Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

10
1 SENI PERTUNJUKAN DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI DI ERA INFORMASI Oleh : J A E N I Majelis Senat STSI Bandung yang saya hormati… Para Wisudawan yang saya banggakan … Para hadirin tamu undangan dan orang tua wisudawan yang saya hormati. Assalamualaikum wr.wb Selamat Pagi dan salam sejahtera untuk kita semua................ Pendahuluan Sebuah kenyataan bahwa zaman kini sudah bergeser sebagaimana dicatat oleh para ahli di berbagai bidang ilmu yang mengisyaratkan adanya perkembangan kebudayaan umat manusia di setiap era yang menjadi titik puncaknya. Sejak manusia memasuki era berburu, era bertani (ladang-sawah-laut), era industri dan era informasi, dimana tahap-tahap era tersebut telah mengindikasikan kemajuan-kemajuan, adanya perkembangan dan perubahan, tak terkecuali pada bidang seni-budaya. Di setiap zaman yang berubah dan berkembang itu telah menyisakan artefak dan pemikiran, nilai-nilai, dan gagasan atau ide budaya yang mengantarkan kreatifitas budaya setiap zamannya. Perkembangan setiap era budaya patut kita baca untuk kemudian menjadi background of knowledge (latar pengetahuan) dalam memasuki perkembangan era baru kini, yakni era informasi dalam kaitannya dengan dunia seni pertunjukan. Era informasi ini disinyalir sebagai era konvergensi media, yang ditandai dengan menyatunya berbagai teknologi komunikasi dan informasi di tengah-tengah kita (lihat La Rose & Straubhaar, 2000; Fidler, 2002). Kehadiran era informasi saat ini dalam kehidupan seni budaya, khususnya bagi seni pertunjukan, memiliki konsekuensi logis terhadap perwujudan seni pertunjukan. Pada satu sisi, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi memiliki konsekuensi terhadap seni pertunjukan yang bisa jadi memarjinalkan seni pertunjukan tersebut akibat maraknya seni kemas yang dihasilkan oleh media di era informasi tersebut. Pada sisi lain, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi bagi seni pertunjukan dapat memberikan sentuhan estetik lain dan efektivitas kerja seni yang lebih efisien, tanpa meninggalkan idealisme berkarya seni. Konsekuensi logis ini butuh jawaban dari para seniman dan akademisi

Transcript of Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

Page 1: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

1

SENI PERTUNJUKAN DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI

DI ERA INFORMASI

Oleh : J A E N I

Majelis Senat STSI Bandung yang saya hormati…

Para Wisudawan yang saya banggakan …

Para hadirin tamu undangan

dan orang tua wisudawan yang saya hormati.

Assalamualaikum wr.wb

Selamat Pagi

dan salam sejahtera untuk kita semua................

Pendahuluan

Sebuah kenyataan bahwa zaman kini sudah bergeser sebagaimana dicatat

oleh para ahli di berbagai bidang ilmu yang mengisyaratkan adanya

perkembangan kebudayaan umat manusia di setiap era yang menjadi titik

puncaknya. Sejak manusia memasuki era berburu, era bertani (ladang-sawah-laut),

era industri dan era informasi, dimana tahap-tahap era tersebut telah

mengindikasikan kemajuan-kemajuan, adanya perkembangan dan perubahan, tak

terkecuali pada bidang seni-budaya.

Di setiap zaman yang berubah dan berkembang itu telah menyisakan

artefak dan pemikiran, nilai-nilai, dan gagasan atau ide budaya yang

mengantarkan kreatifitas budaya setiap zamannya. Perkembangan setiap era

budaya patut kita baca untuk kemudian menjadi background of knowledge (latar

pengetahuan) dalam memasuki perkembangan era baru kini, yakni era informasi

dalam kaitannya dengan dunia seni pertunjukan. Era informasi ini disinyalir

sebagai era konvergensi media, yang ditandai dengan menyatunya berbagai

teknologi komunikasi dan informasi di tengah-tengah kita (lihat La Rose &

Straubhaar, 2000; Fidler, 2002).

