serat cemporet

153
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SERAT CEMPORET KARYA R. NG. RANGGAWARSITA S K R I P S I Disusun dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata 1 untuk memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Nama : Rudianto Nim : 2102403002 Program Studi : Pend. Bahasa & Sastra Jawa Jurusan : Bahasa & Sastra Indonesia FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007

description

serat cemporet

Transcript of serat cemporet

Page 1: serat cemporet

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SERAT CEMPORET

KARYA R. NG. RANGGAWARSITA

S K R I P S I

Disusun dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata 1

untuk memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nama : Rudianto

Nim : 2102403002

Program Studi : Pend. Bahasa & Sastra Jawa

Jurusan : Bahasa & Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007

Page 2: serat cemporet

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang

panitia ujian skripsi pada :

Semarang, Agustus 2007

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Sukadaryanto, M.Hum Drs. Agus Yuwono, M.Si NIP 131764057 NIP 132049997

ii

Page 3: serat cemporet

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 23 Agustus 2007

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Rustono, M. Hum Drs. Widodo Nip. 131281222 Nip. 132084944

Penguji I, Penguji II, Penguji III,

Drs. Bambang Indiatmoko, M. Si Drs. Agus Yuwono, M. Si Drs. Sukadaryanto, M. Hum NIP. 131678181 NIP. 132049997 NIP. 131764057

iii

Page 4: serat cemporet

SARI Rudianto. 2007. Nilai-nilai Pendidikan dalam Serat Cemporet Karya R. Ng

Ranggawarsita. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum, Pembimbing II: Drs. Agus Yuwono, M. Si.

Kata Kunci: Peran Tokoh Binatang, dan Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran

Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet.

Karya sastra Serat Cemporet menghadirkan binatang sebagai bagian dari tokoh cerita. Namun bukan berarti bahwa Serat Cemporet adalah cerita binatang atau yang sering disebut fabel pada umumnya. Kemunculan tokoh binatang yang diceritakan sebagai wujud deformasi atau penjelmaan dari tokoh manusia. Terdapat empat tokoh binatang, yaitu burung menco, banteng, anjing, kera, dan anjing. Dari ke empat tokoh binatang tersebut, memainkan peran yang berbeda satu sama lainnya. Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang dikisahkan, yang kemudian dapat ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan perbuatan.

Melalui tokoh-tokoh binatang, karya sastra akan lebih menarik dan menyenangkan untuk di baca. Sehingga tujuan karya sastra yang dapat memberikan manfaat berupa penyampaian gagasan, pandangan hidup, tanggapan atas kehidupan sekitar dan sebagainya dapat tersampaikan kepada pembaca. Baik secara tersirat maupun tersurat, dari kedirian atau sisi kehidupan tokoh dapat diambil nilai-nilai kehidupan yang menyaran pada penanaman budi pekerti dan moral pada pembaca.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan skripsi ini adalah 1) Bagaimana peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan? 2) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang. Manfaat penelitian ini bagi pembaca yaitu memberikan gambaran tentang peran tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan memberikan informasi yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori strukturalisme naratif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan objektif, yang menitik beratkan pada teks sastra sebagai objek penelitian. Teori struktural naratif digunakan untuk mengetahui jalinan peristiwa dan hubungan sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Langkah awal dalam penelitian ini adalah mencari insiden-insiden yang terdapat dalam cerita, yang menyaran pada tokoh binatang. Sehingga dapat diketahui peristiwa yang berupa tindakan dan kejadian yang diemban oleh tokoh binatang, dan wujud atau

iv

Page 5: serat cemporet

eksistensinya yang berupa watak dan latar dari tokoh binatang. Data tersebut dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Dengan cara mendeskripsikan data dapat ditemukan peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.

Hasil dari penelitian ini mengungkap peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan, menyaran kedudukan dan fungsinya sebagai tokoh pembawa ajaran budi pekerti luhur. Serta mengungkap nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang. Dalam penelitian ini, ditemukan nilai-nilai pendidikan yang berupa nilai pendidikan religius yang terdiri dari percaya akan takdir, ungkapan rasa syukur, dan sikap kepasrahan; nilai pendidikan etika yang terdiri dari tutur kata, dan sopan santun atau tata krama; nilai pendidikan sosial yang terdiri dari tolong menolong, kasih sayang, kesetiaan, dan kesetiakawanan; nilai pendidikan moral yang terdiri dari sikap sabar, menepati janji, rela berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.

Berdasarkan temuan tersebut, saran yang diberikan yaitu pembaca diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet dalam kehidupan sehari-hari. Teks Serat Cemporet, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

v

Page 6: serat cemporet

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar

hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini

dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2007

Rudianto

vi

Page 7: serat cemporet

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya mencari ilmu

(walau sesaat) maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina selama hayat.

(Imam Syafi’i)

Belajarlah, karena tiada seorang pun yang dilahirkan dengan membawa ilmu. Dan jelas tak sama

orang yang berilmu dengan orang yang bodoh. (Imam Syafi’i)

Siapa takut menghadapi kesulitan akan tetap dalam

kesulitan, siapa mundur menghadapi rintangan, tidak akan pernah sampai pada tujuan.

(H.N. Casaon)

PERSEMBAHAN

1. Ayah dan Ibu dengan limpahan doa dan kasih sayang,

terimakasih sudah memberikan kepercayaan untuk

saya sekaligus memfasilitasi, sehingga skripsi ini

tuntas saya selesaikan.

2. Kakak dan adikku, yang selalu hadir dan menjernihkan

kembali kebuntuan pikiran-pikiran saya ketika menulis

skripsi.

3. Almamaterku

vii

Page 8: serat cemporet

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan

petunjuk dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SERAT

CEMPORET KARYA R. NG. RANGGAWARSITA.”

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Pembimbing I, bapak Drs. Sukadaryanto, M.Hum, dan Pembimbing II, bapak

Drs. Agus Yuwono, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, dan arahan

kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

2. Rektor Universitas Negeri Semarang selaku pimpinan Universitas Negeri

Semarang.

3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, yang telah memberi izin dalam pembuatan

skripsi ini.

4. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi kemudahan

dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ayah dan ibu yang senantiasa mendoakan serta memberikan dorongan baik

secara moral maupun spiritual dan segala yang tak ternilai.

6. Kakak dan adekku yang telah memberikan waktu, perhatian dan semua yang

tak terlupakan sehingga penulis ingin segera menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabatku Fery, Yoga, Erfi, Esti, Erna, Fitri yang tak henti-hentinya

memberikan solusi dan semangat kepada penulis.

8. Rekan-rekan satu ”perjuangan”, PBSJ angkatan 2003 dengan segala kenangan

manisnya. Ayo Semangat...!!!!

viii

Page 9: serat cemporet

9. Kelurga Besar ” Pandhawa Cost ”, Bapak Sodri sekeluarga, santo, eko, arif,

yang tiada henti memotivasi penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.

10. Orang-orang yang tanpa sengaja memberikan inspirasi, motivasi, dan

semangat agar cepat diselesaikannya skripsi ini.

Doa dan harapan yang selalu penulis panjatkan kepada Allah Swt,

semoga amal dan kebaikan saudara mendapat imbalan dari-Nya. Akhirnya

penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca pada umumnya.

Semarang, Agustus 2007

Penulis

ix

Page 10: serat cemporet

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

PERSETUJUAN BIMBINGAN.................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii

SARI ................................................................................................................ iv

PERNYATAAN.............................................................................................. vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................. vii

KATA PENGANTAR.................................................................................... viii

DAFTAR ISI................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Permasalahan ............................................................................... 9

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 9

1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 10

BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 11

2.1 Naratologi..................................................................................... 11

2.1.1 Strukturalisme Naratif............................................................. 12

2.1.2 Insiden..................................................................................... 15

2.2 Tokoh dan Penokohan.................................................................. 18

2.2.1 Pengertian Tokoh .................................................................... 19

2.2.2 Pengertian Penokohan............................................................. 20

2.3 Hubungan Karya Sastra dengan Pendidikan ................................ 21

2.3.1 Pengertian Nilai....................................................................... 23

2.3.2 Pengertian Pendidikan............................................................. 25

2.3.3 Jenis Nilai-nilai Pendidikan .................................................... 26

x

Page 11: serat cemporet

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 32

3.1 Pendekatan Penelitian................................................................... 32

3.2 Sasaran Penelitian......................................................................... 33

3.3 Teknik Analisis Data .................................................................... 34

BAB IV PERAN TOKOH BINATANG, DAN NILAI-NILAI

PENDIDIKAN MELALUI PERAN TOKOH BINATANG

DALAM SERAT CEMPORET ........................................................ 36

4.1 Struktur Naratif Teks Serat Cemporet.......................................... 36

4.1.1 Insiden-insiden dalam Serat Cemporet ................................... 37

4.1.2 Peristiwa (event) dalam Serat Cemporet................................. 41

4.1.2.1 Tindakan (action) ............................................................... 41

4.1.2.2 Kejadian (happening)......................................................... 46

4.1.3 Wujud atau Eksistensinya ....................................................... 50

4.1.3.1 Watak (character) .............................................................. 51

4.1.3.2 Latar (setting) ..................................................................... 57

4.2 Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet pada Dunia

Pendidikan.................................................................................... 63

4.2.1 Burung Menco......................................................................... 66

4.2.2 Banteng .................................................................................. 70

4.2.3 Kera ......................................................................................... 75

4.2.4 Anjing...................................................................................... 78

4.3 Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran Tokoh Binatang dalam

Serat Cemporet ............................................................................ 81

4.3.1 Nilai Pendidikan Religius ....................................................... 82

4.3.1.1 Percaya akan Takdir........................................................... 82

4.3.1.2 Memanjatkan Rasa Syukur ................................................ 84

4.3.1.3 Sikap Pasrah....................................................................... 85

4.3.2 Nilai Pendidikan Etika ............................................................ 87

4.3.2.1 Tutur Kata .......................................................................... 87

4.3.2.2 Sopan Santun atau Tata Krama.......................................... 89

xi

Page 12: serat cemporet

4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial ........................................................... 90

4.3.3.1 Tolong Menolong............................................................... 90

4.3.3.2 Kasih Sayang...................................................................... 92

4.3.3.3 Kesetiaan............................................................................ 93

4.3.3.4 Kesetiakawanan ................................................................. 95

4.3.4 Nilai Pendidikan Moral ........................................................... 96

4.3.4.1 Sikap Sabar ........................................................................ 97

4.3.4.2 Menepati Janji .................................................................... 98

4.3.4.3 Rela Berkorban................................................................... 99

4.3.4.4 Rendah Hati........................................................................ 101

4.3.4.5 Tidak Mudah Putus Asa ..................................................... 102

BAB V PENUTUP.......................................................................................... 104

5.1 Simpulan....................................................................................... 104

5.2 Saran............................................................................................. 106

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 107

LAMPIRAN.................................................................................................... 109

A. Sinopsis Serat Cemporet .............................................................. 109

B. Urutan Sekuen Serat Cemporet.................................................... 129

xii

Page 13: serat cemporet

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan aspek penting untuk menghasilkan generasi yang

lebih baik, manusia sebagai makhluk individu yang berkepribadian utuh memiliki

wawasan budaya yang luas dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang

hidup dan berkembang di suatu masyarakat, menggambarkan pendidikan dalam

suatu yang sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia yang

digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai suatu kehidupan

yang lebih baik (Munib, 2005: 29-30).

Kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat, diharapkan dapat

memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat. Sastra diciptakan bukan

hanya sekedar sebagai suatu keindahan, melainkan juga dimaksudkan untuk

menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Di samping nilai estetik, dalam karya sastra

juga terdapat nilai etik atau moral. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam

Nurgiyantoro, 2005: 321), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat

ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.

Karya sastra merupakan karya yang diciptakan hanya berupa hasil rekaan

dari pengarang. Meskipun demikian, tetap ada kaitannya dengan realitas dalam

dunia nyata. Pengarang hidup di tengah-tengah masyarakat, bahannya (inspirasi)

1

Page 14: serat cemporet

2

dari sebuah karya sastra diambil dari dunia nyata. Jadi, karya sastra merupakan

pandangan pengarang tentang keseluruhan kehidupan. Oleh sebab itu, kebenaran

dalam karya sastra merupakan kebenaran menurut idealnya pengarang.

Sastra sebagai hasil dari budaya menjadi salah satu kebutuhan

masyarakat, yaitu sebagai sarana untuk berekspresi, menghibur dan sekaligus

mendidik masyarakat. Dengan demikian, sastra memiliki tujuan menyampaikan

kebaikan dan kebenaran. Mengajarkan manusia untuk selalu berfikir positif dan

bertindak agar tidak keliru dalam menjalani kehidupannya. Berisi tentang nasehat

dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, serta kejahatan

atau keburukan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Dalam kesusastraan jawa, R. Ng. Ranggawarsita merupakan salah satu

pengarang yang sangat produktif di jamannya. Beliau merupakan pujangga besar

yang pernah hidup di pulau jawa. Pujangga agung Kraton Surakarta yang

sekaligus juga pujangga rakyat. Masa hidup Ki Pujangga antara tahun jawa 1728

sampai dengan 1802 atau tahun masehi 1802 sampai dengan 1873.

Karyanya sangat berguna bagi perkembangan sastra jawa. Salah satu

karyanya adalah Serat Cemporet, yang isinya menceritakan perjalanan Raden

Mas Permana yang ditakdirkan menikah dengan Rara Kumenyar, anak angkat Ki

Buyut Cemporet. Di samping bernilai estetik, juga memberikan pandangan-

pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Serat Cemporet dihadirkan

bukan hanya sebagai karya sastra yang menghibur, tetapi juga dapat diambil nilai-

nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.

Page 15: serat cemporet

3

Nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat berisi ajaran yang bernilai tinggi

yang mendidik dan berguna bagi pembacanya, dapat dijadikan sebagai salah satu

pedoman hidup dalam berfikir dan bertindak. Ajaran-ajaran tersebut, salah

satunya dapat diperoleh dengan mengungkap nilai-nilai pendidikan yang

terkandung dalam Serat Cemporet.

Adapun bentuk teks sastra tersebut, berupa tembang macapat dengan

rincian sebagai berikut. Pupuh I Dhandhanggula 54 bait, pupuh II sinom 41 bait,

pupuh III Asmaradana 51 bait, pupuh IV Kinanthi 73 bait, pupuh V Mijil 75 bait,

pupuh VI Gambuh 47 bait, pupuh VII Dhandhanggula 90 bait, pupuh VIII Sinom

69 bait, pupuh IX Asmaradana 71 bait, pupuh X Kinanthi 63 bait, pupuh XI

Dhandhanggula 45 bait, pupuh XII Maskumambang 67 bait, pupuh XIII Gambuh

56 bait, pupuh XIV Mijil 52, pupuh XV Asmaradana 32 bait, pupuh XVI Sinom

35 bait, pupuh XVII Pangkur 40 bait, pupuh XVIII Pucung 48 bait, pupuh XIX

Asmaradana 56 bait, pupuh XX Sinom 37 bait, pupuh XXI Durma 36 bait, pupuh

XXII Dhandhanggula 34 bait, pupuh XXIII Asmaradana 43 bait, pupuh XXIV

Durma 31 bait, pupuh XXV Kinanthi 59 bait, pupuh XXVI Sinom 54 bait, pupuh

XXVII Dhandhanggula 40 bait, pupuh XXVIII Sinom 38 bait, pupuh XXIX

Pucung 53 bait, pupuh XXX Durma 30 bait, pupuh XXXI Asmaradana 57 bait,

pupuh XXXII Sinom 34 bait.

Secara garis besar, Serat Cemporet merupakan karya sastra yang

menyenangkan dan sekaligus berguna. Dianggap berguna karena pengalaman

jiwa yang dibeberkan secara kongkrit dalam setiap ceritanya, dan dikatakan

Page 16: serat cemporet

4

menyenangkan karena cara pembeberannya. Oleh sebab itu, jika sebuah karya

sastra menunjukan sifat-sifat menyenangkan dan berguna, maka karya sastra itu

dapat dianggap sebagai karya sastra yang bernilai (Noor, 2005: 14).

Dalam hal ini penulis menjadikan Serat Cemporet sebagai objek

penelitian, karena dalam karya sastra tersebut, banyak mengandung nilai-nilai

pendidikan yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang. Dengan

kata lain, nilai- nilai pendidikan yang di dalamnya merupakan nasehat dan

anjuran yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Khususnya

bagi para generasi muda yang sedang mengalami masa peralihan ke arah

kedewasaan.

Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita merupakan karya sastra

lama yang diterbitkan oleh Albert Rusche, di Surakarta pada tahun 1896.

Selanjutnya pada tahun 1987 dialih aksara dan alih bahasakan oleh Sudibjo Z.

Hadisutjipto. Serat Cemporet ditulis dalam bentuk metrum macapat, dengan

kecermatan susunan kalimat, dan tidak sedikit terdapat purwakanti, serta

kehalusan bahasanya. Ditinjau dari nama pengarang, bukan merupakan sesuatu

yang aneh karena pengarang lahir dan hidup di lingkungan keraton, dengan gelar

kebangsawanan seperti: R.M (Raden Mas), R.Ng (Raden Ngabehi), dan lain-lain.

Selain itu, pengarang dengan kreatifitas dan imajinasinya, menulis cerita

tersebut tampak kongkrit. Meskipun hanya sebuah karya yang bersifat fiktif

(rekaan), tetapi dikemas seolah-olah ada dan pernah terjadi. Pembaca dapat

menemukan sebuah realitas kehidupan dengan segala peristiwa itu benar-benar

Page 17: serat cemporet

5

ada dan pernah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya keyakinan

itu, pembaca (peminat sastra) akan memilih dan menelaah nilai-nilai yang

terkandung di dalam karya fiksi tersebut.

Dalam Serat Cemporet, pengarang menghadirkan tokoh-tokoh, baik dari

kalangan manusia, binatang, maupun dari golongan dewa-dewa serta siluman

berpadu dalam sebuah cerita yang padat kisahnya. Pengarang juga menghadirkan

tokoh-tokoh binatang yang bukan sembarang binatang, melainkan wujud

deformasi dari manusia.

Tokoh merupakan unsur yang terpenting dalam sebuah cerita fiksi. Sifat

dan tingkah laku tokoh memegang peranan penting, karena dari kedua unsur

tersebut akan memberikan pengalaman berharga yang mungkin tidak ditemukan

dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan kehidupan dan jati diri para pelaku

cerita dalam perjalan hidupnya, dapat juga dipakai sebagai pedoman pembaca

dalam kehidupan bermasyarakat.

Tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet, bagi para pembaca

mempunyai fungsi didaktis, yaitu sebagai tokoh pembawa ajaran budi pekerti

luhur. Maupun sebagai tokoh yang kehadiran dan tingkah lakunya menyadarkan

kemungkinan etika yaitu pantas atau tidak pantas untuk ditiru di kehidupan

sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Berisikan pesan yang sarat dengan

ajaran dan nasehat untuk dapat ditafsirkan dan dipetik oleh pembaca (peminat

sastra).

Page 18: serat cemporet

6

Lahirnya tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet sebagai wujud

jelmaan dari tokoh manusia. Disebabkan karena seorang tokoh dalam cerita

tersebut salah langkah dalam menjalankan hidupnya, sehingga dewa marah dan

mengutuknya. Untuk menebus dosanya, dikutuklah menjadi seekor binatang. Hal

tersebut dilakukan untuk memperbaiki kesalahannya supaya tidak terulang lagi

dikemudian hari.

Tokoh-tokoh binatang tersebut, merupakan bentuk fantasi atau sering

disebut dengan khayalan dari pengarang. Melahirkan sebuah karya sastra yang

penuh dengan simbolisme, yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan yang

diambil oleh pengarang dari pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.

Pengarang membeberkan cerita demi cerita dengan memperhitungkan kaidah etik

dan estetik karya sastra. Untuk mencapai itu, akibat yang muncul dalam Serat

Cemporet adalah upaya pengelabuhan, berupa simbolisme (pelambangan),

kondensasi (pemadatan), substitusi (penggantian), dan simptom-simptom tertentu

yang berulang-ulang menampakan gejala dalam wacana (Rader dalam Noor,

2005: 98).

Dalam Serat Cemporet simbolisasi (pelambangan) terungkap melalui

alur, tokoh, latar, dan penceritaan. Burung menco merupakan salah satu tokoh

binatang yang ada dalam Serat Cemporet. Selain burung menco, terdapat tokoh

binatang lainnya, seperti; anjing, kera, dan banteng.

Pada umumnya sebuah karya sastra banyak dijumpai peristiwa-peristiwa

dan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan kehidupan masyarakat.

Page 19: serat cemporet

7

Tentunya tidak jauh dengan waktu dan tempat di mana pengarang tinggal. Karya

sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta

refleksinya terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya, sehingga kebenaran dalam

karya sastra ialah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarangnya, kebenaran

yang lebih tinggi sehingga sudah sepantasnya berlaku (Noor, 2005: 12).

Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa sastra merupakan pandangan

dunia pengarang terhadap lingkungan disekitarnya. Meskipun pandangan tersebut

bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung. Namun, merupakan

suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial

masyarakat. Eksistensi sastra yang sarat dengan nilai sosial itu, menjadikannya

tidak bersifat pasif terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa sastra mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan

berdaya guna tinggi. Apabila pembaca sendiri tidak melupakan atau tetap

memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra tersebut.

Demikian juga, dalam Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.

Pengarang ingin menyampaikan peristiwa dan permasalahannya lewat cerita demi

cerita. Daya imajinasi dan kreatifitasnya, merefleksikan kehidupan nyata disetiap

cerita yang ditulisnya. Meskipun tidak sedikit cerita yang ditulis penuh dengan

simbolisme. Pengarang tidak membeberkan sesuatu yang menjadi kunci

permasalahan secara langsung, tetapi dituturkan melalui tanda yang dapat berupa

ikon, indeks, atau simbol. Dikemas menjadi sebuah karya sastra yang

menyenangkan dan berguna bagi pembacanya.

Page 20: serat cemporet

8

Pesan yang tersirat maupun tersurat tersebut, salah satunya terdapat nilai-

nilai pendidikan yang bernilai tinggi yang berguna bagi pembacanya. Untuk

masyarakat pada umumnya dan bagi pelajar khususnya. Oleh karena itu, perlu

diungkap isi atau pesan apa dibalik karya sastra tersebut. Untuk memperoleh

kejelasan secara pasti apa sebenarnya yang ingin diceritakan atau isi pesan apa

yang ingin disampaikan. Untuk mengetahui karya sastra ini layak atau tidak layak

dibaca oleh masyarakat khususnya pelajar, perlu diteliti nilai-nilai pendidikan

yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu.

Setelah membaca Serat Cemporet, secara keseluruhan dan berulang-

ulang akan ditemukan aspek-aspek kehidupan seperti; nilai sosial, moral,

pendidikan dan lain sebagainya. Pembaca diajak oleh pengarang untuk menikmati

permasalahan di setiap peristiwa dalam cerita yang dituturkan secara detil dalam

Serat Cemporet tersebut. Bukan saja sebagai penghibur, tetapi dapat ditelaah dan

dipetik nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya.

Sehubungan dengan itu, penulis menjadikan Serat Cemporet sebagai

objek penelitian. Membedah makna yang terkandung di dalamnya yang berkaitan

dengan nilai-nilai pendidikan, melalui peran tokoh-tokoh binatang yang terdapat

dalam Serat Cemporet yang akan dikaji. Di dalamnya terdapat pesan berupa

petunjuk dan nasehat yang bernilai tinggi, yang disampaikan baik secara tersirat

maupun tersurat.

Page 21: serat cemporet

9

1.2 Permasalahan

Dalam Serat Cemporet karya Ki Pujangga Ranggawarsita, kisah-kisah

yang tertulis penuh dengan simbolisme. Sebagian dari kisah-kisah simbolisme itu

bukan untuk dipercaya apa yang tersurat, tetapi untuk dicerna apa yang tersirat.

Pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja,

untuk menghibur. Melainkan ada sesuatu yang ingin disampaikan melalui cerita

fiksi tersebut, berupa pesan, amanat, anjuran atau nasehat bagi pembaca.

Setelah membaca secara keseluruhan dan berulang-ulang, diperoleh

suatu pesan yang ditujukan kepada pembaca. Di dalamnya terdapat tentang nilai-

nilai kebenaran yang berhubungan dengan masalah hidup dan kehidupan, yang

ditampilkan lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Berdasarkan latar

belakang di atas, masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:

1) Bagaimanakah peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia

pendidikan ?

2) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam Serat Cemporet karya R.

Ng. Ranggawarsita melalui peran tokoh-tokoh binatang ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan paparan latar belakang dan permasalahan di atas yang akan

dikaji, tujuan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1) Mengungkap peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia

pendidikan.

Page 22: serat cemporet

10

2) Mengungkap nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh-tokoh binatang dalam

Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat

secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah

khasanah ilmu kebahasaan dan kesusastraan.

Manfaat secara praktis, dengan mengetahui isi, latar belakang, pesan, ide,

ilmu, maksud, dan tujuan penelitian Serat Cemporet, diharapkan menjadi

dorongan dan minat baca. Meningkatkan ilmu dan menambah wawasan serta

cakrawala baru bagi para pembacanya. Bagi generasi sekarang dan generasi

penerus di masa yang akan datang. Supaya dapat dijadikan motivasi dalam

melaksanakan pendidikan nasional. Hasil penelitian ini, diharapkan juga dapat

digunakan sebagai bahan ajar oleh guru. Mendidik siswanya untuk selalu berfikir

positif dan membekali siswa untuk memiliki wawasan yang luas tentang

budayanya.

Page 23: serat cemporet

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Naratologi

Istilah naratologi pada awalnya digunakan di Perancis, yang sering di

sebut naratologi strukturalis. Naratologi (narratology) mengambil masalah

pembicaraan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan wacana naratif,

bagaimana menyiasati peristiwa-peristiwa cerita ke dalam sebuah bentuk yang

terorganisasikan yang bernama plot (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 113).

Naratologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang masalah yang

berhubungan dengan seluk-beluk (struktur) karya sastra yang berdasarkan pada

struktur naratif karya sastra. Tingkat analisis naratif dari ahli logika menyatakan

bahwa struktur naratif terdiri atas struktur sintagmatik yang berhubungan dengan

alur, dan paradigmatik yang berhubungan dengan karakter dan tema

(Sukadaryanto dalam Darmayanti, 2006: 8).

Menurut Fokkema (1998: 77-90) naratologi merupakan ilmu yang secara

khusus menelaah tentang masalah-masalah naratif, yang berorientasi pada teks

sastra. Hubungannya dengan perjalanan para tokoh dan tindakannya dalam

peristiwa yang diceritakan. Mengidenfikasikan suatu tindakan tokoh, yang tidak

mungkin lepas dari tempatnya dalam perjalanan narasi. Fungsi-fungsi para tokoh

berperan sebagai unsur-unsur yang stabil dan konstan dalam cerita pada sebuah

teks naratif (Propp dalam Fokkema, 1998: 79).

11

Page 24: serat cemporet

12

Pengkajian naratologi menyaran pada peristiwa yang ditampilkan dalam

karya sastra. Mencari kejelasan peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan,

berdasarkan hubungan kausalitas. Kegiatan tersebut berkaitan dengan pemplotan

atau pengaluran. Kegiatan pemplotan meliputi kegiatan memilih peristiwa yang

akan diceritakan dan kegiatan menata (mengolah dan menyiasati) peristiwa-

peristiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi (Nurgiyantoro, 2005: 113).

Chamamah-Suratno (dalam Darmayanti, 2006: 8) memberikan batasan

yang lebih lengkap melalui naratologi sebagai ilmu yang mempelajari pengaluran

atau penempatan peristiwa-peristiwa penokohan, tipologi atau penempatan

spasial peristiwa dan masalah-masalah penuturan dan tuturan dalam sebuah teks

naratif.

Berdasarkan dari beberapa kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa

naratologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah seluk-beluk struktur

naratif di dalam sebuah karya sastra.

2.1.1 Strukturalisme Naratif

Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan

dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawk dalam Pradopo, 2002: 54). Karya

sastra pada hakikatnya tersusun dari jalinan unsur di dalam keseluruhan

struktur. Unsur-unsur tersebut sebagai pembangun sebuah karya sastra,

sehingga menghasilkan makna menyeluruh. Mendasarkan bahwa karya sastra

Page 25: serat cemporet

13

bersifat otonom, yang memiliki makna yang hanya dapat diperoleh dari karya

sastra itu sendiri.

Naratif merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan

suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat

atau mengalami sendiri peristiwa itu (Keraf, 2003: 135-136). Karya naratif

bersifat imajinatif atau rekaan. Jadi, karya naratif mengisahkan suatu kejadian

atau peristiwa yang bersifat imajiner. Namun, tidak sedikit mengandung

kebenaran yang menyaran pada masalah hidup dan kehidupan manusia.

