak ingin masuk ke lubang yang ia sendiri sudah tahu tingkat bahayanya. Tak terasa, satu jam telah berlalu. Kuntoro pamit mengundurkan diri. Tuan rumah mengantarkannya sampai ke pintu keluar. Abduh ikut mengantarkan Kuntoro sampai ke pagar. Maksud you apa sih tadi? tanya Abduh setengah berbisik. Saya takutlah. Orang ditangkapi karena korupsi, (padahal) saya akan bekerja dalam situasi yang belum jelas. Begitu banyak player besar yang terlibat, baik itu di daerah maupun di pusat. Saya bisa saja terjepit dan menjadi korban. Jadi, untuk itu, saya merasa perlu, bahkan harus, di atas atau setidaknya sejajar dengan mereka semua. Teman lama Kuntoro ini menanggapi, Ya, Pak Kun. Kita semua takut. Tapi apa yang you minta itu berat sekali. Pembicaraan terhenti. Kuntoro segera menaiki mobilnya dan pergi meninggalkan rumah Kalla. Lambaian tangan keduanya menutup pertemuan petang itu.

Saya dari Jakarta, Anda dari AcehPada awal Februari 2005, Kuntoro kembali mendapat undangan. Kali ini dari sang Presiden, SBY. Undangan ini merupakan lanjutan dari diskusi pertama antara Kuntoro dan Kalla. Dalam pertemuan kali ini, mereka berbicara empat mata. Pembicaraan di ruang kerja SBY itu diawali dengan bertukar kabar. Presiden menyelipkan pesan kepada Kuntoro, yang sudah beliau kenal lama, agar selalu menjaga kesehatan. Duduk berdekatan di meja tamu kepresidenan, pembicaraan antara Kuntoro dan SBY terus berlanjut. Pembicaraan kemudian sampai pada hal yang menjadi perhatian mereka, yaitu kondisi Indonesia yang saat itu menjadi a bucket of problems, dari pertambangan yang tidak maju, isu kemiskinan, korupsi, hingga bencana alam yang terusmenerus melanda Indonesia. Problem demi problem sepertinya tak pernah berhenti mendera negeri ini. Kita memang harus membereskan negara ini, ungkap SBY menanggapi Kuntoro. Pembicaraan antara SBY dan Kuntoro akhirnya masuk ke masalah tsunami Aceh. Presiden mengatakan sudah mendapat laporan dari wakilnya mengenai pemikiranpemikiran Mas Kundemikian SBY biasa memanggil Kuntoro. Sebenarnya, apa sih esensinya?

Bagian 4. Tegangan di Garis Start

37

SBY membuka diskusi lebih lanjut dengan memaparkan kondisi Aceh yang memiliki banyak masalah: ketertinggalan, birokrasi yang bermasalah, ditambah dengan datangnya tsunami. Bagaimana kita mau bangun Aceh ini sekarang? Kalau membangun kembali jembatan, rumah, atau jalan, kami kira Menteri Pekerjaan Umum pasti bisa, Pak, Kuntoro menanggapi. Tapi, kalau Pak Presiden ingin kami membangun Aceh agar lebih baik dan menjadikannya sebagai model, ya, mari kita laksanakan. Presiden menjawab tegas, Oke, Mas Kun. Saya reform Indonesia dari Jakarta. Anda reform dan bantu saya membangun Indonesia dari Aceh. Pemerintahan SBY memang berjanji kepada rakyat Indonesia untuk membenahi kondisi bangsa, termasuk memerangi praktik korupsi yang terus menggerogoti negeri ini. Bagi Kuntoro, pernyataan dari Presiden ini sangat berarti karena memberikan peluang untuk turut membangun Indonesia. Gayung bersambut, Kuntoro pun membalas, Ya, kalau begitu, kami akan membuatnya menjadi sebuah model. Ya, silakan, Mas Kun. Nanti kita coba pikirkan bagaimana cara membangunnya. Akhirnya, pembicaraan yang sudah berlangsung cukup hangat ini masuk ke bagian diskusi yang lebih esensial. Kuntoro menyampaikan kepada SBY hal yang sama seperti pada saat berbicara dengan Kalla pada bulan sebelumnya. Untuk membangun Aceh, kami membutuhkan political shield, demikian Kuntoro mengawali pembicaraan tentang prakondisi yang diinginkan jika memang ia yang ditugasi memimpin pemulihan Aceh. Mungkin dalam bentuk UU, Pak. Namun Presiden pun memberikan respon mirip yang telah disampaikan Kalla. Ini tidak mudah. UU seperti apa, Mas Kun? Argumentasi Kuntoro pun sama seperti yang disampaikan kepada Kalla. Saya dengar Gubernur Aceh, Abdullah Puteh, akan dipenjara karena korupsi. Saya tahu mungkin ada kesalahan pribadi. Tapi bisa jadi ia terjebak dalam suasana konflik. Mungkin saja ada kekuatankekuatan lain yang membuatnya tidak bisa mencegah hal yang tidak patut tersebut, kata Kuntoro. Saya tidak mau itu terjadi pada kami. Jadi, kami butuh proteksi politik; saya hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden menangkap apa yang disampaikan Kuntoro, Maksudnya, setingkat menteri? Mungkin, jawab Kuntoro. Bagaimana mengaturnya, Mas Kun? Sejujurnya, saya tidak tahu, Pak. Apakah itu bentuknya UU atau Perpu, saya tidak tahu. Lalu pengorganisasiannya bagaimana? Yang penting, bentuknya tidak seperti birokrasi, sahut Kuntoro tegas.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