Kehadiran era informasi saat ini dalam kehidupan seni budaya, khususnya

bagi seni pertunjukan, memiliki konsekuensi logis terhadap perwujudan seni

pertunjukan. Pada satu sisi, kehadiran teknologi informasi dan komunikasi

memiliki konsekuensi terhadap seni pertunjukan yang bisa jadi memarjinalkan

seni pertunjukan tersebut akibat maraknya seni kemas yang dihasilkan oleh media

di era informasi tersebut. Pada sisi lain, kehadiran teknologi informasi dan

komunikasi bagi seni pertunjukan dapat memberikan sentuhan estetik lain dan

efektivitas kerja seni yang lebih efisien, tanpa meninggalkan idealisme berkarya

seni. Konsekuensi logis ini butuh jawaban dari para seniman dan akademisi

Page 2: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

2

bidang seni pertunjukan dalam menghadapi era yang serba instan dan memiliki

akselerasi yang sangat tinggi.

Beberapa konsekuensi logis di atas salah satunya harus kita pilih agar seni

pertunjukan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, sekalipun tantangan klasik

masih berlangsung, yaitu kurangnya perhatian pemerintah terhadap

keberlangsungan seni pertunjukan itu sendiri. Gedung-gedung seni dibangun,

sekolah-sekolah seni didirikan, penghargaan-penghargaan diberikan kepada

pelaku seni, namun tidak lebih dari sekadar perhatian semu atas pengakuan seni

oleh pemerintah. Tahun demi tahun, periode hingga periode pemerintahan

berikutnya, seni pertunjukan yang menjadi salah satu kekayaan budaya nusantara

ini tidaklah pernah menjadi agenda penting dalam membangun bangsa. Padahal,

bangsa dan pemerintah ini sangat merasakan bagaimana seni dapat melukai

perasaan bangsa ini. Kehilangan seni bisa menjadi kehilangan identitas kita

sebagai sebuah bangsa. Kasus-kasus seperti itu telah berlangsung sebelumnya dan

bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, misalnya; pengakuan seni kita oleh negara

tetangga yang membuat para pejabat kebakaran jenggot; Pergelaran improvisasi

tari cakalele yang digelar persis pada saat kunjungan Presiden SBY dalam

merayakan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke XIV, di Lapangan Merdeka

Ambon, 29 Juni 2007, membuat pemerintah terbelalak atas kekuatan seni yang

bisa menembus ring keamanan yang begitu ketat (Detik News, 02/07/2007);

kasus lain, terjadi pula pada acara Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua yang

berlangsung di GOR Cenderawasih, Jayapura, pada Selasa 3 Juli 2007, dengan

kekuatan komunikasi seni itu menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa.

Contoh kasus-kasus seni pertunjukan itu cukup jelas untuk menunjukkan

bagaimana kekuatan komunikasi seni pertunjukan perlu diperhitungkan. Seni

pertunjukan merupakan alat dalam kehidupan budaya dan melaluinya harus

mampu bersinergi dengan masyarakat di era informasi dewasa ini, baik dalam sisi

praktis maupun teoretis.

Selanjutnya, bagaimana posisi generasi muda kita dan keseniannya,

terutama lulusan STSI Bandung yang memiliki disiplin ilmu seni yang berbeda

dengan perguruan tinggi lain dalam menghadapi era informasi dewasa ini.

Mahasiswa seni atau masyarakat seni dengan kemampuannya, kreatifitasnya dan

spesialisasinya, harus yakin bahwa dengan kompetensi seni mampu berdiri di

tengah arus deras era informasi saat ini. Insan seni sanggup berperan melalui seni

(pertunjukan) untuk menyuarakan dan sekaligus mengkomunikasikan nilai-nilai

seni, baik nilai yang bersifat ideal-rasional maupun nilai kualitas atas seni

pertunjukan yang bersumber dari tradisi-tradisi milik sendiri. Masyarakat seni -

seniman dan akademisi - merupakan sosok-sosok yang mampu menyuarakan

gagasan-gagasan tentang berbagai fenomena bangsa sekaligus menginformasikan

kekayaan kultural dan identitas bangsanya melalui media seni di era informasi

dewasa ini.