Dalam analisis terhadap pemahaman suatu karya naratif, dapat

dilakukan dengan kajian strukturalisme, yang menekankan pada deskripsi

struktural. Struktur merupakan keseluruhan relasi antara berbagai unsur sebuah

teks (Noor, 2005: 78). Menurut kaum strukturalisme, karya naratif adalah

sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagi unsur

pembangunnya. Struktur karya naratif dapat diartikan sebagai susunan,

penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya

yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam

Nurgiyantoro, 2005: 36).

Menurut kaum strukturalis, menganggap bahwa setiap narasi

mempunyai dua aspek. Membagi unsur teks ke dalam aspek cerita dan aspek

wacana. Aspek cerita merupakan peristiwa yang berupa aksi dan kejadian,

sedangkan aspek wacana berupa bentuk yang ingin diungkapkan (Chatman

dalam Nurgiyantoro, 2005: 27).

Page 26: serat cemporet

14

Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya atau

eksistensinya. Peristiwa berupa tindakan aksi dan kejadian, sedangkan

eksistensinya terdiri dari tokoh (characters) dan latar (setting). Menurut

Chatman (dalam Nurgiyantoro, 2005: 27) wacana merupakan media atau sarana

untuk mengungkapkan gagasan cerita.

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan di atas, oleh Chatman

(dalam Nurgiyantoro, 2005: 28) secara ringkas disajikan dalam bentuk diagram

sebagai berikut.

Tindakan Action peristiwa Event Kejadian Bentuk Happening

Tokoh Cerita Wujud Character Eksistent

Teks Naratif Substansi Latar

Setting

Wacana

Bertumpu dari uraian di atas, untuk membatasi analisis struktur pada

skripsi ini, pembahasan hanya pada peran tokoh-tokoh binatang pada dunia

pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang

terdapat dalam Serat Cemporet. Dapat disimpulkan bahwa penciptaan unsur-

Page 27: serat cemporet

15

unsur tokoh, dan nilai-nilai pendidikan merupakan bagian dari teks, di luar

linguistik. Di samping itu, penelitian juga tidak dapat dilepaskan dari sistem

tanda dan penanda. Sehingga dapat diperoleh kejelasan tentang peran tokoh

binatang pada dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh

binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.

2.1.2 Insiden

Dalam literatur bahasa inggris istilah action (aksi, tindakan) dan event

(peristiwa atau kejadian) sering diartikan sama, meskipun keduanya menyaran

pada dua hal yang berbeda. Action merupakan suatu aktivitas yang dilakukan

oleh tokoh, misalnya memukul, memarahi, dan sebagainya. Cakupan event

lebih luas daripada action. Event menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan

dialami tokoh di luar aktivitas, misalnya peristiwa alam, seperti gempa bumi,

banjir, gunung meletus dan lain-lain. Untuk menyederhanakan, Nurgiyantoro

(2005: 117) masalah action dan event dirangkum menjadi satu istilah, yaitu

peristiwa atau kejadian.

Berkaitan dengan peristiwa atau kejadian Sukada (dalam Darmayanti

2006: 12) menggunakan istilah insiden untuk menyebut event. Insiden adalah

peristiwa atau kejadian yang terkandung dalam cerita, baik besar maupun kecil

(Sukada dalam Darmayanti, 2006: 12). Secara garis besar, insiden merupakan

unsur pembangun atau pembentuk struktur cerita. Dalam landasan teori ini,

menggunakan istilah insiden dan peristiwa yang artinya dianggap sama.

Page 28: serat cemporet

16

Menurut Luxemburg (1992: 150) mengartikan peristiwa sebagai

peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Bertumpu dari

pengertian itu, dapat dibedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan

peristiwa dengan yang tidak menampilkan peristiwa.

Mengingat peristiwa yang ditampilkan dalam karya naratif tidak

sedikit, tidak semua peristiwa berfungsi sebagai pendukung cerita. Oleh sebab

itu, perlu analisis untuk menyeleksi dan menentukan peristiwa, Luxemburg

(dalam Nurgiyantoro, 2005: 118-119) membagi peristiwa menjadi tiga jenis,

yaitu:

1) Peristiwa Fungsional

Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan

dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Urut-urutan peristiwa

fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan.

Kehadiran peristiwa-peristiwa itu dalam kaitannya dengan logika cerita

merupakan suatu keharusan. Namun, penentuan apakah sebuah peristiwa

bersifat fungsional atau bukan baru dapat dilakukan setelah gambaran cerita

dan plot secara keseluruhan diketahui. Di samping itu, kadar

kefungsionalnya peristiwa fungsional itu sendiri sering tidak sama.

2) Peristiwa Kaitan

Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi

mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (peristiwa fungsional) dalam

pengurutan penyajian cerita. Peristiwa kaitan kurang mempengaruhi

Page 29: serat cemporet

17

pengembangan cerita, dapat dipandang sebagai peristiwa selingan. Selain

itu, peristiwa kaitan juga akan memperlengkap cerita, menyambung logika

cerita, memperkuat adegan dan peristiwa fungsional, dan dapat memberikan

kesan ketelitian terhadap berbagai adegan yang dikisahkan.

3) Peristiwa Acuan

Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung

berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan

mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah

perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Peristiwa

acuan menceritakan suasana alam dan batin seorang tokoh, sewaktu

mengalami kejadian tertentu yang penting. Peristiwa acuan sering

memberikan berbagai informasi yang penting artinya bagi pembaca dan

sekaligus memberikan wawasan cerita secara lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, insiden dapat dikatakan sebagai peristiwa

atau kejadian yang berupa tingkah laku atau tindakan dari tokoh yang

menyebabkan peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain.

Insiden oleh Sukada (dalam Darmayanti, 2006: 13) dibedakan menjadi dua,

yaitu sebagai berikut.

1) Insiden pokok yang mengandung ide-ide pokok cerita yang menjuruskan

kesimpulan cerita adanya plot.

Page 30: serat cemporet

18

2) Insiden sampingan yaitu insiden yang menyimpang dari sebab-akibat yang

logis, yang mengandung ide-ide sampingan dan karena itu tidak menjurus

atau tidak menunjang adanya plot.

Chatman (dalam Nurgiyantoro, 2005: 120) membedakan peristiwa

menjadi dua, yaitu kernel (kernels) dan satelit (satelits). Kernel adalah peristiwa

utama yang menentukan perkembangan plot (cerita). Dalam karya naratif,

kernel tidak dapat di hilangkan karena akan merusak logika cerita. Kernel

merupakan momen naratif yang menaikkan inti naratif pada arah seperti yang

dimaksudkan oleh peristiwa (Nurgiyantoro, 2005: 121).

Satelit adalah peristiwa pelengkap yang diperlukan untuk menunjukan

eksistensi kernel sebagai peristiwa utama. Satelit dapat saja dihilangkan tanpa

harus merusak logika cerita, walau penghilangan unsur peristiwa itu tentu saja

akan mengurangi kadar keindahan karya naratif karya yang bersangkutan

(Chatman dalam Nurgiyantoro, 2005: 121).

2.2 Tokoh dan Penokohan

Dalam sebuah karya naratif terdapat unsur-unsur pembangun cerita,

salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Unsur pembangun tersebut, tidak

kalah penting dengan unsur pembangun lainnya di dalam sebuah karya naratif.

Kehadirannya mengemban, mengalami, dan melaksanakan sesuatu dalam setiap

peristiwa yang diceritakan. Perjalanan kehidupan tokoh dapat juga dijadikan

Page 31: serat cemporet

19

cermin pribadi manusia dalam kehidupan nyata. Adapun pengertian tokoh dan

penokohan menurut beberapa ahli sastra, sebagai berikut.

2.2.1 Pengertian Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi

sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2002: 79).

Tokoh atau pelaku pada umumnya berupa manusia, tetapi tidak sedikit dalam

cerita fiktif, tokoh berupa binatang, dewa-dewa atau makhluk gaib lainnya.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165), mengemukakan

tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau

drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa

menyebutkan tokoh cerita tidak dapat dipisahkan dengan watak yang

dimilikinya.

Penyebutan nama tokoh tertentu menyaran pada perwatakan yang

dimilikinya. Meskipun tokoh dan watak merupakan sesuatu yang berbeda,

tetapi satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari, selalu

memiliki watak-watak tertentu (Aminuddin, 2002: 80).

Ditinjau dari berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh terdiri atas

tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang

Page 32: serat cemporet

20

secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan

sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang

adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan

sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang

dikisahkan (Alten dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2005: 188)

Berdasarkan pengertian tokoh dan jenis-jenisnya yang telah diuraikan

di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra yang

memiliki sifat dan tingkah laku baik dapat dijadikan teladan. Sebaliknya tokoh-

tokoh yang memiliki sifat dan tingkah laku kurang baik, dijadikan sebagai suatu

pengalaman dan pelajaran hidup. Dapat diartikan, bahwa tokoh-tokoh dalam

karya sastra merupakan cermin manusia dengan segala kekurangan dan

kelebihan yang dimilikinya.

2.2.2 Pengertian Penokohan

Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan

perwatakan. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana

perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca

(Nurgiyantoro, 2005: 166). Penokohan sering juga disebut karakter, meskipun

keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Selanjutnya, penokohan dan

karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan perwatakan menunjuk pada

penempatan tokoh-tokoh tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005:

Page 33: serat cemporet

21

165). Penokohan merupakan bagian atau unsur yang memiliki peran besar

dalam membangun sebuah totalitas karya naratif.

Menurut Suharianto (2005: 20) penokohan ialah pelukisan mengenai

tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa:

pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan

sebagainya.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan

penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan

kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 167). Demikian juga dalam Serat

Cemporet, pengarang menghadirkan tokoh-tokoh binatang sebagai media untuk

menyampaikan pesan, amanat, moral, yang ingin disampaikan kepada pembaca.

2.3 Hubungan Karya Sastra dengan Pendidikan

Pada umumnya karya sastra yang berhasil selalu mengandung nilai-nilai

luhur, yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Karya sastra merupakan salah

satu media dalam pelaksanaan pendidikan. Meskipun hanya sebuah kreasi

manusia, karya sastra mampu memaparkan realitas dalam kehidupan sehari-hari,

yang dapat dijadikan cermin dalam kehidupan bermasyarakat. Karya sastra fiksi

tidak lebih merupakan pengejawantahan usaha sastrawan dalam rangka

mengabadikan nilai-nilai yang menurut keyakinannya bermanfaat bagi penikmat

karya sastra itu (Suharianto, 1982: 17-19). Dapat diartikan bahwa di dalam karya

Page 34: serat cemporet

22

sastra terdapat nilai-nilai pendidikan yang layak untuk diambil dan diterapkan

dalam kehidupan nyata.

Menurut Baribin (1985: 79) dari karya sastra dapat ditemukan buah

pikiran atau renungan dari penulis dan sanggup menyadari nilai-nilai yang lebih

halus berarti telah dapat mengapresiasi atau menangkap nilai yang terkandung

dalam karya sastra tersebut. Berdasarkan kutipan tersebut, pembaca (peminat

sastra) bukan hanya sekadar membaca teks sastra saja, tetapi seyogyanya dapat

menangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang ditawarkan

penulis lewat karya sastra yang disuguhkan, yang tentunya dapat ditafsirkan

setelah selesai membaca.

Mengenai tujuan karya sastra yang dapat memberikan manfaat,

Suharianto (1982: 19) menyatakan, pengarang melalui karyanya bermaksud

menyampaikan gagasan, pandangan hidup, tanggapan atas kehidupan sekitar dan

sebagainya dengan cara yang diusahakan menarik atau menyenangkan, di

samping itu pengarang bermaksud pula menyampaikan nilai-nilai yang menurut

keyakinannya bermanfaat bagi para penikmat karyanya.

Karya sastra diciptakan bukan sekadar tujuan estetik saja, tetapi ada

maksud lain yang ingin di sampaikan pengarang. Pandangan dan pengalaman

pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dituangkan melalui media karya

sastra. Disampaikan kepada pembaca tentang nilai-nilai kehidupan, baik secara

tersirat maupun tersurat. Suharianto (1982: 18) mengemukakan, kaitannya fungsi

karya sastra dengan masyarakat, yaitu sastra bukan semata-mata untuk

Page 35: serat cemporet

23

memberikan hiburan kepada penikmatnya, melainkan juga memberikan sesuatu

yang memang dibutuhkan manusia pada umumnya, yakni nilai-nilai yang anggun

dan sering terlepas dari pengamatan sehari-hari.

Dalam membaca sebuah teks sastra, unsur utama yang harus

diperhatikan yaitu memahami makna yang terkandung dalam bacaan sastra.

Untuk memahami makna tersebut, bagi aliran fenomenologi pembaca harus

mampu memahami realitas tersurat yang digambarkan pengarang serta mampu

mengasosiasi dan mengabstraksikannya (Aminuddin, 2002: 51). Bertumpu

pemahaman makna tersebut, maka akan diperoleh nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya.

Karya sastra “Serat Cemporet” merupakan cerita naratif yang bersifat

rekaan atau fiktif. Meskipun bersifat fiktif, tetapi di dalamnya terdapat piwulang

atau nilai-nilai pendidikan, yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu

dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai pendidikan yang pada dasarnya

menuntun individu supaya melakukan kebaikan, menjalankan suatu perbuatan

atau tindakan yang bertanggungjawab, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi

orang lain.

2.3.1 Pengertian Nilai

Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi

kemanusiaan (KBBI, 1995: 690). Nilai dapat dijadikan ukuran oleh seseorang

atau suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar atau baik untuk

Page 36: serat cemporet

24

dilakukan dan apa yang jelek atau buruk untuk ditinggalkan dan sebagainya.

Menurut Daroeso (1989: 20) nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas

terhadap sesuatu atau hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku

seseorang, karena sesuatu hal itu menyenangkan, memuaskan, menguntungkan

atau merupakan suatu sistem keyakinan. Oleh sebab itu nilai bersifat normatif,

merupakan keharusan untuk diwujudkan dalam tingkah laku manusia.

Dapat diartikan bahwa nilai adalah sesuatu yang merupakan ukuran

masyarakat untuk menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu hal yang

dianggap baik dan benar. Nilai yang di junjung tinggi ini dijadikan norma untuk

menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai dalam praktik pendidikan.

Nilai dapat diperoleh secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma

filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang

dianut oleh seseorang (Munib, 2004: 34).

Perubahan kondisi sosial-ekonomi sejalan dengan perkembangan ilmu

dan teknologi. Membawa perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara

menghargai hidup dan kenyataan. Tentunya perlu suatu nilai untuk menjadi

pegangan hidup seseorang. Menurut Hurlocks (dalam Soeparwoto, 2004: 100)

mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu

atau kelompok sosial untuk membuat keputusan mengenai apa yang

dibutuhkannya, atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai.

Bertumpu dari uraian di atas, dapat diselaraskan bahwa nilai adalah

sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, masyarakat, atau bangsa yang

Page 37: serat cemporet

25

dijadikan norma atau kriteria dalam hidup dan kehidupan. Nilai merupakan

tolak ukur yang diyakini kebenarannya, mengenai sesuatu yang dibutuhkan

sebagai tujuan yang hendak dicapai.

2.3.2 Pengertian Pendidikan

Nilai merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Pengertian

pendidikan menurut Dewantoro (dalam Munib, 2006: 32) adalah upaya untuk

memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran

(intelek), dan tubuh anak. Pendidikan merupakan sebuah proses panjang dalam

pembentukan manusia seutuhnya. Memberikan kemampuan kepada seseorang

(peserta didik) untuk dapat hidup secara mandiri. Peserta didik menjadi objek

utama di dalam proses pendidikan.

Dalam UUSPN No.2 Tahun 1989 menyatakan, bahwa pendidikan

adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan bagi peranannya di masa yang

datang (Munib, 2006: 33). Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan

atau cara pembentukan sikap seseorang untuk dapat hidup dan berkembang

menjadi dewasa. Menghasilkan manusia yang lebih baik, yang berkepribadian

dan berbudaya.

Dictionary of Education (dalam Munib, 2006: 33) menyatakan, bahwa

pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan

bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup,

Page 38: serat cemporet

26

proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih

dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat

memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan

kemampuan individu yang optimal.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

pendidikan adalah pembentukan individu menjadi manusia yang mandiri,

bertanggung jawab, mampu memahami dan melaksanakan norma-norma atau

nilai-nilai dalam hidup dan kehidupannya. Membimbing generasi muda untuk

menjadi suatu generasi yang lebih baik dari sebelumnya.

Jadi, yang dimaksud dengan nilai pendidikan adalah sesuatu yang

menjadi ukuran untuk dicapai melalui pelaksanaan pendidikan. Ukuran tersebut

bersifat normatif, tidak hanya di dapat dari praktik pendidikan. Namun

bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat, norma agama dan pandangan

hidup seseorang.

2.3.3 Jenis Nilai-nilai Pendidikan

Nilai pendidikan memiliki kedudukan sebagai tolak ukur seberapa

berharganya kehidupan bagi manusia. Menghargai pentingnya arti kehidupan,

mengingat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dengan manusia

lain. Dapat diartikan dalam kehidupan masyarakat, bahwa nilai pendidikan

dapat membentuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia sebagai anggota

masyarakat. Hadikusuma (1999: 25) membagi nilai-nilai pendidikan itu atas

Page 39: serat cemporet

27

pendidikan keindahan, pendidikan kesusilaan, pendidikan sosial, pendidikan

politik, pendidikan ekonomi, pendidikan agama dan pendidikan ketrampilan.

Nilai-nilai pendidikan di atas terkandung juga di dalam sebuah karya

sastra. Mengingat karya sastra mengemukakan persoalan hidup dan kehidupan

manusia, yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai pendidikan. Tarigan (1985:

194) menyebutkan nilai-nilai dalam suatu karya sastra dapat berupa:

1) Nilai hedonik, yaitu apabila suatu karya sastra dapat memberikan

kesenangan secara langsung kepada kita.

2) Nilai artistik, yaitu memanifestasikan ketrampilan seseorang.

3) Nilai kultural, mengandung hubungan bila suatu karya sastra yang

mendalam dengan suatu masyarakat atau suatu peradaban dan kebudayaan.

4) Nilai etis, moral, dan religius, yaitu bila dari suatu karya sastra terpancar

ajaran-ajaran yang ada sangkut pautnya dengan etika, moral, dan agama.

5) Nilai praktis, yaitu karya-karya yang mengandung hal-hal praktis yang

dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai nilai-nilai

pendidikan, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan merupakan konsep

yang dijadikan panutan hidup manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Nilai-nilai pendidikan tersebut, terdiri dari:

1) Nilai Pendidikan Religius

Istilah religi sering disamakan artinya dengan pengertian agama.

Namun, pengertian religi cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan

Page 40: serat cemporet

28

pengertian agama. Pengertian religi menyangkut adanya kekuatan lain di

luar diri manusia yang sifatnya supra natural, yang secara umum disebut

Tuhan (Munib, 2006: 17). Agama lebih menyangkut hubungan individu

dengan Tuhannya. Dapat dikatakan bahwa agama adalah wujud dari

kesadaran dan pengakuan manusia akan adanya kekuatan lain di luar

dirinya.

Nilai pendidikan religi berhubungan dengan kesadaran akan Tuhan,

menciptakan manusia menjadi individu yang bertaqwa kepada Tuhannya.

Kesadaran tersebut direalisasikan dengan taat dan patuh menjalankan

perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, seperti yang diajarkan dalam

agama yang dipeluknya. Setiap agama pada hakikatnya sama, yaitu

mengajarkan umatnya untuk bertauhid kepada Tuhan pencipta alam beserta

isinya.

2) Nilai Pendidikan Etika

Etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan

oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia

seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 2001: 6). Etika merupakan

konvensi masyarakat yang menyaran pada sikap dan tindakan seseorang,

menyangkut pantas atau kurang pantas, benar atau kurang benar, tentang

sikap atau tindakan individu yang bersangkutan. Mewujudkan kehidupan

manusia yang selaras dengan tata karma dan adat-istiadat dalam kehidupan

bermasyarakat.

Page 41: serat cemporet

29

Menurut Soegito (2006: 87) etika adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai

salah satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan bagaimana hidup secara

arif atau bijaksana, memberi ajaran tentang bagaimana seseorang harus

berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral. Etika menyaran pada

tanggungjawab dan kewajiban seseorang sebagai makhluk individu,

makhluk sosial, dan makhluk religius. Etika menjadi konsep manusia untuk

bertindak dan bertingkah laku terhadap sesama, menuju terciptanya

kebahagiaan hidup.

3) Nilai Pendidikan Sosial

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin terlepas

dari manusia lain. Sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat

(KBBI, 1994: 958). Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu

membutuhkan kehadiran manusia lain. Dapat diartikan bahwa manusia

memiliki sifat ketergantungan atau membutuhkan hubungan dengan sesama

di dalam lingkup yang disebut masyarakat. Untuk itu, manusia perlu hidup

berkelompok atau bermasyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Nilai pendidikan sosial bersumber dari adanya kenyataan bahwa

manusia tidak akan mampu hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain.

Manusia memiliki sifat saling ketergantungan antara manusia yang satu

dengan lainnya. Jadi, manusia dituntut untuk mampu hidup berkelompok,

memenuhi segala kebutuhannya yang tak lain membutuhkan bantuan

manusia lain.

Page 42: serat cemporet

30

4) Nilai Pendidikan Moral

Dalam bahasa Arab, moral yang berarti budi pekerti sama dengan

pengertian akhlak, sedangkan dalam konsep Indonesia moral berarti

kesusilaan (Soegito, 2006: 73). Moral merupakan suatu nilai yang dijadikan

acuan untuk mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia dalam

kehidupan di masyarakat. Selain itu, juga dapat digunakan untuk

membedakan antara tindakan atau tingkah laku manusia yang baik dan yang

buruk di dalam hubungannya antara manusia satu dengan lainnya.

Menurut Soeparwoto (2004: 99) moral merupakan serangkaian

nilai-nilai yang di dalamnya memuat kaidah, norma, tata cara kehidupan,

adat-istiadat, dan pranata sebagai standar baik-buruknya perilaku individu

atau kelompok yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan religi

dari individu atau kelompok masyarakat.

Nilai pendidikan moral menyaran pada petunjuk tentang bagaimana

seseorang melangkah dalam hidup. Untuk itu, moralitas adalah sebuah

“pranata” seperti halnya agama, politik, bahasa dan sebagainya yang sudah

ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun-temurun (Soegito, 2006:

87). Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu

oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggotanya (Rogers

dalam Soeparwoto, 2004: 99)

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan

hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai kebenaran,

Page 43: serat cemporet

31

dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro,

2005: 321). Pengarang mempunyai tujuan menyampaikan suatu saran yang

berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, lewat cerita

yang bersangkutan, yang dapat diambil dan ditafsirkan oleh pembaca. Saran

tersebut, berupa petunjuk tentang berbagai hal yang berhubungan dengan

masalah kehidupan, seperti sikap dan tingkah laku yang ditampilkan lewat

tokoh cerita.

Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca

diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang

disampaikan, yang diamanatkan (Nurgiyantoro, 2005:321). Kehadiran karya

sastra bukan hanya bertujuan untuk hiburan belaka. Melainkan menawarkan

pesan moral yang menyangkut masalah hidup dan kehidupan.

Page 44: serat cemporet

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan merupakan suatu upaya penghampiran dengan dasar

pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun

secara sistematis dan metodis (Ratna, 2004: 35). Dalam skripsi ini, teks sastra

menjadi objek penelitian, maka pendekatan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra

atau teks sastra sebagai sebuah struktur.

Pendekatan objektif berhubungan erat dengan teori struktur naratif, yang

menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang

bersangkutan. Pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai dunia otonom

yang memiliki keunikannya sendiri, yang membedakan karya yang satu dengan

yang lain.

Analisis dengan pendekatan objektif dalam karya sastra, dalam hal ini

Serat Cemporet sebagai objek utamanya, dilakukan dengan mengidenfikasi,

mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya

sastra yang bersangkutan. Untuk menemukan peran tokoh-tokoh binatang, dan

nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang dalam Serat Cemporet,

terlebih dahulu mengetahui jalinan peristiwa dan hubungan sebab-akibat yang ada

32

Page 45: serat cemporet

33

di dalamnya. Hal tersebut dapat diungkap dengan pendekatan objektif, dengan

menggunakan teori struktural naratif.

Penggunaan teori struktural naratif merupakan salah satu cara untuk

membongkar karya sastra lewat struktur cerita, sehingga dapat mengetahui suatu

maksud tertentu dari suatu peristiwa yang dideskripsikan. Jadi, dapat diartikan

bahwa peran tokoh-tokoh binatang, nilai dan wujudnya dalam Serat Cemporet

dapat diketahui lewat peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita.

3.2 Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah mengungkap nilai-nilai pendidikan

dan peran tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan, yang terdapat dalam

Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.

Data pada penelitian ini yaitu piwulang atau ajaran yang dapat diungkap

melalui peran tokoh binatang dan peristiwa dalam Serat Cemporet, yang

digunakan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dan peran tokoh-tokoh

binatang pada dunia pendidikan yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks Serat

Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita yang sudah dialih aksara dan dialih

bahasakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto. Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka

tahun 1987, setebal 415 halaman. Bagian pertama menggunakan bahasa Indonesia

dan bagian kedua menggunakan bahasa Jawa. Karya sastra Serat Cemporet

tersebut merupakan cetakan ke enam.

Page 46: serat cemporet

34

3.3 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif yang

bersifat deskriptif, yaitu mengkaji teks sastra Serat Cemporet dengan menitik

beratkan pada jalinan peristiwa dan hubungan sebab-akibat yang berupa tindakan

tokoh, yang ada di dalamnya. Sehingga membentuk sebuah totalitas kemaknaan

terpadu, yang membuat karya sastra lebih bermanfaat bagi kehidupan. Dalam hal

ini, lebih mengutamakan pendalaman tentang struktur teks sastra.

Sebelum dilakukan analisis mengenai nilai-nilai pendidikan dan peran

tokoh binatang pada dunia pendidikan, terlebih dahulu dibuat insiden-insiden

yang menunjukan peristiwa dan tindakan tokoh-tokoh binatang dalam Serat

Cemporet.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis obyek

kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Membaca teks Serat Cemporet secara cermat dan teliti supaya dapat

memahami keseluruhan isi karya sastra tersebut.

2) Menentukan tokoh-tokoh, yang dalam hal ini adalah tokoh binatang yang

menjadi obyek penelitian.

3) Menentukan insiden-insiden dalam cerita yang akan menjadi obyek kajian

penelitian yang berupa tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh binatang.

4) Mencari dan mencatat peristiwa dan wujud dalam Serat Cemporet.

5) Mendeskripsikan peran tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan.

Page 47: serat cemporet

35

6) Menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Serat Cemporet

melalui peristiwa yang diperkuat dengan kalimat-kalimat yang mengandung

nilai-nilai pendidikan.

7) Menyimpulkan hasil dari analisis teks Serat Cemporet.

Page 48: serat cemporet

BAB IV

PERAN TOKOH BINATANG, DAN NILAI-NILAI

PENDIDIKAN MELALUI PERAN TOKOH BINATANG

DALAM SERAT CEMPORET

4.1 Struktur Naratif Teks Serat Cemporet

Kajian yang akan di analisis pada bab empat ini adalah peran tokoh

binatang pada dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh

binatang dalam Serat Cemporet. Peran tokoh binatang pada dunia pendidikan

dapat terlihat dari watak dan latar. Nilai-nilai pendidikan dapat diungkap lewat

peristiwa, yang berupa tindakan dan kejadian yang dialami tokoh-tokoh binatang.

Cerita naratif yang menyajikan tokoh binatang atau sering disebut fabel,

cenderung disukai anak usia sekolah. Terlebih cerita tentang tokoh binatang yang

terdapat dalam Serat Cemporet. Tokoh binatang yang bukan sembarang binatang,

melainkan wujud deformasi atau penjelmaan dari tokoh manusia. Dimana

pembaca diajak menikmati dunia maya yang penuh dengan imajinatif. Setiap

pembaca memiliki tokoh idola yang berbeda-beda, yang patut ditiru dan menjadi

teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh yang memiliki sifat dan tingkah laku

baik, dijadikan sebagai teladan. Begitupun sebaliknya, tokoh yang memiliki sifat

dan tingkah laku kurang baik, dijadikan sebagai suatu pengalaman dan pelajaran

hidup.

36

Page 49: serat cemporet

37

Melalui teori struktur naratif dengan menggunakan pendekatan objektif,

dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membongkar teks sastra Serat

Cemporet. Membedah teks sastra yang memiliki kualitas moral tinggi. Selain itu,

melalui peran tokoh binatang, terdapat juga amanat yang dapat dijadikan nasehat

atau petuah bagi para pembacanya. Watak dan tindakan tokoh-tokoh binatang

seperti halnya pribadi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Cermin pribadi

manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.

Langkah awal dalam mengungkap peran tokoh binatang pada dunia

pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang

terdapat dalam Serat Cemporet, perlu terlebih dahulu mengetahui struktur naratif

yang ada di dalamnya. Terdiri dari insiden, peristiwa, dan wujud keberadaannya

atau eksistensinya. Peristiwa terdapat dua unsur, yaitu tindakan dan kejadian.