38

Dua Pekan yang MenegangkanDisadari, pembentukan badan khusus merupakan agenda penting pada saatsaat ini. Rapatrapat mulai dilaksanakan. Tim Presiden, tim Wapres, tim Kuntoro, dan tim Kepala Bappenas dengan penuh perhatian membahas satu per satu poin persiapan, dimulai dari nol. Tim Sri Mulyani dari Bappenas selalu mencatat halhal yang dibicarakan dalam pertemuan. Mbak Anisapaan akrab Sri Mulyanipulalah yang sebenarnya sangat berperan di balik berbagai pembicaraan ini. Pembahasan pertama terbatas antara SBY dan Kuntoro. Hal pertama yang dibahas adalah bentuk badan ini: apakah badan koordinasi, badan pelaksana, atau badan koordinasi sekaligus implementasi. Dalam hal ini, Kuntoro berpendapat, Amannya, badan koordinasi. Kemudian tim Kuntoro dan SBY mendiskusikan lebih detail: badannya apa, Kuntoro sebagai apa, dan kewenangan Kuntoro sebatas apa. Sampai di sini, Kuntoro menekankan pendapatnya sekali lagi, Saya perlu setingkat menteri. Presiden terenyak sejenak. Apa lagi? Kuntoro melanjutkan, Organisasi kami perlu lepas dari peraturan pemerintah yang normal. Yang mengatakan ya atau tidak adalah Bapak Presiden. Kami perlu diperbolehkan untuk tidak mengikuti Keputusan Presiden (Keppres) iniitu, misalnya bahwa staf dan organisasi harus ada kepala bironya, mesti begini, mesti begitu. Dan kami perlu mempunyai kewenangan penuh untuk memilih orang yang bekerja di dalamnya. Kenapa begitu? tanya Presiden. Menurut kami, situasi di daerah pascabencana akan menuntut seperti itu, ujar Kuntoro. Dan kami tidak based di Jakarta. Saya takut betul kalau tidak ada yang mau ikut. Siapa yang sudi ikut ke Banda Aceh untuk melakukan pekerjaan yang tidak lazim seperti ini? Jadi, organisasi dan remunerasi adalah perihal pokok. Kuntoro melanjutkan, Saya perlu menggaji seseorang sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapi di lapangan. Rapat berikutnya mulai diikuti pihak lain. Sekretaris Kabinet (Sekab) Sudi Silalahi senantiasa hadir. Kadang hadir juga dua juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Adapun MenteriSekretaris Negara, yang saat itu dijabat Yusril Ihza Mahendra, tidak sekali pun hadir. Sri Mulyani selalu hadir memberikan masukan dan merumuskan hasil pembicaraan. Semua mulai berjalan dengan baik.

Bagian 4. Tegangan di Garis Start

Kedua hal ini menjadikan diskusi antara SBY dan Kuntoro bertambah hangat. Di tengah pembicaraan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda memasuki ruangan dan melaporkan proses perundingan dengan utusan dari Hasan Tiro di Helsinki, Finlandia. Ada juga pembicaraan lewat telepon dengan Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Widodo A.S. Seperti halnya laporan yang disampaikan via telepon, permintaan Kuntoro pun berakhir dengan menyisakan pekerjaan rumah.

39

Dalam sebuah sesi pembicaraan, terlontar masukan dari Presiden, Nanti, dalam pengembangan lembaga, kita dapat meminta bantuan McKinsey & Company. Hubungi saja Adam Schwarz (kala itu adalah senior fellow di McKinsey Global Institute). Semua yang telah dibicarakan dibuatkan drafnya. Sri menyampaikan kepada Kuntoro, Pak Kun, Anda harus menangani ini secara penuh. Jadi, tidak bisa jika hanya mengoordinasi, tetapi juga melaksanakan program. Sri menambahkan, Saya tidak akan rela menyerahkan anggaran sebesar ini kepada orang yang tidak saya percayai. Seminggu berlalu. Kuntoro bertemu lagi dengan Presiden dan muncul topik pembicaraan baru. Presiden ingin wakil Kabapel nanti adalah Gubernur Aceh. Kuntoro khawatir langkah ini berpotensi menimbulkan gejolak saat bekerja. Menurut Kuntoro, ia akan dapat bekerja sama dengan kepala daerah dalam bentuk lain, tanpa perlu terlibat langsung dalam pekerjaan lembaga. Kuntoro bertanya, Mengapa gubernur? Beliau adalah tokoh politik. Sedangkan ini organisasi nonpolitis. Bagaimana jadinya jika ada seseorang yang merupakan tokoh nomor satu di Aceh sekaligus merupakan tokoh politik di dalam organisasi ini? Presiden menegur, Mas Kun, di manamana kan juga ada politik. Itulah yang menjadi poin diskusi. Semakin rumit, memang.