Untuk hal itu dibutuhkan pemahaman seni pertunjukan dalam perspektif

komunikasi. Seni pertunjukan merupakan suatu media komunikasi yang mampu

berperan dan memberikan pencerahan secara ideal, dan pada tataran pragmatis

Page 3: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

3

seni pertunjukan dapat berperan dalam arena sosial, ekonomi, politik dan budaya

dalam masyarakat dan lingkungan budayanya.

Proses dan Konteks Komunikasi Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan merupakan jagat kecil sebagai sebuah representasi jagat

besar (kehidupan dunia sebenarnya). Melalui asumsi ini, maka proses dan

konteks-konteks komunikasi hadir dalam seni pertunjukan karena komunikasi

bersifat omnipresent (hadir dimana-mana). Berkaitan dengan asumsi tersebut,

maka dalam seni pertunjukan terdapat konteks-konteks komunikasi yang meliputi;

komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi publik,

komunikasi budaya dan komunikasi transendental.

Komunikasi intrapersonal, merupakan bentuk komunikasi yang

difokuskan pada kognisi, simbol dan intensi individu. Komunikasi ini

menekankan pada peran dari proses komunikasi dalam diri. Beberapa pakar

komunikasi menyetujui bahwa komunikasi intrapersonal merupakan jantung dari

aktivitas komunikasi (West and Turner, 2007: 34). Menurut Mulyana (2002: 72)

bahwa, komunikasi intrapersonal atau intrapribadi sebagai komunikasi dengan diri

sendiri, baik disadari maupun tidak.

Berkaitan dengan arti komunikasi intrapersonal di atas, maka dalam seni

pertunjukan terdapat proses komunikasi tersebut, terutama dilakukan oleh pelaku

dan publik seni itu sendiri. Ketika pertunjukan berlangsung, antara pelaku dan

publik seni sama-sama mengandalkan perasaan dan pengalamannya, seraya

berdialog dengan dirinya. Perasaan dan pengalaman begitu penting kedudukannya

bagi komunikasi intrapersonal dalam seni pertunjukan dan merupakan fasilitas

alamiah dalam diri seseorang. Peranan perasaan dan pengalaman itu banyak

terjadi pada peristiwa komunikasi seni pertunjukan.

Ketika pertunjukan berlangsung, konteks komunikasi ini pun berjalan;

pelaku seni berpikir dan bertindak untuk menggerakkan tubuhnya, dalam

tubuhnya berkecamuk perasaan-perasaan bagaimana cara berbuat untuk seni atau

bergerak untuk membentuk sebuah tarian. Telinga mereka merasakan musik yang

ada, sementara anggota tubuh mereka mengikuti irama musik. Dalam memainkan

peran, maka ia berpikir bagaimana mewujudkan peran itu. Seluruh anggota

tubuhnya akan dimaksimalkan untuk membentuk peran itu termasuk juga pikiran,

perasaan dan pengalamannya mereka. Prose situ semua merupakan proses

komunikasi intrapersonal.

Demikian halnya dengan publik pertunjukan yang juga melakukan proses

komunikasi intrapersonal dalam dirinya. Mereka (para penonton) akan menikmati

sajian cerita, gerak-gerak tubuh para para penari, musik, dan unsur-unsur rupa

yang hadir dalam pertunjukan itu. Publik merasakan kegembiraan dalam hatinya

atas pertunjukan yang diapresiasinya sesuai dengan pengalaman dan perasaan.

Publik juga merasakan kesedihan dan kelucuan jika dalam cerita atau gerak dan

irama yang sesuai dengan perasaan dan pengalamannya. Dari peristiwa itu,

Page 4: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

4

perasaan dan pengalaman sangat memainkan peran dalam komunikasi

intrapersonal publiknya.