Begitu juga di dalam wujud eksistensinya terdapat dua unsur, yaitu berisi watak

dan latar. Dibahas satu persatu secara urut, sebagai berikut.

4.1.1 Insiden-insiden dalam Serat Cemporet

Insiden-insiden yang ada dalam Serat Cemporet, digunakan untuk

mengetahui tindakan dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh cerita.

Berikut ini akan disajikan insiden-insiden yang ada dalam Serat Cemporet,

berkenaan dengan tindakan dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh

binatang.

Page 50: serat cemporet

38

Penyusunan insiden yang terdapat dalam Serat Cemporet, dipilih yang

berhubungan atau yang dialami oleh tokoh-tokoh binatang. Penyajian insiden

dimulai dari pupuh I sampai pupuh XXXII, sebagai berikut.

1. Banteng 1.1 Banteng pergi ke hutan meninggalkan istana kerajaan.

1.1.1 Banteng menghadang di tengah jalan, membuat Ki Buyut ketakutan. 1.1.2 Banteng mendekam, Ki Buyut jadi tidak takut. 1.1.3 Banteng menolong Ki Buyut yang sedang tersesat di hutan. 1.1.3.1 Banteng merendahkan tubuhnya supaya ditunggangi. 1.1.3.2 Banteng berjalan dibelakang mengikuti terbangnya menco.

1.2 Banteng tiba di rumah Ki Buyut Cemporet, di desa Cengkarsari. 1.2.1 Banteng membantu mengolah tanah pertanian.

1.3 Banteng masuk kembali ke dalam hutan, membagi tugas dengan burung menco.

1.3.1Banteng tetap bertugas memberikan pertolongan kepada orang lain. 1.3.1.1 Banteng menolong Dewi Suretna yang sedang tersesat di hutan. 1.3.1.2 Banteng mengajak Dewi Suretna ke rumah Buyut Cemporet. 1.3.1.3 Banteng merendahkan tubuh, Dewi Suretna naik di atas

punggungnya. 1.4 Banteng mohon diri kembali ke hutan meneruskan tugasnya untuk

menolong orang lain. 1.4.1 Banteng bertemu dengan menco di hutan. 1.4.2 Banteng diajak menco menghadap Raden Pramana

1.5 Banteng dan menco serta Raden Pramana meneruskan perjalanan ke desa Cengkarsari.

1.6 Banteng dan rombongan telah sampai di desa Cengkarsari, tempat kediaman Buyut Cemporet.

1.6.1 Banteng mendapat tugas menghadap pengantin mempersembahan pakaian kebesaran.

1.7 Banteng menghadap Rajaputra, setelah melihat adiknya berubah ujud seperti semula, yaitu menjadi Raden Prawasata.

1.7.1 Banteng mengharap belas kasih supaya menjadi manusia kembali. 1.7.2 Banteng kecewa bepergiaannya ke hutan telah meninggalkan

keberuntungan. 1.7.3 Banteng hendak bunuh diri, jika Raden Pramana tidak mau

membantu mengembalikan ujudnya sebagai manusia. 1.7.4 Banteng mendapat perintah supaya memasang akar mimang di

perempatan-perempatan jalan besar. 1.8 Banteng diperintahkan pergi ke kahyangan bersama kedua kakak

kandung Raden Pramana yang cebol dan ujil.

Page 51: serat cemporet

39

1.8.1 Banteng menghadap Dewi Mulat hendak melamar kedua putri. 1.8.2 Banteng bertemu dengan Raden Margana yang sedang mencari

kedua putri. 1.8.3 Banteng dan Raden Margana berperang memperebutkan kedua

putri. 1.8.4 Banteng membunuh Raden Margana dalam peperangan.

1.9 Banteng berada di perkebunan yang indah dalam keadaan sangat sedih. 1.9.1 Banteng berada di bawah pohon beringin. 1.9.2 Banteng mendapat petunjuk akan penyembuhannya untuk menjadi

manusia lagi. 1.9.3 Banteng menumbangkan pohon beringin. 1.9.4 Banteng mengambil Cupu Permata di tempat tancapan akar tunjang. 1.9.5 Banteng mengoleskan minyak Cupu Permata di seluruh tubuhnya. 1.9.6 Banteng merasa mengantuk, antara tertidur dan terjaga. 1.9.7 Banteng kembali keujudnya seperti dulu, yaitu Raden Prawasakala.

2. Burung Menco 2.1 Menco pergi ke hutan meninggalkan istana kerajaan.

2.1.1 Menco berkidung hinggap di dahan nagasari. 2.1.2 Suara Menco di dengar Ki Buyut Cemporet. 2.1.3 Menco didekati Ki Buyut. 2.1.3 Menco menunjukan jalan kepada Ki Buyut yang tersesat di hutan. 2.1.4 Menco tiba di rumah Ki Buyut, di desa Cengkarsari. 2.1.5 Menco membantu Ki Buyut menanam umbi-umbian.

2.2 Menco kembali pergi ke hutan, membagi tugas dengan banteng. 2.3 Menco sampai di negeri Pagelen dan hinggap di pohon angsoka.

2.3.1 Menco melihat banyak wanita di taman. 2.3.2 Menco berdendang dengan suara yang lembut dan merdu. 2.3.3 Menco bertemu dengan putra raja Pagelen. 2.3.4 Menco menjadi piaraan kesayangan putra raja.

2.4 Menco meninggalkan taman bunga di Pagelen. 2.5 Menco pergi ke Cengkarsari menjenguk orang tua angkatnya.

2.5.1 Menco melihat wanita cantik di sendang. 2.5.2 Menco menyanyikan sebuah lagu tembang gede. 2.5.3 Menco mengejutkan Dewi Suretna / Rara kumenyar. 2.5.4 Menco memperkenalkan diri sebagai binatang kesayangan Raden

Pramana. 2.5 Menco mohon ijin kembali ke negeri Pagelen, menghadap rajaputra.

2.5.1 Menco terbang mengepak-ngepakkan sayapnya di angkasa. 2.5.2 Menco berhenti di hutan hinggap di pohon seraya berkidung 2.5.3 Menco mendapat dua teman baru sesama burung menco. 2.5.4 Menco mengajak kedua temannya ke negeri Pagelen.

2.6 Menco menghadap Raden Pramana.

Page 52: serat cemporet

40

2.6.1 Menco menceritakan kecantikan Rara Kumenyar di desa Cengkarsari.

2.6.2 Menco memperkenalkan ke dua teman barunya sesama burung untuk sama-sama mengabdi kepada Raden Pramana.

2.7 Menco sedih teman barunya si sumping meninggal saat menjalankan tugas.

2.8 Menco dan cunduk serta Raden Pramana melarikan diri dari kerajaan. 2.9 Menco diperintah raden Pramana mencari banteng di hutan.

2.9.1 Menco bertemu banteng dan diajak menghadap gusti junjungannya. 2.9.1 Menco dan banteng menghadap Raden Pramana.

2.10Menco bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke desa Cengkarsari.

2.10.1 Menco mengabarkan kepada Ki Buyut perihal kedatangan Raden Pramana.

2.11 Menco dan rombongan sampai desa cengkarsari. 2.11.1 menco mendapat tugas menghadap sang pengantin

mempersembahkan pakaian kebesaran. 2.12 Menco melihat gustinya sedang berperang dengan Raden Jaka Sudana.

2.12.1 Menco hendak menangkap panah dari Raden Jaka Sudana. 2.12.2 Menco jamang dan cunduk mati tertembus panah. 2.12.3 Menco jamang mayatnya lenyap berubah ujudnya menjadi semula.

3. Anjing 3.1 Anjing terlunta-lunta di hutan mencari ibu tirinya, yaitu Rara jonggrang. 3.2 Anjing sampai di desa Sokakarwi. 3.2.1 Anjing bersembunyi di pagar milik penduduk. 3.2.2 Anjing mendengar sayembara dari Rara Nawangsih, yang dikira suara

ibu tirinya. 3.2.3 Anjing membawa teropong milik Rara nawangsih dengan mulutnya. 3.2.4 Anjing menyerahkan teropong kepada Rara Nawangsih. 3.2.5 Anjing menikah dengan Rara Nawangsih karena telah memenangkan

sayembara. 3.2.6 Anjing berubah menjadi manusia di waktu malam hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa insiden adalah

peristiwa atau kejadian yang berisi tindakan atau aktivitas tokoh cerita, yang

menyebabkan peralihan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Insiden-

insiden yang dialami oleh tokoh-tokoh binatang di atas, merupakan bagian dari

deretan peristiwa yang dikisahkan dalam Serat Cemporet.

Page 53: serat cemporet

41

Berikut ini akan dilanjutkan pembahasan mengenai peristiwa dan

wujud atau eksistensinya, berkenaan dengan tokoh-tokoh binatang yang

terdapat dalam Serat Cemporet.

4.1.2 Peristiwa (event) dalam Serat Cemporet

Peristiwa (event) dalam sebuah karya naratif berfungsi sebagai

pendukung jalannya cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengemban setiap

peristiwa yang dikisahkan. Lakuan, gerak, atau aktivitas tokoh yang dalam

sebuah cerita naratif berupa deskripsi, dapat dilihat lewat peristiwa yang

diceritakan. Dapat dikatakan bahwa cerita naratif memaparkan tentang deretan

peristiwa.

Secara garis besar peristiwa terbagi menjadi dua unsur, yaitu tindakan

dan kejadian. Kedua unsur tersebut, artinya sering dianggap sama atau hampir

sama. Namun dalam penulisan skripsi ini, ke dua unsur tersebut diartikan

sebagai sesuatu hal yang berbeda. Pembahasan dilanjutkan mengenai kejadian

dan tindakan yang dialami oleh tokoh binatang dalam teks sastra Serat

Cemporet, sebagai berikut.

4.1.2.1 Tindakan (action)

Peristiwa yang berkaitan dengan masalah tolong-menolong yang

terdapat dalam Serat Cemporet, terlihat pada peristiwa burung menco dan

banteng ketika menolong Ki Cemporet dan istrinya yang tersesat di hutan.

Terdapat dalam pupuh ke IV (kinanthi) bait ke 56-57, sebagai berikut.

Page 54: serat cemporet

42

Dene sangkaning pakantuk, wewah tembung sawatawis, amung asring dana karya, awrat entheng den lampahi, tedah marga wong kasasar, atutulung suker sakit (pupuh IV, bait 56). Duk miyarsa Kyai Buyut, anggarjita muwus aris, angger lamun makatena, kaleresan ing samangkin, ulun lawan nyai somah, samya nandhang kawlas asih. (pupuh IV, bait 57) Terjemahan bebasnya :

Caranya memperoleh dan mendapat tambahan beberapa patah kata, ialah karena seringnya memberikan bantuan. Berat dan ringan kami lakukan atau menunjukan jalan kepada mereka yang tersesat tak tahu jalan serta menolong orang yang mengalami kesulitan atau sakit. (pupuh IV, bait 56) Mendengar penjelasan itu Kyai Buyut berpikir, lalu ujarnya lembut, “Nak jika demikian sungguh kebetulan. Saya dan istri saya ini sedang tertimpa kesusahan. (pupuh IV, bait 57)

Pada ke dua bait di atas, merupakan deretan peristiwa yang berupa

tindakan yang dilakukan oleh burung menco dan banteng ketika menolong Ki

Buyut Cemporet dan istrinya ketika tersesat di hutan.

Masalah tolong-menolong juga terdapat pada pupuh V (mijil) bait ke

4-5, sebagai berikut.

Sang andaka lan sang menco paksi, kesah sakarongron, prapteng wana rembug andum gawe, bantheng tetep lumastareng kardi, tetulung kaswasih, atuduh marga yu. (pupuh V, bait 4) Sang menco nedya anuhoni, met reh karahayon, kang tinuju mring praja Pagelen, sawusira sesewangan kapti, ngambara sang paksi, andaka kalaku. (pupuh V, bait 5) Terjemahan bebasnya : Suatu waktu banteng dan burung pergi berdua, masuk ke dalam hutan, kemudian bersepakat membagi tugas. Banteng tetap bertugas seperti biasanya, yakni memberi pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan, terutama kepada orang-orang yang tersesat. (Pupuh V, bait 4)

Page 55: serat cemporet

43

Sedangkan si burung menco akan menunaikan tugas dengan cara-cara memberikan tuntunan ke arah keselamatan. Yang dituju ialah negeri Pagelen. Sesudah menentukan tujuan masing-masing, si burung terbang melayang, sedangkan banteng tetap berjalan. (pupuh V, bait 5)

Dua bait di atas, menceritakan peristiwa burung menco dan banteng

akan tekadnya untuk menolong sesama, dengan membagi tugas. Tindakan

tersebut dilakukannya dengan ikhlas untuk berbuat kebaikan. Selain itu,

untuk menebus dosa-dosa di masa lalu. Supaya Tuhan mengampuni dan

merubah wujudnya seperti semula.

Masalah tolong-menolong terdapat juga pada pupuh V bait 38,

sebagai berikut.

Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Terjemahan bebasnya : Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya. Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38)

Pada pupuh V bait ke 38 di atas, menggambarkan peristiwa banteng

melakukan tindakan menolong sesama yang sedang kesusahan. Banteng

menolong dengan membawakan barang-barang yang berat. Di samping itu,

memberikan pertolongan kepada orang lain yang tersesat di hutan belantara,

dengan cara menunjukan jalan.

Masalah tolong menolong juga diperlihatkan dalam pupuh V, bait ke

47 berukut ini.

Page 56: serat cemporet

44

Nulya mendhak andaka turnyaris, suwawi sang sinom, anumpaka gigire pun bantheng, sang dyah rara laju anuruti, pan sampun anitih, andaka lumaku. (pupuh V, bait 47) Terjamahan bebasnya : Banteng lalu merendahkan tubuhnya seraya berkata lembut, “Silakan Dewi, naiklah kepunggung si banteng ini.” Sang Dewi tanpa ragu-ragu menurut. Sesudah naik, berjalanlah si banteng. (pupuh V, bait 47)

Pada pupuh V bait ke 47 merupakan peristiwa banteng melakukan

tindakan menolong Dewi Suretna yang tersesat di hutan. Dewi suretna adalah

putri raja Jepara yang dipaksa menikah oleh ayahnya. Karena tidak mau di

paksa menikah, kemudian Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan. Dalam

pelariannya, Dewi Suretna tersesat di hutan dan ditolong oleh banteng.

Kemudian diajaklah Dewi Suretna ke rumah Ki Buyut Cemporet di desa

Cengkarsari.

Tindakan burung menco untuk menghibur orang lain dan

memberikan tuntunan tentang kehidupan, berupa petuah dan nasehat. Lihat

kutipan pupuhVII bait ke 13 berikut ini.

Wus palastha pangidunging paksi, narpatmaja Dyan Jaka pramana, kapirenan ing pranane, rumaket wuwusipun, lah kukila sira sayekti, pratameng pamicara, wignya nembang kidung, liwat dening pasang yogya, dadi rowang ngimur-imur anrang wingit, mengeti rengating tyas. (pupuh VII bait 13)

Terjemahan bebasnya : Selesailah sudah si burung berkidung. Raja putra, Raden Jaka Pramana hatinya sangat puas, lalu ujarnya ramah, “Hai burung! Engkau benar-benar mahir berbicara, ahli membawakan kidung. Sungguh hangat kebetulan untuk menjadi teman, penghibur penerang kesedihan dan memberi peringatan pada hati yang retak.” (pupuh VII bait 13)

Page 57: serat cemporet

45

Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco melakukan

tindakan memberikan teladan yang baik bagi kehidupan. Kepandaian menco

untuk menggubah kata-kata indah dan menyanyikan dengan suara merdu,

bukan hanya untuk menghibur tetapi juga memberikan nasehat untuk orang

lain. Pada kutipan di atas, menco menghibur sekaligus memberikan petuah

atau nasehat kepada Raden Pramana untuk tidak bersedih hati.

Tindakan anjing untuk menolong Nawangsih yang sedang kesulitan

karena teropongnya jatuh di bawah rumah. Lihat kutipan pupuh XVIII bait ke

9-10 berikut ini.

Gupuh-gupuh, anggondhol taropong wau, lajeng tumaracag, prapteng ranggon mawas liring, sarya ngulungaken taropong kang rentah. (pupuh XVIII bait 9) Sang dyah sampun, anampeni sarya ngungun, amiduhung dahat, dennya muwus pasanggiri, rumaos yen kasiku dening jawata. (pupuh XVIII bait 10) Terjemahan bebasnya : Gopoh-gopoh ia membawa teropong tadi dengan mulutnya, lalu cepat-cepat menaiki tangga. Setibanya di atas ia memperhatikannya sejenak seraya menyerahkan teropong yang jatuh. (pupuh XVIII, bait 9) Si gadis telah menerima dengan perasaan heran, dan sangat menyesal, mengapa ia telah mengucapkan sayembara. Ia merasa telah mendapat amarah dewata. (pupuh XVIII, bait 10)

Kutipan di atas menggambarkan tindakan anjing menolong Rara

Nawangsih mengambilkan teropong miliknya. Kemudian atas janji Rara

Nawangsih, siapa yang dapat menolongnya mengambilkan teropong akan

diberi hadiah. Bila perempuan akan dijadikan saudara, dan jika laki-laki akan

dijadikan suami. Namun yang menolong bukan manusia, tetapi seekor anjing.

Page 58: serat cemporet

46

Seketika Rara Nawangsih menyesal termakan janji yang pernah diucapkan.

Hal tersebut, membuat Rara Nawangsih hendak bunuh diri. Setelah anjing

menghiburnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia, kemudian Rara

Nawangsih menepati janjinya untuk menikah dengan anjing (Raden

Jayasandika).

4.1.2.2 Kejadian (happening)

Tindakan dan kejadian merupakan dua istilah yang sering digunakan

secara bersamaan atau bergantian. Meskipun sebenarnya dua istilah tersebut

menyaran pada sesuatu hal yang berbeda. Tindakan merupakan suatu

aktivitas yang dilakukan oleh tokoh cerita. Sedangkan kejadian lebih

menyaran pada sesuatu yang dialami oleh tokoh cerita. Untuk

menyerderhanakan ke dua istilah tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan

adalah sebab, sedangkan kejadian sebagai akibat. Perhatikan kutipan pupuh

XIII (gambuh), bait ke 17-18 berikut ini.

Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18) Terjemahan bebasnya : Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17)

Page 59: serat cemporet

47

Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18)

Kutipan pupuh di atas, menggambarkan kejadian tentang banteng

yang memiliki kebaikan budi untuk menolong sesama. Tanpa mengharap

balas jasa dari orang yang sudah ditolongnya. Tetap diingat dan mengakuinya

menjadi teman, itu sudah lebih dari cukup bagi banteng. Kejadian tersebut,

membuat banteng memiliki teman yang banyak.

Kejadian yang terjadi pada peristiwa banteng diperintahkan oleh

Raden Pramana untuk memasang akar mimang pada perempatan-perempatan

jalan besar. Perhatikan kutipan pupuh XX bait 25-26 berikut ini.

Ri sampunira mangkana, wau sang narendrasiwi, Rahaden Jaka Pramana, ganjaran anggili, arta myang busanadi, maring ki Buyut Ni Buyut, pan ing antara dina, risang andaka tinuding, kinen amasanga ingkang oyot mimang. (pupuh XX bait 25) Aneng dalan gung prapatan, pan sampun den laksanani, saben wonten wong aliwat, bingung datan wring ing margi, sinungan tuduh sami, dening sang warna ngun-angun, kinen apita kena, bubuyut ing Cengkarsari, yeku bisa anangekken kaelingan. (pupuh XX bait 26) Terjemahan bebasnya : Sesudah berlangsung demikian itu, kemudian raja putra Raden Jaka Pramana tak putus-putusnya memberi anugerah uang dan pakaian yang indah-indah kepada Ki dan Nyi Buyut. Beberapa hari kemudian banteng mendapat perintah supaya memasang akar mimang, (pupuh XX bait 25) Di peremptan-perempatan jalan besar. Hal itu sudah dilaksanakan. Akibatnya, setiap ada orang lewat menjadi bingung tak tahu jalan. Mereka diberi petunjuk oleh banteng supaya bertanya kepada Buyut Cengkarsari, karena dialah yang bisa mengembalikan ingatan orang. (pupuh XX bait 26)

Page 60: serat cemporet

48

Kutipan di atas menggambarkan kejadian banyak orang yang

tersesat di dalam hutan. Sebagian besar dari mereka adalah para saudagar.

Kejadian tersebut terjadi karena banteng memasang akar mimang di setiap

perempatan jalan. Setiap ada orang lewat menjadi bingung dan kemudian

diberi petunjuk oleh banteng supaya bertanya kepada Ki Cemporet. Setelah

diberi petunjuk oleh Ki Cemporet, banyak hadiah yang diterima dari para

saudagar sebagai ucapan terimakasih.

Kejadian yang menyebabkan kedua menco ingin mengikuti jamang

untuk mengabdi pada Raden Pramana, di kerajaan Pagelen. Perhatikan

kutipan pupuh XI bait 9-10 berikut ini.

Henengana dhukuh Cengkarsari, warnanen malih sang menco jamang, arerendhonan lampahe, miyang srining wana gung, kawuryan ing pala menuhi, kacaryan dadya raryan, sarya angingidung, swara manis awiletan, sakathahing manuk-manuk amarani, kayungyun amiyarsa. (pupuh XI bait 9) Nulya wonten paksi menco kalih, jalu estri nedya amiluta, madraweng nata basane, dahat dennya kapencut, amiluta ing tembung adi, jamang kalangkung suka, samya sinung sanggup, cipta lamun antuk rowang, kalihira milua suwiteng gusti, ing pagelen Kuthaarja. (pupuh XI bait 10) Terjemahan bebasnya : Kita tinggalkan dahulu desa Cengkarsari, untuk menceritakan kembali si menco jamang, yang perjalanannya dilakukannya dengan sabar sambil melihat keindahan hutan. Tampaklah bermacam-macam buah-buahan, yang menyebabkannya merasa senang sampai ia berhenti seraya berkidung dengan suaranya merdu merayu, sehingga segenap burung mendekatinya karena tertarik mendengar suaranya. (pupuh XI bait 9) Kemudian ada dua ekor burung menco jantan betina ingin turut serta belajar. Dengan kata-kata yang halus ke dua burung itu menyatakan keinginannya yang sangat agar dapat mengucapkan kata-kata yang

Page 61: serat cemporet

49

terpuji. Jamang menanggapinya dengan gembira serta menyanggupinya. Ia telah berpikir, bahwa dirinya akan mendapatkan teman, dan kedua-duanya akan turut serta mengabdi kepada gustinya di kota Pagelen. (pupuh XI bait 10)

Kutipan di atas merupakan kejadian bertemunya jamang dengan ke

dua burung menco, yang kemudian diajak bersama-sama mengabdi kepada

Raden Pramana di negeri Pagelen. Ke dua menco tertarik kepada jamang

yang dapat menyanyikan kakawin dengan fasih dan indah. Selain itu, jamang

juga dapat berkata-kata seperti halnya manusia. Ke dua menco berkeinginan

mengikuti jamang supaya dapat belajar dari jamang.

Kejadian yang menceritakan berubahnya burung menco jamang

menjadi semula, yaitu berwujud manusia. Lihat kutipan pupuh XIX bait ke

40-41 berikut ini.

Anampani kang jemparing, tuna dungkaping panyendhal, ngenani badane dhewe, dadya menco karo pisan, kataman ing senjata, kapisanan niba lampus, amurca kuwandanira. (pupuh XIX bait 40) Cundhuk tetep ngemasi, pan sampun nunggil kahanan, lan sumping ing kamulyane, dene raga menco jamang, waluya warna janma, babar kadadyan ing dangu, narpatmajeng Parambanan. (pupuh XIX bait 41) Terjemahan bebasnya : Maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung jatuh, dan mati, bangkainya hilang. (pupuh XIX bait 40) Menco cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan sumping di alam baka. Sedangkan tubuh menco jamang kembali menjadi manusia seperti keadaannya di masa lampau, ialah rajaputra Prambanan. (pupuh XIX bait 41)

Page 62: serat cemporet

50

Kutipan di atas merupakan kejadian burung menco Jamang terbebas

dari kutukannya. Jamang telah kembali wujudnya menjadi manusia, yaitu

Raden Prawasata. Sedangkan Cunduk mati dan mayatnya musnah, menyusul

dan menyatu dengan suaminya yaitu Sumping.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah

deretan cerita yang dikisahkan. Peristiwa berupa tindakan dan kejadian yang

diemban oleh tokoh cerita. Dari tindakan dan kejadian akan diperoleh wujud

atau eksistensinya, yang berupa watak dan latar berikut ini.

4.1.3 Wujud atau Eksistensinya

Tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet ini,

memiliki karakter yang berbeda-beda. Sedangkan latar yang digunakan dalam

cerita tersebut, menggambarkan kehidupan kerajaan dan kehidupan di

lingkungan pedesaan yang terdapat di tengah hutan belantara. Lingkungan

pedesaan pada waktu itu, satu sama lain letak desanya saling berjauhan.

Masyarakat kebanyakan menetap dan mendirikan rumah di tengah-tengah hutan

belantara. Jauh dari lingkungan kerajaan, yang penuh dengan keramaian.

Kehidupan kerajaan dan pedesaan merupakan kehidupan masyarakat

Indonesia, khususnya kehidupan masyarakat jawa pada jaman dahulu. Sebagian

besar masyarakat menetap di lingkungan pedesaan di sekitar hutan, gunung,

dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bertani

dengan menggarap hutan sebagai lahan pertanian. Di samping itu, hutan

Page 63: serat cemporet

51

merupakan tempat kehidupan binatang. Pembahasan dilanjutkan mengenai

watak dan latar yang berhubungan dengan tokoh-tokoh binatang yang terdapat

dalam Serat Cemporet, sebagai berikut.

4.1.3.1 Watak (character)

Peristiwa yang berupa tindakan dan kejadian yang dialami oleh

tokoh-tokoh binatang di atas, secara tidak langsung menyaran pada watak

yang dimiliki oleh setiap tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat

cemporet. Dapat ditemukan pada peristiwa banteng dan menco menolong Ki

Buyut Cemporet dan istrinya yang tersesat di hutan. Tokoh banteng dan

menco digambarkan seperti yang terdapat dalam pupuh IV bait ke 48-50

berikut ini.

Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pareki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV, bait 48) Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49) Kyai buyut duk angrungu, kadi tan bisa mangsuli, saking dahat katambetan, sato bisa mardaweng ling, tan tumpangso tembungira, rumaket amamalat sih. (pupuh IV, bait 50) Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak serta tahu tata karma dan sopan santun. Baru kali inilah saya bertemu.” (pupuh IV, bait 48) Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah kuanggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Hampir-hampir Kyai Buyut tidak dapat menjawab ketika mendengar ucapan si banteng, karena benar-benar tidak menduga ada binatang

Page 64: serat cemporet

52

dapat bercakap-cakap dengan baik. Kata-katanya tidak tumpang-tindih, ramah lagi bersahabat. (pupuh IV, bait 50)

Peristiwa yang terdapat pada pupuh IV bait ke 48-50 di atas,

menggambarkan watak burung menco dan banteng. Burung menco adalah

binatang yang pandai berbahasa dengan baik, tahu tata krama dan sopan

santun, dapat menempatkan diri dengan siapa dia berbicara. Meskipun Ki

Buyut Cemporet adalah orang desa terlebih hanya rakyat jelata, tetapi burung

menco menghormati dan sopan terhadapnya. Hal itu dilakukan karena Ki

Buyut lebih tua darinya, dan sudah kewajiban yang muda untuk menghormati

yang lebih tua.

Watak banteng tidak jauh berbeda dari adiknya, si burung menco.

Menghormati orang yang lebih tua, tahu sopan santun dan tata krama. Dapat

menempatkan diri dengan siapa dia berbicara. Menganggap Ki Buyut

Cemporet orang yang lebih tua darinya, tanpa menilik latar belakang ki

Buyut. Seorang tua renta yang pekerjaannya mencari kayu di hutan, dan

hanya rakyat jelata.

Burung menco dan banteng mempunyai akhlak mulia, yang sulit

rasanya bila dibandingkan dengan kekayaan yang berupa materi.

Menunjukan watak manusia yang selalu merendahkan diri, tidak sombong,

dan tidak angkuh, meskipun mereka berdua merupakan putra raja. Perhatikan

pupuh IV, bait ke 53-54 berikut ini.