KISAH: Perahu yang Dilarungkan

40

Peran Awal Bappenasribuan kilometer dari Jakarta, orangorang bekerja tanpa kenal lelah, bahumembahu. Proses tanggap darurat terus berlangsung. Evakuasi jenazah yang jumlahnya membengkak mencapai seratusan ribu semakin diintensifkan. Para sukarelawan, tentaratentara dari 34 negara, dan juga Palang Merah bekerja siangmalam di bawah koordinasi Bakornas PBP. Dalam pembersihan sampahsampah tsunami, warga yang selamat dilibatkan melalui mekanisme padat karya (cash for work). Tujuannya adalah agar memungkinkan mereka, kendati

JAUH di seberang lautan,

sifatnya sementara, memperoleh pemasukan. Di sisi lain, hal ini tentu sangat membantu Pemerintah. Para pekerja kesehatan sibuk mendirikan rumah sakit, klinik darurat, dan sejumlah sarana dasar lainnya. Para pendidik dan tenaga sukarelawan sibuk membuka sekolahsekolah darurat, memberikan pendidikan, serta melakukan pemulihan trauma. Satu minggu berlalu dari pertemuan pertama Kuntoro dengan SBY pada awal Februari 2005. SBY, dalam sebuah kesempatan, kembali menanyakan kesediaan Kuntoro untuk memimpin program pascatanggap darurat.

Jadi, Mas Kun setuju? Kuntoro menjawab, Belum..., belum, Pak. Berkukuh dengan keinginannya, Kuntoro meneruskan, Pak, kami belum mendapatkan proteksi politik. Waktu terus bergulir. Fase tanggap darurat yang ditetapkan Pemerintah, sepanjang tiga bulan, semakin mendekati akhir. Pada 2 Maret 2005, Presiden SBY menerbitkan Inpres 1/2005 yang, antara lain, memerintahkan agar Kepala Bappenas mengoordinasi penyusunan Rencana Induk Kegiatan Pemulihan dan membentuk organisasi pelaksana kegiatan itu.

Poin rumit kedua: seberapa lama badan ini akan bertugas? Tiga tahun, kata Kuntoro. Mengapa tiga tahun?Bagian 4. Tegangan di Garis Start

Kalau waktu ini kita set tiga tahun, semua pikiran dan seluruh energi akan kita kerahkan karena kita sadar waktu kita terbatas. Jadi, dari pengalaman saya di tempat lain, ini seperti bedah medis: buka, potong cepat, tutup, dan segera dijahit. Kalau lama, proses itu malah bisa menyulitkan, Kuntoro menjelaskan. Tidak lima tahun? tanya Presiden. Singkat cerita, kedua poin tersebut ternyata memakan waktu pembahasan hingga dua minggu. Suatu kali, Presiden SBYkala itu sedang melawat ke Australiamengontak Kuntoro via telepon, Empat tahun. Bagaimana, Mas Kun? Kita sudah mau final ini. Baiklah, Pak. Empat tahun. Selain itu, telah disepakati bahwa Gubernur Aceh secara ex officio akan menjabat sebagai Wakil Kepala Bapel. Periode empat tahun disambut baik oleh Kepala Bappenas, yang menganggapnya tepat karena sejalan dengan periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 200409.

41

Akhir Maret 2005, keluar SK Menneg PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.174B/M.PPN/03/2005 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara (R3WANS). Tim Koordinasi R3WANS sebelumnya dikenal sebagai Tim Koordinasi Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (R3MAS), yang dibentuk pada 1 Februari 2005 berdasarkan SK Menneg PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.007/M.PPN/02/2005. Lebih dini lagi, tim ini dikenal sebagai Tim Koordinasi Perencanaan Rehabilitasi

dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (PR2MAS), yang dibentuk pada 10 Januari 2005 berdasarkan SK Menneg PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP.001/M.PPN/01/2005. Kedua bentukan awal ini telah merintis dilakukannya DLA bersama tim dari WB, yang kelak menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Induk dan, selanjutnya, pembentukan BRR. Kepala Bappenas sebelumnya telah mengoordinasi penjaringan komunitas donor melalui penelusuran pledge dan commitment yang telah disampaikan dalam sidang CGI pada Januari

2005. Commitment itu menjadi salah satu sumber pendanaan bagi pelaksanaan R3WANS. Motor utama Tim Koordinasi R3WANS adalah staf Bappenas yang berlatar belakang otonomi daerah dan pengembangan regional, pendanaan pembangunan, pengembangan kawasan khusus dan tertinggal, serta tata ruang dan pertanahan.

Bernapas (Sedikit) LegaPekerjaan administratif selesai, akhirnya. Semua pihak bersepakat dengan segala prasyarat yang diperlukan untuk pembentukan lembaga baru itu. Tak pelak, ini merupakan perkembangan yang menggembirakan, lumayan melegakan.KISAH: Perahu yang Dilarungkan

Dukunga