Komunikasi Interpersonal, lebih disarankan dalam arti yang paling luas

untuk mencakup semua interaksi di mana terdapat hubungan di antara semua

partisipan (Devito, 1997: 232). Untuk hal itu definisi komunikasi interpersonal

sedemikian “cair” sebagai Komunikasi antarpribadi, antara orang-orang secara

tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain

secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2002: 73).

Momen peristiwa komunikasi intrapersonal dalam seni pertunjukan lebih

banyak terdapat di belakang panggung atau dalam proses kerja kreatif

antarseniman sebelum pertunjukan itu dipentaskan. Momen-momen itu terdapat

pula ketika pertunjukan berlangsung yang ditunjukkan oleh dialog antara seorang

pelaku dengan penontonnya dalam sesi improvisasi; dialog antara seorang bodor

dengan penontonnya; pertukaran pesan antara penembang (sinden) dengan salah

satu penonton; atau interaksi non verbal antara penari dan penontonnya.

Komunikasi Publik, sering dianalogikan dengan komunikasi di depan

umum (Devito, 1997: 359). Menurut West dan Turner (2007: 34), komunikasi

publik biasanya berupa komunikasi dari seseorang ke banyak orang, yang

pesannya bersifat persuasif dengan memperhatikan beberapa hal yaitu analisis

khalayak, kredibilitas pembicara, dan proses penyampaian pesan yang membujuk.

Sementara meminjam catatan Mulyana (2007: 82) dinyatakan bahwa komunikasi

publik merupakan komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar

orang (khalayak), yang tidak dikenali satu per satu. Namun terdapat benang merah

antara seni pertunjukan dengan konteks komunikasi publik dengan ciri-ciri

komunikasi yang meliputi: 1) terjadi di tempat umum (publik); 2) merupakan

peristiwa yang telah direncanakan; 3) terdapat agenda; dan 4) beberapa orang

ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus.

Mengingat komunikasi seni pertunjukan terkait dengan komunikasi publik,

maka definisi publik dapat dipahami melalui istilah yang dinyatakan oleh Denton

dan Woodward (1990: 14) sebagai istilah yang digunakan untuk menggantikan

istilah “masyarakat umum” atau “rakyat”. Sementara Sastropoetro (1987: 35),

lebih spesifik mendefinisikan istilah publik sebagai sejumlah orang yang memiliki

minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. Komunikasi publik jelas terlihat

pada seni pertunjukan sebagai seni yang segmentatif, yang dalam kata lain

memiliki publiknya sendiri.

Dalam skala publik seni, adakalanya seni pertunjukan pada satu wilayah

yang sama atau daerah atau satu kecamatan sekalipun, tidak bisa dipaksakan

untuk diapresiasi oleh seluruh isi masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut.

Disini kita dapat menarik garis sambung, bahwa seni pertunjukan akan selalu

ditonton, diapresiasi atau akan dapat berkomunikasi dengan publik seni itu sendiri

yang memiliki minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama.

Komunikasi Budaya, begitu nampak pada seni pertunjukan sebagai salah

satu produk kebudayaan. Komunikasi budaya memiliki banyak ragam, sekalipun

ia memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dikarenakan oleh keragaman budaya

Page 5: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

5

setiap kelompok manusia. Keragaman itu menjadikan konteks-konteks

komunikasi budaya dalam seni pertunjukan mengalami perkembangan, dari

komunikasi intrabudaya menuju komunikasi antarbudaya, dan hingga komunikasi

lintas budaya. Beberapa varian komunikasi itu menunjukkan bahwa komunikasi

sangat erat kaitannya dengan budaya, bahkan Edward T. Hall (1981) mengatakan

bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan

(Liliweri, 2002: 9).