Muhung mangke nuhun dunung, sinten paduka kakalih, menco aris saurira, satuhunipun Kiyai, paksi wawanan kewala, lawan andaka puniki. (pupuh IV, bait 53)

Page 65: serat cemporet

53

Pan enggih sato satuhu, tan kalebet kulit daging, among panggih amimitran, sami sasabeng wanadri, sarawunganing rarasan, dhateng kula basa adhi. (pupuh IV, bait 54) Terjemahan bebasnya : Akan tetapi saya ingin bertanya, siapakah sebenarnya anak berdua?” menco menjawab lembut, “Kyai, sesungguhnya saya ini memang hanya burung hutan belaka. Banteng inipun (pupuh IV, bait 53) Benar-benar binatang. Bukan sanak bukan saudara, akan tetapi sejak bertemu lalu bersahabat, sama-sama mengembara di dalam hutan. Untuk mempererat persaudaraan, ia memanggil adik kepada saya. (pupuh IV, bait 54)

Kutipan di atas, menggambarkan watak burung menco dan banteng

yang selalu rendah hati dan tidak angkuh. Meskipun mereka berdua

merupakan putra raja, tetapi tidak mau mengakuinya. Di samping itu, untuk

menghilangkan syah-prasangka, agar tidak menimbulkan pertanyaan yang

pada akhirnya Ki Buyut tahu jika mereka sedang dikutuk menjadi binatang

hutan. Hal tersebut dilakukan bukan hendak untuk berbohong, tetapi sudah

menjadi pesan dari ayahandanya, yaitu Prabu Sri Kala.

Watak mulia burung menco dan banteng untuk menolong manusia

dapat terlihat dalam peristiwa pada pupuh V, bait ke 4-5 berikut ini.

Sang andaka lan sang menco paksi, kesah sakarongron, prapteng wana rembug andum gawe, bantheng tetep lumastareng kardi, tetulung kaswasih, atuduh marga yu. (pupuh V, bait 4) Sang menco nedya anuhoni, met reh karahayon, kang tinuju mring praja Pagelen, sawusira sesewangan kapti, ngambara sang paksi, andaka kalaku. (pupuh V, bait 5)

Page 66: serat cemporet

54

Terjemahan bebasnya : Suatu waktu banteng dan burung pergi berdua, masuk ke dalam hutan, kemudian bersepakat membagi tugas. Banteng tetap bertugas seperti biasanya, yakni memberi pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan, terutama kepada orang-orang yang tersesat. (Pupuh V, bait 4) Sedangkan si burung menco akan menunaikan tugas dengan cara-cara memberikan tuntunan ke arah keselamatan. Yang dituju ialah negeri Pagelen. Sesudah menentukan tujuan masing-masing, si burung terbang melayang, sedangkan banteng tetap berjalan. (pupuh V, bait 5)

Kutipan di atas, melukiskan kebaikan budi burung menco dan

banteng untuk menolong manusia. Pembagian tugas antara menco dan

banteng untuk menolong manusia yang sedang dilanda kesusahan. Banteng

memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dan

tersesat di hutan, sedangkan si menco pergi ke negeri pagelen untuk

memberikan tuntunan ke arah keselamatan.

Banteng merupakan pribadi yang suka menolong orang lain yang

sedang kesusahan. Perhatikan kutipan pupuh V bait 37-38 berikut ini.

Angandika kusumaning adi, teka bisa kang wong, lan manusa paran kamulane, dene sipate sato sireki, bantheng anauri, saking atutulung. (pupuh V, bait 37 Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Terjemahan bebasnya : Sang Dewi bertanya, demikian, “Bagaimana engkau bisa bergaul dengan manusia, sedangkan engkau sendiri adalah binatang. Bagaimana asal mulanya?” Banteng menjawab, “dengan memberi pertolongan. (pupuh V, bait 37) Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya.

Page 67: serat cemporet

55

Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38)

Banteng memiliki watak suka menolong sesama yang sedang

kesulitan. Kutipan di atas, banteng menolong Dewi Suretna ketika tersesat di

hutan. Pelariannya dari kerajaan jepara, karena tidak mau dipaksa menikah

dengan putra raja pagelen. Membuat Dewi Suretna terlunta-lunta dan tersesat

di hutan belantara. Kebaikan budi banteng yang suka menolong orang lain,

membawa dewi Suretna keluar dari hutan, dan diajaknya ke desa

Cengkarsari. Perhatikan kutipan pupuh V bait ke 39-40 berikut ini.

Balik paduka wanudya pundi, dahat nyalawados, munggweng wana tan wonten rowange, dene memela memelas asih, kados ngemu sedhih, paran dunungipun. (pupuh V, bait 39) Tan katenta punapa pun patik, mila amamartos, bok manawi saged madhangake, asarana tulung sawatawis, sangdyah amangsuli, samedaneng wuwus. (pupuh V, bait 40) Terjemahan bebasnya : Sebaliknya, paduka ini wanita dari mana. Sungguh sangat asing berada dalam hutan tanpa teman, mengapa demikian menyedihkan, dan tampaknya juga sedang bersedih hati. Bagimana sebenarnya? (pupuh V, bait 39) Bukan karena sembrono saya bertanya. Siapa tahu saya dapat membantu memberikan sarana pertolongan ala kadarnya.” Sang Dewi menjawab, akan tetapi berpura-pura ujarnya. (pupuh V, bait 40)

Kutipan pupuh di atas menggambarkan watak banteng yang suka

menolong orang lain. Membantu Dewi Suretna yang tersesat sendiri di hutan

belantara. Diajak ke tempat Ki Buyut Cemporet, yang kemudian menjadi

tabir pembuka bertemu dengan jodohnya, Raden Pramana.

Page 68: serat cemporet

56

Burung menco memiliki watak tidak sombong dan selalu rendah

hati. Meskipun ia pandai menggubah kata-kata dan didendangkan dengan

suara merdunya, tetapi tidak membuatnya besar kepala atau menyombongkan

diri. Kepandaiannya tidak lain digunakan untuk menghibur orang lain.

Perhatikan kutipan pupuh V bait 75, dan pupuh VI bait 1-2 berikut ini.

Bok kang genah tembunging kakawin, enak kapyarseng wong, menco muwus dene daya-deye, yen widagda mardaweng kakawin, tembung kramaniti, dereng pati gambuh. (pupuh V, bait 75) Makaten yektinipun, saking dahat wonten kang tinurut, mung babasan napak tilas nurun sungging, ing saenggen-enggen anggung, anggupita swaraning wong. (pupuh VI, bait 1) Tinular kang apatut, kinarya met permuting tyas limut, lami-lami lumaksana sawatawis, laju anggegulang lagu, nanging tanggel maksih mogul. (pupuh VI, bait 2) Terjemahan bebasnya : Coba kata-kata kakawinnya yang baik, tentu akan enak didengar. “Tiba-tiba si menco menyela, katanya, “Akh, mengapa harus tergesa-gesa. Jika harus menggunakan kata-kata yang teratur seperti yang sudah mahir memperhalus kakawin, saya memang belum mampu. (pupuh V, bait 75) Yang demikian itu sesungguhnya karena benar-benar ada yang ditiru, jadi ibaratnya hanya mengikuti saja atau meniru apa adanya apa yang diucapkan manusia di sembarang tempat. (pupuhVI, bait 1) Tentu saja di ambil yang patut. Yaitu mengambil sesuatu yang dapat dijadikan penyuluh hati yang sedang lupa. Lama-kelamaan serba sedikit dapat melaksanakannya. Kemudian diteruskan dengan mempelajari lagu, akan tetapi serba tanggung dan masih setengah-setengah. (pupuhVI, bait 2)

Kepandaiannya dalam menggubah kata-kata indah dan menyanyikan

dengan suara merdunya, tidak membuat burung menco sombong. Namun

sebaliknya, ia selalu merendahkan diri seolah-olah tidak mempunyai

kelebihan apa-apa. Dengan suara merdunya, burung menco menghibur orang

Page 69: serat cemporet

57

lain yang sedang sedih hati. Kata-kata digubah sedemikian indah, sehingga

tak jarang dari mereka yang mendengarkan terkagum-kagum.

4.1.3.2 Latar (setting)

Latar (setting) yang digunakan dalam Serat Cemporet,

mengggambarkan kehidupan kerajaan dan pedesaan di Indonesia, khususnya

kehidupan masyarakat jawa pada jaman dahulu. Kehidupan pedesaan yang

terletak di tengah-tengah hutan, yang jauh dari keramaian kota. Begitu pula

binatang yang ada dalam Serat Cemporet juga hidup disekitar pedesaan di

tengah-tengah hutan dan di lingkungan kerajaan, sebagai berikut.

1. Banteng adalah binatang hutan yang bertubuh besar dan memiliki tenaga

yang kuat. Perhatikan kutipan berikut pupuh IV, bait ke 49 berikut ini.

Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV bait 49) Terjemahan bebasnya : Banteng menyahut, “Kyai ku minta anda memaklumi. Saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah ku anggap baik. (pupuh IV bait 49)

Kutipan di atas menggambarkan banteng sebagai binatang hutan

yang rendah hati, dan tahu tentang kebiasaan manusia yang baik. Banteng

merupakan binatang yang hidup dan kehidupannya di hutan. Lihat

kutipan pupuh V bait ke 35-36 berikut ini.

Page 70: serat cemporet

58

Sajarwa sapa sira iki, ingsun tembe tumon, sato bias arentes tembunge, sang andaka aturira aris, dhuh sang rara putri, paduka andangu. (pupuh V bait 35) Inggih amba pan sato sayekti, sagede miraos, amung asring mirengake, rerasaning janma sawatawis, ing alami-alamisaged imbal wuwus. (pupuh V bait 36) Terjemahan bebasnya :

Berkatalah dengan terus terang siapa engkau sebenarnya. Baru kali ini aku melihat, ada binatang dapat berkata-kata demikian lengkap. ”Banteng pun menjawab dengan suara lembut juga, ujarnya, “Wahai, Sang Dewi. Jika anda bertanya . (pupuh V bait 35) Sesungguhnya saya benar-benar binatang. Bias berkata-kata, hanya karena sering mendengarkan orang bercakap-cakap. Lama-kelamaan dapat juga berkata-kata.” (pupuh V bait 36)

Kutipan pupuh di atas menggambarkan hutan sebagai tempat

bertemunya banteng dengan Dewi Suretna yang sedang tersesat. Banteng

adalah bianatang hutan yang hidup dilingkungan hutan belantara. Lihat

pupuh XXIII, bait ke 15. berikut ini.

Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15)

Terjemahan bebasnya :

“Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15)

Kutipan di atas menunjukan bahwa banteng adalah binatang

yang kehidupannya di hutan. Banteng mendapat perintah dari gusti

junjungannya melamar ke dua putri, sebagai jembatan untuk

Page 71: serat cemporet

59

kesembuhannya. Banteng adalah binatang hutan yang mampu menerjang

apa saja yang ada didepannya. Lihat kutipan pupuh XIII, bait 41 berikut.

Mantep suwita ing gusti, nora nganggo lelemeran, katanggor baya pakewoh, aja dumeh sato wana, kokira kurang sura, sun sumarah soroh amuk, duk myarsa Raden Margana. (pupuh XXIII bait 41)

Terjemahan bebasnya :

Mantap dalam pengabdiannya kepada gusti, tidak gentar menghadapi halangan dan rintangan. Mentang-mentang binatang hutan, lalu kau kira tidak berani? Ku nyatakan bahwa aku menantangmu! ”Raden Margana ketika mendengar tantangan. (pupuh XXIII bait 41)

Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa banteng adalah

binatang hutan yang tidak gentar apa pun yang dihadapinya. Meskipun

nyawa taruhannya, banteng menantang berperang tanding dengan Raden

Margana untuk memperebutkan kedua putri raja.

2. Burung Menco atau burung beo adalah binatang hutan yang memiliki

sayap dan bisa terbang. Kepandaiannya menirukan suara-suara yang

didengar, selain itu juga mahir menirukan suara yang dibicarakan oleh

orang-orang yang ada didekatnya. Lihat kutipan pupuh IV bait ke 48

berikut ini.

Andaika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pereki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV bait 48) Terjemahan bebasnya :

Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak dan tahu akan tata krama dan sopan santun. (pupuh IV bait 48)

Page 72: serat cemporet

60

Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa burung menco adalah

binatang hutan yang pandai menirukan dan berkata-kata seperti halnya

manusia. Kepandaian burung menco juga dapat menirukan segala macam

bunyi yang pernah didengarkannya. Lihat kutipan pupuh VI bait ke 43

berikut ini.

Ngoceh sawetu-wetu, anyenyengkok nguni kang rinungu, bebujengan sato peksi ing wanadri, ginuyu-guyu anjelu, sinengguh mbabarang betho. (pupuh VI bait 43) Terjemahan bebasnya : Mengoceh asal berbunyi saja, meniru apa yang saya dengar di masa yang lalu, yakni binatang, unggas serta burung-burung di hutan karena ditertawakan, merasa agak kesal. Mungkin saya ini di kira datang mengamen. (pupuh VI bait 43).

Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco yang

tinggal di hutan, sehingga dapat menirukan suara binatang hutan lainnya.

Burung menco adalah binatang hutan yang pandai menirukan segala

macam suara yang didengarkannya. Lihat kutipan pupuh V bait ke 73-74

berikut ini.

Ana pawongan amuwus aris, wus adating menco, atitiron kang dadi unine, ingsun kira menco ing wanadri, katara kang uni, cawuh campur bawur.(pupuh V bait 73) Ana ingkang angemperi paksi, ana memper sato, ana memper kodhok lawa laren, ana memper gegegremetan siti, ana kaya pitik, iwen kang den ingu. (pupuh V bait 74) Terjemahan bebasnya : Seorang diantara para wanita itu berkata lembut, “Akh, sudah adatnya burung mencomeniru-niru segala macam bunyi. Saya kira

Page 73: serat cemporet

61

menco itu menco hutan. Kentara dari suaranya, yang campur aduk. (pupuh V bait 73) Ada yang mirip suara burung, ada yang mirip suara binatang, ada yang mirip suara katak rawa, ada yang mirip suara binatang melata, ada yang mirip suara ayam atau unggas piaraan (pupuh V bait 74).

Kutipan di atas menggambarkan burung menco yang pandai

menirukan segala jenis bunyi-bunyian atau suara dari binatang lainnya

yang hidup di hutan. Selain itu, burung menco juga pandai menirukan

suara atau kata-kata yang diucapkan manusia. Lihat kutipan pupuh VI

bait 1 berikut ini.

Mekaten yektinipun pra pawongan cethi, suka amiraos, suara apa mangkene unine, ting celebung teka nganggo dhong-dhing, nulya den utati, tan antara dangu. (pupuh VI bait 1) Terjemahan bebasnya : Yang demikian itu sesungguhnya karena benar-benar ada yang di tiru, jadi ibaratnya hanya mengikuti saja atau meniru apa adanya apa yang diucapkan oleh manusia di sembarang tempat. (pupuh VI bait 1)

Kutipan di atas menggambarkan burung menco yang bukan saja

dapat meniru suara-suara binatang, tetapi juga mahir dalam menirukan

segala macam suara yang diucapkan oleh manusia. Kepandaian burung

menco menirukan suara yang diucapkan manusia juga terdapat dalam

pupuh VIII bait ke 4 berikut ini.

Myang dhanghyang kang mekayangan, rumaksa sajroning beji, teka langka katalika, manuk bisa basa janmi, lan widagdeng kekawin, ura-ura manis arum, ingsun tembe tumingal, kang kadi warnanta iki, paksi raras sarwa sri sarwa sambada. (pupuh VIII bait 4)

Page 74: serat cemporet

62

Terjemahan bebasnya : Atau barang kali danyang yang bertempat tinggal, dan sekaligus sebagai penjaga patirtan ini. Sebab benar-benar tidak masuk akal, burung dapat berkata-kata, serta mahir akan kakawin dan menyanyikannya dengan merdu. Baru kali ini saya melihat burung seperti engkau. Sangat bagus, serba indah, dan ujudnya serba selaras.” (pupuh VIII bait 4)

Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco yang

bukan saja pandai menirukan suara manusia. Lebih dari itu, menco juga

dapat mendendangkan lagu dengan suaranya yang merdu seperti halnya

manusia

3. Anjing adalah binatang yang hidup dan kehidupannya di hutan. Bertubuh

sedang, berkaki empat, dan memiliki ekor. Anjing juga sering dianggap

sebagai binatang yang memiliki kesetiaan terhadap majikannya.

Perhatikan kutipan pupuh XVIII, bait ke 8 berikut ini.

Myarsa wuwus, makaten rumaos antuk, pasang yogyapara, kapanggih kang den ulati, dennya dahat kasamaran swara nira. (pupuh XVIII bait 8) Terjemahan bebasnya : Mendengar kata-kata demikian itu merasa mendapat jalan yang baik untuk menemui orang-orang yang selama ini dicari. Yang menyebabkan ia demikian khilaf, (bahwa yang bersuara itu adalah Rara Jonggrang) ialah karena suaranya Rara kumenyar sama benar dengan suara Rara Jonggrang. (pupuh XVIII bait 8)

Kutipan di atas menggambarkan anjing sebagai binatang hutan

yang setia, tetap tidak berputus asa untuk terus mencari ibu tirinya.

Page 75: serat cemporet

63

Anjing tidak tahu jika ibu tirinya sudah meninggal, yang Kemudian

membuat anjing terlunta-lunta sampai di desa Sokakarwi.

4. Kera adalah binatang yang memiliki tubuh mirip seperti manusia, tetapi

badannya kecil dan berekor. Kepandaian kera meniru gerakan yang

dilakukan oleh manusia. Kehadiran tokoh kera dalam Serat Cemporet

tidak dikisahkan kedirian atau sisi kehidupannya. Namun tidak bisa

diabaikan, karena akan mempengaruhi jalannya cerita.

Setelah menentukan berbagai macam struktur cerita yang berupa

kejadian, tindakan, watak, dan latar yang diemban oleh tokoh-tokoh binatang

yang ada dalam Serat Cemporet, pembahasan dilanjutnya mengenai peran tokoh-

tokoh binatang pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan melalui peran

tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.

4.2 Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet pada Dunia Pendidikan

Tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet, dihadirkan sebagai bagian

dari cerita naratif. Kedudukannya sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya. Kehadiran

tokoh-tokoh binatang menciptakan dan mendukung tujuan karya sastra yang

bersangkutan, yaitu sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral,

tentang hidup dan kehidupan. Tokoh-tokoh binatang hadir disertai deskripsi

kediriannya yang berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri

fisiknya. Peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia

Page 76: serat cemporet

64

pendidikan dapat diketahui lewat watak dan latar yang melekat pada kedirian

tokoh binatang.

Secara keseluruhan teks sastra Serat Cemporet, berisikan tentang

perjalanan cinta antara Dewi Suretna dengan Raden Pramana. Dewi suretna

merupakan putri raja Sri Sadana dari kerajaan Jepara. Sedangkan Raden Pramana

adalah putra Prabu Sri Manuhun dari kerajaan Pagelen. Raden Pramana dan Dewi

Suretna merupakan saudara sepupu, yang dijodohkan oleh kedua ayahnya.

Namun, Tuhan memiliki jalan lain untuk mempertemukan mereka.

Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, karena tidak mau dipaksa

menikah dengan putra raja Pagelen. Dewi Suretna menolak karena malu

dinikahkan dengan pemuda yang cacat. Putra raja Pagelen memiliki tiga anak,

dua dari tiga anak tersebut cebol atau kerdil. Anak pertama yang bernama Raden

Jaka Pratana dan anak ke dua yang bernama Raden Jaka Sangara, yang memiliki

kekurangan kecacatan fisik. Sedangkan anak bungsunya yang bernama Raden

Jaka Pramana, merupakan pemuda yang gagah tanpa kekurangan suatu apapun.

Raden Pramana menolak dinikahkan dengan Dewi Suretna, yang tak lain

adik sepupunya, dengan alasan karena tidak mau melangkahi ke dua saudara

kandungnya. Keduanya belum menikah, belum ada satupun yang mau dinikahi

karena mereka memiliki kekurangan cacat fisik, bertubuh cebol dan kerdil. Dewi

Suretna berprasangka akan dinikahkan dengan salah satu dari kedua saudara yang

cebol dan kerdil itu. Padahal sebenarnya ia akan dinikahkan dengan Raden

Pramana, anak bungsu dari putra Prabu Sri Manuhun. Tanpa dipikir panjang

Page 77: serat cemporet

65

Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, yang kemudian membuatnya tersesat

di hutan belantara. Bertemu dan di tolong oleh seekor banteng yang dapat

berkata-kata layaknya manusia. Selanjutnya, Dewi Suretna diajak ketempat

kediaman Ki Buyut Cemporet di desa Cengkarsari. Oleh Ki Buyut, Dewi Suretna

diangkat menjadi anak dan diberi nama Rara Kumenyar.

Melalui perantara burung menco, Dewi Suretna dan Raden Pramana

dipertemukan. Dengan bantuan cincin Manik Adiwarna, yang dapat merekam

rupa wajah seseorang yang ada di depannya. Burung menco membawa cincin

tersebut ke desa Cengkarsari dan diberikan ke Dewi Suretna, begitu juga

sebaliknya. Atas kehendak Tuhan keduanya dipertemukan di desa Cengkarsari

dan menikah. Pertemuannya itu tidak terlepas dari jasa burung menco, sebagai

penghubung yang mempersatukan mereka berdua..

Demikian ringkas cerita yang terdapat dalam Serat Cemporet, tokoh-

tokoh yang ada di dalamnya selain diperankan oleh manusia, juga terdapat tokoh

cerita yang diperankan oleh binatang. Tokoh-tokoh binatang yang terdiri dari

burung Menco, Banteng, Kera, dan Anjing. Ke empat tokoh binatang tersebut,

memiliki watak atau karakter yang berbeda satu sama lainnya, yang dapat

menjadi teladan kita dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap tokoh binatang memiliki sifat tertentu dengan peran yang melekat

padanya. Dalam Serat Cemporet, terdapat empat tokoh binatang, yaitu burung

Menco, Banteng, Anjing, dan Kera. Burung Menco dan Banteng dapat dikatakan

menjadi tokoh utamanya, karena mereka menjadi fokus penceritaan. Melalui

Page 78: serat cemporet

66

perantara tokoh binatang, pengarang memberikan pesan atau amanat yang sarat

dengan petuah atau nasehat tentang hidup dan kehidupan. Pembahasan

dilanjutkan mengenai peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada

dunia pendidikan, sebagai berikut.

4.2.1 Burung Menco

Salah satu tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet yaitu

burung menco. Burung menco merupakan wujud deformasi dari Raden

Prawasata, putra bungsu Raja Sri Kala dari kerajaan Prambanan. Raden

Prawasata memiliki kegemaran menembangkan kidung kakawin, sehingga

waktunya dihabiskan untuk bernyanyi. Tidak heran lagi jika Ia dapat merangkai

kata-kata sedemikian indah dan didendangkan dengan suara merdunya.

Burung menco yang sering disebut juga burung beo, merupakan

sebangsa atau jenis burung yang pandai menirukan suara-suara yang

didengarnya. Kebanyakan dari burung beo, tak jarang juga dapat meniru kata-

kata yang sering diucapkan oleh manusia. Kepandaian yang dimilikinya

merupakan pembeda jika dibandingkan dengan burung lainnya, sebagai ciri

khas yang dimilikinya.

Dikisahkan, ketika Raja Sri Kala hendak menghibur diri pergi berburu

ke hutan bersama barisan pemburu, dan hanya memperoleh sedikit hewan

buruan. Dengan perasaan kecewa Sri Baginda pulang. Setibanya di kota secara

kebetulan melihat keadaan yang tidak mengenakan. Melihat Raden Arya

Page 79: serat cemporet

67

Prawasakala sedang menebang habis dahan-dahan beringin, sehingga menutupi

jalan. Pada waktu yang bersamaan mendengar suara Raden Prawasata yang

sedang mendendangkan lagu dengan suara merdunya.

Kekecewaan Sri Baginda lengkaplah sudah. Berburu hanya mendapat

sedikit hewan buruan, melihat Arya Prawasakala menebang pohon beringin

sampai habis, sehingga menutupi jalan yang akan dilewatinya. Di tambah suara

si bungsu yang sedang bernyanyi. Kekesalan Sri Baginda yang bertumpuk-

tumpuk membuatnya keterlepasan di dalam berkata. Putra yang tua seperti

banteng lepas di padang, yang sok pemberani dan tidak sabaran. Putra yang

muda sok pintar, pekerjaannya hanya berdendang seperti burung beo.

Ucapan Sri Baginda, tidak terduga menjadi kenyataan. Raden Arya

Prawasakala berubah wujud menjadi banteng (dibahas pada sub bagian

selanjutnya) dan Raden Prawasata berubah wujud menjadi seekor burung beo.

Meskipun keduanya berubah wujud menjadi binatang, tetapi masih bisa

berkata-kata layaknya manusia biasa. Dengan kejadian itu, Sri Baginda

menyesal dan sangat sedih, melihat keadaan ke dua anaknya yang berwujud

binatang. Perasaan bersalah karena menyumpahi ke dua putranya yang

berakibat menjadi kenyataan.

Peran tokoh burung Menco pada dunia pendidikan dapat diketahui

melalui percakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan yang dialaminya pada

peristiwa yang dikisahkan. Lihat kutipan pupuh VI, bait ke 17-18 berikut ini.

Page 80: serat cemporet

68

Pawongan siji matur, wonten menco saged angingidung, lukitaning kakawin putus patitis, teteh kadi janma tuhu, kang rumuhun anyalemong. (pupuh VI bait 17) Sareng kang kantun wau, urut-runtut ukaraning kidung, dodongengan rinumpakeng sekar kawi, asasmita karya pemut, limiting tyas kamituhon. (pupuh VI bait 18) Terjemahan bebasnya : Seorang pelayan menjawab demikian, “Ada seekor menco dapat berkidung. Kakawin yang dibawakannya lengkap dan tepat. Ucapannya jelas, fasih seperti manusia betul-betul. Akan tetapi mula-mula tidak karuan ucapannya. (pupuh VI bait 17) Kemudian yang belakangan kalimat kidungnya teratur dan berurutan, berupa dongeng yang digubah dengan kata-kata kawi, memberi acuan berupa peringatan kepada hati yang khilaf karena menurut hal-hal yang tidak benar.” (pupuh VI bait 18)

Kehadiran burung menco pada kutipan di atas, mengemban peran

sebagai tokoh cerita yang mengajarkan manusia untuk menjalankan kehidupan

dengan baik. Tidak terlalu menuruti nafsu yang akhirnya akan menyesal

dikemudian hari. Kehati-hatian dan dipikir masak-masak sebelum melangkah,

agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

Selain berperan sebagai tokoh yang memberikan tuntunan kehidupan,

burung menco juga memiliki sifat rendah hati yang melekat pada peran yang

diceritakan. Lihat kutipan pupuh VI bait ke 23-24 sebagai berikut.

Sang kulila lan matur, inggih amba kang wau ngingidung, nanging dereng lebda widagdeng kakawin, namung tembung maksih widhung, aben manis kirang manggon. (pupuh VI bait 23) Nanging tyas kumacelu, sumerepa sawatawis lowung, kinarya wit sisinaon murweng kawi, myang mardapa mardi lagu, sampun ngantos kabesturon. (pupuh VI bait 24)

Page 81: serat cemporet

69

Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab lembut, ujarnya, “Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun sesungguhnya belun mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar merangkai kata, itupun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik, sering kali masih kurang tepat. (pupuh VI bait 23) Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang sedikit. Lumayan untuk bekal mempelajari kata-kata kawi, dan untuk mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak bodoh. (pupuh VI bait 24)

Pada kutipan di atas, menggambarkan kedirian menco memerankan

tokoh cerita yang memiliki sifat rendah hati. Kepandaiaanya menggubah dan

mendendangkan tembang kakawin tidak membuatnya sombong. Di samping

itu, memberikan pesan bahwa meskipun ilmu pengetahuan yang dimilikinya

hanya sedikit, tetapi dapat dimanfaatkan. Untuk menghibur sekaligus

memberikan teladan kepada orang lain.

Burung menco juga berperan sebagai tokoh yang memiliki sifat yang

tidak pernah ingkar bila sudah berjanji. Perhatikan kutipan pupuh IX bait ke 28

berikut.

Dipun sabil ing panggalih, sampun lalu kalayatan, emutha dhateng pun sinom, tebih-tebih limampahan, nedya reksa-rumeksa, condhong cundhuking sarembug, wekasan karya duhkita. (pupuh IX bait 28) Terjemahan bebasnya : Sabarkanlah hati sang Dewi, dan jangan terlanjur lupa diri. Ingatlah kepada sinom, yang telah jauh datang memenuhi janji, dengan niat saling menjaga dan membina persesuaian dan kesepakatan pendapat, akan tetapi pada akhirnya hanya membuat kesedihan (pupuh IX bait 28)

Page 82: serat cemporet

70

Peran tokoh menco menjadi tokoh yang berpegang teguh pada janji,

dari kutipan di atas, menggambarkan burung menco (sinom) yang telah

menepati janjinya untuk menemui Rara Kumenyar. Selain itu, menco juga

berperan sebagai tokoh yang memiliki sopan santun dan tata karma. Perhatikan

kutipan pupuh IV, bait ke 48 berikut ini.

Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pereki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV bait 48) Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak dan tahu akan tata krama dan sopan santun. (pupuh IV bait 48)

Kutipan di atas menggambarkan peran menco sebagai tokoh yang

memiliki tata krama dan sopan santun di hadapan orang lain, terlebih orang

yang lebih tua umurnya.