Dalam konteks komunikasi budaya, seni pertunjukan merupakan bagian

dari perangkat model pengetahuan atau sistem makna yang terjalin secara

menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan lewat seni pertunjukan.

Untuk hal itu, seni pertunjukan sesungguhnya menyajikan model pengetahuan

atau sistem makna yang digunakan secara selektif oleh warga masyarakat

pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan

pengetahuan, serta merupakan pedoman bersikap dan bertindak dalam

menghadapi lingkungannya, guna memenuhi berbagai kebutuhan.

Komunikasi budaya dalam seni pertunjukan menjadi unsur pengikat yang

mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda hingga menjadi suatu

desain yang utuh, menyeluruh, dan operasional, serta dapat diterima sebagai hal

yang bernilai oleh masyarakat pendukungnya. Konteks komunikasi budaya dalam

seni pertunjukan merupakan wadah komunikasi masyarakat yang berupaya

mencapai tujuannya dalam mengubah sikap, mengubah opini/

pendapat/pandangan, mengubah perilaku serta mengubah budaya masyarakat itu

sendiri. Peristiwa pertunjukan bukan semata-mata fenomena, melainkan noumena.

Seni pertunjukan disajikan tidak hanya untuk pancaindera, tetapi juga untuk mata

hati yang secara kultural menjadi sangat simbolik.

Komunikasi Transendental, dalam seni pertunjukan mungkin terkesan

sangat “mengada-ada” dan tidak begitu akrab dalam khazanah ilmu komunikasi.

Namun demikian hal itu merupakan kenyataan yang sangat terkait dengan

kehidupan seni pertunjukan rakyat (etnik) Indonesia. Komunikasi transendental

terkait dengan kehidupan budaya masyarakat timur yang religius dan bentuk

komunikasi ini sesungguhnya dilakukan oleh manusia. Nina W. Syam (2006)

mendefinisikan komunikasi transendental sebagai komunikasi yang berlangsung

dalam diri dengan sesuatu di luar diri yang disadari keberadaannya. Sementara

Mulyana (1999) memaknai komunikasi transendental sebagai komunikasi antara

manusia dengan Tuhan.

Hubungan komunikasi transedental dengan seni pertunjukan cukup

beralasan jika melihat jenis seni pertunjukan rakyat. Ketika seni pertunjukan

ditampilkan dalam upacara selametan, maka di situ bentuk komunikasi

transendental muncul antara pelaku seni pertunjukan, pertunjukan, dan

masyarakatnya. Dalam pertunjukan yang demikian, dipercayai oleh

masyarakatnya ada kehadiran Sang Maha Kuasa di dunia manusia. Konteks

pertunjukan yang demikian menjadi bagian dari proses komunikasi transenden

yang menghadirkan keramat (karomah) dan berkat (barokah).

Page 6: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

6

Seni Pertunjukan Sebagai Media Komunikasi Simbolik

Telah banyak dilakukan penelitian tentang seni pertunjukan, namun tidak

secara eksplisit menyatakan bagaimana komunikasi pada pertunjukan itu

berlangsung. Hal itu disebabkan karena kesadaran kita kurang dilengkapi dengan

topangan pemikiran ilmu di luar pengetahuan seni. Bahwa seni pertunjukan adalah

media komunikasi, harus kita yakini karena untuk apa kita mewujudkan suatu

bentuk pertunjukan jika tidak untuk dikomunikasikan pada publiknya. Dengan

demikian, seni pertunjukan sebagai media komunikasi akan jelas dilihat dari peran

dan fungsinya (lihat Fiske, 1990:18; Bandem, 1996:32-33).

Seni pertunjukan memiliki fleksibilitas untuk menampilkan wujud

seninya, baik sebagai media presentasi maupun representasi. Ia hadir untuk

menumbuhkembangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ia diciptakan

oleh pelaku seni dengan tafsir makna tersendiri, yang kemudian diamati, ditonton,

atau diapresiasi oleh penikmat seni dengan tafsir makna tersendiri pula. Peristiwa

komunikasi demikian pada suatu bentuk pertunjukan merupakan kejadian yang

terus-menerus berlangsung, dan hal inilah yang menyebabkan seni pertunjukan

tetap bertahan di tengah-tengah masyarakatnya.