4.2.2 Banteng

Tokoh banteng merupakan wujud deformasi dari Raden Arya

Prawasakala. Putra ketiga Prabu Sri Kala, kakak dari Raden Prawasata (burung

menco). Raden Arya Prawasakala bernasib sama seperti adiknya, berubah

wujud menjadi seekor binatang. Perbuatannya yang sekehendak hati menebang

pohon beringin sampai habis sehingga menutup jalan yang akan dilewati sang

ayah. Membuat ayahnya marah dan tak terkendalikan perkataaannya.

Page 83: serat cemporet

71

Menyumpahi anaknya seperti seekor Banteng, yang memiliki sifat tak sabar dan

berbuat sesuka hati.

Ucapan Prabu Sri Kala berbuah kenyataan yang pahit, yang harus di

jalani oleh anaknya. Menjadi seekor banteng, tetapi masih bisa berkata seperti

manusia. Kejadian berubahnya Raden Arya Prawasakala bersamaan dengan

adiknya yang berubah menjadi burung menco. Ketika Prabu Sri Kala hendak

pulang dari berburu di hutan, dan hanya mendapatkan hasil yang sedikit.

Membuat sang Prabu kesal ditambah jalan yang akan dilaluinya terhalang

dengan dahan pohon beringin.

Peran tokoh banteng pada dunia pendidikan dapat diungkap melalui

watak dan latar. Berupa tingkah laku, percakapan, pikiran, perasaan yang

dialami pada setiap peristiwa yang diembannya. Peran banteng sebagai tokoh

yang suka menolong orang lain, lihat pupuh VIII bait ke 17 berikut.

Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Terjemahan bebasnya : Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17) Kutipan di atas menunjukan peran banteng yang suka menolong orang

lain yang sedang kesusahan. Lihat kutipan pupuh XIII bait 18-19 berikut ini.

Page 84: serat cemporet

72

Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18) Andaka duk angrungu, cara janma wangsulaning wuwus, yen pituwas kang sayekti tanpa kardi, angger tansah awas emut, amet mitra lair batos. (pupuh XIII bait 19)

Terjemahan bebasnya : Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18) Banteng yang mendengar ujar orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab, bahwa balas jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, asal tetap ingat, dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin. (pupuh XIII, bait 19) Kutipan di atas, menggambarkan Banteng berperan sebagai tokoh yang

suka menolong orang lain tanpa pamrih. Dilakukan dengan iklas untuk berbuat

kebaikan, sehingga banyak dari orang yang pernah ditolongnya merasa

berhutang budi. Tujuan banteng hanya ingin menebus dosa-dosanya agar

terbebas dari kutukan, dan menambah persaudaraan.

Meskipun banteng hanya seekor binatang, tetapi memiliki tata krama

dan sopan santun. Perhatikan kutipan pupuh IV, bait ke 49-50 berikut.

Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49) Kyai buyut duk angrungu, kadi tan bisa mangsuli, saking dahat katambetan, sato bisa mardaweng ling, tan tumpangso tembungira, rumaket amamalat sih. (pupuh IV, bait 50)

Terjemahan bebasnya : Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku

Page 85: serat cemporet

73

lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah kuanggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Hampir-hampir Kyai Buyut tidak dapat menjawab ketika mendengar ucapan si banteng, karena benar-benar tidak menduga ada binatang dapat bercakap-cakap dengan baik. Kata-katanya tidak tumpang-tindih, ramah lagi bersahabat. (pupuh IV, bait 50) Peran banteng digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sopan santun

dan tata krama. Tutur kata dan tingkah lakunya menghormati orang yang lebih

tua umurnya. Tidak melihat latar belakang lawan bicaranya. Ki Buyut

Cemporet adalah rakyat jelata, yang pekerjaannya mencari kayu di hutan,

sedangkan banteng masih keturunan raja. Namun demikian, banteng tetap

menghormatinya.

Banteng juga berperan sebagai tokoh yang mudah putus asa.

Perhatikan pupuh XX bait ke 8 berikut ini.

Mangke ulun kadyaparan, yen tan ruwat warna janmi, saking pitulung paduka, baya milalu ngemasi, ngandika narpasiwi, pan sarya amijilken luh, he yayi den narima, papancening jawatadi, temenana pamintana pangaksama. (pupuh XX bait 8) Terjemahan bebasnya : “Sekarang bagaimana saya ini jika tidak dapat kembali berujud atas pertolongan paduka. Mungkin saya akan bunuh diri,” demikian ujar banteng. Raja putra menjawab dengan air mata bercucuran, “Adikku, terimalah ketentuan dewata, dan mohonlah ampun dengan sungguh-sungguh. (pupuh XX bait 8)

Pada kutipan di atas, banteng berperan sebagai tokoh yang memiliki

sifat mudah putus asa. Sewaktu melihat adiknya sudah menjadi manusia lagi,

tetapi si banteng masih tetap pada ujudnya sebagai binatang hutan. Sehingga

membuat banteng berputus asa, hendak bunuh dari. Selain itu, banteng juga

Page 86: serat cemporet

74

memiliki sifat kasih sayang terhadap saudaranya. Perhatikan kutipan pupuh

XXIII, bait ke 15-16 berikut.

Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15) Andaka umatur aris, ulun nguni darbe kadang, kados makaten warnine, pramila amba kengetan, awit ing sapunika, kawarti elos ing dalu, tan kantenan lenging prenah. (pupuh XXIII bait 16) Terjemahan bebasnya : “Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15) Banteng menjawab dengan suara perlahan, “Dulu saya mempunyai saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena sekarang ini ada berita bahwasanya mereka pergi dengan diam-diam di waktu malam, hilang tak tentu rimbanya.” (pupuh XXIII bait 16)

Tokoh banteng mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki

kasih sayang terhadap saudaranya. Sewaktu melihat ke dua putri yang akan

dijodohkan dengan putra raja Pagelen. Banteng menangis teringat akan ke

dua saudara perempuannya. Sebenarnya ke dua putri tersebut memang kakak

perempuannya, tetapi banteng tidak menyapanya karena sedang mengemban

tugas untuk melamar ke dua putri tersebut, sebagai calon pengantin ke dua

putra raja Pagelen.

Page 87: serat cemporet

75

4.2.3 Kera

Tokoh kera adalah wujud deformasi dari Retna Srenggana, putri

Sanghyang Srenggadewa. Mereka merupakan keturunan dari bangsa dewa.

Sanghyang Srenggadewa putra Sanghyang Naba, yang masih keturunan Sang

hyang Wisnu. Putri Retna Srenggana dikutuk menjadi seekor binatang kera,

karena tindakannya yang terlalu menurutkan hawa nafsu. Menginginkan supaya

dapat melihat segala sesuatu yang gaib.

Awalnya Retna Srenggana meminta Manik Mustika Pranawa, untuk

dapat melihat segala jenis binatang yang hidup di dunia, dan ingin melihat

segala macam keindahan serta yang gaib-gaib. Permintaannya dipenuhi sang

ayah, yang tidak lain adalah Sanghyang Srenggadewa. Ayahnya memenuhinya

karena tujuan dari Retna Srenggana sangat mulia. Ingin menolong dunia,

memberikan pertolongan kepada umat manusia sebagai sarana hidupnya.

Setelah permintaannya telah terpenuhi, yaitu menginginkan Manik

Mustika Pranawa. Ternyata belum membuatnya puas, sehingga menginginkan

kesaktian yang pernah dimiliki oleh Dewi Rukmawati, Putri Hyang Antaboga.

Meminta Mustika Manikara, yang pernah dimiliki oleh Dewi Rukmawati.

Namun ditolak oleh ayahnya, karena memang tidak diijinkan dan merupakan

rahasia dewata. Retna Srenggana tetap bersikeras untuk dapat memilikinya.

Shanghyang Srenggadewa melihat anaknya yang keras kepala dan

terlalu menuruti nafsu, sehingga membangkitkan amarahnya. Tanpa disengaja

terucap kata-kata yang tidak dapat dikendalikan lagi. Menyumpahi anaknya

Page 88: serat cemporet

76

tidak ada bedanya seperti kera. Terlalu menuruti nafsunya seperti berwatak

kera, ingin meniru kesaktian yang dimiliki orang lain yang sebenarnya tidak

diijinkan dan rahasia dewata.

Seketika Retna Srenggana berubah menjadi seekor kera. Tanpa

disadari Shangyang Srenggadewa, kekhilafan menyumpahi anaknya berbuah

menjadi kenyataan, yang harus ditanggung putri kesayangannya. Kera

merupakan sebangsa binatang yang berwujud seperti halnya manusia. Namun

badannya kecil, berbulu dan memiliki ekor.

Peran tokoh kera pada dunia pendidikan dapat diungkap lewat kejadian

dalam peristiwa yang dikisahkan. Kehadiran tokoh kera sebagai seorang tokoh

yang tidak diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupan, kepribadian dan

jati dirinya. Perhatikan kutipan pupuh XIX bait 8- 9 berikut ini.

Wong banget ardaning kapti, kaya ambeking wanara, awekasan putraningong, nemahi rupa kuthila, ingsun ketun kalintang, tan anyana yen tumuwuh, mawae ruweding wardaya. (pupuh XIX bait 8) Dadi ngsun lawan swami, anglindung sakarsaning hyang, nganti lawas antarane, ingsun mesu nungku pudya, aneng pura punika, temah retuning lelembut, suyud panjenenganingwang. (pupuh XIX bait 9) Terjemahan bebasnya : Orang yang terlalu menurutkan nafsunya itu seperti berwatak kera. Itulah sebabnya anakku akhirnya berujud seperti kera. Aku benar-benar sangat menyesal, tak menduga kalau kata-kata itu berakibat demikian, sehingga menimbulkan keruwetan hati. (pupuh XIX bait 8) Yang tak dapat lagi menahan kesedihan, waktu itu ialah ibunya. Benar-benar berat sekali penderitaannya. Tak lama kemudian ada petunjuk, bahwa tentang anakmu itu tak lama lagi akan mendapat pertolongan. Sekarang terimalah dengan sabar. (pupuh XIX bait 9)

Page 89: serat cemporet

77

Kehadiran tokoh kera mengemban peran sebagai tokoh yang

memberikan gambaran seseorang yang terlalu menuruti nafsu. Keinginan yang

tidak kenal batas yang akhirnya mendatangkan penderitaan, yaitu berubah

wujud menjadi seekor kera sebagai kutukan dewata. Keinginannya yang terlalu

menuruti kehendak nafsu, juga berakibat bukan pada dirinya sendiri. Perhatikan

pupuh XIX bait ke 17-18 berikut ini.

Musthika Pranawa nguni, kasrah sang Dewi Srenggana, mukti sari sakangrongron, lamining antaranira, anggarbini sang retna, sapraptaning masanipun, mijil kembar samya pria. (pupuh XIX bait 17) Pan samya siwah kang warni, kang sepuh mulus apethak, awak janma rai kethek, dene wau kang taruna, adhapur palawija, warni janma cemeng mulus, rai lutung kasinungan. (pupuh XIX bait 18) Terjemahan bebasnya : Mustika pranawa yang pernah diceritakan tadi diserahkan kepada Dewi Srenggana. Berdua selalu mengenyam kasih dan cinta. Beberapa kemudian sang dewi mengandung, dan setelah tiba waktunya ia melahirkan bayi kembar laki-laki. (Pupuh XIX bait 17) Ujud keduanya sangat berbeda. Yang tua putih mulus, bertubuh manusia berwajah kera. Sedang yang muda berbentuk bongkok, bertubuh manusia berwajah kera hitam legam. (pupuh XIX bait 18) Kutipan di atas, melukiskan dampak dari tokoh kera yang mengemban

peran sebagai tokoh yang memiliki sifat keras kepala. Semua kemauannya yang

harus dituruti, sehingga ia dikutuk menjadi kera. Penderitaannya bukan saja

ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi keluarga dan keturunannya. Setelah

melahirkan bayi, keduanya bertubuh manusia tetapi berwajah kera. Hal tersebut

memberikan hikmah, untuk selalu berhati-hati dalam bertindak. Sekali salah

langkah dalam bertindak, keluarga ikut menanggung akibatnya.

Page 90: serat cemporet

78

4.2.4 Anjing

Tokoh anjing merupakan wujud penjelmaan dari Raden Jayasandika,

putra Prabu Baka dari kerajaan Prambanan. Menurut cerita, ia terkena kutukan

dari Raden Bandung Bandawasa. Ketika peperangan, negeri prambanan

ditaklukan oleh Raden Bandung Bandawasa. Prabu Baka mati ditangannya,

dalam suatu peperangan. Untuk membalas kematian sang ayah, Raden

Jayasandika membunuh Raden Bandung Bandawasa dengan cara licik. Tidak

layak jika di sebut kesatria, dengan menipu Raden Bandung Bandawasa masuk

ke dalam Istana. Kemudian dijerumuskan ke dalam sumur oleh Raden

Jayasandika beramai-ramai dengan bala tentaranya.

Kehadiran tokoh anjing muncul dalam alur cerita sorot balik. Namun

kehadiran tokoh anjing tidak dapat diabaikan, karena ikut berperan dalam

jalannya cerita. Tokoh anjing merupakan wujud penjelmaan dari Raden

Jayasandika, yang tidak lain adalah kakek buyut dari Raden Arya Prawasakala

(banteng) dan Raden Prawasata (burung menco). Raden Jayasandika beristrikan

Rara Nawangsih, adik tirinya. Dari pernikahannya memiliki putra yang

bernama Raden Suputra, yang bergelar Adipati Kalang Andaka. Raden Suputra

memiliki dua anak, yaitu Dewi Jempina dan Patih Anila. Selanjutnya Dewi

Jempina menikah dengan Prabu Sri Kala. Dianugerahi empat putra, dua

diantaranya yaitu yang dikutuk menjadi banteng dan burung menco.

Tokoh anjing dihadirkan sewaktu Raden Margana mencari dua putri

Prabu Sri Kala dari kerajaan Prambanan, yang melarikan diri dari istana. Atas

Page 91: serat cemporet

79

saran Umbul Wibra, Raden Margana dan Ki Buyut Malandangan pergi ke

gunung wilis menemui pertapa hitam. Kemudian pertapa hitam (Shangyang

Srenggadewa) bertanya tentang asal-usul Raden Margana. Diceritakan asal-usul

Raden Margana oleh Ki Buyut dari awal sampai akhir. Raden Margana anak

dari patih Anila yang masih keturunan dari Raden Jayasandika (anjing)

Kehadiran tokoh anjing hanya sedikit ditampilkan keadaan kediriannya

atau sebagai seorang tokoh yang hanya sedikit diungkapkan sisi kehidupannya.

Kehadiran tokoh anjing tidak bisa diabaikan, karena masih ada hubungan

keterkaitan dengan tokoh utama. Peran tokoh anjing pada dunia pendidikan

dapat ditemukan lewat tindakan, kejadian dan percakapan. Perhatikan kutipan

pupuh XVII, bait ke 38-39 berikut ini.

Pinumpu Randha Dhadhapan, kasinungan nama Rara Nawangsih, warnanen kang angluru, Raden Jayasandika, angalaya saparan kalawun-lawun, cariyosipun ing kina, antuk soting Bandung nguni. (pupuh XVII bait 38) Temahan dadya srenggala, maksih mungseng denira angulati, maring papacanganipun, tan wruh yen sampun lina, dahat dennya marsudi sidaning laku, minta parmaning jawata, luwaring asalah warni. (pupuh XVII bait 39) Terjemahan bebasnya : Bayi itu dipungut oleh randa dadapan, diberi nama Rara Nawangsih. Tersebutlah raden Jaya Sandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan. Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, (pupuh XVII bait 38) Sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya, karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tidak ada. Ia berusaha sangat keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari ujudnya yang salah. (pupuh XVII bait 39)

Page 92: serat cemporet

80

Dari kutipan di atas, merupakan gambaran tokoh anjing mengemban

peran menjadi tokoh yang tidak mudah putus asa. Mencari ibu tirinya, yaitu

Rara Jonggrang yang telah meninggal, membuatnya terlunta-lunta. Namun

tetap bersikeras untuk mencari. Tokoh anjing juga mengemban peran menjadi

tokoh yang percaya adanya Tuhan, yang dapat menolongnya terbebas dari

kutukan Raden Bandung Bandawasa.

Penampilan kehidupan dan jatidiri tokoh-tokoh binatang hanyalah model

atau cermin pribadi kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, dapat diambil dan diterapkan

kebaikan yang melekat pada kedirian tokoh binatang. Sebaliknya sifat dan

tingkah laku yang kurang baik, dapat dijadikan pengalaman sebagai pelajaran

yang sangat berharga.

Penafsiran terhadap sikap, watak, dan kualitas pribadi tokoh-tokoh

binatang mendasarkan diri pada apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan.

Ucapan dan tindakan tokoh-tokoh binatang, tentunya memberikan pengaruh pada

dunia pendidikan. Peran tokoh-tokoh binatang yang mengemban tugas sebagai

pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, merupakan sesuatu yang ingin

disampaikan dalam penanaman pendidikan budi pekerti.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam

Serat Semporet memiliki peran penting pada dunia pendidikan. Secara langsung

atau pun tidak langsung, memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan.

Page 93: serat cemporet

81

Pembahasan dilanjutkan mengenai nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam

Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang.

4.3 Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet

Berdasarkan deretan peristiwa di atas, yang berupa tindakan dan

kejadian tokoh-tokoh binatang, dapat diketahui nilai-nilai pendidikan yang

terkandung di dalam Serat Cemporet. Melalui kejadian dan tindakan para tokoh

binatang dapat diambil teladan-teladan yang baik untuk diterapkan dalam

kehidupan nyata. Teladan yang berupa petuah atau nasehat dari tokoh-tokoh

binatang yang sangat berguna bagi penanaman pendidikan moral untuk anak usia

sekolah.

Sebuah karya naratif tidak sedikit mengandung pesan nilai-nilai

pendidikan yang ditawarkan kepada pembaca. Nilai-nilai pendidikan yang

tentunya banyak sekali jenisnya untuk dapat ditafsirkan dan dipetik oleh

pembaca. Mengingat cara berpikir seseorang (pembaca) berbeda satu sama

lainnya. Penafsiran tersebut, dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda

baik dari segi jenis dan aspek pendidikan yang terkandung di dalamnya.

Dapat diartikan bahwa jenis dan aspek nilai pendidikan yang terkandung

dalam karya naratif mencakup masalah yang sangat kompleks, bersifat tak

terbatas. Masalah hidup dan kehidupan, menyangkut hubungan manusia dengan

dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan lingkungan

alam, serta manusia dengan Tuhannya.

Page 94: serat cemporet

82

Dalam penulisan skripsi ini, nilai pendidikan dibagi menjadi empat jenis.

Terbagi menjadi nilai pendidikan religius, nilai pendidikan etika, nilai pendidikan

sosial, dan nilai pendidikan moral.

4.3.1 Nilai Pendidikan Religius

Nilai pendidikan religius mengajarkan tentang kesadaran akan

keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam dan segala isinya. Mengakui ke-Esaan

dan kekuasaan Tuhan dengan bertaqwa dan beriman hanya kepada-Nya.

Manusia adalah makhluk Tuhan, diciptakan dengan hak dan kewajiban yang

sama, untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi apa yang menjadi

laranganNya.

Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam Serat Cemporet, terbagi

menjadi tiga aspek, yaitu percaya akan takdir, memanjatkan rasa syukur, dan

sikap pasrah, sebagai berikut.

4.3.1.1 Percaya akan Takdir

Istilah takdir sering disamakan dengan nasib, yaitu suatu perjalanan

hidup yang sudah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hidup ini semua

telah dicatat dan diatur, sedangkan manusia hanya menjalaninya. Perhatikan

kutipan pupuh IX bait 39-41 berikut ini.

Babasane ingsun iki, lir sela kelem ing tirta, elok bisane timbule, tiwas tuna tanpa guna, malah katula-tula, menco alon aturipun, yen sampun karsaning dewa. (pupuh IX, bait 39)

Page 95: serat cemporet

83

Yekti tan saged sumingkir, andhap luhur kalampahan, sampun kathah tuladane, para ratu kina-kina, amek darahe sudra, awkasan dados luhur, tan pilih tibaning begja. (pupuh IX, bait 40) Sinten kang saged amasthi, tekaning begya druhaka, lawan tekaning kapaten, miwah tekane ing lara, ghaib kang murweng titah, kawula muhung anglindhung, sumendhe ing karsaning hyang. (pupuh IX, bait 41) Terjemahannya : Diri saya boleh diibaratkan seperti batu yang terbenam ke dalam air, mustahil rasanya akan dapat timbul kembali. Sudah merugi ternyata tak ada manfaatnya, malahan semakin terlanjur-lanjur susah.” Menco menanggapinya dengan suara lembut, “Jika sudah menjadi kehendak dewata, (pupuh IX, bait 39) Pasti tidak dapat disingkiri. Tinggi-rendah dapat saja terlaksana, dan sudah banyak contohnya, para raja di jaman kuno, banyak yang mengambil keturunan orang kebanyakan, yang akhirnya menjadi tinggi juga, karena keberuntungan itu jatuhnya tidak memiliki tempat. (pupuh IX, bait 40) Siapa yang dapat menentukan datangnya keberuntungan, mala-petaka dan datangnya maut, serta datangnya sakit. Semua itu merupakan gaibnya Yang Maha Kuasa. Manusia hanya berlindung dan berserah kepada kehendak Tuhan.” (pupuh IX, bait 41) Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa semua yang akan dan

yang telah terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan. Di hadapan Tuhan semua

manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tuhan Maha pencipta, memiliki

hak mutlak mengatur garis hidup terhadap ciptaanNya. Manusia sebagai

ciptaanNya sekadar menjalankan yang telah ditentukan. Bila memang sudah

menjadi takdir dariNya, tentang hidup, mati, rejeki, jodoh, maka tidak dapat

di tolak. Perhatikan kutipan pupuh XIV, bait ke 34-36 berikut ini.

Paksi menco ngimur ngarih-arih, ing sang prabu anom, dhuh dhuh sampun ngagengken wirage, tiwas maweh muwuhi wiyadi, mindhak tanpa kardi, ambabawur laku. (pupuh XIV, bait 34)

Page 96: serat cemporet

84

Rehning lalakon sampun karakit, rumaket ing pakon, lineketan ing sapakantuke, mring Ki Buyut mangkin, nirken sanggarunggi, ing tyas den tuwajuh. (pupuh XIV, bait 35) Lagya kinuncang dening dewadi, dadining lalakon, kedah makaten ing pamitane, ewed punapa sampun kapipit, weweraning wadi, rinimbageng rembug. (pupuh XIV, bait 36) Terjemahan bebasnya :

Burung menco berusaha menyabarkan rajaputra, demikian ujarnya, “Aduhai Gusti, jangan memperturutkan perasaan rindu. Itu hanya akan menambah susah, tambahan lagi tak ada faedahnya, dan akan mempersulit laku. (pupuh XIV, bait 34) Karena lakon itu sebenarnya sudah diatur, taatilah perintah, dan dekatilah dengan sabar. Lenyapkanlah kecurigaan perasaan Ki dan Nyi Buyut, dan sabarkanlah hati Gusti. (pupuh XIV, bait 35) Sekarang ini Gusti sedang digoncang oleh dewata. Pelaksanaannya harus ditempuh dengan melamarnya. Tidak ada hal-hal yang perlu diragukan karena memang sudah terpepet, dan sudah diketahui pula rahasianya. Bukankah lebih baik dibicarakan saja secara terus-terang.” (pupuh XIV, bait 36) Kutipan di atas menggambarkan bahwa lakon atau perjalanan hidup

manusia sudah diatur. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia itu

merupakan kehendakNya. Maka sebagai manusia harus dapat menerima

dengan ikhlas, apapun pemberianNya.

4.3.1.2 Memanjatkan Rasa Syukur

Memanjatkan rasa syukur dapat diartikan sebagai tanda terimakasih

atau ingat atas apa yang diberikan oleh Tuhan. Mensyukuri anugerah yang

diberikan Tuhan, perhatikan kutipa pupuh XIII, bait ke 45-46 berikut.

Jamang manaru atur, rumesep sih mesem wuwusipun, yen makaten rama andika ing mangkin, kabrokan nampeni bratu, mung amardi karahayon. (pupuh XIII bait 44)

Page 97: serat cemporet

85

Ki Buyut lon sumahur, ora luwih mung tumandho kulup, rumahabe ambau-reksa ing gusti, atas karsaning dewa gung, ananing lelakon elok. (pupuh XIII, bait 45) Jamang malih amuwus, yen makaten sukur bagya sewu, pan jawata sipat mirah lawan asih, dipun sarju tyas tuwajuh, pangayaming karahayon. (pupuh XIII bait 46)

Terjemahan bebasnya :

Dengan tersenyum manis jamang turut berbicara, katanya, “Ayah, dengan demikian sekarang anda kedatangan dan menerima keluarga bertumpuk-tumpuk, yang harus anda gendong.” (pupuh XIII bait 44) Ki Buyut menjawab lembut, “Tak lain aku hanya menerima, Anakku. Dan turut serta menjaga Gusti atas kehendak dewa agung, karena adanya lakon yang ajaib.” (pupuh XIII bait 45) Jamang berkata lagi, “Jika demikian beribu-ribu Syukur, karena dewa bersifat pemurah dan pengasih. Terimalah dengan sabar dan tawakal bayangan keselamatan ini. (pupuh XIII bait 46) Kutipan di atas menggambarkan ungkapan rasa syukur burung

menco diakui anak oleh Ki Buyut cemporet. Begitu sebaliknya, Ki Buyut

menerima burung menco sebagai anugerah yang diberikan kepadanya.

Memberi pesan bahwa dalam hidup ini kita harus menikmati dan mensyukuri

apa yang diberikan Tuhan.

4.3.1.3 Sikap pasrah

Sikap pasrah berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak

Tuhan. Menerima apa yang telah diberikan, karena segala sesuatu sudah di

atur dan sudah menjadi kehendakNya. Perhatikan kutipan XIII, bait ke 5-6

berikut.

Dadi datan beda lan manusa jati. Jamang sumaruna, bagya Cundhuk sira mangkin, antuk sabdaning bandara. (pupuh XII, bait 5) Tatakinen tekeng ati den nastiti, aywa uwas-uwas, lakinira angemasi, pupusen ing panarima. (pupuh XII, bait 6)

Page 98: serat cemporet

86

Terjemahan bebasnya :

Sehingga tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. (pupuh XII, bait 5) Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6) Kutipan di atas menunjukkan bahwa hidup manusia ada yang

mengatur dan menuntun, hendaknya sebagai manusia harus memiliki sikap

pasrah. Menjalani proses hidup dengan sabar dan tawakal.

Sikap pasrah juga diperlihatkan lewat peran tokoh banteng dalam

pupuh IV, bait ke 67-68 berikut ini.

Sabab titahing dewa gung, janma sato mina paksi, wus pinanci sowing-sowang, kang amasthi dadya bukti, yekti saged angupaya, myang amilih kang pakolih. (pupuh IV bait 67) Buyut latah sarya wuwus, adhuh sutengulun yekti, dene dahat asambawa, teka ndadak andadilah, kang tan pisan maka tena, inggih benjang den titeni. (pupuh IV bait 68) Terjemahan bebasnya : Sebabnya ialah, karena makhluk itu, baik manusia, hewan, ikan maupun burung sudah mendapat bagian masing-masing, apa yang tersedia sebagai makanannya, sehingga pasti dapat mencari serta memilih mana yang tepat baginya. (pupuh IV bait 67) Mendengar ucapan banteng itu Kyai Buyut tertawa seraya ujarnya, “Wahai anak-anakku, mengapa membuat kias segala, dan mengapa pula menduga-duga yang bukan-bukan. Lihatlah saja, bagaimana kelak (pupuh IV bait 68) Kutipan pupuh di atas, menggambarkan banteng berpasrah diri

kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Sebagai salah satu makhluk ciptaanNya,

seyogyanya harus memiliki sikap pasrah terhadap kehendakNya. Segala

sesuatu telah diatur dan dibagi kepada umatNya, sehingga manusia

Page 99: serat cemporet

87

hendaknya tidak merisaukan masalah pembagiannya. Seperti halnya rejeki,

dalam hidup sudah diberikan menurut bagiannya sendiri-sendiri.

4.3.2 Nilai Pendidikan Etika

Etika berhubungan dengan baik atau buruk sikap dan tindakan

seseorang dalam hidup bermasyarakat. Etika menjadi konsep manusia untuk

melakukan tindakan atau tingkah laku terhadap sesama dalam menjalani hidup.

Nilai pendidikan etika meliputi dua aspek, yaitu tutur kata dan sikap sopan

santun atau tata karma, sebagai berikut.

4.3.2.1 Tutur Kata

Tinggi rendahnya seseorang dapat dilihat dari tutur katanya, oleh

sebab itu hendaknya harus dijaga dalam setiap tindakan dan perbuatan.

Perhatikan pupuh V bait ke 1-2 berikut ini.