Seni pertunjukan memiliki interaksi dengan masyarakatnya, dimana setiap

orang atau masyarakat ingin melibatkan dirinya dengan cara menonton,

mengapresiasi, mengamati, menginterpretasi, mengkritisi dan bahkan ingin

melibatkan diri menjadi pelaku dalam peristiwa pertunjukan tersebut. Interaksi di

sini lebih dipandang sebagai interaksi simbolik, yang inti dari interaksi tersebut

adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau

proses pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2002: 68). James Lull

mempertegas arti komunikasi seni pertunjukan, sebagai suatu konstruksi makna

melalui pertukaran bentuk-bentuk simbolik (Lull, 1998: 223). Dua pengertian

komunikasi itu cukup memberikan penegasan bahwa seni pertunjukan

mengindikasikan proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, dan

kontekstual yang memberi ruang interpretasi dan harapan berbeda terhadap apa

yang disampaikan dalam suatu pertunjukan (Lustig dan Koester dalam Liliweri,

2003:13).

Arah seni pertunjukan sebagai media komunikasi simbolik berkisar pada

pemahaman tentang simbol dan proses penyimbolan terhadap seni pertunjukan

yang membutuhkan pengetahuan lebih luas. Proses penyimbolan menjadi salah

satu bentuk intelektualitas insan seni yang memiliki kepekaan akademis dan

akademisi yang memiliki kepekaan kesenimanan. Simbol begitu melekat pada

kehidupan religius manusia yang memiliki nilai-nilai spiritualitas tinggi, seperti

diungkapkan oleh Goethe, sedangkan Coleridge dan George MacDonald

berpendapat bahwa simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang

membuatnya dapat dimengerti sebagai sebuah subtansi. Konsepsi simbol tersebut

bersifat spiritual dan mistis, maka beberapa kaum intelektual seperti Arnold

Toynbee mengatakan bahwa “simbol diciptakan bukan untuk merepro objeknya

namun menerangi objek tersebut”. Secara sederhana simbol diartikan oleh

Page 7: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

7

Dillistone sebagai sebuah kata atau barang yang mewakili atau mengingatkan

suatu entitas yang lebih besar (Dillistone, 2002: 18-19).

Simbol tak terkait dengan sebuah kehidupan di luar kehidupan manusia

dan hal ini menandakan betapa eratnya hubungan antara simbol dan manusia.

Ernst Cassirer menyebutkan bahwa manusia adalah animal symbolicum dimana

manusia tak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung

kecuali melalui berbagai simbol (Cassirer, 1944: 23-26). Sementara para

antropolog, Kroeber dan Kluckhohn dengan konsepsi budayanya mengatakan

bahwa “budaya terdiri dari pola-pola, eksplisit atau implisit, tentang dan untuk

perilaku yang diperoleh dan dipindahkan melalui simbol-simbol, membangun

capaian-capaian yang dipilah dari kelompok manusia, termasuk jelmaan-

jelmaannya dalam artifak-artifak” (Kroeber dan Kluckhohn dalam Berry, 1999:

326).

Demikian pentingnya pengetahuan tentang simbol, maka dalam konteks

komunikasi seni pertunjukan, simbol adalah sesuatu yang dipertukarkan baik

dalam komunikasi verbal maupun non-verbal. Lebih lanjut, komunikasi yang

menyangkut seni pertunjukan tidak sekedar komunikasi sebagai tindakan praktis

dan pragmatis (Bakker dalam Herusatoto, 2003: 15), namun lebih tinggi yaitu

sebuah tindakan pencapaian nilai-nilai ideal, nilai-nilai kualitas. Contoh kecil

komunikasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang menyelenggarakan kesenian,

yang tentunya tidak sekedar menyelenggarakan kemeriahan. Kesenian tidak

sekedar hiburan bagi penyelenggara dan penontonnya. Perhelatan itu memiliki

makna sebagai totalitas pertunjukan yang dapat memberikan pencerahan bagi

segenap masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Seni pertunjukan dalam peristiwa komunikasi adalah tindakan-tindakan

ekspresif yang bisa hanya mengatakan sesuatu tentang dunia apa adanya juga bisa

bermaksud mengubah tatanan dunia tersebut secara metaporis (Leach, 1976: 43).