Sapraptaning dhukuh Cengkarsari, buyut lanang wadon, datan anggop-anggop panganggape, maring sira sang andaka paksi, kadi suta yekti, lamun imbal wuwus. (pupuh V bait 1) Tembung ngoko kewala pakolih, bantheng lawan menco, maksih nganggo krama basane, lulus samya tulung dana kardi, Ki Buyut lestari, adol kang tinemu (pupuV bait 2) Terjemahan bebasnya : Setibanya di desa Cengkarsari, Kyai Buyut suami istri benar-benar tak segan-segan lagi menganggap banteng dan burung sebagai anak-anaknya. Jika bercakap-cakap. (pupuh V bait 1) Kyai Buyut menggunakan bahasa ngoko, sedangkan banteng dan burung menggunakan bahasa krama. Mereka masih terus berbuat kebaikan dan membantu bekerja. Ki buyut masih tetap menjual barang-barang yang ditemukan (pupuh V bait 2)

Page 100: serat cemporet

88

Kutipan di atas menunjukkan sikap burung menco dan banteng yang

menggunakan bahasa krama. Hubungan antara anak dan orang tua hendaknya

agar selalu harmonis dengan menggunakan bahasa yang baik. Orang tua

kepada anaknya dengan menggunakan bahasa jawa ragam ngoko, sedangkan

anak kepada orang tua hendaknya menggunakan bahasa jawa ragam krama.

Menunjukan sebagai anak yang berbakti kepada ke dua orang tuanya.

Tutur kata juga dapat menjadi ukuran baik-buruknya seseorang.

Perhatikan kutipan pupuhXV bait ke 11-12 berikut ini.

Ing warnanira sarimbit, yayah dewa ngejawantah, pantes patute tinonton, senen sumunu sumunar, pae samaning janma, samya tan nduga ing kalbu, kalawan menco andaka. (pupuh XV bait 11) Teka labdeng krama niti, dene dahat kaelokan, warna-warna pangangene, ri sampunira mangkana, lajeng samya bujana, ambul ambengan kinembul, samya suka parisuka. (pupuh XV bait 12) Terjemahan bebasnya : Rupa kedua mempelai, yang bagaikan dewa turun ke bumi, sangat patut dan pantas untuk ditonton. Rona wajahnya bercahaya kemilauan, berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka betul-betul tidak habis mengerti. Demikian pula tentang si burung menco serta banteng, (pupuh XV bait 11) Yang ternyata dapat berbicara sopan seperti manusia. Sungguh sangat ajaib. Bermacam-macam dugaan mereka. Sesudah itu lalu makan bersama, masing-masing mengambil piring, dan semua merasa gembira. (pupuh XV bait 12) Kutipan di atas menggambarkan tentang manusia yang dapat

dikatakan baik apabila mampu bertutur kata dengan baik dan sopan. Seperti

dalam ungkapan jawa “Ajining diri gumantung ana ing lati”, mengandung arti

bahwa tinggi rendahnya seseorang tergantung pada tutur katanya.

Page 101: serat cemporet

89

4.3.2.2 Sopan Santun atau Tata Krama

Sikap sopan santun atau tata krama berhubungan dengan tindakan

dan tingkah laku seseorang yang dapat menempatkan diri dihadapan orang

lain. Lihat kutipan pupuh IV bait 48-49 berikut ini.

Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pareki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV, bait 48) Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49)

Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak serta tahu tata karma dan sopan santun. Baru kali inilah saya bertemu.” (pupuh IV, bait 48) Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itu pun sudah ku anggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Kutipan di atas menggambarkan banteng yang memiliki sikap dan

tingkah laku sopan dihadapan orang lain. Meskipun hanya seekor banteng

tetapi tahu tentang sopan santun dan tata krama. Memberikan pesan bahwa

hendaknya manusia dapat menempatkan diri sesuai tata krama dan sopan

santun. Sikap Sopan santun juga dijadikan sebagai tolak ukur penilaian baik

buruknya seseorang di masyarakat.

Page 102: serat cemporet

90

4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial

Manusia merupakan makhluk sosial, yang dalam hidup dan

kehidupannya membutuhkan manusia lain. Manusia memiliki rasa

ketergantungan terhadap sesama. Untuk itu, manusia perlu hidup berkelompok

atau bermasyarakat. Nilai pendidikan sosial dijadikan konsep bagi setiap

prilaku manusia sebagai anggota masyarakat.

Melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet,

nilai pendidikan sosial meliputi empat aspek, yaitu tolong menolong, kasih

sayang, kesetiaan, dan kesetiakawanan, sebagai berikut.

4.3.3.1 Tolong Menolong

Manusia adalah makhluk sosial, hidup bermasyarakat memerlukan

keberadaan manusia lain. Oleh sebab itu, manusia hendaknya saling tolong

menolong, Bantu membantu, saling mau memberi dan menerima. Perhatikan

kutipan pupuh XVIII, bait ke 17-18 berikut ini.

Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18)

Terjemahan bebasnya :

Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17)

Page 103: serat cemporet

91

Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18) Kutipan di atas menggambarkan sikap banteng yang suka menolong

orang lain. Memberikan pesan bahwa tolong menolong hendaknya diniatkan

dengan iklas, tidak mengharap imbalan. Berawal dari tolong menolong akan

mendatangkan rejeki, berupa teman yang banyak. Perhatikan kutipan pupuh

V, bait ke 38-39 berikut.

Angandika kusumaning adi, teka bisa kang wong, lan manusa paran kamulane, dene sipate sato sireki, bantheng anauri, saking atutulung. (pupuh V, bait 37 Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Balik paduka wanudya pundi, dahat nyalawados, munggweng wana tan wonten rowange, dene memela memelas asih, kados ngemu sedhih, paran dunungipun. (pupuh V, bait 39)

Terjemahan bebasnya :

Sang Dewi bertanya, demikian, “Bagaimana engkau bisa bergaul dengan manusia, sedangkan engkau sendiri adalah binatang. Bagaimana asal mulanya?” Banteng menjawab, “dengan memberi pertolongan. (pupuh V, bait 37) Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya. Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38) Sebaliknya, paduka ini wanita dari mana. Sungguh sangat asing berada dalam hutan tanpa teman, mengapa demikian menyedihkan, dan tampaknya juga sedang bersedih hati. Bagimana sebenarnya? (pupuh V, bait 39) Kutipan di atas menggambarkan Banteng yang suka menolong orang

yang sedang kesusahan, membuat banteng mempunyai teman yang banyak.

Page 104: serat cemporet

92

Memberi pesan bahwa dalam hidup hendaknya berpedoman dengan

keutamaan budi, yaitu memiliki sikap tolong menolong terhadap sesama.

4.3.3.2 Kasih Sayang

Sikap kasih sayang yang berupa cinta kasih seorang adik terhadap

kakaknya diperlihatkan dalam pupuh XXIII, bait 15-16 berikut ini.

Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15) Andaka umatur aris, ulun nguni darbe kadang, kados makaten warnine, pramila amba kengetan, awit ing sapunika, kawarti elos ing dalu, tan kantenan lenging prenah. (pupuh XXIII bait 16)

Terjemahan bebasnya :

“Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15) Banteng menjawab dengan suara perlahan, “Dulu saya mempunyai saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena sekarang ini ada berita bahwasanya mereka pergi dengan diam-diam di waktu malam, hilang tak tentu rimbanya.” (pupuh XXIII bait 16) Kutipan di atas menggambarkan tentang kasih sayang seorang adik

terhadap kakak kandungnya. Diperlihatkan ketika banteng sedang

menunaikan tugas untuk melamar dua putri yang hendak dinikahkan dengan

ke dua putra raja dari Pagelen. Setelah bertemu kedua putri yang sebenarnya

adalah kakak kandungnya sendiri, banteng mencucurkan air mata teringat

akan saudara kandungnya yang telah lama tidak bertemu. Namun banteng

yang sedang menjalankan amanah dari gustinya, dan waktunya juga tidak

Page 105: serat cemporet

93

tepat untuk melepaskan rindu, banteng tidak langsung bertatap muka dengan

ke dua saudaranya, tetapi langsung pergi menyelesaikan tugasnya.

4.3.3.3 Kesetiaan

Kesetiaan dapat diartikan sebagai sikap patuh dan setia terhadap

atasan atau junjungannya. Diperlihatkan dalam pupuh VIII, bait ke 66 berikut

ini.

Dumugining byar raina, menco kinen wangsul nuli, maring dhukuh Cengkarsari, amawa sarana wadi, minangka angyakteni, wasiat paringing ibu, nenggih warna kalpika, sinung sosotya dumeling, panengrannya supe Manik Adiwarna. (pupuh VIII bait 66) Terjemahan bebasnya : Setelah hari pagi datang kembali, si menco segera diperintahkan supaya kembali ke Cengkarsasari, membawa sebuah sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana pembuktian. Sebuah wasiat pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata yang bercahaya-cahaya, bernama cincin Manik Adiwarna, itulah yang dijadikan sarana. (pupuh VIII bait 66) Kutipan di atas menunjukan kesetiaan menco terhadap junjungannya.

Mempersatukan Raden Pramana dengan dambaan hatinya, Rara Kumenyar.

Sebenarnya keduanya sudah dijodohkan, tetapi mereka menolak dengan

alasan tertentu. Atas kehendak Tuhan yang mempertemukan mereka dengan

perantara burung menco. Kesetiaan menco terhadap junjungannya, sebagai

telangkai cinta mempertemukan Raden Pramana dengan Rara Kumenyar,

yang telah ditakdirkan berjodoh oleh Tuhan.

Page 106: serat cemporet

94

Sikap kesetiaan juga diperlihatkan banteng, sewaktu melamar kedua

putri untuk dinikahkan dengan kedua putra raja Pagelen. Lihat kutipan pupuh

XXIII, bait ke 12-13 berikut.

Paran dennya marek ngarsi, andaka matur sajarwa, lamun nyuwun sakangrongron, Dewi Mulat ngandika, saking pakoning sapa, andaka alon umatur, karsaning Dewi Sriwulan. (pupuh XXIII bait 12) Pan nedya jinatukrami, lawan gusti narpatmaja, tembung ngebun-ebun sore, dereng dugi aturira, andaka duk umulat, ing warnanira sang ayu, rajaputri sekaliyan. (pupuh XXIII bait 13) Terjemahan bebasnya : “Apa gerangan keperluan datang menghadap?” Banteng menjawab, bahwa ia hendak minta kedua putri. Dewi Mulat bertanya lagi, “Siapa yang menyuruhmu?” Banteng menjawab, atas perintah Dewi Sriwulan, (pupuh XXIII bait 12) Karena hendak dijodohkan dengan gusti, rajaputra, jadi maksud kedatangannya adalah hendak melamar. Belum selesai berkata-kata banteng melihat kedua putri. (pupuh XXIII bait 13) Kutipan di atas, menunjukan sikap kesetiaan banteng terhadap gusti

junjungannya. Perintah dari Dewi Sriwulan untuk melamar kedua putri yang

diasuh oleh Dewi Mulat, untuk dinikahkan dengan ke dua putra raja Pagelen.

Banteng akan berujud seperti semula, bila kedua putri raja Prambanan dan

kedua putra raja Pagelen telah menikah. Sikap kesetiaan banteng menjalankan

perintah yang diberikan oleh Dewi Sriwulan, membuat banteng diberi

petunjuk tentang kesembuhannya keujud semula oleh Tuhan.

Page 107: serat cemporet

95

4.3.3.4 Kesetiakawanan.

Sikap kesetiakawanan merupakan sikap positif yang harus dimiliki

manusia dalam hidup bermasyarakat. Sikap kesetiakawanan banteng

diperlihatkan pada pupuh XIII, bait ke 19 berikut ini

Andaka duk angrungu, cara janma wangsulane wuwus, yen pituwas kang sayekti tanpa kardi, angger tansah awas emut, amet mitra lair batos. (pupuh XIII bait 19)

Terjemahan bebasnya :

Banteng yang mendengar ujar orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab dengan bahasa manusia, bahwa balas jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, agar tetap ingat, dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin. (pupuh XIII bait 19) Kutipan di atas menggambarkan peran tokoh banteng yang memiliki

sikap kesetikawanan terhadap manusia. Kebaikan budi untuk menolong

sesama tanpa mengharap imbalan, akan mendatangkan teman yang banyak

dalam hidup bermasyarakat.

Sikap kesetiakawanan juga diperlihatkan burung menco Jamang.

Lihat kutipan pupuh XI bait 13-14 berikut ini.

Rajaputra langkung sukeng galih, amiyarsa turing paksi jamang, ingaras-aras embune, pangandikanya arum, mata kapen ingsun ningali, sira anggawa rowang, menco kalihipun, apa ta kalebu warga, lawan sira paksi jamang matur aris, pukulan jeng bandara. (pupuh XI bait 13) Inggih muhung sami bangsa peksi, panggih wonten samadyaning wana, sami andon wohing aren, kawula angingidung, kapiluyu kedah kepengin, wuwulang basa krama, atemahan lumut, manawi paduka karsa, sakarongron paksi kedah andadasih, dados kanyhi kawula. (pupuh XI bait 14)

Page 108: serat cemporet

96

Terjemahan bebasnya : Rajaputra sangat gembira mendengar cerita si burung jamang, lalu ubun-ubunnya diciumi seraya ujarnya lembut, “Kalau tidak salah aku melihat engkau membawa kawan. Keduanya juga burung menco. Apakah mereka juga termasuk keluargamu?” Menco menjawab hormat, “gusti, junjunganku, (pupuh XI bait 13) Mereka itu hanya sesama bangsa burung, yang ketemu di tengah perjalanan di tengah hutan. Waktu itu sama-sama beristirahat, kemudian saya berkidung, dan akhirnya merasa tertarik, dan menyatakan keinginan mereka untuk mendapat pelajaran bahasa yang baik. Itulah sebabnya mereka turut kemari. Jika paduka berkenan, kedua burung itu akan turut mengabdi menjadi teman saya.” (pupuh XI bait 14) Kutipan di atas menunjukan menco Jamang yang memiliki sikap

kesetiakawanan. Menerima burung menco Cunduk dan Sumping sebagai

sahabatnya, karena keduanya ingin belajar berbahasa dengan baik kepada

menco Jamang. Diajaklah keduanya ikut mengabdi kepada junjungannya.

Merupakan gambaran bahwa manusia tidak dapat mengerjakan sesuatu

sendiri, butuh hubungan dengan sesama untuk membantu sehingga dapat

meringankan pekerjaannya.

4.3.4 Nilai Pendidikan Moral

Moral berhubungan dengan budi pekerti atau kesusilaan tindakan dan

prilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengutamakan nilai-nilai

keluhuran budi di atas segalanya, dengan melakukan perbuatan yang mulia.

Berpedoman pada keutamaan budi, dengan perbuatan mengasihi, dan

menyayangi semua makhluk Tuhan. Dalam menjalani proses hidup ini yang

Page 109: serat cemporet

97

terpenting adalah berbuat kebaikan terhadap sesama, dan menghindarkan diri

dari perbuatan yang tercela.

Nilai pendidikan moral lewat peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat

cemporet, terbagi menjadi lima aspek, yaitu sikap sabar, menepati janji, rela

berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.

4.3.4.1 Sikap Sabar

Sikap sabar merupakan prilaku terpuji yang harus dimiliki oleh

setiap manusia. Semua agama menjelaskan bahwa Tuhan mengasihi orang

yang memiliki sifat sabar. Perhatikan kutipan pupuh XII, bait ke 5-6 berikut.

Dadi datan beda lan manusa jati. Jamang sumaruna, bagya Cundhuk sira mangkin, antuk sabdaning bandara. (pupuh XII, bait 5) Tatakinen tekeng ati den nastiti, aywa uwas-uwas, lakinira angemasi, pupusen ing panarima. (pupuh XII bait 6)

Terjemahan bebasnya :

Sehingga tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. (pupuh XII bait 5) Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6) Kutipan di atas, menggambarkan burung menco jamang yang

memiliki sikap sabar. Dengan mengingatkan kepada Cunduk yang ditinggal

mati oleh suaminya, sumping sewaktu menjalankan tugas. Memberikan pesan

bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia sudah diatur atas

kehendakNya. Sebagai manusia hendaknya menerima dan menjalankan apa

adanya dengan sabar dan tawakal.

Page 110: serat cemporet

98

Sikap sabar juga diperlihatkan dalam diri banteng. Perhatikan pupuh

ke IV, bait ke 67-68 berikut ini.

Sabab titahing dewa gung, janma sato mina paksi, wus pinanci sowing-sowang, kang amasthi dadya bukti, yekti saged angupaya, myang amilih kang pakolih. (pupuh IV bait 67) Buyut latah sarya wuwus, adhuh sutengulun yekti, dene dahat asambawa, teka ndadak andadilah, kang tan pisan maka tena, inggih benjang den titeni. (pupuh IV bait 68) Terjemahan bebasnya : Sebabnya ialah, karena makhluk itu, baik manusia, hewan, ikan maupun burung sudah mendapat bagian masing-masing, apa yang tersedia sebagai makanannya, sehingga pasti dapat mencari serta memilih mana yang tepat baginya. (pupuh IV bait 67) Mendengar ucapan banteng itu Kyai Buyut tertawa seraya ujarnya, “Wahai anak-anakku, mengapa membuat kias segala, dan mengapa pula menduga-duga yang bukan-bukan. Lihatlah saja, bagaimana kelak (pupuh IV bait 68) Kutipan di atas menunjukan kesabaran banteng dalam menjalani

hidup. Menerima apa yang telah diberikan, karena segala sesuatu sudah diatur

atas kehendakNya. Bahwa apapun yang diberikan oleh Tuhan telah

disesuaikan dengan bagiannya masing-masing. Terpenting menerima apa

adanya dan bersyukur atas rahmat yang telah diberikan Tuhan.

4.3.4.2 Menepati Janji

Sikap menepati janji merupakan gambaran manusia yang memiliki

ahklak mulia. Perhatikan kutipan pupuh IX bait ke 7 berikut.

Sang kukila matur aris, boten watak doracara, pun menco pancene ngoceh, nanging sawecanira, ing catur ajrih oncat, si anom kalulutingsun, meh milalu lalawora. (pupuh IX bait 7)

Page 111: serat cemporet

99

Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab dengan suara lembut, ujarnya, “Memang benar, sebagai burung menco saya biasa mengoceh. Akan tetapi tak mempunyai watak pembohong dalam segala ucapannya. Takut ingkar janji. Saya datang agak terlambat, karena lama minta penjelasan akan segala pesan. (pupuh IX bait 7) Kutipan di atas menggambarkan sikap burung menco yang dapat

dipegang ucapannya, atau suka menepati janji bila sudah berjanji sebelumnya.

Ucapannya selalu dibuktikan melalui perbuatan. Lihat kutipan pupuh IX bait

ke 28 berikut ini.

Dipun sabil ing panggalih, sampun lalu kalayatan, emutha dhateng pun sinom, tebih-tebih limampahan, nedya reksa-rumeksa, condhong cundhuking sarembug, wekasan karya duhkita. (pupuh IX bait 28) Terjemahan bebasnya : Sabarkanlah hati sang Dewi, dan jangan terlanjur lupa diri. Ingatlah kepada sinom, yang telah jauh datang memenuhi janji, dengan niat saling menjaga dan membina persesuaian dan kesepakatan pendapat, akan tetapi pada akhirnya hanya membuat kesedihan (pupuh IX bait 28)

Kutipan di atas menggambarkan burung menco memenuhi janjinya

untuk menemui Rara Kumenyar. Memberikan pesan bahwa manusia

hendaknya berpegang teguh pada janjinya. Bukan hanya diucapkan saja,

tetapi harus ditindakan dalam bentuk perbuatan atau tidak mengingkarinya.

4.3.4.3 Rela berkorban

Rela berkorban termasuk sikap hidup yang terpuji. Berani berkorban

tidak berarti mencari muka atau pujian, tetapi sikap berani menanggung

Page 112: serat cemporet

100

resiko demi memberikan bantuan kepada orang lain. Perhatikan kutipan

pupuh XIX, bait ke 40-41 berikut ini.

Anampani kang jemparing, tuna dungkaping panyendhal, ngenani badane dhewe, dadya menco karo pisan, kataman ing senjata, kapisanan niba lampus, amurca kuwandanira. (pupuh XIX bait 40) Cundhuk tetep ngemasi, pan sampun nunggil kahanan, lan sumping ing kamulyane, dene raga menco jamang, waluya warna janma, babar kadadyan ing dangu, narpatmajeng Parambanan. (pupuh XIX bait 41) Terjemahan bebasnya : Maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung jatuh, dan mati, bangkainya hilang. (pupuh XIX bait 40) Menco cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan sumping di alam baka. Sedangkan tubuh menco jamang kembali menjadi manusia seperti keadaannya di masa lampau, ialah rajaputra Prambanan. (pupuh XIX bait 41)

Kutipan di atas menunjukan burung menco mau berkorban demi

gusti junjungannya. Sewaktu peperangan Raden Pramana hendak di panah

oleh Raden Margana, maksud menco menyelamatkan gustinya tetapi panah

tersebut menembus dadanya. Kedua burung menco mati, cunduk jazadnya

lenyap sedangkan jamang kembali keujud semula. Memberikan pesan moral

bahwa jika mau berkorban membantu orang lain akan mendatangkan

kemuliaan pada diri manusia itu sendiri.

Rela berkorban demi atasan atau gusti junjungannya juga

diperlihatkan pada diri banteng. Perhatikan kutipan pupuh XXIII bait ke 40-

41 berikut ini.

Page 113: serat cemporet

101

Katon apa ingsun iki, dinuta sapisan kala, kapalang nora kalakon, sun labuhi banten nyawa, nadyan tumekeng pejah, anuhoni ing pituduh, yeku caraka utama. (pupuh XXIII bait 40) Mantep suwita ing gusti, nora nganggo lelemeran, katanggor baya pakewoh, aja dumeh sato wana, kokira kurang sura, sun sumarah soroh amuk, duk myarsa Raden Margana. (pupuh XXIII bait 41)

Terjemahan bebasnya : Alangkah malunya aku, diutus sekali saja karena ada penghalang lalu tidak berhasil. Aku bela tugasku dengan pengorbanan nyawa. Kendatipun harus mati, aku akan tetap memegang teguh petunjuk. Itulah duta utama. (pupuh XXIII bait 40) Mantap dalam pengabdiannya kepada gusti, tidak gentar menghadapi halangan dan rintangan. Mentang-mentang binatang hutan, lalu kau kira tidak berani? Ku nyatakan bahwa aku menantangmu! ”Raden margana ketika mendengar tantangan. (pupuh XXIII bait 41)

Kutipan di atas menunjukan pengorbanan banteng demi gusti

junjungannya, meskipun harus tempur di medan peperangan dan nyawa

taruhannya. Melukiskan seseorang yang mengutamakan keluhuran budi,

perupa pengabdian terhadap atasan dengan mengorbankan dirinya sendiri.

4.3.4.4 Rendah Hati

Sikap hidup yang berupa sikap rendah hati dapat diartikan tidak

menyombongkan diri, tidak angkuh, tidah congkak, tetapi selalu andap asor,

wani ngalah luhur wekasane. Memberikan pengertian bahwa semakin tinggi

ilmu yang diperolehnya semakin merendah prilakunya. Perhatikan kutipan

pupuh VI bait 23-24 berikut ini.

Sang kulila lan matur, inggih amba kang wau ngingidung, nanging dereng lebda widagdeng kakawin, namung tembung maksih widhung, aben manis kirang manggon. (pupuh VI bait 23)

Page 114: serat cemporet

102

Nanging tyas kumacelu, sumerepa sawatawis lowung, kinarya wit sisinaon murweng kawi, myang mardapa mardi lagu, sampun ngantos kabesturon. (pupuh VI bait 24) Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab lembut, ujarnya, “Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun sesungguhnya belun mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar merangkai kata, itupun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik, sering kali masih kurang tepat. (pupuh VI bait 23) Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang sedikit. Lumayan untuk bekal mempelajari kata-kata kawi, dan untuk mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak bodoh. (pupuh VI bait 24)

Kutipan di atas menunjukan sikap burung menco yang rendah hati,

tidak menyombongkan kepandaiannya. Meskipun menco pandai menggubah

kata-kata kawi dan dinyanyikan dengan suara merdunya, tetapi tidak

membuat menco sombong. Namun kepandaiannya dimanfaatkan untuk

menghibur sekaligus memberikan tuntunan hidup.

4.3.4.5 Tidak Mudah Putus Asa

Sikap tidak mudah putus asa merupakan sikap hidup yang terpuji.

Mempercayai bahwa Tuhan memberikan cobaan hidup pada umatNya sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki pada diri manusia itu sendiri. Lihat kutipan

pupuh XVII, bait ke 38-39 berikut ini.

Pinumpu Randha Dhadhapan, kasinungan nama Rara Nawangsih, warnanen kang angluru, Raden Jayasandika, angalaya saparan kalawun-lawun, cariyosipun ing kina, antuk soting Bandung nguni. (pupuh XVII bait 38) Temahan dadya srenggala, maksih mungseng denira angulati, maring papacanganipun, tan wruh yen sampun lina, dahat dennya marsudi

Page 115: serat cemporet

103

sidaning laku, minta parmaning jawata, luwaring asalah warni. (pupuh XVII bait 39) Terjemahan bebasnya : Bayi itu dipungut oleh randa dadapan, diberi nama Rara Nawangsih. Tersebutlah raden Jaya Sandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan. Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, (pupuh XVII bait 38) Sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya, karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tidak ada. Ia berusaha sangat keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari ujudnya yang salah. (pupuh XVII bait 39)

Sikap hidup anjing yang tidak mudah putus asa mencari ibu tirinya,

yang sebenarnya sudah meninggal. Hendaknya dijadikan pengalaman dan

pelajaran hidup, bahwa Tuhan Maha Mengetahui kekuatan yang ada pada diri

manusia untuk menghadapi cobaan yang diberikanNya.

Page 116: serat cemporet

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan permasalahan peran tokoh binatang pada

dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang

dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita yang telah diuraikan di

atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Analisis terhadap peran tokoh binatang pada dunia pendidikan, hanyalah

salah satu dari beberapa pembahasan dalam mengupas teks Serat

Cemporet. Dapat dikatakan bahwa analisa tidak dilakukan secara

menyeluruh, hanya pada peran tokoh-tokoh binatang saja. Adapun peran

tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan, sebagai berikut.

a. Burung Menco

Burung Menco merupakan penjelmaan dari Raden Prawasata,

putra raja Sri Kala dari kerajaan Pagelen. Burung menco mengemban

peran sebagai tokoh cerita yang mengajarkan tentang tuntunan dan

keselamatan dalam kehidupan. Kepandaiannya dalam hal menggubah

kata dan mendendangkan dengan suara merdunya, dimanfaatkan untuk

memberikan teladan tentang keutamaan budi kepada orang lain.

b. Banteng

Banteng merupakan penjelmaan dari Raden Prawasakala, kakak

kandung Raden Prawasata (Menco). Banteng mengemban peran sebagai

104

Page 117: serat cemporet

105

tokoh cerita yang memberikan teladan tentang sopan santun atau tata

krama terhadap orang lain, terlebih terhadap orang tua. Prilakunya

berpegang teguh pada budi pekerti luhur, menolong dan membantu

orang lain tanpa pamrih.

c. Kera

Kehadiran tokoh kera tidak dikisahkan secara jelas tentang

kedirian atau sisi kehidupannya. Namun dari peristiwa yang diceritakan,

tokoh kera mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki sifat keras

kepala, semua keinginannya harus terpenuhi. Sumber dari penderitaan

(berwujud Kera) adalah keinginan yang tidak kenal batas.

d. Anjing

Tokoh anjing dimunculkan pada alur cerita sorot balik, sebagai

penjelmaan dari Raden Jayasandika. Tentang kedirian atau sisi

kehidupannya tidak diceritakan dengan jelas. Kediriaan tokoh anjing

hanya dimunculkan sedikit, tetapi tidak bisa diabaikan karena memiliki

hubungan keterkaitan dengan tokoh utama (Menco dan Banteng). Tokoh

anjing mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki sikap tidak

mudah putus asa dalam menjalankan hidup.

2. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran

tokoh-tokoh binatang adalah: nilai pendidikan religius meliputi percaya

akan takdir, memanjatkan rasa syukur, dan sikap pasrah; nilai pendidikan

etika meliputi tutur kata dan sopan santun atau tata krama; nilai pendidikan

sosial meliputi tolong menolong, kasih sayang, kesetiaan, kesetiakawanan;

Page 118: serat cemporet

106

dan nilai pendidikan moral meliputi sikap sabar, menepati janji, rela

berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, disarankan kepada

pembaca dan peminat sastra bahwa :

1. Pembaca diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan melalui

peran tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet dalam

kehidupan sehari-hari.

2. Teks Serat Cemporet, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan

ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

Page 119: serat cemporet

107

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press.

Darmayanti, Nur Eva. 2005. Struktur Naratif dan Nilai-nilai Pendidikan dalam Fabel Berbahasa Jawa. Skripsi. FBS. UNNES.

Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala.

Fokkema.D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. (Terjemahan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban).

Ihsan, Fuad. 1995. Dasar-dasar Kependidikan. Semarang: IKIP Semarang.

Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya (Terjemahan Dick Hartoko).

Moeliono, Anton M . 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Munib, Achmad. Hadikusuma, Kunaryo. Budiyono. Suryono, Sawa. 2004. Pengantar

Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES Press. Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.

Poerbatjaraka dan Hadidjaja, Tardjan. 1952. Kepustakan Djawa. Jakarta: Djambatan. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Hanindita Graha Widya. Purwadi. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media

Ranggawarsita. 1987. Serat Cemporet. Jakarta: Balai Pustaka (Alih aksara dan alih bahasa Sudibjo Z. Hadisutjipto).

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, M. Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Soegito, Ari Tri. Suprayogi. Rachman, Maman. Pramono, Suwito Eko. Suyahmo. 2006. Pendidikan Pancasila. Semarang: UPT UNNES Press.

Soeparwoto. 2004. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT UNNES Press.

Soesilo. 2005. Piwulang dan Ungkapan Budaya Jawa. Yogyakarta: AK Group.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya.

Suharianto, S . 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Pustaka.

Page 120: serat cemporet

108

Sukadaryanto. 1983. Tokoh-tokoh Binatang dalam Serat Cemporet Antara Deformasi dan Peruwatan. Makalah. Fakultas Sastra UGM

Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan (Terjemahan Okke K.S. Zaimar).

Zaidin, Abdul Rozak. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 121: serat cemporet

SINOPSIS SERAT CEMPORET

Karya sastra Serat Cemporet ditulis oleh R. Ng Ranggawarsita, atas

perintah Sri Baginda Paku Buwana IX. Disusun dalam bentuk metrum macapat,

berisi suri teladan tentang kehidupan. Menceritakan sebuah negara Purwacarita

dari Pustaka Rajaweda. Negara yang aman sejahtera berkat wibawa raja yang

bergelar Sri Mahapunggung, anak dari Raja Suwelacala. Sri Mahapunggung

merupakan anak bungsu dari enam bersaudara.

Anak pertama adalah Raden Jaka Panuhun yang bergelar Sri Manuhun,

memerintah di darah Pagelen. Anak kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba,

memerintah di daerah Jepara dan bergelar Sri Sadana. Anak ketiga bernama

Raden Jaka Karungkala, memerintah di daerah Prambanan dan bergelar Prabu Sri

Kala. Anak keempat bernama Jaka Tunggulmetung, memerintah di daerah

Pagebangan dengan gelar Sri Malaras. Anak kelima bernama Raden Jaka

Petungtantara, memerintah di Medangkawit dengan gelar Raja Resi Sri Madewa.

Adapun anak keenam bernama Jaka Kanduyu yang menjadi raja di Purwacarita,

bergelar Sri Mahapunggung.

Sri Manuhun yang bertahta di Pagelen, memiliki dua anak yang cebol

dan wujil. Kedua-duanya cacat, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana dan

yang wujil bernama Raden Jaka Sangara. Hal itu membuat sang raja malu dan

sedih karena keduanya tidak sempurna layaknya manusia. Atas petunjuk Dewata,

Sri Baginda meminta tolong kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di

daerah Sendangkulon. Sri Baginda menemui Ki Buyut Samalangu dengan

109

Page 122: serat cemporet

110

menyamar dan tanpa diiringi oleh pengawal. Ki Buyut yang beristrikan jin yang

bernama Dyah Ratna Sriwulan, sudah tahu sebelumnya akan kedatangan Sri

Baginda ke rumahnya.

Kedatangan Sri Baginda disambut dengan gembira oleh Ki Buyut. Sri

Baginda mengungkapkan maksud kedatangannya yang tidak lain meminta

pertolongan kepada Ki Buyut, sesuai dengan petunjuk dewata. Ki Buyut

mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil

tertutup. Sri baginda disuruh memilih salah satu sastra wedar tanpa aksara yang

dikehendaki. Setelah mengambilnya, kemudian tampak ada tulisan berisikan

supaya menikah dengan Srini, anak dari buyut Samalangu. Kemudian mengambil

lagi selembar daun tal, sampai ketiga kalinya semua tidak ada bedanya. Aksara

dan kalimatnya sama seperti yang pertama. Rara Srini diboyong ke istana menjadi

permaisuri Sri Baginda. Ki Buyut sendiri diangkat menjadi sesepuh dan pendeta

istana. Tidak lama kemudian Rara Srini hamil, dan lahirlah anak laki-laki yang

tampan yang diberi nama Raden Jaka Pramana.

Diceritakan kerajaan Jepara yang diperintah oleh Sri Sadana dan

memiliki permaisuri yang bernama Dewi Rajaadi. Memiliki lima anak, yaitu Arya

Laksana, Arya Anggliskara, Arya Artadaya, Raden kertabasa, dan Dewi Suretna.

Putri bungsu Sri Baginda yang tidak lain adalah Dewi Suretna, setelah dewasa

tidak dapat hidup hemat dan cermat. Menjadi seorang pemboros yang

menghambur-hamburkan harta, kegemarannya mendermakan hartanya untuk

rakyatnya. Kehendak sang ayah, Dewi Suretna akan dinikahkan dengan Raden

Jaka Pramana. Putra raja Pagelen yang tidak lain masih saudara sepupu Dewi

Page 123: serat cemporet

111

Suretna. Namun Dewi Suretna menolak kemauan ayahandanya, karena

berprasangka akan dinikahkan dengan putra raja Pagelen yang cacat, yaitu kakak

kandung dari Raden Jaka Pramana. Hal tersebut, membuat Dewi suretna

melarikan diri dari istana kerajaan.

Berganti cerita, dikisahkan kerajaan Prambanan yang bertahta bergelar

Prabu Sri Kala dengan permaisuri bernama Dewi Jempina, putra Adipati Kalang

Andaka. Memiliki empat orang anak, yaitu Dewi Karagan, Dewi Jonggrangan,

Arya prawasakala, dan Raden Prawasata. Sri Baginda memiliki kegemaran

berburu di hutan. Suatu hari saat Sri Baginda berburu di hutan, tidak seperti

biasanya mendapatkan banyak hewan buruan. Sri baginda pulang dengan perasaan

kecewa karena hanya mendapatkan sedikit hewan buruan. Setibanya di kota

secara kebetulan melihat keadaan yang tidak mengenakan. Melihat Raden Arya

Prawasakala sedang menebang habis dahan-dahan beringin, sehingga menutupi

jalan.

Pada waktu yang bersamaan mendengar suara Raden Prawasata yang

sedang mendendangkan lagu dengan suara merdunya. Kekecewaan Sri Baginda

lengkaplah sudah. Berburu hanya mendapat sedikit hewan buruan, melihat Arya

Prawasakala menebang pohon beringin sampai habis, sehingga menutupi jalan

yang akan dilewatinya. Di tambah suara si bungsu yang sedang bernyanyi.

Kekesalan Sri Baginda yang bertumpuk-tumpuk membuatnya keterlepasan di

dalam berkata. Putra yang tua seperti banteng lepas di padang, yang sok

pemberani dan tidak sabaran. Putra yang muda sok pintar, pekerjaannya hanya

berdendang seperti burung beo.

Page 124: serat cemporet

112

Ucapan Sri Baginda, tidak terduga menjadi kenyataan. Raden Arya

Prawasakala berubah wujud menjadi banteng dan Raden Prawasata berubah

wujud menjadi seekor burung beo. Meskipun keduanya berubah wujud menjadi

binatang, tetapi masih bisa berkata-kata layaknya manusia biasa. Dengan kejadian

itu, Sri Baginda menyesal dan sangat sedih, melihat keadaan kedua anaknya yang

berwujud binatang. Perasaan bersalah karena menyumpahi kedua putranya yang

berakibat menjadi kenyataan. Atas petunjuk Dewata, keduanya diperintahan untuk

berkelana menjalankan kebaikan kepada orang lain yang kesusahan.

Kedua binatang hutan yang tidak lain merupakan wujud deformasi dari

Raden Arya Prawasakala (banteng), dan Raden Prawasata (burung beo),

memohon ijin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan istana. Berbuat

kebajikan menolong sesama untuk menebus dosa-dosanya dan supaya kembali

kewujud semula. Peristiwa itu kemudian terdengar oleh kedua saudara tuanya,

yang bernama Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan. Bahwa kedua adik

kandungnya mengalami salah rupa terkena kutukan dan diusir dari kerajaan.

Kemudian kedua putri tersebut, melarikan diri dari kerajaan menjari kedua adik

kandungnya. Sri Baginda bertambah kesedihannya, dengan kepergian keempat

anak-anaknya. Kedua putri tersesat dihutan dan bertemu dengan Dewi Mulat dari

kalangan bidadari, putra Batara Caksu keturunan Hyang Darmadewa.

Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan diijinkan untuk melengkapi jumlah

bidadari dan harus tinggal ditempat Dewi Mulat. Keduanya ditugasi untuk

menjaga istana emas yang di sembah-sembah oleh para siluman dan makhluk

halus penghuni sepanjang jurang di sekitar hutan. Keduanya diberitahu oleh Dewi

Page 125: serat cemporet

113

Mulat bahwa kedua adik kandungnya akan sembuh dari kutukan. Kemudian kedua

putri menetap dengan segenap siluman dan dewa, sembari menunggu adik-

adiknya yang salah rupa kembali berubah wujud menjadi manusia. Sementara itu

di negeri Prambanan, Prabu sri Kala hatinya benar-benar tergoncang. Kedua

anaknya yaitu Raden Arya Prawasakala dan Raden Prawasata tertimpa kutukan

berubah rupa menjadi binatang hutan. Bertambah kedua putrinya, Dewi Karagan

dan dewi Jonggrangan yang melarikan diri dari istana kerajaan menyusul kedua

adik kandungnya. Prabu Sri Kala memerintahkan Raden Margana, putra Patih

Tumenggung Anila adik dari permaisuri untuk mencari kedua putrinya. Jika

berhasil mencarinya akan dianugerahkan salah satu putrinya untuk dinikahi

sebagai istrinya. Berangkatlah Raden margana seorang diri tanpa pengawal dan

dengan cara menyamar.

Tersebutlah negeri Jepara, bertahta Raja sri Sadana, yang selalu

berikhtiar memberi tuntunan kepada putrinya, Dewi suretna. Supaya dapat berlaku

hemat dan teliti tidak memperturutkan kegemarannya menghambur-hamburkan

harta kerajaan. Memberi pertolongan kepada orang-orang yang hidupnya susah,

tetapi tidak diperhitungkan. Sehingga Dewi Suretna terkenal dengan sebutan

seorang putri utama yang dimasyurkan sejak jaman dahulu kala, yang ditandai

dengan sifat asih dan pemurah. Hal itu membuat sang ayah marah, karena Dewi

Suretna akan dinikahkan dengan putra raja Pagelen tetapi tidak hilang juga sikap

hidup pemborosan terhadap harta kekayaan negara.

Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, karena tidak mau dipaksa

menikah dengan putra raja Pagelen. Dewi Suretna menolak karena malu

Page 126: serat cemporet

114

dinikahkan dengan pemuda yang cacat. Putra raja Pagelen memiliki tiga anak, dua

dari tiga anak tersebut cebol atau kerdil. Anak pertama yang bernama Raden Jaka

Pratana dan anak ke dua yang bernama Raden Jaka Sangara, yang memiliki

kekurangan kecacatan fisik. Sedangkan anak bungsunya yang bernama Raden

Jaka Pramana, merupakan pemuda yang gagah tanpa kekurangan suatu apapun.

Dewi Suretna berprasangka akan dinikahkan dengan salah satu dari kedua saudara

yang cebol dan kerdil itu. Padahal sebenarnya ia akan dinikahkan dengan Raden

Pramana, anak bungsu dari putra Prabu Sri Manuhun. Tanpa dipikir panjang Dewi

Suretna melarikan diri dari kerajaan, yang kemudian membuatnya tersesat di

hutan belantara. Bertemu dan di tolong oleh seekor banteng yang dapat berkata-

kata layaknya manusia. Selanjutnya, Dewi Suretna diajak ketempat kediaman Ki

Buyut Cemporet di desa Cengkarsari. Oleh Ki Buyut, Dewi Suretna diangkat

menjadi anak dan diberi nama Rara Kumenyar.

Di daerah Medangsewu ada sebuah desa besar dan terpencil, yang

membangun adalah Ki Cemporet. Semula seorang mantri di negeri purwacarita,

yang diperhentikan karena di anggap kurang pandai. Digantikan oleh menantunya

sendiri yang bernama Demang Cemuris. Ki Cemporet dijadikan buyut di luar

kota, membuka hutan dan dijadikan tempat tinggal yang kemudian diberi nama

desa Cengkarsari. Ki Buyut menetap di desa tersebut, dengan istrinya dan cucunya

yang diangkat anak bernama Jaka Kulampis. Mata pencaharian Ki Buyut

mengambil kayu dan mengumpulkan ranting-ranting kering di hutan. Sedangkan

Nyi Buyut mencari daun jati serta daun pohon palasa. Hutan sebagai lahan

pekerjaan yang menjadi sumber sandang pangannya.

Page 127: serat cemporet

115

Dikisahkan seperti biasanya Ki dan Nyi Buyut pergi ke hutan mengambil

kayu dan daun jati sebagai sumber rejekinya. Setibanya di hutan belantara,

keduanya mencari kayu dan daun jati yang dikumpulkan untuk di jual di warung.

Setelah pekerjaannya selesai keduanya hendak pulang, tetapi tersesat di hutan.

Tidak disangka bertemu dengan seekor burung beo (menco) yang sedang

berkidung dengan merdunya. Kemudian keduanya mendekat tertarik suara yang

menawan hati. Namun, tiba-tiba Ki dan Nyi Buyut terkejut melihat banteng yang

sedang menghadang di jalan. Mereka hendak lari, tetapi tertahan karena

mendengar suara burung beo yang dapat berkata layaknya manusia. Sama halnya

banteng yang juga dapat berkata dengan sopan santun dan tahu tata krama.

Membuat Ki dan Nyi Buyut terheran-heran melihat keajaiban, binatang hutan

yang pandai berkata-kata seperti halnya manusia pada umumnya.

Ki Buyut dan istrinya memohon pertolongan pada kedua binatang hutan

tersebut. Keduanya, baik menco dan banteng menyanggupi dengan syarat mereka

diakui sebagai anak angkat. Menco menunjukan jalan dengan terbang di angkasa

dan banteng mengikuti terbangnya si menco. Mereka berempat menuju ke desa

Cengkarsari, tempat tinggal Ki Buyut Cemporet dengan istrinya. Ketika dalam

perjalanan mereka sampai ketepi hutan, seringkali menemukan perhiasan dan

beberapa pucuk keris seperti pakaian para prajurit. Setibanya di desa Cengkarsari,

Ki buyut dan istrinya benar-benar tidak enggan lagi mengakui menco dan banteng

sebagai anak angkatnya. Meskipun mereka berdua hanya seekor binatang hutan,

tetapi dapat berkata-kata dengan sopan. Kedua binatang hutan tersebut, membantu

bercocok tanam di kebun. Sedangkan Ki Buyut menjual barang-barang temuannya

Page 128: serat cemporet

116

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga membuat desa Cengkarsari

semakin bertambah sejahtera.

Pada waktu yang bersamaan, yaitu tentang perjalanan putra raja jepara

dalam usaha mencari adik kandungnya. Raden Sudana dan pamannya, Arya Tiron

berunding untuk menentukan langkah agar menemukan Dewi Suretna. Perjalanan

Raden Sudana sampai ke lereng utara gunung Purwapada menemui pertapa sakti

bernama Resi Panurta, yang tinggal dipertapaan Martawu. Raden Sudana diberi

petunjuk bahwa yang dicari masih terselubung oleh tatanan yang berasal dari

sudutnya Hyang Utipati, pembuat lakon umatnya. Tujuannya ialah menjodohkan

pasangan pria dan wanita melalui cara atau lakon yang aneh. Mendengar berita

tersebut, Raden Sudana merasa tentram hatinya.

Raja putri jepara, Dewi Suretna yang sedang dicari oleh kakak

kandungnya, terlunta-lunta di hutan yang akhirnya sampai di daerah Medangsewu.

Tersebutlah si banteng yang selalu memberikan bantuan kepada manusia, bertemu

dengan Dewi Suretna yang sedang tersesat di hutan. Kemudian sang dewi di

tolong keluar dari hutan, di bawa ke desa Cengkarsari ke tempat Ki Buyut

Cemporet. Ki Buyut merasa senang hatinya dengan kedatangan sang dewi. Ki

Buyut mengakui sang dewi menjadi anak angkatnya dan diberi nama Rara

Kumenyar.

Diceritakan tentang negeri Pagelen, yang bertahta Sri Manuhun dengan

permaisuri Dewi Srini dan memiliki putra yang gagah dan tampan bernama Raden

Pramana. Raden Pramana menolak dinikahkan dengan Dewi Suretna, yang tak

lain adik sepupunya, dengan alasan karena tidak mau melangkahi kedua saudara

Page 129: serat cemporet

117

Satu ayah. Keduanya belum menikah, belum ada satupun yang mau dinikahi

karena mereka memiliki kekurangan cacat fisik, bertubuh cebol dan kerdil. Raden

Pramana selalu bercengkrama menghibur diri di taman dengan emban

pengasuhnya yang bernama Nyai wilasita. Tersebutlah burung menco yang

hinggap beristirahat di pohon angsoka di taman istana Pagelen. Mengidungkan

tembang merdu yang membuat penasaran para emban yang sedang bercengkrama

di taman. Oleh salah satu emban, kejadian tersebut diceritakan kepada raja putra.

Ditemuinya burung menco oleh Raden Pramana dan diajak menetap di Pagelen

sebagai temannya.

Dahulu kala ada seorang raja. Kerajaannya adalah di daerah Mamenang.

Raja yang bijaksana dan sangat termasyur di seluruh dunia, bergelar Prabu

Jayamisena. Permaisurinya ialah Dyah Citraswara, putri seorang biku yaitu

Begawan Citradana. Suatu ketika permaisuri berbadan dua, kemudian melahirkan

bayi dampit atau kembar siam. Laki-laki dan perempuan berari-ari tunggal.

Setelah melahirkan kedua bayinya yang kembar, Dewi Citraswara meninggal

dunia. Dalam waktu yang tidak lama, Sri Baginda mengikuti kepergian

permaisurinya ke alam baka. Seluruh negeri menjadi gempar, tidak ada yang dapat

dijadikan pimpinan. Bayi laki-laki dan perempuan tersebut, akhirnya menjadi

putra angkat pamannya. Raja Matahun yang mengambil dan mengasuhnya seperti

putranya sendiri. Keduanya diberi nama, yang laki-laki bernama Raden Kiswara

dan yang perempuan bernama Dewi kiswari.

Setelah kedua anak itu dewasa, eyangnya Resi Citradana berusaha keras

agar kedua anak itu secara tekun mempelajari sastra Weda. Ilmu pengetahuan

Page 130: serat cemporet

118

weda berguna untuk mengetahui masalah puji serta sembah, tataran dalam jabatan

keagamaan, dalam melaksanakan darma yang utama. Di samping itu, pamannya

raja Matahun yang bergelar Jayakusuma mendidik masalah kebahasaan yang baik.

Perilaku yang menjurus ke arah keselamatan, dan membekali ilmu pemerintahan

untuk menciptakan kewiraan yang utama. Setelah dewasa, Raden Kiswara

menjadi seorang yang benar-benar cerdas dan tajam pemikirannya. Tidak pernah

merasa bingung dalam setiap menghadapi persoalan yang menimpanya. Dalam

mengendalikan pemerintahan sebagai pengganti ayahnya, namanya menjadi

masyur. Dialah Sri Baginda Kusumawicitra atau Sang Ajipamasa, yang

menguasai seluruh tanah jawa.

Tersebutlah yang menjelma menjadi burung menco meninggalkan taman

bunga di Pagelen. Hendak menjenguk orang tuanya, yaitu Ki Buyut Cemporet di

desa Cengkarsari. Ketika si menco tiba di patirtan dekat rumahnya, menco melihat

wanita berparas cantik yang sedang bersedih hati. Sesudah menyusun dan mereka-

reka kata, mulailah si menco melagukan sebuah kidung tembang gede. Suaranya

halus dan merdu, sayup-sayup mengalun menarik hati. Karena hari masih terlalu

pagi, kehadiran menco mengejutkan Rara Kumenyar. Dengan perasaan ragu-ragu

sang dewi mencoba melihat-lihat ke atas. Ia melihat seekor burung menco

hinggap di sebuah ranting pohon beringin. Menco memperkenalkan diri dengan

nama Jamang, sebagai binatang peliharaan putra raja pagelen. Kemudian Rara

Kumenyar menceritakan asal-usul dirinya, yang sekarang diakui anak oleh Ki

Buyut Cemporet. Si burung menco menjadi saudara angkat dari Rara kumenyar,

dan diberi nama Sinom sebagai tanda keakraban saudara muda.

Page 131: serat cemporet

119

Burung menco atau sinom menceritakan tentang perihal gustinya, Raden

Pramana yang sedang sakit rindu dengan putri Jepara. Menco tidak tahu jika Rara

Kumenyar adalah Dewi Suretna, putri Jepara. Mendengar cerita dari menco

menjadikan Rara Kumenyar semakin bersedih hati. Karena sudah salah paham

hendak dinikahkan dengan putra raja yang cacat. Namun baru mengetahui bahwa

sebenarnya hendak dinikahkan dengan Raden Pramana, yang gagah dan tampan.

Setelah bercerita panjang lebar, menco pamit untuk pulang ke Pagelen. Sembari

terbang menco berjanji akan menemui Rara kumenyar lagi besok pagi di tempat

yang sama.

Tersebutlah di petamanan Pagelen, Raden Pramana gundah gelisah

kehilangan burung kesayangannya yang pergi tanpa pamit. Tidak lama kemudian

menco pulang menghampiri gustinya. Menceritakan perihal kepergiannya ke

dukuh Cengkarsari menemui orang tuanya. Di samping itu, menco juga

menceritakan tentang seorang wanita cantik yang dijumpainya di patirtan dekat

rumahnya. Raden Jaka Pramana terkagum-kagum mendengar cerita dari menco,

yang akhirnya membuatnya rindu kepada Rara Kumenyar sang dara dari

Cengkarsari.

Keesokan harinya menco diperintahkan supaya kembali ke desa

Cengkarsari. Membawa sebuah sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana

pembuktian. Sebuah wasiat pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata

yang bercahaya, bernama cincin Manik Adiwarna. Khasiat cincin tersebut dapat

menghirup warna, di dalamnya tampak ujud dari Raden Pramana. Kemudian

dikalungkan di leher menco Jamang supaya di bawa ke Cengkarsari.

Page 132: serat cemporet

120

Di desa Cengkarsari tampak Rara Kumenyar sedang menanti kedatangan

menco jamang untuk memenuhi janjinya bertemu di sendang dekat rumahnya.

Tidak lama kemudian si menco Jamang telah datang terbang merendah mendekati

sang dewi. Menco Jamang menyerahkan cincin Manik Adiwarna sebagai sarana

pembuktian. Di dalamnya terdapat gambar rupa Raden Pramana, agar Rara

Kumenyar dapat melihatnya. Sesudah memperhatikan gambar sang raja putra

dengan seksama, cincin Manik Adiwarna diusapkan di muka sang dewi. Rupa

sang dewi pun terekam di dalam cincin menyatu dengan gambar Raden Pramana.

Menco Jamang kembali ke Pagelen dengan membawa cincin Manik

Adiwarna yang sudah tertera gambar sang dewi, untuk diperlihatkan kepada

Raden Pramana. Melihat gambar sang dewi, Raden Pramana merasa takjub dan

terpesona akan kecantikan Rara Kumenyar. Gambar sang dewi tidak henti-

hentinya di pandang. Tidak jauh berbeda, Rara kumenyar pun terbayang-bayang

ketampanan Raden Jaka Pramana. Hatinya sangat gundah dan menyesal karena

dulu menolak dinikahkan dengan Raden Pramana. Memilih melarikan diri dari

istana kerajaan, karena salah sangka hendak dinikahkan dengan putra raja Pagelen

yang cacat.

Selanjutnya keesokan hari menco diperintahkan untuk kembali

menyerahkan cincin Manik Adiwarna kepada Rara Kumenyar. Cincin tersebut,

dipakai di jari telunjuk sang dewi. Setelah menyerahkan cincin, menco Jamang

terbang melesat ke angkasa kembali ke negeri Pagelen. Perjalanannya dilakukan

dengan sabar sembari menikmati keindahan alam. Seraya berkidung dengan

suaranya yang merdu dan merayu, sehingga tidak sedikit burung yang

Page 133: serat cemporet

121

mendekatinya karena tertarik mendengar suaranya. Ada dua ekor sesama burung

menco jantan dan betina ingin belajar dari menco Jamang. Menco Jamang

menanggapinya dengan gembira, keduanya diajak turut serta mengabdi kepada

gustinya di negeri Pagelen.

Setelah sampai di negeri Pagelen menco Jamang langsung menghadap

gustinya. Menceritakan perjalanannya sebagai utusan ke dukuh Cengkarsari.

Bahwa tugasnya menyerahkan permata mulia sudah diterima oleh sang dewi.

Selain itu, menco Jamang memperkenalkan kedua teman barunya, sesama burung

menco. Rajaputra sangat senang menerima keduanya, menambah binatang

kesayangannya sebagai penghibur hati. Keduanya diberi nama oleh Raden

Pramana. Menco betina diberinama Cunduk, dan menco jantan diberinama

Sumping.

Raden Pramana siang dan malam tidak pernah berpisah dengan ketiga

burung kesayangannya. Raden Pramana memberikan perintah pada kedua burung

menco, Sumbing dan Cunduk untuk mendengarkan pembicaraan ayah bundanya.

Sri Baginda melihat kedua burung tersebut, yang kemudian melesatkan anak

panah. Menco Sumbing mati terkena anak panah dan Cunduk dapat melarikan diri

melesat terbang ke angkasa. Menco Cunduk meninggalkan taman menemui

menco Jamang, memberitahu kematian suaminya. Sesudah berusaha

menghiburnya, Jamang lalu menghadap gustinya bersama Cunduk. Rajaputra

menyesal ketika mendengar kematian Sumping. Peristiwa tersebut, membuat

Raden Pramana bertekad untuk meninggalkan istana. Tekad bulat sang rajaputra

untuk pergi diam-diam menuruti dorongan keinginannya.

Page 134: serat cemporet

122

Ketika hari telah larut malam, sang raja putra berganti pakaian dengan

pakaian yang sudah kumal seperti pakaian seorang cantrik. Kedua menco di bawa

ketika keduanya masih dalam keadaan tertidur. Dalam perjalanannya, Raden

Pramana bertemu dengan neneknya yang bernama Dyah Sriwulan. Memberi

petunjuk agar Raden Pramana pergi ke Cengkarsari untuk mengabdi kepada Ki

Buyut Cemporet. Neneknya menceritakan tentang Rara Kumenyar yang

sesungguhnya adalah rajaputri Jepara, yang telah ditakdirkan menjadi jodohnya.

Raden Pramana diberi sebuah sarana berupa mustika bernama

Wandirawani. Sebelum pergi, neneknya memerintahkan kepada Raden Pramana

untuk mencari banteng yang dapat berkata-kata seperti manusia. Memberitahukan

bahwa banteng dan burung menco itu memang harus menjadi temannya. Setelah

hari menjelang pagi, Raden Pramana melanjutkan perjalannya. Menco Jamang

diperintahkan oleh gustinya untuk mencari banteng hutan. Jamang segera melesat

terbang ke angkasa mencari banteng. Bertemulah mereka di hutan Medangsewu,

dan banteng diajak menghadap gustinya.

Setibanya Raden Pramana dan rombongan sampai di desa Cengkarsari,

Ki dan Nyi Buyut telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Di

desa Cengkarsari inilah Raden Pramana dan Rara Kumenyar bertemu. Sesudah

persiapannya selesai, lengkap dengan segenap hiasannya, kemudian keduanya

melangsungkan pernikahan. Menco dan banteng mendapat tugas supaya

menghadap sang pengantin mempersembahkan pakaian kebesaran. Kedua

mempelai yaitu Raden Pramana dan Rara Kumenyar atau Dewi Suretna merasa

bahagia, tanpa aral apa pun. Selalu rukun dan saling mencinta.

Page 135: serat cemporet

123

Tersebutlah di negeri Pagelen sepeninggalan Raden Pramana, ayah

bundanya sangat sedih. Seluruh istana menjadi gempar mencarinya kemana-mana.

Hilangnya Raden Pramana terdengar oleh kedua saudaranya yang cacat, yaitu

Raden Jaka Pratana dan Raden Jaka Sangara. Keduanya lalu meninggalkan istana

untuk mencari adik kesayangannya. Raja Sri Manuhun sangat sedih, masih

terbayang kepergian raja putra yang muda, sekarang bertambah sedih karena

kepergian raja putra yang tua.