Oleh karenanya, bentuk penyimbolan dalam seni pertunjukan Indonesia secara

umum perlu merujuk pada benang merah tradisi yang menjadi landasan pola pikir

budaya masyarakatnya.

Seni Pertunjukan Di Era Informasi

Mencermati pernyataan Edmund Leach dan uraian sebelumnya tentang

komunikasi seni pertunjukan, maka kedudukan seni pertunjukan secara metaporis

dalam kehidupan berbudaya sangat signifikan. Seni pertunjukan adalah bagian

penting dari kehidupan masyarakat lingkungannya. Oleh karena kepentingan

tersebut maka seni pertunjukan membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir,

memiliki jiwa eksploratif, konstruktif, bermoral, dan penuh tanggung jawab.

Dengan bersandarkan pada kemampuan dan kapabilitas manusia sebagai

aktor seni pertunjukan, maka di era informasi dewasa ini seni pertunjukan dapat

eksis dan bersinergi dengan media komunikasi lainnya. Pada gilirannya,

pemakaian teknologi komunikasi dan informasi menjadi penting bagi kreator seni

pertunjukan. Konvergensi media tidak saja dihasilkan dari media-media yang

Page 8: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

8

berperangkat teknologi, namun perangkat pemikiran dan kreativitas sang kreator

seni menjadi penting diadopsi oleh teknokrat di bidang komunikasi dan informasi.

Kehidupan seni pertunjukan yang diimbangi dengan keberadaan kreator

yang memiliki kepekaan akademik di era informasi saat ini memberikan nuansa

lain, terutama dalam pengakuan hak intelektual seniman atas karya-karya seni

yang dilahirkannya. Di era informasi, seni pertunjukan dapat pula diakses dan

diapresiasi sebagai penanaman kembali nilai-nilai luhur budaya lingkungannya

melalui teknologi komunikasi yang saat ini sudah tak terbendung kecanggihannya.

Sebagai suatu bentuk tindakan ekspresif, seni pertunjukan tidak pula

bergantung pada alat-alat canggih sistem komunikasi dan informasi yang

dihasilkan saat ini, tetapi seni pertunjukan semakin cerdas oleh karena memiliki

banyak tantangan dengan hadirnya media seni lain yang dihasilkan dari teknologi

informasi tersebut. Tindakan ekspresif seni pertunjukan diharapkan mampu

memfilter kekurangan-kekurangan media komunikasi seni yang berbasis teknologi

informasi dan bahkan diharapkan pula dapat mengambil manfaat dari kehadiran

teknologi informasi tersebut untuk kepentingan seni pertunjukan.

Jika kesadaran tentang era informasi ini tidaklah dipahami oleh para

pelaku seni pertunjukan, termasuk para lulusan perguruan tinggi seni, niscaya seni

pertunjukan yang dihasilkannya tak mampu berpartisipasi di arena yang semakin

mengglobal. Kesadaran itu bukan saja mampu memainkan perangkat-perangkat

teknologi komunikasi dan informasi, namun lebih penting lagi kita mampu

berdialog dengan kemajuan teknologi tersebut untuk digunakan sebagai cara

membangun simbol-simbol budaya yang universal. Selanjutnya kita mampu

mewacanakan simbol-simbol yang diciptakan dalam seni pertunjukan dengan

konteks-konteks makna yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara keilmuan

maupun kultural.