Diceritakan kembali, Raden Margana yang di utus untuk mencari kedua

putri Prambanan yang melarikan diri dari istana. Raden Margana bersama Buyut

Malandangan sampai di gunung Wilis, menemui pertapa hitam. Keduanya

mengutarakan niatnya bertanya perihal kedua putri Prambanan. Pertapa hitam

(Shangyang Srenggadewa) menyanggupi dengan syarat Raden Margana mau

diambil menjadi menantunya. Pertapa hitam selalu memaksa, memancing

kemarahan Raden Margana. Raden Margana menolak dengan keras,

menghunuskan pedang dan membunuhnya.

Pertapa hitam ditikamnya, sekejap suasana menjadi gelap. Ketika sinar

terang memancar kembali, tampaklah sebuah istana yang megah. Raden Margana

dan Buyut Malandangan terkejut dan bukan main herannya. Tampaklah utusan

raja memanggil keduanya, untuk menghadap Sri Baginda. Sri Baginda berterus

terang bahwa dirinyalah yang menjadi pertapa hitam, yang di bunuh oleh Raden

Margana. Keduanya, Buyut Malandangan dan Raden Margana merasa ketakutan.

Setibanya di hadapan raja, kemudian pertapa hitam (Shangyang

Srenggadewa) bertanya tentang asal-usul Raden Margana. Diceritakan asal-usul

Page 136: serat cemporet

124

Raden Margana oleh Ki Buyut dari awal sampai akhir. Raden Margana anak dari

patih Anila yang masih keturunan dari Raden Jayasandika yang menjelma

menjadi anjing. Ketika peperangan di negeri Prambanan, banyak sekali yang ingin

mengambil Rara jonggrang. Salah satu diantaranya ialah Bandung Bandawasa,

anak dari Raden Darmamaya. Setelah negeri Prambanan ditaklukan, Rara

Jonggrang akan diperistri. Akan tetapi sang dewi menolak keras, karena sudah

terlanjur cinta dengan suaminya yang telah meninggal, yaitu Prabu Baka.

Rara Jonggrang mengajukan persyaratan meminta seribu buah candi.

Permintaan itu terpenuhi oleh Bandung Bandawasa. Akan tetapi kesudahannya

sang dewi menghilang. Raden Bandung Bandawasa mencarinya dan bertemu

dengan Raden Jayasandika. Raden Bandung Bandawasa dibujuk dengan manis,

dipersilahkan masuk ke dalam istana. Lalu ditangkap beramai-ramai oleh bala

tentara Prambanan, Raden Bandung Bandawasa mati dijerumuskan ke dalam

sumur. Pelarian Rara Jonggrang sampai di tepi kali Opak, melahirkan seorang

anak perempuan. Setelah melahirkan, Rara Jonggrang meninggal. Bayi

perempuan anak dari Rara Jonggrang dipungut oleh Randa Dadapan, diberi nama

Rara Nawangsih. Tersebutlah Raden Jayasandika yang masih tetap mencari Rara

Jonggrang, terlunta-lunta di hutan.

Menurut cerita kuna, Raden Jayasandika terkena kutukan Raden Bandung

bandawasa sehingga menjadi anjing. Meskipun ujudnya seekor anjing, Raden

Jayasandika masih tetap mencari ibu tirinya, tidak tahu jika yang dicarinya sudah

meninggal. Dikisahkan Rara Nawangsih yang dipungut oleh Randa Dadapan

sudah dewasa, siang malam pekerjaannya menenun. Suatu hari teropongnya jatuh

Page 137: serat cemporet

125

ke tanah, menjadi sedih karena tidak dapat mengambilnya. Maka ia memutuskan

mengadakan semacam sayembara. Barang siapa dapat menolong mengambilkan

teropongnya, jika laki-laki akan menjadi suaminya. Jika perempuan akan

dianggap sebagai saudara sehidup semati. Pada waktu itu, anjing merah (Raden

Jayasandika) mendengarnya. Dalam benaknya, bahwa yang mengadakan

sayembara itu adalah Rara Jonggrang, yang selama ini dicarinya. Disebabkan

suara Rara Nawangsih sama benar dengan suara Rara Jonggrang.

Anjing merah tergopoh-gopoh membawa teropong dengan mulutnya,

cepat-cepat menaiki tangga. Setibanya di atas, anjing menyerahkan teropongnya

kepada Rara Nawangsih. Rara Nawangsih menerima dengan perasaan heran dan

sangat menyesal, mengapa ia telah mengucapkan sayembara. Akan tetapi ia

menerimanya sebagai takdir, dan hendak bunuh diri. Anjing yang melihat gelagat

itu, lalu menghiburnya dan menjelaskan siapa sebenarnya dia. Lalu memohon

agar terbebas dari ujudnya sebagai anjing, dan kembali menjadi manusia.

Permohonannya terkabul, diijinkan berujud manusia hanya pada waktu malam

hari, siang hari kembali berujud anjing lagi. Oleh karena itu dapatlah mereka

berkasih-kasihan sampai mempunyai seorang anak laki-laki.

Sebelum selesai Buyut Malandangan menceritakan asal-usul Raden

Margana, seekor kera datang dari dalam istana mendekati Raden Margana. Lalu

mendapat isyarat dari Sri Baginda agar kera itu segera di bunuh. Raden Margana

segera menghunuskan kerisnya, kera mati ditikamnya. Mayat kera lenyap berganti

seorang perempuan cantik. Sri Baginda segara memeluk bahu putrinya yang sudah

terbebas dari kutukan dewata. Raden Margana telah membebaskan kutukan, dan

Page 138: serat cemporet

126

hendak dinikahkannya sebagai hadiah. Sesungguhnya yang menjadi kera adalah

sebangsa bidadari, namanya Retna Srenggana. Dikutuk berujud kera karena

bersikeras ingin meniru kesaktian sang Dewi Rukmawati, putri Hyang Antaboga.

Akan tetapi tidak diijinkan karena hal itu merupakan rahasia dewata. Retna

Srenggana tetap keras kepala menginginkan Mustika Manikara. Sehingga

membangkitkan amarah sang ayah, dan keluarlah kata-kata yang tak terkendalikan

lagi. Orang yang terlalu menuruti nafsunya itu seperti berwatak kera. Itulah

sebabnya Retna Srenggana berubah ujud menjadi kera. Kata-kata tersebut berbuah

kenyataan pahit.

Berganti cerita, tersebutlah di desa cengkarsari, beritanya sudah

menyebar tentang pernikahan Dewi Suretna dengan Raden Pramana. Terdengar

juga oleh Raden sudana yang sedang mencari adiknya. Dengan cepat Raden

Sudana pergi ke desa Cengkarsari hendak menjemput adiknya. Setibanya di desa

Cengkarsari, melihat sang adik sedang bergandengan tangan dengan Raden

Pramana. Adiknya hendak direbut kembali melalui suatu peperangan. Raden

Pramana menerima tantangannya, berperang tanding mengadu pedang. Raden

Jaka Sudana segera melesatkan anak panahnya. Kedua burung menco segera

bertindak, maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi mengenai

badannya, keduanya jatuh dan mati.

Menco Cunduk tetap mati, menyusul Sumbing di alam baka. Sedangkan

tubuh menco Jamang kembali menjadi manusia, rajaputra Prambanan Raden

Prawasata. Kemudian Raden Prawasata menghadap Raden Jaka Pramana,

menceritakan dari awal sampai akhir. Memberi penjelasan sejak terkena kutukan

Page 139: serat cemporet

127

sampai teruwat menjadi manusia kembali. Atas bujukan adiknya, Raden Sudana

menyudahi peperangan. Kemudian Raden Sudana meninggalkan desa

Cengkarsari, kembali ke negeri jepara memberikan kabar kepada ayah bundanya.

tentang keadaan adik kandungnya.

Tersebutlah banteng setelah pulang dari hutan memberikan pertolongan

kepada orang lain, merasa senang dan heran melihat adiknya terbebas dari

kutukan. Banteng mengiba kepada Raden Pramana, agar terbebas dari kutukan

seperti adiknya. Tidak lama kemudian datanglah kedua kakak Raden Pramana

yang cacat. Keduanya berpelukan, semua menangis karena sudah lama tidak

bertemu. Keduanya pun ikut menetap di desa Cengkarsari dengan Raden

Pramana.

Kedua kakak Raden Pramana belum juga mendapat jodoh, karena

tubuhnya yang cacat. Atas petunjuk dewata, dengan perantara banteng akan

menjadi sarana perkawinan mereka berdua. Banteng pun diberi tahu dan mereka

berdua menurut supaya dapat berkumpul di alam siluman. Menemui jodohnya,

yaitu kedua putri raja Prambanan. Banteng menghadap Dewi Mulat, hendak

melamar kedua putri Prambanan yang tidak lain adalah kakak kandung dari

banteng. Disana banteng bertemu dengan Raden Margana yang sedang di utus

mencari kedua putri Prambanan. Perang tanding pun tidak bisa dihindarkan, yang

kemudian Raden Margana mati di medan pertempuran. Banteng memenangkan

peperangan dan dapat membawa kedua putri Prambanan untuk dinikahkan dengan

kedua putra Pagelen. Dewi Karagan dijodohkan dengan Raden Pratana, sedangkan

Dewi Jonggrangan dijodohkan dengan Raden Jaka Sangara.

Page 140: serat cemporet

128

Sesudah menjadi perantara perjodohan kedua kakaknya dengan kedua

putra raja Pagelen. Banteng diberi petunjuk tentang perihal kesembuhannya

terbebas dari kutukan menjadi manusia kembali. Ketika banteng berada di

perkebunan, ia mendapat petunjuk jika ingin sembuhdi bawah pohon beringin ini

ada sebuah permata, yang berisi minyak dirpanimala (cahaya kesembuhan).

Khasiatnya dapat memulihkan segala macam keadaan yang salah rupa. Banteng

mengikuti petunjuk, pohon beringin ditumbangkan.

Setelah roboh, dicarinya di tempat tancapan akar tunjang dan ditemukan

cupu istimewa. Cupu itu di buka dan diambil minyaknya, lalu dioleskan ke

seluruh tubuhnya. Setelah selesai mengoleskan minyak keseluruh tubuhnya, ia

merasa lesu dan terasa mengantuk sampai tertidur. Ketika terbangun, ia heran

melihat ujudnya yang sudah pulih seperti dahulu kala. Menjadi manusia kembali,

yaitu rajaputra Prambanan Raden Prawasakala. Waktu itu juga, ia sudah berada di

tengah-tengah hutan. Sudah kembali ke dunia manusia dan tidak dapat lagi

melihat kahyangan.

Page 141: serat cemporet

URUTAN SEKUEN SERAT CEMPORET

Penyajian sekuen dimulai dari pupuh I sampai pupuh XXXII, sebagai

berikut.

S.1 Raja Sri Kala berburu ke hutan.

S.2 Sri Baginda beristirahat di bekas istana Raja Baka.

S.3 Sri Baginda kecewa karena para pemburu hanya memperoleh hasil sedikit.

S.4 Sri baginda pulang dengan perasaan tidak puas.

S.5 Setibanya di Kota, sri Baginda secara kebetulan mengetahui perbuatan yang

serampangan.

S.6 Raden Arya Prawasakala menebang dahan-dahan beringin yang menutup

jalan.

S.7 Sri Baginda terkejut melihatnya, di tambah Sri Baginda mendengar suara Raja

Putra yang muda.

S.8 Raden Arya Prawasata sedang mendendangkan lagu.

S.9 Sri Baginda semakin kesal dan marah kepada kedua Raja Putra.

S.10 Sri Baginda keterlepasan berkata, dan ucapannya menjadi kenyataan.

S.11 Kedua putranya mengalami salah rupa.

S.12 Putra yang tua menjadi banteng besar, putra yang muda menjadi burung beo

(menco).

S.13 Keduanya sangat sedih, bersama-sama menghadap sri Baginda.

S.14 Sri Baginda sangat menyesal dan sedih.

S.15 Sri Baginda mendengar petunjuk dewata.

129

Page 142: serat cemporet

130

S.16 Di perintahkanlah keduanya bertapa atau berprihatin menyamar diri.

S.17 Ke dua putranya berpamitan dan sesudah mendapat ijin lalu berangkat.

S.18 Tersebutlah Ki Buyut dan istrinya, seperti biasa pergi ke hutan mengambil

kayu dan pohon jati.

S.19 Ki Buyut dan istrinya tersesat di hutan.

S.20 Keduanya sudah seperti berputus asa, beristirahat sambil memikirkan jalan

keluar.

S.21 Keduanya mendengar suara burung beo (menco) bernyanyi.

S.22 Keduanya terkejut melihat kedatangan seekor banteng.

S.23 Ki Buyut hendak lari, tetapi tidak jadi karena mendengar panggilan si

burung.

S.24 Ki Buyut terhuran-neran mendengar keajaiban tersebut.

S.25 Karena si banteng mendekam, Ki Buyut menjadi tidak takut.

S.26 Ki Buyut dan istrinya mendekat

S.27 Banteng dan burung menco bercakap-cakap dengan Ki Buyut dan istrinya.

S.28 Ki Buyut terkagum-kagum melihat binatang yang pandai berkata-kata seperti

manusia.

S.29 Ki Buyut meminta pertolongan kepada banteng dan burung menco.

S.30 Banteng dan menco menyanggupi, dengan syarat keduanya diangkat menjadi

anak.

S.31 Ki Buyut menerima mereka menjadi anak dengan senang hati.

S.32 Banteng merendahkan tubuhnya, Ki buyut dan istrinya naik kepunggung

banteng.

Page 143: serat cemporet

131

S.33 Banteng berjalan di belakang mengikuti terbangnya menco.

S.34 Perjalanan mereka sampai ke tepi hutan, menemukan perhiasan dan beberapa

pucuk keris di sepanjang jalan.

S.35 Banteng dan rombongan tiba di desa Cengkarsari.

S.36 Banteng dan menco membantu Ki Buyut bekerja di ladang, menamam umbi-

umbian dan sejenisnya.

S.37 Banteng dan menco pergi ke hutan.

S.38 Banteng dan menco membagi tugas, menco pergi ke kerajaan pagelen dan

banteng tetap di hutan.

S.39 Banteng berjalan mengelilingi hutan.

S.40 Banteng bertemu dengan Dewi Suretna, yang sedang tersesat di hutan.

S.41 Banteng menolong dewi Suretna dan diajak ke desa Cengkarsari.

S.42 Banteng memohon diri kembali ke hutan, meneruskan tugasnya berbuat

kebaikan untuk menolong orang lain.

S.43 Burung menco sampai di negeri Pagelen, hinggap di pohon angsoka.

S.44 Burung menco melihat wanita-wanita sedang bercengkrama di taman.

S.45 Burung menco bersenandung menghibur para wanita di taman.

S.46 Burung menco bertemu dengan raja putra Pagelen.

S.47 Burung menco dipelihara sebagai hiburan oleh Raden Pramana.

S.48 Burung menco terharu hatinya, dan menyanyikan kidung kakawin.

S.49 Raden Jaka Pramana terhibur hatinya.

S.50 Burung menco hinggap di tangan Jaka Pramana, di bawa masuk ke istana,

dan kemudian di beri nama Jamang.

Page 144: serat cemporet

132

S.51 Jamang dirawat dan dipelihara dengan baik di dalam istana

S.52 Jamang meninggalkan meninggalkan taman bunga di kerajaan Pagelen, tanpa

seijin Raden Pramana.

S.53 Jamang pergi ke desa Cengkarsari menjenguk orang tua angkatnya.

S.54 Jamang bertemu dengan Rara Kumenyar (Dewi suretna) di sendang dekat

rumah orang tua angkatnya.

S.55 Jamang terkagum-kagum melihat kecantikan Rara Kumenyar.

S.56 Jamang mendendangkan lagu tembang gede, supaya terdengar oleh Rara

kumenyar.

S.57 Rara Kumenyar terkagum-kagum melihat burung menco yang pandai

berdendang.

S.58 Burung menco hinggap di pohon beringin, membuat Rara Kumenyar

terkejut.

S.59 Menco memperkenalkan diri dengan nama jamang, sebagai burung

kesayangan Raden Pramana, putra raja Pagelen.

S.60 Menco diberi nama sinom oleh Rara Kumenyar.

S.61 Menco berpamitan dan terbang ke angkasa pulang ke negeri Pagelen.

S.62 Menco langsung menghadap Raden Pramana, menceritakan tentang ke

beradaan gadis cantik yang bernama Rara Kumenyar di desa Cengkarsari.

S.63 Raden Pramana penasaran, menco diperintahkan kembali ke Cengkarsari

dengan membawa cincin Manik adiwarna.

S.64 Rara kumenyar menunggu datangnya menco di sendang dekat desa

Cengkarsari.

Page 145: serat cemporet

133

S.65 Rara Kumenyar meragukan janji sinom (panggilan akrab si jamang).

S.66 Menco ternyata datang memenuhi janji yang pernah diucapkan kepada Rara

Kumenyar.

S.67 Menco membawa cincin Manik Adiwarna, yang kemudian diberikan kepada

Rara Kumenyar sesuai pesan gustinya.

S.68 Rara Kumenyar menerima cincin Manik Adiwarna, dan ternyata menco tidak

bohong tentang perihal gustinya.

S.69 Rara Kumenyar teramat sedih dan menyesal mengingat perbuatan yang telah

dilakukan dimasa lalu.

S.70 Menco mendekat dan menghibur Rara kumenyar yang sedang bersedih hati.

S.71 Cincin Manik Adiwarna diusapkan di wajah Rara Kumenyar, seketika

wajahnya terekam didalamnya.

S.71 Sang Dewi terasa terkagum-kagum melihat khasiat cincin tersebut.

S.72 Menco berpamitan pulang ke kerajaan Pagelen, tempat Raden Pramana.

S.73 Menco langsung menuju kehadapan gusti junjungannya menyerahkan

kembali cincin Manik Adiwarna.

S.74 Raden Pramana tertegun dan takjub melihat kecantikan paras Rara

Kumenyar.

S.75 Menco diperintahkan ke desa Cengkarsari lagi, membawa cincin Manik

Adiwarna untuk diserahkan kembali kepada Rara Kumenyar.

S.76 Menco memohon diri, berpamitan dan terbang menuju desa Cengkarsari

menemui Rara Kumenyar.

Page 146: serat cemporet

134

S.77 Menco sampai di desa Cengkarsari, tepatnya di sendang yang terletak di

pinggiran desa Cengkarsari.

S.78 Rara Kumenyar melihat menco terbang di atas sendang dengan

mendendengkan lagu merdu.

S.79 Menco menghampiri Rara Kumenyar.

S.80 Menco menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu di utus Raden Pramana

menyerahkan cincin Manik Adiwarna sebagai pertanda kasih.

S.81 Rara Kumenyar sangat bahagia, cincin Manik Adiwarna pemberian Raden

Pramana di pakai di jari telunjuknya.

S.82 Menco berpamitan pulang kembali ke istana, sambil mencari teman.

S.83 Dalam perjalanan pulang, jamang bertemu dengan dua ekor burung menco.

S.84 Dua burung menco mengikuti jamang untuk mengabdi kepada Raden

Pramana.

S.85 Jamang dan kedua burung menco menghadap Raden Pramana.

S.86 Jamang menceritakan perjalannya sebagai utusan ke dukuh Cengkarsari.

S.87 Raden Pramana sangat bahagia dan semakin sayang kepada jamang, setelah

mendengar ceritanya.

S.88 Jamang memperkenalkan kedua burung menco kepada Raden Pramana.

S.89 Raden Pramana memberikan nama kepada kedua burung menco, yang betina

diberi nama cunduk, dan yang jantan diberi nama sumbing.

S.90 Kehadiran jamang, cunduk dan sumping membuat Raden Pramana sangat

bahagia, sampai lupa makan dan tidur.

Page 147: serat cemporet

135

S.91 Raden Pramana memerintahkan cunduk dan sumbing pergi ke istana

mendengarkan pembicaraan ayah bundanya.

S.92 Kehadiran cunduk dan sumbing diketahui Sri Baginda, sehingga

membuatnya murka.

S.93 Sri Baginda mengambil anak panah dan busurnya, kemudian diarahkan

kepada kedua burung menco.

S.94 Menco jantan (sumbing) terkena panah, jatuh dan mati, Menco betina

(cunduk) menjerit dan terbang ke atas.

S.95 Cunduk meninggalkan taman untuk menemui jamang.

S.96 Cunduk dan jamang menghadap Raden Pramana, memberitahukan bahwa

sumbing mati, di bunuh Sri Baginda.

S.97 Raden Pramana merasa menyesal dan sedih atas kematian sumbing.

S.98 Jamang dan cunduk tertidur di tempat tidurnya masing-masing.

S.99 Raden Pramana membawa kedua burung menco yang sedang tertidur, pergi

dari istana Pagelen dengan diam-diam.

S.100 Dalam perjalanan, Raden Pramana dan kedua burung menco bertemu

dengan Dyah Sriwulan.

S.101 Raden Pramana dan kedua burung menco, diperintahkan oleh Dyah

Sriwulan pergi ke Cengkarsari mengabdi kepada Ki Buyut Cemporet.

S.102 Jamang disuruh Raden Pramana mencari banteng saudaranya di hutan.

S.103 Jamang bertemu dengan banteng, kemudian diajak menghadap Raden

Pramana.

S.104 Banteng diperintahkan oleh Raden Pramana mencari beringin putih.

Page 148: serat cemporet

136

S.105 Banteng pergi mencari beringin putih, dan menemukan yang kemudian

diserahkan kepada Raden Pramana.

S.106 Banteng dan kedua burung menco, bersama Raden Pramana melanjutkan

perjalanan ke dukuh Cengkarsari.

S.107 Jamang mendahului sampai di rumah Ki Buyut, untuk memberitahukan

tentang kedatangan Raden Pramana.

S.108 Rombongan Raden Pramana telah sampai di dukuh cengkarsari, di

kediaman Ki Buyut Cemporet.

S.109 Raden Pramana tidak sabar ingin bertemu dengan Rara Kumenyar, yang

ditakdirkan sebagai jodohnya.

S.110 Raden Pramana den Rara Kumenyar menikah di kediaman Ki Buyut

Cemporet, di desa Cengkarsari.

S.111 Buyut Malandangan dan Raden Margana mencari kedua putri Prambanan

yang melarikan diri dari istana.

S.112 Buyut Malandangan dan Raden Margana dianjurkan oleh Ki Umbul Wibra

untuk menemui pertapa hitam di gunung Wilis.

S.113 Raden Margana menemui pertapa hitam di gunung wilis, yang kemudian

menikamnya karena tidak mau memberitahukan perihal ke dua putri yang

hilang.

S.114 Raden Margana dan Buyut Malandangan masuk ke istana siluman, yang

rajanya tak lain adalah Shangyang Srenggadewa yang menyamar menjadi

pertapa hitam.

Page 149: serat cemporet

137

S.115 Raden margana dijodohkan dengan Retna Srenggana yang berwujud kera,

putri dari pertapa hitam.

S.116 Shangyang Srenggadewa menanyakan keterangan asal-usul keluarga Raden

Margana.

S.117 Ki Buyut menjawab dengan menjelaskan asal-usul Raden Pramana dengan

runtut.

S.118 Ki Buyut menceritakan kakek buyutnya Raden Margana, yaitu Raden

Jayasandika.

S.119 Raden Jayasandika membunuh Bandung Bandawasa dengan

menjerumuskan ke sumur.

S.120 Raden Jayasandika dikutuk menjadi seekor anjing oleh bandung

Bandawasa.

S.121 Seekor anjing (Raden Jayasandika) mencari ibu tirinya yang bernama Rara

jonggrang.

S.122 Anjing tidak tahu jika ibu tirinya telah meninggal, setelah melahirkan

bayinya.

S.123 Bayi dari Rara jonggrang dirawat dan diangkat anak oleh randa Dadapan.

S.124 Anjing tidak kenal putus asa untuk tetap mencari ibu tirinya, pencariannya

membawa anjing ke desa Sokakarwi.

S.125 Anjing bersembunyi di pagar, agar tidak diketahui penduduk desa.

S.126 Anjing bertemu dengan Rara Nawangsih, yang tidak lain adalah adik

tirinya.

Page 150: serat cemporet

138

S.127 Rara Nawangsih mengadakan sayembara, yang dapat menolongnya akan

diberi hadiah, jika perempuan dijadikan saudara dan jika laki-laki dijadikan

suami.

S.128 Anjing mendengarnya, dan kemudian anjing menolong Rara Kumenyar

dengan membawa teropong yang jatuh di bawah rumah.

S.129 Rara nawangsih hendak bunuh diri karena yang akan menjadi suaminya

adalah seekor anjing.

S.130 Anjing menikah dengan rara nawangsih, setelah menjelaskan siapa

sebenarnya.

S.131 Anjing memohon kepada Dewata agar terbebas dari wujudnya sebagai

seekor anjing.

S.132 Dewata mengabulkan, jika malam berwujud manusia dan siang kembali

berwujud anjing merah.

S.133 Anjing dan Rara Nawangsih dianugerahi seeorang anak laki-laki yang

bernama Suputra (Adipati Kalang Andaka).

S.134 Sewaktu Ki Buyut menceritakan asal-usul Raden Margana, datang seekor

kera dari dalam Istana.

S.135 Raden Margana diperintah oleh Shangyang Srenggadewa untuk membunuh

kera, yang merupakan penjelmaan dari Retna Srenggana.

S.136 Raden Margana menghunus keris, kera ditikam dan mati.

S.137 Mayat kera lenyap, berganti menjadi seorang perempuan cantik, yaitu Retna

Srenggana.

S.138 Kyai Buyut dan Raden Margana diam terpaku melihat keajaiban dewata.

Page 151: serat cemporet

139

S.139 Raden Margana dinikahkan dengan Retna Srenggana, karena telah

menolong merubah wujudnya menjadi sedia kala.

S.140 Shangyang Srenggadewa menceritakan asal mula anaknya di kutuk menjadi

seekor kera.

S.141 Retna Srenggana menginginkan Manik Mustika Pranawa, untuk

mengetahui segala jenis binatang yang hidup di dunia.

S.142 Retna Srenggana tidak puas, dan menginkan Mustika Manikara, meniru

kesaktian Dewi Rukmawati, putri Hyang Antaboga.

S.143 Retna Srenggana bersikeras menuruti nafsu, membangkitkan amarah

Shangyang Srenggadewa.

S.144 Shangyang Srenggadewa mengeluarkan kata-kata yang tak terkendalikan,

menyumpahi anaknya seperti kera.

S.145 Retna Srenggana berubah wujudnya menjadi seekor kera terkena sumpah

ayahnya.

S.146 Raden Margana dan Retna Srenggana melangsungkan pernikahannya.

S.147 Dewi suretna melahirkan bayi kembar laki-laki, berwujud kera.

S.148 Retna Srenggana meninggal setelah melahirkan kedua anaknya yang juga

terkena kutukan dewata.

S.149 Raden Sudana menemukan adik kandungnya di desa Cengkarsari yaitu

Dewi Suretna yang telah menikah dengan Raden Pramana.

S.150 Raden Sudana dan Raden Pramana berperang layaknya seorang ksatria.

S.151 Raden sudana meluncurkan anak panahnya ke arah Raden Pramana.

Page 152: serat cemporet

140

S.152 Kedua menco hendak menangkap anak panah yang melesat cepat, sehingga

keduanya terkena dan mati

S.153 Menco cunduk mati dan mayatnya hilang, sedangkan menco jamang mati

dan berubah menjadi wujudnya yang semula yaitu Raden Prawasta.

S.154 Banteng menghadap Raden Pramana dan melihat adiknya yang telah

terbebas dari kutukan dewata.

S.155 Banteng mengiba-iba dan menahan tangisnya kepada Raden Pramana

supaya dibebaskan dari kutukan dewata, berubah menjadi manusia kembali

seperti adiknya.

S.156 Banteng putus asa dan akan bunuh diri jika Raden Pramana tidak mau

menolongnya.

S.157 Banteng memasang akar mimang diperempatan jalan besar, atas perintah

Raden Pramana.

S.158 Banteng dan ke dua saudara kandung Raden Pramana pergi ke alam

siluman.

S.159 Banteng menghadap Dewi Mulat meminta ke dua putri, atas perintah Dewi

Sriwulan.

S.160 Banteng bertemu dengan ke dua putri, yang tidak lain adalah kakak

kandungnya sendiri.

S.161 Banteng dan Raden Margana beradu kekuatan dalam peperangan

memperebutkan ke dua putri.

S.162 Banteng memenangkan peperangan, dan Raden Margana meninggal di

medan pertempuran.

Page 153: serat cemporet

141

S.163 Banteng berada di perkebuanan, sangat sedih dan berputus asa.

S.164 Banteng mendapat petunjuk tentang sebuah Cupu Permata di bawah pohon

beringin, yang dapat menyembuhkan dari kutukan dewata.

S.165 Banteng mengikuti petunjuk dan ponon beringin ditumbangkan.

S.166 Banteng menemukan Cupu Permata yang berisi minyak dipanirmala.

S.167 Banteng membuka Cupu Permata dan minyaknya di oleskan ke seluruh

tubuhnya.

S.168 Banteng merasa lesu dan sangat mengantuk sampai tertidur.

S.169 Banteng kembali ke dunia manusia dengan keadaan wujudnya yang telah

kembali seperti sedia kala, yaitu menjadi Raden Prawasakala.