Keberadaan seni pertunjukan sungguh penting di era informasi dewasa ini

sebagai identitas bangsa. Tanggung jawab atas eksistensi seni pertunjukan

tersebut adalah tanggung jawab kita semua; seniman, budayawan, akademisi,

masyarakat dan termasuk pula pemerintah. Perjuangan kita bagi seni pertunjukan

bukan semata-mata atas nilai material, namun lebih dari itu merupakan spirit

harga diri manusia yang merdeka. Klaim kesenian kita oleh negara tetangga bisa

kita artikan sebagai perampasan harga diri dan identitas bangsa. Agar tidak terjadi

kembali perampasan-perampasan itu, maka kita perlu berbekal diri dengan ilmu

pengetahuan yang berkait dan penguasaan atas hadirnya teknologi informasi yang

menyerbu masyarakat kita dewasa ini.

Agar dapat menjadi institusi masyarakat seni yang berperan aktif dalam

membangun bangsa di era seperti ini, kiranya ada tiga syarat yang harus dipenuhi

oleh institusi seni dan masyarakat yang ada di dalamnya, yakni; (1) mampu

memanfaatkan ilmu seni termasuk ilmu pengetahuan yang lain; (2) mampu

memanfaatkan teknologi termasuk teknologi informasi; (3) mampu dan

menguasai salah satu bahasa global untuk menjamin seni pertunjukan dapat

berkomunikasi dengan masyarakat tanpa batas. Ketiga kemampuan tersebut

Page 9: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

9

kiranya dapat diupayakan agar produk seni yang dihasilkan mampu berbincang di

percaturan dunia.

Demikian sekilas pandangan tentang seni pertunjukan dalam perspektif

komunikasi di era informasi, yang mudah-mudahan dapat dijadikan suplemen

informasi keilmuan bagi para wisudawan yang saya banggakan. Sekian dan terima

kasih. Wassalamualaikum wr.wb.

DAFTAR PUSTAKA

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia.

Yogyakarta: Kanisius Kerja Sama dengan Forum Apresiasi Kebudayaan

Den Pasar-Bali.

Berry, John W. dkk. 1999. Psikologi Lintas Budaya (Riset dan Aplikasi). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Denton, R.E., G.C. Woodward. 1990. Politic Communication in America. New

York: Praeger.

Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar. Penerjemah

Agus Mulyana. Jakarta: Professional Books.

Dillistone, F.W., 2002. Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols).

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man: An Introduction to Philosophy of Human

Culture. New Haven.

Fidler, Roger. 2002. Mediamorfosis. Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Fiske, John. 1990. Introduction To Communication Studies. London and New

York: Routledge.

Herusatoto, Budiono. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:

Hanindita Graha Widia.

Jaeni. 2005. Komunikasi Seni Pertunjukan Teater Rakyat: Kajian Hermeneutika

pada Pertunjukan Sandiwra Cirebon. Tesis S2. Bandung: Program

Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.

La Rose, Robert and Joseph D. Straubhaar. 2000. Media Now: Communications

Media In The Information Age, United States of America:

Page 10: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Komunikasi (Orasi Ilmiah)

10

Wadworth/Thomson Learning.

Leach, Edmund. 1988. Culturre and Communication: The Logic By Which

Simbols are Connected. New York: Cambridge University Press.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.

Yogyakarta: LKiS.

Lull, James. 1997. Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global,

(diterjemakan oleh A. Setiawan Abadi), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:

Rosdakarya.

_______________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya.

_______________. 2004. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Terjemaham Tim Yasogama.

Jakarta: Rajawali.

Sastropoetro, R.A. Santoso. 1987. Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan

Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Bandung: CV. Remadja

Karya.

Schechner, Richard. 1988. Performance Theory. New York and London:

Routledge.

Soeprapto, H.R.Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Averroes Press.

Syam, Nina Winangsih, 2006. Komunikasi Transendental. Bandung: Yayasan

Arena Komunikasi.

West, Richard & Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory:

Analysis and Application. New York: McGraw-Hill.